warok ponorogo 6 - Pergumulan di Warung Randil(1)

1
WARUNG RANDIL 


Warung Randil yang letaknya di tengah-tengah sawah, 
biasanya waktu siang dibuka untuk melayani keperluan 
makan dan minum bagi para petani yang sedang menggarap 
sawah. Atau pada musim panen di daerah sekitar ini ramai 
dikunjungi para tengkulak, pedagang, atau keluarga-keluarga 
yang ingin mendapatkan hasil tani dengan harga murah. 
Suasana jadi ramai karena banyak dikunjungi pedagang-pedagang 
beras yang datang dari kota Kadipaten Ponorogo yang mau 
kulakan. 


Pada malam harinya, warung Randil ini berganti suasana, tidak 
sekedar melayani makan dan minum bagi pengunjung, akan 
tetapi telah berubah fungsi menjadi warung yang khusus 
melayani tamu laki-laki. Jelasnya hanya untuk keperluan 
kaum laki-laki "nakal" saja yang mau singgah di tempat seperti 
mi. Semua pengunjungnya laki-laki, dan sebaliknya yang 
melayani semuanya juga perempuan. 


Di warung nakal yang dipenuhi penghuni perempuan-perempuan 
cantik yang berdandan menor-menor ini, jangan diharap akan 
ada warok yang mau singgah ke tempat mesum ini. Para warok 
yang sakti mandraguna itu, sangat dikenal menjauhi perempuan. 
Pantangan untuk berdekatan dengan perempuan. Mereka 
mempunyai keyakinan, ilmu kesaktiannya akan lumpuh bila- 
mana berani berurusan dengan perempuan. Apalagi berhubungan 
dengan perempuan penghibur yang bukan isterinya merupakan 
pantangan berat bagi para warok sejati. Hanya para pedagang 
dan petani yang biasa mencari kesenangan dengan perempuan- 
perempuan nakal seperti ini, sehingga mereka tidak memiliki 
kekuatan kedigdayaan yang linuih. Mereka itu dikenal dari 
kalangan orang-orang yang memanjakan din, mau mengorbankan 
kekuatannya sima oleh perempuan-perempuan nakal ini. 
Tetapi tidak sekali-kali bagi seorang Warok sejati, ia tidak mau 
berbuat mesum seperti itu, 1a lebih sayang pada kekuatan 
kesaktiannya daripada untuk menikmati kehidupan yang 
"mencong" demikian ini. 


Warung Randil di tengah sawah itu, kalau malam kelihatan 
kerlipan lampu merah menyala. Tamunya memang biasanya 
banyak yang datang pada malam-malam dingin seperti ini. 
Semua tamu, laki-laki. Dan yang berjualan, atau penghuni 
warung ini ada tiga belas orang, semuanya perempuan. Bila 
malam, warung itu tidak jualan nasi, hanya wedang kopi, 
jamu-jamuan, atau khusus menyediakan jamu kuat lelaki, dan 
jajanan gorengan. Tapi warung ini tidak pemah sepi dari 
pengunjung yang semuanya laki-laki itu. Baik laki-laki tua 
maupun laki-laki muda, sering datang berjubel memenuhi 
bangku- bangku di luar maupun di dalam warung ini 


Penjaganya ramah-ramah, berpakaian kebaya ketat kelihatan 
sedet sehingga memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh perempuan 
itu. Warna pakaian yang dikenakan biasanya selalu menyolok 
untuk memancing perhatian laki-laki yang menatapnya. 
Mukanya penuh bedak menor-menor. Bibimya dipolesi gincu 
merah menyala untuk memancing birahi laki-laki para tamu di 
warung itu. Bau minyak wangi yang disebar agak keterlaluan 
menyengat hidung. Suasana itu yang membuat kesengsem bagi 
para laki-laki yang krasan nongkrong berlama-lama di 
Warung Randil ini.


Apabila di antara mereka yang berkunjung ke Warung Randil 
ini, setelah ngobrol ngalur-ngidul ada kecocokan. Salah 
seorang laki- laki tua menyodorkan cangkir kopinya itu, sambil 
berkata kepada salah seorang pelayan yang memakai baju 
kuning langsat itu, nampak masih seperti gadis remaja 
ingusan. 


"Tolong ini, wedang kopi Bapak dibawa masuk sana, Nduk" 
kata laki-laki tua itu sambil tak acuh berjalan pelan menuju 
pintu masuk ruang dalam itu. 


Sambil senyum-senyum dikulum, agak malu-malu kucing, 
perempuan yang sehari-harinya dipanggil Menik itu membawa 
cangkir wedang kopi Pak Tua itu masuk ke bilik belakang 
warung sambil diikuti Pak Tua yang berjalan tertatih-tatih itu. 
Perempuan itu sempat memperhatikan celana kolor panjang 
hitam yang dipakai Pak Tua itu, terlihat maju ke depan 
sehingga nampak Pak Tua itu sulit berjalan, rupanya Pak Tua 
itu sudah kebelet banget. Menik hanya senyum-senyum mem- 
perhatikan tamunya yang tua itu temyata masih doyan perempuan 
muda, yang sebenarnya laki-laki tua itu patut dipanggil seusia 
kakeknya. 


"Aku sudah tua, bayarnya separo saja, yah Nduk," kata laki- 
laki tua itu kalem, sambil menaruh sarungnya di atas kursi. 


Menik yang merasa diajak bicara itu hanya mencibir 
mencemooh laki-laki pelit langganan tetap Warung Randil 
ini. 


"Boleh saja Mbah, asal tidak sampai keluar. Dan masuknya 
juga setengah," bantah perempuan centil itu lebih ketus lagi. 


"Huss pomo...omongan cabul itu. Ngomong, rusuh itu. Jangan 
berkata begitu lagi. Nanti kedengaran orang tidak baik untuk 
omongan anak kecil seperti kamu itu. Jangan biasa bicara rusuh 
begitu yah. Tidak baik," jawab laki-laki tua itu dengan 
memasang wajah angker. Menik hanya senyum-senyum saja 
melihat tingkah Pak Tua yang kelihatan sudah penasaran 
enggak tahan itu, tapi masih sempat-sempainya bergaya 
menasehati segala. 


"Habis maunya enaknya sendiri. Saya kan bekerja Mbah. 
Kalau Embah mau naik lembu milik sendiri untuk membajak 
di sawah, bisa enggak bayar. Tetapi kan tiap harinya ngasih 
makan. Jadi kalau mau naik lembu orang lain, kan harus bayar. 
Soalnya tidak ngasih makan tiap harinya." 

"Eh anak kecil sudah pinter ngomong ya. Sudah diterima saja 
ini. Embah baru ada uang sedikit. Nanti Embah kembali lagi 
bawa uang yang banyakkkkk. Tahu enggak, Nduk. Embah ini 
jelek-jelek begini orang kaya, banyak duit," sergah laki-laki 
yang rambutnya sudah memutih semua itu, mencoba merayu, 
nampak ia sudah kepengin cepat-cepat mendekap Menik yang 
behenot itu. 


"Emoh aku, berkali-kali kemari cuma dijanjikan. Capek aku 
Mbah. Katanya orang kaya, banyak duit, tetapi kalau mengasih 
persenan, cuma sak cuil. Apa itu bukan orang tua pedit,” kata 
Menik sambil memperlihatkan muka cemberut bersungut-sungut. 


Akhimya laki-laki tua itu mengalah. Memberikan semua 
uangnya yang ada diikat pinggangnya yang melingkar besar di 
perut buncit itu. Masih ditambah lagi sebuah jam tangan mode! 
pembesar kerajaan Majapahit yang dibelinya mahai selama 
menjadi mandor, bekerja menjadi orangnya Juragan Gendut 
dahulu. Juragan Gendut itu nama seorang pedagang kaya di 
daerah kidul yang mempunyai pengaruh di masyarakat karena 
bergaul akrab dengan para jagoan di daerah itu sebagai 
pemeras. 


"Sudah Nduk hayo segera sana," kata Mbah Durjo, nama 
laki-laki tua yang bekas mandor tebu perkebunan milik Juragan 
Gendut itu, kelihatan sudah makin tidak sabar lagi melihat 
perempuan dihadapannya yang sudah membuka kutangnya itu 


Suara tetabuhan klenengan selalu terdengar di malam hari itu 
yang dimainkan oleh sebagian perempuan-perempuan 
penghuni Warung Randil itu untuk memberikan hiburan segar 
kepada para pengunjungnya. Asap rokok yang terus mengepul 
memenui ruangan tamu itu, serta sajian minuman tuak, arak 
kental yang membikin mabuk orang. Mereka teler karena 
kelewatan banyak minum. Di Warung Randil ini sering pula 
terjadi perkelahian antar para tamu. Hanya lantaran berebut 
pelayanan perempuan, sering menjadi pangkal keributan antar 
laki-laki tamu Warung Randil ini. Para penjahat, perampok, 
begal tumplek blek semuanya jadi satu dengan para pedagang yang 
biasanya membawa pengawal, dan sering tidak tanggung-tanggung 
mereka banyak yang berkerumun di Warung Randi! ini untuk 
berebut perempuan-perempuan kenes yang sengaja menyediakan 
diri untuk keperluan pelepas hajat bagi kaum laki-laki nakal. 


Tengah malam, diluar terdengar ada serombongan tamu yang 
mengendari Dokar. Tidak berapa lama, ada lima orang laki-laki 
dengan muka kumal memasuki pintu depan warung Randil 
ini. 


“Selamat malam," kata salah seorang dari mereka itu. 


"Selamat malam. Mari, Pak. Silakan masuk. Silakan duduk," 
kata salah seorang perempuan penghuni warung Randil yang 
mengenakan baju berwarna hijau pupus itu menyambut 
kedatangan rombongan laki-laki itu dengan ramah. 


Kelima laki-laki itu tidak duduk, mereka tetap berdiri sambil 
mata mereka memandang satu per satu laki-laki lain yang pada 
duduk di ruangan tunggu depan yang sedang menikmati minuman 
wedang dan menyedot udutnya, rokok Tingwe “nglinting 
dewe" yang asapnya memenuhi ruangan itu. 


"Tolong aku butuh lima perempuan, sekarang." Tiba-tiba salah 
seorang laki-laki yang baru datang itu langsung saja mau 
masuk ke dalam ruangan bilik tengah. "Mana yang kosong." 


"Maaf. Pak. Biliknya sedang penuh. Terpakai semua, Pak. 
Silakan bersabar menunggu, sambil silakan mau minum apa,” 
kata Wajinem perempuan langsing yang sejak tadi menyambut 
dengan senyum keramahannya itu. 


"Aku tidak bisa menunggu. Suruh bubar dulu itu yang sudah 
di dalam bilik. Aku mau pakai dulu.” 


"Sabar, Pak. Sabar. Silakan duduk dulu, Pak." 
"Tidak bisa." 
Kelima laki-laki itu terus saja memaksa masuk ke dalam. 


"Pak. Pak, tolong yang sopan tho, Pak" pinta Wajinem 
berusaha menenangkan kelima laki-laki tamunya yang baru 
datang itu. 


"Maaf, aku tidak bisa sabar," jawab laki-laki itu lagi dengan 
bertolak-pinggang bak seorang jagoan yang sedang mencan 
mangsa. 


"Hae cecurut. Jangan sok mau jadi jagoan di tempat Ini." 
Tiba- tiba terdengar suara laki-laki mantab yang ternyata 
dari salah seorang tamu juga yang sedari tadi duduk- 
duduk tenang bersama tamu-tamu lainnya menunggu di 
ruang depan itu. 


Mendengar suara taki-laki itu, kelima orang tamu yang baru 
datang itu langsung membelalakan matanya tertuju lurus 
kepada seorang laki-laki yang nampak duduk-duduk tenang di 
bangku sudut ruangan tamu itu. | 


"Apa tadi kamu bilang," kata salah seorang dari kelima laki- 
laki itu. 


"Aku bilang, kalian berlima ini tahu aturan tidak. Baru datang 
mau minta didahulukan. Memang kalian ini apa. Duduk." 
bentak laki-laki berwajah tenang itu. 


"Bajingan, berani-beraninya kamu memerintah aku. Akan aku 
habisi kamu anak kadal. Hayo kita selesaikan diluar," balas 
salah seorang laki-laki yang kelihatannya menjadi salah 
seorang dari pimpinan mereka. 


“Hae, kalau mau jadi jagoan jangan main keroyokan begini," 
kata laki-laki berwajah tenang itu. "Kalau kalian memang 
laki-laki jantan. Keluar satu per satu. Satu lawan satu jangan 
main anak banci beraninya keroyokan. Hayo siapa yang mau 
duluan. Keluar. Lainnya tunggu, duduk di sini." Kata laki-laki 
berwajah tenang itu sambil bangkit dari tempat duduknya 
menuju pintu keluar warung Randil itu. 


Kelima laki-laki itu saling pandang di antara mereka untuk mem- 
pertimbangkan tantangan berkelahi dari laki-laki berwajah 
tenang itu. 


"Kamu saja," kata salah seorang itu. yò 
"Jangan aku, kamu saja," jawab yang ian. 


"Kamu saja yang lebih siap, aku sedang capek," kata yang 
lainnya lagi. 

Agak lama kelima orang laki-laki itu berunding, tidak bisa 
segera mengambil keputusan, siapa yang lebih dulu harus 
melawan laki-laki berwajah tenang itu tadi yang sudah 
menunggu di luar. 


"Haeee, banciii. Hayo siapa yang mau keluar dulu," terdengar 
teriakan keras laki-laki tadi dari luar. Para tamu lainnya yang 
melihat adegan ini hanya pada senyum-senyum, tenang. 
Demikian juga para perempuan penghuni Warung Randil itu, 
menganggap pemandangan demikian ini sudah terbiasa. Sering 
terjadi. Tidak terlintas muka cemas di antara mereka yang ada 
di situ. Mereka masih terus bercanda tenang-tenang saja 
merasa tidak terganggu oleh orang-orang sedang ribut mau 
mengadu kejantanan itu. 


Karena lama, kelima laki-laki itu belum ada juga yang keluar, 
maka laki-laki berwajah tenang itu masuk kembali. 


"Hae, cecunguk tunggu apa lagi. Tadi katanya mau jadi jagoan. 
Siapa yang mau jadi jagoan, Heh." 


Kelima laki-laki itu saling pandang. Tidak ada yang menjawab. 
Rupa-rupanya sebuas apa pun laki-laki, kalau mereka sudah 
biasa main perempuan, lama-lama kebuasannya hanya hanya tinggal
dalam gertakannya saja, tetapi nyalinya makin menciut 
menghadapi laki- laki lain yang lebih tegar. Mereka kehilangan 
sikap letegnya yang tersisa tinggal hatinya yang kecut. Jadi 
penakut. 


“Hai, cecurut. Kalau tidak berani satu lawan satu. Hayo kalian 
maju barengan. Tapi jangan lagi main seroborterhadap perempuan- 
perempuan di sini. Harus sabar ngantri. Tahu. Itu aturannya..." 
belum selesai laki-laki berwajah tenang itu habis bicara, kelima 
orang laki-laki itu sudah maju menyerang bersama. Sehingga, 
laki-laki berwajah tenang yang ternyata bemama Surodarbo 
Itu, segera melakukan gerakan hindaran dengan cara melingkar 
mundur, meloncat keluar ruangan yang kemudian diikuti oleh 
gerakan kelima laki-laki itu yang terus berhamburan menge- 
jarnya. 


Pertarungan keroyokan itu tak terelakan lagi. Surodarbo ternyata 
bukan laki-laki sembarangan. Ia memang biasa duduk-duduk 
mangkal di Warung Randil ini, tetapi bukan untuk tidur dengan 
perempuan-perempuan di sini, ia hanya perlu mencari hubungan 
kerja dengan para tamu laki-laki untuk menjalin hubungan 
dagang, menawarkan barang-barang dagangan, atau mencarikan 
pembeli. Jelasnya, ia itu pekerjaannya makelar segala rupa 
urusan. Untuk mendapatkan kontak mitra dagang, sering 
nongkrong di Warung Randil ini. Tujuannya untuk mendapatkan 
obyekan dagangan dari para tamu yang hadir di sini. Namun, 
walaupun ia tidak pernah tidur dengan perempuan di sini, para 
penghuni Warung Randil ini memakluminya, sebab ia juga 
membayar makan dan minumnya dengan royal. Demikian juga 
kalau obyekan makelarannya berhasil ia tidak sayang-sayang 
lagi membagi keuntungan kepada perempuan-perempuan 
penghuni Warung Randi! itu dalam jumlah yang tidak sedikit. 
Laki-laki seperti Surodarbo ini, masih memilik: sikap tereg, 
berani menghadapi lawan, dan memiliki ketangguhan ber- 
tarung, lantaran ia menjauhi berhubungan secara brutal dengan 
sembarang perempuan. 


Lain lagi bagi kelima laki-laki tadi yang tahunya uang dan 
perempuan. Semua dianggap bisa dibeli dengan uang, maka 
ketika harus berhadapan dengan laki-laki teguh yang berhati 
teteg, seperti Surodarbo ini hati kehma laki-laki itu tadi menjadi 
kecut, pendiriannya goyah memperlihatkan kecemasannya yang 
mendalam. Muncul sikapnya yang pengecut. 


Pertarungan lima lawan satu itu berlangsung seru. Surodarbo 
sebenarnya juga kewalahan menghadapi kelima laki-laki yang 
menyerang sekaligus itu. Karena sebenarnya ilmu kanuragan 
yang dimiliki juga masih tanggung. la hanya sekedar bisa 
berkelahi, tetapi tidak memiliki ilmu kanuragan tinggi. Perhi- 
tungannya tadi, setinggi apa pun ilmu kanuragan yang dikuasai 
oleh pihak lawan, tetapi kalau hati para laki-laki itu tidak 
mantab, menjadi pengecut, maka ilmunya itu tidak akan banyak 
gunanya, gerakannya akan goyah dan mudah dirobohkan. 
Namun karena kini mereka bertarung secara keroyokan, hati 
mereka berlima menjadi bersatu bulat kuat, sehingga 
Surodarbo terus terdesak oleh serangan-serangan yang 
meluncur dari berbagai jurusan itu. 


Orang-orang penghuni warung Randil, dan para tamu laki-laki 
lainnya, tidak ada yang peduli terhadap perkelahian mereka 
diluar itu, Mereka tetap tenang-tenang saja dengan urusannya 
sendiri-sendiri. Tidak ada yang mau ikut campur atan mau 
memisah mereka yang berlaga itu. Yang di dalam bilik tetap 
saja asyik melakukan kegiatan kesenangannya masing-masing. 
yang bercanda ria diluar ruangan juga tetap seperti semula. 
Mereka merasa tidak terganggu. 


"Brukkkk. Brakkkk" tiba-tiba terdengar suara keras. Salah 
seorang laki-laki dari kelima orang tadi ada yang terpental jatuh 
sampai masuk ke dalam ruang tamu itu terjatuh tepat di atas 
meja yang penuh makanan dan wedang kopi panas. Semua 
orang yang sedang enak-enaknya duduk-duduk melingkari 
meja itu pada kaget terhenyak minggir. Laki-laki yang terjatuh 
itu berteriak kesakitan. 


"Aduh, sakittittt," teriaknya. Ternyata ia kesakitan pantatnya 
terkena wedang kopi panas yang sedang tersaji di meja itu. 


Nampaknya perimbangan kekuatan itu kini mulai beralih 
kepada keunggulan Surodarbo. Dengan berkurangnya satu 
orang kekuatan, empat orang laki-laki lain yang masih tersisa, 
hatinya mulai kecut. Sebelum, Surodarbo menghajar lebih 
lanjut, rupanya diluar dugaan, satu per satu laki-laki itu menyerah, 
mengaku kalah, sebelum kalah, Hatinya menjadi miris, dan 
nyalinya hilang. Lebih baik menyerah daripada kalah. 
barangkali demikian yang ada dalam benak rombongan laki- 
laki pengecut itu. Inilah yang mungkin menjadi perhitungan 
Surodarbo dalam melakukan perkelahian ini, kalau ia harus 
melawan kelima orang laki-laki itu sekaligus secara pembagian 
kekuatan merata, ia akan kehabisan jurus-jurusnya, akan tetapi 
kemudian ia mengubah taktiknya. Merobohkan salah satu 
orang yang diperkirakan paling lemah, tujuannya untuk menu- 
runkan nyali yang lain. Dan nantinya yang terakhir tinggal 
menghadapi orang yang terkuat. Agaknya siasat berketahinya 
ita, Jitu juga. Maka ketika salah seorang dijatuhkan dengan 
serangan kekuatan penuh, yang lainnya jadi ikut miris, 
kemudian mau menyerah satu per satu. Mereka pada duduk 
Jongkok menyembah-nyembah Surodarbo minta diampuni. 
Melihat musuh-musuhnya itu menyerah, Surodarbo bukannya 
terus menghajar lebih lanjut, tapi ia langsung maju menunjukkan 
jiwa satrianya. Satu per satu disalami, dirangkul seperti
layaknya menghadapi seorang teman lama.


"Hayo konco-konco, kita minum-minum dulu ke dalam," kata
Surodarbo kemudian menunjukkan sikap bersahabatnya.


"Ter terima. Ter...terima kasih, Kangmas” kata salah seorang 
laki-laki itu gemetaran. 


Tidak berapa lama kelima laki-laki itu nampak sudah berkumpul 
akrab di dalam ruangan dalam warung Randil itu bersama 
Surodarbo. Terlihat muka mereka babak belur termasuk muka 
Surodarbo sendiri juga banyak lukanya. Para perempuan yang 
sedang tidak "bertugas" itu kemudian membuatkan ramuan 
untuk mengobati luka-luka para tamunya yang habis berkelahi 
itu. Nampak, ada perubahan sikap pada kelima laki-laki itu, 
mereka menjadi begitu sopan dan menghormati terhadap tamu- 
tamu lainnya. Mereka kemudian satu per satu secara bergiliran 
dan antri mendapatkan pelayanan dari para perempuan 
penghibur itu di belakang bilik dalam. 


"Kangmas Darbo. Piring-piringku jadi pecah semua. Harus 
diganti,” kata Marinah, perempuan warung itu yang rupanya ia 
yang bertangung jawab sebagai penyedia makanan-makanan 
di situ, mengeluh piring-piringnya banyak yang pecah terkena 
hempasan tubuh laki-laki yang terlempar ke dalam tadi ketika 
berkelahi melawan Surodarbo itu. ; 


“Jangan khawatir, Mbakyu. Ini aku ganti semua piring yang 
pecah, berapa banyak,” kata Surodarbo sambil berdiri bero- 
goh uang keping di kantong belakang celana kolor hitamnya 
itu. 


"Tiga ribu lima ratus keping," kata Marinah. 


"Jangan. Pak. Jangan, Pak. Saya saja yang mengganti mem- 
bayarnya." Tiba-tiba laki-laki yang tadi bermusuhan dengan 
Surodarbo itu berdiri sambil mengulurkan uangnya. Surodarbo 
hanya tersenyum dan tidak jadi menyerahkan uangnya karena 
sudah ada yang membayar lebih dahulu dari laki-laki itu yang 
nampak ingin memperlihatkan persahabatannya itu. 


"Terima kasih ya Kangmas," kata Marinah kenes sambil 
menerima uang pemberian laki-laki kumel itu. 


Ketika seharusnya sampai pada giliran Surodarbo untuk masuk 
ke kamar bilik dalam. Laki-laki kumel itu mempersilakan 
kepada Surodarbo. 

"Silakan, Pak." 


“Ohhh, jangan. Sampeyan saja dulu." kata Surodarbo kalem. 


"Hayo Kangmas, pengin dilavani siapa ?," kata Marinah 
kepada laki-laki kumel itu setengah merayu karena ia tahu 
ternyata laki-laki kumel itu mempunyai uang banyak. 


Laki-laki kumel itu nampak kebingungan, seharusnya ia lebih 
akhur daripada Surodarbo tetapi malahan ia yang dipersilakan 
masuk lebih dahulu. 


"Pak Suro saja dulu," katanya lagi kemudian. 


"Tidak. Tidak usah, silakan sampeyan saja,” kata Surodarbo 
memperlihatkan sikap simpatinya. 


Para perempuan di warung itu sudah tahu kalau Surodarbo 
tidak akan bakalan mau menjamah perempuan, selama ini ia 
tidak pernah main perempuan di sini, ia hanya datang untuk 
duduk-duduk, makan dan minum dan mencari kenalan hubungan 
dagang dengan para tamu laki- laki di situ, oleh karena itu 
perempuan itu segera menarik lengan laki-laki kumel, 
tamunya itu yang temyata bemama Turonggo Jinggo seorang 
pedagang keliling. Dari sini, Surodarbo kemudian mendapatkan 
hubungan dagang baru. Ia mendapatkan pesanan dagangan dari 
rombongan pedagang Turonggo Jinggo ini.


Begitulah kehidupan Warung Randil yang terletak di sebelah 
kulon kota kadipaten Ponorogo ini. Walaupun sering terjadi 
perkelahian seru antar para tamunya yang bisa membawa 
celaka, mendatangkan bahaya, dan bertaruh nyawa, namun 
warung yang satu ini, memang tetap saja menjadi pusat perhatian 
bagi para laki-laki iseng yang suka jajan mencari suasana 
lain yang "menghanyutkan", sehingga mereka sering lupa 
daratan. 


2
PERAMPOKAN 


MALAM makin bertambah kelam, satu per satu laki-laki 
Man warung Randil itu meninggalkan ruangan-ruangan 
warung itu. Tempat menarik yang menjadi hiburan para laki- 
laki hidung belang itu. Warung Randil itu ditinggali sebanyak 
tiga belas orang, semuanya perempuan. Tiap tengah malam 
hampir terdengar suara canda ria mereka. Sambil bercengkerama 
cekikikan menghitung penghasilannya masing-masing hari itu. 
Sanjah, perempuan yang paling tua di warung itu, berwajah 
bulat dan berbadan gembrot, ternyata mendapatkan penghasilan 
paling banyak. 

“Kamu sudah berjalan berapa banyak, Mbrot", panggil temannya 
yang dipanggil Srintil. 

"Enggak banyak, cuma dapat sebelas," jawab Sarijah Gembrot 
sambil tak acuh. 


“Gila. Rakus amat... Sebelas masih kurang. Bilangnya cuma 
lagi," tukas Srintil nampak memperlihatkan wajah ngiri. 


"Bukan mauku. Aku hanya mau uang ini. Tapi mereka yang 
butuh aku. Jelek-jelek begini, kita ini sebenarnya termasuk 
perempuan-perempuan yang berjasa. Coba saja kalau tidak ada 
kita di sini, siapa yang bertanggungjawab kalau para laki-laki 
hidung belang itu pada gelisah. Dengan adanya kita ini, kita 
berjasa meredamkan mereka. Betul enggak, Til," kata Sarijah 
Gembrot kepada teman bicaranya Srintil itu yang hanya 
cengar-cengirmendengarkan ocehan si Sanjah Gembrot itu. 


"Hus, ngomong ngawur saja kamu," sergah Rukinem yang 
duduk di sebelahnya agak membentak. Lainnya yang mendengarkan 
pada ketawa cekikikan. 


“Orang ngomong pakai mulutnya sendiri kok dilarang," kata 
Sarijah, perempuan paling gembrot itu sambil menuju ke 
belakang. 


"Mau kemana kamu, Mbrot, kok dastermu kamu angkat- 
angkat tinggi ke atas itu kelihatan bokong kamu kayak bola 
kendil kembar. Mau apa kamu," tanya Watik yang sejak tadi 
memperhatikan tingkah Sarijah Gembrot yang terkenal 
berpantat paling besar itu. 


“Mau berak. Tapi tidak ada air. Mau enggak antar aku ke 
sungai,” ujar Sarijah yang masih terus mengangkat dasternya 
yang gombyor, tidak memakai celana dalam, sehingga silitnya 
kelihatan membelah bokongnya yang membulat kehitam- 
hitaman itu, sedari tadi ia mondar-mandir mencari air untuk 
cebok sehabis berak. 

"Tolong yok, antar aku ke sungai," pintanya lagi kepada teman- 
temannya. 


"Enggak mau, gelap begini. Sudah tunggu besuk pagi saja. 
Kamu sih kebanyakan nelan ketela pohong. Pakai sakit perut 
segala." Yang disindir cuma nyengir. "Sudahlah, silit kamu 
yang habis berak itu dibersihkan saja pakai daun pisang itu. 
Sebentar lagi hari sudah pagi," kata Watik lagi. 


Dari San Kama sebelah terdengar temannya yang lain 
sedang asyik ngobrol membicarakan profesinya sebagai 
perempuan penghibur. 


"Tik, kalau dipikir, itu semua laki-laki yang datang ke warung 
la sudah pada punya isteri. Kenapa ya masih butuh kita juga." 
Barangkali cuma iseng." 


"Masak iseng hampir tiap hari pergi kemari. Jadi langganan 
kita. Jadi untuk apa isterinya di rumah. Padahal kalau dilihat 
seperti Pak Ronggodigdo itu, isterinya cantik, badannya bahenol. 
ia rajin cari duwit jualan di pasar, apa perlunya ia datang ke 
sini. Padahal mereka hanis bayar kita." 

"Ach...dasar laki-laki saja." 


“Iya. Memang benar dasar laki-laki, tetapi mengapa tidak 
dimananfaatkan yang sudah tersedia di rumah saja," 


"Kalau ia manfaatkan di rumah, kita jadi bangkrut." 

"Bukan begitu jawabnya, barangkali kita ini punya kelebihan." 
"Apanya yang kelebihan," 

"Yaitu menarik minat laki-laki untuk lengket sama kita." 
“Sudah aku ngantuk ngomong sama kamu. Saya mau tidur." 


"Jangan dulu tidur, Tik. Saya mau pengin tahu, kalau para 
warok yang gagah-gagah itu kenapa satu pun tidak ada yang 
mau singgah ke tempat kita di sini ini ya Tik." 


“Lho, kamu apa tidak tahu. Para warok itu akan hilang kesak- 
tiannya. Ilmu kekebalan tubuhnya akan luluh kalau mau main 
sama perempuan. Mereka bahkan banyak yang tidak mau 
punya isteri, takut luntur ilmunya. Mereka hanya memelihara 
anak laki-laki yang dinamakan gemblakan itu untuk 
menyalurkan hasrat syahwatnya, jadi bukan ngeloni perempuan 
kayak para pedagang dan petani langganan kita itu. Berkembang 
pendapat di antara sebagian para warok itu, kalau taki-laki mau 
berhubungan dengan perempuan, akan bisa menyerap 
kekuatan kelaki-lakiannya. Kemudian kelemahan yang ada 
pada tubuh perempuan itu yang tertular mengalir menyehmuti 
tubuh dirinya. Sehingga laki-laki itu akan jadi lemah gemulai 
seperti perempuan. Keperkasaannya hilang kesedot 
candraning wanito. Menurut keyakinan para warok itu. 
kalau laki-laki sudah kesengsem asmara, ketagihan berhubungan 
dengan perempuan, akan luluh kedigdayaannya. Hilang kesak- 
tiannya. Kulitnya akan jadi lunak, tulangnya ringkih, perutnya 
lumer, dadanya lembek, tangan dan kakinya lemas, maka daya 
linuihnya akan sirna. Lungkrah tidak berkekuatan. Kalau sudah 
demikian jangan harap lagi menjadi orang sakti, ia tidak akan 
lagi tahan terhadap bacokan, tusukan, keprukan, bantingan. 
Yang ada tinggal loyonya saja." 


“Hik... Hik...Hi...." kedua perempuan itu tertawa geli cekikikan. 


"Wah hebat juga ya Tik warok-warok itu. Tapi aku juga kasihan 
melihatnya, itu Iho kasihan sama nasibnya yah. Tiap pagi 
kalau kita mandi di sungai, saya perhatikan itu warok-warok 
itu, juga pada bisa berdiri kalau melihat kita sedang mandi 
telanjang. Jadi apa tidak risih dianggurkan begitu tiap hari. Jadi 
mereka sebenamya kan juga mampu berhubungan dengan 
perempuan ya." 

“Lho, para warok itu laki-laki normal. Mereka juga punya 
hasrat birahi, dan tentu juga tertarik sama perempuan. Tetapi 
mereka berusaha keras mengendalikan diri terhadap hasratnya 
itu, Menjaga kehormatan terhadap perempuan itu yang penting, 
karena untuk maksud memelihara ilmu kesaktiannya itu. Jadi 
jangan harap, walaupun kamu telanjang bulat dihadapannya, 
ia tak akan mau menjamahmu. Tidak bakalan. Yang rakus 
sama perempuan itu kan para pedagang itu, yang ada dalam 
otaknya cuma cari uang, dan cari perempuan. Kalau laki-laki 
jagoan sejati seperti para warok itu membuat aman para 
perempuan dimana-mana." 


"Jadi kalau kita-kita ini sebagai perempuan akan aman dihadapan 
para warok itu. Kita tidak bakalan dicaplok. Tidak mungkin 
dinodai. Begitu." 


"Ngomongmu koyok masih perawan saja, Tik. Pakai dinodai 
segala. Tentu saja tidak ada yang man menodai kamu, wong 
kamu sudah ternoda. Blong. Kalau kamu itu bukan dinodai, 
tapi menodakan diri. Hi... hi...” ketawa Srintil cekikikan 


"Ach. Aku ngomong serius. Kamu malahan meledek, Til," kata 
Watik dengan muka cemberut. 


"Iya, Kita tahu. Para warok itu kalau ngomong sama perem- 
puan tidak pernah memandang muka kita. Mukanya dihadapkan 
ke tanah. Jadi jangan coba menggoda mereka kalau kamu tidak 
ingin disambar sama motek yang tajam itu. Bersopanlah 
berhadapan dengan para warok itu. Bersikap wajar, jangan 
menggoda kayak menggoda tamu yang pada datang di pondok 
kita ini." 


"Hi...hi...," suara mereka berdua terlihat tertawa geli 
cekikikan. 

"Sudah Tik, saya mau tidur. Ngantuk." 

"Ya sudah, aku juga sudah ngantuk." 


Tiba-tiba dari ruang tamu depan terdengar seperti ada suara 
orang mengetuk pintu. 


"Siapa ?," tanya Sarijah yang nampak belum bisa tidur, perutnya 
sejak tadi masih mules-mules saja. 


"Saya Bu, nama saya Manggolo, apakah boleh saya menum- 
nang makan," jawab suara laki-laki itu dari balik pintu depan. 
Semua perempuan penghuni warung itu yang terbangun 
mendengar suara itu terdiam semua. Sarijah agak was-was 
menuju ruang tamu depan. Tetapi mendengar suaranya, 
kedengarannya orang baik-baik saja, maka dibukanya pintu 
tamu depan itu oleh Sanjah. 


“Silakan masuk," kata Sarijah menyilahkan tamunya yang 
ternyata seorang pemuda gagah tampan, tetapi berpakaian 
lusuh nampak tidak terurus. 

"Maaf Bu, saya mengganggu." 


"Oh tidak, Kangmas dari mana, dan mau kemana," tanya 
Sarijah setelah keduanya duduk berhadapan. 


"Saya sedang berkelana mencari Ibuku dan Bapakku. Aku 
mendengar dari orang-orang di sana, katanya rumah ini dihuni 
oleh ibu-ibu yang datang dari luar daerah, jadi aku mencoba 
kemari, siapa tahu Ibuku ada di sini." 

"Siapa nama ibumu." 

"Waijah Sarirupi." 

"Kalau saya, namanya Sarijah bukan Waijah. Apa aku 
ibumu." 


"Oh bukan, saya ditinggal bukan ketika masih bayi, tetapi 
masih anak-anak kecil, jadi saya sudah mengenalnya." 


"Ya, kalau saya sekarang sudah berumur 27 tahun, jadi tidak 
mungkin tho punya anak sudah segede Kangmas begini ini," 
kata- kata Sanjah yang jenaka itu mengundang ketawa perempuan- 
perempuan lain di sebelah kamar dalam. Kemudian mereka 
pada berhamburan keluar kamar, pengin tahu siapa tamunya 
yang malam-malam begini masih bertamu. Ketika melihat 
penampilan dan tampang Joko Manggolo yang gagah berwajah 
tampan itu, semua pada termangu-mangu sambil mem- 
perkenalkan diri masing-masing. Bahkan, ada yang tidak sadar 
segera membetulkan rambutnya dan pakaian tidurnya serta 
menambah goresan gincu dibibirnya agar kelihatan sopan dan 
menarik. 

"Perkenalkan nama saya, Watik.” 

"Saya, Manggolo." 

"Saya, Srintil." 

"Manggolo," 


Kemudian mereka berenam duduk berderet nampak sopan dan 
berhati- hati dihadapan Joko Manggolo, Mereka agaknya ingin 
memberikan kesan sebagai perempuan baik-baik. 


"Maaf Kangmas Manggolo," lanjut Sarijah, "Tadi kayaknya 
mengatakan mau numpang makan. Memangnya Kangmas 
belum makan." 

"Ya...bel...belum." 


“Saya ada sedikit makanan, tetapi entahlah, apa enak atau 
enggak. Soalnya sudah sejak tadi sore memasaknya," Sarijah 
kemudian bangkit mengambilkan makanan ke belakang. 
Kemudian, setelah itu, nampak Joko Manggolo makan begitu 
rakusnya dihadapan mereka, kelihatannya sedang lapar berat. 
Semua perempuan yang melihatnya tersenyum-senyum senang. 


"Kangmas Manggolo, sehabis makan, tolong ya, ganti saya 
yang man minta tolong," ujar Sarijah. 


"Ya, Buk," jawab Joko Manggolo. 


"Ee.. jangan panggil saya, Buk. Panggil Mbakyu saja. Saya kan 
masih muda, lagi pula masih menarik, bukan", jawab Sarijah 
makin genit sambil tersenyum-senyum merayu, semua yang 
mendengarkan pada ketawa cekikikan. Dan Joko Manggolo 
pun hanya bisa tersenyum tersipu-sipu. é 


"Minta tolong bagaimana Mbakyu,” ujar Joko Manggolo. 
"Antar aku ke sungai." 


"Boleh," jawab Joko Manggolo sambil mengambil minuman 
di cangkir yang terbuat dari bahan lempung itu, dan kemudian 
berdiri stap mengantar Sarijah. 

“Wah Mbrot, kamu sakit perutnya enggak habis-habis saja 
sejak tadi," kata si Watik yang terkenal suka cerewet, 
mengomentari kelakuan Sarijah gembrot. 


Malam gelap itu, hanya dengan membawa lampu obor, Sarijah 
jadi diantar ke sungai oleh Joko Manggolo tamu barunya itu. 
Sesampai di tepi sungai nampak airnya meluap tinggi. 


"Wah dimana ya ada tempat untuk jongkok," ujar Sanjab. 
“Itu Mbakyu, dekat bambu sana itu ada batu besar." 
"Oh ya ke sana saja." 


Di atas batu besar itu Sarijah sudah tidak tahan lagi menahan 
sakit perutnya, segera mengangkat kainnya tinggi-tinggi dan 
langsung jongkok di situ untuk melepaskan hajat besarnya di 
pinggir sungai itu. Dari pantatnya yang kehitaman itu ia nampak 
asyik menikmati, melepaskan gangguan kotoran dari perutnya 
yang mengganjal sejak tadi. Joko Manggolo yang memegangi 
obor didekatnya hanya tersenyum-senyum dikulum melihat 
tingkah jenaka perempuan gembrot yang baru saja mengasih 
makan dia itu. 

Dari kejauhan lamat-lamat terdengar seperti ada teriakan suara 
orang minta tolong. 


"Mbakyu seperti ada suara orang minta tolong." 


"Ya, di mana, yah. Dari mana datangnya suara itu," Sarijah 
yang sedang enak-enak ngising itu kaget dan langsung berdiri 
belum sempat cebok. 


"Seperti dari arah rumah Mbakyu." 
"Iya, ayo segera ke sana." 


Mereka berdua berlari-lari kecil segera bergegas menuju 
kembali ke rumahnya warung Randil. Setelah dekat rumah itu, 
Joko Manggolo menghentikan langkahnya. Sarijah yang 
mengikuti dari belakang memegangi erat-erat lengan Joko 
Manggolo. Terdengar suara dari banyak laki-laki di dalam 
warung itu. 


"Ha...ha...ha...hayo jangan teriak-teriak minta tolong. Siapa 
yang akan menolong kalian di tengah sawah sepi begini. Hayo 
serahkan semua penghasilan kalian hari ini, dan itu perhiasan 
kalian semua segera keluarkan," hardik suara laki-laki dari 
dalam rumah itu keras-keras. 


"Ampun Pak, kami tidak punya apa-apa," nampak suara Srintil 
meminta dibelas kasihani. 


"Kalian semuanya pelacur yah, hayo buka pakaian kalian satu 
per satu. Ini ada sepuluh anak buahku, layani semuanya, 
bentak laki-laki yang berkulit hitam kelam, tinggi besar, berkumis 
tebal itu, sambil memukul pantat Si Watik yang sejak tadi 
berdiri ketakutan tidak berani membuka celana dalamnya 
"Hayo cepat buka tapihmu ini, ndukkk” teriak laki-laki itu lagi 
dengan galak sambil sebilah pisau tajam merobek kain yang 
dikenakan Watik itu hingga terbuka bagian dalamnya. 


Rombongan perampok itu dengan rakusnya mengobrak-abrik 
semua almari pakaian perempuan-perempuan itu dan bila 
ditemukan uang atau perhiasan segera diraupnya. Semua anak 
buah laki-laki itu dengan kasar memperlakukan perempuan- 
perempuan itu seperti layaknya menaiki kuda tunggangan 
Ada seorang perempuan yang disuruh nyedit "digarap dari 
arah belakang. Saking ketakutannya tidak sengaja perempuan 
itu sampai terkentut-kentut keras "prettttniuttt” membuat laki- 
laki yang sedang enak-enak mendekamnya itu marah, dikira 
menyepelekannya. "Kurang ajar kamu kentuti aku, ya" hardik 
laki-laki itu sambil ukul keras bokong perempuan yang 
pantatnya nungging menghadap ke atas itu. Jerit kesakitan dan 
ketakutan terdengar dari perempuan-perempuan penghuni 
warung Randil yang tidak dipedulikan sama sekali oleh gerombolan 
laki-laki liar itu, Kelakukan yang kelewat brutal laki-laki yang 
merampok seperti ini biasanya oleh masyarakat Ponorogo 
disebut sebagai "Mengampak", atau pelakunya dinamai 
"Gerombolan Kampak". Orang-orang kasar ini benar-benar 
berbuat kejam dan tidak mengenal belas kasihan sama sekali. 
Senjata-senjata tajam yang mereka gunakan Semacam 
pedang besar yang diasah berkilat dinamai Berang", 
sehingga membuat makin menakutkan bagi orang yang 
menjadi korbannya. 


"Mbakyu, tolong tinggal di sini Sembunyi di belakang pohon- 
pohon itu. Aku akan mencoba menolong mereka," bisik Joko 
Manggolo kepada Sarijah di balik dedaunan pohon-pohon di 
kebon rindang itu. 


“L.n..yya..ya. Hat.. hati-hati, mereka berbahaya," jawab Sari- 
jah gemetaran menahan ketakutan sampai berkali-kali ia 
terkencing-kencing saking takutnya. 


Tidak berapa lama terdengar suara Bruk. Brakkkkkk Rupanya 
Joko Manggolo telah bertindak cepat dengan menendang salah 
seorang laki-laki yang sedang bernafsu mengangkangi paha 
seorang perempuan penghuni warung itu yang berteriak-teriak 
kesakitan, 


"Aduh, kurang ajar, siapa yang berani mengganggu aku," 
rupanya laki-laki itu yang menjadi pimpinan perampok itu. 
Dengan sigap dalam keadaan masih bugil ia bangkit berusaha 
menghindari serangan kaki Joko Manggolo yang terus 
menghunjam melepaskan tendangannya bertubi-tubi ke arah 
perut, leher, dan muka perampok itu yang terhenyak beberapa 
langkah tubuhnya menabrak dinding kamar sumpek itu. 


Malang bagi Joko Manggolo ketika ia terus menghantam laki- 
laki hitam itu, ia kehilangan kewaspadaannya, seseorang anak 
buah laki-laki perampok itu tidak diduga sebelumnya telah 
berhasil menyambarkan sebilah pisan tajam dari arah belakang 
mengenai sisi samping perut Joko Manggolo yang segera 
berlumuran darah. 


Melihat gelagat yang makin runyam itu, Joko Manggolo 
nampaknya tidak mau mengambil risiko lebih jauh, ia segera 
mengerahkan segala ilmu kanuragannya untuk secepatnya 
memberantas serangan yang mengeroyoknya dari berbagai 
penjuru, sebelum tenaganya sendiri terkuras kehabisan darah, 
ia harus mampu segera dapat menghardik semua anggota 
komplotan perampok itu. 


Dengan menggunakan gerakan jurus bajing loncat, dan jurus- 
jurus yang mematikan lainnya, Joko Manggolo, berhasil 
merontokkan perlawanan satu per satu orang-orang yang 
mengeroyoknya itu. Seorang demi seorang berjatuhan. Ada 
beberapa yang kemudian melarikan diri. Pimpinan perampok 
itu nampak sudah menghilang sejak tadi ketika mengetahui 
kehebatan laki-laki muda, Joko Manggolo yang nampak 
memiliki ilmu kanuragan lumayan tinggi itu. Tinggal dua 
orang yang nampak masih berusaha keras dengan semangat 
memamerkan jurus-jurus tipuan silztnya. Namun, Joko Manggolo 
rupanya sudah tidak sabar lagi menghadapi cecurut itu, dengan 
sekali gebrakan gerakan yang dilambari aji-aji "Rontok 
Karang” yang mengeluarkan percikan cahaya biru kuning 
merah bersilau dengan asap tebal membuat terjungkal kedua 
perampok itu jatuh tersungkur, menggelepar pingsan. 
Demikian juga kemudian, Joko Manggolo nampak mulai 
kehabisan tenaga dan terjatuh ke belakang di atas kasur di 
sebelah tubuh Srintil perempuan penghuni warung itu yang 
masih telanjang bulat habis diperkosa. Nampak kelelahan. 
Mukanya pucat. Badannya menggigil ketakutan. 


"Tolong, Mbakyu. Tutup pintu-pintu depan, dan carikan tali 
yang keras, ikat dua laki-laki itu sebelum mereka siuman," 
teriak Joko Manggolo kepada perempuan-perempuan yang 
masih pada telanjang bulat mondar-mandir kebingungan. 

"Juga tolong, Mbakyu Sarijah, ia masih sembunyi di belakang 
rumah, diminta segera masuk kemari, ia sembunyi di bawah 
pohon trembesi," perintah Joko Manggolo yang juga nampak 
mulai lemas terkuras tenaganya dan darahnya terus mengucur 
keluar. 


Masih dalam keadaan tidak berpakaian hanya ditutupi apa saja 
yang sempat disambar, perempuan-perempuan itu mondar- 
mandir segera bertindak sesuai yang diperintahkan Joko 
Manggolo. Mengikat kedua perampok itu, dan segera mencari 
Sarijah Gembrot di belakang rumah. 


Selanjutnya, perempuan-perempuan itu segera menolong Joko 
Manggolo yang tergeletak tak berdaya di atas kasur itu berlu- 
muran darah. Mengambilkan ramuan daun-daunan dan 
menempelkan pada luka-luka Joko Manggolo yang terus 
mengalirkan darah segar keluar dari bekas goresan tusukan 
tajam pada tubuhnya yang perkasa itu. 


Joko Manggolo berusaha bertahan, sambil ia menarik nafas 
dalam-dalam, berkonsentrasi untuk mengalirkan darah segar 
pada sekujur tubuhnya dan mengendalikan tenaga cadangan 
untuk memulihkan kekuatan phisiknya. Rupanya ramuan 
daun-daun yang diberikan oleh perempuan-perempuan itu 
segera memberikan reaksinya. Bersamaan dengan edaran 
darah bersih yang disalurkan dari udara melalui gerak perna- 
fasan yang dilakukan Joko Manggolo, lambat laun dapat 
mempercepat proses pemulihan tenaganya kembali seperti 
semula. 


3
PENGAKUAN 


SUDAH tiga hari ini sejak kedua laki-laki yang tertangkap 
di Warung Randil itu disekap oleh Joko Manggolo 
Itu Joko Manggolo masih belum sembuh benar dari luka- 
lukanya yang terus membengkak. Untung Sarijah Gembrot itu 
cukup paham mengenai pengobatan tradisiona! terhadap luka- 
luka bacok sehingga sangat membantu proses penyembuhan 
luka-luka Joko Manggolo itu. 


"Kangmas Manggolo, bagaimana lukamu ? Apa sudah agak 
lumayan, tidak sakit lagi,"
"Iya, Mbakyu. Rasa nyeri itu kini rasanya sudah sangat jauh
berkurang."

"Mau aku pijat agar badan tidak kaku." 
"Kalau Mbakyu tidak keberatan. Terima kasih." 


Tidak berapa lama Sarijah Gembrot itu memijat kaki Joko 
Manggolo yang nampak agak bengkak kemerahan, mungkin 
akibat waktu malam itu ia terkena pukul kayu keras oleh para 
perampok itu. 


Joko Manggolo sementara ini dirawat menempati kamar Sarijah. 
Sebelum kedatangan Joko Manggolo, Sarijah biasanya selalu 
tidur satu kamar sendirian, tidak ada teman perempuan lainnya 
yang mau menemani tidur sekamar dengannya. Sebab melihat 
badannya yang besar itu, sehingga teman perempuan yang 
tidur bersamanya terasa sangat sumpek tidak kebagian tempat 
yang hampir terisi semua oleh tubuh Sarijah yang besar itu. 
Selama Joko Manggolo tinggal di tempat tidur Sarijah, kalau 
sudah kecapekan, Sarijah itu langsung ikut tidur di sebelah 
Joko Manggolo, dan biasanya tidak banyak cakap lagi ia 
mudah tertidur telap. 


Kebiasaan Sarijah tidur dengan membuka bajunya, hanya 
memakai kutang. Ia sangat merasakan udara panas daerah itu, 
apalam oleh badannya yang gembrot itu, membuat ia mudah 
kepanasan. Malam itu, Joko Manggolo yang merasa terdesak 
oleh badan Sarijah yang besar itu hampir terjatuh dari tempat 
Gdumya, sehingga ia terjaga dari tidurnya. Dalam keremangan 
cahaya lampu teplok ia sempat memperhatikan wajah Sarijah 
yang sedang tertidur pulas itu. 


Dalam benak Joko Manggolo. "Perempuan ini memang pem- 
bawaannya tidak pedulian. Acuh tak acuh saja. Hidupnya 
kelihatan tanpa beban. Bebas merdeka begitu." Apa barangkali 
1a sudah terbiasa melayani laki-laki tiap hari sehingga ia tidak 
perlu risih bersanding dengan laki-laki lain seperti halnya 
malam ini ia bersanding dengan Joko Manggolo. Tidur hanya 
mengenakan kutang. Kainnya nampak tersingkap memperli- 
batkan pangkal pahanya tanpa mengenakan celana dalam. 
Begitu polosnya ia itu. 


Joko Manggolo kemudian mencoba tidur kembali mencari 
tempat yang masih tersisa untuk merebahkan badannya yang 
masih agak lemah itu di samping sebelahnya Sarijah itu. 
Beberapa waktu kemudian, selagi ia membolak-balikkan 
badannya, timbul semacam perasaan aneh. Seperti datangnya 
kerinduan seorang anak kepada ibunya. Joko Manggolo, 
adalah perwujudan laki-laki yang sering mudah tertarik kepada 
tipe perempuan yang berusia di atasnya. Atau paling mudah 
tergetar perasaannya oleh perempuan yang jauh berusia di 
atasnya. Ada semacam kesenangan bathiniah dan emosional 
yang terpuaskan, apabila ia bisa merasakan nikmatnya 
berkomunikasi secara baik dengan perempuan-perempuan 
yang jauh lebih tua dari umumya. Ia nampaknya menderita 
gejala Odipus kompleks, sebagai peristilahan yang lazim 
digunakan dalam perkembangan ilmu kejiwaan di dunia 
moderen masa-masa selanjutnya. 


Lama sekali Joko Manggolo memperhatikan Sarijah yang tidur 
pulas di sebelahnya itu. Ia mulai membayangkan puting susu 
Sarijah yang moncong di balik kutangnya itu. Ia teringat akan 
emboknya dahulu ketika masih kecil sering ngeloni dia. Terasa 
tenteram, dan menyenangkan. Saat-saat masih menyusui 
dahulu, ia merasakan betapa nikmatnya. Tiba-tiba timbul 
perasaan seperti pada masa kanak-kanaknya dahulu. Dengan 
gemetaran, Sarijah diperlakukan seperti layaknya seorang bayi 
yang menyusu kepada emboknya. Sarijah lama-lama juga 
mulai tersadar dari tidurnya yang lelap itu ketika ia merasakan 
ada yang mengganggunya. Tanpa disadari, Sarijah mulai timbul 
gairahnya. Ada perasaan ingin diperlakukan lebih jauh. Pelan- 
pelan Sarijah menurunkan kainnya ke bawah. Joko Manggolo 
hanya sempat memperhatikan perut Sarijah. Pikiran Joko 
Manggolo "Aku dulu ketika belum lahir, keberadaanku di 
dalam perut yang membulat besar seperti ini". Kemudian ia 
perhatikan ke bagian bawah pusar Sarijah itu. Terdapat bagian- 
bagian “Itulah jalan keluarku ke dunia ini. Tetapi siapa laki-laki 
yang telah berani-beraninya berlaku kurang ajar itu, sehingga 
mengakibatkan kelahiranku ini. la adalah laki-laki yang tidak 
bertanggung jawab. Kemana mereka berdua itu sekarang 
perginya." 


"Mengapa terbengong-bengong begitu, Kangmas Manggolo. 
Belum pernah tho melihat perangkat perempuan ini," kata 
Sarijah tiba-tiba sehingga menyadarkan Joko Manggolo dari 
lamunannya. "Jangan hanya dipuaskan oleh pandangan saja, 
Kangmas Manggolo. Cobalah." 


"Ma...af...maaf.... Tidak, Mbakyu. Ja...Jangan, Mbakyu,” kata 
Joko Manggolo tergagap tersadar dari lamunannya terhadap 
kedua orang tuanya yang telah lenyap meninggalkan dirinya 
ketika masih bocah. 

"Lho, kenapa. Mesti ragu-ragu." 


"Mereka yang menjadi perantaraan kelahiranku di dunia ini, 
kini semuanya menghilang meninggalkan aku sendirian. 
Tanpa ada rasa tanggung jawab. Ini sama sekali tidak aku 
mengerti. Aku tidak mau mengulang kesalahan untuk kedua 
kalinya dalam hidupku." kata Joko Manggolo sambil keluar 
keringat dinginnya menahan amarahnya. Ia masih ingat akan 
petuah gurunya, "Bagi seorang Warok sejati, berpantang 
berhubungan sebadan dengan perempuan," begitu kata Warok 
Wirodigdo gurunya ketika itu di suatu hari kepada Joko Manggolo.

 
"Mbakyu. Mohon maaf. Aku bercita-cita akan hidup sebagai 
warok sejati." kata Joko Manggolo setengah terengah-engah 
menahan gejolak emosinya. 


"Hah. Jangan, Kangmas Manggolo." kata Sarijah kaget demi 
mendengar kata-kata Joko Manggolo yang berkeinginan untuk 
menjadi warok itu. Kemudian tanpa sadar, Sarijah segera 
menarik kainnya ke atas menutup diri kembali.


"Benar, Mbakyu. Itu sudah menjadi tekadku.” 


“Jangan, Kangmas Manggolo. Sangat berat ujian bagi seorang 
warok itu." 


"Biartah, Mbakyu. Menjadi warok sejati itu telah menjadi 
tekad dalam hidupku." 


"Ohh, begitu," kata Sarijah masih dalam keadaan terbengong. 


Tidak berapa lama, Joko Manggolo dan Sarijah itu sudah 
kembali tertidur lelap dengan pakaian yang dirapikan sebagai- 
mana layaknya. Joko Manggolo menghadap ke dinding kiri, 
dan Sarijah menghadap ke dinding kanan. Mereka saling mem- 
belakangi. Punggung mereka bertolak belakang. Tetapi 
lantaran tempat tidur itu sempit, dan harus dimuat oleh dua 
tubuh yang besar-besar itu, maka punggung mereka tetap saja 
beradu. 


Paginya, mereka para penghuni Warung Randil itu telah rajin 
sering ketok-ketok pintu, namun tidak ada seorang pun yang 
mau membukakan pintunya. Praktis sejak saat itu, Warung 
Randil itu tutup terus. 

Kedua perampok yang tertangkap beberapa malam yang lalu 
itu masih terus disekap di kamar belakang yang kedua kaki dan 
tangannya tetap diikat kencang agar tidak lari. 


"Mbakyu, kalan saya diikat kedua kaki dan tangan begini 
eratnya, bagaimana kalau kepengin kencing dan berak. 
Tolonglah, Mbakyu dilepas" keluh salah seorang perampok itu 
nampak lemas. 


"Kalau mau kencing atau berak tinggal ngomong. Nanti kami 
yang bantu. Tidak bisa dilepas ikatannya nanti kamu lari. 
Tunggu sampai Kangmas Manggolo sembuh benar. Nanti 
kalau mau kurang ajar biar dihajar sama Kangmas Manggolo," 
ujar Watik nampak galak, 


"Saya lapar, Mbakyu” kata salah seorang lagi perampok itu. 


"Nanti makannya, masakan belum matang. Kalau sudah siang, 
kami semua sudah makan, baru kalian akan kami kasih 
makan.” 


"Mbakyu, pengin kencing,“ kata yang satu lagi. 


"Cerewet banget kamu. Laki-laki jangan cerewet kayak 
perempuan. 
"Benar Mbakyu sudak tidak taban,” 


"Kalau begitu, hayo berdiri dan jalannya digeserterus ke kamar 
mandi. Cepatttt." 


"Bagaimana saya harus kencing, Mbakyu. Celana saya, dan 
tangan saya masih terikat," 

"Saya yang mau copot celana kamu. Mana. Sini." Bentak 
Watik sambil menarik celana laki-laki itu. Dan dengan tersipu- 
sipu laki-laki itu kencing dihadapan Watik yang terus memelototi 
memasang muka angker. 


"Tolong, Mbakyu, lepaskan kami agar tidak membuat repot 
Mbakyu.” 


"Tidak bisa. Tunggu sampai Kangmas Manggolo sembuh. 
Dengar tidak.” 

Pada mulanya kedua perampok itu oleh para perempuan 
penghuni Warung Randil itu akan diserahkan saja kepada 
kepala pengamanan daerah yang membawahi daerah Dukuh 
Randil ini, Namun kemudian, tiba-tiba mereka timbul ibanya 
melihat penampilan para perampok itu kelihatannya berasal 
dari orang susah yang berpakain kumal. Mungkin mereka itu 
orang-orang bayaran yang lagi kesusahan mencari kerja, dan 
kemudian karena kepepet mereka mau saja diajak merampok 
asal mendapat upah untuk sekedar bisa makan. 


"Ampun Kangmas, dan Mbakyu. Jangan kami diserahkan 
kepada penguasa pengamanan daerah. Tolong lepaskan kami. 
Kami bersumpah tidak akan mengulang perbuatan kami lagi. 
Kasihan anak isteri kami yang ditinggal di rumah. Tolonglah, 
Kangmas", keluh kedua orang laki-laki yang terikat tangannya 
sejak tiga malam yang lalu itu. 


Dari pengakuan kedua perampok yang tertangkap itu 
terungkap bahwa pimpinan mereka sebenarnya termasuk 
pelanggan tetap di Warung Randil ini. Berdasarkan perintah 
yang diberikan oleh pimpinan mereka, mereka harus mengobrak- 
abrik Warung Randil ini. Alasannya karena pimpinan mereka 
sedang sakit hati kepada perempuan-perempuan penghuni 
Warung Randil ini 

Sekitar satu bulan yang lalu, pimpinan mereka datang kemari 
bersama beberapa anak buahnya, tetapi sesampainya di dalam 
warung ini, ia tidak segera dilayani oleh perempuan- 
perempuan penghuni warung rumah ini. Katanya, semua 
sedang terpakai habis, sehingga pimpinan mereka tidak 
kebagian. Padahal menurutnya masih ada dua orang yang 
sedang jaga di depan, walaupun habis dipakai orang tetapi 
punya alasan mau istirahat dulu, baru bekerja, sehingga ia tidak 
sudi melayani tamu yang datang belakangan. 


Menurut pimpinannya, sebenarnya perempuan-perempuan itu 
masih bisa dipakai, tetapi mungkin perempuan-perempuan itu 
tidak senang dengannya sehingga dia mencari alasan yang 
bukan-bukan, Pimpinannya itu lalu tanpa pamit meninggalkan 
warung itu. Ia pun pulang "nganggur", dan mendendam dalam 
hati untuk membuat balasan. Akhirnya ia mengumpulkan 
semua anak buahnya untuk menyerang warung itu, memperkosanya, 
dan mencuri harta benda yang ditemui di warung itu. 


"Siapa pemimpin kalian," tanya Joko Manggolo. 
"Ki Darmo Bendo," jawab laki-laki itu. 
"Di mana sarang mereka." 


"Di gunung loreng, daerah Ponorogo selatan yang berbukitan 
itu, Kangmas." 
"Kamu dapat upah, yah."
"Yah."
"Berapa?"


"Hasil jarahan ini akan dijadikan uang. Separohnya dibagi rata 
untuk semua anak buah, dan sisa separonya lagi untuk diambil 
pemimpin sendirian." 


"Lalu kerapa kamu mau melakukan pekerjaan keji ini." 
"Saya sedang terdesak perlu makan, Kangmas," 
"Pekerjaan kamu selama ini sebenarnya apa." 

"Menjadi kuli di pasar." 

"Mengapa tidak kamu teruskan pekerjaanmu itu." 
"Hasilnya kurang banyak." 

"Tetapi pilih mana dapat kerja walaupun penghasilannya kecil, 
tetapi selamat, daripada dapat hasil banyak tetapi digebuki, dan 
dimasukkan penjara." 
"Saya sudah kapok kok, Kangmas. Tidak mau mengulang 
lagi." 
"Baiklah kalau demikian. Kamu boleh pergi tetapi jangan 
sekali-sekali mengulang perbuatanmu ini lagi. Kamu akan saya 
lepas, tetapi awas jangan sampai dua kali ketahuan merampok. 
Begitu tertangkap, aku akan serahkan kamu kepada kepala 
pengamanan daerah nanti." 


Begitu perampok-perampok itu dilepas oleh Joko Manggolo, 
mereka segera berlari terbirit-birit, walaupun mereka merasa 
lega dilepaskan, tidak jadi dibawa ke pengamanan daerah, akan 
tetapi masih nampak pada mimik mukanya yang pucat pasi itu, 
masih kelihatan ketakutan yang mendalam.