Warok Ponorogo 1 - Wasiat Mahkota Wengker(2)

"Hah apa maunya si Sawung itu. Ada pesan apa untuk 
aku ?


"Maaf, paman. Apa nama paman Bledeg Ampar." 


"Ya. Aku Bledeg Ampar. Lalu apa maumu," kata laki-laki 
yang tinggi besar berewokan yang mengaku bernama 
Biedeg Ampar itu. 


"Kedatanganku kemari untuk menyampaikan pesan-pe- 
san penting kepada Paman Bledeg Ampar." 


"Coba tunjukkan mana pesan-pesan tertulis dari si 
Sawung itu." Seco Larendro segera menyerahkan sebuah 
potongan bambu yang disimpannya di baju dada itu 
Biedeg Ampar sepenerima potongan bambu itu segera 
membuka isi pesan yang tertulis dalam lembaran daun 
lontar itu. 


"Huh....ha....ha...Apa benar yang dikatakan si tolol 
Sawung ini...ha...ha.” tawa Bledeg Ampar setelah mem- 
baca isi surat itu. 


"Har. Blekok, entaskan si tolol ini dari dalam lubang ini. 
Aku mau bicara banyak sama si tolol punggawa kesasar 
ini," perintah Bledeg Ampar kepada salah seorang anak 
buahnya yang bertubuh paling tinggi untuk menaikkan 
Seco Larendro yeng tersuruk dalam lubang jebakan ini. 
Tidak berapa lama atas pertolongan laki-laki yang di- 
panggil Blekok tadi, Seco Larendro kini sudah berada 
kembali di atas tanah. 


"Hayoh, bawa orang ini ke sarang kita," perintah Bledeg 


Ampar terus melangkah pergi mengambil kudanya yang 
kemudian ditkuti aleh para anak buahnya yang berjumlah 
sekitar satu lusin. Sementara ita Seco Larendro diikat 
langannya dan disuruh menaiki kudanya mengikuti arah 
gerombolan ini. 


Tidak berapa lama mereka telah sampai pada suatu daerah 
yang nampaknya terdiri dari banyak rumah-rumah 
bambu. Rupanya di tempat ini gerombolan Bledeg Ampar 
itu bersarang. Kemudian Seco Larendro dibawa masuk 
ke rumah yang paling besar terletak di tengah-tengah di 
antara rumah-rumah lainnya yang mengelilinginya. 
Nampak banyak perempuan yang berpakaian seenaknya, 
banyak yang terbuka dadanya, kelihatan pahanya, acuh 
tak acuh mondar-mandir di antara para laki-laki yang 
nampaknya sudah terbiasa dengan suasana hidup seperti 
ini. 


Setelah sampai ke dalam rumah besar itu, Seco Larendro 
diminta duduk di ruang tengah. Sementara itu Bledeg 
Ampar masih terus memegangi surat yang dibawa Seco 
Larendro tadi sambil beberapa kali dibaca berulang-- 
ulang. 


"Hayoh, Seco. Kita makan malam dulu seadanya," kata 
Bledeg Ampar menyilahkan Seco Larendro untuk makan 
berbarengan dengannya. Di ruang itu hanya empat orang 
pengawalnya Bledeg Ampar. 


“Bagaimana menurut pendapatmu, Tarmo. Mengenai 
ajakan menjalin kerjasama dari si Sawung itu." 


"Apakah itu bukan berarti jebakan, Kangmas," kata orang 
yang dipanggil Tarmo itu. Nampak Bledeg Ampar men- 
gangguk-anggukkan kepalanya. 


"Kalau melihat kedudukan dia sebagai seorang warok. 
Aku dapat mempercayai ucapan-ucapannya. Aku 
mengena! Sawung Guntur ini sebagai orang yang jujur 
dan polos. Jadi saking jujur dan polos, ia kini satu-satunya 
warok yang masih bersedia dan mau mengabdikan diri 
kepada pihak kadipaten. Para warok lainnya, sudah bubar 
cari hidup sendiri-sendiri tidak ada yang sudi mengabdi 
kepada pihak kadipaten. maunya mereka itu mengabdi 
kepada Raja turun kerajaan Wengker. Nah dari penga- 
matanku ini, si Sawung ini nampaknya sungguh-sung- 
guh. Ada kesulitan yang kini sedang ia hadapi dan ia 
memerlukan bantuanku. Ini merupakan kesempatan baik 
bagi kita untuk mencari dukungan dari penguasa kadi- 
paten atas segala kiprah sepak terjang kita." 


"Tetapi Kangmas, ajakan kerjasama untuk mendapatkan 
tombak pusaka peninggalan kerajaan Wengker ini, se- 
baiknya harus ditanggapi dengan sikap yang penuh hati- 
hati." 


"Nah, aku ada akal. Untuk menjamin kebenaran si 
Sawung itu. Sebaiknya si Seco Larendro ini kita jadikan 
jaminan. Seco Larendro harus kita sekap. Dengan tujuan 
untuk dijadikan sandera. Apabila ternyata surat undangan 
damai itu hanya akal-akalan Warok Sawung Guntur un- 
tuk menangkap aku, maka nasib Seco Larendro yang akan 
jadi korban sebagai bimbalnya." 


Mendengar ucapan Biedeg Ampar itu, Seco Larendro 
yang lagi asyik- asyiknya menyantap makanan itu lang- 
sung hilang selera makannya. Ia berhenti makan, dan mau 
mengajukan usulan. 


"Beg...begini...Pam..." kata Seco Larendro tergagap-ga- 
gap.


"Berhenti bicaramu Seco. Kamu jangan banyak 
tingkah. Sekarang kamu ikuti mereka itu. Bawa si 
Seco masuk kerangkeng. Nasibmu akan ditentukan 
oleh pimpinanmu si Sawung Guntur. Kalau ia 
menipuku, habislah nyawamu. Kalau ia bertindak 
jujur, aku akan lepaskan kamu. Mengerti, Seco." 


Belum sempat Seco Larendro memberikan jawaban ia 
sudah digiring meninggalkan rumah besar itu dibawa 
masuk kerangkeng di bawah tanah, rumah di tengah hutan 
ini. Suara harimau, anjing, kelelawar, burung hantu, babi 
hutan, dan binatang lainnya nampak terdengar tidak jauh 
dari perkampungan sarang penyamun ini. Dan Seco 
Larendro semalaman tidak bisa tidur terganggu oleh ban- 
yaknya nyamuk yang terus berkecamuk mengigiti tubuh- 
nya. | 


PERTEMUAN RAHASIA 


SUDAH tiga hari ini kurier kepercayaan bernama 
Seco Larendro yang dikirim oleh Warok Sawung 
Guntur itu belum ada kabar beritanya. Warok 
Sawung Guntur mengumpuikan para anak buahnya 
untuk mencari jalan bagaimana sebaiknya dapat 
menerobos sarang Bledeg Ampar yang telah berani 
menghinanya dengan menyekap kurier yang diutus- 
nya itu. Sudah tiga hari im kurier itu tidak kembaii. 
Tetapi, tiba-tiba ada suara keras yang melesat di atas 
kepala mereka yang sedang berkumpul itu, ‘swittt?’. Se- 
buah anak panah yang melaju cepat menancap di atas 
pohon dadap dimana di bawahnya Warok Sawung Guntur 
beserta ketiga anak buahnya sedang berbincang-bincang 
di situ. 


"Kurang ajar. Siapa yang berani berbuat ini." kata Warok 
Sawung Guntur geram. Tetapi ketika diamati. Tancapan 
anak panah itu, ternyata disertai sepucuk surat. Ada surat 
rahasia yang datang kepadanya, bukan ditulis oleh kuri- 
ernya itu, tetapi oleh tulisan tangan orang lain yang 
mengatakan, perundingan bisa berlangsung di tempat 
Koh Tiong seorang pedagang rumah makan keturunan 
Tionghwa yang beroperasi di daerah Setono Jeruksing, 
berada di kota Ponorogo wetan. 


Malam itu juga sepenerima pesan surat itu, Warok 
Sawung Guntur dengan dikawal oleh tiga orang perwira 
andalannya pergi meninggalkan pos pengamanan keraton 
Kadipaten dengan menunggang kuda menuju ke arah 
timur. Tujuannya ke daerah Setono Jeruksing, pusat ru- 
mah makan Pecinan waktu itu. 


Setelah berjalan beberapa lama, rombongan Warok 
Sawung Guntur itu berhenti di Rumah Makan 
Kangkung Cah milik pengusaha keturunan Tionghwa 
itu. Satu-satunya rumah makan termodem di kota 
Ponorogo waktu itu. 


"Selamat malam,” kata Warok Sawung Guntur ketika 
memasuki Rumah Makan Kangkung Cah yang tertata 
rapi ala seni tradisional budaya Cina itu. 


"Selamat malam. Oh. Tuang penggede Kadipaten. Si- 
lahkan, silahkan tuang," kata Koh Tiong dengan logat 
cinanya yang masih cedal, ia adalah pemilik rumah 
makan Kangkung Cah itu mempersilahkan dengan 
hormat kepada rombongan Warok Sawung Guntur 
yang baru datang malam itu. 


"Koh Tiong. Aku perlu ruangan khusus untuk malam ini. 
Apa bisa engkau sediakan tempat itu untuk aku", kata 
Warok Sawung Guntur setelah duduk dan dijamu minum 
oleh tuan rumahnya. 


“Bisa. Bisa tuang penggede. Silahkan kemali, Tuang 
penggede. Di sini ada tuang tamu istimewa yang dapat 
tuang penggede gunakan”, kata Koh Tiong yang terkenal 
juga mengajarkan silat asal Cina di daerah ini. 


Sebuah ruangan yag diberi warna merah dengan gambar 
naga-naga liong besar itu tergambar di ruangan itu. Meja 
bundar di tengah dan ada tempat tidur agak besar di 
samping kanan ruangan. Dua buah senjata trisula, dan dua 
buah pedang pendek kembar yang berbendera kecil 
hitam di pajang di atas dinding sebelah kanan. Bau 
dupa khas suasana kehidupan keluarga Cina terasa 
menyengat ruangan itu. 


"Apa tuang penggede mau makan-makan dulu. Hanya 
minum-minum, atau mau tidul-tidulan. Apa pellu pelem- 
puan. Apa ada pellu yang lain, silahkan. Semua ada. Kami 
siap melayani tuang penggede”, tanya Koh Tiong kepada 
Warok Sawung Guntur dengan sikap penuh hormat dan 
menunjukkan keramahan yang amat sangat dianggap se- 
bagai pelayanan kepada pejabat tinggi Kadipaten. 


"Saya memang ada perlu, Koh Tiong. Malam ini aku mau 
ada tamu. Ada orang yang aku undang datang kemari. 
Sebentar lagi ia akan datang. Malam ini juga. Kalau bisa, 
sementara ini, khusus malam ini, jangan menerima tamu 
dulu. Tutup sementara, saya mau gunakan ruangan ini 
untuk berunding. Ini sangat penting", kata Warok 
Sawung Guntur dengan mimik muka serius. 


"Oh, tidak apa-apa. Lumah makan akan segela ditutup, 
Tuang penggede. Belapa olang tamu tuang," kata Koh 
Tiong dengan bibir terus tersenyum lebar penuh 
keramahan. 


"Belum jelas berapa banyak. Yang sudah jelas saja, aku 
undang seseorang. Tetapi apakah ia membawa teman, 
atau datang sendirian, aku tidak tahu." 


Beberapa saat kemudian, mereka sambil makan minum 
di tempat itu dengan ditemani pelayan-pelayan yang 
ramah-ramah. Tepat tengah malam, terdengar suara 
gaduh diluar. Nampak beberapa kuda yang datang dari 


arah timur berjalan pelan tetapi pasti menuju mendekati 
rumah makan Kangkung Cah milik Koh Tiong ini 


Warok Sawung Guntur segera memerintahkan kepada 
anak buahnya, perwira-perwira muda itu, untuk me- 
meriksa dan berjaga-jaga diluar, dan segera memberi- 
kan isyarat untuk memastikan siapa yang datang 
dengan berisan kuda yang nampak begitu banyak itu. 


"Mereka sudah datang, Kakang Sawung," kata salah 
seorang pengawal andalannya itu melaporkan 
kedatangan rombongan gerombolan Bledeg Ampar 
yang amat terkena! itu. 


"Baik. Bersiaplah dan berjaga-jagalah dengan baik kalian 
diluar. Pelajari dengan cermat segaia kemungkinan yang 
bakat terjadi," perintah Warok Sawung Guntur ee 
para pengawal andalannya itu. 


Tidak berapa lama terdengar suara langkah orang, ada 
dua orang yang memasuki pintu depan rumah makan 
Cina ini. Dan nampak mereka berbisik-bisik dengan hati- 
hati kepada Koh Tiong pemilik rumah makan ini. Koh 
Tiong kelihatan hanya mengangguk-anggukkan 
kepalanya dengan penuh hormat. Kemudian dua orang itu 
diantar Koh Tiong masuk ke ruang dalam dimana Warok 
Sawung Guntur berada. : 


"Selamat malam, Pak," tegur salah seorang dari mereka 
ketika melihat Warok Sawung Guntur yang ada di dalam 
ruangan itu. 


"Selamat malam," sahut Warok Sawung Guntur sambil 
menyalami kedua orang itu. 


"Mana pemimpin kalian," tanya Warok Sawung Guntur. 


"Ada diluar, Pak. Kami ditugaskan untuk memastikan, 
apakah Bapak telah berada di sini." 


"Yah. suruh pemimpin kamu kemari. Aku sendirian di 
sini. Dan diluar aku bawa tiga orang anak buah. Kalian 
bawa berapa orang." 


"Banyak, Pak. Hampir semua penghuni sarang diikut- 
sertakan." 


"Seperti mau menghadapi perang besar saja. Segera 
laporkan kepada pemimpin kalian. Aku tunggu di sini." 


"Baik, Pak." 


Salah seorang dari dua orang itu segera membalikkan 
badannya menuju ke depan. Sedangkan salah seorang 
lagi justeru mengambil tempat duduk di situ dihadapan 
Warok Sawung Guntur sambil matanya mengamati selu- 
ruh seisi ruangan itu. Nampaknya ia memang diberi tugas 


khusus untuk memeriksa kalau ada hal-hal yang mencun- 
gakan, maka itu menjadi urusan dia 


"Ada apa, curiga. Ada yang dicurigai,” tanya Warok 
Sawung Guntur ketika melihat orang dihadapannya itu 
yang kelihatan sedang memeriksa ruangan itu. 


"Oh, tidak. Tidak, Pak. Tidak apa-apa Saya hanya meli- 
hat-lihat." 


"Bagus. Hati-hati itu baik. Aku Senang melihat kerja 
kalian yang cermat ini." 


“Terimakasih, Pak. Kami hanya menjalankan tugas yang 
ditugaskan kepada saya dari pimpinan kami, Pak," kata 
laki-laki bertubuh pendek gempal yang nampak sangat 
berpengalarnan menjalankan pekerjaannya itu. 


“Bagus. Bagus, itu sikap anak buah yang baik. Aku sangat 
menghargai sikap demikian ini," kata Warok Sawung 
Guntur sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. 


Tidak berapa lama, orang yang keluar tadi telah balik 
kembali dengan membawa pemimpin mereka. Laki-taki 
berewokan tinggi besar, matanya mencorong seperti mau 
menelan orang yang dipandangnya. Ia itu adalah 
pemimpin rampok yang sudah amat terkenal ’sak onang- 
onang’ bemama Begal Bledeg Ampar. 


"Selamat malam, Sawung," kata orang yang dinamakan 
Bledeg Ampar itu menyalami Warok Sawung Guntur 
yang nampak berusia sama. Kedua orang itu nampak 
sebagai satu angkatan yang sama-sama senior dalam 
dunia pergolakan para jago di daerah Ponorogo ini. 


"Selamat malam, Bledeg. Hayo silahkan duduk," sambut 
Warok Sawung Guntur menyilahkan laki-laki jantan 
yang baru datang itu untuk duduk di kursi dihadapannya. 
Sementara itu, kedua pembantu Bledeg Ampar itu berlalu 
meninggalkan pemimpin mereka berjaga-jaga di luar 
ruangan sebelah dalam rumah. 


"Sudah makan, Bledeg. Kita makan-makan dulu. Mau," 
kata Warok Sawung Guntur menawarkan makan. 


"Bolehlah," jawab Bledeg Ampar juga berusaha menun- 
jukkan keramahannya kepada rekannya itu. 


Tidak berapa lama Koh Tiong pemilik rumah makan 
Kangkung Cah.itu telah menghidangkan bermacam-ma- 
cam masakan khas Cina kepada kedua tamunya itu. Ke- 
mudian kedua laki-laki perkasa itu nampaknya dengan 
gesit menyantapnya dengan lahap. Tanpa banyak basa- 
basi mereka mencicipi semua masakan yang dihidangkan , 
dan dimakannya tanpa ragu-ragu lagi. 


Beberapa saat setelah mereka menyudahi acara makan 
malamnya itu, nampak terdengar mereka sedang melang- 
sungkan pembicaraan serius. 


"Langsung saja, Sawung. Apa sebenarnya yang kamu 
maui dariku," tanya Bledeg Ampar membuka suaranya 
yang berat itu. 


"Begini Bledeg. Aku sebenarnya sedang mengemban 
tugas. Aku mendapat tugas langsung dari Kanjeng 
Adipati untuk menyelidiki keberadaan tombak pusaka 
peninggalan kerajaan Wengker itu. Aku mau minta 
tolong kepada kamu untuk mendapatkan tombak itu. 
Apa kamu bisa." 


"Apa imbalannya untuk aku." 
"Upah." 

"Tidak cukup, Sawung." 
“Lalu, apa maumu." 


"Hentikan usaha penangkapan terhadap diriku dan 
gerombolanku ini. Karena aku melakukan perampokan 
tidak ngawur asal semua orang aku rampok, tetapi 
sasaranku jelas dan khusus ditujukan kepada orang- 
orang yang pelit dan memeras masyarakat." 


"Aku bertemu kamu di sini sekarang ini, tidak untuk 
membicarakan soal dosa-dosa kamu merampok. Aku 
hanya mau tanya sanggup, apa tidak menjalankan tugas 
ini." 

"Aku sanggup, Sawung." 

“Nah, itu jawaban yang aku maui." ' 
"Lalu, bagaimana. Mengenai persyaratanku pe 
tadi." 


"Soal penghentian menguber kamu dan rombongan 
kamu. Aku dapat menerima syaratmu itu. Tetapi permin- 
taanku, jangan membuat kekacauan baru. Yang sudah- 
sudah dapat dimaafkan oleh penguasa Kadipaten. Aku : 
telah mendapatkan restu soal ini langsung dari Kanjeng 
Adipati, dan disaksikan oleh banyak penggede dalam 
permusyawaratan lengkap. Jadi ini ada jaminan dariku 
atas seijin Kanjeng Adipati." 


"Bagus kalau demiktan. Aku menyetujui". 


“Nanti dulu. Tetapi apa kira-kira kamu dapat menghenti- 
kan segala kekerasan yang kamu lakukan itu sementara 
ini." 


"Apa kamu bisa jamin hidupku dan seluruh anak 
buahku." 


"Tidak demikian maksudku, Bledeg. Kamu jangan 
melakukan operasi di daerah Ponorogo selama kamu 
menjalankan tugas ini. Cari sasaran daerah lain." 


"Wah, berat kalau demikian." 


"Apa beratnya, tinggal mengalihkan orang-orang kamu 
ke daerah tetangga-tetangga kita. Dan jangan sekali-kali 
beroperasi lagi di daerah Ponorogo" 

"Boleh. Aku akan usahakan. Tetapi bagaimana dengan 
besarnya upah. Apakah cukup menarik." 


"Sebelumnya aku pengin tahu. Bagaimana cara kerja 
kamu untuk mendapatkan tombak wasiat itu," selidik 
Warok Sawung Guntur. 


“Begitu malam ini kita ada kesepakatan. Aku akan segera 
bekerja untuk mendapatkan keterangan mengenai ke- 
beradaan tombak pusaka itu. Orang-orangku akan segera 
aku sebar ke segala penjuru daerah ini. Tapi masih ada 
syarat satu lagi, Sawung." 


"Syarat, apa lagi." 
"Aku perlu upah, dan uang muka." 
"Bisa kita atur." 


"Jangan bicara soal gampang mengaturnya. Sekarang ini 
aku perlu uang muka, Sawung." 
"Berapa yang kamu minta." 


“Untuk sementara ini, cukup tiga ribu keping saja." 
"Banyak sekali." 


"Terserah kamu saja. Bisa tidak menyediakan uang untuk 
aku sebesar itu. Sekarang." 
"Aku baru punya uang seratus keping." 


"Sisanya dapat engkau kirim esuk hari.” 
"Yah, aku setuju." 


Kedua laki-laki perkasa itu kemudian berjabatan tangan 
erat. 


"Bledeg. Aku ingin tanya kenapa kurierku engkau 
sandra.” 


Sambil tersenyum Bledeg Ampar nampak tersipu-sipu, 
kemudian memberikan alasannya. 


"Aku sebenarnya, tadinya masih belum percaya penuh 
kepada kamu, Sawung. Maka si Seco Larendro kunennu 
itu aku jadikan sandra. Ia sekarang bersama aku. Dan 
engkau dapat temui lagi dia, sebentar lagi setelah aku 
tinggalkan tempat im”. 


Warok Sawung Guntur mendengar alasan Bledeg Ampar 
menahan kurier Seco Larendro hanya bisa mengangguk- 
anggukkan kepalanya. Dan keduanya berjalan menuju ke 
depan ruangan rumah makan Koh Tiong itu. Bledeg 
Ampar berpamitan dan menaiki kuda coklat yang gagah, 
diiringi oleh puluhan kuda lainnya. 


Begitu mendengar aba-aba suit dan Bledeg Ampar, 
mereka yang bersembunyi di berbagai tempat itu pada 
muncul berhamburan dari balik-balik pepohonan 
mengikuti di belakang kuda Bledeg Ampar. Warok 
Sawung Guntur hanya menggeleng-gelengkan kepala 
melihat begitu banyaknya anak buah Bledeg Ampar yang 
dibawanya malam ini. 


"Pantas saja, kekacauan sulit dipadamkan. Begitu ban- 
yaknya orang yang melindungi si Bledeg gendeng itu," 
kata Warok Sawung Guntur kepada ketiga pengawal 
andalannya itu. 


Koh Tiong yang juga ikut mendengarkan pembicaraan 
Warok Sawung Guntur, dan mengikuti kepergian rom- 
bongan para perampok itu, nampak bulu kudugnya ikut 
mennding. 


"Gelombolan Bledeg Ampal, olang-olangnya kejam, 
tuang penggede. Sudah bebelapa kali belkunjung ke- 
mali," kata Koh Tiong setelah mengantarkan duduk kem- 
bali tamu istimewanya penggede Kadipaten itu. 


"Apa mereka itu suka bikin keonaran terhadap rumah 
makanmu di sini, Koh," tanya Warok Sawung Guntur. 


"Tidak. Tidak pelnah. Meleka tidak pelnah bikin libut di sini, 
Tuang penggede. Akan tetapi dengan pala tamu lain yang 
kelihatan kaya, meleka biasanya suka memelgokinya sepu- 
lang dali sini. Saya lebih baik membelikan upeti bulanan 
dalipada diganggu mereka, tuang penggede," kata Koh _ 
Tiong dengan logat cedalnya yang masih kental. 


"Yah, hati-hati saja sama mereka itu. Mereka itu dapat 
berbuat kejam semaunya sendiri, Aku akan tingkatkan 
pengawasan pengamanan di daerah sini," kata Warok 
Sawung Guntur menenteramkan hati Koh Tiong 
pengusaha yang mendapat perlindungan penguasa 
Kadipaten karena mendapatkan rekomendasi usaha 
dari penguasa kerajaan Majapahit di Trowulan. 


Warok Sawung Guntur bersama para pengawalnya keli- 
hatan baru meninggalkan rumah makan Kangkung Cah 
itu ketika hari hampir pagi, rupanya ia sempat mendapat- 
kan pelayanan ekstra dari Koh Tiong dipijat badannya 
secara ilmu Cina sehingga ketiduran sampai hampir pagi 
hari itu. 



TUKAR ILMU 


RUMAH Makan Karigkung Cah, makin hari makin 
tersohor di daerah Ponorogo. Tidak hanya terbatas di 
daerah Ponorogo, para bangsawan Majapahit pun 
kalau kebetulan sedang bertugas ke daerah Kadipaten 
Ponorogo selalu menyempatkan diri berkunjung ke 
rumah makan Kangkung Cahnya milik Koh Tiong itu. 
Demikian juga banyak para pedagang pribumi yang kalau 
hari itu merasa mendapatkan kelebihan keuntungan dari 
hasil dagangannya, tidak sedikit yang kemudian memer- 
lukan mampir ke Rumah Makan Kangkung Cah Koh 
Tiong itu, perlunya hanya untuk menikmati makan 
masakan Cina di rumah makan tersebut sambil ngobro! 
ketemu relasi dagang di situ. 


Rumah makan itu dinamakan Kangkung Cah, lantaran 
memang menjual makanan khas Cina, dan yang paling 
digeman oleh penduduk terutama karena bahan pangan 
yang digunakan berasa! dari sayur kangkung yang banyak 
ditanam di kebun-kebun penduduk masyarakat 
Ponorogo, sehingga nama itu mudah dikenal oleh pen- 
duduk di sana. Bagi penduduk Ponorogo, kata Kangkung 
itu telah lama akrab dengan kehidupan mereka. Ke- 
mudian mereka juga menganggap kangkung cah bukan 
makanan asing tetapi merupakan makanan rakyat setem- 
pat yang diolah dari bahan setempat, begitu anggapan 
rata-rata mereka yang sering berlangganan makan di ru- 
mah makan Cina itu. Oleh karena itu, dalam waktu 
singkat rumah makan Kangkung Cah itu cepat mendapat 
langganan dari para penduduk pribumi Ponorogo walau- 
pun dikelola oleh keturunan Tionghwa. 


Selain itu di tempat ini juga dibuka praktek pengobatan 
tradisional ala Cina, seperti sinshe, tusuk jarum, `ch?’ atau 
tenaga dalam, dan pemijatan tradisional. Banyak orang 
yang merasa cocok dapat disembuhkan oleh para tabib 
Cina yang tiap malam bercokol di rumah makan 
kangkung cah yang berlokasi di sebelah timur kota 
Ponorogo itu. Tidak hanya itu di sebelah rumah makan 
itu juga dibuka toko yang melayani segala rupa barang- 
barang keperluan sehari-hari yang harganya lebih murah, 
sehingga biasanya digunakan untuk tempat ' kulakan" 
para pedagang dari kampung yang mengambil barang 
dagangannya dari toko Cina ini untuk dijual kembali di 
tokonya di daerah perkampungan di luar kota. 


Tidak hanya soal masakan, atau makanan dan pengobatan 
yang dijajakan oleh para Cina pendatang itu, tetapi ia pun 
membuka kursus bela diri untuk mengajarkan seni bela 
diri asal Cina itu. Semula banyak pemuda yang tertarik 
untuk ikut berlatih. Ingin tahu dan mencoba kehebatan 
Ilmu bela diri asing itu.yang dianggapnya sebagai ilmu 
moderen yang ampuh, akan tetapi lama kelamaan banyak 
yang kemudian meninggaikan latihan ilmu bela diri Cina 
itu. Mereka menganggap bahwa ilmu bela diri Cina itu 
tidak sejalan dengan falsafah hidup bagi kebanyakan 
orang-orang Ponorogo. Gerakan bela diri Cina lebih 
mengandalkan pada kegesitan gerak, loncatan-lon- 
catan, kecepatan menghindar, banyak melakukan li- 
ukan, dan gerakan-gerakan yang bertujuan untuk 
pematahan pada tulang dan urat syaraf, atau ilmu totok. 
Selain itu terlalu banyak diberi variasi oleh gerak tarian 
yang melingkar-lingkar, sehingga dianggap tidak praktis. 
Oleh karena itu, ilmu bela dirt ala Cina ‘itu rupanya tidak 
begitu disukai oleh kebanyakan orang-orang Ponorogo 
lantaran dianggap tidak memperlihatkan gerak kejan- 
tanan sebagai falsafah gerak bela diri kebanyakan iimu 
kanuragan yang dianut oleh orang-orang Ponorogo. 


Di daerah Ponorogo sendin sebenamya telah banyak 
berkembang aliran-aliran perguruan ilmu kanuragan 
yang terutama keberadaannya di dusun-dusun Mereka 
melakukan latihan-latihan secara sembunyi-sembunyi 
untuk keperluan bela diri, dan tidak membuka perguruan 
secara terbuka. Namun banyak juga yang secara sengaja 
membuka perguruan ilmu kanuragan itu untuk tujuan 
menjaring murid-murid yang banyak dalam rangka 
menghimpun massa pengikutnya. Demikian juga dimak- 
sudkan guna memperkokoh kedudukan tokoh pendiri 
perguruan itu agar dianggap sebagai guru yang laku 
lantaran banyak muridnya. Oleh karena itu tidak berapa 
lama kemudian, perguruan bela diri asal Cina yang ' 
dibuka di Ponorogo itu, kemudian ditinggalkan murid- 
muridnya, dan sepi peminat. Mereka banyak yang kem- 
bali bergabung kepada perguruan tradisional yang 
banyak tercecer di pelosok daerah Ponorogo itu. 


Salah seorang tokoh masyarakat yang diberi julukan 
Warok Wuiunggeni asal dari daerah Ponorogo selatan, 
ketika mendengar mengenai dijajakannya ilmu bela diri 
asal dari Cina dan ilmu-ilmu ketabiban itu. ia pada suatu 
hari menyempatkan diri mendatangi rumah makan 
Kangkung Cah yang sudah tersohor itu perlunya hanya 
untuk menemui pendekar bela diri Cina itu untuk bertukar 
ilmu dan mengadu pengalaman. 


"Koh Tiong, aku telah mendengar dari suara orang-orang 
di daerah sini, katanya sampeyan ini ahli ilmu ketabiban 
dan membuka perguruan bela diri Cina di rumah makan 
sampeyan ini. Apa memang benar ceritera orang-orang 
yang aku dengar itu", kata Warok Wulunggen: membuka 
pembicaraan. 


"Be... be...enal. Benal Tuang", kata Koh Tiong berak- 
sep Cina cedai sambil badannya menunduk-nunduk 
dihadapan tamunya, seorang laki- laki berperawakan 
tinggi besar yang nampak kokoh dengan kumisnya 
melintang tebal itu. 


"Kedatanganku kemari pengin tukar ilmu dan pengala- 
man sama sampeyan. limu ketabiban dan ilmu bela din. 
Aku orang yang paling gemar mempelajari timu. Apa saja 
kalau bisa pingin aku pelajari. Apakah kita bisa berkawan 
dalam soal tukar menukar ilmu ini, Koh Tiong". 


"Ohh, telima kasih Tuang Wulung yang telholmat. Kami 
olang juga senang menelima kedatangan, Tuang di sini. 
Kami olang juga senang belajal sama ilmu-ilmu 
tladisional yang ada manfaat untuk hidup. Begitu saya 
jasa Tuang Wulung. Kita sama-sama penggemal 
ilmu", kata Koh Tiong dengan logat Cinanya yang 
masih kental. 


"Aku mau coba bertanding dengan kamu, Koh Tiong. 
Bagaimana kehebatan ilmu bela dirimu itu. Kalau aku 
kalah, kamu harus ajari aku. Tetapi kalau kamu kalah, 
perguruan bela-dirimu ini harus bubar. Demikian juga 
soal kehebatan ilmu. ketabibanmu itu. Aku akan coba 
kepada kamu langsung, atau kepada muridmu. Dengan 
kugunakan beberapa ilmuku, kalau kamu terluka atau 
murid-muridmu terluka, aku pengin tahu bagaimana ke- 
hebatanmu menangani orang yang ter luka itu menurut 
cara penyembuhan ilmu Cina”. 


"Tet...teta...tetapi, Tuang. Saya tidak ingin cali gala-gala, 
Tuang. Saya hanya ingin menyebalkan ilmu untuk ke- 
baikkan”. 


"Ya. Ya, aku mengerti. Ini bukan kita mau bermusuhan. 
Sama sekali bukan. Kita ini mau mencari kawan, sesama 
peminat dalam bidang ilmu. Tidak ada salahnya kita ` 
saling membantu mengembangkan diri, to”. 


"Ya...ya...batk...baiklah Tuang Wulung. Telima kasih, 
telima kasih". 

"Nah, sekarang kita bisa coba, to”. 

"Baik...ba...baik, Tuang. Kalau demikian, mali kita pin- 
dah di halaman belakang, Tuang Wulung", kata Koh 


Tiong terbata-bata dihadapan Warok Wulunggeni yang 
ingin mencoba kehebatan ilmu Cina itu.