Warok Ponorogo 2 - Bara Api di Dukuh Dawuan(3)

4
BELAJAR 
BERTANI DAN BERDAGANG 


RADEN MAS POERBOYO, seorang pedagang keliling 
yang hampir kena celaka ketika berpapasan dengan 


gerombolan pemeras di perkampungan Lembah Dangkal 
itu, untung nasibnya masih mujur dapat ditolong oleh 
Warok Wulunggeni. Ia sebenarnya seorang kaya yang 
rajin bekerja, dan banyak kenalan di kota kelahirannya di 
kota Kadipaten Trenggalek. 


Sudah beberapa hari ini Warok Wulunggeni menjadi 
tamu istimewa keluarga Raden Mas Poerboyo. Nampaknya
tuan rumah, Raden Poerboyo sebagai pengusaha . 
beken di Trenggatek yang hidup dari usaha berdagang 
dan bertani, tidak ingin buru-buru melepaskan kepergian 
tamu yang dihormatinya itu, Warok Wulunggeni yang 
pinan memberikan kebaikkan Kepadanya itu. 


"Kakang Wulunggeni, ada baiknya Kakang tinggal lagi 
beberapa lama di rumah saya ini. Saya berminat untuk 
mempelajari ilmu bela-diri dari Kakang Wulung”, kata 
Raden Mas Poerboyo pada suatu hari ketika dipamiti 
Warok Wulunggeni yang hendak meneruskan pejalanan
nya ke Binar, 


“Terima kasih, Kangmas Poerboyo", kata Warok Wu- 
'lunggeni, "Lain kali saja, saya akan mampir ke sini lagi 
sepulang saya dari Blitar. Sebab mempelajari ilmu béla 
diri itu tidak boleh terburu- buru. Hanya dalam situasi 
bathin yang benar-benar siap untuk menerima tentangan. 
Siap menerima ilmu baru yang berat. Dan tidak mudah 
bersikap menyepelekan. Oleh karena itu Kangmas Poer- 
boyo, kondisi saya sedang terburu-buru ingin segera gam- 
pai ke Blitar, Jadi barangkali kurang tepat untuk 
melakukan ngudi daya dalam keadaan yang dikejar-kejar 
waktu seperti sekarang ini. Jadi mohon 'maaf lo, 
Kangmas Poerboyo". 


"Ohh, demikian, tidak apa-apa, Kangmas Wulunggeni. 
Kalau begitu maafkan saya, yang telah menahan Kang- 
mas Wulung sampai begitu lama hampir satu bulan disini. 


"Malahan, saya yang seharusnya berterima kasih kepada 
Kangmas Poerboyo dan keluarga di sini. Saya merasa 
berhutang budi kepada keluarga Kangmas. Terutama, 
saya telah mendapatkan pengetahuan cata bertani yang 
baik. Selama sekian hari di sini, Kangmas Poerboyo 
telah memberikan pembekalan pengetahuan - bertani 
yang sangat berguna bagi saya untuk dipraktekkan di 
daerah Ponorogo, sepulang dari Blitar nanti". 


"Ach. itu tidak ada artinya apa-apa kok, Kangmas. Itu 
cuma ceritera pengalaman saya bertani. Bukan pelajaran — 
Cara bertani yang baik kok, Kangmas”. 


"Yah. Saya bermaksud pada suatu hari nanti, pengetahuan 
bertani dari Kangmas Poerboyo itu akan saya coba kem- 
bangkan untuk dicoba di daerah Ponorogo. Siapa tahu suatu
hari, saya bisa mengikuti jejak kesuksesan Kangmas Poer- 
boyo dalam bertani dan berdagang di Trenggalek ini". 


"Ach, Kangmas Wulung bisa saja. Saya ini yang justeru 
banyak berhutang budi terhadap Kakang yang telah 
menyelamatkan diri saya dari para perampok itu". 


Serambi ngobrol ngalor-ngidul, kedua laki-laki yang 
telah sebulan berkenalan itu nampak makin akrab. Tidak 
berapa lama, dari balik pintu dalam rumah muncul isteri 
Raden Mas Poerboyo yang mengenakan kebaya dengan 
baju hijau lumut Membawakan sebaki makanan dan 
minuman hangat.


"Oh, Mbakyu, kok repot-repot terus sejak saya di sini", 
kata Warok Wulungeni basa-basi. 


"Tidak apa kok Kangmas Wulung. Kami sekeluarga 
merasa amat berbahagia sejak kedatangan Kangmas di 
rumah kami. Kangmas Poerboyo jadi betah tinggal di 
rumah, ada teman ngobrol dan jalan-jalan ke sawah. 
Kalau tidak ada Kangmas Wulung, biasanya Kangmas 
Poerboyo hanya suruhan para pembantu untuk menengok 
sawah", kata perempuan yang berparas cantik, isteri 
Raden Mas Poerboyo yang ramah itu membuat hati laki- 
laki seperti Warok Wulunggeni ini terbawa kesengsem 
setiap kali mendapatkan senyumannya yang merekah itu. 


"Selama kehadiran saya di sini tentu makin menambah 
repot Mbakyu saja yang juga menambah beban masaknya 
jadi bertambah". 


"Oh, tidak apa-apa kok, Kangmas Wulung. Bagi saya 
malahan senang ada kesibukan", kata isteri Raden Mas 
Poerboyo yang ikut menemani perbincangan itu, dengan 
mimik muka yang cerah itu, membuat Warok Wulung- 
geni pun bertambah kerasan berbincang, lupa tidak buru- 
buru berpamitan berangkat pergi.


Keluarga Raden Mas Poerboyo yang kaya ini, selain 
memiliki sawah ladang yang luas, juga beternak kambing 
domba, berdagang pakaian, dan mempunyat pabrik kru- 
puk rambak yang amat populer secara turun-temurun di 
daerah Trenggalek ini. “Kehebatan usaha Kangmas 
Poerboyo ini ia orang yang suka merintis pekerjaan 
baru yang sebelumnya belum dijalankan orang. Ke- 
mudian setelah ditiru orang ia berusaha menciptakan 
usaha baru lagi. Sungguh luar biasa. Tetapi sayang, 
mengapa ia tidak mengupah para pengawal yang bisa 
menjaga keselamatan dan hartanya selama bepergian 
maupun tinggal di rumah besar ini", pikir Warok Wu- 
lunggeni dalam hati, tetapi ia tidak berani mengutarakan 
pendapatnya ini langsung kepada Raden Mas Poerboyo, 
takut menyinggung perasaannya. 


Rumah Raden Mas Poerboyo yang berhalaman luas, di 
situ banyak dipelihara perkutut yang tiap kali terdengar 
suara manggungnya sangat indah menarik. Ajeng 
Sarimbi, nama isteri Raden Mas Purboyo tiap pagi rajin 
memberikan makan perkutut-perkututnya itu. Demikian 
juga hampir tiap sore kalau ia tidak sedang berjualan di 
pasar ia pun rajin menyiram air di tiap tanaman bunga 
yang nampak tertata asri membuat suasana rumah 
keluarga pengusaha di Trenggalek itu terasa nyaman 
tenteram. 


Namun bagi Warok Wulunggeni kenyamanan rumah 
tinggalkenalan barunya itu tidak membuatnya ia harus 
berlama-lama tinggal di keluarga yang selalu menja- 
munya dengan baik itu. Masih ada rencana besar yang 
harus diselesaikan yaitu menuntut ilmu kanuragan yang 
lebih tinggi. Pada malam harinya ia menyampaikan ren- 
cana pemberangkatannya besuk pagi dan sekaligus mo- 
hon berpamitan dengan Raden Mas Poerboyo dan 
isterinya Ajeng Sarimbi yang selalu setia mendampingi 
suaminya itu. Mereka nampak haru akan melepaskan 
perpisahan dengan Warok Wulunggeni yang baik hati ini. 


Pagi-pagi buta ketika ayam jantan berkokok, Warok Wu- 
lunggeni nampak telah meninggalkan kota Trenggalek 
menuju timur dengan tujuan tetap ke Blitar selatan untuk 
menuntut ilmu. Sebelum berangkat Warok Wulunggeni 
mendapatkan bawaan perbekalan ransum serta per- 
lengkapan lainnya sekampluk yang dipersiapkan oleh 
Ajeng Sarimbi, perempuan berparas cantik jelita, isteri 
Raden Mas Poerboyo untuk bekal di perjalanan selanjut- 
nya. 


5
PERGOLAKAN DI UFUK TIMUR 


DALAM meneruskan perjalanan selanjutnya, Warok 
Wulunggeni beberapa kali dicegat olah para penyamun 
yang menghadang di perjalanan. 


"Hai orang asing, dari mana kamu dan mau kemana", 
tiba-tiba terdengar suara keras sepertinya suara laki-laki 
perkasa yang menggema di tengah hutan lebat belantara 
itu. 


"Namaku Wulunggeni. Asalku dari daerah Ponorogo. 
Mau pergi ke Blitar", jawab Warok Wulunggeni 
melayani pertanyaan seorang laki- laki tinggi tegap 
yang menghadang tepat di tengah jalan. 


"Kamu bawa apa", tanya laki-laki gagah itu. 


"Aku hanya membawa bahan makanan untuk bekal di 
jalan", jawab Warok Wulunggeni nampak tenang. 


"Serahkan semua yang kamu bawa itu kepadaku. Lalu, 
kamu boleh lewat daerah kekuasaanku ini”, perintah laki- 
laki tegap itu. 


"Aku akan kelaparan di jalan kalau menyerahkan bahan 
bawaanku itu kepada kamu", jawab Warok Wulunggeni 
berusaha menyangkal. 


"Kamu pilih mati kelaparan, atau mati di tanganku", 
gertak laki- laki tinggi besar itu makin berangasan. 


"Kalau boleh aku peringatkan, jangan coba-coba meng- 
halangi perjalananku. Jangan mentang-mentang kamu 
merasa menguasai daerah sini kamu bisa main peras 
seenaknya perut sendiri pada tiap orang yang.mau lewat 
sini. Aku tidak bisa kamu peras. Tahu", bentak Warok 
Wulunggeni mulai memperlihatkan matanya yang men- 
corong tanda kesabaran orang itu mulai hilang. 


"Hae, dasar anak bunglon, diajak ngomong baik-baik kok 
malah mau cari perkara. Sudah merasa kebai tombak 
kamu yah", laki-laki tinggi besar itu nampak memperli- 
hatkan kemarahannya menghadapi sikap Warok Wu- 
iunggeni yang nampak tidak sedikit pun merasa tergetar 
hatinya menghadapinya. Tiba-tiba dengan gesit laki-laki 
itu membunyikan siulan nyaring, dan seketika itu pula 
datang bergerombol sekitar selusin anak buahnya yang 
siap menghunus golok tajam nampak bersinar berkilau. 
Warok Wulunggeni agak terperanjat melihat datangnya 
gerombolan yang begitu banyak, nampak seperti sosok 
laki-laki yang tangguh-tangguh dan berpengalaman ber- 
tanding. 


"Bagaimana anak bunglon. Apa kamu masih mau menun- 
jukkan kesombonganmu dihadapanku", ujar laki-laki 
tinggi besar itu sambil tertawa lebar setelah selusin anak 
buahnya mengitari posisi Warok Wulunggeni yang nam- 
pak agak kurang siap menghadapi kedatangan begal- 
begal yang nampak bengis itu. 


"Hai brewok", panggil Warok Wulunggeni kepada laki- 
laki tinggi besar itu, "Lalu apa maumu dengan men- 
datangkan bajingan-bajingan cecunguk mengepung aku 
ini“. 


"Ha...ha...ha...kau ternyata laki-laki jantan juga. Masih 
tegar hati kamu menghadapi jago-jagoku. Sudah aku 
katakan, tinggalkan itu barang bawaanmu, lalu kamu 
boleh lewat dengan aman. Jangan cari gara-gara. Sayangi 
nyawa kamu itu. Percuma melayang di ujung golokku 
ini. Ha...ha...ha", ejek laki-laki yang rupanya menjadi 
pimpinan para begal ini. 


"Diam. Jangan banyak bacot. Kalau mau mengeroyok 
aku, keroyoklah. Hai para pengecut. Beraninya main 
keroyok. Tetapi kalau kalian laki-laki jantan. Maju satu 
per satu. Siapa berani maju dulu, hayooo majulah”, tan- 
tang Warok Wulunggeni menunjukkan sikap ksatrianya. 


"Wualah...wualah, ini laki-laki benar-benar mau cari 
mati", teriak laki-laki pemimpin begal itu, "Minggir ka- 
lian semua, aku yang akan membereskan orang asing 
yang sok jagoan ini. Minggirtr", sambil teriak, laki-laki 
tegap yang berewokan itu melonjat menerjang posisi 
Warok Wulunggeni yang nampak sedari tadi sudah siap 
memasang kuda-kuda untuk menghadapi segala se- 
suatunya. 


"Cranggg", terdengar suara golok beradu. Dengan 
sigap pula Warok Wulunggeni memutar-mutarkan 
'motek' senjata golok khas Ponorogo yang siap 
menerima serangan dari pemimpin Begal yang nampak 
menyerang dari segala arah dengan penuh emosi itu. 


"Bajingan. Kamu cekatan juga anak bunglon", teriak 
laki-laki pimpinan Begal itu ketika serangannya yang 
bertubi-tubi itu dapat dipatahkan oleh gerakan-gerakan 
lincah Warok Wulunggeni yang sudah banyak makan 
garamnya pertarungan dahsyat. 


"Hayo habiskan semua ilmumu, Brewok. Jangan sebut 
laki-laki kalau cara bertandingmu seperti keong manak 
begini. Lembek tidak ada kekuatan. Gerakmu lamban 
koyok kodok bunting. Kamu tidak punya daya kekuatan, 
Brewok", ejek Warok Wulunggeni kepada musuhnya 
yang dipanggil brewok itu agar terus emosi. Dengan 
demikian Warok Wulunggeni lebih mudah mengendali- 
kan setiap serangan si brewok yang begitu bernafsu itu. 


"Bajingan kamu, mau mempermainkan aku, bunglon", 
teriak laki-laki brewok pemimpin Begal itu ketika ia 
mulai terdesak mundur oleh serangan balasan yang 
dilancarkan Warok Wulunggeni yang kelihatan penuh 
semangat bertempur itu. 


"Habiskan tenaga kamu, Brewok. Tampang kamu saja 
“yang serem. Permainanmu tidak ada apa-apanya. Ini cara 
bertanding anak-anak yang baru sunat. Cukur itu brewok 
jelek kamu itu", ledek Warok Wulunggeni ketika ia ber- 
hasil memojokkan terus musuhnya itu mundur Sampai 
beberapa langkah jauh ke belakang. 


"Leeee, siaplah kalian semua. Serbu ini si bajingan 
bunglon", teriak laki-laki pimpinan Begal itu memer- 
intahkan kepada para anak buahnya, ketika merasa 
tidak mampu menandingi jurus-jurus serang yang 
dilontarkan oleh Warok Wulunggeni yang nampak 
dengan enteng melukai tubuh laki-laki brewok yang 
darahnya mulai mengucur di berbagai tubuhnya yang 
terkena bacokkan motek Warok Wulunggeni yang dilu- 
muri warang beracun. Seketika mendengar perintah 
menyerbu, selusin anak buah Begal Brewok “tu 
menyerang serentak posisi Warok Wulunggeni. 


"Wailadalah, memang kalian hanya bisa main keroyokan, 
yah", teriak Warok Wulunggeni sambil melepaskan ju- 
rus-jurus mautnya sampai beberapa gerakan beruntun. Ia 
kemudian menggeser langkahnya mundur kembali untuk 
menata irama jurus-jurus bertahannya. Dalam meng- 
hadapi serangan bertubi-tubi yang dilancarkan serentak 
dari berbagai jurusan oleh para begal-begal yang 
mengeroyoknya itu, Wulunggeni mengembangkan jurus 
teratai berbunga. 


Dalam gerakan mundur sambil melepaskan serangan itu 
ternyata Brewok sempat terkena sabetan motek Warok 
Wulunggeni. Seketika itu Brewok terkapar hampir mat 
terkena racun warangan yang dioleskan dalam senjata 
tajam khas para warok itu. Melihat pimpinannya tergele- 
tak di tanah dengan darah merah mengucur di tubuhnya 
itu, para anak buah Brewok itu tidak berani mendekati 
Warok Wulunggeni dan malahan berusaha melarikan 
din. Tak seorang pun berani menolong pemimpinnya 
yang seharusnya segera memerlukan perawatan agar ti- 
dak terserang peredaran racun yang mematikan ke selu- 
ruh tubuhnya. Dalam beberapa gerakan surut para begal 
anak buah Brewok itu telah berhamburan menghilang 
mencari selamat masuk ke sela-sela pepohonan hutan 
yang lebat itu 


Melihat keadaan telah aman, para begal itu lalu menghi- 
lang. Warok Wulunggeni kemudian melakukan per- 
tolongan terhadap Brewok yang tidak sadarkan diri itu. 
Melalui bahan ramuan pengobatan yang pernah dipel ajari 
dari Dukun yang merawatnya ketika ia terbaring 
setelah menghadapi Warok Surodilogo tempo hari, 
nampaknya telah membawa berkah juga, kiri Warok 
Wulunggeni pun makin mahir menguasai ilmu pengo- 
batan luka bacok. 


Berkat pertolongan pengobatan yang dilakukan oleh 
Warok Wulunggem akhirnya jiwa Brewok dapat ter- 
tolong. Merasa jiwanya tertolong, setelah siuman dan 
tahu bahwa ia telah dikalahkan, dan mendapatkan 
perawatan yang baik dan Warok Wulunggeni, Brewok 
merasa berhutang budi terhadap Warok Wulunggeni itu. 
Ia dapat disembuhkan, dan kemudian dalam perkem- 
bangannya, malahan kini ia menjadi berkawan akrab 
dengan Warok Wulunggeni. 


"Siapa namamu Brewok", tanya Warok Wulunggeni 
kepada Brewok yang masih tergeletak di atas dedaunan 
kering yang diatur oleh Warok Wulunggeni untuk proses 
penyembuhan itu. 


"Namaku Tanggorwereng, Kangmas", jawab Brewok itu 
firth kelihatan masih lemas. 


"Dari mana asalmu”, tanya Warok Wulunggeni kembali. 


"Aku berasal dari Blitar, tetapi sudah lama aku ting- 
galkan kota itu. Orang tuaku sudah meninggal ketika 
aku masih bocah. Menurut ceriteranya, orang tuaku 
dulu bekerja menjadi punggawa di Kerajaan Lodaya. 
Kemudian sepeninggal orang tuaku, aku mengembara 
dan dipelihara orang di pinggir hutan ini, sampai sekarang 
aku anggap seperti orang tuaku sendiri. Lantaran kerjaan 
orang yang mengasuhku itu merampok, aku punjuga jadi 
rampok. Tetapi aku lebih suka jadi begal yang meng- 
hadang orang lewat di jalan daripada harus merampok 
memasuki rumah-rumah penduduk, risikonya lebih berat. 
Cara membegal ini lebih mudah memperhitungkan 
lawan. Tetapi naas baru kali ini aku mendapatkan lawan 
yang tangguh seperti Kakangmas Wulunggeni. Aku 
minta maaf Kakang. Dan terima kasih, Kakang telah 
menyelematkan jiwaku", kata Brewok yang ternyata ber- 
nama Tanggorwereng itu. Warok Wulunggeni hanya 
tersenyum gembira mendengar pengakuan Tang- 
gorwereng yang telah mengaku kaiah dan bahkan 
merasa berhutang budi kepadanya itu. 


“Aku juga perlu bantuanmu, Wereng", kata Warok Wu- 
lunggeni. 


"Bantuan apa, Kakangmas". 


"Apa kau pernah mendengar mengenai perguruan Lo- 
daya di Blitar selatan yang terkenal dengan ilmu macan 
jadian itu 


"Eyangku sendiri yang memiliki perguruan Lodaya itu”. 
"Jadi engkau juga memiliki ilmu macan putih itu ?" 


"Aku pernah diajari Eyangku ketika aku masih bo- 
cah, tetapi baru dasar-dasarnya. Dan sejak sepening- 
gal ayahku, aku tidak pernah ke sana lagi. Eyangku 
orang keras, aku tidak menyukai dia. Aku kabur Jarı 
perguruan Eyangku itu ketika aku harus belajar ilmu-ilmu 
putih itu bersama murid-murid Eyangku Lalu sampai 
sekarang aku jadi begal begini, mana mungkin Eyangku 
akan menerima aku kembali. Ia orang suci. munya, ilmu 
suci", tandas Tanggorwereng nampak tak acuh. 


"Apa engkau bisa antar aku ke Eyangmu. Aku ingin 
mempelajari ilmu macan putih itu" 


"Kalau menghadap Eyangku, aku tidak mau Tetapi aku 
hanya bisa menunjukkan jalan ke perguruan Eyangku. 
Aku tidak perlu masuk menemui Eyangku. Kakangmas 
sendiri yang masuk. Aku hanya dapat antar sampai depan 
pintu saja". 


"Tidak apa, Wereng. Tunggu sampai engkau sembuh 
benar, baru kita berangkat". 


"Baik, Kang Mas," jawab Tanggorwereng. 
"Sekarang beristirahatlahdengan tenang sambil me- 
mulihkan kekuatan fisikmu." 


"Terima kasih, Kangmas”. 


Tidak berapa lama kedua laki-laki yang sedari tadi terli- 
hat berbincang akrab itu, kemudian mereka mencari tem- 
pat tidur masing-masing di atas kayu belahan besar 
berbentuk gubuk yang dibangun: darurat oleh warok 
Wulunggeni. 


Hari bertambah malam dan hutan itu menjadi sunyi sen- 
yap hanya terdengar suara melengking serigala, babi 
hutan, kelelawar dan burung hantu yang menambah 
suasana seram di dalam hutan itu. 


6
BERSAHABAT 


HAMPIR satu minggu ini, Tanggorwereng dalam 
perawatan Warok Wulunggeni di tengah hutan itu. Kon- 
disi fisiknya nampak telah menunjukkan perubahan yang 
berarti. Sudah ada tanda-tanda kemajuan terhadap kese- 
hatannya. Tanggorwereng nampak mulai dapat berjalan- 
jalan. 


Rupanya selama dalam perawatan Warok Wulunggeni 
Hu, para anak buah Tanggorwereng itu pun terus-menerus 
mengintip sambil mengikuti segala kegiatan Warok Wu- 
lunggeni dari balik semak-semak dedaunan yang rindang 
itu. Mereka rupanya sangat terkesan oleh kemahiran 
Warok Wulunggeni dalam melakukan pengobatan ter- 
hadap pemimpinnya itu. Nampak begitu sabar memper- 
lakukan bekas lawannya itu, seperti memperlakukan 
muridnya sendiri. Kelihatan bersahabat Kesan itu yang 
kemudian menimbulkan simpati kepada para anak buah 
Tanggorwereng. Kemudian tidak lama, satu per satu 
mereka muncul memberikan penghormatan kepada 
Warok Wulunggeni dengan sikap yang sangat sopan. 


"Kangmas Wulunggeni, aku dan konco-konco meng- 
haturkan salam penghormatan kepada Kakang", kata 
seorang laki-laki yang bertubuh gempal dengan otot-otot- ` 
nya yang menonjol di lengannya yang besar itu. Teman- 
temannya memanggilnya dengan nama Brendel Gepuk. 


"Tidak apa, Brendel. Aku hanya menjalankan tugas seba- 
gai manusia biasa yang harus saling tolong-menolong
sesama. Apalagi pemimpinmu ini, Tanggorwereng dalam 
keadaan pingsan waktu itu. Oleh karena itu, aku mem- 
punyai kewajiban untuk menolong dan merawatnya", 
kata Warok Wulunggeni ketika dihadap oleh Brendel 
Gepuk dan konco-koconya itu yang dengan takjim bersila 
duduk bersimpuh dihadapan Warok Wulunggeni yang 
kelihatan sedang memberikan wejangan macam-macam 
dihadapan mereka. 


Mereka akhirnya menghormati Warok Wulunggeni dan 
bersumpah setra untuk membela kepentingan Warok Wu- 
lunggeni. Akan tetapi Warok Wulunggeni justeru menyu- 
ruhnya untuk meneruskan pekerjaan mereka sebagai 
begal itu. Malahan menganjurkan untuk memperluas 
daerah operasinya agar menjalar sampai ke daerah Kadi- 
paten Ponorogo. Terus-menerus membuat kekacauan di 
masyarakat agar membuat kewalahan penguasa Kadi- 
paten yang diharapkan akan meruntuhkan kewibawaan 
Penguasa Kadipaten Ponorogo itu. 


Penguasa Kadipaten Ponorogo dianggapnya tidak bisa 
bersikap adil terhadap dirinya ketika dalam menyelesai- 
kan sengketa dia dengan Warok Surodilogo atas usaha 
jasa pengamanan kepada para pedagang di daerah 
Dawuhan tempo hari. Warok Wulunggeni masih belum 
bisa menerima cara penyelesaian yang dilakukan Kan- 
jeng Adipati yang mengharuskan ia adu tanding dengan 
Warok Surodilogo dan mernbuat malu karena kekalahan- 
nya itu. 


Seharusnya Kanjeng Adipati bisa memutuskan 
mengenai siapa yang terlebih dahulu merintis usaha itu, 
ia yang berhak atas kelanjutan usaha itu. Ini cara yang 
adil menurut Warok Wulunggeni. Kiri usaha yang dirin- 
tis atas gagasannya itu dahulu menjadi beralih pemilik 
yang dikuasai oleh Warok Surodilogo. Hal ini yang mem- 
buat kebencian Warok Wulunggem kepada penguasa 
Kadipaten Ponorogo. Ia sebenarnya cukup jantan 
menerima kekalahan melawan Warok Surodilogo, 
karena ternyata ia lebih unggul, tetapi dia tidak bisa 
menerima terhadap keputusan Adipati untuk men- 
gadakan adu tanding dalam perkara berebut rejeki ini. 
Oleh karena itu, dalam hatinya ia bersumpah akan mem- 
buat kekacauan dimana-mana, ia merencanakan untuk
menghimpun para jagoan, para begal, atau para perusuh 
untuk melakukan keonaran dimana-mana sehingga 
membuat repot penguasa Kadipaten Ponorogo dan 
membuat rakyat tidak percaya lagi terhadap Kanjeng 
Adipati yang sementara di antara para warok masih 
beredar anggapan bahwa Adipati yang berkuasa 
sekarang ini seharusnya tidak berhak berkuasa atas 
daerah Ponorogo, karena ia bukan turun raja Wengker. 


Apalagi ia bukan orang asli Ponorogo dan tidak me- 
megang pusaka kerajaan Wengker sebagai wasiat 
utama tetenger kerajaan tertua yang dibanggakan oleh 
masyarakat Ponorogo di masa lalu itu . 


“Jadi kami ini harus bagaimana Kangmas," tanya 
Brendel Gepuk memecahkan lamunan Warok Wu- 
lunggeni. 


“Yah. Tunggu Brendel sampai kita dapatkan hari yang 
baik, Semantara ini teruskan untuk berlatih . Sampai nanti 
pada saatnya akan tiba, kita akan menjadi orang yang 
mulia." 


"Kami siap membantu, Kangmas." 


"Tunggu sepulangku dari Blitar. Kita mempunyai ren- 
cana besar," kata warok Wulunggeni mantap. 


Brendel Gepuk dan konco-konconya itu hanya bisa 
mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti 
apa yang dimaksudkan oleh warok Wulunggeni. 


BERSAMBUNG 

Warok Ponorogo 3