warok ponorogo 6 - Pergumulan di Warung Randil(2)

4
BERLATIH 


Sejak peristiwa yang naas malam itu. Sudah beberapa hari
ini Warung Randil ditutup. Banyak tamunya, para pedagang
langganan warung itu merasa kecewa setelah beberapa lama 
mereka menggedor-gedor pintu depan warung ini, tidak ada
yang membukanya. Mereka penasaran tidak seperti biasanya, 
apabila ada hajat segera mampir dengan gampang ke warung 
nakal ini sewaktu-waktu. Kali ini para langganan merasakan 
tersiksa dengan ditutupnya warung ini. Tidak ada lagi tempat 
ysng cocok untuk melampiaskan hasrat laki-lakinya yang 
sudah terbiasa berlangganan di warung tengah sawah ini.


Mereka rupanya banyak yang mulai menyadari, betapa makin 
berharganya warung Randil di tengah sawah ini. Apabila 
ditutup mereka pada kelabakan. Mau pergi kemana lagi untuk 
menyalurkan hasrat kelaki-lakiannya itu. Hanya bagi mereka
yang tekun mempelajari ilmu kanuragan dan para warok yang
jalan hidupnya tidak pernah terikat oleh soal penyaluran hasrat
seksual secara liar kepada perempuan nakal yang merasa aman 
dari berbagai gangguan kejiwaan yang menyiksa itu. Lantaran 
umumnya mereka terikat oleh keyakinan pada kehebatan 
ilmunya, sehingga harus berpantang mendekati perempuan. 
Apalagi untuk berhubungan dengan perempuan nakal, sama 
sekali harus dijauhkan dari pikiran mereka. 

Bagi sebagian para pedagang dan petani yang hidupnya 
mendambakan untuk mendapatkan kesenangan harta. 
Beberapa di antaranya sangat gemar "berjajan" mendatangi 
warung-warung nakal yang kalau malam hari berlampu merah 
remang-remang ini. Namun sejak warung ini tutup, mereka 
merasakan siksaan yang amat sangat berat. Kepalanya pusing 
tujuh keliling, dan jalannya terkekeh-kekeh menahan beban 
belakangan ini. 


Rupanya perempuan-perempuan yang dinanti, dan biasa sebagai
tempat penyaluran hasrat laki-laki macam itu, mereka kini sedang
rajin pada berkumpul di halaman belakang warung untuk 
bergiat diri berlatih bela diri ilmu kanuragan di bawah asuhan 
Joko Manggolo yang kimi kesehatannya nampak telah pulih 
kembali. 


"Mbrot, kamu ini kebesaran pantat, makanya tendanganmu 
tidak pernah lurus. Pantat kamu itu dihilangkan dulu, baru 
berlatih ilmu kanuragan,” ledek Watik kepada rekan di 
sebelahnya Sarijah gembrot yang dikenal mempunyai bokong 
paling besar itu. 


"Huss, kamu sendiri nendang tidak karuan. Lubang tengah
kamu itu yang perlu diatur dulu biar dapat nendang tegak," 
balas Sarijah gembrot tidak kalah buasnya. 


"Enak saja kamu ngomong. Rusuh itu. Didengar kangmas
Manggolo. Malu, kan," bentak Watik. 


“Habis kamu sendiri yang memulai." 


“Baiklah tenang dulu mbakyu-mbakyu," kata Joko Manggolo 
berusaha menenangkan perempuan-perempuan yang pada 
cerewet saling ledek itu, "Semua bentuk tubuh kita ini 
mempunyai kelebihan, dan kelemahan, atau keunggulan dan 
kekurangan masing-masing. Tiap jurus ilmu kanuragan ini 
dapat disesuaikan menurut keadaan tubuh penggunanya. 
Seseorang yang bertubuh besar dapat menggunakan jurus-jurus 
yang memang memerlukan tenaga kuat. Sedangkan yang 
bertubuh kecil, mungil, dapat menggunakan jurus-jurus lentur 
yang mengandaikan pada gerakan hindaran, liukan, dan 
kelincahan penyerangan." 


Pengarahan Joko Manggolo itu hanya ditanggapi oleh para 
perempuan itu dengan senyum-senyum geli tidak dipahami 
maknanya.


"Misalnya saja seperti Mbakyu Sarijah ini yang bertubuh berat
dan punya bokong besar merekah, dapat menggunakan jurus-
jurus gajah, tandukan badak, kerbau liar, dan harimau. Misalnya
jurus kibasan belalai, sabitan, pitingan, jepitan, terkaman,
tangkapan, kuncian, dan patahan. Atau jurus bantingan,"
semua perempuan yang mendengarkan keterangan-keterangan
Joko Manggolo itu pada ketawa geli cekikikan.

"Sedangkan Mbakyu Srintil yang bertubuh kecil mungil, kerus 
njenges, berpentat tepos, kaki lurus kering, juga dapat meng- 
gunakan jurus-jurus yang dengan kondisi tubuhnya, 
misalnya jurus katak loncat, monyet bergantung, ketupai 
berjingkat, atau jurus ular-ularan. Jadi semua jurus dapat 
disesuaikan dengan kondisi tubuh masing-masing. Justeru itulah 
gunanya berlatih ilmu kanuragan untuk menutup kelemahan 
tubuh kita dan melipatgandakan keunggulan yang ada pada 
tubuh yang kita punyai," kata Joko Manggolo menerangkan 
dasar-dasar jurus ilmu kanuragan yang diajarkannya itu sambil 
memperagakan din untuk memberikan contoh-contohnya 
yang diikuti suara cekikikan perempuan-perempuan yang 
sedang berlatih itu, kelihatan sambil pada bercanda. Namun 
Joko Manggolo, tetap serius mengajarkannya nampak tidak 
terpengaruh oleh canda ria para perempuan yang selama ini 
sudah terbiasa bergaul akrab dengan banyak laki-laki itu. 


Pada hari yang kedua puluh, nampaknya mereka sudah mulai 
menguasai dasar-dasar jurus. Mampu melakukan gerak 
langkah, dan gerakan bela diri taktis untuk sekedar memberikan 
pembekalan bela diri ringan, terutama untuk melepaskan diri 
dari serangan cengkeraman lawan. Namun belum masuk 
sampai pada dasar-dasar jurus sabung, baru berlatih cara 
"pasang", sikap bertarung untuk memulai mempertahankan 
diri dari serangan dan kemudian melakukan pembalasan. 


"Mbakyu-mbakyu, rupanya latihan jurus-jurus dasar sudah 
mulai dikuasai. Tinggal pengembangan lebih lanjut. Sebagai 
pengetahuan kita, nantinya kita perlu memperdalam cara-cara 
melakukan sambut serang yaitu apabila suatu saat ada serangan 
mendadak kita harus memberikan perimbangan perlawanan 
dengan berbagai kemungkinan, antara lain menangkis, 
mengelak, membuat langkah mundur untuk menghindar, atau 
maju menyamping untuk memanfaatkan kekuatan lawan agar 
lawan terjerumus oleh daya kekuatannya sendiri. Istilahnya 
menggunakan kekuatan atau kelebihan lawan untuk 
menjatuhkan lawan itu sendiri. Namun itu merupakan 
pelajaran sulit untuk tingkat tinggi yang sangat diperlukan 
ketekunan latihan mendalam. Apalagi kita akan mempelajari 
cara-cara merubuhkan lawan dan kemudian melakukan 
kuncian, sangat diperlukan ketelitian dan kecepatan serta 
ketahanan daya tubuh," begitu Joko Manggolo dengan teliti 
berusaha memberikan dasar-dasar pengetahuan ilmu kamuragannya 
kepada perempuan-perempuan itu yang nampak mulai 
ditanggapi sungguh-sungguh oleh mereka setelah mengetahui 
kemanfaatan dan kehebatan mempelajari ilmu kanuragan itu. 


Kemajuan yang lumayan itu, menurut Joko Manggolo sudah 
cukup memadai, paling tidak sudah bisa digunakan untuk 
usaha pertahanan diri sewaktu-waktu. Baik secara perorangan 
maupun keroyokan. 


Sesuatu yang tiba-tiba terjadi perubahan pada karakter para 
perempuan itu, mereka kini lebih memiliki kepribadian. 
Mereka mulai mengenal jati dirinya dan kepercayaan pada diri 
sendiri makin tumbuh kuat. Dan yang lebih luar biasa, mereka 
tidak ada gairah lagi untuk membuka warung nakalnya itu. 
Mereka merencanakan akan kembali ke kampungnya masing- 
masing, ingin hidup secara wajar. Tidak sudi lagi menjajakan 
diri untuk melayani kepentingan laki-laki hidung belang. Atau 
masih ada yang bersemangat meneruskan usaha warung ini 
tetapi tidak untuk melayani laki-laki hidung belang, tapi khusus 
untuk membuka warung makan dan minum saja. 


Pengaruh falsafah yang diajarkan sebagai seorang yang telah 
menguasai ilmu kanuragan itu telah mengubah pula pandangan 
hidup mereka yang selama ini, hanya tahu soal kebutuhan 
materi dan ingin mendapatkannya secara gampang dengan cara 
melacurkan diri. Kini mereka benar-benar telah berubah. 


Mereka lebih yakin pada diri sendiri bahwa mendapatkan uang 
dengan bekerja wajar pun akan dapat diperoleh hasil yang 
banyak. Selama ini mereka selalu berpikir tidak ada lowongan 
pekerjaan yang paling ungkinkan kecuali menjual diri. 
Anggapan ite sekarang tidak lagi tepat. 

Pada hari-hari berikutnya mereka nampak lebih telam berlatih. 
Mereka makin serius, dan tidak lagi terdengar suara cekikikan 
sebagaimana pada permulaan mereka berlatih dahulu. Mereka 
kini telah berubah seperti postur perempuan-perempuan tangguh 
yang tidak takut menghadapi kesulitan hidup, dan tidak gentar 
menghadapi kematian. 


Para laki-laki bekas langganannya dahulu pada kaget melihat 
perubahan sikap perempuan-perempuan penghuni warung 
Randil itu. 

"Tik, saya sudah kangen banget sama kamu," kata salah 
seorang bekas langganannya itu yang siang-siang itu datang 
mampir ke Warung Randil itu. 


"Kalau kangen, kawini saja aku secara baik-baik, jangan main 
umpet-umpetan begini," kata Watik nampak tegas menghadapi 
laki-laki itu, tanpa memperlihatkan senyum geniinya lagi. 
Nampak begitu serius. 


"Kenapa kamu sekarang kok jadi ketus begitu, Tik." 


"Tidak ketus. Aku butuh laki-laki yang serius bertangung 
jawab. Man meminangku dan menjadi isterinya secara baik- 
baik. Tidak mau lagi aku hanya dijadikan kuda tumpakan 
sakepenake wudelmu dewe, Sehabis dipakai, aku diterlan- 
tarkan. Mulai sekarang aku tidak mau lagi." 


"Wah. Kamu kan butuh uang, Tik. Aku akan bayar kamu 
bilamana aku membutuhkan kamu. Mana mungkin aku 
mentelantarkan, selalu memberi uang," 


"Tidak bisa. Aku tidak mau uangmu dengan cara begitu." 
"Jangan begitu, Tik. Kita kan sudah langganan lama." 


“Tidak ada lagi langganan mulai sekarang. Kalau kamu datang 
kemari dengan niat mau mengambil aku sebagai isteri, kita bisa 
bicarakan, kalan hanya mau main-main, Sudah sana pergi aku 
tidak mau terima tamu yang hanya mau main-main." 


“Wah...wah, Ini keterlaluan, Tik, Tega-teganya kamu mengusir 
aku, Tik. Sudah berapa banyak nangku yang keluar untuk aku 
berikan kepada kamu. Masak sekarang aku butuh kamu, 
sikapmu jadi tidak enak begini. Ada apa sebenarnya, Tik. 
Mengapa tidak seperti biasa-biasanya." 

"Sudahlah. Aku hargai atas kedatanganmu mengunjungiku, 
tetapi jangan harap engkau dapat menjamahku lagi dengan 
uangmu itu," 


"Luar biasa. Aku masih sanggup membayar mahal, Tik. Berapa 
aku harus bayar kamu," 


"Sudah aku katakan, aku tidak butuh uangmu itu. Kalau kamu 
mau menyentuh aku. Pinang aku. Lamar aku. Dan kawini aku 
dengan cara baik-baik." 


"Aku kan sudah punya isteri, Tik. Mana mungkin aku mengawinimu." 


"Ya sudah, Sana. Sentuh saja isterimu di rumah semau kamu. 
Dan jangan cari perempuan lain kemari kalau hanya mau 
main-main."


“Wah. Kenapa kamu jadi berubah begini, Tik. Aku jadi tidak 
mengerti." 

"Maaf, Kakang Trenggono. Kalau sekiranya keperluan 
Kakang kemari sudah cukup, saya mau mohon diri. Banyak 
pekerjaan di belakang yang harus aku kerjakan." 

"Mengusir lagi, yah. Ini, Tik. Terima uang tiga ribu keping. 
Ambil semua, tapi jangan perlakukan aku seperti itu, ya, Tik." 

"Maaf. Aku bukannya tidak butuh uang. Tetapi untuk 
memberikan imbalan atas uangmu ini aku sudah tidak bisa 
lagi. Bawa lagi uang itu, aku tidak man terima." 

"Enggak apa-apa. Ambil saja. Ini buat kamu. Kalau hari ini 
kamu berhalangan, aku tidak apa-apa. Lain waktu aku mampir, 
Aku berikan uang ini tanpa ikatan apa-apa. Aku hanya senang 
saja sama kamu. Selama ini kamu telah memberikan kesenangan 
kepadaku." | 

"Tapi, aku tidak mau menerima uang...in...ini,” belum habis 
kalimat Watik. Tiba-tiba laki-laki itu sudah berdiri dengan 
tersenyum-senyum meninggalkan Watik, terus langsung 
menuju ke dokar kuda yang di parkir di halaman warung Randi! 
itu. Watik hanya memperhatikan tingkah laki-laki yang dulu 
menjadi langganannya itu dengan terbengong-bengong. 

"Ada-ada saja tingkah laku laki-laki itu," ujar Watik 
sendirian. 

"Ada apa, Tik. Kangmas Renggono tadi. Ia marah yah,” kata 
Sanjah Gembrot keluar dari kamar depan. 

"Ya, mungkin. Tetapi ini, uangnya ditinggalkan begitu saja. 
Lalu, bagaimana ini. Uang sebanyak ini ditaruh begini saja." 


"Apa kata dia tadi." 


"Yah, maunya dia aku disuruh melayani. Tetapi aku tetap 
menolaknya. Lalu dia bilang, biar uang ini untuk kamu saja Tik 
sebagai ucapan terima kasihku selama ini. Lalu, ia pergi. Jadi 
bagaimana menurut pendapatmu,” 


"Ya sudah itu jadi uang kamu. Bukan salah kamu. Pakai saja.” 


"Ach. Enggak mau. Jangan-jangan ini hanya untuk pancingan. 
Suatu saat ia datang kembali minta dilayani. Kalau aku tidak 
mau ia minta uangnya kembali bisa kacau. Sudah aku simpan 
saja. Nanti kalau ia kembali lagi, mau ribut. Akan aku 
lemparkan uang ini ke mukanya. Dikiranya kita bisa diperdaya 
begitu saja dengan uangnya." 


"Ya, Aku rasa benar juga pikiranmu itu, Tik. Hati-hati kelakuan 
laki-laki itu. Yah, kamu simpan baik-baik saja uang itu untuk 
jaga-jaga kalau ia banyak ulah nanti, kita hajar ganti dia,” kata 
Sarijah Gembrot. 

Sejak saat itu. Warung Randil ini hanya menerima orang yang 
mau membeli makanan dan minuman. Tidak lagi ada pelayanan 
untuk perempuan. Banyak para langganan lama yang kecewa, 
pulang marah-marah. Tetapi kemudian beberapa hari lagi 
_ mereka datang untuk meminta maaf dan berlaku sopan kepada 
para perempuan penghuni warung makan ini 


"Maaf, Tik. Atas kekasaranku tempo hari. Aku tidak sengaja 
kehilangan keseimbangan diriku karena biasanya kamu bisa 
sewaktu-waktu melayaniku, tetapi kali itu kamu lain. Berani 
menolaknya. Jadi aku terbawa nafsu. Maaf ya, Tik" kata 
Pak Dikun seorang pedagang kaya yang biasa berlangganan 
kemari. 


"Tidak apa-apa kok, Pak. Kami di sini yang justeru minta maaf 
karena tidak bisa lagi melayani bapak seperti biasanya dahulu." 


"Ya. Aku senang saja pada kalian jadi walaupun sekarang 
warung merah kalian sudah tidak ada lagi, aku masih akan tetap 
langganan makan di sini." 


"Terima kasih, Pak Dikun", kata perempuan-perempuan itu 
hampir berbarengan dengan muka ceria yang ramah. 


Walaupun warung Randil ini sekarang sudah tidak melayani 
laki-laki iseng lagi, tetapi tambah hari bukannya sepi pengunjung, 
malahan makin ramai orang yang memerlukan makan minum 
di tempat ini. Bahkan sekarang justeru banyak ibu-ibu kalau 
kesiangan di jalan, memerlukan makan siang mampir makan 
ke warung Randi mi 


Penghidupan perempuan-perempuan penghuni warung makan 
ini makin baik. Rejekinya terus berdatangan. Mereka masih 
dengan tekun tiap hari belajar ilmu pencak silat yang diajarkan 
oleh Joko Manggolo yang juga ikut membantu memajukan 
warung makan itu. 


Sudah berlangsung hampir empat bulan, terjadinya perubahan 
warung di tengah sawah Dukuh Randil ini, maka pada suatu 
hari Joko Manggolo berpamitan akan meneruskan 
perjalanannya untuk tujuan mencari ayah-bundanya itu. 


"Mengapa Kangmas Manggolo tidak tinggal di sini terus," kata 
Watik yang nampak mulai menaruh hati kepada Joko Manggolo 
itu. 


"Aku masih mempunyai tugas berat. Untuk mendapatkan kembali 
perjalanan panjang. Maafkan aku, Mbakyu Watik." 


"Kalau nanti sudah ketemu ayah-ibunya, datang kemari lagi, 
ya. kangmas Manggolo." 


"Pasti itu. Saya tidak melupakan kebaikan Mbakyu-mbakyu di 
sini." 

Pagi buta dengan berbeka! sekampluk makanan dan bahan 
pangan yang telah disediakan perempuan-perempuan penghuni 
warung makan itu, Joko Manggolo pergi meninggalkan warung 
itu dengan diiringi tangis haru para perempuan itu. Satu per 
satu mereka memeluk tubuh Joko Manggolo yang tegap 
perkasa itu untuk mengucapkan selamat jalan. 


5
TRAGEDI 


AWAN mendung sejak sore nampak menyelimuti Dukuh 
Pupus Aren. Suatu perkampungan diperbukitan yang 
penuh gejolak. Nampak terdapat perbedaan yang menyolok 
antara golongan masyarakat yang berpunya dan yang terbe- 
lakang. Masyarakat miskin yang kelihatan makin tersingkir ke 
arah pelosok perbukitan yang makin jauh ke dalam. Mereka 
mengandalkan nafkah hidupnya menjadi buruh dan pembantu 
rumah tangga bagi keluarga-keluarga berpunya di daerah 
perkampungan dukuh Pupus Aren Kadipaten Ponorogo ini 


Kalangan yang berkemampuan ekonomis di Dukuh Pupus 
Aren, kebanyakan mempunyai usaha perkebunan pohon aren 
yang diolah menghasilkan gula aren, juga beberapa orang yang 
terpandang sebagai orang kayanya mempunyai perkebunan 
tebu di beberapa daerah dataran rendah yang kemudian diolah 
sebagai produksi gula tebu. Produksi yang dihasilkan itu selain 
dipasarkan ke kota Kadipaten Ponorogo, juga dikirim ke kota 
Trowulan, ibukota kerajaan Majapahit pada waktu itu. 


Penduduk dukuh Pupus Aren dikenal luas sebagai orang-orang 
yang keras, Keras dalam bekerja, keras hatinya, keras bersikap, 
kebanyakan orang dari luar dukuh Pupus Aren, melihat cara 
mereka berbicara tiap hari seperti orang yang sedang 
bertengkar, padahal itu biasa bagi telinga mereka. Bahasa 
yang mereka gunakan ngoko, tidak dikenal perbedaan bahasa 
halus, walaupun itu pembantu terhadap majikannya, tiap hari 
berbicara ngoko seperti tidak pernah ada perbedaan antara, 
siapa majikan dan siapa kawulo. Perbedaan itu, baru akan 
terlihat dari pakaian yang disandangnya, Bagi majikan, jelas 
berpakaian lebih bagus dan terlihat berharga mahal, sedangkan 
bagi pembantunya lebih lusuh dan kelihatan harga murahan. 


Dukuh Pupus Aren dipimpin oleh Lurah Mangunprayogo, 
ilmu kanuragan, kesaktian dan kedigdayaan. Tetapi ia belum 
bergelar Warok Mangunprayogo. Cuma itu tadi, ia biasa bicara 
keras dan ceplas-ceplos terhadap siapa saja orang yang ditemui. 
Maksudnya barangkali ingin menunjukkan dirinya sebagai 
orang yang terbuka, tidak ada tedeng aling-aling, akan tetapi 
sering disalahtafsirkan orang yang kemudian banyak yang 
sakit hati hanya lantaran diomongkan yang tidak enak ditelinga 
itu. Oleh karena itu masyarakat belum pemah menyebutnya 
sebagai warok. 

Rumah kelurahan yang ia diami bersama keluarganya, dibangun 
mentereng di tengah-tengah perkampungan warga yang 
dipimpinnya. Tiap malam diadakan penjagaan ronda dan 
rumahnya sendiri itu selalu dijaga ketat oleh para pamong yang 
nampak juga terlatih dalam berlaga. 

Pada suatu hari keluarga Pak Lurah ini kedatangan rampok. 
Seperti orang sedang njarak, sengaja mencoba kemampuan 
Pak Lurah ini. Gerombolan perampok dengan gesit mem- 
bekuk, penjaga-penjaga rumah Pak Lurah Mangunprayogo 
satu per satu dilumpuhkan, walaupun mendapat perlawanan 
keras dari para penjaga yang tangguh-tangguh itu, tetapi 
nampaknya perampok kali ini bukan gerombolan sembarangan. 
Sungguh aneh, perampokan itu hanya terjadi di rumah Pak 
Lurah saja. Rumah penduduk lainnya, dan tetangga paling 
dekat dengan rumah Pak Lurah tidak dijamah sama sekali. 
Padahal rumah-rumah yang dekat dengan rumah Pak Lurah ini 
rata-rata milik orang kayanya di kampung ini. Bahkan ada 
rumah yang lebih baik daripada rumah Pak Lurah, tidak terkena 
sasaran perampokan ini. Tetapi memang, sedekat apa pun 
tetangga rumah Pak Lurah itu, temyata masih di belah oleh 
aliran sungai atau semacam jurang kecil sebab jarang ada 
airnya, hanya musim penghujan terlihat mengalir airnya yang 
deras kemudian habis lagi, jurang kecil ini yang memisahkan 
antara rumah Pak Lurah dengan rumah tetangga-tetangganya, 
sehingga jarah yang memisahkan ini yang membuat kesan 
rumah Pak Lurah nampak agak menyendiri. Walaupun berada 
di tengah padukuhan yang dikelilingi rumah-rumah penduduk 
yang tersebar itu, tidak menunjukkan suasana rumah Pak Lurah 
itu berada akrab dengan penduduknya. Suasana rumah yang 
nampak menyendiri itu yang rupanya memudahkan bagi para 
perampok itu segera dapat memasukinya tanpa diketahui oleh 
para tetangga dekatnya. Terkecuali para penjaga yang sengaja 
digilir mengamankan rumah Pak Lurah itu. 

Perampok yang tidak diketahui dari mana aslanya, telah
berhasil menguasai para penjaga yang sepanjang malam 
berjaga berkeliling di rumah Pak Lurah. Sebelas orang telah 
dihabisi, tidak ada satu pun yang hidup ketika terjadi pertarungan
sengit dengan gerombolan perampok yang menyerbu serentak. 


Seorang petugas yang seharusnya dapat membunyikan kentongan, 
ketika ia berlari mau menabuh kentongan itu, belum sampai telah 
tersambar sebilah senjata tajam motek yang mengenai pung- 
gungnya ketika dilempar oleh salah seorang perampok yang 
memergokinya. 


Pak Lurah ketika mendengar keributan di halaman rumahnya 
yang besar itu, ia segera waskito, pasti ada sesuatu yang tidak 
beres terjadi di lingkungan rumahnya yang luas ini, Ja segera 
berganti pakaian laganya berupa seragam hitam-hitam, kolor 
besar panjang yang telah diisi jampi-jampi sebagai kekuatan 
pertahanan tubuhnya, dan tidak lupa sebilah motek senjata 
tajam khas Ponorogo itu disambarnya. Isterinya yang sedang 
enak-enak tidur terlentang itu tidak berapa lama kemudian ikut 
terjaga. Masih setengah mengantuk, dilihatnya suaminya 
mengenakan pakaian laga ia agak terheran, tetapi ketika 
terdengar suara gaduh di luar ia memakluminya. Ia sendiri 
segera melompat dan mengenakan pakaian laga juga. 


"Ada apa, Kangmas," tanya isterinya di tengah membetulkan 
pakaian laganya itu. 


"Entahlah. Sepertinya ada gerombolan liar yang sengaja 
mengincar nyawaku." jawab Pak Lurah kepada isterinya 
Endang Sri Sumilir, perempuan cantik berkulit kuning langsat 
yang dinikahinya sudah hampir dua puluh tahun yang lalu itu. 
Kelihatannya, Pak Lurah Mangunprayogo ini amat sayang 
kepada isterinya yang supe! kepada siapa saja, sehingga 
sekasar apa pun perangai Pak Lurah, namun lain bahasa yang 
digunakannya terhadap isterinya, terasa sangat halus walaupun 
dengan nada bicara tinggi. Mungkin menunjukkan kecintaannya
yang mendalam itu. 


"Kalau yang diinginkan nyawa, Kangmas. Apakah tidak 
sebaiknya, Kangmas segera kabur saja lewat pintu belakang." 


"Tidak ada tempat lari lagi, Diajeng. Mereka pasti sudah 
mengenali seluk beluk rumah kita ini. Kelihatannya mereka itu 
bukan gerombolan sembarangan. Mereka berilmu tinggi. Jadi 
tidak ada gunanya kita lari. Kita harus bisa melawan. 
Sebaiknya Diajeng, bangunkan segera putri kita si Senduk." 
Kata Pak Lurah kepada isterinya. Nama lengkap putri Pak 
Lurah itu sebenarnya Gianti Gayatri, tapi bagi kebanyakan 
orang Ponorogo memanggil nama kesayangan anak perem- 
puannya dengan panggilan Senduk. "Bersembunyilah di 
belakang kandang ayam yang aku siapkan itu," lanjut Pak 
Lurah kepada isterinya "Kalau mereka akan mencari kalian 
berdua, pasti akan bertemu dengan ayam-ayam aduan kita. 
Mendengar kokok ayam dan bahu kotoran ayam, pasti mereka 
akan mengurungkan niatnya mencari kalian berdua. Sementara 
aku berharap, kalau aku tidak mampu menandingi mereka akan 
segera datang bantuan dari penduduk.” 


"Ya, Kakangmas. Akan segera aku laksanakan. Hati-hatilah, 
Kakangmas,” kata isterinya nampak memperlihatkan 
kekhawatirannya yang mendalam. 


"Ya, Jaga diri kalian berdua baik-baik." 


Terlihat Pak Lurah itu memeluk erat isterinya, yang bernama 
Endang Sri Sumilir itu, perempuan molek yang dulu 
sebenarnya sebelum diambil isteri Pak Lurah berprofesi 
sebagai penari gambyong. Banyak laki-laki, dan para warokan 
yang menaksirnya, tetapi entah mengapa, Pak Lurah berhasil 
menggactnya, dientaskan dan dunia “glamour"nya orang- 
orang Ponorogo itu untuk diangkat menjadi perempuan baik- 
baik sebagai isteri Pak Lurah. Dari sini ceritera berkembang, 
banyak laki-laki yang dulu pernah menaksirnya pada sakit hati. 
Hai itu yang kemudian membuat Pak Lurah jadi banyak musuh 
dari gerombolan-gerombolan sakit hati itu yang rupanya hendak 
menebus rasa harga dirinya, Ingin mencabut nyawa Pak Lurah. 


Malam itu, setelah Pak Lurah merasa telah mempersiapkan 
segala sesuatunya untuk menghadapi medan laga, ia segera 
meloncat keluar kamar lewat samping serambi rumah. Tidak 
lupa ia mencabut tombak andalan kelurahan Dukuh Pupus 
Aren yang terkenal dengan sebutan "Kyai Bedor" sebagai 
perlambang tombak kemakmuran Dukuh Pupus Aren di daerah 
kulon kadipaten Ponorogo itu. 


Ketika dilihat oleh Pak Lurah para penjaga rumah kelurahan 
itu banyak yang tergelepar di berbagai tempat sudut rumah itu, 
bahkan kedua pembantu perempuannya juga telah tergeletak 
tidak bernyawa, dan kemudian di seberang tembok itu terlihat 
ada seseorang yang berewokan sedang mengendap-endapkan 
badannya, Pak Lurah segera bersiaga dengan memasang seluruh 
daya kekuatannya untuk mengetahui gerakan-gerakan 
perampok itu. Sewaktu ia membalikkan badannya terlihat tiga 
orang laki-laki yang kelihatan berangasan telah melihat 
keberadaan Pak Lurah. Ketiga laki-laki berewokan itu 
segera menyerang Pak Lurah yang telah bersiaga menghadapi 
segala kemungkinan penyerangan mendadak dari para perampok 
itu. Dengan gesit, Pak Lurah memainkan tombak "Kyai 
Bedor"nya itu berputar-putar kian kemari. Ketiga perampok 
tangguh itu pun tidak kalah lincahnya, dengan menggunakan 
senjata morek mereka nampak mahir bergerak cepat merdesak 
Pak Lurah terus ke arah sudut ruangan. Kilatan senjata-senjata 
mereka dan suara keras ketika senjata-senjata mereka beradu. 
Beberapa kali sabetan mofek para perampok itu mengenai 
tubuh Pak Lurah, akan tetapi rupanya tidak mempan melukai 
tubuh Pak Lurah yang sakti itu. Demikian juga tombak Pak 
Lurah yang beberapa kali menusuk bagian-bagian tubuh 
perampok-perampok itu hanya menimbulkan goresan-goresan 
yang mengeluarkan darah kental bercucuran tidak seberapa 
lantaran ternyata para perampok itu pun juga bukan lemah yang 
tidak mempunyai kesaktian. Pak Lurah dan para perampok itu 
walaupun termasuk sama-sama orang yang sakti, tetapi 
rupanya mereka kurang terlatih dalam melakukan gerakan. 
sejadinya. Namun, walaupun Pak Lurah sebenarnya memiliki 
Ilmu kanuragan untuk menangkal berbagai senjata tajam, ia 
tidak tedas bacok, akan tetapi ia lengah konsentrasinya ketika 
terdengar suara jerit putri dan isterinya dari arah kandang 
belakang. Rupanya, isteri dan putrinya yang sedang sembunyi 
di balik kandang ayam itu beteriak minta tolong sewaktu 
ditemukan oleh seorang perampok yang mencurigai tempat 
kandang itu. Sebenarnya perampok itu sebelumnya tidak dapat 
melihat persembunyian mereka berdua ketika ia membolak 
balik mencari pintu masuk kandang itu yang terus terkena 
sambaran kokok ayam jantan peliharaan keluarga Pak Lurah 
itu. Namun, putri Pak Lurah yang sedang ketakutan berat 
ketika melihat ada perampok di dekatnya yang sedang 
berusaha mencarinya itu, ia tanpa sadar terduduk ndoprok, 
menggigil ketakutan, kemudian ngompol, terkencing-kencing 
"sirrrrrrrr" bunyi keras suara perempuan kencing sambil 
terkentut-kentut keras "Tiut, preer?” karena ketakutan. Perampok 
itu makin curiga ketika mendengar ada suara perempuan kencing 
disertai seperti suara orang kentut keras itu. Ia lalu mulai yakin 
ada perempuan yang berada tidak jauh dari kandang ini. Benar 
juga sebilah papan besar yang menjadi pelindung persembunyian 
kedua perempuan itu ketika dibongkar terlihat ada dua orang 
melihat laki-laki yang memergokinya itu, tanpa sadar ia 
menjerit nyaring "Tolonnnnggegggg", 


Dan "Blukkkk. Brakk” perampok itu rupanya terkena tendangan 
keras dari salah seorang perempuan itu yang ternyata tendangan 
maut dari isteri Pak Lurah, pendekar Endang Sri Sumilir. 
Rupanya, isteri Pak Lurah yang memiliki dasar-dasar ilmu 
kanuragan itu langsung menerjang laki-laki brewokan yang 
berusaha bangun dari jatuh terpental ke belakang karena 
terkena tendangannya itu. 


"Mati aku. Kurang ajar, perempuan tidak tahu diri," teriak laki- 
laki itu sambil berusaha berdiri. Namun rupanya, isteri Pak 
Lurah yang ternyata juga sangat mahir mengeluarkan jurus-jurus 
ilmu kanuragannya itu, mampu memberikan perlawanan keras 
terhadap laki-laki dungu itu. Serangan yang terus bertubi itu 
tidak dapat dielakkan oleh laki-laki berewokan perampok itu, 
ia terus terdesak ke belakang. Namun naas, rupanya suara 
teriakan putri Pak Lurah yang tadi terdengar sampai di samping 
rumah joglo itu telah membuat sekawanan perampok lainnya 
berhamburan mendatangi arah suara itu. Begitu melihat temannya 
sedang dihajar oleh seorang perempuan itu, segera mereka 
menolong mengeroyok perempuan itu. Tidak berapa lama, 
Isteri Pak Lurah itu sudah tidak berkutik menghadapi 
perlawanan keroyokan itu, walaupun ia berjuang keras untuk 
merubuhkan satu per satu para laki-laki yang mengeroyoknya 
itu, namun akhirnya ia kewalahan juga, dan ia berhasil 
diringkus para perampok itu sekaligus bersama putri Pak 
Lurah itu. 

Pak Lurah yang begitu kaget mendengar jerit anaknya itu tadi, 
ta menoleh lengah ke arah datangnya suara putrinya itu, dan ia 
belum sempat menghidupkan tenaga dalamnya yang 
menopang ilmu kedigdayaannya ketika tiba-tiba ia diserang 
menghadapi kekuatan dahsyat, serangan aji-aji yang 
dilemparkan dari jarak jauh. Seseorang dari anggota gerom- 
bolan itu, mungkin ia yang menjadi pemimpinnya, tanpa 
diketahui Pak Lurah telah mempersiapkan aji-aji "Lembur 
Sumyur, Pak Lurah terkena serangan tenaga dalam laki-laki 
yang menyembunyikan dirinya di balik tumpukan kayu-kayu 
mahoni itu. Pak Lurah langsung tergeletak. Akan tetapi, ia 
masih sempat mengucapkan beberapa mantra penolak racun, 
dan pengedar darah dalam tubuhnya, kemudian ia sudah tidak 
ingat lagi.


Untung ketika malam kejadian naas di rumah Pak Lurah itu, 
Joko Manggolo yang kemalaman di perjalanannya, ia sedang 
memasuki Dukuh itu. Terlihat suasana sepi perkampungan itu, 
hanya sekali-kali terdengar suara orang yang sedang meronda 
membunyikan kentongannya. Joko Manggolo dapat 
menangkap angin yang kurang beres terjadi di perkampungan 
yang sunyi senyap mi, Ia segera berkonsentrasi untuk mencari 
dari arah mana datangnya "hawa buruk" malam begini ini. Ia 
terus menelusuri sesuai aliran petunjuk dalam bathinya. Tidak 
berapa lama, ia segera mendapatkan rumah Pak Lurah, terlihat 
seorang penjaga tergeletak di depan pintu masuk. Joko Manggolo 
terus ke dalam, dan ditemukan lebih banyak lagi korban-korban 
yang berjatuhan disana-sini. Kemudian ia mengelilingi rumah 
Joglo besar itu barangkali masih ada orang yang tersisa. Tidak 
dijumpai makhluk yang masih hidup. Lalu ia, melihat 
seseorang yang perkasa tergeletak di tangga dalam, melihat 
pakainya yang lumayan bagus itu, tentunya ia itu seorang 
ningrat. Mungkin beliau ini Pak Lurahnya, Tubuh Pak Lurah 
segera dibopongnya. Ia memperkirakan jiwa Pak Lurah itu 
dapat tertolong, masih ada tanda-tanda kehidupan yang 
memungkinkan ia segera siuman dari pingsannya. Joko 
Manggolo segera menolong Pak Lurah itu yang kemudian 
membawanya masuk ke dalam rumahnya ditaruh di atas tempat 
tidur. Kemudian, Joko Mangolo segera ke dapur mencari 
beberapa dedaunan, yang kemudian diracik dan diusapkan ke 
wajah Pak Lurah dan pada bagian tubuh-tubuh lainnya yang 
penting. Benar juga Pak Lurah lambat-laun dapat membuka 
matanya, dan temyata ia masih hidup. Ja memperhatikan wajah 
Joko Manggolo, seorang pemuda asing yang belum pemah 
dikenali sebelumnya. 


"Ter...terima...terima kas...kasih, anak muda, Engkau telah 
menolongku," kata Pak Lurah terbata-bata. 


"Siapakah yang melakukan semua ini, Pak." tanya Joko Manggolo. 


"Ak .ak...aku tidak begitu mengenalnya. Mungkin mereka 
belum jauh dari sini. Tapi, lamat-lamat aku mengenalinya. 
Coba tolong anak muda, nama perampok itu kalau tidak salah 
dari gerombolan Brojol Mangun yang terkenal memiliki ilmu 
ajian Sempur Ungu dan Lembur Sumyur.” 


"Biarkan, aku sendiri di sini anak muda. Tolonglah kejar 
mereka. Cepatlah, tinggalkan aku sendiri, anak muda. Aku 
sudah bisa menguasai diri." 


“Bab...ba...baik, Pak. Hamba berangkat mencoba mengejar 
mereka." 


"Ak...aku...aku restui anak muda, berhati-hatilah." 


Joko Manggolo segera mengejar ke arah larinya gerombolan 
itu. Sebelum ia berangkat iatelah menemukan beberapa barang 
perampok yang tertinggal tercecer disana-sini. Dari petunjuk 
barang yang tertinggal, kemudian Joko Manggoolo bisa mencium 
baunya, lalu membaca mantra-mantra untuk mengetahui arah 
larinya orang yang memiliki barang tersebut. Diketahui larinya 
ke arah tenggara Dukuh Pupus Aren ini, Segera Joko Manggolo 
lari mengejamya dengan menggunakan kuda milik kelurahan 
Dukuh Pupus Aren itu yang terparkir tidak jauh dari tempat 
ini. 


Tengah malam, Joko Manggolo dapat memergoki sebuah 
rumah gubug yang tertata agak lumayan rapi di tengah hutan. 
Penuh dengan peliharaan ayam jantan aduan. Joko Manggolo 
segera menghendap-endap, samar-samar terdengar suara ketawa 
banyak laki-laki, dan teriakan histeris seorang perempuan 
setengah baya yang ketakutan menghadapi banyak laki-laki 
begajul itu. 


Setelah Joko Manggolo berhasil mendekati ramah pondok itu, 
ia mengintip ke dalam lubang sela-sela dinding bambu dan 
kayu jati itu. Memang, terlihat banyak laki-laki di dalam yang 
nampak sedang menghitung uang jarahannya, sambil mabuk- 
mabukan minum arak. "Bagaimana aku bisa menghadapi 
sebegitu banyak laki-laki sakti ini seorang diri. Aku harus cari 
akal," begitu pikir Joko Manggolo. 


Tiba-tiba terdengar ada salah seorang laki-laki keluar 
pondoknya. Rupanya ia akan buang air kecil. Joko Manggolo 
segera mendekatinya. Tanpa banyak waktu terbuang lagi, laki- 
laki itu terus segera disekapnya dari belakang. Perutnya ditusuk 
dengan motek., Sebelum melakukan pekerjaan ini Joko Manggolo 
terlebih dahulu membaca mantra-mantra agar aman, khawatir 
laki-laki itu orang sakti yang tidak tedas tusuk. Rupanya laki- 
laki itu sedang lengah setengah mabuk kepayang, sehingga 
dengan mudah Joko Manggolo menghabisinya dengan 
membungkam mulutnya agar tidak mengeluarkan suara. Dari 
mulut laki-laki korbannya itu diketahui oleh Joko Manggolo 
bau arak. Rupanya laki-laki itu sudah mabuk berat. Dari sini 
baru timbul pikiran Joko Manggolo, "Sebaiknya aku membe- 
baskan perempuan ini setelah para laki-laki itu pada mabuk 
masuk.Menunggu sampai mereka tidak sadarkan diri, baru aku 
serang masuk.” 


Joko Manggolo hanya bisa mengintip terus menerus keadaan 
di dalam rumah itu. Nampak satu per satu laki-laki itu tergeletak. 
Mungkin sudah kelelahan karena baru bertarung di rumah Pak 
Lurah tadi. Sudah pada ngantuk ketiduran karena hari sudah 
larut malam. Atau mabuk kebanyakan minum tuak. Terlihat 
kedua perempuan itu diikat erat dengan seutas tali besar di 
palang pojok ruangan. 


Beberapa lama Joko Manggolo menunggu keadaan sampai 
aman betul, baru ia mengendap-endap mencoba memasuki 
pondok itu lewat pintu belakang. Sesampai di ruang tengah 
dimana perempuan itu disekap, ketika melihat kedatangan 
Joko Manggolo perempuan itu agak terperanjat. Tetapi setelah 
diperhatikan wajah Joko Manggolo yang kelhatannya orang 
baik-baik, muka perempuan berubah ceria seperti ada harapan 
akan tertolong jiwanya. “St”, Joko Manggolo memberi 
isyarat agar perempuan itu tenang. Pelan-pelan, Joko Manggolo 
mendekati perempuan itu dan melepaskan ikatan tali-tali itu, 
kemudian pelan-pelan ia dibawa ke luar lewat pintu belakang, 
dan segera dinaikkan ke atas kuda. Namun rupanya nasib baik 
belum berpihak kepada Joko Manggolo, salah seorang perampok 
itu terbangun, ia rupanya kepengin kencing. Ia keluar lewat 
pintu depan, dan ketika ia melihat ada kuda yang sedang 
dinaikki perempuan dan di sebelahnya ada seorang laki-laki, 
masih dalam keadaan ngantuk, mabuk dan setengah tidak 
sadar, laki-laki itu terus meloncat menyerang Joko Manggolo 
sambil berteriak lantang, "Kurang ajar, mau kau bawa kemana 
perempuan ini." 


Joko Manggolo yang tidak mengira datangnya serangan itu, ia 
terkena tendangan tepat di rusuk sebelah kanan, dan terjatuh 
terjungkal. Terjadilah perkelahian sengit. Walaupun Joko 
Manggolo kelihatan dapat menguasai keadaan, tetapi tiba-tiba 
muncul lagi dua laki-laki yang berjalan dengan gontai, 
mungkin masih setengah mabuk kemudian ikut menyerang 
mengeroyok Joko Manggolo. Melihat perimbangan kekuatan 
yang tidak sepadan ini. Tanpa diduga, perempuan yang 
dibebasakan Joko Manggolo tadi yang temyata isteri Pak 
Lurah, Endang Sri Sumilir yang telah duduk di atas kuda itu 
dengan tangkas mencabut molek Joko Manggolo yang sudah 
ditaruh di atas kuda itu tadi, dilemparkan kepada salah seorang 
laki-laki setengah mabuk itu. "Blessss”, mengenai tepat di ulu 
hati laki-laki perampok itu langsung terpelanting mengelepar 
tidak bernyawa lagi. 


Kedua kawanan perampok itu demi melihat salah seorang 
kawannya itu telah terbunuh, mereka tidak sadar menghentikan 
penyerangan terhadap Joko Manggolo dan menghampiri 
mayat temannya itu. Kesempatan baik itu segera dimanfaatkan 
Joko Manggolo dengan meloncat ke atas kudanya dan 
memacunya kencang. Kuda itu segera melaju cepat ke arah 
Dukuh Pupus Aren. 


Melihat Joko Manggolo kabur dengan membawa perempuan 
lainnya yang rupanya masih tergeletak tertidur di dalam pondok. 
Mereka kemudian bangun ketika mendengar teriakan temannya 
itu, tergopoh-gopoh keluar pondok mendatangi arah teriakan 
teman- temannya. 


“Seorang laki-laki berkuda telah membawa kabur itu. Dan si 
Brenggolo mati terbunuh," teriak laki-laki yang sedang 
merawat temannya yang terbunuh itu memberitahu kepada 
ketiga laki-laki yang baru muncul itu. 


“Kurang ajar, siapa laki-laki itu, berani-beraninya ikut campur 
urusan orang lain. Aku akan beresi." 


"Lalu, bagaimana kita sebaiknya." 


"Kita bikin perhitungan lain waktu saja. Hari sudah akan pagi. 
Tidak mungkin kita kembali menyerang ke Dukuh Pupus Aren. 
Penduduk pasti sudah pada bangun. Berat kita melawan seluruh 
penduduk," kata laki-laki yang kelihatannya sebagai pemimpin 
mereka. 


Ketika Joko Manggolo kembali memasuki Dukuh itu dengan 
membawa isteri Pak Lurah yang pingsan dibopongnya, ia 
dihadang oleh orang-orang kampung dengan senjata lengkap. 
Mereka mengira Joko Manggolo yang menjadi pelaku peram- 
pokan itu. Isteri Pak Lurah itu rupanya tidak bisa bicara karena 
lemas dan masih meninggalkan trauma ketakutan, nampak 
lunglai, lalu pingsan yang kemudian oleh Joko Manggolo 
diserahkan kepada orang-orang yang berkerumun itu untuk 
diangkut ke dalam rumah. Sementara itu Joko Manggolo harus 
berhadapan dengan orang-orang kampung yang nampak 
beringas melihat kedatangan orang asing, Joko Manggolo ini 
Terjadilah perkelahian keroyokan. 


Untunglah ketika berlangsung pertarungan sengit itu, Pak Lurah 
yang sedang tidur sakit terkena ilmu tenaga dalam perampok 


itu segera mendapat laporan dari Pak Catik mengenai pemuda 
yang membawa isteri Pak Lurah itu. 


“Hentikan pengeroyokan itu. Pemuda itu yang telah menolong 
saya. Dia bukan perampoknya. Persilakan pemuda itu masuk 
kemari, dan jamu dengan baik," perintah Pak Lurah seketika 
sambil berdiri menahan sakit. Namun ia merasa gembira ketika 
dilihatnya isterinya telah berada di kamarnya di situ juga di 
sebelah tempat tidurnya, dengan ditunggui oleh tiga perempuan 
baya yang dikenal sebagai ahli pengobatannya di dukuh Pupus 
Aren mi. Walaupun perempuan itu masih belum siuman dari 
pingsannya, Pak Lurah terlihat sangat gembira. Bungah. . Isteri 
itu lalu dipeluknya erat-erat, memperlihatkan kasih sayangnya 
yang mendalam sebaga: seorang suami yang baik. 


Pak Cank serta-merta segera berlari keluar rumah Pak Lurah, 
dan berteriak-teriak keras. 


"Hentikan, hentikan perkelahian. Ini perintah Pak Lurah." 


Seketika itu juga, orang-orang kampung yang sedang berjuang 
keras menaklukkan Joko Manggolo itu menghentikan serangan 
keroyokannya. 


"Ada apa, Pak Carik," tanya salah seorang pemuda yang nampak 
telah berlumuran darah pada tubuhnya, tetapi kelihatan masih 
memperlihatkan semangatnya yang keras untuk meneruskan 
perkelahian dengan Joko Manggolo, pemuda asing itu. 


"Pemuda ini yang justeru menolong, Pak Lurah, dan Bu Lurah.” 
"Hah, dia ini. Apa benar!.” 


"Iya. Ini perintah, Pak Lurah. Pokoknya hentikan saja perkelahian 
ini. Sekali lagi ini perintah Pak Lurah.” 


Semua orang yang tadi habis bertarung seru itu tercenung. 
Mereka memperhatikan Joko Manggolo yang nampak berdiri 
tegap. Ia tidak mencabut senjata tajamnya sejak tadi. Jadi 
orang-orang yang berlumuran darah itu lantaran terkena bacok 
oleh senjata teman-temannya sendiri. 


"Baik, kalau demikian. Mari konco-konco. Kita bubar," masih 
teriak pemuda gagah itu. 


“Marilah masuk, anak muda," kata Pak Carik sambil mendekati 
Joko Manggolo, kemudian menyalaminya. Tak lama 
kemudian diikuti oleh orang-orang yang lainnya, satu per satu 
memberikan salam memperkenalkan diri termasuk pemuda 
yang berlumuran darah itu. 


"Maafkan, atas kekeliruan ini, anak muda," kata salah seorang 
penduduk yang tadi juga ikut terlibat bertarung keroyokan itu. 
Joko Manggolo hanya memberikan senyum penuh ketulusan. 


"Maafkan saya juga bapak-bapak," kata Joko Manggolo 
kemudian. 


"Mari. Mari, anak muda ikuti aku masuk ke dalam," kata Pak 
Carik kemudian. Tanpa banyak tanya, tangan Pak Carik itu 
langsung menarik tangan Joko Manggolo. Mereka terus 
berjalan memasuki rumah kelurahan diikuti oleh beberapa 
yang lain, sisanya penduduk Dukuh Pupus Aren memenuhi 
halaman rumah Pak Lurah sambil duduk-duduk berjaga-jaga 
kalau ada serangan kembali dari gerombolan liar ttu. Sementara 
itu kaum ibu-ibu, dan para anak perawannya memasak di dapur 
ramah Pak Lurah untuk menjamu orang-orang kampung yang 
berkumpul di halaman rumah itu. 


" Aku sangat berterima kasih kepadamu anak muda," kata Pak 
Lurah dihadapan Joko Manggolo yang sedang disuguh makan 
dan minum di kamar tidur Pak Lurah itu. Kebetulan memang 
Joko Manggolo sedari sore belum makan, oleh karena itu terasa 
lapar sekali. Apalagi, tenaganya juga baru terpakai bertarung 
menghadapi para perampok di hutan itu, kemudian menyusul 
menghadapi penduduk Dukuh Pupus Aren yang salah paham 
itu tadi. Oleh karena itu, ketika disediakan makan itu, begitu 
dipersilakan segera disantapnya banyak-banyak. Dihabiskan. 
Orang-orang kampung dan Pak Lurah yang melihat Joko 
Manggolo bersantap dengan lahap itu hanya bisa tersenyum- 
senyum geli. 


Tiba-tiba terdengar rintihan kecil ternyata datangnya dari Bu 
Lurah Endang Sri Sumilir, lalu katanya. 


"Kangmas, anak kita si Senduk...” 


"Hah, mana si senduk." Pak Lurah matanya terbelalak kaget. 
Ia baru ingat sejak tadi tidak melihat si senduk putrinya itu. 


"Ia dibawa kabur sama pimpinan perampok itu," kata Bu Lurah 
kembali. 


"Lho, kenapa tadi ibu tidak memberitahu saya," kata Joko 
Manggolo juga ikut kaget. Dia tidak tahu kalau putri Pak Lurah 
juga dibawa kabur. 


"Kalau aku beritahu tadi, Dimas tidak mungkin menyelamatkan 
aku. Kekuatan mereka berlipat ganda. Maka aku tidak tahan, 
Ingat memikirkan nasib si Senduk, dan mungkin aku tadi terus 
pingsan sejak di atas kuda itu." 


"Ohhhh....” Pak Lurah dan Joko Manggolo dan para peggede 
kelurahan lainnya seperti memaklumi keadaan yang rumit 
ini.


"Baiklah kalau demikian," kata Pak Lurah, "Sekarang, Pak 
Carik dan Pak Jogoboyo. Bersiaplah kalian semua, pagi-pagi 
buta, kita berangkat mengejar mereka. Bawa orang-orang 
andalan kita." Kata Pak Lurah kemudian. 


Joko Manggolo hanya termangu-mangu, merasa pekerjaannya 
menyelamatkan keluarga Pak Lurah ini tidak tuntas benar. Ia 
benar-benar tidak tahu kalau yang dibawa lari itu termasuk 
putri Pak Lurah. 


"Kenapa Pak Lurah tadi tidak pesan kalau putri Bapak juga 
dibawa kabur," kata Joko Manggolo kemudian. 


"Aku sendiri juga tidak tahu kejadian berikutnya, Anakmas. 
Aku juga tidak ingat lagi sampai tadi anakmas menolongku, 
baru aku tersadar. Lupa tidak memberitahu anakmas kalau 
putriku Senduk juga dibawa jari mereka." 


Suasana menjadi hening. Terdiam semua. Nampak mereka 
sedang berpikir, ana yang akan bisa mereka perbuat untuk 
menyelamatkan si Senduk Gianti Gayatri, putri tunggal Pak 
Lurah kepala Dukuh Pupus Aren ini. 


6
PEMBEBASAN SI SENDUK 


Pagi hari, rombongan Pak Lurah Mangunprayogo beserta 
para pamong dengan bersenjata lengkap mengendarai 
kuda, nampak mereka beriringan telah berangkat meninggalkan 
Dukuh Pupus Aren. Rombongan ini mengikuti petunjuk Joko 
Manggolo, menelusuri jejak larinya perampok tadi malam 
yang masih membawa si Senduk Gianti Gayatri, putri tunggal 
Pak Lurah, menuju ke arah tenggara. 


Karena Joko Manggolo semalam yang mengetahui persem 
bunyian perampok itu di tengah hutan, sebuah gubug kecil 
digunakan untuk mengikat Bu Lurah Endang Sri Sunulir 
maka rombongan Pak Lurah ini pertama kahi yang dituju ke 
arah gubug itu. 


Tidak berapa lama rombongan Pak Lurah telah sampai di 
tengah hutan. Menemukan gubug itu. Dengan kewaspadaan 
tinggi mereka memeriksa tempat sekeliling gubug, dan 
kemudian memeriksa ke dalamnya. Nampak kosong telah 
ditinggalkan penghuninya. Di sana-sini masih terlihat bekas 
minuman arak, suasananya porak-poranda. Di halaman rumah 
itu ditemukan dua buah kuburan yang nampak masih baru. 
Kedua orang perampok itu yang tadi malam berhasii dibunuh 
oleh Joko Manggolo, dan satunya terkena lemparan motek 
yang dilakukan oleh Bu Lurah Endang Sri Sumilir, kuburan 
kedua perampok itu yang berada di halaman rumah gubup 
tengah hutan ini nampak seperti baru dikubur dengan terburu- 
buru. 


Rombongan Pak Lurah kemudian menemukan ceceran darah 
segar yang nampak terus meninggalkan tempat di sekitar 
gubug ini. Atas petunjuk ceceran darah ini, mereka sepakat 
untuk menelusuri kemana berhentinya cucuran darah itu yang 
diperkirakan orangnya sedang luka terkena bacok motek Joko 
Manggolo tadi malam. Tempat ini kemudian ditinggalkan 
Sudah beberapa lama berjalan menelusuri jalan setapak di 
pinggiran hutan, masih terlihat cucuran darah terus menetes di 
atas permukaan tanah kering. Rupanya orang-orang yang 
terluka itu terus pergi membelok ke arah timur. Nampak 
mereka tidak ada berhentinya terus berjalan. Kelihatan orang- 
orang yang terluka itu terburu-buru dibawa lari oleh teman- 
temannya, rupanya takut keburu mati kehabisan darah. 

Ketika, kemudian cucuran darah itu berhenti di tepi sungai. 
jejak. Akhirnya semua dikerahkan untuk memeriksa di 
seberang sungai, barangkali orang-orang yang terluka itu 
menyeberang sungai dan pergi lagi meninggalkan sungai di 
seberang sananya. Agak lama juga mereka meneliti menelusuri 
jejak itu. Namun, kemudian berhasil ditemukan kembali jejak 
cucuran darah itu agak jauh di sana. Rombongan Pak Lurah ini, 
kemudian meneruskan perjalanan mengikuti cucuran darah itu 
lagi ke arah timur. 


Tengah hari baru sampa di Dukuh Sumoroto. Rupanya orang- 
orang yang terluka itu memasuki Dukuh Sumoroto ini pada 
hari hampir pagi. Setelah diikuti terus, cucuran darah itu mem- 
belok ke sebuah rumah antik di pinggir dukuh itu. 


"Berhenti," kata Pak Lurah memberi aba-aba kepada rombongannya 


"Bagaimana, Pak Lurah. Apakah kita akan memasuki rumah 
itu," tanya Pak Jogoboyonya, orang kepercayaan Pak Lurah 
yang dapat diandalkan kesaktiannya. 

"Sebentar kita atur siasat." 

"Ini rumah siapa, Pak Lurah," tanya Joko Manggolo. 


"Rumah Pak Dukun Mantri Jopomontro. Rupanya perampok- 
perampok yang luka itu dibawa berobat kemari." 


Mendengar sebutan Pak Dukun Jopomontro itu, /amat-lamat 
Joko Manggolo teringat sewaktu masih kecil, katanya ayahnya 
Pak Kartosentono dulu meninggal di rumah ini ketika pulang 
dari pesta di kadipaten. Tapi waktu itu ia tidak tahu persis 
kejadian yang sebenarnya menimpa ayahandanya, karena 
masih bocah dan hanya dengar dari pembicaraan antara ibunya 
dengan para orang tua di kampungnya dulu di Bubadan itu. 


"Sebaiknya, kamu saja yang masuk, Brotojoyo.” kata Pak 
Lurah kepada seorang pengawalaya yang dipanggil Brotojoyo 
itu. "Kamu kelihatannya belum dikenal oleh mereka. Coba 
selidiki, apakah ada orang-orang yang terluka itu di dalam 
rumah itu. Kalau bisa bisiki Pak Dukun Jopomontro, mintakan 
keterangan. Katakan dari aku," perintah Pak lurah. 


"Sendika, Pak Lurah," jawab Brotojoyo dan terus memacu 
kudanya dengan tegar memasuki halaman rumah antik itu. 
Tidak berapa tama dari kejauhan terlihat Brotojoyo itu sudah 
menghilang dipersilakan masuk ke rumah itu oleh Pak Dukun 
Jopomontro. Sementara itu, Pak Lurah memerintahkan kepada 
semua anak buahnya berpencar mengepung rumah antik itu. 
Pak Lurah dan Joko Manggolo, matanya seperti tidak pernah 
berkedit, terus-menerus mengawasi pintu masuk rumah antik 
itu. Tidak berapa lama kemudian, orang yang dipanggil Brotojoyo 
itu, nampak keluar kembali dan terus menaiki kudanya. 


"Sutt, bagaimana," tanya Pak Lurah menghentikan kuda 
Brotojoyo dari sembunyiannya di balik semak-semak pinggir 
jalan itu. Brotojoyo menoleh ke kiri kanan mencari datangnya 
suara Pak Lurah itu. 


“Pak, mereka ada di dalam," kata Brotojoyo itu sambil turun 
dari kudanya ikut sembunyi di balik semak itu. 


"Berapa orang jumlah mereka." 


"Dua orang terluka, nampaknya ia terkena warangan senjata 
motek Kangmas Joko Manggolo. Tapi yang celaka, putri Bapak 
juga ada di sana tidak sadarkan diri. Kata Pak Dukun, putri 
bapak bisa ditolong tetapi kelihatannya jiwanya sangat 
terpukul dan terus pingsan-pingsan. Para perampok lainnya, 
tadi malam begitu menaruh teman-temannya yang luka 
bersama putri Bapak “Mungkin mereka mengira putri Bapak 
sudah meninggal, maka dibiarkan begitu saja di sana. Lalu, 
mereka segera bergegas pergi. Begitu keterangan Pak Dukun 
Jopomontro tadi." 


"Bagus, sekarang kamu kembali lagi ke sana. Memberitahu 
kepada Pak Dukun. Kami akan menyerang mereka dari 
belakang rumah Pak Dukun dan mau meringkus orang-orang 
yang luka itu, untuk membebaskan si Senduk." 


"Siap, Pak." Brotojoyo kemudian dengan gesit menaiki 
kudanya kembali menuju ke rumah Pak Dukun Jopomontro itu. 
Sementara itu rombongan Pak Lurah yang terpencar itu segera 
diberi kode aba-aba untuk bergerak maju. Tapi, tidak berapa 
lama terlihat dari pintu depan rumah Pak Dukun Jopomontro, 
Brotojoyo yang tadi diutus Pak Lurah itu tiba-tiba terpental dari 
pintu depan rumah, Brakkkk suara keras, Brotojoyo jatuh ke 
belakang berguling-guling. Kemudian tidak lama muncul dua 
orang laki-laki, walaupun nampak badan mereka masih dilulur 
dengan ramu-ramuan penahan luka, tetapi mereka terus menyerang 
Brotojoyo. Mereka rupanya mengenali siapa Brotojoyo itu. 
tadi ketika pertama kali Brotojoyo datang mereka masih 
tertidur. Kemudian terbangun sewaktu terdengar ada suara 
Orang pergi meninggalkan rumah Pak Dukun Jopomontro itu, 
dan kedua laki-laki itu sempat melihat muka Brotojoyo. Kedua 
laki-laki itu rupanya dulu pemah menjadi pembantu Pak Lurah, 
sudah agak lama memang, mereka meninggalkan Dukuh 
Pupus Aren karena sakit hati terhadap Pak Lurah, oleh karena 
itu mereka sangat mengenal orang-orang dekat Pak Lurah 
termasuk Brotojoyo ini 


Setelah terjatuh terpental ke belakang berguling, Brotojovo 
segera berusaha tegak berdiri dan membangun kedudukan 
kuda- kudanya melakukan sikap "pasang" untuk menghadapi 
segala kemungkinan serangan dari kedua perampok yang 
sebenarnya masih terluka dengan tubuh berwarna kuning-kuning 
bekas polesan lulur ramuan. Kedua perampok itu rupanya 
merupakan laki-laki yang tangguh juga dengan sekali membuka 
serangan telah membuat kewalahan Brotojoyo yang berusaha 
mempersiapkan jurus-jurus hindaran, dengan cara meliuk ke 
kiri ke kanan, dan beberapa kali membuka serangan balasan, 
tapi tidak ada satu pun serangan yang dilemparkan Brotojoyo 
mengenai sasarannya. Sehingga beberapa kali ia nampak 
kehilangan keseimbangannya lantaran menerjang angin 
kosong di ruang hindaran kedua perampok itu. 


Pak Lurah beserta beberapa pengawalnya telah berhasil 
memasuki rumah antik itu dan mendapatkan Pak Dukun Mantri 
Jopomoniro, segera dibawa ke ruang tengah untuk menemui 
putrinya Si Senduk Gianti Gayatri. Begitu dilihat putrinya yang 
masih dirawat tertidur di atas amben tengah itu, langsung Pak 
Lurah bersimpuh dan memeluk putrinya itu. Beberapa saat 
kemudian, putrinya itu membuka matanya. 


"Bap...bapak...," kata Senduk (nanti Gayatri, putri Pak Lurah 
itu. Kedua orang, bapak dan putrinya itu berpelukan erat. 


"Nduk, duh nasibmu, Nduk. Sabar. Sing sabar, Nduk" kata Pak 
Lurah dengan air matanya yang tiba-tiba meleleh di pipinya. 


Sementara itu kedua pengawal Pak Lurah itu terus berjaga-jaga 
sambil memeriksa ruangan sekeliling bersama Pak Dukun 
Mantri Jopomontro. 


“Tadi kedua laki-laki itu menyimpan senjata mereka di sini. 
Tapi sekarang tidak ada. Apakah, mereka telah ambil untuk 
digunakan berkelahi diluar itu, atau telah dipindahkan ke tempat 
lain, saya kurang tahu lagi Angger," kata Pak Dukum Mantri 
Jopomontro. 


Sementara itu pertarungan sengit antara Brotojoyo dengan 
kedua perampok itu masih terus berlangsung seru. Beberapa 
kali Brotojoyo, terjungkal terkena tendangan maut kedua 
perampok yang mengeroyoknya itu. Untung kemudian, Joko 
Manggolo dan Pak Jogoboyo segera datang membantu Brotojoyo 
yang sudah babak belur dihajar kedua perampok itu. Melihat 
datang bantuan, apalagi yang datang Joko Manggolo yang tadi 
malam sudah dikenal kehandalan ilmu kanuragannya, kedua 
perampok itu nampak bersiap untuk melarikan diri. Tapi 
sebelum niat melarikan diri itu terlaksana, Joko Manggolo dan 
Pak Jogoboyo yang telah menyebar di samping kiri dan ke 
kanan berhasil mengurung kedudukan kedua perampok itu, 
sehingga mereka sulit melarikan diri terkecuali terpaksa harus 
melawannya. 


Pertarungan itu dengan mudah dikendalikan oleh Joko Manggolo 
dan Pak Jogoboyo. Sementara itu beberapa pengawal Pak 
Lurah pun telah tiba berada di pelataran rumah antik Pak 
Dukun Mantri Jopomontro itu, segera mengalang mengepung 
mereka berdua. Dalam kondisi yang masih luka itu, walaupun 
kedua perampok itu berusaha memberikan perlawanan sejadinya, 
namun tidak mampu mengimbangi kekuatan Joko Manggolo, 
Pak Jogoboyo, dan beberapa pengawal Pak Lurah itu. 
Akhirnya, kedua perampok itu dapat diringkus setelah dihajar 
habis-habisan oleh Pak Jogoboyo dan Joko Manggolo 
berbarengan. Kemudian mereka diikat kedua tangnnya, dan 
digiring dengan dikawal oleh para pengawal Pak Lurah dibawa 
beriringan pulang ke Dukuh Pupus Aren. 


Setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Dukun Mantri 
Jopomontro, Pak Lurah beserta rombongan, dengan membawa 
serta putrinya si Senduk Giant Gayatri yang masih lemah itu, 
langsung kembali ke kampungnya, Dukuh Pupus Aren. 


Bu Endang Sri Sumilir, isteri Pak Lurah begitu bungah gembira, 
begitu melihat kedatangan suaminya, Pak Lurah telah berhasil 
membawa kembali putri tunggalnya si Senduk Gianti Gayatri 
yang walaupun masih lemah kondisiya, tetapi telah kembali 
selamat ke rumahnya. 


Pak Lurah segera memerintahkan kepada para pembantunya 
untuk menyiapkan upacara selamatan ala kadamya. Hidangan 
berbagai jenis masakan khas kampung Dukuh Pupus Aren 
disuguhkan kepada para tamu yang hadir di pendopo kelurahan 
itu. Dihadapan para warga kampung, Pak Lurah memanjatkan 
doa dan mengucapkan terima kasih kepada warga atas segala 
bantuannya menjaga kembali ketenteraman Dukuh Pupus 
Aren, yang berada di daerah perbukitan ini. Tidak lupa kepada 
Joko Manggolo, tamu asing yang telah membantu menun- 
taskan masalah di kampung ini, berkali-kali Pak Lurah 
memberikan pujiannya dan ucapan terima kasih. Tapi, 
rupanya masih ada masalah besar, belum tertangkapnya 
biang keladi perusuh yang sampai hari ini belum tahu di mana 
keberadaannya, yaitu pemimpin perampok yang bernama Brojol 
Mangun yang terkenal memiliki ilmu ajian Sampur Ungu dan 
Lembur Sumyur itu. Masih menimbulkan kengerian penduduk 
apabila mereka membalas dendam dan datang kembali 
menyerang untuk membebaskan kedua anak buahnya yang 
disekap di dukuh ini. 
"Apabila dipercaya, hamba akan usahakan untuk mencari dan 
menangkap biang keladi kerusuhan si Brojol Mangun yang 
terkenal itu. Pak Lurah," kata Joko Manggolo, "Bila hamba 
berhasil menangkapnya, akan hamba segera bawa kemari untuk 
hamba persembahkan kepada Pak Lurah dan warga di Dukuh 
Pupus Aren di sim agar bisa mengadilinya." 


“Bagus. Bagus sekali, ananda Manggolo. Aku sangat berterima 
kasih kepada ananda Manggolo," kata Pak Lurah nampak 
mukanya berseri-seri. 


Bu Lurah menyodok pelan lengan Pak Lurah yang duduk di 
sampingnya itu, Mereka berdua kelihatan berbisik-bisik. Apa 
yang mereka bisikkan itu tidak terdengar yang hadir. Namun 
apa yang dibisikkan kedua orang itu dapat ditangkap oleh 
indera pendengaran Joko Manggolo yang telah membaca 
jampi-jampi mantera, ilmu kedalaman bathin sehingga indera 
pendengaran menjadi sangat peka, menjadi tajam mendengarkan 
suara jarak jauh. 

"Kangmas, sebaiknya, Anakmas Manggolo kita jodohkan saja 
dengan si Senduk," kata Bu Lurah. 


"Hah, bagaimana aku harus katakan. Nanti saja di dalam, 
jangan di depan umum begini," kata Pak Lurah. 


"Tidak mengapa, Kangmas: Biar semua warga kita tahu, dan 
ikut mendengarkan. Mereka tentu akan mendukung usulan kita 
ini sebagai i tanda terima kasih." 

“Tidak baik Diajeng. Nanti saja kita rembug lagi di dalam." 
“Ya, terserah, Kangmas saja." 


Mendengar dari suara bathin percakapan kedua orang, Pak 
Lurah dan Bu Lurah itu, Joko Manggolo hanya tersenyum-simpu! 
di dalam hati. 

"Pak Lurah dan Bu Lurah, karena Dukuh kita ini telah kembali 
tenang. Perkenankanlah, hamba mohon pamit untuk 
meneruskan perjalanan hamba sambil mencari tahu 
keberadaan pemimpin gerombolan perampok itu, Si Brojol 
Mangun," kata Joko Manggolo kemudian. 


Pak Lurah dan Bu Lurah, jadi terperanjat, terbengong begitu 
mendengar ucapan mohon pamit Joko Manggolo yang tidak 
disangka-sangka itu. 


"Seb...sebentar, anakmas Manggolo," kata Bu Lurah, "Apakah 
tidak sebaiknya, anakmas Manggolo beristirahat dahulu, 
barang satu minggu atau satu bulan di kampung sini." 


“Terima kasih, Bu Lurah. Pada saatnya nanti hamba akan 
kembali ke Dukuh Pupus Aren yang menawan ini, Bu Lurah. 
Sekarang, sudah saatnya hamba harus pergi. Dan kepada bapak- 
bapak dan ibu-ibu yang hadir, kami memohon maaf apabila 
kehadiran hamba selama di sini membuat kesalahan dan 
merepotkan semuanya." 


"Ach, tidak merepotkan," kata seorang ibu yang duduk di 
depan. 


"Kita semua senang atas kehadiran, Kangmas Manggolo di 
kampung kami," kata seorang pemuda tegap yang duduk di 
belakang. Dan sambutan pun menjadi meriah. Semua meng- 
harapkan Joko Manggolo bisa tinggal lebih lama lagi di sini 
Namun, kemudian, Joko Manggolo tiba-tiba maju ke depan 
sungkem di pangkuan Pak Lurah dan Bu Lurah untuk mohon 
pamit, juga menyalami si Senduk Gianti Gayain, putri tunggal 
Pak Lurah yang mukanya kelihatan masih pucat pasi itu, tapi 
tetap berusaha tersenyum manis kepada Joko Manggolo sang 
penolong itu. 

"Mohon maaf bapak-bapak, ibu-ibu, kangmas-kangmas. 
mbakyu-mbakyu kami mohon pamit, dan akan kami usahakan 
untuk menangkap orang-orang yang telah membuat kerusuhan 
di Dukuh Pupus Aren ini. Sekali lagi mohon maaf dan mohon 
pamit." 

Maka, Joko Manggolo kemudian pergi meninggalkan Dukuh 
Pupus Aren itu untuk meneruskan perjalanan selanjutnya. 
Mencari pemimpin perampok si Brojol Mangun yang 
membuat kerusuhan di Dukuh Pupus Aren yang semula 
merupakan perkampungan yang tenang ini. Ia terus berjalan, 
berkelana tanpa tahu kapan ia harus menghentikan perjalanannya 


BERSAMBUNG