Jaka Sembung 14 - Kebangkitan Ilmu-Ilmu Iblis(2)


Pendekar dari Bondet itu pun segera menguntit dari belakang. Karena ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat tinggi, kehadirannya sama sekali tidak diketahui. Maka ketika tubuh Kepala Suku itu dilemparkan ke dalam kanal ikan hiu, ia segera bertindak cepat, sehingga loloslah Pampani dan cengkeraman maut.

Sambil berteriak nyaring, kedua raksasa hitam itu menerjang dari sebelah kiri dan kanan. Walaupun tubuh mereka tinggi besar, namun ternyata bisa bergerak cepat. Sebelum tubuh mereka menyentuh tubuh Karta, sudah terasa angin pukulan menyambar pertanda tenaga mereka sangat dahsyat.

Karta yang sejak tadi sudah menurunkan tubuh Pampani segera bersiap-siap menghadapi serangan maut kedua lawan. Ketika pukulan tangan kiri lawan menyambar lehernya, ia segera menunduk dan hampir bersamaan dengan itu, ia mengangkat lutut kanannya menyambar perut lawan.

“Buk!” Serangan itu mendarat telak, membuat lawan berteriak kesakitan.

Namun sebelum ia sempat mengatur keseimbangan, pukulan tangan kanan Karta sudah menyusul menghantam punggungnya. Demikian kuatnya tenaga dalam yang dikerahkan si Gila Dari Muara Bondet, sehingga tubuh raksasa itu terlempar dan melayang ke dalam kanal buatan.

“Byuuur!” Tubuh itu pun tercebur dan hampir bersamaan dengan itu air kanal berdeburan karena rontaan lelaki bertubuh raksasa itu. Air kanal itu seketika berubah menjadi merah, karena puluhan ekor ikan hiu yang sedang lapar dengan amat ganasnya mencabik-cabik sekujur tubuh korbannya.

“Mampus kau!” teriak Karta geram, karena tadi hampir saja sahabat sekaligus kakak iparnya yang jadi korban kanal maut. Tetapi kemudian tiba-tiba ia berseru kaget, karena ikan-ikan hiu itu terlempar dari dalam kanal.

Hanya beberapa saat kemudian, muncullah laki-laki bertubuh raksasa itu dari dalam kanal, dengan keadaan tubuh yang sangat mengerikan berlumuran darah. Kaki kanannya telah buntung sebatas lutut terkena sambaran ikan-ikan hiu, demikian juga pergelangan tangan kanannya telah buntung. Bahkan wajahnya hampir tidak mempunyai bentuk lagi, karena di beberapa bagian tubuh tulang-tulangnya sudah kelihatan.

Darah dan air mengucur deras dari tubuh laki-laki itu. Akan tetapi sungguh luar biasa, ia dalam keadaan yang sangat mengerikan itu masih dapat berjalan tertatih-tatih ke arah Karta, dengan cara melompat-lompat.

Mata kirinya mengalami luka yang sangat parah, sehingga pendekar sakti yang sudah sangat berpengalaman dan sudah sangat sering pula menghadapi beraneka macam kesulitan seperti si Gila Dari Muara Bondet sempat tertegun dibuatnya.

Sambil menggereng bagaikan singa kelaparan, lelaki bertubuh raksasa yang sangat mengerikan menerkam Karta. Tubuhnya melayang dan tangan kirinya mencengkeram ke arah leher lawan.

Tentu saja si Gila tidak mau jadi korban keganasan lawan. Ia segera berkelit, sehingga tubuh yang sudah berlumuran darah itu terpelanting ke belakang.

Karta membalikkan badan dan ia kembali berteriak kaget manakala menyaksikan lawannya sudah bangkit kembali. Bahkan dengan gerakan yang cukup cepat laki-laki bertubuh raksasa itu sudah menerjangnya kembali.

“Hiyaaaat!” Karta berteriak nyaring, lalu kemudian membantingkan tubuh ke samping. Bersamaan dengan itu, kaki kirinya yang telah dialiri tenaga dalam menyambar tubuh lawan dengan dahsyat.

“Buk!” Tendangan yang sangat telak menghantam perut, sehingga tubuh raksasa mengerikan itu kembali terlempar. Tetapi seperti dikendalikan tenaga gaib, laki-laki itu bangkit kembali.

Hampir tak bisa dipercaya, karena menurut pengalaman Karta, tendangan yang dilakukan sambil mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya tentulah akan meremukkan perut lawan. Jika tidak tewas seketika, sedikitnya akan menderita luka yang sangat parah. Entah bagaimana caranya lelaki bertubuh raksasa itu mampu berbuat sehebat itu.

“Kurang ajar! Kubunuh kau!” bentak Karta geram.

Akan tetapi tanpa memperdulikan bentakannya, laki-laki bertubuh raksasa itu kembali telah menerkamnya dengan dahsyat. Temannya yang satu lagi juga telah menurunkan tubuh Baureksa dan ikut serta menyerang, dari arah yang berlawanan.

Karta berteriak nyaring sambil meloncat cepat di depan hidung lawannya yang kedua, yang tampak masih segar bugar. Tetapi karena kurang memperhatikan lawannya yang satu lagi tadi, ia hampir saja dapat dilumpuhkan. Untunglah secepat yang bisa dilakukan ia membantingkan diri ke depan.

Gerakan Karta sebetulnya masih cepat, tetapi karena tadi ia sempat terpengaruh oleh keadaan lawan, ia jadi terlambat bertindak sehingga kedua kakinya dapat ditangkap lawan. Akibatnya tubuh pendekar dari Muara Bondet itu pun terjungkal dan terbanting keras ke tanah.

“Aduh!” Karta mengaduh kesakitan akibat rasa nyeri luar biasa di punggungnya. Ia berusaha meronta, namun tenaga kedua lelaki raksasa itu sangat kuat. Tubuhnya kini terjembreng seperti selembar serbet dapur yang hendak dirobek-robek.

Kembali pendekar gagah perkasa itu meringis menahan sakit pada pangkal pahanya. Ia mencoba mengangkat tubuh dengan cara menumpukan kedua tangan ke tanah.

Tetapi justru hal itu membuat pangkal pahanya semakin sakit, seolah-olah sudah lepas persendiannya. Adalah satu hal yang luar biasa, seorang lelaki berkaki buntung dan masih mengucurkan darah bisa memiliki tenaga sekuat itu sehingga Karta sama sekali tidak bisa berkutik.

Makin lama, kaki kiri dan kanannya yang ditarik dari dua arah berlawanan membuatnya semakin tak berdaya. Hampir saja pendekar itu putus asa, namun tiba-tiba ia teringat kepada pedang di pinggangnya.

Dengan sangat bersusah payah, Karta berhasil mencabut senjata itu. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera mengayunkannya, menyambar perut kedua lawan.

“Akh!” Kedua laki-laki bertubuh raksasa itu menjerit. Pedang Karta dengan telah merobek tubuh lawan, sehingga ususnya terburai menyemburkan darah segar.

Karena sangat kaget dan kesakitan, pegangan kedua anak buah Womere tadi terlepas. Karta segera meloncat dan menyaksikan kedua tubuh yang bersimbah darah itu menggelepar-gelepar beberapa saat. Lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya pun melayang sudah meninggalkan raga.

Karta menghela nafas lega. Hampir saja tadi ia celaka di tangan kedua lawannya. Kalau saja tidak berhasil membabat tubuh lawan, kedua kakinya akan terpisah sebatas selangkangan. Sungguh memalukan bagi seorang pendekar seperti dia tewas dengan cara seperti itu.

Setelah menyarungkan senjatanya, ia segera menolong Pampani dan si Kaki Tunggal yang sedang sekarat akibat gas beracun yang mereka hirup melalui pernafasan sewaktu terjerat perangkap musuh. Diperiksanya denyut nadi kedua sahabatnya itu, masih berdenyut walaupun sangat lemah. Berarti mereka masih hidup dan mempunyai harapan bisa diselamatkan.

Karta segera menyedot gas racun dari rongga paru-paru mereka. Lalu kemudian langsung dimuntahkan kembali. Cara pengobatan seperti itu memerlukan perhitungan yang sangat tepat, karena kalau salah misalnya menghirup gas beracun itu tanpa sengaja, malah dia sendiri yang akan celaka.

Karta menempelkan mulutnya ke mulut kedua sahabatnya itu secara bergantian, dan menghisap gas beracun secara berulang-ulang. Setelah yakin gas beracun sudah habis dari rongga paru-paru Pampani dan si Kaki Tunggal, Karta segera membuat pernafasan buatan.

Dada kedua lelaki yang sedang sekarat itu diurut-urut serta dikembangkempiskan dengan cermat. Usahanya ternyata tidak sia-sia. Beberapa saat kemudian, Pampani dan Baureksa siuman kembali.

Kedua mengejap-ngejapkan kelopak mata, karena pandangan yang masih kabur dan agak berkunang-kunang. Sekujur tubuh mereka pun terasa sangat lemas, namun begitu melihat kehadiran Karta, mereka sangat bersyukur.

Semangat pun menyala, sehingga dengan perlahan-lahan dapat bangun dan duduk.

“Alhamdulillah!” kata Baureksa sembari memijit-mijit kepalanya yang terasa pening.

“Syukurlah kau segera datang, Karta! Kalau tidak, tentu kami hanya akan tinggal nama saja. Ah, entah bagaimana bisa kami telah berada di sini. Dan.... oh, ikan-ikan hiu itu tampaknya berdarah. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Kenapa kedua orang ini?” tanya Pampani sambil mengernyitkan kening.

“Sudahlah, nanti saja aku ceritakan semuanya. Sekarang marilah kita mencari saudara kita Wori. Tadi ia dibawa secara terpisah entah ke mana. Kita harus secepatnya menemukan dia. Tampaknya ia pun sedang menghadapi bahaya!”

“Ya! Tapi bagaimana dengan tongkatku? Aku tidak bisa berjalan tanpa itu. Atau apakah engkau mau menggendong aku?” tanya Baureksa.

“Tenang! Aku menyimpannya di dalam lorong itu!” Karta segera berlari masuk ke dalam lorong gelap di ujung ruangan rahasia itu.

Tak lama kemudian, ia balik lagi sambil membawa tongkat dan caping si Kaki Tunggal. “Kaki kananmu sudah kubawa ke sini. Ini dia! Dan ini senjata piring terbangmu yang sangat ampuh!”

“Ha-he-he! kau ada-ada saja, kawan!”

“Ayo, kita cari sahabat kita!”

“Ya, tapi kita harus hati-hati. Menurut Wori, tempat ini penuh jebakan maut. Salah sedikit saja nyawa kita bisa melayang,” kata Pampani.

Mereka segera menempuh lorong-lorong bawah tanah di sekitar kanal maut itu. Tetapi sampai ke ujung lorong, ketiganya tidak menemukan hambatan apa-apa. Di ujung lorong itu terdapat pintu putar terbuat dari batu cadas yang dibuat berbentuk persegi empat.

Tanpa melepaskan kewaspadaan, ketiga pendekar itu segera menghampiri pintu yang bentuknya sangat aneh itu. Seperti buah belimbing, sehingga jika dilewati langsung tertutup kembali karena berputar.

“Lihat, seperti pintu. Tetapi aneh sekali bentuknya,” kata Karta sambil mengamati pintu itu dengan seksama.

“Awas hati-hati! Siapa tahu di balik pintu itu maut sedang menanti. Kurasa Wori disembunyikan di sana,” kata Pampani was-was.

“Biar aku yang memeriksa,” ujar Baureksa. Lalu ia dan Karta mendekati pintu aneh itu. Keduanya meraba-raba hendak menemukan sesuatu yang mungkin merupakan kunci rahasia pintu.

“Tidak ada engselnya! Aneh sekali!” kata Baureksa. “Ini pasti pintu putar. Mari kita dorong bersama-sama!”

Kedua pendekar yang memiliki tenaga dalam yang sangat kuat itu sama-sama mengerahkan segenap kemampuannya mendorong pintu. Namun jangankan berputar, bergeming pun tidak. Akhirnya keduanya merasa yakin bahwa untuk bisa membuka pintu itu tidak boleh dengan kekerasan, melainkan harus melalui rahasianya.

◄Y►

5

Ketika Baureksa dan Karta sedang meraba-raba pintu itu, Pampani pun memeriksa setiap jengkal dinding batu cadas. Telapak tangannya ditempelkan dan bergerak turun-naik mencari kunci rahasia itu. Namun belum juga berhasil.

“Tunggu dulu! Aku masih berusaha mencari kuncinya. Pasti ada di sekitar dinding ini,” kata Pampani.

Tiba-tiba ia menyentuh benda agak menonjol di dinding. Namun sebelum sempat memeriksanya, ia sudah dikejutkan suara berderak di pintu. Sewaktu ia berpaling, tampaklah olehnya pintu berbentuk buah belimbing itu berputar, sehingga kedua sahabatnya pun terbawa ikut berputar.

“Oh, Dewa! Celaka, saudara Karta dan Kaki Tunggal sudah masuk jebakan!” kata Pampani dengan dada berdebar-debar.

Karta dan Baureksa pun tidak kalah kagetnya. Tubuh mereka terus berputar di sela-sela pintu rahasia.

“Hei, kita terjebak!” teriak Karta.

“Ya, pintu ini berputar terus!”

Kemudian tubuh mereka muncul lagi di hadapan Pampani setelah pintu itu berputar seratus delapan puluh derajat. Tetapi Karta dan Baureksa tidak segera dapat menyadari keistimewaan pintu itu, sehingga keduanya sempat menduga pintu itu merupakan jebakan yang dilengkapi ilmu siluman.

“Hei, kenapa kita berada di luar kembali? Itu Pampani!” teriak si Kaki Tunggal terheran-heran.

“Hai, kalian berdua tidak apa-apa!” teriak pemimpin suku itu pula girang.

Tiba-tiba Karta tertawa tergelak-gelak seolah-olah lupa bahwa saat ini mereka sedang berada di sarang musuh. Ia telah mengerti rahasia pintu itu, karena merupakan pintu putar, kalau diam tetap di tempat tentu saja akan ikut terus berputar.

“Kenapa aku jadi tolol begini? Pintu ini jelas berbentuk buah belimbing. Tentu saja kita akan terus berputar. Lihat, dasar pintu tempat kita berdiri bentuknya bulat. Jadi kalau kita hendak masuk ke dalam sana, begitu tubuh kita ikut berputar, kita harus segera melangkah!”

“Kurasa juga begitu. Tadi aku sempat melihat sebuah pintu di dalamnya,” sambung Baureksa.

“Tak salah lagi! Kalau begitu, kita harus mendorongnya perlahan-lahan saja agar tidak melewati ambang pintu itu!”

“Mari, aku akan ikut membantu mendorongnya!” kata Pampani.

Ia memberi aba-aba, sehingga secara perlahan-lahan pintu rahasia itu berputar dan membawa ketiga pendekar itu ke depan sebuah ruangan besar dan luas.

“Kita sudah berhasil masuk!” kata Karta girang.

“Ya, tapi hati-hati langkahmu, Karta. Di sini tidak mustahil telah dipasang jebakan,” si Kaki Tunggal menasehati sambil menatap liar keadaan di sekelilingnya.

“Heran, rupanya teknik bangunan mereka sudah sangat tinggi, sehingga kita sudah ketinggalan jauh. Entah dari mana mereka mempunyai pengetahuan membangun pintu ajaib seperti ini,” ujar Pampani kagum.

“Tidak dapat diragukan lagi, mereka pasti mempunyai ahli bangunan yang sangat pintar. Karena itu kita harus lebih hati-hati. Coba perhatikan....”

Sebelum Baureksa sempat meneruskan ucapannya, mendadak tiga kilatan cahaya menyambar ke arah ketiga pendekar itu. Ternyata adalah tiga buah lembing runcing melesat cepat sekali ke arah bagian tubuh yang sangat berbahaya bagi lawan.

“Hait!” Karta berteriak kaget, karena sungguh tak menyangka akan diserang secara mendadak dan secepat itu. Secepat kilat ia menundukkan badan, namun masih sempat merobek baju di bagian bahunya sehingga kembali ia berseru kaget tanpa sadar.

Namun dengan gerakan yang cukup mantap dan meyakinkan, pendekar gagah perkasa itu masih sempat menangkap tombak yang nyaris melukai dirinya. Baureksa yang berada beberapa langkah di belakang Karta tidak sekaget si Gila.

Ia mengangkat tongkatnya menangkis senjata lawan sehingga terdengar suara berdentang keras, agaknya tombak terbuat dari logam yang keras, hingga tidak patah sewaktu beradu keras dengan tongkat Baureksa. Setelah memapaki senjata lawan, si Kaki Tunggal menangkap tombak itu dengan tangan kirinya.

“Hayiiiit!” Pampani pun berteriak kaget melihat kilatan senjata lawan menyambar ke arah lehernya. Tetapi dengan gerakan yang sangat cepat dan kuat, ia mundur selangkah lalu menangkap tombak itu dengan kedua tangannya. Sama seperti kedua sahabatnya Kepala Suku itu pun merasa kedua tangannya bergetar, menandakan tenaga dalam musuh tidak boleh dianggap remeh.

Hampir bersamaan dengan itu, berloncatanlah tiga laki-laki di ruangan itu. Perawakan mereka tinggi besar dan kekar, sangat mirip dengan dua laki-laki bertubuh raksasa yang tadi hendak melemparkan Pampani serta Baureksa ke dalam kanal ikan hiu.

Agaknya ketiga pria yang tampak sangat bengis itu memiliki tenaga yang sangat besar dan hanya mengandalkannya hingga tak seorang pun di antaranya memegang senjata. Ketiga-tiganya sama-sama menggereng bagaikan singa kelaparan hendak menerkam mangsa. Sadarlah Pampani dan kedua sahabatnya bahwa saat ini mereka sedang menghadapi musuh yang tangguh dan kuat.

Ketiga musuh yang baru muncul itu sudah memasang kuda-kuda. Gerakannya terlihat agak lamban, namun terasa sangat kuat. Setiap kali menghentakkan kakinya, terdengar suara berdebum disertai bergetarnya ruangan itu.

“Hati-hati!” teriak Baureksa, lalu bersama Karta dan Pampani segera memasang kuda-kuda dengan senjata lembing yang mereka tangkap tadi, siap digunakan merobohkan lawan.

Tak lama kemudian, terjadilah pertarungan sengit. Ketiga laki-laki tinggi besar itu menerkam lawan masing-masing. Sewaktu tubuhnya masih melayang di udara, kedua tangan diulurkan dengan posisi hendak mencengkeram.

“Ciyaat!” Pampani berteriak nyaring. Tombak di tangannya diayunkan dan dengan telak menghantam paha lawan.

Namun sungguh luar biasa, laki-laki itu tidak bergeming sama sekali, bahkan merasa sakit pun tampaknya tidak. Ia justru menerjang Pampani hingga Kepala Suku itu terpaksa harus membantingkan diri ke samping menghindari cengkeraman lawan.

Secepat kilat ia bangkit lagi, lalu melancarkan serangan yang lebih dahsyat lagi. Ujung tombak di tangannya diarahkan ke bagian-bagian tubuh vital, supaya dapat secepatnya merobohkan laki-laki bertubuh raksasa itu.

Si Gila Dari Muara Bondet juga harus mengakui kekuatan lawan, yang memiliki tenaga bagaikan banteng. Setiap kali mengadu kekuatan terasa betapa lengannya bergetar hebat dan kesemutan. Itulah sebabnya ia selalu berusaha menghindari bentroknya pukulannya dengan lawan.

Akan tetapi lawannya itu agaknya menyadari keunggulan tenaganya. Setiap kali pukulan tangan kiri Karta menyambar, ia sengaja tidak mengelak, bahkan memapakinya, dengan posisi jari-jari tangan mencengkeram.

Karta tentu saja tidak mau melayani keinginan lawan. Ia pun tidak terlalu banyak melancarkan pukulan, kecuali kalau benar-benar dalam posisi menguntungkan.

Ia lebih banyak memainkan tombak di tangannya, memutarnya cepat sekali hingga menciptakan gulungan sinar kehitam-hitaman dan menimbulkan suara menderu-deru. Sekali-sekali gulungan sinar senjata itu mencuat menyambar ke arah tubuh lawan yang vital.

Memasuki jurus keduapuluh, Karta dapat mendesak lawan. Ujung senjatanya beberapa kali nyaris menghunjam telak.

Untunglah laki-laki bertubuh raksasa yang dihadapinya itu memiliki gerakan yang cukup cepat, sehingga masih bisa menghindar. Karta menjadi penasaran. Ia meningkatkan tekanannya dengan mengeluarkan jurus-jurus mautnya.

Suatu ketika ujung tombaknya menyambar ke arah lawan ketika penjaga gua itu sedang terdesak.

Tampaknya akan sulitlah bagi lawan untuk menghindar, atau kalaupun dapat mengelak, serangan berikutnya pastilah akan mencelakakan dirinya. Namun sungguh di luar perhitungan Karta, lelaki itu menunduk sambil membuka mulutnya lebar-lebar dan dengan sangat jitu berhasil menggigit gagang tombak yang sedang meluncur dengan kecepatan luar biasa.

“Krek!” Terdengar suara gemeretak, namun sungguh luar biasa gigi laki-laki bertubuh raksasa itu tidak copot sama sekali, padahal Karta sudah mengerahkan hampir segenap tenaga dalamnya.

Lebih terkejut lagi dia ketika menarik senjata itu, ternyata tidak bisa. Gigi lawannya seperti jepitan baja saja.

“Kurang ajar!” bentak Karta geram bercampur kagum melihat kehebatan lawan.

Sebelum sempat berbuat apa-apa, lawannya menggerak-gerakkan leher sambil berputar cepat. Akibatnya tubuh Karta ikut terangkat dan berputar-putar sesuai gerakan lawan.

“Eit!” teriak Karta kaget lantaran merasa tubuhnya bagaikan kapas saja dipermainkan seperti itu. Untunglah ia segera mencabut pedangnya, lalu secepat kilat membacok gagang tombak itu hingga putus seketika.

Lawannya tampak terpana melihat kecepatan gerak Karta. Sebelum sempat menguasai perasaannya, tiba-tiba ia melihat kilatan cahaya menyambar dari atas ke arah ubun-ubunnya. Ia hendak mengelak, namun terlambat sudah. Pedang Karta dengan telak membabat kepalanya hingga terbelah dua dari ubun-ubun sampai ke dada.

“Blug!” Tubuh raksasa itu pun roboh bersimbah darah. Hanya beberapa saat menggelepar-gelepar, kemudian diam tak bernyawa lagi.

“Mampus kau!” bentak Karta geram. Ia segera memperhatikan keadaan kedua sahabatnya. Ternyata mereka pun sudah dapat menyudutkan lawan masing-masing. Hanya beberapa saat setelah Karta merobohkan lawannya, si Kaki Tunggal pun berhasil menghunjamkan tongkatnya ke dada musuhnya hingga tembus ke punggung.

“Huk!” Laki-laki tinggi besar itu menjerit tertahan, lalu roboh bagaikan sebatang pohon tumbang ditebang. Darah menyembur dari luka di tubuhnya ketika tongkat Baureksa dicabut.

“Rasakan kau!” geram si Kaki Tunggal memaki.

Pada saat bersamaan, Pampani pun berhasil menyudutkan lawannya hingga tersandar ke sudut gua tanpa berani berkutik. Ujung tombak Pampani telah menempel di lehernya, siap menghujam kalau ia berani bergerak.

“Ayo, jawab! Siapa kalian dan siapa yang memerintahkan kalian di sini, hah? Kalau kau tidak menjawab, tombak ini akan menembus lehermu!” bentak Pampani geram.

Agaknya Kepala Suku itu tadi sengaja tidak membunuh lawan karena ingin memaksanya untuk mengungkapkan rahasia dirinya.

“Hu.... u!” Lelaki bertubuh raksasa itu tidak menyahut, selain sambil mengeluarkan suara yang mirip orang gagu.

“Diam! Kau jangan coba-coba berlagak bodoh di hadapanku! Lihat tombak ini siap mencabut nyawamu!”

Karta memperhatikan raut wajah lawan Pampani. Agaknya lelaki itu bersama kedua temannya tadi telah gagu, karena Karta tadi sempat memperhatikan lawannya mempunyai lidah yang buntung, seperti sengaja dipotong agar mereka tidak bisa bicara.

“Bunuh saja dia, Pampani! Percuma kita memaksanya, karena pasti tidak akan memperoleh jawaban. Lihat, lidah mereka semua telah dipotong hingga tidak bisa bicara lagi!”

Entah sengaja atau hanya karena kebetulan saja, laki-laki itu membuka mulut sampai setengah menganga. Pampani memperhatikan lidahnya. Ternyata benar juga ucapan Karta.

Maka Kepala Suku itu pun kecewa sekali, lalu menghunjamkan tombak di tangannya ke leher lawan hingga tembus sampai ke gagangnya.

“Kurang ajar! Nyaris saja kita celaka karena kelicikan mereka. Untung kita waspada tadi!” kata Pampani.

Mereka kemudian mengalihkan perhatian terhadap sebuah peti berbentuk bulat dengan diameter sekitar satu meter dan panjang sekitar dua setengah meter, terletak di bagian sudut gua itu. Bentuk peti itu sangat unik dan dihiasi ukir-ukiran tradisional, sehingga tampak cukup indah dan terlihat lebih cenderung sebagai peti tempat penyimpanan harta pusaka daripada peti mati.

“Saya rasa Wori ada di dalam peti itu!” kata Baureksa pelan.

Mereka sama-sama melangkah menghampiri peti itu. Sejenak ketiga pendekar itu saling berpandangan, seolah-olah ingin bertanya apa yang harus dilakukan.

“Sebaiknya kita buka peti ini. Kita periksaapa isinya. Pasti sesuatu yang sangat penting,” ujar Pampani.

“Ya, tapi kita harus hati-hati. Firasatku mengatakan peti ini bukan peti sembarangan. Rasa-rasanya ada sesuatu yang membahayakan di dalamnya,” kata Baureksa yang tampaknya mempunyai naluri tajam dan sering bicara berdasarkan bisikan hati nuraninya.

“Kelihatannya tidak dikunci. Mari kita buka!”

Karta dan Pampani membuka tutup peti yang ternyata tidak dikunci.

“Hah? Wori?”

Ketiga pendekar itu sama-sama berseru kaget menyaksikan Wori terbaring kaku di dalam peti itu. Wajah mereka menjadi pucat pasi, karena sekilas pandang tak terlihat lagi tanda-tanda sahabat mereka itu masih hidup. Dadanya tidak turun naik lagi dan desah nafasnya pun tak terdengar.

“Wori....?” kata Pampani tercekat.

“Tenang! Biar aku periksa, mudah-mudahan saja jantungnya masih berdenyut!” kata Karta. Lalu ia meraba-raba bagian dada pendekar bumerang itu. Tetapi tiba-tiba lengan Wori yang kekar dan kuat itu menghantam dada Karta dengan telak.

“Buk!”

“Aaaaakh!” Karta menjerit panjang.

Demikian kuatnya hantaman Wori, sehingga tubuh si Gila terpelanting dan langsung terbanting ke dinding gua. Tubuhnya kemudian bergedebuk ambruk ke lantai gua dalam keadaan sangat memprihatinkan. Segumpal darah kehitam-hitaman tersembur dari mulutnya, pertanda luka dalamnya kambuh lagi akibat pukulan tadi.

“Karta!” Pampani dan Baureksa berteriak kaget dan bermaksud memburu sahabat mereka.

Namun tiba-tiba peti itu berderak keras dan hancur berkeping-keping. Bersamaan dengan itu, tubuh Wori meloncat ke luar bagaikan harimau lapar keluar dari sarangnya.

◄Y►

6

Tubuh Wori langsung melayang ke arah Pampani dan Baureksa dari belakang. Kedua lengannya menyambar ke arah punggung kedua lelaki itu.

“Buk! Buk!” Kedua tangan Wori mendarat telak di punggung Pampani dan si Kaki Tunggal. Akibatnya, tubuh keduanya pun terjerembab. Agaknya tadi, kedua pendekar itu belum menyadari apa yang telah terjadi, sehingga mereka tidak sempat mengelak.

Sambil menahan rasa sakit luar biasa di bagian punggung, Pampani dan si Kaki Tunggal meloncat bangun. Ketika keduanya berpaling, alangkah terkejutnya mereka setelah menyadari bahwa yang menyerang mereka adalah Wori sendiri.

“Wo.... Wori?” teriak Pampani terkejut.

“Kau Wori? Kenapa kau menyerang kami?” Si Kaki Tunggal pun bertanya.

Akan tetapi Wori tidak menyahut. Ia malahan menggereng sambil mengatupkan gigi hingga gemeretak. Kedua matanya melotot dan tampak merah sekali bagaikan memancarkan api. Tampaknya ia belum mengenali ketiga pendekar yang merupakan sahabat baiknya itu.

“Wori, ada apa denganmu? Kenapa kau tega menyerang kami?” tanya Pampani lagi.

Dengan perasaan ragu-ragu, Pampani dan Baureksa melangkah mendekati pendekar bumerang itu. Keduanya mengira Wori masih terpengaruh oleh racun gas yang dihisapnya, sehingga kesadarannya belum pulih seperti sedia kala.

“Wori, kami adalah sahabatmu!” kata Pampani lembut.

Tetapi tiba-tiba Wori menerkam dengan ganas. Kedua tangannya langsung mencengkeram lutut kaki Pampani dan si Kaki Tunggal.

“Awas!” Baureksa berteriak kaget sambil berusaha meloncat mundur.

Namun sudah terlambat, kakinya dan kaki Pampani sudah tercengkeram oleh Wori dengan sangat kuatnya. Kedua pendekar itu berusaha meronta, tetapi cengkeraman Wori bagaikan jepitan baja, bukan hanya tak bisa dilepaskan, tetapi juga menimbulkan rasa sakit luar biasa.

Karena kesal, si Kaki Tunggal mengayunkan tongkatnya menghantam kepala gundul Wori.

“Tak!” Tongkat itu mendarat telak di kepala Wori. Namun karena terdorong rasa persahabatan, si Kaki Tunggal hanya mengerahkan sedikit saja tenaganya, sehingga tidak mencelakakan Wori.

Namun akibatnya sungguh di luar dugaan. Pendekar bumerang itu malah semakin beringas. Sekali menggerakkan tangan, maka terlemparlah tubuh Pampani dan Baureksa.

Pampani tidak sempat menguasai keseimbangan tubuh, sehingga punggungnya terbanting keras ke dinding gua. Si Kaki Tunggal agak beruntung, karena berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sangat tinggi, ia masih sempat berjumpalitan di udara untuk mengatur keseimbangan tubuh, lalu mendarat dengan ringan sekitar tujuh meter dari hadapan Wori.

“Gila kau, Wori!” bentak Pampani kesal.

“Eh, kenapa kau jadi begitu, Wori? Apakah kau tidak mau perduli pada kami teman-temanmu ini?”

Karta yang masih sadar walaupun sangat lemah lebih cepat menyadari apa yang telah terjadi pada diri Wori. Dari sinar mata Wori, ia dapat menilai bahwa sahabat mereka itu bertindak tanpa kesadaran sendiri, melainkan telah dikuasai orang lain yang memiliki ilmu sihir atau ilmu menguasai jiwa.

Ilmu seperti itu sangat jahat dan berbahaya, sehingga jangankan kawan, membunuh istri atau saudara sendiri pun orang yang terkena pengaruh jahat ilmu itu mau. Semua tindakannya dikendalikan, sehingga apapun yang dilakukannya bukanlah atas kehendak atau kemauannya sendiri melainkan orang yang mengendalikannya.

Di Pulau Jawa pun, si Gila Dari Muara Bondet yang bertahun-tahun malang melintang dalam dunia persilatan, sudah sering menghadapi ilmu sihir seperti itu. Cuma ilmu sihir yang menguasai Wori tampaknya jauh lebih kuat, dan tentu saja lebih berbahaya.

Pendekar bumerang itu tampak telah dikuasai nafsu membunuh yang sangat besar dan terasa oleh Karta, sahabatnya itu tidak akan puas sebelum berhasil melampiaskan gejolak di dadanya.

“Hentikan!” teriak Karta dengan suara agak tersendat-sendat akibat rasa sakit di bagian dadanya, “Kalian jangan meladeni dia! Kita akan saling membunuh teman sendiri. Rupanya Wori telah kena pengaruh sihir jahat!”

“Benar kata Karta! Pampani, ayo kita lari dari sini!” teriak si Kaki Tunggal. Lalu bersama si Gila, mereka segera melarikan diri dari ruangan itu.

Tetapi tiba-tiba Wori mencabut senjata bumerangnya, kemudian melemparkannya. Senjata berbentuk bulan sabit itu meluncur bagaikan kilat.

“Awas....!” teriak Karta sambil tiarap diikuti kedua sahabatnya, sehingga senjata unik itu tidak mengenai sasaran dan segera meluncur kembali ke arah pemiliknya.

Wori menangkapnya, lalu menyambitkan kembali senjatanya ke arah ketiga sahabatnya.

“Cepat kalian menuju pintu belimbing itu! Aku akan melindungi kalian!” teriak Baureksa. Saat bumerang Wori meluncur lagi, ia segera mengangkat tongkatnya untuk menangkis.

“Traaak!” Bumerang itu melilit pada tongkat Baureksa dan berputar seperti kitiran. Lalu dengan dorongan tenaga dalam, Kaki Tunggal melemparkan bumerang itu kembali kepada tuannya.

“Yeaaa!” teriak Kaki Tunggal, sambil memperhatikan senjata unik itu meluncur bagaikan kilat ke arah Wori. Tetapi bumerang itu seperti lengket di tangan Wori, dengan mudah ia menyambutnya, kemudian menyambitkan kembali ke arah Baureksa.

Daya luncurnya malah lebih hebat lagi, hingga nyaris memecahkan batok kepala Baureksa. Untunglah pendekar berkaki tunggal itu berkelit ke samping.

“Trak!” Bumerang itu menghantam dinding gua, sehingga tidak berbalik lagi kepada pemiliknya. Kesempatan itu digunakan Baureksa melarikan diri dari ruangan itu menyusul Pampani dan Karta.

“Dia benar-benar telah kesetanan!” kata Baureksa setelah bersama kedua temannya itu berlari melalui lorong-lorong

“Sial, kita hampir saja terkena senjata mautnya,” sambung Pampani.

Mereka terus berlari sambil sesekali berpaling ke belakang, ingin memastikan apakah Wori masih mengejar. Tetapi sampai mereka keluar dari tempat dan tiba di tepian pantai karang, tidak ada lagi hambatan atau serangan. Mereka sama-sama merasa lega.

Namun kemudian Pampani dan si Kaki Tunggal merasa cemas, karena kondisi Karta tampak semakin parah. Setelah berada di luar lorong itu, Karta kembali memuntahkan darah segar. Kepala Suku dan Kaki Tunggal terpaksa harus memapah sahabat mereka itu.

“Tampaknya keadaanmu semakin memprihatinkan. Biarlah aku membimbingmu sampai ke istana. Kuatkan hatimu,” kata Pampani sedih melihat keadaan adik iparnya itu.

“Tidak! Kalian tak usah repot-repot. Biarlah aku kembali ke laut. Dalam keadaan seperti ini, berada di laut lebih menguntungkan bagiku daripada di darat. Aku masih kuat, kalian tak perlu cemas, sebaiknya kalian pulang ke istana. Siapa tahu ada sesuatu hal yang harus segera kalian tangani!”

“Tapi.....”

“Saya rasa lebih baik begitu,” sela si Kaki Tunggal, “Biarlah Karta kembali ke laut. Itu memang lebih baik. Sekarang marilah kita kembali ke istana. Saudara Karta, harap kau menjaga dirimu baik-baik.”

“Terimakasih! Aku akan memperhatikan saranmu!”

Si Kaki Tunggal dan Pampani segera meninggalkan tempat itu. Lama keduanya berdiam diri memikirkan keadaan Karta, maupun sikap Wori yang hampir tidak masuk di akal. Cukup lama mereka hidup sependeritaan dengan pendekar Pulau Kanguru itu, berjalan beriringan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Hubungan di antara mereka pun rasanya bukan hanya sekedar persahabatan, tetapi sudah merupakan persaudaraan, saling mengasihi dan saling membantu. Akan tetapi sekarang, sahabat baik mereka tiba-tiba saja berubah, tak ada lagi rasa persahabatan.

Yang ada cuma permusuhan dan nafsu membunuh yang sangat besar. Tidak disangka dan tidak diduga sahabat baik jadi musuh.

Hanya saja, kedua pendekar itu masih merasa agak terhibur karena menyadari bahwa Wori bersikap begitu hanyalah karena terpengaruh ilmu sihir yang sangat jahat. Kalau saja dia sadar sepenuhnya, mustahil dia bersikap sekasar itu.

“Untung saja Wori kehilangan jejak atau tidak mampu mengejar kita. Apa boleh buat, untuk sementara kita harus berpisah dengannya,” kata Pampani yang tampak masih sangat sedih memikirkan keadaan sahabatnya itu.

“Ya! Dan satu hal yang patut kita syukuri, dia masih hidup. Masalah sikapnya yang aneh itu, saya rasa masih bisa berubah. Kita cari akal untuk membebaskannya dari pengaruh sihir. Entah siapa sebenarnya yang menguasai pikirannya.”

“Entahlah. Tapi yang pasti, Iblis Pulau Aru pun memiliki ilmu sihir seperti itu. Aneh, kuburannya kosong dan ilmunya pun mendadak muncul kembali.

“Sepertinya….....” Tiba-tiba Pampani menghentikan ucapannya, karena di hadapan mereka kini telah berdiri Wori.

“Hah? Wori?” Pampani dan si Kaki Tunggal berseru kaget.

Rupanya Karta yang tadi sudah sempat turun ke laut sempat mendengar kedatangan Wori. Maka ia pun memaksakan diri menghampiri kedua sahabatnya. Ia memegang bahu Baureksa sebagai tumpuan agar tidak terjatuh karena hampir tak bertenaga lagi.

“Wori, kami adalah sahabatmu! Apakah kau masih tega hendak membunuh kami” Lihatlah, saudara kita Karta sedang menderita luka-luka akibat pukulanmu barusan. Sadarlah, sahabatku! Mudah-mudahan angin segar di alam terbuka ini membuat otakmu jernih kembali,” kata si Kaki Tunggal dengan suara lembut dan bersahabat.

“Aku tahu, kau sedang dipengaruhi orang lain. Ingat-ingatlah siapa dirimu sebenarnya dan siapa yang sedang kau hadapi. Wori, temukan dirimu, ingat bangsamu yang sedang dijajah Inggris. Ingatlah kami!”

Tetapi Wori diam saja, mematung seperti robot yang belum menerima perintah melalui otak komputernya, Baureksa mengira kata-katanya itu sudah mulai dapat mempengaruhi pikiran Wori. Maka ia pun tambah bersemangat meneruskan ucapannya:

“Ingat, Wori! Kau jauh-jauh mengembara dari negerimu untuk menuntut ilmu demi bangsamu! Nasib bangsamu ada di tanganmu, di tanganmu, Wori! Oleh karena itu, jaga dirimu baik-baik sampai usahamu itu berhasil!”

“Nasib bangsamu adalah sama dengan nasib bangsaku, Jadi kita sama-sama senasib dan seperjuangan.”

Rupanya kata-kata si Kaki Tunggal sedikit banyak dapat mempengaruhi pikiran Wori. Wajah dan sinar matanya tampak mulai meredup dan lebih tenang. Si Kaki Tunggal dan kedua sahabatnya mulai gembira dan mulai mempunyai harapan bahwa usaha mereka menyadarkan Wori akan berhasil.

◄Y►

7

Sementara itu, suasana di dalam istana Kepala Suku tampak sepi di malam yang diterangi sinar rembulan. Atap istana terlihat berkilauan, cukup indah namun terasa mengandung ketegangan. Di keheningan malam itu, sekali-sekali terdengar suara burung hantu, mungkin sebagai sebuah isyarat bahwa sesuatu yang tidak diinginkan akan segera terjadi.

Di dahan pepohonan rindang di belakang istana, burung-burung itu terbang dari satu pohon ke pohon lainnya. Matanya yang tajam serta bercahaya menatap liar ke dalam istana. Tetapi kemudian, burung itu terbang menjauh. Suaranya pun terdengar sayup-sayup, kemudian hilang terbawa angin.

“Ooooaaaaa!”

Tiba-tiba suasana hening itu dikejutkan suara jeritan tangis bayi dari dalam kamar tidur sang putri. Mirah yang sedang tidur di kamar sebelah menjadi terkejut dan semakin kaget lagi ketika mendengar suara langkah kaki yang sangat mencurigakan di dalam kamar permaisuri. Mendengar suara tangis bayi itu, yakinlah Mirah bahwa si bayi sedang dibawa oleh seseorang yang masuk ke dalam istana tanpa diketahui.

Maka Mirah pun meloncat dari tempat tidurnya, kemudian menerjang dinding pemisah kamar yang terbuat dari papan hingga jebol. Alangkah terkejutnya ia menyaksikan Nomina terkapar dalam keadaan tak berdaya di lantai. Sementara si bayi pun tidak ada lagi di atas tempat tidur.

“Astaga! Tuanku Putri!” seru Mirah dengan suara gemetar menahan rasa kaget dan amarah yang meluap-luap. Dengan tatapan mata liar si wanita cantik itu menyapu ke sekelilingnya, nyaris memekik kaget tatkala menyaksikan sesosok tubuh berkepala ikan hiu sedang berdiri di sudut kamar sambil memangku bayi sang putri, menangis menjerit-jerit.

Tak terkatakan betapa terkejutnya Mirah melihat orang aneh itu. Sebetulnya kepala lelaki itu bukannya terbuat dari ikan hiu, melainkan hanyalah semacam topeng dari kulit ikan hiu yang dikeringkan yang bagian tubuh dan ekornya terus memanjang sampai ke lutut. Wajahnya pun tidak dapat dilihat, sebab yang terlihat hanyalah sepasang matanya dari lubang kecil di kulit ikan hiu itu.

Akan tetapi bukan itu yang membuat Mirah terkejut setengah mati, melainkan karena orang itu sangat mirip dengan Iblis Pulau Aru. Tokoh sesat itu pun demikian adanya. Ketika Mirah mengamatinya rasanya tidak ada bedanya. Lantas hatinya pun bertanya-tanya, apakah memang betul Iblis Pulau Aru yang beberapa waktu lalu tewas telah hidup kembali?

“Kau.... kau Iblis Pulau Aru? Tapi.... tak, tidak mungkin. Tidak mungkin.....” kata Mirah tersendat-sendat karena belum bisa menguasai rasa kagetnya.

Tiba-tiba beberapa berkas sinar menyambar ke arah bagian-bagian tubuh Mirah, yang tak lain tak bukan adalah tulang-tulang ikan hiu yang dibuat menjadi semacam senjata rahasia. Senjata rahasia itu meluncur cepat sekali sehingga yang tampak hanyalah kilatan cahayanya saja.

“Yeaaa!” Mirah meloncat kemudian jungkir balik menghindari serangan yang sangat mendadak itu.

Setelah menginjakkan kakinya di lantai, wanita itu lalu meloncat menerjang lawan dengan goloknya. Ia segera mengeluarkan ilmu simpanannya, karena disadarinya lawannya sekarang bukanlah orang sembarangan.

Goloknya diayunkan membabat dan terdengar mengeluarkan suara mendesing nyaring ketika dielakkan laki-laki berpakaian hiu itu. Golok yang lolos dari sasaran itu membuat gerakan melengkung dan membalik, menyambar dari bawah ke atas sebagai serangan susulan yang lebih dahsyat lagi.

Kembali si Manusia Hiu itu mengelak dengan gerakan cepat, lalu dari samping mendorong dengan kedua tangannya. Dari kedua telapak tangan itu timbul angin pukulan yang membuat Mirah nyaris terjengkang.

Wanita itu berseru kaget dan meloncat ke belakang. Kesempatan itu digunakan si Manusia Hiu untuk melarikan diri melalui jendela. Tetapi Mirah tentu saja tidak mau mendiamkannya, secepat kilat ia meloncat bagaikan terbang mengejar lawan.

Si Manusia Hiu yang sudah menyadari serangan lawan cukup berbahaya, berkelit. Berhasil dia mengelak dengan cara meloncat tinggi ke atas, namun bayi di tangannya terlepas dan tanpa ampun lagi jatuh terhempas ke bawah.

“Ya, Allah! Bayi itu terlempar ke luar!” pekik Mirah terkejut bagaikan disambar petir.

Secepat kilat ia mengulurkan tangan melalui jendela hendak menjangkau tubuh bayi itu, namun sudah terlambat. Masih dengan suara tangisnya yang melengking, tubuh bayi itu terus terhempas dari atas.

“Ya, Allah! Terlambat, bayi itu......!”

Kesempatan itu tidak disia-siakan manusia berkerudung kulit ikan hiu, sambil berteriak nyaring ia menyambitkan senjata rahasia di tangannya. Mirah yang masih terperangah melihat si bayi terjatuh tidak sempat mengelak.

“Aaaakh!” Ia menjerit ketika tulang-tulang dan taring ikan hiu menancap di bagian punggungnya. Sebelum sempat berbuat apa-apa sebuah pukulan kembali menghantam punggungnya.

“Buk!” Tubuh Mirah terlempar lalu terbanting keras ke lantai kamar.

Cairan darah segar dan kehitam-hitaman tersembur dari mulut wanita itu. Golok di tangannya terlempar entah ke mana, tetapi ia masih berusaha bangkit karena tak ingin diserang lagi. Kembali ia memuntahkan darah segar dan ketika berpaling ke samping, terlihatlah olehnya Manusia Hiu itu telah berkelebat melarikan diri dari jendela.

Mirah sebenarnya hampir tak berdaya lagi, dadanya terasa nyeri bukan main, seperti diaduk-aduk atau seperti dibebani ribuan kilo batu. Akan tetapi melihat si Manusia Hiu melarikan diri, semangatnya terasa berkobar kembali. Ia menyambar goloknya yang ternyata terlempar tak jauh dari tempatnya.

“Jangan lari, bangsat!” teriak Mirah sambil mengayunkan golok di tangannya meluncur deras ke arah si Manusia Hiu yang sedang melarikan diri. Namun karena sangat terburu-buru dan keadaannya pun cukup memprihatinkan, sasarannya tidak tepat lagi.

Golok itu tertancap di dinding. Dengan sangat gesitnya, sosok tubuh misterius itu menghilang di kegelapan malam.

Hampir tubuh Mirah terhenyak lemas karena rasa sakit yang dideritanya serta karena sangat kecewa. Ia tidak berhasil meringkus musuh, bahkan dirinya yang terluka dan yang lebih gawat lagi, bayi Nomina terjatuh dari jendela.

Ingat akan bayi itu, semangat Mirah menyala kembali. Dicabutnya golok yang tertancap di dinding, lalu sambil berteriak nyaring ia meloncat turun.

Mata wanita itu menatap liar ke sekelilingnya, tetapi ia menjadi lemas ketika menyadari bahwa bayi itu tidak ada di sekitar tempatnya sekarang berdiri. Ke mana gerangan bayi itu? Apakah si Manusia Hiu yang memungutnya tadi lalu membawanya kabur?

Mirah memeriksa tanah di sekitar tempat itu. Kalau misalnya jatuh terhempas ke tanah, paling tidak akan meninggalkan bekas atau tidak mustahil berdarah. Namun tidak ada sama sekali. Maka hampir saja ia menangis karena tidak bisa menguasai perasaan.

Menurut perkiraan Mirah kalau tidak terjadi sesuatu hal yang luar biasa bayi itu tentulah sudah tewas. Tulang-tulangnya yang masih muda tentu remuk, karena tempatnya terjatuh cukup tinggi, sekitar enam meter.

Tapi paling tidak, ia harus menemukan mayatnya. Maka ia pun bergegas memeriksa setiap sudut-sudut gelap dan kolong-kolong rumah panggung itu dengan hati cemas.

Malam semakin larut, Mirah belum juga berhasil menemukan tanda-tanda di mana bayi itu berada, sementara keadaannya semakin parah. Setiap kali menghela nafas, dadanya terasa sesak dan nyeri bukan main.

Tetapi ia belum mau berhenti mencari sebelum berhasil menemukannya! Tiba-tiba sebuah bayangan serba hitam berkelebat, entah dari mana datangnya langsung saja menerkam Mirah dari belakang.

Sosok itu tak ubahnya seekor monyet tinggi besar. Mulai dari kepala hingga kakinya ditutupi bulu-bulu hitam. Mulutnya tampak sangat lebar dengan gigi-gigi yang panjang dan runcing-runcing. Kuku kaki dan tangannya pun panjang-panjang melengkung dan sangat runcing. Tangan kanannya mencengkeram bahu Mirah dari belakang.

“Ah!” Mirah berseru kaget dan dengan gerak reflek menyabetkan goloknya sambil memutar kedua kaki. Senjata itu menyambar dahsyat, namun dengan gerakan yang sangat ringan, sosok itu meloncat ke atas.

Mirah masih mencoba memutar senjatanya dari posisi menyabet ke samping menjadi menyambar lurus ke atas. Namun baru saja memutar pergelangan tangan, lengan lawan sudah menyambar mencengkeram ubun-ubunnya.

“Akh!” Mirah terkejut bukan main, sungguh tak menyangka lawan bisa bergerak secepat dan setepat itu. Ia terpaksa meloncat mundur untuk menghindar.