Jaka Sembung 12 - Terdampar di Pulau Hitam(1)

1
Di atas pasir pantai dengan debur ombak yang bergemuruh, seorang pemuda tampan dalam pakaian seorang pendekar, perlahan-lahan membuka kelopak matanya.......

“Terdampar di manakah aku.......? Rasanya pantai ini asing bagiku!”

Ia berusaha mengingat-ingat apa yang telah menimpa dirinya, dan apa yang terjadi atas diri kawan-kawannya. Belum sempat ingatannya pulih semua, entah dari mana datangnya, tahu-tahu beberapa batang tombak telah meluncur di depan hidungnya.

Betapa terkejutnya pemuda itu menghadapi kenyataan ini.

“Ha!” Seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sambil tengkurap dengan kedua tangan yang terbelenggu rantai besi, ia memandang beberapa orang yang pakaiannya hanya menutup sebatas kemaluan.

Orang-orang itu berkulit hitam legam, rambut keriting, raut wajah dihiasi coretan berwarna kuning, putih dan merah serta mata yang beringas. Serentet taring babi sebagai penghias leher dan tulang lain yang mencocok lobang hidung dan telinga mereka, menandakan bahwa mereka belum beradab. Suasana di pinggir pantai itu tegang sejenak.

Debur ombak terasa makin menggelegar memecahkan telinga. Tiba-tiba salah seorang dari mereka memberi aba-aba dengan isyarat gerakan tangan. Pemuda yang masih terbelenggu itu berusaha bersikap tenang serta menuruti kemauan orang-orang dari suku primitif itu.

Sepanjang jalan, sang pemuda yang ternyata adalah Parmin, si Jaka Sembung, terus berpikir. Baru kali ini dia melihat orang berkulit hitam legam dan berambut keriting dengan tubuh hampir telanjang bulat seperti itu.

“Suku apakah ini? Aku tahu maksud mereka. Mereka ingin aku untuk ikut mereka! Yach, melawan pun tak ada gunanya. Barang kali saja aku nanti bisa mengorek keterangan dari orang-orang ini!” gumamnya dalam hati.

Seperti kerbau dicocok hidung, pendekar muda ini mengikuti apa yang diperintahkan oleh orang-orang bertampang seram dan menakutkan itu.

Sebelum kita mengikuti lebih jauh lagi perjalanan Parmin, kita ikuti bagaimana dia bisa sampai ke daerah yang sama sekali belum dikenalnya itu. Mengapa Parmin bisa sampai ke tempat tersebut?

Kala itu Parmin dan kawan-kawan sedang berada di atas kapal. Baru saja ia mengatur kemudi ke arah yang akan mereka tempuh, tiba-tiba dari arah Selatan badai datang dan memporak-porandakan kapalnya.

Dengan menggunakan papan kepingan kapal yang hancur itu mereka masing-masing selamat, hanya sayangnya mereka terdampar di pulau yang berlainan. Parmin alias si Jaka Sembung terdampar di sebuah pulau yang bernama 'PAPUA' atau Pulau Hitam.

Di sepanjang jalan yang ditumbuhi semak belukar, pepohonan raksasa serta jalan setapak yang mereka lewati, masih saja Parmin berpikir. Kali ini pikirannya tertuju kepada teman-temannya.

“Mudah-mudahan saja yang lainnya selamat dan dapat berkumpul kembali!”

Parmin digiring terus dengan todongan ujung-ujung tombak persis berada di punggung dan tengkuknya. Matahari telah berada tepat di atas ubun-ubun membuat suasana saat itu panas bukan alang-kepalang.

Butiran-butiran keringat sebesar biji jagung membasahi keningnya. Setelah beberapa lama masuk hutan belantara, akhirnya mereka sampai di sebuah dataran terbuka.

Bangunan-bangunan tempat tinggal berbentuk kerucut-kerucut besar yang berderet-deret dan membentuk sebuah lingkaran yang mengelilingi sebuah halaman yang luas dengan tonggak-tonggak kayu terpancang di tengah-tengahnya. Jika diperhatikan lebih teliti, ternyata tonggak-tonggak kayu tersebut adalah sebuah patung ukir yang bersusun ke atas membentuk pilar kayu yang cukup tinggi.

Setelah agak dalam memasuki halaman perkampungan suku itu, seorang yang berjalan paling depan memberi isyarat berhenti. Parmin dan sejumlah pengawal pun patuh mengikuti perintahnya. Orang itu lalu berjalan menuju sebuah bangunan yang paling besar beratap ijuk dengan puncak atap berukiran tradisionil.

“Itu pasti rumah kediaman kepala suku mereka! Dan bukan tidak mungkin, mereka adalah suku pemakan daging manusia.”

Baru saja Parmin berpikir begitu, beberapa orang bertampang beringas datang menyeret dan mengikatnya kuat-kuat pada sebuah tiang di tengah halaman. Sebagian yang lainnya berjingkrakan mengitarinya sambil meneriakkan kalimat dan kata-kata yang tak dapat dimengerti olehnya.

Suara kendang yang ditabuh kencang-kencang menambah riuh suasana. Tak ubahnya seperti upacara agama para suku-suku primitif.

“Dugaanku tidak meleset!” bisiknya dalam hati.

Sementara itu di dalam bangunan besar yang dihiasi berbagai tengkorak kepala binatang-binatang buas dan taring babi, bulu-bulu burung cendrawasih, beberapa tombak terpampang di atas dinding. Topeng-topeng aneh menambah seram suasana bangunan itu.

Kepala pasukan langsung menghadap kepala suku sambil membungkukkan badan hampir rebah ke lantai. Dia berbicara dengan bahasa yang mirip suara burung kepada orang yang duduk di atas singgasana yang terbungkus kulit-kulit binatang dan dihiasi manik-manik aneka warna dan ditemani lima orang dayang-dayang yang terdiri dari gadis-gadis berkulit hitam dengan dada terbuka dan tubuh bagian bawah hanya ditutupi rambak rambai dari kulit kayu.

“Awom, kau mendapat tawanan orang asing? Bagus! Aku akan datang menemuinya! Siapkan saja segera upacara persembahan untuk nenek moyang kita!” ujar kepala suku.

Kepala suku segera berdiri meninggalkan kursinya dengan diiringi dayang-dayang dan seorang pimpinan agama suku yang berjubah kebesaran, kepalanya yang dihiasi dengan bulu-bulu burung cendrawasih dan tangannya memegang tongkat dengan hiasan-hiasan unik.

Ketika kepala suku menginjakkan kaki di halaman, semua hiruk-pikuk suara manusia dan tetabuhan mendadak sontak berhenti. Suasana menjadi hening seketika. Kepala suku terus melangkah mendekati tiang di tengah halaman di mana Parmin si Jaka Sembung terikat tak berkutik.

“Hai! orang asing, coba jelaskan siapa kau, dan dari mana asalmu? Ketahuilah bahwa aku adalah kepala suku di sini!”

Bukan main terkejutnya. Betapa tidak, semula dia sangka kepala suku orang-orang primitif itu seorang laki-laki yang tegap dan hitam menyeramkan, kenyataannya justru bertolak belakang.

Kepala suku ternyata seorang wanita cantik berkulit putih dan berambut pirang serta bertubuh tinggi semampai dengan lekuk tubuh yang sangat indah, menyapanya dengan bahasa Melayu yang cukup fasih. Parmin tak percaya dengan apa yang dihadapinya.

Rasanya ia sedang bermimpi. Kepala suku primitif itu ternyata seorang gadis bule yang rupawan. Gadis ini dapat memaklumi apa yang sedang berkecamuk pada diri pendekar muda itu.

Maka segera dia berkata, “Tenanglah! Anda pasti selamat! Aku percaya anda adalah salah seorang dari suku lain yang sudah beradab! Mereka menganggap bahasa Belanda dan bahasa Melayu sebagai bahasa dewa-dewa mereka. Oleh karena itu berbicaralah dengan bahasa yang membuat anda seperti dewa!” si cantik itu mengajari.

“Baiklah, kepala suku! Apakah yang harus kuperbuat sekarang? Apakah anda akan memerintahkan anak buah anda untuk membuatku jadi sate?” tanya Parmin.

“Tentu saja tidak! Malah aku sangat membutuhkan anda. Kita bisa saling membantu! Ketahuilah, aku dengan mudah mempengaruhi mereka, termasuk pemimpin agama suku yang berdiri di sampingku, ini!” katanya sambil menunjuk seorang lelaki hitam yang sejak tadi menunjukkan tampang angkernya sebagai seorang yang sangat berpengaruh setelah keberadaan sang kepala suku.

“Baiklah, apa yang harus kuperbuat?”

“Sebagai orang Timur, anda pasti punya keahlian dalam ilmu-ilmu aneh! Nah, tunjukkanlah kepada mereka suatu keajaiban yang mempesona! Dengan begitu mereka lebih percaya bahwa anda adalah utusan dewa!”

“Baiklah!” jawab Parmin memakluminya. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening namun menegangkan. Tiba-tiba tali yang melilit tubuh pendekar muda itu putus.

Laksana Bhatara Bayu yang sedang murka dalam pewayangan, Parmin mendemontrasikan jurus 'Wahyu Taqwa' suatu jurus yang maha dahsyat. Dia melangkah ke tengah lingkaran orang-orang hitam itu berdiri, lalu kedua kakinya dibuka untuk membentuk kuda-kuda.

Setelah itu dia menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya berbarengan dengan kedua tangan yang terletak di atas pinggang. Hembusan angin mendadak keluar dari kedua telapak tangannya, diikuti bunyi gemerincing rantai besi yang masih membelenggu.

Hembusan angin kencang itu membuat debu-debu berhamburan ke angkasa, daun-daun rontok dari dahannya. Pohon-pohon terangkat dan tumbang. Binatang-binatang keluar dari tempat persembunyiannya, bangunan ambruk seketika serta para pengawal yang berada di arena upacara itu berjumpalitan, sehingga membuat kepala suku cepat bertindak.

“Hentikan!! Cukup.......!! Anda cukup hebat untuk menjadi seorang dewa!”

Setelah pertunjukan kehebatan utusan dewa usai, kepala suku segera berbicara kepada rakyatnya dalam bahasa suku tersebut.

“Rakyatku! Menyembahlah kalian! Orang yang kalian tangkap ini ternyata utusan dewa!”

Bagaikan tonggak-tonggak kayu yang roboh tertiup angin, rakyat suku primitif itu segera menjatuhkan diri seketika, dan berlutut di hadapan Parmin untuk meyembah. Parmin melihat perlakuan seperti itu menjadi rikuh dan menahan rasa geli dalam hati.

Setelah memberi aba-aba kepada rakyatnya untuk berdiri kembali, sang kepala suku menoleh ke arah Parmin sambil berkata.

“Akan kami sediakan tempat tinggal untuk anda di sini. Nanti malam, aku mengundang anda untuk bertukar pikiran serta mengenal riwayat masing-masing!”

Parmin mengangguk tanda setuju, tetapi diam-diam Jaka Sembung merasa risih berdekatan dengan seorang wanita muda bangsa asing dengan tubuh nyaris telanjang saja yang ditutupi dengan hiasan beberapa batok kerang besar dililit oleh seuntai tali sebagai pengikatnya.

***

2

Matahari kian condong ke arah Barat dan hilang ditelan awan yang berwarna kemerahan. Rakyat suku primitif itu mulai memasuki tempat tinggal masing-masing dan sebagian lagi berjaga-jaga di setiap sudut halaman dengan senjata tombak dan panah.

Sinar matahari tak terlihat menembus sela-sela pohon, pertanda hari mulai berganti malam. Para penjaga pun menyalakan api unggun untuk pemanas dan penerangan perkampungan mereka.

Tak seberapa jauh dari tempat kediaman kepala suku, tampaklah seorang pemuda tampan yang tak lain adalah Parmin si Jaka Sembung sedang merebahkan diri di atas kasur yang terbuat dari tumpukan ijuk dan rumput ilalang.

Sebagai seorang pendekar yang beriman, Parmin tak melupakan kewajibannya untuk menunaikan Sholat Maghrib. Walaupun tak terdengar suara adzan dan beduk, Parmin bisa mengirakan kapan waktu Maghrib tiba.

Ia segera bangun dari istirahatnya dan langsung mempersiapkan keperluan Sholat. Kemudian Parmin keluar untuk berwudlu. Ternyata ia mendapat kesulitan untuk mencari air, maka terpaksalah ia melakukan tayammum dengan pasir halus yang cukup bersih di halaman tempat tinggal.

Parmin menunaikan Sholat Maghrib. Tak lama kemudian Parmin duduk tafakur seraya berdo'a sambil mengangkat kedua belah tangannya yang masih terbelenggu rantai besi. Rantai buatan serdadu kompeni Belanda yang sulit untuk dibuka.

“Ya Allah! Semoga Kau selalu memberi petunjuk dan bimbingan kepada hamba-Mu, semoga pula kau selamatkan kawan-kawan seperjuanganku....... Amin ya Robbal Alamin!”

Sesaat kemudian........

“Sekarang aku perlu keterangan dari wanita kulit putih itu,” pikirnya dan langsung bergegas untuk menemui kepala suku di tempat tinggalnya yang terletak di seberang tempat tinggalnya.

Belum jauh dia melangkah, tiba-tiba dia mendengar suara wanita dari arah rumah kepala suku.

“Auww.......!!”

Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya Parmin melompat. Secepat kilat ia telah menjajakkan kaki di pintu masuk rumah kepala suku dan.......

“Terlambat!” keluhnya.

Setelah melihat kepala suku tak ada di tempat, Parmin langsung melihat-lihat keadaan sekeliling ruangan singgasana itu, dan apa yang terjadi, para pengawal kepala suku juga sudah terbunuh semua.

Mereka bergelimpangan di sekitar kursi singgasana dan pintu kamar kepala suku dengan tubuh hangus di bagian dada. Setelah menyapu pandang ke seluruh pelosok ruangan, tiba-tiba matanya melihat ke suatu tempat yang terlihat porak poranda.

“Hmm, ternyata mereka menjebol dinding terlebih dahulu, kemudian menculik kepala suku....... Kalau begitu aku harus segera mengejarnya!” pikir Parmin.

Parmin segera berkelebat dari ruangan singgasana kepala suku langsung ke dalam hutan dengan melewati jebolan dinding itu. Ia sengaja mengambil jalan menerobos ke semak-semak belukar, agar dirinya tak diketahui orang lain.

Baru saja akan melanjutkan perjalanannya, mendadak dia melihat sesosok bayangan yang melintas di hadapannya. Dengan cepat Jaka Sembung menyergap bayangan tadi.

Ternyata........

“Heh, kau panglima suku, bukan? Apa yang telah terjadi dengan kepala sukumu, Awom?” tanya Parmin tak sabar. Baru saja akan dijawab, serta merta.......

“Chraaaa!!” Sebuah serangan mengancam dirinya sehingga Jaka Sembung harus berkelit.......

“Minggir!!” teriak Parmin sambil mendorong tubuh panglima suku agar menjauh dari bahaya, sedangkan kakinya menggaet kaki penyerang gelap tadi.

Maka tak ayal lagi si penyerang terhuyung-huyung jatuh menghantam pohon besar di hadapannya. Tetapi, dia cepat bangkit untuk menyerang.

Dengan buasnya dia menyerang dari menghantam Parmin. Untunglah Parmin bergerak cepat, kalau tidak apa yang akan terjadi pada dirinya tentu sangat fatal. Dapat dibuktikan bahwa serangan yang dahsyat itu menghantam sebuah pohon besar di belakangnya.

Cengkeraman tangan lawan membuat pohon itu somplak dan tumbang seketika. Sekilas Parmin dapat melihat wajah lawannya bertopeng tengkorak dengan kepala bertanduk dan bersurai terbuat dari ijuk.

“Gila.......!! Hem, aku yakin, dia pasti bukan orang sembarangan dan jurus-jurus silatnya seperti kukenal,” gumamnya.

Penyerang gelap itu tak memberi ampun terhadap Parmin, dia menyerang dengan membabi buta, sehingga pohon-pohon banyak yang tumbang dan debu serta kerikil berterbangan ke udara terhempas oleh tenaga dalam yang luar biasa.

Dengan menjatuhkan diri dan berguling-guling, Parmin dapat menghindari pukulan maut yang dapat menghanguskan apa saja. Tetapi di luar dugaan, serta merta penyerang gelap tersebut berkelebat pergi.

“Eh, dia pergi.......? Mengapa dia lari? Kurasa akulah yang kalah bila pertarungan tadi dilanjutkan,” pikir Parmin.

Belum lagi habis herannya, dia dikejutkan oleh sesuatu yang ditinggalkan oleh lawannya tadi di atas tanah.

“Heh! Bekas telapak hitam, dan rumput-rumput sekitarnya terbakar hangus? Sebuah pukulan yang tak asing lagi bagiku,” gumamnya.

Setelah dirasakan aman, Parmin menyuruh keluar sang panglima suku dari tempat persembunyiannya di balik semak belukar.

“Keluarlah tak ada bahaya lagi!”

Panglima suku bergegas dan menghampiri Parmin.

“Lantas ke mana kita mencari kepala suku? Bisakah kau memberi petunjuk padaku?” tanya Parmin dengan bahasa Melayu diiringi dengan gerakan-gerakan tangan sebagai bahasa isyarat.

Dengan susah payah panglima suku mencoba mengerti maksud Parmin, lalu dengan susah payah pula ia memberi keterangan dengan bahasa isyarat.

“Hm, ya....... ya! Aku mengerti sedikit-sedikit maksudmu! Kepala suku diculik oleh suku Papua yang bertubuh kerdil, bukan?”

“Baik, mari kau tunjukkan tempat tinggal suku Papua kerdil itu,” pinta Parmin kepada panglima suku yang bernama Awom itu.

Namun belum sempat mereka melangkah untuk melanjutkan perjalanan, Parmin melihat wajah Awom seperti hendak menyatakan sesuatu yang cukup penting.

“Ada apa lagi.......?”

Dengan gaya yang tangkas dan gesit laksana cecak menangkap mangsanya, Awom menjambret salah satu pohon tanggung yang ada di dekatnya. Dan.......

“Hm, dia mencabuti daun-daunnya untuk apa.......?” tanya Parmin dalam hati.

Dengan isyarat kembali Awom memberi keterangan sambil menunjuk-nunjuk daun-daun yang baru diambilnya itu. Mengertilah Parmin dengan apa yang dimaksud panglima suku.

“Oh, kau bilang daun-daun ini harus kita kunyah agar kita terbebas dari gigitan binatang-binatang yang berbisa? Baiklah, ini memang perlu untuk menjaga diri, terima kasih!” jawab Jaka Sembung sambil mengunyah daun-daun itu.

Awom tersenyum senang karena melihat utusan dewa mau menuruti sarannya.

***

3

Setelah mengunyah daun-daunan tersebut, Parmin dan Awom melanjutkan perjalanannya untuk mencari kepala sukunya. Sepanjang jalan mereka menjelajahi rimba belantara pedalaman pulau Hitam Papua.

Suasana sunyi mencekam dalam perjalanan tanpa seberkas cahaya pun menerangi langkah mereka. Seringkali kaki mereka tersandung akar-akar pohon yang melintang atau terperosok ke dalam lobang yang sudah tertutup humus daun-daun kering.

Berkilo-kilo meter jalan setapak dan hutan belantara yang telah mereka lewati. Perjalanan yang sangat melelahkan, lapar pun mulai menghantui perutnya.

Mata Parmin menjelajah ke atas mencari buah-buahan untuk mengganjal perut dan sambil bersiap siaga terhadap serangan mendadak atau sergapan binatang buas, menjadi santapan segar suku pemakan daging manusia kalau mereka lengah.

Separoh perjalanan sudah terlewati. Mereka berdua tidak tidur, karena memang kesempatan untuk beristirahat tidak ada. Di samping itu pula tempat yang aman untuk pelepasan lelah kurang memungkinkan.

Suhu udara semakin dingin mencekam sampai tembus ke tulang sumsum. Sinar rembulan dari kejauhan mulai menipis, lambat laun bergeser ke belahan bumi bagian Timur. Suara-suara binatang hutan pun mulai terdengar kembali pertanda hari mulai pagi.

Pagi subuh itu Parmin mengajak Awom beristirahat dan mencari air untuk mencuci muka dan berwudhu. Tetapi setelah menjelajahi seluruh hutan di sekitarnya, mereka tak menemukan air. Akhirnya mereka kembali lagi ke tempat semula, tempat yang agak memadai untuk menunaikan Sholat Shubuh.

Panglima suku duduk di samping pohon besar kemudian Parmin mencari embun yang membasahi dedaunan untuk digunakannya sebagai air wudhu. Dia berdiri menghadap suatu arah yang ia yakini sebagai kiblat. Seraya mengangkat kedua tangannya sambil berucap.

“Allahu Akbar.......!” Parmin mulai melakukan Takbir.

Awom memperhatikan setiap gerakan Parmin. Ia heran dan bertanya-tanya dalam hati. Dalam hatinya ingin rasanya ia bertanya apa yang sedang dilakukan Parmin. Dari berdiri, mengangkat kedua tangan, berjongkok, duduk lalu berdiri lagi terakhir tengok kanan kiri serta mengusap muka dengan kedua telapak tangannya.

Setelah menyelesaikan suatu rangkaian gerakan yang mengherankan bagi Awom, Parmin berdiri menghampiri orang berkulit hitam yang sudah menjadi sahabatnya itu sambil berkata.

“Kau tentu heran dengan apa yang baru kukerjakan tadi....... Jika kau menyembah arwah nenek moyangmu, maka aku menyembah Tuhan yang menciptakan seluruh alam dan isinya, yang juga termasuk menciptakan nenek moyangmu.”

Parmin berusaha memberi keterangan dan pengertian panglima suku itu. Namun demikian panglima suku masih keheranan, bahkan ia bertanya lebih jauh lagi dengan bahasa isyarat perihal Tuhan yang disebut-sebut Parmin sebagai penguasa jagad dan isinya.

“Apakah Tuhannya lebih tinggi dari apa yang selama ini mereka sembah?”

“Ya, tentu saja Tuhan pencipta alam ini, lebih tinggi dari kekuatan nenek moyangmu atau dewa-dewa sekalipun! Dia jauh lebih tinggi.......! Baiklah, kelak lambat laun kau akan mengerti! Sekarang mari kita lanjutkan perjalanan,” jelas Parmin sambil mengajak Awom untuk melanjutkan perjalanan.

Beberapa saat kemudian mereka sudah berada di tengah hutan belantara. Ribuan pohon-pohon raksasa, tanah berbatu serta sungai-sungai kecil mereka lewati. Butir-butir keringat telah membasahi seluruh tubuh mereka. Akhirnya ketika matahari mulai meninggi, mereka sampai ke sebuah dataran yang indah.

Mereka melangkah ke arah batu besar yang terletak persis di tepi bukit. Di atas batu besar itu Parmin dan Awom melihat-lihat pemandangan yang sangat menyegarkan mata. Bukit-bukit tinggi yang ditumbuhi pepohonan serta hamparan rumput ilalang, laksana gelaran permadani menambah suasana menjadi semakin bertambah asri.

“Indah sekali lembah ini! Pernahkah kau ke sini?” tanya Parmin.

Panglima suku Kaimana tak menjawab sepatah katapun, ia hanya mengangguk sambil tersenyum bangga dengan apa yang dimiliki negerinya.

Setelah beberapa saat melihat keindahan perbukitan itu, tiba-tiba Awom menunjuk ke arah gunung yang menjulang tinggi dengan puncaknya yang diselimuti sesuatu berwarna putih kemilau. Ia kemudian memberi penjelasan kepada Parmin dengan bahasa isyarat.

“Oh, puncak gunung itu kalian namakan tempat bersemayamnya arwah-arwah nenek moyang? Dan warna putih menyilaukan di puncaknya itu kalian anggap sebagai istana dewa-dewa?” tanya Jaka Sembung dengan hati-hati jangan sampai teman barunya itu tersinggung.

Parmin tersenyum dan berkata dalam hati....... “Hm, sebenarnya hanya salju yang menutupi puncak gunung itu. Karena begitu tingginya gunung-gunung di sini, maka salju itu tak pernah meleleh. Salju abadi.”

Setelah menyaksikan beberapa keindahan dan keanehan di sekitar kaki gunung yang berselimut salju tebal tadi, Parmin dan Awom melanjutkan perjalanan.

Menjelang tengah hari Jaka Sembung dan Panglima suku memasuki suatu lembah. Perjalanan mereka sudah cukup jauh dari Kaimana tempat yang mereka tinggalkan.

Selama di perjalanan mereka saling belajar bahasa masing-masing sambil mencari buah-buahan apa saja yang dapat dimakan untuk mengganjal perut yang beberapa hari belum terisi.

“Kau bilang sudah dekat? Baiklah, kita beristirahat sejenak.”

Belum lagi mereka sempat merebahkan tubuh, tiba-tiba Parmin menangkap gerakan halus dari atas pohon yang berada di hadapannya. Lalu apa yang terjadi? Secepat kilat Jaka Sembung mendorong tubuh Awom ke samping sehingga luput dari sasaran.

“Awas!!! Hiyaaaat!!!” teriak Parmin dan tubuh Awom berguling.

Parmin berusaha sekuat daya untuk menghindari serbuan jarum-jarum yang mengancam. Bukanlah si Jaka Sembung bila dia tidak bisa menguasai keadaan seperti itu.

Dengan ketangkasan luar biasa, melalui keahlian menangkis senjata rahasia yang dimilikinya, ia mengembalikan senjata-senjata kecil tadi. Seketika itu pula rontoklah beberapa tubuh cebol dari atas pohon termakan oleh senjatanya sendiri yang ternyata berupa paser-paser beracun yang dilontarkan dengan sumpitan itu.

“Kedebuk! Gusrak!” Laksana durian jatuh.

“Inikah yang kau maksud dengan suku Papua kerdil itu?” tanya Parmin kepada panglima suku.

Belum sempat pertanyaan itu terjawab mendadak tubuh kecil lain dari arah yang tidak terduga menyerang dengan gesitnya. Tak dapat dipungkiri lagi pertarungan yang tak seimbang segera terjadi.

Tidak kurang dari duapuluh orang cebol menyerang Parmin dan Awom. Mereka tak memberi kesempatan pada keduanya mengatur nafas barang sejenak.

Bagaikan binatang yang ganas dan kelaparan mereka menerjang dan menerkam dua orang pendatang itu. Ada yang menggigit, mencekik dan ada pula yang mencakar bagian tubuh Parmin, sehingga baju yang dipakainya terkoyak.

“Tubuh mereka kecil-kecil, tetapi Masya Allah gerakannya lebih tangkas dari monyet......., kita bisa celaka dikeroyok suku kerdil yang ganas ini!”

Parmin tak tinggal diam, dan tak mau ambil resiko. Ia segera mengerahkan tenaga dalamnya, disertai teriakan laksana binatang buas Jaka Sembung mengkibaskan tangan ke depan sehingga manusia-manusia mini itu berpentalan ke segala penjuru.

“Ayo maju lagi!” seru Parmin dengan sinar mata beringas dan mengancam.

Dengan kejadian yang baru saja mereka alami, orang-orang kerdil itu nampak ketakutan. Langsung saja mereka ambil langkah seribu pontang-panting melintasi semak belukar meninggalkan Jaka Sembung dan Awom.

“Mereka lari! Ayo kita kejar terus, sampai kita tahu di mana tempat persembunyian mereka,” ujar Parmin.

Belum lagi jauh Parmin dan panglima suku mengejar, salah seorang dari gerombolan orang kerdil itu mengambil sesuatu dari semak-semak pohon diikuti oleh kawan-kawannya.

“Lihat! Mereka mengambil apa dari balik semak-semak?” teriak Jaka Sembung.

“Oh, mereka menuangkan cairan kental dari guci-guci itu! Apakah itu?”

Belum sempat Parmin berbuat sesuatu cairan itu sudah membanjiri tanah yang berada di hadapannya. Tak ayal lagi begitu Parmin dan Awom menginjak cairan itu, mereka tergelincir jatuh!

“Ah, licin!!” keluh Parmin kesal.

Sementara Parmin dan Awom bergulat dengan cairan tersebut, kesempatan itu tak disia-siakan oleh gerombolan manusia kate untuk lari jauh dari kejaran mereka. Dengan hati dongkol namun kagum Parmin berdesis, “Mereka cukup pintar untuk menghalangi kita!”

Dalam kesempatan itu panglima suku Kaimana berusaha menjelaskan cairan apa dan terbuat dari apa. Karena dia belum dapat menggunakan bahasa Melayu dengan baik, maka ia campur adukkan penjelasannya dengan bahasa isyarat.

“Minyak ini terbuat dari getah pohon-pohon opak!”

Sambil mengangguk tanda mengerti Parmin mengalihkan pandangannya ke arah guci-guci itu.

“Aha, mereka meninggalkan guci-guci itu, salah satu di antaranya masih berisi cairan itu. Aku yakin minyak ajaib ini berguna buatku.”

“Untuk apa?” tanya Awom.

“Nanti kau akan tahu gunanya.......!”

Setelah mengambil guci itu, kemudian Parmin mencelupkan kedua tangannya yang masih terbelenggu rantai besi sampai sebatas pergelangan. Apa yang dilakukan Parmin? Ternyata ia menggunakan minyak itu sebagai bahan pelumas untuk melepaskan belenggu besinya.

Ia mengerutkan jari jemarinya dan pelan-pelan ia mengurut gelang besi yang sudah dilumuri minyak yang sangat licin itu. Maka beberapa saat kemudian lepaslah besi sial yang selama ini membuatnya repot.

“Nah, sekarang lega rasanya! Cukup lama belenggu ini membatasi gerakanku....... Sekarang mari kita lanjutkan perjalanan kita! Kita ikuti saja jejak orang kate itu!”

***

4

Setelah merasa tak ada lagi yang mengganggu gerakannya, Parmin dan Awom melanjutkan perjalanannya. Berhari-hari mereka telah menempuh perjalanan. Siang dan malam tanpa mengenal lelah.

Dengan menelusuri lembah ngarai serta hutan belantara yang belum terjamah manusia. Selama itu panglima suku pun tak henti-hentinya memberi penjelasan mengenai berbagai hal yang belum diketahui Parmin, agar pendekar muda itu lebih hati-hati.

Dari Kaimana yang terletak di teluk Etna, kini mereka telah sampai di pinggiran Danau Jamur di kaki pegunungan puncak Jayawijaya. Sepanjang perjalanan, sebagaimana biasa kedua insan itu terus menerus saling belajar bahasa masing-masing.

Parmin sudah sedikit lancar bahasa suku Kaimana. Mereka melewati bukit-bukit yang menjulang tinggi, terhias hamparan pohon yang hijau dan tidak ketinggalan burung-burung yang indah yang hanya dimiliki oleh pulau Papua, antara lain burung Cendrawasih yang terkenal itu.

Ketika Parmin menengadah ke atas dan melihat seekor hewan yang sangat indah dipandang mata, ia bertanya pada teman seperjalanannya itu.

“Burung apakah itu? Bulunya indah sekali!”

“Suku kami menyebutnya burung surga,” jelas Awom sambil tersenyum bangga.

Parmin coba lebih mendekat untuk menikmati keindahan burung itu sambil membunyikan jari jemarinya dan bersiul. Burung itu menyambut sapaan Parmin dengan membentangkan sayapnya yang berbulu indah, berwarna warni.

Jaka Sembung begitu kagum melihatnya dan dalam hati ia memuji kebesaran nama Sang Maha Pencipta. Diam-diam pula ia merasa bangga bahwa sebenarnya kepulauan di kawasan Nusantara ini memiliki kekayaan yang sangat berlimpah, baik hasil bumi, rempah-rempah maupun flora dan faunanya.

Seperti kata Awom tentang nama burung itu, benarlah bahwa tanah air tercinta ini bagaikan surga yang terbentang di katulistiwa sehingga dambaan bangsa-bangsa lain untuk menguasai dan memilikinya. Terbukti dengan adanya bangsa Belanda yang sedang menjajah negerinya.

Tak seberapa jauh dari hutan itu nampaklah danau yang dikelilingi bukit-bukit yang menjulang tinggi serta pohon-pohon pinus yang berderet-deret.

“Inilah Danau Jamur! Tempat tinggal suku Papua kerdil itu, ada di sebelah sana,” Awom memberitahu Parmin sambil menunjuk ke arah pinggiran Danau Jamur sebelah Selatan.

“Kau katakan tempat mereka dekat, tapi astaga! Sudah berapa hari kita menempuh perjalanan ini?” ucap Parmin yang baru sadar dengan apa yang telah mereka tempuh selama ini.

Setelah sekian lama menyusuri pinggiran Danau Jamur, sampailah mereka pada sebuah tempat yang ditumbuhi pohon-pohon raksasa. Sambil mengendap-endap di balik pepohonan, Parmin membuka matanya lebar-lebar untuk mengamati segala penjuru dan tak lupa bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Awom! Coba kau lihat! Apakah itu?” tanya Parmin kepada panglima suku dengan keheranan.

“Nah, itulah perkampungan suku Papua kerdil!” jawab Awom.

Parmin melihat pemandangan yang cukup aneh. Tampaklah pada cabang-cabang pohon itu bergantungan benda-benda besar seperti sarang lebah. Yang tak lain adalah rumah-rumah tempat suku kerdil bermukim.

“Mereka memanjat dengan tangkasnya seperti kera. Mereka adalah suku perusuh yang paling ditakuti oleh suku-suku lain,” jelas Awom lebih jauh.

Belum lagi sempat memahami apa yang dijelaskan Awom tiba-tiba Parmin terbelalak melihat sesosok manusia yang bertopeng tengkorak dengan surai ijuk dan berjubah sedang berdiri di bawah pohon-pohon raksasa itu.

“Apakah tidak salah penglihatanku.......? Ternyata yang berada di sana itu adalah orang yang telah membokong kita di halaman rumah kepala sukumu,” ujar Parmin kepada Awom.

Awom mengangguk dengan gigi gemeretak karena geram.

Parmin berusaha tenang sambil memperhatikan apa yang sedang diperbuat orang misterius itu di perkampungan suku kerdil ini. Dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain, orang berjubah dan bertopeng seram itu berteriak sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.

Tak lama kemudian dari dalam sarang tawon raksasa itu, serentak keluar tubuh-tubuh kecil bergelayutan ke bawah. Kemudian dengan cepat mereka membentuk barisan mengelilingi manusia bertopeng itu.

Suasana hening sejenak, lalu tiba-tiba dengan bahasa suku Papua kerdil, orang itu menunjuk-nunjuk ke suatu arah. Dengan serentak mereka berlarian menuju tempat yang ditunjuk. Tak lama kemudian mereka kembali membawa sesosok tubuh molek yang meronta-ronta dalam usungan mereka.

“Lepaskan aku!! Kau mau bawa ke mana diriku?” teriak si tubuh molek yang ternyata seorang gadis berkulit putih dan berambut pirang. Namun teriakan itu tak mereka perdulikan.

Beberapa saat kemudian orang itu memerintahkan orang-orang suku cebol membawa gadis bule ke sebuah balai-balai yang terbuat dari bambu yang memang telah disiapkan di tengah-tengah halaman.

Gadis itu direbahkannya perlahan-lahan di atas balai dengan tangan terikat ke belakang. Sang makhluk menyeramkan itu kemudian menghampiri tubuh menggiurkan dengan pakaian teramat minim tersebut.

Orang itu memperhatikan sosok tubuh yang indah mulus di hadapannya sambil beberapa kali menelan ludah. Sang gadis bule terus meronta dan akhirnya dia memaki sambil menyemprotkan air ludah ke wajah bertopeng seram itu.

“Lepaskan jahanam!!!”

“Cuihhh!!! Manusia busuk!!”

Betapa kaget dan marahnya orang itu, dengan cepat dia meninggalkannya. Tubuh molek itu menggeliat-geliat dan meronta-ronta berusaha melepaskan tali ikatannya. Namun usahanya itu sia-sia, ikatan itu terlalu kuat buat seorang gadis seperti dia.

Parmin yang sejak tadi mengintai dari kejauhan, terkejut setelah melihat pemandangan itu. “Astaga! Itu adalah kepala sukumu, Awom! Dia dalam bahaya!” bisik Jaka Sembung kepada Awom agar suaranya tak terdengar oleh orang-orang kerdil di depannya.

Jaka Sembung mulai memutar otaknya guna mencari akal. Tak lama kemudian, dia berbisik lagi kepada Awom untuk memberi tahu bagaimana cara menyelamatkan gadis bule itu.

“Ssst! Kerjakanlah menurut petunjukku Awom!”

“Ya, baik!” Awom menjawab sebagai tanda setuju dengan maksud Parmin.

Seketika itu juga keduanya berpencar untuk mencari tempat untuk memulai rencana mereka. Tubuh molek berwajah cantik itu kini tak berdaya terlentang di atas balai sambil menanti apa yang akan diperbuat suku kerdil itu terhadap dirinya. Sementara itu orang-orang kerdil yang mengelilinginya kini sedang sibuk menumpuk kayu bakar dan ditempatkan di balai bambu tersebut.

Manusia misterius itu tiba-tiba berteriak, “Ambil minyak! Lalu siramkan ke tumpukan kayu itu!”

Secepat kilat orang-orang kerdil itu berlompatan untuk masing-masing mengambil guci yang berisikan minyak dan mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. Setelah beres semuanya orang bertopeng itu mengambil sebuah obor yang sedang dipegang oleh salah seorang suku kerdil, lalu ia lemparkan ke bawah balai-balai bambu di mana tumpukan kayu sudah siap untuk dibakar.

Kepala suku Kaimana tak dapat berbuat apa-apa. Karena tubuhnya terikat kuat-kuat pada balai-balai bambu yang kini mulai terbakar. Gadis itu putus asa dan berdo'a sambil memanggil nama ayahnya.

“Ayah!! Ayah!! Di manakah kau berada, ayah! Apakah kita harus berpisah untuk selama-lamanya. Oh Tuhan tolonglah hambaMu! Aku tidak mau mati sebelum bertemu dengan ayahku!”

Api sudah mulai menjalar dan makhluk kecil itu berjingkrakan sambil meneriakkan kata-kata sakral menurut kepercayaan mereka. Seakan mereka bangga dengan apa yang akan mereka persembahkan kepada arwah-arwah nenek moyangnya.

Dari semak belukar Parmin tak punya pilihan selain harus cepat bertindak. “Aku harus segera bertindak sebelum api itu menjilat tubuh gadis kulit putih itu!” Dengan nekad Parmin berkelebat menuju tempat upacara itu.

Tapi sayang, sebelum ia sampai ke arah tujuan, tiba-tiba makhluk misterius itu menyambut tubuh Parmin yang sedang melayang dengan sebuah tendangan yang telak mengenai dadanya. Tak ayal lagi tubuh Parmin terjerembab ke atas balai yang mulai dijilat api.

Api mengelegak seakan marah dan ingin melahap korbannya. Tapi Parmin bukanlah pendekar sembarangan. Dia dapat bertindak cepat dalam situasi gawat sekalipun. Maka dengan sebuah hentakan, ia bangkit dan langsung meraih tubuh gadis itu menjauhi balai-balai bambu yang hampir roboh karena dilahap si jago merah.

“Cepat anda berguling ke dalam belukar! Awom akan melindungi anda di sana!”

Tetapi saat itu sang gadis melihat nyala api yang membakar baju Parmin.

“Aww!! Baju anda terbakar,” teriaknya.

Tapi sebelum Jaka Sembung berbuat sesuatu, mendadak dadanya digedor oleh tendangan keras yang menerjangnya. Parmin merintih menahan sakit di dadanya dan darah segar pun keluar dari mulutnya, sedangkan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.

Dengan sekuat tenaga Parmin menerjang sambil menggaet kaki lawan hingga terjungkal terperosok ke semak-semak belukar. Kesempatan yang sedetik itu ia gunakan untuk melucuti bajunya yang sudah terbakar dan siap memasang kuda-kuda untuk menyambut serangan lawan berikutnya.

Saat itu gadis kulit putih pun terancam bahaya. Tiga orang kerdil datang menyergapnya. Betapa kagetnya sang gadis. Tapi beruntung baju yang berkobar api yang dilepaskan Parmin, tanpa sengaja berhasil menolongnya.

Tiga tubuh cebol itu terberangus oleh urukan baju tersebut, dan si gadis pun lari mencari tempat berlindung.

Sementara itu lawan yang bertopeng seram yang terjungkal kini sudah bangun kembali dengan menggeram siap menerjang dengan seluruh tenaganya bertumpu pada tangannya yang berbentuk cakar singa.

“Celaka! Ia bersiap-siap hendak melancarkan pukulan yang menghanguskan itu?” gumam Jaka Sembung dalam hati dengan cemas.

Namun tiba-tiba lawan yang misterius itu terpaksa menunda pukulannya karena sebuah rumah mirip sarang laba-laba raksasa mendadak dengan deras jatuh ke arahnya. Pada detik kritis itu si topeng seram menyambut benda besar itu dengan sebuah pukulan dahsyat.

“Hyaaaaaat.......!”

Tak ayal lagi hancurlah rumah-rumah itu berkeping-keping. Bersama rumah yang hancur berantakan, melayang jatuh sebuah benda berbentuk cakar. Saat itu pula Parmin terkejut.

“Hah”! Tangannya copot?”

Tapi orang seram itu menubruk benda yang masih melayang di udara dengan gerakan laksana seekor tupai. Kemudian dengan sebuah loncatan lagi dia kabur ke dalam semak belukar dan menghilang di sana.

“Heh! Dia menghindar lagi! Agaknya ia sengaja mengulur-ulur waktu,” umpat Jaka Sembung.

***

5

Baru saja manusia bertopeng yang memimpin suku kerdil itu pergi, dari arah belakang Parmin puluhan orang suku kerdil menyerang dengan tombak-tombak mereka. Namun demikian mereka bukan lawan tanding Parmin.

Sekali hentak, puluhan manusia kerdil itu beterbangan laksana kapas ditiup angin. Kendati pun demikian mereka tidak jera, bahkan bangun kembali untuk menyerang. Kali ini mereka menyerang serentak dengan tangan-tangan yang saling bergandengan seperti anyaman pagar.

“Gila! Mereka benar-benar makhluk kecil yang ulet,” pikir Parmin.

Usaha mereka tetap sia-sia. Tubuh-tubuh berderet itu kembali terpelanting seperti serentetan bunga rampai. Kali ini tubuh itu terpental menjadi santapan kobaran api, yang sudah bergelagak menelan balai bambu tadi. Seperti kata pepatah hilang satu tumbuh seribu, kini yang lain datang lagi menyerang dari arah belakang.

Dari arah yang berlawanan datang pula segerombolan dari mereka, namun belum sempat menyerang tiba-tiba malaikat penolong datang dengan memutuskan tali-tali pengikat rumah yang banyak bergelantungan di dahan pohon-pohon besar itu. Rumah-rumah yang berjatuhan itu berhasil mengacaukan mereka.

Ternyata itu adalah ulah Awom sang panglima suku. Kesempatan demikian tak disia-siakan Parmin untuk melepaskan sang gadis kulit putih itu dari tali yang masih membelenggu tangannya.

“Cepat kita lari, nona!” ajak Parmin.

Tetapi sebelum melangkah, sekonyong-konyong Parmin membuka kain sarung yang dipakainya, dan menyuruh gadis bule itu menggunakan kain tersebut untuk menutupi tubuhnya yang nyaris tidak berpakaian itu.

“Maaf, sebaiknya tubuhmu itu ditutup, nona.”

Baru saja gadis bermata biru itu akan mengenakan kain sarung yang biasa digunakan Parmin untuk Sholat, mendadak terdengar suitan yang datang dari salah seorang suku cebol. Entah apa yang terjadi seketika itu pula terdengar suara gemuruh datang dari balik semak belukar. Membuat Parmin terperangah.

“Hah! Suara apakah itu dari dalam hutan?”

Ternyata suara itu adalah suara pasukan kavaleri suku kerdil yang terdiri dari penunggang-penunggang burung Kasuari. Pasukan burung Onta itu datang sebagai bala bantuan.

Betapa kagetnya Parmin melihat serombongan laskar pengendara burung ganas itu. Parmin si Jaka Sembung mau tak mau harus melindungi kepala suku Kaimana dengan menerjang seluruh pasukan itu sekuat kemampuannya.

Tapi tak urung gadis bule itu mendadak diserang oleh salah seekor burung. Untung saja Parmin bertindak cepat dan langsung menghajar burung itu tepat di batang lehernya, membuat si gadis berkulit putih itu lepas dari cengkeramannya.

Parmin segera menggendong tubuhnya sambil berkata. “Pegang aku kuat-kuat, nona! Kita harus segera lari dari sini!!” Bagaikan sebuah barisan yang rapat, burung itu mengurung Parmin dari segala penjuru.

Pada saat yang sulit itu Awom berusaha membantu Parmin dan kepala sukunya. Dari atas pohon Awom menghajar salah seorang dari mereka dengan tombak.