Jaka Sembung 10 - Mahligai Cinta Sepasang Pendekar(1)

Karya Djair
1
Matahari semakin condong ke Barat dan beringsut perlahan-lahan menuju ke kaki langit. Cahaya yang terang berangsur-angsur pudar dan membeku kemerah-merahan, pertanda siang akan segera berganti malam. Burung-burung tampak pulang ke sarang, sementara penduduk Desa Kandanghaur melakukan tugasnya sebagai muslim, shalat jemaah di surau atau di rumah masing-masing.

Di rumah Pak Penghulu, yang letaknya di pinggir jalan desa, kelihatan cahaya lampu yang terpancar dari celah-celah dinding. Beberapa orang laki-laki dan perempuan, bergegas-gegas masuk ke halaman dan menuju ke rumah yang lumayan besarnya.

“Barangkali kita terlambat,” ujar salah seorang ibu dari rombongan itu dengan nada ragu. Ketika itu, terdengar suara adzan sayup-sayup dari jauh.

“Tidak,” jawab Pak Kinong, “Itu baru adzan Isya. Paling-paling Pak Penghulu sedang menunggu kita.”

Ibu Kinong memberi salam sambil mengetuk pintu. Tidak lama kemudian, pintu dibuka dari dalam. Cahaya lampu yang menyembul ke luar dari pintu memperjelas wajah-wajah tamu yang datang.

“Oh, kalian, masuklah!” Ibu Penghulu yang sudah mengenal kedua orang tua itu mempersilahkan tamunya masuk dengan ramah.

“Ada Bapak, Bu?” tanya pemuda yang berdada bidang dan berperawakan cukup kekar.

“Tentu! Ia memang menunggu kalian sejak tadi.”

Tidak lama kemudian, Pak Penghulu pun mempersilahkan tamu-tamunya duduk di tikar yang telah tersedia dan memulai acara pernikahan kedua muda-mudi yang sangat terkenal di desa kecil itu.

“Pak Penghulu!” kata Pak Kinong mewakili kedua muda-mudi yang hendak menikah itu. “Berhubung kedua calon mempelai ini tidak mempunyai orang tua lagi, sebagai wali dan saksi adalah saya sendiri.”

Kedua calon pengantin itu mengangguk, membenarkan.

“Baiklah, kita mulai,” ujar Pak Penghulu dengan membuka kitab Pengantar Nikah sambil bertanya kepada calon pengantin laki-laki.

“Siapa namamu?”

“Parmin, Pak!”

“Nama Neng, siapa?”

Roijah tersenyum. Ia merasa lucu karena sudah kenal masih berpura-pura belum kenal.

“Nama saya Roijah, Pak!”

“Roijah, kau mencintai Parmin?”

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum.

“Kau, Parmin? Juga mencintai Roijah?”

“Saya mencintainya, Pak!”

“Bagus! Suatu perkawinan yang tidak dilandasi oleh rasa saling mencintai, tidak akan kekal sampai kakek-nenek, mengerti?”

“Mengerti, Pak!” jawab kedua calon pengantin itu serentak.

“Alhamdulillah!”

Sejenak suasana menjadi hening. Semua yang hadir menundukkan kepala menunggu acara akad nikah yang akan segera berlangsung. Tetapi tiba-tiba keheningan itu mendadak berubah dengan suara hiruk pikuk yang datang dari luar, diawali dengan dobrakan jendela dan pintu bertubi-tubi.

“Tenang!” ujar Penghulu dengan suara gugup.

Melihat gejala yang tidak baik itu, Parmin bangun dan secepat kilat melompat ke depan pintu diikuti oleh Roijah. Mereka berdiri bahu-membahu siap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.

“Kalian siapa?” bentak Parmin dengan gemas.

“Kami malaikat maut yang hendak mencabut nyawamu, mengerti?” jawab salah seorang pengepung itu dengan sombong, sementara kawannya mengusap-usap mata golok yang ada di tangannya.

“Begitu mudah kau pikir?” sela Roijah dengan sinis. “Sebaiknya kita tidak perlu banyak bacot dengan orang-orang seperti ini, Kang,” tambah gadis itu dengan menahan amarahnya.

Serentak dengan kata-kata Roijah berakhir, Parmin dengan cekatan yang luar biasa menyerang orang-orang yang berniat jahat itu. Sekali gebrak, kedua musuh itu terpental dan jatuh tak berkutik lagi dengan tangan memegang dada menahan sakit.

Roijah dengan nalurinya sebagai pesilat dan gerak matanya yang cukup waspada, tiba-tiba mendapat serangan dari belakang yang sama sekali tidak diduga.

Tetapi, gadis itu bukan wanita sembarangan. Dengan gerakan secepat kilat membalik badannya sambil membetot kain yang sedang dipakainya dan menggasak kedua penyerang gelap itu.

Dengan tangan kirinya yang terlatih ia menghunjam pukulan keras ke muka lawannya yang berada di depan, sedangkan lawan yang berada di belakangnya dikebut dengan pintalan kain yang berisi tenaga dalam, sehingga terjengkang jatuh dan disudahi dengan suatu tendangan maut telak di dadanya.

Pada saat senggang itu, Parmin mendekati kekasihnya sambil berbisik, “Hati-hati dik, tempat ini telah terkepung rapat. Kita harus berusaha menerobos mereka.”

Roijah mengangguk dan menatap Parmin sejenak, seakan-akan menyatakan, ia bersedia mati bersama. Sementara itu, seorang musuh yang berperawakan tinggi tegap dengan golok panjang di tangan berdiri tegak di halaman, tidak begitu jauh dari Parmin dan Roijah berada.

“Bagus! Akhirnya kau ke luar juga mengantar nyawa kepadaku,” katanya sambil tersenyum sinis. Ia menatap Parmin dengan wajah garang serta mengancam, “Kalau kau tidak turun ke halaman dan menyerah kepada kami, aku akan membunuhmu dan membakar rumah ini menjadi abu, dengar?”

Gertak yang begitu, sudah tidak asing lagi di telinga Parmin. Karena itu, ancaman tersebut sedikit pun tidak digubris. Hanya yang menjadi pikirannya, nasib Pak Kinong. Dia orang awam dalam hal seperti itu.

“Pak Kinong! Selamatkan diri Bapak,” seru Parmin dari jauh.

“Aduh! Berhati-hatilah, Den!” jawab Pak Kinong khawatir.

Pertempuran meluas ke halaman. Parmin dan Roijah memberikan perlawanan sengit. Korban di pihak lawan berjatuhan. Kedua pendekar muda itu mengamuk sejadi-jadinya. Mereka bertekad mempertahankan diri sampai tetes darah terakhir.

Namun yang merisaukan hati, pasukan pengepung terus bertambah, seakan-akan tidak pernah habis. Mati satu tambah sepuluh. Kedua pendekar itu benar-benar merasa kelabakan, hampir tak ada celah yang memungkinkan mereka dapat menyelamatkan diri.

Tetapi, watak pendekar tidak pernah menyerah. Parmin dan Roijah terus berlaga sekuat tenaga. Tekad dan semangat bertempur kedua pendekar muda itu, hampir-hampir saja membuat musuh yang berlipat ganda tidak dapat bertahan.

Dalam keadaan demikian, tiba-tiba dari sebuah sudut yang gelap muncul tiga sosok tubuh. Salah seorang di antaranya maju ke depan sambil bertolak pinggang.

“Ha, ha, ha.......!” tokoh itu tertawa dingin seraya memberi perintah kepada bawahannya dengan suara yang berwibawa.

“Minggirlah kalian! Biar aku menyelesaikan si Ujang dan si Neng ini. Kelihatannya kalian menjadi makanan empuk si Jaka Sembung dan si Bajing Ireng itu.”

Parmin yang disebut si Jaka Sembung dan Roijah si Bajing Ireng terkesima sejenak. Mereka serentak menatap wajah keras dan sorot mata yang tajam dari musuh yang baru hadir itu. Parmin sempat berbisik kepada Roijah,

“Kelihatannya dia pembunuh berdarah dingin yang tidak boleh dianggap enteng.”

Roijah hanya mengangguk membenarkan kesan kekasihnya itu. “Seorang serdadu kompeni Belanda mendampinginya, Kang!”

“Ya, kini baru jelas padaku. Mereka semua tidak lain dari antek-antek kompeni Belanda yang menjual harga dirinya sebagai bangsa sekaligus mengkhianati kita semua,” jelas Parmin dengan kesal.

Roijah mengangguk tanpa tanggapan, kecuali menyatakan kesan bahwa jagoan yang menjual diri kepada musuh itu seakan-akan berasal dari daerah Banten.

“Apakah kau termasuk juga seorang pengkhianat bangsa yang silau dengan gemercingnya uang gulden?” tanya Parmin tanpa disadari kata-kata itu melompat dari mulutnya.

“Hei, Ujang! Kau jangan bicarakan tentang pengabdian kepadaku! Itu terlalu muluk. Aku hanya ingin yang gampang-gampang saja. Perut tidak bisa dibujuk dengan alasan pengabdian, tetapi harus disumbat dengan kenyataan: Harus makan!”

“Oh, begitu?”

“Mengapa tidak!” jawab si wajah seram itu.

“Kalau begitu, kau hampir sama dengan anjing, yang jika dikasih daging akan menggigit siapa saja musuh tuannya,” tukas Parmin dengan nada keras.

“Kau menghinaku?” tanya pendekar itu dengan suara datar.

“Bukan saja menghina, tetapi aku ingin manusia seperti kau tidak boleh hidup lama,” jawab Parmin sambil menyerang berbarengan dengan Roijah.

Sementara orang itu masih tetap berdiri pada posisi kedua tangan di dada. Ketika itu terjadilah suatu keajaiban yang luar biasa.

Pada jarak sedepa sebelum serangan Jaka Sembung dan Bajing Ireng sampai ke tubuhnya, tiba-tiba tubuh Parmin dan Roijah terlempar keras ke belakang sejauh sepuluh depa.

Ketika Parmin bangkit dan menyiapkan sebuah jurus andalan yang baru, pendekar berdarah dingin itu masih tetap tegak berdiri di tempatnya dengan tenang.

“Oh, celaka! Orang ini memiliki ilmu kontak,” gumamnya perlahan, “Meminjam tenaga lawan untuk suatu pukulan balik.”

Sebelum Parmin dan Roijah sempat berpikir lebih jauh, tiba-tiba orang itu berteriak dengan sekuat-kuatnya sambil melepaskan gerak tangannya secepat kilat. Angin kibasan dalam jarak sepuluh depa itu membuat tubuh Parmin dan Roijah seperti terlipat ke belakang akibat dorongan keras laksana angin puting beliung.

Parmin dan Roijah berusaha meluruskan badannya kembali dalam posisi tegak, tetapi pendekar yang lebih mementingkan perut itu sekali lagi membuat gerakan melilit seperti memeras kain cucian. Akibat gerakan isyarat yang luar biasa itu, tubuh kedua pendekar muda tersebut melintir hebat, kemudian jatuh tak berdaya.

Tubuh Parmin dan Roijah jungkir balik dan menggelepar mengikuti gerak tangan musuhnya seperti benda elektronik yang dikendali dengan remote control. Lebih parah lagi, sendi-sendi tulang mereka gemerutuk lemas laksana seekor ular yang disentak dari kepala dan ekornya, sehingga sama sekali tidak berdaya.

Melihat keberhasilannya, pendekar hitam itu segera melangkah ke dekat kedua pendekar muda, yang sudah tidak dapat menggerakkan otot-otot mereka lagi.

“Oh, kasihan! Hanya begitu sajakah kemampuan kalian?” ujarnya dengan nada sinis.

Tetapi ejekan itu tidak mendapat tanggapan sama sekali. Pendekar berwajah angker yang diiringi oleh serdadu kompeni Belanda itu memanggil beberapa orang anak buahnya dan memerintahkan agar kedua korban itu diikat dengan tali yang kuat.

“Good! Kowe orang Inlander yang baik, Rasek!” puji perwira kompeni Belanda itu, dengan tersenyum.

“Tuan besar van Eissen akan sangat senang dengan keberhasilanmu. Ia pasti menyediakan hadiah besar buat Kowe orang dan Kowe orang akan menjadi kaya.”

Malam itu juga, mereka mengusung Parmin dan Roijah seperti mengusung binatang hasil buruan. Iring-iringan para pemburu itu bersorak sorai. Mereka berbondong-bondong menuju ke gedung tuan tanah Belanda, Yan van Eissen.

Pak Kinong dengan sangat terharu mengikuti dari dekat peristiwa Parmin dan Roijah. Ia kelihatan begitu terharu sambil mengeluh pada dirinya.

“Waduh celaka, Den Parmin dan Den Roijah tertangkap oleh begundal-begundal kompeni Belanda. Ya, Allah ya Tuhan lindungilah mereka!”

Dengan rasa putus asa dan tubuh basah kuyup karena keringat dingin dan air mata yang berlinang, Pak Kinong dan Bu Kinong meninggalkan tempat bersejarah itu dengan terhuyung-huyung kembali ke rumahnya diikuti oleh para pengiring yang lain.

Dengan langkah yang terseok-seok Pak Kinong menuju ke pondok ladangnya yang terletak di tepi hutan Loyang. Sebelum ia sampai ke pondoknya, ia seperti mendengar suatu panggilan yang menyebut namanya.

“Pak Kinong tunggu!” Orang tua itu sangat mengenal suara tersebut. Itu pasti suara burung beo Parmin yang pandai berbicara.

Sebenarnya Penghulu Kinong sudah tak asing lagi dengan hutan Loyang, baik bahaya atau kepantangannya. Tetapi, karena perasaan terharunya terhadap nasib Parmin dan Roijah, ia lupa bahwa memasuki hutan Loyang di malam seperti ini sungguh sangat berbahaya.

Akibat kelalaiannya itu hampir saja ia menjadi korban binatang buas yang sangat ditakuti penduduk setempat. Ketika Pak Kinong hampir dekat ke pondoknya, sekonyong-konyong seekor raja hutan yang cukup besar muncul dari balik semak-semak.

Binatang itu mengaum dengan sekuat-kuatnya. Karena terlalu kaget ia jatuh terkulai dan pingsan tidak berapa jauh dari tempat raja hutan itu berada. Burung beo kesayangan Parmin yang terus membayang-bayangi Pak Kinong kelihatan sangat cemas.

Burung itu berusaha menghalang-halangi harimau besar yang hendak mendekat ke tubuh orang tua yang tidak berdaya itu. Berkali-kali harimau buas hutan Loyang itu hendak melahap tubuh Pak Kinong, tetapi selalu saja dihalangi oleh sang Beo dengan cara terbang cepat sambil mengepak-ngepak sayapnya dekat mata si raja hutan tersebut. Akhirnya burung beo yang cerdik itu terkena juga cakaran sang harimau sehingga berdarah.

Kini sang Raja Hutan yang lapar itu sudah tak acuh lagi pada burung Beo. Binatang itu telah bersiap-siap untuk menerkam tubuh Pak Kinong, sementara burung Beo yang berusaha melindunginya sudah tidak berdaya lagi.

Ketika binatang buas tersebut hendak menerkam tubuh Pak Kinong dengan bernafsu, tiba-tiba tubuh harimau itu terpelanting ke belakang dengan keras. Binatang itu meraung dengan suara yang menggetarkan. Raja Hutan itu sangat marah karena maksudnya terhalang.

Tidak jauh dari tempat itu berdiri tegak sesosok tubuh kekar dengan pakaian serba hitam. Harimau jantan yang merasa terhina itu, segera menyerang penghalang maksudnya tadi. Dengan raungan yang menggentarkan seisi hutan Loyang, harimau besar itu meloncat dan menerkam musuh barunya.

Tetapi secepat kilat pendekar baju hitam itu berhasil mengelak. Bahkan dengan tangan kanan yang cekatan berhasil menghunjamkan pukulan ke lambung harimau ganas itu sehingga jatuh tersungkur ke tanah dan tidak pernah bangun kembali.

Setelah berhasil melumpuhkan sang raja hutan, orang berbaju hitam itu dengan langkah perlahan menghampiri Pak Kinong yang masih tergeletak di tanah. Sang penolong itu segera mengeluarkan sebuah botol kecil dalam saku baju hitamnya. Isi botol yang sudah dibukanya diciumkan ke hidung Pak Kinong.

Tak lama kemudian orang tua itu pun siuman kembali. Setelah melihat kiri kanan, Pak Kinong perlahan-lahan menoleh kepada penolongnya. Pak Kinong mencoba mengusap-ngusap matanya beberapa kali, tetapi yang terlihat wajah penolongnya yang itu juga. Pak Kinong mencoba mengingat-ingat kembali kemudian dengan yakin ia bertanya.

“Andakah yang membunuh harimau itu?”

Orang itu mengangguk.

“Aneh!” seru Pak Kinong pada dirinya.

“Apa yang aneh?” tanya orang yang baru menolongnya dengan heran.

“Mengapa Anda tidak membiarkan saja aku mati di tangan binatang buas itu? Nyawaku ini tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan nyawa Jaka Sembung dan Bajing Ireng yang Anda bunuh.”

“Apa maksudmu orang tua?”

“Bukankah Anda yang melumpuhkan Jaka Sembung dan Bajing Ireng?” tubuh Pak Kinong dengan nada benci.

“Aku tak mengerti bicaramu, Sobat! Dan aku juga tidak pernah melumpuhkan orang-orang yang kau sebut Jaka Sembung dan Bajing Ireng itu?”

“Anda yang menangkap mereka sesudah Anda melumpuhkannya dengan ilmu iblis seperti yang Anda gunakan untuk melumpuhkan harimau tadi.”

Pendekar berbaju hitam itu mengerutkan keningnya sejenak pertanda ia tidak mengerti sama sekali tentang tuduhan yang dilancarkan Pak Kinong kepadanya.

“Pak! Aku baru saja datang dari Kulon dan secara kebetulan aku lewat di tempat ini dan melihat Bapak dalam bahaya serta aku dengan ikhlas menolongnya, tidak lebih dari itu!” jelas pendekar berbaju hitam itu dengan polos.

“Jadi, Anda anggap aku yang keliru menuduh?”

“Mungkin Bapak keliru!”

“Kalau aku bohong, biarlah aku dimakan Iblis,” ujar Pak Kinong dengan penuh keyakinan. “Andalah orang yang telah memperlakukan Den Parmin dan Den Roijah secara biadab di Desa Kandanghaur semalam.”

“Kalau Bapak tidak percaya kepadaku, terserahlah!” kata Pendekar berbaju hitam sambil melangkah pergi meninggalkan tempat itu.

Sementara Pak Kinong terus menyumpah-nyumpahnya.

Penolong Pak Kinong itu mencoba memahami tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepadanya, tetapi ia tetap tidak mengerti bahkan tidak merasa sama sekali pernah melakukan apa yang dituduhkan oleh orang tua itu. Ketika Pak Kinong hendak meninggalkan hutan Loyang, ia kembali meyakinkan diri apakah harimau itu benar-benar telah mati?

Dalam hati orang tua itu, timbul lagi tanda tanya, “Mengapa orang itu mau menolongku?” Tetapi Pertanyaan itu tetap tidak terjawab.

Pada waktu Pak Kinong melangkah beberapa langkah, setitik darah segar jatuh dari pohon mengenai telapak tangannya. Ia kaget, “Darah siapakah gerangan ini?” pertanyaan itu timbul mendadak dan mendorong orang tua itu untuk mengetahuinya.

“Pak Kinong!” ujar, Beo ajaib dengan suara nyaring di atas pohon. “Syukur kau selamat! Apa yang telah terjadi dengan Den Parmin dan Den Roijah?”

“Kau di situ, Beo? Turunlah!”

Beo yang cerdik itu pun turun dan bertengger di tangan Pak Kinong.

“Kau terluka Beo?” gumam Pak Kinong bersahabat, “Apa yang pernah terjadi denganmu? Mari kita segera pulang! Lukamu bisa membusuk jika tidak cepat diobati.”

Dengan Beo di tangan, Pak Kinong bergegas-gegas meninggalkan tempat itu. Pak Kinong sangat mengkhawatirkan keselamatan Beo ajaib tersebut.

◄Y►

2

Setelah Jaka Sembung dan Bajing Ireng dilumpuhkan begundal kompeni Belanda bernama Rasek, kedua pendekar muda itu diusung beramai-ramai dengan kedua tangan mereka diikat erat-erat ke belakang.

Peristiwa tertangkapnya Jaka Sembung dan Bajing Ireng, malam itu juga tersebar luas di desa kecil Kandanghaur. Mereka diam-diam berkumpul dan memanjatkan doa demi keselamatan kedua pendekar itu.

Tuan tanah Yan Van Eissen, raja Kandanghaur yang terkenal kejam itu, tertawa lebar melihat orang-orang yang selama ini selalu menghambat segala ambisinya, sudah tertangkap hidup-hidup dan tidak merupakan halangan lagi terhadap usaha mereka memeras rakyat.

Keesokan harinya, Parmin si Jaka Sembung dan Roijah si Bajing Ireng, dihadapkan kepada Yan van Eissen, penguasa Kandanghaur di rumah kediamannya yang cukup besar dan luas itu. Dengan tangan yang terikat ketat ke belakang, kedua pendekar rakyat, pembela hak asasi serta keadilan dan kebenaran itu, duduk berlutut di lantai tanpa hak membela diri.

Yan van Eissen menatap kedua tahanannya itu dengan penuh kebencian dan rasa dendam, tanpa sedikit pun merasa berterima kasih dan berhutang budi pada rakyat Kandanghaur yang telah memberikan kehidupan manis kepadanya sebagai bangsa yang menumpang hidup di kepulauan Nusantara yang ramah dan makmur.

Sebelum Yan van Eissen melampiaskan rasa marahnya kepada Jaka Sembung dan Bajing Ireng yang sedang meringkuk di hadapannya, Tuan tanah itu berkata dengan manis kepada Leonard van Eissen, anaknya yang menjadi perwira dan memimpin langsung penangkapan atas kedua pendekar rakyat Kandanghaur itu.

“Leonard, aku sangat bangga dengan keberhasilanmu menangkap kunyuk-kunyuk ini,” Yan van Eissen menuding Parmin dan Roijah. “Peristiwa besar ini akan kulaporkan ke atas dan kuharapkan Jij akan mendapat penghargaan yang layak,” tambah Yan van Eissen menatap anaknya yang senyum bangga.

“Kuharapkan begitu, Papie!”

Yan van Eissen mengangguk-angguk. Kemudian ia menoleh ke arah Rasek yang berdiri di belakang Leonard.

“En Jij Rasek! Kowe orang Inlander jempolan. Kowe orang berjasa besar kepada Kompeni. Jij berhasil menangkap pemberontak yang mencoba melawan pemerintah Kerajaan Belanda di sini. Ik akan memberikan hadiah uang kepada Kowe orang, supaya Kowe orang senang hati dan selalu membantu pemerintah Belanda yang ada di Kandanghaur ini, mengerti?”

“Saya, Tuan. Saya selalu siap membantu Tuan,” ujar Rasek dengan bangga sambil mengangkat tangan memberi hormat.

“Goed!” Yan van Eissen merasa sangat puas dengan begundalnya yang satu itu.

Kemudian tuan tanah yang kejam itu menoleh ke arah Jaka Sembung dan Bajing Ireng yang dengan pasrah menyerahkan nasibnya kepada Tuhan.

“God verdomme zeg!” sekonyong-konyong Belanda gemuk itu menghardik kedua tahanannya yang tidak berdaya dengan kasar.

“Kowe orang berdua musti terima hukum berat, mengerti! Kalian harus dihukum mati karena berontak melawan pemerintah Belanda yang berkuasa.”

“Terserah Tuan!” cetus Parmin. Di wajahnya terbayang rasa benci dan muak melihat tuan tanah yang telah terlalu banyak menimbulkan penderitaan kepada rakyat.

“Seharusnya, Tuan dan sebangsa Tuan yang hidup di kepulauan Nusantara kami berterima kasih kepada bangsa dan negeri kami yang telah memberikan Tuan-tuan kehidupan dan kemewahan, yang di negeri Tuan-tuan belum tentu Tuan-tuan peroleh,” tambah Parmin dengan berarti.

Mendengar kata-kata Parmin yang cukup pedas itu, van Eissen seperti disambar petir. Cuping telinganya yang besar tampak bergerak-gerak, pertanda sangat marah.

“Kowe orang berani melawan orang Belanda, ya?” ujar Belanda gemuk itu sambil mendekati Parmin.

Kemudian dengan tidak disangka, Yan van Eissen mengayunkan tongkatnya ke kepala Parmin, tetapi untung pendekar itu berhasil mengelak ke samping sehingga pukulan yang keras itu tidak mengena telak di kepalanya.

Parmin menatap Yan van Eissen dengan tatapan marah sambil berkata.

“Sungguh Tuan tidak kesatria! Tuan hanya berani dengan orang yang tangannya terbelenggu seperti saya. Lepaskan saya, saya tidak takut bertarung dengan Tuan satu lawan satu. Itu adat kami di kepulauan ini, selalu menyelesaikan masalah secara jantan.”

Yan van Eissen terpaku sejenak! Kata-kata Jaka Sembung benar-benar terasa pada dirinya dan ia sangat terpukul. Kemudian dengan menahan marah, ia mendekati Jaka Sembung dan berkata dengan nada datar.

“Jaka Sembung! Sebaiknya Kowe orang mau bekerja sama dengan kompeni. Kami sangat senang dan kami memberi Kowe orang dengan gaji yang besar,” sampai di situ berhenti sejenak sambil memperhatikan wajah Jaka Sembung, kemudian Belanda itu meneruskan saran dan bujukannya yang sekaligus berisi ancaman.

“Jika saran ku tidak dapat kau pertimbangkan, kau tidak mempunyai waktu lagi untuk besok, mengerti”!”

“Maksud Tuan?” tanya Jaka Sembung dengan marah.

“Besok pagi-pagi Kowe orang akan digantung di tiang gantungan.”

Parmin alias Jaka Sembung terdiam sejenak. Hatinya tergoncang juga mendengar nasibnya akan berakhir di tiang gantungan. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi mati, tetapi soal Roijah benar-benar merisaukannya.

“Bagaimana Jaka Sembung?” Yan van Eissen mendesak.

“Lebih baik gantunglah aku dari pada aku bekerjasama dengan penjajah bangsaku dan penindas rakyat Kandanghaur,” jawab Parmin tanpa sedikit pun merasa gentar.

Mendengar Jaka Sembung berkata begitu, pitam Yan van Eissen mendadak naik ke kepala dan suatu tamparan kuat melayang ke pipi pendekar itu.

Roijah menjerit di hatinya melihat kekasihnya diperlakukan sekasar itu, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terbelenggu dengan kaki tangannya seperti lumpuh!

Seketika di hatinya melintas niat untuk meminta maaf kepada Belanda tuan tanah itu, demi keselamatan Parmin. Tetapi kemudian ia menyadari, ia seorang kesatria yang berjuang tidak hanya untuk membela kekasih, tetapi untuk kepentingan rakyat banyak. Kepentingan rakyat lebih utama baginya daripada kepentingan pribadi semata-mata.

Yan van Eissen yang sedang kalap itu, tidak saja menampar Parmin berkali-kali, tetapi juga menendang dadanya sampai Parmin jatuh telentang. Namun dengan kekuatan semadinya yang kuat, Parmin tidak merasa terlalu sakit akibat pukulan dan tendangan itu.

“Bagaimana nasib kita, Kang?” tanya Roijah setengah berbisik ketika Belanda buncit itu meninggalkan mereka berdua.

“Tawakallah Dik, semoga Tuhan selalu bersama kita,” jawab Parmin dengan tersenyum, meskipun di dalam hatinya menangis.

Roijah mengangguk perlahan. Dan dari sudut matanya menetes setitik air mata bening yang mengalir menelurusi pipinya dan akhirnya jatuh ke pangkuannya sendiri tanpa tangan menyekanya karena kedua tangannya terikat ketat ke belakang.

“Kau menangis Roijah?” tanya Parmin dengan suara parau.

Roijah menggeleng lemah dan menundukkan kepala melihat air matanya yang membasahi kainnya.

“Jangan menangis, Dik! Karena tangisan seorang pejuang bisa berarti suatu penyesalan tentang apa yang telah kita baktikan kepada orang banyak. Kau menyesal dalam pengorbananmu selama ini, Dik?”

“Tidak, Kang!” bantah Roijah dengan tegas.

Parmin mengangguk-angguk, angguk yang penuh arti.

“Alhamdulillah.” ucapnya dengan tersenyum pahit. “Kalau kita menangis, Dik, rakyat akan terus menangis karena kehilangan harapan,” tambah Parmin.

“Kang!” tiba-tiba Roijah berpaling ke arah Parmin dan berkata dengan nada haru.

“Kalau kau dihukum gantung oleh Belanda, bagaimana aku? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku lebih senang turut digantung bersamamu.”

“Mengapa harus berkata begitu, Dik? Bukankah patah tumbuh, hilang berganti! Kalau aku digantung oleh Belanda karena membela rakyat dan martabat bangsa, aku tidak begitu gundah karena kau masih ada untuk melanjutkannya, bukan begitu?”

<>

Pada waktu Yan van Eissen memperagakan kekejamannya terhadap Parmin, sepasang mata mengintip di balik kain pintu. Seorang gadis bermata biru dengan rambut panjang ikal berwarna kuning emas menyaksikan langsung bagaimana perlakuan Papinya terhadap rakyat di tempat mereka tinggal. Setiap pukulan tangan dan kaki yang dihunjamkan Papinya terhadap Parmin, disaksikan dengan mata sendiri.

“Aku setuju! Salah benar, Nederland selalu yang terbaik,” gumam gadis itu mewakili suara hati nuraninya, “Tetapi perlakuan Papi terhadap anak negeri seperti itu, sungguh-sungguh mengurangi rasa hormatku kepadanya. Aku tak sampai hati melihat kekejaman itu berlangsung di depan mataku, walaupun itu dilakukan terhadap pemberontak yang merongrong kekuasaan pemerintah Belanda.”

Malam itu juga, di alun-alun pasar Kandanghaur dipersiapkan sebuah tiang gantungan. Rasek dan orang-orangnya segera menyebarkan berita bahwa seorang pemberontak akan segera dihukum mati di tiang gantungan itu.

Rakyat Kandanghaur semua merasa duka, meskipun antek-antek kompeni Belanda tidak memberitahukan siapa yang akan digantung itu. Rakyat sudah dapat menebak.

Kegelisahan rakyat terjadi di pelosok-pelosok desa di seluruh Kandanghaur. Mereka tidak tahu jalan apa yang mereka tempuh untuk menyelamatkan Jaka Sembung.

Daerah Kandanghaur sehari sebelumnya, tampak lengang. Penduduk hampir tidak melakukan kegiatan apa-apa. Kesedihan dan rasa cemas terbayang di wajah setiap penduduk. Mereka sangat prihatin, jika benar-benar Jaka Sembung alis Parmin dihukum gantung.

Ada pikiran-pikiran di sebagian masyarakat untuk mengajukan permintaan kepada Yan van Eissen agar hukuman mati atas Parmin diganti dengan hukuman lain yang lebih ringan. Tetapi pikiran itu tidak pernah ada yang berani mengajukan kepada Yan van Eissen. Mereka takut kalau usul yang demikian berakibat jelek terhadap mereka.

Keesokan harinya, pagi-pagi buta, pelaksanaan hukuman mati di tiang gantungan atas diri Jaka Sembung alias Parmin dilaksanakan. Tubuhnya tergantung tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Jaka Sembung secara jasad sudah tiada, tetapi jasanya hidup dan tumbuh terus di hati setiap rakyat Kandanghaur, kecuali yang berjiwa pengkhianat.

Penduduk yang lewat di alun-alun, menatap jasadnya sejenak kemudian meninggalkan tempat itu dengan air mata dan kesedihan yang mendalam. Caci maki rakyat terhadap Yan van Eissen serta begundal-begundalnya, terdengar di mana-mana. Keji! Biadab! Sampai siang hari, alun-alun pasar Kandanghaur menjadi sepi, tak seorang pun penduduk yang keluar.

Mereka berkabung diam-diam di rumah masing-masing. Sementara jenazah Jaka Sembung terus tergantung di tiang gantungan tanpa ada seorang pun yang berani menurunkannya. Di leher Jaka Sembung tergantung tulisan.

Jaka Sembung de Extremist!

Di balik tembok tahanannya, Roijah alias Bajing Ireng menatap tenang lewat jeruji besi. Ia tidak menangis, setitik air matanya tidak kelihatan. Di wajahnya hanya terbayang Parmin dan terngiang di telinganya pesan-pesan yang pernah diucapkan oleh pendekar itu.

“Kalau kita menangis, Dik, rakyat akan menangis terus karena kehilangan harapan.”

Kata-kata itu terngiang terus-menerus di telinga Roijah. Roijah bertanya pada dirinya, apakah aku dapat memenuhi pesan Parmin: Patah tumbuh hilang berganti?

Roijah hanya berdoa semoga ia tabah dan mampu meneruskan perjuangan kekasihnya yang sangat dicintainya. Dari pandangan matanya yang bening dan pasrah terpancar rasa begitu tawakal.

Sore harinya, jenazah Jaka Sembung itu baru diturunkan. Para penduduk Kandanghaur berdatangan dari tiap penjuru. Mereka berbondong-bondong ingin meminta jenazah pendekar Parmin untuk dikebumikan secara Islam, tetapi maksud tersebut ditolak mentah-mentah oleh Yan van Eissen.

Malahan penduduk yang datang diancam untuk ditembak jika tidak lekas-lekas meninggalkan alun-alun pasar itu. Mungkin Belanda takut, kalau-kalau rakyat Kandanghaur kalap melawan mereka. Akhirnya dengan penuh rasa haru bercampur benci kepada Belanda buncit, Yan van Eissen, mereka terpaksa juga mundur tanpa berhasil membawa jenazah Jaka Sembung.

Rakyat Kandanghaur, kembali ke rumah masing-masing dengan rasa penuh prihatin. Sebagian besar mereka berkumpul di surau-surau atau di masjid, memanjatkan doa untuk Jaka Sembung.

Semoga arwahnya diberikan tempat yang layak, sesuai dengan amal ibadahnya. Tujuh hari penuh, surau dan masjid dipadati oleh kaum muslimin yang memanjatkan doanya untuk Jaka Sembung.

Malam itu juga, setelah rakyat Kandanghaur meninggalkan alun-alun, Yan van Eissen memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk segera membuang jenazah pendekar itu ke hutan Loyang sehingga binatang-binatang buas yang ada di hutan tersebut dapat melalapnya tanpa bekas.

Sementara itu, para penduduk tidak berputus asa, mereka tetap ingin memperoleh jenazah Jaka Sembung untuk dimakamkan secara baik dan menurut agama Islam. Karena itu, mereka memilih beberapa orang yang dapat dipercaya untuk mencari keterangan di mana jenazah Jaka Sembung itu disembunyikan atau dibuang oleh tuan tanah gendut itu.

Akhirnya, berkat kesungguhan para penyelidik rakyat, mereka berhasil mengetahui bahwa jenazah Jaka Sembung dibuang ke jurang hutan Loyang.

Ketika begundal-begundal Yan van Eissen itu telah meninggalkan hutan Loyang, penduduk Kandanghaur yang sangat mencintai Jaka Sembung, malam itu juga berangkat menuju hutan Loyang. Nyala suluh dan obor penduduk mencari jenazah Jaka Sembung membuat seluruh hutan itu menjadi terang benderang. Mereka bertekad untuk sepenuh hati untuk mencari jenazah Parmin Jaka Sembung sampai dapat meskipun hanya tulang belulangnya.

Usaha pencaharian jenazah itu sampai tengah malam belum juga diketemukan petunjuk, bahkan darahnya pun tidak setitik terlihat, seandainya jenazah tersebut sudah dilahap binatang buas.

“Hei, Opang! Kok tidak ada jenazah itu di hutan ini?” tanya seorang pemuka rakyat, “Di mana kau lihat jenazah Jaka Sembung mereka buang?”

“Kalau saya tak salah di lembah ini, Pak.”

“Sungguh heran!” keluh pemuka rakyat itu dengan lesu.

“Kau yakin?” tanya Pak Kuwu seraya menatap Opang.

“Berani sumpah, Pak,” jawab Opang dengan polos.

“Tetapi, kenapa tidak ada bekas-bekasnya?” keluh yang lain.

“Diseret macan ke sarangnya barangkali,” duga yang lain lagi.

Tetapi, percakapan menduga-duga itu segera terhenti. Darah mereka tersirap mendengar suara seruling dengan lagu rakyat daerah Cirebon. Suara seruling itu begitu merdu dan mengalun sedih melukiskan kedukaan hati peniupnya.

Sejenak suasana menjadi senyap, kecuali suara seruling itu yang terus mendayu-dayu menyayatkan hati, sehingga ada di antara mereka yang hadir itu menitikkan air mata, apalagi kesedihan dan rasa berkabung memang sedang menyelinap di hati mereka itu.

Saking terharunya, satu demi satu mereka terduduk di tanah seperti mendengar suara seruling ajaib yang datang tiba-tiba dari langit. Ketika suara seruling itu berhenti, barulah mereka tersentak.

“Kobel, mengapa kau menangis?” tanya seorang tua yang duduk di dekatnya.

“Jaka Sembung, Wak!”

Semua yang mendengar ucapan si Kobel, menekur kepala.

“Aku yakin, Jaka Sembung tidak wafat. Dia telah bangkit kembali dan menjadi Dewa,” kata seseorang di antara mereka dengan suara yang meyakinkan.

“Aku juga yakin,” kata yang lain. “Semasa hidupnya ia memang suka memainkan seruling. Suara seruling itu pasti tiupan Jaka Sembung, tetapi dia tidak mungkin jadi Dewa, karena ia sangat taat pada ajaran agama Islam.”

“Mungkin beliau seorang nabi, yang memperlihatkan mukjizatnya kepada kita,” ujar seorang anak muda dengan nada sungguh-sungguh, tetapi cepat dipotong oleh seorang kyai yang sejak tadi tidak memberikan komentar.

“Ngawur kamu! Mana ada nabi yang turun sesudah Nabi Muhammad S.A.W!”

“Makanya, kalau tidak tahu, jangan sok tahu,” ujar seorang anak muda lain sambil tertawa.

“Siapa yang sok tahu, hah?” bentak anak muda pertama dengan nada marah.

“Hei! Mengapa jadi bertengkar kalian?” tegur Pak Kuwu menengahi.

Akhirnya berita tentang seruling di tengah hutan Loyang yang dianggap ditiup oleh Jaka Sembung, menjalar dari mulut ke mulut dengan cepat serta saling membumbui, lambat laun menjadi legenda. Orang-orang yang tidak suka berpikir, lantas cepat percaya bahwa Jaka Sembung tidak mati, tetapi lenyap begitu saja.

Padahal menurut cerita yang disaksikan dengan mata kepala oleh kaki tangan Yan van Eissen, Jaka Sembung itu sudah tewas digantung, kemudian jenazahnya dibuang di lembah hutan Loyang. Seekor harimau besar segera menyeret mayat itu ke sarangnya dan apa yang terjadi....... tidak ada yang tahu.

Selama berbulan-bulan, rakyat Kandanghaur masih saja membicarakan keanehan yang terjadi di hutan Loyang sehubungan dengan bunyi seruling gaib dan lenyapnya jenazah Jaka Sembung. Di warung-warung cerita itu terus menjadi pembicaraan hangat.

“Kau percaya itu, Kawan?” tanya seseorang yang sedang ngopi di sebuah warung kepada kawannya.

“Kalau ya, biarlah! Biar roh Jaka Sembung datang mencabut nyawa Belanda gendut yang suka memeras itu!” jawab yang ditanya dengan seenaknya.

Akhirnya desas desus yang berkembang dalam masyarakat desa di Kandanghaur, sampai juga ke telinga Yan van Eissen.

“Onmoeglijk,” teriak Yan van Eissen, seperti menutupi rasa ketakutannya, tetapi di hatinya timbul keragu-raguan.

“Celaka, kalau itu benar!” gumamnya dengan gelisah. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Beberapa bawahannya yang hadir di kamar kerjanya ketika itu diam-diam dapat membaca kekhawatiran yang timbul dalam benak atasannya itu.

Ketika Leonard van Eissen datang menghadap ke kamarnya karena dipanggil, Yan van Eissen berdiri dari kursinya dan bertanya dengan suara setengah berbisik.

“Kau dengar sas-sus tentang Jaka Sembung yang kini tersebar luas dalam masyarakat Kandanghaur?”

“Ya, Papi.”

“Bagaimana pendapatmu, aku ingin dengar!”

“Nonsens, Papi! Menurut laporan Inlanders bayaran itu, mayat Jaka Sembung mereka lihat dimakan harimau.”

“Apakah mereka bisa dipercaya?”

“Ik yakin, Papi. Papi tidak perlu ragu!” jawab anaknya yang perwira kompeni itu dengan meyakinkan.

“Goed! Papi puas dengan penjelasanmu.”

Sepeninggal Leonard, Yan van Eissen masih juga mondar-mandir di kamar kerjanya. Kegelisahannya yang tadi mereda, ketika itu muncul kembali. Ia tetap masih ragu-ragu pada keterangan orang-orangnya.

Desas-desus Jaka Sembung masih hidup benar-benar sangat mempengaruhi ketenangannya. Kini ia merasa lebih ketakutan lagi daripada sebelum Parmin dihukum gantung.......

◄Y►

3

Suatu petang kelihatan Leonard van Eissen sedang bersiap-siap dengan kuda hitamnya. Dari jauh adiknya, Elsye memperhatikan Leonard dengan cermat.

“Ini pasti ada urusan penting yang hendak diselesaikan,” gumam gadis itu dengan penuh rasa ingin tahu. “Aku harus mencegatnya dan mengetahui rencana itu. Ini mungkin mengenai Bajing Ireng!” bisik hatinya.

Ketika Leonard memacu kudanya dengan cepat, tiba-tiba Elsye mencegatnya dari jauh. Leonard menghentikan kudanya sambil bertanya dengan heran.

“Ada apa, Elsye!”

“Boleh aku tahu?”

“Tentang apa?” Leonard tambah heran.

“Kau hendak ke mana?”

“Aku hendak ke tangsi untuk membicarakan sesuatu dengan orang-orangku tentang........”

“Tentang Bajing Ireng, bukan?”

“Bagaimana kau tahu?”

“Naluriku sebagai wanita, Leonard!”

“Lantas apa maksudmu?” tanya Leonard agak kesal kepada adiknya itu.

“Aku tidak bermaksud apa-apa, Leonard,” jawab Elsye dengan nada lembut, “Hanya aku ingin tahu hukuman apa yang dijatuhkan Papi kepada perempuan muda itu? Apakah ia akan digantung juga seperti kekasihnya, Jaka Sembung?”

“Tidak!” jawab Leonard dengan tegas sambil turun dari kudanya.

“Ia akan mendapat hukuman yang lebih berat daripada Jaka Sembung karena selain ia seorang ekstremis yang membangkang terhadap Kompeni, juga seorang pencuri yang telah menguras persediaan-persediaan padi di gudang Papi.”

“Hukuman yang lebih berat bagaimana maksudmu?” usut Elsye ingin tahu.

“Papi telah menjatuhkan hukuman siksa kepada Bajing Ireng itu.”

“Hukum siksa?” tanya Elsye dengan kening berkerut, “Dalam bentuk apa, Leonard?”

“Seluruh badannya akan digores-gores dengan pisau. Kemudian di luka-luka itu dipoleskan air asam dan garam,” jelas Leonard dengan nada kesombongan.

“Wow, alangkah pedihnya,” ujar Elsye dengan suara yang hampir tak terdengar. “Bukankah itu suatu perbuatan yang sadis, Leonard?”

“Justru itu yang dikehendaki Papi!”

“Kau tidak mengubahnya dengan hukuman lain?”

“Kurasa tidak! Papi memang menginginkan perempuan itu mati secara pelan-pelan,” jawab Leonard seperti menyokong keputusan Yan van Eissen ayahnya.

“Untuk apa hukuman sesadis itu? Bukankah kita orang Belanda berbudaya tinggi?” cetus Elsye dengan rasa haru di wajahnya.

Mendengar ucapan Elsye yang keluar dari hati nuraninya yang dalam, Leonard van Eissen sejenak terdiam. Ia menatap adiknya dengan perasaan kecut.

“Sebenarnya, sejak dahulu aku mengenalmu sebagai Leonard van Eissen, seorang perwira yang bijaksana, tetapi sekarang........” kalimat itu terputus.

“Hei, sebenarnya kau hendak mengatakan apa terhadapku?” bentak sang kakak.

“Aku tidak mampu mengatakan apa-apa kepadamu, tetapi aku memerlukan kebenaran. Sebenarnya siapa yang menjatuhkan vonis seperti itu kepada Bajing Ireng, Papi atau Kau? Aku ingin kejujuran,” kata Elsye dengan sungguh-sungguh.

“Aku yang mengusulkan kepada Papi dan Papi menyetujuinya,” jawab Leonard dengan jujur pada akhirnya.

Leonard adalah seorang perwira yang memulai karirnya sejak berdinas di Batavia. Selama karirnya itu ia dikenal atasannya sebagai perwira yang sangat luwes dan pandai mengambil hati pribumi. Karena itu, tidak heran kalau dia selalu berhasil menjinakkan pemberontakan baik melalui bujukan maupun kekerasan.

Karena kelebihannya itu, oleh Gubernur Jenderal ia ditunjuk untuk menumpas pemberontak di daerah Cirebon. Ia datang ke Kandanghaur bersama adiknya yang perempuan, Elsye, sedang Yan van Eissen ayahnya, sudah sebelumnya berada di daerah itu sebagai tuan tanah.

Elsye datang dari negeri Belanda ke Batavia untuk melewatkan masa libur sekolahnya dan kebetulan ikut Leonard abangnya, ke Kandanghaur sekaligus untuk berkumpul dengan orang tuanya.

“Jadi, kau yang mengusulkan dan Papi hanya menyetujui?”

Leonard mengangguk seperti malu kepada adiknya itu.

“Kalau begitu, tidak ada salahnya kalau kau pula yang menarik kembali usul itu dan menggantikannya dengan hukuman lain.” saran Elsye dengan nada hormat.

“Baiklah akan ku coba, lihat saja nanti!”

“Dank U Wei, Leonard!”

Ketika Leonard hendak menaiki kudanya, Elsye menahannya.

“Apa lagi, Elsye?”

“Satu lagi pertanyaanku, keberatan kau?”

“Apa? Seharusnya kau tidak bertanya lebih banyak kepadaku di jalan,” jawab Leonard tersenyum, karena sebenarnya ia menyayangi adik perempuannya itu.

“Tidak banyak yang kutanyakan lagi, apalagi liburan ku hanya tinggal beberapa waktu saja.”

“Jadi, apa yang ingin kau tanya?”

“Rupanya, Papi sangat gembira dengan dinasmu di daerah Cirebon ini.”

“Maksudmu?”

“Kau sangat berarti bagi Papi. Beliau akan menggunakan kekuasaanmu di daerah ini untuk merampas kembali tanah-tanah milik pribumi yang selama ini telah dibebaskan oleh Jaka Sembung dan Bajing Ireng. Yang ingin kutanyakan bagaimana sikapmu sebagai perwira? Apakah kau juga sependapat dengan Papi?”

“Mengapa tidak?” jawab Leonard tanpa berpikir, “Tugasku selain untuk mengabdi kepada negara, juga sekaligus mengabdi kepada orang tua. Aku harus mengembalikan tanah-tanah Papi seperti sediakala.”

“Tetapi, bukankah tanah-tanah itu milik pribumi yang diperoleh dengan menggunakan pengaruh pemerintah Belanda?” tanya Elsye secara terbuka dan jujur.

“Elsye!” ujar Leonard dengan nada membujuk. “Pribumi tidak perlu punya tanah. Mereka cukup makan dengan upah yang diperoleh dari Papi sebagai tuan tanah. Mereka orang-orang bodoh Elsye, dan kita lebih pandai dari mereka. Lagi pula yang harus kau ingat, kekayaan Papi juga berarti kekayaan kita, bukan?”