Jaka Sembung 12 - Terdampar di Pulau Hitam(3)

“He, he., he., he! Apa aku kata? Jangan main-main!” Sambil menunjuk ke arah kepingan balok yang menancap di batang-batang pohon besar itu dia berkata. “Coba lihat! Batok kayu yang besar dan keras seperti itu saja bisa bobol, apalagi batok kepala kalian semua.......!”

“Kalian tidak percaya bahwa kami semua ini utusan dewa! Ayo kalian bersujud semua! Menyembah!!”

Bagaikan gerak sebuah ombak laut, orang-orang suku primitif itu menurut apa yang diucap Awom, lalu mereka menjatuhkan diri untuk bersujud ke hadapan mereka. Pada saat itulah Yulia melihat bahwa salah seorang di antara mereka mengenakan sebuah rosario.

Suasana sunyi sejenak lalu pada saat itu Jaka Sembung menyuruh Awom untuk menanyakan sesuatu kepada suku kanibal itu.

“Awom, tanyakan kepada mereka, di mana mereka mendapatkan kalung salib itu?”

Spontan Awom bertanya kepada salah seorang yang berada di barisan paling depan.

“Dewa coklat berbicara dalam bahasa kahyangan, beliau bertanya di mana kalian mendapatkan kalung orang kulit putih itu!”

Sambil menunjuk ke arah bukit yang menjulang tinggi, orang itu berkata: “Di bukit hulu sungai sebelah Timur!”

Setelah mendapat keterangan Parmin dan kawan-kawannya segera melanjutkan perjalanannya. Yulia meminta Rosario itu dari mereka dan ia segera mengenali bahwa kalung salib itu adalah milik ayahnya sendiri.

“Cepat! Kita pergi dari sini untuk menyelidiki tempat itu,” ajak Yulia.

Baru saja satu langkah, Awom berbalik dan berkata. “Dewa-dewa mengampuni jiwa kalian! Kami akan segera pergi dari sini dan kalian boleh mengangkat kepala suku baru!”

“Cepat kita pergi sebelum mereka tahu kita dewa-dewa palsu, Awom!” teriak Parmin memberi peringatan.

Parmin dan Yulia terus melangkah, sedangkan Awom masih penasaran terhadap apa yang baru dilakukan Parmin terhadap tonggak kayu yang terpancang di tengah arena upacara. Ia segera menghampiri tonggak kayu lain yang masih berdiri tegak.

“Hebat sekali...! Bismillah,” kemudian teriaknya, “Ciaaaat.......!”

Dengan suatu loncatan dan teriakan dia menghajar tonggak kayu itu dengan pukulan telapak tangan dimiringkan. Kalau Parmin bisa berbuat begitu karena memiliki ilmunya, sedangkan Awom yang hanya meniru-niru, maka akibatnya menjadi sangat fatal, tangan itu menjadi bengkak seketika.

Dia berusaha menahan sakit dan menyembunyikan tangan yang babak belur itu ke dalam celah pahanya dari penglihatan orang-orang suku kanibal sambil cepat berlalu sambil terbungkuk-bungkuk. Orang-orang suku kanibal yang sedang memperhatikan mereka bertiga, seketika kaget melihat tingkah laku Awom yang konyol tersebut. Mereka saling pandang dan bertanya-tanya.

Belum lagi suku kanibal itu mengerti permasalahannya, Awom cepat berkata. “Uuuh! Kalian jangan heran! Dewa juga kadang suka melucu, he., he., he., he!”

Akhirnya sambil berlari dan nyengir nyengir bajing menahan sakit, Awom memaki-maki mereka dalam bahasa melayu.

“Selamat tinggal kerbau-kerbau dungu!”

***

8

Tiga hari sudah mereka meninggalkan perkampungan suku Papua pemakan daging manusia itu. Beberapa kali pula mereka beristirahat untuk melepaskan lelah. Kadangkala mereka bercerita tentang kampung halamannya masing-masing sampai larut malam. Mereka tidur secara bergantian. Itu juga kalau suasana memungkinkan, atau kadangkala mereka tidak tidur sama sekali.

Pagi itu cuaca cerah sekali, sang fajar mulai menampakkan kemilau sinarnya. Binatang hutan berlarian hilir mudik. Pagi berganti siang, matahari mulai bergeser ke titik kulminasinya. Binatang yang pagi hari berkeliaran kini tak nampak lagi.

Mereka berteduh di tempatnya masing-masing dari sengatan matahari, Nampak Awom dan Parmin yang menggandeng tangan Yulia berjalan tertatih-tatih menuruni perbukitan setelah keluar masuk hutan belantara. Dengan susah payah akhirnya mereka di tepi sungai dengan kedua tepinya agak gundul tak terdapat pohon-pohon tinggi.

“Ini sungainya!” Awom memberitahukan Parmin sambil menyapu pandang ke tempat yang jauh di seberang sana. “Mungkin bukit di depan itu yang mereka maksud!”

Setelah berhenti sejenak, mereka melanjutkan perjalanan menuju bukit tersebut. Mereka berputar mencari bagian sungai yang agak dangkal untuk mereka seberangi. Kira-kira beberapa ratus meter melangkahkan kaki, akhirnya mereka menemukan bagian sungai yang banyak terdapat batu-batu besar.

Setelah menyeberangi sungai itu mereka sampai di kaki sebuah tebing yang agak terjal. Parmin, Yulia dan Awom naik merambat ke atas dan sampailah mereka ke suatu tempat yang mereka tuju.

Mereka terus melangkah sambil mengamati bekas jejak-jejak sepatu yang cukup banyak terdapat di sana. Tanpa mereka sadari sepasang mata dari balik bebatuan mengintai mereka.

“Apakah kau yakin ayahku masih hidup, Parmin?” tanya Yulia.

“Aku tak bermaksud mendahului keputusan Tuhan, tapi firasatku mengatakan demikian, Yulia,” jawab Jaka Sembung mantap.

Sepasang mata yang mengintai mereka bertiga mengarahkan mulut bedil lalu mengokangnya. Parmin yang memang sudah terlatih pendengarannya segera bergerak untuk bertindak.

“Tiaraaaaap!” teriak Parmin.

Dengan cepat mereka menjatuhkan diri masing-masing, hingga sebuah timah panas luput dari sasaran. Namun demikian orang asing yang di atas sana tak cuma sekali memuntahkan pelurunya, bahkan semakin membabi buta.

“Dar....... dor....... dor!!”

“Awas, Yulia!” teriak Parmin sekali lagi.

“Auww.......!”

Hampir saja Yulia terserempet peluru. Dalam situasi seperti itu, Parmin segera mengatur siasat.

“Lari ke sungai, Awom! Cepat!” Awom melompat sambil berguling-guling menuju ke arah sungai.

Baru saja ia sampai di tepi sungai, sebuah peluru berdesing nyaris menyambarnya. Untung saja ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke sungai.

“Byur.......!”

Berondongan peluru bedil itu terus mencecarnya. Awom menyelam lebih dalam untuk menghindari timah panas itu. Ketika merasa tak ada lagi bunyi tembakan, Awom segera menyembulkan kepalanya ke atas permukaan air.

Selang berapa lama dia berenang, tiba-tiba bahaya yang lebih ganas datang menghadangnya. Awom terkejut, binatang yang ternyata ular yang sebesar batang pisang mendadak melilit tubuhnya.

Pergumulan tak dapat dielakkan lagi. Ular itu terus melilit seakan hendak meremukkan tulang-belulang pemuda kulit hitam ini. Awom mencengkeram leher ular dan mencekiknya kuat-kuat. Air sungai yang semula tenang, kini bergejolak menimbulkan deburan ombak dan gelombang-gelombang air.

Parmin dari kejauhan menyaksikan pertarungan antara hidup dan mati itu.

“Yulia! Awom diserang ular!”

Yulia yang sudah kenal keahlian orang suku Kaimana dengan tenang menjawab. “Biarkan saja! Suku Kaimana terkenal sebagai penakluk binatang buas dan berbisa!”

Benar saja apa yang diucapkan Yulia. Kini Awom sudah dapat menguasai keadaan. Tangannya dengan cekatan memukulkan kepala ular ke sebuah batu besar hingga batok kepala binatang reptil itu pecah seketika tak berkutik lagi.

Namun baru saja lolos dari lobang jarum, beberapa tembakan kini datang mengarah kepadanya. Awom berkelit sambil melemparkan ular itu ke si penembak gelap yang berada di atas bukit. Ular besar yang masih dalam sekarat itu kini segar kembali dan melilit mangsanya.

Orang asing itu berusaha melepaskan lilitan itu dari tubuhnya. Namun usahanya itu sia-sia, bahkan jepitan ular itu semakin keras dan masih dapat mematuk tepat mengenai pelipisnya. Tak ampun lagi tubuh orang asing itu kaku dan ambruk berguling-guling dari atas bukit ke lembah tempat Parmin dan Yulia berada.

Parmin dan Yulia menghampiri tubuh itu dan membalikkannya, ternyata tubuh itu sudah tak bernyawa lagi. Parmin mengamati tubuh orang kulit putih itu dan bertanya, “Apakah itu ayahmu?”

“Kurasa bukan! Pakaian ayahku adalah seragam kelasi!” sahut Yulia.

Sengatan matahari kian bertambah hebatnya, apalagi ditambah hawa panas dari dalam bumi yang gundul berbatu-batu itu membuat mereka mandi keringat. Parmin dan Yulia memanfaatkan kesempatan yang ada untuk membasahi tubuh dengan sungai. Segar rasanya setelah terkena siraman air.

Setelah itu Parmin mengajak Yulia dan Awom untuk menaiki bukit batu di atas, dengan maksud agar mereka lebih leluasa mengamati sekeliling tempat tersebut.

“Coba kita agak ke atas! Dari sana mungkin kita lebih leluasa melihat ke sekeliling kita!”

Baru saja beberapa langkah mereka menaiki bukit, Parmin mendengar suara orang berbicara. Dengan berlindung di balik sebuah batu besar, mereka melongok ke bawah.

“Sssst!! Coba lihat di bawah sana! Ada dua orang asing sedang menggali tanah!” ucap Parmin sambil menunjuk ke arah dua orang asing yang dilihatnya.

Yulia seakan tak percaya dengan apa yang baru dilihatnya. Dua orang asing dengan pakaian compang-camping sedang menggali tanah, Yulia terus mengamati dua orang asing itu yang tak lain adalah orang sebangsanya sendiri yang memiliki warna kulit sama dan rambut yang sama pula.

Sedang mencari apa mereka menggali tanah di tempat gersang seperti ini! Pikirnya. Ingin rasanya Yulia memanggil dan berteriak siapa mereka itu sebenarnya. Baru saja hendak dilakukannya, dengan cepat Parmin mendekap mulut Yulia, seraya berkata.

“Tenang, Yulia! Jangan bertindak gegabah! Nanti mereka mengetahui kedatangan kita sebelum kita sendiri menguasai situasi lembah ini,” jelas Parmin.

“Oh, maafkan aku, Parmin. Aku sudah tidak dapat menahan rindu kepada ayahku!” keluh Yulia.

“Ya….. ya....... ya. Aku mengerti perasaanmu, tapi bersabarlah sebentar!” pinta Parmin.

Sambil berusaha menenangkan hati gadis Belanda itu, mereka juga melihat beberapa orang kulit putih dengan pakaian serdadu Kompeni Belanda memegang bedil dan bertindak sebagai seperti sedang mengawal budak-budak yang sedang kerja paksa.

“Godverdom zeg! Ayo kerja terus!” bentak salah seorang dari mereka sambil menenggak air untuk membasahi tenggorokannya.

“Berilah aku minum! Aku haus!” rintih salah seorang pekerja sambil memohon agar diberi seteguk air untuk membasahi kerongkongan yang kering.

Namun permintaannya itu tak dihiraukan oleh serdadu penjaga itu dan berbalik membentak, “Kerja dulu, baru minum!!”

Yulia yang sejak tadi memperhatikan tingkah orang yang memegang senjata tak dapat menahan emosinya ketika ternyata pekerja yang minta minum itu ternyata adalah orang yang selama ini sedang dicarinya.

“Oh Tuhan! Itu....... Itu ayahku!” teriak Yulia.

Terlambat Parmin mendekap mulut Yulia yang terlanjut berteriak memanggil ayahnya. Saking kerasnya teriakan Yulia, orang-orang berseragam serdadu itu terperangah dan menoleh ke arah mereka berada,

“Hei, suara siapa di atas?! Raf!! Rafles?!!” orang bersenjata itu memanggil nama temannya namun tak ada jawaban. Merasa teriakannya tak dapat jawaban, dia sengit dan naik pitam. Sambil mengancam dia membentak, “Menyahut atau kutembak! Cepaaaaaaat!”

Baru saja dia akan menarik pelatuknya, tiba-tiba dia mendengar suara batu-batu yang berguguran dari atas bukit.

“Godverdom zeg!” teriaknya.

Ternyata penyebabnya adalah sekumpulan kelelawar yang keluar dari sebuah lobang di atas tempat ia berdiri. Terdengar ia memaki lagi dengan bahasa Belanda. Setelah kelelawar itu berlalu, tiba-tiba dia ingat kepada temannya yang disuruh ambil air di sungai.

“Godverdom zeg! Lama sekali si Rafles mengambil air di sungai!” gerutunya dengan kesal.

Sambil bersungut-sungut matanya berputar untuk melihat bukit tandus itu. Tiba-tiba dia mendengar percakapan orang yang sedang menggali tanah.

“Hah?! Apa ini…..,! Huh?! Bongkahan kuning bercahaya....... Tapi bukan belerang!”

Belum lagi si penggali tanah mengamati temuannya, mendadak orang yang bersenjata itu telah berada di hadapannya, seraya menodongkan moncong senjatanya.

“Hah, apa kau bilang?! Berikan batu-batu itu padaku!!” Ia segera mengamati benda alam yang kekuning-kuningan itu.

“Ha....... ha....... ha! Ini bongkahan emas! Tambang emas! Sudah kukatakan bahwa di sini banyak terdapat emas!” Sambil menendangkan kakinya ke tubuh orang yang menggali tanah itu, dia dengan kasar memberikan perintah.

“Ayo kerja terus, zeg! Gali lagi biar banyak! Kita akan menjadi kaya raya! Ha....... ha....... ha.......ha!”

Saking asyiknya orang itu dengan kegembiraannya, dia tak menyadari bahwa beberapa pasang mata terus mengintainya.

“Benar itu ayahku!! Sengsara betul keadaannya!” tanpa sengaja Yulia mengeluarkan suara keras hingga terdengar oleh penjaga yang bersenjata itu.

“Eit! Ada suara orang dari atas bukit! Aku yakin itu bukan suara Rafles!!”

“Jangan-jangan ada yang memata-matai tambang mas kita! Kau tunggu di sini! Aku akan mengontrol ke atas bukit!”

Ia terus menaiki bukit sambil mengendap-endap dan akhirnya sampai tepat di belakang Parmin dan Yulia. Dari tempat ketinggian ia bermaksud membokong para pengintai itu.

Baru saja dia mengokang dan mengarahkan senapannya ke arah Parmin dan Yulia mendadak dari belakang ada orang yang menyergapnya. Senapan itu pun meletus lepas mengarah ke langit yang tinggi, “Dor!”

Mendengar suara tembakan itu, Yulia dan Parmin membalikkan badan dan bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Oh, itu Awom di atas! Ia berusaha menyelamatkan kita!” teriak Yulia.

Awom tak memberi kesempatan orang kulit putih itu, ia terus memitingnya dengan sekuat tenaga. Tapi tubuh besar itu terus-menerus meronta hingga Awom tidak bisa mengimbangi lawannya.

“Orang kulit putih ini punya tenaga raksasa, aku bisa dibantingnya!”

Saat itu Awom terus berpikir bagaimana cara untuk melumpuhkan lawannya yang besar itu. Akhirnya ia menemukan sesuatu sebagai jalan keluar dan serta merta ia meraih sebuah benda yang tak lain sebuah kelewang yang tersandang di pinggang serdadu itu.......

“Nah pedang ini harus memakan tuannya!” pikir Awom sambil menancapkan pedang itu ke perut tuannya sendiri.

Suara teriakan kencang keluar dari mulut orang kulit putih itu, “Aaaaaaaa.......!”

Seketika itu pula Awom menghempaskan tubuh raksasa itu ke bawah bukit yang terjal berbatu-batu kerikil yang runcing dan tajam.

Melihat kejadian itu penggali tanah kaget bukan main, sementara tubuh serdadu kumpeni Belanda itu ambruk ke bumi dengan kepala remuk. Tubuh itu menegang beberapa saat sebelum terkulai untuk selama-lamanya. Melihat itu, si penggali tanah segera berlari sambil menjerit-jerit dengan paniknya.

“Simon! Simooooooon!! Kau....... Kau mati?! Oh, jangan tinggalkan aku sendiri, Simon! Aku takut!”

Dia terus merangkul tubuh kawannya yang sudah terbujur kaku. Belum lagi hilang rasa takut menghantui dirinya, tiba-tiba seorang pemuda kulit hitam telah berada di hadapannya. Orang bule bertubuh kurus dan kotor itu terperangah melihatnya.

“Hah, orang kulit hitam!” pekiknya. “Aaaaaaaa....... Jangan bunuh aku! Jangan!!” orang bule itu memohon dengan penuh ketakutan.

Namun Awom tetap diam berdiri mematung tak mengeluarkan sepatah kata, bahkan terus memandang dengan garang. Orang bule itu menjadi ketakutan apalagi Awom lebih menampakkan keangkeran dengan sorot mata yang tajam.

“Aaaaa!! Jangan!!”

Ketika rasa takutnya kian memuncak, Yulia berlari menghampirinya diiringi Parmin dari belakang. Sambil teriak-teriak, “Ayah!! Ayah!!”

Namun panggilan Yulia itu tak membuat orang bule berpakaian compang camping itu sadar, justru rasa takutnya semakin menjadi-jadi dengan tubuh yang gemetar hebat.

“Jangan!! Jangan bunuh aku!!” teriaknya sambil tangan kirinya ke belakang untuk mengambil belencong yang digunakan menggali tanah tadi siap akan dihantaman ke tubuh Awom.

Sementara si bule bertubuh kurus itu jadi ketakutan sendiri, tak kuasa menggunakan belencong tersebut.

Yulia kini berada beberapa langkah dari orang tua kulit putih sambil merentangkan kedua tangan- nya. “Ayah!! Ayah!! Ini Yulia, ayah.......!”

Tapi agaknya orang Belanda ini sudah tak mengenali siapa lawan siapa kawan lagi bahkan ia berubah menjadi kalap dan beringas.

Parmin segera maklum bahwa ayah Yulia telah mengalami goncangan jiwa yang sangat berat sehingga menjadi sakit ingatan. Van Boerman semakin menjauh dan bergegas menaiki bukit.

“Pergi! Pergi!! Atau kubunuh kalian!” teriaknya dengan sinar mata liar.

“Ayah! Ini aku! Anakmu!” Yulia berteriak dengan tangisan berharap kepada ayahnya agar dia mengenalinya sebagai anaknya sendiri yang hilang terpisah selama ini.

Parmin pendekar Gunung Sembung yang sejak tadi memperhatikan suasana memprihatinkan itu menghampiri Yulia sambil memberikan gambaran agar dia dapat memahami keadaan ayahnya.

“Sabar, Yulia! Jangan kau dekati dia! Pikirannya mungkin telah terganggu akibat tekanan batin yang dialaminya selama ini!”

Orang tua kulit putih itu terus melangkah, ia berusaha melarikan diri ke atas bukit yang menjulang tinggi itu sambil berteriak-teriak seperti orang kesetanan. “Pergi! Pergi!!”

Yulia hanya dapat memandang dengan sedih dan pilu dari kejauhan. Ia benar-benar merasa prihatin melihat kenyataan bahwa orang yang dirindukannya selama ini ternyata sudah tak mengenalinya lagi. Dengan tangis tertahan, ia membenamkan diri ke dada Parmin.

“Oh!!!” isaknya menggebu.

“Yulia, tenang! Ia akan membunuhmu dengan belencong di tangannya itu jika kau mendekat!” Parmin menasihati Yulia dengan sabar. Lalu dia menoleh ke belakang ke arah Awom yang masih berdiri di tempatnya karena tak tahu mesti berbuat apa untuk menghadapi situasi seperti itu.

“Awom! Kau ikuti dia! Cegat dari atas dan ingat, jangan sampai mengejutkan dia! Hati-hati!” perintah Parmin kepada panglima suku yang setia itu.

Dengan mengangguk, ia pergi ke arah yang berlawanan dengan bukit di depannya. Akalnya yang cerdas membuat ia mengambil inisiatif itu.

Sementara Van Boerman terus melangkah jauh meninggalkan Yulia dan Parmin dengan langkah terseok-seok sambil ngoceh dan memaki. Keringatnya bercucuran karena sengatan matahari di atas bukit yang tandus itu.

Tak lama kemudian orang Belanda kurus itu telah sampai di atas puncak bukit. Dia tidak menghiraukan apa yang bakal terjadi pada dirinya. Tangannya mengacung ke atas sambil menggenggam belencongnya.

Matanya mendelik seakan mau ke luar dan mulutnya tak henti-hentinya berteriak, “Ha., ha., ha., ha! Kalian jangan cari mampus! Naiklah! Belencong ini akan berbicara! Ayo naik!”

Mungkin menurut anggapannya ke-tiga orang pendatang itu bermaksud hendak membantainya. Itu ia ketahui dari kematian kawannya yang berseragam serdadu Kumpeni Belanda tadi. Kini dia harus menyelamatkan diri, terutama dari ancaman seorang pemuda kulit hitam yang menurut anggapannya pastilah seorang suku primitif yang suka makan daging manusia.

Sementara itu Awom sendiri sudah mengambil jalan pintas memutar dan sedang menaiki bukit itu dari arah belakang. Dengan sangat hati-hati ia merayap agar tidak diketahui oleh lelaki tua kulit putih yang sedang kalap itu.

Awom kini sudah berada tepat di belakang Van Boerman yang sedang dihantui oleh pikirannya sendiri.

Perlahan-lahan Awom mendekati orang tua itu dan pada kesempatan yang baik, dia menyergap tubuh kurus kering dan kumal itu.

“Hep!!”

“Haaaaaa?!”

Orang itu berteriak sambil meronta-ronta serta mengibas-ngibaskan belencongnya dengan sepasang tangannya yang sangat kokoh.

Awom mendekap dengan sekuat tenaga. Tetapi di luar dugaannya tubuh kurus itu seperti memiliki kekuatan yang luar biasa. Dengan sebuah hentakan keras, ia meronta dan berhasil meloloskan diri dari bekukan Awom.

Kenyataan yang mengejutkan itu membuat Awom kehilangan keseimbangan dan kakinya tergelincir di bibir tebing. Maka tak ayal lagi tubuh mereka berdua terhempas ke bawah, merosot di dinding bukit yang penuh dengan tonjolan batu runcing dan tajam.

Awom merasakan tersenggol sesuatu dan akhirnya kesempatan itu dia gunakan tangannya untuk menjambret benda yang ternyata akar pohon liar yang tumbuh di dinding bukit sebagai tempat bertahan sementara.

Yulia yang sejak tadi memperhatikan adegan menegangkan itu semakin bertambah cemas. Betapa tidak tubuh orang yang dikasihi dan panglima suku yang setia itu nyaris hancur jatuh ke bawah. Dia menutup matanya yang tak kuasa menyaksikan hal itu. Dia berusaha untuk tetap tabah sambil berdo'a.

Parmin tak tinggal diam. Ia melompat dengan cepat menyambar belencong yang masih melayang di udara.

“Tap! Tap.......!”

Kedua tubuh yang sedang bergelayut di akar pohon tampak sudah kehabisan tenaga karena harus menahan bobot tubuh sendiri.

Sementara Parmin yang telah berhasil menyambar belencong, berlari ke kaki bukit seraya melemparkan belencong itu sekuat tenaga agar dapat tertancap kuat-kuat di dinding tebing. “Awom! Peganglah ini!”

“Dep….. dep!”

Bersamaan dengan tertancapnya belencong di dinding bukit, akar tempat bergelayut itu pun patah. “Kraak!” Untunglah Awom dengan cekatan menyambar gagang belencong tersebut. “Tab!” Kini tubuh mereka telah bergelantungan pada gagang belencong, seketika itu Parmin berteriak.

“Awom, lepaskan tubuh orang kulit putih itu!! Belencong yang kau pegang itu tak mampu menahannya!”

Segera Awom melepaskan tubuh dalam dekapannya. Serta merta tubuh itu melayang laksana kapas yang ditiup angin.

Parmin si Jaka Sembung yang benda di bawah kaki bukit itu telah siap untuk menangkap tubuh kerempeng itu dengan memasang kuda-kuda yang cukup kuat sedangkan Yulia lagi-lagi menutupi mukanya karena tak kuasa melihat adegan yang mengerikan itu.

Dengan pengaturan nafas dan keyakinan yang kuat Parmin menangkap tubuh Van Boerman dengan selamat.

“Hep! Tab!”

Sedangkan Awom mulai berdebar-debar melihat belencong yang sebentar lagi akan lepas dari tancapannya di dinding tebing itu.

“Oh, Dewa! Mengapa manusia tidak mempunyai sayap seperti burung?! Dan mengapa kejadian seperti ini terjadi pada diriku!” Awom berdo'a menanti datangnya dewa penolong yang akan membebaskannya.

Sementara itu Parmin sedang meletakkan tubuh kerempeng yang sudah tak sadarkan diri itu di hadapan Yulia. Kini dia bergegas untuk menolong Awom yang sedang dalam keadaan kritis.

“Sekarang giliranmu, Awom! Ayo lepaskan peganganmu!” teriak Jaka Sembung.

Tanpa berpikir panjang lagi Awom langsung melepaskan tangannya dari gagang belencong yang dipegangnya. Seketika itu tubuhnya melayang.

Parmin dengan tegap dan kokoh memasang kuda-kuda sambil merentangkan kedua tangannya siap menyambut tubuh Awom yang melayang deras ke bawah. Tubuh pemuda hitam itu dengan selamat ditangkapnya.

Peristiwa yang menegangkan itu kini telah berlalu. Parmin dan Awom segera menghampiri Yulia yang sedang memeluk tubuh Van Boerman yang belum sadarkan diri. Tubuh lelaki itu diguncang-guncangnya perlahan-lahan.

“Ayah! Ayah! Sadarlah, ayah! Ini aku Yulia anakmu!”

Beberapa saat kemudian Van Boerman membuka kelopak matanya perlahan-lahan, Yulia berteriak gembira.

“Ayah! Ini aku Yulia anakmu!”

Namun apa yang diharapkan oleh gadis Belanda ini belumlah tercapai. Van Boerman tiba-tiba mendelik dengan sinar mata liar.

“Waw! Jangan bunuh aku! Pergi! Pergi! Aku tak mau dicincang! Seperti kalian mencincang kawan-kawanku!” Van Boerman masih saja dibayangi oleh peristiwa yang terjadi pada diri kawan-kawannya di waktu yang lampau.

“Ayah! Sadar! Aku ini Yulia anakmu bukan suku kanibal yang kau maksud itu!”

“Oh, tidak! Tidak!” jawabnya sambil mengangkat kepala dan memandang Yulia. Dia belum juga berada dalam kewarasannya. Yulia mengeluarkan sebuah benda yang menurut pendapatnya akan menyembuhkan ingatan ayahnya.

“Lihatlah! Salib suci ini, ayah!”

Betapa kagetnya lelaki tua itu setelah melihat rosario yang dikenalnya sebagai pembangkit spiritual bagi dirinya. Bagaikan disiram seember air orang itu mulai ingat akan dirinya.

“Oh, Bapa yang di surga! Ampunilah aku!” Ingatannya mulai membaik dan memandangi seorang gadis cantik bermata biru di hadapannya dengan serius. “Yulia! Kaukah anakku?” tanya Van Boerman dengan bergetar.

Betapa gembiranya Yulia mendengar kata-kata seperti itu, dia langsung mendekap erat-erat tubuh ayahnya yang setelah sekian lama terpisah darinya.

Dengan linangan air mata yang membasahi pipi, Yulia tak henti-hentinya menciumi ayahnya.

“Ayah!! Oh, ayah betapa gembiranya hatiku!”

“Yulia! Syukurlah kau selamat, sayang! Aku sudah putus asa mencari dirimu!” jawab sang ayah dengan luapan rindu yang tak terbendung lagi.

Matahari yang mulai bergeser ke ufuk Barat kelihatan cerah seakan turut gembira serta bahagia melihat pertemuan anak dan bapak tersebut. Mereka terus berpelukan tanpa menghiraukan orang-orang di sekelilingnya.

Parmin dan Awom juga turut terharu melihat peristiwa yang menggembirakan itu. Air mata berkaca-kaca di pelupuk mata mereka. Sejenak ingatan Jaka Sembung melayang ke tempat nan jauh di sana, pulau Jawa tempat ia berasal.

Ia ingat Eretan tempat tinggal gurunya. Ia ingat Kandang Haur tempat tinggal kekasih hati yang sangat dicintainya. Entah kapan ia dapat bertemu kembali dengan Roijah yang telah lama ditinggalkannya.

Lamunan Parmin tiba-tiba tersentak, karena mendengar orang tua yang bernama lengkap Yan Van Boerman itu berbicara sambil tak lepas dari dekapan anak gadisnya.

“Terima kasihku tak terhingga kepada anda berdua, tuan pendekar yang gagah!” ucapnya dengan bergetar menahan luapan rasa gembira dan rasa syukur yang sangat dalam. “Entah bagaimana jadinya seandainya tidak ada tuan berdua, kami tentu akan terpisah untuk selama-lamanya,” sambungnya sambil menahan isak tangis.

“Semuanya adalah berkat rahmat Ilahi, tuan Boerman! Tuhan telah mempersatukan anda berdua melalui usaha kami,” jawab Parmin dengan rendah hati.

“Anda telah menolong orang asing yang justru berasal dari bangsa yang sedang menjajah tanah air anda sendiri, anak muda!” sambung Van Boerman.

“Bangsa kalian memang sedang menjajah bangsa kami. Tetapi kami tidak memusuhi siapa pun karena kami cinta damai. Kalaupun kami berperang melawan Kompeni Belanda, itu kami lakukan karena lebih mencintai kemerdekaan!” jawab Parmin si Jaka Sembung dengan mantap.

“Sesungguhnya kami bukan memerangi bangsa Belanda, tetapi memerangi bangsa mana pun yang bermaksud menjajah tanah air kami. Oleh karena itu kami ikhlas memberikan pertolongan kepada anda berdua atas dasar kewajiban sebagai makhluk Tuhan, bukan atas dasar sebagai dua bangsa yang sedang bermusuhan!” sambung Jaka Sembung dengan tegas namun sangat diplomatis.

Semua ucapan Jaka Sembung terdengar begitu berkesan bagi seorang pemuda Papua yang berjiwa patriot seperti Awom. Sosoknya memang masih primitif, namun jiwanya dengan cepat menyerap peradaban dan sikap mental yang diperlihatkan oleh pendekar muda dari pulau Jawa itu.

Dalam hati Awom kini tumbuh suatu keyakinan baru bahwa penjajahan itu sesuatu yang harus diperangi. Bukan memerangi orangnya, tetapi memerangi sifat jahat yang ada padanya! Dengan kata lain, biar pun Yulia dan ayahnya adalah orang Belanda, tetapi bukan musuhnya karena mereka tidak bersifat menjajah.

T A M A T

Pembaca yang Setia, Parmin si Jaka Sembung telah berhasil mempertemukan Yulia dengan ayahnya Yan Van Boerman, tetapi bagaimana dengan nasib pendeta Yorgen yang tak tentu rimbanya itu?

Dapatkah mereka menemukan pendeta itu? Bagaimana pula dengan manusia misterius bertopeng tengkorak yang menyeramkan itu? Siapa sebenarnya dia?

Ikutilah episode berikutnya yang berjudul. Pertarungan Terakhir!