Pendekar Rajawali Sakti 107 - Titisan Anak Setan(2)

Perlahan Rangga menghampiri Pandan Wangi, lalu berdiri di depannya. Kemudian dia berlutut, dan tangannya menjulur ke depan perlahan-lahan. Dielus-elusnya kepala gadis kecil itu. Sulit sekali, lidahnya digerakkan untuk memberi kata-kata yang menghibur. Sedangkan gadis kecil itu terus menangis dalam pelukan Pandan Wangi.

"Bawa dia, Pandan. Biar ibunya aku yang mengurus," ujar Rangga meminta.

Pandan Wangi mengangguk saja, kemudian melepaskan pelukan gadis itu dan membimbingnya menjauhi mayat ibunya. Sementara, Rangga masih memandangi mayat wanita yang masih kelihatan muda itu. Dan setelah menghembuskan napasnya, perlahan bangkit berdiri.

Pada saat yang sama, Pandan Wangi memba-wa gadis kecil itu ke bawah pohon yang cukup rindang, sehingga melindungi diri mereka dari sengatan matahari. Gadis itu masih terus menangis, walaupun tidak lagi memilukan seperti tadi. Hanya isaknya saja yang terdengar. Dan wajahnya masih disembunyikan di dada Pandan Wangi. Sementara, Rangga sudah mulai membuat lubang untuk mengubur jasad wanita yang tewas dengan leher terkoyak.

"Sudah diam.... Relakanlah kepergian ibumu," bujuk Pandan Wangi, mencoba menghibur.br/>
"Ibuuu...," isak gadis kecil itu merintih.

Pandan Wangi jadi menggigit bibirnya sendiri. Dipandanginya Rangga yang masih terus menggali tanah. Cepat juga Pendekar Rajawali Sakti membuat lubang, walaupun hanya menggunakan sepotong batang pohon sebesar pergelangan tangan. Sedikit pun tak terlihat adanya kelelahan, karena dikerjakan dengan pengerahan tenaga dalam. Sebentar saja lubang yang cukup besar sudah tersedia. Kemudian diangkatnya tubuh wanita itu, dan dimasukkannya ke dalam lubang dengan hati-hati. Sebentar dipandanginya wanita malang itu, kemudian mulai dikuburnya.

"Ibu...," kembali gadis kecil itu merintih.

"Sssht...!"

Pandan Wangi mencoba mendiamkan gadis ini dan terus memeluknya erat-erat. Sementara, Rangga terus bekerja menguruk kembali lubang kubu yang dibuatnya. Dan tidak berapa lama kemudian pekerjaan itu selesai. Kembali dihampirinya Panda Wangi. Lalu, tubuhnya dihempaskan duduk disamping si Kipas Maut sambil menghembuskan napas panjang. Sementara gadis kecil dalam pelukan Pandan Wangi masih menangis sesenggukan.

Cukup lama juga Pandan Wangi baru bisa mendiamkan tangis gadis kecil ini. Meskipun sesekali masih terdengar isaknya yang tertahan, tapi sudah tidak lagi berada dajam pelukan si Kipas Maut itu. Pandangan matanya tertuju pada gundukan tanah yang masih baru. Sesekali dia merintih, memanggil ibunya. Dan beberapa kali pula Rangga dan Pandan Wangi saling melemparkan pandang.

"Dik...," panggil Pandan Wangi lembut.

Gadis kecil itu berpaling, menatap Pandan Wangi.

"Apa yang terjadi pada ibumu?" tanya Pandan Wangi lembut, dan hati-hati sekali.

Gadis kecil itu masih sulit menjawab. Dihapusnya air mata dengan punggung tangannya. Perlahan kepalanya beralih menatap Rangga yang duduk memeluk lutut di samping Pandan Wangi. Kemudian, kembali ditatapnya si Kipas Maut itu.

"Bisa kau ceritakan, apa yang terjadi pada Ibumu...?" ujar Pandan Wangi lagi, lebih lembut.

"Ibu..., ibu dibunuh...," sahut gadis kecil itu tersendat di sela isaknya yang tertahan.

"Siapa yang membunuhnya?" tanya Pandan Wangi lagi, masih dengan suara lembut.

"Anak itu. Anak gembel yang sering keliaran di desa."

"Maksudmu...?" tanya Pandan Wangi lagi.

Gadis itu menggelengkan kepala, tidak mengerti pertanyaan Pandan Wangi.

"Anak itu sebesar siapa?" selak Rangga.

"Lebih tinggi daripada aku. Dia tidak pakai baju. Badannya penuh tanah, kotor.... Dia menerkam ibuku seperti binatang. Me..." gadis kecil itu kembali menangis.

"Ya, sudah.... Sudah...," Pandan Wangi kembali merengkuh ke dalam pelukannya.

Sementara, Rangga sudah bangkit berdiri. Rangga seperti mematung, memandang ke arah Desa Marong. Matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi, setelah tangis gadis kecil itu mereda.

"Ayo kita antarkan dia pulang, Pandan," ajak Rangga.

Pandan Wangi mengangguk, kemudian mengajak gadis kecil itu berdiri. Dihapusnya air mata yang membasahi pipi gadis itu dengan lembut. Kemudian, tangannya digenggam erat-erat.

"Sudah jangan menangis lagi, ya...?" bujuk Pandan Wangi lembut.

Gadis kecil itu hanya mengangguk saja, namun sesekali masih terisak.

"Ayo, ku antarkan pulang," ajak Pandan Wangi. "Di mana rumahmu?"

"Tidak jauh. Di Desa Marong. Tapi...."

"Tapi kenapa?"

"Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Ada juga bibiku. Tapi, tinggalnya bukan di Desa Marong."

"Di mana?"

"Desa Mungkilan. Jauh dari sini."

"Kuantar pulang dulu, baru nanti kau kuantar ke rumah bibimu," kata Pandan Wangi berjanji.

"Terima kasih, Kak," ucap gadis kecil itu.

Pandan Wangi hanya tersenyum saja.

"Ayo...," ajak Rangga.

Mereka kemudian berjalan meninggalkan pinggiran hutan itu, terus menuju ke Desa Marong. Desa yang saat itu sedang gempar, karena semua penduduk menemukan delapan mayat tidak jauh dari perbatasan sebelah utara. Semua mayat itu ditemukan dengan leher berlubang, seperti dikoyak binatang buas. Dan semua penduduk desa itu tahu, mereka adalah orang-orang persilatan yang kebetulan saja semalam berada di desa ini hanya untuk singgah.

Sementara itu, Rangga, Pandan Wangi, dan gadis kecil yang sudah memperkenalkan diri bernama Samirah, sudah memasuki desa yang tidak begitu besar ini. Tidak ada seorang pun yang memperhatikan mereka, kecuali seorang laki-laki tua berjubah putih. Dia tampak tengah memperhatikan dari ambang pintu sebuah rumah. Rambut, janggut, serta kumisnya sudah memutih semua. Kakinya lalu melangkah keluar dari Rangga dan Pandan Wangi sudah hampir melewati rumahnya. Dan dia sengaja berdiri di tengah jalan, seperti menghadang. Rangga tahu, orang tua itu sengaja menghadang, sehingga mereka kini berhenti berjalan. Sedangkan Pandan Wangi terus memegangi tangan Samirah erat-erat.

"Samirah, siapa mereka...?" laki-laki tua itu langsung menegur, dengan nada agak kasar.

"Kak Rangga dan Kak Pandan Wangi, Eyang. Mereka baru saja menolongku, dan menguburkan ibu," sahut Samirah.

"Heh...?! Menguburkan ibumu...?" laki-laki tua itu tampak terkejut.

"Ibu dibunuh anak gelandangan itu, Eyang." Samirah kembali terisak.

"Apa...?!"

Laki-laki tua itu jadi terlonjak, begitu terkejutnya. Hampir disambarnya tangan Samirah, kalau saja Rangga tidak segera mencegah.

Tunggu dulu, jangan ganggu Samirah. Dia masih berduka," cegah Rangga.

"Aku kakeknya. Dan aku harus tahu, apa yang terjadi," sergah orang tua itu.

Rangga jadi agak tertegun juga.

"Eyang Rambang memang masih terhitung kakekku, Paman Rangga," ujar Samirah cepat-cepat.

"Oh, maaf. Samirah tidak menceritakan tentang...."

"Ah, sudahlah.... Sebaiknya, kita bicarakan saja di dalam. Ayo...," selak orang tua yang ternyata bernama Eyang Rambang, guru besar Padepokan Bambu Kuning yang berada di Desa Marong ini.

Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak lagi. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah yang cukup besar, berhalaman cukup luas ini. Kedua pendekar dari Karang Setra itu kemudian duduk di beranda depan rumah ini. Samirah tetap duduk di samping Pandan Wangi. Sedangkan Rangga dan Eyang Rambang duduk saling berhadapan.

"Samirah, bagaiman kejadiannya? Ceritakan padaku," pinta Eyang Rangga langsung.

Samirah lantas menceritakan semua peristiwa yang membuat ibunya mati terbunuh. Semua itu persis seperti yang diceritakan pada Rangga dan Pandan Wangi. Dan sesekali dia berhenti terisak, seraya menyusuri air mata dengan punggung tangannya. Selesai bercerita, gadis cilik itu langsung menangis memeluk Pandan Wangi.

"Hm..., jadi kalian baru mengenal Samirah disana...?" ujar Eyang Rambang agak menggumam.

"Benar, Eyang. Kami berdua sempat mendengar jeritannya. Tapi begitu sampai, ibunya Samirah sudah tidak bernyawa lagi," sahut Rangga.

"Terima kasih, kalian sudi menguburkannya," ucap Eyang Rambang.

"Maaf, Eyang. Kami terpaksa melakukannya tanpa seizinmu," ujar Rangga sopan.

"Itu lebih baik, daripada kau bawa ke sini, Anak Muda. Desa ini sedang kacau. Dalam beberapa hari ini, telah terjadi pembunuhan-pembunuhan yang membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Sampai sekarang, belum ada seorang pun yang tahu, siapa pelaku pembunuhan ini. Tapi.... Hm, kau kenali orang yang membunuh ibumu, Samirah?"

"Anak laki seusiaku, Eyang," sahut Samirah.

"Apa...?!"

Eyang Rambang jadi kaget setengah mati, mendengar yang membunuh ibunya Sumirah hanya seorang anak kecil. Matanya sampai mendelik, seakan tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Sedangkan Samirah jadi tertunduk, menyembunyikan wajahnya di dada Pandan Wangi.

"Dia bukan anak biasa, Eyang. Di dalam tubuhnya, seperti mengalir darah siluman," jelas Pandan Wangi mencoba menengahi.

"Siluman...? Kau tahu dia, Anak Muda?"

"Tidak persis, Eyang. Aku sendiri masih menduga-duga. Belum ada bukti kuat kalau dia pelakunya," sahut Rangga.

"Kau tahu, Anak Muda. Belum lama ini, kami semua menemukan delapan orang mati dengan leher terkoyak. Semula dugaanku, ada binatang liar yang masuk ke desa ini. Tapi setelah delapan orang mati sekaligus, dugaanku jadi lain. Aku harus menemukan pembunuh itu, Anak Muda. Padepokan bisa hancur kalau kejadian ini dibiarkan berlarut-larut," tegas Eyang Rambang, terdengar gusar.

"Aku bisa mengerti, Eyang. Kita akan mencarinya bersama-sama," ujar Rangga.

Eyang Rambang jadi tersenyum mendengar kesediaan pemuda berbaju rompi putih ini. Sedangkan saat itu, Rangga tahu kalau delapan orang yang mati adalah orang-orang yang sempat bertarung dengannya semalam. Dan Rangga juga sudah bisa menduga, siapa pelaku pembunuhan keji itu.

***
EMPAT
Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak lagi, saat Eyang Rambang memintanya tinggal untuk sementara di rumahnya. Apalagi, kedua pendekar dari Karang Setra itu juga harus mencari anak laki-laki yang dicurigai sebagai biang keladi dari semua pembunuhan kejam yang terjadi dalam beberapa hari di Desa Marong.

Sedangkan Samirah, kelihatannya begitu enggan tinggal di rumah kakeknya ini. Dan entah kenapa dia selalu ingin dekat dengan Pandan Wangi. Bahkan memilih tidur satu kamar dengan gadis berjuluk si Kipas Maut itu. Eyang Rambang tentu saja tidak ingin menambah kesedihan Samirah. Maka Samirah kemudian diizinkan tidur satu kamar dengan Pandan Wangi.

"Kakang, aku masih belum yakin kalau Wicana adalah pelaku pembunuhan itu...?" nada suara Pandan Wangi terdengar jelas ragu-ragu.

Saat itu, mereka tengah duduk berdua saja diberanda samping rumah Eyang Rambang, yang juga dijadikan sebuah padepokan untuk mengajar pemuda-pemuda Desa Marong berlatih ilmu olah kanuragan. Sementara dari arah bagian belakang, terdengar teriakan-teriakan murid Padepokan Bambu Kuning yang sedang berlatih.

Rumah Eyang Rambang memang sangat besar dan berhalaman sangat luas. Terlebih lagi di bagian belakang yang memang cocok dijadikan sebuah padepokan. Letak padepokan ini berada di tengah-tengah desa, sehingga menjadi keuntungan bagi Eyang Rambang. Dia tidak perlu sulit-sulit mencari murid. Desa Marong ini menyimpan banyak anak muda yang berbakat dalam ilmu olah kanuragan.

Dan baru-baru ini, Eyang Rambang mendapat ujian berat. Dengan adanya kejadian pembunuhan di Desa Marong, paling tidak dia harus bisa mengatasi persoalan pembunuhan yang terjadi secara beruntun, dengan luka sama pada setiap korbannya. Leher robek seperti terkoyak taring binatang buas.

"Tapi anak itu sangat aneh, Pandan," sahut Rangga.

"Aneh bagaimana, Kakang?" tanya Pandan Wangi tidak mengerti.

"Perhatikan saja sendiri. Bocah itu tidak tahu asal-usulnya. Bahkan tidak tahu, siapa orangtuanya. Dan dia mengaku kalau lahir dari batu. Juga waktu kupegang, badannya dingin seperti orang mati. Bicaranya juga tidak menentu. Malah, dia sering tidak mengerti apa yang kita bicarakan," ujar Rangga memaparkan perasaan anehnya pada anak kecil yang mereka tolong semalam.

"Memang semua itu kuperhatikan, Kakang. Memang aneh. Tapi, apa itu bisa menjadi patokan untuk menuduh kalau dia adalah pelakunya...?"

"Aku belum berpikir sampai ke sana, Pandan. Baru menduga-duga saja."

"Kakang! Semua orang tahu, anak itu gelandangan. Bahkan Eyang Rambang sendiri menga-lakan anak itu gelandangan di sini yang tidak punya orangtua dan tempat tinggal. Tapi..., ah! Mana mungkin anak selemah itu bisa jadi pembunuh, Kakang...," sergah Pandan Wangi kembali ragu-ragu.

"Kita lihat saja nanti, Pandan. Aku akan menyelidiki terus sampai tuntas," tegas Pendekar Rawajali Sakti.

"Ya! Kita memang harus menyelidiki dulu, dan jangan cepat menuduh hanya karena anak itu bersikap aneh."

Mereka jadi terdiam beberapa saat lamanya.

"Pandan..."

"Hm."

"Kau ingat, apa yang dikatakan Samirah?" tanya Rangga.

"Maksudmu, orang yang membunuh ibunya...?"

Rangga mangangguk.

Pandan Wangi hanya diam saja. Memang, Samirah menjelaskan ciri-ciri orang yang membunuh Ibunya. Katanya, pembunuh ibunya adalah anak laki-laki seusia dirinya. Juga, katanya anak itu gelandangan. Sedangkan semua orang di Desa Marong ini tahu, hanya ada satu anak gelandangan. Dan dia adalah Wicana saja di desa ini.

"Mungkin hanya mirip saja, Kakang," ujar, Pandan Wangi masih belum yakin.

"Ya, mudah-mudahan saja Samirah tak mengada-ada," kata Rangga agak mendesah.

Sementara itu, malam sudah jatuh menyelimura seluruh Desa Marong ini. Kesunyian begitu terasa di sini. Hanya nyanyian jangkrik dan serangga malam saja yang terdengar. Saat itu, Pandan Wangi bangkit berdiri.

"Mau ke mana, Pandan?" tegur Rangga.

"Menengok Samirah, apakah sudah tidur, Kakang," sahut Pandan Wangi.

Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu terus saja melangkah meninggalkan Rangga seorang diri. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti masih duduk dibangku bambu yang ada di beranda samping rumah Eyang Rambang ini. Tapi tidak lama, dia sudah bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang. Sedangkan teriakan-teriakan murid Eyang Rambang yang tengah berlatih masih terus terdengar.

"Sebaiknya aku keliling desa ini. Mudah-mudahan saja menemukan petunjuk," gumam Rangga di dalam hati.

Pemuda yang selalu berbaju rompi putih itu melangkah perlahan-lahan meninggalkan rumah Eyang Rambang yang juga dijadikan padepokan. Ayunan langkah Pendekar Rajawali Sakti terasa sangat ringan. Sehingga tidak terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah yang selalu lembab di desa ini.

***

Entah sudah berapa lama Rangga berjalan mengelilingi Desa Marong ini. Tanpa terasa, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di tepi desa sebelah selatan. Tidak ada yang bisa dilihat di tempat ini, kecuali pepohonan yang menghitam berselimut kabut. Udara pun terasa begitu dingin, hingga menusuk tulang sumsum.

Namun di dalam kesunyian yang begitu mencekam, telinga Rangga yang setajam telinga elang menangkap suara tarikan napas yang begitu halus. Bahkan hampir saja tidak bisa tertangkap pendengaran telinganya. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa berpikir lebih panjang lagi, mendadak....

Slap!
"Upts...!"

Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, begitu merasakan adanya desir angin yang sangat halus dari arah sebelah kanan belakangnya. Tampak sebuah bayangan gelap berkelebat begitu cepat menyambar angin kosong di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.

"Hap...!"

Rangga cepat-cepat menarik kakinya ke belakang tiga langkah, begitu bayangan yang berkelebat cepat bagai kilat itu sudah berputar balik. Bahkan kini langsung meluruk deras ke arahnya. Sebentar Rangga menunggu. Dan begitu bayangan itu mendekat, cepat sekali dilepaskannya satu pukulan tangan kanan, disertai pengerahan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Yeaaah...!"
Dugkh!
"Ikh...?!"

Rangga jadi terpekik kecil, begitu pukulannya membentur bayangan itu. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat dan berputar ke belakang. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah kembali. Langsung matanya menatap ke depan. Dan seketika itu juga, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, seakan tidak percaya dengan apa yang ada di depan matanya.

"Wicana..."

Sekitar satu batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti itu, berdiri tegak seorang bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun. Tubuhnya yang kurus dan bertelanjang dada, kelihatan kotor penuh tanah berlumpur. Sorot matanya terlihat tajam, bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus Pendekar Rajawali Sakti.

"Ghrrr...!"
"Heh...?!"

Rangga jadi terkesiap kaget setengah mati, begitu tiba-tiba bocah kecil itu menggereng dan menyeringai. Paa saat menyeringai tampaklah baris-baris giginya yang runcing dan bertaring tajam bagai mata pisau. Dan jari-jari tangannya yang mengembang kaku di depan dada, terlihat ditumbuhi kuku yang panjang runcing berwarna hitam. Wicana yang beberapa hari lalu pernah dikenal Pendekar Rajawali Sakti begitu lembut dan lemah, sekarang kelihatan mengerikan sekali. Dia bagai sosok makhluk aneh yang sangat buas, dan siap membunuh apa saja yang bernyawa.

"Ghraaaugkh...!"

Tiba-tiba saja bocah kecil berusia sekitar sepuluh tahun itu menggeram dahsyat dan mengerikan. Dan saat itu juga, tubuhnya melesat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Tampak kedua tangannya yang jari-jarinya berkuku runcing dan hitam mengembang kaku bagai hendak merobek pemuda berbaju rompi putih ini.

"Haiiit..!"

Rangga cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kiri, menghindari terjangan bocah aneh itu. Dan bagaikan kilat dilepaskannya satu tendangan keras, disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Maka tendangan yang begitu cepat, telak menghantam bagian lambung bocah ini.

"Ghraugkh!"

Tapi Wicana hanya terlempar setengah batang tombak dan hanya menggerung sedikit saja. Bocah itu kembali berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kecil. Padahal, tadi Rangga melepaskan pukulannya disertai tenaga dalam penuh. Bahkan sudah sangat sempurna tingkatannya. Tapi, sedikit pun pada bocah itu tidak terpengaruh.

"Edan...! Manusia apa setan anak ini...?" desis Rangga jadi keheranan sendiri.

"Ghrrr...!"

Sementara Wicana sudah kembali siap. Kedua tangannya direntangkan ke depan dengan jari-jari yang berkuku runcing sudah terkembang lebar, siap hendak mengoyak tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan kakinya melangkah mendekati. Dari bibirnya yang terus menyeringai, tidak henti-hentinya mengeluarkan gerungan yang bisa membuat jantung siapa saja yang mendengamya akan copot seketika.

"Siapa pun kau, keluarlah dari bocah ini! Dia tidak tahu apa-apa. Jangan siksa dia dengan segala dosa dan bebanmu...!" desis Rangga mencoba bicara.

"Ghrrr...!"

Tapi kata-kata Rangga hanya disahuti Wicana dengan gerengan saja. Dan kini, jarak mereka semakin dekat saja. Perlahan Rangga menarik kakinya ke belakang, menjaga jarak agar tidak terlalu dekat. Disadari kalau gerakan anak itu begitu cepat dan sulit diduga. Dia tidak ingin kecolongan, dan terluka oleh kuku-kuku yang runcing dan hitam itu.

"Keluarlah kau...! Jangan ganggu anak ini!" sentak Rangga lagi.

"Ghrauuugkh...!"

Tiba-tiba saja Wicana meraung dahsyat. Dan seketika itu juga, tubuhnya melesat cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat gerakannya, sampai-sampai membuat Rangga terpana sesaat.

"Hap!"

Cepat-cepat Rangga menjatuhkan diri ketanah dan bergulingan beberapa kali, menghindari terjangan bocah aneh itu. Lalu dengan gerakan cepat dan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat bangkit berdiri. Tapi baru saja kakinya menjejak ditanah, Wicana sudah kembali melompat menyerang. Kedua tangannya cepat dikibaskan, mengarah ke bagian-bagian tubuh Rangga yang sangat mematikan!

"Hap! Yeaaah...!"

Rangga cepat-cepat mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya kini meliuk-liuk menghindari setiap kibasan tangan yang berkuku runcing itu. Jurusnya diimbangi gerakan kaki yang lincah dan sulit diduga arahnya. Bahkan terkadang gerakannya seperti tidak beraturan. Terkadang dia akan jatuh, atau timbung seperti orang kebanyakan minum arak. Tapi sampai sejauh ini, Wicana belum juga bisa mendesak. Bahkan setiap serangannya mudah sekali dapat dipatahkan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ghrauuugkh...!"

Wicana kembali menggerung dahsyat, sambil mendongakkan kepala ke atas. Dan kesempatan yang hanya sedikit ini, tidak lagi disia-siakan Pendekar Rajawali Sakti. Dengan kecepatan dahsyat, dilepaskannya satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan kesempurnaan.

"Hiyaaa...!"

Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Rangga, sehingga Wicana tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....

Des!

Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dada Wicana yang kurus seperti kekurangan makan. Namun....

"Akh...!"

Rangga jadi terkejut setengah mati, begitu telapak kakinya mendarat di dada bocah ini. Cepat-cepat kakinya ditarik kembali, dan melompat sejauh beberapa langkah sambil berputaran di udara beberapa kali. Hampir Pendekar Rajawali Sakti tidak percaya terhadap pandangannya sendiri. Bocah bertubuh kurus yang kelihatannya sangat lemah itu, sama sekali tidak bergeming sedikit pun saat dadanya terkena tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna!

Bahkan Rangga sendiri yang merasakan kaki kanannya jadi nyeri. Seakan-akan tulang tulang kaki kanannya jadi remuk, akibat berbenturan dengan dada Wicana. Pendekar Rajawali Sakti segera menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Dipandanginya bocah laki-laki itu dengan sinar mata seperti tidak percaya. Memang, itu harus cepat disadari kalau semua ini bukan hanya mimpi, melainkan sebuah kenyataan yang harus dihadapi.

"Hap!"

Rangga kembali mempersiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Tampak sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus mautnya ini pada tingkat yang terakhir. Kedua kepalan tangannya yang berada di samping pinggang jadi berwarna merah menyala, bagai besi yang terbakar dalam tungku. Sementara Wicana tetap berdiri tegak, seperti tidak mempedulikan jurus dahsyat yang akan dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ghraugkh...!"

Kembali Wicana menggerung dahsyat sambil menghentakkan kedua tangannya yang seluruh jarinya mengembang ke depan. Dan saat itu juga, Rangga sudah melompat sambil berteriak keras menggelegar melakukan serangan lebih dulu.

"Hiyaaat...!"

Tapi, Pendekar Rajawali Sakti itu jadi terbeliak setengah mati. Wicana sama sekali tidak bergemin sedikit pun. Bahkan sikapnya seperti sengaja menanti serangan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga ingin menarik kembali serangannya, tapi pukulan tangan kanannya sudah telanjur diayunkan. Dan....

Glarrr...!
"Akh...."

Rangga kontan terpental sangat deras ke belakang, begitu pukulan mautnya tepat menghantam dada bocah laki-laki kecil ini. Sementara, sedikitpun bocah itu tidak kelihatan bergeming. Bahkan bibirnya tersenyum melihat Rangga bergelimpangan di tanah, hingga menabrak beberapa batang pohon hingga tumbang. Bahkan sampai menghancurkan beberapa bongkahan batu. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti, tepat di depan sepasang kaki yang hampir tertutup jubah panjang berwarna putih bersih.

"Menyingkirlah, Anak Muda. Dia tidak akan bisa ditandingi dengan hanya mengandalkan jurus-jurus biasa yang kau miliki," ujar pemilik sepasang kaki berjubah putih itu.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengangkat kepalanya, dan memandang ke atas. Pendekar Rajawali Sakti lalu berdiri perlahan, terus memandangi wajah tua di depannya ini. Tapi orang tua berjubah putih yang rambutnya sudah memutih semua ini sudah mengetahui gerak jurusnya. Dan hal itu membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi berpikir keras.

Untung saja benturan dan ledakan yang terjadi tadi tidak menimbulkan luka sedikit pun di tubuh pemuda ini. Bahkan setelah menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh, Rangga merasakan tidak ada yang aneh dalam tubuhnya. Dia segera menarik diri, menyingkir ke sebelah kanan. Seakan-akan, dia memberikan kesempatan pada orang tua ini untuk menghadapi bocah itu.

"Menyingkir yang jauh kataku, Anak Muda," terdengar agak membentak suara orang tua itu.

Orang tua itu langsung saja melangkah kedepan, menghampiri Wicana yang sejak tadi masih tetap berdiri tegak. Sorot mata bocah itu terlihat begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata orang tua berjubah putih yang jaraknya semakin dekat saja. Tidak ada sepotong senjata pun yang tersandang pada tubuh orang tua itu, kecuali sebatang tongkat kayu untuk membantunya berjalan.

Orang tua yang rambutnya tergelung ke atas kepalanya itu berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar lima tindak lagi di depan bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun ini. Sementara anak itu tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun.

"Wicana, keluar kau! Jangan kau rusak tubuh bocah tidak berdosa ini!" keras sekali suara orang tua berjubah putih ini.

"Ghrrr...! Kau tidak bisa lagi memerintahku, Eyang Bendowo. Tidak seperti dulu lagi! Ghrrr...!"

"Selama aku masih bisa bernapas, jangan harap bisa bebas terus-menerus menghancurkan bumi ini, Wicana," desis orang tua berjubah putih yang ternyata bernama Eyang Bendowo itu, tegas.

"Ghrrr...! Malam ini kau akan mampus, Eyang Bendowo!"

"Tidak akan, sebelum kau lenyap untuk selamanya, Wicana."

"Ghrrr! Bersiaplah, Eyang Bendowo!"

"Hap!"

Bet!

***
LIMA
Eyang Bendowo langsung melompat kekanan, sambil mengebutkan tongkat kayunya ke arah perut bocah kecil yang dirasuki iblis ini. Tapi dengan gerakan sangat manis dan indah, Wicana berhasil menghindari sabetan tongkat laki-laki tua berjubah putih itu.

Sementara, Rangga sudah duduk bersemadi di bawah pohon, untuk memulihkan tenaga setelah pertarungannya tadi. Tidak lama Pendekar Rajawali Sakti bersemadi, kini sudah bangun lagi. Dia langsung melihat Wicana ini tengah bertarung sengit melawan seorang laki-laki tua berjubah putih. Di dalam semadinya tadi, sayup-sayup Rangga masih bisa mendengar pembicaraan mereka tadi. Tapi dia tidak tahu, siapa orang tua berjubah putih itu. Dan, apa hubungannya dengan Wicana...?

Namun semua pertanyaan yang bergayut dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti hanya tinggal beban saja. Dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak mungkin ikut terjun dalam pertarungan itu. Rangga hanya bisa diam saja dan terus menyaksikan pertarungan yang semakin meningkat dahsyat. Memang sangat aneh. Seorang laki-laki tua bertarung menyabung nyawa dengan seorang anak kecil berusia sepuluh tahun.

"Ghraugkh...!"

Sambil menggerung keras, tiba-tiba saja anak kecil itu melesat tinggi ke atas. Dan tubuhnya langsung menukik dengan kecepatan bagai kilat sambil mengibaskan tangannya yang kurus kecil itu ke kepala orang tua ini.

"Haiiit..!"

Namun dengan tangkas orang tua berjubah putih itu berkelit menghindar. Dan pada saat itu juga, tubuhnya dimiringkan ke kiri, hingga tangan kirinya menyentuh tanah. Dan secepat kilat dilepaskannya satu tendangan ke atas dengan kaki kanan.

"Yeaaah...!"
Diekh!

Di saat berada di udara, memang sulit bagi Wicana untuk bisa menghindar serangan balasan itu. Maka tak pelak lagi, tubuhnya jadi melambung tinggi terkena tendangan kaki kanan yang begitu keras dan menggeledek ini.

"Ghrauuugkh...!"

Namun bocah berusia sepuluh tahun itu cepat bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara. Lalu manis sekali kakinya menjejak tanah kembali. Dan pada saat itu juga, tangan kiri Eyang Bendewo masuk ke dalam lipatan jubahnya. Begitu keluar, di dalam genggaman tangan itu terlihat sebuah benda berupa batu berbentuk segitiga yang memancarkan cahaya kehijauan.

"Aaargkh...!"

Wicana kontan menjerit dan menutupi wajah dengan kedua tangannya yang kecil, begitu melihatnya. Dia seperti tidak sanggup menantang cahaya kehijauan yang terpancar dari batu segitiga ditangan kiri orang tua berjubah putih itu.

"Ghrauuugkh...!"

Sambil menggerung dahsyat, Wicana tiba-tiba saja melesat cepat luar biasa sekali, meninggalkan tempat itu.

"Hey! Jangan lari kau...!" bentak Eyang Bendowo.

Tapi, lesatan Wicana begitu cepat sekali. Hingga belum sempat Eyang Bendowo melakukan sesuatu, bocah kecil itu sudah lenyap ditelan gelapnya malam.

"Setan...! Cepat sekali dia kabur...!" gerutu Eyang Bendowo, tampak kesal.

Orang tua itu memasukkan kembali batu segitiga berwarna kehijauan itu ke dalam lipatan jubah putihnya yang panjang dan agak longgar ini. Kemudian, kakinya lalu melangkah hendak pergi. Tapi baru saja terayun tiga langkah, dia berhenti lagi. Langsung tubuhnya diputar berbalik. Dan pandangannya langsung tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti yang masih tetap berdiri tegak memandangi. Beberapa saat mereka terdiam dan hanya saling berpandangan saja. Dan perlahan kemudian, mereka sama-sama melangkah mendekati. Kini mereka berhenti pada jarak sekitar tiga langkah lagi.

"Terimalah salam hormatku, Eyang," ucap Rangga seraya menjura memberi hormat.

"Jangan bersikap begitu padaku, Anak Muda," ujar Eyang Bendowo, seraya mengangkat tangan kanannya yang memegang tongkat sedikit. Rangga kembali menegakkan tubuhnya. "Aku tahu siapa dirimu, Anak Muda. Tidak perlu kau jelaskan, kenapa kau bisa bentrok dengan bocah setan itu," kata Eyang Bendowo langsung.

Rangga agak terkejut juga, karena orang tua itu seperti sudah tahu tentang dirinya. Namun, dia tidak mau berpikir lebih jauh lagi.

"Maaf, apakah Eyang tahu siapa dia...?" tanya Rangga, dengan nada hati-hati.

"Ya, aku mengenalnya. Dan sudah bertahun-tahun aku mengejarnya. Tapi setiap kali berhasil mengalahkannya, dia selalu saja dapat menyelamatkan diri dengan meninggalkan raganya. Dan sekarang, dia menggunakan tubuh seorang bocah. Hhh! Perbuatannya sudah keterlaluan. Sama sekali tidak lagi menghargai sesama makhluk hidup." jelas sekali terdengar nada kekesalan pada suara Eyang Bendowo.

"Aku tidak mengerti maksud kata-katamu, Eyang," ujar Rangga.

"Sulit dimengerti, Anak Muda. Tapi bagimu yang sudah terkenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti, rasanya persoalan apa pun bisa dimengerti," sahut Eyang Bendowo.

Rangga kembali tertegun, karena orang tua ini sudah mengetahui dirinya. Padahal sama sekali namanya belum diperkenalkan. Tapi, Eyang Bendowo sudah mengetahuinya lebih dulu. Dan kembali Rangga tidak mau lagi memikirkannya, disadari kalau dirinya sudah sangat kondang. Maka tak heran kalau orang akan langsung bisa mengenali, dengan hanya melihat penampilannya. Memang tidak ada lagi pendekar di kolong langit ini yang menggunakan baju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung. Yang ada hanya Pendekar Rajawali Sakti!

"Tolong jelaskan siapa dia, Eyang. Dia sudah menimbulkan banyak korban di desa ini. Dan perbuatannya harus bisa kuhentikan," pinta Rangga tegas.

"Dia bukan siapa-siapa bagiku, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Eyang Bendowo, kini terdengar pelan suaranya.

"Maksud, Eyang...?"
"Hhh...!"

Eyang Bendowo menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Seakan, dia begitu berat untuk mengatakannya. Sementara, Rangga terus menunggu penjelasan orang tua ini dengan sabar. Tapi, Eyang Bendowo malah terdiam seperti merenung. Tampak jelas sekali kalau raut wajahnya jadi berselimut mendung yang sangat tebal. Sehingga, membuat kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut.

"Kau ada hubungan keluarga dengannya, Eyang?" tebak Rangga, langsung.

"Tidak...," sahut Eyang Bendowo sedikit mendesah.

"Lalu?"
"Dia muridku."

"Murid...?!"

Rangga jadi terbeliak kaget tidak mengerti. Dipandanginya orang tua berjubah putih yang seperti pertapa ini. Sungguh belum bisa dipercaya kalau Wicana itu murid Eyang Bendowo ini. Dan sama sekali tidak ada bayangan dalam pikirannya.

"Ceritanya sangat panjang. Aku sendiri menyesal, karena telah mengangkatnya menjadi murid. Dan sekarang, dia membuatku susah. Sehingga aku terpaksa meninggalan pertapaanku, kembali mengarungi kehidupan dunia," terdengar lirih dan perlahan sekali suara Eyang Bendowo.

Sedangkan Rangga hanya diam saja. Dia tidak tahu, apa yang harus dikatakan lagi. Rasanya sulit sekali menggerakkan lidah, mengucapkan kata-kata untuk orang tua ini. Bisa dirasakan, bagaimana sakit hatinya kalau orang yang sudah dipercaya dan dibekali ilmu-ilmu, ternyata mengkhianatinya. Terlebih lagi, bagi seorang pertapa seperti Eyang Bendowo ini.

"Dia seorang anak malang. Dia kupungut, ketika tempat tinggalnya dihancurkan gerombolan perampok. Kedua orang tuanya, juga saudara-saudaranya mati terbunuh. Juga seluruh penduduk desa itu. Tidak ada yang hidup lagi, kecuali Wicana saja. Itu juga dalam keadaan terluka yang sangat parah. Semula aku sendiri sudah hampir tidak sanggup menyembuhkannya. Tapi, rupanya Sang Hyang Widi berkehendak lain. Wicana bisa bertahan hidup, dan kembali sehat. Kemudian aku mengajarkannya ilmu-ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kedigdayaan...," Eyang Bendowo mulai bercerita.

Sementara, Rangga tetap diam mendengarkan.

"Semula aku memang bangga sekali terhadapnya. Dia amat patuh, dan cepat menangkap semua pelajaran yang kuberikan. Tapi setelah usianya menjelang dewasa, sikapnya jadi berubah. Dia selalu menyendiri dan sering melamun. Kalau kutanya, tidak pernah dijawab. Hingga suatu saat, ketika aku turun gunung, diam-diam dia mencuri sebuah kitab pusaka milik warisan keluargaku dan mempelajarinya secara diam-diam. Kau tahu, kitab itu sangat berbahaya jika tidak digunakan secara benar. Dan Wicana tidak tahu bahayanya. Hingga pada akhir kitab, dia melakukan kesalahan yang seharusnya tidak boleh terjadi."

"Apa yang dilakukannya, Eyang?"

"Darah mudanya tergoda. Waktu melakukan semadi, muncul seorang wanita yang sangat cantik.

Sebenarnya, wanita itu hanya godaan saja. Tapi, dia tidak tahu dan tidak bisa mengendalikan di lagi. Akhirnya, Wicana masuk ke dalam perangkap. Dia telah berbuat maksiat dengan wanita itu, yang seharusnya tidak boleh dilakukan."

Rangga mengangguk-angguk. Langsung bisa dimengerti, apa yang dilakukan Wicana pada wanita jelmaan itu.

"Lalu...?"

"Setelah semua itu berakhir, Wicana baru sadar. Tapi, semuanya sudah terlambat dan harus menanggung akibatnya. Wicana harus berubah menjadi makhluk siluman setengah manusia dan setengah serigala. Aku yang cepat mengetahui, tidak ada pilihan lain lagi. Daripada dia membunuh banyak manusia hanya untuk memuaskan dahaga saja, maka dia harus kubunuh dengan tongkatku ini. Tapi tindakanku sebenarnya merupakan kesalahan paling parah yang pernah kulakukan selama hidupku. Aku lupa, dia tidak bisa mati dengan hanya sebatang tongkat bambu. Yang mati hanya tubuhnya saja, tapi rohnya tetap hidup. Dia akan mencari tubuh lain untuk membunuh setiap orang yang dijumpai. Dan kini, dia memakai tubuh bocah kecil yang tak berdosa sama sekali," papar Eyang Bendowo.

"Tapi dia tidak meminum darah korbannya, Eyang," ujar Rangga.

"Memang. Dalam keadaan seperti itu, dia tidak lagi membutuhkan darah. Dia sudah bisa hidup hanya dengan meminjam tubuh orang lain. Tapi, nafsunya untuk membunuh tidak akan pernah padam, seperti layaknya seekor serigala. Dia akan terus mencari korbannya. Sulit untuk bisa membunuhnya Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada satu senjata pun yang bisa membunuhnya, kecuali pusaka peninggalan warisan keluargaku. Senjata itu adalah Mustika Kumala Hijau ini," Eyang Bendowo lalu mengeluarkan batu segitiga berwarna hijau itu dari balik jubahnya. "Tapi selama ini, aku tidak pernah punya kesempatan untuk menggunakannya... Dan setiap kali kukeluarkan, Wicana selalu saja cepat bisa kabur."

"Kalau begitu, harus menggunakan cara yang lebih tepat, Eyang," ujar Rangga.

"Ya, memang harus menggunakan cara yang tepat. Hanya saja, cara itu belum kutemukan. Sedangkan aku hanya seorang diri saja menghadapinya," nada suara Eyang Bendowo terdengar mengeluh.

"Sekarang kau tidak sendiri lagi, Eyang," kata Rangga.

Eyang Bendowo tersenyum.

"Eyang, kalau bertemu lagi dengan Wicana, aku yang akan menghadapinya. Sementara, kau mencari celah yang tepat untuk menggunakan mustika itu," kata Rangga.

"Kau tidak akan bertahan lama menghadapinya, Rangga. Tubuhnya kebal terhadap segala macam pukulan dan tendangan. Bahkan dengansenjata sekali pun. Menggores kulitnya sedikit saja, sulit dilakukan."

"Aku akan berusaha, Eyang," ujar Rangga seraya tersenyum.

Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Dia sendiri tidak tahu, kenapa bisa tersenyum. Sedangkan wajah Eyang Bendowo berangsur cerah kembali. Kehadiran Pendekar Rajawali Sakti, seakan membawa titik cahaya yang menerangi hati orang tua ini. Eyang Bendowo serasa mendapatkan cahaya semangat kembali. Dia yakin, dengan bantuan Pendekar Rajawali Sakti, pasti bisa mengatasi Wicana yang setengah siluman itu.

***

Malam terus merayap semakin larut. Eyang Bendowo tidak bisa lagi menolak ajakan Rangga untuk bermalam di rumah Kepala Desa Marong. Tubuh tuanya butuh istirahat yang nyaman malam ini, setelah begitu banyak menguras tenaga dalam pertarungannya dengan Wicana.

Sementara itu, cukup jauh di dalam hutan, tampak seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun, tengah duduk memeluk lututnya di depan seonggok api yang menyala tidak begitu besar. Api itu seakan-akan tidak sanggup mengusir udara dingin yang bertiup cukup kencang. Sehingga, anak kecil yang ternyata Wicana itu terpaksa harus memeluk lututnya sendiri. Tampak tubuhnya mulai menggeletar menahan udara dingin yang semakin menusuk menggigilkan ini.

"Hhh! Kalau saja Eyang Bendowo tidak ada... Hm.... Aku harus membunuh dulu orang tua itu. Dia selalu saja jadi penghalang," desis Wicana menggumam pelan, bicara sendiri.

Tubuh bocah yang bertelanjang dada itu semakin keras menggigil kedinginan. Namun, mendadak saja kepalanya ditegakkan. Telinganya yang tajam, mendengar suara rerumputan terinjak. Sebentar dia terdiam, lalu kepalanya cepat berpaling ke kanan. Saat itu, terlihat seorang pemuda melangkah menghampiri. Pemuda itu juga tampak terkejut melihat di dalam hutan ini ada seorang anak kecil, duduk kedinginan di dekat api. Dari sebuah busur dan sekantung anak panah yang dibawanya, bisa dipastikan kalau anak muda itu seorang pemburu.

"Sedang apa kau malam-malam di dalam hutan? Lari dari rumah ya...?" tegur pemuda pemburu itu.

Tapi, Wicana tidak menjawab. Hanya dipandanginya saja sinar mata yang agak sayu. Sedangkan pemburu muda itu semakin dekat saja. Tidak berapa lama kemudian, dia sudah berdiri di depan bocah laki-laki ini.

"Boleh aku duduk di sini...?" pinta pemuda itu.

Wicana hanya diam saja.

Pemburu yang masih berusia sekitar dua puluh lima tahun itu langsung duduk bersila di depan Wicana. Hanya onggokan api unggun kecil saja yang membatasi. Dibukanya tali pengikat kantung kulitnya. Lalu dikeluarkannya seekor kelinci yang gemuk, dengan leher berdarah seperti bekas tertembus panah.

"Kurasa ini cukup untuk mengisi perut kita berdua," kata pemburu itu lagi.

Tapi, Wicana masih tetap diam membungkam. Hanya dipandanginya saja pemburu berusia muda itu menguliti kelinci tangkapannya, dan memanggangnya di atas nyala api. Dia menambahkan ranting-ranting kering, hingga nyala api semakin bertambah besar. Sebentar saja aroma daging kelinci panggang ini sudah menyebar menusuk hidung, membuat perut terasa lapar minta diisi.

"Mau...?"

Pemburu muda itu menawarkan sambil memotong sekerat yang sudah matang. Wicana mengulurkan tangannya perlahan, menerima keratan daging kelinci itu dan langsung memasukkan ke dalam mulut. Tidak ada gerakan sedikit pun pada mulutnya. Sedangkan pemburu muda itu tidak memperhatikannya sama sekali. Dia begitu asyik menikmati panggangan daging kelinci hasil buruannya.

"Lagi...?"

Pemburu itu. menawarkan sekerat daging kelinci. Wicana menerimanya, dan langsung memasukkan ke dalam mulut. Dikunyahnya daging itu sebentar, lalu diam memandangi pemburu muda itu.

"Sejak tadi kau diam saja. Kau takut aku orang jahat? Jangan khawatir, Adik Kecil. Aku hanya pemburu biasa saja, dan bukan orang jahat," kata pemburu muda itu. "Namaku Karma. Dan kau siapa...?"

"Wicana," sahut Wicana, singkat.

"Kenapa kau berada di sini sendirian?" tanya pemburu muda yang memperkenalkan diri dengan nama Karma itu.

"Aku lari."

"Dari mana orangtuamu?"

Wicana menggelengkan kepala saja perlahan.

"Lalu...?"
"Dari guruku."
"Memangnya kenapa?"

Wicana tidak menjawab. Hanya dipandangi saja pemburu muda itu. Kali ini sorot matanya terlihat tajam, seakan hendak menembus langsung ke jantung dari sepasang bola mata anak muda yang duduk di depannya.

"Gurumu jahat?" tanya Karma lagi.
"Tidak"
"Lalu, kenapa lari?"
"Aku..., aku...," Wicana tidak melanjutkan.
"Kau kenapa, Wicana?"
"Ghrrr...!"

Wicana tidak menjawab, tapi malah menggereng seperti binatang buas.

"Heh.,.?!"

Karma jadi tersentak kaget. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat bangun dan melangkah ke belakang dua tindak. Sementara, Wicana tetap duduk diam memandangi dengan sorot mata begitu tajam. Sehingga, membuat Karma jadi bergidik juga melihatnya.

"Ghrrr...!"

Kembali Wicana menggereng perlahan, sambil menyeringai memperlihatkan baris-baris gigi yang runcing dan bertaring. Dan Karma jadi terbeliak lebar. Bahkan pikirannya seketika jadi buntu. Dia hanya berdiri diam terpaku memandangi bocah itu. Dan belum lagi bisa menyadari lebih jauh, Wicana sudah bangkit berdiri. Lalu....

"Ghrauuugkh...!"
"Heh...?!"

Karma hanya bisa terbeliak saja. Sebentar, Wicana sudah melompat sambil memperdengarkan raungan yang begitu dahsyat. Dan tahu-tahu, jari-jari tangannya yang berkuku runcing sudah menghujam begitu dalam ke leher pemburu ini.

"Aaakh...!"

Jeritan panjang dan melengking pun seketika terdengar memecah kesunyian hutan ini. Karma langsung jatuh terguling ke tanah. Semenara, Wicana melepaskan cengkeramannya dan cepat melompat ke belakang. Tampak darah mengalir dari leher Karma yang mulai koyak.

"Ghrrraugkh...!"

Wicana kembali menggerung, seraya melangkah menghampiri Karma yang masih menggelepar meregang nyawa. Kemudian, bocah itu melompat menerkam tubuh pemburu yang malang ini. Bagaikan seekor serigala yang kelaparan, taring-taringnya dihujamkan ke leher yang sudah koyak berlumuran darah ini.

"Srooop!"

Wicana segera menghirup darah pemburu ini dari lehernya. Sementara pemburu berusia muda itu sudah tidak lagi bergerak-gerak. Mati! Sedangkan, Wicana terus menghirup darah korbannya ini sampai puas. Dan setelah tidak ada lagi darah setetes pun yang rersisa, dia kemudian duduk sambil memeluk lutut di samping tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Seakan-akan tidak dipedulikan kalau di sebelahnya terbaring tubuh yang sudah tidak bernyawa.

"Hhh...!"

Sambil menghembuskan napas panjang, Wicana bangkit berdiri. Dipandanginya sebentar pemburu muda yang sudah tidak bernyawa dengan leher terkoyak lebar tanpa setetes darah pun yang tersisa. Wicana kembali menarik napas dalam-dalam, kemudian melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Tapi belum jauh berjalan, langkahnya sudah terhenti lagi.

Kepalanya lalu berpaling ke belakang, memandangi tubuh yang menggeletak tidak bernyawa. Dan sebentar kemudian, bocah laki-laki itu sudah kembali berjalan perlahan-lahan. Wicana terus berjalan. menembus hutan yangtidak begitu lebat, seakan tidak peduli dengan udara yang semakin dingin menusuk tulang. Dia terus jalan perlahan-lahan menuju Desa Marong.

"Aku yakin, Eyang Bendowo ada di Desa Marong. Hhh! Malam ini juga dia harus mati di tanganku," desis Wicana perlahan, bicara pada sendiri.

***
ENAM
Sementara itu di dalam beranda depan rumah Kepala Desa Marong, Rangga, Eyang Bendowo, dan Eyang Rambang duduk beralaskan selembar tikar ditemani Pandan Wangi. Mereka semua mendengarkan cerita Eyang Bendowo mengenai Wicana yang bukan lagi manusia, tapi sudah menjadi siluman yang haus darah. Tidak ada seorang pun dari mereka yang membuka suara, saat Eyang Bendowo bercerita. Mereka semua mendengarkan penuh perhatian.

Dan mereka semua masih tetap diam, walaupun Eyang Bendowo sudah tidak lagi bercerita. Dan kini, keadaan di beranda depan rumah kepala desa itu jadi sunyi. Cukup lama juga mereka terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Kalau memang dia tidak bisa dibunuh, lalu bagaimana cara melenyapkannya...?" nada suara Eyang Rambang seperti mengandung keputusasaan.

"Hanya Eyang Bendowo yang tahu, Ki," sahut Rangga sambil melirik Eyang Bendowo.

"Caranya, Eyang?" tanya Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja.

"Inilah yang menjadi persoalannya sejak dulu. Keluargaku hanya mewariskan batu mustika saja. Dan aku tidak tahu, bagaimana cara menggunakannya. Sedangkan kitab yang menjadi petunjuk, sampai saat ini belum ditemukan. Aku tidak tahu, di mana Wicana menyembunyikannya," jawab Eyang Bendowo pelan.

Jawaban yang pelan namun sangat berarti itu membuat semua yang ada di beranda depan rumah Eyang Rambang ini jadi terdiam. Mereka saling melemparkan pandangan satu sama lain. Eyang Bendowo sendiri tidak tahu cara menggunakan batu mustika pemusnah ilmu setan yang sekarang ini dikuasai Wicana. Apa lagi yang lainnya...? Ini memang yang menjadi persoalannya sekarang, tepat seperti apa yang dikatakan Rangga. Harus ada cara yang paling tepat untuk menghadapi titisan anak setan itu.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Sementara udara di sekitar Desa Marong ini semakin bertambah dingin. Dan angin pun bertiup kencang, membuat api pelita yang tergantung di tengah-tengah beranda depan ini jadi meliuk-liuk seperti ingin padam. Beberapa saat lamanya mereka semua kembali terdiam membisu. Dan tepat di saat itu, tiba-tiba terdengar jeritan panjang yang begitu menyayat.

"Heh! Apa itu...?.'" sentak Eyang Rambang.

Sementara Rangga yang lebih dulu tanggap, langsung melesat cepat bagai kilat. Hingga sebelum ada yang sempat menyadari, bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tidak tedihat lagi. Sementara, mereka semua sudah berlarian keluar dari beranda ini.

"Mana Rangga?" tanya Eyang Bendowo.

Mereka jadi kebingungan, karena Rangga memang sudah tidak ada lagi. Dan saat itu, Eyang Bendowo melesat cepat bagai angin, menuju arah datangnya jeritan yang mengejutkan tadi. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dikuasai Eyang Bendowo, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan mata.

Pandan Wangi yang sudah mau mengejar, cepat dicegah Eyang Rambanag. Sehingga, gadis itu terpaksa mengurungkan keinginannya.

"Tidak perlu semuanya pergi, Pandan. Kau tetap di sini bersamaku. Menjaga segala kemungkinan," kata Eyang Rambang.

Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Namun begitu tubuh mereka hendak berbalik, mendadak saja terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat dari balik sebuah rumah. Maka seketika mereka jadi tersentak kaget. Dan tanpa bicara lagi, Pandan Wangi cepat melesat mengejar bayangan merah yang dilihatnya hanya sekilas itu. Eyang Rambang tidak mau ketinggalan. Dia cepat berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan lubuh ke arah lain.

"Hup! Hiyaaa...!"

Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pandan Wangi. Sehingga hanya segenjot saja, tubuhnya sudah melesat naik ke atas sebuah rumah. Dan tubuhnya langsung melesat terus berlompatan dari satu atap rumah ke atap lainnya. Sekilas matanya masih sempat melihat seorang berbaju merah melesat begitu cepat sambil memanggul sesuatu yang kelihatannya cukup besar dan berat. Pandan Wangi mengempos seluruh kekuatan ilmu meringankan tubuhnya. Dan tubuhnya langsung meluruk deras mengejar orang yang semakin dekat saja jaraknya.

"Hiyaaat..!"

Dari atas atap sebuah rumah, Pandan Wangi menggenjot tubuhnya. Hingga kini dia meluruk deras ke arah orang berbaju merah yang masih terus berlari cepat itu, dan bisa melewati atas kepala buruannya. Dan....

"Berhenti!"
"Eh...?!"

Saat itu juga, Eyang Rambang sampai di tempat ini dari arah belakang Pandan Wangi. Rupanya laki-laki tua itu mengambil jalan pintas yang berlawanan. Eyang Rambang cepat-cepat menghampiri Pandan Wangi. Dan kedua bola matanya jadi terbeliak, begitu melihat orang yang berhadapan dengan si Kipas Maut ini.

"Rasemi.... Apa yang kau lakukan ini...?" desis Eyang Rambang mengenali wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik itu.

"Huh! Ini semua gara-gara kau, Bocah Setan!" dengus perempuan yang ternyata Rasemi sambil menuding Pandan Wangi. "Kau harus mampus! Hiyaaat...!"

Sambil melemparkan buntalan kain yang disandangnya, Rasemi langsung melompat cepat menerjang Pandan Wangi. Satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, dilepaskan cepat ke kepala si Kipas Maut itu.

"Haiiit..!"

Namun hanya mengegoskan kepala saja, pukulan Rasemi dapat dihindari Pandan Wangi dengan mudah. Bahkan si Kipas Maut itu cepat menarik tubuhnya, hingga miring ke kiri. Dan saat itu juga kaki kanannya cepat menghentak memberi satu tendangan keras menggeledek ke arah lambung.

"Ikh...?!"

Rasemi jadi terperanjat, tidak menyangka kalau Pandan Wangi bisa begitu cepat melancarkan serangan balasan. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke atas. Namun tanpa diduga sama sekali, Pandan Wangi cepat menegakkan tubuhnya. Langsung dilepaskannya satu pukulan tangan kanan ke atas kepalanya, tepat di saat tubuh Rasemi berada di atas kepalanya. Begitu cepat gerakan Pandan Wangi, sehingga Rasemi tidak dapat lagi menghindarinya. Dan....

Diegkh!
"Akh...!"

Rasemi jadi terpekik, begitu pukulan Pandan Wangi yang cukup keras, walaupun tidak disertai pengerahan tenaga dalam, menghantam dada. Dan seketika wanita berusia setengah baya berbaju warna merah muda itu jadi terpental ke atas. Lalu keras sekali tubuhnya terbanting menghantam tanah. Saat itu, Pandan Wangi sudah melompat sebelum Rasemi bisa berbuat sesuatu.

"Hih!"
Jlek!
"Hegkh...!"

Rasemi hanya bisa terlenguh saja, begitu telapak kaki kiri Pandan Wangi menjejak lehernya. Sehingga kedua bola mata wanita setengah baya itu jadi mendelik. Dan Pandan Wangi terus menjejak leher wanita ini. Sementara, Eyang Rambang hanya memandangi pertarungan yang sudah jelas sekali bakal dimenangkan Pandan Wangi. Sekali tekan saja, pasti Rasemi tidak akan bisa melihat matahari lagi.