Warok Ponorogo 7 - Kekerasan di Tengah Bulakan(1)


1
GUBUG PENJUAL DAWET


SUARA seruling bambu itu terus mengalun dengan 
nyaringnya yang ditiup oleh seorang bocah bercelana 
pendek hitam dengan telanjang dada. Kepalanya yang 
gundul pacul itu dengan potongan rambut kuncung semua 
rambut di kepalanya dicukur habis disisakan rambutnya 
diujung jidat, tertutup topi capi terbuat dari bahan 
bambu kering untuk melindungi diri dari panas terik 
matahari yang menyengat siang hari ini. Bocah cilik itu 
kelihatan sedang asyik melantunkan tembang yang ikut 
memberikan suasana nyaman bagi para petani yang 
sedang menunai padi di hamparan sawah ladang yang 
nampak telah menguning itu. 


Angin yang berhembus ringan ikut menggoyangkan 
padi-padi yang telah siap dipanen itu, seperti layaknya 
menari riang ikut menyambut kegembiraan para petani 
atas datangnya rezeki musim panen tahun ini. Burung- 
burung gelatik yang berbulu abu-abudan bermoncong 
kemerahan delima itu nampak beterbangan gembira 
kian kemari menyambut datangnya musim panen tahun 
ini yang dianggap lebih barhasil dari tahun-tahun 
sebelumnya. 

Biasanya suasana ini sering diikuti oleh kegiatan para 
perempuan kampung yang ramai menumbuk padi dengan 
lesung-lesung di dukuh-dukuh perkampungan, dekat 
ladang persawahan itu. Mereka bekerja sambil bercanda 
ria, para perawan kampung itu biasa tertawa cekikikan 
membicarakan teman-teman lainnya, membicarakan 
pemuda yang sedang ditaksirnya, atau mengomongkan 
orang lain. Tak urung juga sering keluar celotehan cabul 
untuk saling menghibur. Ceritera-ceritera guyonan sebagai 
bumbu canda ria mereka. Pendek kata, dalam suasana 
demikian ini para perempuan itu tidak habis-habisnya 
untuk berbicara sesama teman kerjanya itu sambil 
bersenda-gurau tertawa lepas cekikikan. Mereka sepertinya 
tidak pemah mengenal berhenti bicara, tidak pernah 
kehabisan bahan ceritera Ada saja yang dibicarakan. 
Seharian mereka bisa berceloteh membicarakan segala 
rupa, tetek bengek kehidupan ini, baik waktu kerja mau- 
pun istirahat makan minum. Mereka nampak guyub, dan 
akrab sesamanya. 


Perjalanan Joko Manggolo, telah beberapa bulan ini 
meninggalkan Dukuh Pupus Aren, kini telah sampai di 
dekat Dukuh Ngudisari, yang terletak ke arah selatan 
dari Dukuh Pupus Aren. Panas yang mulai menyengat 
itu membuat tenggorokan Joko Manggolo menjadikan 
haus dibuatnya. 


Di pinggir jalan di tengah-tengah pematangan persawahan 
itu terlihat ada sebuah gubug bambu yangnampak banyak 
dikerumuni orang. Joko Manggolo mendekati kerumunan 
orang itu yang ternyata sedang ramai membeli dawet 
cendol dengan gempol beras putih yang bercampur gula 
aren nampak telah membantu melepaskan dahaga 
kehausan bagi orang-orang petani atau pedagang keliling 
yang sedang melewati daerah bulakan yang panas di 
siang hari ini. 

Joko Manggolo kemudian ikut bergabung bersama para 
pembeli lainnya yang duduk berderet di atas papan 
dingklik kayu yang disediakan oleh penjual dawet itu. 


Seorang perempuan muda berparas ayu yang nampak 
luwes melayani para pembeli di situ, berkebaya coklat 
tua kehitam-hitaman dan bibirnya diolesi gincu warna 
merah cerah agak beriebihan nampak semringah 
menerima para tamu-tamunya itu yang kebanyakan 
kaum pekerja sawah. Senyumnya terus meluncur untuk 
membagi keramahan kepada para langganan minuman 
dawet jajaannya. Para pembelinya kebanyakan para 
kaum laki-laki yang tubuhnya terlihat kering kerontang, 
susuk iganya menggores keluar menembus kulitnya 
yang hitam kelam yang menandakan para laki-laki itu 
kebanyakan adalah para buruh tani yang biasa bekerja 
keras di persawahan di daerah itu. 

"Mau beli dawetnya, Mbakyu," kata Joko Manggolo 
karena merasa belum dilayani sejak tadi sementara banyak 
pembeli lain yang datang belakangan lebih didahulukan 
daripadanya. Perempuan muda penjual dawet itu 
nampaknya lebih memberi perhatian kepada orang 
yang baru datang lebih belakangan daripada Joko Manggolo. 
Lantaran mereka itu sudah dikenal lama sebelumnya 
sebagai langganan tetap. Sedangkan Joko Manggolo 
sebagai pendatang baru, dianggap sebagai orang asing 
di pedukuhan ini, sehingga rupanya tidak perlu begitu 
diperhatikan. 

"Mau beli dawetnya. Mbakyu," sekali lagi Joko Manggolo 
meminta untuk dilayani, tetapi tetap saja diacuhkan oleh 
perempuan kenes itu. 

"Sabarrrr. Tunggu dulu tho Kangmas. jangan khawatir 
tidak kebagian," jawab perempuan itu mencibirkan bibir 
tipisnya itu sambil matanya mengerling menggoda ke 
arah Joko Manggolo yang terus terdiam saja sejak tadi 
menunggu antrean dilayani dengan sabar. 


"Khok, saya sejak tadi tidak dilayani, Mbakyu," tanya 
Joko Manggolo lagi ketika dilihatnya orang-orang yang 
baru datang pun malahan mendapatkan pelayanan lebih 
didahulukan. 

"Makan saja dulu makanan yang tersedia. Nanti 
belakangan minum dawetnya. Kan bisa menyusul," 
kata perempuan itu lagi sambil senyum-senyum. Entah 
apa arti senyum-senyumnya itu. Sepertinya perempuan 
itu sengaja memperlakukan Joko Manggolo agar ia 
mendongkol kepadanya. Barangkaliia ingin mempermainkan 
laki-laki asing itu sebagai hiburan semata. 


Dalam hati kecil Joko Manggolo mulai merasa kesal juga 
melihat sikap penjual dawet yang nampak pilih kasih ini. 
"Panas-panas begini, ditambah haus dahaga seperti ini, 
maunya minum yang banyak tetapi malahan disuruh 
makan ketela rebus, ubi, pisang godog, dan singkong 
goreng yang semuanya malahan menambah bikin haus 
saja," pikir Joko Manggolo dalam hati, tetapi ia tidak 
berani mengatakannya terus terang dihadapan perempuan 
muda itu. 


"Lho, sampeyan mau pergi ke mana tho, Pak," tanya 
perempuan penjual dawet itu melihat ada salah seorang 
dari pembelinya yang telah menghabiskan dua 
mangkok minuman dawetnya tiba-tiba berdiri berlalu 
mau meninggalkan warung gubug dawet itu tanpa ada 
tanda- tanda mau membayar terlebih dahulu. 


"Aku mau meneruskan perjalanan, Nduk" kata laki-laki 
yang bertubuh hitam legam itu kalem sambil tak acuh 
saja mengangkat sebungkus karung yang diikat dengan 
tali rami siap meninggalkan warung dawet ini. 

"Bayar dulu, Pak. Baru boleh pergi," hardik perempuan 
muda penjual dawet itu dengan ketus. 

"Aku tidak bawa duit, Nduk. Ngutang dulu. Nanti aku 
bayar lain hari saja." 

"Ach, enggak bisa. Kapan kemarinya lagi. Sampeyan kan 
orang jauh, kapan mau bayar lagi kemari," kata perem- 
puan pemilik warung dawet itu sambil berdiri berto- 
lak pinggang, 





"Masak tidak percaya sama aku, Nduk. Namaku Tarno 
Jinggo pedagang burung di pasar Surnoroto wetan sana. 
Aku lagi apes tidak punya uang. Hari ini aku sedang 
bernasib sial, tidak dapat tangkapan burung. Kapan-kapan 
saja kalau aku banyak tangkapan burung aku akan bayar 
utangku. Sabar saja ya, Ndukk." 


"Tidak bisa, Pak. Harus bayar sekarang juga. Tidak boleh 
ngutang." 

"Ehhh, dibilang lagi tidak ada duit kok tetap ngeyel saja 
kamu ini. Sudah cantik-cantik begitu, kalau mukanya 
bersungut-sungut begitu jadi hilang cantiknya yang 
tinggal besengutnya jadi bikin jelek kayak 
hantu...ha...ha...ha...," kata laki-laki berkulit hitam legam 
itu sambil tertawa cekakakan tetap saja jalan ngeloyor 
keluar meninggalkan warung itu merasa tidak bersalah, 
"Sudah lain kali saja aku pasti bayar. Layani pembeli lain 
yang sudah pada ngantre itu kasihan pada kehausan." 


"Masa bodoh. Hayo bayar tidak," tiba-tiba perempuan 
perjual dawet itu meloncat dari dalam gubug dengan 
secepat kilat ia telah berada di luar gubug itu berusaha 
menangkap laki-laki yang sudah beranjak meninggalkan 
gubug bambu itu. Tanpa banyak kata lagi perempuan 
muda itu menerjang ke arah laki-laki itu dan membekuk 
tangannya dipuntir ke belakang. 


Melihat adegan ini, Joko Manggolo hanya tersenyum- 
senyum senang. Melihat kegesitan gerak perempuan 
muda itu, sudah terbaca "perempuan muda ini memiliki 
pegangan ilmu kanuragan yang lumayan," pikir Joko 
Menggolo dalam hati.


Rupanya laki-laki berkulit hitam legam itu tidak mudah 
begitu saja menyerah dipecundangi perempuan muda
yang telah memperlakukan dirinya dengan kasar itu. 
Dengan sigap pula ia mampu melakukan gerakan untuk 
mengendorkan jurus kuncian dengan daya kekuatan 
puan muda itu, dan dengan cepat pula ia berhasil 
melepaskan diri dari bekukan tangan perempuan muda
itu. Laki-laki itu segera berusaha kabur menjauhi 
warung gubug bambu itu, meloncat-loncat dengan 
cekatan. 


"Nduk, Nduk Cah Ayu, jangan coba-coba unjuk gigi di 
hadapanku. Kamu kira aku ini siapa. Mau main-main 
pakai jurus ngambang begini. Apamu yang akan kamu 
pamerkan, Nduk. Perempuan cewes. Belajar dulu sama 
guru kamu yang benar, baru kamu boleh bikin gara-gara 
sama aku," ledek laki-laki itu menyepelekan permainan 
jurus kuncian yang baru saja diperagakan perempuan
muda itu ternyata dengan mudah dapat diatasi oleh 
laki-laki kekar berkulit hitam legam itu. 

"Bajingan. Kamu-ternyata laki-laki yang benar-benar tidak 
tahu diri. Sudah tidak bayar malahan meledek aku," 
nampaknya perempuan muda itu bangkit amarahnya. la 
segera melayangkan tendangan-tendangan lurusnya ke 
depan mengarah kepada posisi dada, leher, muka laki- 
laki kekar berkulit hitam legam itu. Hampir saja muka 
laki-laki itu terkena sambaran tendangan keras perempuan 
muda yang penuh tenaga itu. 

Akan tetapi, ternyata, memang laki-laki itu juga bukan 
orang sembarangan. la rupanya menguasai ilmu kanuragan 
yang tangguh pula. Beberapa kali melakukan gerakan 
hindaran dari serangan yang terus beruntun dari perempuan
muda itu dengan menunjukkan kekayaan variasi 
geraknya yang sering tidak terduga dan sulit diperki- 
rakan bagi'perempuan muda yang nampak masih belum 
banyak pengalaman bertarung itu. 

Orang-orang yang berkerumun di warung dawet itu 
tidak ada yang berani melerainya. Mereka malahan 
hanya menjadi penonton. Seperti layaknya melihat 
keasyikan sesuatu tontonan yang menarik. Kain perem- . 
puan muda itu sudah menyingkap ke atas, demikian 
juga beberapa kali celana dalamnya terlihat jelas, karena 
banyak memainkan jurus tendangan sehingga beberapa 
kali mata para laki-laki di situ terperangah melihat paha 
kuning langsat perempuan muda penjual dawet itu 
seperti terbang melayang-melayang di udara terbuka . 

Mereka nampaknya malahan berharap pertunjukan 
gratis pertarungan adu ilmu kanuragan di siang hari 
bolong ini dapat berlangsung lama, sehingga mereka 
dapat terhibur lebih lara lagi menyaksikan kemolekan 
gerakan-gerakan lekukan tubuh perempuan muda penjual 
dawet itu. Nampaknya perempuan muda itu sudah 
semakin ganas. Ia sudah tidak lagi menghiraukan pandangan
mata para laki-laki yang melotot memandang tajam ke 
arahnya. Amarahnya telah memuncak sehingga 
mengerahkan segala daya dan upaya ingin segera 
menundukan laki-laki kurang ajar yang menganggap 
enteng dirinya itu. 


Pertarungan makin seru, rupanya perbendaharaan jurus- 
jurus perempuan muda itu juga cukup banyak, sehingga 
ia dengan mudah mengembangkan gerakannya yang 
bervariasi yang membingungkan, membuat posisi laki- 
laki pedagang burung itu makin terdesak. Gerakan sam- 
baran yang cekatan dan cepat telah ditunjukkan perempuan 
muda itu bagaikan sambaran burung sriti yang mengejar 
mangsanya. Beberapa kali laki-laki itu terkena tendangan 
menyamping yang dilancarkan perempuan muda itu 
sulit dihindari atau tidak terjangkau oleh gerak tangkisan 
laki-laki itu Nampak laki-laki itu makin terdesak mundur. 
Mukanya yang hitam kelam itu sudah terguyur keringat 
dengan debu-debu yang berhamburan menempel pada 
mukanya yang berkeringat deras itu. 

Tidak disangka-sangka, tiba-tiba laki-laki itu masih 
mampu melakukan gerakan pertahanan dengan mengan- 
dalkan pada kekukuhan kedudukan kuda-kudanya. 
Dengan tenaga yang terkuras, ia rupanya masih 
melakukan gerakan menyamping dan melemparkan 
tendangan sadukan gejohan yang sangat berbahaya bagi 
orang yang terkena jurus yang dilambari dengan 
kekuatan penuh itu. Dan nampaknya perempuan muda 
itu belum berpengalaman menghadapi datangnya jurus 
aneh yang banyak dimiliki oleh kalangan yang sudah 
senior di dunia pergulatan ilmu kanuragan di daerah 
Ponorogo ini. 

Tiba-tiba, Brakkkkk suara luar biasa kerasnya. Dua 
kekuatan beradu keras. Laki-laki berkulit hitam kelam 
itu tidak disangka terpental jatuh berguling-guling 
beberapa langkah ke belakang, dan perempuan itu 
meloncat ke samping menjauh dari datangnya benturan 
kedua kekuatan dahsyat itu, sehingga perempuan itu 
tidak terkena cidera apa pun. Rupanya suara benturan 
itu datangnya dari beradunya dua kekuatan antara kaki 
kanan laki-laki berkulit hitam kelam itu dengan kaki 
kanan Joko Manggolo yang meloncat menahan serangan 
kaki laki-laki itu yang hampir mencelakan perempuan 
molek itu apabila tidak ditahan oleh kekuatan dahsyat 
Joko Manggolo yang begitu cepat bergerak memben- 
turkan kakinya menyongsong serangan laki-laki 
berkulit hitam kelam itu. 


Joko Manggolo pun ikut jatuh terpental beberapa 
langkah ke belakang namun ia segera dapat menguasai 
diri, membangun kembali kedudukan kuda-kudanya, 
melakukan gerak pasang sehingga ia tetap bisa berdiri 
walaupun ia nampak menahan sakit pula. Rasa nyeri di 
kaki kanannya agak mengganggu posisi berdirinya. 

"Hae. Bedebah, orang asing. Mengapa kamu ikut campur 
urusan orang. Dasar anak kemarin sore," teriak laki-laki 
itu menyumpahi Joko Mangggolo, sambil ia nampak 
menyeringai menahan sakit pada pergelangan kaki kanannya.


Perempuan muda penjual dawet itu mendekati Joko 
Manggolo nampak bergerak lincah. Joko Manggolo 
sudah mengira, perempuan muda itu pasti akan mema- 
rahinya, ia pasti tersinggung Joko Manggolo ikut campur 
menolongnya. Harga diri perempuan muda itu akan 
merasa disepelekan oleh pertolongan Joko Manggolo. 
Oleh karena itu, Joko Manggolo sudah bersiap, pasti 
perempuan muda itu akan berhadapan dengannya. 
Dalam keadaan sedang berpikir itu, Joko Manggolo 
kebingungan harus bersikap bagaimana. Melayani 
perkelahian atau menghindar. Namun kemudian yang 
terjadi malahan sebaliknya. 

"Kangmas. Terima kasih Iho, Kangmas atas pertolongannya," 
kata perempuan muda penjual dawet itu sambil nafasnya 
masih terengah-engah nampak tenaganya telah 
terkuras. la rupanya menyadari kalau tingkatan ilmu 
kanuragan yang dimilikinya belum sebanding dengan 
laki-laki berkulit hitam legam itu. Tanpa ada pertolongan 
joko Manggolo itu, apa jadi dirinya. Mungkin sudah 
terenggut nyawanya, sebab laki-laki berkulit hitam legam 
itu rupanya sudah melepaskan jurus pamungkas 
andalannya yang dapat mematikan bagi lawan yang 
tidak mampu mengimbanginya. 

"Kalau tidak ada anak laki-laki kemarin sore ini. Kamu 
sudah mampus, Nduk. Perempuan cewes," kata laki-laki 
itu nampaknya tenaganya pun telah ikut terkuras pula. 
Mau bangkit menantang Joko Manggolo yang kelihatan 
kondisi fisiknya masih segar bugar dengan sikap yang 
teguh berdiri di atas kedua kaki yang kokoh itu, laki-laki 
itu terpaksa berhitung pula. Bisa-bisa ia yang akan menjadi 
korban oleh laki-laki muda yang nampak perkasa itu. 
Akhirnya ia hanya menggerakan kakinya pelan-pelan 
berusaha meninggalkan tempat itu menjauh dari kerumunan
orang-orang yang nampak mulai menyalahkan dia, 
lantaran gara-gara dia tidak mau bayar minuman dawet 
hampir saja membawa korban perempuan muda yang 
menjadi langganan minum dawet bagi para buruh tani 
yang sedang penen di sawah sekitar itu. 


Akhirnya dengan berjalan tertatih-tatih perempuan 
muda itu kembali memasuki warung gubug bambunya 
itu dan duduk kembali dengan tenang di tempat jualan 
dawetnya semula. 


"Maafkan saya lho, Kangmas. Sejak tadi saya belum 
melayani, Kakangmas," kata perempuan muda itu 
walaupun masih kelihatan kesakitan berusaha memberi 
senyuman kepada Joko Manggolo, dan dengan bersusah 
payah sambil menahan nyeri luka di tangannya ia 
mengambilkan cangkir, menuangkan dawet itu dan 
disodorkan khusus kepada Joko Manggolo yang sedari 
tadi terus menunggu layanan itu. la merasa malu dan 
bersalah kepada Joko Manggolo yang semula dianggap 
enteng. Lantaran jasa Joko Manggolo yang baru saja 
menolong perempuan muda itu dari kemungkinan benturan 
dahsyat yang dilakukan laki-laki pedagang burung itu, 
maka sekarang kelihatan sekali Joko Manggolo diistime- 
wakan oleh perempuan muda itu dengan senyum manisnya 
yang terus mengembang ke arah joko Manggolo yang 
pendiam itu.


"Kangmas, asalnya dari mana," tanya perempuan muda 
itu. Dan semua pembeli itu hanya terdiam sambil 
memandangi wajah Joko Manggolo yang dinilai 
memiliki ilmu kanuragan tingpi dari gerakan cepatnya 
tadi menahan serangan laki-laki berkulit hitam kelam 
yang telah mengeluarkan jurus pamungkasnya itu tadi. 


"Saya dari Dukuh Mranti, Mbakyu." 

"Dukuh Mranti. Dekat sini, Iho. Sudah sering kemari ?" 
"Belum pernah. Baru kali ini." 

"Lho kan dekat. Setengah hari perjalanan dengan 
mengendarai kuda dari sini." 

"Saya berjalan kaki." 

"Berjalan kaki ?." 

"Ya." 

"Wah. Pantas jadi jauh. Tetapi kan sudah sering kemari." 
"Baru kali ini." 

"Masak ?." | 

"Saya memang jarang keluar rumah." 

"Ohhh. Rupanya masih perjaka pingitan, yah." 

"Yah. Mungkin begitulah," kata Joko Manggolo sambil 
menelan singkong rebus yang tersaji di meja itu. 

"Siapa nama, Kangmas." 

"Manggolo." 

"Nama yang bagus." kata perempuan itu sambil 
tersenyum manja. 

"Kalau Mbakyu sendiri, siapa namanya." 

"Nama saya, Sriti Mentari." 

"Nama yang indah. Pantas tadi gerakannya lincah seperti 
sambaran burung Sriti saja." 


"Achhh, Kangmas Manggolo. Ada-ada saja. Mau 
menyindir yah. Saya kan baru belajar ilmu kanuragan 
tho, Kangmas. Jadi masih kurang pengalaman. Hitung- 
hitung tadi untuk praktek saja," kata Sriti Mentari sambil 
senyum-senyum di kulum. Mungkin merasa malu 
ilmunya masih rendah dibandingkan dengan ilmu 
kanuragan yang dimiliki oleh Joko Manggolo yang tadi 
telah terbukti mampu menolong dirinya itu. 


Orang-orang yang sedang makan minum di warung 
dawet itu hanya kelihatan tersenyum-senyum mendengarkan 
pembicaraan kedua anak muda yang sedang berbasa- 
basi melakukan penjajagan perkenalan diri itu. 


"Mbakyu Sriti. Apa boleh, Manggolo bantu-bantu kerja 
di sini. Sejak tadi kelihatannya Mbakyu Sriti kerja 
sendiri" 


"Mau bantu apa, Kangmas Manggolo. Semua pekerjaan 
kasar. Biasanya adik laki-laki saya suka bantu di sini, 
tetapi sekarang ia sedang angon ternak di sawah sebelah 
sana. Jadi saya harus kerja sendiri." 

"Kalau demikian, biar aku saja yang bantu cuci-cuci, dan 
memasak di sini." 

"Achh. Nanti saya tidak kuat bayar." 

"Tidak usah dibayar tidak apa-apa, asal dikasih minum 
saja." 

"Terserahlah kalau demikian." 


Sehabis makan minum di gubug bambu warung dawet 
itu, Joko Manggolo bukannya terus langsung pergi 
meneruskan perjalanannya, akan tetapi malahan sampai 
sore hari ia tetap saja di situ sambil bantu-bantu mencuci 
mangkok-mangkok terbuat dari lempung, tanah liat itu. 
Bahkan ia ikut goreng-goreng makanan kecil, dan 
setelah warung itu tutup pada senja hari, Joko Manggolo 
ikut pula mengangkat barang-barang warung dawet itu 
ke rumah orang tua Sriti Mantari di kampungnya, 
Dukuh Purut yang jaraknya tidak jauh dari tempat 
jualan dawet di bulakan itu. 


2
CEMBURU BUTA


ALAMNYA, Joko Manggolo diperkenankan 
bermalam di rumah orang tua Sriti Mentari itu. 
Ternyata, Sriti Mentari hanya hidup bertiga bersama 
ibunya yang sudah menjanda walaupun masih keli- 
hatan berumur muda, bernama Nyai Supi. Satu lagi 
penghuni rumah bambu ini, seorang anak laki-laki bo- 
cah berpotongan rambut kuncung, berkepala gundul 
dengan sisa rambut di jidat yang tadi siang dijumpai 
joko Manggolo bermain seruling di pematang sawah yang 
dilewati ketika panas terik matahari di siang han bolong. 


"Kangmas Manggolo, perkenalkan ini ibu saya, di kampung 
sini dikenal bernama Nyai Supi, dan ini adik saya 
namanya Trimo Kuncung. Sebenarnya bernama Sutrimo, 
tetapi karena potongan rambutnya suka dikuncung, 
maka di sini dipanggil Trimo Kuncung," kata Sriti Mentari 
memperkenalkan keluarganya dengan ramah penuh 
senyum kebahagiaan malam im, diiringi senyum Joko 
Manggolo yang ikut geli mendengarkan uraian 
perkenalan Sriti Mentari yang seloroh polos itu. 


"Ya. Tadi siang saya telah mengenal Dimas Trimo ini di 
sawah bermain meniup seruling, ya," kata Joko Manggolo 
sambil menyalami Nyai Supi ibunya Sriti Mentari dan 
juga:bocah laki-laki yang telah dikenalnya itu. 

"Memang dia seharian di sawah. Kerjanya angon, 
mengembala kambing sama lembu," kata Sriti Mentari 
sambil tersenyum lebar kepada Joko Manggolo yang 
nampak penuh perhatian terhadap anak-anak bocah itu. 


"Ohhh, bagus sekali. Waktu saya berumur segede Dimas 
Trimo ini, kegemaranku juga angon kambing di sawah," 
kata Joko Manggolo dengan penuh senyum simpatik. 


"Sriti, tamunya diajak makan dulu sana, itu di meja 
sudah aku siapkan sejak tadi," kata Nyai Supi yang terus 
sejak tadi sibuk berbenah, mencuci, membuat adonan 
masakan, dan apa saja yang rupanya untuk persiapan 
dagangan dawet Sriti Mentari esuk harinya. 

Tidak berapa lama nampak mereka sedang menghadap 
meja makan rame-rame, sebakul nasi, lauk daur-daunan, 
secobek sambal tomat, dan gorengan ikan mujair. Nampak 
merupakan makanan sangat sederhana. Keluarga ini 
dilihat dari tata lahirnya, memang tergolong keluarga 
yang amat sederhana, atau katakanlah tergolong miskin 
di kampung ini. Nafkah hidupnya diperoleh dari peng- 
hasilan berjualan dawet tiap siang yang sering pindah- 
pindah tempat mengikuti kegiatan orang yang lagi 
panen atau tanam padi. "Pantas tadi siang kalau ada 
orang yang tidak mau bayar minum dawetnya, Sriti 
Mentari lekas naik pitam bahkan berani bertaruh nyawa 
bersabung dengan laki-laki yang tidak bisa mengendalikan 
diri itu, lantaran memang penghasilan yang kecil itu 
yang harus diburu untuk menghidupi keluarga ini," 
pikir Joko Manggolo dalam hati. 


"Buk, Kangmas Manggolo ini tadi siang yang telah 
menolong Sriti dari gangguan laki-laki yang ingin mem- 
perdaya Sriti. Lantaran dia tidak mau bayar, Sriti 
mencoba menghajarnya. Eeeeehhh, tahunya laki-laki 
setengah baya itu ilmu kanuragannya tangguh juga. Sriti 
hampir saja binasa di tangannya kalau tidak ada Kang- 
tangan menolongnya," ceritera Sriti Mentari di depan 
ibunya dan adik laki-lakinya ketika bersama Joko Manggolo 
bersantab malam bersama diamben tengah rumah gubuk 
kecil itu. 

"Ya. Hati-hati kamu Sriti. Kamu suka sembrono. Kurang 
waspada, dan tidak pernah lihat-lihat orang, apakah 
orang itu kelihatan punya ilmu kanuragan atau tidak. 


Kalau mau berurusan sama orang lihat-lihat dulu 
orangnya. Berbahaya atau tidak. Jangan asal hantam 
kromo saja, nanti bisa terbalik mencelakakan kamu. 
Kalau menemukan orang yang berangasan, kamu yang 
kena getahnya nanti," nasehat Ibunya yang nampak 
mengkhawatirkan putri tunggalnya yang masih berdarah 
muda itu. 


"Ya, Buk. Sriti akan lebih berhati-hati." 


"Silakan ambil lagi, Kangmas. Maaf apa adanya. Hanya 
ini yang ada," kata Sriti Mentari menyilakan sambil 
matanya mengerling ke arah Joko Manggolo yang hanya 
bisa tersipu-sipu. 

"Achhh, saya yang seharusnya berterima kasih kepada 
keluarga ini, Mbakyu, saya bukannya yang justeru 
membuat repot di sini." 

" Ach, tidak, Kangmas. Kami senang kok atas kesediaan 
Kangmas Manggolo mau mampir ke gubug buruk kami 
ini." 

Joko Manggolo hanya tersenyum tersipu-sipu, 
kepalanya mengangguk-angguk, sambil tangannya 
terus menyantap makanan yang tersaji itu dengan lahap- 
nya, ia memang dalam keadaan yang memang lapar 
berat. 


Setelah mereka ngobrol panjang lebar, hampir tengah 
malam mereka kemudian pergi tidur. Ternyata rumah 
kecil bambu reyot itu, tidak ada kamar tidurnya. Semua 
kegiatan jadi satu dalam satu ruangan di rumah itu. 
Makan, minum, menerima.tamu, dan tempat tidur jadi 
satu di situ. Hanya sumur, kakus dan blandongan tempat 
mandi yang diluar, berada di tengah kebun sebagai 
pelindung. 

Joko Manggolo tidur berdekatan dengan Trimo Kuncung, 
di sebelah sananya Sriti Mentari, dan paling pinggir 
ibunya. Mereka semua jadi satu di atas tempat tidur 
amben besar itu. 


Tengah malam, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. 
Joko Manggolo yang baru tersirap tertidur, segera 
bangkit dari tempat tidurnya. Demikian juga Sriti Mentari dan 
ibunya, kaget, segera bangkit berdiri seperti dibangunkan
ketika suara riuh itu makin mendekati rumahnya. Hanya 
Trimo, si bocah itu nampak tertidur pulas tidak 
terganggu oleh suara yang makin keras mendekat itu. 
Suara itu seperti menyerupai banyak orang beramai- 
ramai mendatangi rumah bambu reyot itu. 


"Ada apa ya, Mbakyu Sriti," tanya Joko Manggolo. Sriti 
Mentari yang ditanya pun hanya menggelengkan 
kepala, tanda ia sendiri tidak tahu-menahu. Nyai Supi, 
Ibunya Sriti yang segera mengambil prakarsa mengintip 
dari lubang dinding rumah gubug gedeg itu. 

"Seperti banyak laki-laki membawa obor, berdatangan 
ke rumah kita, Sri," kata Nyai Supi nampak cemas. 


"Hayooo, buka pintu. Cepatttt," teriak suara laki-laki di 
tuar diikuti oleh yang lainnya lagi berteriak-teriak. Nampak 
mereka mengepung rumah gubug bambu kecil ini dari 
segala penjuru. Darı arah depan, belakang. Dari samping 
kiri, dan kanan, dan terbanyak dari arah depan rumah. 


Sriti Mentari, segera berganti pakaian laganya, celana 
hitam dan baju hitam petadon, tiba-tiba dengan cekatan 
meloncat dan sambil menyambar senjata tajam andalannya, 
sebilah motek, langsung ia menuju ke depan pintu, lalu 
membuka daun pintu itu, ia berdiri tegak di tengah-tengah 
pintu masuk itu. 

"Ada apa, bapak-bapak. Malam begini membuat kegaduhan di 
rumahku," kata Sriti Mentari nampak dengan sikap tegarnya. 


"Kami semua yang datang ini akan menangkap laki-laki 
vang sembunyi di dalam rumah ini," teriak seorang 
pemuda di tengah kerumunan orang-orang itu. 


"Laki-laki itu, tamu keluarga kami. Apa salahnya dia, 
sampai bapak-bapak ingin menangkapnya," kata Sriti 
Mentari mantab sambil berdiri tegak di tengah pintu 
yang daun pintunya telah terbuka lebar itu. 


"Bukankah kamu menyembunyikan laki-laki yang 
bukan suami kamu di dalam rumah. Itu perbuatan 
terkutuk. Cabul. Tahu tidak kamu. Itu melanggar adat 
kesopanan Dukuh kita ini," kata seorang laki-laki muda 
yang bertunuh kekar itu maju mendekati Sriti Mentari 
yang berdiri tegar di depan daun pintu rumahnya itu. 


"Sekali lagi aku katakan. Dia itu tamuku. Aku harus 
menghormatinya. Hari sudah malam, wajar kami 
menawari untuk bermalam di rumah kami. Apa 
salahnya. Lagipula, apa mungkin kami akan berbuat 
cabul di rumahku yang kecil ini. Tinggal bersama ibuku 
dan adik laki-lakiku dalam satu kamar begini ini," jawab 
Sriti Mentari tegas. 

"Dia itu laki-laki. Dan kamu perempuan. Apa pantas 
tidur serumah," bentak seorang laki-laki muda itu dengan 
mata terbelalak. 


"Sudah aku katakan. Dengar tidak kataku tadi, Kami ini 
tidur serumah berempat, ada adikku laki-laki dan ibuku. 
Aku tidak tidur sekamar dengan tarnuku itu. Jangan 
kalian menuduh yang bukan-bukan. Rumahku tidak 
ada kamar tidurnya. Lihat sendiri ke dalam. Tuduhan 
kamu tidak masuk akal." 


"Sriti. Ingat kamu. Ibumu itu janda, sudah lama ditinggal 
mati bapakmu. la masih muda dan masih doyan laki- 
laki. Apalagi kamu masih perawan kencur. Masuk akal 
kalian mendatangkan laki-laki untuk tidur bersama. 
Bukankan begitu teman-teman..." belum habis kata-kata 
Darso Gemblung, nama laki-laki muda yang rupanya 
sebagai penggerak warga Dukuh Purut ini yang malam- 
malam ini mau bikin onar di halaman rumah Sriti Mentari 
itu, tiba-tiba Sriti Mentari membentak dengan lantang 
untuk menghentikan ucapan-ucapan laki-laki itu. 


"Berhenti bicara kamu, Darso. Rupanya kamu biang 
keladinya semua ini," bentak Sriti Mentari kepada laki- 
laki muda tegap yang belum habis bicara itu. 

"Aku belum selesai bicara, Sriti." 


"Darso, aku tahu semua isi otak jahatmu itu. Sebulan 
yang laiu kamu merengek-rengek dihadapanku. Minta 
belas kasihan. Mengemis cinta. Minta aku menjadi 
isterimu. Kekasihmu. Atau segala rupa ucapan rayuan 
gombaimu itu. Aku tidak sudi. Aku tampik, lamaranmu 
itu. Aku tolak ajakan jahatmu bermain cinta. Lalu kamu 
mengancam aku macam-macam. Mau membikin celaka 
segala rupa. Ohhhh, kini aku tahu. Kamu yang mempe-
ngaruhi bapak-bapak ini semua untuk membalas dendammu 
itu, ya." 

Darso Gemblung mukanya nampak menjadi pusat 
dikeremangan sinar obor yang dibawa orang-orang itu. 
Dan semua yang hadir kemudian saling berpandangan. 
Mereka seperti disadarkan, apa sebenarnya tujuan 
mereka semua malam-malam begini menggedor rumah 
janda muda ini untuk menuduh keluarga janda ini berbuat 
tidak senonoh. Padahal mereka kebanyakan hanya ikut- 
ikutan, karena terbawa arus saja oleh datangnya rom- 
bongan yang dibawa Darso Gemblung sebelumnya. 


"Hayooo, sekarang kamu ngomong Darso. Apa benar 
yang menghasut bapak-bapak ini agar mau datang kemari 
lantaran mau mengikuti akal bulus kamu yang licik. 
Membalas dendam sama aku. Hayoo, bersikaplah jantan 
sebagai laki-laki. Kamu, Darso tengik. Apa tujuan kamu 
datang kemari. Mau mengusik aku, bukan. Karena sakit 
hati sama aku," teriak Sriti Mentari kembali lantang. 

"Diam kamu Sriti. Jangan banyak membual," tiba-tiba 
keluar bentakan Darso Gemblung itu nampak emosional 
"Mla...ma...maaf, bapak-bapak. Jangan dengarkan omongan 
si Sriti gila ini. la itu berbohong. Mari kita tangkap laki- 
laki di dalam rumah itu sebagai bahan bukti perbuatan 
cabul mereka. Itu yang menjadi tujuan kita datang kemari, 
bapak-bapak" kata Darso Gemblung tergagap, sambil ia 
melangkah ke depan dengan tujuan memasuki rumah 
itu untuk menangkap Joko Manggolo di dalam ramah. 
Maksudnya ia berusaha mempengaruhi agar bapak-bapak 
yang lain mau menggrebek rumah ini, mau mengikuti 
jejaknya. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang mau 
mengikuti langkah Darso. Bahkan mereka surut 
beberapa langkah mundur ke belakang, sepertinya 
mereka ingin menghindar dari pandangan Sriti Mentari. 
Mereka takut dikenali, diketahui oleh Sriti Mentari kalau 
mereka ikut-ikutan jejak Darso Gemblung, mereka akan 
ikut malu nantinya kepada Sriti Mentari yang juga 
dikenal sebagai pendekar muda perempuan satu- 
satunya di Dukuh Purut ini. 


Tanpa diperkirakan sebelumnya oleh Darso Gemblung 
yang benar-benar nekat ingin mernasuki rumah itu untuk 
menangkap laki-laki di dalam rumah itu, namun 
sebelum niatnya itu kesampaian, tiba-tiba Sriti Mentari 
dengan cekatan telah bergerak lincah seperti melayang 
di udara beberapa kaki di atas tanah. Kakinya bergerak 
cepat menjatuhkan diri menerjang ke arah dada Darso 
Gemblung yang kurang siap menghadapi serangan Sriti 
Mentari yang tidak diduga sebelumnya itu. 

"Blukkk, brakkkk. Suara benturan tendangan kaki kanan 
Sriti Mentari menghujan kembali mengenai pelipis 
Darso Gemblung yang hampir jatuh sempoyongan ter- 
hempas ke belakang. Untung saja, Darso Gemblung 
ternyata juga memiliki kemampuan ilmu kanuragan 
yang lumayan, sehingga ia bisa segera menjaga keseim- 
bangan tubuhnya, tidak jadi jatuh tersungkur. 


Rupanya Darso Gemblung juga termasuk orang nekad. 
la tidak ingin dipermalukan oleh perempuan bau kencur 
ini di depan orang-orang kampung itu, maka ia 
kemudian melancarkan serangan balik menguber 
posisi gerak Sriti Mentari yang terus melingkar-lingkar 
menghindari serangan balik Darso Gemblung yang 
nampak frengginas sangat berbahaya itu. 


Seketika itu, halaman rumah yang masih becek habis 
terguyur hujan gerimis tadi sore itu menjadi arena 
sabung antara Darso Gemblung dan Sriti Mentari. 
Orang-orang kampung Dukuh Purut itu pun menjadi 
kebingungan, mau berbuat apa. Mau membela Darso 
Gemblung karena tadi mereka datang bersama-sama 
dia. Atau, apakah harus membantu Sriti Mentari, siapa 
tahu, ucapan Sriti Mentari tadi benar. Ada udang di balik 
batu, atas niat busuk Darso Gemblung mendatangkan 
orang-orang kampung untuk bikin gara-gara sebagai 
balas dendamnya terhadap Sriti Mentari. Mereka sama 
berbisik- bisik, harus berbuat apa. Sementara itu, pertarungan 
Sriti Mentari dengan Darso Gemblung itu makin seru. 
Sriti Mentari telah mengerahkan jurus-jurus andalannya 
untuk mematahkan serangan Darso Gemblung yang 
terus menyerang bertubi-tubi tidak mengenal ampun 
itu. Demikian juga Darso Gemblung nampaknya juga 
makin tidak sabar untuk segera menghabisi Sriti Mentari 
yang dianggap perempuan sombong itu, sehingga ia harus 
mengerahkan segala daya upayanya habis-habisan. 

Tidak berapa lama, Sriti Mentari nampak sudah mencabut 
senjata tajamnya motek yang terlihat pantulan cahayanya 
kesana kemari. Demikian juga rupanya Darso Gemblung 
juga telah mengeluarkan senjata sejenis yang digunakan 
Sriti Mentari. Kalau sudah demikian, ini benar-benar 
merupakan pertarungan ganas yang penuh pertaruhan 
jiwa dan raga. Bersabung nyawa. Keduanya sudah 
kalap, masing-masing berusaha keras untuk meng- 
habisi nyawa lawannya. 

Ditengah pertarungan sengit itu, diam-diam Joko Manggolo 
menyelinap keluar rumah dan berbaur dengan orang- 
orang kampung lainnya yang berdiri tegang mengelilingi 
arena pertarungan itu. Tangan kanan dan kiri Joko 
Manggolo dengan cepat bereaksi. Beberapa kali melem- 
par kerikil-kerikil tajam diarahkan ke bagian-bagian 
tubuh Darso Gemblung untuk mengganggu konsentrasinya. 
Sekali-kali kena keningnya, lengannya, pelipisnya, atau 
diarahkan ke kemaluannya sebagai pusat kelemahan 
laki-laki. 


Beberapa kali Darso Gemblung mengerang kesakitan 
terkena kerikil tajam yang dilempar Joko Manggolo dengan 
dilambari aji-ajian yang mengandung kekuatan tidak sewa- 
jarnya. Erangan keras ketika Darso Gemblung terkena 
pukulan kerikil-kerikil tajam itu dikira oleh orang-orang 
yang menyaksikan pertarungan itu dianggap lantaran 
terkena serangan Sriti Mentari yang dahsyat itu. 


"Aduhhhh, sakit aku," teriak Darso Gemblung beberapa 
kali. Melihat gerakan Darso Gemblung yang sering 
goyah tidak jitu lagi, Sriti Mentari makin bersemangat. 


la mengira Darso Gemblung mulai kewalahan meng- 
hadapi jurus-jurus yang terus dihujankan.ke arah Darso ' 
Gemblung itu. Sriti Mentari tidak:tahu kalau mendapatkan 
bantuan dari Joko Manggolo yang terus-menerus meng- 
hajar Darso Gemblung dengan kerikil-kerikil kecil yang 
tajam penuh ajian itu mengenai: ke berbagai titik-titik 
kelemahan tubuh laki-laki yang rawan dari perlindungan. 
Setelah berapa lama kemudian, tidak diduga-duga 
serangan Sriti Mentari yang agak keras tepat mengenai 
sasaran, lantaran bersamaan dengan itu Joko Manggolo 
melepaskan beberapa kerikil tajam ke beberapa arah 
titik kelemahan tubuh Darso Gemblung sekaligus, 
sehingga membuat gerakan Darso Gemblung kelabakan 
menahan sakit dari pukulan kecil kerikil-kerikil tajam di 
berbagai bagian tubuhnya itu. Kesempatan lengah itu 
tidak disia-siakan oleh Sriti Mentari untuk melepaskan 
jurus andalannya brakkkkkk tepat di tengah ulu hati Darso 
Gemblung terkena tendangan gajulan Sriti Mentari yang 
telah diisi oleh tenaga dalam. Sangat keras. Seketika itu, 
Darso Gemblung terjungkal ke belakang, dan jatuh 
terhempas di atas air comberan tempat minum babi 
hutan peliharaan keluarga Sriti Mentari itu. la tidak 
sadarkan diri seketika itu. Kepala belakangnya terbentur 
kayu balok besar di situ. 


Melihat adegan tersebut, penduduk Dukuh Purut ini 
segera mengerubungi tubuh Darso Gemblung yang 
nampak terkulai lemas tak berdaya. Semula tidak ada 
yang mau mengangkat menolongnya. Mereka nampak 
jijik melihat tempat comberan yang kotor dengan 
baunya yang tidak karuan menyengat hidung itu. 
Mereka nampak pada sayang sama pakaiannya yang 
harus berbasah-basah terkena air kotoran itu. Sehingga 
mereka hanya berdiri, memandangi, dan mengitari 
tubuh Darso Gemblung yang nampak-sudah tidak ber- 
gerak itu. 


Tiba-tiba terdengar ada suara laki-laki teriak-teriak dari 
berumur baya. 


"Hai..minggir....minggir....minggirrr semua. Apa 
dikira tontonan. Sudah tahu ada orang sekarat, tidak 
segera ditolong malahan ditonton," teriak laki-laki itu 
menerobos kerumunan orang-orang itu, dan setelah 
sampai dihadapan tubuh Darso Gemblung yang tergeletak 
itu, ia segera mengangkat tubuh itu. Laki-laki baya itu 
nampak masih kokoh, memperlihatkan sewaktu masih 
mudanya terlihat sebagai jagoan berkelahi yang tangguh 
di kampung ini. 

Laki-laki itu serta merta membawa tubuh Darso Gem- 
blung langsung diangkut masuk ke dalarn rumah Sriti 
Mentari dan ditaruh di atas tempat tidur besar itu. Rupanya 
laki-laki itu tidak tahu-menahu persoalan sebelumnya. 
Ia ternyata seorang Jogoboyo, kepala keamanan kampung 
Dukuh Purut. Ia tadi lagi enak-enaknya bermalam di 
rumah isteri mudanya, tiba-tiba dicari warganya yang 
melapor ada keributan di kampungnya, maka ia segera 
berangkat bersama orang yang memberi laporan itu 
menuju ke arena itu tadi. Memang ia sangat terlambat 
datang, sebab orang-orang kampung yang akan melapor 
kejadian itu perlu mencari dia ke beberapa rumah isteri- 
isterinya yang lain, sehingga harus mutar-mutar tidak 
ketemu- ketemu. Tahu-tahunya ia sedang menggilir isteri 
mudanya yang tinggal agak jauh di luar kampung yang 
daerah penguasaan keamanannya juga menjadi tang- 
gung jawabnya. 


Nama Jogoboyo itu, Sastro Glembuk. Perawakannya 
tinggi besar berangasan. Koron mempunyai kesaktian 
yang agak lumayan, tetapi masyarakat tidak ada yang 
menyebutnya sebagai Warok, karena ia mempunyai 
kegemaran memelihara isteri banyak yang oleh 
masyarakat Ponorogo dianggap tabu dan tidak ada 
orang yang mau menghormati terhadap tabiat orang 
yang suka mengumpulkan perempuan banyak itu. 
Hanya lantaran ia berperangai berangasan dan mau 
melindungi penduduk dari ancaman keamanan, maka 
ia pun dipercayakan sebagai Jogoboyo kampung setempat. 


"Hayooo, ngaku saja siapa yang berani-beraninya berbuat 
mencelakan orang ini," teriak Sastro Glembuk ketika ia 
telah merawat tubuh Darso Glembuk dengan ramuan 
ala kadarnya agar sekedar membuat dirinya siuman 
kembali. 


Suasana menjadi hening. Semua orang saling berpan- 
dangan. Tidak ada yang berani menunjuk kearah Sriti 
Mentari yang duduk dengan tenang-tenang di kursi, 
sambil sekali-sekali menghirup jamu ramuan yang 
disiapkan oleh ibu dan adik laki-lakinya itu untuk 
memulihkan kekuatan tubuhnya yang terkuras oleh 
pertarungan yang seru iri. 


"Sekali lagi, saya minta kalian bersikap jantan. Laki-laki 
mana yang berani membuat celaka wargaku ini. 
Hayooo, ngaku saja," rupanya Sastro Glembuk kurang 
menguasai masalah sebelumnya, ia tadi hanya dilapori 
kalau ada keributan di kampungnya dan datangnya 
seorang laki-laki asing. 


"Aku," terdengar suara Sriti Mentari yang tinggi merdu 
itu memecahkan suasana. Semua orang menoleh ke arah 
Sriti Mentari termasuk pandangan Sastro Glembuk yang 
seakan-akan ia tidak percaya terhadap penglihatannya 
sendiri itu. Seorang gadis mungil mengaku telah meng- 
hajar laki-laki gagah perkasa berilmu kanuragan 
lumayan tinggi seperti Darso Gemblung ini. 

"Sriti, kamu jangan main-main. Ini Pakde, sedang mau 
mengurus perkara penting. Kamu jangan main-main," 
Kata Sastro Glembuk dengan mata lebar memelototi Sriti 
Mentari. 


"Benar, Pakde. Sriti yang membuat Kakang Darso mampus 
begini." 

"Hah, yang benar saja kamu, Sriti." 

"Benar, Pakde. Tanyakan sendiri kepada bapak-bapak ini." 
"Apa benar ucapan si Sriti ini. Teman-teman." 


"Benarrrrrr," jawab orang-orang yang sedang berkumpul 
itu hampir berbarengan. Sastro Glembuk itu, lalu 
mengangguk-anggukkan kepalanya, nampak ia 
terheran-heran, dan seperti timbul penyesalan, entah 
karena apa. 


"Ada persoalan apa, Sriti. Kalian sampai terlibat perkelahian 
malam-malam begini." 


Suasana menjadi. sunyi senyap. Semua terdiam. 
Termasuk Sriti Mentari yang hanya menundukkan 
mukanya. 


"Ak...ak...aku yang salah, Guru. Aku minta maaf 
kepadamu, Sriti. Maafkan aku. Sri.Sriti tidak salah, 
Guru," tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang kelihatan 
masih lemah itu. Ternyata datangnya suara itu dari 
Darso Gemblung, ketika ia telah sadar dari pingsannya 
dan mendengarkan semuanya percakapan mereka. 


"Lho, apa benar, kamu Darso. Kamu yang salah," kata 
Sastro Glembuk sambil jongkok di dekat Darso Gem- 
blung berbaring sepertinya ingin minta keterangan lebih 
lanjut. 

"Beb...benar, Guru. Ma...maaf...maafkan Darso, Guru. 
Saya kilap, Guru. Saya sakit hati pada Sriti. Saya yang 
salah. Saya yang membuat gara-gara ini semuanya. 
Maafkan aku bapak-bapak semua." 


Sastro Glembuk hanya tercenung mendengar pengakuan 
muridnya itu. Darso Gemblung selama ini memang berguru 
ilmu kanuragan kepada Sastro Glembuk dengan 
imbalan, ie sering memberikan macam-macam barang 
oleh-oleh kalau ia baru bepergian ke kota kadipaten. 
Atau sering memberikan sejumlah uang yang cukup 
besar, Darso Gemblung yang mempunyai usaha macam- 
macam, sehungga ia adalah menjadi orang terkayanya di 
Dukuh Purut ini. [a resminya masih perjaka, tetapi sering 
tersiar kabar ja banyak memiliki perempuan simpanan. 
Alasan tabiat Darso Gemblung yang tidak benar itu vang 
membuat Sriti Mentari jijik melihat tampang Darso 
Gemblung yang sebenarnya termasuk pemuda tampan 
di kampung Dukuh Purut ini. Tapi, lantaran Darso 
Gemblung merasa menjadi orang kuatnya di dukuh ini, 
banyak harta, sehingga ia menjadikan dirinya seperti 
anak raja yang kemauannya inginnya selalu dituruti. 
Melihat sikap penolakan Sriti Mentari yang berani 
menentang itu membuat hati Darso Gemblung panas. 
Apalagi ketika tadi sore ia melihat Sriti Mantari berjalan 
mesra bersama laki-laki asing, Joko Manggolo, maka hati 
Darso Gemblung makin panas, kemudian ia menghasut 
warga kampung untuk menggropyok ramah Sriti Mentari. 
Tapi naas, selama ini tidak ada yang tahu kalau diam- 
diam Sriti Mentari juga diajari ilmu kanuragan oleh Sastro 
Glembuk itu. Sriti Mentari, adalah amanah dari 
almarhum ayahnya yang ketika masih hidup berkawan 
akrab dengan Sastro Glembuk, sama-sama menjadi 
jagoan kampung satu perguruan, sehingga keluarga 
orang tua Sriti Mentari menganggap Sastro Glembuk ini 
sudah seperti keluarga sendiri. Anak-anaknya memanggil 
Pakde terhadap Sastro Glembuk. Maka, Sastro Glem- 
buklah yang sekarang jadi terbengong-bengong, antara 
memberatkan muridnya yang selama ini menjadi sumber 
rejekinya atau terhadap keluarga bekas sahabat akrabnya 
dahulu. Tiba-tiba air mata Sastro Glembuk yang biasa 
berangasan itu menetes. 

"Nduk, Sriti. Bermaaf-maaflah kalian. Berilah maaf 
terhadap saudaramu, Darso ini. Ia telah mengaku salah, 
Sriti" kata Sastro Glembuk berusaha membujuk Sriti 
Mentari. 


Agaknya hati Sriti Mentari belum luluh benar. la masih 
diam saja. Tidak mau menoleh. Tiba-tiba, dari arah belakang 
terdengar suara bisikan lirih, rupanya suara Joko Manggolo. 
"Mbakyu, Sriti. Ucapkan tanda maaf terhadap bekas 
lawanmu yang telah mengaku salah, dan telah kalah 
bertanding itu." 

Bagaikan terkena pengaruh sirep, seketika itu juga, tiba- 
tiba Sriti langsung berdiri dan mendekati tempat Darso 
tergeletak di tempat tidurnya itu. 


"Maafkan aku juga Kangmas Darso," kata Sriti Mentari 
sendu. 


"Iya...aku yang salah, Sriti. Maafkan, aku" kata Darso 
Gemblung lirih nampak air matanya mengucur keluar. 
Sriti Mentari segera mengambilkan air minum dan mem- 
bantu meminumkan kepada Darso Gemblung yang 
nampak pucat pasi dan badannya lunglai. Semua orang 
yang menyaksikan adegan tersebut ikut terharu. 
Demikian juga Sastro Glembuk tidak kuat lagi menahan 
air matanya yang terus mengalir. Ia kelihatan terharu. 


Warga Dukuh Purut itu pun segera bubar pulang ke 
rumah masing-masing. Di jalan mereka masih terus 
membicarakan peristiwa langka malam hari ini yang 
bisa dianggap akan mengganggu kerukunan warga 
Dukuh Purut vang selama ini tenang, aman sentosa. 


Sementara itu, Darso Gemblung telah diangkut ke 
rumahnya sendiri tidak jauh dari rumah keluarga Sriti 
Mentari, dengan dibekali ramuan sebagai pengobatan 
yang disiapkan oleh ibunya Sriti Mentari, nampak 
berangsur-angsur keadaan Darso Gemblung itu mulai 
membaik. 


Setelah kepergian warga Dukuh Purut dari halaman 
rumah keluarga Sriti Mentariitu, nampak suasana menjadi 
hening. Sepi. Yang tinggal hanya Nyai Supi Ibunya Sriti, 
Sriti Mentari itu sendiri, adiknya si bocah Trimo Kuncung, 
dan Joko Manggolo. Semua terdiam dengan perasaannya 
sendiri-sendiri duduk di amben tengah itu. 


"Mbakyu Sriti," suara Joko Manggolo memecahkan 
kesenyapan, "Menurut pendapatku, sebaiknya Mbakyu 
memperbaiki kembali hubungan baiknya dengan si 
Darso Gemblung itu. Tiap ada masalah sebaiknya 
dirundingkan dengan Pakde Sastro Glembuk." Joko 
Manggolo perlu memberi nasehat demikian ini kepada 
Sriti Mentari, sebab ia tahu, bagaimana sebenarnya 
tingkat kemampuan. penguasaan ilmu kanuragan Sriti 
Mentari itu. Menurut penilaiannya, sebenarnya ilmu 
kanuragan Darso Gemblung cukup tinggi, masih berada 
di atas tingkatan Sriti Mentari. Jadi kalau nantinya terjadi 
lagi perkelahian antara kedua orang itu tanpa. ada 
bantuan darinya, Joko Manggolo mengkhawatirkan 
nasib Sriti Mentari yang orangnya mudah temperemen, 
mudah. naik darah itu, padahal penguasaan ilmu 
kanuragannya masih tanggung, sehingga akan memba- 
hayakan jiwanya. 


"Ya, Kangmas Manggolo. Saya harus lebih hati-hati lagi 
menghadapi dia itu." 

"Sebaiknya jalan damai itu lebih arif daripada harus 
bermusuhan. Akan sangat merugikan kita." 

"Tapi, kalau dia menghina aku lagi bagaimana Kangmas." 
"Sebaiknya laporkan saja kepada Pakde Sastro. Beliau itu 
kan gurunya." 

"Beliau, juga guruku," kata Sriti Mentari menyela dengan 
muka cemberut. 

"Nah. Kebetulan kalauibegitu. Jadi tentu murid itu harus 
patuh kepada gurunya. Guru yang akan menyelesaikan 
sengketa antar murid-muridnya." 


"Ya, nasehat Kangmas Manggolo akan saya perhatikan." 


Suasana menjadi tenang kembali. Sriti Mentari 
kemudian bangkit dari tempat duduknya, ia melangkah 
menuju ke sudut ruangan itu. Hanya dengan ditutup 
di papan rumah itu dijadikan sebagai tempat untuk 
melindungi tubuhnya yang telanjang bulat, berganti 
pakaian. Sriti Mentari menggantikan pakaian laganya 
yang sudah kotor itu dengan pakaian dasternya yang 
nampak lusuh, warnanya yang bladus, sudah banyak 
sobek di kiri kanan. Agaknya keluarga ini termasuk 
hidup pas-pasan, kalau tidak dikatakan tergolong sebagai 
keluarga miskin. Pakaiannya apa adanya, rumahnya 
sederhana, dan hidup dari hasil berjualan dawet yang 
hasilnya kadang tidak seberapa. 


Pada pagi harinya, Joko Manggolo berpamitan mening- 
galkan rumah Sriti Mentari itu agar tidak menimbulkan 
masalah lebih parah lagi di antara warga atas kehadirannya 
di ramah keluarga Sriti Mentari, maka ia menghindar 
untuk bertemu penduduk. la diberi bekal seperlunya 
oleh Sriti Mentari. Dengan hati yang berat, perasaan 
yang berbaur tidak menentu, Sriti Mentari sebenarnya 
tidak tega melepaskan kepergian Joko Manggolo yang 
begitu cepat. Dalam hati Sriti Mentari, sebenarnya ia 
masih ingin menahan Joko Manggolo agar mau tinggal 
lebih lama lagi perlunya untuk dijadikan guru guna 
menambah ilmu kanuragannya. Joko Manggolo yang 
telah diketahui kehandalannya ketika ia menolongnya 
kemarin siang. Namum, apa daya, setelah dibicarakan 
semalam dengan penuh pertimbangan, akhirnya 
Sriti Mentari harus merelakan kepergian loko 
Manggolo. 


"Kangmas Manggolo, suatu saat kelak...kem...kem- 
balilah lagi kemari. Kam..kami semua sekeluarga tentu 
sangat merindukan kehadiranmu kembali di tengah 
keluarga ini, Kangmas," kata Sriti Mentari terbata-bata 
bercampur haru. 


"Tentu, tentu, Mbakyu Sriti. Aku tentu ingin bertemu 
kembali dengan keluarga yang baik hati ini semua. Aku 
berjanji akan kemari lagi." 

Tidak sadar, Sriti Mentari tiba-tiba tidak kuasa terus 
memeluk tubuh Joko Manggolo erat-erat seperti tidak 
ingin melepaskan,ketika Joko Manggolo sudah bersiap 
mau melangkahkan kakinya beranjak pergi. Setelah itu, 
diiringi tetesan air mata Sriti Mentari dengan langkah 
mantab, Joko Manggolo berjalan tegap menuju ke arah 
selatan meninggalkan rumah gubug reyot milik 
keluarga Sriti Mentari yang makin lama tertinggal jauh 
di belakangnya itu. 


3
KEWA GETANNYAI 


SIANG hari, terik panas matahari yang menyengat itu 
telah membuat Joko Manggolo berkeinginan berteduh 
di bawah pohon mahoni di antara dedaunan itu. Ia nampak 
sedang asyik-asyiknya memperhatikan keindahan 
panorama alam yang menawan itu sambil duduk-duduk 
menikmati semilirnya angin yang berhembus lembut. 
Bungkusan bahan makanan yang dibawanya dari pem- 
berian Sriti Mentari beberapa hari yang Jalu dibukanya 
siap dimasak untuk makan siangnya. Ia terpaksa harus 
menghemat bahan makan itu. Setelah mencari kayu 
bakar dan menyalakan, kemudian memánggangnya, 
maka siaplah makanan sederhana itu untuk disantap. 


Selagi enak-enaknya menikmati makan siang itu, tiba- 
tiba terasa terdengar seperti orang-orang yang sedang 
berbisik-bisik dengan ketawa-ketawa cekikikan yang 
ditahan-tahan dikejauhan, suara itu sepertinya datang 
dari di antara semak-semak pepohonan yang rimbun itu. 


Kayaknya seperti suara laki-laki yang sedang riang gembira. 
Diperhitungkan lebih dari dua orang. Suara dedaunan 
yang terinjak-injak seperti ada gerakan perlawanan di 
antara beberapa orang itu, terdengar lamat-lamat dari 
suara daun-daun kering itu. 


Timbul keingintahuan pada diri Joko Manggolo, "Ada 
apa gerangan. Apa yang terjadi di antara rerimbunan 
semak-semak itu." 


Dengan mengendap-endap sangat hati-hati, Joko Manggolo 
mendekati arah datangnya suara yang mencurigakan itu.


Tidak berapa lama, Joko Manggolo sudah dekat dengan 
sumber datangnya suara tadi yang makin jelas. la terus 
mendekat, suara orang-orang itu makin keras. Joko 
Manggolo menyelusuf di antara semak-semak itu untuk 
mengintip rerumunan orang yang lamat-lamat terlihat 
makin jelas, ternyata ada sekitar lima orang laki-laki 
yang sudah berumur setengah baya nampak sedang 
bercanda di antara mereka. 


Tetapi aneh, para laki-laki itu semuanya membuka 
celana bawahnya dan seperti ada yang sedang dipergu- 
latkan. Nampak seperti ada satu orang lagi di bawah 
para laki-laki itu, sepertinya ada yang tergeletak mem- 
berikan perlawanan keras terhadap rerumunan laki- laki 
itu. Makin dekat mulai agak jelas, memang ada 
seseorang lagi yang juga tidak memakai celana bawah, 
ja terlihat tidur terlentang ditiduri oleh salah seorang 
laki-laki yang terus menggerak-gerakkan pantatnya di 
atas salah seorang yang tidur terlentang itu. 


Mulai timbul pikiran macam-macam dalam diri Joko 
Manggolo yang mengira-ngira "Jangan-jangan sedang 
terjadi pemerkosaan perempuan oleh lima orang laki- 
laki itu di tempat sunyi ini. Tetapi mengapa tidak ada 
suara dari pihak perempuannya. Apa mungkin 
semuanya terdiri dari laki-laki. Atau mungkin malahan 
isteri-isteri mereka sendiri. Tetapi kalau isterinya mengapa 
kelihatannya memberikan perlawanan berontak sejadi- 
jadinya begitu." 


Setelah makin dekat lagi mulai terdengar suara 
"Bah...uhh...bah...uhh." yang rada-radanya menandakan 
seperti suara perempuan yang tidak jelas. 


Setelah begitu dekat antara jarak Joko Manggolo dengan 
gerombolan laki-laki itu, ia baru bisa memastikan 
memang disitu ada perempuan yang terlentang 
dikeroyok kelima laki-laki itu sedang memberikan per- 
lawanan hebat. Berontak keras. Maka tanpa pikir panjang, 
Joko Manggolo meloncat menyambar laki-laki yang 
paling berjarak dekat dengan mengayunkan serangan 
tendangannya. "Blukkk", laki-laki yang nampak sedang 
bernafsu terhadap perempuan itu kaget dibuatnya. Ia 
tidak mengira ada orang yang tiba-tiba menyerangnya, 
sehingga ia jatuh terguling-guling di antara semak-semak. 
Empat orang temannya yang mengetahui ada orang lain 
yang memergoki perbuatan mereka itu bukannya mem- 
berikan perlawanan menolong temannya tetapi malahan 
berusaha lari kabur. Untung segera dengan cekatan Joko 
Manggolo sempat menangkap salah satu dari laki-laki 
itu dan langsung membantingnya hingga terkapar di 
tanah. 

"Ampun, Kangmas. Maafkan aku. Aku tidak berbuat 
apa-apa," pinta laki-laki yang terkapar itu menyembah- 
nyembah Joko Manggolo nampak ketakutan dalam 
keadaan masih tidak berbusana. Joko Manggolo segera 
meringkus laki-laki yang tertangkap itu mengikat dengan 
tali yang diambilkan dari serat-serat akar pohon yang 
lemas dan kuat di sekitar tempat itu. 

"Kamu telah memperkosa perempuan itu ya." 


"Tidak, Kangmas. Sungguh tidak. Saya minta ampun," kata 
laki-laki itu gemetaran. la memanggil Joko Manggolo dengan 
Kangmas padahal usia laki-laki itu nampak jauh lebih 
tua daripada Joko Manggolo yang masih pemuda remaja . 

"Lihat itu, mengapa kamu telanjang begitu di depan 
perempuan itu." 

"Saya tadi cuma mau kencing. Teman saya tadi yang 
memperkosa, saya belum." 

"Itu sama saja. Berkata belum berarti sudah ada niat mau 
melaksanakan. Cuma kamu mungkin tadi belum 
kebagian keburu aku mempergoki kalian. Jadi kalau 
aku tidak memergoki, kamu juga pasti turut memperkosanya." 
Laki-laki bulat pendek kekar itu terdiam saja menun- 
dukkan kepalanya. Nampak badannya gemetaran, 
mungkin menahan takut dihadapan Joko Manggolo pemuda 
yang perkasa ini. Tidak terasa, mungkin saking terlalu 
takutnya, badannya gemetaran, laki-laki bulat pendek 
kekar itu ngompol. la terkencing-kencing. 


"Bajingan kamu, sudah berbuat jahat berani kencing 
didepanku, telanjang di depan perempuan lagi," bentak 
Joko Manggolo geram. 


"Mak...maaaf, saya tidak sengaja, Kangmas." 


Joko Manggolo rupanya tidak sabar lagi menghadapi 
laki-laki pengecut itu, tangan kanannya segera 
diayunkan memegang leher laki-laki itu dan menundukkan 
ke bawah. 


"Lihat itu air kencing kamu. Hayo cium, bau apa." 


Muka laki-laki itu diperosokkan ke tanah bekas terkena 
air kencing laki-laki itu, sehingga muka laki-laki itu kotor 
terkena tanah basah bercampur air kencing itu. 
"Rasakan air kencing kamu sendiri," bentak Joko Manggolo 
geram. 

"Mak...maaf, Kangmas. Tolong lepaskan saya," rengek 
laki-laki itu. Joko Manggolo tak mengacuhkan, ia kini 
berusaha menolong perempuan itu bangkit dari 
pembaringannya. Perempuan itu tampak pucat pasi 
mukanya. Sekujur tubuhnya terkena cipratan tanah. 
Perempuan itu pelan-pelan telah dapat bangkit dari 
tanah yang tadi sempat menjadi tempat pergulatan 
perlawanan yang sengit. 


"Mbakyu, silakan kenakan kembali pakaian Mbakyu," 
kata Joko Manggolo mendekati perempuan itu dengan 
menyerahkan pakaiannya yang sudah awut-awutan itu. 
menunduk menyembah Joko Manggolo, mungkin 
sebagai tanda terima kasih. Tetapi tetap diam, tidak 
bersuara. 

BAGIAN 2