Jaka Sembung 10 - Mahligai Cinta Sepasang Pendekar(3)

Rasek menatap musuh yang tidak dicari-cari itu. Semakin dipandang semakin ia teringat kepada kakaknya yang sudah lama tidak pernah bertemu.

“Apakah ia saudaraku itu,” tanya Rasek dalam hatinya dengan ragu. “Kalau saudaraku mengapa ia datang tidak untuk membantuku, tetapi sebaliknya berpihak pada buronanku? Sungguh terlalu orang ini dan aku ingin memberikan sedikit pelajaran kepada tamu yang tidak sopan ini.”

“Kau siapa sebenarnya? Aku tidak kenal padamu! Tetapi datang-datang seperti ingin mencari musuh denganku,” ujar Rasek menahan hati.

“Ooo, baiklah! Aku akan jelaskan kepadamu,” jawab orang itu dengan tersenyum, “Aku ini adalah prajurit Sultan Hasanuddin dari Banten yang berjuang bahu membahu dengan adikku mengusir Belanda dari tanah tumpah darah ini.

“Tetapi sayang adikku kini telah memilih jalan terburuk bagi sejarah hidupnya sekaligus juga bagi keturunan ayah dan ibunya. Ia menjual harga dirinya demi kepentingan orang kulit putih yang membunuh dan menjajah bangsanya. Bukankah itu sangat memalukan, Kawan?”

Rasek terkesima sejenak. Kenangannya melayang jauh di masa ia menjadi prajurit setia Sultan Hasanuddin.

“Kalau begitu orang yang berdiri di hadapanku dengan pongah ini adalah saudaraku.”

“Jadi, apa maksudmu?” tanya Rasek tetap berpura-pura tidak kenal bahwa yang berdiri di depannya itu adalah kakaknya sendiri.

“Aku hendak mengajak kau kembali ke jalan yang benar!” ujar pendekar berbaju hitam itu dengan tegas, “Tinggalkan segera loji orang kulit putih yang bukan tempatmu,” tambah orang itu tegas.

“Kalau aku tak mau?” Rasek bersikeras.

“Agaknya kau benar-benar telah berubah, lebih mementingkan dirimu sendiri daripada kepentingan tanah air dan bangsamu,” ujar pendekar itu dalam mata yang mulai berapi-api.

“Jadi, kalau aku tak mau mendengar khotbahmu itu, kau mau apa?” tantang Rasek yang juga mulai kesal.

“Aku ingin menagih sumpah pengawal Hasanuddin, yang pernah kau ucapkan di depan kitab suci setahun yang lalu. Kalau sumpah itu tak kau penuhi aku akan membunuhmu,” ancam pendekar tersebut sambil menyerang dengan cepat.

“Caaat!”

Rasek melejit dengan cepat sambil melakukan gerakan salto di atas untuk kemudian dapat menyerang lawannya dari belakang. Sementara ia melejit itu ia sempat melepaskan kata, “Aku jemu menjadi pengikut Sultan Hasanuddin yang fanatik itu!”

“Karena kau silau dengan gemercing uang Belanda!” jawab pendekar yang tangguh itu sambil berkelit memutar badannya dengan cepat sehingga sasaran tendangan Rasek sama sekali tidak mengena.

Akhirnya terjadilah suatu pertempuran seru antara abang adik kembar tapi berbeda prinsip itu, yang semula sama-sama menjadi pengawal Sultan Hasanuddin dari Banten. Alam sekitarnya menjadi porak poranda akibat terkena angin pukulan tenaga dalam dari kedua pendekar yang sama-sama tangguh itu.

Jaka Sembung dan Bajing Ireng menyaksikan pertempuran ini dari jauh di semak-semak belukar.

Ketika pertempuran itu berlangsung semakin hebat, tiba-tiba pasukan kecil serdadu kompeni Belanda di bawah pimpinan Leonard muncul. Yan van Eissen yang matanya cukup jeli meskipun sudah tua, sepintas lalu berhasil menangkap sekelebat bayangan yang diperkirakan tidak lain dari Roijah dan penolongnya.

Dengan gerak reflek ia segera membidik dan melepaskan suatu tembakan. Nasib Roijah belum naas. Roijah berhasil dengan cepat menjatuhkan diri ke tanah sambil dengan cepat pula melemparkan goloknya ke arah Belanda gendut itu.

Hasilnya sungguh sangat memuaskan, golok Roijah tepat menancap di hulu hati Yan van Eissen sehingga pistol yang digunakan untuk menembak Bajing Ireng terjatuh, serentak dengan dirinya rubuh pula.

“Papi!” seru Leonard memburu ke dekatnya, tetapi ia tertegun karena sesosok tubuh melesat ke arahnya.

Pistol yang ada di tangannya dengan cepat diarahkan ke tubuh Parmin, tapi sebelum senjata itu berhasil meletus tongkat besi Parmin telah melayang ke mukanya dan pistolnya terpental jauh.

Parmin secepat kilat menyerang perwira tinggi Belanda itu dan dengan satu tatakan di tengkuk melalui tangan kanan Parmin, ditambah suatu sodokan dengan tangan kiri di ulu hati. Leonard ambruk muntah darah dan menemui ajalnya seketika.

Pada waktu Parmin hendak meninggalkan tempat itu, ia mendadak kaget karena laras senapan-senapan tertuju ke tubuhnya hanya tinggal ditarik pelatuknya saja. Ajal Parmin belum ditentukan Tuhan di tangan mereka.

Parmin dengan tenang memandang mereka satu per satu. Kemudian berpura-pura mengangkat tangannya ke atas, tetapi tiba-tiba tangan yang diangkat itu dengan cepat menggebrak! Keempat serdadu Belanda itu sehingga keempat senjatanya hendak ditembakkan kepadanya terpental jauh. Serdadu-serdadu yang rubuh itu pun tidak pernah bangun lagi.

Keenam orang Belanda yang datang ke situ telah menemui ajalnya semua. Parmin dan Roijah meneliti satu per satu tubuh lawan yang tergeletak itu.

“Belanda ini yang memerintahkan aku digantung,” kata Parmin sambil menunjuk dengan kakinya kepada Yan van Eissen.

“Tetapi, yang paling kejam, Kang, ini!” ujar Roijah yang berdiri dekat Leonard.

“Dia ini yang merencanakan hukuman picis untuk. Kalau Akang tidak datang mengeluarkan aku dari Rumah Tahanan Militer itu, hari ini aku sedang diseret si jahat ini di sepanjang jalan desa.”

“O, ya bagaimana kau tahu hukuman seperti itu yang akan kau terima?” tanya Parmin sambil menarik tangan Roijah ke tempat persembunyiannya semula.

“Nona Elsye adik kandung Leonard yang datang ke kamar tahanan ku sebelum Akang datang.”

“Untuk apa?” tanya Parmin heran.

“Ia hendak menolong aku minggat dari tahanan.”

“Tetapi, mengapa tak jadi?”

“Keburu ketahuan oleh abangnya ini. Seorang Kepala Jaga yang bersekongkol dengan Elsye ditembak di tempat. Elsye sendiri disiksa dan diseret di sepanjang jalan mulai dari Rumah Tahanan sampai ke rumah van Eissen.

“Aneh juga! Apa yang mendorong gadis itu hendak menolongmu?” tanya Parmin.

“Sederhana saja alasannya,” jawab Roijah. “Ia tidak sampai hati membiarkan kaumnya diperlakukan di luar perikemanusiaan.”

“Lantas?” tanya Parmin, namun Roijah tak perlu menjawab. “Mari kita lihat pertempuran sengit antara kedua orang Banten itu, Kang!”

Ketika itu, dari jauh terlihat kedua mereka itu tidak lagi bertarung fisik dan kecekatan silat, tetapi sudah menggunakan pertarungan tenaga dalam dari jarak jauh. Kedua pendekar yang sama-sama memiliki ilmu tinggi itu mengeluarkan ilmu tenaga dalam masing-masing, sehingga pada titik konsentrasi tertinggi kekuatan tenaga dalam itu mereka salurkan ke arah lawan.

Rumput-rumput yang ada di antara jarak kedua mereka mendadak hangus kekeringan. Tubuh mereka masing-masing bergetar hebat, tetapi tidak ada seorang pun yang jatuh dan menderita luka dalam. Mereka sama kuat dan sama tangguh.

Akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa salah seorang atau kedua-duanya harus mati.

Pendekar berbaju hitam dan menyebut dirinya sebagai pengawal Sultan Hasanuddin Banten, menyilangkan kedua belah tangannya di dada sampai mencapai bahu, ia berkata, “Demi keagungan Sultan....... kau harus mati, Rasek.”

Sedangkan Rasek sendiri dengan membentangkan kedua belah tangannya ke samping, ia berkata: “Maafkan........ Matilah kau, Kakang!”

Dan apa yang terjadi?

Sejenak kedua mereka seperti menahan sakit yang luar biasa. Kemudian tiba-tiba tubuh mereka ambruk. Di mulut mereka keluarlah darah hitam kental. Melihat pendekar berbaju hitam itu ambruk, Parmin dan Roijah segera keluar dari semak-semak.

Kedua pendekar muda itu datang melihat orang yang sudah menyelamatkan mereka, yang kemudian mereka tahu orang itu pula yang telah menyelamatkan Pak Kinong dari moncong harimau hutan Loyang.

“Kami sangat berterima kasih kepada Bapak,” ujar Parmin dengan rasa terharu.

Roijah yang selama ini tidak pernah menangis, kini menangis di dalam hati. Air matanya setitik demi setitik mengalir ke pipinya kemudian jatuh ke baju hitam pendekar kesatria itu. Sebelum ia menutup mata terakhir ia sempat berpesan kepada Parmin.

“Teruskan perjuanganmu melawan penjajah dalam bentuk apapun, anak muda. Karena kalian berdua merupakan harapan rakyat yang lemah dan memerlukan pembelaanmu.”

Sejenak terdiam. Nafasnya turun naik dengan kencang, kemudian biasa kembali. Ketika dia meneruskan pula pesannya,

“Aku telah mendengar namamu yang kesohor, Jaka Sembung. Kau jangan khawatir, seluruh rakyat Banten berdiri di belakangmu dan doa mereka tidak habis-habisnya untuk kalian,” sampai di sini pesan itu terhenti lagi.

Parmin yang selama ini seperti berhati baja, tidak pernah menyerah dalam kedukaan apa pun, kali ini tanpa terasa air matanya menetes juga. Keharuannya yang mendalam telah menyebabkan ia sadar, bahwa dirinya juga tidak terlepas dari perasaan dan kelemahan.

“Jaka Sembung dan Bajing Ireng, kepadamu ku gantungkan harapan agar para pendekar tangguh di setiap daerah Nusantara kita bersatu untuk mengusir penjajah. Semoga Tuhan melindungi perjuangan kita........” sampai di situ ia berpesan, perlahan-lahan kepalanya lunglai ke samping kanan.......

“Ia telah meninggalkan kita,” ujar Parmin sambil membuka ikat kepalanya menutup wajah pendekar yang baik hati itu. “Inna lillahi wa innailaihi roojiuun........”

Parmin dan Roijah bangkit perlahan-lahan. Hati mereka seperti tersayat-sayat.

“Sayang orang gagah dan setia seperti ini harus meninggalkan kita,” ujar Jaka Sembung dengan nada haru.

Angin petang berhembus lembut seperti membawa cerita damai yang mengakhiri peperangan. Seluruh padang luas itu bermandikan sinar matahari sementara beberapa pohon rindang seperti mengundang orang untuk berteduh di bawahnya.

“Kita berteduh di bawah pohon itu, yuk!” ajak Parmin seraya menarik tangan Roijah.

“Belum waktunya bersantai, Kang! Keamanan diri kita belum terjamin lagi,” kata Roijah menolak dengan halus.

“Itulah yang hendak kita rencanakan, Dik!” jelas Parmin tersenyum.

“Apa rencana kita sekarang, Kang?” tanya Roijah sambil duduk di rumput hijau.

“Menurut Ijah apa?” Parmin balas bertanya.

Roijah tidak menjawab. Matanya memandang lurus jauh ke depan.

“Aku ingin dengar rencanamu, Ijah!” kata Parmin, tapi Roijah justru bangun dari duduknya seperti ada sesuatu yang terlihat dari jauh.

“Tunggu, Kang!” ujarnya dengan sungguh-sungguh.

“Ada apa?” Parmin setengah berbisik.

“Kelihatannya ada seorang gadis yang sedang menangis di sana!”

Parmin bangkit perlahan-lahan dari duduknya Kemudian memejamkan matanya sejenak untuk menangkap suara yang dibawa angin.

“Benar! Ia berbicara bahasa Belanda dan menyebut-nyebut Papi.”

“Tidak salah lagi, Kang! Itu dia Elsye!” kata Roijah sambil mengangkat kaki hendak berlari ke tempat itu.

“Tunggu dulu, Ijah! Mungkin itu sebuah perangkap untuk kita,” jelas Parmin berpandangan jauh.

Roijah segera mengurungkan maksudnya dan perlahan-lahan duduk kembali.

Apa yang terlihat oleh Roijah memang benar. Seorang serdadu yang berhasil lolos datang menemui Elsye membawa berita kematian orang tuanya dan kakaknya. Dengan hati yang gundah dan pikiran kacau, gadis yang baik hati itu langsung menuju ke tempat yang diberitahukan oleh serdadu itu. Begitu melihat Papinya yang sudah tidak bernyawa lagi, ia memeluk dan mencium serta meratap sejadi-jadinya.

“Papi! Mengapa kau meninggalkan Ik sendiri di negeri orang yang memusuhimu? Mengapa Papi memilih kematian yang tidak terhormat di negeri yang rakyatnya lemah lembut dan sopan terhadap siapa pun. Ike tidak mampu menyalahkan mereka....... bagaimana pun mereka tetap benar karena mereka mempertahankan haknya di negerinya sendiri.”

Kemudian Elsye menoleh pula ke arah mayat abangnya.

“Kau Leonard sombong dan angkuh di negeri ini, padahal semua yang kau makan dan kau minum hasil bumi negeri ini! Hasil keringat rakyat di sini, tetapi kau bertindak terlalu kasar dan ondankbaar terhadap mereka bahkan kepadaku adikmu sendiri. Sekarang apa yang ku takuti tentang diri kalian semua sudah terjadi.

“Patah sudah tempat aku bergantung, hilang sudah tempat aku berpijak. Tak ada tempat aku berharap kasih lagi. Satu-satunya jalan yang terbaik untukku ialah menyusulmu Papi.”

Ratap Elsye sambil mencoba menjangkau sebuah pistol yang tergeletak tidak jauh dari mayat Leonard. Tetapi, tiba-tiba tangannya terhalang oleh sebuah kaki bersepatu. Elsye menjadi heran sehingga pandangannya perlahan-lahan diangkat ke atas.

“Elsye, kekasihku,” terdengar suatu suara.

“Oh, James! Kau masih hidup?” tanya Elsye seperti bermimpi.

“Aku pernah dirawat, tetapi seorang kawanku yang dekat dengan Leonard mengatakan, jika aku hidup aku akan diadili dan dihukum berat karena bersekongkol dengan ekstrimist,” cerita James dengan sedih.

“Lantas?” tanya Elsye tak sabar karena apa yang menimpa diri James tidak lepas dari kesalahannya juga.

“Klinik yang merawatku menaruh kasihan kepadaku. Dia seorang kawan karibku yang pernah ku bela dan kuselamatkan dari maut. Tanpa setahuku ia membuat laporan resmi kepada Leonard. Dalam laporan itu ia menyatakan aku telah meninggal akibat luka yang ku derita!

“Leonard sebagai perwira tinggi yang terlalu sibuk, laporan kawanku tanpa diperiksa lalu di-acc saja. Badanku yang kelihatan seperti mayat akibat bius, segera diamankan oleh kawan-kawanku dengan bantuan pribumi sehingga aku selamat seperti yang kau lihat sekarang ini,” James menutup ceritanya sambil tersenyum.

“Oh, James! Kini aku sebatangkara, tidak punya siapa-siapa lagi, kecuali kau,” kata Elsye pasrah.

“Jangan bersedih, sayang! Aku akan menemanimu dan menjagamu untuk selama-lamanya,” ujar James turut terharu.

Semua percakapan James dengan Elsye disadap oleh kedua pendekar Jaka Sembung dan Bajing Ireng melalui penginderaan yang sudah terlatih. Kini mereka tahu pasti, James bukan lagi berstatus serdadu Belanda, tetapi orang asing sipil yang menyimpan rahasia tersendiri.

Rahasia James berada di tangan mereka. Karena itu, Parmin dan Roijah tak ragu datang mendekati mereka untuk menyatakan rasa belasungkawanya kepada Elsye.

“Maafkan kami, Elsye!” kata Roijah lembut sambil melirik ke arah James yang kelihatan salah tingkah.

“Roijah?” tanya Elsye kaget. Ia menatap Bajing Ireng dengan heran.

Roijah mengangguk perlahan, “Terima kasih atas kebaikan Nona, yang menyebabkan Nona banyak mendapat kesulitan,” ucap Roijah dengan tulus.

Ketulusan itu terasa ke hati Elsye. Ia bangkit perlahan-lahan dari sisi James sambil mengulurkan tangan kepada Roijah dan Parmin. Mereka bersalaman dengan penuh rasa haru.

James pun segera mengulurkan tangan kepada Parmin dan Roijah.

“Benar kata-katamu yang terakhir kepadaku di rumah tahanan malam itu, Elsye, bahwa rasa kemanusiaan itu akan mampu membuat bangga yang berlainan dan berbeda kulit hidup bersahabat,” kata Roijah dengan tersenyum.

“Kau masih ingat saja, Roijah?”

“Memang tak ingin kulupakan, apalagi kata-kata mutiara itu baru pernah kudengar dari mulutmu.”

“Tetapi, maafkan kami Elsye dan James!” tukas Parmin.

“Tentang apa?” tanya James ramah, berubah sikap.

“Tuan Yan van Eisein menemui ajalnya bukan karena niat kami ingin membalas dendam, tetapi dialah yang mula-mula mencoba membunuh Roijah dengan tembakan, sehingga akhirnya untuk membela diri Roijah tidak punya pilihan lain,” jelas Parmin si Jaka Sembung.

“Begitu pula dengan Tuan Leonard,” jelas Roijah. “Ia sangat menaruh dendam pada Jaka Sembung ini.”

James dan Elsye begitu kaget ketika mengetahui, yang berdiri di depan mereka adalah orang yang pernah dihukum gantung oleh kompeni beberapa waktu yang lalu.

“Bagaimana mungkin ia masih hidup?” pikir James seperti tidak percaya. Pikiran yang sama juga melintas di benak Elsye, tetapi kedua mereka belum berani bertanya dengan terus terang.

“Roijah dan Jaka Sembung!” kata Elsye dengan tenang, “Aku mengerti semua dari penjelasan kalian berikan tadi. Karena itu aku ingin melupakannya untuk selama-lamanya, yang sudah biarlah berlalu.”

Sementara itu, matahari mulai tenggelam di ufuk Barat. Cahaya kemerah-merahan seperti menunggang awan yang sedang berarak semakin lama semakin menghilang dan akhirnya lenyap.

Suasana di tempat naas itu semakin remang.

“Elsye dan James, mari kita bersahabat, saling menghormati!” ujar Roijah dengan penuh keikhlasan. “Kalian berdua akan kami lindungi sebagai warga terhormat di Kandanghaur ini.

“Kalian tidak perlu khawatir, aku Parmin si Jaka Sembung dan ini Roijah si Bajing Ireng menjadi jaminan atas keselamatan kalian berdua,” kata Parmin selanjutnya.

“Aku tidak pernah meragukan kebaikan hati mereka,” bisik Elsye kepada James. Ketika Jaka Sembung dan Bajing Ireng telah berlalu. “

“Aku juga, Els!” bisik James sambil merangkul pinggang Elsye dengan penuh kemesraan.

◄Y►

5

Berita munculnya kembali Jaka Sembung dan Bajing Ireng, dengan kemenangan mereka menghancurkan tirani tuan tanah asing yang memperalat para pendekar pribumi untuk merampas tanah rakyat dan menimbulkan kesengsaraan di Kandanghaur, telah tersebar luas dari mulut ke mulut. Rakyat yang selama ini tertekan dan selalu dirundung rasa ketakutan, kini mulai bersemangat lagi.

Gairah hidup mereka bangkit kembali. Bek Marto, ayah Roijah almarhum mendapat tekanan dari tuan tanah Belanda, sehingga terpaksa melakukan tindakan-tindakan yang sangat merugikan rakyat. Tetapi, rakyat Kandanghaur yang sebagian besar terdiri dari para petani tidak dapat mendalami perasaan Bek Marto itu.

Mereka hanya tahu, Bek Marto turut menekan rakyat. Kepala Desa itu benar-benar dalam keadaan serba salah. Membela rakyat ia terancam oleh tuan tanah yang disokong oleh Kompeni Belanda. Sebaliknya, membantu tuan tanah ia jelek di mata rakyat. Kedudukannya benar-benar terjepit.

Kini hati Kepala Desa itu tiada lagi. Seandainya ia masih hidup, ia menyambut calon menantunya itu dengan gembira.

Ketika Jaka Sembung dan Bajing Ireng muncul di Desa Kandanghaur, penduduk desa menyambutnya dengan meriah. Setiap orang yang bertemu dengan kedua pendekar itu, lupa tujuannya hendak ke mana.

Mereka pasti mengikuti dan mendampingi tamu agung yang pulang ke desa membawa kemenangan. Mereka merasa bangga, Desa Kandanghaur memiliki pahlawan rakyat. Sebelum Jaka Sembung dan Bajing Ireng tiba di rumah almarhum Bek Marto, penduduk desa kelihatan berdatangan terus menerus dan bergabung menjadi barisan yang panjang.

Mereka berteriak-teriak: “Hore, horee, horee!” tak henti-hentinya.

Ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak berhamburan ke luar rumah dan berdiri di tepi pagar menunggu arakan panjang itu lewat dan sekaligus ingin menyaksikan wajah Jaka Sembung dan Bajing Ireng, meskipun Bajing Ireng alias Roijah sudah banyak yang kenal karena gadis itu dilahirkan dan dibesarkan di Desa Kandanghaur. Sampai malam hari pawai kemenangan dan kegembiraan rakyat terus berlangsung.

“Gagah orangnya, ya?” kata seorang gadis cantik ketika melihat Jaka Sembung yang jalan berdampingan dengan Bajing Ireng.

“Calon istrinya juga cantik!” jawab yang ditanya.

“Dia Jaka Sembung, ya?”

“Ya, mengapa?”

“Kata ayahku, Jaka Sembung itu sangat sakti. Ia sudah digantung Belanda sampai mati, tetapi hidup lagi,” kata seorang anak laki-laki gemuk yang terus menerus matanya mengikuti arakan Jaka Sembung itu sampai jauh dan akhirnya menghilang di sebuah kelokan.

Begitulah pandangan rakyat Desa Kandanghaur dari yang kecil sampai orang dewasa yang akhirnya lambat-lambat laun menjadi legenda yang berkembang dan terpatri dalam hati masyarakat daerah Cirebon.

Sementara arak-arakan itu berlangsung terdengar jel-jel yang meneriakkan, “Hidup Pahlawan kita Jaka Sembung dan Bajing Ireng! Hidup Pemimpin kita! Kami akan selalu setia mengikuti perjuanganmu!”

Arak-arakan itu berakhir tengah malam di depan rumah Bek Marto. Dari situ, penduduk satu per satu meninggalkan halaman rumah tersebut sesudah pamit pada Jaka Sembung dan Bajing Ireng.

Seminggu kemudian, sesuai dengan rencana Jaka Sembung dan Bajing Ireng, Pak Kinong dan Bu Kinong mempersiapkan suatu upacara ulang pernikahan Bajing Ireng dengan Jaka Sembung yang pernah dahulu gagal akibat penyerbuan serdadu kompeni Belanda di rumah Penghulu.

Menjelang waktu pernikahan tiba, rakyat dari berbagai desa datang membawa beras, sayur mayur bahkan beberapa orang kaya di desa itu menyumbang kambing, sapi dan kerbau. Pendeknya pesta yang akan berlangsung itu sama sekali tidak membuat tuan rumah pusing kepala.

Pak Kinong dan Bu Kinong hanya mengatur orang yang bekerja dan menyiapkan peralatan yang diperlukan untuk sebuah pesta besar.

Kalau pesta yang sering berlangsung di desa itu memilih-milih orang yang diundang dan terbatas, pesta kali ini untuk merayakan hari pernikahan dan perkawinan Jaka Sembung dan Bajing Ireng, sama sekali tidak dikeluarkan undangan.

“Mengapa begitu, Kang?” tanya Roijah heran.

“Aku takut, Ijah, kalau ada orang-orang di desa ini yang terlupakan dan luput dari undangan,” jelas Jaka Sembung.

“Jadi, bagaimana mereka tahu?”

“Aku sudah bicara pada Pak Kinong agar beliau menghubungi semua penduduk desa Kandanghaur dan sekitarnya untuk hadir di pesta kita. Tak ada seorang pun yang harus kita perlakukan istimewa, semua sama rata. Hanya........”

“Hanya siapa, Kang?”

“Hanya Elsye dan James yang harus kita undang khusus karena mereka warga terhormat dan istimewa di Kandanghaur,” jawab Jaka Sembung dengan tersenyum, “Setuju kau……?”

“Sangat setuju, Kang.”

Hari Minggu yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Kesibukan di rumah keluarga almarhum Marto memang luar biasa. Belum pernah terjadi suatu peralatan perkawinan yang begitu besar, yang mengundang orang seluruh wilayah Kandanghaur. Benar-benar sebuah pesta dari rakyat untuk rakyat.

Mulai pagi para undangan sudah berdatangan. Laki-laki perempuan hadir ke pesta yang meriah itu. Semua yang hadir berpakaian indah dan baru. Bau kapur barus dan minyak wangi yang keluar dari pakaian simpanan yang sudah lama tidak dipakai campur aduk dalam ruangan.

Si kecil Kinong pun tampak dalam keramaian itu dengan riangnya. Dia adalah anak tunggal Pak Kinong dan Bu Kinong.

Setiap tamu yang datang segera dilayani dengan makan. Mereka silih berganti datang dan pergi tak henti-hentinya. Seksi tamu yang terdiri dari muda-muda yang tangkas, dengan penuh pengorbanan bekerja tanpa mengenal lelah. Mereka tampak gembira dan serba ramah.

Parmin dan Roijah yang bersanding di kursi pelaminan tampak tersenyum. Pak Kinong dan Bu Kinong berdiri di samping Parmin dengan bangga, karena mereka adalah pengganti orang tua kedua mempelai.

Sedangkan di samping Roijah tampak Elsye dan James yang tak kalah bangga, karena menjadi warga khusus di Desa Kandanghaur.

Para undangan banyak yang heran melihat sepasang orang asing turut memeriahkan perkawinan Parmin dan Roijah dengan suasana sangat bersahabat.

“Banyak sekali yang hadir, Kang!” bisik Roijah dengan suara sangat bahagia.

“Untung acara pernikahan sudah berlangsung semalam.” Parmin hanya mengangguk. Matanya tertuju kepada seorang penari muda yang menari dengan lemah gemulai seirama dengan gendang dan gung yang ditabuh.

“Kau bisa menari, Roijah?” tanya James yang berdiri di dekatnya.

Roijah mengangguk ramah, “Hampir semua gadis Jawa Barat dapat memainkan kesenian daerahnya, James!”

“Bagus sekali!” puji pemuda Belanda itu sambil menoleh kepada Elsye.

Pesta perkawinan Jaka Sembung dengan Bajing Ireng berlangsung selama tujuh hari, tujuh malam dan terus menerus dibanjiri oleh penonton yang datang dari tiap penjuru desa tanpa habis-habisnya sehingga pesta itu hampir-hampir mirip pasar malam. Bisa dimaklumi karena saat itu Desa Kandanghaur adalah desa yang paling makmur di daerah Cirebon.

◄Y►

6

Malam itu desa Kandanghaur bermandikan cahaya bulan. Hamparan sawah yang luas setantang mata sampai ke pantai Laut Jawa, memberikan suatu pemandangan sejuk teram-temaram. Di setiap halaman rumah terlihat anak-anak bermain galah atau kucing-kucingan.

Kadang-kadang terdengar nyanyian traditional yang mendayu-dayu dari kejauhan, yang sekali-sekali ditingkahi oleh suara seruling yang merdu. Parmin dan Roijah duduk berdua di sebuah balai-balai menikmati keheningan alam dan panorama sawah yang membentang luas di sekitar tempat tinggal mereka.

“Akang Parmin! Boleh aku tahu sesuatu yang aneh tentang dirimu?” ujar Roijah sambil mendekatkan badannya ke bahu Parmin.

“Apa yang aneh padaku, Dik?” tanya Parmin si Jaka Sembung sambil memperbaiki duduknya.

“Banyak keanehan yang belum pernah Akang ceritakan padaku,”

“Antaranya?”

“Tentang kau yang sudah menjalani hukuman gantung di tiang gantungan di alun-alun pasar sampai mati, kok tiba-tiba hidup lagi! Ceritakan kepadaku, Kang!”

“Eeeh, apa aku belum pernah ceritakan padamu?” tanya Parmin.

“Yah! Kalau Akang sudah ceritakan untuk apa aku tanya lagi?”

“Memang keterlaluan aku ini! Kukira hal itu sudah kuceritakan kepadamu,” ujar Jaka Sembung yang kadang-kadang memang suka melucu.

“Ah, jangan berolok-olok lagi, Kang!” kata Roijah sambil mencubit tangan suaminya.

“Untuk apa sih harus diceritakan, aku sendiri sudah lupa,” kata Jaka Sembung tersenyum.

“Ceritakan, tidak?” desak Roijah sambil memperketat cubitannya.

“Aduh! Aduh! Sakit Roijah, sakit!”

“Hayo ceritakan!”

“Aduh, aduh, aduh....... Aduh! Ya, akan kuceritakan!”

“Tapi, syaratnya tidak boleh ceritakan orang lain, janji?”

“Ya, janji!”

“Dahulu, aku pernah mendaki Gunung Ciremai untuk mencari ilmu. Di gunung itu, aku bertemu dengan seorang petapa bongkok tua yang wajahnya mirip Begawan Dorna dalam dunia pewayangan. Ngomong-ngomong akhirnya pertapa sakti ini mengangkat aku sebagai muridnya. Tentu saja aku tidak menolak karena kehadiranku di puncak Gunung Ciremai itu memang untuk mencari ilmu,” sampai di sini Jaka Sembung berhenti sejenak.

“Wah, Kang! Apa hubungannya dengan Akang tahan digantung?” tanya Bajing Ireng tak sabar.

“Eeeh! Tak sabar benar nyonya ini!” Parmin bercanda, “Tak mau cerita lagi ahk!” Parmin pura-pura beranjak dari balai.

“Teruskan, tidak?” ancam Roijah sambil mencubit lagi.

“Ya, ya aku cerita!”

“Beberapa waktu aku tinggal bersamanya di sebuah pondok. Di situ aku mendapat pelajaran silat, ilmu menggunakan tongkat dan ilmu penginderaan untuk mendengar percakapan orang dari jarak jauh yang Dik Roijah miliki juga. Selain itu ada suatu ilmu khusus dan langka yang diberikan kepadaku dan kuanggap sangat penting dan aneh ialah 'Ilmu Pernapasan Bebek'.”

“Ilmu Pernapasan Bebek? Aneh sekali namanya!” seling Roijah dengan kening berkerut.

“Ya, kegunaannya pun aneh, digantung berjam-jam masih tidak mati,” ujar Parmin sambil tersenyum.

“Jadi, Akang lolos gantungan karena ilmu itu?”

“Bukan? Tetapi karena pertolongan Tuhan lewat ilmu itu,” jawab Parmin memperbaiki anggapan yang bersifat takabur.

“Aku masih merasa aneh dengan ilmumu itu, Kang!”

“Aneh? Mengapa harus merasa aneh? Secara akal saja pun dapat dimengerti.”

“Secara akal, kata Akang?”

“Ya, coba dengar baik-baik! Jika seseorang membeli seekor bebek dari pasar, orang pasti memegang lehernya, sehingga kakinya tergantung ke bawah, kadang-kadang cukup lama. Tetapi, bebek itu tidak mati meskipun lehernya tercekik dalam waktu yang lama. Sampai di rumah pembelinya, binatang itu masih tetap hidup. Itulah kira-kira persamaannya!”

Roijah mengangguk-angguk. Ia mulai mengerti dan masuk akal.

“Mengapa bebek itu bisa bertahan meskipun lehernya tercekik?” tanya Roijah dengan sungguh-sungguh sambil memperbaiki duduknya.

“Karena bebek mempunyai jalan pernapasan kedua yaitu melalui lubang duburnya,” jelas Parmin.

“Bagaimana dengan Akang?” tanya Roijah ingin tahu.

“Prinsipnya sama. Ketika aku digantung, aku pun menggunakan cara bernafas bebek. Aku tak mungkin bernapas dengan paru-paru karena jalan pernapasan ku lewat leher sudah tercekik. Aku cepat-cepat menggunakan ilmu “Hening Cipta” yaitu memusatkan perhatianku untuk bernafas dengan perut besar dan memompa udara melalui lubang dubur.”

“Jadi dengan cara itu, Akang dapat terus bernafas?”

“Tentu! Tetapi cara bernapas yang demikian memerlukan latihan lama,” jelas Parmin.

“Orang-orang Belanda mengira, Akang benar-benar sudah mati,” ujar Roijah sambil mengajak Parmin masuk ke rumah.

“Kau juga mengira begitu, bukan?”

“Semua orang pun mengira begitu,” jawab Roijah.

“Karena itu, aku sangat kaget ketika Akang datang ke kamar tahanan ku pagi-pagi buta itu.”

“Mengapa kau mau berpelukan dengan orang itu, padahal kau tahu aku telah mati?” tanya Parmin menguji.

“Tidak! Aku yakin kau yang datang.”

“Mengapa kau yakin?”

“Suara Akang meyakinkan aku!”

“O, begitu?”

“Tapi, Kang! Menurut berita yang tersiar di Rumah Tahanan Militer itu yang dapat kutangkap, jenazahmu telah dikuburkan oleh serdadu-serdadu kompeni di hutan Loyang, tetapi bagaimana caranya kau dapat ke luar dari kuburan itu?” tanya Roijah sambil menyediakan makan malam.

“Aku tidak pernah dikuburkan oleh serdadu-serdadu itu, tetapi aku dicampakkan begitu saja ke dalam jurang, lantas mereka pulang. Ketika aku dicampakkan dari atas jurang, aku segera menggunakan ilmu meringankan tubuh sehingga ketika jatuh aku tidak mengalami luka yang berarti.”

“Lantas bagaimana, Kang?”

“Seekor harimau sebesar sapi, dengan mata yang melotot seperti obor mendekati tubuhku yang sedang berpura-pura mati. Semakin lama semakin dekat dengan tubuhku dan pada waktu ia mengaum keras hendak menerkam, suatu tendangan keras ku arahkan ke moncongnya dan ia terpental jauh jatuh terjerembab.

“Kemudian diam-diam binatang buas itu berlalu. Rupanya ia jera mendapat calon korban yang sanggup membela diri.

“Tidak lama kemudian, di sana-sini di hutan Loyang terlihat obor-obor yang menyala menerangi seluruh hutan. Suara hiruk-pikuk mulai terdengar. Rupanya mereka orang-orang kampung yang datang ke hutan itu untuk mencari jenazah ku.”

“Aneh!” seru seorang di antara mereka.

“Jangankan jenazahnya, suatu bekas pun tak ada yang dapat dijadikan petunjuk untuk mencarinya,” kata salah seorang pemimpin rombongan.

“Ya,” potong yang lain, “Jika jenazah Jaka Sembung itu sudah dimakan harimau, tentu sekurang-kurangnya ada bekas-bekas darah yang tercecer. Ini sama sekali tidak ada,” celoteh mereka.

“Tetapi, bukankah banyak di antara penduduk yang mencari Akang itu, menyangka Akang masih hidup karena mereka mendengar suara seruling membawakan lagu sendu?”

“Ah, itu mungkin hanya perasaan mereka saja,” jawab Parmin.

Ia diam sejenak, kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Lucu juga kalau kuingat-ingat, Ijah!” kata Parmin menutup ceritanya.

Angin malam yang sejuk berhembus sepoi-sepoi mengusap daun padi yang mulai menguning membawa hawa dingin yang nyaman. Sementara nyanyian Bubui Bulan yang mengalun di malam sepi itu terdengar sayup-sayup, dinyanyikan oleh para remaja desa dari kejauhan seakan-akan mengantar kedua penganten baru itu ke peraduan.

T A M A T

Pembaca yang budiman. Hanya sampai di sinilah kisah Jaka Sembung! Apakah perjuangannya terhenti di sekitar desa Kandanghaur saja? Apakah semangat pendekar kita itu tidak setegar dulu setelah menikah dengan Bajing Ireng? Jawabannya akan Anda temukan pada episode selanjutnya, yaitu Badai di Laut Arafuru.