Jaka Sembung 11 - Badai di Laut Arafuru(3)

Sementara itu, tidak jauh dari kapal besar yang sedang menjadi ajang pertarungan para pendekar, sebuah tongkang layar ukuran besar segera mengurangi kecepatan lajunya bahkan menurunkan layarnya ketika melihat kapal besar melaju cepat dari arah Timur.

“Hah! Itu pasti kapal yang sedang kucari,” bisik seorang di tongkang itu. Sebelum berpapasan, orang yang berada di tongkang besar dapat menangkap suara hiruk pikuk yang datang dari kapal.

“Apakah sedang terjadi suatu pembajakan di atas kapal? Atau apa yang sedang terjadi?” gumam pemilik tongkang dengan penuh rasa ingin tahu. “Aku harus naik ke atas kapal!”

Selesai berkata begitu, sesosok tubuh segera melompat ke laut dan berenang dengan cekatan menuju ke kapal besar. Sebuah perahu kecil yang bermuatan sepuluh orang atau lebih dan tidak jauh dari perairan itu, tampak memperhatikan perenang yang sedang menuju ke kapal besar.

“Hei, kawan! Lihat ada seseorang yang hendak mencapai kapal besar itu. Bagaimana?” tanya salah seorang di antara mereka.

“Bereskan saja!” seru yang lain serentak sambil menjangkau panahnya masing-masing. Dan sebentar kemudian kelihatan puluhan panah berhamburan ke arah orang yang sedang berenang.

Tampaknya orang yang sedang merenangi lautan menuju ke kapal besar itu bukanlah orang sembarangan. Ini terlihat pada caranya melawan anak panah yang datang bertubi-tubi menyerang dirinya. Tetapi dengan kecekatannya yang luar biasa, satu pun anak-anak panah itu tidak berhasil singgah ke tubuhnya.

Namun demikian, serangan dari perahu kecil itu semakin gencar. Rupanya pendekar tersebut tidak kehilangan akal. Sebagai penyelam yang berpengalaman, ia langsung menyelam menghindari anak-anak panah yang terus menghujani permukaan air.

Sejenak ia merasa aman dari serangan-serangan gelap orang yang tidak dikenal itu, tetapi bahaya lain segera menyusul dan mengancam dirinya. Beberapa ekor ikan buas menguntitnya dari belakang untuk menyerang pendekar itu. Tetapi nalurinya yang sangat peka mengisyaratkan adanya bahaya tersebut.

Dengan beberapa gerakan cepat jurus silat yang sangat berbahaya, pendekar itu segera bertindak dengan suatu gebrakan dahsyat sehingga hiu-hiu ganas tersebut terpencar-pencar dan ketakutan. Tidak lama kemudian, dengan ilmu tinggi yang dimilikinya, pendekar yang ahli berenang itu segera melejit ke atas kapal yang kebetulan lewat sesuai dengan waktu yang diperhitungkan.

Ketika pendekar cekatan ini sampai di geladak kapal, pertarungan masih terus berkecamuk dengan seru.

“Ini rupanya suara hiruk pikuk itu,” pikir pendekar itu.

Sambil mencari tempat bersembunyi, sejenak ia mempelajari suasana di kapal yang dari jauh kelihatan berlayar dengan tenang.

Sementara itu, Kapten kapal yang sejak tadi di luar pengawasan, perlahan-lahan timbul pikiran jahatnya.

“Sementara inlanders itu saling membunuh, mengapa aku tinggal diam begini? Bukankah lebih baik aku mencoba membunuh Jaka Sembung daripada ia jatuh ke tangan ekstremis-ekstremis yang sedang menguasai kapal. Kalaupun aku mati, toch aku sudah berjasa pada pemerintah Kerajaan Belanda?”

Perlahan-lahan orang Belanda yang sudah berusia lanjut itu meraba pistol yang tersembunyi di balik baju dinasnya.

“Dengan kedua tangannya yang terantai ketat seperti sekarang itu, pasti dengan mudah aku dapat menembak lambung sampai mampus,” pikir Kapten itu dengan nekad dan segera menuju ke kamar tahanan Jaka Sembung.

Tetapi baru ia beranjak beberapa langkah, tiba-tiba ia dikagetkan oleh suatu sapaan mengejek.

“Hei, Buto Terong mau ke mana Kau?”

Ketika Kapten Belanda itu hendak menembak, orang yang menyapanya, secepat kilat berbalik dan sebuah tendangan keras tepat mengenai dadanya.

Kapten kapal itu mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Pistol yang masih tergenggam di tangannya perlahan-lahan jatuh serentak dengan terkulainya tubuh gemuk itu ke lantai kapal.......

Pendekar yang baru saja melejit ke kapal itu, diam-diam sudah berhasil mengurangi jumlah orang Belanda yang ada di kapal. Kemudian berlalu dengan santai dari tempat itu. Rupanya tanpa disadarinya apa yang ia lakukan terhadap Kapten kapal disaksikan dengan jelas oleh empat mata lain.

“Lihat! Orang itu telah menyudahi nyawa Kapten kapal,” ujar Baureksa.

Kaswita yang turut menyaksikan adegan sebabak itu mengangguk.

“Saudara pendekar,” tegur Baureksa ketika kebetulan pendekar itu lewat di hadapan mereka, “Tolong kami!”

“Siapakah kalian?” tanya pendekar tersebut dengan waspada.

“Aku Baureksa si Kaki Tunggal,” Ia memperkenalkan diri dengan ramah, “Dan ini Kaswita, adik kandung pendekar Jaka Sembung yang sedang ditawan Belanda di kapal ini.”

“Jadi, apa yang bisa kulakukan untuk kalian?”

“Kami mohon bantuan Saudara untuk membebaskan kami dari totokan jalan darah yang dilakukan oleh seorang pendekar jahat yang belum kami kenal.”

“Kalian tidak bisa bergerak?” tanya pendekar itu dengan ramah.

“Benar!” jawab Baureksa dan Kaswita serentak.

Pendekar yang dimintai bantuannya itu segera meraba-raba urat nadi yang ada di belakang kedua tubuh yang sedang tidak berdaya itu. Kemudian dengan suatu totokan yang hampir tak terasa, Baureksa dan Kaswita seketika itu mampu berdiri. Pengaruh totokan lenyap dari tubuh mereka.

“Terima kasih Saudara Pendekar!” ucap Baureksa sambil mengulurkan tangan tanda bersahabat.

“Terima kasih!” ucap Kaswita dengan tersenyum.

“Kau yang adik Jaka Sembung?” tanya pendekar itu. Kaswita mengangguk sambil berjabat tangan.

“Aku Karta, adik angkat Parmin, Jaka Sembung,” pendekar itu memperkenalkan diri sambil menyatakan kegembiraannya.

Kaswita dan Baureksa tersenyum gembira karena mendapat teman seperjuangan.

“Orang menyebutku, si Gila dari Muara Bondet,” Karta mencoba menambah indentitasnya yang jauh lebih terkenal daripada namanya sendiri.

Sementara mereka berada dalam suasana gembira, Neneng dan Nuna berada dalam keadaan kritis karena mendapat luka dalam yang parah akibat pukulan Ki Subeni, si pendekar jahat. Di dada kedua gadis membekas sebuah telapak tangan hitam. Akibat luka dalamnya, kedua pendekar wanita yang tangguh itu mengeluarkan darah hitam kental dari mulutnya.

“Kak Neneng!” ujar Nuna dengan susah payah, “Apakah kita harus menerima kematian dengan cara begini?”

“Tidak Nuna! Kalau juga harus mati, biarlah aku mati lebih dahulu menghadapi bangsat Subeni yang berwatak iblis itu dan kau adikku Nuna segeralah menghindar dari sini!” jawab Neneng antara marah dan sedih.

“Carilah kawan-kawan kita dan beritahukan!”

“Ha, ha, ha...! Jangan mengigau Nona manis! Semua kawan-kawanmu telah ku tawan hidup-hidup.”

“Keparat kau manusia setan!” bentak Neneng dengan sangat marah.

“Hei, kau jangan bicara sembarangan yang dapat membuat aku marah ya! Aku Ki Subeni, yang akan mengakhiri petualangan Jaka Sembung dan semua orang-orangnya, tahu? Tetapi, sebelum Jaka Sembung, aku ingin membuat kalian lebih dahulu mati perlahan-lahan. Aku akan siksa kalian dengan caraku sendiri,” kata pendekar jahat itu dengan sesumbar.

“Bangsat! Terkutuklah kau!” hardik Nuna sambil mencoba bangkit, tetapi mereka tidak berdaya sama sekali.

“Ha, ha, ha! Makilah aku semaumu Nona-nona manis, sebelum aku mengerjakan kalian berdua.”

“Apa yang hendak kau lakukan terhadap kami, lakukanlah Setan!” kata Neneng setengah berteriak.

“Wow, aku akan cabut seluruh bulu yang ada di pori-porimu Nona!” bentak Ki Subeni. “Aku akan mulai dengan bulu yang paling bawah,” ketus Subeni sambil dengan tangan kirinya merenggut rambut Nuna dan mengangkatnya ke atas kuat-kuat sehingga kepala Nuna turut mendongak ke atas kesakitan.

“Anjing kau!” teriak Neneng sambil meludahi jijik.

“Kukira, kau yang akan kubuat jadi anjing,” bentak Ki Subeni sambil mengirimkan sebuah tamparan ke wajah Neneng.

Neneng terkulai jatuh.

“Keparat!” teriak Nuna meronta-ronta melawan kelemahannya.

“O, yaaa! Sekarang akan ku mulai dengan nona ini,” Sambil menunjuk kepada Nuna, Ki Subeni mendekati gadis itu dan melakukan rencananya mencabut bulu yang paling bawah. Tetapi, melakukan rencana yang demikian tidaklah mudah. Nuna memberikan perlawanan gesit dengan seluruh kekuatannya yang masih tersisa.

Tiba-tiba pendekar iblis itu berteriak-teriak sekuat-kuatnya karena bahunya digigit Nuna. Ketika itu juga ia berbalik badan dan menggapai hidung Nuna yang memang mancung. Hidung itu dipencetnya dengan keras sehingga Nuna gelagapan tak dapat bernapas.

“Rupanya kau perlu ditotok lebih dahulu supaya diam menerima hukuman,” ujar Ki Subeni menyeringai, sambil memberikan tamparan keras ke pipi Nuna.

Mata Nuna berkunang-kunang sejenak kemudian ia terkulai lemas.

“Nah! Sekarang hukuman ku akan dapat berjalan lancar dan kalian akan merasakan sakit perlahan-lahan,” kata pendekar berdarah dingin itu.

Begitu selesai kata-katanya, Ki Subeni pun mendekati Neneng untuk memulai hukumannya, tetapi sebelum hukuman itu dilaksanakan, tiba-tiba terdengar desingan benda-benda berkilat yang menyerbu tubuh Ki Subeni.

Tetapi Ki Subeni memang tangguh! Serangan yang tiba-tiba dilancarkan orang kepadanya, meskipun dengan susah payah akhirnya berhasil juga diatasi.

Ki Subeni yang merasakan serangan hebat itu, dapat memastikan bahwa dirinya sedang menghadapi tantangan dari pendekar yang ilmunya seimbang dengan ilmu silat yang dimilikinya atau mungkin juga di atas dirinya. Pendekar Karta, si Gila Dari Muara Bondet segera membebaskan kedua gadis tersebut dari totokan Ki Subeni dan mengobati luka dalam kedua pendekar wanita itu.

Kaswita sempat menatap sejenak kedua pendekar wanita cantik itu. Dan diam-diam ia teringat pada apa yang pernah dilihat di buritan kapal dua hari yang lalu. Tetapi, kesempatan untuk bertanya hal-hal seperti itu belum ada.

Ki Subeni yang penasaran dibokong dari belakang, segera menyerang siapa saja yang melintas di hadapannya. Tiba-tiba dua sosok tubuh berkelebat di hadapannya dengan cepat.

Ki Subeni tanpa pikir panjang cepat mengejar kedua sosok tubuh itu. Kemudian dengan goloknya ia melakukan serangan dari jarak jauh. Tetapi, orang yang diserang itu berkelit secepat kilat sehingga golok Ki Subeni menancap di sebuah dinding tidak jauh dari tempat pendekar Karta berada, “Gila!”

Merasa gagal, Subeni pun melepaskan serangan jarak jauh untuk kedua kalinya. Tetapi serangan itu pun tidak membawa hasil apa-apa.

“Kaswita!” ujar si Gila Dari Muara Bondet, “Kita tidak boleh membuang-buang waktu lagi. Sekarang giliran kita yang menyerang Ki Subeni yang berhati iblis itu, bagaimana?”

“Mari! Memang tidak boleh memberi hati kepada pendekar jahat berdarah dingin seperti Ki Subeni,” sambut Kaswita senada.

Sejak itu berkecamuklah pertempuran antara Ki Subeni melawan si Gila Dari Muara Bondet dan kawan-kawannya. Dalam suatu pertempuran sengit, Ki Subeni hampir-hampir saja berhasil menghantam Kaswita dengan pukulan telapak tangan maut, tetapi Sri Ayuningrum yang telah bebas dari totokan dan kebetulan menyaksikan pertempuran tersebut, segera mengirimkan senjata jarak jauh yang kebetulan tepat mengenai tangan pendekar setan itu. Kaswita selamat dari luka dalam.

Di suatu kesempatan lain, Ki Subeni berhadapan langsung dengan Pendekar si Gila dari Muara Bondet. Permainan silat tingkat tinggi dikeluarkan oleh kedua pendekar tangguh itu. Mereka saling bertarung, menyerang dan bertahan.

Ketika si Gila dari Muara Bondet melihat suatu peluang baik, ia segera menyerang Ki Subeni dengan pedangnya yang ampuh secara berantai sehingga pendekar gemuk jahat itu kewalahan seketika. Tetapi dalam keadaan kepepet seperti itu, Ki Subeni masih berhasil membuat pedang si Gila dari Muara Bondet terpental.

Karta kaget sejenak. Tiba-tiba ia mendengar suatu teriakan keras, “Hai, kawan! Tangkap pedangmu ini!” serentak dengan melayangnya sebuah pedang.

“Terima kasih Dik!” ucap Karta sambil mengirimkan sebuah senyuman kepada Sri Ayuningrum, yang rupanya sejak awal terus mengikuti perkelahian kedua tokoh persilatan tersebut.

“Setan!” teriak Ki Subeni dengan penuh kedongkolan melihat Sri Ayuningrum yang membantu lawannya. Ketika itu tidak terasa sebuah pedang mendesing di belakangnya sehingga Ki Subeni terluka.

“Waw! Cuma menyerempet sedikit,” terdengar suara Karta mengejek, tetapi Ki Subeni tidak menggubris ejekan itu karena perhatiannya tertuju pada luka di punggungnya......

◄Y►

4

Sementara itu, tanpa disadari malam berangsur-angsur berganti dengan siang. Matahari di kaki langit sebelah Timur tampak muram tertutup mendung. Awan pekat seperti menggantung di langit. Angin laut yang tadinya berhembus tenang membawa hawa sejuk dan segar, kini perlahan-lahan berubah kencang.

Ombak laut yang tadinya terasa ramah, kini mulai bergelora. Tiba-tiba hujan lebat pun turun seperti mengamuk, ombak menghantam dinding kapal. Laut Arafuru kembali marah menyaksikan tingkah anak manusia di permukaannya.

Unui yang berada di ruang kemudi menjadi gelisah, “Celaka! Badai akan segera turun,” serunya dengan penuh rasa khawatir. Ia sangat mengharapkan Neneng dan Nuna ada di sisinya untuk membantu. Tetapi kedua adiknya itu tidak juga muncul padahal dalam keadaan begitu layar harus segera diturunkan.

Tak ada jalan lain, kecuali ia sendiri harus segera bertindak. Tanpa banyak perhitungan, Unui meninggalkan kamar kemudi turun dari anjungan. Begitu Unui tiba di tangga, angin badai mendadak bertiup kencang dibarengi dengan suara petir dan kilat sambung-menyambung.

Tidak itu saja bahaya yang sedang mengancam, tetapi bahaya yang lebih dahsyat kelihatan sedang menyongsong. Kapal mulai oleng ke kiri dan ke kanan sehingga semua penumpang yang ada di atasnya mulai panik.
Pertarungan dan nafsu permusuhan lenyap seketika. Masing-masing mulai memikirkan keselamatan dirinya, kecuali Unui. Pendekar ini dengan penuh tanggung jawab mencoba menurunkan layar kapal untuk mengurangi resiko tenggelam demi keselamatan para penumpangnya. Ia juga berusaha mencari kedua adiknya dan merasa cemas terhadap diri mereka, tanpa sedikit pun terpikir akan keselamatan dirinya.

Suasana dalam kapal mendadak gelap, meskipun sejumlah lampu-lampu penting masih terus menyala. Angin yang semakin berhembus kencang telah membuat kapal terombang-ambing seperti hendak terbalik.

Semua isinya bertambah panik. Tubuh Unui yang semakin lelah, tiba-tiba terpelanting dan nyaris terlempar ke dalam laut yang sedang mengamuk, tetapi untung tangannya masih sempat menggapai pagar geladak.

Ketika ia melihat ke luar kapal, tiba-tiba ia berteriak keras. Tidak jauh dari kapal terlihat olehnya angin puting beliung sedang membuat pusaran berbentuk lembah air yang dalam. Dua perahu layar yang tidak jauh dari kapal mendadak masuk ke dalamnya.

“Ya, Tuhan! Selamatkanlah mereka!” seru Unui dengan mata terbelalak.

Pada waktu yang sama, tiba-tiba pula tiang layar kapal besar yang mereka tumpangi mendadak patah. Sementara, air sudah banyak yang mulai masuk ke kapal.

Belum hilang kekagetan itu, Unui melihat pula dari jauh dua pendekar sedang berlaga di dekat tiang layar yang sudah patah. Rupanya keadaan yang sudah gawat, sedikit pun tidak mempengaruhi para pendekar untuk terus bertempur.

Sementara si Gila dari Muara Bondet dan pendekar Mirah meladeni musuh, Sri Ayuningrum membantu Neneng dan Nuna yang sedang terhimpit reruntuhan.

“Cepat bangun kawan! Keadaan kapal semakin gawat!” ujar Sri Ayuningrum dengan sungguh-sungguh, “Mari kita bantu mereka sebelum kapal ini hancur!”

Ketiga pendekar wanita itu segera memburu ke depan. Tiba-tiba tiang layar kapal bagian depan mendadak patah pula. Tiang yang berat ini menghancurkan lantai geladak.

<>

Kaswita dan pendekar Kaki Tunggal sedang berada di geladak paling bawah terkejut.

“Suara apa?” tanya Kaswita pucat.

“Aku tak tahu! Biarkanlah itu!” kata Baureksa acuh tak acuh. “Kalau begitu sekarang kita cepat-cepat ke kamar tahanan Jaka Sembung, bagaimana?” tanya Kaswita.

Kedua pendekar tersebut menghilang dengan cepat menuju ke kamar tahanan yang berpintu besi. Tanpa membuang-buang waktu, mereka segera mendobrak pintu tersebut. Tetapi, pintu yang luar biasa kuatnya itu sedikit pun tidak bergeming.

“Hei, biar kucoba dengan beliungku ini!” kata Kaswita serentak dengan menghantamkan beliungnya ke pintu besi itu.

Sementara Kaswita dan Baureksa berusaha membuka pintu tahanan, Parmin Jaka Sembung di kamarnya sedang menghadapi bahaya air yang masuk dari dinding kapal dengan deras. Ia sama sekali tidak dapat berusaha mengatasi keadaan karena tangannya dirantai kiri kanan. Air laut semakin lama semakin menggenangi kamar.

“Ya, Tuhan berikanlah aku petunjuk apa yang harus kulakukan! Lindungilah aku dari malapetaka yang mengerikan ini. Hanya kepada-Mu satu-satunya tempat aku berlindung dan pasrah diri,” Parmin berdoa dengan penuh harap.

Air terus meninggi sampai ke lutut. Tidak lama kemudian sampai ke pinggang. Harapan Jaka Sembung untuk lepas dari petaka itu semakin tipis. Satu-satunya jalan untuk menenangkan diri ialah mengheningkan cipta. Dipusatkan semua konsentrasinya ke satu titik perhatian yaitu rantai yang membelenggu kedua belah tangannya.

Sementara itu air terus meningkat sampai ke lehernya. Harapan secara akal pupus sudah, tetapi harapan kepada kasih Tuhan terus menyala.

“Bismillah!” ucap Jaka Sembung sambil mengerahkan seluruh hawa panas dalam tubuhnya.

Tiba-tiba sesuatu terjadi. Terlihat asap mengepul dan kemudian menjadi api yang terus-menerus menjilat rantai. Akhirnya rantai yang memborgol kedua tangannya pun mencair dan putus.

“Alhamdulillah,” ucapnya sambil kedua telapak tangannya meraup ke muka. Tetapi masalahnya belum selesai, Jaka Sembung tetap berada di kamar tahanan yang cukup kuat.

“Oh, aku tak dapat juga keluar dari sini,” gumam Jaka Sembung pada dirinya.

Di luar, Kaswita dan pendekar Kaki Tunggal terus-menerus berusaha mendobrak pintu yang kukuh itu. Tiba-tiba Kaswita kaget karena dari sisi daun pintu yang sudah mulai renggang, menyembur air dengan deras.

Kaswita dan Baureksa segera melompat ke atas sambil mengawasi air yang deras itu. Tiba-tiba Kaswita melihat sesosok tubuh menggapai-gapai didorong derasnya air.

“Kang Parmin!” seru Kaswita dengan keras.

Jaka Sembung segera menoleh ke arah datangnya suara itu. Ia segera melejit ke atas dan menatap pemuda yang berdiri di depannya dengan beliung di tangan.

“Astaga! Kau Kaswita”! Bagaimana sampai kau berada di kapal jahanam ini?” tanya Jaka Sembung ingin tahu.

“Panjang ceritanya, Kang!”

Sementara itu haluan kapal perlahan-lahan menukik ke dalam laut, tetapi sama sekali tidak dihiraukan oleh pendekar-pendekar yang sedang bertempur hebat-hebatan.

“Lihat, Kang!” Kaswita menunjuk ke bagian buritan kapal, “Mereka sedang bertempur di sana!”

“Siapa mereka?” tanya Jaka Sembung heran.

“Pendekar-pendekar yang ingin membebaskan Kakang dari tawanan Kumpeni Belanda, termasuk Kang Baureksa ini, dan Kak Sri Ayuningrum.”

Saat itu pendekar Lengan Tunggal berlari menghampiri.

“Hei, kau Umang”!” ujar Jaka Sembung dengan gembira sambil menarik tangan sahabatnya yang sudah lama tidak pernah ketemu.

“Tidak apa-apa kau?”

“Tidak!”

Jaka Sembung menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu sambil berkata, “Kalau begitu mari kita ke sana! Aku ingin ketemu dengan adikku Sri Ayuningrum.”

Ketika tiba di ajang pertarungan itu, Jaka Sembung tiba-tiba melihat seorang pendekar muda yang sedang bertempur dengan lincah menghadapi antek-antek penjajah.

“Hei, kalau aku tak salah, itu si Gila Dari Muara Bondet dan Mirah kawanmu Umang.”

“Benar, Parmin,” kata Umang dengan penuh hormat.

“Kalau tiga dara itu...?” kata Jaka Sembung sambil mengingat-ngingat, “Si Tiga Melati: Unui, Neneng dan Nuna, bukan?”

Kaswita mengangguk. Sri Ayuningrum yang sedang bertempur sempat melayangkan pandangannya ke arah Jaka Sembung, sehingga setelah menyelesaikan pertempurannya segera menemui kakang tercintanya itu.

Sementara itu, Ki Subeni yang sejak tadi memperhatikan Jaka Sembung cepat berjumpalitan beberapa kali, kemudian mendarat tepat di depan Parmin Jaka Sembung.

“Oh, Ki Subeni?” gumam Jaka Sembung setengah heran, “Bukankah kau sudah meninggal?” tanya Jaka Sembung dengan nada sopan.

“Memang ia sudah mati, tetapi aku Subekti saudara kembarnya yang ingin menuntut balas atas kematiannya.”

“Apa kau sungguh-sungguh?” tanya Jaka Sembung, “Waktu kita hanya tinggal sedikit.”

“Kau sangka aku tidak punya nyali untuk melawanmu, ha?”

“Baiklah, kalau itu yang kau kehendaki,” jawab Jaka Sembung sambil mengatur langkah.

Tetapi, Ki Subekti tiba-tiba diserang orang dari belakang. Pendekar itu secepat kilat berbalik, tetapi tanpa disangka mendadak ia menyerang Jaka Sembung yang dalam keadaan lengah.

Jaka Sembung yang bukan pendekar sembarangan rupanya sama sekali tidak terkicuh.

“Plak!”

Dua tangan yang penuh dengan tenaga dalam, bertemu seketika. Dari masing-masing tangan itu terlihat mengepul asap. Semua yang menyaksikan terheran-heran. Sri Ayuningrum menatap kedua tangan itu dengan tak berkedip.

Ki Subekti menyentakkan tangannya sambil melejit ke belakang dan kembali menyerang lawannya dengan dahsyat. Parmin yang menunggu dari bawah, tiba-tiba melihat peluang dan segera memberikan sebuah kepretan tangan. Tetapi pendekar gemuk itu dengan empuk bersalto di atas geladak.

“Hiyaaat!”

Dan serangan yang berbahaya itu disambut oleh Jaka Sembung dengan sodokan keras di bagian dada Ki Subekti. Jaka Sembung terheran-heran. Ia melihat baju di bagian dadanya terbakar dan api menyala-nyala membuat dada pendekar itu panas dan perih.

Sri Ayuningrum yang melihat peristiwa itu segera berteriak, “Tanggalkan bajumu Kang!”

Parmin segera melakukan anjuran adiknya, tetapi tidak berhasil. Begitu ia hendak menanggalkan bajunya, api itu segera menyambar tangannya dengan cepat. Parmin mencoba mundur beberapa langkah, tetapi api itu terus membakar bajunya di bagian dada.

Akhirnya ia kehilangan akal dan membiarkan api itu menyala. Sementara itu, pukulan sodokan Jaka Sembung yang tepat mengenai ulu hati Ki Subekti juga tidak ringan akibatnya. Pendekar itu terpaksa menahan sakit yang luar biasa dan kemudian mengeluarkan darah kental dari mulutnya.

Rupanya dalam adu ilmu ternyata Parmin Jaka Sembung masih berada di bawah musuhnya. Ia menyadari hal tersebut, karena itu, ia mulai berhati-hati menghadapi Ki Subekti.

Pada waktu Parmin Jaka Sembung memusatkan konsentrasi untuk mengusir api itu, tiba-tiba Ki Subekti melancarkan suatu gempuran mautnya. Tetapi, Jaka Sembung pun bukan anak kemarin. Ia segera berkelit.

“Celaka, kita harus turun tangan!” kata pendekar lainnya sambil berpencar.

“Kita harus membalas penghinaan manusia cabul itu,” seru Kaswita geregetan.

Tetapi dengan tidak disangka-sangka Sri Ayuningrum yang didampingi oleh Karta dan Umang lebih dahulu melakukan serangan bersama.

Meskipun Ki Subekti tidak berada dalam keadaan siap tempur karena luka dalam, namun tidak ada pilihan lain ia terpaksa melayani serangan bersama yang dilancarkan oleh kawan-kawan Jaka Sembung.

Ki Subekti segera melejit ke atas sambil melemparkan dua goloknya yang berhasil dirampas dengan mudah dari Unui yang juga turut menyerang. Untunglah pendekar Kaki Tunggal dengan tangkas mendorong tubuh Sri Ayuningrum dan menangkap kedua golok itu dengan tongkat penyangganya.

Pada saat yang sama, si Gila dari Muara Bondet, berhasil pula mencaplok golok yang ditujukan atas Unui. Ketika Sri Ayuningrum melihat suatu kesempatan baik, ia segera melompat ke atas dengan suatu tusukan kilat.

Namun Ki Subekti yang seakan-akan bermata seribu segera berkelit menghindari tusukan dahsyat yang dilancarkan Ayu Ningrum. Bahkan si pendekar gendut itu masih sempat mencaplok golok yang ada di tangan Mirah.

Sri Ayuningrum yang kehilangan keseimbangan karena serangan dahsyatnya tidak mengena, terpelanting ke luar pagar geladak. Untung Mirah yang kebetulan ada di tempat itu cepat menjambretnya sehingga Sri Ayuningrum tidak jadi terlempar ke laut

“Pegang erat-erat tanganku,” ujar Mirah sambil menarik badan Sri Ayuningrum ke atas geladak.

“Terima kasih, Mirah!”

“Tentang apa?”

“Tentang bantuanmu barusan,” jawab Sri Ayuningrum tersenyum.

“Sudah, lupakan! Aku mau membantu Parmin,” kata Mirah sambil memperhatikan gerak-gerik Ki Subekti.

Ketika Parmin Jaka Sembung sedang membenah diri, tiba-tiba pendekar berhati jahat Ki Subekti mendadak melakukan serangan terhadap Parmin.

“Awas Jaka Sembung!” teriak Mirah.

Parmin kaget dan dengan naluri silatnya yang sudah mendarah daging, pendekar itu cepat mengelak. Serentak dengan itu Neneng berkelebat dengan cepat memotong jalan serangan dengan pedangnya sambil berteriak, “Modar sial!”

Serangan Neneng sekali itu bukan asal-asalan, tetapi jitu.

Ki Subekti jatuh terduduk dengan mengaduh kesakitan. Lengan kanannya yang memegang golok putus sama sekali. Darah muncrat dari lukanya yang parah.

Nuna yang kebetulan berada di dekat itu, langsung menusukkan pedangnya ke punggung Ki Subekti, “Ow... Okh!”

Perkelahian Ki Subekti dengan Jaka Sembung rupanya menjadi tontonan anak buah Ki Subekti yang berada di sebuah tongkang besar. Ketika Ki Subekti mendapat serangan hebat dari Neneng yang mengakibatkan lengan kanannya putus, ditambah dengan tusukan pedang Nuna pada punggungnya yang menyebabkan pendekar itu tidak berkutik, terlihat jelas oleh para pengikutnya.

“Hai, lihat! Agan kita dikeroyok ramai-ramai. Kita tidak boleh tinggal diam, tetapi kita harus naik ke kapal besar itu untuk memberi sedikit pelajaran kepada mereka,” kata seorang pendekar yang agak tua di antara mereka, membakar semangat.

“Benar! Benar! Mari kita menyerbu ke atas kapal!”

Kebetulan pada waktu itu badai di laut Arafuru mulai reda. Ombaknya kelihatan lesu setelah hampir setengah hari penuh mengamuk dan menghancurkan apa sana yang mencoba membendungnya.

Anak buah Ki Subekti, dengan segala kesombongan dan keangkuhan, satu persatu melompat ke laut dan berenang dengan terampil menuju ke kapal besar. Selama berenang, mereka berteriak-teriak dan mengancam tak hentinya.

Hal ini menarik perhatian orang-orang di atas kapal. Tidak kurang dari belasan orang berbaju hitam menuju ke kapal.

“Kurasa mereka anak buah bajingan ini!” kata Mirah menutup laporannya kepada Jaka Sembung sambil menunjuk Ki Subekti dengan kakinya.

“Pendapat Mirah mungkin benar,” kata Jaka Sembung yang dikelilingi oleh seluruh rekannya, “Sekarang kalian tunggu mereka di pagar geladak! Siapapun yang mencoba naik ke atas kapal ini, segera kirim kembali ke laut menurut cara kalian masing-masing.”

Begitu instruksi selesai diucapkan Jaka Sembung, semua pendekar tersebut langsung menuju ke tempat tugasnya.

Tidak lama mereka menunggu, satu per satu kepala anak buah Ki Subekti muncul di pagar geladak. Hanya nongol sebentar kemudian terlempar kembali ke laut setelah menerima berbagai hadiah dari atas kapal. Sebagian besar di antara mereka berteriak kesakitan.

Ki Subekti yang dapat melihat perlakuan seperti itu terhadap anak buahnya. Perlahan-lahan ia mengangkat kepala dan berkata. “Sungguh kalian pengecut! Kalau kalian berani, ini aku Ki Subekti saudara kembar Ki Subeni, bunuhlah!”

“Hati-hati kalian,” kata Jaka Sembung, “Setan itu akan bertindak nekat.”

Peringatan Jaka Sembung ternyata benar. Ki Subekti dengan segenap tenaganya yang masih tersisa, tiba-tiba melakukan serangan dahsyat didahului oleh suatu pekikan melengking. Gerakan yang sangat berbahaya itu mengagetkan semua pendekar yang berada di tempat itu.

Sementara Kembar Tiga Melati tampak terjungkal jauh seperti tertiup angin kencang.

“Oh! Kak Unui, Kak Neneng dan Nuna! Tabahkanlah hati kalian!” ujar Sri Ayuningrum ketika melihat ketiga kawannya terkena serangan hebat dari Ki Subekti.

“Dik Sri Ayuningrum!” Unui mencoba membuka matanya perlahan-lahan sambil berkata dengan lembut, “Janganlah kau hiraukan kami lagi Dik Sri! Kami mendapat luka dalam yang parah, yang mungkin tak tertolong. Kini yang lebih penting, bangkitlah segera untuk membantu kakakmu Parmin Jaka Sembung bersama dengan pendekar lain sahabat kita guna menghancurkan pendekar iblis itu.”

Sri Ayuningrum bangkit perlahan-lahan dengan duka nestapa di hatinya. Ia meninggalkan tempat itu dengan suatu kesedihan yang mendalam.

Sementara itu, Ki Subekti terus mengamuk laksana harimau yang terluka. Ia menyerang siapa saja yang berada di dekatnya, terutama pendekar-pendekar pengikut Jaka Sembung.

Tetapi, untung orang-orang yang diserangnya itu bukanlah orang yang mudah dijatuhkan begitu saja seperti Pendekar Kaki Tunggal dan si Gila dari Muara Bondet serta pendekar Tangan Tunggal.

Ki Subekti dengan mata merah dan wajah bengis serta rasa dendam yang membakar di hati, menatap Jaka Sembung yang masih terduduk merasakan sakitnya. Ia benar-benar sudah nekat dan segera menyerang Jaka Sembung dengan jurus andalannya yang biasanya tanpa ampun.

Jaka Sembung sebagai seorang pendekar ulung tak ada pilihan lain kecuali melawan. Ia segera pula menahan serangan Ki Subekti dengan pukulan maut ‘Wahyu Taqwa’ yang tepat mengena di ulu hatinya sehingga pendekar setan itu rubuh seketika.

Ia melihat tubuh pendekar Subekti gemetar sejenak dan akhirnya terkulai lemas.

“Sungguh pendendam manusia ini!” gumam Jaka Sembung sendirian sambil mencoba meninggalkan tempat.

Tetapi, begitu ia hendak beranjak, Ki Subekti masih sempat melakukan serangan tiba-tiba sambil duduk.

Baureksa yang sempat melihat kelicikan itu segera menghunjamkan tongkatnya yang berujung runcing ke lambung Ki Subekti sebelah kiri menembus ke sebelah kanan. Pendekar itu terpekik keras dan meraung kesakitan, lalu roboh tak berkutik lagi.

Jaka Sembung terkejut, “Apa yang terjadi?” tanyanya kepada Umang.

“Ia hendak membokongmu dari belakang.”

“Dalam keadaannya yang begitu lemah?”

Umang si Pendekar Tangan Tunggal hanya mengangguk.

“Memang benar! Sekuat apa pun suatu kejahatan, akhirnya pasti tumbang juga,” ujar Jaka Sembung sambil meninggalkan tempat itu.

Karta dan Umang mengiringinya dari belakang. Mereka menuju ke bagian lain, di mana anggota Kembar Tiga Melati sedang terbujur. Unui, Neneng dan Nuna sama sekali tak mampu bangkit akibat luka dalam yang terlalu parah. Mirah dan Sri Ayuningrum terlihat di situ sedang merawat mereka.

“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Jaka Sembung dengan rasa duka.

“Parah, Kang!” jawab Sri Ayuningrum. Di wajahnya terbayang kesedihan.

Ketiga pendekar itu berlutut di samping mereka dengan kepala tertunduk. Tak ada seorang pun di antara mereka yang dapat menyembunyikan rasa duka yang menyelinap di hatinya masing-masing.

“Unui, Neneng dan Nuna, tabahkan hati kalian! Pasrahkanlah kepada Tuhan karena setiap yang hidup pada suatu saat pasti akan kembali kepada-Nya juga,” ujar Jaka Sembung dengan penuh rasa haru.

“Kalian bertiga sudah banyak berbuat untuk membela kebenaran dan menentang penjajahan dan itu akan abadi selamanya di hati rakyat dan terukir dalam sejarah perjuangan bangsa,” tambah Jaka Sembung sambil mencium dahi ke-tiga gadis itu.

Ketika itu, Unui, Neneng dan Nuna serentak perlahan-lahan memandang Jaka Sembung.

Baureksa, Karta, Umang, Mirah dan Ayuningrum bergiliran, kemudian Unui berkata dengan suara serak.

“Kami bertiga adalah saudara kembar, satu nyawa dalam tiga jasad. Mati dan hidup kami pun bersama-sama. Aku yang mewakili saudara-saudaraku hanya mengharap, teruskanlah perjuangan ini sampai pada suatu saat kelak tanah air dan bangsa kita bebas dari penderitaan, kemiskinan dan ketakutan.”

Sampai di situ Unui terdiam sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam kemudian menyambung kata-katanya, “Maafkan kami bertiga mendahului kalian, meskipun keinginan kami masih terus menyala untuk menyertai perjuangan ini.......”

Sampai di situ, Unui menutup matanya perlahan, disusul oleh Neneng dan Nuna seakan-akan mereka memang satu nyawa tiga jasad.

Semua yang hadir di tempat itu saling berpandangan. Mirah dan Sri Ayuningrum yang sejak tadi menahan kesedihan, kini menangis.

“Kak! Sampai hati kalian meninggalkan kami,” ujar Ayuningrum sambil memeluk tubuh Unui dan Neneng, sementara Mirah merangkul Nuna ketat-ketat, seakan-akan tak hendak dilepaskan.

◄Y►

Ketika semua pendekar pengikut Jaka Sembung berkumpul melepaskan kepergian Kembar Tiga Melati, belasan pengikut Ki Subekti dengan diam-diam naik ke kapal melalui bagian haluan kapal yang sudah merunduk ke dasar laut.

Ki Subekti pendekar setan yang seakan-akan memiliki nyawa cadangan segera mengatur orang-orangnya untuk menyerang Jaka Sembung dan kawan-kawannya. Ia masih dapat bergerak, sekalipun lukanya begitu parah.

Jaka Sembung yang sama sekali tidak menyangka persengketaan dengan Ki Subekti masih ada buntutnya, segera berunding dengan kawan-kawannya, terutama mengenai jenazah Kembar Tiga Melati. Sebagian mereka menghendaki jenazah-jenazah itu dikuburkan di darat, tetapi timbul masalah bagaimana caranya membawa karena kapal mereka tidak lama lagi akan tenggelam. Lagi pula mereka berada di tengah-tengah lautan yang sama sekali tidak terlihat pantai.

Sementara sebagian lainnya menghendaki penguburan di laut saja karena menahan mayat terlalu lama bertentangan dengan ajaran Islam. Akhirnya tak ada pilihan lain, jenazah Kembar Tiga Melati harus segera dikuburkan di laut. Rupanya nasib mereka memang harus berkubur di lautan.

Dengan apa yang mereka miliki, jenazah Kembar Tiga Melati dikuburkan di laut secara sederhana, diiringi doa dan air mata perjuangan.

“Sekarang masalah sudah selesai,” kata Jaka Sembung mengalih ke acara lain. “Yang harus kita pikirkan bagaimana caranya kita meninggalkan kapal ini secepat mungkin sebelum tenggelam.”

“Benar!” Baureksa menyokong.

“Dengan apa?” tanya Mirah singkat.

Semua berpandang-pandangan. Kemudian semua diam, termasuk Umang. Jaka Sembung sendiri kaget dan menyesali gagasannya yang tidak memikirkan jalan keluar.

“Kau benar, Mirah!” ujar Jaka Sembung tersenyum, “Ku cabut gagasan ku itu.”

“Jadi?” tanya beberapa pendekar lain serentak. Belum lagi sempat memikirkan jawaban pendekar-pendekar itu, Jaka Sembung dan kawan-kawannya mendadak kaget.

Tidak jauh dari kelompok mereka, terlihat Ki Subekti sedang menuju ke arah mereka. “Aku datang untuk menagih piutang saudara kembarku yang ada padamu, Jaka Sembung,” kata Ki Subekti dengan penuh dendam.

“Kau terlalu membesar-besarkan masalah yang seharusnya sudah dilupakan, Ki! Aku tidak keberatan kau menuntut balas atas kematiannya, tetapi yang aku tidak senang kau selalu berusaha menegakkan yang bathil dan menyebarkan maut pada bangsamu sendiri.”

Jaka Sembung tegak dengan mantap di tempatnya seperti siap menerima akibat dari kata-kata yang diucapkannya itu.

Sejenak Ki Subekti tertegun seakan-akan hatinya tergugah untuk mengurungkan niatnya, tetapi mendadak ia menjadi beringasan dan langsung menyerang Jaka Sembung dengan suatu jurus aneh sehingga sempat Jaka Sembung dibuat gelagapan sejenak. Tetapi, akhirnya ia berhasil menangkis semua serangan tersebut.

Pengikut Jaka Sembung yang selalu menganggap Ki Subekti sebagai pendekar setan yang sangat berbahaya, segera menyerang Ki Subekti serempak.

Mereka ingin cepat-cepat menyelesaikan pertempuran yang bakal berkepanjangan itu. Tetapi maksud pendekar-pendekar tersebut tidak menjadi kenyataan karena tiba-tiba semua penyerang itu terpelanting. Mereka merasa seperti terdorong oleh sesuatu kekuatan yang tidak terlihat.

Sementara itu dari beberapa jurusan keluar belasan pengikut Ki Subekti. Mereka pun mencoba menyerang Jaka Sembung dan para pendekar pengikutnya. Perkelahian sengit pun segera berkecamuk.

Ki Subekti yang sudah tua ditambah dengan tangannya yang sudah buntung serta luka-luka di badannya, terus-menerus mencerca Jaka Sembung. Dendam di hatinya semakin berkobar ketika tiap serangannya tidak berhasil merubuhkan pendekar ulung itu.

“Ki Subekti!” seru Jaka Sembung sambil menekan goloknya tepat di leher pendekar tua itu, “Seharusnya kau mencoba menyadari, Ki! Kau dan aku belum saling mengenal, bagaimana bisa mendadak kita saling ingin membunuh? Aku benar-benar tidak tega membunuh orang seperti kau?”

Pendekar itu seperti tercenung. Seluruh sendi badannya terasa lemas. la hampir-hampir tak mampu mengangkat tangan dan kakinya lagi.

Melihat perubahan yang tiba-tiba terjadi pada diri pendekar tua itu, Jaka Sembung berangsur-angsur mengangkat goloknya dari leher Ki Subekti, yang jika ia mau setidak-tidaknya dapat melukai tubuh yang sudah tidak berdaya itu. Jaka Sembung dengan cepat melejit meninggalkan Ki Subekti yang semakin menunduk.

“Semoga pendekar tua itu mendapat petunjuk dari Tuhan!” doa Jaka Sembung dengan hatinya yang ikhlas.

Pada waktu yang sama, Kaswita, Baureksa dan Umang sedang dikerubuti anak buah Ki Subekti, sementara Mirah dan Sri Ayuningrum bertarung ketat menghadapi pendekar-pendekar yang tidak dapat dianggap enteng.

“Hei! Mengapa kau mati-matian membela pendekar setan itu?” kata Mirah sambil meloncat lincah mengelak serangan lawannya.

“Mengapa kau mencaci juragan kami yang saleh, ha?” tanya lawannya heran.

“Baik hati, katamu? Kau tidak tahu apa yang pernah terjadi di kapal ini. Ia pernah mencoba memperkosa dua orang temanku baru-baru ini, itu namanya orang saleh?” Mirah terus mencoba menteror mental musuhnya sambil bertempur.

“Bohong, Kau!” teriak lawannya tersinggung.

“Kau tidak percaya, tanyakan saja kepada majikanmu itu.”

Bertempur sambil bicara, berlangsung terus berjam-jam lamanya. Tetapi, ketika lawannya lengah, dengan mendadak Mirah mengirimkan suatu pukulan dahsyat sehingga lawannya sama sekali tidak berhasil mengelak. Begitulah siasat tempur yang dilakukan Mirah.

“Benar juga ajaran Umang!” gumam Mirah sambil tersenyum sendiri. “Beberapa orang musuh sudah berhasil kulenyapkan dengan cara yang demikian.”

Lain lagi dengan cara yang digunakan oleh Sri Ayuningrum. Ia menghadapi lawannya dengan santai sambil juga mengajak bicara.

“Hei, kelihatannya kau boleh juga,” kata Sri Ayuningrum ketika pukulannya berhasil dielak musuh.

“Kau kira aku apa?” tanya lawannya mulai kembang hidungnya.

“Kukira kau semula cuma badut yang ingin berlatih silat, rupanya kau sama cekatannya dengan Ki Subekti.”

“Hei, kau ini ingin berantem denganku apa ingin ngobrol, Nona cerewet?” bentak lawannya berpura-pura, padahal ia senang dipuji.

“Kedua-duanya,” jawab Sri Ayuningrum, “Tetapi lebih baik kita berkencan saja daripada berantem, bagaimana?”

“Hei, kau sungguh-sungguh Nona?” tanya lawannya mulai mengendurkan serangannya.

“Mengapa tidak?” jawab Sri Ayuningrum pura-pura tersenyum.

Akhirnya semangat untuk berkelahi lawan perlahan-lahan lenyap. Pada waktu semangat itu mengendur, Sri Ayuningrum melepaskan suatu serangan yang mematikan. Musuh itu pun terkapar tanpa ampun.

Tipu muslihat seperti itu dilakukan berturut-turut oleh Sri Ayuningrum yang memang cantik sehingga beberapa lawan menjadi korban tanpa perlawanan sama sekali.

“Kalian banyak bisanya,” kata Umang yang sejak tadi mengintip dari jauh.

“Kakang gurunya, bukan?” kata Mirah dan Sri Ayuningrum serentak sambil-tertawa terbahak-bahak.

Ketika ketiga pendekar pengikut Jaka Sembung itu sedang tertawa sejadi-jadinya itu, tiba-tiba tanpa disadari muncullah seorang laki-laki besar, tinggi dan tegap dengan kumis lebat melintang di atas bibirnya. Ia memakai celana pangsi berwarna hitam dengan dada telanjang penuh bulu.

“Kau siapa?” tanyanya kepada Umang setengah membentak.

“Aku seperti yang kau lihat!”

“Namamu siapa, kunyuk!” Orang itu marah seraya menghentakkan kakinya.

“Namaku si Lengan Tunggal! Apa kau tak lihat?”

Pendekar yang mirip-mirip raksasa itu tersenyum. “Sekarang, pengikut Ki Subekti hanya aku yang tersisa, yang lain telah kalian bunuh dengan mudah. Kini giliranku membunuh kalian, semua mengerti?” kata pendekar raksasa itu penuh dendam.

Umang menoleh ke arah Mirah dan Sri Ayuningrum dengan tersenyum.

“Mirah! Dia pikir kita sayuran yang memang untuk dilalap,” kata Umang dengan senyum mengejek.

“Hai! Kau mengejek aku Buntung!?”

“Kalau ya mengapa?”

“Celaka!” desis Mirah ke telinga Sri Ayuningrum, “Kembali kita punya tugas khusus lagi untuk membereskannya.”

“Kurang ajar!” bentak pendekar raksasa itu, sambil menyerang dengan tangan kosong.

Umang segera berkelit dan secepat itu pula ia mengirimkan sebuah tendangan kuat dengan kaki kanannya ke arah dada dan mengenai dengan telak

“Buuk”.

Tetapi, jangankan ia jatuh terjengkang ke belakang, goyah pun tidak. Malahan pendekar itu tersenyum mengejek.

“Begitu kuatkah pukulanmu, Kawan?” tanya si raksasa itu.

Umang tidak menjawab. Hanya hatinya saja yang berkata-kata, “Alangkah kuatnya orang ini!”

“Kukira pukulanmu tadi bisa merontokkan tulang-belulangku, tetapi rupanya kekuatanmu hanya cukup untuk menepuk nyamuk!” lanjut pendekar itu dengan nada menghina.

“Hai, Kunyuk! Kau manusia sombong, yang bernyali kecil,” bentak Mirah memancing kemarahan pendekar itu, “Kalau kau berani melawan aku, aku akan sujud di telapak kakimu hai pendekar dungu!”

Mendengar caci maki dan serapah Mirah, pendekar raksasa itu sangat tersinggung sehingga tanpa banyak perhitungan ia melompat ke atas kemudian berjumpalitan dan mendarat di depan Mirah. Tetapi, sebelum kakinya menginjak tanah, Mirah segera menggenjot badannya ke atas sambil menusukkan dua jari tangannya ke mata pendekar raksasa itu.

Ketika itu juga terdengar suatu pekik kesakitan sehingga badannya terjatuh duduk di lantai kapal. Kedua belah tangannya menutup muka seraya meraung-raung.

“Nah, sekarang aku telah membuat matamu buta,” kata Mirah yang berdiri di depannya, “Apakah aku harus sekaligus membunuhmu sebagai seekor nyamuk, ha!?”

Pendekar bertubuh raksasa itu masih meraung.

“Jawab! Sebelum aku penasaran,” gertak Mirah berpura-pura sambil melihat ke arah Umang dan Sri Ayuningrum.

Umang menggeleng-geleng kepala.

“Lindungi aku Nona! Aku bukan orang yang penting lagi di mata kalian,” jawab pendekar itu dengan nada sedih.

“Biarkan dia hidup, Mira!” bisik Sri Ayuningrum dengan rasa kasihan, “Ia tidak akan dapat mendatangkan kesulitan bagi kita lagi.”

Ketika itu datang Kaswita dengan beliung di tangan dan hampir-hampir saja membolongi bagian punggung pendekar malang itu dengan beliungnya yang sudah banyak memakan korban. Tetapi Sri Ayuningrum kembali menyelamatkannya untuk kedua kalinya.

Belum lama peristiwa itu terjadi, tiba-tiba mereka dikagetkan oleh bunyi berderak-derak disertai goncangan-goncangan keras sehingga hampir saja mereka terpelanting.

“Mungkin kapal ini mulai tenggelam,” Sri Ayuningrum menduga-duga.

Dugaan itu segera terbukti. Lantai kapal tempat mereka berpijak semakin turun sedangkan air semakin terasa naik.

“Kaswita! Kau tahu aku tidak dapat berenang.” kata Ayu Ningrum.

“Jangan khawatir, Kak! Aku tidak akan membiarkan mu sendiri!”

Sementara itu, terdengar pula bunyi berderak-derak yang lebih kuat. Ketika itu kapal semakin tenggelam. Suatu ledakan terdengar dan kapal besar itu pun pecah berantakan. Belahan-belahan papan terapung berserakan di permukaan air.

Kaswita dengan kepandaian berenangnya berusaha menyelamatkan kakaknya Sri Ayuningrum dari serangan ombak. Belum begitu jauh mereka terbawa arus, tiba-tiba dekat mereka hanyut sekeping bekas dinding kapal yang cukup besar. Kaswita menggapainya dengan cepat, kemudian dengan susah payah mengangkat Sri Ayuningrum ke atas.

“Alhamdulillah!” ucap gadis itu dengan rasa penuh syukur.

Ketika itu, matahari perlahan-lahan tenggelam di kaki langit sebelah Barat, namun cahaya samar-samar masih juga mewarnai permukaan laut. Sepanjang malam itu Kaswita dan Sri Ayuningrum terombang-ambing dibawa ombak.

Mereka tidak henti-hentinya memperhatikan benda-benda yang hanyut di sekitar mereka harapan kalau-kalau ada teman-teman yang memerlukan pertolongan. Tetapi, sebegitu jauh, mereka tidak menemukan apa-apa kecuali serpih-serpih papan yang tidak berarti.

Sementara itu rasa lapar dan haus semakin menggoda. Sekali-sekali, Sri Ayuningrum teringat kepada Baureksa dan Umang, kepada Unui, Neneng dan Nuna. Ia pun sangat terkesan kepada kebaikan dan keramahan Mirah.

Sekarang semua berantakan. Berpisah satu sama lain entah ke mana dan mungkin tidak akan bertemu lagi. Sri juga teringat kepada kakaknya Jaka Sembung yang baru bertemu kemudian berpisah lagi. Mengenang semua itu tanpa disadarinya hatinya terseret kesedihan dan air matanya berlinang menyatu dengan air laut yang sama asinnya.

Suasana laut malam itu seperti kolam, tenang dan ramah. Sementara langit tampak biru bening. Di sana-sini terlihat bintang bertaburan berkelip-kelip di kejauhan. Bulan semakin lama semakin benderang dan angin laut berembus tenang seramah ombak dan gelombang, seakan-akan menaruh kasihan kepada dua orang manusia yang sedang terkatung-katung itu.

Akhirnya, karena keletihan dan kesedihan Sri Ayuningrum dan adiknya Kaswita tertidur pulas di atas kepingan kapal itu tak tahu lagi apa yang terjadi.

◄Y►

Suasana pagi itu sangat cerah. Angin laut berhembus tenang. Matahari menyinari pantai berpasir putih itu, dan dari jauh tampak berbinar-binar.

Burung camar kelihatan terbang mengepak-ngepak sayap. Sebentar-sebentar menukik rendah ke permukaan air dan menyambar secepat kilat sambil membubung kembali dengan ikan tangkapan di kakinya.

Dua sosok tubuh yang tergeletak di pantai itu tampak masih terbaring. Kedua tubuh yang letih dan tidak berdaya itu, tidak lain dari Sri Ayuningrum dan Kaswita. Cahaya matahari pagi yang lembut memberikan kehangatan kepada kedua pendekar muda itu.

Tiba-tiba terlihat Sri Ayuningrum menggeliat dan kemudian membuka kedua matanya perlahan-lahan. Tetapi, secepat itu pula ia terpejam kembali karena silau.

Ketika badannya membalik ke kanan, ia melihat Kaswita tertelungkup di pasir.

“Mengapa ia tidur di pasir?” tanyanya dalam hati. Tetapi kemudian segera ia merasa dirinya pun sama.

Sri Ayuningrum perlahan-lahan bangun. Ia duduk di pantai dan air laut menjilat ujung kakinya. Perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan beberapa langkah ke tempat Kaswita yang masih terbaring.

“Kaswita! Kaswita! Bangun!” serunya sambil menggoyang-goyang bahu adiknya.

Kaswita kaget dan serentak duduk.

“Di mana kita berada sekarang, Kak?”

“Tuh!” Sri Ayuningrum menunjuk ke laut.

“Wah, rupanya kita terdampar di sini dibawa gelombang.”

“Ya, hanya karena lindungan-Nya kita bisa selamat,” ujar Sri dengan mata berkaca-kaca.

Kaswita menunduk kepala membenarkan ucapan kakaknya.

“Yang lain di mana, Kak?”

“Aku tak tahu!”

“Bagaimana kalau kita mencoba menyusuri pantai ini?” usul Kaswita dengan harapan dapat menemui kawan-kawannya yang lain senasib. Sri Ayuningrum mengerti maksud adiknya.

“Aku setuju!”

Kaswita segera membenahi dirinya dan memungut senjata beliungnya yang tak pernah tinggal. “Mudah-mudahan, Kak, kita bertemu dengan kawan-kawan yang lain.”

“Harapanku pun begitu, terutama dengan Kang Parmin.” Sambil berbicara mereka terus menyusuri pantai putih yang berkilau-kilau terkena sinar matahari.

Baru kira-kira 100 meter mereka meninggalkan tempat mereka terdampar, tiba-tiba mereka melihat kepingan dinding kapal yang pernah mereka gunakan untuk menyelamatkan diri.

“Benar, Kak! Memang itu papan yang telah membantu kita sampai selamat,” lapor Kaswita kepada kakaknya setelah papan itu diseret ke darat.

“Kalau begitu, bukan tidak mungkin kawan-kawan yang lain pun terdampar di sekitar pantai ini,” kata Sri Ayuningrum mereka-reka.

“Mengapa begitu, Kak?”

“Pasti ada angin kencang yang berhembus dari satu arah sehingga sampah-sampah laut datang ke sini,” kata Sri sambil menunjuk dengan ujung kakinya pada seonggok sampah kapal yang mendarat pula.

“Termasuk kita?” kata Kaswita.

“Ya!”

Kemudian mereka meneruskan perjalanan itu di sepanjang pantai.

T A M A T

Pembaca yang setia, Bagaimana nasib Jaka Sembung? Bagaimana nasib Umang dan Mirah? Bagaimana nasib si Gila Dari Muara Bondet? Bagaimana pula nasib Baureksa?

Tunggulah episode-episode berikutnya, mulai dari episode berjudul: Terdampar Di Pulau Hitam