Warok Ponorogo 5 - Tragedi Perempuan Kampung(2)

4
TERKENA MUSIBAH 


DALAM perjalanan pulang dari pesta di Kadipaten 
malam itu, nampak pasangan suami-isteri Karto- 
sentono dan Waijah Sarirupi bersuka cita atas sikap 
hangat penyambutan yang ditunjukkan oleh Kanjeng 
Adipati terhadap mereka berdua. Dianggapnya se- 
bagai kebaikan yang sangat ramah dan menghor- 
matinya. 
"Ini baru namanya kebahagiaan bagi kita, Nduk,” kata 
Pak Kartosentono kepada isteri setianya, yang duduk di 
sebelahnya di dalam kereta dokar, nampak mereka puas 
atas pelayanan yang baru saja diterimanya dari pesta di 
kadipaten itu. 
"Ya. Kangmas. Kenapa Kanjeng Gusti Adipati bersikap 
baik sekali yah. Sampai mau-maunya mengadakan pesta 
makan malam untuk kita, kalau hanya mau menyerahkan 
surat-surat kios pasar," kata isterinya. 


"Yah itu tadi, Karena beliau itu ingin memberikan balas 
jasa, atas segala pengorbanan kita kepada beliau. Kita 
telah menyambutnya sebagai tuan rumah yang baik 
waktu beliau berkunjung ke rumah kita dulu itu. Bahkan 
sampai engkau memberikan penghormatan yang tidak 
sepantasnya, dan tidak seharusnya diberikan, tetapi kita 
pun bersedia memberikan kepantasan yang dirasa perlu 
untuk menghormati tamu kita seorang Putra Mahkota 
Adipati pada waktu itu," kata Pak Kartosentono terlihat 
tersenyum-senyum senang sambil memandangi isterinya 
yang duduk di sebelahnya. 

"Setelah ini kita akan bisa memajukan usaha kita. 
Tapi...," tiba-tiba pembicaraan Pak Kartosentono 
terhenti, ia memegangi perutnya. 

"Kenapa Kangmas..." tanya isterinya yang segera 
mendekat dan ikut memegangi perut suaminya itu, apa 
gerangan yang terjadi terhadap suaminya, 

"Tidak apa-apa. Saya barangkali mau muntah, mungkin 
kekenyangan makan tadi. Perut saya terasa mulas, dan 
tenggorokanku terasa panas," ujar Pak Kartosentono. 


"Tapi, mulut Kangmas mengeluarkan busa. Badan 
Kangmas tiba-tiba menjadi berkeringat dingin begini..." 
kata isterinya nampak kebingungan melihat perubahan 
keadaan badan suaminya yang begitu cepat. 


"Tidak apa-apa. Hanya perutku saja yang terasa mual. 
Badan rasanya memang agak lemas, Coba tolong Trimo, 
berhenti sebentar di dekat sungai itu, aku mau berak 
dulu," kata Pak Kartosentono memberi perintah kepada 
kusir setianya yang bernama Trimo itu. 


Dokar itu berhenti di dekat tepi sungai, dan Pak Karto- 
sentono dengan dipapah isterinya berjalan gontai 
mendekati sungai yang tak jauh dari jalan itu, Sementara 
itu Kusir Trimo menunggu Dokar itu di tepi jalan, Lama 
juga belum kembali pasangan suami isteri itu. Lalu, 
timbul keinginan Trimo untuk menengoknya kalau- 
kalau terjadi sesuatu, atau ada apa-apa terhadap maji- 
kannya yang selama ini selalu berbaik hati kepadanya. 


"Nduk...badanku jadi lemas sekali," kata-kata Pak Kar- 
tosentono kepada isterinya yang sedang memegangi 
sarung suaminya itu. Suaranya mulai melemah sambil 
badannya tertelentang di tepi sungai, ia berusaha berak 
sambil dipegangi isterinya, tetapi tidak bisa. Perutnya 
mules berat. Pandangan matanya berkunang-kunang. 
Mulutnya mengeluarkan busa. Keringat dingin mem- 
basahi seluruh tubuh. Waijah Sarirupi, isterinya ke- 
bingungan di samping suaminya yang sudah lemas itu. 
Apa yang harus dilakukan demi melihat keadaan 
Suaminya yang tubuhnya mulai mendingin. Untung 
segera muncul Trimo kusirnya itu. 

"Trimo, tolong Bapak segera dibawa kembali ke Dokar," 
kata Waijah Sarirupi kepada Trimo kusir Dokar itu. 


“Baik Bu," dengan tergopoh-gopoh Trimo berusaha 
memapah Pak Kartosentono yang sudah lemas itu. Se- 
sampainya di atas Dokar, Trimo segera memacu 
dokarnya. 


“Langsung pulang, apa kembali ke kota mencari Dukun, 
Bu," tanya Trimo juga nampak kebingungan. Mau 
dibawa ke mana Pak Kartosentono yang nampak sudah 
payah sekali itu. 


“Kita ke rumah Mbah Dukun Mantri Jopomontro saja di 
Sumoroto," jawab Waijah Sarirupi yang nampak cemas. 


"Baik, Bu," sambil menjawab, Trimo memacu kudanya 
itu lebih kencang membelok ke arah barat. 

Malam itu jalan-jalan terasa sepi, jarang ditemui ken- 
daraan berpapasan dengan mereka. Hanya beberapa 
terdengar suara kuda yang berjalan lambat di belakang. 
Kusir Trimo terus memacu kudanya dengan kencang 
sampai seisi penumpang itu tubuhnya terguncang hebat. 
Jarak tempuh antara kota Kadipeten dan kota Sumoroto 
memang cukup jauh, tetapi hanya dukun itu satu- 
satunya yang dapat dianggap mumpuni untuk 
mengatasi permasalahan gawat seperti sekarang ini. 


Sesampai di depan rumah Mbah Dukun Mantri Jopo- 
montro di perbatasan kota Sumoroto, terlihat seorang 
tua nampak sudah menunggu kedatangan suami-isteri 
Kartosentono itu di pintu depan rumahnya dengan dite- 
mani seorang pembantu laki-laki muda mungkin masih 
keluarganya sendiri. Rupanya ia mempunyai ilmu 
tinggi yang dapat membaca isyarat bakal ada tamu yang 
akan datang, maka ia telah bersiap diri berdiri di depan 
rumah yang bercat coklat tua itu begitu dokar yang 
ditumpangi Pak Kartosentono tiba. 





"Cepat bawa ke sentong kiri, sudah saya siapkan lulur 
untuk menahan keluarnya kekuatan jahat dari dalam," 
perintah Mbah Dukun Mantri begitu dokar itu berhenti 
tepat dihadapannya. Tanpa banyak tanya Trimo dibantu 
Waijah, dan laki-laki muda di samping Mbah Dukun 
Mantri Jopomontro itu segera memapah tubuh Pak Kar- 
tosentono yang sudah dingin itu. Beberapa saat tubuh 
itu terbujur diatas dipan kayu yang beralas tikar mendong. 
Seluruh badan Kartosentono dilulur oleh Mbah Dukun 
Mantri Jopomontro sambil mulutnya komat-kamit 
membacakan mantra jampi-jampi. 


Agaknya, nyawa Pak Kartosentono sudah tidak ter- 
tolong lagi. Serangan kekuatan tenaga jahat itu begitu 
kuatnya dan dengan cepat telah menguasai seluruh 
tubuh Kartosentono. Mbah Dukun Mantri berusaha 
membendung dari celah-celah Pori-pori yang masih ada 
antara permukaan kulit dan daging tubuh itu untuk 
menahan kekuatan dahsyat itu tetapi rupanya usaha 
Mbah Dukun Mantri Jopomontro itu tidak membawa 
hasil, masih kalah cepat dengan serangan kekuatan itu. 
Maka, ajal telah tiba merenggut nyawa Pak Kartosen- 
tono. Pedagang hasil bumi dari Dukuh Bubadan yang 
kaya itu meninggal dipelukan isterinya yang cantik 
jelita, Waijah Sarirupi yang tangisnya tersedu-sedu 
menahan duka. 


"Maafkan Mbah, Waijah," kata Mbah Dukun Mantri 
Jopomontro, "Aku tidak berhasil mengejar datangnya 
kekuatan penyerang itu." 


"Ap..apa yang menyebabkan kematian suami hamba, 
Mbah," kata Wajjah di tengah isak tangisnya. 
"Tenangkan dirimu, Waijah. Suamimu tersambar 
terung yang sedang lewat" kata Mbah Dukun Mantri 
Jopomontro sambil memegang tubuh Wajjah Sarirupi 
yang langsung ambruk mendekap jasad suaminya itu. 


Walaupun Mbah Dukun Mantri Jopomontro sebenarnya 
tahu apa yang menyebabkan kematian suami Wajah 
Sarira gaku KE rain dari ninuman yang berasal dari 
gelas minuman yang telah disiapkan di pesta makan 
Kadipaten tadi. Racun yang telah diberi jampi-jampi itu 
menyerang kuat setelah beberapa saat kemudian. Tetapi 
hal itu tidak disampaikan kepada Waijah Sarirupi, ia 
hanya mengatakan bahwa yang menyebabkan kematian 
itu ada serangan kekuatan tenung yang sedang lewat di 
jalan secara tidak sengaja menyerang tubuh suaminya 
itu. 


Setelah dimandikan, jasad Pak Kartosentono itu dirawat 
dengan baik untuk dibawa pulang ke Dukuh Bubadan. 
Para tetangga dan handai taulan ramai mengiringi 
jenasah untuk mengantar ke peristirahatan) terakhir 
pedagang hasil bumi yang gigih itu. Saarin 
isterinya yang cantik jelita itu dan seorang bocah 
nama Joko Tole yang belum tahu banyak apa yang baru 
menimpa ayahandanya itu. 


5
PENOLAKAN 


WAIJAH SARIRUPI kini telah menjadi janda sejak 
ditinggal mati oleh suaminya Pak Kartosentono 
beberapa waktu yang lalu. Belakangan ini, ia kelihatan 
dengan sangat terpaksa mengurus usaha dagangnya 
untuk mempertahankan hidupnya. Meneruskan usaha 
dagang hasil bumi peninggalan suaminya. 

Setelah kematian suaminya itu, Waijah Sarirupi seakan- 
akan tidak mempunyai semangat hidup lagi. Perasaannya 
tidak pernah tenteram. Walaupun sudah banyak laki- 
laki yang berusaha mendekati, untuk mengambil hati 
ingin menjadikan isteri. Demikian juga tidak sedikit 
yang nekat telah mengajukan lamaran. Akan tetapi sam- 
Pai berita terakhir nampaknya belum ada seorang pun 
yang diterima lamarannya. 

Dalam hati kecil Waijah Sarirupi mengatakan bahwa 
yang menyebabkan kematian suaminya waktu itu, 
diperkirakan lantaran minuman suguhan di pesta Kadi- 
paten malam itu, Ia, sepintas sering menangkap isyarat 
yang tidak beres dari pancaran mata Kanjeng Gusti Adipati, 
sepertinya terlintas ada rasa kebencian kepada 
suaminya. Walaupun kelihatan bersikap ramah, dan 
memperlihatkan senyum manis dihadapannya, namun 
naluri seorang wanita tidak mudah diperdaya, 
sepertinya ada maksud-maksud tertentu yang di- 
rasakan agak janggal. Demikian juga secara sepintas, 
ada semacam kilatan mata terpancar aneh yahg 
beberapa kali tertangkap Waijah, agaknya Kanjeng 
Adipati itu sedang memendam rasa birahi kepadanya. 


Ketika malam di acara pesta di Kadipaten itu, 
sebenarnya Waijah Sarirupi sempat memperhatikan 
warna gelas yang diminum suaminya waktu itu. 
Warnanya agak lain dari gelas-gelas yang disediakan 
untuk tamu-tamu yang lain. Nampak keruh kebiru- 
biruan. Dan sepertinya ada semacam sinar kecil yang 
memantul menuju ke gelas suaminya itu dari arah arca 
di sudut ruangan itu. Walaupun kecurigaan itu hanya 
terlintas di dalam benaknya, tetapi ia tidak berani ber- 
buat apa-apa dihadapan Kanjeng Adipati. Jangankan 
mau memprotes, kalau pun tiba-tiba kehormatannya 
pun diminta seketika itu, perempuan seperti Waijah 
Sarirupi itu tidak kuasa untuk menolaknya. 

Berita kematian Pak Kartosentono telah sampai ke Kadi- 
paten. Setelah satu minggu dari upacara penguburan 
Pak Kartosentono, datang utusan dari Kadipaten yang 
meminta Wajjah Sarirupi untuk menghadap ke Kadi- 
paten Ponorogo dengan alasan untuk memperbarui 
surat-surat kios pasar yang sebelumnya atas nama 
suaminya akan diubah menjadi nama Waijah Sarirupi 
sebagai pewaris. 

Kedatangan punggawa Kadipaten yang disertai 
pengawalan dengan membawa kereta kencana mewah 
yang dimaksudkan untuk menjemput Waijah Sarirupi 
itu, tentu telah membuat heran penduduk Dukah 
Bubadan. Ada apa Waijah Sarirupi sampai mau dibawa 
ke Kadipaten dengan dijemput kereta kencana kadipaten 
beserta pengawalan lengkap para punggawa kadi- 
paten. 


Dalam keadaan kebingungan, Waijah Sarirupi segera 
menyuruh anak laki-lakinya yang masih bocah itu, Joko 
Tole untuk memintakan pertimbangan kepada Warok 
Wirodigdo. Sepulang menemui Warok Wirodigdo bocah 
laki-laki itu melaporkan hasil pembicaraannya dengan 
Warok Wirodigdo kepada Ibunya. 


"Menurut Eyang Guru Wirodigdo, Ibu tidak apa-apa 
pergi ke Kadipaten untuk mengurus soal surat-suratizin 
kios pasar itu, tetapi jangan ikut naik kereta jemputan, 
agar sebaiknya ibu pergi ke sana sendirian diantar oleh 
si Kusir Trimo saja dengan menggunakan dokarnya 
sendiri. Dan saya juga tidak boleh ikut mengantar Ibu", 
begitu penuturan Joko Tole kepada ibunya setelah 
menghadap Warok Wirodigdo. 


"Baik kalau begitu. Bapak-bapak punggawa. Saya akan 
segera ke Kadipaten dengan menggunakan Dokar saya 
sendiri. Kalian hendaknya kembali saja dan sampaikan 
kepada Kanjeng Adipati, saya segera menghadap”, begitu 
jawab Waijah Sarirupi kepada para punggawa Kadi- 
paten yang menungguinya sejak tadi. 

Para punggawa itu, rupanya tidak ingin kena marah. 
Tetap pada pendiriannya ingin membawa Waijah 
Sarirupi bersamanya, lantaran mereka tidak mau 
melanggar perintah. Maka diambil jalan tengah. Para 
punggawa supaya pergi menunggu di jalan jauh dari 
Dukuh, dan nanti beriringan membawa kendaraan masing- 
masing Ке kota Kadipaten. 

Sesampainya di Kadipaten, Waijah Sarirupi langsung 
dibawa masuk ke ruang tengah yang mewah sebagai 
ruangan kehormatan, hanya orang-orang tertentu yang 
dapat diterima di ruang ini. Kanjeng Adipati sudah nam- 
pak lama menunggu di sana. Surat-surat penggantian 
balik nama pemilik kios pasar sudah dipersiapkan untuk 
digantikan nama kepada Waijah Sarirupi. Dengan 
menunjukkan sikap ingin menolong, Kanjeng Gusti 
Adipati sekaligus menyampaikan keinginannya untuk 
mempersunting Waijah Sarirupi, janda yang telah 
ditinggal suaminya itu, agar ia bersedia menjadi isteri 
keempatnya. 

Waijah Sarirupi kaget dibuatnya mendengar uraian 
Kanjeng Gusti Adipati yang halus pelan-pelan dalam 
mengutarakan maksudnya, ingin mempersunting dirinya. 


Waijah Sarirupi tidak bisa memberikan keputusan saat 
itu dan memohon waktu, juga dengan alasan tidak pantas 
dipandang orang kalau buru-buru menerima lamaran 
laki-laki, ketika baru seminggu suaminya meninggal. 


"Untuk apa lama-lama kita menunggu, Waijah. Kita toh 
sudah pernah melakukan hubungan sebagaimana 
layaknya suami-isteri. Demikian juga kita telah mem- 
buahkan anak, padahal waktu itu suamimu masih ada. 
Dan sekarang engkau sudah menjanda. Aku punya 
kedudukan sebagai penguasa di daerah ini. Dulu aku 
belum jadi apa-apa, semua masih menjadi milikayahku. 
Jadi sekarang ini, kita dalam keadaan yang paling baik. 
Aku mencintaimu. Kita telah mempunyai anak yang 
harus kita bahagiakan bersama di istana Kadipaten ini. 
Sementara aku tidak punya anak dari isteri-isteriku yang 
lain. Anak kita itu yang akan menjadi penggantiku di 
sini nanti. Pikirkan itu baik-baik Waijah. Ini demi masa 
depanmu dan masa depan anak kita," bujuk Kanjeng 
Gusti Adipati seperti layaknya orang yang sedang 
kasmaran berat. 


Waijah Sarirupi tidak bisa berkata apa-apa. la hanya 
menunduk dan matanya berkaca-kaca menahan tangis. 
Tiba-tiba seperti ada kekuatan gaib yang mempengaruhi 
kondisi bathin Waijah Sarirupi, sehingga kemudian 
menimbulkan keberanian untuk berkata tegas. 

"Kanjeng Adipati yang hamba hormati. Hamba ingin 
bertanya, siapa sebenarnya yang merencanakan untuk 
membunuh suami hamba, Kanjeng Adipati. Apa gelas 
yang diminumnya ketika pesta di sini dulu itu diberi 
racun?," tanya Waijah Sarirupi tiba-tiba tanpa dinyana. 


"Hah...Racun?. Siapa yang memberi racuni." pertanyaan 
Waijah Sarirupi yang tidak disangka itu sempat mem- 
buat gagap Kanjeng Gusti Adipati. Dan dalam hati timbul 
kebingungannya, dari mana Waijah dapat informasi 
itu. 


"Hamba melihat sendiri. Ada semacam warna racun di 
dalam gelas suamiku malam itu. Gelas minuman suami 
hamba berwarna lain dari warna gelas yang disuguhkan 
untuk tamu-tamu yang lain. Jadi apa maksudnya semua 
ini. Kami sekeluarga telah memberikan pengabdian 
kepada Kanjeng Gusti Adipati. Bahkan ketika Kanjeng 
Gusti Adipati meminta pengorbanan hamba pun, 
hamba bersedia menyerahkan kehormatan hamba.
Suami hamba pun rela mengorbankan isterinya demi 
untuk kepentingan Kanjeng Gusti Adipati, Demikian 
juga hamba pun patuh memenuhi yang Kanjeng Gusti 
minta. Mengapa masih meminta pengorbanan nyawa 
suami hamba. Laki-laki yang baik hati itu," kata Waijah 
Sarirupi tegas dengan air mata yang berlinang ingat 
akan sikap baiknya yang selalu ditunjukkan kepadanya. 


"Jangan...jangan tuduh yang macam-macam Waijah. 
Aku tidak tahu apa-apa, Soal kematian suamimu itu 
menurut penuturan Tabib Kadipaten, adalah mati wajar. 
Ada serangan awan jahat di tengah perjalanan kalian 
malam itu. Engkau sendiri katanya yang telah mem- 
bawa ke Dukun Sumoroto. jadi siapa yang membunuh, 
saya tidak tahu. Kalau ketahuan ada pembunuhnya 
akan saya usut, dan akan aku ganjar hukuman berat. Ini 
janjiku kepadamu, Waijah," ujar Kanjeng Gusti Adipati 
nampak berwajah serius. Namun dalam hati juga timbul 
keheranan terhadap kejelian perempuan ini yang keli- 
hatannya mempunyai kekuatan tanggap sasmito yang 
mampu melihat hal-hal yang tidak tertangkap oleh 
indera manusia biasa. Dan ini yang lebih menarik bagi 
Kanjeng Gusti Adipati, makin penasaran saja untuk 
cepat-cepat memiliki perempuan kampung yang molek 
penuh daya tarik ini. 

"Kanjeng Gusti Adipati, kalau demikian hamba mohon 
ampun, dan mohon diri untuk kembali pulang." 


"Jangan dulu pulang. Jangan buru-buru pulang, Waijah. 
Waktuku banyak sekali untuk menerimamu di sini. Aku 
sangatsenang engkau ada disini. Sungguh, Waijah. Hari 
ini aku sangat bahagia engkau berada di sini." 

"Tetapi kalau sekiranya, Kanjeng Gusti Adipati sudah 
tidak ada perlu lagi memanggil hamba kemari. Ijinkan 
hamba berpamit pulang," 

"Waijah, engkau sangat aku perlukan di sini. Aku san- 
gat membutuhkanmu. Anggap saja di siri ini semua ruma- 
hmu sendiri. Engkau pulang ke rumahmu ini; Baiknya 
tenangkan hatimu. Aku akan menemanimu. Waktuku 
sangat berharga bersamamu di sini. Engkau mau minum 
apa, ada anggur enak dari Majapahit. Bagaimana, sebentar 
aku ambilkan," Adipati itu segera mengangkat kaki dan 
mengambilkan sendiri minuman anggur yang kemu- 
dian diminum bersama Waijah Sarirupi. Walaupun 
sebenarnya Waijah ingin menolak pemberian minuman 
itu, tetapi lantaran tenggorokannya juga merasa kering 
merasa kehausan terpaksa diterimanya pemberian 
minuman itu, Ia bersama Kanjeng Gusti Adipati yang 
nampak hatinya sedang berbunga-bunga karena dapat 
berbincang dengan perempuan secantik Waijah Sarirupi 
ini, kelihatan sering gugup begitu nampak sangat 
dimanjakan Kanjeng Gusti Adipati. 


"Bagaimana keputusanmu, Waijah. Apa engkau 
bersedia menerima lamaranku tadi agar kita tiap hari, 
tiap malam kita selalu bisa menikmati hidup ini ber- 
sama." 

"Hamba belum bisa menjawab sekarang. Nanti kami 
akan haturkan jawabannya kepada Kanjeng Gusti Adipati" 
"Ohh, begitu. Ya... tapi jangan lama-lama ya," kata Kanjeng 
Gusti Adipati nampak puas dengan wajah berseri-seri. 
"Tetapi engkau tidak keberatan bukan, kalau aku ingin 
menciummu, Waijah." 


Waijah Sarirupi tidak menjawab hanya menundukkan 
kepalanya, dan Kanjeng Gusti Adipati itu pun nampak 
dengan penuh hormat mencium kening Waijah Sarirupi 
vang rupawan berkilau itu, 


6
GEMBLAKANN 


HARI demi hari telah berlalu. Minggu silih berganti 
telah berjalan hampir lima tahun, Waijah Sarirupi terus 
menghindar dari lamaran Kanjeng Gusti Adipati yang 
masih penasaran mengubernya untuk menjadikan dirinya 
sebagai isterinya ita. Namun selalu mendapat jawaban 
dari Waijah Sarirupi “Sabarlah Kanjeng Gusti Adipati. 
Hamba sedang mempertimbangkan. Mohon waktu," 
demikian kata-kata yang selalu keluar dari mulut Waijah 
Sarirupi ketika tiap kali dipanggil ke Kadipaten untuk 
ditanya mengenai jawaban terhadap lamaran Kanjeng 
Gusti Adipati Raden Mas Sumboro Mukti Wibowo yang 
sudah tertunda-tunda bertahun-tahun itu. 

Tiap malam Waijah Sarirupi tidak bisa tidur apabila ia 
ingat akan kematian suaminya Pak Kartosentono, dan 
juga menjadi semakin bingung menghadapi desakan 
lamaran Kanjeng Gusti Adipati yang tiap kali selalu 
menanyakan itu. Kalau sudah demikian ia biasanya lalu 
bersemedi di ruang sentong kiri, samping rumahnya 
berlama-lama memohon petunjuk kepada Sang Hyang 
Tunggal penguasa alam semesta ini.
 

Anaknya laki-laki, Joko Tole, anak kecil yang masih 
bocah belum tahu apa-apa, kemudian ia pun ikut 
bersedih sejak sepeninggal Bapaknya, Pak Kartosentono 
beberapa tahun yang lalu ketika ia masih bocah. Tetapi 
ia tidak pernah tahu, ada misteri apa di balik dirinya dan 
kesedihan Ibunya yang berlarut-larut itu. Ia hanya ikut 
prihatin atas perubahan sikap ibunya yang sering 
menangis sendirian yang juga mulai tidak memperlihatkan 
kegembiraan hidupnya. Perubahan yang terjadi atas diri 
Ibunya itu diceriterakan kepada Warok Wirodigdo yang 
beberapa tahun terakhir ini diam-diam telah memper- 
lakukan bocah Joko Tole sebagai gemblakannya. 


Selain dijadikan gemblakan, bocah Joko Tole sendiri 
menganggap Warok Wirodigdo sebagai gurunya yang 
telah mengajarkan ilmu-ilmu kekuatan bathin dan 
kanuragan kepada dirinya, sehingga ia pun sangat 
menyayangi Warok Wirodigdo yang perkasa itu diang- 
gap seperti layaknya bapaknya sendiri, 


Kebiasaan yang harus dijalani seseorang yang telah dijadi-
kan gemblakan utamanya adalah menemani tidur orang 
yang memungutnya sebagai gemblakan itu. Oleh 
karenanya, antara Warok Wirodigdo dan Joko Tole 
sudah seperti hidup bagaikan pasangan "suami-isteri", 
walaupun berbeda umur yang sangat jauh, boleh dibilang 
Seumur eyang buyutnya. 


Pantangan kawin merupakan salah satu tradisi para 
Warok dalam salah satu aliran yang dipercaya oleh 
warok-warok tertentu, walaupun ada pula aliran ilmu- 
ilmu lain yang dikuasai oleh Warok lainnya lagi yang 
tidak selalu mengharuskan pantang kawin ini. Untuk 
menggantikan fungsi isteri itu, biasanya seorang Warok 
mengambil anak laki-laki yang ganteng untuk dijadikan 
"isterinya" yang disebutnya gemblakan. Mengangkat 
gemblakan ini merupakan kebanggaan bagi seseorang 
Warok tertentu yang merasa makin mantab kedudukan 
kewarokannya apabila telah mampu memelihara gem- 
blakan ini. Kepemilikan gemblakan ini juga dianggap 
akan mengangkat gengsinya di mata masyarakat sebagai 
orang yang "mampu" menyantuni gemblakan yang ada 
hubungannya dengan soal harta dan martabat, sebab 
seorang gemblakan yang dipeliharanyaitu pada waktu- 
waktu tertentu selalu harus diberinya hadiah-hadiah, 
biasanya berupa hewan, kambing, anaksapi (pedet), sapi, 
kerbau, dan lain sebagainya. 


Selama Joko Tole menjadi gemblakan Warok 
Wirodigdo, ia pun rupanya tidak meninggalkan kebiasaan 
berpakaian ala gemblakan yang telah melekat sebagai 
adat-istiadat masyarakat setempat. Hal itu juga mem- 
buat kebanggaan bagi warok yang memeliharanya, 
martabatnya akan menjadi naik lantaran dapat mem- 
berikan pakaian seragam yang menjadi ciri-ciri gem- 
blakan yang bergengsi, antara lain Joko Tole diberi 
ikatan latar putih seperti layaknya seorang temanten, 
memakai pakaian hitam model jas bukakan dengan memakai 
Pakaian putih atau merah muda diberi variasi kaos lengan 
pendek, celana hitam sebatas bawah dengkul dibelek 
dengan ditempeli strip merah, membawa sarung batik 
latar putih. Tiap saat Joko Tole dengan pakaian seragamnya 
itu diajak jalan-jalan Warok Wirodigdo untuk 
dipamerkan kepada masyarakat umum sebagai kebang- 
gaan seorang warok yang memiliki gemblakan yang 
dapat dipertunjukkan. Kebiasaan kehidupan sebagian 
para Warok ini dianggapnya sebagai sangat bergengsi. 

Memang umumnya, anak yang dijadikan gemblakan itu 
biasanya dari orang tuanya yang miskin. Atau diambilkan 
dari anak keluarga miskin yang sedang dirundung 
kesusahan. Kemudian karena terpepet ekonomi, ia 
merelakan anak bocah laki-lakinya yang disayanginnya 
itu diambil jadi gemblakan oleh seorang Warok yang 
tersohor dan disegani masyarakat di daerahnya dengan 
imbalan akan menerima sejumlah pemberian dari 
Warok yang memeliharanya itu biasanya berupa pedet, 
anak sapi kalau si gemblakan sudah ikut Warok yang 
bersangkutan sekitar satu tahun. Namun lantaran 
hubungan yang baik saja antara keluarga orang tua Joko 
Tole dengan Warok Wirodigdo, maka yang terjadi nam- 
paknya lebih pada sikap suka sama suka. Tidak ada 
hitungan imbalan apa-apa. Saling membutuhkan saja, 
dan saling hormat-menghormati sesamanya. 


Suatu sore hari kedua laki-laki itu, yang satu sudah tua 
berusia lanjut dan yang satunya masih bocah belia nampak 
sedang ngobrol santai diberanda depan rumah Warok 
Wirodigdo yang terbuat dari bambu dan sebagian dari 
ukiran kayu jati. "Aku kesal sekali waktu itu kepada 
Bapakmu, Joko," kata Warok Wirodigdo membuka pem- 
bicaraan, "Sudah aku nasehati jangan pergi malam itu, 
aku telah menangkap isyarat kekuatan jahat yang bakal 
terjadi menimpa kepada Bapakmu. Tetapi Bapakmu 
tidak menggubris nasehatku, Ia lebih mementingkan 
untuk mengejar harta. Nafsu terhadap kekayaan itu 
yang sering membuat dirinya lupa untuk menjaga kese- 
lamatan dan martabat keluarga. Bahkan ia sering lupa 
memberikan pengamanan kepada ibumu. Demikian 
juga sampai-sampai ia teledor memberikan penga- 
manan terhadap dirinya sendiri. Jadi kematian Ba- 
pakmu itu sudah menjadi bagian dari rencana hidupnya. 
Ia sendiri yang membuat demikian itu. la yang seakan- 
akan telah menggali lubang kuburnya sendiri. Kasihan 
ibumu yang telah memberikan pengorbanan banyak. 
Apa saja yang dimaui Bapakmu, selalu dituruti oleh 
ibumu," demikian suatu sore, Warok Wirodigdo berceritera 
kepada Joko Tole. 


"Sekarang, apa yang bisa saya perbuat terhadap Ibuku, 
Eyang Guru," tanya Joko Tole. 


"Kamu harus bisa menjaga Ibumu. Biarkan, aku juga 
telah "menutup jalan masuk" bagi serangan kekuatan 
jahat yang ingin masuk mempengaruhi kekuatan bathin 
Ibumu dari jauh sini. Tugasmu Joko, kamu harus 
mampu mempelajari dengan tekun, secara terus- 
menerus ilmu-ilmu yang telah aku turunkan kepadamu. 
Kamu harus bisa menguasai semua ilmuku, sebelum ajal 
memanggilku," ujar warok Wirodigdo. 


"Matur nuwun. Terima kasih, Eyang Guru." 


Setelah berbincang lama dengan Joko Tole, tidak berapa 
lama Warok Wirodigdo kemudian bersemedi lama 
sekali, Warok Wirodigdo sedang berusaha keras untuk 
melepaskan semua susuk yang selama ini ditanam 
dalam sekujur tubuhnya berupa besi baja dan kuningan, 
semua benda keras itu yang dapat menahan serangan 
Jawan terhadap tusukan benda tajam, bacokan, atau senjata 
tajam lainnya, sehingga membuat Warok Wirodigdé 
selama ini menjadi manusia yang tidak tedas bacok. 


Barangkali kini, Warok Wirodigdo sudah mulai merasa 
bahwa umurnya tidak akan lama lagi, maka kemudian 
ia melakukan upacara pelepasan susuk itu agar 
memudahkan jalan menuju ajal apabila memang saatnya 
telah dikehendaki oleh Sang Hyang Tunggal. 

Semula semua susuk itu akan diwariskan kepada Joko 
Tole, tetapi kemudian setelah dipertimbangkan, 
mengingat usia dan pengalaman hidup Joko Tole yang 
masih bocah belum waktunya menerima kekuatan susuk 
yang memerlukan kemampuan diri untuk merawatnya 
itu agar tidak menjadi senjata makan tuan yang bisa 
membinasakan diri sendiri apabila yang memakainya 
belum kuat benar. Oleh karena itu kemudian, kekuatan 
susuk itu dilepas oleh Warok Wirodigdo tanpa ada 
pewarisnya. Entah siapa nanti yang akan menemukan 
kekuatan yang ada pada susuk itu. 


Waijah Sarirupi, ibu kandung Joko Tole, ketika semalaman
bersemedi di kamar rumahnya, merasa ada kekuatan 
gaib yang mendatanginya. Kekuatan itu berusaha menguasi 
dirinya, dan ingin memasuki jiwa raganya. Warok 
Wirodigdo, segera prayitno, kekuatan susuk yang baru 
dilepaskan itu berusaha berpindah kepada diri Waijah 
Sarirupi, ternyata kekuatan itu mendapatkan tolakan 
keras yang terpancar dari diri Waijah Sarirupi. Hampir 
saja akan terjadi pergumulan kekuatan kalau tidak 
segera diambil kembali oleh Warok Wirodigdo, apabila 
terlambat mungkin akan membawa cilaka, kematian 
bagi Waijah Sarirupi yang tidak kuat menahan 
datangnya kekuatan dahsyat itu. Tolakan kekuatan itu 
yang kemudian dikendalikan oleh Warok Wirodigdo 
lagi untuk dicarikan pangkalan kekuatan pada orang 
lain yang lebih kuat dan dinilai orang tersebut mempunyai 
moral yang baik agar kelak kekuatan itu tidak 
digunakan secara sembarangan. 


Dalam semedinya itu, tiba-tiba setelah berkeliling untuk 
mendapatkan orang yang tepat untuk memindahkan 
kekuatan itu, terlintas gambaran seseorang perkasa 
yang malam itu juga sedang melakukan semedi. Orang 
itu adalah Warok Wulunggeni yang ketika melihat pan- 
caran sinar mendatanginya, ia segera waspada dan 
tanpa banyak sikap kekuatan dahsyat itu disambarnya, 
ditangkapnya dan disimpan pada dirinya. 
Warok Wulungggeni yang sedang bersemedi itu 
kini mendapatkan tambahan kekuatan baru yang 
ditarik dari kekuatan yang dilepas oleh Warok 
Wirodigdo itu. 


Waijah Sarirupi yang merasa semedianya mendapatkan 
gangguan-gangguan dari berbagai kekuatan yang silih 
berganti, tiba-tiba ia mendapatkan petunjuk untuk 
meneruskan semedinya itu untuk mendatangi sebuah 
Pertapaan di lereng Gunung Lawu. Maka, akhirnya ia 
memutuskan untuk memilih pergi bertapa ke Gunung 
Lawu itu. Hal itu secara tidak langsung merupakan 
keputusan untuk menolak lamaran Kanjeng Gusti Adipati 
yang dinilai berhati jahat sebagai pembunuh suaminya. 
Sedangkan anak bocah yang ditinggalkan, Joko Tole, 
yang sedang tekun berguru kepada Warok Wirodigdo 
yang tidak punya isteri dan anek itu, dibiarkan terlantar 
begitu saja. Dalam hati Waijah berkata "Mudah-mudahan 
Kangmas Warok Wirodigdo mau mengangkat anak 
pada si Tole ini. Anak ini sebagai anak haramnya Adipati 
si mata keranjang itu. Manusia pembunuh itu," tukasnya 
dalam hati sambil memandangi anaknya yang sudah 
menginjak remaja itu ditinggalkan dalam keadaan tidur 
pulas di amben kamar depan rumah besar itu. 


7
AWAL PENGEMBARAAN 


SEJAK ditinggal pergi ibunya, Joko Tole, hidupnya 
Saas dirundung gelisah. Gurunya Warok 
Wirodigdo yang dibanggakan selama ini dan sudah 
dianggap seperti layaknya orang tuanya sendiri, atau 
bahkan lebih diperlakukan seperti eyangnya sendiri, 
tidak lama kemudian juga menyusul meninggal dunia 
karena umurnya yang sudah tua renta itu. Tetapi 
sebelum meninggal, Warok Wirodigdo sempat menu- 
runkan ilmu-ilmu andalannya kepada Joko Tole yang 
masih bocah itu, juga setumpuk buku-buku pelajaran 
berharga mengenai ilmu kanuragan dan olah batin 
tingkat tinggi. 

Joko Tole, walaupun masih terhitung anak bocah 
ingusan yang baru berumur sekitar sembilan. tahun, 
lama-lama karena Joko Tole dikenal masyarakat di karn- 
pung itu memiliki kemahiran menguasai ilmu kanuragan 
dan olah batin hampir setangguh gurunya Warok 
Wirodigdo, walaupun sebenarnya ilmu yang dikuasai 
Joko Tole itu baru permulaan, baru dasar-dasarnya saja, 
namun kemudian oleh masyarakat ia sering dimintai 
tolong untuk membantu segala rupa urusan yang 
menimpa penduduk di Dukuh Bubadan itu. Namun, 
tidak lama kemudian Joko Tole, diam-diam meninggalkan 
kampung halamannya itu pergi berkelana dengan 
tujuan untuk mencari ibunya yang telah meninggalkannya. 
Selain itu terlintas dalam benaknya, ia ingin mengenal 
ayahnya yang sesungguhnya itu siapa. Menurut penu- 
turan Warok Wirodigdo sebelum menghembuskan 
nafas penghabisan sempat membeberkan rahasia 
hidupnya. Menceriterakan mengenai asal-usul diri Joko 
Tole yang sebenarnya, akan tetapi tidak terlalu lengkap 
terutama misteri siapa ayah kandungnya yang 
sebenarnya. Belum sempat terungkap lengkap. 


"Muridku Joko Tole," begitu kata Warok Wirodigdo 
menjelang ajalnya ketika itu, "Engkau boleh bersedih 
ditinggal ibumu Waijah Serirupi, dan carilah beliau sampai 
engkau dapatkan. Akan tetapi,engkau seharusnya tidak 
perlu terlalu bersedih ditinggal bapakmu Kartosentono. 
Sebab, ia sebenarnya bukan bapak kandungmu sendiri. 
Bapak kandungmu sendiri sebenarnya masih hidup. 
Dan...dan...dan...cari..iilah...ia. Mintailah. Min...min- 
tailah. Ia..tanggung...jawabnya. Bap...bapak...bapakmu, 
nama...manya.." Warok Wirodigdo sudah tidak sanggup 
lagi meneruskan kata-katanya untuk menyebut nama 
ayahanda sesungguhnya dari Joko Tole. Kemudian 
keburu meninggal dunia. 


Para penduduk Dukuh Bubadan segera merawat dan 
mengebumikan jenasah Warok Wirodigdo dengan baik 
dan penuh penghormatan. Almarhun adalah orang 
yang semasa hidupnya sangat dihormati penduduk. 
Oleh karena itu ketika jenazahnya diiring untuk dibawa 
ke makam, ia diparlakukan penduduk sebagaimana 
layaknya menghormati meninggalnya seorang 
pahlawan besar di dukuh Bubadan itu. Semua merasa 
kehilangan. Beliau yang selama hidupnya ini dijadikan 
agul-agulan penduduk Dukuh Bubadan, sebagai pelindung 
dukuh itu dari ancaman kejahatan orang-orang liar, kini 
pelindung dukuh itu telah tiada. Keprihatinan ini yang 
dirasakan oleh warga pedukuhan sekarang ini. 


Sejak seperinggal Warok Wirodigdo, Joko Tole sering 
termangu sendirian. Ia berusaha menafsirkan kata-kata 
terakhir Warok Wirodigdo. Joko Tole pun juga hanya 
kebingungan sendiri ditinggal mati guru yang 
dicintainya itu. Guru yang pada akhir hayatnya telah 
meninggalkan wasiat yang merupakan teka-teki hidupnya 
mengenai nama bapaknya yang masih misterius itu. 

"Jadi berarti ayahandaku sebenarnya bukan Pak Karto- 
sentono yang selama ini aku kenal sebagai ayah kan- 
dungku sendiri. Oleh karena itu berarti Ibu dan Bapakku 
sebenarnya masih hidup semua. Tetapi siapa nama 
Bapakku. Aku harus bertanya kepada siapa. Bagaimana 
aku bisa mengetahui dimana Bapak-Ibuku itu kini 
berada. Aku harus mencari kedua orang tuaku itu. Aku 
harus berguru ilmu kebathinan yang lebih mendalam 
untuk memberikan petunjuk yang benar," kata Joko Tole 
dalam hati. 


Kemudian, Joko Tole diam-diam tanpa berpamitan 
kepada orang kampung, pagi-pagi buta telah berangkat 
meninggalkan perkampungan penduduk Dukuh 
Bubadan itu menuju kearah barat dengan berjalan kaki. 
Hanya berbekal secukupnya di atas kampluk yang 
menggelantung di pundaknya. 


Laporan mengenai kepergian Waijah Sarirupi dan 
anaknya Joko Tole itu telah sampai kepada Karjeng 
Gusti Adipati di keraton Kadipaten Ponorogo. Seketika 
itu pula Kanjeng Gusti Adipati menjadi lemas mendengarnya. 


"Bagaimana menurut hemat Eyang Empu Tonggreng 
mengenai hal ini,” kata Kanjeng Gusti Adipati kepada 
penasehat spiritualnya yang senior itu, "Saya ingin 
membahagiakan perempuan kampung janda Kartosen- 
tono itu dan ingin menunjukkan rasa tanggung jawabku 
terhadap anak bocah itu, akan tetapi mereka berdua 
malahan memutuskan untuk lari kabur tidak tahu. rimbanya. 
Tidak jelas kemana mereka perginya. Saya benar-benar 
tidak mengerti, apa yang sekiranya diinginkan perem- 
puan itu. Dan anak bocah itu katanya juga tiba-tiba 
menghilang tanpa satu orang pun di kampung itu 
mengetahui keberadaan mereka berdua. Saya sangat 
prihatin terhadap kejadian ini semua, Eyang Empu 
Tonggreng, Jadi bagaimana sebaiknya." 


"Kanjeng Gusti Adipati," kata Empu Tonggreng, orang 
yang sangat mengetahui semua awal mula kejadian ini, 
"Sudah selayaknya Kanjeng Gusti Adipati berbuat banyak 
kebaikan kepada mereka itu. Baik terhadap ibu maupun 
anaknya itu. Tetapi barangkali mereka salah menerima. 
Salah paham. Salah sangka. Mereka tidak mengerti maksud 
baik Kanjeng Gusti Adipati. Oleh karena itu, sebaiknya 
Kanjeng Gusti Adipati menyelenggarakan sayembara 
saja. Hal itu barangkali agar kita mendapatkan bantuan 
pencarian dari para warga yang mengetahui keberadaan 
mereka berdua, Dengan diumumkan adanya sayembara 
ini, diharapkan dengan sendirinya, semua orang tahu 
dan dengan mudah akan mendapatkan keterangan 
mengenai keberadaan mereka berdua. Kita perlu siapkan 
bahan-bahan untuk sayembara itu, terutama mengenai 
jati diri mereka berdua itu agar ketika orang-orang 
mengetahui atau berpapasan langsung dengan Waijah 
Sarirupi dan anaknya Joko Tole dengan ciri-ciri mereka, 
masyarakat akan dengan mudah mengenalinya di mana 
pun beradanya kedua orang itu." 

Kanjeng Adipati berpikir sejenak. 

"Sebentar Eyang Tonggreng. Apakah akan baik, kalau 
hubunganku dengan janda dan anaknya itu sampai 
tersebar di masyarakat. Itu kan tidak pantas diketahui 
oleh umum tho, Eyang Tonggreng. Mengenai kejadian 
ini kan seyogiyanya harus dirahasiakan rapat-rapat 
thoo, Eyang Tonggreng. Kalau kejadian ini sampai 
diketahui oleh masyarakat banyak, apakah hal ini tidak 
akan bisa menimbulkan aib dan meruntuhkan 
kewibawaanku sebagai Adipati, tho Eyang Tonggreng. 


60 


Kalau dulu aku masih belum menjabat Adipati, masih 
dijabat oleh ayahku. Sekarang ini kedudukanku kan 
lain, Eyang Empu Tonggreng," 

"Ya, Ya. Memang dalam perkara ini Kanjeng Gusti Adipati 
harus hati-hati." 

"Ya, itulah, Eyang. Apakah mungkin rahasia ini akan 
mudah diketahui oleh masyarakat: Mengapa Adipati 
sampai begitu menaruh perhatian besar atas hilangnya 
seorang perempuan kampung dan anaknya. Apakah 
tidak akan menimbulkan tanda tanya masyarakat, jangan- 
jangan anak itu anak haramnya Adipati, dan itu tentu 
akan sangat memalukan saya, Eyang Tonggreng." 
"Untuk berbuat baik sesamanya itu, tidak perlu takut 
terhadap rasa malu itu, Kanjeng Gusti Adipati." 

"Tetapi ini akan menyangkut wibawa kedudukanku 
sebagai seorang Adipati. Masyarakat akan bertanya. 
Ada apa dibalik peristiwa ini semua. Jangan-jangan Adipati 
ada main. Walaupun hal ini merupakan upaya sebagai 
rasa tanggung jawab saya terhadap peristiwa masa 
laluku, Eyang Tonggreng." 

"Kejadian antara Kanjeng Gusti Adipati dan perempuan 
kampung itu bukan sekarang, atau kemarin lusa tho, 
Kanjeng Gusti Adipati. Akan tetapi sudah beberapa 
tahun yang silam sebelum ada pengangkatan terhadap 
diri Kanjeng Gusti Adipati. Orang dapat memaklumi 
darah muda yang mengalir pada diri Kanjeng Gusti 
Adipati pada waktu itu ketika pertama kali melihat 
perempuan cantik jelita, Ajeng Roro Waijah Sarirupi di 
kampung itu. Siapa bisa mengingkari hal ini. Oleh 
karena itu, menurut hamba, tidak ada pengaruhnya 
terhadap kedudukan Kanjeng Gusti Adipati. Tidak 
akan menggoyahkan kewibawaan kedudukan Kanjeng 
Gusti Adipati, justeru orang akan menilai, bahwa Kanjeng 
Gusti Adipati orang yang mau bertanggung jawab 
terhadap apa-apa pun yang pernah dilakukan di masa 
lalu. Demikian juga orang akan menilai bahwa Kanjeng 
Gusti Adipati sangat jujur terhadap masa lalunya. Apa 
pun masa lalu itu, baik atau buruk. Begitu menurut 
hemat hamba. Namun keputusannya sepenuhnya kan 
terserah kepada Kanjeng Gusti Adipati." 

Setelah Karjeng Gusti Adipati mendengar nasehat dari 
Empu Tonggreng sebagai sesepuh yang dekat dengannya, 
dan juga orang yang mengetahui kejadian malam itu di 
Dukuh Bubadan, maka kemudian Kanjeng Gusti Adipati 
nampaknya dapat menerima alasan-alasan yang 
dikemukakan oleh Empu Tonggreng itu. Beliau pun 
kemudian mengambil keputusan untuk mengu- 
mumkan segera penyelenggaraan sayembara kepada 
warga siapa saja yang dapat berhasil menemukan Waijah 
Sarirupi dan Joko Tole, mereka akan diganjar anugerah 
dan mendapatkan hadiah yang setimpal. 


Berita mengenai sayembara ini dalam waktu singkat 
telah tersebar ke seluruh pelosok di kampung-kampung. 
Namun agaknya kurang mendapatkan peminat. 
Lantaran dianggapnya tidak lazim. Sayembara mencari 
seorang perempuan dewasa dan anaknya yang sudah 
remaja. Dianggap tidak menarik. Kalau sayembara adu 
tanding, atau pekerjaan-pekerjaan yang menantang penuh 
kekerasan mungkin malahan akan lebih menarik dan 
akan mendapatkan peminat dari masyarakat Ponorogo - 
yang memang mempunyai tradisi kekerasan seperti itu. 


8
SALAH PAHAM


Setelah berbulan-bulan, kemudian berganti bertahun- 
tahun yang ketika Joko Tole meninggalkan Dukuh 
Bubadan baru anak-anak bocah berumur sekitar sebelas 
tahun, pergi mengembara dengan tujuan untuk mencari 
orang tuanya, kemudian agar memudahkan pencariannya, 
juga dimaksudkan supaya kedua orang tua yang 
aka itu tidak menghindar darinya, maka ia 
emudian memutuskan untuk berganti nama menjadi 
Joko Manggolo. Ia tahu bahwa kepergian ibunya juga 
ada hubungannya untuk meninggalkan dirinya. Oleh 
karena itu ia harus menyamarkan jati dirinya. 


Kalimat terakhir yang diucapkan oleh gurunya Warok 
Wirodigdo ketika itu Joko Manggolo baru berumur 
sepuluh tahun yang mengatakan ayahnya masih hidup 
itu merupakan misteri yang harus dipecahkan. 


"Mungkinkah, ibu kandungku mau meninggalkan aku 
begitu saja tanpa sebab-sebab yang masuk akal. 
Mungkin ia membenciku lantaran aku bukan anak 
kandungnya sendiri. Bisa-bisa Ibu Waijah Sarirupi yang 
selama ini aku kenal sebagai ibu kandungku sendiri 
ternyata ia ibu angkatku. Demikian juga mengenai siapa 
sebenarnya ayahku. selama ini aku mengenal Pak 
Kartosentono yang telah wafat itu sebagai ayah 
kandungku. Akan tetapi menurut kata eyang guru 
Warok Wirodigdo, Bapakku masih hidup. Jadi, berarti 
bapak kandungku bukan Pak Kartosentono. Lalu, 
siapakah mereka berdua itu." Begitu pikir Joko Manggolo 
pada setiap saat di perjalanan pengembaraannya itu 


Entah sudah berjalan berapa jauh dan berapa tahun, 
mungkin sudah ada lima tahun ini, Joko Manggolo 
sudah tidak menghitungnya, siang malam keluar masuk 
kampung. kadang harus tidur di bulakan, di hutan, di 
tepi sungai, di atas batu besar, di bawah keteduhan 
dalam perjalanannya ini, ia membawa setumpuk buku- 
buku pelajaran mengenai ilmu kanuragan dan ilmu olah 
bathin yang ditinggalkan oleh Warok Wirodigdo, 
sehingga ia merasa tidak jemu-jemunya lantaran di tiap 
kesempatan ia selalu berlatih dan mempraktikan iimu- 
ilmu yang ada dalam buku-buku itu, kadang ia harus 
belajar mengamati gerakan-gerakan binatang-binatang 
buas yang ditemui ketika berkelahi melawan mang- 
sanya di hutan, hampir mirip dengan pelajaran gerakan- 
gerakan ilmu kanuragan yang tertulis dalam buku pela- 
jaran berharga yang kini menjadi kekayaan satu-satunya 
baginya. 


Siang itu ia menyebarangi tanah kosong, bulakan panjang 
yang bergelombang penuh tanah-tanah gundukan, Joko 
Manggolo melihat ada tanda pintu gerbang yang 
menunjukkan ia telah sampai di suatu tepi dusun di kaki 
Pegunungan yang berbukit-bukit. Pemandangan 
pohon-pohon besar amat jarang dijumpai, hanya 
terkadang ada beberapa pohon asem yang tumbuh 
menjulang ke atas tidak beraturan. Joko Manggolo 
kemudian berhenti di situ, mencari tempat duduk di 
bawah pohon yang rindang untuk merenung. Diperha- 
tikan gerakan-gerakan burung-burung elang di angkasa 
ketika melakukan gerak menukik, menghempas, dan 
memutar-mutaf sayapnya, kemudian ia menirukan cara 
gerakan burung itu untuk menaklukkan alam 
angkasanya, terciptalah jurus-jurus elang. Demikian 
juga ia sering menjumpai monyet-monyet yang 
berkelahi sesamanya, gerakannya begitu lincah meloncat- 
loncat, ia merasa mendapatkan pelajaan dari cara gerak 
monyet yang lincah itu. Sampai kepada gerakan katak 
yang begitu gesit melompat melemparkan tubuhnya 
kian kemari hanya untuk menangkap nyamuk yang 
begitu kecil dengan juluran lidahnya. Semuanya ia telah 
menambah perbendaharaan jurus-jurus ilmu kanuragan 
Joko Manggolo, dan sekaligus sebagai hiburan di 
perjalanan panjangnya karena tiap hari ia merasakan 
mendapatkan sesuatu kehidupan dan pengalaman baru. 


Dalam perjalannnya, Joko. Manggolo selalu berusaha 
menghindari bertemu orang kampung-kampung yang 
dilewati, hanya kalau sudah sangat terpaksa, misalnya 
seharian ia tidak mendapatkan makanan, terpaksa ia 
mengemis ke rumah penduduk yang dianggap mampu 
sekedar memberi makan, entah singkong, jagung atau 
apa saja. Ia makan dari tumbuh-tumbuhan yang dijumpai 
di perjalanan, dimasak sendiri dengan kayu bakar, 
kadang ia membidikkan plintengan (ketapel) sebuah 
peralatan yang terbuat dari kayu kecil yang bercabang 
dua, kemudian diberi alat pemantul semacam karet 
yang dapat ditarik dilepas untuk melemparkan batu 
keras ke arah binatang, burung-burung, atau kadang ia 
hanya menggunakan seutas tali dari bahan kulit pohon 
yang kemudian dijadikan alat sebagai pelempar batu 
untuk senjata menangkap hewan buruannya. Hasil hewan 
buruan itu kemudian ia panggang di atas kayu bakar. 
Atau kadang ia menangkap ikan di kali. Semua keteram- 
pilan itu yang pernah diajarkan oleh gurunya Warok 
Wirodigdo ketika masih kanak-kanak dahulu ketika 
suka ikut bepergian bersama. gurunya. ke hutan, atau 
pergi ke sawah ladang. 


Sudah sekitar lima tahun ini, tubuh dan wajah Joko 
Manggolo berubah oleh tempaan alam. Ia kini menjadi 
pemuda gagah, berdada bidang, dengan otot-ototnya 
yang menonjol menandakan ia tiap hari hari bekerja 
keras menyambung hidup. Kulitnya menjadi hitam 
kelam terkena matahari tiap hari bolong. Bagi orang 
lama, atau sanak keluarganya, mungkin kini kalau 
menemui dia di jalan sudah tidak mengenalinya, Hanya 
ia masih setia menggelantungkan sebuah kalung yang 
terikat oleh tali sirat yang kuat dalam lehernya dengan 
manik-manik kecil yang konon menurut pesan orang 
tuanya dulu sebagai pertanda keluarga. Namun 
demikian, kalung tanda keluarga itu sering pula dicopot 
disembunyikan ketika ia memasuki kampung-kampung 
yang kadang-kadang ia mencari kerja apa saja untuk 
mendapatkan upah kepingan uang. Membelah kayu, 
membantu menunai di sawah ladang, atau menjual 
binatang hasil buruannya kepada penduduk kampung 
yang dilaluinya. Dari sana ia terus dapat menyambung 
hidupnya. 


Dalam perjalanannya yang keras itu, Joko Manggolo 
tidak jarang menemui banyak kesulitan, sering diejek 
Oleh pemuda-pemuda yang dijumpainya di jalanan di 
kampung-kampung, sejauh ini ia selalu berusaha 
menghindari dari perkelahian. Namun, kadang-kadang 
ia tidak mungkin lagi menghindar, sehingga ia harus 
melayani perkelahian keras melawan jago-jago kam- 
pung atau orang-orang yang ditemui dijalan yang salah 
paham kepadanya. Nasib baiknya nampaknya masih 
sering berpihak kepadanya. Ia sering memenangkan 
perkelahian, walaupun dengan korban dirinya biasanya 
babak-belur, dan kemudian berakhir dengan persa- 
habatan dengan bekas lawannya itu. 


Beberapa kali ia berusaha menguasai ilmu kesaktian 
agar ia tidak mempan terhadap bacokan, tidak tedas 
terhadap tusukan benda tajam, namun belum berhasil. 
Dalam salah satu bukunya, memang diajarkan bagai- 
mana cara memasang susuk, memasukkan benda-benda 
keras dalam tubuh-tubuhnya yang penting, misalnya 
perlindungan terhadap perut, dada, punggung, kaki, 
muka, dan sebagainya, tetapi sejauh ini, ilmu kesaktian 
itu belum dikuasai Joko Manggolo, hanya ilmu kanuragan yang
menyangkut keterampilan bertarung saja yang 
nampak sudah begitu ia kuasai dengan baik. Oleh sebab 
itu, sebenarnya Joko Manggolo mengharapkan untuk 
memperoleh guru, orang bijaksana yang sakti mandra 
guna dan mau menurunkan ilmu-ilmu kesaktiannya 
kepadanya. 


Dalam pengembaraannya ini, selain bertujuan mencari 
kedua orang tuanya itu, ia juga berharap suatu saat
menemui seorang guru yang dapat memberikan bekal 
ilmu kesaktian bagi dirinya. Dengan semangat tinggi, 
dan tekad bulat, ia terus menempa dirinya, sebagaimana 
pesan terakhir gurunya dahulu yang masih terus 
terngiang idi telinganya : Jadilah kamu Tole sebagai 
Warok Sejati". 


BERSAMBUNG