Jaka Sembung 11 - Badai di Laut Arafuru(1)


1
Cirebon di akhir abad ke-XVII.......
Dari sinilah kisah Badai di Laut Arafuru dimulai.

Hari itu, matahari pagi bersinar cerah. Embun yang semalam menyirami rumput-rumput di halaman Gedung Karesidenan Cirebon tampak dari jauh berkilau-kilau seperti butiran intan, satu per satu perlahan-lahan bergulir jatuh ke tanah, terusir oleh kehangatan surya pagi.

Di sana-sini kelihatan kupu-kupu beterbangan kian ke mari di atas rumput hijau yang laksana permadani. Kupu-kupu bersayap indah itu, seakan-akan riang ceria menyambut suasana baru pergantian pejabat tinggi Belanda dari Letnan Jenderal Leonard Van Eisen yang tewas di Kandanghaur dengan Letnan Jenderal Van den Smooth.

Di pagi yang cerah itu, dua orang pejabat Belanda berpakaian preman tampak di bagian belakang gedung Karesidenan sedang menuju ke tempat penyimpanan kuda. Mereka ialah Letnan Jenderal Van den Smooth dengan seorang tamunya, perwira tinggi.

“Goed! Kowe orang kerja rajin!” puji Van den Smooth sambil mendekati kacung perawat kudanya. Anak muda yang sedang bekerja memandikan kuda itu kaget. Ia menoleh ke arah datangnya sapaan itu.

Ketiga pendekar wanita itu maju lebih dahulu sambil menahan Sri Ayuningrum dan Kaswita dengan tangannya. “Ssst! Itu dia penjaga-penjaga tengik, biar aku yang membereskan mereka, kalian bersembunyi, lekas!” perintah Kepala Kembar Tiga Melati dengan tegas tanpa ragu.

Begitu perintah selesai diucapkan, kedua anggota Kembar Melati lainnya menyelinap dengan cepat tanpa suara.

Tidak begitu jauh dari situ, terlihat tiga orang pendekar bayaran yang bekerja untuk Kumpeni Belanda mundar-mandir seperti ada firasat jelek. Salah seorang di antara mereka berkata dengan nada curiga.

“Panjul! Rasa-rasanya ada suatu yang tidak beres, bersiaplah!”

“Siap!” sahut kedua kawannya dengan serentak.

Seorang pendekar bayaran yang tinggi tegap, dengan waspada memasang telinga dan mata, mengawasi tiap bunyi dan gerak, tetapi tiba-tiba ia menjerit dengan keras karena punggungnya terbacok golok dari belakang. Setelah itu ia rubuh ke tanah tidak berkutik lagi

“Itu imbalan setimpal untuk penghianat bangsa,” bentak seorang pendekar wanita dengan geram, sambil menendang pendekar busuk itu dengan jijik.

Tidak lama kemudian terjadilah hiruk-pikuk di gedung Karesidenan. Serdadu-serdadu Kumpeni Belanda dan pendekar sewaan mulai kalang kabut dengan senjata di tangan. Mereka terus berusaha mengepung pendekar-pendekar si Kembar Tiga Melati.

Salah seorang di antara tiga pendekar Wanita tersebut, benar-benar terkepung. Berbagai senjata diarahkan kepadanya. Teriakan “Maling! Maling! Bunuh dia! Bunuh!” Terdengar terus-menerus.

Tetapi, apa yang terjadi? Ketika sang pendekar itu melejit ke atas, puluhan senjata yang diarahkan kepadanya, namun dengan kecepatan yang luar biasa, tak satu pun senjata-senjata itu mengenai tubuh mereka.

“Alhamdulillah!” ucap pendekar wanita tersebut sambil melejit kembali ke atas tembok.

“Bangsat awewe, Setan!” serapah pendekar-pendekar bayaran dengan kesal dan marah. Mereka terus mencoba hendak menangkap pendekar-pendekar wanita itu, tetapi gerakan mereka benar-benar seperti angin.

Baru saja terlihat dari depan, tiba-tiba berkelebat yang lain dari belakang. Banyak korban yang jatuh dari serdadu-serdadu jaga dan tidak kurang pula pendekar bayaran yang sama sekali tidak berkutik menghadapi gerakan silat Tiga Melati.

Sementara itu, Kaswita dan Sri Ayuningrum menyelinap perlahan-lahan ke kamar tahanan, tempat Jaka Sembung ditahan. Tetapi sebelum tiba di tempat yang dituju, terdengar suatu bentakan keras, “Hei, siapa kau?”

Sri Ayuningrum tidak menjawab, tetapi serentak dengan membalik tubuhnya yang ramping, suatu tusukan pedang menusuk tembus di jantung pengawal yang membentaknya. Pengawal itu rubuh seketika dan tidak bangun lagi.

Sri tersenyum puas dan berbalik kembali untuk menuju ke kamar tahanan. Tetapi, tanpa diduga dari mana datangnya, sebuah tombak berdesing di dekat telinganya, tetapi ia berhasil berkelit cepat. Ketika ia melihat ke arah datangnya tombak, tiba-tiba terdengar teriakan Kaswita, “Kak Sri, kau dibokong dari belakang!”

Tetapi, Sri Ayuningrum tidak sempat mengelak lagi. Namun Tuhan belum menakdirkan pendekar wanita itu harus tewas di tangan orang jahat. Ayunan beliung bermata dua milik Kaswita telah mampir lebih dahulu membabat leher si pembokong itu.

Sri Ayuningrum secepat itu pula menggunakan kesempatan untuk menuju ke kamar tahanan Jaka Sembung.

“Belok ke kanan, Kak Sri!” Kaswita memberi petunjuk kepada kakaknya.

Sementara itu, di luar terdengar suara derap sepatu serdadu Kumpeni Belanda yang makin lama makin tambah banyak. Mereka menuju ke bagian belakang gedung tempat terjadinya bentrokan berdarah.

Ketika tiba di sebuah gang, serdadu-serdadu itu menjadi sangat terperanjat ketika melihat munculnya sesosok tubuh dengan tiba-tiba.

“Hei! Siapa itu?” tanya seorang pendekar yang membantu serdadu Belanda.

Pertanyaan itu tidak terjawab, hanya dari balik kegelapan malam itu, tampak sepasang mata dengan sorot tajam dan mengancam. Kemudian muncul perlahan-lahan di suatu tempat yang terang.

“Ha!?” seru para pendekar bayaran sambil mengepung tamu yang tidak diundang itu.

“He, kakinya buntung!” teriak salah seorang pengepungnya.

Pendekar buntung itu mulai bergerak dibantu oleh tongkat penyangga di sebelah kakinya yang buntung. Melihat pendekar buntung itu, makin lama makin mendekat, tiba-tiba dengan gerak serentak para pengawal menyerbu untuk menyergap pendekar cacat itu.

Tetapi, sebelum sempat mereka menjamah badan pendekar buntung, satu persatu mereka jatuh terkulai dengan senjata tajam menancap di badan. Rupanya senjata-senjata itu berasal dari tongkat penyangga pendekar buntung.

“Hebat sekali!” bisik seorang serdadu Kumpeni Belanda yang melihat kejadian tersebut.

Setelah kejadian itu, pendekar buntung dengan langkah perlahan tetapi pasti segera meninggalkan tempat itu. Ketika ia melewati tempat-tempat penjagaan, sekali lagi pendekar ini dikepung untuk ditangkap.

“Kurung Iblis buntung itu!” teriak salah seorang serdadu. “Jangan kasih peluang! Tangkap!” teriak yang lain dengan gemuruh.

Tetapi, pendekar tangguh itu tidak sedikit pun bergeming. Dengan tenang ia melewati serdadu-serdadu yang mengepungnya.

“Serang!” Salah seorang pendekar bayaran memberikan perintah kepada kawan-kawannya. Sejumlah pendekar kawakan maju menyerbu untuk menangkap pendekar cacat itu. Tetapi, tahu-tahu, beberapa orang dari mereka rubuh ke tanah tanpa gerakan yang berarti dari pendekar tersebut.

Bersamaan dengan peristiwa itu, Sri Ayuningrum dan adiknya Kaswita telah berada di dekat kamar tahanan Jaka Sembung. Kedua adik Jaka Sembung itu mengintip dengan sabar dari kedua sisi kamar.

Mereka menunggu kesempatan baik dengan penuh perhitungan. Sri Ayuningrum dan Kaswita melihat dua orang serdadu jaga di kiri kanan pintu dengan senapan masing-masing di tangan.

“Aku tak khawatir dengan bedil locok itu,” kata Kaswita dalam hati. Apa yang diperkirakan oleh adiknya, Sri Ayuningrum pun beranggapan sama.

Kaswita segera memberikan isyarat agar kakaknya memulai serangan dan ia sendiri mendobrak pintu tahanan. Sri Ayuningrum perlahan-lahan bergeser setindak demi setindak ke samping serdadu jaga yang ada di sebelahnya. Kemudian dengan tenang ia berkata setengah berbisik, “Jangan ngantuk, Tuan!”

Tentu saja serdadu jaga itu sangat kaget, tetapi sebelum sempat ia membalik badan, Sri Ayuningrum sudah lebih dahulu membeset perut serdadu yang malang itu. Melihat serangan tersebut kawan jaganya segera mengangkat senapan hendak membokong Sri Ayuningrum dari belakang, tetapi sebelum niatnya kesampaian, Sri telah lebih dahulu menyilangkan pedangnya ke belakang tanpa berbalik.

Tusukan pedang Sri Ayuningrum mengena sasarannya, tepat di jantung kedua serdadu jaga itu, sebentar berkelojotan menahan sakit, kemudian meringkuk dengan kedua tangannya menutup luka.

Sementara itu, tanpa menyia-nyiakan waktu, Kaswita segera membobol pintu dengan senjata beliungnya yang ampuh. Ketika pintu telah terbuka, Kaswita segera melompat ke dalam kamar tahanan, disusul dari belakang oleh Sri Ayuningrum.

“Kosong, Kak!” seru Kaswita dengan kesal. Harapannya setinggi gunung untuk membebaskan Jaka Sembung, ternyata sia-sia.

“Mereka mengelabui kita, Dik!”

“Mereka juga menjebak kita, Kak Sri!”

“Cepat keluar meninggalkan tempat ini, tidak ada gunanya lagi kita berlama-lama di sini,” kata Sri Ayuningrum setengah perintah.

Kaswita dengan beliung di tangan melompat ke luar kamar tahanan. Di ujung gang yang panjang sejumlah serdadu Belanda muncul sambil membentak dengan suara keras,

“Godverdomme zeg!”

Kedua adik kakak, Kaswita dan Sri Ayuningrum segera membalik badan untuk lari ke arah berlawanan, tetapi gang itu telah terkepung oleh serdadu Belanda. Puluhan laras senjata bedil terarah kepada mereka.

“Jangan lari!” suatu teriakan keras terdengar, “Kalau kalian lari kami tembak!”

Kaswita dan Sri Ayuningrum tertegun ragu. Kedua mereka memperhatikan serdadu yang sedang mengepung.

“Hei, kau kacung Letnan Jenderal Van den Smooth, bukan?” tanya seorang serdadu yang sempat mengenal Kaswita.

“Bagaimana, Kak?” bisik Kaswita.

“Tidak ada jalan lain, kecuali memberikan perlawanan,” jawab Sri Ayuningrum, “Gunakan jurus Walang Sungsang!”

Begitu petunjuk Sri Ayuningrum selesai, kedua pendekar kakak beradik itu berjumpalitan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sehingga senapan-senapan yang ditujukan kepada mereka, meletus tanpa sasaran. Sementara itu, seorang serdadu yang berdiri terpisah segera membidik senapannya, tetapi, “Hiyaat!”

Senjata beliung Kaswita telah mendahuluinya sehingga pelor yang dibidikkan serdadu itu tidak pernah keluar dari larasnya sampai ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kaswita yang ahli berjumpalitan, beberapa waktu terus bergerak di udara sehingga beberapa orang serdadu menerima tendangan telak dari kaki pendekar muda itu.

Sementara itu, Sri Ayuningrum berkelebat turun di tempat yang diperkirakan tidak berbahaya, tetapi dugaannya meleset. Begitu ia berada di tanah, dua laras senapan dengan cepat mengarah ke dadanya.

“Menyerah Kowe orang!” bentak seorang serdadu Belanda siap untuk menembak, tetapi Sri Ayuningrum dengan cepat mengayunkan pedangnya ke samping dan tepat mengenai tangan serdadu yang ada di sebelah kanannya sehingga senapan yang dipegangnya jatuh terpelanting.

Sementara serdadu, yang ada di samping kirinya mencoba menembak, tetapi sia-sia. Sri Ayuningrum dalam posisi tidur memutar badannya seperti gasing sambil menggaet kaki serdadu itu dengan cepat sehingga ia terjatuh.

Ketika serdadu itu hendak memungut kembali senapannya, tiba-tiba terus diinjak dan suatu tendangan kuat yang dilakukan Sri Ayuningrum bersarang di rahang bawahnya, sehingga ia terjengkang jatuh telentang dan tidak sadarkan diri.

Sri Ayuningrum merasa lega terlepas dari kepungan. Pendekar muda itu tidak menyadari dirinya sedang diikuti oleh sepasang mata yang mencari kesempatan untuk membokongnya dari belakang. Tetapi, niat buruk itu tidak kesampaian. Sebelum senapannya memuntahkan peluru ke tubuh pendekar itu, beliung Kaswita telah lebih dahulu merobek tubuh serdadu itu.

Pertarungan antara serdadu Belanda dengan pengikut Jaka Sembung yang berlangsung mulai tengah malam sampai menjelang subuh masih belum berhasil dipadamkan oleh Kumpeni Belanda. Sementara itu, korban di pihak Kumpeni Belanda semakin banyak berjatuhan, tetapi serdadu bantuan terus didatangkan tidak henti-hentinya.

“Kak Sri! Kita harus cepat meninggalkan tempat ini, sebelum matahari terbit. Tidak ada gunanya lagi mencari gara-gara dengan Kumpeni Belanda. Orang yang ingin kita bebaskan pun sudah tak ada di sini,” kata Kaswita setengah berbisik.

“Memang! Suasananya pun semakin berbahaya. Belanda terus menerus mendatangkan bala bantuan,” tanggap Sri Ayuningrum.

Begitu perkataan Sri Ayuningrum selesai, begitu pula kedua pendekar muda itu melesat ke udara. Sebentar kemudian mereka sudah berada di atas tembok pekarangan gedung. Serentak dengan itu, terdengar suara tembakan bertubi-tubi memekakkan telinga.

Dalam hujan peluru yang deras itu, mereka menghilang tanpa seorang pun tahu ke mana perginya.......

***

2

Baru sebentar Kaswita dan Sri Ayuningrum tiba di gubuk mereka yang terpencil itu, dari kejauhan terdengar suara adzan Subuh sayup-sayup, di selingi kokok ayam.

Setelah istirahat sebentar, mereka pun melakukan sholat Subuh. Dalam sholat itu, mereka memanjatkan doa kepada Tuhan semoga Jaka Sembung dilindungi-Nya.

“Apa rencana kita sekarang, dik?” tanya Sri sambil menatap wajah adiknya dengan tatapan lesu.

“Aku tak tahu, Kak!” jawab Kaswita dengan nada sedih. “Tetapi, yang jelas, kita harus berbuat sesuatu dalam usaha membebaskan Kang Parmin.”

Sejenak kedua pendekar itu mencoba mencari jalan keluar. “Apakah tidak mungkin Kang Parmin sudah dinaikkan ke atas kapal?” kata Kaswita seperti bertanya pada dirinya.

“Kita ke pantai,” ujar Sri Ayuningrum sambil menghela pedangnya yang terletak di atas tempat tidur. Kedua mereka segera bergegas menuju pantai.

Dalam suasana remang-remang itu, para nelayan sudah mulai ramai. Ada yang baru kembali dari laut dengan membawa ikan hasil tangkapannya, ada pula yang sedang bersiap-siap untuk turun ke laut.

“Dik!” bisik Sri Ayuningrum kepada Kaswita yang jalan seiring, “Buka matamu. kalau-kalau ada serdadu Kumpeni Belanda yang memata-matai kita.”

Kaswita mengangguk. Mereka terus menuju ke tepi pantai.

“Mang!” Sri Ayuningrum tiba-tiba berhenti dan bertanya kepada seorang nelayan yang sedang menatap jauh ke laut,

“Kapalnya sudah berangkat?”

Nelayan yang ditanya dengan tiba-tiba itu kaget. Kemudian dengan nada ramah menjawab,

“Sudah, Neng!”

“Sudah lama?”

“Kira-kira setengah jam yang lalu.”

“Banyak membawa penumpang?” Kaswita menyeling.

“Kali ini tidak membawa penumpang umum, tetapi hampir semuanya serdadu Kumpeni Belanda.”

Nelayan itu menjelaskan dengan jujur apa yang diketahuinya.

“Mungkin mereka membawa tahanan barangkali........” kata Kaswita acuh tak acuh untuk memberikan kesan apa yang ditanya itu tidak penting.

“Memang! Kulihat ada seorang tahanan berperawakan tinggi kekar dikawal serdadu Kumpeni Belanda ketika naik tangga dengan tangan dirantai.”

“Terima kasih, Mang!” ucap Sri Ayuningrum sambil menatap Kaswita dengan pandangan berarti.

“Tidak salah lagi, Kak! Tahanan yang dikatakan Mamang tadi pasti Kang Parmin alias Jaka Sembung,” ujar Kaswita dengan hati panas.

Apa yang diceritakan nelayan tadi kepada Sri Ayuningrum dan Kaswita memang benar. Menjelang Subuh kapal berukuran besar itu mengangkat sauh dan mengembangkan layar.

Kemudian kapal tersebut berangkat menuju laut lepas dengan membawa tahanannya, Jaka Sembung. Akal licik dan tipu muslihat Kumpeni. Belanda memang terkenal di mana-mana, terutama di negeri-negeri jajahannya.

Sejak Jaka Sembung dijadikan tahanan melalui siasat licik, pemerintah Kumpeni Belanda sudah memperkirakan apa yang bakal terjadi. Mereka sudah menyangka, penahanan Jaka Sembung di gedung Karesidenan itu, sama artinya dengan mengundang pendekar-pendekar kawakan untuk membuat onar. Dugaan itu segera menjadi suatu kenyataan.

Malam itu, sebelum peristiwa berdarah terjadi di gedung Karesidenan, Letnan Van den Smooth sudah lebih dahulu mendapat informasi dari penyelidiknya bahwa akan ada suatu penyerbuan untuk membebaskan Jaka Sembung dari sekelompok pendekar yang simpatisan kepadanya. Karena itu, Van den Smooth segera memerintahkan orang-orangnya untuk mengamankan Jaka Sembung di sebuah tempat yang sangat dirahasiakan.

Sebuah, kapal dagang Belanda yang kebetulan sedang berlabuh di pelabuhan Cirebon, dicarter oleh penguasa setempat. Ketika penyerbuan para pendekar simpatisan Jaka Sembung berlangsung, Jaka Sembung dipindahkan ke kapal setelah mereka merasa serbuan itu hampir-hampir tidak terbendung oleh serdadu-serdadu jaga yang begitu banyak jumlahnya.

Semula Letnan Jenderal Van den Smooth hendak menjadikan serbuan pendekar-pendekar tersebut sebagai suatu perangkap untuk menangkap semua pendekar simpatisan Jaka Sembung, tetapi pejabat tinggi itu tidak membayangkan betapa hebatnya sepak terjang rekan-rekan Jaka Sembung itu. Van den Smooth sangat kecewa, dan salah perhitungan.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Kaswita.

“Sabar, dik! Kita harus melakukan sesuatu, tetapi tentu dengan pertimbangan yang matang,” jawab kakaknya tersenyum.

Menjelang matahari terbit di sebelah Timur, tampak sebuah perahu nelayan merapat ke pangkalan dan membongkar muatan.

“Tuh, ada perahu,” ujar Sri Ayuningrum sambil menarik tangan Kaswita yang sedang melamun. Mereka segera berlari-lari menuju ke pangkalan.

“Pak! Tolong pinjamkan kami perahu,” cetus Kaswita dengan kaku, tanpa berbasa-basi sedikit pun.

Sri Ayuningrum merasakan sikap kaku adiknya itu sehingga sempat menatapnya dengan kesal.

Pemilik perahu tertegun sejenak sambil memandang Kaswita dengan pandangan tersinggung. “Apa katamu, anak muda. Pinjam perahu? Ada-ada saja,” gumam nelayan itu dengan kesal, “Aku belum pernah melihat tampang kalian, datang-datang mau pinjam perahu, apa-apaan ini?”

“Maafkan dia, Pak!” potong Sri Ayuningrum, “Dia adik saya.”

“Apa maksud kalian sebenarnya?” tanya nelayan itu lembut.

“Kalau mungkin kami mau menyewa perahu Bapak untuk beberapa waktu,” jelas pendekar wanita itu dengan ramah.

“Perahu ini bukan punyaku, Neng! Aku hanya menyewanya dari Cukong dengan cara bagi hasil,” tolak nelayan itu dengan halus.

“Kalau begitu, Bapak jual saja perahu ini kepada kami. Berapa harganya bukan soal, akan kami bayar sekarang juga,” kata Sri Ayuningrum dengan penuh basa-basi.

“Aku tidak dapat memberikan harganya, Neng!”

“Ah, sudah, jangan bertele-tele! Ini uangnya,” kata Kaswita yang masih tetap bernada kaku karena ia memang telah terlanjur kaku.

Nelayan pemilik perahu itu segera menyambut pundi-pundi yang berisi uang tersebut.

“Berapa jumlahnya?”

“Cukup untuk beli 100 ekor kerbau!” jawab Kaswita ketus.

Tanpa menunggu jawaban boleh atau tidak dari nelayan itu, Kaswita melompat ke dalam perahu sambil ngedumel, “Habis gajiku selama menjadi kacung Belanda!”

Tanpa sedikit pun menyia-nyia waktu, Sri Ayuningrum turun ke perahu dan langsung memegang dayung, sementara Kaswita membelok haluan perahunya dengan cekatan dan meninggalkan pangkalan.

“Hei, anak muda! Kalian mau ke mana?” teriak nelayan itu dengan gembira.

“Mau berlayar!” jawab Kaswita seenaknya.

“Jangan! Segera balik!” Nelayan tua itu memberi isyarat “Sebentar lagi akan turun angin putaran. Heeei! Kembali kalian!”

Tetapi Kaswita sedikit pun tidak menggubris, meskipun nelayan tua itu berteriak sekuat-kuatnya.

“Rupanya, mereka sangat khawatir akan keselamatan kita,” kata Sri Ayuningrum yang dapat merasakan sikap baik nelayan tua itu. Kaswita dan Sri Ayuningrum segera mengayuh perahunya ke tengah.

“Ke mana arah kita, Dik?”

“Tenang saja, Kak! Segalanya akan beres!”

“Beres bagaimana?” tanya Sri Ayuningrum ragu-ragu.

“Aku banyak pengalaman tentang berlayar, Kak! Kakak terus berdayung dan aku pegang kemudi,” jawab Kaswita mulai bisa tersenyum lagi.

“Baik, Tuan Nakhoda!” Sri Ayuningrum bergurau dengan adiknya.

“Sekarang Kakak berdayung terus sampai ke tengah! Kemudian layar kita kembangkan.”

“Ya, tetapi di mana letak pulau Papua yang kau ceritakan itu?”

“Dari sini ke Timur dan terus ke Timur sampai kita ketemu dengan kapal Belanda yang membawa Kang Parmin.”

“Wah! Sederhana sekali kalau begitu,” ujar Sri Ayuningrum mulai ragu, “Bagaimana kita tahu arah Timur, jika matahari sudah tenggelam nanti?”



“Saya Tuan,” ujarnya dengan gugup. Ia menatap wajah pejabat Belanda itu sepintas, kemudian menunduk dan meneruskan pekerjaannya sambil menyikat bulu-bulu kuda serta membersihkan lumpur yang melekat di celah-celah kukunya.

“Pendeknya mudah, Kak!” kata Kaswita sok tahu.

“Hei, jangan semua dipermudah! Nanti salah-salah bisa kita nyasar ke mana-mana.”

“Tidak, Kak! Jika malam hari, arah bisa kita ketahui dengan melihat ‘Bintang Gubuk Penceng’.”

“Bintang Gubuk Penceng?” ulang Sri Ayuningrum mulai percaya pada kemampuan Kaswita.

Ketika matahari terbit di sebelah Timur, mereka telah jauh meninggalkan pantai. Kaswita dengan sigap mulai mengembangkan layar. Perahunya pun melaju dengan kencang beberapa mil.

“Kalau begini terus lajunya, kita akan cepat dapat menyusul kapal keparat itu,” ujar Sri Ayuningrum sambil berhenti mendayung sementara.

Tetapi, tiba-tiba angin bertiup kencang. Langit yang tadinya biru, kini berangsur-angsur berubah menjadi hitam pekat dan mendung seperti menggantung di atas kepala mereka.

“Lihat itu ombaknya semakin besar!” keluh Sri Ayuningrum dengan rasa khawatir, “Kalau salah-salah ombak itu dapat membalikkan perahu kita, Dik!”

“Tenang, Kak! Berdoalah kepada Tuhan karena Dia-lah juru selamat kita satu-satunya.”

Kata-kata Kaswita ternyata benar-benar merupakan penangkal keraguan kakaknya.

Sri Ayuningrum dengan tenang menjaga keseimbangan perahunya sambil berdoa dalam hati dan pasrah kepada Tuhan. Sementara itu terlihat Kaswita dengan cekatan menurunkan layar untuk menjaga perahu tidak sampai terbalik.

Ombak raksasa mulai bergulung-gulung dan sekali-sekali mengangkat perahu kecil yang ditumpangi kedua kakak-beradik itu tinggi-tinggi. Kemudian perlahan-perlahan terhempas kembali bersama gelombang yang memecah.

“Jangan gugup, Kak! Jaga keseimbangan!”

Hanya itu yang selalu diperingatkan oleh Kaswita. Sri Ayuningrum semakin tabah menghadapi ancaman alam yang semakin dahsyat itu. Sementara itu, ombak kelihatan mulai jinak kembali dan perahu kecil yang tahan bantingan bergerak lagi dengan tenang.

“Alhamdulillah!” ucap Sri Ayuningrum dengan penuh rasa syukur, tetapi begitu ucapan itu selesai, tiba-tiba di depan mereka terlihat segulungan ombak yang tinggi menjulang menyongsong perahu kecil mereka. Perahu itu seperti terlempar ke atas dan air laut seperti menghempas badan Sri Ayuningrum ke luar perahu.

“Kakak!” seru Kaswita dengan keras sambil menyambar tubuh kakaknya yang tercebur ke laut. Tetapi, ia tidak berhasil. Ia hanya melihat sepintas lalu tangan yang menggapai-gapai di permukaan air, agaknya jauh dari perahu. Kemudian tubuh itu kelelap hilang dari pandangan. Gadis pedalaman ini rupanya memang tidak pandai berenang.

Kaswita menjadi panik. Dengan harap-harap cemas ia menanti munculnya tangan kakaknya itu ke permukaan air kembali. Harapannya itu menjadi kenyataan.

Rupanya Tuhan belum menentukan ajal Sri Ayuningrum harus mati di dasar laut. Kaswita segera menyambar tangan itu dengan sigap dan mengangkat tubuh kakaknya itu ke dalam perahu.

“Alhamdulillah!” ucap Kaswita sambil menelungkupkan badan Sri Ayuningrum.

Kini laut kembali berangsur-angsur menjadi tenang. Angin yang memacu ombak perlahan-lahan berhenti sementara langit sedikit demi sedikit cerah kembali.

“Bagaimana Kak?” tanya Kaswita ketika melihat kakaknya bergerak perlahan-lahan mengangkat kepala.

“Perutku serasa kembung dan kepalaku pusing,” jawab Sri Ayuningrum. Kemudian kepalanya tergolek kembali. Sehari penuh hari itu mereka bertempur melawan keganasan alam.

Sementara itu, matahari yang sudah condong ke Barat, perlahan-lahan tenggelam di kaki langit, digantikan oleh ratu malam. Itulah malam pertama dari petualangan mereka. Ketika itu langit tampak berwarna biru muda.

Bintang-bintang bertaburan di sana-sini, berkelip-kelip dari kejauhan seperti taburan mutiara yang berkilauan. Sri Ayuningrum sudah berangsur-angsur sehat kembali.

“Kita makan, dik!” ajak sang kakak merasa berhutang budi. Sri Ayuningrum membuka bagian bawah perahu. Ia mengeluarkan sebuah keranjang makanan yang berisikan bekal selama dalam perjalanan.

Mereka pun santap bersama dengan penuh rasa nikmat karena perut mereka memang sedang dalam keadaan lapar. Sementara itu, perahu kecil ini terus berlayar di tengah lautan dengan tenang, dikayuh perlahan-lahan oleh Sri Ayuningrum.

“Kak! Lihatlah bintang itu,” seru Kaswita sambil menunjuk ke sebuah bintang.

“Mengapa?” tanya kakaknya berhenti mendayung, sementara perahu melaju terus didorong ombak dari belakang, “Itulah bintang Gubuk Penceng yang kuceritakan Kakak siang tadi.”

“Yang mana?”

“Itu yang berbentuk salib!”

Sri Ayuningrum mengangguk-angguk pertanda mengerti. “Dialah bintang sahabat nelayan, yang selalu berbaik hati menuntun mereka ke arah tujuan,” jelas Kaswita.

Malam itu laut begitu tenangnya. Ombak kecil-kecil seperti berkejar-kejaran. Air terlihat berkelip-kelip seperti hendak mengatakan hidup itu laksana lautan sebentar bergejolak, sebentar tenang.

Perahu Kaswita melaju dengan tenang. Angin mendorong dari belakang lewat layar yang dipasang oleh nahkoda muda, pendekar Kaswita. Malam itu tak banyak masalah! Pada waktu dinihari, perahu itu telah memasuki laut Flores.

“Kakak tidur nyenyak sekali!” ujar Kaswita yang terus semalaman memegang kemudi.

“Aku terlalu lelah, Dik,” kata Sri Ayuningrum, “Dan perutku pun terasa lapar.”

“Makanan semalam masih ada, Kak?”

“Mengapa? Kau juga lapar?”

Kaswita mengangguk sambil tersenyum. Merekapun menyantap bersama makanan yang tersisa kemarin.

“Persiapan makanan kita habis!” kata Sri Ayuningrum sambil membuang bungkusan yang sudah kosong ke laut.

“Jangan khawatir, Kak! Di laut banyak makanan. Di air ada ikan dan di udara ada burung,” ujar Kaswita sambil menunjuk beberapa ekor burung camar yang terbang tenang pagi itu.

“Daging burung enak sekali,” tambah Kaswita sambil menelan air liur. “Kalau Kakak suka, gunakanlah pedang mata dua Kakak itu.”

“Tetapi, bagaimana makannya, mentah-mentah begitu saja?” tanya Sri Ayuningrum seperti enggan.

“Apa boleh buat! Di sini tidak ada api! Tak ada pula tetangga yang lewat yang boleh diminta,” jawab Kaswita dengan mata masih saja menatap ke burung-burung camar yang terbang rendah. Malam kedua telah pula dilewati dengan mulus.

Pagi hari ketika mereka telah tiba di laut Banda. “Oh, lihat air laut di sini jernih sekali,” kata Sri Ayuningrum setengah heran. “Ikan-ikannya jinak dan berkawan-kawan.”

Kaswita turut juga menyaksikan keadaan laut Banda yang sama sekali belum pernah dikunjungi, meskipun ia pernah mengikuti kapal sebagai seorang kelasi yang menjelajahi pulau-pulau di Nusantara.

Pagi itu cuaca terang benderang. Matahari mengirimkan sinar lembutnya ke permukaan laut. Sementara angin pagi berhembus sepoi-sepoi seperti membelai kedua tubuh pendekar muda yang sedang menggenggam sebuah tekad untuk membebaskan saudara mereka dari tangan besi penjajah Belanda. Laut Banda yang tenang dan jernih itu tampak bersahabat dengan mereka.

Layar yang sejak semalam terpasang sangat membantu tugas Sri Ayuningrum. Gadis muda yang cantik dan cekatan itu duduk dengan tenang sambil menatap jauh ke depan.

Hatinya berlari jauh lebih cepat dari perahu sehingga di wajahnya membayang rasa ketidak sabaran. Ingin saja cepat-cepat dapat mencegat kapal Belanda yang menyandera kakaknya Jaka Sembung.

Kaswita yang memegang kemudi, sekali-sekali menoleh kepada kakaknya dan diam-diam seperti merasakan ada sesuatu yang sedang menjadi lamunan saudaranya itu.

“Kakak melamun?” tanya Kaswita penuh perhatian.

“Tidaaak,” jawab Sri Ayuningrum, mencoba menyembunyikan perasaan hatinya, “Tetapi kira-kira berapa lama lagi pelayaran kita ini?”

“Mengapa, Kak? Kakak sudah tidak sabar?” tukas Kaswita dengan tersenyum mencoba menghibur kakaknya. “Itu sangat tergantung pada cepat lambatnya perahu kita ini dapat mengejar kapal besar itu,” jelas pemuda itu.

Ketika mereka sudah melewati laut Banda sejauh beberapa mil, dari depan kelihatan langit mulai mendung dan perlahan-lahan menghitam. Angin sekali-sekali datang dengan tiba-tiba disertai gelombang besar.

“Mungkin badai akan datang lagi,” seru Kaswita, “Kakak berhati-hati!”

Sri Ayuningrum diam membisu. Matanya terus menerus mengawasi suasana alam sekitarnya yang dia sendiri tidak tahu untuk apa? Sementara Kaswita mulai repot dengan kemudi yang selalu dipertahankan harus tetap ke Timur.

Dalam kesibukan demikian, Kaswita masih sempat memberikan semangat untuk kakaknya, “Biar sejuta badai mengamuk, Kak, kita harus tetap sampai ke tempat tujuan!”

Begitu selesai kata-kata itu lepas dari mulutnya, di atas mereka terlihat sesuatu pusaran angin yang berbentuk kerucut seperti mengebor air laut yang akan mereka lalui sehingga tidak jauh dari perahu mereka ternganga sebuah jurang air laut dalam yang sangat mengerikan.

“Puting beliung!” teriak Kaswita yang tetap setia pada kemudi. Lembah air laut yang dibuat angin puting beliung itu sudah terlalu dekat dengan perahu mereka dan tidak mungkin dielakkan lagi.

Ketika perahu mereka berputar-putar seperti sabut dan terseret ke dalam pusaran air itu, Kaswita hanya sempat berteriak keras, “Berpegang kuat-kuat Kak!”

Perahu kecil itu beserta dua orang pendekar muda yang ada di dalamnya mendadak lenyap dari permukaan laut tanpa bekas. Sementara suasana di sekitarnya tenang kembali seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tidak lama kemudian, terlihat perahu naas itu muncul kembali perlahan-lahan ke permukaan air dalam keadaan telungkup.

“Kak Sri! Kak Sri, di mana Kakak?” seru adiknya ketika ia menyadari dirinya telah berada kembali di permukaan laut.

“Di sini, Dik! Di sini!” jawab Sri Ayuningrum sambil mendongakkan kepala ke atas dan melihat Kaswita ada di depannya.

“Syukur Alhamdulillah, kita diselamatkan Allah,” kata Ayuningrum sambil memejam mata. Kemudian ia meminta kepada adiknya, “Apa yang harus kita lakukan dalam keadaan begini, Dik!”

“Aku belum tahu, Kak! Mari kita pasrahkan diri kepada Tuhan,” ujar Kaswita seraya merapatkan pipinya dengan sisi perahu.

Tetapi, tiba-tiba Sri Ayuningrum mendengar sesuatu di sekitarnya. Ia memperhatikan keadaan di sekelilingnya dan apa yang tampak olehnya? Sekeliling mereka terlihat sirip ikan hiu yang muncul ke permukaan air.

“Cepat naik ke atas, Kak! Ikan-ikan itu sangat berbahaya,” kata Kaswita yang sedikit banyak tahu tentang laut. “Hati-hati Kak!”

Sebagai pendekar, untuk melejit ke punggung perahu dalam posisi terbalik itu bukanlah suatu yang sukar. Ketika kedua penumpang perahu itu terlihat bergerak, seekor ikan hiu kuning meluncur dengan cepat menyambar kaki Sri Ayuningrum, tetapi ia hanya berhasil menelan seember air laut asin yang tidak diperlukan.

Merasa gagal, akhirnya ikan-ikan hiu itu terlihat memukul-mukul air dengan ekornya sambil mengelilingi perahu telungkup itu. Kaswita dan kakaknya berdiri tegak di punggung perahu dengan mulut yang komat-kamit berdoa kepada Tuhan agar selamat dari malapetaka yang ngeri itu.

Tetapi, belum selesai dari malapetaka yang satu, malapetaka lain mengancam pula. Perahu kecil yang menjadi tumpuan harapan itu bocor. Dari lubang bocor itu, memancar air ke atas seperti air mancur.

“Wah, Kak! Sewaktu-waktu perahu ini bisa tenggelam,” kata Kaswita yang memang tanggap dalam semua hal.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan?”

“Tak ada yang harus kita lakukan, kecuali menjaga keseimbangan,” jawab Nahkoda Kaswita yang tidak pernah kehabisan akal.

“Maksudmu supaya tidak terbalik?” tanya Sri Ayuningrum.

“Ini sudah terbalik!” kata Kaswita melucu. Dalam keadaan begitu mencekam, anak muda itu masih sempat bercanda.

“Maksudmu supaya tidak tenggelam?”

“Ya!” Sri Ayuningrum menatap adiknya sejenak. Diam-diam dalam hatinya mulai merasa lucu. “Apa tidak bisa kebocoran itu ditutup?” saran Sri Ayuningrum.

“Tidak mungkin, Kak! Kita tidak punya alat apa pun, kecuali menutupnya dengan kaki,” ujar Kaswita yang secara tidak sadar telah memberikan jalan.

“Ya, kita tutup saja dengan kaki, sekedar mengurangi kebocoran itu,” potong Sri Ayuningrum.

“Bagus usul Kakak!” puji Kaswita kagum.

Karena kebocoran itu ada di tengah-tengah, kaki kiri Kaswita dan kaki kiri kakaknya dirapatkan menghadap ke Timur, akhirnya lubang kebocoran yang tidak begitu lebar tertutup rapat oleh telapak kaki mereka.

Demikianlah dengan tekad dan semangat baja, kedua adik-kakak membiarkan diri mereka terkatung-katung di tengah lautan luas sambil berdoa dan berdoa kepada Tuhan.

“Kalau begini terus, kita tidak akan dapat mencapai tujuan. Karena perahu kita hanyut begitu saja mengikuti arus,” kata Kaswita.

“Jadi bagaimana baiknya?” Sri Ayuningrum seperti menyerah.

“Sekarang kebocoran itu tidak kita tutup dengan telapak kaki, tetapi kita sumbat dengan kain, kemudian kita duduk di atasnya,” kata Kaswita mendapat gagasan baru.

“Sebagai kemudi sekaligus sebagai pendayung mungkin pedangku bisa,” tambah Sri Ayuningrum melengkapi gagasan adiknya.

“Tetapi, mana kain untuk menutup bocornya?” tanya Sri Ayuningrum.

“Itu kain batik, Kak!”

Sang Kakak melihat kepada kain yang terbelit di pinggangnya.

“Tidak apa,” pikirnya, “Toh aku masih memiliki celana ketat yang melekat di badanku.”

Dengan kain batik Sri Ayuningrum, lobang kebocoran itu segera ditutup. Air yang tadinya memuncrat ke atas lewat kebocoran sekarang sudah tidak lagi.

Kini semangat mereka marak kembali. Sri Ayuningrum dengan menggunakan pedang bermata duanya mulai mendayung perlahan-lahan, sementara Kaswita duduk di belakang menggunakan senjata beliung sebagai kemudi.

Papan tempat berpijak itu mulai beringsut sehasta demi sehasta secara terarah. Untuk pengganjal perut, mereka menyantap ikan-ikan yang kebetulan melompat ke atas punggung perahu.

“Sampai kapan kita terus begini, Dik?” tanya Sri Ayuningrum dengan nada haru, tanpa berhenti berdayung.

Kaswita tertegun sejenak dan matanya menatap jauh ke depan, kemudian dengan lesu berkata, “Sampai kita berhasil membebaskan Kang Parmin!”

Sementara itu, papan tumpangan yang berwujud perahu terbalik itu terus bergerak dengan tetap dan pasti. Tiba-tiba Kaswita agak kaget ketika ia melihat jauh ke depan sebuah bayangan kapal besar yang sedang berlayar.

“Kak! Lihatlah itu!” Kaswita menunjuk jauh ke depan.

“Kapal?”

“Ya, aku yakin itu kapal Belanda yang sedang kita kejar.”

“Kalau ya apa yang harus kita lakukan, Dik?”

“Kita atur siasat mulai sekarang. Bagaimana caranya kita bisa naik ke kapal?”

“Bukankah itu mudah untuk kita! Sekali melejit kita sudah berada di geladak,” kata Sri Ayuningrum tersenyum.

“Ya! Cuma kita harus hati-hati! Jangan sampai kehadiran kita ini sempat diketahui oleh Belanda-belanda licik itu.”

Mata Sri Ayuningrum tidak lepas-lepasnya mengikuti bayangan kapal besar itu dengan penuh penasaran.

“Kang Parmin! Tunggulah kami datang! Kami pasti akan membebaskanmu,” gumam pendekar wanita itu pada dirinya.

“Alhamdulillah, Kak! Penderitaan kita tidak sia-sia. Apa pun yang akan terjadi, Kang Parmin harus kita bebaskan, meskipun untuk itu aku harus memberikan nyawaku sebagai tebusan,” ujar Kaswita dengan terharu sambil memeluk kakaknya.

***

3

Matahari perlahan-lahan tenggelam di kaki langit sebelah Barat. Beberapa perahu tidak jauh dari Pendekar Kaswita dan kakaknya Pendekar Ayuningrum terlihat melaju dengan kencang seperti mengejar kapal besar yang terus berlayar itu.

Selain itu terlihat pula sebuah perahu kecil bercadik. Perahu itu didayung oleh sepasang tangan yang kukuh kuat. Sekali merengkuh, perahu itu melaju jauh seperti terbang di permukaan air. Wajahnya berewokan dilengkapi dengan kumis tebal yang berwibawa. Sorot matanya tajam seperti mata burung rajawali.

Tidak jauh dari perahu itu, tampak pula sebuah rakit ‘koritiki’ yang berisi tiga orang. Kelihatannya mereka semua menuju ke satu arah membuntuti kapal Belanda yang besar itu.

“Hei, batasi, jangan terlalu dekat dengan kapal,” terdengar sebuah perintah yang keluar dari salah seorang yang ada di atas rakit.

“Ya, kita berhenti agak jauh sedikit sambil menunggu malam,” tambah seorang tokoh yang kelihatan agak lebih tua.

Sementara itu, sebuah perahu besar yang hampir semua berisikan wanita-wanita remaja, memperlambat lajunya perahu. Seorang wanita cantik yang duduk di buritan mengeluarkan perintah dengan suara nyaring.

“Turunkan layar! Berhenti pada jarak yang tidak terjangkau teropong!”

Begitu perintah itu selesai, terlihat kesibukan gadis-gadis itu melaksanakan tugasnya masing-masing. Tidak lama kemudian, sesuai dengan instruksi, perahu besar itu pun membuang jangkar menanti malam tiba.

Terpisah beberapa mil dari perahu besar itu, terlihat pula sebuah perahu lain, yang juga membuntuti kapal Belanda yang membawa pendekar Jaka Sembung.

“Turunkan layar!” kata yang duduk di buritan perahu.

Seorang wanita yang berada di dekat tiang layar segera melaksanakan perintah itu.

“Akhirnya, bisa juga kita susul kapal Belanda laknat itu, Umang!” ujar gadis yang sedang menurunkan layar.

“Ya, semua tergantung pada kesungguhan dan semangat kita, Mira.”

Laki-laki yang duduk di buritan perahu, yang disebut Umang terus menatap kapal Belanda yang tidak jauh dari depannya berpura-pura seakan-akan ia sedang memancing.

Ketika itu, kapal Belanda yang berhenti di tengah lautan, melakukan pemeriksaan suasana di laut.

Dua orang Belanda berdiri di buritan kapal sambil meneropong jauh ke belakang yang sudah diarunginya.

“Apa tidak mungkin, pendekar-pendekar simpatisan Jaka Sembung menyusul kita, Kapten?” Pertanyaan itu muncul ketika pembantu Kapten melihat beberapa perahu kecil lewat teropongnya.

“Nee!” jawab Kapten dengan singkat, “Terlalu berbahaya! Kalau juga mereka melakukannya, perahu-perahu mereka pasti dipukul badai dan menjadi korban ikan-ikan besar!”

“Tetapi, bukankah mereka orang-orang pribumi yang terkenal pandai mengarungi samudera luas?”

“Mungkin, tetapi tidak semua inlanders pandai berlayar. Hanya orang-orang Bugis saja yang dapat melakukan hal itu, sedangkan ekstremis yang ada di kapal sekarang adalah orang Jawa atau Sunda,” jelas Kapten kapal yang berpengalaman itu.

“Maaf, Kapten....... mereka itu bukan orang-orang biasa,” bantah sang pembantu ingin mengorek pendapat, “Mereka pasti pendekar-pendekar yang punya kemampuan dan kecekatan bertarung yang luar biasa seperti yang terjadi di gedung Karesidenan Cirebon beberapa malam yang lalu.”

“Godverdomme zeg!” bentak Kapten itu ketika mendengar nada pembicaraan pembantunya yang seperti memuji pendekar inlanders.

Sementara tamu Van den Smooth memperhatikan cara kerja dan ketelitian anak muda itu. “Jij punya kacung yang rajin,” ujar perwira tinggi yang kurus jangkung sambil tersenyum kepada jenderal itu, “U punya kuda kelihatan sehat-sehat dan bersih!”

“Dank U Well! Dia orang inlander yang setia pada majikan, Ik senang dengan kerjanya,” tanggap Van den Smooth. Ia menatap perawat kudanya itu dengan simpatik. “Kelihatannya kuda yang satu itu berlumpur banyak,” komentar sang tamu sambil menunjuk pada seekor kuda hitam kekar.

“Memang! Kuda itu baru melakukan perjalanan jauh ke Kandanghaur,” jelas Van den Smooth, “Jalannya terlalu becek akibat hujan terus-menerus.”

“O, ya? Bagaimana dengan Jaka Sembung?”

“Beres! Semua siasat berjalan lancar. Ik berhasil memasang perangkap jitu dengan membujuk dan mengundangnya ke Karesidenan untuk merundingkan status otonomi.”

“Lantas?” usut perwira tinggi itu ingin tahu.

“Pemerintah Kerajaan Belanda, tentu tidak bodoh mau berunding dengan pemberontak. Sesampai di Cirebon, begitu turun dari kereta kuda, ekstremis itu langsung kita ringkus dan jebloskan ke dalam penjara tanpa ada perlawanan.”

“Wah! Jij punya taktik sudah jempolan!” seru sang tamu sambil mengeluarkan tangan, mengucapkan selamat. Yang dipuji merasa senang. Kedua mereka berangkulan diakhiri dengan tawa terbahak-bahak.

“Apa rencana Jij selanjutnya terhadap gembong ekstremis itu, Jenderal?” tanya perwira tinggi itu bersemangat.

“Jaka Sembung akan kita singkirkan ke sebuah pulau di sebelah Timur Hindia Belanda.”

“Ke sebuah pulau?”

“Ya, sebuah pulau yang masih hutan belantara dengan penduduknya yang masih liar,” jelas Van den Smooth terbuka.

“Pulau apa itu, Jenderal?”

“Pulau Papua!”

“Oh, ya, Ik ingat,” kata si kurus jangkung itu, “Kalau Ik tak salah, penduduk pulau itu masih terlalu primitif dan ganas.”

“Pulau itulah yang paling ideal untuknya, bukan?”

Tamu itu mengangguk........ kemudian tertawa lagi dengan nada penuh ejekan.

Anak muda, perawat kuda yang turut mendengar percakapan itu, baru mendapat keterangan yang jelas tentang Jaka Sembung, kakak kandungnya yang sedang dicari-carinya. Di satu segi, anak muda itu merasa senang karena orang yang dicari masih hidup, tetapi di pihak lain ia sangat merasa khawatir akan nasib saudara kandungnya yang akan dibuang oleh Belanda ke suatu pulau terpencil di luar Jawa.

“Jadi,” sambung Jenderal Van den Smooth, “Dengan dibuangnya Jaka Sembung jauh ke seberang lautan, desa Kandanghaur kembali lagi ke tangan kita.”

“Bagaimana dengan Kapten James?”

“Ia sudah dipindahkan ke Batavia, seminggu sebelum Jaka Sembung ditangkap.”

“Itu tindakan yang tepat,” puji perwira tinggi itu dengan nada sungguh-sungguh.

“Ik sudah lama mendengar, James memang sangat bersimpati terhadap perjuangan pendekar Islam itu dalam menentang pemerintah Belanda,” komentar sang tamu yang juga menguasai masalah.

Kacung yang sejak tadi memasang telinganya mendengar percakapan tersebut, diam-diam berpikir keras. Hatinya semakin gemas dan khawatir terhadap rencana jahat Belanda itu.

“Kalau begitu, Jaka Sembung telah ditipu mentah-mentah oleh Belanda jahat itu karena mereka tak mampu menangkapnya dengan jalan kekerasan,” gerutu anak muda itu sendirian.

“Aku harus segera memberitahukan hal ini kepada Kak Sri Ayuningrum,” ujar adik Jaka Sembung dalam hatinya gelisah.

Malam itu juga, sesosok tubuh tampak ke luar mengendap-endap dari gedung Karesidenan. Ia berlari dengan gesitnya menuju ke tempat Sri Ayuningrum menginap.

Di sebuah gubuk terpencil ia berhenti dan mengetuk pintunya beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Hatinya yang sedang cemas, mendadak lebih cemas ketika suara dari dalam gubuk kakaknya tidak terdengar sama sekali.

“Kak! Kak! Buka pintunya!” seru anak muda itu tak sabar. Keadaan di dalam gubuk tetap sepi. Jawaban yang diharapkan dari kakaknya tidak juga terdengar. Antara kesal dan khawatir sekali lagi ia mencoba.

“Kak! Kak! Buka pintu!” serunya dengan kuat setengah berteriak.

“Siapa?” tanya suara dari dalam.

“Aku Kak, Kaswita!”

Di celah-celah pintu menyembul kepala kakaknya dengan kepala masih memakai mukena.

“Kakak sedang sembahyang?” tanya Kaswita dengan nada malu. “Maafkan aku, Kak!”

“Ada apa, kau seperti dikejar-kejar?” tanya kakaknya heran.

“Celaka, Kak!”

“Celaka bagaimana?” Kakaknya tambah heran.

“Kang Parmin yang sedang kita cari, telah ditangkap Kumpeni Belanda,” lapor Kaswita dengan gugup dan cemas. Sri Ayuningrum terdiam sejenak seperti terpaku di depan pintu.

“Di mana Kang Parmin sekarang?” tanya Sri sambil membuka mukenanya.

“Dia ditahan di gedung Karesidenan dan dijaga ketat oleh serdadu dan pendekar bayaran.”

“Ya, Allah! Jauh-jauh dari puncak gunung Ciremai kita ke mari ingin bertemu dengannya, dia ditangkap,” gumam Sri Ayuningrum pada dirinya dengan sedih. “Untuk apa ia ditangkap? Dan untuk apa ia ditahan?” tanya Sri tanpa tahu ke mana pertanyaan itu diarahkan.

“Kang Parmin dianggap gembong ekstremis, Kak!”

“Lantas apa maunya?”

“Tak lama lagi, Kang Parmin akan diasingkan ke luar pulau Jawa,” jawab Kaswita dengan nada lesu.

“Dari mana kau tahu?”

“Aku dengar sendiri percakapan Jenderal kunyuk itu tadi pagi, ketika aku sedang membersihkan kudanya.”

“Gawat, kalau begitu!” gumam Sri setengah berbisik, “Apa akal kita, Dik?”

“Satu-satunya jalan, kita harus berusaha membebaskan Kang Parmin dalam waktu yang singkat, sebelum Kang Parmin dinaikkan ke kapal untuk diangkut ke luar pulau Jawa ini,” jawab Kaswita dengan bernafsu.

Sri Ayuningrum, adik Jaka Sembung atau kakak Kaswita terdiam sejenak. Ia berpikir keras bagaimana cara membebaskan kakaknya itu.

“Kak! Kita tidak akan dapat menyelesaikan masalah dengan berpikir terus, tetapi kita harus bertindak cepat. Bagaimana hasilnya, bagaimana nanti,” ujar Kaswita dengan tekad mantap.

“Jadi, bagaimana rencanamu, Dik! Aku ikut saja,” tukas Ayuningrum, membenarkan pendapat adiknya.

“Tengah malam nanti, kita harus bertindak. Kita sudah tidak banyak kesempatan lagi!”

“Baiklah aku setuju!”

Di luar gubuk suasana sepi. Cahaya bulan muda yang baru mengembang mengirimkan sinarnya yang remang-remang. Angin malam yang berhembus tenang dari pegunungan membawa rasa sejuk, sehingga hampir seluruh penduduk di kota Cirebon terlena dalam tidurnya karena kelelahan.

Pada waktu yang sepi, dan sunyi itulah dua bayangan terlihat sedang mereka-reka tingginya tembok yang mengelilingi gedung Karesidenan. Mereka tidak lain dari Sri Ayuningrum bersama adiknya Kaswita, yang ingin segera memanjat tembok tinggi itu untuk membebaskan kakak mereka, Jaka Sembung dari tahanan Kumpeni Belanda.

“Dari sini kita loncat,” Terdengar bisik Kaswita, “Penjagaannya kosong, Kak!”

Ayuningrum segera mendekati Kaswita. Mereka mengawasi suasana sejenak, kemudian kedua bayangan itu melejit ke atas tembok dengan mudahnya. Tetapi, begitu mereka muncul, mereka sangat terperanjat.

Tiga sosok bayangan mendekati mereka. Sri Ayuningrum secepat kilat menghunus pedangnya dan ketika hendak menyerang dengan jurus maut, terdengar.

“Ssst! Tunggu dulu, kita kawan!”

Sri Ayuningrum menahan pedangnya sambil bergumam, “Ha! Kawan? Siapa kalian dan apa perlunya ke mari?”

“Sama dengan kalian untuk membebaskan Jaka Sembung,” jawab salah seorang di antara mereka, “Kami si Kembar Tiga Melati!”

“Kalian wanita semua?”

“Mengapa? Tak ada beda wanita dengan pria dalam membela kebenaran dan mengusir penjajah Belanda,” jawab Si Kembar Tiga Melati itu dengan tegas.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Sri Ayuningrum bersahabat.

“Kalian berdua segera masuk menerobos ke kamar tahanan Jaka Sembung dan kami bertiga siap menghadapi penjaga-penjaga itu,” perintah salah seorang dari Kembar Tiga Melati tanpa membuang-buang waktu.