Warok Ponorogo 1 - Wasiat Mahkota Wengker(1)

BANTARAN ANGIN 

KERAJAAN Bantaran Angin di daerah Ponorogo, sejak 
ditinggal mangkat rajanya, Raden Bagus Kelana Swan- 
dana, nampak terasa mulai turun pamornya. Perselisihan 
antar kerabat dekat di dalam kehidupan keraton nampak 
semakin meruncing. Intrik politik di dalam tubuh kera- 
jaan yang memperebutkan pangkat dan kedudukan tinggi 
makin hari makin menjadi-jadi. Secara diam-diam telah 
terjadi persekongkolan, saling sikut, dan saling tikam di 
antara para anggota keluarga kerajaan. Di tingkat para 
pejabatnya, antara pimpinan yang satu dengan pimpinan 
lainnya pun saling berseteru berebut pengaruh dan men- 
Kerajaan Bantaran Angin telah lama berdiri kuat. Ketika 
di bawah kepemimpinan Raja Bagus Kelana Swandana, 
dengan didampingi permaisurinya yang termashur ber- 
nama Dewisri Sangga Langit, putri cantik jelita keturunan 
Raja Daha dari Kediri yang waktu itu banyak diperebut- 
kan oleh raja-raja yang ingin mempersuntingnya, 
akhirnya Raden Bagus Kelana Swandana yang 
memenangkan perebutan putri tersebut. Beliau 
berhasil mempersunting putri itu yang kemudian 
menjadi permaisurinya diboyong ke keraton Ban- 
taran Angin di Ponorogo. 

Kerajaan Bantaran Angin kemudian mencapai puncak 
keemasannya pada masa pemerintahan Raden Bagus 
Kelana Swandana itu. Rakyat hidup tenteram. Hasil bumi 
tiap tahun dapat dipanen berulang-ulang, sehingga ber- 
limpah ruah. Perdagangan antar daerah berjalan 
baik. Kehidupan kesenian berkembang pesat, teru- 
tama kesenian khas Reog Ponorogo yang lahir pada 
masa pemerintahan Raden Bagus Kelana Swandana 
ini. 

Ketika itu Raden Bagus Kelana Swandana ingin melamar 
putri kerajaan Daha Kediri, yang bernama Dewisri 
Sangga Langit yang amat terkenal dengan kecantikannya 
yang menawan hati tiap laki- laki pada masa itu. Namun 
bagi uap pelamar yang terdiri dari para raja sakti yang 
berasal dari hampir semua kerajaan- kerajaan di seluruh 
tanah Jawa, dipersyaratkan harus mampu menyajikan 
suatu hasil ciptaan baru berupa pertunjukan. kesenian 
asli yang belum pernah ada duanya di dunia. Raden Bagus 
Keiana Swandana penguasa Kerajaan Bantaran Angin 
dari Ponorogo itu pun akhirnya mampu menciptakan 
jenis kesenian rakyat yang masih abadi dilestarikan 
hingga sekarang yang disebut Reog Ponorogo itu. Atas 
keberhasilan menciptakan kesenian Reog Ponorogo itu, 
maka Raden Bagus Kelana Swandana berhasil memper- 
sunting putri Raja Daha Kediri yang cantik jelita itu yang 
kemudian diangkat menjadi permaisurinya. 
Lalu diboyong ke keraton Bantaran Angin di Ponorogo 

Namun, amat disayangkan, setelah Raja Bagus Kelana 
Swandana meninggal dunia, tatanan kehidupan keraton 
menjadi kacau-balau. Kerajaan Bantaran Angin hancur. 
Kehancurannya bukan karena disebabkan oleh serangan 
musuh dari luar, tetapi hancur dari dalam sendiri. Banyak 
desas-desus yang sengaja dihembuskan oleh para pemi- 
nat peraih kekuasaan di seputar kekuasaan keraton 
sendiri. Entah itu dari para penggede atau keluarga turun 
Raja sendiri, terutama anak-anak dari selir-selir raja dan 
pengikutnya. | 

Sejak runtuhnya kerajaan Bantaran Angin, timbul se- 
bagian pendapat dan para sesepuh keraton bahwa tidak 
ada lagi turun raja yang dapat dianggap berhak naik tahta. 
Sebab turun Raja Kelana Swandana yang beristerikan 
puteri berasal dari kerajaan Daha Kediri itu, dinilai bukan 
orang asli daerah Ponorogo, maka anak turunnya dapat 
dianggap tidak asli lagi, merupakan darah campuran. 
Bahkan ada pendapat yang berkembang, bahwa anak- 
anak turun Raja dan selir yang berasal dari perempuan, 
orang Ponorogo asli, justeru yang lebih berhak menjadi 
pengganti raja daripada turun permaisuri yang bukan 
orang Ponorogo asli. 

Silang pendapat di antara para sesepuh keraton menjadi 
ramai, Masing-masing pihak yang berselisih sama-sama 
berpegang pada pendinannya sendiri-sendiri. Akhirnya 
kehidupan keluarga keraton terpecah belah. Suasana 
yang tidak menentu itu telah mengganggu kehidupan 
rakyat menjadi kacau-balau. Banyak muncul kejahatan. 
Banyak lahir jagoan yang membikin keonaran di- 
mana-mana. Berita yang terjadi di daerah Ponorogo 
itu akhirnya sampai terdengar ke telinga Prabu 
Brawijaya, Raja penguasa kerajaan Majapahit di 
Trowulan. 

Melihat situasi yang kacau di daerah Ponorogo ini, 
akhirnya Prabu Brawijaya mengambil prakarsa un- 
tuk menjadikan daerah Ponorogo sebagai daerah . 
kekuasaanya menjadi daerah Kadipaten. Dan ke- 
mudian telah ditunjuk seorang Adipati yang berasal 
dari salah seorang perwira tinggi kerajaan Majapahit, 
yang kemudian setelah menjadi Adipati bergelar Kanjeng 
Raden Adipati Sampurnoaji Wibowo Mukti. 

Walaupun ketika pengangkatan Kanjeng Adipati se- 
belumnya telah dilangsungkan upacara di Trowulan, 
pusat kerajaan Majapahit, namun di Ponorogo juga 
diadakan Kirab besar-besaran untuk memberikan peng- 
hormatan atas pengangkatan Adipati baru di daerah 
Ponorogo im. 

Selain digelar pertunjukan reog Ponorogo, juga di- 
pagejarkan sajian wayang kulit yang berlangsung 
hingga tujuh hari tujuh malam, tiada henti-hentinya. 
Siang diadakan pertunjukan reog, dan malamnya di- 
gelar wayang kulit, Penduduk Ponorogo nampaknya 
dapat menikmati gelar pertunjukan yang amat 
disukainya itu. i 

Pagi itu, di halaman depan keraton Kadipaten Ponorogo, 
nampak para prajurit Majapahit yang berpakaian seragam 
beraneka rupa warna sedang berjajar rapi ikut menyema- 
rakkan upacara kebesaran yang diikuti pula oleh pasukan 
penabuh genderang, pasukan pengendara kuda, kereta- 
kereta kerajaan Majapahit, yang dimaksudkan sebagai 
upacara kebesaran pengangkatan Adipati baru untuk 
daerah kekuasaan di Kadipaten Ponorogo. 

Kanjeng Adipati berpakaian lengkap kebesarannya, di- 
dampingi isterinya yang cantik jelita, kemudian berbaris 
para penggede Kadipaten bersama isteri masing-masing, 
berikutnya diiringi oleh deretan putri-putri keraton yang 



































berdandan elok menawan, dayang- dayang hari itu pun 
ikut berbaris berhias diri dengan mengenakan pakaian 
seragamnya yang terbagus, dan para punggawa pilihan 
yang merupakan prosesi yang lazim diadakan bagi peno- 
batan seorang Adipati sebagai penguasa tunggal daerah 
Kadipaten Ponorogo yang baru. 

Bunga-bunga mawar, melati, sedap malam, dan lain-lain- 
nya menghiasi dinding-dinding keraton, terhampar di 
permadani yang memberikan aroma harum semerbak 
dimana-mana, bak seperti suasana pengantenan daup raja 
yang penuh wewangian membawa citra pesona bagi para 
undangan yang hadir di keraton yang dikeramatkan itu. 

Setelah dilangsungkan acara pelantikan di keraton Kadi- 
paten Ponorogo, kemudian diadakan arak-arakan keliling 
kota Ponorogo. Barisan kesenian Reog Ponorogo men- 
duduki posisi paling depan, kemudian diikuti oleh para 
penari yang berjoget ria melenggang- lenggokkan tarian- 
nya dengan menggunakan aneka rupa warna pakaian 
tradisonal khas Ponorogo, baik perempuannya maupun 
para laki- lakinya, anak-anak kecil maupun orang de- 
wasa, semuanya Tumplek blek jadi satu tenggelam dalam 
suasana kegembiraan pada hari- hari yang bersejarah itu. 

Atraksi yang paling menarik bagi rakyat Ponorogo adalah 
pegelaran kesenian Reog Ponarogo yang legendaris itu. 
Sebuah barongan besar yang berkepala harimau, ke- 

mudian di atasnya digelar bulu-bulu burung merak yang 
kepala mencekeram tepat di atas kepala hanamau nampak 
hijau tua berkemilauan. Seorang gadis cantik sebagai 
penari bertengger di atas kepala harimau itu berjoget 
sambil barongan reog itu berputar-putar mengelilingi 
arena pertunjukkan. Seorang yang menggunakan topeng 
pentulan, bernama Bujangganong menari-nari di depan 
barongan mengikuti irama gerak tabuhan musik yang 
ditabuh bertalu-talu pirantinya terdiri dari gamelan reog, 
kethuk, kenong, kempul, kendang, slompret, angklung 
bambu, dan ketipung. Barisan reog itu paling tidak terdiri 
dari jelmaan Raden Bagus Kelana Swandana yang mem- 
bawa pecut sakti, Patih Kelana Wijaya, Patih Singolodro- 
Barongseta, barisan jaranan atau jejeran para peningga 
kuda dari bambu. 

Melihat iringan-iringan reog itu penonton terus bertenak- 
teriak bergembiraan. Orang-orang yang sedang mengu- 
rus pekerjaannya langsung saja meninggalkan 
pekerjaannya itu, mereka yang sedang bertani di sawah, 
yang sedang mengembala ternah di lapangan terbuka, 
yang sedang masak di dapur, begitu mendengar suara 
tabuhan reog sudah lupa pada pekerjaannya segera lari 
mendatangi suara gaduh yang penuh sorak-sorai penon- 
ton yang kegirangan. Baik itu laki-laki, perempuan, anak- 
anak semua berbondong mendatangi suara tetabuhan 
reog itu. Mereka berkerumun beramai- ramai, anak-anak 
kecil sampai dipanggul oleh kakeknya agar dapat melihat 
kesenian reog yang digemari masyarakat Ponorogo itu. 

Kemudian, barisan ketiga dari iring-inngan pawai yang 
merah itu disi oleh para penggede Kadipaten, Path 
Brojosento sebagai sesepuh senior yang rambutnya telah 
memutih itu menunjukkan kewibawaannya sebagai 
orang yang disegani. di lingkungan keraton, kemudian 
para penasehat spiritual, para warok yang ditunjuk seba- 
gai kepala-kepala pengamanan daerah, para senopati 
yang nampak muda-muda dan gagah berani, kemudian 
dibelakangnya disusul barisan pasukan perang Kadi- 
paten, ikut serta pula pasukan pengamanan sebagai 
polisinya rakyat, kemudian bala tentara Majapahit 
yang berbaris tegap dengan beraneka persenjataan, tom- 
bak-tameng, pedang-tameng, kemudian pasukan kavalen 
yang berkuda dan berkereta merupakan pasukan 
yang diandalkan oleh kerajaan Majapahit yang kini 
telah mengatur rakyat Ponorogo melalui penguasa 
Kadipaten. 

Masyarakat Ponorogo menyambutnya dengan gegap 
gempita sebagai hiburan yang menarik dan jarang terjadi. 
Pertunjukkan reog yang paling gempar biasanya hanya 
terjadi pada bulan syuro, namun kali ini pertunjukkan 
lebih lengkap karena ditunjang oleh para seniman-seni- 
man yang didatangkan khusus dari Trowulan pusat kera- 
jaan Majapahit yang megah pada zamannya. Suara 
tetabuhan yang terus terdengar bertalu-talu selama tujuh 
hari tujuh malam 'itu telah membangkitkan gairah 
masyarakat Ponorogo untuk mengingat kembali kebe- 
saran kerajaan Wengker peninggalan zaman dahulu yang 
pernah tumbuh dan kemudian punah di tengah perubahan 
zaman. 

2
PERMASALAHAN 
TOMBAK PUSAKA 

SEMENJAK berubahnya kedudukan kerajaan Bantaran 
Angin menjadi daerah Kadipaten di bawah kekuasaan 
Kerajaan Majapahit ini, memang kehidupan keraton nam- 
pak makin tertata. Akan tetapi, masih banyak orang- 
orang Ponorogo asli yang tidak begitu menyukai 
perubahan kedudukan dari Kerajaan menjadi daerah 
Kadipaten itu. Terutama dari kalangan warok yang dulu 
pernah mengabdikan diri dihadapan bekas kerajaan Ban- 
taran Angin dahulu kala. Atau para sesepuh dahulu yang 
pernah mengenyam masa kejayaan Kerajaan Wengker 
sebelumnya kemudian berubah menjadi Kerajaan Ban- 
taran Angin itu. 

Tidak sedikit para warok yang sakti mandraguna yang 
masih memimpikan kembalinya daerah Ponorogo men- 
jadi kerajaan yang berdiri sendiri secara mandiri. Ter- 
lepas sama sekali dari campur tangan kekuasaan kerajaan 
besar mana pun, termasuk terlepas dari pengaruh Kera- 
jaan Majapahit itu. Para warok itu kemudian banyak yang 
keluar dari kedudukannya sebagai punggawa Kadipaten 
yang baru berdiri ini. Mereka lebih menyukai hidup bebas 
di tengah masyarakat. Umumnya mereka, kemudian 
hidup menjadi petani, pencari kayu bakar di hutan, atau 
ada juga yang menjadi pamong pengamanan di desa-desa 
yang jauh dari jangkauan pengamatan penguasa Kadi- 
paten. 

Meskipun demikian masih beredar pendapat di kalangan 
masyarakat Ponorogo bahwa Kanjeng Raden Adipati 
Sampurnoaji Wibowo Mukti itu sebenarnya tidak berhak 
memerintah daerah ini. Selain bukan turun Raja 
Ponorogo, beliau juga tidak mewarisi senjata pusaka 
kerajaan Wengker yang sampai sekarang belum tahu 
ujung pangkainya, dimana keberadaan pusaka kerajaan 
itu. Siapa pun orangnya yang menguasai pusaka kerajaan 
itu, justeru dianggap lebih syah berkuasa daripada 
penguasa tunjukan dari Kerajaan Majapahit itu. 
Namun demikian, melihat kemampuan Kanjeng 
Adipati dalam mengelola perekonomian rakyat 
Ponorogo, dan kecerdikannya mengatur orang- orang 
yang berpengaruh di Ponorogo, telah menjadikan 
kedudukan Kanjeng Adipati sebagai penguasa daerah 
Ponorogo lambat-laun makin kokoh. 

Ditambah lagi, melihat karakter rata-rata orang Ponorogo 
yang biasanya sangat percaya diri. Mereka biasanya 
merasa lebih suka menjadi tuan atas dirinya sendin. 
Merasa menjadi jagoan dan tidak mudah diatur orang 
lain, sehingga jarang yang berhasil menjadi pemimpin di 
antara mereka. Kedudukan mereka dianggap sejajar. Hal 
ini yang kemudian membuat orang Ponorogo sukar untuk 
bersatu. Mereka berjalan sendiri-sendiri. 

Demikian juga kehidupan para Warok, biasanya tidak ada 
seorang Warok pun yang sudi menjadi bawahan Warok 
lainnya. Mereka bisa saling segan sesamanya, bisa saling 
menghormati, tetapi tidak sudi jadi anak buahnya. Dalam 
soal urusan pribadi. biasanya juga diselesaikan secara 
pribadi, satu lawan satu. Menghindari main keroyokan. 
Tetapi tiap perkara yang menyangkut antar pribadi bi- 
asanya diselesaikan secara kasatria, berhadapan langsung 
tanpa melibatkan orang lain. 

Kanjeng Adipati nampaknya sangat maklum terhadap 
sifat-sifat orang-orang Ponorogo ini. Oleh karena itu 
ketika beliau ditunjuk oleh Prabu Brawijaya menjadi 
penguasa Kadipaten ini, ia berusaha mengatur perim- 
bangan kekuatan-kekuatan yang berkembang di 
masyarakat Ponorogo. Khususnya kehidupan para 
warok-warok yang biasanya menguasai daerah-daerah 
tertentu dan disegani oleh masyarakat setempat. Lantaran 
antar Warok biasanya juga tidak mudah bersatu. Bahkan 
cenderung untuk bersaing. Berebut pengaruh, dan 
meninggikan derajadnya masing-masing atas 
kekuatan ilmu kanuragan yang dikuasainya. Oleh karena 
itu, Kanjeng Adipati berusaha memecah-mecah 
kekuatan-kekuatan itu jangan sampai terhimpun, dan ke- 
mudian menyerang untuk menghadapi dinnya. 

Tidak sedikit para warok yang berpengaruh yang ke- 
mudian ditawari untuk menjadi penggede Kadipaten dan 
memimpin kekuatan prajurit- prajurit pengamanan. Fu- 
juannya tidak lain untuk menghadapi warok- warok lain 
yang banyak berkeliaran di kampung-kampung yang apa- 
bila mereka tidak puas terhadap cara pemerintahan Kan- 
jeng Adipati bisa menjadi ancaman terhadap keluhuran 
penguasa Kadipaten itu. 

Kebetulan memang, orang-orang yang menyandang gelar 
warok dari penduduk itu, lazimnya adalah orang-orang 
yang "mumpuni", tidak sembronoan, dan lurus hati. 
Walaupun termasuk orang keras, tetapi tergolong orang 
baik yang tidak mudah membuat keonaran, justeru sering 
menjadi payung mengamanan penduduk. Suka 
menolong, dan bersikap jujur. Dan terlebih-lebih sukar 
untuk diajak kompromi dalam melakukan tindak keja- 
hatan. Oleh karena itu, hampir tidak ada ceriteranya 
pemberontakan para warok ini yang ditujukan kepada 
penguasa yang adil, dan arif bijaksana. 


Pada suatu sore hari Kanjeng Adipati Sampumoaji Wi- 
bowo Mukti sedang dihadap oleh para penggede Kadi- 
paten, para penasehat spiritual, para pengatur 
kemakmuran rakyat, dan para pengamanan termasuk 
salah seorang warok yang loyal kepada kepemimpinan 

' "Kakang Empu Tonggreng", ujar Kanjeng Adipati kepada 
salah seorang penasehat spirituainya yang sudah 
termasuk jajaran senior dalam sesepuh Kadipaten, "Ba- 
gai mana berita kemajuan mengenai usaha pencarian tom- 
bak pusaka peninggalan kerajaan Wengker itu. Apa sudah 
ada titik-titik terangnya”. 

"Ampun Kanjeng Adipati”, jawab Empu Tonggreng, 
"Segala daya dan upaya telah kami kerahkan untuk men- 
cari tombak pusaka peninggalan kerajaan Wengker itu. 
Namun, sampai hari ini belum nampak membawa hasil. 
Kami telah menggunakan kekuatan spiritual, bersemedi 
dan berusaha melihat dengan mata hati, tetapinampaknya 
yang mengambil tombak pusaka ini bukan orang sem- 
barangan. Memiliki keunggulan ilmu bathin yang tinggi. 
Oleh karena itu, kami menganjurkan kepada Kanjeng 
Adipati, agar untuk menemukan tombak ini, kita tidak 
menempuh cara biasa. Harus menggunakan cara-cara 
yang luar biasa. Membalik cara berpikir kita". 


"Aku belum bisa memahami. Apa yang Kakang Empu 
maksudkan", kata Kanjeng Adipati nampak masih 
diliputi tanda tanya. 

"Kalau yang menguasai tombak pusaka itu seorang 
maling ulung yang sangat pandai. Kita harus menyu- 
ruh orang yang sebangsanya dia. Maksud hamba, 
maling barus dilawan dengan maling”, jelas Empu 
Tonggreng nampak mantab. 

Suasana persidangan itu jadi herung. Semua yang hadir 
nampak terdiam berusaha mencerna kata-kata Empu 
Tonggreng sebagai sesepuh keraton yang berfungsi seba- 
gai penasehat Adipati dan keluarganya. 

"Bagaimana menurut pendapat Dimas Warok Sawung Gun- 
tur yang telah lama memiliki pengalaman di lapangan per- 
golakan para jagoan di wilayah Ponorogo ini", kata Kanjeng 
Adipati yang ditujukan kepada Warok Sawung Guntur 
yang dinilai sebagai tokoh masyarakat yang tahu banyak 
soal cara-cara yang jazim dilakukan oleh orang-orang 
Ponorogo terhadap pusaka-pusaka keraton. 

"Hamba rasa, pendapat Eyang Empu Tonggreng itu 
benar, Kanjeng Gusti. Dapat kita coba. Memang kalau 
kita sebagai penguasa pengamanan akan menangkap 

seorang perampok, tentu akan sulit kalau tidak ber- 
hadapan langsung untuk. bertarung secara terbuka. 
Tetapi dengan cara menangkap konco-konco peram- 
pok itu, kita cukup masuk akal dengan cara menyebar 
konco-konco perampok itu yang sudah jelas-jelas
memihak kita. Kemudian kalau sudah ketahuan siapa 
pencurinya baru kita atur cara menggrebeknya”, sahut
Warok Sawung Guntur yang menjadi ‘ompleng-om- 
plengnya' penguasa Kadipaten mendukung pendapat 
Empu Tonggreng itu. 

"Lalu, siapa yang ingin memberikan urun rembugnya - 
lagi", tanya Kanjeng Adipati kepada semua penggede 
yang hadir dalam persidangan itu. Akan tetapi nam- 
paknya tidak ada yang menjawabnya. 

"Kalau demikian, aku putuskan untuk menerima usulan 
Kakang Empu Tonggreng itu. Lalu, siapa orangnya yang 
bisa kita anggap dapat dipercaya dan mampu men- 
jalankan tugas ini". 

"Ampun hamba Kanjeng Adipati. Hamba mengenai 
seorang perampok sakti yang sekiranya dapat kita ajak 
kompromi, namanya Begal Bledeg Ampar Mongso- 
dilogo. Ia banyak melakukan kejahatan di daerah 
Ponorogo Timur, di sekitar lereng bukit-bukit gunung 
Wilis. Dan konon ia berasal dan Dukuh Pulung. Sudah 
kondang sak onang-onang, orang ini banyak menimbul- _ 
kan kejahatan di masyarakat. Menunut berita terakhir. ia 
banyak memiliki hubungan dekat dengan para perampok- 
perampok tangguh sampai ke daerah- daerah lain di luar 
Ponorogo, misalnya daerah Kertosono, Daha- Kediri, 
Wonogiri, sampai Blitar Selatan. Hanya masalahnya, 
apakah bisa Kanjeng Adipati, memberikan pengam- 
punan terhadap segala kejahatan-kejahatan yang diper- 
buatnya ini. Lagipula dia tentu akan minta upah yang 
besar untuk menjalankan tugas ini", urai Warok Sawung 
Guntur, ' 

Suasana jadi hening sejenak Kanjeng Adipati sedang 
berpikir keras. Bagaimana mungkin akan mengampuni 
seorang perampok yang telah membuat kejahatan ter- 
hadap masyarakat. Namun, soal tombak pusaka itu pun 
juga harus segera ditemukan lantaran menyangkut soal 
pembenaran terhadap kekuasaannya di daerah 
Ponorogo itu melalui lambang penguasaan tombak 
pusaka itu. Akhirnya, Adipati lebih mempertim- 
bangkan pada memperkuat kedudukan kekuasaan- 
nya terlebih dahulu dihadapan rakyat yang 
disimbulkan dengan peninggalan tombak pusaka itu 
daripada harus memperhitungkan soal kejahatan 
perampok ulung yang bernama Begai Bledeg Ampar 
Mongsodiiogo itu. 

"Warok Sawung Guntur, usulmu baik. Aku dapat 
menerima. Tetapi bagaimana caranya untuk mendapat- 
kan Begal Bledeg Ampar itu. Selama ini para punggawa 
sudah lama tidak bisa menangkapnya". 

“Ampun Hamba, Adipati", jawab Warok Sawung Gun- 
tur, "Soal cara menghubungi Begal Bledeg Ampar itu: 
urusan hamba. Atas seijin Kanjeng Adipati hamba akan 
mengerahkan orang-orang kepercayaan hamba untuk 
mengirim pesan-pesan damai kepada Begal Bledeg Am- 
par. Jadi mohon hendaknya tidak perlu dikhawatirkan 
mengenai hal ini. Ada semacam isyarat-isyarat yang 
bisa disampaikan melalui orang kepercayaan yang 
berpengalaman. Kemudian isyarat itu tentunya 
akan dengan mudah bisa ditangkap maknanya 
oleh penerima pesan. Itu semua merupakan ba- 
hasa-bahasa di kalangan hitam yang beroperasi 
di daerah ini, Kanjeng Adipati", jelas Warok 
Sawung Guntur membanggakan. diri. 

"Baik, aku restui cara-caramu itu, Warok Sawung Gun- 
tur. Segera bersiaplah kamu untuk menjalankan tugas 
ini", perintah Kanjeng Adipati Sampurnoaji Wibowo 
Mukti kepada pengawal andalannya itu Warok Sawung 
Guntur yang gagah perkasa sakti mandraguna. Kemudian 
persidangan siang itu ditutup, para penggede Kadipaten 
bubar menuju ke tempat masing-masing. 


MEMBUAT PERJANJIAN 

WAROK SAWUNG GUNTUR satu-satunya warok di 
antara para warok lainnya yang bersedia memberikan 
pengabdiannya kepada penguasa Kadipaten. Ia mendapat 
tugas besar dari Kanjeng Adipati untuk mencari tombak 
pusaka peninggalan kerajaan Wengker yang hingga kini 
belum jelas dimana beradanya. 

Warok Sawung Guntur berusaha menjalin kontak dengan 
pemimpin perampok dari wetan yang konon berpusat di 
daerah Pulung itu bernama Begal Biedeg Ampar. Melalu: 
orang kepercayaannya, bernama Seco Larendro yang 
bertindak sebagai kurier berpengalaman, ia diperintah 
oleh Warok Sawung Guntur untuk menyampaikan surat 
yang ditujukan kepada pemimpia perampok itu. 

Di tengah jalan ia dicegat oleh segerombolan laki-laki 
yang nampaknya mereka itu telah mengikuti Seco Laren- 
dro sejak ia keluar dari pendopo kadipaten. Anak buah 
Bledeg Ampar telah memata-matai gerakan Seco Laren- 
dro kemudian diikutinya dan belakang. Setelah Seco 
Larendro melewati Dukuh Prajangan, rasanya perjalanan- 
nya ada yang mengikutinya. Ia kemudian dengan cekatan 
membelokkan kudanya menikung tajam ke kiri menuju 
jurang babi. Ia segera turun dari kudanya, setelah menam- 
batkan tali kuda itu pada pohon asam yang rindang itu, ia 
bersembunyi di semak-semak yang nmbun. 

"Sialan. Kemana larinya monyet kecopret tadi," terdengar 
suara laki-laki yang bersuara serak menandakan umurnya 
mungkin sudah tua dengan diikuti oleh sekitar lima orang 
anak buahnya yang semuanya berpakaian hitam legam. 

“Sebaiknya kita berpencar saja, Paman." usul salah 
seorang anak buahnya itu. 

"Bagus. Itu usulan yang bagus. Baiklah, kalian berpencar. 
Cari sampai dapat si bedebah tikus lodeng itu." 

Tidak berapa lama terdengar suara langkah kuda mereka 
yang menuju ke segala arah. Mereka berpencar. 

Seco Larendro yang bersembunyi di balik pohon randu 
yang dikelilingi semak-semak belukar itu, menggunakan 
kesempatan baik ini untuk segera melarikan diri. Dengan 
mengendap-endap mendekati kudanya lalu meloncat ke 
atas dan memacunya kencang ke arah timur. 

Hari mulai sore dan akan memasuki malam. Seco Laren- 
dro mencoba mencari tempat bermalam, atau apakah 
malam begini akan terus langsung menuju ke tempat- 
persembunyian Bledeg Ampar. Ia baru pikir-pikir 
langkah apa yang sebaiknya sambil duduk-duduk di 
bekas pohon-pohon rubuh yang besar-besar itu. Tiba-tiba 
terdengar suara keras seperti orang yang sedang dikejar 
mangsa yang dengan kuatnya memacu kudanya. Ranting- 
ranting dedaunan itu seperti patah diinjak-injak oleh kaki- 
kaki kuda yang berlari kencang. Suaranya makin lama 
makin mendekat. Tidak berapa iama terlihat seorang 
perempuan yang kelihatannya masih muda belia menun- 
jukkan wajahnya yang ketakutan berlari dengan kuda 
pacunya itu dari arah selatan menuju ke arah utara. 

Seco Larendro terperanjat, apa yang sedang terjadi. Na- 
mun tidak berapa lama, tidak jauh dari larinya kuda 
perempuan muda itu menyusul serombongan laki-laki 
yang ternyata mereka itu para laki-laki yang sejak dari 
keraton kadipaten itu membuntutinya. 

Seco Larendro nampaknya tidak punya kesempatan lagi 
untuk bersembunyi, salah seorang dari orang-orang itu 
melihat Seco Larendro yang sedari tadi sudah dikagetkan 
oleh datangnya suara kuda kencang yang dikendalikan 
oleh perempuan muda tadi. 

"Itu dia. Orang yang kita kejar tadi," teriak salah seorang 
dari mereka. Rupanya sejak melihat adanya Seco Laren- 
dro di tengah hutan itu, mereka lupa mengejar kepada 
perempuan muda tadi. Kini perhatiannya berpaling 
kepada Seco Larendro yang sedang berdiri nampak ke- 
bingungan mau menghindar kemana. Akhirnya ia memu- 
tuskan untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk 
yang bakal terjadi. 

"Hae. Bajingan. Kemana saja kamu. Menghilang di 
tengah hutan tanpa memberitahu,” kata orang yang 
berambut memutih itu yang nampaknya sebagai 
pemimpin mereka. 

"Apa maksud kalian membututiku sejak tadi dari kota 
kadipaten.” kata Seco Larendro dengan penuh ke- 
waspadaan. 

"Hae. Kunyuk, Kau kira aku tidak tahu maksud dan 
tujuanmu datang ke daerah kami ini. Kamu akan memata- 
matai gerakan kami, yah. Kamu orang dari punggawa 
kadipaten mau menyelidiki keberadaan kami di sini”. 

"Jangan salah paham kawan. Aku memang orang dari 
kadipaten. Aku membawa pesan dari paman Warok 
Sawung Guntur untuk pemimpin kalian, Warok Bledeg 
Ampar." 

"Ha...ha...ha..Pandai membual si kunyuk ini. Apa 
buktinya kamu diutus Warok Sawung Guntur untuk 
membawa pesan kepada pemimpin kami Kangmas 
Bledeg Ampar." 

"Aku membawa pesan khusus untuk paman Bledeg Am- 
par." 

“Mana pesan tertulis yang kau bawa itu. Serahkan 
kepadaku." 

"Aku harus menyerahkan sendiri dihadapan Paman 
Bledeg Ampar. Antar aku kepada beliau." 

"Serahkan dahulu surat itu. Baru aku akan putuskan perlu 
untuk mengantar kamu atau tidak. Sekarang perintahku. 
Serahkan surat itu, atau kamu akan menemui ajalmu di 
sini." 

"Maaf. Sekali lagi mohon antarkan aku kepada Paman 
Bledeg Ampar. Jangan paksakan aku..”. Belum habis 
ucapan Seco Larendro. Ketiga laki-laki yang membuntuti 
Seco Larendro sejak tadi itu tanpa banyak omong lagi 
meloncat dari kuda mereka masing-masing terus meng- 
hajar Seco Larendro yang sedari tadi memang telah ber- 
siap diri. Pergulatan pun tidak terhindarkan lagi. Seco 
Larendro dikeroyok beramai-ramai dengan menerima 
serangan dari berbagai jurusan. Untung Seco Larendro 
bukanlah seorang prajurit rendahan, ta adalah seorang 
senopati muda yang cukup memiliki bekal ilmu 
- kanuragan yang ‘mumpuni. Sehingga serangan para 
laki- laki yang begitu brutal itu dapat ditanggulangi 
dengan enteng hanya cukup meliuk-liukkan tubuhnya 
yang tegap itu telah membuat kewalahan para musuh- 
nya itu. 

Tidak berapa lama, pimpinan gerombolan itu mem- 
bunyikan peluit dengan mengapit tangannya, tanda ia 
memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk mening- 
galkan arena pertarungan. Tidak berapa lama para laki- 
laki yang mengeroyok Seco Larendro menaiki kudanya 
kembali dan pergi kabur meninggalkan Seco Larendro 
yang segera juga meloncat ke kudanya untuk mengikuti 
perginya gerombolan pencegat itu. Ia mengambil jarak 
agak jauh agar tidak diketahui oleh gerombolan itu. Tu- 
juan mengikuti jejak gerambolan itu agar ia mendapat 
penunjuk jalan untuk menemui sarang gerombolan Bega! 
Bledeg Ampar. 

Sementara hari mulai malam. Jalan-jalan mulai gelap. 
Seco Larendro mulai kehilangan jejak gerombolan itu. 
Namun dengan menggunakan indera pendengarannya, 
Seco Larendro masih bisa mengenali arah perginya 
gerombolan tadi. Tidak berapa jauh, di kejauhan tiba-tiba, 
Seco Larendro melihat beberapa obor yang kelihatannya 
baru saja dinyalakan. Ia menduga, barangkali obor- obor 
itu milik gerombolan tadi yang mau menerangi jalan 
untuk pulang ke sarangnya. Maka dengan cekatan, Seco 
Larendro memacu kudanya lebih cepat lagi untuk men- 
dekati arah obor-obor itu 

Begitu cepatnya Seco Larendro untuk berusaha men- 
dekat, tidak dinyana tiba-tiba ia menginjak tanah yang 
kelihatanya tanah rumput tetapi begitu kudanya 
melangkah ke situ ia terpelosok ke dalam jauh ke bawah. 
Dari posisi tempat itu nampaknya ini bukan tempat asli 
tetap: sengaja ada yang membuat untuk memasang 
perangkap. Tiba-tiba terdengar banyak orang 
tertawa...ha....ha. Benar juga tidak berapa lama muncul 
banyak obor-obor dinyalakan. Nampak dari atas lubang 
besar dimana Seco Larendro terperosok di dalamnya itu 
telah berkumpui banyak laki-laki yang hampir semuanya 
berewokan. 

"Hae punggawa goblok," hardik salah seorang dari 
mereka "Apa tujuanmu jauh-jauh dari kota kadipaten 
datang kemari." 

"Ampun Paman. Namaku Seco Larendro. Aku membawa 
pesan dan Paman Sawung Guntur untuk disampaikan 
kepada Paman Bledeg Ampar."