"Hah apa maunya si Sawung itu. Ada pesan apa untuk
"Maaf, paman. Apa nama paman Bledeg Ampar."
"Ya. Aku Bledeg Ampar. Lalu apa maumu," kata laki-laki
yang tinggi besar berewokan yang mengaku bernama
Biedeg Ampar itu.
"Kedatanganku kemari untuk menyampaikan pesan-pe-
san penting kepada Paman Bledeg Ampar."
"Coba tunjukkan mana pesan-pesan tertulis dari si
Sawung itu." Seco Larendro segera menyerahkan sebuah
potongan bambu yang disimpannya di baju dada itu
Biedeg Ampar sepenerima potongan bambu itu segera
membuka isi pesan yang tertulis dalam lembaran daun
lontar itu.
"Huh....ha....ha...Apa benar yang dikatakan si tolol
Sawung ini...ha...ha.” tawa Bledeg Ampar setelah mem-
baca isi surat itu.
"Har. Blekok, entaskan si tolol ini dari dalam lubang ini.
Aku mau bicara banyak sama si tolol punggawa kesasar
ini," perintah Bledeg Ampar kepada salah seorang anak
buahnya yang bertubuh paling tinggi untuk menaikkan
Seco Larendro yeng tersuruk dalam lubang jebakan ini.
Tidak berapa lama atas pertolongan laki-laki yang di-
panggil Blekok tadi, Seco Larendro kini sudah berada
kembali di atas tanah.
"Hayoh, bawa orang ini ke sarang kita," perintah Bledeg
Ampar terus melangkah pergi mengambil kudanya yang
kemudian ditkuti aleh para anak buahnya yang berjumlah
sekitar satu lusin. Sementara ita Seco Larendro diikat
langannya dan disuruh menaiki kudanya mengikuti arah
gerombolan ini.
Tidak berapa lama mereka telah sampai pada suatu daerah
yang nampaknya terdiri dari banyak rumah-rumah
bambu. Rupanya di tempat ini gerombolan Bledeg Ampar
itu bersarang. Kemudian Seco Larendro dibawa masuk
ke rumah yang paling besar terletak di tengah-tengah di
antara rumah-rumah lainnya yang mengelilinginya.
Nampak banyak perempuan yang berpakaian seenaknya,
banyak yang terbuka dadanya, kelihatan pahanya, acuh
tak acuh mondar-mandir di antara para laki-laki yang
nampaknya sudah terbiasa dengan suasana hidup seperti
ini.
Setelah sampai ke dalam rumah besar itu, Seco Larendro
diminta duduk di ruang tengah. Sementara itu Bledeg
Ampar masih terus memegangi surat yang dibawa Seco
Larendro tadi sambil beberapa kali dibaca berulang--
ulang.
"Hayoh, Seco. Kita makan malam dulu seadanya," kata
Bledeg Ampar menyilahkan Seco Larendro untuk makan
berbarengan dengannya. Di ruang itu hanya empat orang
pengawalnya Bledeg Ampar.
“Bagaimana menurut pendapatmu, Tarmo. Mengenai
ajakan menjalin kerjasama dari si Sawung itu."
"Apakah itu bukan berarti jebakan, Kangmas," kata orang
yang dipanggil Tarmo itu. Nampak Bledeg Ampar men-
gangguk-anggukkan kepalanya.
"Kalau melihat kedudukan dia sebagai seorang warok.
Aku dapat mempercayai ucapan-ucapannya. Aku
mengena! Sawung Guntur ini sebagai orang yang jujur
dan polos. Jadi saking jujur dan polos, ia kini satu-satunya
warok yang masih bersedia dan mau mengabdikan diri
kepada pihak kadipaten. Para warok lainnya, sudah bubar
cari hidup sendiri-sendiri tidak ada yang sudi mengabdi
kepada pihak kadipaten. maunya mereka itu mengabdi
kepada Raja turun kerajaan Wengker. Nah dari penga-
matanku ini, si Sawung ini nampaknya sungguh-sung-
guh. Ada kesulitan yang kini sedang ia hadapi dan ia
memerlukan bantuanku. Ini merupakan kesempatan baik
bagi kita untuk mencari dukungan dari penguasa kadi-
paten atas segala kiprah sepak terjang kita."
"Tetapi Kangmas, ajakan kerjasama untuk mendapatkan
tombak pusaka peninggalan kerajaan Wengker ini, se-
baiknya harus ditanggapi dengan sikap yang penuh hati-
hati."
"Nah, aku ada akal. Untuk menjamin kebenaran si
Sawung itu. Sebaiknya si Seco Larendro ini kita jadikan
jaminan. Seco Larendro harus kita sekap. Dengan tujuan
untuk dijadikan sandera. Apabila ternyata surat undangan
damai itu hanya akal-akalan Warok Sawung Guntur un-
tuk menangkap aku, maka nasib Seco Larendro yang akan
jadi korban sebagai bimbalnya."
Mendengar ucapan Biedeg Ampar itu, Seco Larendro
yang lagi asyik- asyiknya menyantap makanan itu lang-
sung hilang selera makannya. Ia berhenti makan, dan mau
mengajukan usulan.
"Beg...begini...Pam..." kata Seco Larendro tergagap-ga-
gap.
"Berhenti bicaramu Seco. Kamu jangan banyak
tingkah. Sekarang kamu ikuti mereka itu. Bawa si
Seco masuk kerangkeng. Nasibmu akan ditentukan
oleh pimpinanmu si Sawung Guntur. Kalau ia
menipuku, habislah nyawamu. Kalau ia bertindak
jujur, aku akan lepaskan kamu. Mengerti, Seco."
Belum sempat Seco Larendro memberikan jawaban ia
sudah digiring meninggalkan rumah besar itu dibawa
masuk kerangkeng di bawah tanah, rumah di tengah hutan
ini. Suara harimau, anjing, kelelawar, burung hantu, babi
hutan, dan binatang lainnya nampak terdengar tidak jauh
dari perkampungan sarang penyamun ini. Dan Seco
Larendro semalaman tidak bisa tidur terganggu oleh ban-
yaknya nyamuk yang terus berkecamuk mengigiti tubuh-
nya. |
PERTEMUAN RAHASIA
SUDAH tiga hari ini kurier kepercayaan bernama
Seco Larendro yang dikirim oleh Warok Sawung
Guntur itu belum ada kabar beritanya. Warok
Sawung Guntur mengumpuikan para anak buahnya
untuk mencari jalan bagaimana sebaiknya dapat
menerobos sarang Bledeg Ampar yang telah berani
menghinanya dengan menyekap kurier yang diutus-
nya itu. Sudah tiga hari im kurier itu tidak kembaii.
Tetapi, tiba-tiba ada suara keras yang melesat di atas
kepala mereka yang sedang berkumpul itu, ‘swittt?’. Se-
buah anak panah yang melaju cepat menancap di atas
pohon dadap dimana di bawahnya Warok Sawung Guntur
beserta ketiga anak buahnya sedang berbincang-bincang
di situ.
"Kurang ajar. Siapa yang berani berbuat ini." kata Warok
Sawung Guntur geram. Tetapi ketika diamati. Tancapan
anak panah itu, ternyata disertai sepucuk surat. Ada surat
rahasia yang datang kepadanya, bukan ditulis oleh kuri-
ernya itu, tetapi oleh tulisan tangan orang lain yang
mengatakan, perundingan bisa berlangsung di tempat
Koh Tiong seorang pedagang rumah makan keturunan
Tionghwa yang beroperasi di daerah Setono Jeruksing,
berada di kota Ponorogo wetan.
Malam itu juga sepenerima pesan surat itu, Warok
Sawung Guntur dengan dikawal oleh tiga orang perwira
andalannya pergi meninggalkan pos pengamanan keraton
Kadipaten dengan menunggang kuda menuju ke arah
timur. Tujuannya ke daerah Setono Jeruksing, pusat ru-
mah makan Pecinan waktu itu.
Setelah berjalan beberapa lama, rombongan Warok
Sawung Guntur itu berhenti di Rumah Makan
Kangkung Cah milik pengusaha keturunan Tionghwa
itu. Satu-satunya rumah makan termodem di kota
Ponorogo waktu itu.
"Selamat malam,” kata Warok Sawung Guntur ketika
memasuki Rumah Makan Kangkung Cah yang tertata
rapi ala seni tradisional budaya Cina itu.
"Selamat malam. Oh. Tuang penggede Kadipaten. Si-
lahkan, silahkan tuang," kata Koh Tiong dengan logat
cinanya yang masih cedal, ia adalah pemilik rumah
makan Kangkung Cah itu mempersilahkan dengan
hormat kepada rombongan Warok Sawung Guntur
yang baru datang malam itu.
"Koh Tiong. Aku perlu ruangan khusus untuk malam ini.
Apa bisa engkau sediakan tempat itu untuk aku", kata
Warok Sawung Guntur setelah duduk dan dijamu minum
oleh tuan rumahnya.
“Bisa. Bisa tuang penggede. Silahkan kemali, Tuang
penggede. Di sini ada tuang tamu istimewa yang dapat
tuang penggede gunakan”, kata Koh Tiong yang terkenal
juga mengajarkan silat asal Cina di daerah ini.
Sebuah ruangan yag diberi warna merah dengan gambar
naga-naga liong besar itu tergambar di ruangan itu. Meja
bundar di tengah dan ada tempat tidur agak besar di
samping kanan ruangan. Dua buah senjata trisula, dan dua
buah pedang pendek kembar yang berbendera kecil
hitam di pajang di atas dinding sebelah kanan. Bau
dupa khas suasana kehidupan keluarga Cina terasa
menyengat ruangan itu.
"Apa tuang penggede mau makan-makan dulu. Hanya
minum-minum, atau mau tidul-tidulan. Apa pellu pelem-
puan. Apa ada pellu yang lain, silahkan. Semua ada. Kami
siap melayani tuang penggede”, tanya Koh Tiong kepada
Warok Sawung Guntur dengan sikap penuh hormat dan
menunjukkan keramahan yang amat sangat dianggap se-
bagai pelayanan kepada pejabat tinggi Kadipaten.
"Saya memang ada perlu, Koh Tiong. Malam ini aku mau
ada tamu. Ada orang yang aku undang datang kemari.
Sebentar lagi ia akan datang. Malam ini juga. Kalau bisa,
sementara ini, khusus malam ini, jangan menerima tamu
dulu. Tutup sementara, saya mau gunakan ruangan ini
untuk berunding. Ini sangat penting", kata Warok
Sawung Guntur dengan mimik muka serius.
"Oh, tidak apa-apa. Lumah makan akan segela ditutup,
Tuang penggede. Belapa olang tamu tuang," kata Koh
Tiong dengan bibir terus tersenyum lebar penuh
keramahan.
"Belum jelas berapa banyak. Yang sudah jelas saja, aku
undang seseorang. Tetapi apakah ia membawa teman,
atau datang sendirian, aku tidak tahu."
Beberapa saat kemudian, mereka sambil makan minum
di tempat itu dengan ditemani pelayan-pelayan yang
ramah-ramah. Tepat tengah malam, terdengar suara
gaduh diluar. Nampak beberapa kuda yang datang dari
arah timur berjalan pelan tetapi pasti menuju mendekati
rumah makan Kangkung Cah milik Koh Tiong ini
Warok Sawung Guntur segera memerintahkan kepada
anak buahnya, perwira-perwira muda itu, untuk me-
meriksa dan berjaga-jaga diluar, dan segera memberi-
kan isyarat untuk memastikan siapa yang datang
dengan berisan kuda yang nampak begitu banyak itu.
"Mereka sudah datang, Kakang Sawung," kata salah
seorang pengawal andalannya itu melaporkan
kedatangan rombongan gerombolan Bledeg Ampar
yang amat terkena! itu.
"Baik. Bersiaplah dan berjaga-jagalah dengan baik kalian
diluar. Pelajari dengan cermat segaia kemungkinan yang
bakat terjadi," perintah Warok Sawung Guntur ee
para pengawal andalannya itu.
Tidak berapa lama terdengar suara langkah orang, ada
dua orang yang memasuki pintu depan rumah makan
Cina ini. Dan nampak mereka berbisik-bisik dengan hati-
hati kepada Koh Tiong pemilik rumah makan ini. Koh
Tiong kelihatan hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya dengan penuh hormat. Kemudian dua orang itu
diantar Koh Tiong masuk ke ruang dalam dimana Warok
Sawung Guntur berada. :
"Selamat malam, Pak," tegur salah seorang dari mereka
ketika melihat Warok Sawung Guntur yang ada di dalam
ruangan itu.
"Selamat malam," sahut Warok Sawung Guntur sambil
menyalami kedua orang itu.
"Mana pemimpin kalian," tanya Warok Sawung Guntur.
"Ada diluar, Pak. Kami ditugaskan untuk memastikan,
apakah Bapak telah berada di sini."
"Yah. suruh pemimpin kamu kemari. Aku sendirian di
sini. Dan diluar aku bawa tiga orang anak buah. Kalian
bawa berapa orang."
"Banyak, Pak. Hampir semua penghuni sarang diikut-
sertakan."
"Seperti mau menghadapi perang besar saja. Segera
laporkan kepada pemimpin kalian. Aku tunggu di sini."
"Baik, Pak."
Salah seorang dari dua orang itu segera membalikkan
badannya menuju ke depan. Sedangkan salah seorang
lagi justeru mengambil tempat duduk di situ dihadapan
Warok Sawung Guntur sambil matanya mengamati selu-
ruh seisi ruangan itu. Nampaknya ia memang diberi tugas
khusus untuk memeriksa kalau ada hal-hal yang mencun-
gakan, maka itu menjadi urusan dia
"Ada apa, curiga. Ada yang dicurigai,” tanya Warok
Sawung Guntur ketika melihat orang dihadapannya itu
yang kelihatan sedang memeriksa ruangan itu.
"Oh, tidak. Tidak, Pak. Tidak apa-apa Saya hanya meli-
hat-lihat."
"Bagus. Hati-hati itu baik. Aku Senang melihat kerja
kalian yang cermat ini."
“Terimakasih, Pak. Kami hanya menjalankan tugas yang
ditugaskan kepada saya dari pimpinan kami, Pak," kata
laki-laki bertubuh pendek gempal yang nampak sangat
berpengalarnan menjalankan pekerjaannya itu.
“Bagus. Bagus, itu sikap anak buah yang baik. Aku sangat
menghargai sikap demikian ini," kata Warok Sawung
Guntur sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tidak berapa lama, orang yang keluar tadi telah balik
kembali dengan membawa pemimpin mereka. Laki-taki
berewokan tinggi besar, matanya mencorong seperti mau
menelan orang yang dipandangnya. Ia itu adalah
pemimpin rampok yang sudah amat terkenal ’sak onang-
onang’ bemama Begal Bledeg Ampar.
"Selamat malam, Sawung," kata orang yang dinamakan
Bledeg Ampar itu menyalami Warok Sawung Guntur
yang nampak berusia sama. Kedua orang itu nampak
sebagai satu angkatan yang sama-sama senior dalam
dunia pergolakan para jago di daerah Ponorogo ini.
"Selamat malam, Bledeg. Hayo silahkan duduk," sambut
Warok Sawung Guntur menyilahkan laki-laki jantan
yang baru datang itu untuk duduk di kursi dihadapannya.
Sementara itu, kedua pembantu Bledeg Ampar itu berlalu
meninggalkan pemimpin mereka berjaga-jaga di luar
ruangan sebelah dalam rumah.
"Sudah makan, Bledeg. Kita makan-makan dulu. Mau,"
kata Warok Sawung Guntur menawarkan makan.
"Bolehlah," jawab Bledeg Ampar juga berusaha menun-
jukkan keramahannya kepada rekannya itu.
Tidak berapa lama Koh Tiong pemilik rumah makan
Kangkung Cah.itu telah menghidangkan bermacam-ma-
cam masakan khas Cina kepada kedua tamunya itu. Ke-
mudian kedua laki-laki perkasa itu nampaknya dengan
gesit menyantapnya dengan lahap. Tanpa banyak basa-
basi mereka mencicipi semua masakan yang dihidangkan ,
dan dimakannya tanpa ragu-ragu lagi.
Beberapa saat setelah mereka menyudahi acara makan
malamnya itu, nampak terdengar mereka sedang melang-
sungkan pembicaraan serius.
"Langsung saja, Sawung. Apa sebenarnya yang kamu
maui dariku," tanya Bledeg Ampar membuka suaranya
yang berat itu.
"Begini Bledeg. Aku sebenarnya sedang mengemban
tugas. Aku mendapat tugas langsung dari Kanjeng
Adipati untuk menyelidiki keberadaan tombak pusaka
peninggalan kerajaan Wengker itu. Aku mau minta
tolong kepada kamu untuk mendapatkan tombak itu.
Apa kamu bisa."
"Apa imbalannya untuk aku."
"Upah."
"Tidak cukup, Sawung."
“Lalu, apa maumu."
"Hentikan usaha penangkapan terhadap diriku dan
gerombolanku ini. Karena aku melakukan perampokan
tidak ngawur asal semua orang aku rampok, tetapi
sasaranku jelas dan khusus ditujukan kepada orang-
orang yang pelit dan memeras masyarakat."
"Aku bertemu kamu di sini sekarang ini, tidak untuk
membicarakan soal dosa-dosa kamu merampok. Aku
hanya mau tanya sanggup, apa tidak menjalankan tugas
ini."
“Nah, itu jawaban yang aku maui." '
"Lalu, bagaimana. Mengenai persyaratanku pe
tadi."
"Soal penghentian menguber kamu dan rombongan
kamu. Aku dapat menerima syaratmu itu. Tetapi permin-
taanku, jangan membuat kekacauan baru. Yang sudah-
sudah dapat dimaafkan oleh penguasa Kadipaten. Aku :
telah mendapatkan restu soal ini langsung dari Kanjeng
Adipati, dan disaksikan oleh banyak penggede dalam
permusyawaratan lengkap. Jadi ini ada jaminan dariku
atas seijin Kanjeng Adipati."
"Bagus kalau demiktan. Aku menyetujui".
“Nanti dulu. Tetapi apa kira-kira kamu dapat menghenti-
kan segala kekerasan yang kamu lakukan itu sementara
ini."
"Apa kamu bisa jamin hidupku dan seluruh anak
buahku."
"Tidak demikian maksudku, Bledeg. Kamu jangan
melakukan operasi di daerah Ponorogo selama kamu
menjalankan tugas ini. Cari sasaran daerah lain."
"Wah, berat kalau demikian."
"Apa beratnya, tinggal mengalihkan orang-orang kamu
ke daerah tetangga-tetangga kita. Dan jangan sekali-kali
beroperasi lagi di daerah Ponorogo"
"Boleh. Aku akan usahakan. Tetapi bagaimana dengan
besarnya upah. Apakah cukup menarik."
"Sebelumnya aku pengin tahu. Bagaimana cara kerja
kamu untuk mendapatkan tombak wasiat itu," selidik
Warok Sawung Guntur.
“Begitu malam ini kita ada kesepakatan. Aku akan segera
bekerja untuk mendapatkan keterangan mengenai ke-
beradaan tombak pusaka itu. Orang-orangku akan segera
aku sebar ke segala penjuru daerah ini. Tapi masih ada
syarat satu lagi, Sawung."
"Syarat, apa lagi."
"Aku perlu upah, dan uang muka."
"Bisa kita atur."
"Jangan bicara soal gampang mengaturnya. Sekarang ini
aku perlu uang muka, Sawung."
"Berapa yang kamu minta."
“Untuk sementara ini, cukup tiga ribu keping saja."
"Banyak sekali."
"Terserah kamu saja. Bisa tidak menyediakan uang untuk
aku sebesar itu. Sekarang."
"Aku baru punya uang seratus keping."
"Sisanya dapat engkau kirim esuk hari.”
"Yah, aku setuju."
Kedua laki-laki perkasa itu kemudian berjabatan tangan
erat.
"Bledeg. Aku ingin tanya kenapa kurierku engkau
sandra.”
Sambil tersenyum Bledeg Ampar nampak tersipu-sipu,
kemudian memberikan alasannya.
"Aku sebenarnya, tadinya masih belum percaya penuh
kepada kamu, Sawung. Maka si Seco Larendro kunennu
itu aku jadikan sandra. Ia sekarang bersama aku. Dan
engkau dapat temui lagi dia, sebentar lagi setelah aku
tinggalkan tempat im”.
Warok Sawung Guntur mendengar alasan Bledeg Ampar
menahan kurier Seco Larendro hanya bisa mengangguk-
anggukkan kepalanya. Dan keduanya berjalan menuju ke
depan ruangan rumah makan Koh Tiong itu. Bledeg
Ampar berpamitan dan menaiki kuda coklat yang gagah,
diiringi oleh puluhan kuda lainnya.
Begitu mendengar aba-aba suit dan Bledeg Ampar,
mereka yang bersembunyi di berbagai tempat itu pada
muncul berhamburan dari balik-balik pepohonan
mengikuti di belakang kuda Bledeg Ampar. Warok
Sawung Guntur hanya menggeleng-gelengkan kepala
melihat begitu banyaknya anak buah Bledeg Ampar yang
dibawanya malam ini.
"Pantas saja, kekacauan sulit dipadamkan. Begitu ban-
yaknya orang yang melindungi si Bledeg gendeng itu,"
kata Warok Sawung Guntur kepada ketiga pengawal
andalannya itu.
Koh Tiong yang juga ikut mendengarkan pembicaraan
Warok Sawung Guntur, dan mengikuti kepergian rom-
bongan para perampok itu, nampak bulu kudugnya ikut
mennding.
"Gelombolan Bledeg Ampal, olang-olangnya kejam,
tuang penggede. Sudah bebelapa kali belkunjung ke-
mali," kata Koh Tiong setelah mengantarkan duduk kem-
bali tamu istimewanya penggede Kadipaten itu.
"Apa mereka itu suka bikin keonaran terhadap rumah
makanmu di sini, Koh," tanya Warok Sawung Guntur.
"Tidak. Tidak pelnah. Meleka tidak pelnah bikin libut di sini,
Tuang penggede. Akan tetapi dengan pala tamu lain yang
kelihatan kaya, meleka biasanya suka memelgokinya sepu-
lang dali sini. Saya lebih baik membelikan upeti bulanan
dalipada diganggu mereka, tuang penggede," kata Koh _
Tiong dengan logat cedalnya yang masih kental.
"Yah, hati-hati saja sama mereka itu. Mereka itu dapat
berbuat kejam semaunya sendiri, Aku akan tingkatkan
pengawasan pengamanan di daerah sini," kata Warok
Sawung Guntur menenteramkan hati Koh Tiong
pengusaha yang mendapat perlindungan penguasa
Kadipaten karena mendapatkan rekomendasi usaha
dari penguasa kerajaan Majapahit di Trowulan.
Warok Sawung Guntur bersama para pengawalnya keli-
hatan baru meninggalkan rumah makan Kangkung Cah
itu ketika hari hampir pagi, rupanya ia sempat mendapat-
kan pelayanan ekstra dari Koh Tiong dipijat badannya
secara ilmu Cina sehingga ketiduran sampai hampir pagi
hari itu.
TUKAR ILMU
RUMAH Makan Karigkung Cah, makin hari makin
tersohor di daerah Ponorogo. Tidak hanya terbatas di
daerah Ponorogo, para bangsawan Majapahit pun
kalau kebetulan sedang bertugas ke daerah Kadipaten
Ponorogo selalu menyempatkan diri berkunjung ke
rumah makan Kangkung Cahnya milik Koh Tiong itu.
Demikian juga banyak para pedagang pribumi yang kalau
hari itu merasa mendapatkan kelebihan keuntungan dari
hasil dagangannya, tidak sedikit yang kemudian memer-
lukan mampir ke Rumah Makan Kangkung Cah Koh
Tiong itu, perlunya hanya untuk menikmati makan
masakan Cina di rumah makan tersebut sambil ngobro!
ketemu relasi dagang di situ.
Rumah makan itu dinamakan Kangkung Cah, lantaran
memang menjual makanan khas Cina, dan yang paling
digeman oleh penduduk terutama karena bahan pangan
yang digunakan berasa! dari sayur kangkung yang banyak
ditanam di kebun-kebun penduduk masyarakat
Ponorogo, sehingga nama itu mudah dikenal oleh pen-
duduk di sana. Bagi penduduk Ponorogo, kata Kangkung
itu telah lama akrab dengan kehidupan mereka. Ke-
mudian mereka juga menganggap kangkung cah bukan
makanan asing tetapi merupakan makanan rakyat setem-
pat yang diolah dari bahan setempat, begitu anggapan
rata-rata mereka yang sering berlangganan makan di ru-
mah makan Cina itu. Oleh karena itu, dalam waktu
singkat rumah makan Kangkung Cah itu cepat mendapat
langganan dari para penduduk pribumi Ponorogo walau-
pun dikelola oleh keturunan Tionghwa.
Selain itu di tempat ini juga dibuka praktek pengobatan
tradisional ala Cina, seperti sinshe, tusuk jarum, `ch?’ atau
tenaga dalam, dan pemijatan tradisional. Banyak orang
yang merasa cocok dapat disembuhkan oleh para tabib
Cina yang tiap malam bercokol di rumah makan
kangkung cah yang berlokasi di sebelah timur kota
Ponorogo itu. Tidak hanya itu di sebelah rumah makan
itu juga dibuka toko yang melayani segala rupa barang-
barang keperluan sehari-hari yang harganya lebih murah,
sehingga biasanya digunakan untuk tempat ' kulakan"
para pedagang dari kampung yang mengambil barang
dagangannya dari toko Cina ini untuk dijual kembali di
tokonya di daerah perkampungan di luar kota.
Tidak hanya soal masakan, atau makanan dan pengobatan
yang dijajakan oleh para Cina pendatang itu, tetapi ia pun
membuka kursus bela diri untuk mengajarkan seni bela
diri asal Cina itu. Semula banyak pemuda yang tertarik
untuk ikut berlatih. Ingin tahu dan mencoba kehebatan
Ilmu bela diri asing itu.yang dianggapnya sebagai ilmu
moderen yang ampuh, akan tetapi lama kelamaan banyak
yang kemudian meninggaikan latihan ilmu bela diri Cina
itu. Mereka menganggap bahwa ilmu bela diri Cina itu
tidak sejalan dengan falsafah hidup bagi kebanyakan
orang-orang Ponorogo. Gerakan bela diri Cina lebih
mengandalkan pada kegesitan gerak, loncatan-lon-
catan, kecepatan menghindar, banyak melakukan li-
ukan, dan gerakan-gerakan yang bertujuan untuk
pematahan pada tulang dan urat syaraf, atau ilmu totok.
Selain itu terlalu banyak diberi variasi oleh gerak tarian
yang melingkar-lingkar, sehingga dianggap tidak praktis.
Oleh karena itu, ilmu bela dirt ala Cina ‘itu rupanya tidak
begitu disukai oleh kebanyakan orang-orang Ponorogo
lantaran dianggap tidak memperlihatkan gerak kejan-
tanan sebagai falsafah gerak bela diri kebanyakan iimu
kanuragan yang dianut oleh orang-orang Ponorogo.
Di daerah Ponorogo sendin sebenamya telah banyak
berkembang aliran-aliran perguruan ilmu kanuragan
yang terutama keberadaannya di dusun-dusun Mereka
melakukan latihan-latihan secara sembunyi-sembunyi
untuk keperluan bela diri, dan tidak membuka perguruan
secara terbuka. Namun banyak juga yang secara sengaja
membuka perguruan ilmu kanuragan itu untuk tujuan
menjaring murid-murid yang banyak dalam rangka
menghimpun massa pengikutnya. Demikian juga dimak-
sudkan guna memperkokoh kedudukan tokoh pendiri
perguruan itu agar dianggap sebagai guru yang laku
lantaran banyak muridnya. Oleh karena itu tidak berapa
lama kemudian, perguruan bela diri asal Cina yang '
dibuka di Ponorogo itu, kemudian ditinggalkan murid-
muridnya, dan sepi peminat. Mereka banyak yang kem-
bali bergabung kepada perguruan tradisional yang
banyak tercecer di pelosok daerah Ponorogo itu.
Salah seorang tokoh masyarakat yang diberi julukan
Warok Wuiunggeni asal dari daerah Ponorogo selatan,
ketika mendengar mengenai dijajakannya ilmu bela diri
asal dari Cina dan ilmu-ilmu ketabiban itu. ia pada suatu
hari menyempatkan diri mendatangi rumah makan
Kangkung Cah yang sudah tersohor itu perlunya hanya
untuk menemui pendekar bela diri Cina itu untuk bertukar
ilmu dan mengadu pengalaman.
"Koh Tiong, aku telah mendengar dari suara orang-orang
di daerah sini, katanya sampeyan ini ahli ilmu ketabiban
dan membuka perguruan bela diri Cina di rumah makan
sampeyan ini. Apa memang benar ceritera orang-orang
yang aku dengar itu", kata Warok Wulunggen: membuka
pembicaraan.
"Be... be...enal. Benal Tuang", kata Koh Tiong berak-
sep Cina cedai sambil badannya menunduk-nunduk
dihadapan tamunya, seorang laki- laki berperawakan
tinggi besar yang nampak kokoh dengan kumisnya
melintang tebal itu.
"Kedatanganku kemari pengin tukar ilmu dan pengala-
man sama sampeyan. limu ketabiban dan ilmu bela din.
Aku orang yang paling gemar mempelajari timu. Apa saja
kalau bisa pingin aku pelajari. Apakah kita bisa berkawan
dalam soal tukar menukar ilmu ini, Koh Tiong".
"Ohh, telima kasih Tuang Wulung yang telholmat. Kami
olang juga senang menelima kedatangan, Tuang di sini.
Kami olang juga senang belajal sama ilmu-ilmu
tladisional yang ada manfaat untuk hidup. Begitu saya
jasa Tuang Wulung. Kita sama-sama penggemal
ilmu", kata Koh Tiong dengan logat Cinanya yang
masih kental.
"Aku mau coba bertanding dengan kamu, Koh Tiong.
Bagaimana kehebatan ilmu bela dirimu itu. Kalau aku
kalah, kamu harus ajari aku. Tetapi kalau kamu kalah,
perguruan bela-dirimu ini harus bubar. Demikian juga
soal kehebatan ilmu. ketabibanmu itu. Aku akan coba
kepada kamu langsung, atau kepada muridmu. Dengan
kugunakan beberapa ilmuku, kalau kamu terluka atau
murid-muridmu terluka, aku pengin tahu bagaimana ke-
hebatanmu menangani orang yang ter luka itu menurut
cara penyembuhan ilmu Cina”.
"Tet...teta...tetapi, Tuang. Saya tidak ingin cali gala-gala,
Tuang. Saya hanya ingin menyebalkan ilmu untuk ke-
baikkan”.
"Ya. Ya, aku mengerti. Ini bukan kita mau bermusuhan.
Sama sekali bukan. Kita ini mau mencari kawan, sesama
peminat dalam bidang ilmu. Tidak ada salahnya kita `
saling membantu mengembangkan diri, to”.
"Ya...ya...batk...baiklah Tuang Wulung. Telima kasih,
telima kasih".
"Nah, sekarang kita bisa coba, to”.
"Baik...ba...baik, Tuang. Kalau demikian, mali kita pin-
dah di halaman belakang, Tuang Wulung", kata Koh
Tiong terbata-bata dihadapan Warok Wulunggeni yang
ingin mencoba kehebatan ilmu Cina itu.
Emoticon