1
WARUNG RANDIL
Warung Randil yang letaknya di tengah-tengah sawah,
biasanya waktu siang dibuka untuk melayani keperluan
sawah. Atau pada musim panen di daerah sekitar ini ramai
dikunjungi para tengkulak, pedagang, atau keluarga-keluarga
yang ingin mendapatkan hasil tani dengan harga murah.
Suasana jadi ramai karena banyak dikunjungi pedagang-pedagang
beras yang datang dari kota Kadipaten Ponorogo yang mau
kulakan.
Pada malam harinya, warung Randil ini berganti suasana, tidak
sekedar melayani makan dan minum bagi pengunjung, akan
tetapi telah berubah fungsi menjadi warung yang khusus
melayani tamu laki-laki. Jelasnya hanya untuk keperluan
kaum laki-laki "nakal" saja yang mau singgah di tempat seperti
mi. Semua pengunjungnya laki-laki, dan sebaliknya yang
melayani semuanya juga perempuan.
Di warung nakal yang dipenuhi penghuni perempuan-perempuan
cantik yang berdandan menor-menor ini, jangan diharap akan
ada warok yang mau singgah ke tempat mesum ini. Para warok
yang sakti mandraguna itu, sangat dikenal menjauhi perempuan.
Pantangan untuk berdekatan dengan perempuan. Mereka
mempunyai keyakinan, ilmu kesaktiannya akan lumpuh bila-
mana berani berurusan dengan perempuan. Apalagi berhubungan
dengan perempuan penghibur yang bukan isterinya merupakan
pantangan berat bagi para warok sejati. Hanya para pedagang
dan petani yang biasa mencari kesenangan dengan perempuan-
perempuan nakal seperti ini, sehingga mereka tidak memiliki
kekuatan kedigdayaan yang linuih. Mereka itu dikenal dari
kalangan orang-orang yang memanjakan din, mau mengorbankan
kekuatannya sima oleh perempuan-perempuan nakal ini.
Tetapi tidak sekali-kali bagi seorang Warok sejati, ia tidak mau
berbuat mesum seperti itu, 1a lebih sayang pada kekuatan
kesaktiannya daripada untuk menikmati kehidupan yang
"mencong" demikian ini.
Warung Randil di tengah sawah itu, kalau malam kelihatan
kerlipan lampu merah menyala. Tamunya memang biasanya
banyak yang datang pada malam-malam dingin seperti ini.
Semua tamu, laki-laki. Dan yang berjualan, atau penghuni
warung ini ada tiga belas orang, semuanya perempuan. Bila
malam, warung itu tidak jualan nasi, hanya wedang kopi,
jamu-jamuan, atau khusus menyediakan jamu kuat lelaki, dan
jajanan gorengan. Tapi warung ini tidak pemah sepi dari
pengunjung yang semuanya laki-laki itu. Baik laki-laki tua
maupun laki-laki muda, sering datang berjubel memenuhi
bangku- bangku di luar maupun di dalam warung ini
Penjaganya ramah-ramah, berpakaian kebaya ketat kelihatan
sedet sehingga memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh perempuan
itu. Warna pakaian yang dikenakan biasanya selalu menyolok
untuk memancing perhatian laki-laki yang menatapnya.
Mukanya penuh bedak menor-menor. Bibimya dipolesi gincu
merah menyala untuk memancing birahi laki-laki para tamu di
warung itu. Bau minyak wangi yang disebar agak keterlaluan
menyengat hidung. Suasana itu yang membuat kesengsem bagi
para laki-laki yang krasan nongkrong berlama-lama di
Warung Randil ini.
Apabila di antara mereka yang berkunjung ke Warung Randil
ini, setelah ngobrol ngalur-ngidul ada kecocokan. Salah
seorang laki- laki tua menyodorkan cangkir kopinya itu, sambil
berkata kepada salah seorang pelayan yang memakai baju
kuning langsat itu, nampak masih seperti gadis remaja
ingusan.
"Tolong ini, wedang kopi Bapak dibawa masuk sana, Nduk"
kata laki-laki tua itu sambil tak acuh berjalan pelan menuju
pintu masuk ruang dalam itu.
Sambil senyum-senyum dikulum, agak malu-malu kucing,
perempuan yang sehari-harinya dipanggil Menik itu membawa
cangkir wedang kopi Pak Tua itu masuk ke bilik belakang
warung sambil diikuti Pak Tua yang berjalan tertatih-tatih itu.
Perempuan itu sempat memperhatikan celana kolor panjang
hitam yang dipakai Pak Tua itu, terlihat maju ke depan
sehingga nampak Pak Tua itu sulit berjalan, rupanya Pak Tua
itu sudah kebelet banget. Menik hanya senyum-senyum mem-
perhatikan tamunya yang tua itu temyata masih doyan perempuan
muda, yang sebenarnya laki-laki tua itu patut dipanggil seusia
kakeknya.
"Aku sudah tua, bayarnya separo saja, yah Nduk," kata laki-
laki tua itu kalem, sambil menaruh sarungnya di atas kursi.
Menik yang merasa diajak bicara itu hanya mencibir
mencemooh laki-laki pelit langganan tetap Warung Randil
ini.
"Boleh saja Mbah, asal tidak sampai keluar. Dan masuknya
juga setengah," bantah perempuan centil itu lebih ketus lagi.
"Huss pomo...omongan cabul itu. Ngomong, rusuh itu. Jangan
berkata begitu lagi. Nanti kedengaran orang tidak baik untuk
omongan anak kecil seperti kamu itu. Jangan biasa bicara rusuh
begitu yah. Tidak baik," jawab laki-laki tua itu dengan
memasang wajah angker. Menik hanya senyum-senyum saja
melihat tingkah Pak Tua yang kelihatan sudah penasaran
enggak tahan itu, tapi masih sempat-sempainya bergaya
menasehati segala.
"Habis maunya enaknya sendiri. Saya kan bekerja Mbah.
Kalau Embah mau naik lembu milik sendiri untuk membajak
di sawah, bisa enggak bayar. Tetapi kan tiap harinya ngasih
makan. Jadi kalau mau naik lembu orang lain, kan harus bayar.
Soalnya tidak ngasih makan tiap harinya."
"Eh anak kecil sudah pinter ngomong ya. Sudah diterima saja
ini. Embah baru ada uang sedikit. Nanti Embah kembali lagi
bawa uang yang banyakkkkk. Tahu enggak, Nduk. Embah ini
jelek-jelek begini orang kaya, banyak duit," sergah laki-laki
yang rambutnya sudah memutih semua itu, mencoba merayu,
nampak ia sudah kepengin cepat-cepat mendekap Menik yang
behenot itu.
"Emoh aku, berkali-kali kemari cuma dijanjikan. Capek aku
Mbah. Katanya orang kaya, banyak duit, tetapi kalau mengasih
persenan, cuma sak cuil. Apa itu bukan orang tua pedit,” kata
Menik sambil memperlihatkan muka cemberut bersungut-sungut.
Akhimya laki-laki tua itu mengalah. Memberikan semua
uangnya yang ada diikat pinggangnya yang melingkar besar di
perut buncit itu. Masih ditambah lagi sebuah jam tangan mode!
pembesar kerajaan Majapahit yang dibelinya mahai selama
menjadi mandor, bekerja menjadi orangnya Juragan Gendut
dahulu. Juragan Gendut itu nama seorang pedagang kaya di
daerah kidul yang mempunyai pengaruh di masyarakat karena
bergaul akrab dengan para jagoan di daerah itu sebagai
pemeras.
"Sudah Nduk hayo segera sana," kata Mbah Durjo, nama
laki-laki tua yang bekas mandor tebu perkebunan milik Juragan
Gendut itu, kelihatan sudah makin tidak sabar lagi melihat
perempuan dihadapannya yang sudah membuka kutangnya itu
Suara tetabuhan klenengan selalu terdengar di malam hari itu
yang dimainkan oleh sebagian perempuan-perempuan
penghuni Warung Randil itu untuk memberikan hiburan segar
kepada para pengunjungnya. Asap rokok yang terus mengepul
memenui ruangan tamu itu, serta sajian minuman tuak, arak
kental yang membikin mabuk orang. Mereka teler karena
kelewatan banyak minum. Di Warung Randil ini sering pula
terjadi perkelahian antar para tamu. Hanya lantaran berebut
pelayanan perempuan, sering menjadi pangkal keributan antar
laki-laki tamu Warung Randil ini. Para penjahat, perampok,
begal tumplek blek semuanya jadi satu dengan para pedagang yang
biasanya membawa pengawal, dan sering tidak tanggung-tanggung
mereka banyak yang berkerumun di Warung Randi! ini untuk
berebut perempuan-perempuan kenes yang sengaja menyediakan
diri untuk keperluan pelepas hajat bagi kaum laki-laki nakal.
Tengah malam, diluar terdengar ada serombongan tamu yang
mengendari Dokar. Tidak berapa lama, ada lima orang laki-laki
dengan muka kumal memasuki pintu depan warung Randil
ini.
“Selamat malam," kata salah seorang dari mereka itu.
"Selamat malam. Mari, Pak. Silakan masuk. Silakan duduk,"
kata salah seorang perempuan penghuni warung Randil yang
mengenakan baju berwarna hijau pupus itu menyambut
kedatangan rombongan laki-laki itu dengan ramah.
Kelima laki-laki itu tidak duduk, mereka tetap berdiri sambil
mata mereka memandang satu per satu laki-laki lain yang pada
duduk di ruangan tunggu depan yang sedang menikmati minuman
wedang dan menyedot udutnya, rokok Tingwe “nglinting
dewe" yang asapnya memenuhi ruangan itu.
"Tolong aku butuh lima perempuan, sekarang." Tiba-tiba salah
seorang laki-laki yang baru datang itu langsung saja mau
masuk ke dalam ruangan bilik tengah. "Mana yang kosong."
"Maaf. Pak. Biliknya sedang penuh. Terpakai semua, Pak.
Silakan bersabar menunggu, sambil silakan mau minum apa,”
kata Wajinem perempuan langsing yang sejak tadi menyambut
dengan senyum keramahannya itu.
"Aku tidak bisa menunggu. Suruh bubar dulu itu yang sudah
di dalam bilik. Aku mau pakai dulu.”
"Sabar, Pak. Sabar. Silakan duduk dulu, Pak."
"Tidak bisa."
Kelima laki-laki itu terus saja memaksa masuk ke dalam.
"Pak. Pak, tolong yang sopan tho, Pak" pinta Wajinem
berusaha menenangkan kelima laki-laki tamunya yang baru
datang itu.
"Maaf, aku tidak bisa sabar," jawab laki-laki itu lagi dengan
bertolak-pinggang bak seorang jagoan yang sedang mencan
mangsa.
"Hae cecurut. Jangan sok mau jadi jagoan di tempat Ini."
Tiba- tiba terdengar suara laki-laki mantab yang ternyata
dari salah seorang tamu juga yang sedari tadi duduk-
duduk tenang bersama tamu-tamu lainnya menunggu di
ruang depan itu.
Mendengar suara taki-laki itu, kelima orang tamu yang baru
datang itu langsung membelalakan matanya tertuju lurus
kepada seorang laki-laki yang nampak duduk-duduk tenang di
bangku sudut ruangan tamu itu. |
"Apa tadi kamu bilang," kata salah seorang dari kelima laki-
laki itu.
"Aku bilang, kalian berlima ini tahu aturan tidak. Baru datang
mau minta didahulukan. Memang kalian ini apa. Duduk."
bentak laki-laki berwajah tenang itu.
"Bajingan, berani-beraninya kamu memerintah aku. Akan aku
habisi kamu anak kadal. Hayo kita selesaikan diluar," balas
salah seorang laki-laki yang kelihatannya menjadi salah
seorang dari pimpinan mereka.
“Hae, kalau mau jadi jagoan jangan main keroyokan begini,"
kata laki-laki berwajah tenang itu. "Kalau kalian memang
laki-laki jantan. Keluar satu per satu. Satu lawan satu jangan
main anak banci beraninya keroyokan. Hayo siapa yang mau
duluan. Keluar. Lainnya tunggu, duduk di sini." Kata laki-laki
berwajah tenang itu sambil bangkit dari tempat duduknya
menuju pintu keluar warung Randil itu.
Kelima laki-laki itu saling pandang di antara mereka untuk mem-
pertimbangkan tantangan berkelahi dari laki-laki berwajah
tenang itu.
"Kamu saja," kata salah seorang itu. yò
"Jangan aku, kamu saja," jawab yang ian.
"Kamu saja yang lebih siap, aku sedang capek," kata yang
lainnya lagi.
Agak lama kelima orang laki-laki itu berunding, tidak bisa
segera mengambil keputusan, siapa yang lebih dulu harus
melawan laki-laki berwajah tenang itu tadi yang sudah
menunggu di luar.
"Haeee, banciii. Hayo siapa yang mau keluar dulu," terdengar
teriakan keras laki-laki tadi dari luar. Para tamu lainnya yang
melihat adegan ini hanya pada senyum-senyum, tenang.
Demikian juga para perempuan penghuni Warung Randil itu,
menganggap pemandangan demikian ini sudah terbiasa. Sering
terjadi. Tidak terlintas muka cemas di antara mereka yang ada
di situ. Mereka masih terus bercanda tenang-tenang saja
merasa tidak terganggu oleh orang-orang sedang ribut mau
mengadu kejantanan itu.
Karena lama, kelima laki-laki itu belum ada juga yang keluar,
maka laki-laki berwajah tenang itu masuk kembali.
"Hae, cecunguk tunggu apa lagi. Tadi katanya mau jadi jagoan.
Siapa yang mau jadi jagoan, Heh."
Kelima laki-laki itu saling pandang. Tidak ada yang menjawab.
Rupa-rupanya sebuas apa pun laki-laki, kalau mereka sudah
biasa main perempuan, lama-lama kebuasannya hanya hanya tinggal
dalam gertakannya saja, tetapi nyalinya makin menciut
menghadapi laki- laki lain yang lebih tegar. Mereka kehilangan
sikap letegnya yang tersisa tinggal hatinya yang kecut. Jadi
penakut.
“Hai, cecurut. Kalau tidak berani satu lawan satu. Hayo kalian
maju barengan. Tapi jangan lagi main seroborterhadap perempuan-
perempuan di sini. Harus sabar ngantri. Tahu. Itu aturannya..."
belum selesai laki-laki berwajah tenang itu habis bicara, kelima
orang laki-laki itu sudah maju menyerang bersama. Sehingga,
laki-laki berwajah tenang yang ternyata bemama Surodarbo
Itu, segera melakukan gerakan hindaran dengan cara melingkar
mundur, meloncat keluar ruangan yang kemudian diikuti oleh
gerakan kelima laki-laki itu yang terus berhamburan menge-
jarnya.
Pertarungan keroyokan itu tak terelakan lagi. Surodarbo ternyata
bukan laki-laki sembarangan. Ia memang biasa duduk-duduk
mangkal di Warung Randil ini, tetapi bukan untuk tidur dengan
perempuan-perempuan di sini, ia hanya perlu mencari hubungan
kerja dengan para tamu laki-laki untuk menjalin hubungan
dagang, menawarkan barang-barang dagangan, atau mencarikan
pembeli. Jelasnya, ia itu pekerjaannya makelar segala rupa
urusan. Untuk mendapatkan kontak mitra dagang, sering
nongkrong di Warung Randil ini. Tujuannya untuk mendapatkan
obyekan dagangan dari para tamu yang hadir di sini. Namun,
walaupun ia tidak pernah tidur dengan perempuan di sini, para
penghuni Warung Randil ini memakluminya, sebab ia juga
membayar makan dan minumnya dengan royal. Demikian juga
kalau obyekan makelarannya berhasil ia tidak sayang-sayang
lagi membagi keuntungan kepada perempuan-perempuan
penghuni Warung Randi! itu dalam jumlah yang tidak sedikit.
Laki-laki seperti Surodarbo ini, masih memilik: sikap tereg,
berani menghadapi lawan, dan memiliki ketangguhan ber-
tarung, lantaran ia menjauhi berhubungan secara brutal dengan
sembarang perempuan.
Lain lagi bagi kelima laki-laki tadi yang tahunya uang dan
perempuan. Semua dianggap bisa dibeli dengan uang, maka
ketika harus berhadapan dengan laki-laki teguh yang berhati
teteg, seperti Surodarbo ini hati kehma laki-laki itu tadi menjadi
kecut, pendiriannya goyah memperlihatkan kecemasannya yang
mendalam. Muncul sikapnya yang pengecut.
Pertarungan lima lawan satu itu berlangsung seru. Surodarbo
sebenarnya juga kewalahan menghadapi kelima laki-laki yang
menyerang sekaligus itu. Karena sebenarnya ilmu kanuragan
yang dimiliki juga masih tanggung. la hanya sekedar bisa
berkelahi, tetapi tidak memiliki ilmu kanuragan tinggi. Perhi-
tungannya tadi, setinggi apa pun ilmu kanuragan yang dikuasai
oleh pihak lawan, tetapi kalau hati para laki-laki itu tidak
mantab, menjadi pengecut, maka ilmunya itu tidak akan banyak
gunanya, gerakannya akan goyah dan mudah dirobohkan.
Namun karena kini mereka bertarung secara keroyokan, hati
mereka berlima menjadi bersatu bulat kuat, sehingga
Surodarbo terus terdesak oleh serangan-serangan yang
meluncur dari berbagai jurusan itu.
Orang-orang penghuni warung Randil, dan para tamu laki-laki
lainnya, tidak ada yang peduli terhadap perkelahian mereka
diluar itu, Mereka tetap tenang-tenang saja dengan urusannya
sendiri-sendiri. Tidak ada yang mau ikut campur atan mau
memisah mereka yang berlaga itu. Yang di dalam bilik tetap
saja asyik melakukan kegiatan kesenangannya masing-masing.
yang bercanda ria diluar ruangan juga tetap seperti semula.
Mereka merasa tidak terganggu.
"Brukkkk. Brakkkk" tiba-tiba terdengar suara keras. Salah
seorang laki-laki dari kelima orang tadi ada yang terpental jatuh
sampai masuk ke dalam ruang tamu itu terjatuh tepat di atas
meja yang penuh makanan dan wedang kopi panas. Semua
orang yang sedang enak-enaknya duduk-duduk melingkari
meja itu pada kaget terhenyak minggir. Laki-laki yang terjatuh
itu berteriak kesakitan.
"Aduh, sakittittt," teriaknya. Ternyata ia kesakitan pantatnya
terkena wedang kopi panas yang sedang tersaji di meja itu.
Nampaknya perimbangan kekuatan itu kini mulai beralih
kepada keunggulan Surodarbo. Dengan berkurangnya satu
orang kekuatan, empat orang laki-laki lain yang masih tersisa,
hatinya mulai kecut. Sebelum, Surodarbo menghajar lebih
lanjut, rupanya diluar dugaan, satu per satu laki-laki itu menyerah,
mengaku kalah, sebelum kalah, Hatinya menjadi miris, dan
nyalinya hilang. Lebih baik menyerah daripada kalah.
barangkali demikian yang ada dalam benak rombongan laki-
laki pengecut itu. Inilah yang mungkin menjadi perhitungan
Surodarbo dalam melakukan perkelahian ini, kalau ia harus
melawan kelima orang laki-laki itu sekaligus secara pembagian
kekuatan merata, ia akan kehabisan jurus-jurusnya, akan tetapi
kemudian ia mengubah taktiknya. Merobohkan salah satu
orang yang diperkirakan paling lemah, tujuannya untuk menu-
runkan nyali yang lain. Dan nantinya yang terakhir tinggal
menghadapi orang yang terkuat. Agaknya siasat berketahinya
ita, Jitu juga. Maka ketika salah seorang dijatuhkan dengan
serangan kekuatan penuh, yang lainnya jadi ikut miris,
kemudian mau menyerah satu per satu. Mereka pada duduk
Jongkok menyembah-nyembah Surodarbo minta diampuni.
Melihat musuh-musuhnya itu menyerah, Surodarbo bukannya
terus menghajar lebih lanjut, tapi ia langsung maju menunjukkan
jiwa satrianya. Satu per satu disalami, dirangkul seperti
layaknya menghadapi seorang teman lama.
"Hayo konco-konco, kita minum-minum dulu ke dalam," kata
Surodarbo kemudian menunjukkan sikap bersahabatnya.
"Ter terima. Ter...terima kasih, Kangmas” kata salah seorang
laki-laki itu gemetaran.
Tidak berapa lama kelima laki-laki itu nampak sudah berkumpul
akrab di dalam ruangan dalam warung Randil itu bersama
Surodarbo. Terlihat muka mereka babak belur termasuk muka
Surodarbo sendiri juga banyak lukanya. Para perempuan yang
sedang tidak "bertugas" itu kemudian membuatkan ramuan
untuk mengobati luka-luka para tamunya yang habis berkelahi
itu. Nampak, ada perubahan sikap pada kelima laki-laki itu,
mereka menjadi begitu sopan dan menghormati terhadap tamu-
tamu lainnya. Mereka kemudian satu per satu secara bergiliran
dan antri mendapatkan pelayanan dari para perempuan
penghibur itu di belakang bilik dalam.
"Kangmas Darbo. Piring-piringku jadi pecah semua. Harus
diganti,” kata Marinah, perempuan warung itu yang rupanya ia
yang bertangung jawab sebagai penyedia makanan-makanan
di situ, mengeluh piring-piringnya banyak yang pecah terkena
hempasan tubuh laki-laki yang terlempar ke dalam tadi ketika
berkelahi melawan Surodarbo itu. ;
“Jangan khawatir, Mbakyu. Ini aku ganti semua piring yang
pecah, berapa banyak,” kata Surodarbo sambil berdiri bero-
goh uang keping di kantong belakang celana kolor hitamnya
itu.
"Tiga ribu lima ratus keping," kata Marinah.
"Jangan. Pak. Jangan, Pak. Saya saja yang mengganti mem-
bayarnya." Tiba-tiba laki-laki yang tadi bermusuhan dengan
Surodarbo itu berdiri sambil mengulurkan uangnya. Surodarbo
hanya tersenyum dan tidak jadi menyerahkan uangnya karena
sudah ada yang membayar lebih dahulu dari laki-laki itu yang
nampak ingin memperlihatkan persahabatannya itu.
"Terima kasih ya Kangmas," kata Marinah kenes sambil
menerima uang pemberian laki-laki kumel itu.
Ketika seharusnya sampai pada giliran Surodarbo untuk masuk
ke kamar bilik dalam. Laki-laki kumel itu mempersilakan
kepada Surodarbo.
"Silakan, Pak."
“Ohhh, jangan. Sampeyan saja dulu." kata Surodarbo kalem.
"Hayo Kangmas, pengin dilavani siapa ?," kata Marinah
kepada laki-laki kumel itu setengah merayu karena ia tahu
ternyata laki-laki kumel itu mempunyai uang banyak.
Laki-laki kumel itu nampak kebingungan, seharusnya ia lebih
akhur daripada Surodarbo tetapi malahan ia yang dipersilakan
masuk lebih dahulu.
"Pak Suro saja dulu," katanya lagi kemudian.
"Tidak. Tidak usah, silakan sampeyan saja,” kata Surodarbo
memperlihatkan sikap simpatinya.
Para perempuan di warung itu sudah tahu kalau Surodarbo
tidak akan bakalan mau menjamah perempuan, selama ini ia
tidak pernah main perempuan di sini, ia hanya datang untuk
duduk-duduk, makan dan minum dan mencari kenalan hubungan
dagang dengan para tamu laki- laki di situ, oleh karena itu
perempuan itu segera menarik lengan laki-laki kumel,
tamunya itu yang temyata bemama Turonggo Jinggo seorang
pedagang keliling. Dari sini, Surodarbo kemudian mendapatkan
hubungan dagang baru. Ia mendapatkan pesanan dagangan dari
rombongan pedagang Turonggo Jinggo ini.
Begitulah kehidupan Warung Randil yang terletak di sebelah
kulon kota kadipaten Ponorogo ini. Walaupun sering terjadi
perkelahian seru antar para tamunya yang bisa membawa
celaka, mendatangkan bahaya, dan bertaruh nyawa, namun
warung yang satu ini, memang tetap saja menjadi pusat perhatian
bagi para laki-laki iseng yang suka jajan mencari suasana
lain yang "menghanyutkan", sehingga mereka sering lupa
daratan.
2
PERAMPOKAN
MALAM makin bertambah kelam, satu per satu laki-laki
Man warung Randil itu meninggalkan ruangan-ruangan
warung itu. Tempat menarik yang menjadi hiburan para laki-
laki hidung belang itu. Warung Randil itu ditinggali sebanyak
tiga belas orang, semuanya perempuan. Tiap tengah malam
hampir terdengar suara canda ria mereka. Sambil bercengkerama
cekikikan menghitung penghasilannya masing-masing hari itu.
Sanjah, perempuan yang paling tua di warung itu, berwajah
bulat dan berbadan gembrot, ternyata mendapatkan penghasilan
paling banyak.
“Kamu sudah berjalan berapa banyak, Mbrot", panggil temannya
yang dipanggil Srintil.
"Enggak banyak, cuma dapat sebelas," jawab Sarijah Gembrot
sambil tak acuh.
“Gila. Rakus amat... Sebelas masih kurang. Bilangnya cuma
lagi," tukas Srintil nampak memperlihatkan wajah ngiri.
"Bukan mauku. Aku hanya mau uang ini. Tapi mereka yang
butuh aku. Jelek-jelek begini, kita ini sebenarnya termasuk
perempuan-perempuan yang berjasa. Coba saja kalau tidak ada
kita di sini, siapa yang bertanggungjawab kalau para laki-laki
hidung belang itu pada gelisah. Dengan adanya kita ini, kita
berjasa meredamkan mereka. Betul enggak, Til," kata Sarijah
Gembrot kepada teman bicaranya Srintil itu yang hanya
cengar-cengirmendengarkan ocehan si Sanjah Gembrot itu.
"Hus, ngomong ngawur saja kamu," sergah Rukinem yang
duduk di sebelahnya agak membentak. Lainnya yang mendengarkan
pada ketawa cekikikan.
“Orang ngomong pakai mulutnya sendiri kok dilarang," kata
Sarijah, perempuan paling gembrot itu sambil menuju ke
belakang.
"Mau kemana kamu, Mbrot, kok dastermu kamu angkat-
angkat tinggi ke atas itu kelihatan bokong kamu kayak bola
kendil kembar. Mau apa kamu," tanya Watik yang sejak tadi
memperhatikan tingkah Sarijah Gembrot yang terkenal
berpantat paling besar itu.
“Mau berak. Tapi tidak ada air. Mau enggak antar aku ke
sungai,” ujar Sarijah yang masih terus mengangkat dasternya
yang gombyor, tidak memakai celana dalam, sehingga silitnya
kelihatan membelah bokongnya yang membulat kehitam-
hitaman itu, sedari tadi ia mondar-mandir mencari air untuk
cebok sehabis berak.
"Tolong yok, antar aku ke sungai," pintanya lagi kepada teman-
temannya.
"Enggak mau, gelap begini. Sudah tunggu besuk pagi saja.
Kamu sih kebanyakan nelan ketela pohong. Pakai sakit perut
segala." Yang disindir cuma nyengir. "Sudahlah, silit kamu
yang habis berak itu dibersihkan saja pakai daun pisang itu.
Sebentar lagi hari sudah pagi," kata Watik lagi.
Dari San Kama sebelah terdengar temannya yang lain
sedang asyik ngobrol membicarakan profesinya sebagai
perempuan penghibur.
"Tik, kalau dipikir, itu semua laki-laki yang datang ke warung
la sudah pada punya isteri. Kenapa ya masih butuh kita juga."
Barangkali cuma iseng."
"Masak iseng hampir tiap hari pergi kemari. Jadi langganan
kita. Jadi untuk apa isterinya di rumah. Padahal kalau dilihat
seperti Pak Ronggodigdo itu, isterinya cantik, badannya bahenol.
ia rajin cari duwit jualan di pasar, apa perlunya ia datang ke
sini. Padahal mereka hanis bayar kita."
"Ach...dasar laki-laki saja."
“Iya. Memang benar dasar laki-laki, tetapi mengapa tidak
dimananfaatkan yang sudah tersedia di rumah saja,"
"Kalau ia manfaatkan di rumah, kita jadi bangkrut."
"Bukan begitu jawabnya, barangkali kita ini punya kelebihan."
"Apanya yang kelebihan,"
"Yaitu menarik minat laki-laki untuk lengket sama kita."
“Sudah aku ngantuk ngomong sama kamu. Saya mau tidur."
"Jangan dulu tidur, Tik. Saya mau pengin tahu, kalau para
warok yang gagah-gagah itu kenapa satu pun tidak ada yang
mau singgah ke tempat kita di sini ini ya Tik."
“Lho, kamu apa tidak tahu. Para warok itu akan hilang kesak-
tiannya. Ilmu kekebalan tubuhnya akan luluh kalau mau main
sama perempuan. Mereka bahkan banyak yang tidak mau
punya isteri, takut luntur ilmunya. Mereka hanya memelihara
anak laki-laki yang dinamakan gemblakan itu untuk
menyalurkan hasrat syahwatnya, jadi bukan ngeloni perempuan
kayak para pedagang dan petani langganan kita itu. Berkembang
pendapat di antara sebagian para warok itu, kalau taki-laki mau
berhubungan dengan perempuan, akan bisa menyerap
kekuatan kelaki-lakiannya. Kemudian kelemahan yang ada
pada tubuh perempuan itu yang tertular mengalir menyehmuti
tubuh dirinya. Sehingga laki-laki itu akan jadi lemah gemulai
seperti perempuan. Keperkasaannya hilang kesedot
candraning wanito. Menurut keyakinan para warok itu.
kalau laki-laki sudah kesengsem asmara, ketagihan berhubungan
dengan perempuan, akan luluh kedigdayaannya. Hilang kesak-
tiannya. Kulitnya akan jadi lunak, tulangnya ringkih, perutnya
lumer, dadanya lembek, tangan dan kakinya lemas, maka daya
linuihnya akan sirna. Lungkrah tidak berkekuatan. Kalau sudah
demikian jangan harap lagi menjadi orang sakti, ia tidak akan
lagi tahan terhadap bacokan, tusukan, keprukan, bantingan.
Yang ada tinggal loyonya saja."
“Hik... Hik...Hi...." kedua perempuan itu tertawa geli cekikikan.
"Wah hebat juga ya Tik warok-warok itu. Tapi aku juga kasihan
melihatnya, itu Iho kasihan sama nasibnya yah. Tiap pagi
kalau kita mandi di sungai, saya perhatikan itu warok-warok
itu, juga pada bisa berdiri kalau melihat kita sedang mandi
telanjang. Jadi apa tidak risih dianggurkan begitu tiap hari. Jadi
mereka sebenamya kan juga mampu berhubungan dengan
perempuan ya."
“Lho, para warok itu laki-laki normal. Mereka juga punya
hasrat birahi, dan tentu juga tertarik sama perempuan. Tetapi
mereka berusaha keras mengendalikan diri terhadap hasratnya
itu, Menjaga kehormatan terhadap perempuan itu yang penting,
karena untuk maksud memelihara ilmu kesaktiannya itu. Jadi
jangan harap, walaupun kamu telanjang bulat dihadapannya,
ia tak akan mau menjamahmu. Tidak bakalan. Yang rakus
sama perempuan itu kan para pedagang itu, yang ada dalam
otaknya cuma cari uang, dan cari perempuan. Kalau laki-laki
jagoan sejati seperti para warok itu membuat aman para
perempuan dimana-mana."
"Jadi kalau kita-kita ini sebagai perempuan akan aman dihadapan
para warok itu. Kita tidak bakalan dicaplok. Tidak mungkin
dinodai. Begitu."
"Ngomongmu koyok masih perawan saja, Tik. Pakai dinodai
segala. Tentu saja tidak ada yang man menodai kamu, wong
kamu sudah ternoda. Blong. Kalau kamu itu bukan dinodai,
tapi menodakan diri. Hi... hi...” ketawa Srintil cekikikan
"Ach. Aku ngomong serius. Kamu malahan meledek, Til," kata
Watik dengan muka cemberut.
"Iya, Kita tahu. Para warok itu kalau ngomong sama perem-
puan tidak pernah memandang muka kita. Mukanya dihadapkan
ke tanah. Jadi jangan coba menggoda mereka kalau kamu tidak
ingin disambar sama motek yang tajam itu. Bersopanlah
berhadapan dengan para warok itu. Bersikap wajar, jangan
menggoda kayak menggoda tamu yang pada datang di pondok
kita ini."
"Hi...hi...," suara mereka berdua terlihat tertawa geli
cekikikan.
"Sudah Tik, saya mau tidur. Ngantuk."
"Ya sudah, aku juga sudah ngantuk."
Tiba-tiba dari ruang tamu depan terdengar seperti ada suara
orang mengetuk pintu.
"Siapa ?," tanya Sarijah yang nampak belum bisa tidur, perutnya
sejak tadi masih mules-mules saja.
"Saya Bu, nama saya Manggolo, apakah boleh saya menum-
nang makan," jawab suara laki-laki itu dari balik pintu depan.
Semua perempuan penghuni warung itu yang terbangun
mendengar suara itu terdiam semua. Sarijah agak was-was
menuju ruang tamu depan. Tetapi mendengar suaranya,
kedengarannya orang baik-baik saja, maka dibukanya pintu
tamu depan itu oleh Sanjah.
“Silakan masuk," kata Sarijah menyilahkan tamunya yang
ternyata seorang pemuda gagah tampan, tetapi berpakaian
lusuh nampak tidak terurus.
"Maaf Bu, saya mengganggu."
"Oh tidak, Kangmas dari mana, dan mau kemana," tanya
Sarijah setelah keduanya duduk berhadapan.
"Saya sedang berkelana mencari Ibuku dan Bapakku. Aku
mendengar dari orang-orang di sana, katanya rumah ini dihuni
oleh ibu-ibu yang datang dari luar daerah, jadi aku mencoba
kemari, siapa tahu Ibuku ada di sini."
"Siapa nama ibumu."
"Waijah Sarirupi."
"Kalau saya, namanya Sarijah bukan Waijah. Apa aku
ibumu."
"Oh bukan, saya ditinggal bukan ketika masih bayi, tetapi
masih anak-anak kecil, jadi saya sudah mengenalnya."
"Ya, kalau saya sekarang sudah berumur 27 tahun, jadi tidak
mungkin tho punya anak sudah segede Kangmas begini ini,"
kata- kata Sanjah yang jenaka itu mengundang ketawa perempuan-
perempuan lain di sebelah kamar dalam. Kemudian mereka
pada berhamburan keluar kamar, pengin tahu siapa tamunya
yang malam-malam begini masih bertamu. Ketika melihat
penampilan dan tampang Joko Manggolo yang gagah berwajah
tampan itu, semua pada termangu-mangu sambil mem-
perkenalkan diri masing-masing. Bahkan, ada yang tidak sadar
segera membetulkan rambutnya dan pakaian tidurnya serta
menambah goresan gincu dibibirnya agar kelihatan sopan dan
menarik.
"Perkenalkan nama saya, Watik.”
"Saya, Manggolo."
"Saya, Srintil."
"Manggolo,"
Kemudian mereka berenam duduk berderet nampak sopan dan
berhati- hati dihadapan Joko Manggolo, Mereka agaknya ingin
memberikan kesan sebagai perempuan baik-baik.
"Maaf Kangmas Manggolo," lanjut Sarijah, "Tadi kayaknya
mengatakan mau numpang makan. Memangnya Kangmas
belum makan."
"Ya...bel...belum."
“Saya ada sedikit makanan, tetapi entahlah, apa enak atau
enggak. Soalnya sudah sejak tadi sore memasaknya," Sarijah
kemudian bangkit mengambilkan makanan ke belakang.
Kemudian, setelah itu, nampak Joko Manggolo makan begitu
rakusnya dihadapan mereka, kelihatannya sedang lapar berat.
Semua perempuan yang melihatnya tersenyum-senyum senang.
"Kangmas Manggolo, sehabis makan, tolong ya, ganti saya
yang man minta tolong," ujar Sarijah.
"Ya, Buk," jawab Joko Manggolo.
"Ee.. jangan panggil saya, Buk. Panggil Mbakyu saja. Saya kan
masih muda, lagi pula masih menarik, bukan", jawab Sarijah
makin genit sambil tersenyum-senyum merayu, semua yang
mendengarkan pada ketawa cekikikan. Dan Joko Manggolo
pun hanya bisa tersenyum tersipu-sipu. é
"Minta tolong bagaimana Mbakyu,” ujar Joko Manggolo.
"Antar aku ke sungai."
"Boleh," jawab Joko Manggolo sambil mengambil minuman
di cangkir yang terbuat dari bahan lempung itu, dan kemudian
berdiri stap mengantar Sarijah.
“Wah Mbrot, kamu sakit perutnya enggak habis-habis saja
sejak tadi," kata si Watik yang terkenal suka cerewet,
mengomentari kelakuan Sarijah gembrot.
Malam gelap itu, hanya dengan membawa lampu obor, Sarijah
jadi diantar ke sungai oleh Joko Manggolo tamu barunya itu.
Sesampai di tepi sungai nampak airnya meluap tinggi.
"Wah dimana ya ada tempat untuk jongkok," ujar Sanjab.
“Itu Mbakyu, dekat bambu sana itu ada batu besar."
"Oh ya ke sana saja."
Di atas batu besar itu Sarijah sudah tidak tahan lagi menahan
sakit perutnya, segera mengangkat kainnya tinggi-tinggi dan
langsung jongkok di situ untuk melepaskan hajat besarnya di
pinggir sungai itu. Dari pantatnya yang kehitaman itu ia nampak
asyik menikmati, melepaskan gangguan kotoran dari perutnya
yang mengganjal sejak tadi. Joko Manggolo yang memegangi
obor didekatnya hanya tersenyum-senyum dikulum melihat
tingkah jenaka perempuan gembrot yang baru saja mengasih
makan dia itu.
Dari kejauhan lamat-lamat terdengar seperti ada teriakan suara
orang minta tolong.
"Mbakyu seperti ada suara orang minta tolong."
"Ya, di mana, yah. Dari mana datangnya suara itu," Sarijah
yang sedang enak-enak ngising itu kaget dan langsung berdiri
belum sempat cebok.
"Seperti dari arah rumah Mbakyu."
"Iya, ayo segera ke sana."
Mereka berdua berlari-lari kecil segera bergegas menuju
kembali ke rumahnya warung Randil. Setelah dekat rumah itu,
Joko Manggolo menghentikan langkahnya. Sarijah yang
mengikuti dari belakang memegangi erat-erat lengan Joko
Manggolo. Terdengar suara dari banyak laki-laki di dalam
warung itu.
"Ha...ha...ha...hayo jangan teriak-teriak minta tolong. Siapa
yang akan menolong kalian di tengah sawah sepi begini. Hayo
serahkan semua penghasilan kalian hari ini, dan itu perhiasan
kalian semua segera keluarkan," hardik suara laki-laki dari
dalam rumah itu keras-keras.
"Ampun Pak, kami tidak punya apa-apa," nampak suara Srintil
meminta dibelas kasihani.
"Kalian semuanya pelacur yah, hayo buka pakaian kalian satu
per satu. Ini ada sepuluh anak buahku, layani semuanya,
bentak laki-laki yang berkulit hitam kelam, tinggi besar, berkumis
tebal itu, sambil memukul pantat Si Watik yang sejak tadi
berdiri ketakutan tidak berani membuka celana dalamnya
"Hayo cepat buka tapihmu ini, ndukkk” teriak laki-laki itu lagi
dengan galak sambil sebilah pisau tajam merobek kain yang
dikenakan Watik itu hingga terbuka bagian dalamnya.
Rombongan perampok itu dengan rakusnya mengobrak-abrik
semua almari pakaian perempuan-perempuan itu dan bila
ditemukan uang atau perhiasan segera diraupnya. Semua anak
buah laki-laki itu dengan kasar memperlakukan perempuan-
perempuan itu seperti layaknya menaiki kuda tunggangan
Ada seorang perempuan yang disuruh nyedit "digarap dari
arah belakang. Saking ketakutannya tidak sengaja perempuan
itu sampai terkentut-kentut keras "prettttniuttt” membuat laki-
laki yang sedang enak-enak mendekamnya itu marah, dikira
menyepelekannya. "Kurang ajar kamu kentuti aku, ya" hardik
laki-laki itu sambil ukul keras bokong perempuan yang
pantatnya nungging menghadap ke atas itu. Jerit kesakitan dan
ketakutan terdengar dari perempuan-perempuan penghuni
warung Randil yang tidak dipedulikan sama sekali oleh gerombolan
laki-laki liar itu, Kelakukan yang kelewat brutal laki-laki yang
merampok seperti ini biasanya oleh masyarakat Ponorogo
disebut sebagai "Mengampak", atau pelakunya dinamai
"Gerombolan Kampak". Orang-orang kasar ini benar-benar
berbuat kejam dan tidak mengenal belas kasihan sama sekali.
Senjata-senjata tajam yang mereka gunakan Semacam
pedang besar yang diasah berkilat dinamai Berang",
sehingga membuat makin menakutkan bagi orang yang
menjadi korbannya.
"Mbakyu, tolong tinggal di sini Sembunyi di belakang pohon-
pohon itu. Aku akan mencoba menolong mereka," bisik Joko
Manggolo kepada Sarijah di balik dedaunan pohon-pohon di
kebon rindang itu.
“L.n..yya..ya. Hat.. hati-hati, mereka berbahaya," jawab Sari-
jah gemetaran menahan ketakutan sampai berkali-kali ia
terkencing-kencing saking takutnya.
Tidak berapa lama terdengar suara Bruk. Brakkkkkk Rupanya
Joko Manggolo telah bertindak cepat dengan menendang salah
seorang laki-laki yang sedang bernafsu mengangkangi paha
seorang perempuan penghuni warung itu yang berteriak-teriak
kesakitan,
"Aduh, kurang ajar, siapa yang berani mengganggu aku,"
rupanya laki-laki itu yang menjadi pimpinan perampok itu.
Dengan sigap dalam keadaan masih bugil ia bangkit berusaha
menghindari serangan kaki Joko Manggolo yang terus
menghunjam melepaskan tendangannya bertubi-tubi ke arah
perut, leher, dan muka perampok itu yang terhenyak beberapa
langkah tubuhnya menabrak dinding kamar sumpek itu.
Malang bagi Joko Manggolo ketika ia terus menghantam laki-
laki hitam itu, ia kehilangan kewaspadaannya, seseorang anak
buah laki-laki perampok itu tidak diduga sebelumnya telah
berhasil menyambarkan sebilah pisan tajam dari arah belakang
mengenai sisi samping perut Joko Manggolo yang segera
berlumuran darah.
Melihat gelagat yang makin runyam itu, Joko Manggolo
nampaknya tidak mau mengambil risiko lebih jauh, ia segera
mengerahkan segala ilmu kanuragannya untuk secepatnya
memberantas serangan yang mengeroyoknya dari berbagai
penjuru, sebelum tenaganya sendiri terkuras kehabisan darah,
ia harus mampu segera dapat menghardik semua anggota
komplotan perampok itu.
Dengan menggunakan gerakan jurus bajing loncat, dan jurus-
jurus yang mematikan lainnya, Joko Manggolo, berhasil
merontokkan perlawanan satu per satu orang-orang yang
mengeroyoknya itu. Seorang demi seorang berjatuhan. Ada
beberapa yang kemudian melarikan diri. Pimpinan perampok
itu nampak sudah menghilang sejak tadi ketika mengetahui
kehebatan laki-laki muda, Joko Manggolo yang nampak
memiliki ilmu kanuragan lumayan tinggi itu. Tinggal dua
orang yang nampak masih berusaha keras dengan semangat
memamerkan jurus-jurus tipuan silztnya. Namun, Joko Manggolo
rupanya sudah tidak sabar lagi menghadapi cecurut itu, dengan
sekali gebrakan gerakan yang dilambari aji-aji "Rontok
Karang” yang mengeluarkan percikan cahaya biru kuning
merah bersilau dengan asap tebal membuat terjungkal kedua
perampok itu jatuh tersungkur, menggelepar pingsan.
Demikian juga kemudian, Joko Manggolo nampak mulai
kehabisan tenaga dan terjatuh ke belakang di atas kasur di
sebelah tubuh Srintil perempuan penghuni warung itu yang
masih telanjang bulat habis diperkosa. Nampak kelelahan.
Mukanya pucat. Badannya menggigil ketakutan.
"Tolong, Mbakyu. Tutup pintu-pintu depan, dan carikan tali
yang keras, ikat dua laki-laki itu sebelum mereka siuman,"
teriak Joko Manggolo kepada perempuan-perempuan yang
masih pada telanjang bulat mondar-mandir kebingungan.
"Juga tolong, Mbakyu Sarijah, ia masih sembunyi di belakang
rumah, diminta segera masuk kemari, ia sembunyi di bawah
pohon trembesi," perintah Joko Manggolo yang juga nampak
mulai lemas terkuras tenaganya dan darahnya terus mengucur
keluar.
Masih dalam keadaan tidak berpakaian hanya ditutupi apa saja
yang sempat disambar, perempuan-perempuan itu mondar-
mandir segera bertindak sesuai yang diperintahkan Joko
Manggolo. Mengikat kedua perampok itu, dan segera mencari
Sarijah Gembrot di belakang rumah.
Selanjutnya, perempuan-perempuan itu segera menolong Joko
Manggolo yang tergeletak tak berdaya di atas kasur itu berlu-
muran darah. Mengambilkan ramuan daun-daunan dan
menempelkan pada luka-luka Joko Manggolo yang terus
mengalirkan darah segar keluar dari bekas goresan tusukan
tajam pada tubuhnya yang perkasa itu.
Joko Manggolo berusaha bertahan, sambil ia menarik nafas
dalam-dalam, berkonsentrasi untuk mengalirkan darah segar
pada sekujur tubuhnya dan mengendalikan tenaga cadangan
untuk memulihkan kekuatan phisiknya. Rupanya ramuan
daun-daun yang diberikan oleh perempuan-perempuan itu
segera memberikan reaksinya. Bersamaan dengan edaran
darah bersih yang disalurkan dari udara melalui gerak perna-
fasan yang dilakukan Joko Manggolo, lambat laun dapat
mempercepat proses pemulihan tenaganya kembali seperti
semula.
3
PENGAKUAN
SUDAH tiga hari ini sejak kedua laki-laki yang tertangkap
di Warung Randil itu disekap oleh Joko Manggolo
Itu Joko Manggolo masih belum sembuh benar dari luka-
lukanya yang terus membengkak. Untung Sarijah Gembrot itu
cukup paham mengenai pengobatan tradisiona! terhadap luka-
luka bacok sehingga sangat membantu proses penyembuhan
luka-luka Joko Manggolo itu.
"Kangmas Manggolo, bagaimana lukamu ? Apa sudah agak
lumayan, tidak sakit lagi,"
"Iya, Mbakyu. Rasa nyeri itu kini rasanya sudah sangat jauh
berkurang."
"Mau aku pijat agar badan tidak kaku."
"Kalau Mbakyu tidak keberatan. Terima kasih."
Tidak berapa lama Sarijah Gembrot itu memijat kaki Joko
Manggolo yang nampak agak bengkak kemerahan, mungkin
akibat waktu malam itu ia terkena pukul kayu keras oleh para
perampok itu.
Joko Manggolo sementara ini dirawat menempati kamar Sarijah.
Sebelum kedatangan Joko Manggolo, Sarijah biasanya selalu
tidur satu kamar sendirian, tidak ada teman perempuan lainnya
yang mau menemani tidur sekamar dengannya. Sebab melihat
badannya yang besar itu, sehingga teman perempuan yang
tidur bersamanya terasa sangat sumpek tidak kebagian tempat
yang hampir terisi semua oleh tubuh Sarijah yang besar itu.
Selama Joko Manggolo tinggal di tempat tidur Sarijah, kalau
sudah kecapekan, Sarijah itu langsung ikut tidur di sebelah
Joko Manggolo, dan biasanya tidak banyak cakap lagi ia
mudah tertidur telap.
Kebiasaan Sarijah tidur dengan membuka bajunya, hanya
memakai kutang. Ia sangat merasakan udara panas daerah itu,
apalam oleh badannya yang gembrot itu, membuat ia mudah
kepanasan. Malam itu, Joko Manggolo yang merasa terdesak
oleh badan Sarijah yang besar itu hampir terjatuh dari tempat
Gdumya, sehingga ia terjaga dari tidurnya. Dalam keremangan
cahaya lampu teplok ia sempat memperhatikan wajah Sarijah
yang sedang tertidur pulas itu.
Dalam benak Joko Manggolo. "Perempuan ini memang pem-
bawaannya tidak pedulian. Acuh tak acuh saja. Hidupnya
kelihatan tanpa beban. Bebas merdeka begitu." Apa barangkali
1a sudah terbiasa melayani laki-laki tiap hari sehingga ia tidak
perlu risih bersanding dengan laki-laki lain seperti halnya
malam ini ia bersanding dengan Joko Manggolo. Tidur hanya
mengenakan kutang. Kainnya nampak tersingkap memperli-
batkan pangkal pahanya tanpa mengenakan celana dalam.
Begitu polosnya ia itu.
Joko Manggolo kemudian mencoba tidur kembali mencari
tempat yang masih tersisa untuk merebahkan badannya yang
masih agak lemah itu di samping sebelahnya Sarijah itu.
Beberapa waktu kemudian, selagi ia membolak-balikkan
badannya, timbul semacam perasaan aneh. Seperti datangnya
kerinduan seorang anak kepada ibunya. Joko Manggolo,
adalah perwujudan laki-laki yang sering mudah tertarik kepada
tipe perempuan yang berusia di atasnya. Atau paling mudah
tergetar perasaannya oleh perempuan yang jauh berusia di
atasnya. Ada semacam kesenangan bathiniah dan emosional
yang terpuaskan, apabila ia bisa merasakan nikmatnya
berkomunikasi secara baik dengan perempuan-perempuan
yang jauh lebih tua dari umumya. Ia nampaknya menderita
gejala Odipus kompleks, sebagai peristilahan yang lazim
digunakan dalam perkembangan ilmu kejiwaan di dunia
moderen masa-masa selanjutnya.
Lama sekali Joko Manggolo memperhatikan Sarijah yang tidur
pulas di sebelahnya itu. Ia mulai membayangkan puting susu
Sarijah yang moncong di balik kutangnya itu. Ia teringat akan
emboknya dahulu ketika masih kecil sering ngeloni dia. Terasa
tenteram, dan menyenangkan. Saat-saat masih menyusui
dahulu, ia merasakan betapa nikmatnya. Tiba-tiba timbul
perasaan seperti pada masa kanak-kanaknya dahulu. Dengan
gemetaran, Sarijah diperlakukan seperti layaknya seorang bayi
yang menyusu kepada emboknya. Sarijah lama-lama juga
mulai tersadar dari tidurnya yang lelap itu ketika ia merasakan
ada yang mengganggunya. Tanpa disadari, Sarijah mulai timbul
gairahnya. Ada perasaan ingin diperlakukan lebih jauh. Pelan-
pelan Sarijah menurunkan kainnya ke bawah. Joko Manggolo
hanya sempat memperhatikan perut Sarijah. Pikiran Joko
Manggolo "Aku dulu ketika belum lahir, keberadaanku di
dalam perut yang membulat besar seperti ini". Kemudian ia
perhatikan ke bagian bawah pusar Sarijah itu. Terdapat bagian-
bagian “Itulah jalan keluarku ke dunia ini. Tetapi siapa laki-laki
yang telah berani-beraninya berlaku kurang ajar itu, sehingga
mengakibatkan kelahiranku ini. la adalah laki-laki yang tidak
bertanggung jawab. Kemana mereka berdua itu sekarang
perginya."
"Mengapa terbengong-bengong begitu, Kangmas Manggolo.
Belum pernah tho melihat perangkat perempuan ini," kata
Sarijah tiba-tiba sehingga menyadarkan Joko Manggolo dari
lamunannya. "Jangan hanya dipuaskan oleh pandangan saja,
Kangmas Manggolo. Cobalah."
"Ma...af...maaf.... Tidak, Mbakyu. Ja...Jangan, Mbakyu,” kata
Joko Manggolo tergagap tersadar dari lamunannya terhadap
kedua orang tuanya yang telah lenyap meninggalkan dirinya
ketika masih bocah.
"Lho, kenapa. Mesti ragu-ragu."
"Mereka yang menjadi perantaraan kelahiranku di dunia ini,
kini semuanya menghilang meninggalkan aku sendirian.
Tanpa ada rasa tanggung jawab. Ini sama sekali tidak aku
mengerti. Aku tidak mau mengulang kesalahan untuk kedua
kalinya dalam hidupku." kata Joko Manggolo sambil keluar
keringat dinginnya menahan amarahnya. Ia masih ingat akan
petuah gurunya, "Bagi seorang Warok sejati, berpantang
berhubungan sebadan dengan perempuan," begitu kata Warok
Wirodigdo gurunya ketika itu di suatu hari kepada Joko Manggolo.
"Mbakyu. Mohon maaf. Aku bercita-cita akan hidup sebagai
warok sejati." kata Joko Manggolo setengah terengah-engah
menahan gejolak emosinya.
"Hah. Jangan, Kangmas Manggolo." kata Sarijah kaget demi
mendengar kata-kata Joko Manggolo yang berkeinginan untuk
menjadi warok itu. Kemudian tanpa sadar, Sarijah segera
menarik kainnya ke atas menutup diri kembali.
"Benar, Mbakyu. Itu sudah menjadi tekadku.”
“Jangan, Kangmas Manggolo. Sangat berat ujian bagi seorang
warok itu."
"Biartah, Mbakyu. Menjadi warok sejati itu telah menjadi
tekad dalam hidupku."
"Ohh, begitu," kata Sarijah masih dalam keadaan terbengong.
Tidak berapa lama, Joko Manggolo dan Sarijah itu sudah
kembali tertidur lelap dengan pakaian yang dirapikan sebagai-
mana layaknya. Joko Manggolo menghadap ke dinding kiri,
dan Sarijah menghadap ke dinding kanan. Mereka saling mem-
belakangi. Punggung mereka bertolak belakang. Tetapi
lantaran tempat tidur itu sempit, dan harus dimuat oleh dua
tubuh yang besar-besar itu, maka punggung mereka tetap saja
beradu.
Paginya, mereka para penghuni Warung Randil itu telah rajin
sering ketok-ketok pintu, namun tidak ada seorang pun yang
mau membukakan pintunya. Praktis sejak saat itu, Warung
Randil itu tutup terus.
Kedua perampok yang tertangkap beberapa malam yang lalu
itu masih terus disekap di kamar belakang yang kedua kaki dan
tangannya tetap diikat kencang agar tidak lari.
"Mbakyu, kalan saya diikat kedua kaki dan tangan begini
eratnya, bagaimana kalau kepengin kencing dan berak.
Tolonglah, Mbakyu dilepas" keluh salah seorang perampok itu
nampak lemas.
"Kalau mau kencing atau berak tinggal ngomong. Nanti kami
yang bantu. Tidak bisa dilepas ikatannya nanti kamu lari.
Tunggu sampai Kangmas Manggolo sembuh benar. Nanti
kalau mau kurang ajar biar dihajar sama Kangmas Manggolo,"
ujar Watik nampak galak,
"Saya lapar, Mbakyu” kata salah seorang lagi perampok itu.
"Nanti makannya, masakan belum matang. Kalau sudah siang,
kami semua sudah makan, baru kalian akan kami kasih
makan.”
"Mbakyu, pengin kencing,“ kata yang satu lagi.
"Cerewet banget kamu. Laki-laki jangan cerewet kayak
perempuan.
"Benar Mbakyu sudak tidak taban,”
"Kalau begitu, hayo berdiri dan jalannya digeserterus ke kamar
mandi. Cepatttt."
"Bagaimana saya harus kencing, Mbakyu. Celana saya, dan
tangan saya masih terikat,"
"Saya yang mau copot celana kamu. Mana. Sini." Bentak
Watik sambil menarik celana laki-laki itu. Dan dengan tersipu-
sipu laki-laki itu kencing dihadapan Watik yang terus memelototi
memasang muka angker.
"Tolong, Mbakyu, lepaskan kami agar tidak membuat repot
Mbakyu.”
"Tidak bisa. Tunggu sampai Kangmas Manggolo sembuh.
Dengar tidak.”
Pada mulanya kedua perampok itu oleh para perempuan
penghuni Warung Randil itu akan diserahkan saja kepada
kepala pengamanan daerah yang membawahi daerah Dukuh
Randil ini, Namun kemudian, tiba-tiba mereka timbul ibanya
melihat penampilan para perampok itu kelihatannya berasal
dari orang susah yang berpakain kumal. Mungkin mereka itu
orang-orang bayaran yang lagi kesusahan mencari kerja, dan
kemudian karena kepepet mereka mau saja diajak merampok
asal mendapat upah untuk sekedar bisa makan.
"Ampun Kangmas, dan Mbakyu. Jangan kami diserahkan
kepada penguasa pengamanan daerah. Tolong lepaskan kami.
Kami bersumpah tidak akan mengulang perbuatan kami lagi.
Kasihan anak isteri kami yang ditinggal di rumah. Tolonglah,
Kangmas", keluh kedua orang laki-laki yang terikat tangannya
sejak tiga malam yang lalu itu.
Dari pengakuan kedua perampok yang tertangkap itu
terungkap bahwa pimpinan mereka sebenarnya termasuk
pelanggan tetap di Warung Randil ini. Berdasarkan perintah
yang diberikan oleh pimpinan mereka, mereka harus mengobrak-
abrik Warung Randil ini. Alasannya karena pimpinan mereka
sedang sakit hati kepada perempuan-perempuan penghuni
Warung Randil ini
Sekitar satu bulan yang lalu, pimpinan mereka datang kemari
bersama beberapa anak buahnya, tetapi sesampainya di dalam
warung ini, ia tidak segera dilayani oleh perempuan-
perempuan penghuni warung rumah ini. Katanya, semua
sedang terpakai habis, sehingga pimpinan mereka tidak
kebagian. Padahal menurutnya masih ada dua orang yang
sedang jaga di depan, walaupun habis dipakai orang tetapi
punya alasan mau istirahat dulu, baru bekerja, sehingga ia tidak
sudi melayani tamu yang datang belakangan.
Menurut pimpinannya, sebenarnya perempuan-perempuan itu
masih bisa dipakai, tetapi mungkin perempuan-perempuan itu
tidak senang dengannya sehingga dia mencari alasan yang
bukan-bukan, Pimpinannya itu lalu tanpa pamit meninggalkan
warung itu. Ia pun pulang "nganggur", dan mendendam dalam
hati untuk membuat balasan. Akhirnya ia mengumpulkan
semua anak buahnya untuk menyerang warung itu, memperkosanya,
dan mencuri harta benda yang ditemui di warung itu.
"Siapa pemimpin kalian," tanya Joko Manggolo.
"Ki Darmo Bendo," jawab laki-laki itu.
"Di mana sarang mereka."
"Di gunung loreng, daerah Ponorogo selatan yang berbukitan
itu, Kangmas."
"Kamu dapat upah, yah."
"Yah."
"Berapa?"
"Hasil jarahan ini akan dijadikan uang. Separohnya dibagi rata
untuk semua anak buah, dan sisa separonya lagi untuk diambil
pemimpin sendirian."
"Lalu kerapa kamu mau melakukan pekerjaan keji ini."
"Saya sedang terdesak perlu makan, Kangmas,"
"Pekerjaan kamu selama ini sebenarnya apa."
"Menjadi kuli di pasar."
"Mengapa tidak kamu teruskan pekerjaanmu itu."
"Hasilnya kurang banyak."
"Tetapi pilih mana dapat kerja walaupun penghasilannya kecil,
tetapi selamat, daripada dapat hasil banyak tetapi digebuki, dan
dimasukkan penjara."
"Saya sudah kapok kok, Kangmas. Tidak mau mengulang
lagi."
"Baiklah kalau demikian. Kamu boleh pergi tetapi jangan
sekali-sekali mengulang perbuatanmu ini lagi. Kamu akan saya
lepas, tetapi awas jangan sampai dua kali ketahuan merampok.
Begitu tertangkap, aku akan serahkan kamu kepada kepala
pengamanan daerah nanti."
Begitu perampok-perampok itu dilepas oleh Joko Manggolo,
mereka segera berlari terbirit-birit, walaupun mereka merasa
lega dilepaskan, tidak jadi dibawa ke pengamanan daerah, akan
tetapi masih nampak pada mimik mukanya yang pucat pasi itu,
masih kelihatan ketakutan yang mendalam.
Emoticon