4
BELAJAR
RADEN MAS POERBOYO, seorang pedagang keliling
yang hampir kena celaka ketika berpapasan dengan
gerombolan pemeras di perkampungan Lembah Dangkal
itu, untung nasibnya masih mujur dapat ditolong oleh
Warok Wulunggeni. Ia sebenarnya seorang kaya yang
rajin bekerja, dan banyak kenalan di kota kelahirannya di
kota Kadipaten Trenggalek.
Sudah beberapa hari ini Warok Wulunggeni menjadi
tamu istimewa keluarga Raden Mas Poerboyo. Nampaknya
tuan rumah, Raden Poerboyo sebagai pengusaha .
beken di Trenggatek yang hidup dari usaha berdagang
dan bertani, tidak ingin buru-buru melepaskan kepergian
tamu yang dihormatinya itu, Warok Wulunggeni yang
pinan memberikan kebaikkan Kepadanya itu.
"Kakang Wulunggeni, ada baiknya Kakang tinggal lagi
beberapa lama di rumah saya ini. Saya berminat untuk
mempelajari ilmu bela-diri dari Kakang Wulung”, kata
Raden Mas Poerboyo pada suatu hari ketika dipamiti
Warok Wulunggeni yang hendak meneruskan pejalanan
nya ke Binar,
“Terima kasih, Kangmas Poerboyo", kata Warok Wu-
'lunggeni, "Lain kali saja, saya akan mampir ke sini lagi
sepulang saya dari Blitar. Sebab mempelajari ilmu béla
diri itu tidak boleh terburu- buru. Hanya dalam situasi
bathin yang benar-benar siap untuk menerima tentangan.
Siap menerima ilmu baru yang berat. Dan tidak mudah
bersikap menyepelekan. Oleh karena itu Kangmas Poer-
boyo, kondisi saya sedang terburu-buru ingin segera gam-
pai ke Blitar, Jadi barangkali kurang tepat untuk
melakukan ngudi daya dalam keadaan yang dikejar-kejar
waktu seperti sekarang ini. Jadi mohon 'maaf lo,
Kangmas Poerboyo".
"Ohh, demikian, tidak apa-apa, Kangmas Wulunggeni.
Kalau begitu maafkan saya, yang telah menahan Kang-
mas Wulung sampai begitu lama hampir satu bulan disini.
"Malahan, saya yang seharusnya berterima kasih kepada
Kangmas Poerboyo dan keluarga di sini. Saya merasa
berhutang budi kepada keluarga Kangmas. Terutama,
saya telah mendapatkan pengetahuan cata bertani yang
baik. Selama sekian hari di sini, Kangmas Poerboyo
telah memberikan pembekalan pengetahuan - bertani
yang sangat berguna bagi saya untuk dipraktekkan di
daerah Ponorogo, sepulang dari Blitar nanti".
"Ach. itu tidak ada artinya apa-apa kok, Kangmas. Itu
cuma ceritera pengalaman saya bertani. Bukan pelajaran —
Cara bertani yang baik kok, Kangmas”.
"Yah. Saya bermaksud pada suatu hari nanti, pengetahuan
bertani dari Kangmas Poerboyo itu akan saya coba kem-
bangkan untuk dicoba di daerah Ponorogo. Siapa tahu suatu
hari, saya bisa mengikuti jejak kesuksesan Kangmas Poer-
boyo dalam bertani dan berdagang di Trenggalek ini".
"Ach, Kangmas Wulung bisa saja. Saya ini yang justeru
banyak berhutang budi terhadap Kakang yang telah
menyelamatkan diri saya dari para perampok itu".
Serambi ngobrol ngalor-ngidul, kedua laki-laki yang
telah sebulan berkenalan itu nampak makin akrab. Tidak
berapa lama, dari balik pintu dalam rumah muncul isteri
Raden Mas Poerboyo yang mengenakan kebaya dengan
baju hijau lumut Membawakan sebaki makanan dan
minuman hangat.
"Oh, Mbakyu, kok repot-repot terus sejak saya di sini",
kata Warok Wulungeni basa-basi.
"Tidak apa kok Kangmas Wulung. Kami sekeluarga
merasa amat berbahagia sejak kedatangan Kangmas di
rumah kami. Kangmas Poerboyo jadi betah tinggal di
rumah, ada teman ngobrol dan jalan-jalan ke sawah.
Kalau tidak ada Kangmas Wulung, biasanya Kangmas
Poerboyo hanya suruhan para pembantu untuk menengok
sawah", kata perempuan yang berparas cantik, isteri
Raden Mas Poerboyo yang ramah itu membuat hati laki-
laki seperti Warok Wulunggeni ini terbawa kesengsem
setiap kali mendapatkan senyumannya yang merekah itu.
"Selama kehadiran saya di sini tentu makin menambah
repot Mbakyu saja yang juga menambah beban masaknya
jadi bertambah".
"Oh, tidak apa-apa kok, Kangmas Wulung. Bagi saya
malahan senang ada kesibukan", kata isteri Raden Mas
Poerboyo yang ikut menemani perbincangan itu, dengan
mimik muka yang cerah itu, membuat Warok Wulung-
geni pun bertambah kerasan berbincang, lupa tidak buru-
buru berpamitan berangkat pergi.
Keluarga Raden Mas Poerboyo yang kaya ini, selain
memiliki sawah ladang yang luas, juga beternak kambing
domba, berdagang pakaian, dan mempunyat pabrik kru-
puk rambak yang amat populer secara turun-temurun di
daerah Trenggalek ini. “Kehebatan usaha Kangmas
Poerboyo ini ia orang yang suka merintis pekerjaan
baru yang sebelumnya belum dijalankan orang. Ke-
mudian setelah ditiru orang ia berusaha menciptakan
usaha baru lagi. Sungguh luar biasa. Tetapi sayang,
mengapa ia tidak mengupah para pengawal yang bisa
menjaga keselamatan dan hartanya selama bepergian
maupun tinggal di rumah besar ini", pikir Warok Wu-
lunggeni dalam hati, tetapi ia tidak berani mengutarakan
pendapatnya ini langsung kepada Raden Mas Poerboyo,
takut menyinggung perasaannya.
Rumah Raden Mas Poerboyo yang berhalaman luas, di
situ banyak dipelihara perkutut yang tiap kali terdengar
suara manggungnya sangat indah menarik. Ajeng
Sarimbi, nama isteri Raden Mas Purboyo tiap pagi rajin
memberikan makan perkutut-perkututnya itu. Demikian
juga hampir tiap sore kalau ia tidak sedang berjualan di
pasar ia pun rajin menyiram air di tiap tanaman bunga
yang nampak tertata asri membuat suasana rumah
keluarga pengusaha di Trenggalek itu terasa nyaman
tenteram.
Namun bagi Warok Wulunggeni kenyamanan rumah
tinggalkenalan barunya itu tidak membuatnya ia harus
berlama-lama tinggal di keluarga yang selalu menja-
munya dengan baik itu. Masih ada rencana besar yang
harus diselesaikan yaitu menuntut ilmu kanuragan yang
lebih tinggi. Pada malam harinya ia menyampaikan ren-
cana pemberangkatannya besuk pagi dan sekaligus mo-
hon berpamitan dengan Raden Mas Poerboyo dan
isterinya Ajeng Sarimbi yang selalu setia mendampingi
suaminya itu. Mereka nampak haru akan melepaskan
perpisahan dengan Warok Wulunggeni yang baik hati ini.
Pagi-pagi buta ketika ayam jantan berkokok, Warok Wu-
lunggeni nampak telah meninggalkan kota Trenggalek
menuju timur dengan tujuan tetap ke Blitar selatan untuk
menuntut ilmu. Sebelum berangkat Warok Wulunggeni
mendapatkan bawaan perbekalan ransum serta per-
lengkapan lainnya sekampluk yang dipersiapkan oleh
Ajeng Sarimbi, perempuan berparas cantik jelita, isteri
Raden Mas Poerboyo untuk bekal di perjalanan selanjut-
nya.
5
PERGOLAKAN DI UFUK TIMUR
DALAM meneruskan perjalanan selanjutnya, Warok
Wulunggeni beberapa kali dicegat olah para penyamun
yang menghadang di perjalanan.
"Hai orang asing, dari mana kamu dan mau kemana",
tiba-tiba terdengar suara keras sepertinya suara laki-laki
perkasa yang menggema di tengah hutan lebat belantara
itu.
"Namaku Wulunggeni. Asalku dari daerah Ponorogo.
Mau pergi ke Blitar", jawab Warok Wulunggeni
melayani pertanyaan seorang laki- laki tinggi tegap
yang menghadang tepat di tengah jalan.
"Kamu bawa apa", tanya laki-laki gagah itu.
"Aku hanya membawa bahan makanan untuk bekal di
jalan", jawab Warok Wulunggeni nampak tenang.
"Serahkan semua yang kamu bawa itu kepadaku. Lalu,
kamu boleh lewat daerah kekuasaanku ini”, perintah laki-
laki tegap itu.
"Aku akan kelaparan di jalan kalau menyerahkan bahan
bawaanku itu kepada kamu", jawab Warok Wulunggeni
berusaha menyangkal.
"Kamu pilih mati kelaparan, atau mati di tanganku",
gertak laki- laki tinggi besar itu makin berangasan.
"Kalau boleh aku peringatkan, jangan coba-coba meng-
halangi perjalananku. Jangan mentang-mentang kamu
merasa menguasai daerah sini kamu bisa main peras
seenaknya perut sendiri pada tiap orang yang.mau lewat
sini. Aku tidak bisa kamu peras. Tahu", bentak Warok
Wulunggeni mulai memperlihatkan matanya yang men-
corong tanda kesabaran orang itu mulai hilang.
"Hae, dasar anak bunglon, diajak ngomong baik-baik kok
malah mau cari perkara. Sudah merasa kebai tombak
kamu yah", laki-laki tinggi besar itu nampak memperli-
hatkan kemarahannya menghadapi sikap Warok Wu-
iunggeni yang nampak tidak sedikit pun merasa tergetar
hatinya menghadapinya. Tiba-tiba dengan gesit laki-laki
itu membunyikan siulan nyaring, dan seketika itu pula
datang bergerombol sekitar selusin anak buahnya yang
siap menghunus golok tajam nampak bersinar berkilau.
Warok Wulunggeni agak terperanjat melihat datangnya
gerombolan yang begitu banyak, nampak seperti sosok
laki-laki yang tangguh-tangguh dan berpengalaman ber-
tanding.
"Bagaimana anak bunglon. Apa kamu masih mau menun-
jukkan kesombonganmu dihadapanku", ujar laki-laki
tinggi besar itu sambil tertawa lebar setelah selusin anak
buahnya mengitari posisi Warok Wulunggeni yang nam-
pak agak kurang siap menghadapi kedatangan begal-
begal yang nampak bengis itu.
"Hai brewok", panggil Warok Wulunggeni kepada laki-
laki tinggi besar itu, "Lalu apa maumu dengan men-
datangkan bajingan-bajingan cecunguk mengepung aku
ini“.
"Ha...ha...ha...kau ternyata laki-laki jantan juga. Masih
tegar hati kamu menghadapi jago-jagoku. Sudah aku
katakan, tinggalkan itu barang bawaanmu, lalu kamu
boleh lewat dengan aman. Jangan cari gara-gara. Sayangi
nyawa kamu itu. Percuma melayang di ujung golokku
ini. Ha...ha...ha", ejek laki-laki yang rupanya menjadi
pimpinan para begal ini.
"Diam. Jangan banyak bacot. Kalau mau mengeroyok
aku, keroyoklah. Hai para pengecut. Beraninya main
keroyok. Tetapi kalau kalian laki-laki jantan. Maju satu
per satu. Siapa berani maju dulu, hayooo majulah”, tan-
tang Warok Wulunggeni menunjukkan sikap ksatrianya.
"Wualah...wualah, ini laki-laki benar-benar mau cari
mati", teriak laki-laki pemimpin begal itu, "Minggir ka-
lian semua, aku yang akan membereskan orang asing
yang sok jagoan ini. Minggirtr", sambil teriak, laki-laki
tegap yang berewokan itu melonjat menerjang posisi
Warok Wulunggeni yang nampak sedari tadi sudah siap
memasang kuda-kuda untuk menghadapi segala se-
suatunya.
"Cranggg", terdengar suara golok beradu. Dengan
sigap pula Warok Wulunggeni memutar-mutarkan
'motek' senjata golok khas Ponorogo yang siap
menerima serangan dari pemimpin Begal yang nampak
menyerang dari segala arah dengan penuh emosi itu.
"Bajingan. Kamu cekatan juga anak bunglon", teriak
laki-laki pimpinan Begal itu ketika serangannya yang
bertubi-tubi itu dapat dipatahkan oleh gerakan-gerakan
lincah Warok Wulunggeni yang sudah banyak makan
garamnya pertarungan dahsyat.
"Hayo habiskan semua ilmumu, Brewok. Jangan sebut
laki-laki kalau cara bertandingmu seperti keong manak
begini. Lembek tidak ada kekuatan. Gerakmu lamban
koyok kodok bunting. Kamu tidak punya daya kekuatan,
Brewok", ejek Warok Wulunggeni kepada musuhnya
yang dipanggil brewok itu agar terus emosi. Dengan
demikian Warok Wulunggeni lebih mudah mengendali-
kan setiap serangan si brewok yang begitu bernafsu itu.
"Bajingan kamu, mau mempermainkan aku, bunglon",
teriak laki-laki brewok pemimpin Begal itu ketika ia
mulai terdesak mundur oleh serangan balasan yang
dilancarkan Warok Wulunggeni yang kelihatan penuh
semangat bertempur itu.
"Habiskan tenaga kamu, Brewok. Tampang kamu saja
“yang serem. Permainanmu tidak ada apa-apanya. Ini cara
bertanding anak-anak yang baru sunat. Cukur itu brewok
jelek kamu itu", ledek Warok Wulunggeni ketika ia ber-
hasil memojokkan terus musuhnya itu mundur Sampai
beberapa langkah jauh ke belakang.
"Leeee, siaplah kalian semua. Serbu ini si bajingan
bunglon", teriak laki-laki pimpinan Begal itu memer-
intahkan kepada para anak buahnya, ketika merasa
tidak mampu menandingi jurus-jurus serang yang
dilontarkan oleh Warok Wulunggeni yang nampak
dengan enteng melukai tubuh laki-laki brewok yang
darahnya mulai mengucur di berbagai tubuhnya yang
terkena bacokkan motek Warok Wulunggeni yang dilu-
muri warang beracun. Seketika mendengar perintah
menyerbu, selusin anak buah Begal Brewok “tu
menyerang serentak posisi Warok Wulunggeni.
"Wailadalah, memang kalian hanya bisa main keroyokan,
yah", teriak Warok Wulunggeni sambil melepaskan ju-
rus-jurus mautnya sampai beberapa gerakan beruntun. Ia
kemudian menggeser langkahnya mundur kembali untuk
menata irama jurus-jurus bertahannya. Dalam meng-
hadapi serangan bertubi-tubi yang dilancarkan serentak
dari berbagai jurusan oleh para begal-begal yang
mengeroyoknya itu, Wulunggeni mengembangkan jurus
teratai berbunga.
Dalam gerakan mundur sambil melepaskan serangan itu
ternyata Brewok sempat terkena sabetan motek Warok
Wulunggeni. Seketika itu Brewok terkapar hampir mat
terkena racun warangan yang dioleskan dalam senjata
tajam khas para warok itu. Melihat pimpinannya tergele-
tak di tanah dengan darah merah mengucur di tubuhnya
itu, para anak buah Brewok itu tidak berani mendekati
Warok Wulunggeni dan malahan berusaha melarikan
din. Tak seorang pun berani menolong pemimpinnya
yang seharusnya segera memerlukan perawatan agar ti-
dak terserang peredaran racun yang mematikan ke selu-
ruh tubuhnya. Dalam beberapa gerakan surut para begal
anak buah Brewok itu telah berhamburan menghilang
mencari selamat masuk ke sela-sela pepohonan hutan
yang lebat itu
Melihat keadaan telah aman, para begal itu lalu menghi-
lang. Warok Wulunggeni kemudian melakukan per-
tolongan terhadap Brewok yang tidak sadarkan diri itu.
Melalui bahan ramuan pengobatan yang pernah dipel ajari
dari Dukun yang merawatnya ketika ia terbaring
setelah menghadapi Warok Surodilogo tempo hari,
nampaknya telah membawa berkah juga, kiri Warok
Wulunggeni pun makin mahir menguasai ilmu pengo-
batan luka bacok.
Berkat pertolongan pengobatan yang dilakukan oleh
Warok Wulunggem akhirnya jiwa Brewok dapat ter-
tolong. Merasa jiwanya tertolong, setelah siuman dan
tahu bahwa ia telah dikalahkan, dan mendapatkan
perawatan yang baik dan Warok Wulunggeni, Brewok
merasa berhutang budi terhadap Warok Wulunggeni itu.
Ia dapat disembuhkan, dan kemudian dalam perkem-
bangannya, malahan kini ia menjadi berkawan akrab
dengan Warok Wulunggeni.
"Siapa namamu Brewok", tanya Warok Wulunggeni
kepada Brewok yang masih tergeletak di atas dedaunan
kering yang diatur oleh Warok Wulunggeni untuk proses
penyembuhan itu.
"Namaku Tanggorwereng, Kangmas", jawab Brewok itu
firth kelihatan masih lemas.
"Dari mana asalmu”, tanya Warok Wulunggeni kembali.
"Aku berasal dari Blitar, tetapi sudah lama aku ting-
galkan kota itu. Orang tuaku sudah meninggal ketika
aku masih bocah. Menurut ceriteranya, orang tuaku
dulu bekerja menjadi punggawa di Kerajaan Lodaya.
Kemudian sepeninggal orang tuaku, aku mengembara
dan dipelihara orang di pinggir hutan ini, sampai sekarang
aku anggap seperti orang tuaku sendiri. Lantaran kerjaan
orang yang mengasuhku itu merampok, aku punjuga jadi
rampok. Tetapi aku lebih suka jadi begal yang meng-
hadang orang lewat di jalan daripada harus merampok
memasuki rumah-rumah penduduk, risikonya lebih berat.
Cara membegal ini lebih mudah memperhitungkan
lawan. Tetapi naas baru kali ini aku mendapatkan lawan
yang tangguh seperti Kakangmas Wulunggeni. Aku
minta maaf Kakang. Dan terima kasih, Kakang telah
menyelematkan jiwaku", kata Brewok yang ternyata ber-
nama Tanggorwereng itu. Warok Wulunggeni hanya
tersenyum gembira mendengar pengakuan Tang-
gorwereng yang telah mengaku kaiah dan bahkan
merasa berhutang budi kepadanya itu.
“Aku juga perlu bantuanmu, Wereng", kata Warok Wu-
lunggeni.
"Bantuan apa, Kakangmas".
"Apa kau pernah mendengar mengenai perguruan Lo-
daya di Blitar selatan yang terkenal dengan ilmu macan
jadian itu
"Eyangku sendiri yang memiliki perguruan Lodaya itu”.
"Jadi engkau juga memiliki ilmu macan putih itu ?"
"Aku pernah diajari Eyangku ketika aku masih bo-
cah, tetapi baru dasar-dasarnya. Dan sejak sepening-
gal ayahku, aku tidak pernah ke sana lagi. Eyangku
orang keras, aku tidak menyukai dia. Aku kabur Jarı
perguruan Eyangku itu ketika aku harus belajar ilmu-ilmu
putih itu bersama murid-murid Eyangku Lalu sampai
sekarang aku jadi begal begini, mana mungkin Eyangku
akan menerima aku kembali. Ia orang suci. munya, ilmu
suci", tandas Tanggorwereng nampak tak acuh.
"Apa engkau bisa antar aku ke Eyangmu. Aku ingin
mempelajari ilmu macan putih itu"
"Kalau menghadap Eyangku, aku tidak mau Tetapi aku
hanya bisa menunjukkan jalan ke perguruan Eyangku.
Aku tidak perlu masuk menemui Eyangku. Kakangmas
sendiri yang masuk. Aku hanya dapat antar sampai depan
pintu saja".
"Tidak apa, Wereng. Tunggu sampai engkau sembuh
benar, baru kita berangkat".
"Baik, Kang Mas," jawab Tanggorwereng.
"Sekarang beristirahatlahdengan tenang sambil me-
mulihkan kekuatan fisikmu."
"Terima kasih, Kangmas”.
Tidak berapa lama kedua laki-laki yang sedari tadi terli-
hat berbincang akrab itu, kemudian mereka mencari tem-
pat tidur masing-masing di atas kayu belahan besar
berbentuk gubuk yang dibangun: darurat oleh warok
Wulunggeni.
Hari bertambah malam dan hutan itu menjadi sunyi sen-
yap hanya terdengar suara melengking serigala, babi
hutan, kelelawar dan burung hantu yang menambah
suasana seram di dalam hutan itu.
6
BERSAHABAT
HAMPIR satu minggu ini, Tanggorwereng dalam
perawatan Warok Wulunggeni di tengah hutan itu. Kon-
disi fisiknya nampak telah menunjukkan perubahan yang
berarti. Sudah ada tanda-tanda kemajuan terhadap kese-
hatannya. Tanggorwereng nampak mulai dapat berjalan-
jalan.
Rupanya selama dalam perawatan Warok Wulunggeni
Hu, para anak buah Tanggorwereng itu pun terus-menerus
mengintip sambil mengikuti segala kegiatan Warok Wu-
lunggeni dari balik semak-semak dedaunan yang rindang
itu. Mereka rupanya sangat terkesan oleh kemahiran
Warok Wulunggeni dalam melakukan pengobatan ter-
hadap pemimpinnya itu. Nampak begitu sabar memper-
lakukan bekas lawannya itu, seperti memperlakukan
muridnya sendiri. Kelihatan bersahabat Kesan itu yang
kemudian menimbulkan simpati kepada para anak buah
Tanggorwereng. Kemudian tidak lama, satu per satu
mereka muncul memberikan penghormatan kepada
Warok Wulunggeni dengan sikap yang sangat sopan.
"Kangmas Wulunggeni, aku dan konco-konco meng-
haturkan salam penghormatan kepada Kakang", kata
seorang laki-laki yang bertubuh gempal dengan otot-otot- `
nya yang menonjol di lengannya yang besar itu. Teman-
temannya memanggilnya dengan nama Brendel Gepuk.
"Tidak apa, Brendel. Aku hanya menjalankan tugas seba-
gai manusia biasa yang harus saling tolong-menolong
sesama. Apalagi pemimpinmu ini, Tanggorwereng dalam
keadaan pingsan waktu itu. Oleh karena itu, aku mem-
punyai kewajiban untuk menolong dan merawatnya",
kata Warok Wulunggeni ketika dihadap oleh Brendel
Gepuk dan konco-koconya itu yang dengan takjim bersila
duduk bersimpuh dihadapan Warok Wulunggeni yang
kelihatan sedang memberikan wejangan macam-macam
dihadapan mereka.
Mereka akhirnya menghormati Warok Wulunggeni dan
bersumpah setra untuk membela kepentingan Warok Wu-
lunggeni. Akan tetapi Warok Wulunggeni justeru menyu-
ruhnya untuk meneruskan pekerjaan mereka sebagai
begal itu. Malahan menganjurkan untuk memperluas
daerah operasinya agar menjalar sampai ke daerah Kadi-
paten Ponorogo. Terus-menerus membuat kekacauan di
masyarakat agar membuat kewalahan penguasa Kadi-
paten yang diharapkan akan meruntuhkan kewibawaan
Penguasa Kadipaten Ponorogo itu.
Penguasa Kadipaten Ponorogo dianggapnya tidak bisa
bersikap adil terhadap dirinya ketika dalam menyelesai-
kan sengketa dia dengan Warok Surodilogo atas usaha
jasa pengamanan kepada para pedagang di daerah
Dawuhan tempo hari. Warok Wulunggeni masih belum
bisa menerima cara penyelesaian yang dilakukan Kan-
jeng Adipati yang mengharuskan ia adu tanding dengan
Warok Surodilogo dan mernbuat malu karena kekalahan-
nya itu.
Seharusnya Kanjeng Adipati bisa memutuskan
mengenai siapa yang terlebih dahulu merintis usaha itu,
ia yang berhak atas kelanjutan usaha itu. Ini cara yang
adil menurut Warok Wulunggeni. Kiri usaha yang dirin-
tis atas gagasannya itu dahulu menjadi beralih pemilik
yang dikuasai oleh Warok Surodilogo. Hal ini yang mem-
buat kebencian Warok Wulunggem kepada penguasa
Kadipaten Ponorogo. Ia sebenarnya cukup jantan
menerima kekalahan melawan Warok Surodilogo,
karena ternyata ia lebih unggul, tetapi dia tidak bisa
menerima terhadap keputusan Adipati untuk men-
gadakan adu tanding dalam perkara berebut rejeki ini.
Oleh karena itu, dalam hatinya ia bersumpah akan mem-
buat kekacauan dimana-mana, ia merencanakan untuk
menghimpun para jagoan, para begal, atau para perusuh
untuk melakukan keonaran dimana-mana sehingga
membuat repot penguasa Kadipaten Ponorogo dan
membuat rakyat tidak percaya lagi terhadap Kanjeng
Adipati yang sementara di antara para warok masih
beredar anggapan bahwa Adipati yang berkuasa
sekarang ini seharusnya tidak berhak berkuasa atas
daerah Ponorogo, karena ia bukan turun raja Wengker.
Apalagi ia bukan orang asli Ponorogo dan tidak me-
megang pusaka kerajaan Wengker sebagai wasiat
utama tetenger kerajaan tertua yang dibanggakan oleh
masyarakat Ponorogo di masa lalu itu .
“Jadi kami ini harus bagaimana Kangmas," tanya
Brendel Gepuk memecahkan lamunan Warok Wu-
lunggeni.
“Yah. Tunggu Brendel sampai kita dapatkan hari yang
baik, Semantara ini teruskan untuk berlatih . Sampai nanti
pada saatnya akan tiba, kita akan menjadi orang yang
mulia."
"Kami siap membantu, Kangmas."
"Tunggu sepulangku dari Blitar. Kita mempunyai ren-
cana besar," kata warok Wulunggeni mantap.
Brendel Gepuk dan konco-konconya itu hanya bisa
mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti
apa yang dimaksudkan oleh warok Wulunggeni.
BERSAMBUNG
Warok Ponorogo 3
Emoticon