4
TERKENA MUSIBAH
DALAM perjalanan pulang dari pesta di Kadipaten
malam itu, nampak pasangan suami-isteri Karto-
hangat penyambutan yang ditunjukkan oleh Kanjeng
Adipati terhadap mereka berdua. Dianggapnya se-
bagai kebaikan yang sangat ramah dan menghor-
matinya.
"Ini baru namanya kebahagiaan bagi kita, Nduk,” kata
Pak Kartosentono kepada isteri setianya, yang duduk di
sebelahnya di dalam kereta dokar, nampak mereka puas
atas pelayanan yang baru saja diterimanya dari pesta di
kadipaten itu.
"Ya. Kangmas. Kenapa Kanjeng Gusti Adipati bersikap
baik sekali yah. Sampai mau-maunya mengadakan pesta
makan malam untuk kita, kalau hanya mau menyerahkan
surat-surat kios pasar," kata isterinya.
"Yah itu tadi, Karena beliau itu ingin memberikan balas
jasa, atas segala pengorbanan kita kepada beliau. Kita
telah menyambutnya sebagai tuan rumah yang baik
waktu beliau berkunjung ke rumah kita dulu itu. Bahkan
sampai engkau memberikan penghormatan yang tidak
sepantasnya, dan tidak seharusnya diberikan, tetapi kita
pun bersedia memberikan kepantasan yang dirasa perlu
untuk menghormati tamu kita seorang Putra Mahkota
Adipati pada waktu itu," kata Pak Kartosentono terlihat
tersenyum-senyum senang sambil memandangi isterinya
yang duduk di sebelahnya.
"Setelah ini kita akan bisa memajukan usaha kita.
Tapi...," tiba-tiba pembicaraan Pak Kartosentono
terhenti, ia memegangi perutnya.
"Kenapa Kangmas..." tanya isterinya yang segera
mendekat dan ikut memegangi perut suaminya itu, apa
gerangan yang terjadi terhadap suaminya,
"Tidak apa-apa. Saya barangkali mau muntah, mungkin
kekenyangan makan tadi. Perut saya terasa mulas, dan
tenggorokanku terasa panas," ujar Pak Kartosentono.
"Tapi, mulut Kangmas mengeluarkan busa. Badan
Kangmas tiba-tiba menjadi berkeringat dingin begini..."
kata isterinya nampak kebingungan melihat perubahan
keadaan badan suaminya yang begitu cepat.
"Tidak apa-apa. Hanya perutku saja yang terasa mual.
Badan rasanya memang agak lemas, Coba tolong Trimo,
berhenti sebentar di dekat sungai itu, aku mau berak
dulu," kata Pak Kartosentono memberi perintah kepada
kusir setianya yang bernama Trimo itu.
Dokar itu berhenti di dekat tepi sungai, dan Pak Karto-
sentono dengan dipapah isterinya berjalan gontai
mendekati sungai yang tak jauh dari jalan itu, Sementara
itu Kusir Trimo menunggu Dokar itu di tepi jalan, Lama
juga belum kembali pasangan suami isteri itu. Lalu,
timbul keinginan Trimo untuk menengoknya kalau-
kalau terjadi sesuatu, atau ada apa-apa terhadap maji-
kannya yang selama ini selalu berbaik hati kepadanya.
"Nduk...badanku jadi lemas sekali," kata-kata Pak Kar-
tosentono kepada isterinya yang sedang memegangi
sarung suaminya itu. Suaranya mulai melemah sambil
badannya tertelentang di tepi sungai, ia berusaha berak
sambil dipegangi isterinya, tetapi tidak bisa. Perutnya
mules berat. Pandangan matanya berkunang-kunang.
Mulutnya mengeluarkan busa. Keringat dingin mem-
basahi seluruh tubuh. Waijah Sarirupi, isterinya ke-
bingungan di samping suaminya yang sudah lemas itu.
Apa yang harus dilakukan demi melihat keadaan
Suaminya yang tubuhnya mulai mendingin. Untung
segera muncul Trimo kusirnya itu.
"Trimo, tolong Bapak segera dibawa kembali ke Dokar,"
kata Waijah Sarirupi kepada Trimo kusir Dokar itu.
“Baik Bu," dengan tergopoh-gopoh Trimo berusaha
memapah Pak Kartosentono yang sudah lemas itu. Se-
sampainya di atas Dokar, Trimo segera memacu
dokarnya.
“Langsung pulang, apa kembali ke kota mencari Dukun,
Bu," tanya Trimo juga nampak kebingungan. Mau
dibawa ke mana Pak Kartosentono yang nampak sudah
payah sekali itu.
“Kita ke rumah Mbah Dukun Mantri Jopomontro saja di
Sumoroto," jawab Waijah Sarirupi yang nampak cemas.
"Baik, Bu," sambil menjawab, Trimo memacu kudanya
itu lebih kencang membelok ke arah barat.
Malam itu jalan-jalan terasa sepi, jarang ditemui ken-
daraan berpapasan dengan mereka. Hanya beberapa
terdengar suara kuda yang berjalan lambat di belakang.
Kusir Trimo terus memacu kudanya dengan kencang
sampai seisi penumpang itu tubuhnya terguncang hebat.
Jarak tempuh antara kota Kadipeten dan kota Sumoroto
memang cukup jauh, tetapi hanya dukun itu satu-
satunya yang dapat dianggap mumpuni untuk
mengatasi permasalahan gawat seperti sekarang ini.
Sesampai di depan rumah Mbah Dukun Mantri Jopo-
montro di perbatasan kota Sumoroto, terlihat seorang
tua nampak sudah menunggu kedatangan suami-isteri
Kartosentono itu di pintu depan rumahnya dengan dite-
mani seorang pembantu laki-laki muda mungkin masih
keluarganya sendiri. Rupanya ia mempunyai ilmu
tinggi yang dapat membaca isyarat bakal ada tamu yang
akan datang, maka ia telah bersiap diri berdiri di depan
rumah yang bercat coklat tua itu begitu dokar yang
ditumpangi Pak Kartosentono tiba.
"Cepat bawa ke sentong kiri, sudah saya siapkan lulur
untuk menahan keluarnya kekuatan jahat dari dalam,"
perintah Mbah Dukun Mantri begitu dokar itu berhenti
tepat dihadapannya. Tanpa banyak tanya Trimo dibantu
Waijah, dan laki-laki muda di samping Mbah Dukun
Mantri Jopomontro itu segera memapah tubuh Pak Kar-
tosentono yang sudah dingin itu. Beberapa saat tubuh
itu terbujur diatas dipan kayu yang beralas tikar mendong.
Seluruh badan Kartosentono dilulur oleh Mbah Dukun
Mantri Jopomontro sambil mulutnya komat-kamit
membacakan mantra jampi-jampi.
Agaknya, nyawa Pak Kartosentono sudah tidak ter-
tolong lagi. Serangan kekuatan tenaga jahat itu begitu
kuatnya dan dengan cepat telah menguasai seluruh
tubuh Kartosentono. Mbah Dukun Mantri berusaha
membendung dari celah-celah Pori-pori yang masih ada
antara permukaan kulit dan daging tubuh itu untuk
menahan kekuatan dahsyat itu tetapi rupanya usaha
Mbah Dukun Mantri Jopomontro itu tidak membawa
hasil, masih kalah cepat dengan serangan kekuatan itu.
Maka, ajal telah tiba merenggut nyawa Pak Kartosen-
tono. Pedagang hasil bumi dari Dukuh Bubadan yang
kaya itu meninggal dipelukan isterinya yang cantik
jelita, Waijah Sarirupi yang tangisnya tersedu-sedu
menahan duka.
"Maafkan Mbah, Waijah," kata Mbah Dukun Mantri
Jopomontro, "Aku tidak berhasil mengejar datangnya
kekuatan penyerang itu."
"Ap..apa yang menyebabkan kematian suami hamba,
Mbah," kata Wajjah di tengah isak tangisnya.
"Tenangkan dirimu, Waijah. Suamimu tersambar
terung yang sedang lewat" kata Mbah Dukun Mantri
Jopomontro sambil memegang tubuh Wajjah Sarirupi
yang langsung ambruk mendekap jasad suaminya itu.
Walaupun Mbah Dukun Mantri Jopomontro sebenarnya
tahu apa yang menyebabkan kematian suami Wajah
Sarira gaku KE rain dari ninuman yang berasal dari
gelas minuman yang telah disiapkan di pesta makan
Kadipaten tadi. Racun yang telah diberi jampi-jampi itu
menyerang kuat setelah beberapa saat kemudian. Tetapi
hal itu tidak disampaikan kepada Waijah Sarirupi, ia
hanya mengatakan bahwa yang menyebabkan kematian
itu ada serangan kekuatan tenung yang sedang lewat di
jalan secara tidak sengaja menyerang tubuh suaminya
itu.
Setelah dimandikan, jasad Pak Kartosentono itu dirawat
dengan baik untuk dibawa pulang ke Dukuh Bubadan.
Para tetangga dan handai taulan ramai mengiringi
jenasah untuk mengantar ke peristirahatan) terakhir
pedagang hasil bumi yang gigih itu. Saarin
isterinya yang cantik jelita itu dan seorang bocah
nama Joko Tole yang belum tahu banyak apa yang baru
menimpa ayahandanya itu.
5
PENOLAKAN
WAIJAH SARIRUPI kini telah menjadi janda sejak
ditinggal mati oleh suaminya Pak Kartosentono
beberapa waktu yang lalu. Belakangan ini, ia kelihatan
dengan sangat terpaksa mengurus usaha dagangnya
untuk mempertahankan hidupnya. Meneruskan usaha
dagang hasil bumi peninggalan suaminya.
Setelah kematian suaminya itu, Waijah Sarirupi seakan-
akan tidak mempunyai semangat hidup lagi. Perasaannya
tidak pernah tenteram. Walaupun sudah banyak laki-
laki yang berusaha mendekati, untuk mengambil hati
ingin menjadikan isteri. Demikian juga tidak sedikit
yang nekat telah mengajukan lamaran. Akan tetapi sam-
Pai berita terakhir nampaknya belum ada seorang pun
yang diterima lamarannya.
Dalam hati kecil Waijah Sarirupi mengatakan bahwa
yang menyebabkan kematian suaminya waktu itu,
diperkirakan lantaran minuman suguhan di pesta Kadi-
paten malam itu, Ia, sepintas sering menangkap isyarat
yang tidak beres dari pancaran mata Kanjeng Gusti Adipati,
sepertinya terlintas ada rasa kebencian kepada
suaminya. Walaupun kelihatan bersikap ramah, dan
memperlihatkan senyum manis dihadapannya, namun
naluri seorang wanita tidak mudah diperdaya,
sepertinya ada maksud-maksud tertentu yang di-
rasakan agak janggal. Demikian juga secara sepintas,
ada semacam kilatan mata terpancar aneh yahg
beberapa kali tertangkap Waijah, agaknya Kanjeng
Adipati itu sedang memendam rasa birahi kepadanya.
Ketika malam di acara pesta di Kadipaten itu,
sebenarnya Waijah Sarirupi sempat memperhatikan
warna gelas yang diminum suaminya waktu itu.
Warnanya agak lain dari gelas-gelas yang disediakan
untuk tamu-tamu yang lain. Nampak keruh kebiru-
biruan. Dan sepertinya ada semacam sinar kecil yang
memantul menuju ke gelas suaminya itu dari arah arca
di sudut ruangan itu. Walaupun kecurigaan itu hanya
terlintas di dalam benaknya, tetapi ia tidak berani ber-
buat apa-apa dihadapan Kanjeng Adipati. Jangankan
mau memprotes, kalau pun tiba-tiba kehormatannya
pun diminta seketika itu, perempuan seperti Waijah
Sarirupi itu tidak kuasa untuk menolaknya.
Berita kematian Pak Kartosentono telah sampai ke Kadi-
paten. Setelah satu minggu dari upacara penguburan
Pak Kartosentono, datang utusan dari Kadipaten yang
meminta Wajjah Sarirupi untuk menghadap ke Kadi-
paten Ponorogo dengan alasan untuk memperbarui
surat-surat kios pasar yang sebelumnya atas nama
suaminya akan diubah menjadi nama Waijah Sarirupi
sebagai pewaris.
Kedatangan punggawa Kadipaten yang disertai
pengawalan dengan membawa kereta kencana mewah
yang dimaksudkan untuk menjemput Waijah Sarirupi
itu, tentu telah membuat heran penduduk Dukah
Bubadan. Ada apa Waijah Sarirupi sampai mau dibawa
ke Kadipaten dengan dijemput kereta kencana kadipaten
beserta pengawalan lengkap para punggawa kadi-
paten.
Dalam keadaan kebingungan, Waijah Sarirupi segera
menyuruh anak laki-lakinya yang masih bocah itu, Joko
Tole untuk memintakan pertimbangan kepada Warok
Wirodigdo. Sepulang menemui Warok Wirodigdo bocah
laki-laki itu melaporkan hasil pembicaraannya dengan
Warok Wirodigdo kepada Ibunya.
"Menurut Eyang Guru Wirodigdo, Ibu tidak apa-apa
pergi ke Kadipaten untuk mengurus soal surat-suratizin
kios pasar itu, tetapi jangan ikut naik kereta jemputan,
agar sebaiknya ibu pergi ke sana sendirian diantar oleh
si Kusir Trimo saja dengan menggunakan dokarnya
sendiri. Dan saya juga tidak boleh ikut mengantar Ibu",
begitu penuturan Joko Tole kepada ibunya setelah
menghadap Warok Wirodigdo.
"Baik kalau begitu. Bapak-bapak punggawa. Saya akan
segera ke Kadipaten dengan menggunakan Dokar saya
sendiri. Kalian hendaknya kembali saja dan sampaikan
kepada Kanjeng Adipati, saya segera menghadap”, begitu
jawab Waijah Sarirupi kepada para punggawa Kadi-
paten yang menungguinya sejak tadi.
Para punggawa itu, rupanya tidak ingin kena marah.
Tetap pada pendiriannya ingin membawa Waijah
Sarirupi bersamanya, lantaran mereka tidak mau
melanggar perintah. Maka diambil jalan tengah. Para
punggawa supaya pergi menunggu di jalan jauh dari
Dukuh, dan nanti beriringan membawa kendaraan masing-
masing Ке kota Kadipaten.
Sesampainya di Kadipaten, Waijah Sarirupi langsung
dibawa masuk ke ruang tengah yang mewah sebagai
ruangan kehormatan, hanya orang-orang tertentu yang
dapat diterima di ruang ini. Kanjeng Adipati sudah nam-
pak lama menunggu di sana. Surat-surat penggantian
balik nama pemilik kios pasar sudah dipersiapkan untuk
digantikan nama kepada Waijah Sarirupi. Dengan
menunjukkan sikap ingin menolong, Kanjeng Gusti
Adipati sekaligus menyampaikan keinginannya untuk
mempersunting Waijah Sarirupi, janda yang telah
ditinggal suaminya itu, agar ia bersedia menjadi isteri
keempatnya.
Waijah Sarirupi kaget dibuatnya mendengar uraian
Kanjeng Gusti Adipati yang halus pelan-pelan dalam
mengutarakan maksudnya, ingin mempersunting dirinya.
Waijah Sarirupi tidak bisa memberikan keputusan saat
itu dan memohon waktu, juga dengan alasan tidak pantas
dipandang orang kalau buru-buru menerima lamaran
laki-laki, ketika baru seminggu suaminya meninggal.
"Untuk apa lama-lama kita menunggu, Waijah. Kita toh
sudah pernah melakukan hubungan sebagaimana
layaknya suami-isteri. Demikian juga kita telah mem-
buahkan anak, padahal waktu itu suamimu masih ada.
Dan sekarang engkau sudah menjanda. Aku punya
kedudukan sebagai penguasa di daerah ini. Dulu aku
belum jadi apa-apa, semua masih menjadi milikayahku.
Jadi sekarang ini, kita dalam keadaan yang paling baik.
Aku mencintaimu. Kita telah mempunyai anak yang
harus kita bahagiakan bersama di istana Kadipaten ini.
Sementara aku tidak punya anak dari isteri-isteriku yang
lain. Anak kita itu yang akan menjadi penggantiku di
sini nanti. Pikirkan itu baik-baik Waijah. Ini demi masa
depanmu dan masa depan anak kita," bujuk Kanjeng
Gusti Adipati seperti layaknya orang yang sedang
kasmaran berat.
Waijah Sarirupi tidak bisa berkata apa-apa. la hanya
menunduk dan matanya berkaca-kaca menahan tangis.
Tiba-tiba seperti ada kekuatan gaib yang mempengaruhi
kondisi bathin Waijah Sarirupi, sehingga kemudian
menimbulkan keberanian untuk berkata tegas.
"Kanjeng Adipati yang hamba hormati. Hamba ingin
bertanya, siapa sebenarnya yang merencanakan untuk
membunuh suami hamba, Kanjeng Adipati. Apa gelas
yang diminumnya ketika pesta di sini dulu itu diberi
racun?," tanya Waijah Sarirupi tiba-tiba tanpa dinyana.
"Hah...Racun?. Siapa yang memberi racuni." pertanyaan
Waijah Sarirupi yang tidak disangka itu sempat mem-
buat gagap Kanjeng Gusti Adipati. Dan dalam hati timbul
kebingungannya, dari mana Waijah dapat informasi
itu.
"Hamba melihat sendiri. Ada semacam warna racun di
dalam gelas suamiku malam itu. Gelas minuman suami
hamba berwarna lain dari warna gelas yang disuguhkan
untuk tamu-tamu yang lain. Jadi apa maksudnya semua
ini. Kami sekeluarga telah memberikan pengabdian
kepada Kanjeng Gusti Adipati. Bahkan ketika Kanjeng
Gusti Adipati meminta pengorbanan hamba pun,
hamba bersedia menyerahkan kehormatan hamba.
Suami hamba pun rela mengorbankan isterinya demi
untuk kepentingan Kanjeng Gusti Adipati, Demikian
juga hamba pun patuh memenuhi yang Kanjeng Gusti
minta. Mengapa masih meminta pengorbanan nyawa
suami hamba. Laki-laki yang baik hati itu," kata Waijah
Sarirupi tegas dengan air mata yang berlinang ingat
akan sikap baiknya yang selalu ditunjukkan kepadanya.
"Jangan...jangan tuduh yang macam-macam Waijah.
Aku tidak tahu apa-apa, Soal kematian suamimu itu
menurut penuturan Tabib Kadipaten, adalah mati wajar.
Ada serangan awan jahat di tengah perjalanan kalian
malam itu. Engkau sendiri katanya yang telah mem-
bawa ke Dukun Sumoroto. jadi siapa yang membunuh,
saya tidak tahu. Kalau ketahuan ada pembunuhnya
akan saya usut, dan akan aku ganjar hukuman berat. Ini
janjiku kepadamu, Waijah," ujar Kanjeng Gusti Adipati
nampak berwajah serius. Namun dalam hati juga timbul
keheranan terhadap kejelian perempuan ini yang keli-
hatannya mempunyai kekuatan tanggap sasmito yang
mampu melihat hal-hal yang tidak tertangkap oleh
indera manusia biasa. Dan ini yang lebih menarik bagi
Kanjeng Gusti Adipati, makin penasaran saja untuk
cepat-cepat memiliki perempuan kampung yang molek
penuh daya tarik ini.
"Kanjeng Gusti Adipati, kalau demikian hamba mohon
ampun, dan mohon diri untuk kembali pulang."
"Jangan dulu pulang. Jangan buru-buru pulang, Waijah.
Waktuku banyak sekali untuk menerimamu di sini. Aku
sangatsenang engkau ada disini. Sungguh, Waijah. Hari
ini aku sangat bahagia engkau berada di sini."
"Tetapi kalau sekiranya, Kanjeng Gusti Adipati sudah
tidak ada perlu lagi memanggil hamba kemari. Ijinkan
hamba berpamit pulang,"
"Waijah, engkau sangat aku perlukan di sini. Aku san-
gat membutuhkanmu. Anggap saja di siri ini semua ruma-
hmu sendiri. Engkau pulang ke rumahmu ini; Baiknya
tenangkan hatimu. Aku akan menemanimu. Waktuku
sangat berharga bersamamu di sini. Engkau mau minum
apa, ada anggur enak dari Majapahit. Bagaimana, sebentar
aku ambilkan," Adipati itu segera mengangkat kaki dan
mengambilkan sendiri minuman anggur yang kemu-
dian diminum bersama Waijah Sarirupi. Walaupun
sebenarnya Waijah ingin menolak pemberian minuman
itu, tetapi lantaran tenggorokannya juga merasa kering
merasa kehausan terpaksa diterimanya pemberian
minuman itu, Ia bersama Kanjeng Gusti Adipati yang
nampak hatinya sedang berbunga-bunga karena dapat
berbincang dengan perempuan secantik Waijah Sarirupi
ini, kelihatan sering gugup begitu nampak sangat
dimanjakan Kanjeng Gusti Adipati.
"Bagaimana keputusanmu, Waijah. Apa engkau
bersedia menerima lamaranku tadi agar kita tiap hari,
tiap malam kita selalu bisa menikmati hidup ini ber-
sama."
"Hamba belum bisa menjawab sekarang. Nanti kami
akan haturkan jawabannya kepada Kanjeng Gusti Adipati"
"Ohh, begitu. Ya... tapi jangan lama-lama ya," kata Kanjeng
Gusti Adipati nampak puas dengan wajah berseri-seri.
"Tetapi engkau tidak keberatan bukan, kalau aku ingin
menciummu, Waijah."
Waijah Sarirupi tidak menjawab hanya menundukkan
kepalanya, dan Kanjeng Gusti Adipati itu pun nampak
dengan penuh hormat mencium kening Waijah Sarirupi
vang rupawan berkilau itu,
6
GEMBLAKANN
HARI demi hari telah berlalu. Minggu silih berganti
telah berjalan hampir lima tahun, Waijah Sarirupi terus
menghindar dari lamaran Kanjeng Gusti Adipati yang
masih penasaran mengubernya untuk menjadikan dirinya
sebagai isterinya ita. Namun selalu mendapat jawaban
dari Waijah Sarirupi “Sabarlah Kanjeng Gusti Adipati.
Hamba sedang mempertimbangkan. Mohon waktu,"
demikian kata-kata yang selalu keluar dari mulut Waijah
Sarirupi ketika tiap kali dipanggil ke Kadipaten untuk
ditanya mengenai jawaban terhadap lamaran Kanjeng
Gusti Adipati Raden Mas Sumboro Mukti Wibowo yang
sudah tertunda-tunda bertahun-tahun itu.
Tiap malam Waijah Sarirupi tidak bisa tidur apabila ia
ingat akan kematian suaminya Pak Kartosentono, dan
juga menjadi semakin bingung menghadapi desakan
lamaran Kanjeng Gusti Adipati yang tiap kali selalu
menanyakan itu. Kalau sudah demikian ia biasanya lalu
bersemedi di ruang sentong kiri, samping rumahnya
berlama-lama memohon petunjuk kepada Sang Hyang
Tunggal penguasa alam semesta ini.
Anaknya laki-laki, Joko Tole, anak kecil yang masih
bocah belum tahu apa-apa, kemudian ia pun ikut
bersedih sejak sepeninggal Bapaknya, Pak Kartosentono
beberapa tahun yang lalu ketika ia masih bocah. Tetapi
ia tidak pernah tahu, ada misteri apa di balik dirinya dan
kesedihan Ibunya yang berlarut-larut itu. Ia hanya ikut
prihatin atas perubahan sikap ibunya yang sering
menangis sendirian yang juga mulai tidak memperlihatkan
kegembiraan hidupnya. Perubahan yang terjadi atas diri
Ibunya itu diceriterakan kepada Warok Wirodigdo yang
beberapa tahun terakhir ini diam-diam telah memper-
lakukan bocah Joko Tole sebagai gemblakannya.
Selain dijadikan gemblakan, bocah Joko Tole sendiri
menganggap Warok Wirodigdo sebagai gurunya yang
telah mengajarkan ilmu-ilmu kekuatan bathin dan
kanuragan kepada dirinya, sehingga ia pun sangat
menyayangi Warok Wirodigdo yang perkasa itu diang-
gap seperti layaknya bapaknya sendiri,
Kebiasaan yang harus dijalani seseorang yang telah dijadi-
kan gemblakan utamanya adalah menemani tidur orang
yang memungutnya sebagai gemblakan itu. Oleh
karenanya, antara Warok Wirodigdo dan Joko Tole
sudah seperti hidup bagaikan pasangan "suami-isteri",
walaupun berbeda umur yang sangat jauh, boleh dibilang
Seumur eyang buyutnya.
Pantangan kawin merupakan salah satu tradisi para
Warok dalam salah satu aliran yang dipercaya oleh
warok-warok tertentu, walaupun ada pula aliran ilmu-
ilmu lain yang dikuasai oleh Warok lainnya lagi yang
tidak selalu mengharuskan pantang kawin ini. Untuk
menggantikan fungsi isteri itu, biasanya seorang Warok
mengambil anak laki-laki yang ganteng untuk dijadikan
"isterinya" yang disebutnya gemblakan. Mengangkat
gemblakan ini merupakan kebanggaan bagi seseorang
Warok tertentu yang merasa makin mantab kedudukan
kewarokannya apabila telah mampu memelihara gem-
blakan ini. Kepemilikan gemblakan ini juga dianggap
akan mengangkat gengsinya di mata masyarakat sebagai
orang yang "mampu" menyantuni gemblakan yang ada
hubungannya dengan soal harta dan martabat, sebab
seorang gemblakan yang dipeliharanyaitu pada waktu-
waktu tertentu selalu harus diberinya hadiah-hadiah,
biasanya berupa hewan, kambing, anaksapi (pedet), sapi,
kerbau, dan lain sebagainya.
Selama Joko Tole menjadi gemblakan Warok
Wirodigdo, ia pun rupanya tidak meninggalkan kebiasaan
berpakaian ala gemblakan yang telah melekat sebagai
adat-istiadat masyarakat setempat. Hal itu juga mem-
buat kebanggaan bagi warok yang memeliharanya,
martabatnya akan menjadi naik lantaran dapat mem-
berikan pakaian seragam yang menjadi ciri-ciri gem-
blakan yang bergengsi, antara lain Joko Tole diberi
ikatan latar putih seperti layaknya seorang temanten,
memakai pakaian hitam model jas bukakan dengan memakai
Pakaian putih atau merah muda diberi variasi kaos lengan
pendek, celana hitam sebatas bawah dengkul dibelek
dengan ditempeli strip merah, membawa sarung batik
latar putih. Tiap saat Joko Tole dengan pakaian seragamnya
itu diajak jalan-jalan Warok Wirodigdo untuk
dipamerkan kepada masyarakat umum sebagai kebang-
gaan seorang warok yang memiliki gemblakan yang
dapat dipertunjukkan. Kebiasaan kehidupan sebagian
para Warok ini dianggapnya sebagai sangat bergengsi.
Memang umumnya, anak yang dijadikan gemblakan itu
biasanya dari orang tuanya yang miskin. Atau diambilkan
dari anak keluarga miskin yang sedang dirundung
kesusahan. Kemudian karena terpepet ekonomi, ia
merelakan anak bocah laki-lakinya yang disayanginnya
itu diambil jadi gemblakan oleh seorang Warok yang
tersohor dan disegani masyarakat di daerahnya dengan
imbalan akan menerima sejumlah pemberian dari
Warok yang memeliharanya itu biasanya berupa pedet,
anak sapi kalau si gemblakan sudah ikut Warok yang
bersangkutan sekitar satu tahun. Namun lantaran
hubungan yang baik saja antara keluarga orang tua Joko
Tole dengan Warok Wirodigdo, maka yang terjadi nam-
paknya lebih pada sikap suka sama suka. Tidak ada
hitungan imbalan apa-apa. Saling membutuhkan saja,
dan saling hormat-menghormati sesamanya.
Suatu sore hari kedua laki-laki itu, yang satu sudah tua
berusia lanjut dan yang satunya masih bocah belia nampak
sedang ngobrol santai diberanda depan rumah Warok
Wirodigdo yang terbuat dari bambu dan sebagian dari
ukiran kayu jati. "Aku kesal sekali waktu itu kepada
Bapakmu, Joko," kata Warok Wirodigdo membuka pem-
bicaraan, "Sudah aku nasehati jangan pergi malam itu,
aku telah menangkap isyarat kekuatan jahat yang bakal
terjadi menimpa kepada Bapakmu. Tetapi Bapakmu
tidak menggubris nasehatku, Ia lebih mementingkan
untuk mengejar harta. Nafsu terhadap kekayaan itu
yang sering membuat dirinya lupa untuk menjaga kese-
lamatan dan martabat keluarga. Bahkan ia sering lupa
memberikan pengamanan kepada ibumu. Demikian
juga sampai-sampai ia teledor memberikan penga-
manan terhadap dirinya sendiri. Jadi kematian Ba-
pakmu itu sudah menjadi bagian dari rencana hidupnya.
Ia sendiri yang membuat demikian itu. la yang seakan-
akan telah menggali lubang kuburnya sendiri. Kasihan
ibumu yang telah memberikan pengorbanan banyak.
Apa saja yang dimaui Bapakmu, selalu dituruti oleh
ibumu," demikian suatu sore, Warok Wirodigdo berceritera
kepada Joko Tole.
"Sekarang, apa yang bisa saya perbuat terhadap Ibuku,
Eyang Guru," tanya Joko Tole.
"Kamu harus bisa menjaga Ibumu. Biarkan, aku juga
telah "menutup jalan masuk" bagi serangan kekuatan
jahat yang ingin masuk mempengaruhi kekuatan bathin
Ibumu dari jauh sini. Tugasmu Joko, kamu harus
mampu mempelajari dengan tekun, secara terus-
menerus ilmu-ilmu yang telah aku turunkan kepadamu.
Kamu harus bisa menguasai semua ilmuku, sebelum ajal
memanggilku," ujar warok Wirodigdo.
"Matur nuwun. Terima kasih, Eyang Guru."
Setelah berbincang lama dengan Joko Tole, tidak berapa
lama Warok Wirodigdo kemudian bersemedi lama
sekali, Warok Wirodigdo sedang berusaha keras untuk
melepaskan semua susuk yang selama ini ditanam
dalam sekujur tubuhnya berupa besi baja dan kuningan,
semua benda keras itu yang dapat menahan serangan
Jawan terhadap tusukan benda tajam, bacokan, atau senjata
tajam lainnya, sehingga membuat Warok Wirodigdé
selama ini menjadi manusia yang tidak tedas bacok.
Barangkali kini, Warok Wirodigdo sudah mulai merasa
bahwa umurnya tidak akan lama lagi, maka kemudian
ia melakukan upacara pelepasan susuk itu agar
memudahkan jalan menuju ajal apabila memang saatnya
telah dikehendaki oleh Sang Hyang Tunggal.
Semula semua susuk itu akan diwariskan kepada Joko
Tole, tetapi kemudian setelah dipertimbangkan,
mengingat usia dan pengalaman hidup Joko Tole yang
masih bocah belum waktunya menerima kekuatan susuk
yang memerlukan kemampuan diri untuk merawatnya
itu agar tidak menjadi senjata makan tuan yang bisa
membinasakan diri sendiri apabila yang memakainya
belum kuat benar. Oleh karena itu kemudian, kekuatan
susuk itu dilepas oleh Warok Wirodigdo tanpa ada
pewarisnya. Entah siapa nanti yang akan menemukan
kekuatan yang ada pada susuk itu.
Waijah Sarirupi, ibu kandung Joko Tole, ketika semalaman
bersemedi di kamar rumahnya, merasa ada kekuatan
gaib yang mendatanginya. Kekuatan itu berusaha menguasi
dirinya, dan ingin memasuki jiwa raganya. Warok
Wirodigdo, segera prayitno, kekuatan susuk yang baru
dilepaskan itu berusaha berpindah kepada diri Waijah
Sarirupi, ternyata kekuatan itu mendapatkan tolakan
keras yang terpancar dari diri Waijah Sarirupi. Hampir
saja akan terjadi pergumulan kekuatan kalau tidak
segera diambil kembali oleh Warok Wirodigdo, apabila
terlambat mungkin akan membawa cilaka, kematian
bagi Waijah Sarirupi yang tidak kuat menahan
datangnya kekuatan dahsyat itu. Tolakan kekuatan itu
yang kemudian dikendalikan oleh Warok Wirodigdo
lagi untuk dicarikan pangkalan kekuatan pada orang
lain yang lebih kuat dan dinilai orang tersebut mempunyai
moral yang baik agar kelak kekuatan itu tidak
digunakan secara sembarangan.
Dalam semedinya itu, tiba-tiba setelah berkeliling untuk
mendapatkan orang yang tepat untuk memindahkan
kekuatan itu, terlintas gambaran seseorang perkasa
yang malam itu juga sedang melakukan semedi. Orang
itu adalah Warok Wulunggeni yang ketika melihat pan-
caran sinar mendatanginya, ia segera waspada dan
tanpa banyak sikap kekuatan dahsyat itu disambarnya,
ditangkapnya dan disimpan pada dirinya.
Warok Wulungggeni yang sedang bersemedi itu
kini mendapatkan tambahan kekuatan baru yang
ditarik dari kekuatan yang dilepas oleh Warok
Wirodigdo itu.
Waijah Sarirupi yang merasa semedianya mendapatkan
gangguan-gangguan dari berbagai kekuatan yang silih
berganti, tiba-tiba ia mendapatkan petunjuk untuk
meneruskan semedinya itu untuk mendatangi sebuah
Pertapaan di lereng Gunung Lawu. Maka, akhirnya ia
memutuskan untuk memilih pergi bertapa ke Gunung
Lawu itu. Hal itu secara tidak langsung merupakan
keputusan untuk menolak lamaran Kanjeng Gusti Adipati
yang dinilai berhati jahat sebagai pembunuh suaminya.
Sedangkan anak bocah yang ditinggalkan, Joko Tole,
yang sedang tekun berguru kepada Warok Wirodigdo
yang tidak punya isteri dan anek itu, dibiarkan terlantar
begitu saja. Dalam hati Waijah berkata "Mudah-mudahan
Kangmas Warok Wirodigdo mau mengangkat anak
pada si Tole ini. Anak ini sebagai anak haramnya Adipati
si mata keranjang itu. Manusia pembunuh itu," tukasnya
dalam hati sambil memandangi anaknya yang sudah
menginjak remaja itu ditinggalkan dalam keadaan tidur
pulas di amben kamar depan rumah besar itu.
7
AWAL PENGEMBARAAN
SEJAK ditinggal pergi ibunya, Joko Tole, hidupnya
Saas dirundung gelisah. Gurunya Warok
Wirodigdo yang dibanggakan selama ini dan sudah
dianggap seperti layaknya orang tuanya sendiri, atau
bahkan lebih diperlakukan seperti eyangnya sendiri,
tidak lama kemudian juga menyusul meninggal dunia
karena umurnya yang sudah tua renta itu. Tetapi
sebelum meninggal, Warok Wirodigdo sempat menu-
runkan ilmu-ilmu andalannya kepada Joko Tole yang
masih bocah itu, juga setumpuk buku-buku pelajaran
berharga mengenai ilmu kanuragan dan olah batin
tingkat tinggi.
Joko Tole, walaupun masih terhitung anak bocah
ingusan yang baru berumur sekitar sembilan. tahun,
lama-lama karena Joko Tole dikenal masyarakat di karn-
pung itu memiliki kemahiran menguasai ilmu kanuragan
dan olah batin hampir setangguh gurunya Warok
Wirodigdo, walaupun sebenarnya ilmu yang dikuasai
Joko Tole itu baru permulaan, baru dasar-dasarnya saja,
namun kemudian oleh masyarakat ia sering dimintai
tolong untuk membantu segala rupa urusan yang
menimpa penduduk di Dukuh Bubadan itu. Namun,
tidak lama kemudian Joko Tole, diam-diam meninggalkan
kampung halamannya itu pergi berkelana dengan
tujuan untuk mencari ibunya yang telah meninggalkannya.
Selain itu terlintas dalam benaknya, ia ingin mengenal
ayahnya yang sesungguhnya itu siapa. Menurut penu-
turan Warok Wirodigdo sebelum menghembuskan
nafas penghabisan sempat membeberkan rahasia
hidupnya. Menceriterakan mengenai asal-usul diri Joko
Tole yang sebenarnya, akan tetapi tidak terlalu lengkap
terutama misteri siapa ayah kandungnya yang
sebenarnya. Belum sempat terungkap lengkap.
"Muridku Joko Tole," begitu kata Warok Wirodigdo
menjelang ajalnya ketika itu, "Engkau boleh bersedih
ditinggal ibumu Waijah Serirupi, dan carilah beliau sampai
engkau dapatkan. Akan tetapi,engkau seharusnya tidak
perlu terlalu bersedih ditinggal bapakmu Kartosentono.
Sebab, ia sebenarnya bukan bapak kandungmu sendiri.
Bapak kandungmu sendiri sebenarnya masih hidup.
Dan...dan...dan...cari..iilah...ia. Mintailah. Min...min-
tailah. Ia..tanggung...jawabnya. Bap...bapak...bapakmu,
nama...manya.." Warok Wirodigdo sudah tidak sanggup
lagi meneruskan kata-katanya untuk menyebut nama
ayahanda sesungguhnya dari Joko Tole. Kemudian
keburu meninggal dunia.
Para penduduk Dukuh Bubadan segera merawat dan
mengebumikan jenasah Warok Wirodigdo dengan baik
dan penuh penghormatan. Almarhun adalah orang
yang semasa hidupnya sangat dihormati penduduk.
Oleh karena itu ketika jenazahnya diiring untuk dibawa
ke makam, ia diparlakukan penduduk sebagaimana
layaknya menghormati meninggalnya seorang
pahlawan besar di dukuh Bubadan itu. Semua merasa
kehilangan. Beliau yang selama hidupnya ini dijadikan
agul-agulan penduduk Dukuh Bubadan, sebagai pelindung
dukuh itu dari ancaman kejahatan orang-orang liar, kini
pelindung dukuh itu telah tiada. Keprihatinan ini yang
dirasakan oleh warga pedukuhan sekarang ini.
Sejak seperinggal Warok Wirodigdo, Joko Tole sering
termangu sendirian. Ia berusaha menafsirkan kata-kata
terakhir Warok Wirodigdo. Joko Tole pun juga hanya
kebingungan sendiri ditinggal mati guru yang
dicintainya itu. Guru yang pada akhir hayatnya telah
meninggalkan wasiat yang merupakan teka-teki hidupnya
mengenai nama bapaknya yang masih misterius itu.
"Jadi berarti ayahandaku sebenarnya bukan Pak Karto-
sentono yang selama ini aku kenal sebagai ayah kan-
dungku sendiri. Oleh karena itu berarti Ibu dan Bapakku
sebenarnya masih hidup semua. Tetapi siapa nama
Bapakku. Aku harus bertanya kepada siapa. Bagaimana
aku bisa mengetahui dimana Bapak-Ibuku itu kini
berada. Aku harus mencari kedua orang tuaku itu. Aku
harus berguru ilmu kebathinan yang lebih mendalam
untuk memberikan petunjuk yang benar," kata Joko Tole
dalam hati.
Kemudian, Joko Tole diam-diam tanpa berpamitan
kepada orang kampung, pagi-pagi buta telah berangkat
meninggalkan perkampungan penduduk Dukuh
Bubadan itu menuju kearah barat dengan berjalan kaki.
Hanya berbekal secukupnya di atas kampluk yang
menggelantung di pundaknya.
Laporan mengenai kepergian Waijah Sarirupi dan
anaknya Joko Tole itu telah sampai kepada Karjeng
Gusti Adipati di keraton Kadipaten Ponorogo. Seketika
itu pula Kanjeng Gusti Adipati menjadi lemas mendengarnya.
"Bagaimana menurut hemat Eyang Empu Tonggreng
mengenai hal ini,” kata Kanjeng Gusti Adipati kepada
penasehat spiritualnya yang senior itu, "Saya ingin
membahagiakan perempuan kampung janda Kartosen-
tono itu dan ingin menunjukkan rasa tanggung jawabku
terhadap anak bocah itu, akan tetapi mereka berdua
malahan memutuskan untuk lari kabur tidak tahu. rimbanya.
Tidak jelas kemana mereka perginya. Saya benar-benar
tidak mengerti, apa yang sekiranya diinginkan perem-
puan itu. Dan anak bocah itu katanya juga tiba-tiba
menghilang tanpa satu orang pun di kampung itu
mengetahui keberadaan mereka berdua. Saya sangat
prihatin terhadap kejadian ini semua, Eyang Empu
Tonggreng, Jadi bagaimana sebaiknya."
"Kanjeng Gusti Adipati," kata Empu Tonggreng, orang
yang sangat mengetahui semua awal mula kejadian ini,
"Sudah selayaknya Kanjeng Gusti Adipati berbuat banyak
kebaikan kepada mereka itu. Baik terhadap ibu maupun
anaknya itu. Tetapi barangkali mereka salah menerima.
Salah paham. Salah sangka. Mereka tidak mengerti maksud
baik Kanjeng Gusti Adipati. Oleh karena itu, sebaiknya
Kanjeng Gusti Adipati menyelenggarakan sayembara
saja. Hal itu barangkali agar kita mendapatkan bantuan
pencarian dari para warga yang mengetahui keberadaan
mereka berdua, Dengan diumumkan adanya sayembara
ini, diharapkan dengan sendirinya, semua orang tahu
dan dengan mudah akan mendapatkan keterangan
mengenai keberadaan mereka berdua. Kita perlu siapkan
bahan-bahan untuk sayembara itu, terutama mengenai
jati diri mereka berdua itu agar ketika orang-orang
mengetahui atau berpapasan langsung dengan Waijah
Sarirupi dan anaknya Joko Tole dengan ciri-ciri mereka,
masyarakat akan dengan mudah mengenalinya di mana
pun beradanya kedua orang itu."
Kanjeng Adipati berpikir sejenak.
"Sebentar Eyang Tonggreng. Apakah akan baik, kalau
hubunganku dengan janda dan anaknya itu sampai
tersebar di masyarakat. Itu kan tidak pantas diketahui
oleh umum tho, Eyang Tonggreng. Mengenai kejadian
ini kan seyogiyanya harus dirahasiakan rapat-rapat
thoo, Eyang Tonggreng. Kalau kejadian ini sampai
diketahui oleh masyarakat banyak, apakah hal ini tidak
akan bisa menimbulkan aib dan meruntuhkan
kewibawaanku sebagai Adipati, tho Eyang Tonggreng.
60
Kalau dulu aku masih belum menjabat Adipati, masih
dijabat oleh ayahku. Sekarang ini kedudukanku kan
lain, Eyang Empu Tonggreng,"
"Ya, Ya. Memang dalam perkara ini Kanjeng Gusti Adipati
harus hati-hati."
"Ya, itulah, Eyang. Apakah mungkin rahasia ini akan
mudah diketahui oleh masyarakat: Mengapa Adipati
sampai begitu menaruh perhatian besar atas hilangnya
seorang perempuan kampung dan anaknya. Apakah
tidak akan menimbulkan tanda tanya masyarakat, jangan-
jangan anak itu anak haramnya Adipati, dan itu tentu
akan sangat memalukan saya, Eyang Tonggreng."
"Untuk berbuat baik sesamanya itu, tidak perlu takut
terhadap rasa malu itu, Kanjeng Gusti Adipati."
"Tetapi ini akan menyangkut wibawa kedudukanku
sebagai seorang Adipati. Masyarakat akan bertanya.
Ada apa dibalik peristiwa ini semua. Jangan-jangan Adipati
ada main. Walaupun hal ini merupakan upaya sebagai
rasa tanggung jawab saya terhadap peristiwa masa
laluku, Eyang Tonggreng."
"Kejadian antara Kanjeng Gusti Adipati dan perempuan
kampung itu bukan sekarang, atau kemarin lusa tho,
Kanjeng Gusti Adipati. Akan tetapi sudah beberapa
tahun yang silam sebelum ada pengangkatan terhadap
diri Kanjeng Gusti Adipati. Orang dapat memaklumi
darah muda yang mengalir pada diri Kanjeng Gusti
Adipati pada waktu itu ketika pertama kali melihat
perempuan cantik jelita, Ajeng Roro Waijah Sarirupi di
kampung itu. Siapa bisa mengingkari hal ini. Oleh
karena itu, menurut hamba, tidak ada pengaruhnya
terhadap kedudukan Kanjeng Gusti Adipati. Tidak
akan menggoyahkan kewibawaan kedudukan Kanjeng
Gusti Adipati, justeru orang akan menilai, bahwa Kanjeng
Gusti Adipati orang yang mau bertanggung jawab
terhadap apa-apa pun yang pernah dilakukan di masa
lalu. Demikian juga orang akan menilai bahwa Kanjeng
Gusti Adipati sangat jujur terhadap masa lalunya. Apa
pun masa lalu itu, baik atau buruk. Begitu menurut
hemat hamba. Namun keputusannya sepenuhnya kan
terserah kepada Kanjeng Gusti Adipati."
Setelah Karjeng Gusti Adipati mendengar nasehat dari
Empu Tonggreng sebagai sesepuh yang dekat dengannya,
dan juga orang yang mengetahui kejadian malam itu di
Dukuh Bubadan, maka kemudian Kanjeng Gusti Adipati
nampaknya dapat menerima alasan-alasan yang
dikemukakan oleh Empu Tonggreng itu. Beliau pun
kemudian mengambil keputusan untuk mengu-
mumkan segera penyelenggaraan sayembara kepada
warga siapa saja yang dapat berhasil menemukan Waijah
Sarirupi dan Joko Tole, mereka akan diganjar anugerah
dan mendapatkan hadiah yang setimpal.
Berita mengenai sayembara ini dalam waktu singkat
telah tersebar ke seluruh pelosok di kampung-kampung.
Namun agaknya kurang mendapatkan peminat.
Lantaran dianggapnya tidak lazim. Sayembara mencari
seorang perempuan dewasa dan anaknya yang sudah
remaja. Dianggap tidak menarik. Kalau sayembara adu
tanding, atau pekerjaan-pekerjaan yang menantang penuh
kekerasan mungkin malahan akan lebih menarik dan
akan mendapatkan peminat dari masyarakat Ponorogo -
yang memang mempunyai tradisi kekerasan seperti itu.
8
SALAH PAHAM
Setelah berbulan-bulan, kemudian berganti bertahun-
tahun yang ketika Joko Tole meninggalkan Dukuh
Bubadan baru anak-anak bocah berumur sekitar sebelas
tahun, pergi mengembara dengan tujuan untuk mencari
orang tuanya, kemudian agar memudahkan pencariannya,
juga dimaksudkan supaya kedua orang tua yang
aka itu tidak menghindar darinya, maka ia
emudian memutuskan untuk berganti nama menjadi
Joko Manggolo. Ia tahu bahwa kepergian ibunya juga
ada hubungannya untuk meninggalkan dirinya. Oleh
karena itu ia harus menyamarkan jati dirinya.
Kalimat terakhir yang diucapkan oleh gurunya Warok
Wirodigdo ketika itu Joko Manggolo baru berumur
sepuluh tahun yang mengatakan ayahnya masih hidup
itu merupakan misteri yang harus dipecahkan.
"Mungkinkah, ibu kandungku mau meninggalkan aku
begitu saja tanpa sebab-sebab yang masuk akal.
Mungkin ia membenciku lantaran aku bukan anak
kandungnya sendiri. Bisa-bisa Ibu Waijah Sarirupi yang
selama ini aku kenal sebagai ibu kandungku sendiri
ternyata ia ibu angkatku. Demikian juga mengenai siapa
sebenarnya ayahku. selama ini aku mengenal Pak
Kartosentono yang telah wafat itu sebagai ayah
kandungku. Akan tetapi menurut kata eyang guru
Warok Wirodigdo, Bapakku masih hidup. Jadi, berarti
bapak kandungku bukan Pak Kartosentono. Lalu,
siapakah mereka berdua itu." Begitu pikir Joko Manggolo
pada setiap saat di perjalanan pengembaraannya itu
Entah sudah berjalan berapa jauh dan berapa tahun,
mungkin sudah ada lima tahun ini, Joko Manggolo
sudah tidak menghitungnya, siang malam keluar masuk
kampung. kadang harus tidur di bulakan, di hutan, di
tepi sungai, di atas batu besar, di bawah keteduhan
dalam perjalanannya ini, ia membawa setumpuk buku-
buku pelajaran mengenai ilmu kanuragan dan ilmu olah
bathin yang ditinggalkan oleh Warok Wirodigdo,
sehingga ia merasa tidak jemu-jemunya lantaran di tiap
kesempatan ia selalu berlatih dan mempraktikan iimu-
ilmu yang ada dalam buku-buku itu, kadang ia harus
belajar mengamati gerakan-gerakan binatang-binatang
buas yang ditemui ketika berkelahi melawan mang-
sanya di hutan, hampir mirip dengan pelajaran gerakan-
gerakan ilmu kanuragan yang tertulis dalam buku pela-
jaran berharga yang kini menjadi kekayaan satu-satunya
baginya.
Siang itu ia menyebarangi tanah kosong, bulakan panjang
yang bergelombang penuh tanah-tanah gundukan, Joko
Manggolo melihat ada tanda pintu gerbang yang
menunjukkan ia telah sampai di suatu tepi dusun di kaki
Pegunungan yang berbukit-bukit. Pemandangan
pohon-pohon besar amat jarang dijumpai, hanya
terkadang ada beberapa pohon asem yang tumbuh
menjulang ke atas tidak beraturan. Joko Manggolo
kemudian berhenti di situ, mencari tempat duduk di
bawah pohon yang rindang untuk merenung. Diperha-
tikan gerakan-gerakan burung-burung elang di angkasa
ketika melakukan gerak menukik, menghempas, dan
memutar-mutaf sayapnya, kemudian ia menirukan cara
gerakan burung itu untuk menaklukkan alam
angkasanya, terciptalah jurus-jurus elang. Demikian
juga ia sering menjumpai monyet-monyet yang
berkelahi sesamanya, gerakannya begitu lincah meloncat-
loncat, ia merasa mendapatkan pelajaan dari cara gerak
monyet yang lincah itu. Sampai kepada gerakan katak
yang begitu gesit melompat melemparkan tubuhnya
kian kemari hanya untuk menangkap nyamuk yang
begitu kecil dengan juluran lidahnya. Semuanya ia telah
menambah perbendaharaan jurus-jurus ilmu kanuragan
Joko Manggolo, dan sekaligus sebagai hiburan di
perjalanan panjangnya karena tiap hari ia merasakan
mendapatkan sesuatu kehidupan dan pengalaman baru.
Dalam perjalannnya, Joko. Manggolo selalu berusaha
menghindari bertemu orang kampung-kampung yang
dilewati, hanya kalau sudah sangat terpaksa, misalnya
seharian ia tidak mendapatkan makanan, terpaksa ia
mengemis ke rumah penduduk yang dianggap mampu
sekedar memberi makan, entah singkong, jagung atau
apa saja. Ia makan dari tumbuh-tumbuhan yang dijumpai
di perjalanan, dimasak sendiri dengan kayu bakar,
kadang ia membidikkan plintengan (ketapel) sebuah
peralatan yang terbuat dari kayu kecil yang bercabang
dua, kemudian diberi alat pemantul semacam karet
yang dapat ditarik dilepas untuk melemparkan batu
keras ke arah binatang, burung-burung, atau kadang ia
hanya menggunakan seutas tali dari bahan kulit pohon
yang kemudian dijadikan alat sebagai pelempar batu
untuk senjata menangkap hewan buruannya. Hasil hewan
buruan itu kemudian ia panggang di atas kayu bakar.
Atau kadang ia menangkap ikan di kali. Semua keteram-
pilan itu yang pernah diajarkan oleh gurunya Warok
Wirodigdo ketika masih kanak-kanak dahulu ketika
suka ikut bepergian bersama. gurunya. ke hutan, atau
pergi ke sawah ladang.
Sudah sekitar lima tahun ini, tubuh dan wajah Joko
Manggolo berubah oleh tempaan alam. Ia kini menjadi
pemuda gagah, berdada bidang, dengan otot-ototnya
yang menonjol menandakan ia tiap hari hari bekerja
keras menyambung hidup. Kulitnya menjadi hitam
kelam terkena matahari tiap hari bolong. Bagi orang
lama, atau sanak keluarganya, mungkin kini kalau
menemui dia di jalan sudah tidak mengenalinya, Hanya
ia masih setia menggelantungkan sebuah kalung yang
terikat oleh tali sirat yang kuat dalam lehernya dengan
manik-manik kecil yang konon menurut pesan orang
tuanya dulu sebagai pertanda keluarga. Namun
demikian, kalung tanda keluarga itu sering pula dicopot
disembunyikan ketika ia memasuki kampung-kampung
yang kadang-kadang ia mencari kerja apa saja untuk
mendapatkan upah kepingan uang. Membelah kayu,
membantu menunai di sawah ladang, atau menjual
binatang hasil buruannya kepada penduduk kampung
yang dilaluinya. Dari sana ia terus dapat menyambung
hidupnya.
Dalam perjalanannya yang keras itu, Joko Manggolo
tidak jarang menemui banyak kesulitan, sering diejek
Oleh pemuda-pemuda yang dijumpainya di jalanan di
kampung-kampung, sejauh ini ia selalu berusaha
menghindari dari perkelahian. Namun, kadang-kadang
ia tidak mungkin lagi menghindar, sehingga ia harus
melayani perkelahian keras melawan jago-jago kam-
pung atau orang-orang yang ditemui dijalan yang salah
paham kepadanya. Nasib baiknya nampaknya masih
sering berpihak kepadanya. Ia sering memenangkan
perkelahian, walaupun dengan korban dirinya biasanya
babak-belur, dan kemudian berakhir dengan persa-
habatan dengan bekas lawannya itu.
Beberapa kali ia berusaha menguasai ilmu kesaktian
agar ia tidak mempan terhadap bacokan, tidak tedas
terhadap tusukan benda tajam, namun belum berhasil.
Dalam salah satu bukunya, memang diajarkan bagai-
mana cara memasang susuk, memasukkan benda-benda
keras dalam tubuh-tubuhnya yang penting, misalnya
perlindungan terhadap perut, dada, punggung, kaki,
muka, dan sebagainya, tetapi sejauh ini, ilmu kesaktian
itu belum dikuasai Joko Manggolo, hanya ilmu kanuragan yang
menyangkut keterampilan bertarung saja yang
nampak sudah begitu ia kuasai dengan baik. Oleh sebab
itu, sebenarnya Joko Manggolo mengharapkan untuk
memperoleh guru, orang bijaksana yang sakti mandra
guna dan mau menurunkan ilmu-ilmu kesaktiannya
kepadanya.
Dalam pengembaraannya ini, selain bertujuan mencari
kedua orang tuanya itu, ia juga berharap suatu saat
menemui seorang guru yang dapat memberikan bekal
ilmu kesaktian bagi dirinya. Dengan semangat tinggi,
dan tekad bulat, ia terus menempa dirinya, sebagaimana
pesan terakhir gurunya dahulu yang masih terus
terngiang idi telinganya : Jadilah kamu Tole sebagai
Warok Sejati".
BERSAMBUNG
Emoticon