Rangga berdiri tegak di atas puncak sebuah bukit yang cukup tinggi. Bukit
ini seperti membatasi langsung antara Desa Paringgi dengan Lembah Maut. Dari
atas puncak bukit ini bisa terlihat langsung ke arah desa. Demikian pula
lembah yang selama ini ditakuti semua orang, hingga tidak ada yang berani
masuk ke dalamnya. Bahkan untuk melewati jalannya saja, tidak ada yang sudi.
Kecuali, memang dalam keadaan terpaksa. Atau mungkin, memang ingin mati di
sana.
“Hm... tidak ada apa-apa di sana. Hanya hutan, semak, dan batu-batu saja,”
gumam Rangga perlahan, dengan pandangan terus tertuju ke arah Lembah
Maut.
Pendekar Rajawali Sakti berpaling saat mendengar suara langkah kaki menuju
ke arahnya. Tampak Pandan Wangi dan Ki Gorapati bersama sekitar sepuluh
orang anak muda, mendaki lereng bukit ini. Sebentar saja, mereka sudah
sampai di tempat Rangga berdiri.
“Sudah kau lihat mereka, Rangga?” tanya Ki Gorapati langsung, begitu tiba
di dekat Pendekar Rajawali Sakti.
“Belum. Bahkan tanda-tandanya saja tidak ada,” sahut Rangga.
“Mungkin mereka sudah tahu kedatanganmu,” selak seorang anak muda yang
berdiri di belakang kepala desa itu.
“Benar, Rangga. Mereka pasti takut oleh kedatan-ganmu,” sambung pemuda
lainnya.
Rangga jadi tersenyum. “Orang-orang seperti mereka tidak mengenal kata
takut. Bahkan nyawa mereka sendiri tidak pernah dipikirkan. Kalaupun mereka
mundur, itu hanya untuk sesaat saja. Untuk mengatur siasat,” jelas Rangga,
kalem.
“Tapi, kenapa mereka tidak kelihatan setelah kau datang...?” tanya pemuda
di belakang Ki Gorapati lagi.
Rangga tidak bisa menjawab pertanyaan itu, dan hanya mengangkat bahu saja
sedikit. Kembali pandangannya di arahkan ke Lembah Maut. Masih tetap sama
seperti tadi, sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan di
sana. Begitu lengang dan sunyi. Bahkan terlihat begitu mengerikan dari atas
bukit ini.
"Kembalilah kalian ke desa. Aku akan melihat ke sana,” kata Rangga tanpa
berpaling sedikit pun juga.
“Kau sendiri, Rangga...?” Ki Gorapati jadi terperanjat.
Rangga berpaling sedikit, dan tersenyum saja.
“Ayo, Ki,” ajak Pandan Wangi setelah melihat lirikan Pendekar Rajawali
Sakti.
“Hati-hati, Rangga. Mereka sangat kejam,” ujar Ki Gorapati
memperingatkan.
“Tidak lama aku kembali lagi, Ki,” ucap Rangga menenangkan.
Ki Gorapati tak bisa memaksa Pendekar Rajawali Sakti untuk tak pergi ke
Lembah Maut malam-malam begini. Sementara Pandan Wangi dan pemuda-pemuda
Desa Paringgi sudah berjalan menuruni bukit ini. Sebentar Ki Gorapati
berdiri diam di samping Pendekar Rajawali Sakti. Dan pandangannya juga
terarah lurus ke Lembah Maut.
“Pergilah, Ki,” ujar Rangga meminta tanpa berpaling sedikit pun juga.
“Hati-hati, Rangga.”
Setelah berkata demikian, Ki Gorapati bergegas melangkah menuruni puncak
bukit ini. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak di sana, menatap
lurus ke arah Lembah Maut. Dan perlahan kemudian Pendekar Rajawali Sakti
melangkah. Namun setelah berjalan beberapa langkah....
“Hup!”
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat menuruni lereng bukit
ini, menuju ke Lembah Maut yang kelihatan menghitam pekat berkesan angker.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga hanya bayangannya saja
yang terlihat berkelebat di antara gelapnya malam, dan pepohonan yang sangat
rapat. Rangga terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dan
sesekali tubuhnya melesat naik ke puncak pohon. Lalu dia berlompatan dari
satu pohon, ke pohon lain dengan ringan sekali. Tubuhnya bagaikan sejumput
kapas yang terbawa angin saja.
“Hap...!”
Rangga berhenti, lalu berdiri tegak pada sebatang cabang pohon yang cukup
tinggi dan kuat. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Keningnya agak
berkerut melihat dua tubuh laki-laki tergeletak di tengah jalan. Dan tidak
jauh dari kedua mayat laki-laki itu, terlihat seorang wanita yang juga
tergeletak tidak bernyawa lagi. Mereka tewas dengan anak panah terhujam di
tubuh.
“Hmmm...,” Rangga jadi menggumam perlahan. Pendekar Rajawali Sakti teringat
cerita Kariba yang sebenarnya ditemukan di perjalanan menuju Karang Setra.
Kariba memang dalam keadaan terluka, setelah bertarung melawan perampok yang
menjegalnya di tengah jalan. Luka yang sangat parah, membuat pemuda itu
tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Namun dia sempat menceritakan semua
yang dialami, juga keadaan Desa Paringgi, sebelum menghembuskan napas yang
terakhir. Itu sebabnya, kenapa Rangga sekarang berada di Lembah Maut ini,
setelah datang ke Desa Paringgi.
Kariba memang belum sampai ke Karang Setra, tapi sudah bertemu orang utama
dari Karang Setra. Pendekar Rajawali Sakti, yang juga raja di Karang Setra.
Hanya saja Kariba tidak tahu kalau yang menolongnya adalah Raja Karang Setra
yang juga pendekar digdaya dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti. Dari
cerita Kariba yang diingatnya, Rangga sudah bisa menduga kalau mayat-mayat
itu pasti sanak saudara Kariba yang dibunuh orang-orang dari Lembah Neraka
ini.
“Hup!”
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat
turun dari atas pohon ini. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun kakinya
menjejak pinggir jalan Lembah Maut ini. Sebentar pandangannya beredar ke
sekeliling. Tidak ada yang bisa dilihat, kecuali kegelapan yang
mengelilinginya. Perlahan kakinya melangkah menghampiri mayat laki-laki yang
bertubuh tegap, berusia sekitar tiga puluh tahun.
Rangga memeriksa sebentar keadaan tubuh yang sudah tidak bernyawa itu.
Sebatang anak panah tampak menembus dadanya. Dari warna hitam yang melingkar
di sekitar anak panah itu, Rangga sudah bisa mengetahui kalau panah itu
mengandung racun yang sangat mematikan. Dan baru saja Pendekar Rajawali
Sakti bangkit berdiri, mendadak saja....
Wusss!
“Heh?! Upts...!”
Cepat Rangga memiringkan tubuh, begitu telinganya yang tajam mendengar
desir halus dari belakang. Dan seketika terlihat sebatang anak panah
meluncur deras, lewat sedikit saja di samping tubuhnya. Bergegas Pendekar
Rajawali Sakti cepat menarik kakinya ke kanan beberapa langkah, sehingga
debu di jalan ini berkepul seperti tersepak kaki kuda.
Slap! Wusss!
Kembali terlihat beberapa anak panah berhamburan ke arah Pendekar Rajawali
Sakti. Akibatnya, pemuda berbaju rompi putih itu terpaksa melesat ke udara.
Dan tubuhnya langsung berputaran cepat beberapa kali, menghindari terjangan
panah-panah itu.
“Hap!”
Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali di tanah, setelah bisa
menghindari semua panah yang berhamburan menyerangnya. Dan baru saja
tubuhnya bisa ditegakkan, beberapa sosok tubuh berpakaian serba hitam yang
longgar sudah berlompatan keluar dari balik pohon dan semak belukar di
sekitar jalan ini. Sebentar saja, Rangga sudah terkepung tidak kurang dari
sepuluh orang berpakaian longgar serba hitam.
Mereka juga memakai penutup kepala dari kain hitam yang berbentuk runcing
pada bagian atas kepalanya. Memang cukup sulit untuk melihat wajah mereka,
karena lebarnya kain hitam yang menutupi kepala dan wajah. Hanya warna hitam
saja yang terlihat pada wajah orang-orang ini. Rangga jadi teringat
peristiwa yang pernah dialami. Orang-orang berpakaian seperti ini,
mengingatkannya pada para penyembah iblis. Dan mereka biasanya disebut kaum
pengikut iblis.
Tapi Rangga tidak bisa berpikir lebih panjang lagi, ketika orang-orang
berpakaian serba hitam itu sudah berlompatan menyerang sambil mencabut
pedangnya. Dan salah seorang yang berada di depan, cepat membabatkan
pedangnya ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti.
“Hap!”
Cepat Rangga menarik kepala ke belakang, sehingga ujung pedang orang itu
hanya lewat sedikit di depan tenggorokannya. Dan pada saat yang bersamaan,
seorang lagi sudah membabatkan pedangnya ke arah kaki kiri. Dan Rangga cepat
mengangkat kaki kirinya sedikit menghindari tebasan pedang itu. Dan saat itu
juga. Lengan kirinya dihentakkan ke samping sambil memiringkan tubuhnya ke
kanan dengan kecepatan tak terduga sama sekali.
“Yeaaah...!”
Des!
“Akh...!”
Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti ini,
sehingga orang itu tidak dapat lagi berkelit menghindar. Dan orang itu
terpekik agak tertahan dengan tubuh terpental cukup jauh ke belakang.
Memang, keras sekali tendangan Rangga barusan. Padahal tenaga dalam yang
dikeluarkannya tidak penuh. Tapi, sudah cukup membuat orang itu tidak bisa
cepat-cepat bangkit berdiri.
“Hup! Hiyaaat...!”
Rangga cepat-cepat melenting ke atas, dan hinggap di batang pohon yang
cukup kuat. Tapi pada saat itu, beberapa batang anak panah sudah meluncur
deras ke arahnya. Maka terpaksa Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting
menghindari serangan panah itu. Dan kembali kakinya mendarat di antara
orang-orang berbaju serba hitam ini.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
“Gila...!”
Pendekar Rajawali Sakti jadi kaget juga, karena orang-orang berpakaian
serba hitam ini langsung saja menyerang, begitu kakinya menjejak tanah.
Terpaksa Rangga harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang
datang dengan cepat dari segala arah ini. Seketika segera dikerahkannya
jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, hingga serangan-serangan orang berpakaian
serba hitam itu tidak ada yang bisa mencapai sasaran.
“Hap! Yeaaah...!”
Begitu memiliki kesempatan, Pendekar Rajawali Sakti langsung melenting ke
udara. Dan saat itu juga jurusnya dirubah menjadi jurus ‘Sayap Rajawali
Membelah Mega’, tepat di saat tiga orang lawannya juga melesat mengejar ke
udara.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, cepat bagai kilat Rangga mengebutkan
kedua tangannya yang terentang lebar. Begitu cepatnya, sehingga tiga orang
berpakaian serba hitam itu tidak dapat lagi menghindarinya. Maka
jeritan-jeritan panjang pun terdengar menyayat saling susul. Tampak ketiga
orang itu jatuh terjerembab dengan bagian kepala berlumuran darah. Sementara
dengan gerakan manis, Rangga kembali menjejakkan kakinya di tanah.
“Hhh!”
Pendekar Rajawali Sakti langsung bersiap menanti serangan. Tapi, tampaknya
orang-orang berpakaian serba hitam ini jadi gentar juga melihat ketangguhan
lawannya. Tidak ada seorang pun yang maju menyerang lagi, walau sikap mereka
masih tetap mengepung, dengan senjata terhunus di tangan. Sedangkan Pendekar
Rajawali Sakti sudah menyilangkan kedua tangannya yang terkepal di depan
dada, siap mengeluarkan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali Sakti’ tingkat
terakhir. Ini bisa dilihat dari kedua kepalan tangan Rangga yang telah
memerah seluruhnya, bagai besi terbakar dalam tungku.
“Ayo maju kalian semua, Iblis-Iblis Keparat!” geram Rangga sudah langsung
memuncak amarahnya.
Rangga memang sudah geram, setelah melihat tiga mayat yang tergeletak di
jalan ini. Terlebih lagi, setelah melihat keadaan Desa Paringgi. Pendekar
Rajawali Sakti rupanya saat ini tidak ingin tanggung-tanggung lagi
menghadapi orang-orang berpakaian seperti kaum pengikut iblis ini.
***
EMPAT
Dan pada saat itu, terdengar hentakan-hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu
dengan kecepatan tinggi dari ujung jalan. Begitu kerasnya hentakan itu,
membuat bumi yang dipijak jadi terasa bergetar bagai diguncang gempa. Dan
saat itu juga, terlihat orang-orang berpakaian serba hitam ini bergerak
berputar merapat kepungan. Pedang-pedang mereka pun sudah bergerak-gerak
melintang di depan dada.
Tidak berapa lama kemudian, terlihat puluhan penunggang kuda berpacu cepat
menuju jalan ini, dari dalam lebatnya hutan di ujung jalan Lembah Maut.
Seketika, Pendekar Rajawali Sakti jadi terkesiap begitu melihat semua
penunggang kuda itu mengenakan baju hitam yang disambung dengan penutup
kepala berbentuk runcing. Pakaian yang sama seperti yang kini sedang
mengepungnya. Dan jumlah mereka juga begitu banyak, ada sekitar lima puluh
orang.
“Celaka...! Bisa-bisa aku kehabisan tenaga kalau begini...,” desis Pendekar
Rajawali Sakti dalam hati.
Dan tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melenting
tinggi-tinggi ke angkasa. Lalu dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkatan sempurna, tubuhnya melesat cepat Sehingga
orang-orang berpakaian serba hitam yang mengepungnya, jadi tersentak kaget
tidak menyangka.
Namun belum juga hilang rasa keterkejutan mereka, Pendekar Rajawali Sakti
sudah lenyap tak terlihat lagi bayangannya. Sementara orang-orang yang
menunggang kuda, sudah sampai di tempat ini. Tampak berkuda paling depan,
adalah seseorang yang berbaju hitam pekat dan sangat ketat Sehingga
memetakan lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping, dengan bagian dada menyembul
indah. Meskipun seluruh kepalanya memakai kerudung hitam dan wajahnya
mengenakan topeng berbentuk tengkorak, namun dari bentuk tubuhnya sudah bisa
dipastikan kalau dia adalah wanita.
Wanita bertopeng itu lalu melompat turun dari kudanya. Gerakannya begitu
ringan, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak
tanah. Dari sini bisa dipastikan kalau wanita itu memiliki kepandaian
tinggi. Saat itu juga, mereka yang tadi bertarung melawan Pendekar Rajawali
Sakti menjatuhkan diri, berlutut di depan wanita bertopeng tengkorak ini.
Sementara, penunggang-penunggang kuda lain berlompatan turun dari punggung
kudanya. Tanpa diperintah lagi mereka langsung bergerak menyebar,
mengelilingi tempat ini.
“Siapa lawan kalian tadi?” tanya wanita bertopeng tengkorak itu, sambil
melangkah beberapa tindak. Suaranya terdengar sangat datar dan tanpa tekanan
sedikit pun. Begitu datar, seakan-akan bicara melalui perut saja. Sementara,
orang-orang berpakaian serba hitam yang tadi bertarung tetap berlutut dengan
kepala tertunduk menekuri tanah di depannya.
“Kami tidak tahu, Nini. Tapi, tampaknya bukan orang Desa Paringgi. Baru
kali ini kami melihatnya, Nini,” sahut salah seorang sambil mengangkat
kepala perlahan.
“Bagaimana kalian bisa kehilangan banyak begini, heh...?!”
“Dia sangat tangguh, Nini. Sulit merobohkannya.”
“Huh...!” Wanita bertopeng tengkorak itu mendengus berat. Beberapa saat
dipandanginya mayat-mayat yang berge-limpangan di sekitarnya. Mungkin dari
balik topeng tengkoraknya bisa diduga kalau wajahnya jadi memerah menahan
geram, melihat pengikut-pengikutnya terbunuh hanya oleh satu orang
saja.
“Bukankah kalian yang kuperintahkan menggempur Desa Paringgi...?” tanya
wanita bertopeng tengkorak, dingin.
“Benar, Nini,” sahut orang berjubah hitam itu lagi.
“Lalu, kenapa kalian mengurusi pekerjaan yang bukan urusan kalian,
heh...?!”
“Anak muda itu sangat mencurigakan sikapnya, Nini. Kami memperhatikannya
waktu datang ke sini. Mayat-mayat itu diperiksanya sambil menggumam beberapa
kali. Aku tidak tahu, apa yang digumamkannya. Lalu kami langsung menyerang,
waktu dia memandang lurus ke tempat kita, Nini,” jelas orang itu.
“Anak muda katamu, heh...?!” “Benar, Nini. Usianya mungkin baru sekitar dua
puluh tahun. Tapi, kepandaiannya sangat luar biasa. Gerakan-gerakkannya
sungguh cepat, hingga kami semua sulit mendesaknya.”
“Hmmm.... Kau tahu, siapa dia?”
“Tidak, Nini.”
“Kau bisa sebutkan ciri-cirinya?”
“Bisa, Nini.”
“Katakan....”
“Dia masih muda. Pakaiannya baju rompi putih. Dan membawa pedang bergagang
kepala burung dipunggung. Rambutnya panjang ter....”
“Cukup...!” sentak wanita bertopeng tengkorak itu memutuskan kata-kata
pengikutnya.
Orang berjubah hitam langsung menghentikan kata-katanya. Sementara, wanita
bertopeng tengkorak itu tampak tertegun dengan jari-jari tangan berada di
dagunya yang tertutup topeng kulit. Dari balik topengnya, terpancar sorot
mata yang tajam. Jelas, ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.
“Pendekar Rajawali Sakti.... Hm.... Aku yakin, pasti dia,” gumam wanita
bertopeng tengkorak itu perlahan, seperti bicara pada diri sendiri.
Sementara tidak ada seorang pun yang bersuara sedikit pun. Dan wanita
bertopeng tengkorak itu memutar tubuhnya berbalik, lalu melangkah
menghampiri kudanya yang dipegangi salah seorang pengikutnya. Diambilnya
tali kekang kudanya. Lalu dengan gerakan ringan sekali, dia melompat naik ke
atas punggung kudanya.
“Ayo kembali...!” seru wanita itu memberi perintah.
Tanpa seorang pun yang membantah, mereka yang datang bersamanya bergegas
berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Sementara wanita bertopeng
tengkorak itu memandangi pengikutnya yang masih tetap berlutut di
tanah.
“Cabut pedang kalian!” perintah wanita itu tegas.
“Nini...?!”
Mereka jadi tersentak kaget, tapi tidak bisa membantah lagi. Dengan tangan
terlihat gemetar, mereka meloloskan pedang masing-masing. Kemudian
mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas kepala. Dan....
Jleb!
Hampir bersamaan, mereka menghujamkan pedang itu ke tubuhnya sendiri tanpa
keluhan sedikit pun juga. Dan mereka yang tadi bertarung dengan Pendekar
Rajawali Sakti langsung ambruk ke tanah dengan pedang tertancap di dada
masing-masing.
“Ayo, tinggalkan mereka!” perintah wanita itu sambil memutar kudanya.
Dan mereka langsung bergerak cepat, memacu kudanya meninggalkan jalan tanah
yang berada di pinggiran Lembah Maut ini. Cepat sekali mereka berpacu,
hingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap tertelan gelapnya malam.
Sementara tanpa ada seorang pun yang tahu, dari atas sebatang pohon yang
cukup tinggi dan terlindung, Rangga memperhatikan semua peristiwa itu dengan
hati tercekat.
“Edan...! Manusia atau iblis perempuan itu...,” kutuk Rangga dengan suara
mendesis.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak bisa memahami sikap wanita
bertopeng tengkorak yang dilihatnya malam ini. Pengikutnya yang tidak bisa
men-jalankan tugas, harus bunuh diri. Baru kali ini dilihatnya ada seorang
pemimpin bertindak demikian kejamnya pada anak buahnya. Tapi, Rangga tidak
punya banyak waktu untuk memikirkannya, karena harus segera kembali ke Desa
Paringgi. Dan secepatnya, Pendekar Rajawali Sakti harus menghentikan
manusia-manusia biadab dari Lembah Maut itu.
Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna, dalam
waktu tidak berapa lama saja Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali di Desa
Paringgi. Pendekar muda dari Karang Setra itu langsung menuju rumah Ki
Gorapati. Di rumah kepala desa itu, bukan hanya Ki Gorapati saja yang sudah
menunggu. Tapi, Pandan Wangi dan beberapa orang yang tampaknya sudah siap
menghadapi orang-orang dari Lembah Maut.
“Ada yang ingin kutanyakan padamu, Ki,” ujar Rangga langsung, sambil
menghempaskan tubuhnya di kursi kayu di beranda depan rumah Kepala Desa
Paringgi ini.
“Apa yang ingin kau ketahui, Rangga?” “Orang-orang Lembah Maut”
“Kau sudah temukan mereka?”
“Sudah.”
“Lalu...?”
“Kau tahu, siapa pemimpinnya, Ki?” Rangga balik bertanya.
Ki Gorapati hanya menggeleng saja.
“Dia seorang wanita, memakai topeng tengkorak,” ujar Rangga memberi
tahu.
“Wanita bertopeng tengkorak...?” Tampak sekali kalau Ki Gorapati terkejut
mendengar penjelasan Pendekar Rajawali Sakti barusan.
“Ya! Kau kenal, Ki...?”
“Perawan Lembah Maut..,” desis Ki Gorapati perlahan. Begitu pelan suaranya,
sehingga hampir tidak terdengar.
Sementara Rangga memandangi laki-laki setengah baya itu dengan sinar mata
begitu dalam. Sedangkan yang dipandangi jadi termangu, seperti ada sesuatu
yang menghantui pikirannya. Dan untuk beberapa saat, mereka semua terdiam
membisu. Dan mereka yang mendengar kalau orang-orang berpakaian serba hitam
itu dipimpin si Perawan Lembah Maut, jadi tidak bisa lagi membuka suara.
Julukan itu memang sudah sering kali terdengar.
Dan bagi yang pernah mendengarnya, rasanya tak akan berani lagi membuka
suara untuk membicarakannya. Mereka tahu, tindakan wanita yang berjuluk si
Perawan Lembah Maut itu sangat kejam. Bahkan kekejamannya melebihi
iblis-iblis neraka. Inilah yang membuat mereka jadi terdiam. Dan dari raut
wajah mereka, jelas sekali terpancar rasa kekhawatiran. Mereka takut
kalau-kalau si Perawan Lembah Maut itu datang ke desa ini kembali, dan
membumihanguskan dengan tuntas.
“Kau pasti sudah dengar banyak tentangnya, Rangga...,” ujar Ki Gorapati
perlahan.
“Sedikit,” sahut Rangga agak mendesah.
“Kau tadi bertarung dengan orang-orangnya?” tanya Ki Gorapati lagi. Rangga
hanya mengangguk saja. “Kau sempat membunuh mereka?”
Untuk kedua kalinya Rangga hanya mengangguk saja, namun keningnya kini
terlihat sedikit berkerut. Pendekar Rajawali Sakti heran juga mendengar
pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepala desa ini. Tapi, semua
keheranannya masih tersimpan dalam hati. Sementara, Ki Gorapati
menghembuskan napas panjang-panjang.
“Kau tahu, apa akibatnya kalau mereka tahu kalau kau ada di sini, Rangga?
Mereka akan datang ke sini, dan benar-benar akan menghancurkan desa ini
hingga rata dengan tanah,” jelas Ki Gorapati tetap terdengar pelan
suaranya.
“Aku tidak akan membiarkan itu terjadi, Ki,” ujar Rangga tegas.
“Aku percaya padamu, Rangga. Tapi jumlah mereka pasti sangat banyak. Bahkan
berkepandaian tinggi. Aku rasa, semua penduduk desa ini tidak akan sanggup
menghadapinya. Sedangkan kau.... Hanya kau dan Pandan Wangi saja yang
memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan. Rangga...., maaf kalau aku jadi
cemas dan... Ki Gorapati tidak melanjutkan ucapannya.
“Aku mengerti kecemasanmu, Ki,” kata Rangga, langsung bisa memahami.
“Untuk menghadapi mereka, memang dibutuhkan satu pasukan prajurit
terlatih,” kata Ki Gorapati lagi.
“Tidak ada waktu lagi untuk meminta prajurit datang ke sini, Ki. Mereka
akan kuhadapi dan mencoba menghancurkan di luar desamu ini,” tegas Rangga
lagi.
“Apa yang akan kau lakukan, Rangga?” tanya Ki Gorapati tidak
mengerti.
“Aku akan mendahului mereka, Ki,” sahut Rangga seraya tersenyum.
“Maksudmu.... Kau akan mendatangi mereka di Lembah Maut...?” terdengar
tersedak suara Ki Gorapati.
Rangga hanya tersenyum saja, sambil mengangguk.
“Jangan, Rangga. Terlalu berbahaya datang ke sana...,” cegah Ki
Gorapati.
“Jangan khawatir, Ki. Aku bisa menjaga diri. Dan tentunya aku juga tidak
mau mati di sana. Percayalah. Jika Sang Hyang Widi mengizinkan, aku pasti
selamat. Dan mereka tidak akan lagi mengganggu desa ini untuk selamanya,”
tugas Rangga lagi, mencoba menenangkan perasaan kepala desa ini.
Ki Gorapati tidak bisa lagi berkata-kata. Dan memang, keinginan Rangga
untuk pergi ke Lembah Maut tidak mungkin bisa dicegah lagi. Sementara,
Pandan Wangi yang mendengarkan semua percakapan itu hanya diam saja membisu.
Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini. Gadis itu sendiri tidak mungkin
bisa mencegah Rangga untuk pergi ke Lembah Maut, sebelum mereka
menghancurkan desa ini.
Sementara malam terus merayap semakin bertambah larut. Dan suasana di Desa
Paringgi ini terasa begitu sunyi. Tapi, tampaknya malam ini orang-orang dari
Lembah Maut itu tidak akan muncul. Dan Rangga memang sudah membuat mereka
mundur, sebelum mencapai desa ini.
***
Pagi-pagi sekali Rangga sudah berada di depan rumah Ki Gorapati. Kuda hitam
yang bernama Dewa Bayu sudah disiapkan untuk menemaninya pergi ke Lembah
Maut hari ini juga. Pendekar Rajawali Sakti hanya melirik sedikit saja
ketika mendengar suara langkah-langkah kaki menghampiri. Pekerjaannya dalam
membenahi pelana kudanya segera dihentikan begitu yang dilihat datang adalah
Pandan Wangi.
“Sudah kau siapkan kudaku, Kakang?” tanya Pandan Wangi langsung, begitu
dekat.
“Sudah,” sahut Rangga seraya tersenyum. Rangga mengencangkan tali pengikat
pelana, kemudian menepuk leher Dewa Bayu beberapa kali dengan lembut. Kuda
hitam itu mendengus-dengus sambil menghentakkan kaki depannya beberapa kali.
Rangga hanya tersenyum saja melihat tingkah kuda tunggangannya. Sementara
Pandan Wangi sudah memeriksa kelengkapan kuda putihnya yang tinggi dan
gagah.
“Berangkat sekarang, Kakang...?” ujar Pandan Wangi lagi, seraya melirik
sedikit pada Pendekar Rajawali Sakti.
“Memang sebaiknya begitu, Pandan. Sebelum ada penduduk yang bangun,” sahut
Rangga.
“Tidak pamitan dulu pada Ki Gorapati?” Rangga tidak menjawab. Ditatapnya
rumah Ki Gorapati yang kelihatan begitu sunyi. Memang, semalam mereka
mengobrol di beranda depan rumah ini sampai larut. Dan yang pasti, Ki
Gorapati juga masih mendengkur di pembaringannya. Tidak terlihat seorang pun
yang menjaga rumah ini. Mereka semua begitu yakin kalau orang-orang dari
Lembah Maut tak akan muncul. Jadi, kesempatan ini digunakan untuk
beristirahat.
“Hup!”
Dengan gerakan ringan sekali, Rangga melompat naik ke punggung kudanya.
Sementara, Pandan Wangi masih saja tetap berdiri di samping kudanya sendiri.
Rangga memandangi gadis cantik yang dikenal sebagai si Kipas Maut.
“Mau ikut, Pandan...?” Rangga menawarkan.
“Aku tidak akan pergi sebelum berpamitan dengan Ki Gorapati,” tegas Pandan
Wangi.
“Ki Gorapati pasti belum bangun, Pandan....”
“Sepicing pun mataku tidak bisa terpejam....” Kedua pendekar muda itu jadi
terkejut, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari arah rumah kepala desa
ini. Dan begitu berpaling, tampak Ki Gorapati sudah berdiri di ambang
pintu.
“Kalian akan berangkat sekarang juga?” tanya Ki Gorapati tanpa beranjak
sedikit pun juga.
“Ya, sebelum semua penduduk bangun, Ki,” sahut Rangga.
“Baiklah, Rangga. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi padamu. Dan aku hanya
bisa berharap, mudah-mudahan berhasil melenyapkan mereka,” ujar Ki Gorapati.
“Maaf, aku tidak bisa membantumu lebih banyak lagi.”
“Kau sudah cukup berbuat, Ki,” ujar Rangga cepat-cepat. Ki Gorapati hanya
tersenyum saja.
“Kami pergi dulu, Ki,” pamit Rangga.
“Hati-hatilah kalian...,” sambut Ki Gorapati.
Pandan Wangi baru melompat naik ke punggung kudanya. Sementara, Rangga
sudah menghentakkan tali kekang kudanya. Sehingga, kuda hitam itu bergerak
melangkah perlahan-lahan. Dan sebentar saja, Pandan Wangi sudah
menyejajarkan langkah kaki kudanya di samping kuda hitam Dewa Bayu
tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Kedua pendekar muda dari Karang Setra
itu terus mengendalikan kuda perlahan-lahan, keluar dari Desa Paringgi
ini.
Dan setelah melewati perbatasan desa, mereka baru memacu cepat kudanya.
Tapi Rangga sengaja tidak memacu kudanya dengan kecepatan penuh, dan tetap
sejajar di samping kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi. Tepat di saat
matahari baru menampakkan cahayanya di ufuk timur, kedua pendekar itu sampai
di jalan yang sunyi dan tidak pernah lagi dilalui orang. Mereka menghentikan
lari kudanya, di tempat semalam Rangga bertarung. Tampak mayat-mayat masih
bergelimpangan di jalan ini.
“Di sini kau bertarung, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Ya,” sahut Rangga mendesah pelan, seraya mengangguk. Pendekar Rajawali
Sakti memang sudah menceritakan semua yang dialami semalam pada Pandan
Wangi.
“Lalu, ke mana mereka perginya?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Ke sana,” sahut Rangga menunjuk. Pandan Wangi mematri pandangannya ke arah
yang ditunjuk Rangga. Sementara, Rangga sendiri sudah menjalankan kudanya
lagi, ke arah kepergian si Perawan Lembah Maut dan orang-orangnya
semalam.
Pandan Wangi bergegas menggebah kudanya, dan kembali berada di sebelah kiri
Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus berkuda tanpa bicara lagi. Sementara,
matahari terus merayap naik semakin tinggi, memancarkan cahaya yang terang
dan hangat.
***
LIMA
Siang ini matahari terasa begitu terik memancarkan sinarnya, membuat kulit
terasa bagai terbakar. Sementara, di tempat tersembunyi yang terletak di
Lembah Maut, terlihat seorang wanita berbaju hitam pekat dan ketat, tengah
duduk menyendiri di atas sebongkah batu di pinggir sebuah kolam mata air.
Entah, sudah berapa lama wanita itu berada di sana, seakan-akan tidak
mempedulikan sengatan sinar matahari yang begitu panas bagai hendak
menghanguskan seluruh permukaan bumi ini.
Wanita itu mengangkat kepalanya perlahan, saat mendengar langkah kaki
menghampiri dari arah belakang. Dan perlahan pula tubuhnya diputar berbalik.
Tampak seseorang berjubah hitam longgar dan berpenutup kepala dari kain
hitam yang berbentuk runcing, datang menghampiri. Dan dia langsung berlutut
begitu dekat di depan wanita yang wajahnya ditutupi topeng kulit berbentuk
tengkorak ini.
“Ada apa?” tanya wanita itu dengan suara dingin.
“Mereka datang, Nini,” sahut orang itu, tetap dengan sikap berlutut
hormat.
“Mereka siapa...?”
“Sebaiknya lihatlah sendiri, siapa yang dibawa mereka, Nini. Kau pasti akan
menyukainya,” ujar orang berjubah hitam itu. Wanita bertopeng tengkorak ini
jadi penasaran juga.
Maka dia segera beranjak bangkit, dan melangkah tanpa bicara lagi.
Sementara, orang berjubah hitam itu mengikuti dari belakang. Mereka terus
berjalan memasuki sebuah bangunan berbentuk candi, yang seluruhnya terbuat
dari batu. Mereka terus berjalan menyusuri lorong yang sempit dan cukup
gelap. Tidak lama kemudian, mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas
dan terang benderang oleh cahaya obor yang terpasang di dinding. Di dalam
ruangan ini, sudah menunggu sepuluh orang berjubah serba hitam. Dan di depan
mereka, ter-lihat tumpukan peti yang terbuka tutupnya. Tampak di dalam
peti-peti kayu itu penuh berisi barang terbuat dari emas dan perak. Dan di
sana juga terlihat seorang anak muda berwajah tampan. Bajunya sangat indah,
terbuat dari bahan sutera halus dengan sulaman-sulaman benang emas. Dia
duduk di lantai dengan kedua tangan terikat tambang.
“Kau pasti tidak akan tertarik dengan barang-barang itu, Nini,” ujar orang
berjubah hitam yang berdiri di belakang agak ke kanan dari wanita bertopeng
tengkorak ini.
“Hmmm...,” wanita itu hanya menggumam saja sedikit. Wanita yang berjuluk
Perawan Lembah Maut ini melangkah mendekati anak muda yang masih tetap
terduduk di lantai dengan kedua tangan ke belakang terikat tambang. Wajahnya
tampan sekali, dan tubuhnya tegap. Kulitnya putih seperti pemuda bangsawan.
Beberapa saat wanita bertopeng tengkorak itu mengamati.
“Bawa dia ke kamarku,” perintah Perawan Lembah Maut itu tegas.
“Baik, Nini,” sahut orang berjubah hitam yang sejak tadi mengikutinya di
belakang. Tanpa diperintah dua kali, orang berjubah hitam itu menarik pemuda
ini hingga berdiri. Lalu, menggiringnya keluar dari ruangan ini.
“Jangan lupa, buka ikatannya...!” seru wanita bertopeng tengkorak itu agak
keras suaranya.
“Baik, Nini.” Setelah orang berjubah hitam itu tidak terlihat lagi, wanita
bertopeng tengkorak ini memandangi peti-peti yang penuh berisi barang dari
emas dan perak. Kemudian dipandanginya sepuluh orang yang berlutut di lantai
tidak jauh di depannya.
“Simpan barang-barang ini. Dan, kalian boleh beristirahat. Malam nanti,
akan ada tugas yang besar untuk kalian semua. Aku ingin kalian beristirahat
cukup hari ini,” ujar wanita itu memberi perintah.
“Segera, Nini...,” sahut sepuluh orang yang semuanya berbaju jubah warna
hitam itu, serentak.
Perawan Lembah Maut itu lalu berbalik, dan terus melangkah meninggalkan
ruangan ini. Dia berjalan dengan ayunan kaki lebar, memasuki sebuah lorong
kecil yang tidak begitu terang. Hanya ada beberapa buah obor saja terpancang
di dinding lorong ini. Ternyata, di ujung lorong ini terdapat sebuah pintu
yang terbuat dari besi baja hitam yang sangat tebal dan kokoh kelihatannya.
Tapi, Perawan Lembah Maut ini mudah sekali mendorongnya hingga terbuka
lebar.
Tampak di balik pintu besi ini terdapat sebuah ruangan bagai sebuah kamar
peristirahatan putri raja. Begitu indah dan berbau harum bunga-bunga. Di
dalamnya, terlihat pemuda tampan tadi, yang baru saja menjadi tawanannya.
Pemuda itu tampak tengah duduk di tepi pembaringan yang sangat indah,
beralaskan kain sutera halus berwarna merah muda yang lembut. Wanita
bertopeng tengkorak itu telah menutup kembali pintu ruangan ini rapat-rapat.
Kemudian kakinya melangkah menghampiri pemuda tampan yang masih tetap duduk
di tepi pembaringan, memandanginya dengan sorot mata sangat tajam
menusuk.
“Siapa namamu, Bocah Bagus?” tanya Perempuan Lembah Maut dengan suara
dibuat lembut.
“Kau tidak perlu tahu namaku, Perempuan Iblis!” sentak pemuda itu, langsung
kasar.
“Ah.... Jangan bersikap kasar begitu padaku, Cah Bagus. Aku tahu, kau pasti
tidak senang melihat sikap anak buahku. Lupakan saja, Cah Bagus. Sekarang,
kau sudah ada di sini. Di istanaku ini. Dan tentu, tidak kalah indahnya
dengan istanamu, bukan...?” masih tetap terdengar lembut suara wanita
itu.
“Huh! Aku tahu siapa dirimu, Perempuan Iblis. Kaulah yang dijuluki si
Perawan Lembah Maut. Jadi, jangan harap bisa memperdayaiku...!” ketus sekali
nada suara anak muda ini.
“Bagus, kalau kau sudah tahu siapa aku. Tapi terus terang saja, aku lebih
senang kalau dipanggil nama saja. Bukan julukan itu yang mereka berikan
padaku. Kau ingin tahu namaku...?”
“Huh!”
“Sawitri.... Itulah namaku. Kau boleh memanggilku dengan nama itu,” jelas
wanita ini, memperkenalkan diri dengan lembut. Sedikit pun tak ada rasa
tersing-gung di hatinya melihat sikap pemuda ini. Sedangkan pemuda itu masih
diam saja.
“Siapa namamu...? Aku sudah menyebutkan namaku. Dan sekarang, kau harus
memperkenalkan diri.”
“Witangga. Arya Witangga. Panggil saja aku Witangga,” sahut pemuda itu,
masih ketus.
Wanita bertopeng tengkorak yang mengaku bernama Sawitri itu terdiam dengan
kepala terangguk beberapa kali. Sedangkan pemuda tampan yang mengaku bernama
Arya Witangga, juga terdiam membisu. Namun sorot matanya masih tetap
terlihat tajam tidak menunjukkan tanda-tanda persahabatan sama sekali.
“Aku tahu, apa yang kau pikirkan, Witangga. Kau pasti merasa tidak senang
berada di sini. Tapi aku yakin, tidak lama lagi kau pasti akan menyukai
tempat ini,” kata Sawitri yang juga dikenal sebagai si Perawan Lembah Maut
itu, dengan suara lembut sekali.
Tapi Witangga tetap diam membisu saja. Dipandanginya wajah wanita yang
berbentuk tengkorak mengerikan ini. Meskipun kulitnya putih dan bentuk
tubuhnya ramping, namun kalau melihat wajahnya.... Semua orang pasti akan
merasa jijik dan mual. Topeng kulit yang dikenakan wanita itu memang sangat
halus buatannya. Sehingga, seakan-akan wanita itu tidak mengenakan topeng
sama sekali. Begitu halus, hingga orang yang melihatnya pasti akan
menyangka, memang seperti itulah wajah si Perawan Lembah Maut ini.
“Kenapa kau memandangiku seperti itu, Witangga...?” tegur Sawitri, merasa
jengah dipandangi terus-menerus.
“Aku ingin tahu, seperti apa wajahmu di balik topeng jelek seperti itu,”
dengus Witangga dingin.
Sawitri yang selama ini dikenal berjuluk si Perawan Lembah Maut itu hanya
diam saja. Tampak beda matanya yang semula terlihat lembut, kini jadi
memerah bagai menyimpan suatu bara api yang terbalut dendam. Begitu tajam
sorot matanya, sehingga membuat Witangga jadi bergidik juga memandangnya.
Maka pandangannya cepat-cepat dialihkan ke arah lain.
“Kau memang gagah dan tampan, Witangga. Dan memang, sudah sepantasnya kau
berdampingan dengan gadis cantik. Tapi tidak.... Tidak akan pernah terjadi,
Witangga. Orang-orang gagah dan tampan sepertimu, tidak akan punya
kesempatan untuk memiliki. Orang sepertimu harus merasakan akibat dari apa
yang telah dilakukan padaku..." terasa begitu dingin nada suara
Sawitri.
Begitu diucapkannya, sampai membuat jantung Witangga terasa terhenti
berdetak seketika. Dan wajahnya pun langsung memucat. Dia tahu, arti dari
kata-kata yang barusan didengarnya. Sebuah kata-kata yang mengandung arti
sangat dalam. Bahkan memancarkan api dendam yang tidak bisa dipadamkan lagi.
Witangga semakin bergetar tubuhnya. Pemuda itu memang sudah banyak mendengar
tentang wanita yang menghuni Lembah Maut yang berjuluk si Perawan Lembah
Maut.
Dia tahu, wanita ini senang menangkapi pemuda-pemuda tampan dan gagah.
Bahkan akan merusak wajah dan membuatnya cacat seumur hidup, lalu dilepaskan
begitu saja. Banyak pemuda yang pernah tertangkap wanita ini tidak ada yang
kembali dalam keadaan hidup. Kalaupun bisa sampai menemui desa, dalam waktu
dua atau tiga hari pasti sudah ditemukan tidak bernyawa lagi.
“Kau ingin melihat wajahku, Witangga...? Inilah wajahku yang sebenarnya.
Wajah wanita yang dicampakkan setelah kalian, laki-laki laknat menghancurkan
segala-galanya dari diriku. Ini wajahku, Witangga. Lihat...!"
“Ikhhh...!” Witangga jadi terpekik, begitu wanita yang berjuluk si Perawan
Lembah Maut ini membuka topeng tengkorak yang selalu dikenakannya.
Hampir tidak dipercaya, apa yang ada di depannya ini. Wanita yang memiliki
kulit halus dengan bentuk tubuh yang sangat indah mewah ini, ternyata
berwajah begitu mengerikan. Hampir seluruh kulit wajahnya mengelupas, bagai
tersiram air panas. Sebelah matanya tidak memiliki kelopak sama sekali,
hingga terlihat bundar dan merah bagai bola mainan anak-anak. Baris-baris
giginya yang menghitam terlihat jelas, karena tidak memiliki bibir. Bahkan
tidak memiliki hidung sama sekali. Hanya lubang besar saja yang terlihat.
Witangga jadi bergidik ngeri melihat pemandangan seperti ini. Bahkan tidak
sanggup memandang lebih lama lagi.
“Jangan palingkan wajah, Witangga. Tatap aku...! Tatap wajahku ini,
Witangga. Tatap...!” sentak Sawitri terdengar kalap.
Dengan perasaan ngeri dan mual pada perutnya, Witangga mencoba untuk
menatap wajah wanita ini.
“Orang-orang sepertimulah yang membuat wajahku jadi seperti ini, Witangga.
Wajahku dulu cantik. Aku dulu adalah kembangnya Desa Galunggung, sebelah
selatan lembah ini. Namun, kembang itu telah layu setelah beberapa pemuda
memaksaku untuk menyerahkan kehormatanku. Setelah puas, mereka menyiksaku
sambil merusak wajahku. Ketika aku dianggap telah mati, aku lalu dibuang di
lembah ini. Dan ternyata nasib baik masih menyertaiku. Sebelum tubuhku
dicacah anjing-anjing hutan, aku ditolong oleh seorang perempuan tua yang
mengaku berjuluk Penguasa Lembah Maut Dia mengobati dan menyembuhkanku,”
tutur Perawan Lembah Maut.
Sejenak wanita bertopeng tengkorak itu diam, seperti mengenang saat-saat
yang pedih di hatinya. Kemudian kembali bercerita.
“Begitu telah sembuh, aku dididik dan diajarkan berbagai macam ilmu olah
kanuragan dan kesaktian. Dan setelah aku bisa menguasai seluruh ilmunya, dia
meninggal dunia dengan tenang. Bahkan dia membebaskan niatku untuk membalas
dendam pada siapa saja yang telah menyakitiku. Itulah dendamku pada
pemuda-pemuda tampan, Witangga!” dengus Perawan Lembah Maut.
Napas perempuan bertopeng tengkorak itu tampak memburu. Sepertinya, segala
kegeramannya ingin dimuntahkan saat ini juga.
“Dan kini, aku telah menguasai para pengikut Penguasa Lembah Maut Bahkan
aku juga dijuluki, Perawan Lembah Maut Dan kau tahu, Witangga.... Aku sudah
bersumpah, akan membuat semua lelaki gagah dan sengsara sepertimu sengsara
seumur hidup! Dan aku akan membunuh semua orang yang tidak mau mematuhi
perintahku. Aku tidak peduli, apa itu laki-laki, perempuan, orang tua, atau
anak-anak! Mereka semua harus mati. Juga kau, Witangga...! Kau harus mati
setelah wajahmu rusak sepertiku, tahu...!”
“Oh, tidak...,” desis Witangga jadi bergidik ngeri.
Kini Sawitri sudah mengenakan topeng tengkoraknya kembali. Kemudian,
kakinya melangkah mendekati Witangga yang sudah gemetar ketakutan, dengan
wajah pucat bersimbah keringat. Sementara Sawitri yang dikenal berjuluk
Perawan Lembah Maut ini sudah semakin dekat saja. Perlahan dicabutnya
sebilah pisau kecil dari balik lipatan ikat pinggangnya.
“Jangan.... Jangan kau lakukan itu, Nini. Jangan...,” rintih Witangga,
memohon belas kasihan.
“Dulu aku juga berkata begitu, Witangga. Tapi mereka tidak peduli. Dan
mereka terus menyiksaku. Dan sekarang, aku akan menikmati semua yang mereka
lakukan padaku,” desis Sawitri, dingin menggetarkan.
“Tapi itu mereka, Sawitri. Bukan aku....”
“Sama. Semua laki-laki sama! Setelah puas, lalu mencampakkannya begitu saja
seperti sampah!” bentak Sawitri garang.
Perawan Lembah Maut, terus melangkah perlahan mendekati Witangga. Sementara
pemuda itu sudah berdiri bersandar ke dinding. Tubuhnya semakin hebat
menggeletar, memandangi pisau yang berkilatan di tangan si Perawan Lembah
Maut ini.
“Aku mohon padamu, Sawitri. Jangan.... Jangan kau lakukan...,” rintih
Witangga memelas.
“Memohonlah sepuasmu, Witangga. Memohonlah...,” desis Sawitri semakin
terdengar dingin suaranya.
Dan si Perawan Lembah Maut itu semakin dekat saja jaraknya. Sementara
Witangga sudah tidak bisa lagi menggerakkan kakinya. Kedua bola matanya
semakin lebar terbeliak, melihat ujung pisau di tangan wanita itu sudah
demikian dekat dengan wajahnya.
“Nikmatilah wajah barumu, Witangga...,” desis Sawitri dingin. Dan....
“Hih!”
Rrrttt!
“Akh...!”
Witangga menjerit tertahan, begitu ujung pisau Sawitri menyayat pipinya.
Darah seketika mengalir dari kulit wajah yang tersayat cukup dalam dan
panjang ini. Namun Perawan Lembah Maut tidak berhenti sampai di situ saja.
Ujung pisaunya terus digoreskan ke wajah pemuda ini, walaupun Witangga terus
menjerit-jerit. Dia berusaha melepaskan diri dari kekejaman wanita yang
selalu mengenakan topeng tengkorak untuk menutupi keburukan wajahnya
ini.
Jeritan-jeritan menyayat pun terus terdengar berulang-ulang. Sementara,
Sawitri semakin menikmati perbuatannya. Dan sesekali terdengar tawanya yang
mengikik mengerikan. Sementara, dari wajah Witangga darah semakin banyak
keluar. Dan wajah yang tampan itu, kini terlihat begitu mengerikan.
Tersayat, berlumur darah segar.
Angin bertiup kencang menyebarkan bau busuk yang sangat menusuk hidung di
sekitar Lembah Maut ini. Setiap kali matahari sudah tenggelam di balik
peraduannya, bau busuk itu selalu tersebar di sekitar lembah ini. Bau busuk
dari mayat-mayat yang tidak pernah terkubur, jumlahnya semakin bertambah
saja setiap hari. Sawitri yang dikenal berjuluk si Perawan Lembah Maut itu
setiap hari semakin senang menyiksa anak-anak muda yang ditangkap dari
desa-desa di sekitar lembah ini.
Wanita itu begitu menikmati perbuatannya, menyayat dan merusak wajah
anak-anak muda. Dan setelah puas, tubuh anak muda itu dicampakkan begitu
saja. Tak ada seorang pun yang bisa mengenalinya lagi, kalau masih bisa
bertahan hidup. Tapi sampai saat ini, belum ada seorang pun yang bisa
bertahan hidup lebih dari dua hari.
Kalau tidak mati karena kehabisan darah, pasti mati bunuh diri karena
merasa sudah tidak ada gunanya lagi hidup di dunia ini dengan wajah rusak
tersayat. Orang akan jijik melihat wajahnya lagi. Dan memang, ini yang
diinginkan Perawan Lembah Maut yang ingin membalas dendam atas perbuatan
laki-laki padanya. Perbuatan yang merusak wajahnya, hingga sekarang harus
ditutupi dengan selembar topeng kulit.
***
Emoticon