EMPAT
Pagi-pagi sekali Wirya dan Rasik meninggalkan rumah penginapan. Mereka
keluar sebelum matahari benar-benar penuh menampakkan diri. Hanya rona merah
saja yang masih terlihat menyemburat di kaki langit sebelah timur. Langkah
mereka terlihat cepat, meninggalkan penginapan itu menuju tengah Kotaraja
Karang Setra. Dan mereka baru berhenti setelah berada tidak jauh di bagian
samping sebelah barat Istana Karang Setra.
"Aku rasa bukan sekarang saatnya yang tepat, Wirya. Kau lihat. Penjagaan
begitu ketat. Rasanya sukar bagi kita untuk menembus langsung ke dalam.
Apalagi, siang hari begini," kata Rasik tanpa berpaling sedikit pun.
"Tapi aku tahu, Putri Arum Winasih ada di dalam sana, Kakang," kata Wirya
pasti.
"Bagaimana kau bisa yakin, Wirya? Sedangkan kita hanya menduga-duga saja,"
kata Rasik.
Wirya tidak menjawab, tapi malah tersenyum-senyum saja. Tanpa disadari,
Rasik memperhatikannya dengan kelopak mata agak menyipit. Dan Wirya baru
tahu kalau sedang diperhatikan setelah berpaling.
"Aku mendapat keterangan penting semalam," kata Wirya memberi tahu.
"Dari mana?" tanya Rasik.
"Kau tidak perlu tahu, dari mana aku memperoleh keterangan kalau Putri Arum
Winasih ada di istana ini. Juga, jangan tanya bagaimana caranya mendapatkan
keterangan itu, Kakang," sahut Wirya sombong.
"Wanita...?" tebak Rasik langsung.
Wirya hanya tersenyum saja. Memang, Rasik sudah tahu betul watak temannya
ini. Rasanya tidak ada waktu terbuang sedikit pun bagi Wirya, untuk
mendapatkan perempuan-perempuan yang bisa diajak tidur. Memang, Wirya
memiliki wajah tampan dan tubuh tegap. Dan suaranya juga sangat lembut. Tak
heran kalau wanita yang kenal dengannya, tidak akan sanggup menolak. Seperti
tidak sadar, tubuhnya akan direngkuh ke dalam pelukan Wirya di atas
ranjang.
Keahlian Wirya yang satu ini memang tidak dapat diikuti Rasik. Meskipun
juga berwajah tampan dan bertubuh tegap berotot, tapi Rasik tidak pandai
merayu wanita. Apalagi, sampai mengajaknya ke atas ranjang. Dan keahlian
Wirya yang satu ini memang seringkali sangat bermanfaat untuk mendapatkan
keterangan yang diperlukan. Seperti sekarang ini, mudah sekali Wirya sudah
tahu kalau Putri Arum Winasih berada di dalam Istana Karang Setra. Padahal,
kemarin mereka baru memperkirakan saja. Walaupun, dalam hati sudah yakin
kalau Putri Arum Winasih pasti berada di dalam istana bersama Panglima Gagak
Sewu dan beberapa prajurit yang berhasil lolos dari kejaran para prajurit
Kerajaan Jenggala yang memberontak.
"Ayo ke depan, Wirya," ajak Rasik.
Mereka kemudian melangkah menyusuri benteng istana yang tidak begitu tinggi
ini. Meskipun hampir tidak terlihat adanya prajurit penjaga, tapi mereka
tetap yakin kalau penjagaan di sekitar istana ini sangat ketat.
"Kakang! Kau tahu, siapa Raja Karang Setra ini...?" tanya Wirya bernada
menguji.
"Prabu Rangga Pati Permadi," sahut Rasik tanpa berpaling sedikit pun.
"Kau tahu, siapa dia?"
Rasik hanya menggeleng saja.
"Dia seorang pendekar, Kakang. Dan sering bepergian. Sekarang ini, dia juga
tidak ada di istana. Dan yang menggantikan kedudukannya untuk sementara,
hanya adik tirinya saja. Jadi, istana ini dalam keadaan kosong, Kakang,"
jelas Wirya, memberi tahu.
Rasik berpaling menatap temannya ini. Sungguh tidak dimengerti, dari mana
Wirya mendapatkan keterangan yang begitu lengkap. Padahal, baru kemarin
mereka sampai di Kotaraja Karang Setra ini. Tapi, Wirya seperti sudah
berhari-hari berada di sini. Sampai-sampai, keadaan rajanya yang sering
bepergian pun diketahuinya.
"Aku bisa mengenalinya kalau dia ada, Kakang. Selain raja, dia juga seorang
pendekar yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti," kata Wirya memberi tahu
lagi.
"Siapa...?!"
"Pendekar Rajawali Sakti."
Rasik begitu terkejut mendengar Raja Karang Setra bergelar Pendekar
Rajawali Sakti. Siapa yang tidak kenal julukan itu...? Semua orang yang
pernah berkecimpung dalam rimba persilatan pasti akan mengenal Pendekar
Rajawali Sakti. Seorang tokoh muda dalam rimba persilatan yang sukar sekali
dicari tandingannya. Bahkan sudah banyak tokoh persilatan berkepandaian
tinggi dapat ditaklukkannya, sehingga selalu menyeganinya. Tidak peduli,
apakah itu lawan atau kawan.
Dan Rasik benar-benar terkejut, sampai-sampai menghentikan ayunan kakinya.
Langsung dipandanginya Wirya dengan sinar mata yang begitu dalam,
seakan-akan mencari kebenaran dari ucapan yang mengejutkannya barusan.
Sungguh tidak pernah terkira kalau Raja Karang Setra adalah tokoh persilatan
kosen yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Rasik kembali mengayunkan
kakinya tanpa bicara lagi. Sedangkan Wirya juga terdiam membisu.
Dan begitu tiba di bagian depan istana, Rasik dan Wirya melihat dua orang
penunggang kuda memasuki pintu gerbang. Mereka jadi tertegun, karena kedua
penunggang kuda itu berpakaian biasa saja, seperti layaknya para pendekar
yang berkelana di dalam rimba persilatan. Tapi, enam orang prajurit yang
menjaga pintu gerbang istana itu kelihatan memberi penghormatan dengan
membungkuk dan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Seorang pemuda yang menunggang kuda hitam melompat turun begitu melewati
pintu gerbang yang dibuka lebar. Dan satu penunggang kuda lainnya adalah
seorang gadis cantik berbaju biru. Dia juga melompat turun dari punggung
kudanya. Tampak dua orang laki-laki setengah baya menghampiri dengan langkah
bergegas. Mereka segera memberi penghormatan, lalu mengambil kuda-kuda itu
dan membawanya pergi ke bagian belakang.
Sementara, sepasang anak muda yang berpakaian seperti layaknya seorang
pendekar itu melangkah menuju tangga istana. Saat itu, pintu gerbang
tertutup. Sementara, Rasik dan Wirya terus memandangi sampai pintu gerbang
tertutup rapat. Mereka berpandangan beberapa saat, tapi tidak ada seorang
pun yang bersuara.
"Itu tadi Prabu Rangga yang datang, Kakang. Aku tahu, dari pakaian dan
pedangnya yang dibawa," jelas Wirya.
"Hm...," Rasik hanya menggumam perlahan saja.
"Ini sudah pasti kesulitan besar, Kakang. Tidak mungkin kita bisa
menandinginya," kata Wirya lagi. "Kepandaiannya begitu tinggi. Bahkan Raden
Banyugara sendiri belum tentu bisa menandinginya"
"Jangan mengeluh, Wirya. Tugas ini sangat penting. Kalau berhasil, kita
akan memperoleh kedudukan yang sangat tinggi di Jenggala," tegas Rasik,
mengingatkan.
"Aku jadi ragu-ragu, Kakang."
"Kenapa?"
"Prabu Rangga sudah datang. Pasti penjagaan akan semakin diperketat. Dan
rasanya, akan sulit untuk bisa melewatinya. Kalaupun bisa, kita harus
menghadapi Prabu Rangga sendiri. Itu tidak mungkin, Kakang. Tidak mungkin
kita bisa menandingi hanya berdua saja. Kau sudah dengar kehebatannya,
kan...?"
Rasik hanya diam saja. Dalam hati, diakui ke benaran kata-kata Wirya tadi.
Memang, mereka berdua tidak akan mungkin bisa menandingi kepandaian Pendekar
Rajawali Sakti. Apalagi mereka sudah sering mendengar sepak terjang pendekar
muda yang juga jadi raja di Kerajaan Karang Setra ini.
"Ayo kembali ke penginapan. Kita pikirkan nanti di sana," ajak Rasik.
Wirya hanya mengangkat bahunya sedikit saja. Sementara itu di dalam istana,
semua orang tampak gembira menyambut kedatangan Rangga dan Pandan Wangi.
Entah sudah berapa lama mereka meninggalkan istana ini untuk mengembara,
menjelajahi ganasnya kehidupan di luar. Kegembiraan ini, terutama sekali
terlihat pada Cempaka. Gadis itu seakan tidak mau lepas dari Pendekar
Rajawali Sakti, dan terus menggayuti lengan sampai berada di depan pintu
kamar peristirahatan Raja Karang Setra.
"Boleh aku masuk bersamamu, Kakang...?" pinta Cempaka manja.
"Kenapa tidak? Kau toh sering masuk ke sini," kata Rangga tidak
keberatan.
Mereka kemudian masuk ke dalam kamar itu. Rangga membiarkan saja pintu
kamar terbuka lebar yang ditunggui oleh dua orang prajurit saja. Mereka
kemudian duduk di kursi panjang dekat jendela. Rangga melepaskan pedang
pusakanya, dan menaruhnya di atas meja kecil dekat kursi panjang yang
didudukinya. Sementara Cempaka terus memandangi, seakan begitu rindu sekali
pada kakak tirinya.
"Kakang lewat Jenggala, tidak?" tanya Cempaka langsung.
"Tidak. Aku langsung ke sini setelah bertemu seorang utusan yang dikirim
Danupaksi," sahut Rangga.
"Kasihan Putri Arum, Kakang. Sampai sekarang, dia tidak tahu bagaimana
nasib ayahnya," kata Cempaka lagi, dengan nada suara terdengar
memelas.
"Utusan itu sudah bercerita banyak padaku. Tadi Danupaksi juga sudah
menceritakan semuanya padaku. Tapi, aku ingin mendengar sendiri dari Putri
Arum dan Paman Panglima Gagak Sewu," kata Rangga.
"Mereka masih ada di sini, Kakang," kata Cempaka memberi tahu.
Rangga hanya tersenyum saja. Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti sudah tahu
kalau Putri Arum Winasih dan Panglima Gagak Sewu serta beberapa orang
prajuritnya berada di istana ini, karena memang sudah diberi tahu Danupaksi.
Memang tak mungkin kalau Danupaksi sampai mengirim utusan ke segala penjuru
untuk mencarinya, jika tidak ada keperluan yang sangat penting dan
mendesak.
"Kita harus menolongnya, Kakang," kata Cempaka lagi.
"Tentu. Tapi, tidak dengan mengerahkan prajurit untuk memerangi pemberontak
itu," sahut Rangga tegas.
"Tapi semua prajurit Jenggala berpihak pada Raden Banyugara, Kakang."
"Aku tahu, Cempaka. Tapi semuanya perlu dipikirkan masak-masak. Aku rasa,
ini persoalan kecil. Dan kita tidak bisa memerangi mereka begitu saja. Akan
berakibat buruk bagi Karang Setra nantinya."
"Lalu, apa yang akan Kakang lakukan untuk menolong Putri Arum Winasih?"
tanya Cempaka ingin tahu.
Rangga jadi tersenyum. Entah kenapa dia jadi tersenyum mendengar pertanyaan
adik tirinya ini barusan. Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke arah pintu.
Dan tampaklah Danupaksi sudah berdiri di ambang pintu yang sejak tadi
dibiarkan terbuka lebar. Setelah memberi sembah hormat, Danupaksi melangkah
masuk. Sedangkan Rangga dan Cempaka masih tetap duduk di kursi panjang dekat
jendela.
"Aku mengganggu, Kakang...?" ujar Danupaksi.
"Tidak. Duduklah...," sahut Rangga seraya tersenyum.
Danupaksi duduk di kursi yang ada di depan bangku panjang ini, menghadap
langsung ke jendela. Sedangkan Rangga dan Cempaka jadi membelakangi jendela
besar kamar ini.
"Baru saja aku dapat laporan dari prajurit Paman Gagak Sewu. Katanya, dia
melihat dua orang kepercayaan Raden Banyugara ada di sekitar istana ini,"
kata Danupaksi langsung memberi laporan.
"Sudah kau lihat kebenarannya?" tanya Rangga.
"Sudah. Mereka baru datang kemarin, dan menginap di rumah penginapan Ki
Sarpan," sahut Danupaksi.
"Lalu?" tanya Rangga lagi.
Belum juga Danupaksi menjawab, Pandan Wangi muncul di ambang pintu. Gadis
itu langsung saja masuk, begitu melihat Rangga memberi isyarat dengan tangan
untuk langsung masuk dan menutup pintu yang sejak tadi dibiarkan terbuka.
Gadis berjuluk si Kipas Maut itu mengambil tempat di samping
Danupaksi.
"Ada rundingan apa ini?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Danupaksi baru saja memberi tahu, kalau ada dua orang dari Jenggala
berkeliaran di sekitar sini," sahut Rangga kalem.
"Kenapa tidak langsung ditangkap saja...?" selak Cempaka.
"Tidak sembarangan menangkap orang, Cempaka. Harus ada tuduhan yang tepat,"
kata Rangga, tetap kalem suaranya.
"Tapi tujuan mereka sudah jelas, Kakang. Mereka pasti ingin membunuh Putri
Arum Winasih," selak Danupaksi.
"Belum pasti, Danupaksi. Dan ini menjadi tugasmu untuk menyelidiki tujuan
mereka berada di Karang Setra ini," ujar Rangga.
"Aku sudah menyebar beberapa telik sandi di sekitar rumah penginapan itu,
Kakang. Kalau ada perkembangan, pasti akan kuberitahukan," kata
Danupaksi.
"Kau beri tahu saja Pandan Wangi, Danupaksi," sahut Rangga seraya menatap
Pandan Wangi.
Danupaksi juga langsung menatap Pandan Wangi yang duduk di sebelahnya,
kemudian beralih pada Pendekar Rajawali Sakti, dengan sorot mata minta
penjelasan.
"Kau juga bisa bertindak kalau perlu, Danupaksi. Tapi untuk yang dua orang
itu, aku tidak ingin kau ikut campur. Ada yang lebih besar, yang harus
kulakukan," kata Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat menjelaskan.
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Danupaksi.
Rangga hanya tersenyum saja menjawab pertanyaan adik tirinya ini. Pendekar
Rajawali Sakti lalu bangkit berdiri sambil meraih pedangnya, dan
menyandangkan ke punggung. Kemudian, kakinya melangkah hendak keluar dari
dalam kamar ini. Sementara, yang lain hanya memandangi saja dengan sorot
mata memancarkan ketidakmengertian. Pendekar Rajawali Sakti berhenti,
setelah sampai di pintu. Tangannya sudah ingin membuka pintu kamar itu, tapi
tidak jadi. Segera kepalanya dipalingkan.
"Aku serahkan keamanan pada kalian semua," kata Rangga langsung membuka
pintu.
"Kau akan ke mana, Kakang?" tanya Cempaka, agak keras suaranya.
Tapi Rangga sudah menghilang di balik pintu yang tertutup kembali.
Sementara, mereka hanya bisa saling berpandangan saja dan sama-sama
mengangkat bahu.
Sementara itu Rangga sudah berada di bagian belakang Istana Karang Setra
yang megah ini. Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak memandangi sekitarnya,
kemudian tertumbuk pada seorang laki laki setengah baya yang duduk di bawah
pohon. Dia tahu, laki-laki itu adalah Panglima Gagak Sewu dari Kerajaan
Jenggala. Rangga tersenyum sedikit dan segera menghampiri. Panglima Gagak
Sewu cepat-cepat bangkit berdiri, lalu berlutut di tanah sambil memberi
sembah hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Terimalah sembahku, Gusti Prabu," ucap Panglima Gagak Sewu dengan sikap
begitu hormat.
Rangga hanya tersenyum saja. Langsung disentuhnya pundak panglima ini,
memintanya bangun. Dengan sikap masih hormat, Panglima Gagak Sewu beranjak
bangkit. Kini mereka melangkah ke sebatang pohon yang cukup rindang dan
duduk di bawahnya.
"Semua yang terjadi di Jenggala sudah kudengar, Paman. Aku turut prihatin,"
kata Rangga setelah menghembuskan napas panjang.
"Maaf, Gusti Prabu. Kedatangan kami ke sini tentu sangat merepotkan. Dan
pasti akan membuat kesulitan," ujar Panglima Gagak Sewu.
"Jangan pikirkan itu, Paman. Apa yang kami lakukan sudah sewajarnya. Tapi
maaf, Paman. Bukannya aku tidak suka kau berada di istana ini. Sedangkan
Putri Arum Winasih memang harus tetap berada di dalam istana ini dan jangan
keluar dari lingkungan istana. Tapi kau tidak, Paman," kata Rangga.
"Maksud, Gusti Prabu...?" tanya Panglima Gagak Sewu tidak mengerti.
"Kau seorang panglima, Paman. Tentunya tidak ingin negerimu terus-menerus
berada di tangan orang yang tidak berhak, bukan...? Kau harus bisa
membebaskan negerimu dari tangan Raden Banyugara," jelas Rangga.
Panglima Gagak Sewu terdiam merenung. Dalam hatinya, Kerajaan Jenggala
memang ingin direbutnya kembali dari tangan Raden Banyugara. Tapi apa
mungkin...? Sedangkan prajurit yang dimiliki sekarang hanya tinggal enam
belas orang saja. Dan semangat mereka juga tidak mungkin bisa diandalkan.
Sedangkan Raden Banyugara memiliki prajurit yang berjumlah cukup besar. Jadi
rasanya tidak mungkin merebut lagi takhta yang kini sudah dikuasai oleh
orang yang tidak berhak sama sekali dengan hanya mengandalkan beberapa
prajurit.
"Gusti Prabu, hamba sudah tidak lagi punya kekuatan untuk melakukan itu.
Sedangkan prajurit yang hamba miliki sekarang hanya tinggal enam belas orang
saja. Jadi, mana mungkin hamba bisa merebut lagi takhta dari tangan Raden
Banyugara...?" ujar Panglima Gagak Sewu. "Atau barangkali, Gusti Prabu
hendak meminjamkan sejumlah prajurit untuk hamba...?"
Rangga tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Tidak, Paman. Tidak seorang pun prajurit Karang Setra yang akan kukirim ke
sana."
"Lalu, bagaimana hamba bisa mewujudkan impian itu...?"
"Hanya kau dan aku yang ke sana, Paman. Sedangkan enam belas prajuritmu
biar berada di sini. Dan untuk keamanan Putri Arum Winasih, jangan terlalu
dipikirkan. Dia aman kalau tidak keluar dari lingkungan istana ini' kata
Rangga.
"Hanya berdua saja, Gusti...?"
Panglima Gagak Sewu jadi terperanjat setengah mati mendengar kata-kata Raja
Karang Setra yang seakan menginginkan mereka berdua saja yang harus pergi ke
Kerajaan Jenggala untuk merebut kembali takhta yang kini dikuasai
pemberontak. Rasanya memang sulit dipercaya Walaupun Panglima Gagak Sewu
tahu kalau Raja Karang Setra yang juga dikenal bergelar Pendekar Rajawali
Sakti memiliki kepandaian tinggi, tapi hatinya masih ragu-ragu.
"Kenapa, Paman? Kau tidak percaya dengan kemampuanmu sendiri...?"
"Bukan. Bukan itu, Gusti Prabu. Tapi apa mungkin...?"
"Kenapa tidak? Aku yakin, prajurit-prajurit yang sekarang berpihak pada
Raden Banyugara tidak sepenuhnya berpihak padanya. Kau tahu sifat prajurit,
Paman? Mereka akan mengabdi pada siapa saja yang sekarang berkuasa.
Sedangkan tujuan utama kita hanyalah Raden Banyugara. Dan kalau sudah
melumpuhkannya, aku yakin tidak akan ada seorang prajurit pun yang akan
bertindak. Mereka pasti akan tunduk," jelas Rangga, menegaskan.
Panglima Gagak Sewu hanya terdiam saja sambil merenung. Dalam hati memang
diakui kebenaran kata-kata Pendekar Rajawali Sakti barusan. Sifat prajurit
memang akan mengikuti segala yang diperintahkan pimpinannya. Dan mereka
selalu mengabdikan diri, pada siapa saja yang sedang berkuasa. Tapi, itu
juga dikarenakan para panglima mereka ikut memberontak mendukung Raden
Banyugara.
Dan ini berarti bukan hanya Raden Banyugara sendiri yang menjadi sasaran
untuk dilumpuhkan, tapi juga panglima-panglima dan orang-orang di
sekelilingnya yang sudah pasti tidak sedikit jumlahnya. Mereka jelas
orang-orang berkepandaian tinggi, kendati tidak setinggi Panglima Gagak
Sewu. Namun tetap saja panglima itu masih belum bisa meyakinkan diri.
"Sebaiknya kau bersiap-siap, Paman. Malam nanti kita berangkat," kata
Rangga seraya bangkit berdiri.
"Gusti..."
Panglima Gagak Sewu ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya seperti
tercekat di tenggorokan. Sedangkan Rangga tidak jadi melangkah. Langsung
dipandanginya panglima berusia setengah baya ini.
"Ada apa, Paman?"
"Tidak, Gusti. Tidak jadi. Baiklah, Gusti. Malam nanti kita berangkat ke
Jenggala," kata Panglima Gagak Sewu agak tergagap.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian memutar tubuhnya berbalik. Kini
Pendekar Rajawali Sakti melangkah pergi meninggalkan panglima itu seorang
diri di halaman belakang istana ini. Panglima Gagak Sewu memberi sembah
hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hiding. Sedangkan
Rangga sudah jauh meninggalkannya, dan tenggelam di dalam bangunan istana
yang megah ini. Dan Panglima Gagak Sewu masih tetap duduk di bangku yang ada
di bawah pohon ini.
Panglima itu jadi merenung sendiri memikirkan kata-kata Raja Karang Setra
barusan. Sungguh tidak dimengerti, apa yang akan dilakukan Pendekar Rajawali
Sakti di Jenggala nanti. Hanya berdua saja.... Rasanya sulit dipercaya
dengan hanya berdua saja, bisa merebut takhta kerajaan dari tangan Raden
Banyugara yang dikelilingi begitu banyak orang berkepandaian tinggi.
"Hhh...! Sebaiknya keinginannya kuikuti saja. Aku yakin, Gusti Prabu Rangga
sudah punya rencana. Dia bukan saja seorang raja, tapi juga seorang pendekar
dan pemikir tangguh. Hm... Sebaiknya aku memang menaruh kepercayaan penuh
padanya. Mudah-mudahan saja, sang Hyang Widhi memberi jalan terang padanya,"
gumam Panglima Gagak Sewu perlahan, berbicara pada diri sendiri.
***
LIMA
Hanya tiga hari saja menunggang kuda, Rangga dan Panglima Gagak Sewu sudah
tiba di batas Kerajaan Jenggala. Tidak ada sedikit pun rintangan yang
dihadapi. Walaupun perbatasan dijaga para prajurit, tapi mereka tidak ada
yang mengenali Panglima Gagak Sewu. Karena, panglima itu mengenakan caping
bambu yang cukup besar hingga melindungi wajahnya agar tidak bisa
dikenali.
Tepat di saat matahari tenggelam di balik peraduannya, mereka baru tiba di
kota kerajaan itu. Pemberontakan yang dilakukan Raden Banyugara rupanya
sudah merubah kota ini bagaikan kota mati yang sudah ditinggalkan
penduduknya. Begitu sunyi keadaannya, hingga detak-detak langkah kaki kuda
yang ditunggangi begitu jelas terdengar. Dan sepanjang jalan yang dilalui,
tidak seorang pun yang dijumpai. Hanya para prajurit saja yang terlihat
memandang mereka dengan penuh kecurigaan. Tapi, Rangga dan Panglima Gagak
Sewu terus menjalankan kudanya perlahan-lahan, tidak mempedulikan beberapa
prajurit yang memperhatikan dengan sorot mata curiga.
"Kita harus cari tempat agar mereka tidak terus curiga, Paman. Terlalu
berbahaya kalau sampai ditegur," bisik Rangga.
"Hamba punya teman yang bisa dipercaya, Gusti," sahut Panglima Gagak
Sewu.
"Sebaiknya, Paman harus membiasakan diri tidak memanggilku begitu. Ingat,
Paman. Di luar istana, aku bukan raja. Panggil saja aku Rangga. Dan Paman
juga jangan menyebut diri dengan sebutan hamba," kata Rangga
mengingatkan.
"Maaf, aku sering lupa." ucap Panglima Gagak Sewu.
Rangga hanya tersenyum saja sedikit. Sebelum mereka sampai di Kotaraja
Kerajaan Jenggala ini, memang Panglima Gagak Sewu sudah diberi tahu agar
menghilangkan tata cara dalam lingkungan istana. Dan lagi, Rangga memang
tidak pernah mau dianggap raja kalau tidak berada di dalam istana. Terlebih
lagi dalam keadaan seperti ini. Pemuda yang selalu mengenakan baju rompi
putih itu lebih senang menjadi seorang pendekar daripada menjadi raja. Itu
sebabnya, dia sering keluar mengembara mengarungi alam bebas seperti
burung.
"Paman, apa temanmu benar-benar bisa dipercaya?" tanya Rangga.
"Dia sahabatku sejak kecil, Rangga. Dan antara kami berdua, tidak ada
rahasia yang tersimpan. Hanya saja, dia lebih senang menjadi orang bebas
dengan mengerjakan ladangnya. Padahal, aku sudah seringkali membujuknya
untuk menjadi wakilku. Tapi, rupanya dia lebih senang jadi petani," sahut
Panglima Gagak Sewu.
"Masih jauh rumahnya?" tanya Rangga lagi.
"Di sebelah barat, agak keluar dari kota ini," sahut Panglima Gagak
Sewu.
"Hm.... Bisa tengah malam baru sampai, Paman," ujar Rangga agak
menggumam."
"Ya, memang. Kalau tidak ada halangan."
"Tapi, tampaknya kita akan mendapatkan halangan, Paman," ujar Rangga,
semakin pelan suaranya.
Belum juga Panglima Gagak Sewu bisa menyadari maksud kata-kata Rangga
barusan, mendadak saja dia jadi tersentak kaget. Ternyata tiba-tiba saja
dari depan muncul sepuluh orang prajurit bersenjatakan tombak yang langsung
menghadang di tengah jalan. Rangga dan Panglima Gagak Sewu segera
menghentikan langkah kaki kuda mereka. Dan begitu berpaling ke belakang,
tampak tidak jauh di belakang sudah menghadang sekitar dua puluh orang
prajurit yang semuanya membawa tombak berukuran panjang dua kali tubuh
mereka.
"Jangan gugup, Paman. Jangan membuat mereka bertambah curiga," bisik Rangga
pelan.
"Baik," sahut Panglima Gagak Sewu.
Seorang prajurit yang tampaknya berpangkat punggawa, melangkah menghampiri
dengan sikap angkuh. Sedangkan yang lain tetap berada di tempatnya dengan
sikap siaga penuh. Rangga dan Panglima Gagak Sewu masih tetap berada di
punggung kudanya. Dan punggawa yang masih kelihatan berusia muda itu
berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi di depan kuda
hitam yang bernama Dewa Bayu, tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Tampaknya kalian bukan orang Jenggala. Siapa kalian berdua?" tanya
punggawa itu.
"Kami hanya dua orang pengembara yang kemalaman, dan sedang mencari
penginapan di kota ini," sahut Rangga mencoba bersikap ramah.
"Kalian tahu, kota ini terlarang bagi pendatang. Dan kalian sudah melanggar
larangan Gusti Prabu Banyugara. Kalian harus ditangkap," terdengar lantang
suara punggawa itu.
"Kami tidak melakukan apa-apa yang merugikan. Kalau memang tidak diizinkan
bermalam di sini, sekarang juga kami akan pergi," sahut Rangga.
"Tidak! Kalian sudah melanggar larangan Gusti Prabu," sentak punggawa itu
tegas. "Prajurit...!" Tangkap mereka!"
Semua prajurit yang berada di depan dan belakang, langsung berlompatan
mengepung jalan ini. Sementara, Rangga dan Panglima Gagak Sewu saling
melemparkan pandangan.
"Terpaksa, Paman," ujar Rangga.
"Ya. Apa boleh buat...?" sahut Panglima Gagak Sewu seraya mengangkat
bahunya sedikit.
"Tapi lebih baik menghindar saja, Paman. Bukan mereka tujuan kita," kata
Rangga.
"Aku mengikutimu saja, Rangga," sahut Panglima Gagak Sewu. Dan saat itu
juga...
"Tangkap mereka...!" seru punggawa itu memberi perintah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga dan Panglima Gagak Sewu langsung
menggebah cepat kudanya.
"Awas...!
Hup!"
Punggawa yang berada tepat di depan Rangga langsung melompat ke samping dan
membanting diri hingga bergulingan ke tanah, menghindari terjangan Dewa Bayu
tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiya!"
"Yeah!"
Rangga dan Panglima Gagak Sewu terus memacu cepat kudanya meninggalkan para
prajurit yang tadi mengepung. Debu langsung mengepul membubung tinggi ke
angkasa. Sementara, para prajurit Kerajaan Jenggala jadi terlongong
bengong.
"Kejar mereka! Tangkaaap...!" teriak punggawa muda itu memberi
perintah.
Tapi tidak mungkin bagi mereka mengejar kuda yang dipacu dengan kecepatan
sangat tinggi itu. Dan belum juga ada seorang prajurit pun yang bergerak,
kedua kuda itu sudah lenyap dari pandangan.
"Ayo, kejar mereka!" perintah punggawa berusia muda itu jadi berang.
Tanpa peduli kalau yang akan dikejar menunggang kuda, mereka segera
berlarian berusaha mengejar. Sedangkan, Rangga dan Panglima Gagak Sewu sudah
terlalu jauh. Sementara malam terus merayap semakin bertambah larut. Kini,
prajurit-prajurit Kerajaan Jenggala menghentikan pengejarannya.
"Hooop...!"
Rangga menghentikan lari kudanya, begitu merasa tidak ada lagi prajurit
yang mengejar. Kepalanya berpaling ke belakang, menatap Panglima Gagak Sewu
yang tertinggal cukup jauh di belakang. Memang kuda yang ditunggangi
Panglima Gagak Sewu hanya kuda biasa, sehingga tidak mungkin bisa menandingi
kecepatan Dewa Bayu. Kuda hitam itu memang bukanlah kuda sembarangan.
Kecepatan larinya saja bagaikan angin, sehingga sulit dicari
tandingannya.
"Hop!"
Panglima Gagak Sewu segera menarik tali kekang kudanya, begitu dekat di
samping kuda yang ditunggangi Rangga. Mereka sama-sama berpaling ke
belakang. Memang, tidak ada tanda-tanda yang mengejar. Dan tanpa disadari,
mereka justru sekarang berada di tengah-tengah sebuah kebun yang sangat luas
bagaikan tak bertepi. Sepanjang mata memandang hanya kegelapan saja yang
terlihat, serta pepohonan yang menghitam tersaput kabut tipis.
"Kita salah jalan, Rangga," kata Panglima Gagak Sewu memberi tahu.
"Terpaksa...," sahut Rangga agak mendesah, seraya mengangkat pundaknya
sedikit.
"Ya.... Terpaksa kita harus bermalam di sini," kata Panglima Gagak Sewu
lagi.
"Hm...," Rangga menggumam sedikit.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling, namun tidak
satu rumah pun yang terlihat di tempat ini. Sepertinya mereka bukan berada
di dalam kota. Kebun ini terlalu luas, hingga sulit menentukan arah lagi.
Terlebih, malam ini begitu pekat. Langit terlihat hitam tersaput awan hitam.
Sedikit pun tak terlihat cahaya bulan maupun bintang.
"Ada di mana kita sekarang, Paman?" Tanya. Rangga ingin tahu.
"Masih di dalam kota," sahut Panglima Gagak Sewu.
"Hm..."
"Kenapa, Rangga?"
"Tidak apa-apa. Paman," sahut Rangga seraya turun dari kudanya.
Panglima Gagak Sewu juga melompat turun dari punggung kudanya dengan
gerakan ringan sekali, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah cukup
tinggi. Bahkan hampir tidak menimbulkan suara saat kedua kakinya menjejak
tanah. Dan kakinya segera melangkah memutari kudanya, lalu berdiri di
sebelah Rangga yang masih tetap berada di depan kudanya sendiri.
"Kebun kelapa ini milik Gusti Prabu Gandaraka. Letaknya memang sudah hampir
mencapai pinggiran kota. Tapi tidak terlalu jauh dari pusat kota. Dari kebun
ini, kita bisa mencapai istana dengan mudah," kata Panglima Gagak Sewu
memberi tahu tanpa diminta.
"Kau tahu arahnya, Paman?" tanya Rangga, mengingat keadaan sekeliling yang
begitu gelap. Sedikit pun tidak ada petunjuk yang bisa dijadikan pedoman
untuk mengetahui arah mata angin.
"Tidak terlalu sulit, Rangga. Aku sering ke sini. Dan daerah ini sudah
kukenal dengan baik," sahut Panglima Gagak Sewu.
Rangga jadi tersenyum. Baru disadari kalau pertanyaannya tadi sangat bodoh.
Sudah tentu Panglima Gagak Sewu mengenal betul tempat ini, karena sejak
remaja berada di tempat ini. Bahkan telah menjadi orang penting di istana,
dengan menjadi panglima kepercayaan Prabu Gandaraka. Tapi sekarang, mereka
tidak tahu nasib Raja Jenggala itu. Dan mereka datang kesini juga untuk
mengetahui keadaan Prabu Gandaraka. Bahkan kalau masih hidup, harus
diusahakan untuk membebaskannya. Dan takhtanya yang kini berada di tangan
Raden Banyugara, harus dikembalikan ke tangannya semula.
"Tempat ini terlalu terbuka, Paman. Kalau mereka tahu, tidak ada tempat
lain untuk menghindar," kata Rangga.
"Ya! Kita harus mencari tempat yang cocok," sahut Panglima Gagak
Sewu.
Tanpa bicara lagi, mereka berjalan sambil menuntun kuda masing-masing.
Rangga mengikuti saja, ke mana ayunan langkah kaki Panglima Gagak Sewu
menuju, karena memang tidak tahu arah. Rangga hanya bisa mengawasi keadaan
sekelilingnya, dengan mempergunakan aji 'Tatar Netra'. Sehingga, Pendekar
Rajawali Sakti bisa melihat dari jarak jauh, walaupun keadaan begitu
gelap.
***
Rangga cepat bangun, saat merasakan hangatnya cahaya matahari menerpa
kulit. Tampak Panglima Gagak Sewu tengah duduk membelakangi dekat api yang
menyala kecil. Laki-laki berusia setengah baya itu berpaling dan tersenyum.
Rangga menghampiri, lalu duduk bersila di depannya.
"Apa itu?" tanya Rangga.
"Singkong, Mau...?"
Rangga tersenyum saja melihat Panglima Gagak Sewu mengambil singkong bakar,
dan memakannya dengan nikmat. Bibirnya tersenyum bukan karena lucu, tapi
melihat keanehan. Seorang panglima yang biasa hidup serba kecukupan, kini
mengisi perutnya hanya dengan singkong bakar. Sedangkan bagi Rangga sendiri,
walaupun seorang raja, sudah tidak asing lagi dengan makanan seperti ini.
Maka tanpa sungkan-sungkan lagi, diambilnya satu, dan dimakannya dengan
nikmat.
"Maaf, hanya ini yang bisa kuperoleh," ujar Panglima Gagak Sewu.
"Aku justru mengira kau tidak biasa makan seperti ini, Paman," kata
Rangga.
"Sebelum jadi panglima, aku juga pengembara sepertimu, Rangga. Hanya saja,
tidak lama. Yaaah..., sekitar sepuluh tahun. Jadi makanan seperti apa pun,
sudah pernah kurasakan," jelas Panglima Gagak Sewu tanpa merasa tersinggung
sedikit pun. "Justru aku merasa tidak enak padamu, Rangga."
"Kenapa?"
"Walaupun sehari-harinya selalu mengembara, tapi kau seorang raja. Pasti,
bekalmu lebih dari cukup selama pengembaraan. Dan makananmu juga tidak
sembarangan."
"Sama saja, Paman. Aku sendiri tidak pernah membawa bekal. Apa saja yang
bisa jadi pengisi perut pasti kumakan. Aku rasa tidak ada bedanya, antara
hidup di dalam istana atau di alam bebas. Malah, aku lebih suka hidup di
alam bebas. Makanya aku lebih sering mengembara daripada berada di istana,"
kata Rangga menjelaskan.
"Aku kagum padamu, Rangga. Kalau saja semua raja sepertimu, pasti tidak
akan ada pemberontakan atau kejahatan di dunia ini," puji Panglima Gagak
Sewu tulus.
"Jangan terlalu memuji, Paman. Aku juga pernah menghadapi pemberontakan,
tapi tidak sampai berhasil menggulingkan takhta."
"Ya, karena Karang Setra dikelilingj jago-jago berkepandaian tinggi. Dan
lagi, siapa yang bisa menandingi kepandaianmu, Rangga? Orang orang
persilatan saja akan berpikir serlbu kali berhadapan denganmu," lagi-lagi
Panglima Gagak Sewu memuji.
Rangga hanya tersenyum saja mendengar pujian tulus itu. Dia berdiri
melangkah menghampiri kudanya, setelah merasa cukup mengisi perut. Panglima
Gagak Sewu juga berdiri setelah mematikan api yang ditimbun dengan abu
tanah. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di atas punggung
kudanya. Dan Panglima Gagak Sewu bergegas naik ke punggung kudanya
sendiri.
"Masih terlalu pagi, Paman. Apa sebaiknya kita temui dulu sahabatmu
itu...?" ujar Rangga memberi saran.
"Aku rasa memang itu yang terbaik, Rangga. Kita bisa memperoleh keterangan
darinya," sambut Panglima Gagak Sewu.
Tanpa bicara lagi, mereka menggebah kudanya perlahan meninggalkan tempat
ini. Rangga tetap mengikuti Panglima Gagak Sewu yang lebih tahu seluk beluk
daerah ini. Mereka berjalan bersisian, dan menghindari keramaian. Sengaja
Panglima Gagak Sewu mengambil jalan sepi, agar tidak mengundang
perhatian.
Setelah cukup lama berkuda, mereka sampai di depan sebuah rumah yang tidak
begitu besar, tapi memiliki halaman luas. Dan suasananya juga terasa begitu
damai. Rumah ini terpisah dari rumah-rumah lain. Panglima Gagak Sewu
melompat turun dari punggung kudanya, kemudian melangkah memasuki halaman
luas, yang dipenuhi tanaman-tanaman pangan ini. Rangga mengikuti turun dari
kudanya, dan juga melangkah sambil menuntun kuda hitamnya. Dia berjalan agak
ke belakang dari Panglima Gagak Sewu yang masih mengenakan tudung
bambunya.
Baru saja mereka sampai di tengah-tengah halaman, pintu rumah itu sudah
terbuka. Maka muncullah seorang wanita berusia sekitar empat puluh lima
tahun yang masih kelihatan cantik. Wanita itu tampak tertegun, melihat dua
orang mendatangi rumahnya sambil menuntun kuda. Bergegas dia keluar, dan
menanti di depan beranda. Panglima Gagak Sewu membuka tudungnya. begitu
dekat di depan wanita ini.
"Kakang Gagak Sewu...," desis wanita itu terkejut.
"Rambulun ada, Nyi Karuni?" tanya Panglima Gagak Sewu langsung.
"Ada di dalam. Mari masuk, Kakang...," sahut wanita yang dipanggil Nyi
Karuni ini.
"Terima kasih. Aku menunggu di sini saja," ujar Panglima Gagak Sewu.
"Jangan, Kakang. Bahaya...."
"Tidak mengapa, Nyi. Panggilkan saja suamimu."
"Baiklah kalau begitu. Sebentar, Kakang."
Nyi Karuni cepat berbalik, dan masuk kembali ke dalam rumahnya.
Dibiarkannya saja pintunya tetap terbuka. Sementara Panglima Gagak Sewu dan
Rangga menunggu di depan beranda rumah yang tidak begitu besar ukurannya
ini. Dan tidak berapa lama kemudian, dari dalam rumah itu muncul Nyi Karuni
bersama seorang laki-laki yang hampir sebaya dengan Panglima Gagak Sewu. Dia
tampak terperanjat, melihat Panglima Gagak Sewu berada di depan
rumahnya.
"Ayo masuk, Kakang. Jangan di depan saja," ajak laki-laki setengah baya itu
yang ternyata Rambulun, suami Nyi Karuni.
Mereka kemudian masuk ke dalam rumah yang sederhana sekali bentuknya, lalu
duduk di ruangan depan yang tidak seberapa luas ukurannya. Sementara, Nyi
Karuni sudah menghilang di belakang. Tapi tidak lama dia keluar lagi sambil
membawa minuman dan sedikit makanan. Mereka duduk di lantai tanah yang hanya
beralaskan selembar tikar lusuh.
"Aku tidak mengira kau masih hidup, Kakang Gagak Sewu. Semua orang mengira
kau sudah mati dibunuh Raden Banyugara," kata Rambulun.
"Aku berhasil menyelamatkan Gusti Putri Arum Winasih," kata Panglima Gagak
Sewu.
"Dewata Yang Agung..., "desah Rambulun dan istrinya berbarengan.
"Lalu, bagaimana keadaan Gusti Putri?" tanya Nyi Karuni
"Sehat. Sekarang berada di Istana Karang Setra," sahut Panglima Gagak
Sewu.
"Syukurlah kalau sudah sampai di sana," ucap Nyi Karuni tampak
senang.
Mereka jadi terdiam.
"Kakang, keadaan di sini jauh berubah sekarang. Kau harus segera
menjatuhkan Raden Banyugara. Kelakuannya semakin beringas saja. Bahkan sudah
tiga hari ini, orang-orangnya diperintahkan mengambil gadis-gadis cantik.
Aku tidak tahu akan diapakan gadis-gadis itu. Malah, tidak ada seorang pun
yang kembali lagi," kata Rambulun memberi tahu keadaan tanpa diminta
lagi.
"Benar, Kakang. Prajurit-prajurit juga jadi seperti perampok. Mereka
merampas apa saja yang dimiliki rakyat. Negeri ini tidak lama lagi akan jadi
neraka, kalau Raden Banyugara tidak segera digulingkan. Kau harus secepatnya
mengambil tindakan, Kakang," timpal Nyi Karuni.
"Tidak semua prajurit berkelakuan seperti itu, Nyi. Mereka yang merampas
bararng-barang rakyat hanya anak buah Raden Banyugara yang berpakaian
prajurit. Sedangkan prajurit prajurit yang setia pada Gusti Prabu Gandaraka,
semuanya dimasukkan ke dalam penjara," selak Rambulun.
Sementara, Rangga dan Panglima Gagak Sewu hanya diam saja mendengarkan
Rambulun dan istrinya berebut cerita, memberi tahu keadaan di Kerajaan
Jenggala ini. Tampak Panglima Gagak Sewu hanya tertunduk saja, dengan wajah
terlihat memerah. Sedangkan Rangga beberapa kali melayangkan pandangan ke
luar, melalui pintu yang sedikit terbuka.
***
Emoticon