Namun lawan yang dihadapinya kini sepertinya mempunyai seribu kaki yang
bergerak secara aneh, sehingga membuat tubuhnya seperti bisa menghilang lalu
muncul dari arah yang sama sekali tidak terduga.
Setiap kali golok Mirah menyambar, tubuh itu lenyap dan langsung menyambar
dari arah lain. Akibatnya, senjata di tangan Mirah hanya bisa menerpa angin
membuatnya semakin penasaran. Semua ilmu yang dikuasainya sudah ia
keluarkan, namun jangankan mendesak sekedar mengimbangi pun tidak
mampu.
Sebetulnya tubuh manusia Kera itu tidak bisa menghilang, tetapi karena
gerakannya sangat cepat dan gesit disertai langkah kaki yang aneh tubuhnya
seperti menghilang. Apalagi dalam keadaan tubuh yang sudah terluka-luka,
gerakan Mirah jauh lebih lamban dan tenaganya pun sudah hampir habis.
Makin lama ia makin terdesak. Kuku-kuku panjang Manusia Kera itu
berkali-kali menjambret kemudian merobek-robek pakaian yang melekat di tubuh
Mirah. Inginlah wanita itu menjerit dan menangis ketika sebagian kain
penutup badannya pun sudah terbang entah ke mana.
Secara reflek ia menutupi sebagian badannya dengan tangan kiri. Kesempatan
itu digunakan lawan untuk menerkamnya dengan kedua tangan mencengkeram
dengan kecepatan luar biasa. Mirah hanya sempat melihat bayangan hitam
berkelebat.
Ia ingin mengelak sambil berteriak, namun suaranya tercekat, karena
lehernya sudah dicekik kuat sekali. Tubuh Mirah pun terjengkang ke belakang,
namun tubuh si Manusia Kera tetap menindih sambil mencengkeram lehernya
bagaikan jepitan baja.
Habislah harapan Mirah untuk bisa menyelamatkan diri. Nafasnya sudah hampir
putus, pandangan matanya pun berkunang-kunang dan kepala pusing tujuh
keliling. Namun di saat yang genting itu, mendadak sebuah bayangan
berkelebat dan langsung menerjang punggung si Manusia Kera.
“Deg!”
Tendangan yang menghantam tubuh si Manusia Kera kuat luar biasa, sehingga
terpelanting hampir enam meter! Dan beberapa saat tidak mampu bangkit
lagi.
Mirah merasa lega karena selamat dari maut, dan lebih senang lagi karena
yang menyelamatkannya adalah Umang, suaminya sendiri. Umang datang sambil
menggendong si bayi yang masih menangis meraung-raung.
“Mirah! Apa yang telah terjadi?”
“U.... Umang! Bayi itu?”
“Kau tak perlu cemas, dia tidak kurang suatu apapun. Tadi secara kebetulan
aku mendengar suara ribut-ribut di kamar sang putri dan secepatnya keluar
ingin melihat apa yang terjadi.
“Tapi saat itu aku melihat si bayi terjatuh dan aku berhasil menangkapnya.
Beberapa saat kemudian aku melihat orang bertopeng itu melarikan diri, lalu
kukejar. Sayang sekali, ia seperti setan saja. Aku kehilangan jejak.”
“Syukurlah putra Karta selamat. Apakah kau tidak tahu siapa sebenarnya si
Manusia Hiu itu?”
“Mirah, awas di belakangmu!” Umang tidak menjawab pertanyaan istrinya,
karena tiba-tiba mahluk berwujud monyet raksasa itu telah menerjang Mirah
kembali.
Mirah segera meloncat ke dekat suaminya, lalu menatap liar ke arah lawannya
tadi terlempar. Ternyata si Manusia Kera itu sudah bangkit kembali dan
tampak siap menyerang dengan buas.
“Mirah, kau telah mengalami luka-luka. Lebih baik kau selamatkan bayi ini
dulu. Aku akan menghambat monyet besar itu,” Umang menyerahkan bayi itu
kepada istrinya, lalu menyuruh Mirah secepatnya melarikan diri.
Saat itu, si Manusia Kera telah menerjang Umang dengan ganas. Tubuhnya yang
tinggi besar melayang dan kedua tangan diulurkan menyambar dahsyat ke arah
kepala dan ulu hati Umang.
Tentu saja Umang tidak mau tinggal diam, sambil berteriak nyaring ia
berkelit ke kiri dan hanya beberapa saat kemudian goloknya sudah menyambar
bagaikan kilat ke arah dada lawan.
“Krep!” Si Manusia Kera menundukkan kepala sehingga sabetan golok si Lengan
Tunggal tepat menghantam ke arah mulutnya. Lalu entah bagaimana caranya,
senjata itu telah digigitnya dan menempel kuat sekali seolah-olah
gigi-giginya terbuat dari jepitan baja.
“Akh!” Umang berseru terkejut bukan main.
Tadi ia sudah girang melihat senjatanya tampak tidak akan bisa ditangkis
oleh lawan lagi. Namun sungguh di luar perhitungannya, senjatanya malah
lengket dan ketika ia berusaha membetotnya ia kembali berseru kaget karena
tidak kuat melepaskan senjatanya dari gigitan lawan.
Monyet besar itu menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan,
sehingga golok itu terlepas dari tangan Umang dan langsung menyambar cepat
sekali ke arah lehernya,
“Ehh!” Umang kaget dan buru-buru membantingkan diri ke belakang.
Golok itu pun melayang melintas di atas kepalanya lalu tertancap di
dinding. Sebelum sempat berbuat apa-apa, Manusia Kera itu telah menerkamnya
dan mencekik leher Umang hingga nafas pendekar berlengan tunggal itu
megap-megap. Untunglah di saat itu Mira berpapasan dengan laskar-laskar
Pampani.
“Cepat! Tolonglah Umang! Hati-hati monyet itu sangat ganas!” teriak
Mira.
Puluhan laskar segera berlari ke arah pertarungan itu dengan senjata tombak
terhunus.
“Ciaaaat! Hayiiit!” Laskar-laskar itu menyerbu dari segala penjuru.
Ujung tombak menyambar-nyambar dahsyat ke arah Manusia Kera. Akibatnya,
Manusia Kera itu lalu melarikan diri. Para laskar semakin bersemangat
mengejar sambil berteriak-teriak nyaring. Tetapi tanpa diduga-duga, monyet
besar itu berbalik dan sekali gebrak, tombak-tombak itu patah
berantakan.
“Kurang ajar!” Para laskar berteriak kaget, namun sebelum sempat berbuat
apa-apa kedua tangan dan kaki makhluk berwujud monyet itu sudah bergerak
menyambar-nyambar dahsyat.
Satu per satu tubuh para penjaga istana itu roboh berpelantingan dengan
luka-luka parah, bahkan beberapa di antaranya langsung tewas. Kuku-kuku
monyet itu ternyata tajam dan kuat sekali, setiap menyambar dan mengenai
sasaran, maka tubuh laskar itu langsung tercabik-cabik.
Menyaksikan keadaan itu, Umang menjadi terkejut. Hanya dalam sekejap mata
saja puluhan pasukan kerajaan telah roboh bermandikan darah. Pendekar Lengan
Tunggal itu pun berteriak menyuruh pasukan itu mundur untuk mencegah semakin
banyaknya korban berjatuhan.
Ia sendiri segera bangkit dan menerjang melancarkan serangan mautnya,
tetapi kali ini ia sudah lebih berhati-hati, karena dalam pertarungan
pertama tadi ia sudah merasakan sendiri betapa lihainya makhluk aneh
itu.
Dengan tangkas, monyet besar itu melesat ke udara menghindari sabetan golok
Umang. Lalu dengan gerak kilat, tangan kanannya menyambar ulu hati pendekar
lengan tunggal. Salah seorang laskar melompat memapaki cengkeraman tangan
monyet itu, sementara Umang menyabet sehingga makhluk aneh itu menjadi
terdesak.
“Cecar terus! Jangan kasih kesempatan!” teriak Umang memberi aba-aba.
Monyet besar dan serba hitam itu makin terdesak, namun karena gerakannya
sangat gesit, tak satu pun tombak laskar yang berhasil melukainya. Ia
kemudian meloncat bagaikan terbang dan bersalto beberapa kali dengan gerakan
yang sukar diikuti pandangan mata.
Para laskar menjadi terkejut dan ketika mereka menengadahkan wajah
tampaklah Manusia Kera itu telah berada di atas atap istana. Sekali loncat,
tubuhnya berkelebat bagaikan angin dan menghilang di kegelapan malam.
“Kurang ajar! Kejar!” teriak para laskar itu geram.
“Tidak perlu!” teriak Umang sambil membentangkan kedua tangannya. Ia
menatap para laskar itu satu per satu, lalu dengan suara penuh wibawa, ia
berkata lagi.
“Kita tidak akan mampu mengejarnya sekarang. Sebaiknya kita mengurus
teman-teman yang menderita luka-luka.”
“Luar biasa, makhluk itu bagaikan setan saja!”
“Ya, tadi kita memang bisa mendesaknya walaupun belum berhasil melukainya.
Aku rasa lain waktu ia pasti akan datang lagi untuk meminta korban
berikutnya. Kita harus tetap waspada untuk menghadapinya. Ayo, rawatlah
teman-teman kita yang luka-luka. Kasihan, teman kita ada yang meninggal!”
ujar Umang sedih.
Sementara itu, Mira dengan tergesa-gesa memasuki istana sambil menggendong
bayi Karta. Ia segera memasuki kamar putri Nomina yang tadi tergeletak dalam
keadaan tak berdaya.
Tetapi mendadak langkahnya terhenti! Ia kaget luar biasa menyaksikan
sesosok tubuh wanita tua renta itu bertongkat berdiri di hadapannya. Rambut
wanita tua itu semuanya sudah memutih dan dikuncir ke atas.
Wajahnya kurus panjang dan penuh keriput dengan dagu yang tampak sangat
panjang. Lehernya yang kurus kecil tampak pula lebih jenjang dari yang
lazim. Kaki kanannya sudah buntung sebatas lutut hingga kalau berjalan ia
selalu bertumpu pada tongkatnya.
Sorot matanya tampak sangat dingin dan tajam, seolah-olah sanggup menembus
relung-relung hati setiap orang yang memandangnya. Pakaiannya yang serba
hitam tampak bagai bayang-bayang di bawah sinar penerangan yang
remang-remang.
“Hah? Astaga! Si... siapa kau? Kau..... kau Pendeta Naomi....” kata Mirah
tercekat.
Jiwanya kembali tergoncang karena tokoh sesat pendeta Naomi sudah tewas
beberapa waktu lalu. Tetapi sama-sama halnya si Manusia Kera, tiba-tiba saja
berdiri di hadapannya mengherankan jika ia terperangah, walaupun ia
sebenarnya adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian cukup
tinggi.
Sosok tubuh kurus itu tidak menyahut, tetapi sinar matanya terus menatap
Mirah dengan tajam tanpa berkedip.
“Tidak mungkin! Aku tahu kau sudah mati. Tubuhmu tak berwujud lagi ketika
jatuh ke jurang!” teriak Mirah antara geram dan takut.
Lalu bagaikan dalam mimpi, ia menerjang sosok tubuh itu. Goloknya diayunkan
cepat sekali menyambar bagian pinggang wanita tua itu hingga putus menjadi
dua. Sinar mata senjatanya kemudian menyambar leher, tangan dan kaki lawan
hingga terpotong-potong berserakan di lantai.
“Mampus kau! Mampus, Manusia iblis!” teriak Mirah sambil menyabet-nyabetkan
goloknya.
Suara ribut-ribut itu rupanya mengundang perhatian Bungoru, yang segera
berlari ke ruangan itu. Alangkah terkejutnya ia melihat Mirah mengamuk
membabi buta memotong-motong sebuah boneka dari gabus.
“Mirah, apa yang terjadi padamu? Tenanglah, Mirah! Hentikan! Hentikan
golokmu! Ya, Dewa, tenanglah Mirah!”
Mendengar teriakan itu, Mirah tampak semakin beringas. Ia menatap Bungoru
dengan tatapan mata liar dan buas.
“Jangan coba-coba merampas anak itu dari tanganku. Kubunuh kau!” teriaknya
mengancam bagaikan singa betina yang terluka.
Dengan tangkas, Bungoru menangkap lengan Mirah yang memegang golok,
“Tenanglah, Mirah! Atur nafasmu baik-baik dan tenangkan pikiran. Curahkan
perhatianmu pada diri sendiri.”
“Oh, kau Bungoru. Hh.......Hh...!” kata Mirah dengan nafas
tersengal-sengal.
“Kini lihatlah apa yang ada di hadapanmu, Mirah? Tadi kau hanya
mengiris-iris sebuah boneka kecil dari gabus. Agaknya kau telah dipengaruhi
sihir yang sangat jahat, sehingga kau merasa seperti betul-betul sedang
menghadapi musuh yang paling kau takuti!”
Mirah menjadi tersentak setelah menyadari apa yang telah terjadi. Di
hadapannya memang berserakan potongan-potongan boneka gabus yang entah
bagaimana tadi dilihatnya sebagai pendeta Naomi.
“Astaga! Benar apa katamu! Tapi tadi aku seperti melihat pendeta Naomi
hendak merampas bayi ini dari tanganku.”
“Ini pasti ilmu sihir dari Pulau Kolepom dekat muara sungai Digul, di pulau
yang semua penghuninya orang-orang berkulit hitam. Tetapi siapa yang
memasukkan ilmu jahat itu ke sini, Mirah?”
“Sihir Pulau Kolepom?” tanya Mirah mengerenyitkan kening.
“Ya. Berarti sekarang kita sedang menghadapi musuh yang sangat tangguh dari
luar Kepulauan Aru. Tidak salah lagi! kita harus hati-hati, Mirah!”
“Kurang ajar! Kalau ketemu orangnya, akan kucincang tubuhnya! Kubunuh
bedebah itu!” kata Mirah geram karena merasa dipermainkan dengan ilmu sihir
yang sangat jahat.
“Jangan terlalu cepat emosi, Mirah! Ingat, ilmu sihir seperti itu akan
lebih cepat mempengaruhi pikiran kalau kita tidak tenang. Seperti tadi, kau
langsung panik hingga mengira boneka kecil sebagai pendeta Naomi!”
“Ah, terima kasih, Bungoru! Aku akan memperhatikan nasehatmu ini. Lalu
bagaimana dengan tuanku putri?”
“Dia berhasil kita selamatkan! Kini beliau berbaring di bangsal dalam
keadaan yang tidak mengkhawatirkan. Oh, tampaknya kau mengalami luka-luka
juga. Lihat punggungmu mengucurkan darah. Kurang ajar! Tampaknya seseorang
telah melukaimu dengan senjata rahasia!”
“Ya, sebelum Manusia Kera itu muncul, aku sudah terlebih dulu melihat Iblis
Pulau Aru. Dia hendak membawa kabur bayi ini dan sempat terjatuh dari
jendela. Untung Umang masih sempat menangkapnya. Kalau tidak....,” Mirah
tidak meneruskan ucapannya, karena ia pun tidak berani membayangkan apa
jadinya bayi itu kalau sampai terhempas ke tanah dari ketinggian sekitar
enam meter.
“Sebaiknya kita ke kamar keputrian dulu. Setelah itu, aku akan mengobati
luka-lukamu. Sekarang bangsal dijaga ketat oleh laskar-laskar pilihan.
Walaupun aku tahu kekuatan mereka mungkin belum bisa menandingi kekuatan
musuh kita.”
Bungoru membimbing Mirah ke dalam kamar keputrian.
Nomina ternyata sudah berbaring di atas tempat tidur, dijaga ketat puluhan
laskar pilihan dengan senjata tombak siap di tangan.
“Kasihan, agaknya dia masih pingsan,” ujar Mirah.
“Dia terkejut, menderita rasa takut luar biasa. Tapi tidak apa-apa.
Sebentar lagi kesehatannya pasti akan pulih seperti sedia kala. Sekarang,
biarlah bayi itu berbaring di sini. Aku akan mengobati lukamu.”
“Terima kasih!”
◄Y►
8
Sementara itu, si Kaki Tunggal, Pampani dan Karta masih berdiri
berhadap-hadapan dengan pendekar bumerang Wori. Ketiganya masih menunggu
dengan harap-harap cemas.
Tampaknya tadi sikap Wori agak berubah menjadi jinak. Tetapi ia belum
mengucapkan sepatah kata pun terhadap sahabat-sahabatnya. Pendekar dari
Negeri Kanguru itu tetap berdiri tegak bagaikan patung. Matanya menatap
kosong, seperti kehilangan dirinya sendiri.
“Bagaimana, Wori? Apakah kau belum mau ikut dengan kami? Sadarlah, kami
sangat mengharapkan kedatanganmu!” kata si Kaki Tunggal.
Akan tetapi sungguh di luar dugaan, mendadak sikap Wori berubah menjadi
ganas sekali. Ia menggeram hebat dengan wajah merah padam dan sinar matanya
pun tampak merah sekali bagaikan mengeluarkan api. Giginya gemeretak, siap
menerkam ke-tiga pendekar yang berada di hadapannya.
“Wori, kau..... “
“Yeeaaaaa!” Wori berteriak nyaring dengan sekujur tubuh bergetar hebat,
sehingga bukit batu yang diinjaknya bergetar bagai diguncang gempa dahsyat.
Batu-batuan pun berjatuhan mengelinding ke arah Pampani dan kedua sahabatnya
yang berdiri di bawahnya.
“Astaga! Pengaruh ilmu iblis keparat itu lebih kuat daripada kita dan
dirinya sendiri,” teriak Baureksa terkejut.
“Awas! Lari!” teriak Pampani melihat hujan batu yang berguguran dari atas
bukit mengancam keselamatan jiwa mereka. Ke-tiga pendekar itu pun menjadi
kerepotan berloncatan ke sana ke mari menghindari terjangan batu yang
sebagian di antaranya sebesar kerbau dewasa.
“Hyaaaaat!” pekikan Wori kembali membelah angkasa dan menggetarkan
bumi.
Tubuhnya mencelat bagaikan terbang ke arah tiga tokoh silat itu. Wori
mendorong dengan kedua tangannya sehingga serangkum angin pukulan dahsyat
menyambar ke arah Baureksa serta kedua sahabatnya.
“Awas!”
“Haiit!” Si Kaki Tunggal berteriak memberikan peringatan dan secara spontan
Karta meloncat tinggi untuk menghindari terkaman Wori.
Akan tetapi karena kurang hati-hati dan kondisi tubuhnya pun sudah sangat
lemah, si Gila Dari Muara Bondet menjadi salah tindak dan berakibat fatal.
Tubuhnya tergelincir dan langsung terhempas dari atas tebing ke tepi pantai
curam, di mana batu-batu cadas runcing siap menyambut tubuhnya.
“Aaaaaaa!” Karta berteriak panjang. Putuslah harapannya untuk bisa
menyelamatkan diri dari incaran maut di dasar tebing.
Si Kaki Tunggal pun tidak kalah terkejutnya, karena ia sadar sekali tubuh
Karta terhempas ke jurang yang penuh batu cadas itu, nyawanya tidak akan
terselamatkan lagi. Dalam keadaan panik, si Kaki Tunggal meluncurkan topi
pandannya ke bawah sana.
“Kartaaaa! Ini topiku!” teriak pendekar berkaki tunggal itu. Karena topi
itu dilemparkan sambil mengerahkan tenaga dalam, maka benda itu pun meluncur
cepat sekali dan dapat mendahului tubuh Karta yang sedang meluncur.
Dalam keadaan nyawa terancam, Karta masih sempat mendengar teriakan
sahabatnya. Ia juga sempat melihat topi si Kaki Tunggal meluncur dengan
kecepatan tinggi. Maka dengan sisa tenaga yang ada pendekar gagah perkasa
itu bersalto di udara dan kedua ujung kakinya dengan tepat menjejak topi
yang dilemparkan Baureksa. Sungguh suatu pemandangan yang sangat
mendebarkan, sebab salah sedikit saja, nyawa Karta tentu akan
melayang.
Tetapi rupa-nya nasib mujur masih menyertai pendekar itu, sehingga dengan
menjejak topi ajaib itu, ia dapat meloncat lebih jauh lagi hingga tubuhnya
tercebur ke laut, bukannya terhempas ke batu karang tajam.
“Byur!” Tubuh pendekar itu masuk ke dalam air laut yang kebetulan cukup
dalam dan terus meluncur ke bawah tersedot oleh bobot tubuhnya sendiri
menuju dasar laut. Beberapa ekor ikan kecil yang tadi berenang-renang riang
gembira di laut itu menjadi terkejut, lalu berpencaran menjauh karena
ketakutan.
Namun celakanya, Karta tidak sadarkan diri lagi. Rupanya hempasan yang
cukup keras sewaktu terhempas ke permukaan air laut tadi membuatnya pingsan
seketika. Hal itu karena dirinya memang sudah terluka parah, sehingga
sekarang tidak berdaya lagi menyelamatkan diri dari sedotan air laut.
Tiba-tiba tubuh yang tak berdaya itu bergerak berputar, makin lama makin
kencang. Ternyata ia telah terkena jaringan air pusaran di dasar laut. Arus
air dalam laut itu akhirnya menyeret tubuh si Gila Muara Bondet dengan
derasnya dari poros putaran.
◄Y►
9
Arus itu semakin kencang, sehingga membuat tubuh Karta meluncur semakin
jauh dari tempat semula. Makin lama tubuhnya tampak makin kecil dan akhirnya
hilang tergulung ombak laut yang besar.
Kepala Suku Pampani pun sebenarnya ikut juga terjatuh tadi. Tetapi ia
sempat berpegangan pada pinggiran tebing hingga tidak ikut terhempas ke
bawah sana. Sedangkan si Kaki Tunggal nasibnya sedikit lebih baik, hanya
sempat terjengkang di atas tanah.
“Baiklah. Aku sudah siap!”
“Maafkan kami, Wori. Kita terpaksa harus bermusuhan!”
Sambil berteriak nyaring, kedua pendekar itu menyerang Wori dengan dahsyat.
Tongkat si Kaki Tunggal menyambar bagaikan kilat ke arah leher Wori.
Sedangkan Pampani mengulurkan kedua tangan dengan cengkeraman mautnya
mengarah ke bagian ubun-ubun dan pusar Wori.
Sungguh suatu serangan yang sangat dahsyat dan mematikan. Salah satu saja
serangan itu mengenai sasaran, maka Wori akan menderita luka-luka parah
bahkan tidak mustahil akan menemui ajalnya.
Akan tetapi dengan gerakan yang sangat cepat, ia menundukkan kepala
sehingga hantaman tongkat Kaki Tunggal luput. Pada saat hampir bersamaan,
tangan kanan Wori menangkis pukulan Pampani, sedang tangan kirinya menyambar
dahsyat ke arah dada Kaki Tunggal.
“Duk! Buk!” Kaki tangan Wori beradu keras dengan tangan Pampani sedangkan
tangan kirinya dengan telak berhasil menghantam dada Kaki Tunggal.
Akibatnya, tubuh Pampani terdorong beberapa langkah sedangkan tubuh
Baureksa sempat terpelanting beberapa meter.
“Kurang ajar!” bentak pendekar berkaki tunggal itu sambil meloncat bangun.
Ia kini mengandalkan ilmu meringankan tubuh untuk menyerang lawan.
Gerakannya sangat cepat sehingga tubuhnya lenyap dan berubah menjadi
bayangan yang menyambar-nyambar dari segala penjuru disertai hantaman
tongkat yang sangat berbahaya.
Namun kembali Wori menggeram dan mengimbangi serangan lawan dengan gerakan
kaki berloncatan cepat dan kuat, sehingga semua serangan Baureksa dapat
dihindarkan atau ditangkisnya. Kalau gerakan lawan sangat cepat, gerakan
pendekar bumerang itu sendiri sangat aneh, seolah-olah geseran kakinya sudah
cukup untuk menghindar dan jika ada kesempatan, tangannya pun langsung
menyambar dahsyat.
Pampani pun tidak mau tanggung-tanggung lagi, sebab bukan hanya sekali
tetapi bahkan sudah beberapa kali ia dan sahabat-sahabatnya nyaris tewas di
tangan Wori. Itu sudah cukup baginya untuk tidak mau bermain-main
lagi.
Tepat seperti yang diucapkan si Kaki Tunggal biarpun menghadapi sahabat
kental sendiri, yang namanya bertarung adalah lebih baik membunuh daripada
dibunuh. Maka ia pun segera mengeluarkan segenap kemampuannya untuk
merobohkan lawan.
Memang sungguh tragis, dua belah pihak yang dulunya bersahabat bahkan sudah
merasa senasib seperuntungan, kini bertarung mati-matian. Sedikit lengah
saja, mereka bisa celaka! Tetapi itulah kenyataannya, di mana pengaruh ilmu
sihir yang sangat jahat telah menguasai pikiran Wori, sehingga tampak bahwa
dia tak segan-segan untuk berbuat kejam.
Memasuki jurus yang keempat puluh, Pampani dan Baureksa berhasil mendesak
Wori. Bahkan Kepala Suku itu berhasil mendaratkan pukulan tangan kirinya ke
dada lawan, menyusul hantaman tongkat si Kaki Tunggal ke dada pendekar
bumerang.
Akan tetapi agaknya hal itu memang sengaja dibiarkan Wori, karena pada saat
yang hampir bersamaan, kedua sikut tangannya berhasil mendarat telak di dada
kedua lawannya.
“Duk!” Tubuh Pampani dan si Kaki Tunggal terpelanting beberapa meter,
kemudian terbanting keras ke tanah.
Ketika keduanya berusaha bangkit, tampaklah beberapa gumpal darah kental
tersembur dari mulut mereka pertanda keduanya telah menderita luka dalam
yang cukup parah.
“Celaka, Pampani! Ternyata dia bukan tandingan kita. Dia terlalu tangguh
dan bertenaga raksasa!”
Pampani mengeluh perlahan. Pandangan matanya mulai berkunang-kunang, sama
seperti nasib temannya si Kaki Tunggal. Meskipun demikian, sebagai pendekar
yang gagah perkasa, mereka tentu saja tak mau menyerah begitu saja. Keduanya
segera bangkit sambil berusaha menahan rasa sakit di dada.
Kembali terjadi pertarungan dahsyat, namun tidak sehebat tadi lagi, karena
baik Pampani maupun si Kaki Tunggal tidak berani lagi terlalu memaksakan
tenaga dalam mereka. Bagaimanapun juga, dalam keadaan terluka seperti itu
adalah tidak baik mengerahkan tenaga karena tentu akan membuat luka dalam
mereka bertambah parah.
Kedua pendekar itu hanya mengandalkan kelincahan tubuh tanpa mau mengadu
tenaga lagi, namun jika mempunyai kesempatan mereka melancarkan serangan
mautnya.
Akan tetapi diam-diam kedua pendekar itu mengeluh. Mereka sudah berusaha
bertarung sebaik mungkin dan telah mengeluarkan segenap kemampuan, tetapi
serangan kedua pendekar itu seperti membentur tembok yang sangat kuat dan
kokoh.
Makin lama, kondisi mereka pun makin lemah. Kesempatan itu digunakan Wori
melancarkan serangan mautnya, sehingga kedua lawannya kembali terpelanting
dan tidak mampu bangkit lagi.
“Pampani, kita benar-benar tak berdaya lagi,” kata Baureksa dengan suara
tercekat.
“Apa boleh buat, mungkin sudah takdir kita harus mati di tangan sahabat
sendiri. Semoga Dewa yang Agung mengampuni kesalahannya.”
Pada saat itu, pendekar bumerang melangkah dengan pasti ke arah
musuh-musuhnya. Sorot matanya yang sangat dingin dan tajam menandakan bahwa
tak mungkin lagi dia, mau mengampuni Pampani maupun si Kaki Tunggal.
Mendadak kedua pendekar itu berseru kaget melihat perubahan dalam diri
Wori. Makin dekat kepada mereka, tubuh laki-laki itu tampak semakin tinggi
besar, bagaikan balon ditiup. Hampir tak dipercaya, sehingga berulang kali
Pampani dan Baureksa mengejap-ngejapkan mata, seolah-olah belum yakin akan
pandangan mata mereka sendiri.
Hanya beberapa langkah lagi, Wori berdiri di hadapan kedua pendekar yang
sedang tergeletak tak berdaya itu. Tubuh pendekar bumerang tampak telah
setinggi pohon kelapa atau belasan meter sehingga ia tampak seperti seorang
manusia dewasa di hadapan dua ekor semut.
“Heh? Astaga! Dia berubah menjadi raksasa!” seru si Kaki Tunggal.
“Ya, Dewa!” teriak Pampani pula.
“Lari, Pampani!” pekik si Kaki Tunggal yang tiba-tiba saja merasa menemukan
kekuatannya kembali. Sewaktu telapak kaki Wori yang lebarnya hampir satu
meter itu hendak menginjak tubuhnya, ia segera bergulingan.
“Bum!” Terdengar suara berdebum dahsyat ketika telapak kaki berukuran
raksasa itu menginjak tanah hanya beberapa jengkal dari tubuh si Kaki
Tunggal.
Tanah di sekitar tempat itu pun terguncang bagaikan dilanda gempa dahsyat.
Pampani pun masih sempat mengelak dengan cara seperti yang dilakukan
sahabatnya. Dalam keadaan semakin terdesak, si Kaki Tunggal masih sempat
mengayunkan tongkatnya menghantam kaki Wori.
“Duk!” Dengan telak, tongkat itu menghantam kaki Wori. Tetapi laki-laki
bertubuh raksasa itu tampak tidak kesakitan sama sekali, bahkan tongkat si
Kaki Tunggal berbalik keras, seolah-olah memukul benda berupa karet.
“Grrrrrr!” Wori menggeram dan langsung menginjak tubuh si Kaki Tunggal dan
Pampani sekaligus. Demikian besarnya telapak kaki Wori, sehingga tubuh kedua
pendekar itu tenggelam diinjaknya, tak ubahnya manusia menginjak
semut.
“Aaaaaaa!” Pampani dan Baureksa menjerit panjang ketika merasakan tubuh
mereka telah remuk tertimpa benda keras yang beratnya ribuan ton. Walaupun
demikian, Wori tidak kasihan sama sekali. Ia terus menginjak, hingga kedua
lawannya hampir tak bisa bernafas lagi, selain menggigit bibir menahan rasa
sakit luar biasa.
Tiba-tiba sebuah bayangan sosok tubuh serba hitam mengenakan pakaian jubah,
muncul di atas tebing tak jauh dari arena pertarungan itu. Dialah si ahli
sihir Womere, yang entah dari mana datangnya tiba-tiba saja sudah berada di
tempat itu. Sambil tersenyum puas, laki-laki itu berujar dengan suara yang
penuh wibawa.......
“Cukup, Wori! Untuk kali ini kau telah menunjukkan kesetiaan terhadap
perintah-perintahku! Lepaskan saja kunyuk-kunyuk kecil itu.
Lepaskanlah!”
Wori mengurungkan niatnya dan mengangkat kakinya, sehingga si Kaki Tunggal
dan Pampani merasa bagaikan lepas dari beban yang teramat berat serta
menyakitkan.
Pada saat itu, keduanya juga terkejut menyaksikan tubuh Wori telah mengecil
kembali seperti sediakala. Lalu dengan langkah perlahan-lahan, meninggalkan
kedua pendekar yang tadi hampir saja remuk redam ia injak.
“He, lihat! Dia berubah jadi kecil!” teriak Pampani seperti tanpa
sadar.
“Naiklah ke mari, Wori!” ujar Womere lagi.
“Kau kini betul-betul sudah dapat dipercaya untuk menjalankan tugas
selanjutnya. Mengenai nyawa tikus-tikus kecil itu, kita tangguhkan dulu.
Tapi lain waktu mereka tidak akan bisa lolos lagi.
“Itu persoalan kecil. Masih ada tugas yang lebih penting bagimu dan harus
kau lakukan sebaik-baiknya. Tuanmu ingin berbicara langsung denganmu, Wori!
Kini marilah ikut dengan aku!”
Pampani dan si Kaki Tunggal sangat terkejut menyaksikan kehadiran lelaki
yang tampaknya adalah ahli sihir yang menguasai pikiran Wori. Setiap kali
berbicara, suaranya terdengar sangat berwibawa, sehingga sedikit pun
pendekar bumerang itu tidak mau membantah.
“Kurang ajar! Rupanya dialah biang keladinya!” kata si Kaki Tunggal
geram.
“Ya, pasti dialah orangnya. Tapi aneh sekali, kita belum mengenalnya.
Agaknya dia baru datang ke pulau ini. Dia bukan penduduk peribumi kepulauan
Aru ini. Dia pasti datang dari negeri lain.”
Sementara Pampani dan si Kaki Tunggal bicara perlahan-lahan namun
mengandung emosi yang membara, Womere dan Wori pun masih terlibat
pembicaraan dengan nada seorang hamba terhadap majikannya.
“Sekarang adalah waktunya untukmu untuk beristirahat. Kau perlu
mengumpulkan tenaga, sebab aku lihat kau sudah cukup capek. Mari, Wori! Kau
harus turut semua perintahku!”
Wori cuma mengangguk dan mengikuti langkah tokoh sesat itu bagaikan kerbau
dicucuk hidung.
Sejenak masih terdengar suara Womere sayup-sayup di keheningan malam itu,
lalu tak lama berselang tubuh keduanya pun lenyap di balik
tebing-tebing.
Pampani dan Baureksa bagaikan terpaku memandang kepergian sahabat mereka.
Tak dapat dilukiskan bagaimana perasaan mereka sekarang. Ada rasa lega,
karena barusan dapat selamat dari maut.
Tapi ada juga rasa sedih, sebab kawan baik mereka sekarang telah dikuasai
seorang tokoh sesat berilmu tinggi. Terbayang di benak Kepala Suku maupun si
Kaki Tunggal ketika mereka masih hidup bersama-sama dengan Wori.
Pendekar Benua Kanguru itu sangat baik, selalu dengan tulus hati memberikan
bantuan atau bahkan berkorban demi suku yang dipimpin Pampani. Wori selain
ramah tamah, juga sangat suka bercanda, sehingga kehadirannya terasa membuat
suasana jadi semarak penuh tawa ceria. Entah dosa apa sebenarnya yang
dilakukannya, sehingga jatuh ke dalam cengkeraman tokoh sesat berilmu
jahat.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang, saudara Kaki Tunggal?” Pampani
bertanya setelah beberapa saat terdiam dan hanyut dalam pikiran
masing-masing.
“Aku sendiri pun masih bingung. Tapi kau jangan berkecil hati atau terlalu
menyesali keadaan ini. Sebaiknya kita sama-sama mencari jalan keluar untuk
mengatasi persoalan ini.
“Tampaknya di Pulau Aru ini telah muncul tokoh sesat berilmu tinggi yang
ingin menobatkan dirinya sebagai penguasa. Cepat atau lambat, kita akan
menghadapi persoalan yang tidak boleh dianggap remeh.
“Mulai sekarang kita harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Sayang..... kawan kita yang cukup bisa diandalkan sudah berada dalam
cengkeraman musuh. Ini merupakan suatu kerugian besar bagi kita.”
“Ya, saya pun memikirkannya. Ancaman yang kita hadapi kini tidak boleh
dianggap remeh, terutama karena tampaknya musuh yang ada sekarang datang
dari luar pulau. Bisa jadi kedatangan lelaki tadi merupakan isyarat bagi
kita bahwa mereka telah bersiap-siap melakukan penyerbuan.
“Mudah-mudahan kita berhasil mengatasi mereka nanti. Lalu sekarang,
bagaimana dengan saudara Karta? Marilah kita mencarinya. Tadi ia jatuh ke
bawah tebing, entah bagaimana nasibnya kini.”
“Entahlah! Tadi sewaktu terjatuh, keadaannya sudah sangat parah. Tetapi aku
sempat melihat ia menginjakkan kakinya di atas topi yang kulemparkan.
Mudah-mudahan ia masih mempunyai kekuatan untuk menyelamatkan diri.”
“Kalau begitu, marilah kita bersama-sama mencarinya!”
“Tunggu, Pampani! Biarlah aku sendiri yang mencarinya. Kau sebaiknya pulang
saja ke istana. Kau berjaga-jaga di sana. Firasatku mengatakan bahwa istana
kita pun sedang dalam incaran musuh.”
“Baiklah kalau begitu. Maafkan, aku bukannya tak mau mencari saudara Karta.
Tetapi tampaknya aku harus kembali ke istana sekarang. Setibanya di sana
nanti, aku akan mengirimkan sejumlah laskar untuk membantumu mencari saudara
Karta. Semoga dia selamat tak kurang suatu apapun!”
Pampani segera mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu. Ia tampak
sedih, tetapi juga agak tegang karena sudah dapat merasakan kehadiran orang
yang sedang mengancam keselamatan suku pimpinannya, maupun kedudukannya
sebagai Kepala Suku di Kepulauan Aru.
Wajah laki-laki tadi yang tampaknya telah benar-benar menguasai pikiran
Wori, terbayang lagi di benaknya. Dadanya menjadi penuh gejolak amarah nan
membara. Dikepalnya kedua tinjunya dan dalam hati bertekad, suatu saat nanti
ia ingin berhadapan dengan orang itu kemudian membunuhnya!
Setelah berpisah dengan Pampani, si Kaki Tunggal bergegas menuruni
tebing-tebing cadas itu. Yang pertama kali ia temukan adalah tudungnya, yang
segera dipakainya dengan perasaan lega dan mengharapkan dalam waktu yang
tidak terlalu lama lagi segera dapat menemukan Karta.
Akan tetapi di sekitar tempat itu ia tak berhasil menemukan sahabatnya itu.
Bahkan tak terlihat adanya tanda-tanda bahwa si Gila Dari Muara Bondet
berada di sekitar tempat itu.
Pendekar berkaki tunggal itu kemudian menyelusuri pantai karang tajam
sambil mempertinggi daya tangkap panca inderanya. Dia sengaja turun ke dalam
air laut, karena jika Karta berada di dalam laut, pendengarannya yang sangat
tajam seperti kuping lintah, tentu akan dapat mendengar suara langkah kaki
Baureksa. Tetapi sampai ia kelelahan dan hari mulai subuh, ia tetap tidak
berhasil menemukan Karta.
Pendekar dari Muara Bondet itu seolah-olah hilang ditelan bumi. Tidak
meninggalkan bekas sama sekali. Si Kaki Tunggal mulai putus asa, lalu
berteriak sekuat-kuat tenaga memanggil Karta. Suaranya bergema ke segala
penjuru berbaur dengan desah ombak laut yang datang bergulung-gulung. Tidak
ada sahutan! Dan suara teriakan si Kaki Tunggal pun hilang ditelan angin
malam.
T A M A T
Bagaimanakah nasib si Gila Dari Muara Bondet selanjutnya? Apakah dia akan
menemui ajalnya di dasar laut? Bagaimana pula nasib Pendekar Bumerang Wori
yang sudah dikuasai ilmu sihir lawan.
Tampaknya dalam waktu dekat akan terjadi pertumpahan darah di kepulauan
Aru, setelah munculnya dua tokoh sesat. Ikuti kisah selanjutnya dalam
episode: Raja Sihir Dari Kolepom.
Emoticon