Pada saat itu, Pampani dan Bungoru sedang asyik bercakap-cakap dengan tiga
pendekar asal Pulau Jawa sahabat mereka. Kelima pendekar gagah perkasa itu
duduk berkeliling di ruang tengah istana membahas rencana mereka
selanjutnya.
“Saudara-saudara! Bagaimana langkah kita selanjutnya? Kita telah kehilangan
seorang pendekar tangguh seperti Wori. Dan kita belum dapat menaksir
kekuatan musuh,” kata Pampani.
“Kedudukan kita saat ini memang cukup berbahaya. Tetapi aku yakin bahwa
kita pasti dapat menumpas musuh. Ilmu sihir yang mereka gunakan itu pasti
bisa dilawan dengan kemurnian bathin. Jika di antara kita ada yang memiliki
ilmu ini, maka kita tak akan dapat dipengaruhi ilmu hitam seperti itu!” kata
si Kaki Tunggal sambil menatap satu per satu sahabatnya yang berkumpul di
ruangan itu.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Umang.
“Tugas kita sekarang adalah mencari orang yang dapat berbuat seperti itu.
Ah, sungguh sayang saudara Jaka Sembung tidak ada di sini. Aku sendiri tidak
mampu! Aku tidak dapat menjernihkan bathin dari pengaruh-pengaruh luar.
Bagaimana pendapatmu, Pampani?”
Percakapan mereka tiba-tiba terhenti ketika pintu terbuka dengan kasar dan
muncullah Karta berjalan sempoyongan dalam keadaan berlumuran darah.
“Pampani,” kata Karta dengan suara lirih.
“Astaga! Karta terluka! Apa yang telah terjadi?” teriak Umang yang lebih
dulu melihat kedatangan Karta.
“Kau disakiti orang kulit putih itu, ya?” tanya si Kaki Tunggal sambil
meloncat berdiri dan membantu Karta duduk.
“Harap saudara-saudara tenang. Aku tidak apa-apa, hanya menderita sedikit
Iuka, terserempet tombak anak buah sahabat kita Wori.”
“Hah? Dia lagi!”
“Ya, apa boleh buat! Aku telah gagal mencegah keberangkatan Wori menjual
mutiara-mutiara itu kepada orang-orang Belanda. Pagi tadi mereka berangkat
berlayar.”
“Wah, kalau begitu kita sudah terlambat! Apa akal kita sekarang?
Satu-satunya orang yang mengetahui penyimpanan mutiara itu hanyalah Wori
sendiri.”
Pampani tampak mengerutkan kening, memutar otak untuk memikirkan apa yang
harus mereka lakukan. Beberapa saat kemudian, ia bangkit dan berkata dengan
suara memerintah.
“Bungoru, perintahkan laskar kita untuk menguntit dan menyelidiki di mana
tempat pertemuan Wori dengan kapal kumpeni Belanda. Pilihlah orang-orang
kita yang ahli dalam bidang ini!”
“Daulat, Tuanku!”
Mirah kemudian menggeser duduknya ke dekat Karta.
“Karta, sebaiknya lukamu ini segera dirawat! Biar kau bilang tadi hanya
luka ringan, tapi kita harus merawatnya biar lebih cepat sembuh!”
“Terimakasih, Mirah! Bagaimana keadaan istri dan anakku selama
kutinggalkan? Selama ini aku selalu mempunyai perasaan tak enak!”
“Tak suatu pun terjadi. Coba lihat, di ambang pintu sana!”
Karta berpaling. Seketika ia tersenyum melihat istrinya Nomina sedang
berdiri di ambang pintu sambil mengendong putra mereka. Adik perempuan
Pampani itu pun tersenyum dan dari sinar matanya dapat dilihat adanya rasa
rindu yang cukup lama dipendam.
Tanpa memperdulikan rasa sakit di badannya. Karta segera berlari ke hadapan
Nomina. Dipeluknya dengan segenap perasaan, lalu diciuminya putranya
tercinta.
“Oh, Nomina istriku. Anakku……..!” lirih suara Karta dan penuh perasaan.
“Apa yang telah terjadi selama ini? Aku selalu bermimpi buruk mengenai
kalian.”
Nomina cuma menggelengkan kepala dengan perlahan. Matanya tampak
berkaca-kaca dan bibirnya bergerak-gerak kaku. Agaknya banyak yang hendak
diucapkannya, tetapi karena ia seorang wanita bisu, hanya sinar matanya yang
bisa memancarkan isi hatinya.
Sekalipun mulutnya tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, namun matanya
mengatakan bahwa ia sangat berbahagia setelah bertemu dengan suaminya. Lama
kedua insan suami istri itu terlena dalam keharuan dan kebahagiaan, sehingga
semua yang hadir di ruangan itu hanya diam saja, seolah-olah ikut terlena
dalam suasana itu.
Perlahan-lahan, Mirah bangkit dan melangkah ke ruang belakang. Wanita itu
bersandar lemas pada dinding dan menatap ke luar dengan mata sayu. Pertemuan
itu, alangkah mesranya, kata hatinya sedih.
Terasa benar olehnya betapa Karta dan Nomina saling mencintai serta saling
pengertian. Dan sebetulnya, Mirah dan Umang pun begitu juga, tetapi ada satu
perbedaan menyolok yang seolah-olah membuat kehidupan rumah tangga mereka
terasa gersang.
Sampai sekarang, Umang dan Mirah belum mempunyai anak, padahal mereka sudah
cukup lama melangsungkan perkawinan. Sekalipun mereka adalah pendekar yang
sudah sering menghadapi tantangan sehingga mental mereka pun sudah sangat
kuat, namun keadaan itu tak urung memukul perasaan mereka juga.
Untunglah selama ini Umang dan Mirah tidak mau saling menyalahkan dan
sedapat mungkin tidak mau membicarakannya. Namun sekarang, melihat Karta dan
Nomina berpelukan demikian mesranya sembari menggendong putra mereka, rasa
sedih itu pun langsung menusuk-nusuk hati tanpa bisa dicegah lagi.
Agaknya Umang cukup memahami perasaan istrinya. Maka ia pun melangkah
menghampiri Mirah. Ditepuknya bahu istrinya itu dan dibelainya rambutnya,
“Mirah, apa yang sedang kau pikirkan?” bisiknya.
“Umang, betapa mesra pertemuan mereka! Kadang-kadang aku iri karena mereka
bisa semesra itu adalah karena sudah mempunyai anak. Tapi kita....”
“Aku mengerti perasaanmu, Mirah!” sela Umang sambil berusaha berbicara
sewajar mungkin di atas hatinya yang tak menentu. “Selama ini kita sudah
berusaha, namun barangkali belum waktunya. Sabar sajalah istriku. Mungkin
Tuhan belum berkenan memberikan anak pada kita.”
“Ah, maafkan aku, Umang! Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu.
Sudahlah, sebaiknya kita segera bergabung dengan mereka. Tak baik jika
mereka melihat kita seperti ini.”
“Ah, aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi padamu. Aku sebenarnya masih bisa
menahan perasaanku sendiri. Tetapi kalau memikirkan perasaanmu, aku jadi
sedih. Sepertinya aku tidak bisa memberimu kebahagiaan.”
◄Y►
5
Matahari sudah mulai siang dengan sinarnya yang cerah menimpa bumi, seperti
sedang mengusap-usap tanah Kepulauan Aru. Profesor Van Leinen dan Simon
sudah sejak tadi membenahi perkemahan mereka, lalu melanjutkan perjalanan
untuk melakukan penelitian mereka.
Kedua lelaki berkulit putih itu sedang melintasi rawa-rawa berlumpur dan
tampaknya cukup berbahaya jika melewatinya tanpa berhati-hati. Barangkali
profesor tua itu menyadarinya, sehingga berulang-ulang memperingatkan sobat
mudanya supaya hati-hati.
“Menurut pengalamanku, dalam rawa-rawa dengan air paya-paya seperti ini
banyak lubang yang dapat menjebak kita. Harap kau hati-hati Simon!” kata
profesor tua itu tanpa melirik kepada Simon yang kini sedang berjalan di
belakangnya.
'“Tak usah khawatir, Profesor! Medan alam yang bagaimana pun berbahayanya
sudah kutempuh dalam latihan kemiliteranku. Aku justru mengkhawatirkan
dirimu.”
Sambil mendengus, Profesor Van Leinen meneruskan langkahnya menembus hutan
berawa-rawa menuju bukit yang mereka cari. Tepat seperti yang
dikhawatirkannya, Simon mendadak menginjak lubang dalam rawa. Tanpa ampun
lagi, tubuhnya terjeblos hingga sebatas leher.
“Aaaaaah!” Pemuda itu menjerit, sehingga membuat profesor tua itu
terkejut.
Ia berpaling tapi tidak berani bertindak gegabah, sebab dirinya pun tidak
mustahil mengalami nasib seperti Simon. Pemuda itu berusaha ke luar dari
lubang rawa-rawa itu dengan cara meronta-ronta.
Celakanya, semakin ia bergerak, tanah yang diinjaknya semakin amblas pula.
Dan akhirnya pemuda yang sombong itu pun berteriak.
“Profesor, tolonglah aku!”
“Huh! Apa kubilang tadi?”
“Aku tak dapat bangun. Beban di punggungku sangat berat.”
Sambil memberengut dan kadang-kadang tersenyum geli, Profesor Van Leinen
menarik tangan Simon.
“Apa dalam latihan kemiliteranmu tidak diajarkan cara keluar dari lubang
semacam ini?” sindirnya.
“Jangan mengejekku, Profesor. Kau beruntung tidak terperosok. Kalau kau
yang mengalami hal semacam ini, tubuhmu akan segera amblas ke bawah karena
gembrot.”
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai di lereng bukit.
Profesor Van Leinen mengamati puncak bukit itu dengan teropongnya. Ia tampak
manggut-manggut, sementara Simon hanya memandanginya dengan perasaan dongkol
karena peristiwa di dalam rawa-rawa barusan.
“Kita akan menuju puncak bukit itu. Ku rasa menjelang sore kita sudah bisa
sampai kemudian mendirikan kemah.”
“Ya, saya juga memperkirakan demikian. Tidak terlalu jauh lagi.
Tetapi...... hei, ada apa di badanku? Pedih!”
Tiba-tiba Simon berteriak karena sekujur tubuhnya terasa pedih dan
sepertinya ada benda licin dan menjijikkan bergerak-gerak. Dengan wajah
pucat, ia meraba badannya sendiri di balik baju. Dan ia kembali menjerit
ketakutan.
“Hah? Darah! Darah!” Dengan tergopoh-gopoh ia melepas ransel di pundaknya,
lalu secepatnya membuka bajunya.
Ternyata sekujur tubuhnya telah ditempeli lintah. Beberapa ekor di
antaranya tampak sudah sangat membesar karena kekenyangan menghisap darah
Simon.
“Oh, mijn god! Apa itu? Lintah! Lintah penghisap darah,” seru Profesor Van
Leinen sambil memeriksa sekujur tubuhnya, takut kalau-kalau lintah itu pun
sudah merayap di tubuhnya.
Tetapi ternyata tidak. Agaknya binatang-binatang penghisap darah itu
merayap ke tubuh Simon ketika terperosok tadi di dalam rawa-rawa. Dengan
terburu-buru profesor itu mengeluarkan botol-botol obat dari tasnya.
“Tenang, Simon! Engkau adalah seorang militer yang hebat. Jangan takut
hanya berhadapan dengan lintah seperti itu. Minyak ini akan mengusir
binatang-binatang rakus itu. Gosokkanlah ke sekujur tubuhmu!”
Sambil menggerutu dan terkadang memaki-maki, Simon menggosokkan minyak itu.
Benar saja, lintah-lintah itu segera menggelinding jatuh karena bau obat
gosok yang sangat keras. Barulah Simon merasa lega, tetapi tampak masih
belum puas karena profesor tua itu tidak ikut diserang lintah.
Tepat seperti perhitungan profesor tua itu menjelang sore hari mereka telah
sampai di puncak bukit.
Dari atas, keduanya dapat memandang bebas ke bawah, ke lembah-lembah yang
membujur panjang diselimuti kabut tipis. Pucuk-pucuk pepohonan
melambai-lambai seakan-akan sedang mengucapkan selamat datang kepada dua
orang kulit putih di negeri Kepulauan Aru.
Sungguh merupakan suatu pemandangan yang sangat indah dan mendatangkan
perasaan damai. Beberapa ekor burung kecil sambil berkicau terbang dari
dahan yang satu ke dahan lainnya. Sebentar naik ke puncak bukit, lalu
kemudian turun lagi ke pohon-pohon di lembah.
“Lihatlah lembah itu, Simon. Sungguh sangat indah.”
“Ya, indah sekali, Profesor. Tapi sebaiknya kita mendaki lebih ke puncak
lagi untuk mendirikan kemah.”
Karena dinding bukit itu terjal, mereka terpaksa menggunakan tali untuk
mendakinya. Namun dalam hal ini, Profesor Van Leinen juga bisa melakukannya
dengan baik.
Padahal ia sudah tua dan tubuhnya pun gemuk. Lain halnya dengan Simon yang
masih muda dan sudah pernah mengikuti pendidikan kemiliteran, sehingga
tidaklah terlalu mengherankan jika ia dapat mendaki bukit dengan
lancar.
Di puncak bukit itu ada semacam kawah yang cukup luas. Mungkin dulunya
adalah bekas gunung berapi yang meletus, demikianlah kedua orang kulit putih
itu menduga-duga. Mereka segera mendirikan kemah di tempat itu.
“Beberapa hari lagi bulan purnama akan muncul,” kata Profesor Van Leinen
sambil menancapkan tiang kemah mereka.
“Berarti kita akan memulai perburuan ini.”
“Tepat sekali, Simon!” Keduanya terus tekun mendirikan kemah. Tanpa mereka
sadari, dua orang laki-laki sedang mengintai mereka.
Entah dari mana keduanya datang, tiba-tiba saja telah berada di tempat itu.
Siapa lagi kalau bukan Wan-Da-I dan tukang sihir Womere yang tampaknya
mempunyai maksud tertentu menemui kedua orang kulit putih itu.
Akan tetapi naluri Simon yang sangat tajam segera berbisik bahwa di
belakangnya sekarang ada orang lain sedang memperhatikan mereka. Apakah
Karta sendiri? Hatinya bertanya-tanya!
Tetapi rasanya bukan! Atau siapapun yang sedang berada di belakangnya patut
dicurigai, karena tidak mustahil bermaksud jelek terhadap mereka. Maka
secepat kilat, Simon menyambar senapannya dan langsung berbalik mengarahkan
laras senjatanya kepada orang itu.
“Jangan bergerak! Kutembak kalau berani!”
Profesor Van Leinen terkejut bukan main, dan diam-diam harus mengakui
kewaspadaan Simon. Tetapi ia juga khawatir, karena sobat mudanya itu sangat
cepat emosi dan memiliki sifat congkak pula, sehingga tidak mustahil melukai
orang yang belum tentu bersalah.
“Stop, Simon! Jangan tembak mereka. Tunggu dulu!” Dengan tergopoh-gopoh,
profesor tua itu melangkah menghampiri Wan-Da-I dan Womere.
Ia mengangguk hormat, walaupun sebetulnya perasaannya kurang enak melihat
penampilan dua lelaki di hadapannya yang tampaknya memiliki niat kurang
baik.
“Maafkan sahabat muda aku ini, Tuan-tuan. Memang ia selalu bersikap curiga
terhadap setiap gerak gerik di sekitarnya. Mungkin ia mengira ada binatang
buas tadi. Ternyata adalah Tuan-tuan sendiri.
“Harap Tuan-tuan tidak salah paham. Maksud kami kesini hanyalah untuk
melakukan penelitian. Untuk itu, kami telah mendapat ijin dari Kepala Suku.
Kami ingin menyelidiki dan menangkap manusia kera demi ilmu
pengetahuan!”
Wajah Wan-Da-I tiba-tiba membeku seperti batu karang. Matanya mencorong
tajam dan merah sekali bagaikan memancarkan api. Sulit diterka kenapa
sikapnya tiba-tiba saja berubah seperti itu, namun Profesor Van Leinen dan
Simon dapat menerka bahwa laki-laki itu tidak senang mendengar penjelasan
mereka.
“Kurang ajar!” bentak Womere geram. “Apa yang harus kuperbuat Tuanku? Biar
kubunuh saja mereka!”
“Jangan!” kata Wan-Da-I sambil menarik tangan Womere, lalu dengan sikap
ramah yang dibuat-buat, ia berkata kepada dua lelaki berkulit putih di
hadapannya.
“Tuang-tuan telah meminta ijin pada tempat yang salah. Kepala Suku
Kepulauan Aru adalah aku sendiri. Pampani yang kau maksudkan itu tadi adalah
pemberontak yang telah merebut kedudukanku dengan cara yang sangat
keji.
“Tapi aku akan memberikan ijin dan siap membantu kalian berdua menangkap
manusia kera. Sebaliknya kalian berdua pun harus membantu kami dengan
pikiran-pikiran kalian. Jadi kita menjalin hubungan kerjasama yang baik. Aku
kira tidak ada salahnya, bukan?”
“Oh, kalau begitu kami telah salah meminta ijin kemarin. Terimakasih,
Tuan-tuan atas kemurahan hati kalian kepada kami.”
“Bawa mereka, Womere!”
Si Tukang Sihir itu segera bertindak. Mulutnya komat kamit sebentar, lalu
kemudian kedua matanya melotot memancarkan pengaruh yang sangat kuat yang
seolah-olah menembus relung-relung hati Profesor Van Leinen dan Simon.
“Tatap mataku! Tatap mataku! Hai orang-orang kulit putih. Tataplah aku!
Ikutlah aku…...!”
Tiba-tiba saja profesor tua dan Simon merasa jiwanya seperti terbang
meninggalkan raga. Mereka merasa kehilangan diri sendiri dan ada suatu
kekuatan gaib yang telah menyelusup ke dalam pikiran mereka, sehingga mereka
berubah seakan-akan jadi robot.
Womere kemudian merentangkan kedua tangan mengarah kepada kedua orang kulit
putih itu. Suaranya terdengar semakin berpengaruh.
“Dengar kata-kataku! Tidur…... tidur…... tidurlah sepulas mungkin. Tidur!
Tidur kataku!”
Sungguh luar biasa pengaruh ilmu sihir tokoh sesat dari Pulau Kolepom ini.
Kedua lelaki kulit putih itu tiba-tiba saja diserang rasa kantuk yang sangat
hebat.
Hanya beberapa saat kemudian, kepala mereka tertunduk, mata terpejam.
Terdengar pula suara dengkuran yang cukup keras. Masih dalam posisi berdiri,
keduanya tertidur.
“Bagus!” seru Womere girang. “Sekarang melangkahlah maju. Turut semua
perintahku dan petunjuk-petunjukku. Berbaliklah!”
Kedua orang kulit putih itu berbalik seperti sedang bermimpi.
“Bagus! Kalian sudah tunduk padaku! Sekarang melangkahlah.
Melangkah!”
Profesor Van Leinen boleh jadi mempunyai ilmu pengetahuan terutama di
bidang biologi dan ilmu alam yang sangat tinggi. Seluruh sisa hidupnya ia
menghabiskan waktunya untuk melanglang buana ke berbagai penjuru di dunia
ini untuk melakukan penelitian.
Ilmu pengetahuan baginya lebih dari segala-galanya dibandingkan semua yang
ada di dunia ini. Dalam petualangannya melakukan berbagai penelitian ilmiah,
banyaklah pengalaman yang diperolehnya.
Dan Simon pun boleh bangga atas latihan kemiliteran yang pernah diikutinya.
Naluri detektifnya sangat tinggi dan kalau saja ia tidak memiliki sifat
congkak, sudah dapat dipastikan ia akan menjadi seorang anggota militer yang
sangat hebat dan patut diteladani oleh teman-temannya. Ia pun sudah sering
menghadapi tantangan, bahkan tidak jarang bercanda dengan maut.
Akan tetapi sekarang, kedua lelaki perkasa berkulit putih itu tidak bisa
berbuat apa-apa. Pikiran mereka telah dikuasai Womere sehingga semua yang
mereka lakukan semata-mata hanyalah atas kehendak tukang sihir itu.
Profesor Van Leinen dan Simon terus melangkah sesuai petunjuk Womere. Tak
lama kemudian, mereka sampai di tepi pantai.
“Turunlah ke air sekarang! Ayo, turun! Kalian akan kubawa ke istana kami
yang sangat besar dan megah di bawah tanah!”
Menyaksikan hal itu, Wan-Da-I tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya.
Demikian mudahnya Womere menguasai kedua lelaki berkulit putih itu.
Sungguh suatu hal yang menakjubkan, sebab ternyata ilmu sihir Womere tidak
hanya mempan kepada penduduk pribumi, tetapi juga terhadap orang berkulit
putih. Ia bertepuk tangan ketika si Profesor tua dan Simon sudah turun ke
pinggir laut.
“Sekarang berenang! Ayo, berenang! Kalian harus berenang!” kata Womere dan
masih tetap mengarahkan kedua telapak tangannya ke arah kedua orang asing
itu. Seolah-olah dari telapak tangan itu memancar tenaga dahsyat yang sangat
jahat.
Van Leinen dan Simon segera berenang. Gerakan mereka di dalam air sangat
ringan dan tangkas, seolah-olah keduanya adalah perenang-perenang handal.
Padahal selama ini Profesor Van Leinen tak pernah bisa berenang, apalagi
menyelam.
Di sinilah kemudian terlihat betapa pengaruh ilmu sihir Womere dapat
digunakan sebagai alat untuk membuat orang lain tidak berdaya. Seperti dua
ekor bebek, dua orang kulit putih itu terus berenang, menyeberangi teluk
yang cukup luas. Wan-Da-I dan Womere hanya memandangnya saja dari puncak
bukit. Mereka sangat senang, sehingga tertawa terpingkal-pingkal.
Dengan nafas terengah-engah karena menyandang pakaian lengkap dan sepatu
laras panjang, Profesor Van Leinen dan Simon akhirnya sampai juga ke tempat
yang dimaksudkan Womere. Sebuah mulut terowongan yang cukup gelap, dipenuhi
air, menembus bukit-bukit cadas yang kokoh.
“Mari masuk, Tuan-tuan! Kalian adalah tamu kehormatan kami. Karena itu
jangan ragu-ragu. Berjalanlah terus menyusuri terowongan itu sampai nanti
kuberikan perintah selanjutnya.” terdengar lagi perintah Womere, entah dari
mana datangnya, tetapi jelas sekali bergema ke segenap ruangan terowongan
itu.
Profesor Van Leinen dan Simon tetap menurut bagaikan kerbau dicucuk hidung,
seolah-olah perintah itu datang dari otak mereka sendiri.
“Bagus! Tuan-tuan jangan lurus ke depan. Beloklah ke kiri. Ya! Bagus!
Terus...... terus! Jangan ragu-ragu atau takut. Tidak ada apa-apa di
sini.”
Tubuh kedua laki-laki kulit putih itu sebenarnya sudah sangat letih dan
sudah berkali-kali hendak terjatuh. Tetapi terasa ada kekuatan gaib yang
menopang tubuh mereka dan terus memaksa untuk berjalan.
Keduanya sekarang mulai memasuki terowongan yang airnya sampai sebatas
dada. Di sebelah kiri dan kanan terlihat tulang belulang serta tengkorak
manusia bahkan ada di antaranya yang mengambang. Sejenak Profesor Van Leinen
dan Simon merasa ngeri, tetapi suara yang langsung menyusup ke jaringan otak
mereka memerintahkan agar tidak memperdulikannya.
Selama berjalan seperti itu, keduanya tidak pernah mengeluarkan suara
percakapan, karena sepertinya mereka telah melupakan segala-galanya. Hanya
desah nafas mereka yang terdengar memburu dan kadang-kadang disertai suara
rintihan halus.
Tiba-tiba tubuh mereka terangkat ke atas, seperti ada sebuah alat derek
yang muncul dari dalam air. Alat ajaib yang entah dikendalikan dari mana itu
bergerak membawa tubuh keduanya ke pintu jeruji kayu.
Pintu itu pun terbuka sendiri dan ketika kedua orang kulit putih itu sudah
berada di dalam, pintu itu tertutup sendiri kembali. Di hadapan mereka
sekarang telah berdiri Womere, sedangkan Wan-Da-I duduk santai di kursi
singgasananya.
“Selamat datang, Tuan-tuan! Kami senang sekali melihat kehadiran
Tuan-tuan,” ujar Womere sambil mengamati wajah Profesor Van Leinen dan Simon
bergantian.
Seulas senyuman tersungging di bibirnya yang tebal dan hitam dan karena
matanya memancarkan sikap buas, senyum itu tampak lebih mirip seringaian.
Kedua laki-laki berkulit putih itu hanya memandang Womere dengan tatapan
mata kosong dan mulut setengah menganga.
Si Tukang Sihir manggut-manggut, lalu menghampiri Wan-Da-I.
“Apa yang harus kulakukan kepada kedua tawanan ini, Tuanku!”
“Bawa mereka ke dalam kamar mutiara dan kau bujuk mereka agar dua orang
kulit putih itu mau menyumbangkan pikirannya kepada kita.”
“Baik, Tuanku!” Womere kembali melangkah menghampiri profesor tua dan
Simon.
“Tuan-tuan yang terhormat, sekarang Tuan-tuan dipersilahkan masuk ke kamar
itu.”
Tanpa mengucapkan apa-apa, keduanya membalikkan badan. Pintu di belakang
mereka ternyata sudah terbuka dan dari dalamnya tampak cahaya terang
benderang. Womere kembali memberikan perintah agar keduanya segera melangkah
masuk.
Sekarang Profesor Van Leinen dan Simon berada di hadapan cungkup segi empat
berisikan tumpukan mutiara-mutiara. Di sebelah depannya terdapat sebuah
kanal buatan dan aquarium raksasa berisikan puluhan ekor ikan hiu yang
tampak hilir mudik menunggu mangsa.
“Cobalah Tuan-tuan naik ke atas cungkup itu! Apa yang dapat kalian lihat di
dalamnya? Kurasa biji mata kalian akan melotot dibuatnya!”
Profesor Van Leinen dan Simon melangkah menaiki anak-anak tangga ke atas.
Alangkah terkejutnya kedua lelaki ini melihat timbunan mutiara, seperti
tumpukan batu kerikil yang hendak digunakan membangun gedung saja.
“Oh, mijn god! Mutiara-mutiara tertimbun sebanyak ini? Banyak sekali!” kata
Profesor Van Leinen termangu-mangu.
Womere tertawa terkekeh-kekeh, sangat girang hatinya melihat kedua orang
kulit putih itu tersentak kaget dan tampak seolah-olah tidak percaya pada
penglihatannya sendiri melihat mutiara sebanyak itu.
“Betul, Tuan-tuan! Sebagian dari mutiara-mutiara itu akan kami hadiahkan
kepada kalian. Tetapi dengan syarat kalian bersedia menyumbangkan
hasil-hasil pemikiran teknik dari orang-orang Barat! Kami membutuhkan
orang-orang seperti kalian untuk menggempur pertahanan Pampani si
pemberontak itu.”
“Aku belum mengerti,” kata Profesor Van Leinen dengan suara parau.
“Nanti Tuan-tuan akan tahu sendiri. Tapi ingat, jangan coba-coba
membangkang terhadap perintah-perintah kami. Taruhannya adalah nyawa
Tuan-tuan sendiri. Sekali orang masuk ke dalam tempat rahasia ini, ia tidak
akan dapat ke luar dalam keadaan hidup.”
“Oh…….!”
“Coba lihat pada dinding kaca di belakang Tuan-tuan!” Profesor tua itu dan
Simon melirik ikan-ikan hiu yang hilir mudik dan diam-diam keduanya merasa
ngeri juga karena mereka menyadari ikan seperti itu sangat ganas dan
buas.
“Nasib tuan dipertaruhkan pada gigi-gigi runcing dari tajam
binatang-binatang laut yang sangat ganas itu. Ikan-ikan bekas itu sengaja
kami buat dalam keadaan lapar, sehingga siap menunaikan tugas kapan saja
kami perlukan.
“Tuan-tuan tentunya tahu betapa ganasnya ikan-ikan seperti itu, tubuh
tuan-tuan akan tercabik-cabik habis dalam sekejap. Nah, bagaimana pendapat
kalian?”
Bergidik hati kedua laki-laki kulit putih itu mendengarnya. Rupanya
penduduk pribumi yang berada di hadapan mereka sekarang jauh lebih licik dan
kejam. Mereka menyadari bahwa ikan-ikan dalam aquarium raksasa itu sangat
ganas dan buas.
Ancaman Womere bukan hanya sekedar gertak sambal belaka. Tak berani
keduanya membayangkan apa jadinya tubuh mereka kalau dijadikan santapan
ikan-ikan buas itu.
Karena pengaruh sihir itu tidak mempengaruhi pikiran mereka yang tentu saja
atas kehendak Womere sendiri, keduanya menjadi ketakutan. Simon menundukkan
kepala, namun matanya menatap liar ke sekelilingnya untuk melihat jalan ke
luar melarikan diri.
Tetapi ia menjadi putus asa, karena ruangan itu tampak penuh rahasia. Kalau
pun bisa lari, belum tentu dapat ke luar.
Dan laki-laki bengis di hadapannya tampaknya bukanlah orang sembarangan,
yang tentu saja tidak akan mau membiarkan mereka lolos. Simon menjadi putus
asa, lalu berbisik ke telinga Profesor Van Leinen agar menerima tawaran
Womere.
“Kita terima saja, Profesor daripada kita mati konyol sebelum ekspedisi
kita selesai.”
“Kita belum tahu apa yang mereka kehendaki. Kalau disuruh membunuh orang,
rasanya tidak mungkin kita menurutinya,” bisik Profesor tua itu yang
tampaknya sudah mulai bisa menebak maksud musuh.
“Tapi bagaimana kalau tubuh kita dilemparkan ke dalam aquarium maut
itu?”
“Jangan berbisik-bisik, Tuan-tuan! Percuma saja, karena aku bisa
mendengarnya. Kalian harus mengambil keputusan sekarang. Tak perlu menunggu
terlalu lama. Ya atau tidak, kemudian tinggal terima resikonya.”
Pelan suara Womere, namun kedua tawanannya dapat merasakan di balik suara
yang pelan dan sikap yang dingin itu terkandung sebuah ancaman maut.
Dan mengambil keputusan terlalu lama akan diartikan pula sebagai penolakan.
Maka Simon dan ahli biologi dan Ilmu alam itu hanya saling pandang.
“Harap Tuan-tuan ketahui, musuh-musuh Kepala Suku Wan-Da-I mempunyai dua
jenis kekuatan, yakni kekuatan bathin dan kekuatan otak. Untuk kekuatan
bathin sudah menjadi bagianku untuk melalapnya.
“Tetapi untuk kekuatan otak, kuserahkan kepada kalian berdua! Sekarang mari
kutunjukkan kamar kegiatanku. Dari dalam kamar inilah aku menjalankan
kegiatan bathin!”
Womere melangkah ke kamar di sebelahnya melalui pintu semacam lorong
sempit. Keadaan di ruangan itu hanya samar-samar saja, namun Profesor Van
Leinen dan Simon dapat memperhatikan apa saja yang ada di dalamnya.
Di sudut sebelah kanan ada sebuah meja terbuat dari sebongkah batu
berukuran sekitar satu kali dua meter. Di atasnya terdapat beberapa botol
ukuran kecil dan besar berisi cairan yang entah apa gunanya.
Di dekatnya, terdapat pula beberapa tengkorak kepala manusia, yang
tampaknya sengaja disimpan dalam ruangan untuk maksud tertentu. Agak di
sebelahnya, ada pula sebuah sangkar berukuran kecil berisikan seekor burung
hantu berbulu hitam.
Di sudut ruangan yang satu lagi, terdapat pula sebuah meja panjang dari
kayu dan di atasnya berjejer boneka-boneka gabus yang berukuran kecil. Di
ujung barisan boneka-boneka itu terdapat pula sebuah tengkorak kepala
manusia.
“Ini adalah kamar kegiatanku. Kepada Tuan-tuan aku bermurah hati
menunjukkan dan membawa Tuan-tuan ke sini. Perhatikan baik-baik semua yang
ada di ruangan ini. Semoga dengan ini Tuan-tuan dapat membawa
kenang-kenangan jika sudah kembali ke negeri tuan kelak.”
“Oh, mijn god! Aku seperti berada di dalam gua Tukang Sihir seperti dalam
cerita dongeng Eropa. Bergidik bulu kudukku!” kata Profesor Van
Leinen.
Ia segera menduga bahwa tengkorak-tengkorak di ruangan itu pastilah
orang-orang hukuman yang disiksa sampai mati lalu tengkoraknya diambil untuk
keperluan si tukang sihir. Kalau benar dugaannya, berarti alangkah sadisnya
laki-laki yang mengajak mereka ke kamar itu.
Sejenak Profesor Van Leinen melirik Womere, tetapi laki-laki itu tampak
tenang-tenang saja, seolah-olah menganggap tengkorak-tengkorak itu hanyalah
mainan belaka.
“Sayang sekali penerangan di sini agak remang-remang dan itu memang saya
sengaja. Sekarang lebih dekatlah ke meja yang satu ini, Tuan-tuan.”
Setelah kedua tamu atau lebih tepatnya tawanannya itu berada di dekat meja
tempat boneka-boneka, Womere berkata.
“Lihat di atas meja itu. Itu adalah boneka-boneka gabus yang kubuat mirip
dengan musuh-musuh kami. Melalui boneka-boneka itu aku bisa berbuat sesuka
hati sesuai dengan rencana yang telah kuatur untuk melaksanakan penumpasan
terhadap Pampani.
Barangkali Tuan-tuan sudah pernah melihat orang yang mirip dengan boneka
itu. Cobalah perhatikan lebih seksama!”
Profesor Van Leinen dan Simon melangkah lebih dekat lagi dan mengamati
boneka itu satu per satu.
“Oh, itu Kepala Suku Pampani, tuan Karta dan lelaki berkaki buntung. Tapi
yang lainnya belum kukenal.........” kata profesor tua itu terkejut.
Karena otaknya memang sangat cerdas serta sudah sangat berpengalaman pula,
ia segera dapat menduga bahwa boneka itu adalah keperluan ilmu-ilmu berbau
mistik. Semacam vodoo dari Afrika.
“Selain itu, aku juga telah membuat boneka gabus yang mirip Tuan-tuan. Ini
dia!” Womere meletakkan dua boneka gabus di atas meja di hadapan kedua
tawanannya. Profesor Van Leinen dan Simon memperhatikan kedua boneka
itu.
“Oh…....!”
Kedua laki-laki kulit putih itu sama-sama terkejut menyaksikan boneka itu
sangat mirip dengan mereka. Kapan Womere membuatnya dan bagaimana ia bisa
tahu wajah mereka?
“Untuk apa boneka-boneka itu?” tanya Simon dengan dada
berdebar-debar.
Womere tertawa terkekeh-kekeh, seolah-olah menganggap pertanyaan Simon itu
sangat lucu.
“Kalian akan tahu sendiri nanti. Dan sekarang aku akan menunjukkan
bagaimana caranya boneka-boneka ini beraksi. Kalian tentu ingin
menyaksikannya, bukan?”
Profesor Van Leinen dan Simon mengangguk tanpa sadar dan menunggu dengan
perasaan tegang.
“Baiklah! Kalian memang tamu-tamu yang sangat baik. Lihat baik-baik!”
Mulut Womere komat kamit sejenak dan kedua tangannya direntangkan ke arah
kedua boneka di atas meja. Sepasang matanya melotot memancarkan sinar yang
sangat aneh, sehingga diam-diam Profesor Van Leinen dan Simon yang
menyaksikannya bergidik ngeri.
“Hai, bergeraklah! Bergerak! Bergerak…...!” kata Womere setengah mendesis
lirih.
Dan ajaib! Boneka-boneka gabus-gabus itu bergerak sendiri saling
menghampiri. Akibat atau pengaruhnya pun luar biasa! Profesor Van Leinen dan
Simon saling bertatapan dengan mata melotot dan wajah mereka sama-sama merah
padam, seolah-olah dua orang yang saling bermusuhan dan siap mengadu
nyawa.
Sesuai dengan gerak boneka itu, profesor tua dan Simon pun ikut bergerak
saling menghampiri. Kedua boneka gabus itu semakin berdekatan dan bagian
kepalanya saling membentur seperti wayang kelitik (acel).
“Buk!”
Pukulan tangan kanan Simon mendarat telak di mulut Profesor Van Leinen.
Demikian kerasnya tenaga pukulan itu, sehingga mulut laki-laki tua itu
berdarah dan tubuhnya pun terdorong mundur. Itulah refleksi dari beradunya
bagian kepala kedua boneka gabus yang digerakkan oleh Womere dengan ilmu
sihirnya.
“God verdom je, Simon! Kurang ajar…...!” bentak Profesor tua itu
geram.
Namun mendadak Simon sudah menyerangnya kembali dengan melayangkan pukulan
tangan kiri ke arah mulutnya.
Sambil memaki-maki, laki-laki berambut ubanan itu menangkis pukulan Simon
dengan tangan kanannya. Lalu secepat kilat tangan kirinya menyambar dada
sobat mudanya itu.
“Buk!”
Simon tak sempat mengelak dan ia pun terjengkang sambil merintih kesakitan.
Ia pun memaki lalu meloncat berdiri dengan tangkas. Kedua tangannya
dikepalkan dan sepasang matanya menatap liar seperti harimau muda yang
hendak menerkam mangsa.
Ketika Profesor Van Leinen menerkamnya, Simon dengan cepat berkelit ke
samping sehingga tubuh laki-laki tua itu meluncur di sampingnya. Saat itulah
kaki kiri Simon melayang menghantam perut sahabat tuanya. Kembali Profesor
Van Leinen terpelanting, tetapi tanpa memperdulikan rasa sakit di tubuhnya,
ia bangkit lagi.
“God verdom!”
Ia memaki dengan wajah yang tampak semakin merah padam. Simon yang tadi
sangat kesal karena dadanya dipukul dengan sangat telaknya hingga sampai
sekarang pun masih terasa sakit tidak mau memberikan lawan kesempatan untuk
menyerang.
Sebelum diterkam, ia sudah lebih dulu menerkam. Agaknya pemuda ini pun
memiliki ketangkasan berkelahi dan tenaga yang cukup besar. Kepalanya
menghantam ke arah perut Profesor Van Leinen dan ketika lawannya itu
mengelak, tangan kanannya melayang menghantam mulut Profesor tua.
Demikianlah kedua laki-laki berkulit putih yang sebetulnya bersahabat
bahkan satu perjalanan itu saling baku hantam. Mereka berganti-gantian
memukul lawan dan bergantian pula jatuh terpelanting.
Tanpa mereka sadari, Womere tersenyum-senyum puas melihat kedua tawanannya
itu terlihat perkelahian yang seru. Dengan tergopoh-gopoh ia ke luar dari
ruangan itu, lalu menghampiri Wan-Da-I yang masih duduk bermalas-malasan di
kursi singgasananya.
“Ada apa, Womere?” tanya Wan-Da-I agak terkejut melihat tangan kanannya itu
masuk tergopoh-gopoh. Ia mengira ada sesuatu hal yang sangat penting atau
telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sehingga ia segera berdiri dari
kursinya.
“Lihat, Tuanku! Di dalam sedang terjadi sesuatu yang cukup menarik. Tuan
pasti tertarik, hitung-hitung sebagai hiburan di kala waktu senggang seperti
ini.”
Wan-Da-I yang sudah mengerti betul watak Womere menjadi tersenyum lega.
Berarti tidak ada yang perlu dikhawatirkan, bahkan si Tukang Sihir dari
Pulau Kolepom itu mengajaknya menonton sesuatu yang tentu sangat menarik.
Maka ia pun mengikuti Womere masuk ke ruangan rahasia itu.
Profesor Van Leinen dan Simon masih bergumul seru, saling menindih dan
memukul. Agaknya sewaktu ditinggalkan Womere tadi, profesor tua itu telah
berhasil memukul mulut Simon, hingga tampak berlumuran darah. Tetapi
Profesor Van Leinen pun mengalami hal sama, bahkan pelupuk matanya tampak
sudah benjol-benjol membiru.
“Coba perhatikan boneka gabus ini, Tuanku!” bisik Womere ke telinga
Wan-Da-I.
“Apakah tidak akan terlalu berbahaya terhadap mereka?” tanya Wan-Da-I yang
tampaknya khawatir juga jika kedua tawanan mereka saling membunuh.
“Tentu tidak, Tuanku! Perkelahian mereka hanya sampai ke tingkat yang
biasa-biasa saja. Paling-paling mereka hanya menderita luka-luka memar. Itu
perlu agar nanti mereka semakin menyadari kekuatan kita.
“Sekarang kita sudah betul-betul bisa menguasai mereka Tuanku! Setelah
menguasai Wori, tenaga kita semakin kuat. Sekarang dengan menguasai kedua
orang kulit putih itu, tenaga pikiran pihak kita pun semakin hebat.
“Si keparat Pampani dan para pendekar Pulau Jawa itu tentu tidak akan
berdaya lagi. Kita hancurkan dan kita basmi sampai ke akar-akarnya!”
“Bagus, Womere! Cara berpikirmu betul-betul hebat. Aku yakin dengan adanya
kau di sini, maksud hatiku jadi penguasa di pulau Trangan akan segera
tercapai.”
“Tentu, Tuanku! Tidak akan ada lagi yang bisa menghalang-halangi kita. Kita
sudah memiliki kekuatan yang unggul dalam segala-galanya.
“Kedua kulit putih itu akan kita paksa dengan cara kita untuk menciptakan
bahan peledak dari mesiu yang kita terima dari orang-orang Belanda sebagai
tukaran mutiara. Maka Pampani dan sekutu-sekutunya akan segera
hancur.”
“Ha-ha-ha! Dan dendamku kepada si keparat itu pasti akan
terlampiaskan!”
Womere kemudian melangkah menghampiri kedua orang kulit putih yang sedang
baku hantam itu. Ia bertepuk tangan tiga kali dan menyuruh mereka berhenti
berkelahi.
“Cukup! Cukup! Berhentilah!” teriaknya. dengan suara keras dan sangat
berpengaruh.
Profesor Van Leinen dan Simon menghentikan serangannya. Kedua laki-laki itu
saling pandang seperti orang yang baru tersadar dari mimpi buruk.
“Terimakasih! Terimakasih! Tuan-tuan ternyata sudah bisa kami percayai.
Bangunlah! Ayo, bangun!”
Profesor tua dan Simon merasa tubuhnya sangat lemas dan nyeri terutama di
bagian mulut yang masih mengucurkan darah. Baru sekarang mereka menyadari
bahwa keduanya tadi saling menyerang hingga sampai babak belur.
Ada rasa marah di dalam hati nurani mereka karena merasa dipermainkan.
Namun ada pula pengaruh yang sangat kuat merasuki pikiran, sehingga keduanya
merasa tidak mampu melakukan apa-apa.
Diam-diam keduanya mengeluh dan menyadari bahwa mereka telah jatuh ke dalam
cengkeraman musuh yang sangat jahat. Terasa benar oleh kedua laki-laki
berkulit putih itu bahwa ruangan rahasia itu merupakan sarang iblis, yang
diciptakan sebagai semacam pangkalan untuk melakukan perbuatan-perbuatan
jahat di Kepulauan Aru.
T A M A T
Setelah berhasil menguasai Pendekar Bumerang Wori, tokoh sesat Wan-Da-I dan
tukang sihir Womere juga menguasai dua orang kulit putih yang hendak
melakukan penelitian di Kepulauan Aru.
Apakah yang akan terjadi di Kepulauan tersebut? Apakah benar-benar akan
hancur seperti yang direncanakan musuh Pampani?
Tunggu episode berikutnya yang berjudul: “Kemelut Di Pulau Aru”
Emoticon