Sayangnya tombak yang ada hanya satu-satunya. Namun demikian Awom tak
kehabisan akal. Sampailah pikirannya untuk menggunakan ranting-ranting pohon
di sekitarnya.
Laksana anak panah yang melesat dari busurnya, patahan ranting-ranting itu
menembus tubuh-tubuh cebol. Burung-burung ganas itu pun tak dapat mengelak
dari serbuan ranting-ranting pohon yang digunakan Awom.
Parmin tak mau membuang-buang kesempatan untuk lolos dari serbuan
binatang-binatang ganas dan liar itu. Dengan sekuat tenaga ia terus berlari
sambil menggendong gadis bule tersebut.
Sementara itu luka bekas tendangan makhluk berjubah dan bertopeng tengkorak
tadi mulai terasa sakitnya, membuat nafas Parmin menjadi sesak. Sambil
terengah-engah Jaka Sembung terus berlari, sedangkan pasukan kavaleri yang
masih tersisa terus memburunya.
“Mereka mengejar kita!” teriak kepala suku Kaimana dengan cemas. Pasukan
hampir mendekat, mereka memburu Parmin dengan kecepatan penuh.
Karena beban yang ia gendong dan pernafasannya yang mulai sesak itulah,
Parmin dengan mudah dapat dikejar.
Awom yang saat itu masih berada di atas pohon sempat melihat kesulitan yang
dialami Parmin. Dia berusaha turun untuk membantu meringankan beban dengan
mengambil alih gendongannya.
Laksana monyet yang turun dari atas pohon, Awom bergelayutan pada akar
pohon untuk mencapai tempat di mana Parmin berada.
“Berikan kepala suku padaku! Aku masih punya banyak tenaga,” pintanya
kepada Jaka Sembung.
Belum lagi terjadi timbang terima, tiba-tiba bahaya lain yang tak kalah
gilanya menghadang mereka dari depan. Ternyata yang datang itu serombongan
babi hutan yang sangat buas menuju ke arahnya. Taring-taring yang runcing
dari binatang itu cukup membuat orang bergidik melihatnya.
Karena dari dua arah yang berlawanan bahaya mengepung, Parmin, Awom dan
gadis bule itu terjepit.
Kepala suku Kaimana itu cemas, namun Parmin berusaha sedapat mungkin
menghibur hatinya.
“Aww!! Bagaimana kita kini!”
“Tenanglah! Kita pasti selamat dan dapat keluar dari bahaya ini!
Bismillah........”
Disusul dengan teriakan keras Parmin mengajak Awom untuk melompati barisan
celeng-celeng yang menyerbu.
“Loncat Awom!! Hiyaaaaat!!”
Bagaikan mendapat suatu dorongan tenaga baru Parmin dan Awom meloncati
gerombolan babi hutan itu. Maka apa yang terjadi sesudahnya adalah suatu
tubrukan masal antara gerombolan babi hutan dan laskar burung Onta.
Hukum rimba benar-benar berlaku di sini, siapa yang kuat mereka yang
menang. Korban pun berjatuhan. Tak sedikit dari orang-orang kerdil itu habis
tergilas oleh babi hutan.
Amanlah sudah bagi Jaka Sembung dan kawan-kawannya. Mereka benar-benar
dapat menarik nafas lega. Di tempat yang jauh dari keganasan penghuni hutan
belantara, Parmin mengajak mereka beristirahat. Di tepi Danau Jamur itu
mereka merebahkan diri dengan terengah-engah.
“Kita berhenti dulu di sini, Awom!! Nafasku terasa sesak dan mau
putus!!”
“Uuuh, sungguh mengerikan,” keluh gadis bule itu.
Nafas mereka laksana tersekat di tenggorokan dan keringat jatuh bercucuran.
Seluruh sendi tubuh terasa lemas.
“Tuhan telah menyelamatkan kita, saudara Parmin! Untunglah benda ini selalu
berada dalam genggamanku!” gadis itu berkata sambil mengeluarkan sesuatu
dari balik rambutnya yang pirang itu.
“Apakah itu.......?” balas Parmin.
“Salib suci! Yang selalu mengusir anasir-anasir jahat yang selalu mengancam
jiwaku di pulau Hitam ini.”
“Kau tampak terluka....... dadamu sakit?”
Sambil berdiri dan menuju ke pinggir Danau Jamur, Parmin berkata: “Tak
apa-apa nona! Aku akan berusaha untuk pulih kembali.”
Gadis bule dan panglima suku bingung dengan sikap Parmin yang tenang seakan
tak terjadi apa-apa terhadap dirinya.
Setelah menuruni tepi danau, Parmin langsung membasahi mukanya dengan air
itu. Jaka Sembung mengangkat tangannya untuk berkonsentrasi, lalu
perlahan-lahan ia memejamkan kedua matanya dengan mengucapkan kalimat do'a
di dalam hati.
“Bismillahir Rahmanir Rahim, atas kekuasaan ya Allah berikanlah kepadaku
kesembuhan melalui kekuatan dalam tubuhku........”
Setelah berucap dalam hati Parmin mulai memusatkan tenaga dalamnya ke arah
dadanya sendiri. Inilah jurus 'Hening Cipta' sebuah jurus yang mengutamakan
konsentrasi diri untuk penyembuhan.
Si gadis pun terpukau melihat kehebatan Jaka Sembung. Diam-diam dia memuji
kehebatan pendekar muda itu.
“Memang banyak sekali keajaiban yang kutemui di belahan dunia sebelah Timur
ini.”
Beberapa saat Parmin mengheningkan cipta. Setelah ia merasakan tubuhnya
normal kembali, sedikit demi sedikit ia membuka kedua matanya sambil
mengucap. “Alhamdulillah........”
Dengan gembira gadis berambut pirang itu menghampiri Parmin yang sudah
segar kembali. Dengan pancaran mata yang ceria gadis itu menyapa
Parmin.
“Anda tampak segar kembali! Sungguh menakjubkan!”
“Tak usah heran nona! Cuma pengobatan tradisionil! Bangsa kami memang belum
mengenal cara penyembuhan seperti bangsa-bangsa barat! Oleh karena itu kami
hanya dapat menggunakan cara ini!”
“Tubuh manusia adalah bentuk kecil dari alam semesta ini, hampir semua
zat-zat yang ada dalam alam terdapat pula dalam tubuh kita. Dengan
latihan-latihan tertentu kita bisa mengerahkan zat-zat dalam tubuh kita
sendiri untuk menolak zat-zat yang akan merusak tubuh,” Parmin berusaha
menjelaskan kepada kepala suku Kaimana itu agar ia dapat memahami secara
rasional.
<>
Untuk sementara kita tinggalkan dulu mereka yang sedang bercakap. Kita
ikuti ke mana larinya manusia bertopeng seram yang selama ini telah
bertindak sebagai kepala suku Papua kerdil itu. Dari kejauhan nampak sosok
bayangan tubuh tersebut lari tunggang-langgang dan terhuyung-huyung,
kelihatannya dia terluka dalam.
Sosok bayangan itu tak lain adalah kepala suku Papua kerdil. Dengan sangat
kesal dia memaki dirinya sendiri, “Gagal lagi.......! Saatnya memang belum
tepat, aku terlalu terburu-buru! Luka-luka dalam tubuhku belum sembuh betul,
inilah yang menghalangi gerakanku!”
Sambil terus memaki dirinya, kepala suku Papua kerdil itu meneruskan
perjalanannya menembus semak belukar. Namun pada suatu saat di bawah pohon
yang rindang, ia merasakan nafasnya sesak dan seketika itu juga darah beku
berwarna hitam kental keluar dari mulutnya.
“Darah! Lukaku berdarah lagi! Mungkin karena aku terlalu banyak bergerak
dan mengeluarkan tenaga, tapi aku penasaran kalau belum mengenyahkan dia!”
Cakar singanya menghantam tanah sebagai pelampiasan.
<>
Kita kembali lagi pada Parmin. Gadis kulit putih itu sedang menceritakan
riwayatnya. “Aku bersama ayahku Van Boerman dan pendeta Jorgen mengemban
tugas missionari dari Gereja Katholik untuk daerah Timur Jauh!”
“Kami bertolak dari negeri Belanda pada awal musim semi menyusuri pantai
Selatan Eropa, Timur Tengah, menuju tujuan perjalanan kami yaitu Nusantara.
Ayahku bekerja pada biro perjalanan untuk misi Gereja, dan hampir seluruh
waktunya ia baktikan kepada kegiatan penyebaran ajaran-ajaran Yesus
Kristus.
“Sampai di Batavia, Pemerintah Kompeni Belanda menugaskan kami untuk
melanjutkan misi ke pulau-pulau bagian Timur Nusantara ini yang penduduknya
rata-rata masih primitif dan kanibalis. Apapun yang akan terjadi aku sudah
membulatkan tekad untuk turut serta walau bahaya mengancam jiwa
sekalipun.”
“Aku mencintai tugas suci dan mulia itu. Karena Yesus Kristus juru selamat
bagi seluruh umat manusia. Dengan kasih sayangNya Ia mencari dan
menyelamatkan domba-domba sesat menuju jalan terang!”
“Tetapi untuk menempuh jalan Tuhan memang sangat berat. Berbagai rintangan
selalu merintangi dan menghadang. Kami harus menghadapi perompak-perompak
laut yang ganas di perairan pulau Celebes dan Halmahera. Berkat lindungan
Tuhan serdadu-serdadu pengawal kami selalu berhasil menyikat habis setiap
rintangan itu. Namun dari semua yang paling dahsyat adalah bahaya
alam.”
“Kapal kami tak kuasa menahan dan melawan badai yang mengamuk di sekitar
laut Banda dan Arafura. Kapal kami hancur berkeping-keping. Aku tak ingat
lagi apa yang terjadi setelah itu, hanya Tuhan jua-lah yang menyelamatkan
hambaNya.
“Di kala aku siuman, aku telah berada di pantai sebuah pulau....... tapi
aku seorang diri! Lalu aku bertanya dalam hati, ya Tuhan ke mana pendeta
Jorgen dan ayahku? Bagaimana nasib mereka.......” Setelah sekian lama aku
tergolek tak sadarkan diri, ternyata kuketahui bahwa aku terdampar di
Kaimana di sebuah teluk yang indah. Teluk Etna.”
“Sampai akhirnya aku diketemukan oleh pribumi Pulau Papua ini dan untung
sekali mereka bukan suku pemakan daging manusia. Justru mereka menganggapku
sebagai manusia dari langit yang diturunkan untuk mereka dan mengangkatku
sebagai kepala suku.”
“Apa mau dikata, barangkali nasibku memang demikian. Maka akupun menurut
saja dengan apa yang baik menurut anggapan mereka. Mereka domba-domba sesat.
Oleh karena itu harus diselamatkan.”
“Suku pribumi Kaimana bukan suku Kanibalis. Tapi mereka memuja arwah nenek
moyang, sejenis Animisme. Mereka memajang tengkorak-tengkorak leluhur
sebagai maskot penolak bala.”
“Setiap saat aku berdo'a kepada Tuhan dan berharap selalu pada suatu saat
aku dapat merubah kepercayaan suku Kaimana menuju kepada ajaran Tuhan!
Demikianlah riwayatku kenapa aku berada di pulau ini.”
Setelah beberapa saat bercerita, gadis bule yang bernama Yulia itu
melanjutkan pembicaraannya, “Aku selalu berdo'a untuk keselamatan pendeta
Jorgen dan ayahku Van Boerman!” ungkapnya.
“Saudari Yulia, sangat kuhargai perjuangan dan pengabdianmu terhadap agama.
Semua agama baik. Nabi Isa adalah Rasul Allah juga. Satu di antara duapuluh
lima Rasul yang diturunkan Allah untuk umat-Nya di dunia ini! Anda dapat
membimbing mereka perlahan-lahan!” Jaka Sembung memberi semangat.
“Akupun sangat menghargai perjuangan bangsamu yang tertindas saudara
Parmin!” timpal Yulia.
Parmin agak tercengang mendengar perkataan Yulia. Ternyata gadis ini
mempunyai rasa simpati kepada bangsanya yang sedang tertindas.
“Syukurlah jika anda mengerti jeritan bangsaku!” jawab Parmin sambil
menatap dalam-dalam mata biru Yulia.
“Aku berbicara atas nama kemanusiaan, terlepas dari rasa kebangsaanku
sebagai gadis Belanda. Aku berdo'a semoga bangsamu segera terlepas dari
belenggu penjajahan!” ungkapnya sambil memandangi ketampanan Parmin. Pemuda
itu tampak begitu tampan apalagi bulu-bulu halus tumbuh meremang di wajahnya
yang belum sempat bercukur itu.
Setelah cukup lama mereka saling bertukar pikiran ditemani panglima suku
Kaimana yang belum banyak mengerti bahasa melayu. Akhirnya mereka
bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan.
Parmin berdiri sambil berkata, “Sekarang marilah kita teruskan perjalanan!
Insya Allah aku bisa membantu mencari ayahmu dan pendeta Jorgen!”
Setelah istirahat secukupnya mereka melanjutkan perjalanan ke arah Timur
meninggalkan Danau Jamur.
◄Y►
6
Berhari-hari mereka meneruskan perjalanan menjelajahi pedalaman hutan
Papua. Di tengah perjalanan mereka bercakap-cakap sekedar untuk
menghilangkan ketegangan dan rasa jenuh selama perjalanan panjang dan
melelahkan itu.
“Ke mana kita mencari?” tanya Yulia.
“Kita jumpai saja setiap suku di pulau ini. Siapa tahu ayahmu dan pendeta
Jorgen ada di sana menjadi tawanan mereka!” ucap Parmin menduga-duga.
Baru saja mereka akan melanjutkan perjalanan, Yulia melihat burung Onta
melintas di hadapan mereka.
“Parmin burung-burung Onta itu mengejar kita kembali!” teriak Yulia.
“Hah”!” Parmin berdesis.
Baru saja Parmin dan Awom akan bertindak, mendadak panglima suku itu
melihat sesuatu keganjilan. Seraya berkata, “Tapi itu bukan dari pasukan
orang-orang kerdil! Dan lihat ada apakah itu? Asap bergulung-gulung ke
udara!”
Benarlah apa kata pemuda suku Kaimana itu, terlihat kepulan asap dari arah
hutan.
“Oh! Hutan terbakar!” teriak Parmin memastikan. Betul juga dugaan
Parmin.
Berpuluh-puluh binatang hutan berhamburan seperti terkuras dari tempat
persembunyiannya masing-masing. Kasuari, Burung Cendrawasih, Babi hutan dan
lain-lain bercampur aduk menjadi satu. Hanya satu tujuan mereka, yaitu
menyelamatkan nyawa masing-masing dari jilatan api yang mengejar dengan
cepat.
Binatang-binatang itu tak memperdulikan apapun kecuali menghindar jauh-jauh
dari ancaman maut yang hendak merenggut. Laksana kiamat, api melahap hutan
belantara.
Angin bertiup kencang membuat api itu merambat cepat sekali. Pepohonan
tumbang, rumput-rumput hangus terbakar. Saat itu udara panas sekali bagaikan
di dalam neraka. Jeritan binatang-binatang hutan menimbulkan kebisingan
hingga membuat panik ke-tiga orang itu. Parmin, Yulia dan Awom berusaha
mencari tempat berlindung sementara.
“Kita harus segera lari sebelum api sampai ke mari!” teriak Awom.
Belum lagi Awom bertindak, Parmin berteriak,
“Jangan lari mengikuti arah binatang-binatang itu, Awom! Angin bertiup
sangat kencang! Kita akan kalah cepat oleh api!”
“Api telah dekat sekali apa yang harus kita perbuat?!” tanya Awom kepada
Parmin dengan tak sabar lagi.
“Cari tempat yang agak lowong! Kita terobos api itu!” jawab Jaka Sembung
tegas.
Sebelum itu Parmin menyuruh mereka agar menggunakan daun-daunan sebagai
pembungkus kaki. “Cepat kita bungkus dulu telapak kaki kita dengan daun-daun
yang segar! Cepat Awom, bantu kepala sukumu!” pinta Parmin kepada
Awom.
Pemuda Papua ini cepat tanggap dan bergegas membantu kepala sukunya
mengikatkan daun-daun segar sebagai alas kaki sambil mengendap-endap,
mencari tempat lowong di tengah-tengah amukan api, akhirnya Parmin menemukan
tempat yang dicarinya. Sebuah celah di antara kobaran api yang sedang
bergolak.
“Di tempat itu lowong! Kita harus bergerak cepat Yulia, berdoalah!” ungkap
Parmin sambil menunjuk ke arah yang akan mereka lewati.
Sesaat kemudian mereka berdo'a dengan cara mereka masing-masing, Yulia
segera menggenggam Rosarionya. “Demi Bapa, Putra dan Roh Kudus....... Amin!
Yulia mengawali dilanjutkan oleh Awom dengan caranya sendiri, sedangkan Jaka
Sembung dengan membaca, “Bismillah.......!”
Maka dengan tekad bulat ketiga orang itu menerobos api yang berkobar-kobar
dengan ganasnya. Dengan sekuat tenaga Parmin menggotong tubuh Yulia agar
bisa melewati tembok api itu. Dengan sekali hentak dan diikuti Awom, mereka
berhasil keluar dari neraka itu.
Teori Parmin memang benar. Di balik tembok api yang dahsyat itu terlihat
membentang hamparan tanah kosong yang terdiri dari medan abu dan arang,
bekas hutan yang telah musnah. Mereka tertatih-tatih menahan hawa panas dari
asap yang masih mengepul dari tanah gundul itu.
Butir-butir keringat keluar dari tubuh mereka. Kulit mereka kebiru-biruan
karena asap panas dan sengatan matahari yang tepat di atas ubun-ubun. Asap
mengepul hitam ke langit, cahaya matahari lenyap ditelan kepulan asap,
langit pun keruh dibuatnya.
Angin meniup kencang mendorong kobaran api semakin jauh di belakang mereka,
sehingga ke-tiga orang itu terbebas dari bahaya api.
“Uu....... uh! Panas! Aku tak sanggup!” keluh gadis bule itu. Dia tak tahan
dengan panasnya api, kulitnya yang putih berubah menjadi merah
kebiru-biruan.
“Mari cepat! Sebentar lagi pasti kita terbebas dari hawa panas ini,” hibur
Parmin sambil menggendong sang gadis yang sudah tidak sabar.
Sedikit demi sedikit mereka telah cukup jauh menempuh dataran abu yang
panas itu. Awom sang panglima terus mengikuti jejak-jejak Parmin dari
belakang, sementara daun-daun pembungkus kaki mereka mulai mengering
tertembus abu dan arang sisa-sisa kebakaran tersebut.
Sementara itu dari suatu tempat manusia bertopeng menyeringai puas.
Pikirnya dengan membakar hutan, dia yakin ketiga orang musuhnya yang ada di
dalam hutan itu pasti sudah hangus dilalap kobaran api.
“Ha., ha., ha., ha., ha! Tentu mereka sudah mampus diberengus api atau
setidak-tidaknya mereka sudah tak berbentuk manusia lagi!” si topeng seram
berkata dalam hati sambil mencampakkan obor bekas alat penyulut kebakaran
itu.
“Angin kencang di musim kemarau ini telah membantuku untuk melampiaskan
dendam.”
Tapi dugaannya benar-benar meleset, karena Jaka Sembung, gadis bule atau
panglima suku itu selamat, walau harus menderita luka-luka kecil.
“Kau tak apa-apa, Awom?” tanya Parmin kepada panglima suku.
“Tak apa-apa, hanya terbakar sedikit!” jawabnya singkat.
Setelah menempuh perjalanan yang menegangkan itu, Parmin mengajak mereka
untuk beristirahat di tempat yang cukup teduh.
Ternyata masih ada sebuah pohon yang tersisa dari amukan api karena
terletak di sebuah dataran yang tinggi. Sambil merebahkan tubuh Yulia yang
digendongnya itu, dia berkata kepadanya, “Kuharap kau baik-baik juga,
Yulia!”
Sambil mencium Rosarionya dia menjawab, “Tuhan telah menyelamatkan kita,
Parmin!”
Mereka melepaskan lelah di bawah pohon tersebut sambil melucuti daun-daun
pembungkus kaki mereka. Seketika Parmin dapat memastikan diri sambil
melepaskan arah pandangannya ke arah kobaran api itu, seraya berkata.
“Aku yakin ini perbuatan seseorang untuk membunuh kita! Tapi sungguh keji.
Untuk membunuh dan melenyapkan tiga orang saja harus membakar hutan!”
◄Y►
7
Setelah cukup istirahat, mereka kembali meneruskan perjalanan dengan niat
semula mencari ayah Yulia dan pendeta Jorgen.
Di bawah teriknya sinar matahari, mereka terus melangkah. Suasana sunyi
lengang terasa di tengah padang abu dan arang tersebut.
Tak seekor binatang pun menampakkan batang hidungnya. Tak terdengar siulan
burung. Segenap penghuni hutan seakan berkabung dengan apa yang baru saja
terjadi. Sengat matahari bertambah panas karena kini tidak ada lagi
pohon-pohon tempat berteduh.
Rasa gatal dan kering menggerogot kerongkongan. Mereka ingin segera
menemukan sumber air untuk sekedar membasahi kerongkongan. Setelah berjalan
cukup lama di ujung tanah gersang kerontang itu, akhirnya mereka menemukan
sebuah danau.
“Anda lelah, Yulia? Baiklah kita istirahat di sini untuk melepas dahaga
sambil membersihkan luka-luka!” ajak Jaka Sembung kepada kepala suku dan
panglima suku Kaimana.
Seakan mengerti situasi, Awom sengaja memisahkan diri dari pasangan
muda-mudi itu, ia merebahkan dirinya di bawah pohon raksasa yang daunnya
lebat serta batangnya sebesar tiga kali pelukan manusia.
Yulia turun ke pinggiran danau dan membersihkan tubuh serta wajahnya yang
telah dicoreng-moreng abu dengan air danau yang jernih dan sejuk itu. Begitu
juga halnya dengan Parmin.
“Biarkan kubersihkan luka-lukamu, Parmin!” pinta Yulia.
“Tak usah repot-repot, Yulia! Biarlah kulakukan sendiri!”
Dengan halus Jaka Sembung menolak, tapi Yulia bergegas menghampiri Parmin
dan menggosokkan air dengan jari-jarinya yang halus ke bagian tubuh Parmin
yang kotor karena abu.
“Pedih?”
“Tidak!”
Sesaat mereka berdua beradu pandang. Dengan matanya yang biru Yulia menatap
Parmin. Sinar mata gadis itu seakan berusaha menembus bola mata Jaka
Sembung. Di pihak lain, ditatap seperti itu Parmin menjadi rikuh juga.
“Mengapa, Yulia? Kau seperti hendak mengatakan sesuatu padaku!” tanya
Parmin untuk menghilangkan rasa serba salah.
“Parmin.......! Oh, aku begitu mengagumimu! Belum pernah aku menjumpai
seorang laki-laki segagah dan setangkas engkau!”
“Keadaanlah yang memaksa bangsa kami untuk menjadi laki-laki tangkas dan
cekatan!” ujar Parmin coba merendahkan diri.
“Ya, aku mengerti. Karena bangsamu tertindas! Tapi pada dirimu kulihat
segala-galanya, Parmin! Gagah, tangkas, halus perasaanmu....... Dan kulihat
kau sangat taat menjalankan agamamu di saat apapun atau di mana pun!” puji
kepala suku Kaimana dengan nada ketulusan.
“Ah, itu memang sudah kewajiban seorang pemeluk agama! Engkau pun setiap
saat berdo'a dan ta'at kepada agamamu, bukan?”
“Kurasa kau terlalu memujiku....... Kita hanya bertiga di tengah hutan
belantara yang luas dan sunyi....... Oleh karena itu kau tentu melihatku
sebagai manusia yang paling hebat!” Parmin tetap merendahkan diri.
“Tidak, Parmin.......! Aku kadang-kadang merindukan seorang pria yang
sanggup melindungiku dengan segala kesukaran dan keresahanku!”
Belum lagi selesai Yulia berkata. Parmin cepat memotongnya, karena Jaka
Sembung melihat suatu gejala yang tidak ia inginkan dari gadis kulit putih
ini.
“Maaf....... Jangan kau teruskan kata-katamu, Yulia! Jangan!”
“Kau terlalu baik untukku dan bukan itu saja, kau ibarat musafir di padang
pasir yang sedang kehabisan bekal air, dan kau belum banyak menjumpai
telaga!” lanjut Parmin agar Yulia mau mengerti apa yang diharapkannya.
Namun kenyataannya tidak, bahkan Yulia seakan tidak mau tahu terhadap sikap
Jaka Sembung. “Oh, tidak! Aku telah banyak melihat telaga tetapi tidak
sebening dan sesejuk air telagamu!”
Kata-kata Yulia laksana deburan ombak besar yang menghantam onggokan batu
karang. Namun batu karang yang satu ini keras dan begitu tegar tak
tergoyahkan, maka ia berusaha menjawab dengan kata-kata halus dan hati-hati
agar si gadis bule itu tidak merasa tersinggung.
Belum selesai Parmin mengutarakan sikapnya, tiba-tiba ia melihat
benda-benda kecil berkilat menukik ke arah Awom. Parmin berteriak
memperingatinya.
“Awom! Awas!........”
Terlambat, beberapa anak panah yang telah melesat dari busurnya itu
menancap ke tanah memagari tubuh Awom dengan ketatnya, sehingga membuat
panglima suku Kaimana itu tak berdaya seakan-akan tubuhnya terpatok
kuat-kuat di atas tanah.
Nasib yang sama segera dialami pula oleh Parmin dan Yulia. Anak-anak panah
itu bagaikan belenggu yang meringkus tubuh mereka.
Baru saja Jaka Sembung hendak bergerak, tiba-tiba dari semak belukar di
sekitar mereka bermunculan sekawanan suku Papua yang masih buas dengan
tombak-tombak yang mengancam. Tetapi dalam keadaan seperti itu, mendadak
Parmin menghentak dengan diiringi kibasan kedua tangannya yang mencabut
anak-anak panah dan sekaligus melemparkannya kembali. Anak-anak panah itu
berdesing menuju tuannya masing-masing.
Mereka menjerit tertahan disusul dengan tumbangnya tubuh mereka berguguran
ke bumi dan tak berkutik lagi.
Awom yang sudah terbebas dari belenggu anak-anak panah itu tak tinggal
diam, dengan meniru apa yang diperbuat Parmin dia berhasil menghalau,
sebagian kecil pasukan penyerang itu.
“Hiyaaaaat.......!” Awom begitu cepat menyerap ilmu Parmin si Jaka
Sembung.
Sekali hentak lima orang suku Kanibal yang hidungnya berhias tulang
belulang itu ambruk seketika. Tak ayal lagi nyawanya melayang oleh anak
panah mereka sendiri.
Namun baru saja Awom dan Parmin merasa bisa bernafas, mendadak dari atas
pohon beberapa orang suku pemakan daging manusia itu menjerat tubuh mereka
dengan tali yang terbuat dari akar-akar pohon raksasa. Secepat kilat tubuh
Parmin dan Awom terhentak ke atas.
Keduanya bergelantungan dengan kepala di bawah. Yulia yang sejak tadi
memperhatikan pertarungan kedua kawannya, juga tak lepas dari sergapan
orang-orang buas dan menyeramkan itu.
Dalam waktu yang tak seberapa lama mereka sudah tertangkap sebagai
tawanan.
Mereka menurunkan tubuh Parmin dan Awom yang bergelantungan itu. Lalu
setelah tiba di bawah mereka segera mengikat keduanya dengan akar-akar pohon
dan langsung menyeret ke-tiga orang itu menuju ke perkampungan mereka.
Di bawah teriknya matahari mereka diseret bagai binatang hasil
buruan.
Beberapa saat setelah menelusuri hutan belantara, akhirnya mereka sampai di
sebuah perkampungan. Para penduduknya bersorak ramai menyambut kedatangan
para pemburunya yang telah datang dengan membawa hasil yang tak kepalang
tanggung, tiga orang sekaligus.
Parmin, Yulia dan Awom segera diikat, masing-masing pada sebuah tonggak
kayu yang terpancang di tengah halaman perkampungan suku primitif itu.
Hari mulai gelap, beberapa wanita penghuni perkampungan itu menyiapkan kayu
bakar yang telah disediakan dan diletakkan di hadapan mereka bertiga. Yulia
mulai gelisah. Dia menoleh ke arah Awom dan Parmin sambil bertanya.
“Mau diapakan kita ini, Parmin?”
Dengan tenang Parmin menjawab. “Sabar saja, kita lihat apa yang akan mereka
perbuat!”
Kayu-kayu yang tertumpuk mulai dibakar dan perlahan-lahan api itu menjalar
dan berkobar dengan mengeluarkan kepulan asap tebal.
Malam sudah lama turun, api unggun menerangi seluruh perkampungan itu. Di
tengah-tengah halaman kini berlangsung upacara yang dimeriahkan oleh
teriakan gegap gempita. Ada yang menari sambil mengitari api unggun yang
berkobar-kobar dan ada pula yang menabuh gendang, berbaur hingga menimbulkan
kebisingan.
Para wanitanya pun tak tinggal diam, mereka turut memeriahkan upacara
dengan menari-nari sambil menambah tumpukan kayu yang mulai habis termakan
api. Sebagian laki-laki yang lain duduk bersila membuat lingkaran di tengah
halaman. Sementara itu Parmin, Yulia dan Awom terikat kuat-kuat tak
berdaya.
Mendadak sorak sorai itu berhenti. Ternyata sang kepala suku kanibal
berdiri mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan berpidato di hadapan
warganya dengan bahasa mereka, disambut dengan sorak sorai dengan riuh
rendah.
Setelah sedikit memberi ulasan, sang kepala suku duduk kembali sambil
mengarahkan jari telunjuknya kepada Yulia yang terikat di tonggak upacara.
Dengan cepat dua orang yang duduk mengelilingi arena upacara itu bangkit
mendekati Yulia, dan melepaskan tali belenggu pengikat tubuh gadis
itu.
Parmin bertanya dalam hati: “Mau diapakan dia, mengapa wanita dulu?”
Setelah bergumam begitu, dia menoleh ke arah Awom seraya bertanya: “Kau
mengerti bahasa mereka, Awom?”
“Ya, sebelum dijadikan santapan, para tawanan harus menghibur mereka dulu!
Kepala suku Kaimana akan diadu dengan jago-jago wanita dari suku ini!!”
jelas Awom singkat.
Betul saja, diiringi sorak-sorai, muncullah di tengah gelanggang tiga
wanita suku Papua kanibal dan mengurung Yulia. Wanita bertampang beringas
dengan hanya memakai cawat dari kulit binatang itu agaknya memang sudah
dilatih untuk berkelahi dalam upacara-upacara tradisionil seperti ini.
Dengan hiasan tulang belulang di leher serta hidungnya membuat
wanita-wanita itu bertambah seram dipandang. Mata Yulia begitu gugup dan
tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
“Oh, Tuhan apa yang harus kuperbuat, mereka hendak merobek-robek
tubuhku.......!”
Dengan garang ketiga wanita itu menyerang Yulia, kukunya yang panjang dan
runcing itu siap merobek kulit Yulia yang putih mulus.
Dalam keadaan kritis itu Parmin membisikkan kata-kata dari kejauhan.
“Jangan gugup, Yulia! Hadapi dia dengan tenang! Ketenangan akan lebih mudah
mengatasi segala kesulitan.”
Bagaikan diguyur seember air segar, semangat Yulia sekonyong-konyong
bangkit kembali, sekarang dia telah siap untuk menghadapi serangan ketiga
lawannya itu. Yulia tak lupa berdo'a.......
“Aku tidak takut karena Tuhan adalah pelindungku.”
Baru saja dia mengucapkan do'a, ketiga lawannya yang ganas itu menyergap
Yulia.
Parmin dari kejauhan dengan cepat memberi aba-aba. “Yulia! Lompat ke kiri
dan gaet kakinya!”
Yulia mempraktekkan apa yang dikatakan Parmin, tak ayal lagi tubuh orang
hitam itu terjerembab jatuh. Yulia melihat suatu kenyataan yang
menggembirakan hati.
“Benar juga kata Parmin, dia jatuh tapi yang dua orang lagi
bagaimana?”
Ketika Yulia mengamati lawannya yang sudah tersungkur, tiba-tiba Parmin
berteriak.......
“Awas, Yulia!! Ah!”
Yulia tak sempat berbuat apa-apa karena dia lengah sehingga dengan mudah
tubuhnya disergap wanita suku primitif itu. Pergumulan terjadi, keduanya
berguling-guling. Para lelaki yang sedang asyik menonton pergumulan itu mau
tak mau diam, mereka bersorak sorai memberi semangat kepada jagoan
mereka.
“Ayo hajar! Gigit tengkuknya!”
“Patahkan kakinya yang gurih itu!”
Yulia dihajar habis-habisan. Rambutnya dijambak kuat-kuat, sementara
tubuhnya tersingkap, sehingga pahanya yang putih mulus itu semakin
mengundang selera mereka untuk cepat-cepat makan daging manusia. Batang
leher Yulia yang jenjang dicekik, untuk sesaat nafasnya serasa hampir putus
oleh cengkraman tangan perempuan hitam itu.
Para penonton gembira melihat jago mereka hampir memenangi pertarungan.
Namun Parmin tak henti-hentinya memberikan petunjuk kepada Yulia. “Yulia!
Jepit pinggangnya kuat-kuat dengan kakimu! Lalu lemparkan tubuhnya ke
samping!”
Ucapan Jaka Sembung dipraktekkan lagi. Dengan sisa-sisa tenaganya Yulia
menghempaskan tubuh lawan yang menindihnya itu sehingga tubuh hitam itu
terpental. Namun Yulia kembali terperangah dengan apa yang dihadapi ketika
tiba-tiba Parmin berteriak lagi.
“Cepat bangkit, Yulia! Awas di belakangmu!”
Terlambat....... Kedua tangan hitam yang berkuku panjang itu telah
bersarang di batang lehernya. Yulia berusaha berkelit untuk melepaskan
cengkeraman lawan wanitanya itu. Tapi sepasang tangan wanita hitam itu
bagaikan terpatri dan sulit untuk dilepaskan.
Yulia merasakan nafasnya semakin sesak. Keringat bercucuran dari tubuhnya
sehingga kulit yang putih itu kini berkilat seperti pualam. Di saat-saat
menegangkan itu Jaka Sembung berontak dan tali-tali pengikat tubuhnya putus
seketika. Dengan teriakan yang membahana ia melompat.
Seketika itu juga orang-orang kanibal yang sedang menonton pertarungan
menjadi terperangah kaget. Namun panglima suku segera memerintahkan agar
menghujani Parmin dengan senjata mereka.
Bagaikan kilat, tombak-tombak itu melesat dari tuannya. Tetapi dengan
cekatan Jaka Sembung menangkis tombak-tombak itu dengan tonggak kayu yang
dicabutnya. “Jep.........!Jep.......!”
Kemudian tonggak kayu itu digunakan Parmin untuk menyerang orang-orang
kanibal yang menghadangnya. “Hiyaaaaaaat........”
Tubuh mereka ambruk seketika bersama tonggak kayu yang menimpanya. Dengan
sigap Parmin berkelebat untuk menolong Yulia yang sedang menanti saat
kematiannya.
Bagaikan binatang buas dan ganas wanita hitam itu tak mau melepaskan tubuh
lawannya. Maka sebuah tendangan keras dari Parmin mendarat di tubuhnya.
Dengan jerit keras, tubuh hitam itu terpental dan nyawanya pun lenyap
seketika.
Parmin tak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cekatan Jaka Sembung membopong
tubuh Yulia yang hampir kehabisan nafas, sambil menyarangkan kakinya kepada
siapa pun yang coba-coba menghalanginya.
Tak ayal lagi mereka pun ambruk berpelantingan. Nasib baik yang menyertai
Awom yang sejak tadi masih berusaha melepaskan ikatannya, tahu-tahu sebilah
tombak nyasar memutuskan tali tersebut.
“Bagus!” ujarnya gembira.
Kesempatan baik itu digunakan Awom untuk menggunakan balok kayu di
hadapannya untuk digunakan sebagai senjata seperti apa yang dilakukan oleh
Jaka Sembung.
“Uuuh! Berat betul! Kok tidak kuat”!”
Ternyata balok yang tertancap dalam tanah itu tak berhasil diangkatnya. Di
saat itu beberapa orang suku kanibal datang menyerang Awom yang masih
penasaran ingin dapat mencabut balok kayu tersebut.
“Sial, tonggak ini tak bisa ku bedol.......!”
Dalam pada itu serangan telah mengancam jiwanya tetapi Awom, dengan cepat
membalikkan badannya menirukan gaya Jaka Sembung.
“Hiyaaaat.......!”
Dengan tangan dikibaskan ke samping, kemudian kaki menerjang ke depan
menghantam dada lawan yang menyerangnya. Tak ayal lagi tubuh-tubuh itu
terpental jauh dari hadapan Awom untuk tak berkutik lagi selamanya.
“Heh, sekali tepuk tujuh nyawa! Hebat betul!” ucapnya bangga dalam
hati.
Di saat sedang memandangi tubuh-tubuh lawannya yang telah menjadi mayat,
Awom melihat sesosok bayangan berkelebat dengan bersenjatakan sebuah kapak
ke arah Parmin.
“Aya, kepala suku kanibal itu hendak membokong Parmin!”
Baru saja kapak itu hendak diayunkan ke batok kepala Parmin alias Jaka
Sembung, mendadak kakinya tersangkut. Betapa kagetnya kepala suku itu,
ternyata yang menggaetnya adalah Awom.
Tak bisa disangkal lagi, tubuh kepala suku kanibal itu ambruk. Ketika ia
berusaha bangkit, dengan cepat Awom menghantam tubuh kepala suku itu
bertubi-tubi dengan tendangan geledek gaya Jaka Sembung yang berhasil
ditirunya.
Kepalan tangan Awom yang keras bertubi-tubi dihujamkan ke wajah serta
sikutnya bersarang telak di perut kepala suku kanibal itu.
“Nih, pukulan gaya Parmin! Tiga sekaligus.”
“Dan ini tendangan geledek Parmin. Hiyaaaaat!”
Seketika tubuh kepala suku terhuyung-huyung. Baru saja Awom hendak
bertindak lebih jauh, ia mendengar suatu gerakan orang yang akan
membokongnya dengan sebilah tombak.
“Aya, ada yang menyerangku dari belakang!”
Dengan gerakan reflek, kakinya di-ayunkan ke belakang menendang tubuh si
penyerang itu.
“Gedebuk!” Tepat bersarang di perut.
Orang hitam itu berteriak keras karena perutnya mulas, tubuhnya
terhuyung-huyung menyebabkan tombak yang digenggamnya lepas. Dengan cepat
Awom menyambar tombak yang masih melayang di udara, “Tap.......!”
Awom langsung menyarangkan tombak tersebut ke perut lawan. Untuk sesaat si
pembokong itu berkelojotan meregang nyawa, kemudian terkulai tak berkutik
lagi.
Kepala suku yang baru sadar dari pingsannya kini bangkit lagi siap
menyerang Awom. Dia melompat dengan cepat laksana seekor serigala lapar
sambil mengayunkan kapaknya ke batok kepala Awom. Tapi Awom berkelit dengan
cepat sambil menangkis serangan lawannya dengan tombak yang baru saja
digunakannya. “Heit!”
Bersamaan dengan patahnya tombak akibat hantaman kapak, Awom mengibaskan
tangan kirinya sambil berteriak penuh percaya diri.
“Masuk.......!”
Tak ayal lagi tubuh hitam kelam itu termakan patahan batang tombak di
tangan Awom, darah menyembur dari lambungnya, dan tubuhnya terhuyung-huyung
ke belakang.
Dengan gemilang Awom berhasil merobohkan sang kepala suku kanibal itu.
Serentak Awom berteriak keras sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri seperti
seekor gorila yang menang bertanding. Hal ini sengaja ia lakukan agar
anggota suku kanibal yang tersisa menjadi ngeri kepadanya.
“Berhentiiiiiiii! Berhenti semua! Kepala suku kalian sudah mampus di
tanganku!!” teriaknya dengan penuh kewibawaan.
Suasana hening sejenak, orang-orang suku kanibal yang sedang mengeroyok
Parmin, seketika berbalik memandangi Awom seperti tak percaya dengan
kenyataan yang terjadi.
”Kalian tak percaya?! Lihatlah ini!” Awom berteriak sambil memperlihatkan
apa yang sedang dipegangnya.
Sementara Awom sedang mendemontrasikan, Parmin merebahkan tubuh Yulia dari
gendongannya dan segera menolongnya memberikan pernafasan buatan. Dengan
cara meniupkan udara dari mulut ke mulut, Yulia telah siuman.
“Oh.......!! lenguhnya dengan lirih.
“Untunglah masih bisa tertolong!” ucap Parmin.
Tapi agaknya pertolongan darurat itu telah menimbulkan kesan dan prasangka
lain pada diri gadis Belanda ini, kelembutan bibir Jaka Sembung telah
membuatnya melambung ke alam impian yang sudah lama ia nantikan. Oleh karena
itu begitu siuman, Yulia serta merta memeluk tubuh Parmin.
“Oh! Parmin! Aku takut.......!!”
“Tenanglah, Yulia! Kita selamat!” Jaka Sembung berusaha melepaskan pelukan
gadis jelita itu. Terasa sekali betapa getaran tubuh Yulia seakan menuntut
kejantanan pemuda yang dikaguminya.
“Bagaimana mungkin kita bisa selamat dari taring-taring suku kanibal itu”!”
tanya Yulia dengan tatapan mata menantang.
“Panglima perangmu itu berhasil memenggal kepala suku buas itu dan sedang
meyakinkan mereka bahwa kita utusan dewa!”
Benar kata Parmin, Yulia mendengar suara Awom sedang berbicara di depan
rakyat itu persis seperti gaya Yulia sendiri ketika meyakinkan suku Kaimana
dulu.
“Biar kulitku sama dengan kalian, aku adalah utusan dewa!!”
“Aku adalah dewa hitam! Dewa yang memerintah sekalian binatang di hutan
belantara ini! Beliau yang itu,” sambil menunjuk ke arah Parmin. “Adalah
dewa coklat yang menguasai bumi yang berwarna coklat ini! Sedangkan yang
satu lagi dewa putih yang menguasai langit dan awan putih yang
bergumpal-gumpal di atas sana!”
Namun agaknya mereka tidak gampang percaya dan puluhan suku kanibal telah
mengurung mereka. Perhatian mereka terutama ditujukan kepada Awom yang
dianggap telah memperdayakan mereka.
“Kita cincang!”
“Kupingnya untukku, disambal goreng!!”
“Bikin sate!”
Mereka masing-masing berkata sekehendak perutnya dan segera menyerang Awom
dengan ganasnya. Awom yang memang tak banyak berbuat banyak gelagapan dengan
keroyokan orang-orang itu.
“Wah! Celaka aku bisa mampus dibuatnya!!” Nyawa Awom bagai di ujung
tanduk.
Di saat yang genting itu tiba-tiba Parmin si Jaka Sembung bersalto ke udara
menuju tonggak kayu yang masih terpancang di tengah-tengah arena. Dengan
mengerahkan ilmu yang sangat dahsyat, dia menghajar tonggak pohon raksasa
itu dengan menggunakan telapak tangan miring.
“Hiyaaaaaaa!!”
Tonggak kayu yang cukup besar itu hancur berkeping-keping seperti dibelah
kapak dan jatuh berserakan di hadapan mereka.
Parmin tak diam hingga di situ dan dengan menggunakan kepingan kayu itu ia
mendemontrasikan kebolehannya. Maka bagaikan anak-anak panah yang melesat
dari busurnya, patahan kayu itu menancap menghiasi batang-batang pohon
raksasa di sekitar halaman perkampungan itu.
Suku kanibal terperanjat melihat kehebatan Parmin. Ada yang melotot seakan
mau keluar biji matanya dan sebagian dari mereka ada yang menggigil karena
ketakutan.
Dalam kesempatan itu Awom berkhotbah lagi walau sebenarnya ia masih merasa
khawatir apakah Jaka Sembung sudah meyakinkan mereka. Tapi kecerdikan pemuda
Kaimana ini sanggup menguasai keadaan.
Emoticon