4
MUSYAWARAH WARGA
PAGI ini di Balai Kelurahan, Dukuh Sirah Keteng sedang
dangan Pak Lurah Tunggul Anom, mereka diminta datang
untuk mengadakan musyawarah warga pedukuhan. Sejak ter-
dengar berita akan diambilalih daerah ini menjadi kawasan
penyangga pangan penduduk Kadipaten Ponorogo, maka
orang mulai ramai membicarakannya.
"Bapak-bapak, ibu-ibu yang terhormat, sebagaimana telah di-
jelaskan pada wusyawarah warga terdahulu. Pagi ini kita akan
mengambil kemufakatan mengenai nasib desa pertanian kita
ini. Untuk cepatnya jalannya musyawarah kita, kami mintakan
pendapat- pendapat, usul-usul, pandangan-pandangan, apa
saja yang sekiranya dapat menyelesaikan nasib kampung kita
ini. Selanjutnya silakan. Siapa di antara bapak-bapak, atau
ibu-ibu yang terlebih dahulu akan memberikan pendapatnya.
Kami persilakan," kata Pak Lurah Tunggul Anom ketika mem-
buka memimpin musyawarah warga Dukuh Sirah Keteng di
pagi hari ini.
"Saya, Pak Lurah. Mau bicara, "kata seseorang laki-laki ber-
jampang lebat yang duduk paling depan itu tanpa basa-basi
langsung berteriak lantang menyambut pengarahan Pak Lurah
itu.
"Ya. Silakan, Dimas."
"Menurut pendapat saya, Pak Lurah. Apa pun yang bakal
terjadi terhadap diri kita di sini. Semua warga penduduk harus
mempertahankan tanah kita ini sampai darah yang peng-
habisan.”
"Akur." Sahut suara warga hampir serempak memenuhi
ruangan balai kelurahan itu memberikan dukungan menyam-
but pendapat laki- laki berjampang lebat itu.
"Apa pun yang akan terjadi, kita tidak mau menyerahkan tanah
kita ini. Biar hancur lebur menjadi bangkai, kita tetap harus
berani berkubang darah di atas tanah leluhur kita ini. Kan
begitu tho, konco-konco,” teriak yang lain yang kemudian
disambut meriah oleh suara gemuruh orang-orang berteriak-
teriak memenuhi ruangan balai kelurahan yang penuh sesak
oleh berkumpulnya warga itu.
"Kalau menurut pendapat saya, Pak Lurah. Kita berontak saja
jika pihak penguasa kadipaten tetap akan memaksakan kehen-
daknya merampas tanah pertanian kita. Apalagi kita punya
orang kuat seperti Kangmas Wulunggeni ini yang saya tahu
beliau juga mempunyai kekuatan kenalan-kenalan para jagoan
lain yang kalau dikerahkan semua jumlahnya sangat banyak
untuk membela kepentingan kita di sini. Jadi kalau kita semua
mau bersatu dengan dukungan kekuatan dari para jagoan sa-
hhabat-sahabat dekat Kangmas Wulunggeni, saya rasa kita akan
mampu menanggulangi ancaman terhadap kampung kita di
sini ini dari tangan-tangan kekuasaan yang ingin merampas-
пуа. Akan tetapi sebaiknya, Pak Lurah, sebelum kita lanjutkan,
kita harapkan agar didengar dulu pendapat Kangmas Wulung-
geni mengenai perkara ini," kata laki-laki berkumis tebal yang
duduk di sebelah pinggir kiri ruangan Balai Kelurahan itu
kelihatan cukup berwibawa penampilannya.
"Yah. Kita dengar dulu pendapat Kangmas Wulunggeni,"
komentar yang lain dari seorang laki-laki yang berperawakan
kecil kurus mengenakan peci berwarna merah meron yang
duduk di tengah ruangan itu sambil menyedot rokok kelinting
kelobotnya itu.
“Baiklah kalau demikian, kami persilakan Kangmas Wulung-
geni untuk memberikan pendapatnya," kata Pak Lurah ke-
mudian untuk memenuhi permintaan warga itu.
“Terima Kasih, Pak Lurah," kata Warok Wulunggeni, "Menu-
rut hemat saya. Kalau kita dipaksa untuk menyerahkan tanah
yang telah menjadi hak milik kita ini secara sewenang-wenang.
Jelas, aku lebih baik mati daripada harus diinjak-injak hak-hak
kita seperti itu."
“Setujuuuuu," tiba-tiba terdengar teriakan hampir berbarengan
dari orang-orang yang hadir dalam musyawarah itu.
“Namun, sebentar. Bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya hor-
mati," lanjut Warok Wulunggeni kemudian, "Kita sebaiknya
berusaha mencoba berpikir jemih, berpikir gambyang, dan
bersikap dewasa. Berpikir sebagai orang yang arif bijaksana.
Apakah sesungguhnya yang menjadi maksud dan tujuan, serta
yang melatar belakangi kejadian ini semua. Apakah yang akan
diinginkan oleh penguasa kadipaten dengan cara mengambil
alih tanah di daerah Sirah Keteng, tanah persawahan milik kita
ini, semuanya harus jelas dulu. Menurut keterangan yang kita
peroleh, karena tanah di daerah kita ini sangat subur. Panen
berlimpah ruah. Kalan pertimbangannya lantaran kesuburan
tanah ini, kemudian harus merampas tanah kita untuk penguasa
Kadipaten, itu jelas tidak benar. Kita harus bela tanah kita ini
mati-matian. Akan tetapi nampaknya di balik soal kesuburan
tanah kita di sini ini, ada hal-hal lain yang disertakan. Menurut
berita yang saya dengar, kini di seluruh pelosok daerah kadi-
paten Ponorogo ini, sedang terkena musibah berat. Keadaan
penduduk sedang dilanda kelaparan yang menghebat pada
musim peceklik yang mengerikan pada tahun ini. Ada berita
yang mengatakan bahwa banyak penduduk yang terjangkit
penyakit kurang makan, dan kemudian mati kelaparan. Bahkan
menurut beritanya, hampir sampai seluruh pulau Jawa ini
menderita kekeringan yang menghebat sebagai akibat dari
musim paceklik kali ini. Orang-orang susah mendapatkan
pangan. Dan telah banyak yang mati karena kelaparan ini.
Nah, masalah rakyat lapar dan kematian ini kemudian men-
jadi penting. Agaknya saya termasuk orang yang rela menyerahkan
apa saja kalau hal itu menyangkut kepentingan kemanusiaan. Demi
untuk kepentingan menolong sesama. Jadi kalau hasil penenan
yang kita peroleh beberapa bulan belakangan ini, kita gunakan
untuk menolong orang yang kekurangan, terkena mala petaka
itu, apakah tindakan itu tidak baik. Tindakan itu tentu sangat
teruji. Kalau yang demikian ini. Itu saya rasa, saya sangat
setuju. Oleh karena itu apabila rencana penguasaan daerah
pertanian Sirah Keteng ini dimaksudkan demi untuk tujuan
menolong rakyat di daerah kadipaten yang sedang sengsara.
Saya rasa kita justeru berkewajiban untuk memberikan
pengorbanan sebesarnya kepada...," kata Warok Wulung-
geni belum selesai. Tetapi tiba-tiba terdengar ada suara
seorang laki-laki berperawakan tinggi besar yang berkulit
hitam pekat itu menyela pendapat Warok Wulunggeni itu. la
berdiri nampak geram sambil mengacungkan tangan kanannya
yang kokoh itu. Minta bicara.
“Kangmas Wulunggeni. Maafkan saya menyela pembicaraan,
Kangmas. Menurut pendapat saya. Kalau kita menyum-
bangkan hasil penenan kita untuk menolong sesama penduduk
yang sedang kekurangan pangan, bahkan ada yang sudah mati
karena tidak bisa makan, maka aku rasa kita bisa menyetujui.
Akan tetapi yang akan terjadi itu tidaklah demikian. Penguasa
kadipaten akan mengambilalih kepemilikan dan pengelolaan
tanah kita. Sekali lagi saya tegaskan mereka akan mengambil
alih tanah kita, bukan kita disuruh memberikan sumbangan
bahan pangan. Sama sekali bukan itu. Itulah saya rasa yang
tidak bisa kita terima, Kita tidak bisa menerima keputusan
Penguasa Kadipaten yang akan mengambil alih penguasaan
daerah pertanian kita ini untuk beralih kepemilikannya menjadi
di bawah penguasaan penguasa kadipaten . Aku terus terang
tidak setuju menerapkan cara demikian itu. Ini namanya sama
saja dengan praktek perampasan. Mengapa daerah kita ini saja
yang diambil, sedangkan daerah lain tidak. Apakah tidak
sebaiknya kita tetap sebagai pemilik, kita pertahankan sebagai
yang mengelola daerah pertanian kita ini, dan apabila daerah
lain, ada yang memerlukan bantuan dari daerah kita, maka kita
dapat memberikan bantuannya. Cara ini yang saya kira yang
terbaik. Tidak memindahkan kita seenak perutnya sendiri, lalu
penguasa kadipaten yang akan menggarapnya. Akan memiliki
tanah kita. Kita yang sudah bertahun- tahun, turun-temurun
mengolah tanah-tanah ini yang dulunya masih hutan lebat ketika
dibabat para leluhur kita dahulu. Oleh karena itu, terus terang
saja, aku tidak setuju dengan cara demikian ini."
“Benar. Kita dukung pendapat Pak Karmo Mendem itu," teriak
seseorang yang disambut meriah oleh yang lainnya ikut
mendukung pendapat Pak Karmo Mendem itu.
"Maaf. Bapak-bapak dan ibu-ibu. Tenang dulu," terdengar
kembali suara Warok Wulunggeni, "Saya belum menyelesaikan
kalimat-kalimat saya tadi."
"Yah. Yah, Mohon bapak-bapak dan ibu-ibu, harap diam sebentar.
Harap bersabar, Kita tenang dulu. Silakan Kangmas Wulunggeni
meneruskan bicaranya," teriak Pak Lurah Tunggul Anom yang
berusaha menenangkan suasana yang nampak mulai begitu gaduh itu.
"Aku pun sependapat dengan pendapat Pak Karmo Mendem
ini," kata Warok Wulunggeni melanjutkan bicaranya setelah
diselingi oleh orang tadi yang sebenarnya bernama Pak Karmo
Winangun tetapi karena sering mabuk, maka oleh orang-orang
kampung ia disebutnya sebagai Pak Karmo Mendem itu.
“Hanya masalahnya," lanjut Warok Wulunggeni, "apakah kita
semua ini mempunyai pengalaman untuk menyalurkan hasil
panenan kita untuk ditujukan kepada daerah-daerah mana saja
yang memerlukan bantuan kita. Siapa di antara kita yang
mampu menangani pekerjaan ini.”
"Aku mampu, Kangmas Wulung," kata seorang pemuda tegap
yang duduk di belakang dengan nada penuh semangat.
Kemudian disambut oleh para pemuda yang lain.
"Aku juga mampu."
“Aku juga bersedia."
Pertemuan musyawarah warga Dukuh Sirah Keteng itu
kemudian menjadi ramai lagi. Terjadi kegaduhan. Nampaknya
mulai tidak akan menemui kesepakatan. Banyak yang
menginginkan untuk tetap mempertahankan tanah milik «
mereka іш. Namun, rupanya Pak Lurah Tunggul Anom justeru
cenderung untuk menerimanya. Rupanya ada kersrangan lain
yang masih terlupakan dan belum dicerna betul oleh penduduk
warga.
"Bapak-bapak dan ibu-ibu," kata Pak Luizh Tunggul Anom,
kemudian, "Masih ada tambahan keterangan yang tadi
terlupakan untuk saya sampaikan kepada bapak-bapak dan
ibu-ibu. Bahwa mengenai rencana pemindahan tanah pertanian
kita dari Dukuh Sirah Keteng ini. Penguasa Kadipaten telah
menyediakan ganti rugi berupa tanah yang siap garap di daerah
lain. Terserah kepada kita, tanah mana yang akan kita inginkan.
Besarnya adalah tiga kali dari luas tanah yang kita miliki
masing-masing di daerah kita di sini ini sekarang. Jadi kalau
seandainya kita setuju. Kita masing-masing tinggal menunjuk
daerah mana yang akan kita tuju untuk tempat kepindahan kita.
Dimana saja di daerah pelosok kadipaten ini. Di tengah kota
kadipaten pun bisa asal tanah yang kita inginkan itu masih ada
di tengah kota dan belum dikuasai oleh warga yang
memiliki. Tanah-tanah di tengah kota masih banyak yang
menjadi penguasaan penguasa kadipaten. Jadi, terserah saja
kita masing- masing mau kemana kita akan pindah. Semua itu
katanya atas biaya dari penguasa kadipaten yang mendapatkan
bantuan keuangan dari Kerajaan Majapahit di Trowulan. Tanah-
tanah yang kita tunjuk sebagai pengganti tanah kita itu, akan
dirapikan oleh penguasa Kadipaten, dan kita semua tinggal meng-
garapnya saja. Atau kita yang merapikan dan kerja kita itu akan
diganjar upah sesuai kebiasaan yang berlaku di adat kita."
Mendengar tambahan keterangan dari Pak Lurah Tunggul
“Anom ini, musyawarah penduduk warga Dukuh Sirah Keteng
ini kemudian berubah suasana menjadi terang. Masing-masing
penduduk yeng kadir kemudian membuat perhitungan sendiri-
Sendiri. Di аата maeka banyak yeng mulai mereka-reka,
berpikir-pikir, daerah-daerah mana saja yang sekiranya akan
menarik untuk dijadikan kediaman dan sekaligus tempat usaha
barunya. Tetapi di antara mereka kemudian menjadi terdiam,
tidak ada yang berani berkomentar, terutama bagi mereka yang
tadi bersikap keras kini justeru tidak berani memberikan
suaranya. Tiba-tiba terdengar suara Warok Wulunggeni
memecahkan suasana keheningan itu.
"Maaf, bapak-bapak dan ibu-ibu. Saya hanya ingin menyambung
pembicaraan saya tadi setelah mendapatkan keterangan tambahan
dari Pak Lurah kita. Jadi menurut hemat saya, penawaran rencana
ini merupakan langkah kebijaksanaan yang agаk lumayan dari
penguasa Kadipaten. Kalau tujuzanya pengambi! alihan tanah
pertanian kita ini untuk menyelamatkan kehidupan rakyat
Ponorogo secara bersama, tujuan ini tentu baik. Kedua, kalau
pengambilalihan tanah kita ini mendapatkan penggantian yang
memadai dengan menaikkan jumlah luas pemilikan tanah
sampai tiga kali lipat itu. Menurut saya, hal ini sudah cukup
baik. Saya pribadi dapat menyetujui. Tetapi kalau nanti dalam
praktek ternyata penguasa Kadipaten ingkar janji. Maka barulah
pada kesempatan itu, kita semua wajib angkat senjata dan
memberontak. Demikian kira-kira pendapat saya, Pak Lurah."
“Bagus itu," komentar salah seorang ibu-ibu setengah umur
yang duduk paling depan.
"Ya, saya juga setuju. Sebaiknya Pak Lurah harus hati-hati
dalam membuat perjanjian soal ganti rugi ini. Jangan sampai
kita diperdaya. Tanah sudah diambil, penggantinya tidak
kunjung datang,” komentar yang lainnya.
"Akur. Kita sepakat dengan cara demikian," teriak beberapa
orang lainnya di barisan samping kanan.
Maka, sejak hari itu, Pak Lurah Tunggul Anom telah
dapat menyampaikan laporan tertulis yang disiapkan ber-
sama Warok Wulunggeni. Laporan tertulis mengenai ha-
sil musyawarah warga Dukuh Sirah Keteng itu akan
disampaikan kepada Penguasa Kadipaten pada keesokan
harinya di kadipaten Ponorogo.
Para Penggede Kadipaten Ponorogo merasa bersukacita ketika
menerima keputusan musyawarah warga Dukuh Sirah Keteng
itu. Mereka temyata orang-orang yang berjiwa besar. Bersedia
dengan ikhlas menyerahkan tanah-tanah subur mereka demi
kepentingan yang lebih luas. Untuk menolong saudara
mereka, rakyat Ponorogo yang kelaparan. Disebabkan lantaran
tanah-tanah pertanian penduduk banyak yang berubah tandus
kekeringan. Semakin gersang sejak dilanda musim paceklik
yang berkepanjangan akhir-akhir ini. Sikap arif penduduk
warga Sirah Keteng itu dianggap telah berhasil membantu
menyelesaikan suatu masalah besar, untuk menanggulangi
sebagian keperluan penyediaan bahan pangan bagi rakyat
Kadipaten Ponorogo.
5
WAROK JABUNG
SEJAK daerah Sirah Keteng dikuasai oleh Penguasa Kadipaten
untuk dijadikan sebagai daerah penyangga penyediaan bahan
pangan rakyat Kadipaten, Warok Wulunggeni sekeluarga ke-
mudian menyingkir ke daerah Dukuh Jabung yang masih
termasuk daerah Ponorogo selatan. Oleh karena itu lama-kela-
maan, Warok Wulunggeni dijuluki sebagai Warok Jabung.
Memang naas nasibnya bagi warok yang kalah adu tanding di
gladi gelanggang yang disaksikan oleh banyak warga Kadi-
paten waktu itu, ia kemudian nampak hidup terlunta-lunta tidak
dihargai lagi oleh masyarakat dan penguasa Kadipaten. Seperti
halnya nasib Warok Wulunggeni ini, ia tidak bisa dipakai di
pemerintahan, sebab dianggap sebagai warok yang kurang bisa
diandalkan lagi. Sebaliknya nasib Warok Surodilogo, sejak
kemenangannya adu tanding melawan Warok Wulunggeni
beberapa tahun yang lalu itu, kini kehidupan ekonominya
makin sejahtera menanjak maju. Selain ia sekarang dapat
menguasai usaha jasa pengawalan keamanan bagi para peda-
gang-pedagang yang akan melewati daerah Dukuh Dawuan, ia
oleh penguasa kadipaten kemudian diangkat menjadi penguasa
pengamanan daerah di Dawuan itu. Hal inilah yang akhirnya
membuat hidupnya enak, banyak uang, banyak harta, dan
memiliki kekuasaan di daerah bersangkutan.
Warok Wulunggeni ketika mendengar berita mengenai ke-
makmuran Warok Surodilogo sekarang di Dukuh Dawuan,
hatinya memang jadi kecut dibandingkan nasibnya yang me-
nelangsa harus pindah-pindah tempat tinggal baru, dan selalu
merintis usaha baru. Tetapi ia nampaknya tidak kehilangan
semangat. Sebagai warok sejati, kalau kalah tarung yah harus
mengakui keunggulan lawannya. Walaupun ia kini telah
menguasai banyak ilmu kanuragan baru, dan juga memiliki
ilmu macan loreng dari hasil bergurunya di Blitar selatan
tempo hari, akan tetapi ia tidak hendak gegabah menggu-
nakan ilmu-ilmunya itu secara sembarangan, termasuk
menghindari pertemuan dengan musuh bebuyutnya si
Warok Surodilogo yang dianggap telah merampas usahanya
dahulu di daerah Dukuh Dawuan itu.
Menurut pesan gurunya di Blitar selatan dahulu "Ilmu macan
loreng yang telah kamu miliki itu tidak bisa kamu gunakan
untuk menantang berkelahi orang. Ilmu itu hanya bisa kamu
gunakan untuk membela diri kalau kamu diserang. Apabila
kamu langgar ketentuan garis keilmuan ini, ketika engkau telah
berubah menjadi macan jadian, otakmu akan ikut berubah
menjadi macan. Tidak bisa lagi digunakan untuk berpikir,
hanya naluri hewani yang tinggal dalam tubuhmu. Oleh karena
itu kamu tidak akan bisa berpikir lagi seperti manusia, kamu
tidak akan bisa mengingat lagi untuk melafalkan mantra agar
kamu dapat berubah kembali menjadi manusia. Oleh karena
mengingat bahayanya ilmu ini, kamu jangan sekali-kali ber-
tarung langsung secara bernafsu, gunakan hanya untuk perta-
hanan kalau diserang, maka kamu akan selamat kembali
berubah menjadi manusia seperti sedia kala,” begitu tutur
gurunya yang dinasehatkan berkali-kali kepada Warok Wu-
lunggeni. Oleh karena itu Warok Wulunggeni tidak berani
mengambil risiko untuk beradu atau mendatangi musuhnya,
kecuali ada orang yang datang kepadanya mau bikin gara-gara,
baru ia berani menghadapinya, dan kemudian dapat menggu-
nakan ilmu-ilmu kanuragannya yang sangat berbahaya bagi
orang lainnya yang mau membikin ulah kepadanya itu.
Kesabaran yang memang harus diterapkan oleh Warok Wu-
lunggeni yang kini terus-mencrus memperdalam ilmu
ketabiban, ilmu penyembuhan luka akibat bacokan yang
mengandung warang beracun, mengobati orang terkena
tenung, teluh, guna-guna, terkena tenaga dalam, dan lain-
lain berbagai penyakit yang diakibatkan oleh perkelahian
kini mulai dikuasainya.
Setelah menempati rumah barunya yang dibangun dengan
gotong royong dari sesama penduduk Dukuh Jabung, akhimya
rumah joglo besar itu mulai kelihatan wujudnya dan layak
untuk ditempati Warok Wulunggeni sekeluarga.
Sekitar sebulan kemudian, anak perempuannya Sri Wigati ber-
sama suaminya Drajat Panuju yang menjabat sebagai senopati
di pemerintahan Kadipaten Ponorogo, baru menjenguk rumah
orang tuanya yang baru itu di Dukuh Jabung.
"Bagaimana kabarmu, Nduk,” tanya Warok Wulunggeni
ketika menerima sungkem dari putri satu-satunya yang sangat
disayangi itu yang diiringi oleh suaminya yang ganteng nam-
pak gagah perkasa itu.
“Baik-baik saja, Рак," jawab Sri Wigati nampak sangat hormat
kepada kedua orang tuanya itu.
Warok Wulunggeni sebenarnya tidak begitu senang mendapat-
kan menantu yang bekerja sebagai senopati di Kadipaten.
Tetapi karena nampaknya anak perempuannya itu bisa hidup
rukun bahagia ya sebagai orang tua harus mau juga merelakan
kepentingan dirinya. Tut Wuri handayani saja.
Selama beberapa hari menantunya itu tinggal di rumahnya.
Warok Wuhmpgeni jarang mengajak ngobrol panjang lebar.
hanya ngomong seperlunya saja. Mbok Rukmini, isterinya yang
malahan banyak ngobrol macam-macam dengan riang gembira.
Ceriteranya ada saja sampai pada hal-hal yang lucu-lucu sehingga
membuat ketawa terpingkal-pingkal anak dan menantunya itu.
Diam-diam Warok Wulunggeni membuatkan ramuan jamu
untuk diberikan kepada anak putrinya itu yang khasiatnya
untuk mencegah kehamilan. Ia tidak menghendaki anak turun-
nya yang berasal dari darah orang penggede Kadipaten. Na-
mun mengenai khasiat jamu itu tidak diberitahukan kepada
putrinya. Pesannya agar terus diminum untuk menjaga kese-
hatan, supaya tetap awet muda, dan cantik.
"Nduk, ini bapak membuatkan jamu ramuan khusus untuk
kamu. Tiap tiga hari sekali kamu minum. Khasiatnya selain
untuk kesehatan, juga supaya kamu tetap awet muda dan cantik
agar suamimu itu tetap menyayangimu."
"Matur nuwun. Terima kasih, Bapak. Saya akan mematuhi
nasehat Bapak.”
“Yah, jangan lupa untuk terus meminumnya. Dan kalau sudah
habis, kamu datang kemari lagi, atau simbokmu yang akan
antar ke rumahmu di kota."
“Matur nuwun, Terima kasih, Bapak."
"Belajar ilmu kanuraganmu kan masih terus to, Nduk."
“Yah, Pak."
"Nah, sana terus minta tambahan ilmu dari Kakangmasmu itu,
yah begitu kan Angger Drajad."
"Nuwun, Pak. Inggih,” jawab Drajad menantunya itu yang
duduk bersebelahan dengan isterinya Sri Wigati yang malam
itu nampak cantik jelita dengan memakai kebaya warna
ungu, hanya tersenyum- senyum ramah dihadapan kedua
mertuanya.
"Ilmu kehidupan ini kalau digali tidak ada habis-habisnya. Kita semua
berkewajiban terus-menerus tiap hari mengembangkan ilmu.
Mencari ilmu baru agar membuat langgeng jalannya hidup. Tidak
ada ruginya kita menguasai banyak ilmu. Ilmu apa saja kita wajib
mempelajarinya," nasehat Warok Wulunggeni di suatu sore di-
hadapan putri dan menantunya itu. Menantunya hanya bisa terus-
menerus memanggut-manggutkan kepalanya untuk memberi
rasa hormat kepada mertuanya yang disegani itu.
Seminggu setelah putri dan menantunya itu kembali ke kota
Kadipaten, Warok Wulunggeni mempunyai gagasan untuk
membuka usaha meracik jamu godogan yang diambilkan dari
ramuan bahan-bahan dedaunan di daerah Dukuh Jabung terse-
but. Selain itu, ia juga berusaha meneliti khasiat pengobatan
dari unsur-unsur tiap binatang-binatang yang mungkin dapat
dikembangan sebagai bahan- bahan yang berguna untuk
penyembuhan orang sakit.
Usaha jamu godogan itu nampaknya makin digemari orang.
Lama-lama banyak orang yang tahu kemudian datang untuk
berobat dan membelinya untuk digodog di rumah. Untuk
mengembangkan usahanya itu, Warok Wulunggeni akhirnya
membuka warung jamu di jalan besar yang mudah terjangkau
oleh calon pembelinya.
Demikian juga usaha penyembuhan orang-orang sakit itu
ternyata banyak orang yang merasa cocok berobat kepada
Warok Wulunggeni, baik yang terkena luka, terkena
guna-guna, penyakit-penyakit menahun lainnya dengan
menggunakan tenaga bathin dan ramuan dedaunan sering
dapat diatasi oleh Warok Wulunggeni. Untuk memberi-
kan pelayanan kepada para pengantar orang sakit, sambil
menunggu orang sakit yang sedang ditangani Warok
Wulunggeni di dalam rumah bilik sebagai tempat praktek
pengobatannya, Mbok Rukmini membuka warung minu-
man dawet dan makanan kecil berupa ketela, rempeyek,
singkong rebus, agar para pengantar yang kehausan dan
kelaparan dapat dengan mudah membeli di warungnya itu
sambil menunggu orang yang sedang diobati di dalam.
Dukuh Jabung lama-lama menjadi ramai dikunjungi orang.
Banyak orang yang sakit diantar ke tempat pengobatan Warok
Wulunggeni yang tidak pernah memungut bayaran secara
khusus. Kalau ada yang memberi yah diterima, tetapi kalau
tidak memberi juga tidak apa- apa, dianggapnya sebagai
sekadar menolong sesama. Mereka yang tidak punya uang,
membayar dengan membawakan makanan, bahan pangan, ter-
nak, kayu, atau apa saja, dan banyak juga yang secara cuma-
cuma lantaran tidak kuat bayar dengan apa pun. Semua orang
yang sakit, baik yang bayar maupun gratisan, mendapatkan
perlakuan yang sama dari Warok Wulunggeni.
Begitu makin banyaknya orang yang berkunjung untuk bero-
bat yang rata-rata membawa pengantar, mereka berasal dari
latar belakang macam-macam, mempunyai pekerjaan macam-
macam, pada umumnya adalah para pedagang, maka lama-
lama antar para pengantar itu terjadi transaksi tukar menukar
barang atau jual beli barang di tempat menunggu itu. Dalam
waktu singkat halaman luas rumah Warok Wulunggeni pun
menjadi berkembang seperti layaknya sebuah pasar.
Begitu ramainya "pasar kaget" itu tiap harinya. Bahkan sampai
malam hari pun masih kelihatan ramai. Mereka, para pengantar
itu, harus menunggu orang yang sakit, lagi diobati, atau masih
dalam perawatan, maka siang-malam pun mereka yang saling
jual-beli itu seperti menyerupai suasana pasar. Kalau siang
seperti pasar siang. dan kalau malam seperti pasar malam.
Kemudian muncul gagasan-gagasan dari para penduduk setem-
pat sehingga melahirkan banyak usaha-usaha baru, ada jasa
penginapan yang ditawarkan oleh para penduduk setempat
kepada para pengantar yang kemalaman ingin bermalam di situ.
rumah-rumah mereka disulap menjadi tempat penginapan yang
mendatangkan keuntungan bagi para penduduk di Dukuh
Jabung itu. Demikian juga makin semarak berkembang usaha
warung-warung makanan, sampai usaha hiburan tanggapan
gamelan yang mau memesan tembang lagu membayar kepada
kelompok penabuh gamelan keliling itu.
Suasana ramai siang malam itu, akhirnya memancing perha-
tian pihak penguasa Kadipaten untuk menertibkan. Para peda-
gang diminta membayar upeti dari hasil keuntungannya, para
penyewaan rumah yang mendapatkan penghasilan dari usaha
membuka penginapan itu juga tidak terlepas dari tarikan pem-
bayaran upeti, demikian juga usaha pengobatan dan penjualan
jamu godog yang dikelola langsung oleh Warok Wulunggeni
itu juga harus bayar upeti.
Terakhir sekali malahan Warok Wulunggeni mendapat
peringatan keras dari penguasa kadipaten bahwa kegiatan
pengobatan tradisionainya itu dianggap sebagai usaha
bisnis dan kemudian dinyatakan sebagai usaha liar yang
perlu ditertibkan lantaran tidak dibekali oleh kelengkapan
surat ijin usaha dari penguasa Kadipaten. Beberapa kali
Warok Wulunggeni dipanggil ke Kadipaten untuk memper-
tanggungjawabkan kegiatan membuka usaha praktek pengo-
batan itu, akan tetapi ia sekali pun tidak pernah mau datang
memenuhi panggilan penguasa kadipaten itu.
"Pengobatan ini bukan usaha bisnis. Kegiatan pengobatan ini
bertujuan untuk menolong orang yang sedang kesusahan.
Memberikan bantuan kepada sesama warga yang membu-
tuhkan pengobatan karena menderita sakit. Aku hanya
menolong, tidak untuk mencari keuntungan. Kalau kebetulan
dari mereka itu ada yang berhasil aku sembuhkan dan
berterima kasih kepadaku dengan memberikan macam- ma-
cam itu, apa tega aku tolak pemberiannya itu, wong itu semua
dilakukan hanya sekedar sebagai sarana untuk menyambung
persaudaraan antar sesama," kata Warok Wulunggeni suatu
hari kepada para petugas perijinan penguasa kadipaten yang
datang ke rumah praktek Warok Wulunggeni di Dukuh Jabung
itu.
“Kami hanya menjalankan perintah atasan, Pak. Jadi kalau
Bapak masih ingin terus berpraktek pengobatan di sini, Bapak
harus mengurus ijin tertulis yang dikeluarkan oleh penguasa
Kadipaten. Bapak harus datang sendiri ke sana menerangkan
usaha prakteknya ini, baru kemungkinan akan diberikan ijin
praktek. Kalau sekarang Bapak tidak mempunyai ijin, kami diberi
kewenangan untuk menutup usaha Bapak ini," kata petugas
masalah perijinan dari penguasa Kadipaten itu mengancam
Warok Wulunggeni akan menutup tempat pengobatan ini.
"Kalau kalian mau tutup, silahkan. Apanya yang mau ditutup.
Wong saya tidak ada usaha apa-apa, hanya tinggal di rumah
begini, dan kalau ada orang sakit datang dari jauh-jauh kemari
mau minta tolong apa tega aku biarkan begitu saja dengan
alasan aku tidak ada ijin untuk menangani orang sakit. Kalau
mau ditutup, boleh saja, aku tidak bertanggungjawab kepada
mereka yang jauh-jauh datang kemari untuk mencari kesem-
buhan penyakitnya, apa tidak kasihan merekakita biarkan tetap
sakit."
"Memang kasihan, Pak. Tetapi ini menyangkut uger-uger,
undang- undang dari penguasa kadipaten yang harus dipatuhi.
Usaha pengobatan bapak ini dianggap sebagai usaha vang
mendatangkan keuntungan bagi Bapak."
“Sebenarnya anggapan itu salah. Kalau usaha yang memang
mendatangkan untung bagi keluarga saya, memang ada, tetapi
yang menyangkut usaha jualan dawet Mbok Rukmini, isteri
saya itu. Memang itu selain untuk menolong orang yang butuh
makan-minum juga untuk membantu asap dapur keluarga
saya," kata Warok Wulunggeni menghadapi para petugas dari
penguasa Kadipaten itu dengan berusaha bijaksana.
"Jadi, Bapak, tetap tidak mau mengurus ijin praktek pengo-
batan ini ke Kadipaten".
"Yah. Saya tidak mau. Saya tidak mau dikatakan bahwa orang
mau menolong mengobati orang sakit yang lagi kesusahan ini
dianggap sebagai usaha bisnis. Itu saja pendirian saya. Kalau
memang harus perlu ijin, yaitu ijin jualan dawet itu saja. Besuk,
isteri saya biar mengurus ijin usahanya ke Kadipaten. Khusus
mengurus ijin membuka usaha dawet, Tetapi apa pentas, jualan
dawet kecil- kecilan begini saja perlu mendapat ijin terlebih
dulu dari penguasa kadipaten. Coba tolong pikirkan."
Sejak mulai hari itu oleh para petugas dari Kadipaten, Warok
Wulunggeni dilarang untuk membuka praktek pengobatan.
Dan Warok Wulunggeni pun mematuhinya untuk menutup
tempat praktek pengobatannya itu.
"Pakne. Apa kita tidak sebaiknya minta tolong kepada Angger
Drajad, menantu kita. Ia kan pangkatnya sudah senopati.
Apakah ia tidak bisa membantu mengusahakan ijin praktek
pengobatanmu itu di Kadipaten di kantornya dia juga," kata
Mbok Rukmini suatu malam.
“Coba saja kamu temui menantumu yang senopati itu. Apakah
ia akan bisa menggunakan wibawanya sebagai senopati untuk
menolong mertuanya yang lagi sekarat ini."
"Yah, besuk pagi-pagi aku mau berangkat ke kota biar diantar
Si Tarjo, kusir dokar kita itu."
"Yah. Coba saja usahakan. Aku sudah tidak mau lihat Kadi-
paten. Kamu saja yang tidak punya persoalan dengan orang-
orang Kadipaten."
Pagi-pagi sekali Mbok Rukmini sudah sampai di rumah menan-
tunya Senopati Drajad Panuju yang masih berada di dalam
lingkungan keraton kadipaten di tengah kota Ponorogo.
“Bagaimana Nak Drajad, apa bisa mengusahakan ijin praktek
pengobatan Bapak ini, di kantormu," tanya Mbok Rukmini
kepada menantunya Senopati Drajad Panuju itu.
"Drajad ini hanya seorang senopati, Buk. Tugas Drajad ber-
perang, menjaga keamanan. Soal ijin pengobatan itu sudah ada
yang mengurusnya yaitu penggede kesehatan masyarakat. Jadi
apa bisa Drajad ikut-ikutan memberikan pendapatnya. Drajad
belum yakin. Akan tetapi Drajad akan usahakan sebisanya
untuk menemui pejabat- pejabat yang berwenang,”
“Tetapi kan sama-sama orang dari pemerintahan Kadipaten.
Barangkali suara Angger Drajad lebih bisa didengar daripada
Bapakmu sendiri yang harus datang kemari."
"Yah. Akan Drajad usahakan, Buk."
Malamnya Mbok Rukmini bermalam di rumah menantunya itu
karena sampai larut malam Senopati Drajad Panuju menan-
tunya itu belum pulang.
"Bagaimana ya Nduk, usaha suamimu apakah bisa berhasil
atau tidak yah." tanyanya kepada anak perempuannya Sri
Wigati itu.
"Ya, berdoa saja, Buk," jawab anak perempuannya itu sambil
membawakan secangkir wedang kopi dan secobek gorengan
jadah ketan hitam.
“Buk, wedangnya di minum."
"Ya."
"Ibu, kok kelihatan gelisah terus sejak tadi. Ada apa Buk,"
tanya Sri Wigati putrinya itu.
"Biasanya suamimu tiap hari pulangnya apa malam begini."
“Yaaaa, tidak tentu. Tetapi yang biasa tiap sore ia sudah ada di
rumah. Mungkin kali ini ia sedang mengusahakan ijin Bapak
itu, Buk."
Tengah malam pintu depan rumah ada yang mengetok, ternyata
Senopati Drajad Panuju yang datang baru pulang kerja.
“Bagaimana Nak Drajad. Apakah berhasil,” langsung Mbok
Rukmini minta beritanya mengenai usaha mengurus ijin prak-
tek pengobatan suaminya itu.
"Drajad sudah usahakan sebisanya untuk menemui pejabat-pe-
jabat yang berwenang soal perijinan usaha pengobatan itu.
Hasilnya, menurut keterangan mereka, hal ini menjadi
wewenang langsung Patih Brojosento."
Dengan rasa sedih akhirnya paginya, Mbok Rukmini pulang
ke kampungnya di Jabung.
“Bagaimana Mbokne hasilnya kepergianmu ke kota Kadi-
paten," tanya Warok Wulunggeni setelah mereka berdua
duduk di serambi depan rumahnya itu.
"Sudah ketemu Drajad, dan dia sudah usahakan sampai larut
malam untuk menemui pejabat-pejabat yang berwenang. Ha-
silnya semua tidak bisa memberikan keputusan, sebab katanya
ini wewenang langsung Patih Brojosento."
"Ha...ha...ha...," Warok Wulunggeni tertawa terbahak-bahak
begitu mendengar ceritera isterinya soal gagalnya mendapat-
kan ijin usaha pengobatan itu.
"Lho, kenapa kamu tertawa senang begitu. Bukannya tambah
sedih, malahan kelihatan gembira begitu. Ada apa."
"Bagaimana tidak ketawa, soal kesehatan masyarakat begini
saja harus ijin Patih. Lalu orang-orang macam Drajad yang
berpangkat Senopati saja tidak digubris apalagi kita ini yang
tidak punya pangkat apa-apa mau dianggap apa. Apakah cerita-
cerita begini ini tidak bikin ketawa saya, Mbokne, mbokne."
"Drajad, menantu kita itu pangkatnya senopati. Tugasnya ber-
perang, menjaga keamanan, begitu kata dia tadi. Jadi tidak
mempunyai wewenang untuk mengurusi soal perijinan pengo-
batan begini ini."
"Ha...ha...ha.. biar jaga keamanan, tugas perang, apa tidak ada
pertimbangan sama sekali dia itu kan orang dalam Kadipaten,
Pejabat tinggi. Pangkatnya saja senopati. Masak sama sekali
tidak ada wibawanya. Itulah menantumu, Mbokne. Pangkat-
nya saja senopati, tetapi kekuasaanya tetap saja di tangan Ki
Patih dan langsung ke Kanjeng Adipati."
“Lalu, bagaimana usaha kita yang lain, Pakne."
"Tenang saja, Mbokne. Aku akan jalan dengan caraku sendiri.
Sudahlah sekarang Mbokne tidur yang enak, tidak usah
dipikirkan soal ijin-ijin ini. Aku yang akan mengatasi segalanya.
Kamu tidak usah memikirkan. Itu semua urusanku. Sudah
tenanglah tidak usah dibuat susah."
Sejak peristiwa kegagalan Mbok Rukmini mengusahakan
surat ijin lewat menantunya yang berpangkat senopati itu ga-
gal, Warok Wulunggeni memasang papan pengumuman besar
di depan pintu rumahnya yang bertuliskan :
“Bagi yang ingin berobat. Harus membawa surat ijin dahulu
dari penguasa Kadipaten. Kalau tidak membawa surat ijin
tidak bisa dilayani. Karena akan mendapatkan tegoran keras
dari penguasa Kadipaten. Silahkan datang terlebih dahulu ke
kantor Kadipaten untuk mendapatkan surat ijin tertulis."
Adanya pengumuman Warok Wulunggeni itu telah membuat
penguasa Kadipaten kalang-kabut. Hampir tiap hari orang-
orang yang sedang menderita sakit diantar oleh para pengantar
yang jumlahnya kadang banyak itu mendatangi kantor Kadi-
paten untuk meminta ijin berobat ke rumah Warok Wulung-
geni.
Hari itu juga, Kadipaten Ponorogo jadi ribut ketika mendengar
adanya laporan mengenai makin membanjimya orang-orang
sakit yang dibawa datang ke kantor Kadipaten.
"Wah...wah...bagaimana ini maunya si Wulunggeni ini.
Kantor Kadipaten bisa jadi rumah sakit ini. Ada saja pokal-
nya si Wulunggeni ini. Coba laporkan masalah ini kepada
Paman Patih Brojosento untuk diteruskan kepada Kanjeng
Adipati," kata Warok Sawung Guntur ketika mendengar
laporan dari anak buahnya mengenai makin ramainya orang
yang datang ke kantor Kadipaten pada tiap harinya. Makin
banyak orang sakit yang berduyun-duyun dibawa ngantre ke
kantor Kadipaten perlunya hanya mau minta surat ijin untuk
berobat ke rumah Warok Wulunggeni.
Akhirnya penguasa Kadipaten mengirim petugasnya kem-
bali untuk menemui Warok Wulungggeni, mengenai kepu-
tusan larangan berpraktek pengobatan tanpa dilengkapi
surat-surat perijinan itu, dibatalkan. Artinya Warok Wu-
lunggeni sekarang boleh berpraktek lagi tanpa perlu mengu-
rus ijin. dan orang-orang yang sakit tidak perlu datang lagi
ke kantor Kadipaten untuk meminta surat ijin tersebut.
Ada ketentuan tambahan yang ditetapkan pihak penguasa Kadi-
paten kepada Warok Wulunggeni, kalau seandainya saja ada
penduduk yang celaka karena salah pengobatan yang dilakukan
Warok Wulunggeni, ia harus mempertanggungjawabkan keke-
liruan itu di kemudian hari. Warok Wulunggeni menyanggupi
ketentuan yang digariskan dalam undang-undang pengobatan
yang dikeluarkan oleh penguasa Kadipaten itu.
Selanjutnya, tidak lama kemudian, Dukuh Jabung menjadi
ramai kembali dikunjungi oleh banyak orang yang mau
berobat. Para penjual dawet pun makin ramai berjajar di
pinggir-pinggir jalan yang banyak dikerumuni orang yang
mau membeli, dan kehidupan penduduk Dukuh Jabung pun
nampak kesejahteraannya makin meningkat.
6
ILMU SEMAR
MALAM itu, Warok Wulunggeni yang sedang ditemani Mbok
Rukmini isteri setianya, duduk-duduk di kursi dipan bambu di
serambi depan rumahnya, sedang asyik menikmati kopi nas-
gitel (panas, legi, kentel), mencicipi jadah putih bakar yang
masih hangat, sinambi menghisap rokok kelobot Tingwe,
mengelinting dewe dari daun jagung kering dan tembakau apek
yang dilapisi klembak dan kemenyan siong, asapnya terus
mengepui mengeluarkan bau sesajen yang menyengat turut
tusuk. Dalam keadaan demikian itu, tampak terasa bahagia `
pasangan suami-isteri, Warok Wulunggeni dan Mbok Rukmini
yang sudah menginjak usia setengah baya ini.
"Рак, Pakne," suara Mbok Rukmini memecahkan kesunyian.
"Ya, apa," jawab suaminya sambil menyedot rokok kelobotnya
itu dalam-dalam terasa nikmat.
"Belakangan ini aku sedang mikir-mikir. Apa kira-kira
salahmu selama ini terhadap Kanjeng Gusti Adipati.
Kenapa sepertinya setiap langkahmu selalu mendapat ha-
langan dari penguasa Kadipaten. Tiap kali kamu mem-
buat usaha baru selalu saja berhadapan dengan penguasa
Kadipaten. Sejak di Dukuh Dawuan dahulu, kamu justeru
yang dipersalahkan. Kamu dituduh bersekongkol dengan
para begal Dawuan. Malahan si Surodilogo yang jelas-
jelas merebut usaha yang kamu rintis, justeru dia yang
mendapatkan kedudukan enak sekarang. Usaha jasa yang
pernah kamu rintis dulu, sekarang ia yang enak-enak menda-
patkan hasilnya. Kemudian kita pindah ke Dukuh Sirah
Keteng, kamu masih juga disingkang-singkang. Bahkan diusir
dari sana, walaupun istilahnya diberi pesangon. Lalu kamu
membuka usaha di sini. Masih juga di kejar-kejar lagi, katanya
tidak ada ijin, dan segala rupa alasan. Jadi menurutku, kamu
ini dimusuhi karena salah apa. Sepertinya kamu tidak punya
salah apa-apa sama penguasa Kadipaten. Tetapi kenapa keli-
hatannya penguasa Kadipaten itu selalu menjegal usahamu
terus-menerus begitu, Pakne,” kata Mbok Rukmini dengan
mimik muka yang serius.
"Pengin tahu salahku,” sahut Warok Wulunggeni dengan
senyum- senyum dikulum, acuh tak acuh seperti tidak ada
beban mental apa pun.
"Ya. Coba apa."
"Aku bersalah karena aku selalu memulai sesuatu yang
baru. Sesuatu yang belum pernah dipikirkan oleh para
perencana Kadipaten. Seharusnya kalau aku mau
melakukan usaha baru harus dimusyawarahkan terlebih
dahulu kepada pihak penguasa Kadipaten, katanya su-
paya tertib. Tidak liar seperti aku. Oleh karena itu aku
bisa dianggap kurang tata krama. Kurang unggah-ung-
guh. Tidak tahu adat kesopanan, Bahkan bisa dianggap
sebagai ancaman yang mengganggu tatanan hidup masyarakat.
Nah itu banyak sekali salahku yang menyangkut tetek bengek
yang dapat menurunkan kewibawaan penguasa kadipaten
karena aku dianggap 'sak kepenake dewe”. Jelas, Mbokne," kata
Warok Wulunggeni tak acuh sambil mengangkat cangkir kopinya
"Tadi kamu memang juga merasa bersalah tho, Pakne,” kata Mbok
"Mungkin."
"Lho, yang benar yang mana. Mengaku salah atau mengaku
benar."
"Menurutku, aku benar. Tetapi menurut penguasa Kadipaten,
aku yang salah. Jadi harus ngomong apa."
"Tapi, Pakne, Aku belum yakin benar. Apa semua hal yang
menyangkut keputusan penguasa kadipaten terhadap dirimu
itu, apakah semuanya itu atas kehendak Kanjeng Gusti Adipati,
atau ada orang lain yang merekadaya. Jangan-jangan ini hanya
ulah beberapa penggede saja yang tidak senang sama kamu.
Lalu mereka memberikan usulan macam-macam kepada Kanjeng
Gusti Adipati yang akhimya merugikan Каmu. Apa benar
pendapatku ini, Pakne," kata Mbok Rukmini,
"Mungkin juga ada benarnya dugaanmu itu, Mbokne. Aku
mempunyai firasat, orang yang paling cilaka dalam
persoalanku dengan penguasa kadipaten itu, perkiraanku, ini
semua pokalnya si Durno Tembem itu."
"Lho. Si Durno Tembem itu siapa ?."
"Itu Ihooooo, si Durno Tonggreng."
"Empu Tonggreng, kok kamu bilang Durno."
"Lha iya tho. Dia itu yang aku rasa banyak mempengaruhi
pemikiran tiap kali para penggede mengadakan musyawarah
di kadipaten. Aku pernah tanya kepada menantumu si Drajad
Panuju itu. Katanya orang yang paling banyak bicara pada tiap
kali ada pertemuan para penggede di kadipaten, yah si Durno
Tonggreng itu. Jadi termasuk menyangkut nasib diriku ini tidak
jauh-jauh juga si Durno Tonggreng itu yang punya pokal.
Punya pikiran jahat terhadap rakyat. Bukan saja termasuk
terhadapku, tetapi terhadap semua orang yang tidak ia sukai
selalu ia terapkan ilmu jahatnya itu. la memang gurunya para
Adipati, para satria, punya kesaktian, punya kewibawaan,
punya pengaruh terhadap Adipati, kedudukannya menjadi
orang penting sebagai penasehat spiritual penguasa Kadipaten.
Akan tetapi ia sering punya rencana jahat yang tidak sesuai
dengan akal sehat, dan kehendak rakyat banyak. Itu tadi ya si
Durno Tonggreng itu, Mbokne."
"Kalau melihat kemampuan Kanjeng Gusti Adipati, aku
rasa beliau ini adalah orang yang sangat bijaksana. Dan
tidak mungkin penguasa kerajaan Majapahit gegabah
mengangkat seorang pejabat tingginya dengan cara
ngawur saja. Mesti dipilih dari orang-orang yang
terbaiknya. Termasuk pengangkatan kedudukan Kanjeng
Gusti Adipati ini tentu dipilihkan dari orang yang terbaik
di kalangan penggede kerajaan Majapahit," kata Mbok
Rukmini masih dengan muka serius.
"Jadi pasti saja ada orang lain yang mengutak-atik di keraton
Kadipaten itu yang mengambil keuntungan bagi dirinya dan
merugikan nama baik Kanjeng Adipati tho, Mbokne. Mungkin.
benar juga si Durno Tonggreng itu yang banyak bikin ulah.
Tetapi selain si Durno itu, aku juga Curiga sama si Sawung
Guntur. Kalau si Sawung itu tidak menyetujui pertimbangan-
nya si Durno. Pasti para punggawa lain juga tidak akan men-
jalankan tugas. Sebab pengaruh si Sawung di keraton
Kadipaten itu juga sangat besar. Ia oleh Kanjeng Adipati dapat
dianggap sebagai mewakili suara para warok di daerah Kadi-
paten ini. Oleh karena itu, kalau si Sawung punya sirik terhadap
aku, maka mudah saja ia ikut-ikut mencelakakan aku atas
bujukan si Durno Tonggreng itu."
"Jadi, kalau demikian terus. Apa kita ini akan bisa hidup
tenteram, Pakne. Selama si Empu Tonggreng itu masih men-
jadi penasehat Kanjeng Gusti Adipati di sana. Selalu saja kita
ini diusik terus oleh dia dengan mengatasnamakan sebagai
penguasa kadipaten.”
"Biar saja. Sampai mati kerjanya bikin perkara. Bukan aku
yang dosa. Dosanya biar dia tanggung sendiri. Jadi, soal
tenteram atau tidak tenteram itu kan adanya dibathin kita
masing-masing tho, Mbokne. Bukan penguasa Kadipaten
yang ngatur urusan kebahagian kita. Mungkin mereka keli-
hatannya selalu berkuasa. Selalu dapat mengusik kita.
Tetapi mereka malahan tidak pernah bisa tidur. Hatinya
tidak tenteram, kan enakan kita yang selalu diusik tetapi
hidup tenteram, karena hati kita pasrah. Sumeleh saja. Be-
gitu kan Mbokne."
"Lho, maksudku, kalau diusik-usik begini terus. Kapan kita
bisa tenteram. Bikin ini. tidak boleh. Bikin yang lain tagi, juga
selalu dipersalahkan. Harus ada ijin. Terkena daerah penyang-
gah pangan, dan macam-macam acara yang merugikan kita
terussssss," kata Mbok Rukmini nampak bersungut-sungut
menunjukan emosinya.
"jangan khawatir, Mbokne. Kita terapkan ilmu Semar saja.
Kamu tahu tho, itu nama Semar tokoh punakawan dalam
pewayangan yang selalu mengabdi kepada pandawa. Sen-
jatanya apa. Coba. Kamu tahu tidak ?."
"Tidak tahu."
“Senjata semar itu. Kentut."
“Kentut. Jadi apa maksudmu, Pakne."
"Ya, kita kentuti saja itu orang-orang yang sok berkuasa."
"Mana bisa kentutmu nyampai ke sana, wong sampai halaman
depan rumah saja sudah kabur kebawa angin lesus enggak ada
sisanya."
"Ini perumpamaan tho, Mbokne. Pribahasa. “Paribasan”.
Semar itu orang sakti mandraguna, memihak kepada ke-
benaran. Tetapi kalau ia marah apa senjatanya, ya itu tadi,
kentut. Kentut semar itu berbahaya. Begitu keluar, seluruh
penghuni jagat raya ini akan dibikin pusing tujuh keliling.
Tidak ada orang yang tahan sama bau busuk kentutnya
semar yang menyengat itu. Semua tatanan kehidupan beran-
takan begitu kentut semar itu terbang kemana-mana. Itu
diibaratkan sebagai kekuatan yang kelihatannya sepele
tetapi sungguh luar biasa memberikan pengaruhnya.
Sekarang siapa bisa melarang orang kentut. Kalau ada
orang yang kentut dan tidak tahu siapa yang kentut itu.
Orang yang bersangkutan tidak mengaku. Bagaimana
akan membuktikan. Tetapi pengaruh kentut itu sudah
meracuni udara lingkungan. Ini seperti orang menyebar
isue macam- macam yang tidak jelas sumbernya tetapi
isue itu dipercaya orang dan menimbulkan kegaduhan.
Siapa yang bisa mengusut. Nah, ini seperti perumpamaan
kentut Semar tadi,"
"Lalu, apa bisa kamu mau meniru ilmu Semar. Bisa kentut
sampai dibawa angin kabur kemana-mana begitu."
"Lho, ini perumpamaan tadi. Paribasan tadi, Mbokne. Kentut
Semar di situ dimaksudkan sebagai perlambang timbulnya
huru-hara. Bisa mendatangkan kekacauan tatanan hidup. Jadi
aku akan bikin kekacauan hidup seperti kentutnya Semar itu.
Aku tidak pertu terjun langsung bikin gara-gara, akan tetapi
cukup berdiri di belakang tiap kali terjadi peristiwa yang meng-
goyahkan kewibawaan penguasa kadipaten. Jelasnya saja,
Mobokne, aku ini yang akan mengotak-atik laku orang. Saat
kekacauan itu tiba, maka kekuasaan Kadipaten akan goyah.
Nah pada saat yang demikian ini peranan yang menjalankan
kekuasaan itu kemudian akan pindah berada di tanganku.
Kamu tahu tidak, apa itu punakawan. Terdiri dari Semar,
Gareng, Petruk, dan Bagong itu. Semuanya itu mempunyai
makna simbolis. Perlambang. Semar itu melambangkan
Karsa. Gareng itu melambangkan Cipta. Petruk itu melam-
bangkan Rasa. Bagong itu melambangkan Karya. Keempatnya
ini merupakan satuan tindak dari diri manusia sejati. Karsa
itu menunjukkan cita-cita, keinginan untuk mencapai
kepada sesuatu. Cipta itu merupakan wahana buah pikir,
ilmu-ilmu, keluasan pengetahuan. Rasa itu memberikan
keindahan, kehadiran jiwa seninya. Hidup ini harus memiliki
seninya. Karya itu merupakan perwujudan tindakan, gerakan,
untuk mencapai cita-cita dalam perlambang Semar itu tadi.
Nah, ini semua ingin aku kembangkan dalam diri pribadiku.
Aku mempunyai cita-cita, aku harus menguasai ilmu-ilmu, aku
harus mempunyai rasa seni, dan aku harus mampu melakukan
tindakan. Cita-citaku, aku ingin daerah Ponorogo ini kembali
menjadi kerajaan yang berdiri sendiri secara mandiri. Tidak
lagi diperintah oleh kerajaan lain seperti
Majapahit. Harus dibubarkan keberadaan Kadipaten Ponorogo
ini diubah menjadi kerajaan kembali. Maka untuk mencapai
cita-citaku itu, aku harus berilmu. Kepergianku ke Blitar itu
tidak lain juga untuk mencari si “Gareng” atau Cipta itu. Selain
itu sebelumnya aku juga sudi berteman baik dengan para ahli
keturunan Cina, dan aku terus belajar macam-macam ilmu
sampai soal ketabiban, pertanian dengan Raden Mas Poerboyo
di Trenggalek, dan segala rupa itu, semuanya adalah tidak lain
untuk mengembangkan daya kemampuan Cipta itu. Kemudian
aku harus mengembangkan rasa seni, mampu mengolah
rasa, mengotak-atik laku orang termasuk seni itu tadi.
Kemudian yang terakhir, pada saatnya nanti, aku akan
melakukan tindakan yaitu membangun kembali kerajaan
Wengker di tengah-tengah kemakmuran rakyat Ponorogo
ini. Piye, Mbokne, оро ora elok tenan tho, Mbokne. Nah,
sekarang bagaimana menurut pendapatmu mengenai ini
semua yang aku jelaskan tadi."
“Apa itu, tidak mimpi, Pakne.”
“Lho, jelas tidak. Sama sekali tidak ada mimpi-mimpian. Itu
ilmu kentut Semar yang akan memberi makna yang mendalam
dalam upaya perebutan pengaruh dalam masyarakat kadipaten
ini. Orang macam Tanggorwereng itu, perumpamaannya bisa
aku jadikan kentutku."
“Ach, kamu ini ngomong yang benar, Pakne. Orang gagah
seperti Kangmas Tanggorwereng begitu dibilang kentut. Itu
saru."
“Bukan begitu maksudku. Itu tadi namanya perumpamaan tadi,
Mbokne. Jangan disalah tafsirkan. Jangan terlalu dianggap
beneran. Apalagi jangan sampai terdengar orangnya. Tang-
gorwereng dibilang kentutku bisa marah dia nanti."
“Lha, iya, kamu sekarang pakai tangan Kangmas Tang-
gorwereng. Lalu, menantumu sendiri saja menjadi orang
pemerintahan Kadipaten yang tugasnya menguber orang-
Orang seperti Kangmas Tanggorwereng itu. Apakah tidak
mutar saja jadinya nanti."
"Soal Drajad Penuju itu urusan dia sendiri. Walaupun ia itu
suami anak kita Sri Wigati. Kalau terpaksanya si Drajad
mengalami cilaka ditangan Tanggorwereng. Itu sudah nasib-
nya. Jalan hidupnya sendiri-sendiri. Nanti mengenai Sri
Wigati, kita bisa atur lagi. Soal gampang itu, Mbokne.”
"Jangan ngomong gampang-gampang begitu. Sri Wigati nanti
yang akan kehilangan suami. Anak kita sendiri yang akan
menderita. Kita sebagai Orang tua, apa tidak akan ikut sedih
melihat anak sendiri menderita ditinggal suami. Pikirkan jauh-
jauh itu, Pakne. Jangan keburu nafsu saja. Menggunakan ken-
tut Semar lagi."
“Lho. Ini sudah aku pikirkan panjang-lebar. Sudah dipikirkan
masak-masak. Aku renungkan siang dan malam. Dalam
benakku ini sudah terpenuhi oleh rencana besar ini,
Mbokne. Kamu tinggal mendoakan dan mendukung upayaku ini.
Soal anak kita si genduk Sri Wigati itu nanti, sedihnya akan
sebentar. Biarkan saja. Kalan anak kita Sri Wigati kehilangan
suami. Tidak akan apa-apa. Nanti aku yang atur. Sudah pasti beres."
"Beres. Beres bagaimana. Lho. Kamu ini orang tua, kok ngo-
mong ngawur saja. Anak ditinggal pergi suami kok tidak
apa-apa. Anak mau sengsara, tidak apa-apa. Bagaimana kamu
ini, Pakne,"
"Maksudku, kalau sewaktu-waktu terjadi nasib yang kurang
baik menimpa Drajad si menantu kita itu, Sri Wigati tidak perlu
susah- susah wong suaminya memang pekerjaannya perang.
Jadi sudah menjadi resikonya soal hidup mati itu sebagai
senopati perang. Mulai sekarang hatinya sudah harus diper-
siapkan. Harus ditata untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-
waktu memang nasib hidup akan berubah. Jadi, soal Drajad
karena sudah terlanjur jadi menantu kita yah sudah, aku tidak
ributkan karena aku juga ikut salah tidak segera pulang waktu
itu. Tetapi soal nanti ada apa-apa umpamanya yang menimpa
diri si Drajad. Jangan dipikirkan. Soal nanti kita selesaikan
nanti. Jangan khawatirkan soal putri kita, Sri Wigati. Aku yang
akan membereskan supaya jadi baiknya saja, Mbokne,” kata
Warok Wulunggeni berusaha menenangkan isterinya yang
mulai mengkhawatirkan tekad suaminya yang akan merenca-
nakan pengacauan besar-besaran dimana-mana dengan meng-
gunakan tangan Warok Tanggorwereng yang memang sudah
terkenal sebagai orang yang ganas kalau sudah 'tandang gawe'
itu.
"Pakne, kalau kamu akan menggunakan ilmu kentut temuanmu
itu. Apa kata orang nanti kalau sampai ketahuan orang lain.
Temyata dibalik semua kekacauan itu ada kamu. Kamu yang
sudah terlanjur menyandang gelar warok, apa masih ada lagi
penduduk yang mau menghormati kamu. Apakah akan masih
ada orang yang mau mengakui kamu sebagai warok sebagai
gelar kehormatan di masyarakat kita ini."
"Lho, kenapa ?."
"Warok, kok kerjanya bikin keributan. Warok cap apa itu.
Apalagi tidak berani berhadapan muka, beraninya main di
belakang orang. Tidak menunjukkan kejantanannya di depan
umum. Beraninya main belakang. Tidak berani terus terang.
Tetapi malahan ngumpet dan orang lain yang dijadikan
tameng."
"Lho. Lho, lho, jangan salah tafsir dulu, Mbokne. Siapa yang
ngumpet. Siapa yang tidak berani. Apa, Aku ini, vang kamu
anggap ngumpet."
"Iуаh,"
"Jelas keliru penilaianmu itu, Mbokne. Ini soal cara me-
menangkan peperangan, Mbokne. 'Perang tanpo bolo, menang
tanpo ngasorake’. Sekarang ini keadaanya serba tidak jelas.
Siapa musuh, siapa kawan tidak ketahuan. Kalan aku tiba-tiba
tanpa sebab-musabab, menantang Kanjeng Adipati berperang,
atau para lelabuhannya yang menjaga kedudukan
kewibawaannya Kanjeng Gusti Adipati, tiba-tiba aku ajak
bertarung, apa itu namanya jantan. Itu namanya baru ngawur.
Aku baru akan menghadapi kalau memang lawan itu datang
dihadapanku. Tetapi sekarang ini keadaannya lain. Kita ber-
musuhan dengan сага kucing-kucingan, yah kita lawan dengan
cara kucing- kucingan juga. Kalau ada orang yang datang
menantang aku dihadapanku, siapa saja tidak perduli itu Kan-
jeng Adipati sendiri, aku tidak mundur. Tetapi orangnya tidak
muncul. Tidak pernah menantang dimuka hidungku yang
datang hanya berbentuk cara-cara, bagaimana menjatuhkan
martabatku, kesejahteraanku, lha mau dilawan bagai-
mana. Oleh karena itu, aku pun juga harus meng-
hadapi dengan cara-caraku sendiri. Begitu Iho, Mbokne.
Supaya kamu juga mengerti, apa yang menjadi dasar
pertimbanganku dengan perumpamaannya mengem-
bangkan ilmu kentut semar tadi lho...ha...ha...," kata
Warok Wulunggeni dengan diakhiri ketawanya yang ber-
nada canda ria itu.
Mbok Rukmini kanya senyum-senyum saja melihat akal
bulus yang keluar dari benak suaminya itu. Walaupun se-
benarnya ia tidak menyetujui sepenuhnya rencana yang
akan dilakukan oleh Warok Wulunggeni, suaminya itu. Akan
tetapi lantaran kecintaannya yang mendalam kepada suaminya
itu, ia pun kemudian hanya bisa diam saja apa pun yang mau
diperbuat suaminya itu.
Malam pun bertambah kelam, udara dingin malam daerah
Dukuh Jabung mulai menyengat kulit. Nampak kedua
pasangan suami-isteri itu telah masuk rumahnya, dan pintu
tengahnya sudah nampak terkunci rapat. Mereka berdua itu
nampaknya baru bisa tidur pulas kalau semua uneg-uneg itu
telah dikeluarkan bersama.
BERSAMBUNG
Emoticon