Waktu itu, perjalanan untuk menuju ke daerah Blitar
tidak gampang. Harus melalui hutan belukar yang
ganas. Sering berhadapan dengan binatang buas yang
menaklukkan begai-begal yang siap menghadang di
tengah jalan memperebutkan harta. Lagi pula, banyak
daerah yang dilalui termasuk tempat yang angker,
jarang orang biasa yang berani lewat tempat-tempat
yang pingit sepert: itu. Konon daerah-daerah yang
akan dilaluinya nanti merupakan tempat berkumpul-
nya mahkluk halus yang setiap saat siap meng-
ganggu manusia yang berani lewat daerah kerajaan
Jin itu.
Warok Wulunggeni rupanya tekadnya sudah mantab. Pergi
untuk memburu ketinggian ilmu. Oleh karena itu, ketika di
perjalanan menghadapi berbagai rintangan keras,
bukan warok lagi kalau mundur menemui halangan,
pikirnya dalam benaknya.
Setelah berpamitan dengan isterinya, Mbok Rukmini,
Wulunggeni pagi-pagi buta ini sudah meninggalkan kam-
pung-halamannya di Dawuan. Ia berangkat pagi agar
kepergiannya itu tidak terlihat orang-orang kampung.
Sejak perjalanannya dari pagi hari, hingga siang han ini
Warok Wulunggeni yang mengendarai kuda hitamnya itu
baru melewati gunung pegat. Kemudian jalannya terus
menanjak naik ke perbukitan. Pohon-pohon hutan
lebat sering menjadi gangguan dalam memperlancar
perjalanannya.
Dua hari, dua malam, perjalanan itu tidak pernah ber-
henti, Hanya beberapa kali untuk istirahat tidur atau
untuk mencarikan makan minum kudanya, rumput-rum-
put, atau dedaunan yang ditemui di jalan. Perbekalan
yang dibawa yang disiapkan oleh isterinya nampaknya
telah habis termakan selama dua hari ini. Ia merasa lapar
pagi ini. Tidak ada yang bisa dimakan. Buah maupun
singkong tidak ditemui. Adanya hanya daun-daun.
Setelah ia memacu kudanya menanjak sampai di atas
perbukitan, Warok Wulunggeni memperhatikan lembah-
lembah di bawahnya, barangkali ada kampung di dekat
sana. Perlunya hanya untuk mencari tempat makan. Ter-
lihat samar-samar seperti ada perkampungan kecil di
dekat lembah itu, dengan hati-hati Wulunggeni memacu
kudanya menurun menuju perkampungan itu.
Setelah memasuki gapura kampung itu, Wulunggeni pan-
dangan matanya memutar ke seluruh pelosok sudut kam-
pung itu, ke kanan-lan barangkali ada warung penjual
nasi. Kampung ini pagi hari kelihatan ramai orang. Ban-
yak orang-orang hilir-mudik. Kelihatan juga banyak pen-
datang dari luar daerah yang sengaja berdatangan ke
kampung ini untuk berdagang. Tidak jauh dari per-
jalanannya itu terlihat makin banyak kerumunan
orang. Ternyata sebuah pasar di kampung itu yang
nampak ramai dikunjungi orang. Para pedagang
menawarkan dagangannya dan pembeli asyik menawar
harga. Pasar hewan rupanya, melihat ramainya orang
mungkin sedang hari pasaran.
Banyak dijual binatang ternak, lembu, sapi, kuda,
kambing, kerbau, babi hutan, burung-burung beraneka
rupa, kelinci, dan juga banyak orang menjual sayur,
buhan-buahan, peralatan rimah tangga, sampai senjata
tajam, golok, tombak, keris, pisau, dan lain-lain.
Pasar yang ramai dan lengkap terletak di lembah yang
dikelilingi perbukitan itu merupakan titik temu dari
beberapa kota yang menuju ke Trenggalek, Ponorogo,
Tulungagung, dan menuju ke gunung Wilis.
Di sebelah sudut pasar itu terlihat ada warung. Nam-
paknya banyak juga orang yang berkunjung, atau
berteduh di warung itu sambil menikmati makan
siangnya, Setelah Wulunggeni mengikat kudanya di
bawah pohon trembesi yang rindang itu, perlahan-lahan
ia jalan memasuki warung itu. Di dalam warung yang
cukup besar itu, kebanyakan pengunjungnya adalah laki-
laki. Pelayannya empat orang, semuanya perempuan
muda yang nampak kenes-kenes memakai gincu merah
tebal dengan ramah melayani para tamunya.
“Mart silahkan duduk, Pak", sapa salah seorang perem-
puan pelayan warung itu ramah, sambil menank sebuah
kursi yang berada di ujung ruangan itu.
Rupanya suara perempuan yang sedang menyilahkan
Wulunggeni itu telah membuat perhatian para laki-laki di
situ, sehingga banyak yang mengalihkan perhatiannya
kepada kedatangan Wulunggeni yang dianggapnya seba-
gai orang asing di daerah itu. Mata beberapa laki-laki
yang terlebih dahulu telah duduk-duduk di situ memelo-
toti Wulunggens yang merasa mendapatkan perlakuan
istimewa dan pelayan perempuan warung itu.
"Mau pesan apa, Pak", tanya perempuan muda itu kepada
Wulunggeni yang baru saja mengambil tempat duduk di
pojok.
"Untuk masakan makan han ini, yang tersedia apa".
"Sayur lodeh, sayur asem, ikan mujahir, ikan lele, ikan
wader, kulupan, sambel tomat, gorengan, dan lain-lain".
"Yah. Tolong dibawakan kemari yang ada sayur lodeh
itu", kata Wulunggeni.
Dengan sigapnya perempuan muda yang berpakaian ke-
baya ketat itu mengambilkan sebakul nasi dan sebaki
lauk-pauk yang disuguhkan di meja Wulunggeni.
"Hae, bedebah. Mengapa aku tidak dilayani lebih dulu.
Apa istimewanya laki-laki yang baru datang itu kamu
dahulukan", tiba-tiba seorang laki-laki tegap yang duduk
bersama rombongannya di sudut meja sana itu memben-
tak pelayan perempuan yang baru saja melayani Wulung-
geni itu.
"Habis bapak belum pesan. Sejak tadi hanya duduk-
duduk saja. Saya kan sudah tanya kepada bapak, mau
pesan apa. Bapak diam saja. Jadi aku melayani yang lain
yang sudah pesan...”, jawab perempuan itu agak ge-
mefaran.
“Cerewet. Diam, kamu. Bawa makanan itu semua di
mejaku", perintah laki-laki kasar itu sambil menggebrak
meja.
"Masak semua makanan disuruh bawa. Di sini harus
pesan, Pak", kata perempuan pelayan warung itu.
"Jangan banyak bacot. Hayo ikuti saja perintahku”.
Rupanya seorang laki-laki yang duduk di seberang meja
Wulunggeni itu merasa terganggu oleh gebrakan suara
kasar laki-laki yang membentak-bentak pelayan perem-
puan warung itu. Lalu ia menegornya.
"Hae kawan. Kalau ngomong suaranya jangan keras-
keras, kè sana-kemari menggangu orang yang lagi
makan".
"Apa. Apa pedulinya kamu. Ini urusanku sendiri. Kamu
tidak perlu ikut campur", bentak laki-laki kasar itu kem-
bali membentak taki- laki yang duduk di meja sebelah
Wulunggeni, nampak tersinggung atas tegoran itu.
"Aku hanya minta tolong, jangan keras-keras kalau ngo-
mong. Di sini kan semua tamu"
“Hae kamu yang seharusnya keluar sana kalau memang
merasa terganggu. Jangan cari gara-gara dengan saya,
yah", perintah laki-lakı kasar itu.
"Aku di sini kan bayar, Pak. Apa peduli Bapak mengusir
aku keluar".
"Kalau tidak mau keluar, aku yang akan seret kamu
keluar. Mengerti", bentak laki-laki kasar itu.
Rupanya laki-laki di meja sebelah Wulunggeni itu tidak
ingin membuat gara-gara lebih lanjut, maka segera
menyudahi makannya dan setelah membayar langsung
bergegas keluar warung itu, entah pergi kemana.
"Hae, Samprong. Ikuti jejak laki-laki sombong itu",
perintah laki-laki kasar itu kepada seseorang yang
bertubuh jangkung berkulit hitam pekat yang dipang-
gil Samprong itu.
Laki-laki jangkung itu kelihatan patuh menjalankan
perintah aki- laki kasar yang agaknya menjadi
pemimpin mereka. Segera ia beranjak dari tempat
duduknya dan lari mengambil kudanya. Pergi
mengikuti jejak laki-laki tadi.
Melihat adegan ini, semula Wulunggeni berusaha
mengambil jarak untuk tidak mencampuri urusan
mereka. Tetapi dalam hati kecilnya, timbul rasa ingin
tahunya. Termasuk jenis gerombolan apa orang-orang
kasar ini yang seenaknya saja bisa berbuat semaunya, meng-
ganggu ketenangan orang lain di tempat umum begini.
Naluri ingin menolongnya tiba-tiba timbul.
"Jangan-jangan bisa terjadi hal-hal yang mencelakan
orang tadi. Kasihan juga orang tadi kalau sampai dihajar
oleh orang-orang kasar seperti mereka ini", pikir Wu-
junggeni dalam hati. Maka setelah membayar makan-
minumnya di warung makan dekat pasarini, Wulunggeni
bukannya segera meneruskan perjalanannya meninggal-
kan kampung yang hiruk pikuk lantaran bertepatan
pada hari pasaran ini, tetapi malahan ia memutar-mu-
tarkan kudanya mencari tahu kemana perginya orang-
orang tadi.
Di bawah seberang sungai itu, Wuiunggeni menyaksikan
seorang anggota gerombolan yang dipanggil dengan
nama Samprong itu sedang menghajar tamu warung tadi
yang pergi karena merasa terganggu itu. Wulunggeni
menelusup di antara semak-semak dan berlindung di
balik pepohonan besar agar tidak diketahui mereka. Ter-
dengar beberapa pembicaraan di antara mereka.
"Hae dungu. Kamu kira sudah kuat jadi jagoan yah.
Beraninya menghina pimpinan kami", teriak si jangkung
berkulit hitam pekat yang ditugasi mengejar orang yang
tidak bersalah itu.
"Ampun, Pak. Saya tidak ingin menghina. Di warung itu
kan tempat umum, Pak. Kita harus saling menghormati,
tidak saling membuat kegaduhan", bela orang itu yang
mukanya sudah kelihatan babak- belur dihajar si
jangkung itu.
"Hayo, kamu ikut kembali ke kampung menghadap
pimpinanku untuk meminta maaf”.
"Baik, Pak. Tetapi jangan dihajar, yah”.
"Tidak tahu, yang penting sekarang ikut aku".
Kedua orang itu kelihatan berkuda kembali menuju ke
kampung di lembah perbukitan itu. Wulunggeni dengan
pelan mengikuti dari jarak jauh arah kedua kuda itu.
Tepat di depan pintu masuk gapura kampung itu, nam-
paknya rombongan para gerombolan itu telah menanti-
kan kedatangan si jangkung di situ. Orang yang dipanggil
pimpinan tadi, laki-iaki kasar itu juga ada bersama
mereka.
"Hebat juga kamu jangkung”, teriak laki-laki kasar yang
kelihatan sebagai pemimpin mereka menyambut
kedatangan si jangkung yang berhasil meringkus tamu
warung tadi dengan muka berseri-seri. Tanda puas atas
kerja si jangkung yang cekatan itu.
"Ini, Pak. Orang yang sombong tadi”.
"Bagus. Bagus, bawa dekat kemari".
"Maafkan saya, Pak. Kalau ada salah saya", kata laki-laki
tadi kelihatan ketakutan.
"Akan aku maafkan. Tetapi serahkan dahulu itu semua
bungkusan yang ada dalam pelana kudamu itu”
“Ini uang dagangan saya, Pak. Jangan diambil. Ini uang
hutangan untuk...", kata laki-laki itu terbata-bata dengan
muka pucat.
"Diam. Serahkan saja, dan diam", bentak laki-laki kasar
tadi.
"Ya, ya. Akan aku serahkan. Ambillah, dan perkenankan-
lah aku pergi”
"Ambil semua kampluk itu, Samprong", perintah laki-
laki kasar itu kepada laki-laki jangkung itu. Orang yang
dipanggil Samprong itu dengan gesit menarik kampluk
yang terikat di pelana kuda orang itu dan menyerahkan
kepada pemimpin mereka laki-laki kasar yang tinggi
tegap itu nampak pongah
"Bawa orang itu, Samprong", penntah laki-laki kasar
itu.
"Baik, Pak"
"Lho, akan diapakan aku. Semua barangku sudah aku
serahkan. Katanya aku boleh pergi"
"Ha. ..ha...dangu, hayo kemari", kata laki-laki kasar itu.
Samprong sekali tarik, laki-laki di atas kuda itu sudah
berada di bawah dan dituntun menuju pemimpin mereka
laki-laki kasar itu yang di sampingnya berderat beberapa _
anak buahnya dengan mukanya yang nampak angker.
Mereka tersenyum-senyum melihat muka orang yang
ditarik Samprong itu pucat pasi ketakutan. Setelah laki-
laki yang diseret Samprong tadi dekat dengan jarak
pemimpin mereka, laki-laki berwajah kasar itu.
"Hae, mengapa muka kamu kok babak belur begitu, Tuan
besar”, tanya laki-laki itu berusaha mengambil simpati.
"Sas...saya...dihajar orang ini, Pak", katanya ketakutan
sambil menunjukkan ke arah Samprong yang telah meng-
hajarnya tadi.
"Mengapa tidak kamu hajar kembali. Hayo sekarang
hajar si Samprong itu dihadapanku. Kamu telah mem-
bayar aku dengan semua uang dan benda bawaanmu di
kampluk itu, maka sekarang kamu berhak menghajar si
Samprong yang telah menghajar kamu tadi: Hayo
lakukan".
"Tidak berani, Pak".
"Kalau kamu tidak berani, kamu yang akan saya hajar.
Hayo pilih mana menghajar atau dihajar”.
Laki-laki itu terus menunduk ketakutan. Tidak berani
harus berbuat apa Tiba-tiba suara "brukk”. Laki-laki
kasar yang disebut pemimpin mereka itu melepaskan
tendangan ke arah muka laki-laki yang ketakutan itu,
sambil meludahi mukanya.
"Dasar laki-laki pengecut Taik kamu. Tadi di warung
berani banyak bacot, sekarang mengkuret kayak kadal
bunting. Ini sekali lagi terima pukulanku. ", begitu
tangan laki-laki kasar itu hendak mengayunkan tangan-
nya mau menonjok muka laki-laki yang sedang ketakutan
itu, tiba-tiba lengannya seperti terkena hantaman batu
keras.
"Aduuhhhh...sialan, tanganku, salotitt”, teriak laki-laki
kasar itu sambil memegangi tangan kanannya yang nam-
pak mulai mengucur darah keluar dari lengannya, sambil
mulutnya menyeringai menahan sakit. Rupanya tangannya
terkena lemparan batu keras sebesar kepalan tangan
"Bedebah. Siapa kamu yang berani melempar batu ini",
teriak laki- laki berwajah kasar itu kelihatan menahan
sakit.
"Kamu jangan berbuat jahanam kepada orang lemah ini,
kawan”, tiba-tiba suara Warok Wulunggeni yang keluar
dari semak-semak dedaunan ini berjalan menghampiri
gerombolan yang sedang mempermainkan laki-laki
ketakutan itu.
"Hah, kamu rupanya, orang asing yang ikut makan di
warung tadi. Kebetulan, aku juga mencari kamu sejak
tadi, kamu menghilang, yah. Kini kamu muncul
lagi...ha...ha...kebetulan... kebetulan laki-laki asing yang
angkuh ini memang mau cari gara-gara", teriak laki-laki
bermuka kasar itu mulai lupa pada sakit di tangannya.
“Kamu telah membegal uang dan harta bapak ini. Ke-
mudian kamu telah menghajarnya. Sekarang kamu mem-
permainkan orang yang tidak bersalah ini. Kalian ini
semua binatang apa”, kata Warok Wulunggeni nampak
geram.
"Bajingan. Berani sebut aku binatang. Kamu sendiri
cecunguk macam apa. Orang asing beraninya ngomong
besar di daerah kekuasaanku", bentak laki-laki berwajah
kasar itu dengan mata melotot menahan amarahnya.
"Aku telah menyaksikan keberingasanmu sejak di
warung tadi terhadap bapak ini. Sekarang lepaskan bapak
iri untuk perg:. Dan kembalikan semua yang telah kamu
rampasitu. Cepattit, atau aku akan bikin mampus kalian",
perintah Wulunggeni berusaha menghardik gerombolan
laki-laki kasar itu.
"Hae, orang asing. Beraninya kamu membentak dan me-
merintah aku. Apa kata kamu, menyerahkan kampluk ini
pada laki-laki pengecut ini, ha...ha...apa kamu rupanya
punya nyawa rangkap, to Leeee”.
“Sekali lagi aku peringatkan kembalikan kampluk bapak
ini. Dan kalian semua pergi".
"He, sudah keterlaluan omonganmu, yah. Samprong.
Hajar laki-laki asing itu", perintah laki-laki kasar itu
kepada si jangkung Samprong yang dengan sigap lang-
sung menyerang Wulunggeni yang sedari tadi telah siap
menerima kemungkinan serangan ini. Maka serangan
Samprong yang kalap itu dengan mudah dapat dielakkan.
Serangan laki-laki jangkung yang penuh tenaga itu hanya
menerjang angin kosong. Kemudian dengan sabetan kaki
kanan, Wulunggeni berhasil meghujankan tendangan
melingkar ke punggung si jangkung. Mungkin karena si
Jangkung Samprong itu terlalu mengerahkan kekuatan
yang besar, sehingga membuat si jangkung itu ter-
pelanting oleh tenaganya sendiri ke depan hingga masuk
ke selokan parit-parit di pinggir jalan itu.
"Kamu hanya jangkung, tetapi tidak punya otak”, 'edek
Warok Wulunggeni untuk memancing emosi si jangkung
yang dengan susah berusaha bangun dari panit-parit itu.
Mukanya terkena kubangan lumpur yang berbau busuk
menyengat itu.
Melihat anak buahnya menjadi bulan-bulanan Warok
Wulunggeni, nampak bahwa Laki-laki kasar yang men-
jadi pemimpin mereka itu segera meloncat dari kudanya
dan terus menerjang dengan berbagai serangan kombi-
nasi jurus-jurus patukan yang melingkar-lingkar. Semula
Wulunggeni agak kewalahan melihat cara bertarung laki-
laki kasar yang nampak penuh variasi gerak itu, akan
tetapi tidak berapa lama sudah diketahui beberapa gerak
tipuan yang dilontarkan itu.
Dengan sigap Warok Wulunggeni juga memasang
gerakan tipuan perangkap sepertinya memberikan ruang
kosong untuk mendapatkan serangan laki-laki kasar itu,
tanpa dinyana laki-laki itu masuk dalam permainan
perangkap Warok Wulunggeni. Maka, dengan sekali
serangan tendangan bertubi, lambung kanan laki-laki
kasar itu terkena benturan sendokan kaki Warok Wulung-
geni yang besar kekar itu. Blukk, blukk. Pukulan yang
keras itu telah masuk dalam perut, sehingga laki-laki
kasar itu kehilangan keseimbangan geraknya. Ia maju
gontai.
Dengan sigap, sekali lagi Warok Wulunggeni
menerbangkan gerakan pengkalan yang menghujam
tepat di tengkuk laki-laki kasar itu sehingga ia terjungkal.
la gagal berusaha untuk menghindar dari serangan
pengekalan Warok Wulungeni yang cepat itu, sehingga
ia menubruk gundukan batu besar dihadapannya. Kepala
laki-laki itu membentur batu padas itu. Ia terguling be-
berapa langkah ke samping.
Para anak buah laki-laki berwajah kasar itu, demi
melihat pemimpin mereka terkapar di gundukan batu
itu, maka mereka segera bertindak untuk
menolongnya. Secara serentak mereka menyerang ber-
barengan ke arah posisi Warok Wulunggeni yang dengan
sigap melayani datangnya serangan keroyokan itu.
Beberapa kali Warok Wulunggeni beringsut mundur
menghindari serangan bertubi-tubi yang datang hampir
berbarengan dari berbagai jurusan itu. Ia berhasil
melakukan gerakan melingkar- lingkar sambil melan-
carkan tendangan berputar. Beberapa tendangan berhasil
disarangkan ke tubuh beberapa pengeroyok itu.
Nampak, Wulunggeni berusaha merobohkan para anak
buah laki-laki berwajah kasar itu satu per satu. Agaknya
laki-laki berwajah kasar itu telah melihat gelagat yang
kurang beres yang akan menimpa dirinya dan anak
buahnya. Melihat ketangkasan Wulunggeni yang begitu
menguasai ilmu kanuragan tinggi itu, dengan serta- meria
ia segera memberikan aba-aba kepada anak buahnya agar
segera melarikan diri.
Beberapa anak buahnya yang berusaha melarikan diri itu
sempat terkena sambaran tendangan maut Wulunggeni
dan tergeletak di tanah berguling-guling itu. Namun,
beberapa saat kemudian mereka berhasil menaiki kuda
mereka dan memacu dengan kencang menghindan dari
amukan Wulunggeni. Agaknya, Wulunggeni tidak
berusaha mengejarnya, membiarkan mereka lari pon-
tang-panting.
Sepeningal gerombolan pengacau itu, laki-laki yang di-
tolongnya itu dengan gemetaran menghampiri Warok
Wulunggeni yang tubuhnya penuh keringat itu.
"Kangmas, terr....imma kasih, Kangmas, atas segala per-
tolongan, Kangmas”, kata laki-laki yang hampir saja kena
korban pemerasan gerombolan liar tadi.
"Tidak apa, Kangmas. Mari kita segera tinggalkan tempat
ini sebelum pamong kelurahan mengetahui kejadian di
sini agar urusan tidak berkepanjangan", kata Warok Wu-
lunggeni.
Warok Wulunggeni segera membantu laki-laki setengah
baya yang ditolongnya itu menaiki kudanya sambil
menyerahkan kampluk barangnya yang dirampas gerom-
bolan pemeras itu. Untung saja kampluk yang berisi uang
segepok itu masih sempat diselamatkan oleh Warok Wu-
lunggeni.
"Perkenalkan, nama saya Wulunggeni. Asal saya dari
Kadipaten Ponorogo", Warok Wulunggeni mem-
perkenalkan jati dirinya sambil mengulurkan tangan
kanannya kepada laki-laki yang mukanya pucat pası
itu.
"Saya Poerboyo. Dari Trenggalek, kangmas”.
"Apakah Kangmas Poerboyo tinggal di kampung ini atau
masih tinggal di Trenggalek".
"Saya masih tinggal di Trenggelek. Saya datang kemari
untuk berdagang. Isteriku berjualan di pasar. Ia masih di sana
bersama para pembantuku. Saya tadi sengaja mengarahkan
kudaku kemari untuk mendekati daerah penjagaan
keamanan kelurahan, karena saya merasa diikuti oleh
anggota gerombolan itu tadi. Tetapi sesampainya di —
gardu jaga ini, ternyata tidak ada yang bertugas keamanan
di sini. Rupanya gardu jaga ini hanya digunakan pada
malam hari saja. Maka ketika akan kembali ke pasar,
keburu kepergok sama si jangkung itu. Saya langsung
dihajarnya. Untung Kangmas Wulunggeni mengetahui
kejadian ini". |
"Tidak apa kok, Kangmas Poerboyo. Mari saya antar
kembali ke pasar".
Sesampainya di pasar, mereka berdua rupanya tidak
segera memasuki pasar untuk menemui isteri Poerboyo
yag sedang berjualan di sana bersama para pembantunya,
tetapi singgah kembali ke warung makan yang tadi siang
mereka singgahi itu.
Poerboyo membersihkan mukanya, sambil meminta
dibuatkan ramuan untuk menutup luka-lukanya dan di-
minumnya untuk menambah kekuatan. Semua itu di-
lakukan oleh Wulunggeni yang mulai menguasai ilmu
pengobatan dan meracik ramuan jamu tradisonal dari
dedaunan di situ. Para pelayan warung itu dengan sigap
ikut membantu mengambilkan keperluan apa saja yang
dibutuhkan Wulunggeni untuk mengobati luka orang
tadi.
Malamnya, atas dorongan Warok Wulunggeni, Poerboyo
dan keluarganya meneruskan perjalanan kembali ke
Trenggalek dengan menggunakan dokar dan kuda yang
tadi siang dipakai untuk digunakan oleh salah seorang
pembantunya sebagai petunjuk jalan. Malam itu juga
Warok Wulunggeni bermalam di rumah keluarga Poer-
boyo di Trenggalek.
Nampaknya tuan rumah, Raden Mas Poerboyo sebagai
pengusaha beken di Trenggalek yang hidup dari usaha
berdagang dan bertani, tidak ingin melepaskan kepergian
Warok Wulunggeni buru-buru.
"Kakang Wulung, ada baiknya Kakang tinggal beberapa
lama di rumah saya ini. Saya ingin memberikan penghor
matan kepada Kakang Wulunggeni".
“Akhirnya Warok Wulunggeni tidak bisa menolak per-
mintaan kenalan barunya, Raden Mas Poerboyo untuk
tinggal beberapa Jama di tengah keluarga Raden Mas
Poerboyo di kota Trenggelek yang asri permai. Tiap hart
ia dijamu, dan diperkenalkan kepada seluruh ang-
gota keluarganya yang nampak bersikap ramah-
ramah menyambut kehadiran Warok Wulunggeni di
tengah-tengah mereka.
Emoticon