1
PAKAIAN kuning gading membuat wajah cantiknya menjadi lebih anggun
lagi. Dengan rambut dikepang satu ke belakang, senjata pedang masih terselip di
pinggang, perempuan itu tetap berdiri tegak di depan orang berpakaian serba
merah itu. Melihat sikap memandang yang
dingin dan ketus dari perempuan berpakaian kuning dengan dirangkapi rompi
panjang warna ungu itu, jelas ada permusuhan di antara mereka berdua. Itulah
sebabnya ia tetap berdiri tegak di depan pintu masuk sebuah kuil yang berpagar
batu tinggi.
"Sekalipun kau kakak perguruanku, tapi aku tetap tak bisa izinkan
kau masuk kuil ini, Barong Geni!" kata perempuan itu dengan tegas dan
berkesan berani.
Barong Geni yang berpakaian serba merah sampai pada ikat kepalanya juga
merah itu, sengaja sunggingkan senyum sinis kepada bekas adik seperguruannya
yang bernama Intan Selaksa. Kumisnya yang sedikit lebat itu diusap-usap dengan
jari, kadang dipelintir agar melengkung kedua ujungnya. Barong Geni segera
serukan kata,
"Kita mempunyai hak yang sama untuk menempati kuil ini, Intan
Selaksa! Jangan kau tampakkan sikap serakahmu di depanku! Kau bisa menyesal
kalau sampai aku bertindak kasar kepadamu!"
"Memang kita dulu bekas saudara seperguruan, kita memang sama-sama
murid Begawan Sangga Mega yang sudah almarhum itu. Tetapi kau sudah diusir dari
kuil ini! Kau telah menjadi murid murtad dan tidak diizinkan menginjak kuil ini
lagi oleh sang Begawan!"
"Itu dulu, semasa Guru masih hidup!" sanggah Barong Geni.
Sekarang pun larangan itu tetap
berlaku, Barong Geni! Sebelum Guru wafat, beliau pernah berpesan agar akulah orang yang harus menjadi penjaga kuil
ini, dan melarangmu menginjakkan kaki di kuil ini! Jadi kusarankan padamu,
Barong Geni, sebaiknya cepatlah angkat kakimu dari tanah Kuil Swanalingga ini,
supaya arwah Guru tidak murka kepadamu!"
Mata lebar berwajah angker dengan badan yang besar itu cepat
menggeramkan suaranya pertanda menahan kemarahan. Rambut ikalnya yang dibungkus
kain merah sebagian itu dibiarkan terhempas angin pegunungan yang semilir.
Perutnya yang buncit dengan baju tidak dikancingkan sengaja dipamerkan sebagai
umpan pukulan nantinya.
Barong Geni punya keyakinan, bahwa hari itu ia harus bertarung dengan
Intan Selaksa. Agaknya Intan Selaksa tak
bisa diajak damai untuk urusan ini. Barong Geni merasa diremehkan oleh larangan
Intan Selaksa itu. Maka, segera ia lontarkan kata yang lebih bernada bermusuhan
lagi kepada Intan Selaksa,
"Aku tak bermaksud bermusuhan denganmu, Intan Selaksa. Tapi kalau
kau merasa sudah bosan menikmati hidupmu ini, aku juga tidak keberatan jika
harus melenyapkan nyawamu!"
Intan Selaksa sunggingkan senyum tipis tanda mengejek ucapan itu.
Bahkan ia berkata dengan ketusnya,
"Demi mematuhi perintah wasiat Guru, nyawaku sudah siap kujadikan
perisai, Barong Geni! Akan kulayani jika kau ingin bertingkah di depanku! Tak mungkin
aku gentar menghadapimu, Barong Geni!"
"Perempuan Sombong!" geram Barong Geni sambil melepaskan
tangannya yang sejak tadi melintir kumis. "Tingkat ilmumu belum seberapa
tapi sudah berani berkoar seperti itu di depan Barong Geni! Majulah, jika kau
ingin cepat menuju alam akhirat! Majulah...!"
Sambil lontarkan tantangan, Barong Geni mulai pasang kuda-kuda dan
angkat kedua tangannya di pertengahan dada, yang satu diangkat sampai di atas kepala,
ia siap melancarkan pukulannya begitu Intan Selaksa sedikit saja bergerak
mencurigakan. Matanya pun makin memancar tajam dan penuh kobaran api permusuhan.
Tetapi, Intan Selaksa masih tetap diam dengan berdiri merenggang kaki.
Kedua tangannya disangkutkan pada ikat pinggang di depan perutnya. Wajah ayunya
memamerkan senyum berlesung pipit yang semakin membuatnya manis. Tapi kali ini
senyum manis itu tetap berkesan pahit, karena mata Intan Selaksa tak mau pancarkan
keteduhan.
"Majulah kalau memang kau ingin menjadi perisai Kuil Swanalingga
ini, Monyet!" bentak Barong Geni.
"Tak perlu aku maju mendekatimu," kata Intan Selaksa dengan
suara kalem seperti tadi juga. "Untuk apa aku mendekatimu jika kau tak
mampu gerakkan tanganmu, Barong Geni?!"
"Omong besar! Kurompalkan gigimu semua, Intan Selaksa!
Hiiih...!"
Barong Geni sangat terkejut. Dahinya berkerut-kerut dengan tubuh
bergerak-gerak dalam sentakan kaku yang berat. Bahkan ia sempat kerahkan
tenaganya untuk menggerakkan kedua tangan, tapi kedua tangannya tetap tak bisa
bergerak turun, ke depan, ke samping, atau ke mana saja. Tangan itu menjadi
kaku dan keras bagaikankayu. Bagian jemari pun tak bisa digerakkan sedikit pun.
"Monyet busuk!" caci Barong Geni. "Rupanya kau telah
menotok jalan darahku di bagian kedua tangan ini dengan kekuatan senyumanmu,
hah?! Kau telah kuasai ilmu 'Sungging Betari' dari Begawan Sangga Mega itu?! Baik!
Aku tak mudah menyerah, Intan Selaksa! Kutunjukkan padamu bahwa aku pun tetap
mampu melawanmu walaupun kau menguasai ilmu 'Sungging Betari'! Hiaaah...!"
Barong Geni sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya pun melesat terbang
dengan berkelebat menendang kepala Intan Selaksa. Wusss...! Intan Selaksa menangkis
tendangan itu dengan sentilan dua jarinya. Tass...! Kaki itu bukan hanya
tertahan, namun juga terlempar ke arah lain dengan satu sentakan kuat.
Bregggh...! Barong Geni jatuh dengan tangan tetap kaku pada posisi
semula, yang kiri di depan dada, yang kanan di atas kepala.
Intan Selaksa cepat menjauhkan diri dengan satu lompatan ringan ke arah
samping. Senyumnya semakin mekar melecehkan jatuhnya Barong Geni. Yang merasa dilecehkan
cepat berdiri dan menggeram dengan nafsu ingin membunuh.
"Kuakui kau sekarang sudah banyak berubah, Intan Selaksa! Kau
lebih tangkas dan lebih cepat bergerak daripada tiga tahun yang lalu. Tetapi
jangan dulu kau merasa bangga dengan kemajuanmu itu! Aku akan merampungkan
janjiku yang tadi kuucapkan padamu! Hiaaa...!"
Barong Geni sentakkan kakinya dari jarak lima langkah. Sentakan itu
mempunyai gelombang tenaga dalam yang melesat cepat menghantam perut Intan Selaksa.
Wusss...! Begggh...!
"Ahhg...!" Intan Selaksa tak sempat menangkis karena begitu
cepatnya gelombang tenaga dalam dari tendangan kaki Barong Geni, sehingga
akibatnya ia terpental ke belakang dan jatuh di semak-semak. Grusakkk...!
"Hup...!" Intan Selaksa sentakkan kedua tangannya ke tanah
dan tubuhnya melentik bagai kaki jangkrik. Lalu, tiba-tiba ia sudah berdiri
dengan tegak dan mengangkat kedua tangannya ke depan dengan telapak tangan siap
melepaskan pukulan jarak jauh.
Tapi belum sempat pukulan itu terlepaskan, Barong Geni sudah lebih
cepat menggerakkan kakinya yang menendang berputar beberapa kali hingga putaran
kaki itu seperti kipas yang bergerak dengan cepat.
Wutttt... wuttt... wuttt... wuttt...!
Suara itu begitu cepatnya hingga yang didengar Intan Selaksa suara yang
memanjang. Wungngng...!
Angin kencang menyerupai badai datang menghantam tubuh Intan Selaksa.
Tak sempat ia menahan angin itu ataupun melompat hindarkan diri. Akibatnya,
Intan Selaksa terlempar ke samping dalam keadaan tidak beraturan. Terjungkir
balik dirinya membentur batu dan pohon yang ada. Sementara itu,dengan tangan
tetap kaku dalam posisi seperti orang sedang menari, Barong Geni tetap
melepaskan jurus 'Tendangan Delapan Penjuru Angin', yang membuat Intan Selaksa
semakin terlempar-lempar tak tentu arah.
Ketika tubuhnya membentur batang pohon besar, Intan Selaksa mencoba
kerahkan tenaga dalamnya untuk menahan jurus 'Tendangan Delapan Penjuru Angin'
itu. Kedua tangannya disentakkan ke depan dengan kuat, tapi angin badai dari
jurus tendangan maut itu sangat kuat dan tak mampu ditahannya, sehingga Intan
Selaksa terpelanting ke mana-mana. Membentur dan menggores apa saja.
Prass...! Bras...! Plak, trakk...! Brett...!
Sampai suatu ketika, Barong Geni tahu-tahu terlempar ke arah samping dengan
cukup keras dan cepat. Wusss...! Tubuhnya bagaikan sehelai daun yang
dihempaskan badai cukup besar. Tubuh itu menghantam sebuah gugusan batu.
Bokkk...! Batu itu gompal. Barong Geni dengan tangan masih tetap kaku tak dapat
dilipat lagi itu terpaksa mengerang kesakitan. Dadanya
tertimpa gompalan batu dua genggaman tangan. Tubuh itu terkapar di sana
dengan hidung berdarah.
"Monyet Borok!" gerutunya dalam hati. "Siapa yang berani
campur tangan urusanku?! Tak mungkin Intan Selaksa bisa melemparkan aku
sedemikian kuatnya, apalagi aku sedang mainkan jurus 'Tendangan Delapan Penjuru
Angin' itu! Hmmm...! Pasti ada pihak lain yang campur tangan dengan urusanku!"
Karena matanya masih berkunang-kunang untuk memandang, Barong Geni pejamkan
mata sebentar, lalu mengibaskan kepala dan membuka matanya lagi dengan dahi
berkerut-kerut. Tangannya tak bisa mengusap darah yang keluar dari hidungnya,
hingga membasahi kumis dan bibir.
Seorang perempuan sebaya dengan Intan Selaksa segera membantu Intan Selaksa
untuk berdiri. Perempuan itu mengenakan baju hijau dengan celana coklat.
Bajunya berbelahan dada cukup lebar, hingga sisi bukitnya tampak tersumbul
mulus, menggumpal penuh tantangan. Perempuan itu berbibir lebar dan tebal, tapi
diberi warna merah segar merangsang. Rambutnya sepanjang punggung, lepas
tergerai. Di selipan depan perut terlihat sebuah senjata bergagang hitam, yaitu
rencong.
Melihat ciri-ciri itu, Barong Geni segera mengenali perempuan itu. Ia segera
serukan kata amukannya dengan suara besar,
"Gincu Mayat! Rupanya kau sengaja cari perkara denganku,
hah?!"
Gincu Mayat, perempuan bertubuh sekal itu tidak melayani seruan Barong Geni.
Ia masih menolong Intan Selaksa yang terluka memar dan kulitnyarobek di sana-
sini akibat hempasan badai dari 'Tendangan DelapanPenjuru Angin' tadi. Bahkan
di bagian hidung dan telinganya keluarkandarah segar walau tak begitu banyak,
seperti darah yang dikeluarkanBarong Geni dari hidung.
"Kau masih kuat berdiri, Intan Selaksa?!"
"Oh, ya... ! Aku masih sanggup melawannya, Gincu Mayat. Terima
kasih atas pertolonganmu!" Intan Selaksa menyeka darah dari hidungnya.
"Istirahatlah dulu biar aku yang hadapi dia, Intan!" kata
Gincu Mayat.
"Tidak. Ini urusan perguruan, Gincu Mayat! Kau tak bisa ikut
campur! Biarlah aku yang hadapi kebo busuk itu!"
"Intan, aku pernah kau tolong dari maut, sekarang aku pun perlu menolongmu
dari maut, supaya impas sudah hutangku padamu!"
"Anggap saja kau telah melunaskan hutangmu padaku dengan
mengalihkan jurusnya tadi! Sekarang tiba giliranku untuk menggempurnya!"
Tapi Gincu Mayat berkeras hati dan segera menyingkirkan tubuh Intan Selaksa
dari depannya. Gincu Mayat maju beberapa tindak untuk menghadapi Barong Geni.
Tangan Barong Geni yang kanan masih di atas kepala, dan yang kiri masih
di depan dada. Ke mana pun ia melangkahkan kaki, dan dalam keadaan bagaimanapun, tangan itu tetap saja
kaku begitu. Hal itu dijadikan bahan ejekan oleh Gincu Mayat.
"Kau ini seorang penari ronggeng atau seorang pendekar, Barong
Geni?! Atau jangan-jangan kau pemain topeng monyet, yang selalu berjalan ke mana-
mana dengan tangan begitu?! Hi hi hi...!"
"Tutup mulutmu, Perempuan haram!" bentak Barong Geni.
"Aku tak punya urusan apa pun denganmu! Pergilah sana dan jangan bikin
perkara denganku!"
"Hei hei hei... orang tampan yang angker kalau marah semakin
tambah menggairahkan, rupanya! Hi hi hi... ! Kemarahanmu itu adalah lambing kehangatan
lelaki yang amat menggiurkan, Barong!"
"Setan belang kau! Pergilah sana, kau tak tahu urusanku dengan
Intan Selaksa!"
"Siapa bilang aku tak tahu?!" kata Gincu Mayat dengan
melenggak-lenggok di depan Barong Geni. "Aku cukup tahu masalahmu! Kau
ingin menguasai kuil peninggalan guru kalian itu, bukan?! Ah, aku tahu apa
maksudmu untuk menguasai kuil itu! Kau punya tujuan tersendiri! Kau ingin cari sesuatu
di dalam kuil itu!"
"Kalau toh itu tujuanku, kau tak punya hak untuk menghalangiku!
Kau bukan murid Begawan Sangga Mega! Akulah murid Begawan Sangga Mega!"
Intan Selaksa cepat menyahut, "Memang. Tapi kau murid yang sudah
diusir dan tidak diakui sebagai murid lagi. Kau murid murtad! Karena kau telah mencuri
kitab pusaka untuk kau persembahkan kepada Dewi Kelambu Darah!"
"Karena dia punya syarat begitu untuk menjadi istriku, apa
salahnya jika aku menuruti permintaan calon istriku itu?!" sanggah Barong
Geni dengan suara keras.
"Guru tidak pernah punya murid yang berkepribadian serapuh itu,
Barong Geni! Guru tidak suka dengan jiwamu, yang mengorbankan kepentingan pihak
lain untuk mengeruk kepentingan diri sendiri!" sentak Intan Selaksa masih
tampak berani dan tegar.
"Seorang istri adalah nyawa bagi hidupku, Intan Selaksa!"
kata Barong Geni. Lalu, Intan Selaksa menyahut,
"Apakah Dewi Kelambu Darah sekarang menjadi istrimu?!"
"Memang belum. Tapi ........ "
"Tapi dia punya permintaan lagi, bukan?!" sahut Gincu Mayat.
"Itu urusan dia dengan aku!"
"Memang. Aku hanya ingin meyakinkan bahwa dugaanku benar,"
kata Gincu Mayat. "Bahkan aku bisa menduga, apa yang diinginkan oleh Dewi
Kelambu Darah! Pasti dia minta supaya kau mencuri Pedang Guntur Biru yang disembunyikan
oleh gurumu di dalam kuil itu, bukan?!"
"Setan kau!" geram Barong Geni.
Intan Selaksa sipitkan mata. Mulai mengerti duduk persoalan sebenarnya yang
membuat Barong Geni mendesak ingin masuk ke dalam kuil Swanalingga. Intan
Selaksa merasakan kebenaran dugaan Gincu Mayat itu, sehingga ia semakin keras
berkehendak mengusir Barong Geni.
Sementara itu, Barong Geni sendiri merasa sangat jengkel kepada mulut lancang
Gincu Mayat yang membuat tujuan sebenarnya diketahui oleh Intan Selaksa. Tetapi
demi cintanya kepada Dewi Kelambu Darah, Barong Geni harus tetap berusaha untuk
bisa masuk ke dalam kuil dan mencari di manaPedang Guntur Biru disembunyikan
oleh almarhum gurunya itu. Sebab, jika Barong Geni tidak bisa memberikan Pedang
Guntur Biru kepada Dewi Kelambu Darah, maka perempuan itu tidak mau menjadi
istrinya. Padahal BarongGeni sudah terlalu besar mencurahkan rasa cintanya
kepada Dewi Kelambu Darah, terlalu berat memendamnya lebih lama lagi. Maka, tak
ada pilihan lain buat Barong Geni kecuali menuruti permintaannya itu.
"Sebaiknya batalkan saja niatmu itu, Barong Geni!" kata Gincu
Mayat, seakan membela Intan Selaksa mati- matian.
"Apa hakmu melarangku mengambil Pedang Guntur Biru?! Pusaka itu
bukan milik gurumu si Bungkuk Jagal yang sudah modar itu!" kata Barong
Geni dengan kasarnya, sengaja membuat merah muka Gincu Mayat, ia tambahkan pula
kata,
"Kalau saja gurumu sekarang masih hidup, ingin rasanya kucacah
jadi satu dengan tubuhmu, Gincu Mayat!"
"Kelewat batas omonganmu, Barong!" geram Gincu Mayat.
"Kau perlu mendapat pelajaran dariku supaya bisabicara lebih hati-hati
lagi! Heaaah...!"
Gincu Mayat sentakkan tangannya dari samping bawah sedikit ke depan. Settt...!
Dan muncullah sinar merah yang melesat cepat menuju dada Barong Geni.
"Hiaaat...!"
Barong Geni manfaatkan tangannya yang kaku di depan dada itu untuk dialiri
gelombang tenaga dalam. Memang tangan itu tak bisa keluarkan pukulan balasan,
tapi cukup kuat untuk menahan sinar merah yang hendak menghantam dadanya.
Cratt...! Percikan bunga api muncrat dengan kuat. Sinar merah itu membelok
arah setelah membentur tangan Barong Geni. Sinar merah itu menghantam pohon,
dan pohon tersebut menjadi kering dalam waktu dua helaan napas.
"Bebek bunting!" geram Barong Geni. "Sukar sekali
melepaskan totokan Intan Selaksa ini! Kalau saja kedua tanganku belum tertotok
dan bisabergerak bebas, sudah hancur kepala kedua perempuan itu dalam satu gebrakan
saja!"
Wuttt...! Intan Selaksa lompatkan diri ketika Barong Geni ingin
bergerak ke kiri. Intan Selaksa menghadang di sana dengan pedang yang telah dicabutnya
dari sarungnya. Barong Geni tak berani mendekat, karena ia tahu pedang itu
cukup berbahaya. Siapa pun tergores sedikit saja dapat mengakibatkan luka yang
membawa mati dalam tiga hitungan. Pedang itulah yang dinamakan Pedang Sengat
Kubur. Tetapi Barong Geni tidak mau tunjukkan rasa takutnya di depan lawan.
Barong Geni malahan berkata,
"Kau pikir aku akan gentar jika kau sudah cabut pedang begitu?
Hmmm...! Pedang untuk tebang pohon saja belum tentu bisa dipakai untuk menyerangku?!"
Barong Geni mencibir. Intan Selaksa menahan diri untuk tidak murka dengan
melakukan gerakan gegabah.
"Kalau kau tak takut dengan pedangku mengapa kau melangkah mundur,
Barong Geni?!" kata Intan Selaksa.
"Aku mencari tempat untuk menyerangmu!" Jawab Barong Geni.
Pada saat Barong Geni bicara begitu sambil melayangkan pandang kepada Intan
Selaksa, tiba-tiba Gincu Mayat melepaskan pukulan tenaga dalam yang keluarnya
dari jari tengah tangan kanan. Zuuttt...! Hijau warna
sinar yang keluar itu, dan telak menghantam punggung Barong Geni. Zrappp...!
"Aahg...!" Barong Geni mendelik dengan wajah menegang karena
kaget dan tubuhnya melengkung ke depan, ia mulai merasakan panas di telapak kakinya,
lalu menjalar panas di betisnya dan terus bergerak sampai di lututnya.
Cepat-cepat Barong Geni menekan napasnya kuat- kuat. Tubuhnya sampai gemetar
karena kerahkan tenaga dalam berhawa dingin untuk melawan hawa panas yang akan
membakar dirinya.
"Gggrrr...!" Barong Geni mengerang dengan kaki makin
merenggang rendah dan tangannya gemetaran. Peluh pun keluar dari tiap pori-pori
tubuhnya. Matanya berusaha memandang sekelilingnya untuk hindari serangan tiba-tiba
dari kedua perempuan itu.
"Sebentar lagi bagian dalam tubuhmu akan terbakar, Barong! Tak
perlu ditahan-tahan begitu, nanti malah jebol bagian bawahmu!" ledek Gincu
Mayat sambil cekikikan.
Melihat Barong Geni mulai lemah, Intan Selaksa segera melesat lompat dengan
pedang siap menebas pundak atau leher Barong Geni.
"Hiaaah...!"
Wusss...! Pedang itu meleset dari sasaran karena Barong Geni
menjatuhkan diri dan berguling dua kali di tanah dalam keadaan tangan kaku. Ia
cepat sentakkan kaki dan berdiri lagi. Melihat Intan Selaksa siap melancarkan jurus
pedangnya lagi, Barong Geni cepat melompat jauh. Kemudian ia melarikan diri
sambil berseru,
"Tunggu pembalasanku nanti!"
Intan Selaksa ingin mengejar Barong Geni, tapi Gincu Mayat menahannya. "Tak
perlu kau kejar. Nanti dia akan datang lagi dengan sendirinya untuk serahkan
nyawa padamu!"
* * *
2
DENGAN keadaan tangan kiri masih di depan dada sedikit merenggang, dan tangan
kanan di atas kepala bagai ingin menghentakkan tenaga pukulan lewat telapak
tangannya yang terbuka, Barong Geni selesai sudahmengatasi hawa panas yang akan
membakar bagian dalam tubuhnya, ia cepatberlari tinggalkan tempat sepi itu
untuk menemui Dewi Kelambu Darah, ia berlari dengan tangan masih di atas
kepala.
"Haram jadah betul si Intan Selaksa itu!" gerutu Barong Geni
sambil melesat dalam larinya. "Jurus totokan 'Sungging Betah' ini sukar
sekali kulumpuhkan! Mau garuk-garuk kepala saja sulitnya bukan main! Uuh...! Akan
kubunuh dia tanpa ampun lagi!"
Sebuah lembah berpemandangan indah, mempunyai aneka tanaman bunga warna-warni.
Di lembah itulah Dewi Kelambu Darah bersemayam, hidup dalam kesendirian, ia
merasa lebih damai hidup dalam kesendirian ketimbang harus ada teman. Kelak
suatu saat, ia dapat menghimpun banyak orang sebagai rakyat pendukung
kekuatannya, jika sebuah ilmu yang bernama
'Gagar Mayang', sudah dicapainya. Ilmu itu sekarang masih di pelajari dengan
tekun.
Barong Geni sedang menuju ke lembah itu, ketika tiba-tiba seorang berpakaian
putih dengan celana hitam meluncur dari sebuah pohon, menghadang langkah Barong
Geni. Orang itu melompat bagaikan kapas jatuh tanpa suara. Langkah Barong Geni
terhenti, dan matanya men atap tajam kepada lelaki berusia lebih muda darinya
itu. Rambutnya panjang lurus dan lemas diikat dengan ikat kepala warna kuning.
Sebilah pedangtersandang di punggungnya, ia tampak lebih tegap dan lebih gagah
dari Barong Geni yang berusia empat puluh tahun itu.
"Setan Alas!" rutuk Barong Geni setelah tahu siapa
penghadangnya. Orangyang dimakinya itu sunggingkan senyum tipis, dingin.
"Kita ketemu lagi, Barong Geni!" ucapnya kalem.
"Aku sudah muak bertemu kamu!" ketus Barong Geni dengan mulut
bersungut-sungut dan makin jengkel kepada tangannya yang belum bisa digerakkan
itu.
"Kau benar, Barong Geni! Kau mestinya memang muak bertemu
denganku, karena aku pun muak bertemu denganmu! Tapi kali ini pertemuan kita adalah
pertemuan terakhir! Tak ada lagi pertemuan berikutnya, karena aku akan mengirim
nyawamu ke neraka sekarang juga!"
"Hmmm...! Boleh saja kau bermulut besar, tapi nyalimu sebenarnya
tak ada seujung kuku! Berapa kali kau bertarung denganku dan selalu melarikan diri?!"
"Kali ini kau yang akan melarikan diri. Bahkan nyawamu yang akan
lari terbirit-birit melihat pedangku!"
"Bocah setan...! Seranglah aku bila kau mampu!" tantang
Barong Geni. Dan, pemuda tampan itu segera mencabut pedangnya pelan-pelan, ia
tampak lebih tenang dari saat terakhir bertarung dengan Barong Geni, sekitar tiga
bulan yang lalu.
"Jangan menyesal dengan tantanganmu sendiri jika pedang ini
merobek lehermu, Barong Geni!"
"Hah...! Kau pikir dengan berhasil membawa pedang itu, aku akan
takut dan gentar padamu, Panji Tampan?! Cuihhh...! Aku justru bernafsu sekali untuk
segera membunuhmu!"
Padahal di dalam hatinya Barong Geni berkata, "Gila! Sekarang dia
pakai bawa-bawa pedang segala! Rupanya dia benar-benar ingin membunuhku supaya bisa
mendekati Dewi Kelambu Darah! Ah, sayang sekali tanganku begini, sehingga aku
tak bisa menggunakan senjataku! Celaka...! Kalau dia memang jago main pedang,
habislah leherku dibabatnya! Paling tidak salah satu tanganku yang seperti ini
akan mudah dibuntungnya! Sial benar itu si Intan Kunyuk!" geram Barong
Geni jengkel.
"Bersiaplah pergi ke neraka sekarang juga, Barong! Hiaat...!"
"Tunggu...!" Barong Geni sentakkan kaki dan melompat mundur
dua tindak. Sedangkan waktu itu Panji Tampan sudah siap tebaskan pedang. Barong
Geni cepat ucapkan kata,
"Kuingatkan sekali lagi padamu, Panji Tampan, bahwa Dewi Kelambu
Darah itu usianya sudah banyak! Dia sudah tua! Sepantasnya menjadi ibumu! Kau masih
muda belia, usiamu kutaksir tak lebih dari dua puluh tujuh tahun. Sayang sekali
kalau kau masih ngotot ingin mengawini Dewi Kelambu! Ketahuilah pula, bahwa
Dewi Kelambu Darah kelihatan cantik dan menarik karena dia punya ilmu pengawet
kecantikan! Bahkan usia aslinya dengan usiaku, masih tua dia!"
"Persetan dengan usia! Aku suka kepadanya, mau apa kau?!"
"Mata tampan yang rabun... he he he...! Cucilah matamu pakai air belerang,
biar bisa melihat mana perempuan yang cocok menjadi istrimu, Panji
Tampan!"
Sambil berceloteh, Barong Geni berpikir bagaimana mencari cara
mengatasi ertarungan tersebut dalam keadaan tangan kaku begitu. Tapi sejauh ini
dia belum temukan cara yang terbaik selain nekat menggunakan jurus jarak jauh.
"Tua bangka! Tak perlu kau banyak bicara lagi, terimalah jurus
pedang pembukaku ini! Hiaaat...!"
Wutt, wuttt...! Pedang berkelebat dua kali, lalu kaki Panji Tampan disentakkan
ke tanah dan melesat terbang tubuhnya ke arah Barong Geni. Pedangnya diarahkan
lurus bagai hendak menusuk mata Barong Geni. Maka, Barong Geni pun cepat
menghindarkan diri ke samping, dan saat itu pula ternyata pedang menebas ke
samping. Wungngng... ! Begitu cepat,
begitu rapat hampir menyentuh telinga Barong Geni, sehingga angin pedang itu
menimbulkan dengung yang memekakkan telinga.
Barong Geni menggulingkan badan, kemudian kakinya menyentak ke atas dengan
penuh gelombang tenaga dalam yang dilepaskan lewat telapak kaki itu. Wusssh...!
Crasss...! Pedang Panji menebas mengenai sinar putih yang melesat dari telapak
kaki itu. Benturan sinar pedang timbulkan letupan api yang memercik ke kaki
Barong Geni sendiri. Kaki itu kepanasan dan Barong Geni cepat singkirkan
kakinya dalam gerak memutar sambil pinggangnya dipakai menyentak dan tubuhnya
pun melenting di udara tak begitu tinggi. Jlegg...! Ia kembali berdiri dengan
kedua kaki yang kokoh tegap. Tapi tangan
tetap seperti monyet yang tak mampu menggaruk kepalanya sendiri.
"Jurus pedang pembuka...!" kata Panji Tampan sambil
sunggingkan senyum meremehkan, ia tampak lebih kalem dari biasanya. Barong Geni
diam-diamdibuat grogi oleh kekaleman sikap bertarungnya Panji Tampan itu.
Barong Geni menyimpan kecemasan yang selalu ditutup dengan omong besarnya,
"Jurus seperti itu diandalkan?! Hmm...! Buat bunuh cacing saja
belum tentu bisa, apalagi buat melukai tubuhku!"
"Itu baru jurus pembuka!" sangkal Panji Tampan.
"Sekarang jurus pedang pertama. Bersiaplah, Barong...! Tak sampai
kugunakan jurus pedang kedua, kau sudah pindah ke neraka dan carilah kekasih
lain di sana!"
Wuuhhggg... ! Tiba-tiba Barong sentakkan kakinya ke depan dengan cepat.
Jaraknya yang berada antara enam langkah itu membuat kaki tersebut dengan jelas
mengeluarkan sinar kuning yang bergerak cepat. Sebenarnya sinar kuning itu akan
menghantam perut Panji Tampan, tapi karena Panji melihat kilatan sinar kuning
itu, maka ia sentakkan kakinya ke tanah dan
tubuhnya melesat ke udara bagai singa mau menerkam mangsanya, ia menghindari
sinar kuning itu sambil menyerang kembali lawannya dengan pedang tersebut.
Jrabbb...! Sinar kuning mengenai gundukan cadas di belakang Panji Tampan.
Tapi pedang Panji Tampan kala itu sudah mencapai di depan leherBarong Geni.
Dengan cepat Barong Geni menjatuhkan diri ke rumput, sehingga pedang dan tubuh
lawan tak jadi menabraknya. Sebagai balasan, kaki Barong Geni menendang ke atas
sambil berjungkir balik ke belakang. Beggg...! Tendangan itu mengenai perut
Panji Tampan. Terpelanting tubuh Panji Tampan di udara. Kesempatan itu
digunakan oleh Barong Geni untuksiap-siap melancarkan jurus 'Tendangan Delapan
Penjuru Angin'. Tetapi tiba-tiba tubuh Panji yang terguling-guling di tanah itu
terlempar menyerosot bagai ada yang menariknya kuat-kuat. Berbagai tanaman
yangtumbuh serta ranting yang ada di tanah diterjang habis oleh tubuh Panji Tampan.
"Kenapa anak itu?!" pikir Barong Geni dengan heran, ia tak
jadi melancarkan 'Tendangan Delapan Penjuru Angin' karena terpaku oleh kejadian
aneh tersebut. Bahkan matanya makin membelalak lebar dengan tangan tetap di
atas kepala dan di depan dada ketika ia melihat tubuh Panji bangkit sendiri,
lalu terlempar terbang seperti sehelai kain sarung yang dilemparkan seseorang.
Wuusss...! Beehggg...!
"Uuhg...!" Panji Tampan terpekik dengan suara tertahan.
Punggungnya menghantam batang pohon dengan keras, sampai batang pohon itu
terguncang merontokkan daun layunya. Selesai itu, tubuh Panji Tampan jatuh
terpuruk dengan napas berat terhela. Mulutnya keluarkan darah kental. Panji Tampan
tak mampu bergerak karena sekujur tubuhnya selain terkoyak duri
atau batu, juga ada luka dalam yang membuatnya memuntahkan darah hitam yang
kental.
Jlegg... !
Tiba-tiba seseorang telah berada di belakang Barong Geni. Cepat-cepat Barong
Geni palingkan wajah, dan ia terperangah kaget melihat seorang perempuan cantik
berdiri di belakangnya mengenakan jubah jingga dan pakaian sebatas dada warna
biru tua berias benang perak. Rambutnya disanggul indah, lehernya dengan kalung
batuan putih bagai barisan berlian mewah. Perempuan cantik berhidung mancung
tapi bermata tajam itu tak lain adalah Dewi Kelambu Darah.
"Tak kuizinkan dia mengganggumu lagi, Barong Geni!" ucapnya
penuh kesan wibawa walau bernada merayu.
"Sebenarnya kau tak perlu menghajarnya begitu, Kelambu Darah! Aku
masih sanggup mempercepat kematiannya! Cuma, aku tadi sedikit main-main dulu dengan
jurus pedangnya itu!"
Barong Geni melangkahkan kaki mendekati Dewi Kelambu Darah. Senyum Dewi
hanya separo saja. Karena ia merasa heran melihat tangan Barong Geni tetap di
atas kepala dan di depan dada.
"Ada apa dengan tanganmu?"
"Intan Selaksa menotok jalan darahku. Aku sulit melepaskan totokan
ini, Dewi!"
"Hi hik hik...!" Dewi Kelambu Darah menjadi geli mendengar
pengaduan dari mulut Barong Geni. Yang ditertawakan menjadi malu sekali.
Barong Geni tak bisa sembunyikan wajah malunya. Padahal tadi baru saja ia
merasa bangga, hatinya berbunga-bunga melihat Dewi Kelambu Darah membela
pertarungannya dengan Panji Tampan menggunakan kekuatan pandangan matanya yang
cukup hebat itu. Baru saja tadi Barong Genimerasa mendapat penghargaan dari
seseorang yang dicintainya. Tiba-tiba sekarang ia harus menahan rasa malu
akibat pengakuannya tentang tangan yang tak bisa digerakkan lagi itu.
"Jadi kau tak bisa kalahkan Intan Selaksa?!"
"Bukan tak bisa, Dewi! Aku terpaksa melarikan diri karena Gincu
Mayat ikut campur dalam urusan ini!"
"Gincu Mayat...?!" Dewi Kelambu Darah agak terkesiap matanya,
lalu menyipit benci. "Berani- beraninya dia ikut campur urusanmu? Apakah
dia tak tahu bahwa kau calon suamiku?"
"Dia tahu persis! Bahkan dia tahu bahwa aku datang ke Kuil
Swanalingga untuk mencari Pedang Guntur Biru! Mulutnya itu yang membuat Intan Selaksa
jadi tahu tujuanku sebenarnya!"
Menggeram mulut Dewi Kelambu Darah sambil geletakkan giginya, ia mengencangkan
genggaman tangannya. Lalu ia bertanya, "Jadi, bagaimana dengan pedang
pusaka itu? Kau belum berhasil mendapatkannya?!"
"Untuk sekarang memang belum," jawab Barong Geni. "Tapi
untuk waktu mendatang, Pedang Guntur Biru pasti akan kudapatkan dan
kupersembahkan padamu, Kelambu Darah!"
"Ingat, kalau kau tak cepat memberikan pedang pusaka itu, berarti
masa bulan madu kita tertunda lagi!"
"Tidak! Tidak akan terlambat lagi, Sayang. Tidak lama lagi kau
akan dapatkan pedang pusaka itu, biar kau semakin kuat dan cepat menjadiseorang
ratu! Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan Pedang Guntur Biru itu,
tapi... tapi...."
"Tapi apa?!" tukas Dewi Kelambu Darah melihat Barong Geni
kelihatan gelisah. Lalu, Barong Geni ucapkan kata,
"Tapi... tapi bagaimana aku bisa kalahkan mereka jika tanganku dua-duanya
terpatung kaku begini?! Aku tak bisa melancarkan pukulan 'Tapak
Geni'-ku?!"
Dewi Kelambu Darah sunggingkan senyum. "Dengan anak kemarin sore
saja kamu bisa dipermainkan begitu?! Bagaimana jika kamu menghadapi lawan yang
berilmu tinggi?!"
"Aku sedikit lengah tadi. Sungguh kuakui, aku lupa bahwa dia punya
jurus totok melalui senyumannya! Tapi lain kali takkan kubiarkan dia tersenyum walau
sekejap pun!"
Kali ini bibir Dewi Kelambu Darah sunggingkan senyum meremehkan Barong Geni.
Makin malu Barong Geni melihat senyum keremehan seperti itu. Makingeram ia pada
Intan Selaksa. Tapi ia segera sadar bahwa ia tidak hanyabisa menggeram menahan
amarah saja. Ia harus melepaskan kemarahannya kepada Intan Selaksa. Namun ia
butuh bantuan Dewi Kelambu Darah untuk melepaskan totokan pada jalur darah
kedua tangannya itu.
"Kelambu Darah, kumohon kau mau melepaskan totokan ini, supaya
pusaka Pedang Guntur Biru bisa cepat kudapatkan dan kuserahkan padamu, seperti aku
menyerahkan kitab pusaka itu!"
Dewi Kelambu Darah masih sunggingkan senyum sinis berkesan meremehkan. Tapi
matanya masih tetap pandangi kedua tangan Barong Geni.
Wusss...! Tiba-tiba kedua tangan Barong Geni jatuh lemas. Rupanya Dewi Kelambu
Darah sudah melepaskan pengaruh totokan itu melalui pandangan mata yang
mempunyai kekuatan dahsyat itu. Barong Geni menghembuskan napas lega dan
menggerak- gerakkan tangannya agar rasa pegal hilang secepatnya. Jari-jarinya
pun dikembang-kuncupkan karena tanpa begitu, semua urat terasa kaku.
"Ingat, Barong Geni... semalam kulihat rembulan purnama mempunyai
garis hitam yang bagai ingin memotong pertengahan rembulan. Itu pertanda alam kesucian
telah terbuka. Jangan biarkan rembulan tak bergaris lagi. Karena itu pertanda
alam kesucian tertutup kembali. Jika alam kesucian tertutup kembali, maka sekian tahun
lagi Pedang Guntur Biru bisa dicuri orang. Jadi, jangan sampai kau terlambat,
Barong Geni! Sekaranglah saatnya mencuri pedang pusaka itu, selagi alam
kesucian terbuka!"
"Aku sangat mengerti, Kelambu Darah!"
"Kalau kau terlambat, menunggu sekian tahun lagi kita baru bisa
berbulan madu. Padahal sebenarnya aku sudah tak tahan, Barong," kata Dewi
KelambuDarah sambil mendekati lelaki itu dan menatapnya dengan mata sendu, seakan
sebuah ajakan untuk bercumbu.
Rambut Barong Geni diusap-usapnya dengan lembut, penuh kemesraan.
Sambil tubuhnya merapat di belakang Barong Geni dan dengus napasnya terasa hangat
di tengkuk kepala dan leher Barong Geni. Terbakar darah kejantanan Barong Geni
manakala ia mendengar bisikan Dewi.
"Jangan sampai pria lain yang menyerahkan pedang itu padaku,
karena jika orang lain yang serahkan maka itu berarti aku harus menikah dengan
pria lain itu, Barong! Dapatkan segera Pedang Guntur Biru di dalam kuil itu! Aku
tak tahan menunggu masa bulan madu kita tiba, Barong! Oh... dapatkan pedang
itu, Sayang...!"
Dewi Kelambu Darah menggelendot di pundak. Barong Geni makin berdetak keras
jantungnya. Ia ingin mencium, tapi yang mau dicium segera undurkan diri dengan
menggoda. Mata Dewi Kelambu Darah tetap memandang penuh daya rangsang yang
memabukkan jiwa. Tak tahan Barong Geni melihatnya.
"Sekarang juga aku akan kembali ke kuil itu, Dewi! Sabarkan
hasratmu. Tak lama lagi bulan madu kita akan tiba!"
"Yah, lekaslah bertindak! Karena hanya kau yang tahu seluk-beluk
kuil itu, maka kaulah yang masuk ke sana! Kalau Gincu Mayat turut campur, aku yang
menghabisi nyawanya. Kau tak perlu layani dia!"
"Jadi kau akan mendampingiku dari belakang, Dewi?"
"Ya. Karena aku tak mau kehilangan kamu!" jawab Dewi Kelambu
Darah yang membuat Barong Geni semakin bersemangat untuk mendapatkan Pedang
Guntur Biru.
"Aku berangkat sekarang! Jaga dirimu baik-baik di
belakangku!" Ucap Barong Geni dengan penuh keperkasaan dan kegagahan ia
melangkah menunaikan tugas setia seorang calon suami.
Dewi Kelambu Darah tertawa terkikik setelah Barong Geni pergi. Dalam hatinya,
Kelambu Darah ucapkan kata,
"Manusia bodoh! Sekalipun dia dapatkan pedang pusaka itu, siapa
yang mau menjadi suaminya? Puih...! Tak sudi aku bergelut di atas ranjang dengannya!
Menjijikkan! Tapi, untuk sementara ini aku harus mendorong semangatnya dan menjaganya dari
belakang! Kuperlukan tenaganya untuk
mencuri pedang pusaka itu! Siapa pun akan tahu jika terjadi heboh nanti, bahwa
pusaka Pedang Guntur Biru dicurioleh murid murtadnya Begawan Sangga Mega! Dunia
akan mengecam dia! Dia akan diburu oleh banyak orang, sementara aku bisa
melarikan diri dantenggelam untuk beberapa saat! Setelah itu aku akan muncul
sebagai ratu yang punya banyak rakyat, karena mereka tak ada yang tahu bahwa
akulahotak pencurian pusaka Pedang Guntur Biru itu! Hi hi hi...!"
Dewi Kelambu Darah cepat mengikuti kepergian Barong Geni. Tak disadarinya,
Panji Tampan yang belum mati hanya dalam keadaan parah itu, telah mendengar
suara percakapan mereka tadi. Ia tahu apa yang akan dilakukan oleh Barong Geni
dan Dewi Kelambu Darah.
Sambil menahan luka berat, Panji Tampan berusaha untuk bangkit dan berdiri
berpegangan batang pohon. Hatinya mulai membatin,
"Tak mungkin kususul sekarang juga, keadaanku sangat parah! Aku
harus pulang temui Guru dan menceritakan tentang Pedang Guntur Biru itu. Pasti Guru
tahu apa dan bagaimana pedang pusaka tersebut! Jika memungkinkan, aku mau merebut
pedang pusaka itu dari tangan Barong Geni, bukan untuk kuserahkan kepada Dewi
Kelambu Darah, tapi untuk kumiliki sendiri! Dewi Kelambu Darah ternyata racun
dalam hidupku!"
Geram sekali Panji Tampan setelah menyadari bahwa ternyata Dewi Kelambu
Darah memang ada hubungan dongan Barong Geni. Selama ini, Panji Tampan tidak
menduga bahwa rayuan Dewi Kelambu Darah hanya racun bagi hidupnya. Dewi Kelambu Darah sering mengeluh dan merasa
diganggu oleh Barong Geni. Nyatanya, justru Dewi Kelambu Darah sendiri yang
nyosor kepada Barong Geni. Akibatnya, timbul rasa benci dalam hati Panji Tampan
dan lebih parah lagi rasa benci itu menjadi dendam, karena merasa ditipu dan dipermainkan.
"Kalau perlu kurebut pedang itu dan kupakai membunuh Dewi Kelambu
Darah yang telah tega melukaiku separah ini!" pikir Panji Tampan dengan
dendam menyentak-nyentak dada.
*
***
KUIL Swanalingga berupa bangunan batu tanpa semen atau bahan perekat. Begawan
Sangga Mega membangun kuil tersebut dengan kekuatan tenaga dalamnya yang tinggi,
di mana setiap batu direkatkan memakai hawa lekatyang keluar dari telapak
tangannya. Kuil itu sulit dirubuhkan karenaperekat yang dipakai benar-benar
perekat istimewa.
Di sana terdapat ruang pemujaan dan ruang semadi yang dinamakan kamar Cipta
Hening. Kuil itu terdiri dari tiga bangunan berbentuk stupa candi. Satu
bangunan besar tempat pemujaan dan tempat kamar Cipta Hening, dua bangunan lagi
digunakan untuk beristirahat para murid Begawan Sangga Mega sebelum wafat
dibunuh oleh Tapak Baja. Salah satu dari dua bangunan itu sering digunakan
untuk menerima tamu atau memberi wejangan bagi para murid Begawan Sangga Mega.
Kuil itu dulu pernah diserang oleh pasukan Chubi, dari Tiongkok. Semua murid
habis binasa kecuali Intan Selaksa dan Barong Geni. Dua murid kesayangan
Begawan Sangga Mega itulah yang menjadi penerus ilmu-ilmu kesayangan Begawan
Sangga Mega. Tapi sayang sekali, Barong Geni murtad dengan mencuri kitab pusaka
untuk diserahkan kepada Dewi Kelambu Darah sebagai tanda cintanya. Dengan
diusirnya Barong Geni, maka hanya Intan Selaksa satu-satunya pewaris semua ilmu
yang dimiliki Begawan.
Sayang sekali ketika Intan Selaksa pergi ke Lembah Tengkorak untuk melenyapkan
giok penyebar penyakit yang ada di sana, Tapak Baja datang mengincar Pedang
Guntur Biru. Begawan Sangga Mega tak mau serahkan pedang itu, sekalipun hanya
dengan dalih dipinjamkan. Tapak Baja sakit hati. Lalu, dengan cara licik ia
membunuh Begawan Sangga Mega. Ketika Intan Selaksa kembali dari meleburkan batu
giok penyebar penyakit di Lembah Tengkorak, ia sudah temukan gurunya tak
bernyawa lagi, tanpa tahu siapa pembunuhnya.
Mulanya Intan menyangka Barong Geni yang membunuh gurunya. Tapi dilihat
dari bekas pukulan lawan di tubuh Begawan, jelas bukan jurus pukulan milik
Barong Geni, bahkan bukan pula milik pukulan Dewi Kelambu Darah, yang
bercita-cita ingin menjadi ratu itu.
Tetapi jauh sebelum Intan Selaksa mendapat tugas menghancurkan batu
giok penyebar penyakit di Lembah Tengkorak, Begawan Sangga Mega pernah berkata,
bahwa kelak apa pun yang terjadi, Intan Selaksa harus mempertahankan kuil itu
dan melindungi dari jamahan tangan-tangan sesat. Tak boleh ada yang merusak
kuil itu, tak boleh ada yang masuk ke kamar Cipta Hening, sampai suatu saat
nanti kuil itu akan lenyap dengan sendirinya, dan Intan Selaksa akan menerima
titisan ilmu dari semua ilmu yang dimiliki Begawan Sangga Mega.
Intan Selaksa mematuhi tugas sebagai juru kunci Kuil Swanalingga sejak kematian
gurunya. Sampai suatu saat, ia melihat seorang perempuan yang terdesak dengan
luka berdarahnya dari serangan dua orang lelaki tak dikenal oleh Intan Selaksa.
Merasa iba melihat nasib perempuan itu, Intan Selaksa cepat ambil tindakan
selamatkan perempuan itu. Ilmu pengobatan dari gurunya digunakan, dan perempuan
itu selamat dari maut yang nyaris merenggut nyawanya. Perempuan itulah yang
kemudian dikenal dengan nama Gincu Mayat. Dia murid tokoh sesat si Bungkuk
Jagal, penguasa Tanah Merah.
Gincu Mayat dikenal sebagai murid liar si Bungkuk Jagal, karena sampai berusia
tiga puluh tahun lebih ia masih berkeliaran mencari tempat kehidupan dan jati
dirinya, yang membuat ia hidup penuh gejolak gairah kepada siapa pun yang
diinginkannya. Gairah itu membuat ia menjadi liar jika tidak tersalurkan, juga
menjadi buas setelah tersalurkan. Karena itu, tak pernah ada lelaki yang tetap
hidup setelah bercinta dengan Gincu Mayat, dan tak ada lelaki yang tetap hidup
jika menolak rayuan mesra Gincu Mayat.
Intan Selaksa tidak mau terpengaruh kehidupan sesat si Gincu Mayat. Karena
itu, ia menjauhkan diri, walau tidak membuka pintu permusuhan dengan Gincu
Mayat. Sikap baik dari Intan Selaksa membuat Gincu Mayat sesekali bertandang ke
Kuil Swanalingga sebagai seorang sahabat saja. Mengingat hidup mereka sama-
sama diterkam sepi, tanpa pendamping, tanpa saudara, tanpa Guru, maka mereka
sering saling bertukar rasa, bertukar pendapat dan bertukar pengalaman. Intan
Selaksa selalu menerima tamunyadi ruang khusus untuk menerima tamu, yang dulu
sering pula dipakai untuk mendengarkan wejangan dari Begawan Sangga Mega.
Tetapi kali ini Intan Selaksa punya rasa atas pembelaan diri Gincu
Mayat terhadap dirinya. Jika waktu tadi Gincu Mayat tak muncul, mungkin Intan Selaksa
sudah tak bernyawa lagi dihantam habis oleh Barong Geni, orang yang sering
menghalalkan cara demi mencapai kebutuhan pribadinya. Intan Selaksa merasa
sangat beruntung dengan kedatangan Gincu Mayat itu. Bahkan setelah ia sembuhkan
luka-lukanya dengan ramuan peninggalan mendiang gurunya, Intan Selaksa ucapkan
kata kepada Gincu Mayat,
"Pertolonganmu sangat berharga bagiku, karena tepat pada waktunya.
Aku tak tahu harus membalas dengan cara bagaimana untuk menghargai pertolonganmu,
Gincu Mayat!"
"Sudah kubilang tadi, aku hanya membalas hutangku kepadamu! Dengan
begini, kita impas. Kita tak punya hutang nyawa lagi!"
"Kau begitu baik padaku, Gincu Mayat! Di tengah sepiku menunggu
saat kepergianku tiba sebagai penjaga kuil ini, hanya kau teman yang sering mengisi
kesunyian hati ini!"
"Mengapa tak cari teman pria yang bisa mengisi hatimu?!"
pancing Gincu Mayat. "Aku bisa mencarikan lelaki yang bisa kau pakai
hiburan setiap malam atau kapan saja kau inginkan!"
Intan Selaksa hanya sunggingkan senyum berlesung pipit itu, kemudian ia
ucapkan kata,
"Lelaki bukan jaminan pengisi hati yang damai! Lelaki kadang menghadirkan
sejuta keresahan di hati, dan menjadi sang penyiksa jiwa! Rasa-rasanya belum
waktunya aku berurusan dengan masalah hati lelaki."
"Hi hi hi...!" Gincu Mayat tertawa. Bodoh amat kau! Lelaki
memang bukan jaminan pengisi hati yang damai, tapi lelaki bisa kita jadikan
alat hiburan! Jangan jadikan lelaki pengisi hati, bisa ngelunjak dia, Intan Selaksa!
Hi hi hi...! Hidup seperti aku inilah contoh hidup yang tak pernah merasa disiksa jiwanya oleh lelaki,
melainkan dipuasi batinnyaoleh kelemahan lelaki yang bisa kupermainkan kapan
saja! Nyawa lelakipun bisa kupermainkan dengan sekehendak hatiku! Hi hi
hi...!"
Hanya senyum yang ada di wajah Intan Selaksa kala itu. Langkah kakinya pelan
mengikuti irama langkah kaki Gincu Mayat. Hanya langkah kaki itu yang bisa
didampingi dan diikuti, tapi cara hidup dan jiwa liar dari Gincu Mayat tak bisa
diikuti oleh Intan Selaksa.
Langkah kaki Gincu Mayat setelah mengitari taman di depan kuil, tiba-tiba
terhenti di depan ruang pemujaan yang berpintu lengkung tanpa daun pintu. Di
dalam sana terdapat pintu batu yang tertutup rapat. Pintu batu itulah penutup
rapat ruang atau kamar semadi yang dinamakan kamar Cipta Hening.
"Intan Selaksa, sejak aku sering datang bertandang kemari aku tak
pernah melihat pintu kamar itu terbuka. Apakah tidak pernah kau
bersihkan?"
"Tidak," jawab Intan Selaksa. "Itu kamar larangan. Guru
tak pernah izinkan siapa pun masuk ke kamar itu, termasuk aku. Aku hanya
diizinkan memegang kuncinya dan membersihkan bagian luarnya saja!"
"Apa yang ada di dalam kamar itu sebenarnya, Intan Selaksa?"
"Entahlah! Sejak aku tinggal di sini menjadi murid Begawan Sangga
Mega, aku belum pernah masuk ke kamar semadi itu. Dan aku tidak pernah punya rasa
ingin tahu dengan isi kamar tersebut!"
Kepala Gincu Mayat mengangguk-angguk sambil bergumam kecil. Kemudian ia
coba bertanya,
"Apakah kamar itu tempat menyimpan pusaka- punnka milik
gurumu?"
"Setahuku guru tidak mempunyai pusaka apa-apa, kecuali ilmunya
sendiri itulah pusakanya," jawab Intan Selaksa menjelaskan.
"Bukankah gurumu punya pusaka Pedang Guntur Biru?"
"Menurut kabarnya begitu, tapi guru tidak pernah membicarakan
kepadaku tentang pusaka Pedang Guntur Biru. Aku jadi sangsi, apakah benar Guru memiliki
pusaka itu?"
"Mungkin dia simpan di dalam kamar tersebut, Intan!"
"Itu pun aku tak pasti. Antara percaya dan tidak, sebab aku belum
pernah melihat Guru memegang pusaka Pedang Guntur Biru. Tetapi menurut cerita orang-orang yang pernah kutemui, Begawan
Sangga Mega mempunyai pusaka tua yang bernama Pedang Guntur Biru. Pedang itu
bisa menyerang dari jarak cukup jauh, bisa membikin kebal pemiliknya, dan bisa
membuat pemiliknya terbang oleh kekuatan pedang pusaka tersebut. Hanya itu yang
bisa kujelaskan kepadamu jika kau bertanya tentang pusaka Pedang Guntur Biru."
Gincu Mayat tersenyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya sambil ucapkan
kata, "Apakah kau tak berhasrat memiliki pusaka Pedang Guntur Biru?"
"Aku tidak berani punya hasrat seperti itu!" jawab Intan
Selaksa jujur. Karena dia memang perempuan yang polos dan menyukai kejujuran.
"Kalau kau memiliki Pedang Guntur Biru, kau akan menjadi orang
sakti yang sulit ditumbangkan. Mungkin pula tak ada tandingannya!"
"Apakah begitu sifat orang yang memiliki pusaka Pedang Guntur
Biru?" Intan Selaksa justru merasa heran dengan penjelasan Gincu Mayat.
Karena menurut pendapatnya, jika benar apa yang dikatakan Gincu Mayat, lantas mengapa
sang Begawan Sangga Mega mati di tangan orang? Bukankah Begawan Sangga Mega
dikenal sebagai pemilik pusaka Pedang Guntur Biru?
"Mendiang guruku sendiri pernah menceritakan hal itu padaku, dan
ia kagum dengan kesaktian dan kehebatan yang dimiliki Pedang Guntur Biru! Tetapi
ia juga mengatakan, tak ada orang yang bisa mencuri atau merebut pedang itu
dari tangan gurumu! Hanya saja, sekarang sang Begawan Sangga Megah toh sudah tiada. Tak ada salahnya jika
kau sebagai murid kesayangannya menjadi pewaris Pedang Guntur Biru itu!"
"Tapi aku tak pernah melihat pedang itu ada di kuil ini!"
"Mungkin terlalu rahasia, sehingga gurumu tidak tunjukkan pedang
itu kepada siapa pun termasuk muridnya. Tapi jika kau memeriksa bagian dalam kamar
Cipta Hening itu, kau baru akan melihat seperti apa bentuk dan wujudnya pusaka
Pedang Guntur Biru itu."
"Apakah menurutmu, Guru memang menyimpannya di kamar Cipta Hening
itu?" tanya Intan Selaksa bernada sangsi.
"Jika kamar itu tidak dipakai menyimpan Pedang Guntur Biru,
mengapa gurumu tidak mengizinkan siapa pun masuk ke sana? Larangan itulah yang sebenarnya
merupakan jawaban dari pertanyaan di mana Pedang Guntur Biru disimpan oleh
gurumu, Intan!"
Intan Selaksa diam dalam renungan yang panjang. Lalu, Gincu Mayat
segera mendesak,
"Cobalah, buka pintu kamar itu dan periksalah dalamnya."
"Aku... aku tidak berani, Gincu Mayat! Aku sangat menjunjung
tinggi
perintah Guru dan menghargai larangan Guru. Aku tidak berani melanggar satu
pun dari apa yang dilarang beliau!"
"Hi hi hi...! Kau memang murid yang patuh, Intan Selaksa, tapi kau
juga murid yang bodoh! Kepatuhanmu itu memang berharga jika gurumu masih hidup.
Tapi sekarang gurumu sudah wafat, kepatuhan itu tak perlu ada lagi! Justru
gurumu itu sangat berharap kau bisa mengambil gagasan sendiri untuk bertindak
tanpa diri beliau!"
"Gagasan...?!" Intan Selaksa makin kerutkan dahi.
"Ya. Setiap orang berhak punya gagasan sendiri dalam
bertindak!"
Tiba-tiba Gincu Mayat sentakkan tangannya, mendorong tubuh Intan
Selaksa dengan kuat. Intan Selaksa jatuh terjungkal ke tanah. Gincu Mayat berkelebat
lompat ke kiri sambil tangannya menyambar sesuatu yang melayang cepat bagaikan
anak panah. Wussst...! Tap...!
"Hei, kenapa kau mendorongku sekasar itu, Gincu Mayat?!"
sentak Intan Selaksa. Gincu Mayat tidak menjawab. Matanya tajam memandang
sekeliling halaman kuil, terutama di atas tembok pagar berbatu hitam itu. Kejap
berikut, Gincu Mayat segera dekati Intan Selaksa dan ulurkan tangannya. Tangan
yang menggenggam itu membuka telapaknya, lalu tampaklah sebuah pisau kecil
seukuran kelingking bergagang hitam dengan ujungnya yang runcing tajam.
"Seseorang ingin membunuhmu!" kata Gincu Mayat.
Intan Selaksa terkesiap memandang pisau kecil yang berhasil ditangkap oleh
Gincu Mayat. Lekas-lekas ia pandangkan matanya ke sekeliling, dan ia susuri
setiap tempat, pohon, dan atap bangunan kuil. Tak ada orang di sana, tak ada
tempat yang patut dicurigai.
"Pisau ini beracun ganas jika sampai menggores kulit tubuh
manusia," kata Gincu Mayat. "Orang yang tergores atau terkena pisau
kecil ini akan hangus terbakar dan tak dapat ditolong lagi!"
"Dari mana kau tahu?"
"Aku kenal pemiliknya!" jawab Gincu Mayat.
"Siapa pemiliknya? Apakah Barong Geni atau Dewi Kelambu
Darah?"
"Bukan!" jawab Gincu Mayat dengan tegas. "Pisau ini
milik seorang tokoh tua dari Pantai Selat Mati."
"Maksudmu... Eyang Sambar Jantung?"
"Benar!"
"Tidak mungkin!" sanggah Intan Selaksa. "Eyang Sambar
Jantung adalah teman baik Begawan Sangga Mega! Ia juga baik kepadaku!"
"Di balik kebaikan seseorang tak mungkinkah tersimpan
kebusukan?"
"Ya. Memang. Tapi tidak begitu untuk Eyang Sambar Jantung!"
Baru saja Intan Selaksa selesai bicara begitu, tiba-tiba Gincu Mayat terpekik,
"Awas...!" sambil ia sentakkan kaki dan melenting di udara, demikian
pula halnya dengan gerakan mendadak Intan Selaksa. Tubuhnya sempat bersalto
satu kali di udara. Dan pada waktu itu, Intan Selaksa sempat melihat gerakan
benda hitam yang melesat cepat, lalu menancap di sebuah pohon yang ada di sudut
halaman Kuil Swanalingga.
Pohon itu berdaun lebat, rindang, dan teduh jika digunakan untuk duduk-duduk
di bawahnya pada siang hari. Tapi ketika benda hitam kecil itu menancap di
batang pohon itu dengan suara halus, hampir tak terdengar, tiba-tiba daunnya
menjadi kuning. Daun itu mengalami perubahan sangat cepat, dari kuning menjadi
coklat, lalu berguguran bagaikan bunyi suara hujan deras. Ranting-rantingnya
ikut beterbangan, bahkan dahannya ada yang patah sendiri. Dan dalam waktu yang
sangat singkat, pohon itu menjadi gundul tanpa ranting. Batangnya yang masih berdahan
sebagian itu menjadi keropos dengan warna hitam, bagaikan sebatang pohon yang
sudah terbakar sejak puluhan tahun yang lalu.
Tentu saja pemandangan seperti itu memukaukan mata Intan Selaksa. Terbayang
ngeri di benaknya, jika sampai pisau kecil itu menancap pada bagian tubuhnya,
sudah pasti dirinya akan mengalami nasib mengenaskan seperti pohon besar itu.
Wuttt...! Intan Selaksa lekas lompatkan diri, bersembunyi di dalam
ruang pemujaan. Waktu itu, Gincu Mayat cepat sentakkan kaki dan menyusul Intan Selaksa
dengan gerakan lompat yang amat ringan dan cepat. Wesss...! Mereka berdua
bersembunyi di sana dengan mata memandang tajam ke arah sekeliling.
Tak ada manusia, tak ada gerakan. Bahkan angin pun bagaikan berhenti, hingga
daun yang berguguran itu tak sempat bergerak sedikit pun. Alam bagaikan mati
tanpa bunyi hening yang semestinya timbul akibat hembusan angin tipis. Senyap
sekali kuil tersebut.
Tapi tiba-tiba suara deru terdengar dari kejauhan. Deru itu makin lama semakin
mendekat, menghadirkan hembusan angin yang membuat daun-daun kering
beterbangan. Deru itu bertambah jelas dan keras, membuat pohon-pohon meliukkan puncaknya, bagian
pintu pagar yang terbuat dari besi berjeruji yang amat kekar itu terhempas
membuka dalam satu sentakan keras. Trangng!
Angin badai terasa menghadirkan kesejukan yang cukup tinggi, dan makin lama
makin dingin. Dahan pohon lainnya terdengar berderak patah. Tubuh mereka di
ruang pemujaan tak berdaun pintu itu menjadi saling berpegangan tiang penyangga
atap pintu lengkung.
"Angin apa ini? Kerasnya bukan main?!" seru Intan Selaksa
mengimbangi suara deru yang memekakkan telinga.
"Entahlah! Mungkin ini yang dinamakan Angin Setan!"
"Angin Setan apa?"
"Angin Setan yang hanya datang sewaktu-waktu jika diinginkan oleh pemiliknya!"
seru Gincu Mayat, rambutnya beterbangan ke arah belakangnya. Matanya menyipit
menahan derasnya angin menerpa.
"Siapa pemilik Angin Setan ini?!"
"Siapa lagi kalau bukan Sambar Jantung!"
Di hati Intan Selaksa menggumamkan nama itu dengan nada heran sekali,
ia kenal betul dengan Eyang Sambar Jantung. Hubungannya nyaris seperti hubungan
antara murid dan guru, karena Sambar Jantung sering kasih saran dan pandangan
hidup kepada Intan Selaksa. Bahkan sering juga Sambar Jantung mengingatkan
kepada Intan agar menjadi murid yang baik yang selalu taat kepada perintah dan
ajaran gurunya.
Jika benar Sambar Jantung yang bikin ulah seperti ini, lantas apa maksudnya?
Apa pula maksud Sambar Jantung dua kali melepaskan pisau beracun untuk membunuh
Intan? Atau, jangan-jangan yang jadi sasaran adalah Gincu Mayat? Bukan Intan
Selaksa? Rasa- rasanya sangat aneh sekali dan tak mudah dipercaya bahwa Eyang
Sambar Jantung bermaksud membunuh Intan Selaksa. Rasa-rasanya tak pernah ada
kesalahan yang dibuat Intan terhadap Sambar Jantung.
Hembusan angin badai masih terasa kuat dan semakin besar saja. Di luar pagar
kuil, jauh di sebelah barat sana, terdengar sebuah pohon yang tumbang dengan
menimbulkan dentuman yang mengguncangkan tanah. Daun-daun kering yang gugur
dari pohon hangus seketika itu sudah beterbangan keluar dari pagar kuil yang
tingginya mencapai tiga atau empat tombak, dengan ketebalannya mencapai tiga
jengkal atau setengah ukuran tombak.
Bahkan sekarang angin badai aneh itu menghadirkan bintik-bintik putih seperti
tepung. Bintik-bintik putih itu menerpa dedaunan atau benda apa pun. Semakin
lama semakin banyak jumlahnya, membuat satu batang pohon dalam sekejap berubah
menjadi putih bagaikan dibungkus kapas. Tapi pada saat itu udara terasa sangat
dingin. Kian lama kian membuat Intan Selaksa menggigil.
"Serbuk apa itu yang membawa hawa sedingin ini?!" seru Intan
Selaksa dari tempatnya yang berjarak empat langkah dari Gincu Mayat.
"Salju!" jawab Gincu Mayat. Suaranya keras juga.
"Salju...?!" suara Intan Selaksa bernada heran sekali.
"Mengapa ada salju di sini?"
"Seseorang telah menghadirkan badai salju!"
"Siapa?"
"Tentunya si Penguasa Pantai Selat Mati itu! Sambar Jantung!"
"Mana mungkin beliau? Untuk apa Eyang Sambar Jantung sampai
menghadirkan badai salju kemari?!"
"Kurasa dia juga inginkan pusaka Pedang Guntur Biru!"
"Apa...?!" Intan terkejut dan terpekik di sela deru angin
kencang yang hadirkan butiran salju semakin banyak itu.
***
4
SALJU menyelimuti Kuil Swanalingga. Udara dingin yang dihadirkan oleh angin
salju membuat kedua tubuh perempuan itu saling menggigil. Tetapi curahan hujan
salju yang mirip serbuk tepung putih itu telah berhenti.Badainya pun hilang.
Anginnya bertiup semilir.
Hening mencekam sekeliling. Intan Selaksa keluar dari bangunan
pemujaan, ia memeriksa sekeliling kuil. Tak ada sesuatu yang aneh ditemukan di sekeliling
kuil, kecuali beberapa pohon melengkung akibat badai tadi, dan beberapa dahan
patah jatuh ke tanah. Lebih dari itu, hanya putih salju yang membungkus tiap benda yang
terlihat di sana. Intan Selaksa pun cepat memeriksa daerah sekeliling pagar
bumi itu, ia segera keluar dari halaman kuil.
Pada saat itu, Intan Selaksa tak menyadari adanya bahaya di ruang pemujaan.
Gincu Mayat telah gunakan kesempatan itu untuk memeriksa ruang pemujaan. Altar
tempat lilin-lilin dinyalakan itu diperiksa dengan teliti. Bagian-bagian yang
tertutup, yang bercelah, yang bisa digeser dan dibuka-tutup, Juga diperiksanya
dengan cermat. Tapi ia tidak menemukan sesuatu yang dicari atau yang
mencurigakan.
Langkah kakinya masih bergerak pelan sambil matanya mengelilingi
seluruh tempat itu. Lantai pun disentak-sentakkan pakai kaki, mencari kemungkinan
adanya suara geduk yang berongga. Jika ada suara gedukan kaki berongga, itu
pertanda ada ruang bawah tanah. Tapi beberapa lantai yang sempat diperiksanya,
tidak ada yang punya suara geduk sedikit menggema. Itu artinya tak ada ruang
bawah tanah di bawah bangunan tersebut.
Kini, Gincu Mayat tiba di depan kamar Cipta Hening, ia pandangi dinding
dan pintu lebih dulu. Susunan batu diperhatikan semua. Tapi tak ada yang bisa
dijadikan alasan sebagai sesuatu yang perlu dicurigai. Susunan batu itu merapat
lekat tak sedikit pun bisa digeser atau dilepas.
Pintu dipandanginya. Pintu itu terbuat dari lempengan baja yang sangat kokoh
dan tua. Warnanya sudah berubah hitam keabu-abuan. Pintu itu tidak berengsel.
Jadi menurut dugaan Gincu Mayat, pintu itu bergerak menggeser ke kiri atau ke
kanan jika ingin membukanya. Tak ada lubang yang bisa dipakai untuk mengintai
keadaan di dalam ruangan tersebut. Pintu sangat rapat.
Gincu Mayat mencoba menggeser pintu, mendorong ke kiri atau ke kanan. Tapi
pintu tidak bergeming. Ketebalannya ada satu jengkal menurut dugaan Gincu
Mayat. Dihantam pakai tangan pun suaranya tak menimbulkan gema. Duggg...! Hanya
seperti dinding cadas yang dipukul dengan tangan kosong.
"Bagaimana jika didobrak?" pikir Gincu Mayat. Pertimbangannya
memutuskan untuk mencoba mendobrak pintu tersebut dengan kekuatan tenaga
dalamnya. Maka, Gincu Mayat cepat mengundurkan diri lima tindak. Dari sana ia sentakkan
kedua tangannya dalam keadaan telapak tangan terbuka ke depan. Wouggh...!
Hembusan tenaga dalam melesat begitu besar. Biasanya bisa menumbangkan pohon
besar hingga tercabut akarnya. Tapi kali ini, ternyata kekuatan itu tak bisa
dipakai untuk mendobrak pintu baja keabu-abuan itu.
Gincu Mayat segera berdiri tegak dengan kaki melenggang. Lalu kakinya itu
tiba-tiba merendah, dan tangan kanannya menuding memakai jari tengah. Tangan kirinya bagai mendorong
pergelangan telapak tangan kanan. Tangan itu bergerak maju dengan kuat dan
sedikit gemetar karena tenaga dikerahkan ke arah tangan kanan.
Dari jari tengah yang menuding kaku itu melesat sinar hijau. Sinar itu memanjang
sampai membentur pintu kamar Cipta Hening itu. Wuuttt...! Sinar itu terus
memancar tiada putusnya, bergerak pelan menyusuri tepian pintu, sampai
membentuk gerakan sesuai dengan keliling pintu tersebut.
Zubb...! Pijar sinar hijau itu padam. Gincu Mayat menarik napas dalam-dalam,
ia siap mendobrak pintu yang sudah dipotong memakai sinar hijau tadi. Tapi,
Gincu Mayat merasa sangsi.
"Tak ada bekas meleleh pada bagian yang sudah kupotong?!"
ucapnya dalam hati, "Bau terbakar pun tak ada! Hangus pun tidak pintu itu.
Apakah itu berarti pintu sudah terpotong atau tetap utuh?"
Gincu Mayat segera mendekati dan mencoba mendorongnya pelan-pelan untuk
mengetahui keadaan pintu. Ternyata masih kokoh, utuh dan tidak lecet sedikit
pun. Gincu Mayat berpikir, seandainya didobrak memakai tendangan tenaga dalam
juga percuma, sebab pintu itu lebih kokoh daripada bukit batu.
"Aduh, gatal juga telapak tanganku jadinya?" ucapnya lirih
sambil telapak tangannya saling digosok- gosokkan untuk menghilangkan rasa gatal.
Gincu Mayat belum menyadari, bahwa rasa gatal itu telah membuat telapak
tangannya menjadi merah. Sambil memikirkan cara membuka pintu kamar Cipta
Hening, ia menggosok-gosokkan telapak tangan semakin keras.
Pintu dicoba untuk ditendangnya dalam satu lompatan dari jarak lima tindak.
Wusss...! Dugggh...! Tak ada gerakan pada pintu, tapi tubuh Gincu Mayat terpental
ke belakang dan jatuh nyaris terlentang.
"Gila! Pintu itu punya kekuatan membalikkan pukulan tenaga dalam!
Sama saja aku menendang diriku sendiri tadi?!"
Gincu Mayat bangkit. Telapak tangannya gigih digaruknya. Tapi pada saat
itu terdengar suara berucap dari arah belakangnya,
"Sebentar lagi akan buntung kedua tanganmu itu, Anak Manis!"
Terkejut Gincu Mayat mendengar sapaan itu. Ia cepat palingkan wajah dan
kerutkan dahi. Seorang lelaki tua yang rambut dan kumisnya telah beruban seperti
jenggotnya, telah berdiri di sana, mengenakan pakaian abu-abu dengan kainnya
yang menyilang di dada sampai pundak. Pundak satunya bebas tak tertutup kain.
Dari rambut putihnya yang botak di bagian dekat dahi itu, Gincu Mayat segera
mengenali orang tersebut, yang tak lain adalah si Sambar Jantung. Jari-jari
kesepuluh kukunya itu berwarna hitam runcing walau tak terlalu panjang. Kuku
itu kelihatan keras bagaikan besi baja,
atau mirip kuku elang jantan. Melihat kuku hitam keling itu, Gincu Mayat
semakin yakin bahwa orang tersebut dikenal sebagai Penguasa Pantai Selat Mati
yang tadi melemparkan pisau kecil bergagang hitam.
Gincu Mayat menantang tatapan mata tua yang masih tajam itu. Bahkan Gincu
Mayat berani ucapkan kata ketus,
"Sudah kuduga kau datang juga kemari setelah melihat rembulan
bergaris, tadi malam!"
"Rupanya kau mengerti juga rahasia rembulan bergaris, Anak
Manis?!" kata si Sambar Jantung dengan senyum tuanya yang peot.
"Aku bukan orang bodoh, Pak Tua! Aku juga sudah lama menunggu
munculnya rembulan bergaris. Sudah lama kutahu rahasia itu!"
"He he he he... tapi kau tak tahu rahasia membuka pintu kamar itu,
Anak Manis! Lihatlah, tanganmu sudah mulai parah!"
Gincu Mayat tak sadar bahwa sambil bicara ia sejak tadi menggaruk telapak
tangannya secara bergantian. Rasa gatal amat mencekam dan menjengkelkan. Tapi
ketika ia pandangi telapak tangan itu, ternyata kulitnya sudah terkelupas
banyak. Warna merahnya sudah berupa merah darah bercampur serat daging.
Gincu Mayat tersentak kaget menyadari keadaan kedua telapak tangannya. Anehnya,
tak ada rasa sakit dan perih sedikit pun kecuali rasa gatal yang semakin lama
semakin menuntut untuk terus digaruk lebih kuat lagi. Bilamana perlu digaruk
memakai ujung garpu runcing.
Sambar Jantung terkekeh lagi dan ucapkan kata,
"Racun Kulit Peri memang ganas, tapi tak membuat korbannya
kesakitan! Sebentar lagi kedua telapak
tanganmu itu akan bolong, lalu terpotong dengan sendirinya! Tapi rasa gatal
masih tetap menjalar ke lengan sampai lenganmu nanti akan putus dengan
sendirinya dan terus sampai ke sekujur tubuhmu akan menjadi gatal
sertaterpotong-potong!"
"Jaga mulutmu, Tua Bangka! Aku bukan anak kecil yang pantas ditakut-takuti
lagi! Kusarankan, tinggalkan tempat ini dan jangan ganggu urusanku!"
"O, kau ingin mencuri pedang pusaka itu tanpa diganggu oleh siapa
pun? He he he... itu tak mungkin, Anak Manis! Seluruh tokoh tingkat tinggi akan
datang kemari memburu pedang tersebut, karena pada umumnya mereka juga menunggu
kapan rembulan bergaris hitam!"
"Mereka tidak akan mendapatkan apa-apa dari kuil ini! Mereka akan
kecewa
karena pedang pusaka sudah lebih dulu kudapatkan!"
"O, jangan besar hati dulu, Anak Manis. Kau tak akan mungkin bisa membawa
lari pedang pusaka itu selama ada aku di sini!"
"Kalau begitu aku harus singkirkan nyawamu, Pak Tua!"
"Itu lebih baik kalau memang kau bisa, Anak Manis!"
"Tua bangka banyak cakap kau, hiii...!"
Crass...! Sinar merah keluar dari telapak tangan Gincu Mayat. Tapi
Gincu Mayat sendiri yang pekikkan suara tertahan, ia tersentak mundur dengan tangan
segera ditarik kembali, karena rasa sakit perih begitu menyengat akibat keluarnya tenaga dalam bersinar merah
itu. Sedangkan tenaga dalam yang sudah telanjur terlepas itu ditangkap dengan
kibasan tangan Sambar Jantung. Sinar itu menjadi bulatan semacam bola yang
bernyala-nyala di atas telapak tangan Sambar Jantung. Kemudian, Sambar Jantung
melemparkan bulatan merah tersebut ke arah sebuah batu bersusun yang ada di
samping ruang pemujaan tersebut. Wuttt...! Duarr...! Batu itu pecah bagai dilempar
dengan bahan peledak yang cukup kuat. Lalu, Sambar Jantung palingkan pandang ke
arah Gincu Mayat sambil sunggingkan senyum tuanya yang menggeramkan hati Gincu
Mayat.
"Gila! Tenaga dalamku bisa ditangkapnya?!" gumam hati Gincu
Mayat terheran-heran. Tapi ia segera kembali pikirkan tangannya yang tadi terasa
sakit untuk keluarkan tenaga dalam bersinar.
"Aduh, gatalnya semakin kuat! Iih... sampai berdarah begini masih
saja maunya digaruk terus?!"
Si Sambar Jantung terkekeh-kekeh melihat Gincu Mayat sibuk garuk-garuk tangannya.
Lalu, ia ucapkan kata dengan kalem,
"Pergilah ke luar, Anak Manis! Akan kuledakkan kamar itu!"
"Langkahi dulu bangkaiku kalau kau mau meledakkan kamar itu untuk mengambil
pusaka Pedang Guntur Biru!" kata Gincu Mayat masih berani.
"Kau anak manis yang nakal rupanya! Perlu kuberi pelajaran sedikit
biar tak nakal lagi!"
Si Sambar Jantung seperti menempeleng udara memakai punggung telapak tangannya.
Plakkk...! Terasa ada tamparan keras sekali di wajah Gincu Mayat. Bahkan
tubuhnya terpelanting beberapa tindak dari tempatnya berdiri. Tamparan itu
bagai disertai sentakan tenaga dalam. Padahal
tangan si Sambar Jantung tak sampai mengenai kulit wajah Gincu Mayat. Itu
pun sudah membuat Gincu Mayat terpelanting jauh, apalagi jika sampai kena di
kulit wajah, pasti akan hancur wajah itu.
"Setan tua kau!" sentak Gincu Mayat dengan marah. Lalu, ia
cepat mencabut rencong di depan perutnya. Srett... !
Tapi belum sempat digunakan, tangan kiri Sambar Jantung telah menebas dari
bawah ke depan. Wuttt...! Ringan sekali gerakannya, bagai dilakukan tanpa
menguras tenaga. Tetapi akibatnya sangat berbahaya. Tubuh Gincu Mayat terlempar
terbang ke atas, wusss...! Langsung menuju ke arah pintu lengkung dan jatuh di
pelataran kuil.
Buhgg...! Ia terjatuh dalam keadaan miring, hampir saja ujung rencong menembus
perutnya sendiri. Dari sana ia cepat bangun dan berteriak keras,
"Tua bangka! Keluar kau kalau memang ilmumu tinggi! Hadapi aku di
tempat bebas ini! Kalau kau tak berani keluar menghadapi aku, bersujudlah di depanku
dan akan kuangkat kau sebagai muridku!"
"Anak haram...!" geram Sambar Jantung, lalu cepat ia
langkahkan kaki keluar dari ruang pemujaan itu sambil kedua tangannya
menghempas ke depan dengan ringan. Wusss...! Dan tubuh Gincu Mayat kembali
terbang, bahkan melewati pagar tembok tinggi sebagai batas halaman kuil.
Brugg...! Gincu Mayat jatuh telentang dalam keadaan kehilangan senjata rencongnya.
Dan keadaan jatuhnya tepat di depan kaki Intan Selaksa yang kaget saat mendengar
teriakan suara Gincu Mayat itu.
"Gincu Mayat...?!" Intan Selaksa terkejut sekali, terlebih
setelah melihat kedua telapak tangan Gincu Mayat hampir putus, berdarah dan sangat
menjijikkan. Tulang-tulang jarinya nyaris terlihat semua.
"Oh, apa yang terjadi, Gincu Mayat...?!" Intan Selaksa cepat
menolong orang yang selama ini dianggap sebagai temannya itu. Gincu Mayat
sendiri tak mau terlihat lemah di depan Intan Selaksa, ia cepat bangkit dengan napas
ditarik dalam-dalam.
"Tanganmu...? Oh, tanganmu hampir putus, Gincu Mayat!"
"Jangan hiraukan tanganku! Biarlah luka ini, yang penting aku bisa
mengusir si Sambar Jantung dari dalam kuil! Dia bermaksud mencuri pedang pusaka
dari kamar itu!"
"Tapi... tapi tanganmu ini pasti terkena racun Kulit Peri! Kau
telah memegang pintu kamar Cipta Hening, bukan?!"
"Hmmm... anu... iya, secara tak sadar tadi aku memegangnya untuk menghindari serangan si Sambar Jantung!"
"Oh, aku lupa tak bilang padamu, bahwa pintu itu tidak boleh
dipegang karena Guru memasang racun ganas di pintu itu!"
"Aku tak sengaja, Intan Selaksa!"
Tiba-tiba suara di belakang Intan Selaksa menyahut, "Tak sengaja
menjadi bodoh, maksudnya! Dia mau membongkar pintu itu dan mengincar pedang pusaka
di dalamnya!"
Intan Selaksa kaget ketika membalikkan wajah ternyata si Sambar Jantung
sudah berdiri lima langkah dari pintu gerbang kuil.
"Eyang...?!"
"Jangan dekati dia! Perempuan itu bukan teman tapi musuh bagimu,
Intan Selaksa!"
"Jangan percayai omongannya!" bisik Gincu Mayat.
Intan berkata kepada Sambar Jantung,
"Eyang, sudah cukup lama saya bersahabat dengan Gincu Mayat! Jadi
"
"Dia sengaja mendekati kamu untuk mempelajari kuil ini! Dia ingin mendapatkan
pedang pusaka itu, Intan Selaksa! Kau telah tertipu dengan sikap baiknya selama
ini!"
"Tutup mulutmu, Tua Bangka! Apakah kau sendiri datang bukan untuk
maksud yang sama?!" sentak Gincu Mayat. "Kau juga menginginkan pedang
pusaka itu dengan cara bersahabat baik terhadap Begawan Sangga Mega! Kau bermaksud
mengorek keterangan tentang rahasia penyimpanan pusaka itu dari mulut Begawan
Sangga Mega! Kau pikir aku tak bisa mencium kelicikanmu itu, Tua peot?!"
Sambil melontarkan sebarisan tuduhan, Gincu Mayat tak sadar kalau sudah
ada tiga jarinya yang jatuh ke tanah tanpa menimbulkan rasa sakit selain gatal.
Ketika ia sadar akan hal itu, ia tersentak kaget dan menjadi tertegun sedih
melihat tiga jarinya jatuh di tanah berlapis salju.
Sementara itu, Intan Selaksa mulai terpengaruh dengan kata-kata Gincu Mayat,
namun juga terpengaruh kata-kata Sambar Jantung, ia mundur beberapa tindak,
menjauhi keduanya dengan dahi berkerut dan wajah mencerminkan kekecewaan yang
dalam.
"Saya tak sangka kalau Eyang punya tujuan seperti itu!" kata
Intan Selaksa sambil memandang si Sambar Jantung.
"Intan Selaksa, jangan kau terpengaruh oleh tuduhannya! Dia hanya mencari
teman untuk dibenci! Dia sengaja pengaruhi kamu, supaya kamu hilang kepercayaan
kepadaku, sebagai sahabat baik mendiang gurumu!"
"Omong kosong sahabat baik!" sahut Gincu Mayat. "Jika
kau sahabat baik Begawan Sangga Mega, kau pasti tidak akan meledakkan kamar itu
dengan menyingkirkan aku keluar ke sini!"
"Terlalu tajam lidahmu, Anak Bodoh!" geram si Sambar Jantung.
Kemudian tangannya bergerak seperti mencakar udara di depannya. Wuttt...! Brettt...!
"Auh...!" Gincu Mayat menyentakkan kepalanya ke belakang
bagai menghindari serangan. Tapi agaknya ia terlambat menghindari serangan lawan
yang berjarak tujuh langkah darinya itu. Cakaran tersebut ternyata mengenai
mulut Gincu Mayat, dan mulut itu pun koyak di bagian bibir dan sebagian
pipinya. Padahal cakaran itu dilakukan dalam jarak tujuh langkah.
Intan Selaksa makin terkesiap melihat luka di mulut Gincu Mayat. Ia mulai
membatin, "Bahaya sekali jurus Eyang Sambar Jantung! Seperti yang pernah diceritakan
oleh Guru, bahwa Eyang Sambar punyai jurus 'Angin Merapat'. Rupanya seperti
itulah jurus 'Angin Merapat'. Tak perlu menyentuh tubuh lawan, dengan merobek
udara, mulut lawan sudah bisa robek sendiri! Bahaya sekali melawan dia, jika
memang benar dia ingin kuasai pusaka di kamar Cipta Hening itu!"
Terdengar suara tua manusia berambut putih yang usianya konon sudah mencapai
seratus tahun lebih itu, "Bocah bodoh! Lekas tinggalkan tempat ini dan
carilah obat untuk menyembuhkan gatal-gatalmu itu!"
"Aku tak akan pergi sebelum mencabut nyawamu, Tua Bangka!"
sentak Gincu Mayat geram. Lalu, tiba-tiba ia melompat dan bersalto di udara
satu kali. Wuttt...! Arah kakinya hendak menendang kepala si Sambar Jantung.
"Hiaaat...!"
Sambar Jantung tak mengelak. Tetap ada di tempatnya. Tapi tangan kanannya
berkelebat naik bagai menjungkirkan sesuatu. Dan ternyata, tubuh Gincu Mayat
itulah yang dijungkirbalikkan. Tubuh itu terlempar ke belakang dan satu kali
salto mundur. Sebelum kakinya mendarat di bumi, si Sambar Jantung cepat
mengibaskan kedua tangannya bagai merobek udara dengan kuku-kuku hitamnya.
Wrettt...! Kedua tangan itu merobek ke kiri dan ke kanan.
"Aaahg...!" Gincu Mayat sempat terpekik ketika melihat
dadanya robek dari ulu hati sampai ke bawah perut. Robek bersama pakaiannya,
sehingga isi perutnya berhamburan keluar dengan mengerikan. Sementara itu,
tangan Sambar Jantung cepat disentakkan ke depan dan kembali ditarik ke belakang
seperti merogoh sesuatu. Dan ternyata, dalam kejap berikutnya tangan berkuku
hitam itu telah menggenggam benda merah berlumur darah. Itulah jantung milik
Gincu Mayat.
"He he he he...!" tawanya terkekeh-kekeh melihat jantung
lawan ada di tangannya. Sedangkan Gincu Mayat segera roboh tak bergerak
selamanya, dan Intan Selaksa cepat palingkan wajah tak berani memandang apa
yang dipegang oleh si Sambar Jantung.
Tiba-tiba sebentuk bayangan merah berkelebat cepat menghantam si Sambar
Jantung. Tapi sebelum menyentuh tubuh Sambar Jantung, kaki Sambar Jantung
menendang pelan udara di depannya. Wusss...! Akibatnya bayangan merah tadi kembali membalik
dengan terpelanting tak tentu arah. Tubuhnya membentur pohon di belakang Intan
Selaksa.
Buukk... !
"Monyet Tua...!" maki orang itu yang ternyata adalah Barong
Geni.
"Datang-datang memaki orang tua, dasar anak tak tahu sopan!
Makanlah ini! Hiihh...!"
Wusss...! Jantung itu dilemparkan ke wajah Barong Geni. Tapi
cepat-cepat Barong Geni sentakkan tangan kanannya dengan telapak tangan dan, wuhhggg...!
Api menyambar benda itu. Duarrr...! Meledaklah jantung dari tangan si Sambar
Jantung akibat terkena pukulan 'Lahar Pati' yang dimiliki Barong Geni.
"Barong, jangan serang dia! Berbahaya!" kata Intan Selaksa,
karena dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba rasa persaudaraan dalam seperguruan
bangkit lagi di hati Intan Selaksa. Tapi agaknya Barong Geni tak pedulikan
seruan itu bahkan ucapkan kata,
"Tanganku bebas sudah dari totokanmu! Mudah bagiku untuk membunuh
orang ini, Intan Selaksa! Minggirlah. Biar aku yang hadapi!"
***
5
SEMENTARA itu, di lereng Gunung Pakayon, tempat dibangunnya Kuil Swanalingga,
terlihat sekelebat bayangan menyusup di antara pepohonan berdahan tinggi. Sosok
yang mempunyai kilasan warna hitam itu agaknya sedang menguntit seseorang yang
berjubah hijau dengan celana dan bajunya yang putih kusam, menggenggam tongkat
berkepala bola kristal sebesar genggamannya sendiri.
Sosok kelebat hitam itu tak tahu, bahwa gerakannya diikuti oleh
sepasang mata yang ada di atas pohon. Melesat dari dahan ke dahan tanpa
timbulkan bunyi sedikit pun. Orang yang di atas pohon itu mengenakan baju tanpa
lengan warna coklat dan celana putih. Sesekali terlihat meneguk tuak dari
bumbung tuak yang sering disandang di punggung. Orang berambut panjang meriap
tanpa diikat itu bertampang muda, gagah, dan ganteng.Siapa lagi jika bukan Suto
Sinting, si Pendekar Mabuk, murid dari si Gila Tuak.
Dalam pengejarannya memburu musuh utama, yaitu Siluman Tujuh Nyawa,
Suto mengalami kesulitan mencari jejak manusia sesat yang punya nama asli Durmala
Sanca itu. Tanpa disengaja, Pendekar Mabuk telah mengarahkan pelariannya ke
Gunung Pakayon. Tapi ia tak tahu bahwa di Gunung Pakayon itu terdapat Kuil Swanalingga, bekas tempat
bersemayamnya Begawan Sangga Mega. Suto juga tidak tahu bahwa di sana, di kuil
itu, sedang terjadi pertarungan para manusia serakah yang ingin memperebutkan
Pedang Guntur Biru.
Pelarian Suto Sinting dalam mengejar Siluman Tujuh Nyawa terpengaruh oleh
kelebatan gerak cepat sosok berwarna hitam itu. Ia menyangka, Siluman Tujuh
Nyawa itulah yang berkelebat dalam sosok warna hitam. Karena itu ia ikuti terus
melalui pohon demi pohon.
Kalau bukan karena berhentinya gerakan manusia berambut putih dan berjubah
hijau muda dengan celana dan bajunya warna putih kusam, mungkin Suto Sinting
masih menyangka sosok berwarna hitam itu adalah Siluman Tujuh Nyawa. Karena
ketika manusia bertongkat itu berhenti dan cepat palingkan diri ke belakang,
sosok hitam yang mengejarnya secara diam-diam itu kepergok dan tak lagi bisa
bersembunyi.
"O, rupanya kau yang ikuti aku sejak tadi?" kata orang
berjubah putih yang menurut Suto usianya mencapai tujuh puluh tahun lebih.
Orang itu tampak kalem dan sunggingkan senyum tuanya yang berkesan jenaka.
Matanya berbulu lentik tapi putih warna bulunya. Jenggot dan kumisnya pun
putih. Badannya agak gemuk, di jarinya terdapat banyak cincin berbatu akik. Satu
tangan mengenakan empat cincin. Yang paling kecil seukuran kacang tanah.
Sedangkan orang yang menguntitnya itu ternyata seorang perempuan cantik
dan berkesan judes galak. Pakaiannya hitam, berhias benang emas. Hanya sampai
dada. Punggungnya terbuka tanpa kain penutup apa pun. Bahkan rambutnya yang
panjang disanggul naik, hingga kulit lehernya yang jenjang itu terlihat kuning
mulus. Di kepalanya ada mahkota kecil berhias batuan intan dan berlian, ia pun
mengenakan kalung emas dengan hiasan bunga cempaka dari butiran intan, ia juga
mengenakan gelang ketat di lengannya dari lempengan emas. Usianya seperti masih
muda, sekitar tiga puluh tahunan, tapi barangkali ia sudah berusia lebil tua
empat kali lipat dari aslinya, terbukti ia menyapa lelaki berambut uban itu dengan
seenaknya. Tanpa ada kesan merasa lebih muda dari lelaki berjubah hijau itu.
"Jangan pandangi wajahku terlalu lama, Raja Nujum! Kecantikanku
ini bukan untuk dinikmati lelaki setua kamu!"
"He he he...! Kalau toh aku memandangmu terlalu lama, bukan karena
aku menikmati kecantikanmu, Ratu Teluh Bumi! Tapi aku sedang mencari di mana letak
kecantikanmu yang konon memikat hati tiap lelaki itu?! Sampai sekarang pun tak
kulihat kecantikan itu!"
"Dasar mata rabun!" geram Ratu Teluh Bumi yang merasa terhina
oleh pengakuan Raja Nujum itu. "Mana bisa kau melihat kecantikan karena
tiap harinya yang kau lihat hanya ratusan ekor cacing sebagai santapan mu
itu!"
"Memang! Dan karena itulah tak kutemukan kecantikan di wajahmu,
kecuali seraut wajah cacing!"
Makin terbelalak mata perempuan cantik judes itu. Tangannya tiba-tiba meraih
sesuatu di depan matanya, lalu sesuatu yang telah digenggam itu dilemparkannya
ke arah Raja Nujum bagai menyebarkan sesuatu ke sana. Werrr...!
Ternyata yang melesat dari genggaman itu adalah seekor ular kobra kecil
berkepala merah. Ular itu melesat ke arah Raja Nujum, dan dengan cepat Raja
Nujum menebaskan kepala tongkatnya yang ada bola kristalnya itu. Plokk...!
Ular itu terhantam kepala tongkat. Tapi entah ke mana perginya bangkai ular
itu. Tak terlihat jatuh di tanah atau menempel di pohon sebelah kiri Raja
Nujum.
Mata Suto yang ada di atas pohon agak jauh dari mereka sempat memperhatikan
bola kristal yang diusap- usap oleh tangan Raja Nujum. Orang itu tertawa dalam
kekeh suara tuanya. Bola kristal itu menyala berpendar- pendar merah, dan dari
nyala merahnya itu terlihat bayangan seekor ular yang sedang
menggerinjal-gerinjal bagai sedang sekarat. Kemudian bayang itu tak bergerak
lagi, lalu bola kristal itu kepulkan asap merah. Asap itu keluar dari bagian
tengah atas bola kristal. Hilangnya asap, hilang pula cahaya merah tersebut,
lalu bola Kristal berubah menjadi bening kembali.
Terdengar lagi kekeh tawa Raja Nujum, kemudian suara ucapannya yang sedikit
bergetar karena pengaruh usia itu,
"Kurasa saat ini bukan waktunya untuk bermain- main, Ratu Teluh
Bumi! Aku tahu, kau mengikutiku karena kau ingin sampai ke Kuil Swanalingga! Kau
tak tahu jalannya, sehingga kau numpang arah denganku! Bukankah begitu, Ratu
Teluh Bumi?!"
"Salah!" jawab Ratu Teluh Bumi dengan cepat dan tegas.
"Aku mengikutimu karena aku harus membayang- bayangimu terus supaya kau
tak dapatkan pedang pusaka itu! Jika pedang pusaka itu jatuh ke tanganmu, maka
akan hancurlah seisi dunia ini akibat ulah keserakahan dan kelalimanmu, Raja Nujum!"
"Apakah tidak sebaliknya?" kata Raja Nujum dengan kalem
sekali. "Pedang pusaka itu akan menjadi malapetaka bagi penduduk bumi,
jika ada di tanganmu. Sebab kau punya cita-cita ingin menjadi ratu di atas
segala ratu di bumi ini! Kau ingin membangun kembali kekuasaan yang pernah dipegang
oleh ayahmu, yang sekarang wilayahnya telah menjadi wilayah kekuasaan
Jenggala!"
"Rasa-rasanya perlu kurobek mulutmu supaya tidak sampai di telinga
orang-orang Jenggala Manik!"
"Merobek mulutku itu hal yang mudah, Ratu Teluh. Tapi mencapai
mulutku itu yang sulit!" kakek tua itu menyeringai kempot. Tapi Ratu Teluh
Bumi tidak berminat untuk tersenyum sedikit pun. Ia menganggap ucapan Raja Nujum
yang terakhir itu sebagai tantangan yang tak patut ditolak. Karena itu, Ratu
Teluh Bumi cepat berkata,
"Raja Nujum, kalau kau ingin mencoba jurus 'Teluh Kelabang'-ku, terimalah
kirimanku ini! Hupp...!"
Tangan Ratu Teluh Bumi menggenggam tiba-tiba di depan matanya. Lalu dengan
ayunan yang jelas dan tegas, ia sentakkan genggaman tangannya ke tanah.
Wutt...! Begg...! Seperti ada sesuatu yang dibuang ke bawah kakinya sendiri.
Genggaman itu dilepaskan bersama tangan yang menyentak ke bawah, lalu terasa ada guncangan kecil di
tanah sekelilingnya.
Tiba-tiba Raja Nujum pejamkan mata. Tongkatnya digenggam dengan kedua tangan.
Tangan itu diletakkan di atas bola kristal. Tiba-tiba bola kristal itu
menyalakan warna kuning berasap menggumpal-gumpal di dalamnya. Tubuh Raja Nujum
tetap tegak memejam mata.
Tiba-tiba badannya melengkung ke belakang, sedikit membungkuk. Warna pijar
kuning di bola kristalnya itu padam seketika. Dan Raja Nujum muntah dengan
suara keras, "Hoooekk...!"
Sekumpulan kelabang hitam kemerah-merahan keluar dari mulut Raja Nujum.
Wajah orang itu jadi merah, bahkan ia sampai jatuh terduduk dengan satu kaki
masih sempat berpijak tanah. Mulutnya menganga lebar sambil memuntahkan puluhan
kelabang sebesar jari kelingking, tapi agak panjang lagi. Kadang-kadang tubuh
itu tersentak dengan mata terbelalak. Binatang berbisa itu mulai mengerumuni
tubuh Raja Nujum yang masih tersentak-sentak memuntahkan puluhan binatang
kelabang.
"Ha ha ha ha...!" Ratu Teluh Bumi tertawa kegirangan.
"Sebentar lagi mulutmu tak akan bisa bicara lancang dan mengucapkan
tantangan padaku, Raja Nujum! Mungkin juga kita tak akan bertemu lagi! Selamat tinggal...
aku akan ke Kuil Swanalingga sendiri! Aku tahu di gunung ini letak kuil itu, dan
akan kubawa pulang Pedang Guntur Biru itu! Ha ha ha ha...!"
Wuttt...! Ratu Teluh Bumi berkelebat pergi dengan cepat. Gerakannya lebih
cepat lagi dari gerakan menguntit tadi. Dalam sekejap ia telah hilang dari
pandangan mata seorang pengintai di atas pohon, yaitu si Pendekar Mabuk.
Suto Sinting sendiri sempat terkejut ketika Ratu Teluh Bumi menyebutkan
nama pedang pusaka itu. Suto pernah mendengar cerita tentang Pedang Guntur Biru
yang hak warisnya ada di tangan Siluman Tujuh Nyawa setelah orang sesat itu
berusia tiga ratus tahun. Sekarang usianya baru dua ratus lima belas tahun.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin Pemburu Nyawa").
Tetapi, untuk sementara Pendekar Mabuk perlu hindari dulu pemikiran mengenai
pedang pusaka tersebut, ia kasihan melihat orang tua bertongkat bola kristal
itu kelojotan dalam sekaratnya yang dikerumuni oleh puluhan kalajengking atau
kelabang berbisa itu. Wajahnya sudah merah matang, termakan sengat kelabang
tersebut.
Wuttt... ! Pendekar Mabuk melesat cepat dari tempat persembunyiannya. Tiba
di depan Raja Nujum, ia telah meneguk tuaknya sebagian dan yang sebagian
disimpan di mulut. Kemudian dengan cepat ia semburkan tuak itu ke tubuh Raja
Nujum. Brusss...!
Puluhan kelabang itu berkelip-kelip bagai tersiram minyak, lalu memancarkan
cahaya silau, dan kejap berikutnya kelabang-kelabang itu lenyap tak berbekas
sedikit pun. Juga yang tadinya masih tersisa di tepian mulut Raja Nujum,
menjadi hilang tak berbekas lagi.
Pendekar Mabuk segera menuangkan tuak ke mulut Raja Nujum setelah orang
itu ditelentangkan. Glek glekglek...! Raja Nujum bagaikan dipaksa meminum tuak
dari bumbung yang selalu digendong Pendekar Mabuk di punggungnya.
"Kalau bukan orang berilmu tinggi, dia sudah mati sejak muntahnya
yang pertama tadi," kata Suto di dalam hatinya. "Sekalipun begitu,
seandainya aku terlambat menyingkirkan kelabang-kelabang itu, orang ini tetap
mati walau berilmu tinggi! Karena tadi ia telah menyalakan bola kacanya itu menjadi
kuning, menurut dugaanku dia melakukan perlawanan ilmu teluh yang dilepaskan
oleh perempuan cantik dan judes tadi. Tapi agaknya Raja Nujum tak berhasil
melawannya, dan akhirnya kekuatan teluh itu masuk ke dalam raganya!"
Sebenarnya ilmu penyembuhan yang dinamakan 'Sembur Husada' tadi, dapat membuat
seseorang lupa terhadap Pendekar Mabuk. Yang semula kenal, menjadi tidak kenal
dengan Suto. Kebetulan Raja Nujum memang belum kenal dengan Suto, sehingga Suto
tak punya pertimbangan apa-apa untuk melakukan penyembuhkan 'Sembur Husada',
kecuali pertimbangan rasa kasihan pada diri Raja Nujum.
Maka ketika Raja Nujum merasakan tubuhnya menjadi enteng, tak merasakan
lagi panas menyiksa di dalam tubuhnya, ia pun segera bangkit dan berdiri tegak
dengan napas terhirup panjang-panjang, ia bahkan merasa lebih sehat, lebih enak
ketimbang sebelum meneguk tuak Suto. Karena memang begitulah biasanya orang
yang habis mendapat penyembuhan dari Pendekar Mabuk. Tuak itu bagaikan obat
penghilang segala macam penyakit separah apa pun.
Mata tua itu segera menatap Pendekar Mabuk yang berdiri di bawah pohon,
tujuh langkah jaraknya dari tempatnya berdiri. Raja Nujum masih pandangi Suto
dengan perasaan heran dan bertanya-tanya dalam hatinya,
"Siapa anak muda itu?! Sepertinya aku pernah ditolongnya? Hmm... coba
kulihat di bola kacaku ini...!"
Melihat Raja Nujum sudah sehat, Suto Sinting pun segera menghampiri orang
itu dengan menenteng bumbung tempat tuaknya. Sunggingan senyum tipis sebagai
senyum keramahan terlihat jelas di bibir Suto.
"Sudah benar-benar sehatkah tubuhmu, Raja Nujum?"
"Tunggu sebentar, aku ingin melihat apa yang terjadi pada diriku
tadi. Sebab... sepertinya aku pernah melihatmu sebelum ini...!"
Bola kristal itu menyalakan lampu hijau bening, lalu terlihat sebuah adegan
dua manusia saling berhadapan. Di dalam bola itu tergambar kembali peristiwa
yang dialami Raja Nujum, sejak ia diserang oleh Ratu Teluh Bumi memakai ular
kobra merah, sampai saat ia sekarat memuntahkan puluhan kelabang hitam
kemerahan. Dan di situ pula ia melihat Pendekar Mabuk menyembuhkannya dengan
tuak.
Setelah itu, bola kristal itu pun padam. Raja Nujum manggut-manggut pandangi
Suto dengan mata tua yang tajam tak berkedip. Suto sembunyikan perasaan
kagumnya melihat semua peristiwa tadi bisa dilihat kembali melalui bola kaca
tersebut.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda!" kata Raja
Nujum.
"Aku hanya menjalankan tugasku sebagai manusia, yaitu saling
menolong," jawab Pendekar Mabuk dengan tetap menjaga hormat.
"Pandanglah aku sejenak, biar kutahu siapa dirimu!" kata Raja
Nujum tanpa ada kesan bermusuhan. Suto menuruti menatap mata Raja Nujum beberapa
kejap. Tapi tiba-tiba tubuh Raja Nujum terpental mundur dan terhuyung-huyung
hampir jatuh.
"Raja Nujum...?! Kenapa kau?!" Pendekar Mabuk merasa heran
melihat gerakan itu. Ia cemas dan ingin menolong, tapi Raja Nujum kembali berdiri
tegak. Pendekar Mabuk menghentikan langkah tak jadi meraih tangan Raja Nujum.
"Kau masih belum sehat rupanya," kata Suto.
"Tidak. Aku sudah sehat."
"Lalu kenapa kau terhuyung-huyung tadi?"
"Aku mencoba menembus kehidupanmu lewat mata, tapi aku tak kuat.
Kau pasti punya keistimewaan, sehingga matamu sukar kutembus!"
"Keistimewaan... apa?! Aku biasa-biasa saja!" Suto merendah.
"Biasanya dengan menembus kehidupan melalui mata seseorang, aku
bisa mengerti siapa namanya, berapa usianya, dari mana asalnya, apa kepandaiannya,
siapa gurunya, bagaimana kisah cintanya,dan lain sebagainya. Tapi kali ini aku
gagal menembus kehidupan dari matamu! Bahkan kekuatan itu memantul balik,
hampir melemparkan tubuhku. Itu tandanya kau punya keistimewaan! Coba kulihat
garis tanganmu, Anak Muda! Percayalah, aku tak bermaksud jahat padamu! Hanya
sekadar ingin mengenalmu saja!"
Suto segera menyodorkan telapak tangan kanannya. Raja Nujum segera memperhatikan garis tangan Suto. Tapi
mendadak Raja Nujum tersentak kaget. Matanya terbelalak melihat tato pisau
kecil bergagang bintang di ujungnya. Kagetnya itu telah membuat Raja Nujum
cepat melayangkan pandang ke dahi Pendekar Mabuk, dan kini ia menjadi pucat
pias wajahnya. Bibir tuanya gemetaran saat ingin ucapkan sesuatu.
"Ada apa...?!" Pendekar Mabuk bertanya dengan heran.
"Baru kusadari di dahimu ada titik merah," kata Raja Nujum
dengan sikap masih terbengong.
"Ada apa dengan titik merah ini?"
"Kau manusia gaib, Anak Muda!"
Pendekar Mabuk tertawa dikatakan manusia gaib. "Aku manusia biasa!
Aku masih doyan nasi, jagung, tuak, ubi, dan semua yang dimakan dan diminum manusia.
Jadi aku bukan manusia gaib."
"Tak mungkin! Kau pasti bisa masuk ke alam gaib!"
"Ya. Kalau soal itu memang benar."
"Dan kau punya jabatan tinggi di sebuah negeri di alam gaib!"
"Mungkin saja begitu! Tapi apakah dengan begitu aku tak boleh
berkenalan denganmu, Raja Nujum?"
"Kau sudah mengenalku, tapi aku belum mengenalmu!"
Senyum Pendekar Mabuk mekar dengan ramah. "Aku Pendekar
Mabuk," jawab Suto, lalu cepat mengangkat bumbung tuaknya, dan ia meneguk
tuak tak begitu banyak.
"Siapa namamu?"
"Suto! Guruku memanggilku Suto Sinting!"
"Suto Sinting?! Aku sepertinya pernah mendengar nama itu!"
"Mungkin Suto lain, bukan Suto aku, Raja Nujum!"
"Entahlah. Mungkin benar katamu itu. Karena, biasanya aku tak
pernah bertanya tentang nama kepada orang yang baru kukenal. Dengan menembus kehidupan
lewat matanya, aku sudah bisa tahu namanya. Tapi... noda merah kecil itu
rupanya yang menghalangi kekuatanku hingga tak bisa masuk ke alam
kehidupanmu!"
"Mungkin lain kali kau lebih banyak tahu tentang diriku. Sekarang
aku ganti ingin tanyakan sesuatu padamu, Raja Nujum."
"Tentang apa?"
"Tentang Pedang Guntur Biru!"
"Apa kau menginginkan pedang pusaka itu pula?"
"Tidak. Tapi aku tahu siapa orang yang berhak memegang pusaka
tersebut! Dan aku heran, mengapa Ratu Teluh Bumi itu sangat menghendaki pedang tersebut,
padahal aku tahu dia bukan pewaris pusaka Pedang Guntur Biru, Raja Nujum!"
Makin menyipit mata Raja Nujum pandangi wajah Pendekar Mabuk. Lalu setelah
diam beberapa saat, Raja Nujum berucap kata,
"Menurutmu, siapa pewaris pedang pusaka itu, Nak?"
"Yang berhak adalah orang sesat yang bernama Durmala Sanca,
punyajulukan Siluman Tujuh Nyawa!"
"Hah...?!" Raja Nujum tersentak kaget mendengarnya. Matanya
melebar, menatap Suto tak berkedip. "Dari mana kau tahu nama itu?"
"Aku sedang memburu dia untuk kupenggal kepalanya!"
"Oh...?" Makin kaget lagi Raja Nujum. "Kau mau memenggal
kepala Durmala Sanca?! Kau tahu, berapa usianya?"
"Dua ratus lima belas tahun!"
'Edan!" Raja Nujum makin tegang. "Kau tahu siapa Begawan
Sangga Mega yang kuilnya ada di puncak gunung ini?"
"Begawan Sangga Mega adalah pamannya Durmala Sanca!"
"Gila!" gumam Raja Nujum bernada heran dan kagum.
"Tapi Durmala Sanca tidak akan bisa memegang pusaka Pedang Guntur
Biru, karena usianya belum mencapai tiga ratus tahun!"
"Benar. Tapi apakah kau tahu, mengapa harus menunggu tiga ratus tahun,
sehingga Durmala Sanca boleh memegang pusaka itu?"
"Karena dia dikutuk oleh kakeknya menjadi orang sesat selama tiga
ratus tahun!"
"Luar biasa kau ini?!" tambah heran lagi Raja Nujum kepada
Suto.Sambungnya, "Kau tahu, apa sebab dia dikutuk selama itu?"
"Karena dia pernah mau memperkosa neneknya!"
"Benar-benar edan kau ini! Apakah kau juga tahu siapa kakek dan
neneknya Durmala Sanca?!"
"Eyang Purbapati dan Nini Galih!"
Jawaban itu membuat Raja Nujum terkesiap dan pucat wajahnya.
"Hati-hati kau menyebut nama itu, Suto. Mereka orang sakti yang dihormati oleh kalangan tokoh tua di rimba
persilatan! Jangan sampai kau sebutkan kedua nama itu dan didengar oleh
muridnya. Bisa berbahaya bagi keselamatan nyawamu, Suto!"
"Maksudmu, murid dari Eyang Purbapati dan Nini Galih?"
"Iya. Apakah kau kenal dengan murid mereka?"
"Maksudmu, si Gila Tuak dan Bidadari Jalang?!"
"Hahh...?! Kau tahu juga?!" Raja Nujum kian nyata
terperangah, antara heran, kagum, dan takut.
"Jujur saja katakan padaku, Raja Nujum, mengapa kau sejak tadi memancingku
dengan pertanyaan begitu? Siapa kau sebenarnya?"
Raja Nujum diam sebentar, ia punya pertimbangan lain. Lalu, ia segera ucapkan
kata,
"Akan kujelaskan siapa diriku jika kau bisa sebutkan siapa guru
dari Purbapati dan Nini Galih itu! Guru mereka siapa?!"
Suto Sinting diam beberapa kejap. Agak ragu untuk menyebutkannya. Setelah
beberapa saat ditunggu jawabannya oleh Raja Nujum, akhirnya Pendekar Mabuk pun ucapkan kata,
"Mungkin yang kau maksud adalah... Eyang Wijayasuro?!"
Blegarrr...! Terdengar suara petir di siang hari bolong. Langit terang tiba-tiba
berubah menjadi redup, kemudian mendung hitam datang bersama badai di langit
sana. Mendung hitam bergulung-gulung membuat bumi makin temaram, karena
matahari tak mampu tembus kepekatan hitamnya. Angin di bumi pun bertiup cukup
kencang. Jubah hijau yang dipakai Raja Nujum berkelebat bagai mau terbang.
Raja Nujum sendiri terpaku di tempat dengan mata lebar tak berkedip. Suto
menjadi cemas, mengapa alam tiba-tiba bagaikan murka. Untung hanya sejenak, dan
kejap berikutnya langit kembali cerah, angin reda, dan mendung hilang begitu
cepatnya.
"Sudah kusebutkan nama Eyang Guru itu, sekarang sebutkan siapa
dirimu, Raja Nujum?!"
"Aku putra bungsu dari ketujuh putra Purbapati dan Nini
Galih!" jawab Raja Nujum dengan pelan. Pendekar Mabuk ganti tercengang
kaget.
***
6
KEMUDIAN Raja Nujum membeberkan silsilahnya. Bahwa ayahnya, yaitu
Purbapati dan ibunya Nini Galih mempunyai tujuhanak. Yang pertama bernama
Durmagati, yaitu ayah dari Durmala Sanca. Yang kedua Begawan Sangga Mega, yang
ketiga, keempat, dan kelima serta keenam, meninggal dalam usia muda. Jadi,
Purbapati dan Nini Galih mempunyai tiga anak yang masih hidup.
Ketiga putra Purbapati ini, ternyata tak ada yang sanggup menerima ilmu-ilmu
dari sang Ayah atau sang Ibu. Hanya sebagian kecil saja yang sanggup mereka
terima ilmu tersebut. Bahkan Durmagati dan Raja Nujum pernah hampir mati
gara-gara menempuh salah satu ilmu yang sekarang dimiliki Suto Sinting, yaitu
ilmu 'Seberang Raga', yang bisa merubah pohon atau batu menjadi wujud dirinya.
Karena ketiga putranya tidak
ada yang sanggup menerima ilmu-ilmunya, maka Purbapati mengangkat murid yang
bernama Sabawana. Murid inilah yang ternyata mampu mewarisi seluruh ilmu
Purbapati. Murid inilah yang kemudian dikenal dengan nama si Gila Tuak.
Sedangkan untuk pusaka Pedang Guntur Biru, tidak bisa diserahkan kepada
Sabawana karena dia bukan darah keturunan Purbapati. Orang yang berhak menerima
pusaka tersebut adalah anak pertama. Setiap anak pertama dari pemegang pusaka
itu adalah ahli waris tunggal. Karenanya, Durmagati-lah orang yang menjadi ahli
waris Pedang Guntur Biru.
Durmagati mempunyai anak kembar, Durmala Sanca dan Wicara Sanca. Takut dianggap
bukan anak pertama, maka Durmala Sanca membunuh Wicara Sanca pada usia lima
belas tahun. Sejak itu sikap dan tindak-tanduk Durmala Sanca memalukan
keluarga, menurunkan martabat darah keturunan Purbapati.
Terlebih setelah Durmala Sanca berusia tujuh belas tahun, ia mencoba memperkosa
neneknya, yaitu Nini Galih yang punya ilmu awet muda dan kecantikan abadi.
Sekalipun niat perkosaan itu dapat digagalkan oleh sang kakek, tapi sang kakek
murka kepada cucunya, lalu dikutuk untuk menjadi manusia sesat selama tiga
ratus tahun.
Durmala Sanca diusir dan dicoret dari daftar keluarga sampai berusia tiga
ratus tahun baru akan diakui sebagai darah keturunan Purbapati. Sebelum Durmala
Sanca diusir, ia berhasil membunuh ibunya, kemudian menyusul membunuh ayahnya
sendiri.
Pedang Guntur Biru segera diambil oleh Begawan Sangga Mega untuk diselamatkan
dari tangan Durmala Sanca, karena amanat itu turun dari sang kakek sendiri.
Sejak itu, pusaka Pedang Guntur Biru berubah
ketentuannya, bukan hanya anak pertama yang boleh menyimpan dan menggunakan
pedang itu, melainkan anak kedua pun diizinkan. Tapi hanya sampai batas anak
kedua, selebihnya sudah tak boleh dipegang oleh anak berikutnya, karena bisa
mengurangi kekuatan gaib yang ada pada Pedang Guntur Biru itu.
Durmala Sanca akhirnya pergi berguru ke dataran Tibet, sedangkan pedang
di tangan Begawan Sangga Mega tetap disimpan untuk diberikan kepada keturunan
berikutnya. Jika Durmala Sanca mati sebelum memegang pusaka tersebut, maka
pedang berhak diterima oleh anak Durmala Sanca. Sebenarnya anak dari Begawan
Sangga Mega pun boleh dan berhak menerima pedang tersebut, tapi Begawan Sangga
Mega tidak memiliki satu anak pun. Ia tidak punya keturunan, sehingga anak dari
kakaknya itulah yang berhak menerimanya.
Padahal Durmala Sanca mempunyai dua anak, yaitu Dadung Amuk dan Singo Bodong.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Istana Berdarah"). Sedangkan
Dadung Amuk sudah mati digantung oleh bapaknya sendiri, yaitu Durmala Sanca.
Sekarang tinggal Singo Bodong yang masih hidup di Pulau Beliung. Tapi Singo
Bodong orang lugu, polos, dan tidak punya kesaktian apa-apa, bahkan tidak tahu
siapa bapaknya, tidak tahu bahwa ia adalah pewaris pedang pusaka yang jadi
incaran para tokoh tua itu.
Sejauh itu, Raja Nujum belum tahu bahwa Suto adalah murid tunggal si Gila
Tuak dan Bidadari Jalang. Raja Nujum mencari Durmala Sanca untuk memenggal
kepalanya, dan dalam kaitannya dengan peristiwa perebutan Pedang Guntur Biru
itu Pendekar Mabuk hanya ingin selamatkan pedang itu dari tangan si angkara murka. Niatnya itu
seirama dengan tujuan kedatangan Raja Nujum ke Gunung Pakayon itu. Karenanya,
Raja Nujum cepat membawa Pendekar Mabuk ke Kuil Swanalingga.
Namun langkah mereka terhenti
karena kemunculan suara tembang yang mengayun mendayu-dayu enak didengar. Dari
mana arahnya tak jelas dilacak, tapi suara itu begitu nyata terdengar.
Hidup semakin bersimbah darah, jika pertanda
itu tiba.
Manakala rembulan bergaris tegas, terbukalah
alam kesucian.
Menembus hati setiap manusia, untuk
merengkuh sebuah pusaka.
Tapi apalah artinya pusaka, bagi diri orang
yang cepat mati.
Apalah artinya mati, bagi diri orang yang
bosan hidup.
Dan apalah artinya hidup, bagi diri orang
yang tak punya sanak keluarga …
Tiba-tiba dada Suto Sinting merasa pedih, teringat akan masa lalunya. Keluarganya
yang dibantai habis oleh Kombang Hitam, ia berlari-lari dalam kejaran, padahal
waktu itu ia masih berusia delapan tahun. Ia hidup sebatang kara karena
kekejian seorang pemburu dendam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Bocah Tanpa Pusar).
Suto menundukkan kepala dan meremas kedua tangannya untuk melawan tangis.
Sementara, Raja Nujum terkulai berlutut dan mulai terisak. Badannya sampai
terguncang-guncang karena ingat masa mudanya, ingat saudara-saudaranya yang telah mendahuluinya,
ingat bahwa kini hidupnya sebatang kara, tanpa keluarga, tanpa istri, tanpa
anak, dan tanpa hari kepastian untuk mati.
Woosss....! Napas Suto mulai berubah menjadi napas badai. Setiap
hatinya dirundung duka yang dalam atau kemarahan yang mendendam, tiap hembusan napasnya
berubah menjadi badai. Itu karena Pendekar Mabuk telah menelan pusaka Tuak
Setan yang mestinya dimusnahkan. Apabila saat itu Suto melepaskan napasnya
lewat mulut dengan sentakan keras, maka badai dahsyat akan terjadi di gunung
itu.
Tapi Pendekar Mabuk masih sadar akan bahaya napasnya sendiri. Itulah sebabnya
ia tundukkan kepala, hingga tiap napas yang keluar hanya membentur tanah. Lama
kelamaan tanah itu menjadi cekung akibat terkena hembusan napas Pendekar Mabuk.
"Pasti ada orang yang menggunakan ilmu tingginya melalui tembang
itu! Ia menyerangku dan menyerang Raja Nujum langsung ke kalbu!" pikir
Suto dengan mata terpejam kuat karena ia ingin menahan diri untuk tidak menangis,
menyesal, sedih, dan murka. Tetapi, orang itu tetap mengalunkan tembangnya
semakin mendayu-dayu,
Bila nyawa keluarga jadi hinaan, siapa lagi
yang akan datang sebagai
pembela. Bila hormat keluarga jadi cercaan,
siapa lagi yang akan datang
menjadi pemuji. Biar hati tahankan pilu,
tapi dendam tetap bertalu.
Sekali lepas ilmu sejati, hancur sudah
dendam kesumat di hati.
Terasa rendah jiwa dan diri ini, bila tak
mampu lampiaskan dendam pribadi
Keringat Suto tetap bercucuran, ia tetap bertahan untuk tidak
melepaskan amarah karena ingat dendam masa lalunya.
Kemudian, Pendekar Mabuk mencoba untuk memainkan Jurus 'Siulan Peri' pemberian
dari Bidadari Jalang. Tetapi Pendekar Mabuk memilih tempat yang aman untuk
pantulan siulannya itu. Sebuah gugusan batu di sampingnya menjadi tempat yang
tepat untuk memantulkan siulannya.
"Suiiiiittt...! Suiiittt...!"
Wuurrr...! Batu itu berguncang nyaris terbang, karena napas yang keluar dari siulan bertenaga badai. Tetapi suara
siulan itu sendiri membuat semua hewan hutan berlarian dengan panik. Gendang
telinga manusia bisa menjadi pecah jika tak kuat menahannya.
Raja Nujum cepat menutup telinganya dengan kedua tangan, hingga tongkatnya
dilepas begitu saja. Tapi orang tua itu masih menangis seperti anak kecil.
Terisak- isak sambil menyeringai menahan rasa sakit mendengar siulan bertenaga
dalam cukup tinggi itu.
"Suuuiiittt...! Suuuiiittt...!"
Batu yang dipakai perisai hembusan napas itu mulai retak setelah bagian
tertentu yang sering terkena napas siulan itu cekung dengan sendirinya. Guncangan
batu semakin keras, sesekali tampak mau terbang karena hembusan. Padahal batu
itu besar dan tingginya dua kali lipat dengan ukuran tubuh Suto.
"Hentikan siulan ituuu...!" sentak seseorang yang tiba-tiba
melesat bagaikan terbang turun dari atas pohon. Jleggg...! Wajahnya memerah bagai habis
menahan sesuatu yang amat menyakitkan. Matanya nanar berwarna merah semburat.
Napasnya terengah-engah dengan lelehan kecil darah segar dari kedua telinganya.
Rupanya dialah yang melantunkan tembang bertenaga dalam mengarah ke kalbu
tiap lawannya. Orang itu berpakaian putih dengan rangkap jubbah tanpa lengan
warna abu-abu. Rambutnya putih diikat kain biru muda, ia juga membawa tongkat
berkepala burung hantu.
Raja Nujum menghentikan tangisnya. Tiba-tiba saja rasa sedih itu hilang
lenyap dan menjadi suatu keheranan, mengapa ia menangis? Kini yang ia rasakan
suara berdengung di dalam telinganya akibat siulan Suto tadi. Tapi ia masih
bisa menahan tak sampai berdarah lubang telinganya itu. Mungkin pula sebagian
kekuatan tenaga dalam dari siulan diredamnya dengan hawa murni yang ada di
dalam dirinya.
Begitu melihat orang yang tadi melantunkan tembang berkekuatan tenaga dalam
cukup tinggi untuk menembus kalbu, Raja Nujum segera bangkit dan menggeramkan
suara kejengkelannya,
"Hemm... rupanya kau, si Bandot Tembang!"
"Dari mana kau tahu namaku?" Bandot Tembang yang berbadan
kurus itu merasa heran. Tapi oleh Raja Nujum
pertanyaan itu tak dihiraukannya. Raja Nujum hanya ucapkan kata,
"Tak perlu kau tahu dari mana bisa kusebutkan namamu, yang jelas
cepatlah pergi dan jangan ganggu langkah kami! Kami tidak mengganggu langkahmu,
Bandot Tembang."
"Sebelum kuputuskan untuk pergi atau tetap menghalangi langkah
kalian berdua, sebutkan dulu ke mana arah kalian pergi dan bertujuan untuk
apa?"
Suto Sinting tidak menjawab, ia bahkan menenggak tuak seenaknya saja, tanpa
merasa sungkan dan gentar. Bandot Tembang merasa tak suka melihat Suto itu. Ia segera sentakkan tangan kanannya
ke salah satu pohon, pukulan itu mengeluarkan cahaya putih yang cepat
berkelebat menghantam pohon dan memantul ke arah bumbung tuak yang sedang
diangkat ke atas. Trakk...! Zingngng...! Sinar putih perak itu setelah
membentur bumbung tuak segera memantul balik, melesat ke pohon semula dan
kembali ke arah Bandot Tembang.
Trak...! Blarrr...! Sinar itu dipukul sendiri oleh Bandot Tembang memakai
tongkatnya. Orang tua itu tersentak mundur dua tindak akibat gelombang ledakan
tongkat dengan sinar tadi.
"Sinting bocah inil" geramnya bernada gumam. "Pukulanku
bisa dikembalikan lebih cepat dan lebih besar?!"
"Bandot Tembang," kata Raja Nujum, "Kita tidak punya
persoalan apa-apa, jadi tak perlu kita berselisih!"
"Kubilang tadi, sebutkan dulu ke mana arah kalian dan perlu apa
kalian menuju arah itu?!"
"Apa kau penguasa gunung ini?!" tanya Raja Nujum menyindir.
Bandot Tembang menjawab, "Sejak Begawan Sangga Mega mati, akulah
calon pengganti penguasa gunung ini! Setiap orang yang lewat harus meminta izin
dariku!"
"Jika tidak, bagaimana?!"
"Kucabut napasnya! Tak kuizinkan lagi ia bernapas!"
"Haram jadah! Apakah kau punya hak atas hidup dan matinya
seseorang?!" geram Raja Nujum.
Kini Pendekar Mabuk mulai angkat bicara dengan sikap kalemnya, "Ki
Bandot Tembang, kami ingin menuju ke Kuil Swanalingga untuk melihat apa yang
terjadi di sana."
"Yang jelas, di sana ada perebutan pedang pusaka peninggalan
Begawan Sangga Mega! Jika kau mau ikut rebutan pedang itu, berarti kau harus kalahkan
aku lebih dulu!" kata Bandot Tembang.
"Berarti kau sendiri akan ke arah sana, bukan?!" sahut Raja
Nujum.
"Ya! Dan sudah kuduga kalian pasti akan ikut dalam rebutan Pedang
Guntur Biru itu! Untuk memperingan beban, kalian kumusnahkan dulu di sini, jadi
di sana tidak banyak bikin masalah lagi!"
"Minggirlah, Suto, biar kuhadapi dia!" bisik Raja Nujum.
Maka, Suto pun mengalah, dan ia bergeser ke samping, berdiri di bawah pohon
dengan tubuh bersandar seenaknya. Santai.
"Sebutkan namamu, karena kita akan tentukan siapa yang mati lebih
dulu!"
"RajaNujum, namaku!"
"Baik! Terimalah awal kematianmu, Raja Nujum! Hiaah...!"
Bandot Tembang sentakkan tongkatnya ke arah samping. Dari tongkat itu keluar
sinar berbentuk mata anak panah warnanya merah. Melesat menghantam pohon
seolah-olah tiap pohon dijadikan tempat pantulan. Mata Raja Nujum terpaksa
mengikuti gerakan itu agar tubuhnya tidak terhantam dari belakang.
Tak tak tak...! Gerakan sinar itu begitu cepat dan membingungkan.
Kadang menukik, kadang naik. Gerakan pantulannya membentuk sudut tak tentu. Dan
akhirnya mengarah kepada Raja Nujum dari samping kiri. Raja Nujum cepat membalikkan
badan ke kiri sambil kibaskan kepala tongkatnya, wuttt...!
Darrr...! Mata anak panah yang merah berbentuk sinar itu pecah akibat hantaman
bola kristal. Tetapi segera dapat dilihat di dalam bola Kristal itu sinar merah
tersebut masih bergerak ke sana-sini tempat berpantul dan sasarannya. Sampai
akhirnya sinar kuning menyala dan bagai menelan sinar merah kecil itu.
Zrubb...! Sinar kuning padam, sinar merah pun lenyap. Bola kristal kembali
bening.
"Ha ha ha ha...!" Bandot Tembang justru tertawa melihatnya,
ia manggut-manggut lalu berkata, "Itu baru jemputan nyawa pertama. Kurasa untukmu
cukup dua kali jemputan saja, RajaNujum! Hiaah...!"
Wuttt... ! Melesat sinar biru yang seperti mata anak panah lagi. Gerakannya
cepat memantul ke sana-sini. Dan, wuttt...! Keluar lagi sinar biru dari kepala
tongkat Bandot Tembang, memantul lewat pohon lain. Dan, wwwuut... ! Lagi-lagi
sinar biru keluar dari kepala tongkat dan bergerak cepat memantul ke sana-sini.
Tiga sinar biru berkeliaran bagai saling kejar ke sana- sini, membingungkan
Raja Nujum, ia sangka sinar pertama akan menyerangnya, ternyata justru memantul
pada gugusan batu dan menjauh lagi. Sinar kedua akan mendekat, ternyata
memantul lagi karena berbenturan dengan sinar biru yang sama dan tidak timbulkan
ledakan.
Pendekar Mabuk membatin, "Hebat juga jurus ilmu seperti ini. Membingungkan
orang yang diserang! Kasihan Raja Nujum, dia berputar-putar menunggu kesempatan
diserang dan tak mau lengah karena serangan itu. Tapi, rasa-rasanya gerakan
sinar biru itu semakin cepat semua! Bisa mati Raja Nujum terkena salah satu
dari ketiga sinar biru itu!"
Maka, Pendekar Mabuk segera membuka tutup bumbung tuaknya. Bumbung tuak
itu dihadapkan ke arah sinar-sinar yang saling bersimpang-siur itu. Lalu,
dengan satu sentakan kaki ke bumi, sinar-sinar itu tiba- tiba bergerak cepat ke
arah mulut bumbung, dan masuk ketiganya ke sana dengan menimbulkan suara ngejos
yang cukup keras.
Jrosss...! Asap mengepul dari mulut bumbung tuak. Tapi Pendekar Mabuk segera
menutup bumbung tuak itu dan menentengnya kembali dengan santai. Bumbung itu
telah berhasil menyedot ketiga sinar tersebut sehingga tak satu pun mengenai
Raja Nujum.
Bandot Tembang mendelik melihat ketiga sinar tenaga dalamnya tersedot masuk
ke dalam bumbung itu. Ia tak berkedip menatap Suto karena merasa baru kali ini
ada orang yang melumpuhkan jurus 'Tiga Surya Bernyawa' itu. Biasanya salah satu
dari sinar biru itu akan mengenai lawan setelah lawan berulang kali dibuat kecele
oleh sinar-sinar lainnya.
"Bahaya juga anak muda itu?!" pikir Bandot Tembang.
"Gurunya kebingungan, dia yang tenang- tenang bisa menyedot ketiga sinarku
itu?! Kurang ajar dia...!"
Bandot Tembang dipandangi oleh dua orang, ia tak mau dianggap kalah, ia
tak mau dilecehkan dengan cara mereka. Maka, ia pun segera mengalunkan tembang
yang mempunyai kekuatan tenaga dalam lebih tinggi dari yang pertama tadi,
Hening hati ditelan mati,
rembulan lepaskan....
Belum habis sudah terpotong suara siulan Pendekar Mabuk,
"Suuuittt...!"
Cepat-cepat Bandot Tembang menutup telinganya, demikian pula Raja
Nujum. Kemudian, suara tembang yang hilang itu berubah menjadi geram kemarahan yang
belum bisa terlampiaskan. Maka, ia pun segera sentakkan kaki dan melesat pergi
setelah ucapkan kata,
"Kutunggu kalian di Kuil Swanalingga! Kita bertarung di
sana!"
Wusss...! Bandot Tembang pergi dengan cepat. Pendekar Mabuk pandangi Raja
Nujum yang masih menutup telinganya dengan mata terpejam kuat-kuat. Tapi
menjadi terkejut ketika Suto menepak lengannya.
Plakkk... !
Matanya jadi terbelalak lebar ketika Suto berkata, "Dia telah
kabur!"
"Hah...? Ke mana kaburnya? Kapan?"
"Tadi, saat kau pejamkan mata kuat-kuat!" jawab Pendekar
Mabuk. Kemudian tawa Pendekar Mabuk pun terdengar.
"Dia menantang kita di kuil sana, Raja Nujum! Haruskah
dilayani?!"
Raja Nujum hanya mengangkat kedua pundaknya, lalu melangkah.
* * *
7
HALAMAN Kuil Swanalingga berlapis salju tanahnya. Di luar halaman itu tanah
mulai berlapis darah. Barong Geni terkapar tanpa nyawa, juga tanpa jantung.
Intan Selaksa tak berani memandangi jenazah saudara seperguruannya.
Intan Selaksa sama sekali tak menyangka bahwa orang yang selama ini dihormati
seperti menghormati gurunya sendiri, ternyata berhati keji. Mulanya Intan
Selaksa menyangka, kedatangan Sambar Jantung untuk membela mempertahankan kuil
tersebut dari jamahan tangan-tangan rakus. Tetapi ternyata Sambar Jantung
sendiri yang bertangan rakus. Hal itu diketahui oleh Intan Selaksa lewat ucapan
si tua berkepala sedikit botak bagian depannya, pada saat ia berhadapan dengan
Barong Geni. Waktu itu Barong Geni mengatakan,
"Saya murid Begawan Sangga Mega, Eyang! Sekalipun saya sudah lama tinggalkan
kuil ini, tapi saya masih berhak memiliki Pedang Guntur Biru itu!"
Sambar Jantung menyanggah, "Tidak bisa! Seorang murid murtad tidak
layak memiliki pusaka seampuh Pedang Guntur Biru! Bahkan siapa pun tidak layak memilikinyakecuali
aku!"
"Rakus juga Eyang ini sebenarnya?!"
"Peduli apa katamu, pedang itu harus kudapatkan! Minggir kau
Barong Geni, jika tidak kau akan celaka seperti Gincu Mayat itu!"
"Jika memang Eyang sanggup, singkirkanlah saya bersama nyawa
saya!" kata Barong Geni sengaja paksakan diri ucapkan kata begitu. Intan
Selaksa sendiri yang mendengar menjadi merinding penuh perasaan ngeri. Barong Geni
dinilai terlalu ceroboh bicaranya.
Apa yang diperkirakan Intan Selaksa memang benar. Barong Geni tak bisa menyentuh
Eyang Sambar Jantung, karena orang itu selalu menggunakan jurus 'Angin
Merapat'. Tak perlu sambangi lawan, dari tempatnya berdiri saja ia sudah bisa
menghajar habis tubuh lawannya. Sampai akhirnya Barong Geni dirobek dadanya dan
dirogoh jantungnya dengan amat mengerikan.
Darah di tangan Eyang Sambar Jantung belum kering. Jantung milik Barong
Geni belum dibuang, tiba-tiba sudah datang serangan yang amat mengejutkan. Serangan itu bukan saja mengejutkan hati
Sambar Jantung, namun juga mengejutkan hati Intan Selaksa.
Eyang Sambar Jantung tiba-tiba saja terjungkal ke depan. Jantung yang dipegangnya
terlepas entah ke mana. Tubuh tua itu bagai mainan anak-anak yang bisa mudah
dijungkir-balikkan di atas tanah. Kepalanya sempat membentur bongkahan batu
sebesar kelapa. Takkk...! Sambar Jantung meringis kesakitan. Untung tak sampai
keluarkan darah dari kepala itu.
Intan Selaksa merasa heran melihat Sambar Jantung terpental ke
sana-sini dan berjungkir balik tak karuan. Dari bawah sebuah pohon yang setengahnya
digunakan untuk berlindung sewaktu-waktu itu, Intan Selaksa menyangka Sambar
Jantung kumat penyakit ayannya. Tapi setelah Sambar Jantung berhasil berdiri
lagi dan cepat pejamkan mata, maka Intan Selaksa tahu bahwa ada seseorang yang
telah menyerang dari jarak jauh. Di mana orang itu, Intan Selaksa belum sempat
temukan. Karena perhatiannya lebih tertarik ke arah Sambar Jantung.
Orang itu bergetar tubuhnya, seperti sedang menahan sesuatu. Tangannya yang
berdarah itu bergerak pelan- pelan merentang ke depan. Lalu dengan sentakan
keras, Sambar Jantung kibaskan kedua tangannya ke atas seperti orang
memercikkan air di dalam kolam. Wusss...!
Kejap berikutnya, dari balik semak-semak berjarak sepuluh langkah lebih
itu meluncurlah sesosok tubuh berjubah ungu, melayang terbang tanpa kendali, ia
terlempar tinggi. Pada saat itu kedua tangan Sambar Jantung bergerak menarik
diri, dan tubuh yang melayang itu tertarik dengan cepat, kemudian jatuh tak
berapa jauh dari dinding pagar halaman kuil. Hampir saja tubuh itu membentur
dinding tersebut jika kakinya tidak segera menghadang dan menyentak ke dinding
pagar. Brukk...!
Jatuh juga orang itu, namun ia cepat berdiri dengan sikap tegak dan menantang.
Orang itu dikenal Intan Selaksa sebagai perempuan yang dibencinya, namun Intan
Selaksa kalah melawannya. Siapa lagi kalau bukan Dewi Kelambu Darah?
"Setan betina! Kau ikut campur juga dalam urusan ini, hah?!"
hardik Sambar Jantung.
Dewi Kelambu Darah sunggingkan senyum sinis, lalu ucapkan kata,
"Siapa pun tokoh tua di rimba persilatan pasti akan ikut campur,
Tua jompo! Siapa orangnya yang tidak tertarik dengan pedang pusaka yang bisa mengirimkan
serangannya dari jarak cukup jauh? Siapa orangnya yang tidak tertarik dengan
pedang yang bisa bikin kebal tubuh pemegangnya? Kurasa semua tokoh akan hadir
di sini untuk memperebutkan Pedang Guntur Biru."
"Ya, memang! Tapi mereka akan kecele, sebab aku sudah lebih dulu membawanya
lari! He he he he...!"
"Apa yang akan kau bawa lari itu, Sambar Jantung? Pedang atau tahi
kucing?! Hmm...!" Dewi Kelambu Darah mencibir. "Membawa lari Pedang
Guntur Biru tidak semudah membawa lari tahi kucing, Tua jompo!"
Sambar Jantung malahan tertawa geli dan berkata, "Kalau yang
kubawa tahi kucing, jelas akan kulemparkan ke wajahmu, Dewi Kelambu Darah!
Untuk apa kubawa lari?! Kau ini ada-ada saja!"
"Karena kau terlalu menganggap enteng bisa membawa lari pedang
pusaka itu! Apakah kau tak perhitungkan bahwa kau harus kalahkan aku lebih dulu
dan itu hal yang paling sulit, bahkan teramat sulit ketimbang kau jungkir-balikkan
gunung ini?!"
Sambar Jantung mencibir sambil kekehkan tawa tua, lalu berkata,
"Ilmu setinggi pohon tomat saja disombongkan?! Hmm... ! Apa yang
bisa kau perbuat dengan ilmu sedangkal itu, Kelambu Darah? Hanya buat main-main
saja, memang bagus dan menarik! Tapi untuk mengalahkan ilmu yang kumiliki,
oooh... masih sangat jauh, Nak! Jauh sekali! Saking jauhnya tidak akan terlihat
sedikit pun!"
Panas hati Dewi Kelambu Darah mendengar hinaan seperti itu. Matanya
yang sedikit lebar tapi berbentuk indah itu menatap tajam pada Sambar Jantung.
Bulu matanya lentik, bening bagian bola matanya, tepiannya berwarna sedikit
hitam tampak galak, sangat indah dan serasi dengan bentuk hidungnya yang
bangir. Tapi mata indah itu adalah mata maut. Sangat berbahaya bagi lawan.
Buktinya hanya dengan menatap tajam-tajam saja, tubuh Sambar Jantung tersentak
ke belakang secara tiba- tiba. Hampir saja terlempar sangat jauh kalau Sambar
Jantung tidak cepat-cepat menahan diri dengan cara menahan napas, merendahkan
kuda-kudanya, menggerakkan tangannya dengan keras dan kaku, lalu menyentakkan
tangan itu ke depan. Kini tubuh DewiKelambu Darah yang terpelanting jatuh.
Brukkk...!
Sambar Jantung terkekeh dengan tawa tuanya, maju beberapa tindak dalam langkah
kemenangan atas adu kekuatan yang baru saja terjadi itu. Bahkan ia serukan kata
yang memanaskan telinga,
"Belajar lagi, Nak! Biar kamu jadi anak yang pintar dan sakti,
serta bisa kalahkan Eyang! Kalau perlu, makan kotoran kambing biar bisa mengembik,
makan kotoran anjing biar bisa melolong, dan... kalau mau sakti seperti aku ya
makan saja...."
Fuih...! Dewi Kelambu Darah sentakkan napas melalui hidungnya dalam jarak
tujuh langkah. Tiba-tiba Sambar Jantung terbungkuk ke depan sambil memegangi
dadanya. Wajah menjadi merah bagai menahan rasa sakit yang luar biasa.
Kesempatan itu digunakan Kelambu Darah untuk menggerakkan kepalanya ke kiri
dalam satu sentakan. Wuttt...!
Tubuh Sambar Jantung tersentak ke samping, bagai sampah dilemparkan begitu
saja. Dugg...! Kepalanya membentur dinding pagar yang keras itu. Ia sempat
terpekik dengan napas tertahan,
"Huggh...!"
Brukk...! Tubuhnya jatuh seperti nangka busuk. Tapi cepat-cepat ia berdiri
setengah kaki dan menamparkan tangannya ke depan. Wuttt...!
Plakk...! Dalam jarak sudah lebih dari tujuh langkah, wajah Dewi
Kelambu Darah tertampar keras tanpa tersentuh tangan lawan. Kerasnya tamparan membuat
Kelambu Darah terpelanting ke kiri, dan pipinya menjadi memar merah.
"Kurasa Eyang Sambar Jantung bisa kalah dengan Dewi Kelambu
Darah!" pikir Intan Selaksa dari tempatnya menjauh. "Perempuan itu
tanpa gerakan tangan bisa menendang, memukul, menampar, melempar, dan mungkin
juga bisa mencekik leher lawannya. Sedangkan Eyang Sambar Jantung bisa
melakukan hal seperti itu jika ia gerakkantangannya, ia tak bisa menggunakan
kekuatan mata seperti yang dimiliki Dewi Kelambu Darah itu. Hmmm...! Siapa yang
menang, aku tak perlu tahu. Karena siapa
pun pemenang pertarungan ini, tetap saja ia mengincar pedang pusaka itul Dengan
kata lain, dia akan mengincarku, karena akulah yang memegang kunci kamar Cipta
Hening! Haruskah aku menyerahkan kunci itu jika nyawaku terancam? Oh, tidak!
Aku lebih baik melarikan diri sejauh mungkin dan bersembunyi! Kalau keadaan
terpaksa sekali, biarlah aku mati tapi kunci kamar itu tak akan kuserahkan
kepada siapa pun, seperti pesan Guru sebelum wafat. Kalau keadaan terpaksa
sekali, aku harus bisa melawan mereka sebatas kemampuan yang ada, sampai aku
mati! Tapi... kalau kunci kamar masih tetap ada di tubuhku, mereka akan temukan
setelah aku mati dibunuhnya! Jadi, sebaiknya kusimpan dulu kunci ini di suatu
tempat! Hmmm... tapi di mana aku harus menyimpannya? Dalam keadaan seperti ini, jelas mereka akan curiga
dan akan kejar aku jika aku lari untuk sembunyikan kunci kamar ini!"
Sambar Jantung tetap bertahan dari serangan mata maut Dewi Kelambu Darah.
Mereka bertarung dengan sesekali saling hina dan membuat kedua hati bertambah
panas. Tanpa diketahui oleh mereka ternyata kamar yang diduga sebagai tempat
penyimpanan pedang pusaka saat itu sedang disambangi seseorang, kamar itu
didekati dengan gerakan yang gesit dan tanpa suara.
Seorang perempuan judes berwajah cantik sedang memeriksa keadaan sekeliling
depan kamar Cipta Hening. Perempuan bermahkota kecil dengan mengenakan gelang
lempengan di kedua lengannya itu tak lain adalah Ratu Teluh Bumi. Ia berhasil
menyusup masuk ke dalam halaman Kuil Swanalingga melalui bagian samping.
Lompatannya cukup tinggi dan ringan, sehingga ia berbasil mendekati kamar
tersebut tanpa timbulkan suara sedikit pun.
"Ruang depan itu pasti ruang pemujaan, dan kamar inilah pasti yang
dinamakan kamar Cipta Hening. Karena menurut desas-desus pusaka itu tersimpan
di salah satu kamar yang ada di dekat ruang pemujaan. Di sini ada satu kamar,
hanya kamar ini! Hmmm..., ya! Terlihat pintunya begitu kokoh dan...."
Tangan yang ingin meraba pintu itu tiba-tiba ditarik. Tak sadar mulut Ratu
Teluh Bumi berucap, "Ets... ada racunnya?!"
Kemudian tangan itu meraba tapi tak sampai menempel di daun pintu itu. Tangan
itu merasakan ada hawa gatal yang terpancar dari lapisan pintu tersebut. Ratu Teluh Bumi segera ucapkan kata lirih,
"Hmm... tak mungkin dijinakkan racun ini! Bahaya sekali jika
tersentuh kulit sedikit pun. Jika begitu, pasti ada alat lain yang bisa
digunakan untuk membuka pintu ini! Tak mungkin Begawan Sangga Mega dan muridnya
bisa menyentuh pintu ini tanpa terkena racunnya, karena tak ada tempat pegangan
tangan untuk membuka pintu ini!"
Mata Ratu Teluh Bumi menyusuri tiap dinding batu yang ada di sekitar pintu.
Tapi tak ditemukan susunan batu yang bisa dicurigai sebagai kunci pembuka pintu
tersebut.
"Sepertinya harus didobrak dengan kekuatan ilmu tinggi!"
kembali Ratu Teluh ucapkan kata lirihnya. Maka, ia pun segera undurkan langkah
lima tindak. Dari sana ia melepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh melalui telapak
tangan kanannya.
Wusssh...! Beeng...!
Pintu tak terguncang sedikit pun. Suara yang timbul akibat benturan pukulan
tenaga dalam itu tak seberapa keras. Sepertinya suara yang mestinya menggelegar
itu teredam oleh ketebalan pintu itu.
"Pukulan 'Elang Santet' tak bisa menjebolkannya. Padahal biasanya
baja setebal apa pun bisa kujebol dengan pukulan 'Elang Santet'! Hmmm... kalau
begitu aku harus gunakan jurus 'Lintah Sakti'! Membelah gunung pun sanggup
dengan jurus 'Lintah Sakti', apalagi hanya pintu sekeras itu!"
Jurus 'Lintah Sakti' keluar dari kesepuluh jari Ratu Teluh Bumi. Kedua tangannya yang diangkat ke atas itu membentuk
cakar dan menyentak keras hingga pancarkan sinar merah membara ke arah pintu
itu. Sepuluh sinar merah keluar dari tiap jari tangan Ratu Teluh.
Biasanya pintu akan lumer, atau jebol dalam satu ledakan yang teramat kuat.
Tetapi sinar merah sepuluh bias itu masih belum membuat pintu menjadi lumer
atau hangus sedikit pun. Malahan timbul sinar biru yang mengelilingi tepian
pintu.
Ratu Teluh Bumi terkejut melihat sinar biru mengelilingi pintu, ia membatin,
"Sinarnya siapa itu?"
Ratu Teluh Bumi palingkan wajah ke kiri selesai menghentikan pukulan 'Lintah
Sakti'-nya. Ternyata di sana ada seraut wajah tua berjubah abu-abu. Orang itu
sedang tudingkan kepala tongkatnya ke arah pintu, dari tongkatnya itu keluar
sinar biru mengelilingi pintu tersebut. Sinar itu padam ketika sinar merah
'Lintah Sakti' pun padam. Ternyata pintu tetap kokoh tak bergeming.
"Setan kurap!" geram Ratu Teluh Bumi sambil mengarahkan badan
ke lelaki tua bertongkat burung hantu itu.
"Kubantu kau menjebolkan pintu itu!"
"Persetan dengan bantuanmu! Aku mampu lakukan sendiri!"
gertak Ratu Teluh Bumi. "Sebaiknya cepat tinggalkan aku sendirian di sini,
Bandot Tembang!"
Si Bandot Tembang malahan
sunggingkan senyumnya. Ratu Teluh Bumi mendengus muak. Bandot Tembang ucapkan
kata dengan nada pelan,
"Aku akan membantumu untuk mendapatkan pusaka itu! Tapi dengan
catatan, kau harus mau mengakui kekalahanmu dan tunduk padaku! Karena gurumu
pun sudah dibunuh oleh guruku...."
"Dan gurumu sudah kubunuh sendiri!" sahut Ratu Teluh Bumi.
"Mana mungkin aku tunduk kepada muridnya jika gurunya sendiri kubantai
tanpa ampun, hah?!"
Bandot Tembang bagai disiram air panas wajahnya. Mulai tampak
merahmenahan marah. Terbayang kematian gurunya yang sungguh mengerikan. Sekalipun
peristiwa itu terjadi sekian puluh tahun yang lalu, tetapi Bandot Tembang masih
tetap ingat, ia yang pertama kali menemukan potongan tangan gurunya, kemudian
bagian-bagian tubuh lainnya ditemukan keesokan harinya, ia tahu gurunya
bertarung dengan Ratu Teluh Bumi, tapi waktu itu ia tak bisa berbuat apa-apa
karena Guru memenjarakannya di atas pohon. Tak ada yang bisa menyentuhnya
karena ia dilapisi kekuatan anti pukulan tenaga dalam apa pun. Ia digantung
dengan kepala di bawah karena tindakan yang dianggap sesat oleh sang Guru.
"Bandot Tembang! Jika kau mau tinggalkan aku sendirian di sini,
umurmu akan panjang. Tapi jika kau tetap ingin menggangguku, kau akan menyusul gurumu
secepatnya!"
"Mulut betinamu cukup kotor bagiku, Ratu Teluh! Sebaiknya
kususulkan saja nyawamu sendiri agar bisa minta bantuan gurumu untuk membukakan
pintu itu. Hiiah...!"
Bandot Tembang meremas sendiri tongkatnya sampai tangannya mengeluarkan
otot dan gemetaran. Dari ukiran mata burung hantu di kepala tongkat meluncurkan
cahaya sinar kuning dua buah. Memanjang dan menjadi satu di ujungnya. Sinar itu
menembus dada Ratu Teluh Bumi tujuannya. Tapi jari telunjuk Ratu Teluh Bumi
cepat dihadangkan di depan dada. Sinar kuning itu tepat mengenai ujung jari
telunjuk.
Rupanya sinar itu sedang ditangkis oleh Ratu Teluh Bumi dengan ujung telunjuknya
dan berusaha dilawan kekuatannya hingga kedua kaki Ratu Teluh Bumi gemetaran.
Kedua tubuh itu sama-sama gemetar. Gerakan sinar juga makin menipis. Kejap
berikutnya sinar kuning itu hilang seketika bagai tersedot telunjuk Ratu Teluh
Bumi. Zlubb...!
Tetapi pada saat itu pula telapak tangan Ratu Teluh Bumi menjadi
menyala kuning. Telapak tangan itu segera dihentakkan ke depan dan melesatlah sinar
kuning itu berupa gumpalan bola yang bergerak dengan cepat. Wuttt... !
Bandot Tembang menghadangkan kepala tongkatnya, sehingga bola kuning menyala-nyala
itu menghantam kepala tongkat itu dengan keras.
Blarrr...!
Ledakannya begitu keras dan timbulkan gelombang hawa panas yang menyentak
sangat kuat. Tubuh Bandot Tembang terlempar ke belakang dan terguling-guling
hingga keluar dari ruang pemujaan, sedangkan tubuh Ratu Teluh Bumi terpental
pula hingga membentur dinding tepi pintu. Kalau saja saat itu punggungnya
membentur pintu kamar Cipta Hening, pasti Ratu Teluh celaka, karena racun pintu
itu akan menempel di punggungnya.
Ia sangat beruntung karena punggungnya membentur batuan dinding samping
pintu. Tulang punggungnya terasa mau patah. Sakit sekali. Tapi dengan cepat ia
berhasil mengatasi rasa sakit itu, hanya menggunakan hirupan napas panjang dan menahannya di dada beberapa hitungan, ia sudah
bisa berdiri kembali dan cepat berlari untuk menyerang Bandot Tembang yang terbungkuk-bungkuk
di pelataran kuil memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Hiaaat...!" Ratu Teluh Bumi pekikkan suaranya sambil
melompat terbang ke arah Bandot Tembang yang sedang berusaha bangkit.
Buhgg... !
Dada Bandot Tembang terkena tendangan kaki yang melompat itu. Tendangan
tersebut jelas dialiri tenaga dalam cukup besar, sehingga membuat Bandot Tembang
terlempar tubuhnya, menghantam pintu gerbang kuil yang terbuka separo itu.
Pintu tersebut jebol dan tubuh Bandot Tembang terpuruk jatuh tepat di depan
kaki Sambar Jantung.
Pertarungan Sambar Jantung dengan Dewi Kelambu Darah terhenti. Mereka,
juga Intan Selaksa, terkejut melihat dua orang keluar dari halaman Kuil
Swanalingga. Mereka tampak cemas dan ada kekhawatiran kalau-kalau Pedang Guntur
Biru sudah berada di tangan mereka. Tapi setelah mata mereka
memeriksa sekilas keadaan Ratu Teluh Bumi dan Bandot Tembang, mereka menjadi
lega karena tak satu pun dari mereka yang memegang Pedang Guntur Biru.
"Oh, ternyata Ratu Teluh Bumi yang jahat itu juga hadir di
sini?" piker Intan Selaksa. "Lalu, siapa lagi tokoh tua yang
memuntahkan darah dan terlempar dari dalam itu?! Aku belum mengenalinya, tapi
aku yakin dia pasti berilmu tinggi. Hmmm...! Empat orang sakti sudah ada di
sini. Bakalan hancur tubuhku kalau tak cepat melarikan diri. Tak ada yang sanggup
kulawan satu pun dari mereka. Karena kulihat orang yang terlempar itu sudah
berdiri lagi dengan tegak, sepertinya tak pernah mendapat pukulan hebat dari
lawannya!"
"Bandot Tembang...?! Rupanya sejak tadi kau sudah ada di dalam
kuil itu, hah?! Kurang ajar!" geram Sambar Jantung menggeram.
"Aku juga tak sangka kalau Ratu Teluh pun sudah ada di dalam
sana," sahut Dewi Kelambu Darah. "Kalian mencari pedang atau
sama-sama menggunakan kesempatan untuk bercinta?"
"Tutup mulutmu, Kelambu robek!" bentak Ratu Teluh Bumi dengan
gusar.
"Hei, tahan dulu!" seru Sambar Jantung. "Gadis itu
melarikan diri. Dia pemegang kunci kamar pusaka tersebut!"
"Mau lari ke mana anak celeng itu, hiaaah...!" Ratu Teluh
Bumi segera sentakkan kaki dan ia melesat pergi mengejar Intan Selaksa. Melihat
Ratu Teluh mengejar Intan, yang lain pun ikut mengejarnya dengan gusar.
***
8
INTAN Selaksa tahu bahwa dirinya dikejar oleh mereka. Secepat mungkin
ia melarikan dirinya. Tapi kecepatan itu
masih kalah juga dengan kecepatan mereka. Dalam waktu singkat, Ratu Teluh Bumi
sudah berdiri menghadang langkah Intan Selaksa.
"O, bahaya! Dia sudah sampai di depan sana!" gumam Intan
Selaksa dalam ketegangannya. "Sebaiknya aku lari ke arah kiri saja!"
Wusss...! Intan Selaksa berkelebat tanpa peduli lagi apakah Ratu Teluh Bumi
masih mengejarnya lagi atau sudah bosan. Yang jelas dia harus cepat selamatkan
diri, karena kunci kamar itu ada di balik ikat pinggangnya.
Baru saja beberapa jarak ia menempuh pelariannya yang berbelok arah
itu, tiba-tiba di depannya sudah berdiri Sambar Jantung yang segera berseru,
"Intan, jangan takut. Aku melindungimu! Kemarilah, Anak
Manis!"
Mata perempuan muda itu menegang lagi. "Tak mungkin dia mau melindungiku.
Sebelum ia bergerak, aku harus cepat hindarkan diri!"
Wuttt...! Intan Selaksa berbelok arah. Tak tahu ke mana tujuannya, yang
jelas ia harus bisa selamatkan dirinya dari kejaran orang-orang bertangan rakus
itu.
Jlegg...! Bandot Tembang sudah berdiri di depan Intan Selaksa dalam jarak
sepuluh langkah. Tanpa berhenti sedikit pun, Intan Selaksa cepat melarikan diri
ke arah kiri. Arahnya sudah berubah lagi. Mana yang dilihat aman itu yang ia
tuju.
Dia samping kirinya Intan melihat sekelebat bayangan warna jingga sejajar
dengan larinya. Jelas itu warna jubahnya Dewi Kelambu Darah yang ingin mencegat
di depan jalan. Maka, cepat-cepat Intan Selaksa berbelok arah, menerabas semak
berduri dan tak pedulikan kulitnya tergores semak-semak itu.
Tapi dalam beberapa jarak kemudian, tahu-tahu Ratu Teluh Bumi sudah berdiri
di depannya dengan sikap menghadang.
"Mati aku...!" gumam Intan Selaksa dalam hati. Cepat-cepat ia
membalikkan diri dan berlari lagi. Namun begitu ia melangkah sambil membalikkan
diri, ia membentur sesuatu dengan keras. Bukk...! Intan Selaksa jatuh terduduk
di tanah. Matanya memandang ke atas.
"Oh, siapa lagi ini?!" pikirnya. "Tampan sekali
wajahnya?"
Pemuda tampan itu mengulurkan tangan, kemudian ia membantu Intan
Selaksa untuk berdiri. Napas Intan terengah-engah, tapi matanya tak berkedip pandangi
pemuda tampan itu.
"Berdirilah di belakangku!"
"Ap... ap... apakah kau juga inginkan Pedang Guntur Biru?"
"Ya. Tapi bukan untuk kumiliki! Hanya sekadar menjaganya agar
tidak jatuh di tangan orang-orang kotor yang mengejarmu itu!"
"Kkkau... kau siapa?" tanya Intan Selaksa.
Pemuda itu hanya senyum sedikit. Senyum itu indah menurut mata Intan Selaksa
yang belum rabun itu.
Dan tiba-tiba dari arah belakang pemuda tampan itu muncul seorang
lelaki tua berbaju jubah hijau celana putih, membawa tongkat bola kristal. Raja
Nujum segera ucapkan kata,
"Dia bernama Suto Sinting! Jangan jauh-jauh darinya. Intan!"
"Oh, syukurlah Paman Raja Nujum datang tepat pada waktunya!"
Intan Selaksa sunggingkan senyum. Lesung pipit terbentang indah di sudut senyum
Intan Selaksa. Suto Sinting tak berkedip pandangi senyum berlesung pipit itu,
karena ia segera terbayang wajah calon istrinya yang dalam pengungsian di Pulau
Mayat, yaitu Dyah Sariningrum.
"Raja Nujuuum...!" teriak Ratu Teluh Bumi. "Hadapilah
aku lebih dulu jika kau ingin mendapatkan pusaka itu!"
Tapi di dalam hati Ratu Teluh Bumi cepat berkata, "Gila! Ganteng
sekali pemuda itu! Siapa dia? Baru sekarang kutemukan raut wajah setampan dia! Wah,
kenapa bergetar dan deg-degan hatiku? Sebaiknya kulupakan dulu siapa dia.
Agaknya Raja Nujum sudah kenai baik dengan Intan Selaksa dan mau melindungi
gadis itu. Ada baiknya jika Raja Nujum kusingkirkan dulu!"
Belum sempat Raja Nujum membalas sapaan dan tantangan Ratu Teluh Bumi, tiba-tiba
muncul Bandot Tembang ke tempat itu. Bandot Tembang segera pandangi Raja Nujum,
hatinya sedikit ciut melihat Pendekar Mabuk tersenyum padanya dan menyapa
dengan kalem,
"Kita bertemu lagi. Eyang Bandot Tembang yang sakti dan punya ilmu
tinggi dalam melarikan diri...!"
"Tutup bacotmu, Bocah Sinting!" gertak Bandot Tembang.
"Biarkan dia bicara!" terdengar suara tua yang segera
tampakkan diri dari arah kanan depan. Cepat-cepat Raja Nujum yang menyahut,
"O, syukurlah kau ada di sini Sambar Jantung!"
Intan Selaksa cepat berbisik dari belakang Raja Nujum, "Dia
ternyata juga inginkan pusaka itu,
Paman!"
Raja Nujum hanya menggumam, pertanda mengiyakan bisikan Intan, tapi ia bersikap
tenang seakan belum mengetahui maksud Sambar Jantung, ia bahkan berkata kepada
Sambar Jantung,
"Sebagai teman akrab dari mendiang kakakku, aku yakin kau datang
untuk membela satu muridnya yang dikejar-kejar orang banyak ini, Sambar Jantung!"
"Ya. Aku akan melindungi Intan, tapi Intan ketakutan! Ia samakan
aku dengan mereka! He he he he...! Dia
salah anggapan, Raja Nujum!" sambil Sambar Jantung menghabiskan tawanya.
Hatinya merasa sedikit aman karena bisa
mengelabui Raja Nujum. Tentunya Intan Selaksa akan menurut kepada Raja Nujum
jika Raja Nujum menganjurkan Intan Selaksa untuk berlindung kepadanya. Dengan
begitu ia bisa membujuk Intan Selaksa untuk serahkan kunci kamar pusaka itu.
Intan Selaksa menjadi muak melihat lagak Sambar Jantung. Kalau saja jurusnya
berlaku untuk menotok orang-orang itu, ia akan lakukan menotok mereka dengan
senyuman. Tapi berulang kali ia mencoba tersenyum dengan melancarkan kekuatan
tenaga totok seperti yang dilakukannya kepada Barong Geni. Namun jurus itu
ternyata tidak berlaku, dan orang-orang itu tak bisa ditotok dengan senyuman.
Mendadak muncul kembali dari arah kiri Pendekar Mabuk, seorang
perempuan yang langkahnya tenang dan langsung mendekati Suto dalam jarak dua langkah.
Dewi Kelambu Darah pandangi mata Suto yang saat itu sedang tersenyum menatapnya
pula. Mata Dewi Kelambu Darah menjadi sedikit sayu bagai dibuai kemesraan dalam
bayangan.
"Hatiku bergetar melihatmu! Baru sekarang kutemui pemuda setampan
kamu! Layak rasanya kau merebah di balik kelambuku...!"
"Sayang aku tak berminat, Nyai...!" jawab Pendekar Mabuk
sambil tetap sunggingkan senyum yang menggoda.
"Tunduklah kau kepadaku!" mata bening berbulu lentik menatap
Suto. Seberkas kekuatan dilancarkan melalui pandangan mata itu.
Intan Selaksa cemas, karena dia tahu Dewi Kelambu Darah mempunyai kekuatan
di mata dan bisa memerintah orang seenaknya saja, bahkan bisa melemparkan orang
sebesar apa pun dengan ringan dan mudah. Maka, sebelum Pendekar Mabuk terkena
pengaruh kekuatan mata Dewi Kelambu Darah, tangan
Intan Selaksa cepat menyodok ke pinggang perempuan itu. Sodokan dengan menggunakan
telapak tangan itu bertenaga besar sehingga tubuh Dewi Kelambu Darah tersentak
terbang, terpental hingga lebih dari tujuh langkah jauhnya.
Buhgg...! Wusss...! Brukk...!
"Ha ha ha ha...!" terdengar suara tawa Bandot Tembang dan
Sambar Jantung bersamaan begitu melihat Kelambu Darah terpental.
"Babi Busuk...!" geram Dewi Kelambu Darah.
Untuk menghentikan tawa kedua orang itu, Dewi Kelambu Darah kibaskan kepaianya
dengan mata tertuju pada Bandot Tembang. Wuttt...! Bandot Tembang terlempar dan
membentur tubuh Ratu Teluh Bumi.
Bruss...! Plakkk...! RatuTeluh Bumi menampar wajah Bandot Tembang yang dalam
keadaan menabrak dengan wajah hampir mencium. Tamparan keras tak diduga itu
membuat Bandot Tembang terlempar lagi ke samping dan jatuh berguling dua kali.
Sambar Jantung makin tertawa geli melihat Bandot Tembang bagai dipermainkan
dua perempuan. Tapi tawa tersebut cepat lenyap, karena mata Dewi Kelambu Darah
kini memandangnya dan dengan satu kali sentakan kepala mengibas, Sambar Jantung
terjungkal ke samping dan wajahnya masuk ke semak-semak. Brusss...!
"Siapa yang mau tertawa lagi, hah?!" bentak Dewi Kelambu
Darah dengan lagak galaknya. Lalu, terdengar suara tawa yang walau tak keras
namun terdengar jelas. Itulah tawa milik Pendekar Mabuk.
"Ha ha ha ha.... Aku tertawa!"
Dewi Kelambu Darah cepat palingkan pandang dengan wajah tetap menampakkan
kegeramannya. Tapi ia cepat berkata,
"Kalau kau yang tertawa, terserah!"
"Hmm...!" Ratu Teluh Bumi mencibir, mencemooh sikap Dewi
Kelambu Darah.
Pendekar Mabuk segera membuka bumbung tuaknya dan menenggak beberapa teguk
tuak, sementara itu terdengar Bandot Tembang berseru,
"Raja Nujum! Menyingkirlah kau dan jangan lindungi bocah bodoh
itu! Aku membutuhkan kunci pembuka pintu kamar pusaka tersebut!"
Ratu Teluh Bumi menyahut, "Kalau kau melindungi gadis itu, kami
akan membunuhmu bersama-sama, Raja Nujum!"
Pada saat itu, Intan Selaksa mempunyai gagasan yang lebih bagus lagi.
Ia segera mengambil kunci kamar Cipta Hening dari selipan ikat pinggangnya. Kemudian
dengan diam-diam, sebelum bumbung tuak Suto ditutup kembali, bumbung yang sudah
ada di punggung itu segera didekati. Dengan berlagak menepak punggung Suto,
kunci itu dicemplungkan ke dalam bumbung tuak. Plung...! Tapi tak terdengar oleh siapa pun.
Bahkan Suto bagai tak peduli dengan tepukan pundak itu, karena matanya
memandang ke arah Ratu Teluh Bumi yang bisa melepaskan pukulan atau mengirimkan
kekuatan gaib secara membahayakan. Pendekar Mabuk hanya sedikit memiringkan
kepala, karena menyangka Intan Selaksa ingin bisikkan kata. Bahkan ia menutup
bumbung tuaknya pun tidak dengan memperhatikan mulut tabungnya.
"Perempuan yang bernama Dewi Kelambu Darah tadi sangat
berbahaya!" bisik Intan Selaksa, supaya tak kentara kepura-puraannya.
"Aku bisa atasi dia! Aku tahu dia menggunakan kekuatan mata!"
Terdengar suara Raja Nujum berkata kepada empat orang serakah itu,
"Ketahuilah kalian, Pedang Guntur Biru tidak akan bisa dimiliki
oleh siapa pun, selain pewarisnya!"
"Siapa pewarisnya?!" tanya Bandot Tembang.
"Tidak ada di sini! Aku pun bukan pewarisnya!"
"Lalu untuk apa kau ada di sini jika bukan pewaris pusaka Pedang
Guntur Biru?" seru Dewi Kelambu Darah.
"Aku hanya ingin menyelamatkan kuil dari jamahan tangan-tangan
kotor! Bagaimanapun juga kuil itu adalah tempat suci milik kakakku Begawan Sangga
Mega! Aku perlu menjaga kesucian kuil itu!"
"Sudah ada muridnya! Intan Selaksa yang menjaganya. Mengapa kau
mau ikut menjaganya?!"
"Karena dia tidak cukup kuat untuk menghadapi keserakahan dan
kerakusan kalian!" jawab Raja Nujum.
"Eh, Raja Nujum...," kata Sambar Jantung, "Rasa- rasanya
cukup aku saja yang menjaga Intan Selaksa. Aku sanggup menghadapi mereka,
bahkan berjumlah dua-tiga kali lipat dari ilmu mereka pun aku masih
sanggup!"
"Aku percaya!" sambil Raja Nujum sunggingkan senyum.
"Tapi aku juga percaya bahwa kau
sanggup membawa lari pedang itu pula!"
"Mengapa kau menduga begitu?"
"Di bola kacaku ini aku bisa melihat kerakusanmu yang ingin
menjarah Kuil Swanalingga! Kau tak bisa bohong, Sambar Jantung!".
Tak bisa lagi Sambar Jantung menyembunyikan niatnya dari Raja Nujum, karena
ia segera sadar bahwa Raja Nujum bisa menebak hati seseorang dan bisa melihat
masa depan serta masa lalu seseorang. Karenanya, dengan santai dan meremehkan
sekali Sambar Jantung ucapkan kata kepada Raja Nujum,
"Kalau begitu... kelihatannya kau juga sudah tahu bahwa nyawamu
sebentar lagi mati di tanganku! He he he...!"
"Kalau itu tantangan, aku akan menyambutnya!" jawab Raja
Nujum dengan tetap kalem. Tapi segera ia berbisik kepada Suto Sinting,
"Kuhadapi mereka berempat, kau lari sembunyikan Intan
Selaksa!"
"Baik! Kucari kesempatan baik untuk pergi dari sini!" jawab
Pendekar Mabuk dengan suara pelan sekali. Lalu kepada Intan Selaksa, Suto pun berbisik
pelan,
"Bersiaplah lari bersamaku! Biar mereka dihadapi Raja Nujum!"
"Aku siap," balas Intan Selaksa.
Bandot Tembang membatin, "Mereka semua berilmu tinggi! Cukup sulit
mengalahkan mereka! Sebaiknya kugunakan tembang saktiku untuk membuat mereka
pecah jantungnya!"
Dewi Kelambu Darah berseru, "Raja Nujum, sebelum kau melawan
Sambar Jantung, sebaiknya kau hadapi dulu aku. Kasihan Sambar Jantung, sudah terlalu
tua untuk mengadakan pertarungan!"
"Kepada siapa pun yang ingin menantangku lebih dulu, aku siap melayani
sekarang juga!" jawab Raja Nujum. Kalem sekali sikapnya.
Tiba-tiba terdengar Bandot Tembang mengalunkan sebuah irama tembang
yang mencekam denyut nadi setiap orang.
Tanah kubur telah tersingkap, menunggu ajal
setiap insan.
Jika jantung tak berdenyut, napas pun hanyut
terbawa sukma.
Dalam keheningan relung hati
yang....
Plokk...! Tiba-tiba ada sesuatu yang menghantam tenggorokan Bandot Tembang.
Sesuatu itu muncul secara tiba-tiba dari sentilan jari Pendekar Mabuk
berkekuatan tinggi. Jurus 'Jari Guntur' digunakan, membuat Bandot Tembang
tersedak dan terbatuk-batuk.
"Huk huk huk hukk...!" Bandot Tembang segera memaki,
"Bang... Bangsat! Kubunuh kau...!"
Suara itu menjadi serak dan rusak. Bandot Tembang terbatuk-batuk lagi. Lalu
mencoba bicara kembali. Tapi tenggorokannya bagaikan pecah dan semakin serak
suaranya.
"Siapa anak muda itu?! Dia bisa menggunakan jarinya untuk merobek
pita suara orang di dalam tenggorokan!" sentak Ratu Teluh Bumi.
Suto menyahut, "Namaku, Suto Sinting! Jelas...?!"
Dengan suara makin gerok mirip suara kambing disembelih, Bandot Tembang
berkata,
"Hakro, trak pengrah hengerar namra gritu...! Huk uhuk
huk...!"
Sambar Jantung menyahut, "Kau memang tak pernah dengar nama itu,
Bandot Tembang, karena kau memang bodoh! Tapi biar setua ini telingaku masih belum
tuli! Kudengar nama Suto Sinting adalah seorang pendekar yang sedang kondang
bergelar Pendekar Mabuk! Dia adalah murid dari si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang! Benarkahbegitu, Suto?!"
"Benar!" jawab Pendekar Mabuk tegas, membuat Raja Nujum
palingkan wajah kepadanya dan berkata dalam gerutuan,
"Setan kau! Kenapa tak bilang sejak tadi kalau kau murid si Gila
Tuak? Aku kenal baik dengan gurumu itu!"
"Aku takut kau tak mempercayai pengakuanku tadi!"
"Pantas kau kenal siapa ibuku, siapa ayahku dan siapa kakek
guruku. Rupanya kau murid si Gila Tuak itu?!"
"Sudahlah, lekas lakukan gebrakan, aku akan bawa lari Intan!"
"Baik!" Raja Nujum menurut. Lalu, ia maju tiga tindak dan
tongkatnya dibabatkan memutar dengan kepala tongkat ada di depan. Wusss! Satu kibasan
kuat itu menghadirkan sentakan tenaga dalam yang sungguh besar, hingga keempat
orang itu terpental berjatuhan tak tentu arah. Bahkan sebatang pohon rubuh
menimpa kaki Dewi Kelambu Darah.
Brurrkk... !
"Aaaaow...!" Dewi Kelambu Darah terpekik kesakitan, satu
kakinya terselip batang pohon dan menghimpitnya kuat-kuat. Sementara yang lainnya
terjungkal di semak-semak atau ke mana saja. Masing- masing jarak jatuh mereka
mencapai tujuh langkah dari tempat semula mereka berdiri. Sementara itu, bola
kristal di tongkat Raja Nujum masih menyala berkejap-kejap warna merah membara.
Sebelum tongkat itu dikibaskan lagi, Raja Nujum segera berbisik ke belakang,
"Cepat lari dan...."
Ia terhenti bicara bisiknya, karena ketika melirik ke belakang,
ternyata Pendekar Mabuk dan Intan Selaksa sudah menghilang, entah sejak kapan
dan ke arah mana. Raja Nujum tak mendengar gerakan pergi Suto dan Intan.
Intan Selaksa bagaikan sedang bermimpi, ia tak sadar jika telah
diangkat dan dibawa lari oleh Pendekar Mabuk menggunakan jurus gerak silumannya
yang luar biasa cepat itu. Dalam waktu singkat, mereka sudah berada di depan
kuil. Suto menurunkan Intan Selaksa dari atas pundaknya, Intan Selaksa
terperangah memandang sekeliling dan berkata dengan suara gumam,
"Sudah ada di sini lagi?"
"Aku tidak tahu arah yang pasti kita tuju! Jika kau tahu,
tunjukkan arahnya! Aku akan membawamu lari dan bersembunyi di sana!"
"Memang di sini sangat berbahaya! Tapi guruku punya gubuk
peristirahatan untuk menghibur diri. Di sebelah sana, arah ke barat, ada sebuah
telaga berair biru bening. Guru sering memancing ikan di sana, tapi tidak untuk
dimakan, juga tidak untuk dibunuh. Hanya diusap-usapnya sesaat, lalu dicemplungkan
lagi ke air telaga."
"Jika begitu kita bergegas ke sana saja!"
"Tapi tempat itu melalui sarang ular berbisa! Jarang orang bisa
selamat sampai di sana, kecuali dengan memutari gunung ini dari arah
timur!"
"Kita coba saja!" setelah bicara begitu, Intan Selaksa ingin
mengatakan sesuatu, namun ia sudah berada di pundak Suto dan melesat pergi
melebihi gerakan angin atau anak panah secepat apa pun.
Rasa-rasanya hanya tiga helaan napas, Intan Selaksa sudah sampai di
tepi telaga biru. Airnya jernih dan tempatnya indah. Banyak tanaman berwarna walau
bukan bunga. Di sana ada sebuah gubuk yang berbentuk saung, tanpa dinding
penuh. Hanya separo bagian dinding yang menutupi saung itu, sedangkan bagian
depannya terbuka lepas. Atapnya dari rumbia bercampur ijuk hitam. Lantainya
lebih tinggi tiga jengkal dari tanah. Sungguh nyaman beristirahat di sana.
Tiupan udara gunung sungguh semilir mengantukkan mata orang yang kenyang.
"Apakah telaga ini mempunyai ikan cukup banyak?"
"Tak terlalu banyak, tapi memang Guru memelihara ikan hias aneka
warna di dalam telaga ini!"
"Hmm... sungguh indah pemandangan di sini! Aku bisa betah berada
di sini berbulan-bulan!"
"Jika kau berada di sini berbulan-bulan, lantas bagaimana dengan kekasihmu?
Mestinya dia rindu padamu!" pancing Intan Selaksa yang segera ditatap Pendekar
Mabuk. Intan Selaksa tersenyum, seolah-olah pamerkan lesung pipit yang amat
digemari Suto Sinting itu.
"Di sini ternyata bukan saja untuk memancing ikan, namun untuk
memancing sekerat hati!" ujar Pendekar Mabuk membuat Intan Selaksa menjadi
tersipu-sipu. Lalu ia melangkahkan kaki ke tepian telaga, ia duduk di sebuah
batu yang ada di sana, memandangi air telaga yang tenang dan warna birunya
begitu indah bagaikan agar-agar.
"Kalau saja mereka tahu tempat ini, mereka tidak akan mau
bertarung untuk memperebutkan Pedang Guntur Biru," ujar Pendekar Mabuk
mendekati.
"Kalau saja mereka tahu, mereka tidak sudi saling bunuh, sebab
pusaka itu memang tidak ada!"
"Tidak ada?!"
"Guru tidak pernah punya Pedang Guntur Biru! Kamar itu bukan kamar
penyimpanan pusaka, hanya sekadar kamar semadi!"
"Apakah kau pernah masuk di dalamnya?"
"Belum. Tapi saat pintu kamar itu terbuka, aku sempat melihat
isinya. Tak ada barang apa pun kecuali selembar tikar di lantai. Ruangan itu benar-benar
kosong! Bersih, bahkan tanpa cahaya jika pintu tidak dibuka!"
"Tapi mengapa mereka berebut untuk masuk ke kamar itu?"
"Mereka salah duga! Kabar tentang mendiang Guru memiliki pusaka
Pedang Guntur Biru sepertinya hanya sebuah isapan jempoi belaka, sekadar untuk menjaga
wibawa Guru dan menakut-nakuti lawan!"
"Tapi... tapi Raja Nujum adik dari Begawan Sangga Mega! Raja Nujum
pun mengakui bahwa kakaknya itu menyimpan pusaka Pedang Guntur Biru, Intan Selaksa!
Dia kemari juga untuk menjaga supaya pedang pusaka itu tidak jatuh ke tangan
orang sesat!"
"Barangkali setelah peristiwa ini, akan tersebar kabar bahwa
pusaka Pedang Guntur Biru ada di tangan Paman Raja Nujum! Ini untuk menipu lawan,
supaya Paman Raja Nujum pun disegani dan ditakuti, sehingga tidak sembarang
orang berani berhadapan dengannya."
Tercenung lama Suto jadinya. Menurut jalan pikirannya, apa yang dikatakan
Intan Selaksa itu memang benar. Artinya, bisa saja terjadi suatu tipuan sejak
puluhan tahun yang lalu tentang adanya pusaka Pedang Guntur Biru. Tipuan itu
dimaksud untuk menjaga wibawa dan rasa hormat bagi keluarga Eyang Purbapati.
Sebenarnya pedang pusaka itu memang tidak ada.
"Lantas mengapa kau dikejar-kejar mereka dan mereka kehendaki
kunci kamar tersebut? Kau sendiri mengapa mempertahankannya? Jika memang di dalam
kamar semadi itu tidak terdapat benda pusaka itu, seharusnya kau tak perlu
repot-repot mempertahankan kamar itu!"
"Amanat mendiang Guru, aku harus menjaga kuil dan kamar itu
khususnya, agar jangan sampai ada yang menjamah atau merusaknya. Aku hanya
tunaikan tugas dari mendiang Guru!"
Mengapa mendiang gurunya Intan Selaksa mengkhususkan kamar itu? Jika tidak
ada apa-apanya, pasti tidak perlu dikhususkan, pikir Suto dalam renungan
panjangnya.
***
9
MATAHARI pagi telah pancarkan sinarnya sejak tadi. Pendekar Mabuk bergegas
bangkit ketika menyadari dirinya telah semalaman tertidur di saung tepi telaga
itu. Nyenyak sekali tidurnya, sampai ia tak terasa bahwa Intan Selaksa telah
bangun dan tinggalkan saung.
"Ke mana dia?!" pikir Suto mencari-cari Intan Selaksa.
"Mungkin sedang buang air di balik rumpun bambu merah itu? Hmm... tak
perlu kususul. Nanti sangkanya mataku seperti keranjang!" gumam Pendekar
Mabuk sambil melangkahkan kakinya mendekati telaga, kemudian ia meraup air
telaga untuk mencuci muka.
Namun tiba-tiba ada gelombang tenaga yang datang dari seberang telaga yang
bergaris tengah antara tujuh tombak. Gelombang tenaga dalam itu memang tidak
berbahaya, tapi sentakannya yang kuat membuat tubuh Suto terjengkang ke
belakang saat ingin meraup air.
Bugg... !
Suto Sinting cepat bangkit dan pandangi arah datangnya gelombang angin besar
itu. Ternyata datangnya dari Intan Selaksa yang baru muncul dari rimbunan bayam
kuning setinggi lututnya. Dari sana Intan berseru,
"Jangan sekali-kali menyentuh air telaga!"
"Mengapa?" teriak Suto.
"Guru berpesan begitu! Aku tak tahu artinya!"
"Anak itu terlalu patuh kepada segala perintah gurunya, ia juga mempunyai
nilai kesetiaan yang tinggi," pikir Pendekar Mabuk.
Intan Selaksa melangkahkan kaki dengan santai, mendekati Suto.
"Kubawakan bunga untukmu," kata Intan Selaksa.
"Bunga apa ini? Baunya harum sekali," Suto pandangi bunga
berwarna merah jambu yang berbau harum lembut, bentuknya mirip seperti mawar
berkelopak susun dua.
"Ini namanya bunga Cendana Surga!"
"Aku baru kali ini mendengar namanya. Cukup indah, seperti
indahnya warna bunga dan bentuknya. Cantik sekali, seperti cantiknya si
pemberi," ucap Pendekar Mabuk melegakan hati Intan Selaksa. Gadis itu
tersenyum dengan manisnya, berkesan malu namun bahagia hatinya.
"Bunga Cendana Surga layak dimiliki oleh seorang pria," kata
Intan Selaksa.
"Mengapa begitu?"
"Pria yang memiliki bunga Cendana Surga membuat dirinya tak bisa disakiti
oleh perempuan mana pun! Seorang perempuan tak akan tega melukai hati pria yang
memiliki bunga Cendana Surga. Bawalah bunga itu untuk menjaga-jaga hatimu.
Sampai seratus tahun pun bunga itu tak akan layu. Harumnya tetap akan menyebar
di seluruh tubuhmu, dan tercium dari jarak tiga puluh langkah. Tapi jangan sampai
bunga itu jatuh ke tanah, karena dia
akan cepat layu dan tak lagi menyebarkan wewangian yang menenteramkan hati
siapa pun!"
"Terima kasih! Mengapa kau berikan padaku? Bukan pada pria yang
bisa menjadi kekasihmu abadi?"
"Aku tidak punya kekasih abadi! Aku hanya punya harapan
abadi!"
Suto tersenyum sambil pandangi Intan Selaksa. Kejap berikutnya Suto berkerut
dan cepat berkata,
"Intan Selaksa, aku punya firasat tak baik untuk Raja Nujum!
Sebaiknya kau di sini dulu, aku akan menengoknya ke sana! Siapa tahu Raja Nujum
membutuhkan bantuan secepatnya!"
"Aku harus ikut!"
"Jangan! Mereka memburumu dan memaksamu untuk menyerahkan kunci
itu! Kalau kau tak mau, kau bisa dibunuh oleh mereka di luar jangkauan pengamananku!"
"Kunci itu sudah tidak ada lagi padaku!"
"Hah...?! Lantas ke mana kunci itu?"
"Ada di dalam bumbung tuakmu!"
"Gila kamu!" Suto tertawa geli.
"Sejak kemarin sudah kumasukkan, sebelum kau menghantam
tenggorokan Bandot Tembang."
Pendekar Mabuk tertawa bagai orang menggumam. "Nakal kau...!"
Ia menjentik lirih ujung hidung Intan Selaksa. "Kalau begitu sejak semalam
aku minum tuak campur kunci?!"
Intan Selaksa tertawa renyah. "Maafkan aku. Aku panik kala
itu!"
"Baiklah! Kalau begitu kau ikut aku ke sana, dan jangan jauh-jauh dariku!
Jika mereka memaksamu untuk menyerahkan kunci dan kau terdesak, katakan yang
sebenarnya, bahwa kunci kau masukkan ke dalam bumbung tuakku. Suruh merekaambil
sendiri!"
Tak ada rasa gentar di hati Intan Selaksa selama ia bersama Suto.
Bahkan ia punya kesiapan nyali untuk melawan siapa pun yang mencoba
menyerangnya.
Tetapi apa yang terjadi di tempat pertarungan Raja Nujum sungguh menyedihkan.
Mereka menemui duka di sana, karena mendapatkan keadaan Raja Nujum yang sedang
sekarat, sebentar lagi mati. Sedangkan orang-orang yang kemarin melawannya
sudah tidak terlihat kecuali Bandot Tembang. Orang ini terbujur kaku dalam
keadaan jebol dadanya.
"Paman...! Paman Raja Nujum...!" Intan Selaksa cepat
mendekati orang tua yang sekarat itu dengan wajah duka menahan tangis.
"Mer... mereka... menyerang kuil... pertahankan... perta...."
Pendekar Mabuk bergegas ingin menuangkan tuak ke dalam mulut Raja
Nujum. Tapi sudah terlambat. Raja Nujum menghembuskan napasnya yang terakhir pada
saat tutup bumbung itu dibuka oleh Suto Sinting.
"Pamaaan...!" seru Intan Selaksa dalam tangis berkabungnya.
Pendekar Mabuk kembali menutup bumbung tuaknya. Tapi segera dibuka
lagi,lalu dituang ke mulutnya. Beberapa teguk tuak ditenggak sebagai alat penghapus
duka atas kematian Raja Nujum.
"Cepat kita ke kuil!" kata Suto kepada Intan Selaksa.
"Mereka pasti akan merusak kuil itu. Setelah dari sana, baru kita makamkan
Raja Nujum di samping makan gurumu, Intan!"
Jenazah itu ditinggalkan. Tongkat yang telah pecah bola kristalnya juga
ditinggalkan. Mayat Bandot Tembang dilangkahi. Matinya mengerikan. Matanya
sempat melirik ke kanan dan tak kembali lagi.
"Raja Nujum agaknya bertarung semalam suntuk dengan mereka!
Kulihat darahnya masih segar," kata Suto. "Tapi yang membuatku merasa
aneh, mengapa Raja Nujum masih juga berpesan agar kuil dipertahankan! Ada apa dengan
kuil tersebut? Jika tidak ada pusaka Pedang Guntur Biru, tak mungkin kuil
begitu gigih harus dipertahankan!"
Intan Selaksa menyahut, "Tak tahulah bagaimana sebenarnya. Yang kutahu
hanya, Guru tak pernah mempunyai pedang atau senjata apa pun!"
"Sangat disayangkan jika kuil itu dihancurkan mereka tapi mereka
tidak temukan pedang pusaka itu!"
"Itu yang kucemaskan dari awalnya," sahut Intan Selaksa.
"Kalau begitu, kupancing saja mereka dengan pertarungan!"
"Belum tentu mereka mau melayani pertarungan denganmu! Mereka
lebih mementingkan pedang pusaka dengan caramemporak-porandakan kuil!"
"Aku bisa menggunakan kunci! Dengan menunjukkan kunci itu, mereka
pasti bersedia bertarung melawanku supaya bisa dapatkan kunci kamar semadi
itu!"
"Bagaimana kalau kau sampai... kalah?'
"Kalau suratan takdirku sudah begitu, tak ada yang bisa
menghindarinya!" jawab Pendekar Mabuk dengan tenang.
Kunci itu agak sulit diambilnya, karena bumbung masih berisi tuak
hampir separo bagian. Jika dituangkan semua tuaknya, kunci bisa terambil tapi Suto
kehabisan tuak. Karena itu diambillah jalan untuk menggunakan kayu pengait.
Kunci itu ternyata berbentuk seperti senjata cakra kecil. Ujungnya bergerigi
dan mempunyai garis siku dua buah pada batangnya.
Panjangnya antara satu ukuran jari tengah, tapi lebih kecil dari ukuran
jari itu sendiri. Bagian pemegangnya berbentuk gambar hati yang berlobang. Suto
mencari akar, lalu membuatnya kalung dengan bandul kunci tersebut, ia
mengikatkan akar dan kunci di lehernya agak ketat, supaya dalam pertarungan
nanti sukar diserobot lawan.
Ketika mereka sampai di kuil, tiga orang itu sedang menggempur dinding kamar
semadi. Mereka pikir pintu itu lebih sulit digempur ketimbang dindingnya.
Tetapi pada waktu Sambar Jantung ingin melepaskan pukulan penggempurnya,
Pendekar Mabuk segera berteriak,
"Kuncinya ada di sini! Tak perlu menggempur dinding itu! Ambil
saja kunci ini!"
"Bocah monyet itu muncul lagi!" geram Ratu Teluh Bumi.
Sengaja Suto memancingnya ke arah luar halaman kuil, karena keadaan di dalam
halaman kuil sangat tak baik jika untuk pertempuran. Bahkan Suto sengaja
memancing mereka untuk mengejarnya ke sebuah gugusan cadas yang menyerupai
bukit kecil itu. Suto berdiri di sana, sementara Intan Selaksa bersembunyi di
balik kerimbunan pohon yang ada tak jauh dari bukit cadas itu.
Dalam waktu singkat Sambar Jantung, Ratu Teluh Bumi, dan Dewi Kelambu Darah
sudah mengepung Suto Sinting. Mata mereka sama-sama memandang ke arah leher
Pendekar Mabuk yang berkalung kunci warna hitam dari batuan jenis kecombong
hitam.
"Kuberi kesempatan tiap orang satu kali untuk melawanku dan
merebut kunci ini dari leherku!" kata Suto dengan sikap tetap tenang.
Mereka saling cibirkan bibir. Bahkan Sambar Jantung berkata,
"Menyambar kunci itu amat mudah, Suto! Mungkin jantungmu juga ikut
tersambar, karena sambar- menyambar itu pekeijaanku, Nak!"
"Cobalah kau yang mengawali pertarungan ini! Tak perlu sampai ada
yang mati, asal semua bersikap ksatria, kalau kalah segera mundur dan akui kekalahan
kalian!" kata Pendekar Mabuk sambil menenggak tuak lagi
Kesempatan Pendekar Mabuk lengah saat menenggak tuak digunakan oleh Sambar
Jantung untuk menggerakkan tangannya dari tempat ia berdiri berjarak enam
langkah dari Pendekar Mabuk itu. Wuttt...! Tangannya bergerak menyambut sesuatu
di depannya. Tetapi tangan Suto yang tidak memegangi tuak itu menepis, dan
terasa menyentuh hawa panas yang berbunyi, Plakkk... !
Sambar Jantung terkejut. Tangannya bisa ditangkis walau tak tersentuh tepian
tangan Suto. Ia makin penasaran kepada Pendekar Mabuk itu. Dengan cepat ia
sentakkan tangannya dari bawah ke atas bagai ingin menjungkirbalikkan meja.
Pendekar Mabuk merasa ada gerakan gelombang dari atas yang mendorong tubuhnya
ke belakang dan berjungkir balik. Sebab itu, ia segera sentakkan bumbung
tuaknya yang telah ditutup itu ke bawah. Wuttt... !
Plokk...! Bumbung tuak itu bagaikan menghantam benda keras, padahal hanya
berkelebat di tempat kosong depan kaki Pendekar Mabuk. Namun akibatnya sangat
berbahaya bagi Sambar Jantung, ia terpelanting dengan kuat bagai tangannya
disentakkan ke arah samping dan memutar, ia jatuh dengan bagian punggung lebih
dulu. Bokk...! Menyeringai wajahnya, merasa sakit punggungnya, tapi lebih sakit
bagian pergelangan tangannya.
Matanya membelalak melihat pergelangan tangannya bengkak seketika dan membiru
bagai mengenakan gelang besar. Warna biru itu terus bergerak sampai ke batas
siku.
"Biadab kau! Terimalah aji pamungkasku ini! Hiaaah...!"
Tangannya masih bisa menghentak ke depan, dan hembusan badai berserbuk putih
itu keluar dengan deras, mengguncangkan tanah sekeliling. Badai salju terjadi,
udara dingin begitu cepat menyembur ke tubuh Pendekar Mabuk. Tetapi Pendekar
Mabuk diam saja. Dipandanginya gerakan jurus 'Badai Salju'-nya si Sambar
Jantung itu. Dalam waktu singkat tubuh Pendekar Mabuk telah menjadi putih
terbungkus salju. Dan salju-salju itu sebenarnya salju beracun. Salju itu akan
memakan daging dan darah korbannya hingga menjadi tulang-belulang.
"Bocah edan!" geram Sambar Jantung. "Sudah dibungkus
salju sebanyak itu tetap saja tak mau rubuh?! Hiaaah...!"
Sambar Jantung sentakkan kedua tangan lagi dengan telapak tangan
membara merah menyala. Pukulan itu melepaskan sinar merah berbentuk piringan setengah
lingkaran. Sinar merah melesat ke dada Suto, dengan cepat Suto bergerak limbung
seperti mau jatuh karena mabuk, tapi pada saat itu ia mengangkat bumbung
tuaknya, dan sinar merah itu menghantam bumbung tersebut. Crasss...!
Sinar merah memantul balik dengan lebih cepat dan lebih besar
bentuknya. Sambar Jantung terkesiap, dan saking kagetnya tak sempat hindarkan
diri, lalu sinar merah itu pun menghantam dadanya. Blarrr!
Tubuh Sambar Jantung pecah menjadi serpihan- serpihan kecil tak bisa dilihat
oleh mata lagi, mana bagian kepala, mana bagian jari. Lembut sekali, tanpa
suara mengaduh, tanpa darah memercik.
Pendekar Mabuk mengibaskan badannya, salju-salju yang membungkusnya itu
berjatuhan. Badannya basah seperti orang habis tercebur di sungai. Tapi ia
tetap tegar dan menatap Ratu Teluh Bumi, lalu menatap Dewi Kelambu Darah.
"Siapa lagi...?" tanya Suto. "Atau sebaiknya tak perlu
ada pertarungan biar tak ada korban!"
"Jangan merasa menang dulu!" kata Dewi Kelambu Darah.
"Aku lawanmu! Bukan si tua bangka itu!"
Sett...! Mata Kelambu Darah bergerak ke samping. Pendekar Mabuk terpelanting,
karena tak menyangka akan mendapat serangan seketika itu. Pendekar Mabuk
berguling-guling di atas tanah tiga kali, lalu cepat hinggap di atas sebongkah
batu yang tingginya hanya sebatas betis. Jlegg... !
Ia berdiri siap menghadapi Dewi Kelambu Darah. Mata perempuan itu pun kembali
memandang dengan liar dan tajam. Suto segera pandangi mata itu. Kelambu Darah
meremas kedua tangannya, Suto sedikit bergetar kakinya. Rupanya mereka beradu
kekuatan lewat pandangan mata. Kelambu Darah ingin mengambil kunci itu dengan
kekuatan matanya, tapi Pendekar Mabuk mendorong kekuatan itu dengan tetap
berdiri merenggang kaki.
Makin lama semakin sama-sama bergetar tubuh mereka. Angin gunung berhembus
menyingkapkan pakaian dan rambut mereka yang tampak gigih saling mempertahankan
diri. Dan tiba-tiba Suto Sinting menggenggamkan tangannya, lalu menyentakkan
napas melalui hidung. Fuih...!
Napas tanpa dendam dan kemarahan itu tidak menghadirkan angin badai
Tuak Setan, namun mempunyai kekuatan mendorong balik pancaran mata Dewi Kelambu
Darah. Hal itu membuat Dewi Kelambu Darah tiba-tiba terpekik sambil terjengkang
ke belakang.
"Aaa...!"
Kedua bola matanya pecah. Darah memercik dari kedua rongga mata itu. Tangan
menutup mata sambil menjerit. Tubuhnya limbung karena sentakan keras, dan jatuh
terguling-guling ke lereng berjurang dalam. Suara jeritannya masih terdengar
membahana, makin lama semakin hilang. Lenyap, dan berganti sepi yang menanti.
Ratu Teluh Bumi maju dua tindak. Suto melesat pindah tempat agar dia
tak terjebak jatuh ke jurang di belakangnya. Pada waktu Pendekar Mabuk tiba di
tempatnya yang baru, Ratu Teluh Bumi segera melemparkan sesuatu yang seolah-olah
habis ditangkapnya di udara atas kepala.
Wuttt... ! Gemerincing bunyinya menerjang angin, menuju ke arah Suto. Rupanya
serombongan pecahan beling atau logam-logam tajam. Dengan kibasan tangan bagai
memercikkan air, rombongan benda tajam itu pecah berhamburan ke mana-mana. Satu
di antaranya masuk ke rahang Ratu Teluh Bumi. Perempuan itu tersentak bagai
tersengat bisa kalajengking. Dan tiba-tiba kulit rahangnya itu mengelupas.
Bergerak pelan mengelupas sendiri sampai ke bagian pipi. Ratu Teluh Bumi cepat
pejamkan mata. Kejap berikutnya luka itu kembali seperti semula. Mulus lagi
wajahnya.
Namun ia segera meniup telapak tangannya ke arah Suto. Dan Suto segera putarkan
bumbung tuak ke atas. Sesuatu yang berwarna serbuk hitam dari tiupan tangan
Ratu Teluh Bumi itu menyebar ke mana-mana terkena kibasan angin bumbung. Bahkan
kibasan angin itu semakin besar dan menghantam keras kepala Ratu Teluh Bumi.
Plokk...!
"Ahhg...!" Ratu Teluh Bumi terpelanting. Kepalanya
mengucurkan darah, sepertinya menjadi retak, ia terguling-guling jatuh ke
lereng bukit pendek itu. Tapi ia masih berusaha berdiri dan memandang ke atas
bukit. Sementara itu, berdirinya sendiri sudah menjadi limbung, darah makin membanjir
membasahi tubuhnya.
Setelah dirasakan tak mungkin lagi untuk meneruskan pertarungan, Ratu Teluh
Bumi pun berseru,
"Tunggu beberapa saat lagi! Aku pasti akan membalas kekalahan ini,
Suto Sinting!"
Tanpa menunggu jawaban dari Suto, Ratu Teluh Bumi cepat menjejakkan
kaki ke tanah dan ia melesat pergi dengan cepat. Kemudian dengan lenyapnya Ratu
Teluh Bumi, muncullah Intan Selaksa yang telah keluar dari persembunyiannya dan
berseru memanggil Suto dengan senyum kegembiraan.
"Sutooo...!"
Ia memeluk Pendekar Mabuk dengan rasa bangga dan lega yang teramat dalam.
Suto pun membalas pelukan kemenangan itu dengan hangat. Tapi angin gunung yang
membawa udara dingin itu tetap saja menghembuskan napasnya, mempermainkan
rambut kedua insan itu hingga dari bawah terlihat bagaikan dua tugu merapat dan
meriap-riapkan rambut dengan indahnya.
"Doaku ternyata dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa! Kau diberi
kemenangan, Pendekar Mabuk!"
"Terima kasih atas doamu! Jika tanpa doamu, belum tentu aku
menemukan kemenanganku, Intan!"
Rupanya Pendekar Mabuk sendiri sangat penasaran, ingin membuktikan apakah
benar di dalam kamar semadi itu tersimpan pedang pusaka yang mereka perebutkan.
Ia meminta izin kepada Intan Selaksa untuk membuka dan memeriksa kamar
tersebut. Intan Selaksa semula takut kepada pesan gurunya. Tapi Suto membujuk
dan siap menanggung segala akibatnya. Maka, Intan Selaksa pun memberanikan diri
untuk penuhi permintaan itu.
Terlebih dulu Pendekar Mabuk semadi beberapa saat lamanya di depan
pintu kamar tersebut, seakan memohon izin kepada mendiang Guru Intan Selaksa itu
untuk menengok keadaan di dalam kamar tanpa akan menyentuh apa pun. Setelah
itu, Intan Selaksa disuruh membuka pintu kamar dengan menggunakan kunci.
Ternyata lubang kunci ada di meja altar di tempat pemujaan. Begitu kunci
dimasukkan ke dalam lobang, lalu diputar, maka pintu itu pun bergerak dengan
sendiri. Zrrr...!
Kamar terbuka sudah. Tak ada yang berani masuk. Hanya memandang dari jarak
tiga langkah. Ternyata kamar benar-benar kosong. Tak ada benda apa pun kecuali
selembar tikar. Batu-batuannya tersusun rapi, tak ada kesan sebagai pintu
rahasia menuju ke sebuah ruangan.
"Aneh! Kamar kosong begini disangka ada benda pusakanya?!"
gumam Suto Sinting dengan heran.
"Sudah kukatakan, kamar ini kosong! Ternyata benar, bukan?!"
Suto manggut-manggut merenunginya. Tiba-tiba datang angin tak terlalu kencang.
Daun kering terbang tertiup angin, masuk ke kamar itu dan jatuh di tikar. Intan
Selaksa ingin buru-buru memungutnya karena merasa telah mengotori kamar semadi
itu. Namun tangannya segera ditepis oleh Suto Sinting dalam sentakan keras.
Wuttt...! Pluk...! Segera tubuh itu dipeluknya. Intan Selaksa terkejut berada
dalam pelukan Suto. Tapi lebih terkejut lagi melihat sesuatu yang terjadi di
dalam kamar. Daun kering itu telah membuat beban lain di tikar, dan puluhan
tombak berjajar rapi keluar dari arah kanan-kiri dinding.
Zzzrabb... ! Dua rombongan tombak saling menghujam rapat. Jika ada
orang berdiri di atas tikar itu, pasti akan hancur ditembus lebih dari empat puluh
tombak yang bergerak cepat dari kanan-kiri.
Suto dan Intan terkejut. Mereka masih termenung membayangkan kengerian yang nyaris menghancurkan tubuh Intan
Selaksa. Bahkan ketika mereka kembali berada di tepi telaga, bayangan
mengerikan itu masih menghantui pikiran mereka.
"Untung kau segera memelukku! Kalau tidak, habislah
riwayatku!"
"Gurumu sengaja kasih jebakan bagi mereka yang berhati rakus!
Tentu saja jika gurumu duduk di situ, jebakan itu tak akan bergerak karena
sudah dijinakkan lebih dulu!"
"Benar juga! Tapi..., apakah menurutmu di sela-sela tombak itu
terdapat pedang pusaka?"
Suto berkerut dahi dan menggumam, "Mungkin juga! Kenapa baru
sekarang kita pikirkan hal itu? Mengapa tadi tidak terpikir oleh kita, sehingga
kita bisa memeriksanya?! Tapi seingatku, seorang teman pernah mengatakan kepadaku,
bahwa Begawan Sangga Mega mengatakan, "Pedang itu tak bisa dilihat
sembarang orang. Letaknya jauh dari hati pewarisnya. Jadi, kurasa karena
pewarisnya adalah Siluman Tujuh Nyawa yang berhati sesat, maka artinya pedang
itu jauh dari hati orang yang sesat atau kotor. Letaknya tak bisa dilihat
sembarang orang, artinya hanya orang berhati bersih yang bisa melihat di mana
pedang itu berada."
"Begitukah maksudnya?"
"Kira-kira saja begitu! Aku tak tahu secara tepatnya!" jawab
Suto.
Tapi sampai jauh malam Suto dan Intan Selaksa yang menikmati keindahan purnama
di tepi telaga itu masih belum bisa memastikan, apakah Pedang Guntur Biru itu
memang ada atau tidak? Jika ada apakah memang tak bisa dilihat sembarang orang,
atau terletak di suatu tempat yang sukar dijangkau manusia?
Ketika Pendekar Mabuk sendirian merenungkan itu di tepi telaga, tiba-tiba
tak sadar ia mengusap keningnya yang bertanda merah itu dengan tangan kiri.
Lalu matanya terbelalak kaget melihat cahaya biru mengambang di perairan telaga
tersebut. Suto mendekati cahaya biru itu, ia makin tersentak kaget setelah
mengetahui benda bercahaya biru itu adalah sebuah pedang bergagang dari batuan
giok biru, sarungnya dari logam putih beling bercahaya biru semburat.
Berdebar-debar Pendekar Mabuk melihat pedang itu. Ternyata di situlah, di
perairan telaga itulah pedang itu disimpan oleh Begawan Sangga Mega. Jelas tak
akan mudah ditemukan atau dilihat orang, karena pedang itu ada di antara
lapisan alam nyata dan alam gaib. Hanya orang-orang yang bisa melihat alam gaib
saja yang bisa melihat seperti apa Pedang Guntur Biru itu.
Berbentuk sangat indah, menarik sekali. Setiap orang pasti berminat untuk
memilikinya. Tapi Pendekar Mabuk menahan hatinya dan berhasil untuk tidak
memegangnya. Sekalipun ia bisa melihat alam gaib jika mengusap keningnya dengan
tangan kiri, sekalipun ia bisa memegang, tapi ia tak mau gegabah melakukannya.
Sekalipun ia bisa membawa lari dan memilikinya, tapi ia tak mau membawanya
lari. Ia hanya berkata dalam hatinya,
"Bukan aku pewarisnya, tapi mungkin Siluman Tujuh Nyawa itu, kalau
memang dia bisa berusia tiga ratus tahun. Jika ia sebelumnya sudah mati, berarti
satu- satunya pewaris pedang itu adalah.... Singo Bodong!"
Hati Suto Sinting cukup lega. Puas rasanya walau hanya bisa memandang Pedang
Guntur Biru itu. Setidaknya ia menjadi percaya, bahwa Pedang Pusaka Guntur Biru
itu memang ada, dan tak bisa dimiliki oleh siapa pun walau harus saling
bunuh-membunuh, kecuali orang berhati suci, polos, bersih, dan tidak dihinggapi
nafsu angkara murka.
Pendekar Mabuk terpaksa harus melanjutkan perjalanannya, memburu
Siluman Tujuh Nyawa untuk memenggal kepala tokoh sesat yang banyak memakan korban
tak bersalah itu. Ia terpaksa harus berpisah dengan Intan Selaksa dengan ucapan
kata berpisah,
"Suatu saat, aku pasti datang lagi menengokmu ke sini. Dan satu
hal yang perlu kau ketahui, bahwa ternyata pusaka itu memang ada!"
Pendekar Mabuk membiarkan dipeluk Intan Selaksa sebagai salam perpisahannya.
*SELESAI*
Ikuti episode lainnya
Emoticon