Sambil tetap memegang tongkat
toyanya, Satria Tangkas langkahkan kaki ke kanan dua tindak, kemudian berdiri
tegak lagi menghadapi Garong Codet. Matanya masih memandang dengan menyipit,
mencoba mempelajari wajah aneh tanpa bulu dan berambut trondol itu. Satria
Tangkar temukan sifat angkara murka dan keji di balik wajah aneh itu.
"Jadi kau menginginkan
kepalaku sebagai tumbal?"
"Ya! Tak salah lagi
dugaanmu!"
Satria Tangkas manggut-manggut
dan berkata, "Mengapa harus kepalaku? Mengapa bukan kepala kedua temanmu
yang mirip tikus dan mirip kelinci hutan itu?!"
"Mereka bukan orang
berilmu tinggi seperti kau! Cincin Mustika Serat Iblis menolak tumbal kepala
orang yang tidak berilmu tinggi!"
Satria Tangkas sunggingkan
senyum tipis.
"Aku berterima kasih kepadamu,
karena secara tak langsung kau telah memujiku dan mengakuiku sebagai orang
berilmu tinggi! Tapi ketahuilah, Sobat..., Orang berilmu tinggi mana pun tak
ada yang mau sumbangkan kepalanya secara sia-sia untuk keperluan pribadi
seseorang. Jadi jangan harap kau bisa ambil kepalaku sebagai tumbalmu!"
"O, keliru! Kau keliru,
Anak Dungu! Bukan jangan harap aku bisa ambil kepalamu, tapi jangan harap kamu
bisa pertahankan kepalamu!"
"Kulayani tantanganmu!
Tapi aku tidak mau bertanggung jawab jika nyawamu melayang dari ragamu!
Heah...!"
Satria Tangkas segera membuka
jurus kuda-kudanya. Toya digenggam dengan satu tangan. Rapat dengan lengan
kanannya dan mengarah ke belakang, sementara kakinya pun ditarik rendah ke
belakang dengan tangan kiri terbuka di atas kepala.
"Ha ha ha ha ha...!
Jurusmu seperti jurus monyet kesurupan begitu?! Aha, mana bisa kau pertahankan
kepalamu jika menggunakan jurus itu, Anak Dungu!
Wuttt... ! Dugg... !
Gerakan Satria Tangkas begitu
cepat. Ucapan Garong Codet belum selesai tapi sudah terkena sodok toya bagian
bawah lehernya. Gerakan toya menyodok itu tidak tertangkap oleh mata Garong
Codet, sehingga tubuh besar itu bukan saja terpental ke belakang tapi juga
terbatuk-batuk dan merasa sakit jika dipakai menelan ludah. Sedangkan Satria
Tangkas sudah kembali berdiri dengan sikap tenang dan santai, ia sunggingkan
senyum sambil pandangi lawannya yang berusaha berdiri sambil batuk-batuk. Wajah
Garong Codet menjadi merah karena batuknya itu.
Dari tempatnya Setan Cilik
berseru, "Perlu bantuan...?!"
"Tidak, Goblok!"
Garong Codet jadi tambah
terkejut. Suaranya menjadi serak dan pecah. Perih rasanya jika dipakai untuk
bicara. Kegeramannya bertambah, nafsu untuk membunuh lawan menjadi kian
berkobar.
Lalu, Garong Codet sentakkan
tangan kirinya, melepaskah pukulan jarah jauhnya yang bersinar merah bagai
piringan kecil melayang itu. Cepat dan sulit dihindari. Wuussstt...!
Tetapi Satria Tangkas pun
dengan cepat menghantamkan toya ke arah samping depan. Hantaman itu tepat
mengenai sinar merah hingga timbulkan suara ledakan yang cukup keras.
Dueerr... !
Pada saat itulah Garong Codet
mengangkat tangan kanannya dan membuka genggaman tangan itu. Lalu, Mustika
Serat Iblis mendapat cahaya dari matahari dan pantulkan sinar merah yang
diarahkan ke leher Satria Tangkas.
Clapp...! Crasss..!
"Auh...!" Satria
Tangkas terpekik, ia sangat terkejut melihat kelebatan sinar itu dan menghindar
dengan secepatnya. Tapi tangan yang memegangi toya itu menjadi sasaran sinar
merah, sehingga pergelangan tangannya menjadi putus total. Pluk....! Jatuhlah
telapak tangan kanan Satria Tangkas ke tanah dalam keadaan masih menggenggam
toya.
Satria Tangkas terkesima
memandang tangannya jatuh di tanah. Saat terkesima itu digunakan oleh Garong
Codet untuk mengarahkan pantulan sinar mustika ke leher Satria Tangkas.
Clapp...! Sinar itu bagaikan
lidi yang berjulur merah dari telapak tangan Garong Codet. Lidi merah itu
bergerak dari arah kanan Satria Tangkas memenggal ke arah kiri melewati
lehernya. Crasss...!
Satria Tangkas mendelik
seketika. Terpatung sejenak. Lalu kepalanya pun jatuh menggelinding dari
raganya. Plokkk...! Maka habislah riwayat si jago toya itu di tangan Garong
Codet.
Prok prok prok...! Tikus
Ningrat dan Setan Culik memberi sambutan dengan tertepuk tangan. Semakin
bengkak dada Garong Codet mendapat pujian seperti itu. Semakin besar kepala
trondolnya, merasa menjadi orang hebat yang dapat dengan mudah menumbangkan
para pendekar berilmu tinggi. Mustika Serat Iblis semakin digenggamnya, ia pun
melangkah dengan senyum bangga, mendekati dua konconya itu.
"Gerakanmu tadi cukup
indah! Aku suka sekali melihatnya!" kata Setan Culik memuji Garong Codet.
"Itu belum seberapa,"
jawab Garong Codet. Tapi ia buru-buru pegangi lehernya dan mendehem beberapa
kali.
"Suaramu menjadi rusak,
Garong Codet! Seperti kaleng jatuh di atas tumpukan kaleng rombeng."
"Bangsat itu yang merusak
suaraku! Aduh, perih...! Hm hm hm...!" Garong Codet mendehem-dehem lagi.
Ia sempat menyeringai ketika menelan ludah sendiri.
Mata Setan Culik tak berkedip
pandangi bagian tepat di bawah leher Garong Codet. Bagian itu membekas memar
membiru berbentuk penampang ujung toya. Bundar bentuknya. Lebih besar dari uang
logam. Jika toya itu tidak dialiri tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin bisa
timbulkan bekas yang biru kehitam- hitaman seperti itu.
"Sebaiknya kita cepat cari
buah jeruk buat mengobati tenggorokanmu yang rusak itu, Garong Codet!"
usul Tikus Ningrat.
Namun tiba-tiba seseorang
menyahut dari tempat jatuhnya mayat Satria Tangkas itu.
"Tak perlu repot-repot
mencari jeruk! Aku bisa mengobatimu, Garong Codet!"
Suara tua itu cepat dipandang
oleh mereka bertiga. Terkesiap mata mereka melihat seorang nenek berjubah
kuning sudah berdiri di sana dengan tongkat kayu merahnya yang berkepala burung
garuda.
"Mau apa nenek peot itu
kemari?" geram Garong Codet pelan.
Tikus Ningrat menyahut,
"Mungkin mau mendaftarkan diri sebagai tumbal berikutnya!"
Pada saat itu, Nyai Komprang
segera sentakkan tongkatnya ke tanah. Jleeg...! Sentakan itu sangat pelan, tapi
menghadirkan kekuatan yang cukup dahsyat. Tubuh Setan Culik terpental ke atas
hingga kepalanya membentur dahan pohon dengan keras.
Wuttt... ! Prokkk... !
Krakkk...! Dahan pohon sebesar
betis itu patah seketika karena terkena sodokan kepala Setan Culik dengan
sangat kuat dari arah bawah. Patahan dahan itu menjatuhi tubuh Tikus Ningrat
yang tak sempat menghindar.
Prukk... ! Beengg... !
Kepala Tikus Ningrat terhantam
dahan sebesar betis. Sementara itu, Garong Codet sudah lebih dulu menjauh dari
tempat itu untuk menghindari dahan yang jatuh. Akibat kepalanya terkena dahan,
Tikus Ningrat pun jatuh terduduk dengan lemas. Kepalanya pusing tujuh keliling,
seperti banyak bintang yang mengelilingi kepalanya. Sedangkan Setan Culik
terkulai lemas, jatuh di sebuah dahan. Tubuhnya tersampir di dahan itu seperti
sarung sedang dijemur.
"Hebat sekali, kau,
Nek?!" kata Garong Codet dengan suara sember. "Rupanya kau datang
untuk sumbangkan kepala sebagai tumbal Mustika Serat Iblis juga?!"
"Aku datang untuk menuntut
kematian kedua muridku! Nyawa kalian bertiga belum impas untuk menebus kematian
kedua muridku itu!"
"Kalau begitu, nyawamu
ditambahkan juga sebagai pelengkapnya biar impas!" Garong Codet tak bisa
membentak, karena tenggorokannya terasa sakit jika digunakan bicara terlalu
keras, sehingga sejak tadi bicaranya cukup pelan dan berkesan lembut bagai
orang sedang memadu kasih. Garong Codet benci dengan keadaan suaranya, tapi
demi menahan supaya tidak menjadi lebih parah lagi, ia terpaksa bertutur kata
dengan suara lemah lembut.
"Garong Codet! Bersiaplah
untuk mati di tanganku, Keparat!"
Nyai Komprang menyodokkan
kepala tongkatnya ke depan. Dari kepala tongkat itu melesat cahaya putih perak.
Cahaya itu mengarah ke tubuh Garong Codet. Dengan satu sentakan kaki Garong
Codet melenting di udara dan bersalto satu kali. Saat itu pula Nyai Komprang
ikut melayang di udara dan menyerang Garong Codet dengan kepala tongkat.
Duarr...! Sinar putih perak
tadi menghantam batang pohon kelapa. Buah pohon berjatuhan. Tapi sudah berubah
menjadi busuk. Sedangkan batangnya pun menjadi keropos seketika, dan rubuh
tanpa timbulkan suara bunyi berdebam.
Saat itu pula, dua tubuh yang
melayang di udara itu saling melepaskan pukulan tenaga dalamnya. Garong Codet
melepaskan pukulan tenaga dalam dari siku kanannya. Sebuah sinar kuning seperti
bola kecil melesat. Wutt...! Dari kepala tongkat Nyai Komprang keluar lagi
sinar putih perak. Wuttt...!
Blaarrr...! Kedua sinar itu
saling menghantam dan pecah dengan timbulkan ledakan dahsyat. Gelombang ledakan
itu melemparkan tubuh Nyai Komprang ke belakang hingga berguling-guling tak
terkendalikan keseimbangannya. Sedangkan tubuh Garong Codet melengkung ke depan
lalu membentur pohon besar dalam jarak lebih dari tujuh kaki di belakangnya.
Buuhhg !
Garong Codet sebenarnya
merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tapi ia paksakan untuk berdiri secepatnya,
karena ia melihat keadaan lawannya sangat lemah. Maka, dibukalah tangan kanan
yang menggenggam Mustika Serat Iblis itu. Lalu, pantulan cahaya matahari keluarkan
sinar merah tanpa putus ke arah tubuh Nyai Komprang. Wusttt...! Clappp...!
Nenek berjubah kuning itu
terkejut dan tak sempat menghindar. Akibatnya sinar tak terputuskan itu
bergerak menebas leher sang nenek dengan cepat. Crass...! Dan kepala sang nenek
pun jatuh menggelinding di tanah, menyusul bagian badannya rubuh bagaikan
batang pohon pisang. Bruukkk...!
Tikus Ningrat mendekati pohon
tempat tersangkutnya Setan Culik. Tapi pohon itu tiba-tiba berguncang pada saat
Setan Culik sedang kebingungan mencari jalan untuk turun. Wurrr...!
Bukkk...! Setan Culik jatuh
tepat di depan Tikus Ningrat, ia tidak segera ditolong, tapi justru
ditertawakan oleh manusia berwajah runcing seperti tikus itu.
Setan Culik cepat bangkit dan
lompatkan diri dalam satu tendangan ke arah Tikus Ningrat. Plaak...! Tikus
Ningrat cepat menangkis kaki Setan Culik yang tak pedulikan rasa sakit membiru
di lengan kanannya itu.
"Kenapa kau
menyerangku?!"
"Kau mengguncangkan pohon
itu hingga aku jatuh!" sentak Setan Culik dengan berang.
"Bukan aku yang guncangkan
pohon! Angin yang bikin pohon berguncang!"
"Tak ada angin sekencang
itu!"
"Kalau begitu, seseorang
telah mengguncangkan pohon itu dengan kekuatan jarak jauhnya!"
Setan Culik diam, Tikus Ningrat
pun diam. Karena tiba-tiba dari arah belakang mereka terdengar suara menyahut,
"Aku yang mengguncangkan
pohon!"
Garong Codet juga terkesiap
melihat kemunculan tokoh tua yang tampil sambil mengunyah makanan. Tokoh tua
itu jadi lebih terkejut dan berhenti mengunyah setelah ia perhatikan ke arah
mayat Satria Tangkas yang kepalanya berjarak tiga langkah dari raganya.
"Satria...?!"
Tokoh tua itu cepat mendekati
kepala Satria Tangkas. Serta-merta makanan yang dikunyahnya disemburkan keluar.
Bruss...! Kemudian ia palingkan pandangan ke arah Garong Codet. Matanya mulai
pancarkan api dendam kemarahan.
"Kau telah membunuh
muridku, Garong Codet!" geram orang itu yang tak lain adalah Ki Madang
Wengi. Napasnya terengah-engah tangannya mulai gemetar. Gigi pun menggeletuk
tanda menahan kemarahan besar.
"Apakah anak muda itu
muridmu, Pak Tua?"
"Semua orang tahu, Satria
Tangkas adalah murid Madang Wengi!" Ki Madang Wengi menepuk dadanya
sendiri untuk melampiaskan kemarahannya yang sudah tak tertahankan lagi itu.
Tikus Ningrat segera maju
mendekati Ki Madang Wengi dengan berkata,
"Jangan marah-marah, Pak
Tua. Muridmu Cuma mati, cuma terpenggal saja! Dia tidak merasa...."
Dengani cepat Ki Madang Wengi
mencabut bambu runcingnya di pinggangnya. Wuttt...! Crapp...! Bambu runcing
tiga jengkal menancap di dada Tikus Ningrat, tepat di bagian jantungnya. Darah
pun menyembur keluar sambil Tikus Ningrat tenganga mulutnya, terdongak
kepalanya, dan mendelik matanya.
Slapp...! Bambu dicabut dari
dada Tikus Ningrat. Kemudian tubuh Tikus Ningrat dijejak kuat oleh Ki Madang
Wengi. Bukkk...!
Wusttt...! Tubuh itu terlempar
begitu jauhnya. Lebih dari lima belas langkah. Bagai boneka dari kain tubuh itu
menghantam ke sebuah pohon tepat di bagian kepalanya.
Prokk....! Kepala itu pecah
karena kecepatan melayang tubuh Tikus Ningrat.
Tentu saja Garong Codet dan
Setan Culik terperangah kaget melihat Tikus Ningrat bermandi darah dan tak
bernyawa lagi. Garong Codet segera berbalik pandang dan menggeram dengan mata
melotot. Cuping hidungnya kembang kempis. Wajah tanpa kumis dan alis itu
menjadi merah padam.
"Jahanam kau, Madang
Wengi! Kau bunuh sahabatku yang setia itu! Kubalas kau tanpa ampun lagi!
Heeaah...!"
Clapp, clappp...! Mustika Serat
Iblis segera melepaskan pantulan sinarnya ke arah Ki Madang Wengi. Orang tua
berjubah abu-abu itu melompat ke sana kemari dengan gerakan cepat tak terlihat
mata. Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Setan Culik.
Wuttt...! Bukkk!
Tangan kiri Ki Madang Wengi
menyentak cepat bagai gerakan tak direncana. Tangan itu menghantam punggung
Setan Culik. Yang dihantam terpental jauh dan terguling-guling. Lalu di sana ia
muntahkan darah kental dari mulutnya.
"Jahanam busuk kau, Madang
Wengi! Hiih...!"
Clap, clap, clap, dap...!
Ki Madang Wengi dihujani
kilatan cahaya merah dari Mustika Serat Iblis, ia menghindar dengan lincah, dan
beberapa pohon pun tumbang terpotong oleh kilatan cahaya merah Mustika Serat
Iblis.
Rupanya Garong Codet
benar-benar marah melihat dua sahabatnya dilukai oleh Ki Madang Wengi. Tak ada
hentinya Garong Codet melepaskan sinar pemotong yang amat berbahaya itu. Mau
tak mau Ki Madang Wengi hanya bisa menghindar, karena ia tidak diberi
kesempatan untuk mendapatkan celah menyerang.
"Modar kau,
jahanaaam...!" Garong Codet berseru garang dengan suara serak, tanpa pikirkan
rasa sakitnya di tenggorokan. Mustika Serat Iblis tetap menghujani Ki Madang
Wengi secara bertubi-tubi, tapi manusia selincah petir itu sulit dikenai
anggota tubuhnya. Lebih dari sepuluh pohon menjadi sasaran sinar merah yang
mematikan itu. Lebih dari dua puluh batang menjadi terpotong-potong oleh
pantulan sinar Mustika Serat Iblis.
Ki Madang Wengi merasa
terdesak, ia tak punya harapan dapat menyerang, karena ketika ia mencoba
melepaskan pukulan tenaga dalam bersinar kuning untuk melawan sinar merah dan
terputus itu, ternyata sinar kuningnya kalah. Tak bisa menahan sinar merah
tersebut.
Merasa dirinya terdesak bahaya
yang tak bisa ditawar lagi itu, Ki Madang Wengi cepat melarikan diri tanpa
keluarkan sepatah kata pun. Hanya suara Garong Codet yang terdengar keras dan
serak.
"Ke mana pun kau lari akan
kukejar, Madang Wengi! Bangsaaat...!"
Ki Madang Wengi tak peduli
dikatakan bangsat, karena ia sedang cari selamat. Gerakannya yang cepat itu pun
tak bisa diikuti lawan.
* * *
6
PANTAI Tanjung Keramat suatu
tempat yang sunyi. Jauh dari kehidupan masyarakat pedesaan. Pantai itu banyak
dikelilingi oleh gugusan karang yang menggunung. Dua gugusan karang yang paling
besar tingginya antara tiga puluh tombak lebih. Dua gugusan karang itu
membentuk celah tebing yang berhadapan. Di tebing karang itu terdapat sebuah
tempat datar. Tempat datar itu terletak di depan sebuah gua bermulut lebar. Di
dalam gua itulah Tabib Awan Putih tinggal di sana sendirian.
Bekas seorang pendekar dari
dataran Cina itu kini telah mengasingkan diri dari keramaian duniawi, ia lebih
menekuni pengobatan dan meramu berbagai macam obat dari ramuan alam berupa
dedaunan pohon, akar pohon, kulit, daun, kayu, bunga, getah dan yang lainnya,
ia memasak obat-obatan itu di dalam gua, sehingga ciri khas Pantai Tanjung
Keramat adalah udara berbau rempah-rempah.
Tabib Awan Putih sudah berusia
sekitar delapan puluh tahun. Tapi tubuhnya masih segar dan gesit. Memang
sedikit bungkuk, tapi tidak membuat langkahnya tertatih-tatih. Rambutnya putih
tipis, agak gundul, matanya kecil tapi masih tajam memandang jarum jatuh di
tanah. Jenggotnya putih panjang, dan kumisnya yang putih itu melengkung ke
bawah melewati dagu. Ia mengenakan pakaian jubah putih. Semuanya serba putih
kecuali dua biji matanya yang punya warna hitam.
Suara tuanya masih terdengar
jelas, Tidak bergetar seperti suara orang awam seusia delapan puluhan, ia orang
yang berpenampilan tenang, walaupun kadang- kadang sering jengkel pada dirinya
sendiri jika melakukan kesalahan.
Rupanya hari itu sang tabib
sedang kedatangan tamu, yaitu seorang pemuda tampan berpakaian celana putih
dengan baju tanpa lengan berwarna coklat. Rambut pemuda itu tergerai panjang.
Lemas dan halus. Sorot matanya lembut dan hidungnya bangir. Ke mana pun pemuda,
itu berada ia selalu tak jauh dari bumbung bambu tempat tuak yang panjangnya
antara satu depa. Melihat bumbung tempat tuak itu, orang akan cepat
mengenalinya sebagai murid edan si Gila Tuak yang punya nama panggilan Suto
Sinting, dengan julukan Pendekar Mabuk.
Dia memang seorang peminum
tuak. Tapi tak pernah menjadi mabuk dan bikin onar. Julukan Pendekar Mabuk itu
diberikan oleh gurunya, karena dia punya gerakan jurus mirip orang mabuk. Tubuh
meliuk ke kanan kiri, sempoyongan ke sana-sini, tapi setiap gerak timbulkan jurus
dan melepaskan pukulan maut.
Ia dikatakan sinting karena
setiap gerakan jurusnya menghasilkan satu kejutan yang gila-gilaan. Kadang ia
terlihat diam saja, tapi sebenarnya sedang menyerang lawannya dengan jurus yang
membahayakan. Bahkan dalam keadaan bahaya pun Suto masih sempat menenggak
tuaknya dengan tenang, dan tuak itu ternyata menghasilkan satu kekuatan dahsyat
yang membuat orang terperangah terheran-heran. Belum lagi jika ia menghembuskan
napas Tuak Setan-nya, badai datang mengamuk dan menumbangkan apa saja yang ada
di depannya. Sungguh sinting ilmu yang dimiliki Suto, tapi toh tidak membuatnya
menjadi takabur ataupun sombong. Justru Suto banyak menahan diri dan mencari
perdamaian dengan lawannya siapa saja.
Hanya satu lawan yang tak bisa
diajak damai dan tak perlu ditawarkan perdamaian lagi, yaitu Siluman Tujuh
Nyawa. Tokoh sesat berilmu tinggi yang telah banyak menelan korban itu sedang
diburunya untuk dipenggal kepalanya. Bukan semata-mata dendam yang ada di hati
Pendekar Mabuk, bukan pula semata-mata kepala itu menjadi mas kawin bagi
pinangannya terhadap Dyah Sariningrum, Ratu Puri Gerbang Surgawi yang punya
panggilan Gusti Mahkota Sejati itu, tapi karena tugas menyelamatkan banyak jiwa
dari kekejaman Siluman Tujuh Nyawa, maka Suto memburu tokoh sesat berilmu
tinggi itu.
Hanya saja, kali ini kedatangan
Pendekar Mabuk ke Tanjung Keramat bukan untuk membicarakan tentang Siluman
Tujuh Nyawa, melainkan untuk membicarakan masalah Bunga Bernyawa (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pawang Jenazah"). Perempuan cantik
yang pernah menjadi sandera dan sekaligus gundik Laksamana Cho itu adalah putri
seorang kaisar di negeri Cina.
Sudah cukup lama Pendekar Mabuk
meninggalkan Bunga Bernyawa di Pegunungan Mahagiri bersama Mayang Suri,
bayinya, dan Eyang Juru Taman. Tentunya perempuan putri kaisar itu sudah ingin
pulang ke tanah kelahirannya. Pendekar Mabuk pernah berjanji akan mengatur
perjalanan pulangnya Bunga Bernyawa. Tapi sampai sekarang ia belum punya waktu
dan belum punya kapal yang bisa membawa pulang Bunga Bernyawa.
"Aku kenal ayah Bunga,
yaitu Kaisar Shiauw-ong alias si Raja Kecil itu," kata Tabib Awan Putih
sambil menghisap-hisap sebatang huncwe (pipa tembakau panjang), ia berjalan
mondar-mandir di depan Pendekar Mabuk. Kemudian lanjutnya,
"Tapi kalau aku
mengantarkan Bunga pulang ke sana, maka aku akan berhadapan dengan musuh
lamaku, Lim- ong, alias si Raja Hutan! Padahal aku sudah bersumpah untuk tidak
membunuh orang lagi, selain binatang. Aku pun tidak mau dibunuh begitu saja.
Sebab itu aku lebih tenang tinggal di pantai ini."
"Jadi, jelasnya kau
keberatan untuk mengantarkan Bunga Bernyawa pulang ke negerinya?!"
"Aku keberatan, Suto!
Kusarankan kau sewa kapal saja dan bawa sendiri gadis itu pulang ke negerinya!
Di sana kau pasti akan sangat dihargai karena dianggap sebagai pahlawan yang
bisa selamatkan putri kaisar!"
"Aku tak punya uang untuk
sewa kapal," kata Suto jujur apa adanya.
Tabib Awan Putih melepaskan
tawa terkekeh. Setelah menghisap satu kali pipanya itu, ia pun ucapkan kata,
"Aku punya kenalan seorang
saudagar yang punya kapal empat. Aku bisa pinjamkan kapal itu, karena aku
pernah tolong dia dan dia merasa berhutang nyawa padaku! Kalau kau mau, segera
kuhubungi sahabatku itu!"
"Tapi aku masih buta
pelayaran menuju Laut Cina, Tabib!"
"Hei hei hei...!"
Tabib Awan Putih mendekati Suto. "Kalau gurumu si Gila Tuak mendengar
ucapanmu ini, kamu pasti ditamparnya! Aku tahu watak sahabat lamaku yang jadi
gurumu itu, dia paling tidak suka dengan kata menyerah. Harus berusaha dulu,
setelah berulang kali gagal, baru boleh menyerah. Tapi bukan untuk kalah,
melainkan untuk cari kemenangan di jalur lain!"
Pendekar Mabuk tersenyum.
Agaknya orang berjubah putih ini tahu betul watak si Gila Tuak, gurunya.
Kemudian Suto berkata,
"Aku bukan menyerah,
Tabib. Aku hanya mengakui kebodohanku tentang pelayaran ke Laut Cina."
"Tapi nada bicaramu
berkesan menyerah, Suto Sinting! Itu tidak baik untuk jiwamu! Cobalah dulu bawa
kapal ke Laut Cinta, eh... ke Laut Cina! Cobalah dulu. Dan lagi, setahuku Bunga
Bernyawa pandai dalam ilmu jalur pelayaran, karena semua anak kaisar harus
menguasai jalur pelayaran laut!"
Pendekar Mabuk menarik napas,
ia teguk tuaknya kembali, sedangkan Tabib Awan Putih menghisap huncwe-nya
dalam-dalam, ia duduk di sebuah bangku kecil yang rendah, di depan sebuah
pelita menyala.
"Baiklah, akan kucoba
berlayar ke sana bersama Bunga Bernyawa!" ujar Suto setelah sama-sama
bungkam beberapa saat. "Lantas, kapan aku bisa mendapatkan kapal itu,
Tabib?!"
"Tiga hari lagi!"
"Mengapa tiga hari
lagi?"
"Perjalanan menuju tempat
sahabatku itu sudah memakan waktu satu hari satu malam. Belum lagi membawa
kapalnya kemari dan...."
Tiba-tiba Tabib Awan Putih
menghentikan ucapannya. Matanya melirik ke arah luar gua, sepertinya ada sesuatu
yang ia curigai. Suto mencoba mencari sesuatu yang dicurigai itu, tapi ia tak
temukan apa-apa. Hanya kesunyian yang ada di luar gua. Kemudian Suto pun ajukan
tanya,
"Ada apa, Tabib?"
"Ada orang menuju
kemari!"
"Dari mana kau tahu?"
"Getaran nadinya kurasakan
mendekat kemari."
"Mungkin itu getaran nadi
binatang."
"Tidak sekeras ini getaran
nadinya. Hmmm... langkahnya pun langkah telapak kaki manusia!" Tabib Awan
Putih sipitkan matanya lagi. Setelah itu kembali tarik napas dan bersikap biasa
saja.
"Sampai mana percakapanku
tadi?" tanyanya kepada Suto.
"Sampai... sampai telapak
kaki manusia, Tabib!"
"Bukan. Soal kapal
tadi!"
"O, hmmm... yah, kurasa
aku memang harus segera hubungi Bunga Bernyawa. Aku siap berangkat ke Laut Cina
kapan saja. Terserah harinya, kau yang tentukan, Tabib. Sebab kau yang punya
kesanggupan menolong putri kaisar itu untuk mencarikan kapal!"
"Ya. Tapi menurutku, kalau
kau mau kawini Bunga Bernyawa, maka Bunga akan betah tinggal di sini,
Suto!"
Pendekar Mabuk tertawa kecil.
"Mengapa kau bilang begitu, Tabib?"
"Wanita-wanita ningrat
seperti Bunga Bernyawa itu sangat menyukai pemuda yang mempunyai ilmu tinggi
namun bijaksana, berjiwa ksatria dan berwajah tampan. Sedangkan semua itu
menurutku ada padamu, Suto!"
"Ah, tidak semudah itu,
Tabib! Cinta tidak datang dari sikap saja! Cinta adalah gerakan batin yang
sangat naluriah sekali, Tabib. Tak bisa diatur kedatangannya!"
"Atau... barangkali kau
sudah punya kekasih sendiri di negeri yang tak bisa dilihat mata orang
biasa?"
"Apa maksudmu,
Tabib?"
"Maksudku, kau punya calon
istri di alam gaib?"
"Di alam gaib? Mengapa kau
bicara soal alam gaib?" Pendekar Mabuk kerutkan dahi dalam lagak
bingungnya. Tabib Awan Putih tersenyum.
"Aku melihat noda merah
kecil di keningmu, Suto. Aku tahu, noda itu sebagai tanda bahwa kau bisa masuk
ke alam gaib. Dan satu-satunya negeri alam gaib yang pernah kudatangi sebagai
kunjungan persahabatanku ialah negeri Puri Gerbang Surgawi, yang dipimpin oleh
seorang ratu cantik bernama Ratu Kartika Wangi!"
Pendekar Mabuk sedikit
terkesiap dan menjadi tersipu. Ternyata Tabib Awan Putih itu memang tinggi
ilmunya. Dia bisa mengenal Gusti Ratu Kartika Wangi yang ada di alam gaib, yang
mempunyai negeri Puri Gerbang Surgawi. Sedangkan negeri Puri Gerbang Surgawi di
alam nyata ini dipegang oleh Dyah Sariningrum, calon istri Suto. Karena itu,
Suto Sinting hanya tersenyum-senyum saja saat Tabib Awan Putih membeberkan
tentang negerinya Gusti Ratu Kartika Wangi.
"Hanya orang terhormat dan
punya penghargaan tinggi yang diberi tanda merah di kening oleh Ratu Kartika
Wangi. Dia mempunyai dua putri, yaitu Betari Ayu dan Dyah Sariningrum.
Barangkali salah satu dari kedua anaknya itulah yang menjadi kekasihmu!"
"Aku tak bisa bohong di
depanmu, Tabib!" Pendekar Mabuk tersenyum kecil, menahan malu.
"Pantas kalau kau menolak
Bunga Bernyawa, karena kau punya kekasih salah satu dari anak Ratu Kartika
Wangi. Tapi kalau boleh aku tahu, yang mana kekasihmu itu, Suto?"
"Gusti Mahkota
Sejati," jawab Pendekar Mabuk menyebut nama julukan kekasihnya.
"O, itu julukan dari Dyah
Sariningrum!"
"Tak salah, Tabib!"
sambil Suto sunggingkan senyum bangga dan berbunga hatinya. Rupanya Tabib Awan
Putih banyak tahu tentang Puri
Gerbang Surgawi, sehingga hafal nama julukan Dyah Sariningrum. Kemudian Tabib
Awan Putih berkata,
"Sampaikan salamku kepada
Ratu Kartika Wangi jika kau jumpa dia kapan saja. Katakan bahwa...."
Ucapan Tabib Awan Putih kembali
terputus dengan sendirinya. Suto berkerut dahi dan berkata dalam hati,
"Mungkinkah ia takut banyak menceritakan dan sebut- sebut nama Gusti Ratu
Kartika Wangi...?" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Manusia Seribu Wajah").
Rupanya berhentinya kata-kata
itu segera disusul dengan bangkitnya Tabib Awan Putih dari tempatnya bersila.
Kemudian ia melangkahkan kaki ke mulut gua. Tepat kakinya ada di luar gua,
seorang wanita melompat dari atas dan mendaratkan kakinya di tempat datar, di
depan Tabib Awan Putih. Suto jadi tertarik dan ikut keluar.
Kedua mata wanita cantik itu
memandang mata Pendekar Mabuk. Ada rasa debaran aneh di dalam hatinya yang
membuat ia pun jadi resah serta sedikit gugup. Tapi cepat-cepat ia alihkan
pandangan kepada Tabib Awan Putih, sehingga kegugupannya yang aneh itu menjadi
hilang.
Wanita cantik yang datang
dengan melalui jalan curam itu berpakaian merah tembaga terang, bertahi lalat
kecil di bawah mata kiri, menyandang pedang di pinggangnya. Siapa lagi yang
bertahi lalat kecil di bawah mata kirinya itu jika bukan Roro Manis, murid
Eyang Danujaya? Tetapi agaknya Tabib Awan Putih tidak mengenalinya, sehingga ia
sedikit kerutkan dahi dalam memandang. Sedangkan Suto Sinting diam membatin
dalam hati,
"Mungkin wanita ini yang
denyut nadi dan langkah kakinya dirasakan oleh Tabib Awan Putih. Benar-benar
kagum aku pada Tabib Awan Putih. Bukan hanya indera keenamnya yang tajam, tapi
ia juga bisa menerka isi hatiku. Hm... sebaiknya kusimak dulu apa perlunya
gadis cantik itu datang kemari. Sepertinya, Tabib Awan Putih merasa asing
dengan gadis itu!"
Benar dugaan Suto, buktinya
tabib segera ajukan tanya kepada gadis itu, "Siapa dirimu, Nona?"
"Namaku Roro Manis. Aku
dari padepokan desa Sambiroto, murid Eyang Guru Danujaya."
"Danujaya...?!" tabib
menggumam agak bingung. "Silakan masuk!" Ia melangkahkan kaki lebih
dulu masuk ke dalam gua yang penuh dengan guci obat dan kotak rempah-rempah.
Roro Manis sempat melirik
Pendekar Mabuk lagi ketika melangkah masuk. Suto sunggingkan senyum dan ucapkan
kata,
"Namaku Suto
Sinting!"
"Aku belum berminat
menanyakannya!" Roro Manis berlagak ketus. Padahal hatinya berdebar indah
mendengar nama pemuda tampan itu. Ia melanjutkan kata, "Aku masih butuh
bicara dengan Tabib Awan Putih!"
Pendekar Mabuk tertawa dalam
gumam. Kemudian ia biarkan Roro Manis masuk mengikuti langkah Tabib Awan Putih.
Suto sendiri membuka bumbung tuak dan menenggak tuaknya beberapa teguk. Setelah
itu ia kembali pusatkan perhatian kepada pembicaraan Roro Manis dengan Tabib
Awan Putih.
"Apa perlumu datang
kemari, Roro Manis?"
"Untuk menemui Tabib Awan
Putih."
"Akulah orang yang kau cari.
Dari mana kau mengenalku?"
"Ki Madang Wengi
menyuruhku datang kemari."
"O, Madang Wengi?! Ya ya
ya...!" tabib manggut- manggut sambil sunggingkan senyum mengenang Madang
Wengi. Ia segera lanjutkan kata,
"Sudah hampir sepuluh
tahun aku tidak jumpa dengan Madang Wengi. Bagaimana kabarnya?"
"Dia dalam keadaan baik,
Tabib. Sekarang dia sedang mengawasi bekas kekasihnya semasa muda...."
"Nyai Komprang,
maksudmu?" potong tabib dengan cepat.
"Benar, Tabib!"
"He he he...! Kudengar
belakangan ini mereka saling bermusuhan!"
"Memang, Tabib. Tapi
agaknya bukan musuh bebuyutan! Terbukti Ki Madang Wengi masih sempat cemaskan
Nyai Komprang saat Nyai Komprang mau temui Garong Codet!"
"Garong Codet...?!
Maksudmu, si perampok dari tanah seberang itu, Roro Manis?"
"Betul, Tabib!" jawab
Roro Manis dengan tegas tapi sopan.
"Ada persoalan apa Nyai
Komprang sampai berurusan dengan Garong Codet itu? Ilmu Nyai Komprang jauh
lebih tinggi, mau-maunya dia berurusan dengan anak kemarin sore?!"
"Nyai Komprang yakin kedua
muridnya dipenggal oleh Garong Codet! Dan saya pun berpendapat begitu, karena
penggalan kepala di kedua murid Nyai Komprang tidak semburkan darah sedikit
pun. Penggalan itu sama persis dengan penggalan kepala tiga saudara
seperguruanku dan bahkan Eyang Guru sendiri juga dipenggal oleh Garong Codet!
Itulah sebabnya Nyai Komprang mau menuntut balas kepada Garong Codet. Tapi Ki
Madang Wengi cemaskan jiwa Nyai Komprang!"
"Mengapa Madang Wengi
cemaskan jiwa Nyai Komprang? Bukankah dia tahu Nyai Komprang berilmu tinggi?!"
"Karena Garong Codet
bersenjatakan Mustika Serat Iblis!"
"Hah...?!" Tabib Awan
Putih tersentak kaget hingga mulutnya terbengong melongo. Sedangkan Pendekar
Mabuk diam saja, karena dia tidak tahu kehebatan Mustika Serat Iblis. Tapi dia
jadi sangat tertarik begitu melihat Tabib Awan Putih tersentak kaget. Pendekar
Mabuk pun mendekatkan diri tapi tetap tidak ikut bicara.
"Mana mungkin batu Mustika
Serat Iblis bisa dimiliki Garong Codet...?!" Tabib Awan Putih bicara
seperti pada dirinya sendiri.
"Aku melihatnya sendiri,
Tabib! Bahkan aku hampir saja menjadi korban keganasan Mustika Serat
Iblis!" kata Roro Manis. "Aku melarikan diri kepada Ki Madang Wengi.
Lalu, Ki Madang Wengi menyuruh aku kemari untuk meminjam Perisai Naga Bening
darimu, Tabib!"
Tabib Awan Putih diam tertegun
beberapa saat lamanya. Karena suasana menjadi sunyi, maka Pendekar Mabuk yang
mulai penasaran dengan berita tentang mustika tersebut, segera ajukan tanya
kepada Tabib Awan Putih,
"Apa kehebatan Mustika
Serat Iblis itu, Tabib?'
"Bisa memotong baja
setebal apa pun! Pantulan cahayanya sangat berbahaya. Mustika itu hanya
dimiliki pada seekor harimau berbulu merah api. Harimau itu sudah berusia
ribuan tahun, dan empedunya menjadi batu warna merah. Jika terkena pantulan
cahaya apa saja, bisa memotong benda apa pun, termasuk tubuh manusia. Di dunia
ini hanya ada tiga harimau berbulu merah api, dan ia tidak berkembang biak
seperti hewan lainnya. Tak ada yang bisa menahan pantulan sinar yang membias
lewat batu Mustika Serat Iblis selain Perisai Naga Bening .... "
"Menurut Ki Madang Wangi,
perisai itu adalah milikmu, Tabib!"
"Ya. Benar. Tapi...,"
suara itu melemah, "Tapi perisai itu telah hilang. Jatuh di tengah lautan
saat aku bertarung melawan Durmala Sanca...."
"Siluman Tujuh Nyawa?!"
sahut Suto tegang.
"Ya. Benar. Kau
mengenalnya, Suto?"
"Aku bukan mengenalnya,
tapi memburunya! Rupannya kita punya musuh yang sama, Tabib!"
"Ya. Tapi itu dulu.
Sekarang aku tak punya minat untuk membunuh Durmala Sanca! Karena memang aku
sudah tidak mau membunuh lagi!"
Roro Manis agak kesal karena
percakapannya dialihkan ke masalah Siluman Tujuh Nyawa. Maka segera ia ajukan
tanya,
"Jadi mengenai Perisai
Naga Bening itu bagaimana, Tabib?"
Tabib segera pandangi Roro
Manis dan berkata, "Perisai itu terkubur di dasar lautan. Aku kehilangan
perisai itu sekitar sepuluh tahun yang lalu."
"Ah, sayang sekali!
Padahal Garong Codet sedang mencari tumbal untuk mustika itu," kata Roro
Manis, "Ia butuh tumbal sejumlah...."
"Tiga puluh tiga
kepala," sahut Tabib Awan Putih dengan cepat. Roro Manis berdecak kagum
dan tak bicara sesaat. Karena ternyata Tabib Awan Putih lebih banyak tahu
tentang Mustika Serat Iblis daripada yang lainnya. Tabib Awan Putih pun
melanjutkan ucapan katanya,
"Garong Codet tak akan
berhenti mencari tumbal sebelum purnama muncul! Jika sebelum purnama muncul ia
sudah mendapatkan tiga puluh tiga kepala orang sakti, maka Mustika Serat Iblis
itu akan menjadi miliknya. Selamanya ia akan memiliki pusaka itu. Walau dibuang
ke kutub utara tetap saja batu mustika itu akan kembali sendiri kepadanya! Tapi
jika sebelum purnama tiba ia tidak bisa mendapatkan tiga puluh tiga kepala
tumbal, maka kepalanya sendiri yang akan meledak hancur sebagai korban
penghabisan!"
"Padahal dia sekarang
sedang mengejarku, Tabib!" ucap Roro Manis dengan nada cemas.
"Kalau begitu kau harus
bersembunyi! Kau tidak bisa melawan kekuatan Mustika Serat Iblis itu. Aku pun
tak akan bisa melawannya! Satu-satunya cara untuk melawannya adalah bersembunyi
serapi mungkin, sambil tunggu purnama lewat. Jika purnama telah lewat,
seandainya mustika itu tetap ada di tangan Garong Codet, itu tidak terlalu
membahayakan jiwamu! Karena Garong Codet tidak akan memburu tumbal dengan
membabi buta. Hanya jika ada orang yang terlibat bentrok dengannya saja ia akan
menggunakan mustika itu. Jika tidak ada masalah dengannya, ia tak perlu
memenggal kepala orang itu karena tidak diburu jumlah tumbal yang harus
diperolehnya!"
Tabib Awan Putih memandang
Pendekar Mabuk dan berkata, "Kau pun bisa dibunuhnya jika ia tahu kau
orang berilmu tinggi, Suto! Kusarankan, kalian berdua bersembunyilah di suatu
tempat yang aman. Jangan di sini! Karena kalau dia mengamuk di sini, aku akan
jadi korban yang sia-sia!"
"Jadi ke mana tempat yang
baik menurutmu untuk bersembunyi?"
"Bawa perempuan ini ke Gua
Mulut Dewa! Di sana kalian akan lebih aman," kata Tabib Awan Putih setelah
berpikir sejenak.
Lalu Suto berkata,
"Aku setuju saja. Tapi
bagaimana dengan Roro Manis? Apakah dia mau kubawa bersembunyi ke sana?!"
Roro Manis memandang Pendekar
Mabuk dengan mata tak berkedip. Lalu terdengar kata-katanya yang sengaja dibuat
ketus,
"Aku masih bisa
bersembunyi sendiri!"
Tabib Awan Putih menyahut kata,
"Jangan sendirian! Kau perlu pelindung yang mampu melarikan dirimu secepat
setan! Dia, si Pendekar Mabuk ini, punya kesanggupan bergerak seperti
setan!"
"Barangkali memang dia
setan asli, Tabib!"
Tabib Awan Putih hanya
sunggingkan senyum kecil. Katanya,
"Pergilah kalian ke Gua
Mulut Dewa! Jangan tunggu lama-lama! Karena sifat orang yang memegang Mustika
Serat Iblis dan sedang mencari tumbal adalah mengejar orang berilmu tinggi yang
sudah telanjur dipergokinya! Lekaslah kalian pergi, dan jangan sekali-kali
melawannya!"
Kepada Pendekar Mabuk, orang
tua itu berkata, "Bumbungmu tak akan mampu menahan sinar merah dari
Mustika Serat Iblis. Jadi lebih baik menghindar jika berjumpa si Garong
Codet!"
"Baiklah, aku mengerti
maksudmu, Tabib! Rasanya memang lebih baik aku berangkat sekarang juga!
Terserah perempuan ini mau ikut aku atau mau sumbangkan kepalanya kepada Garong
Codet!"
Roro Manis segera bangkit dan
berkata, "Kalau aku ke Gua Mulut Dewa bukan berarti aku mengikuti
langkahmu, tapi aku ikuti saran Tabib Awan Putih!"
Pendekar Mabuk hanya angkat
bahu. "Kalau di perjalanan kau kepergok Garong Codet, jangan minta bantuan
padaku!"
"Aku tidak akan minta
bantuan sedikit pun padamu! Tapi apakah kau tega melihat kepalaku
terpenggal?"
"Kenapa tidak?" jawab
Pendekar Mabuk seenaknya. Roro Manis pun tertegun menahan dongkol, ia sengaja
ketuskah diri di depan Suto, untuk menutupi perasaannya yang menjadi tertarik
dan berdebar-debar indah, ia perlukan sikap ketus supaya dirinya tidak dianggap
wanita murahan. Tapi sebenarnya ia berharap Pendekar Mabuk tetap melindungi
dirinya dari serangan Garong Codet yang amat membahayakan itu.
*
* * 7
SALAH satu sebab mengapa
Pendekar Mabuk memikirkan Mustika Serat Iblis karena timbulnya perasaan cemas
di dalam hatinya. Mustika itu adalah senjata berbahaya yang sukar dicari
tandingnya. Satu- satunya tandingan Mustika Serat Iblis adalah Perisai Naga
Bening. Tapi perisai itu sudah hilang dan terkubur di dasar lautan. Hal itu
secara tak langsung telah membuat Mustika Serat Iblis merupakan senjata
terampuh dan tak bisa
dikalahkan.
Senjata seperti itu jelas tak akan
luput dari incaran Siluman Tujuh Nyawa. Tokoh tua yang sesat dan masih berwajah
muda itu jelas akan berusaha mendapatkan Mustika Serat Iblis untuk melawan
Pendekar Mabuk, yang dianggap sebagai musuh terberatnya.
Karenanya, di dalam otak Suto
terjadi suatu pergolakan tentang mencari cara untuk meleburkan Mustika Serat
Iblis agar tidak jatuh ke tangan Siluman Tujuh Nyawa. Setidaknya Suto harus
bisa merebut mustika itu sebelum orang lain mendahuluinya. Tetapi, mengingat
nasihat Tabib Awan Putih, Suto menjadi ragu untuk menghadapi Garong Codet.
Apalagi Tabib Awan Putih sudah kasih peringatan, bahwa bumbung tuak Pendekar
Mabuk yang dikenal ampuh bisa mengembalikan serangan lawan dengan lebih besar
dan lebih cepat bergeraknya itu, tidak bisa untuk menangkis sinar dari Mustika
Serat Iblis, ini membuat Suto berpikir, harus dengan apa ia melawan kekuatan
mustika tersebut.
Satu-satunya cara yang
ditemukan Suto adalah menantang pertarungan dengan Garong Codet di tempat
gelap. Sebab di tempat gelap mustika itu tidak akan memperoleh sinar dan tidak
bisa pantulkan cahaya mautnya kepada lawan. Tetapi, tempat gelap yang mana yang
bisa dijadikan pertarungan? Malam hari pun masih bisa hadirkan cahaya walau
dari bintang atau rembulan, atau mungkin nyala api dari pelita. Tempat yang
paling bagus adalah ruangan tertutup tanpa cahaya apa pun. Dan ruangan tertutup
itu agaknya adalah sebuah gua lebar yang jauh dari mulutnya. Mungkin tempat
yang cocok untuk mengadakan pertarungan itu ialah Gua Mulut Dewa?
Ki Madang Wengi tak tahu kalau
Roro Manis pergi ke Gua Mulut Dewa bersama murid si Gila Tuak itu. Ki Madang
Wengi menyangka Tabib Awan Putih masih memiliki Perisai Naga Bening. Karenanya,
pelarian Ki Madang Wengi menuju ke arah Pantai Tanjung Keramat. Sementara itu,
Garong Codet tetap mengejarnya, karena ia punya dendam tersendiri atas matinya
Tikus Ningrat di tangan Ki Madang Wengi.
Tabib Awan Putih merasa tak
enak hati sejak hari kepergian Roro Manis dengan Pendekar Mabuk. Karenanya,
pagi itu Tabib Awan Putih sengaja berdiri di pesisir pantai, pandangi lautan
lepas yang membiru dengan gelombangnya yang tak seberapa besar. Jubah putihnya
dibiarkan tertiup angin hingga berkelebat- kelebat ke belakang.
Menjelang siang, apa yang
dicemaskan hatinya benar-benar terjadi. Ki Madang Wengi tampak berlarian menuju
ke arahnya. Tabib Awan Putih sudah siap menyambut kehadiran sahabat lamanya
itu. Ketika Ki Madang Wengi tiba di depannya, Tabib Awan Putih segera berkata,
"Roro Manis telah
menceritakan segalanya!"
"O, ya..!
Syukurlah...!" Madang Wengi terengah- engah, ia merogoh tempat kantung
kulit dan mengeluarkan sisa singkong bakar, lalu mengunyahnya.
" Sekarang Roro Manis
pergi bersama murid si Gila Tuak ke Gua Mulut Dewa! Kusuruh mereka bersembunyi,
di sana!"
"Mengapa?"
"Karena Perisai Naga
Bening sudah tak ada padaku!"
"O, sial!" Ki Madang
Wengi menggeram sendiri dengan jengkelnya. "Ke mana perisaimu itu, Awan
Putih?"
"Jatuh di tengah lautan
sepuluh tahun yang lalu! Mungkin sekarang sudah terkubur di dasar lautan!"
"Di lautan yang mana? Akan
kucari perisai itu!"
Tabib Awan Putih
menggeleng-gelengkan kepala, ia masih pegangi pipa tembakau yang panjang itu.
Sekalipun bara apinya telah padam, namun sisa tembakau masih dihisap-hisapnya
lewat ujung pipa.
"Pekerjaan mencari Perisai
Naga Bening adalah pekerjaan yang sia-sia, Madang Wengi! Saranku, cepatlah
susul Roro Manis dan Suto Sinting ke Gua Mulut Dewa! Bersembunyilah di sana
sampai purnama lewat. Karena jika Garong Codet mengejar kalian ke dalam gua
itu, maka kekuatan Mustika Serat Iblis akan pudar. Tak akan bisa memantulkan
sinar, asal kalian jangan menyalakan obor di dalam gua sana!"
Ki Madang Wengi kembali melahap
singkong bakarnya, ia diam sesaat, pandangi lautan lepas. Kejap berikut
terdengar suaranya berkata dengan lemah,
"Nyai Komprang mati
terpenggal, dia bekas kekasihku! Aku masih suka padanya! Cuma karena dia
cerewet dan tidak mau mengalah dalam semua hal, aku jadi sebal dengannya!
Satria Tangkas, muridku sendiri, juga tewas terpenggal oleh mustika itu!
Haruskah aku lari sembunyi dan takut mati?"
"Sembunyi bukan berarti
takut mati, Madang Wengi! Sembunyi adalah mencari kemenangan di hari nanti!
Sekarang kau tak akan bisa mengalahkan Garong Codet, karena inderanya menjadi
peka terhadap orang berilmu tinggi yang diburu-burunya. Pada saat itulah kau
punya kesempatan untuk melawannya!"
"Maksudmu, memanfaatkan
kelemahannya?"" "Tepat! Jadi, ada baiknya jika kau susul Roro
Manis ke Gua Mulut Dewa! Pergilah ke sana sebelum Garong Codet temukan
dirimu."
"Kenapa kau sendiri tidak
bersembunyi ke sana?" "Aku tak punya urusan dengan Garong Codet!
Kalau toh ia datang temui aku, aku harus bisa menjadi orang bodoh tanpa ilmu
apa pun! Kurasa dia tak akan memenggal kepalaku jika ia tahu aku tak berilmu
apa pun. Kadang-kadang orang bodoh pun bisa selamat dari maut, mengapa orang
pandai tidak bisa?!"
Ki Madang Wengi diam terpekur
di atas sebuah batu. Mulutnya masih mengunyah makanan, matanya memandang lurus
ke arah lautan. Lalu, Tabib Awan Putih yang berjarak enam langkah darinya itu
segera mendekati dan berkata pelan,
"Cepatlah pergi dan
bersembunyi! Kurasa orang yang mengejarmu sebentar lagi datang!"
Ki Madang Wengi dongakkan
kepala memandang wajah Tabib Awan Putih. Sebelum Madang Wengi ucapkan kata,
Tabib Awan Putih sudah bicara,
"Kurasakan getaran nadinya
semakin mendekat. Lekaslah bersembunyi supaya kau selamat!"
"Aku masih ragu untuk
bersembunyi atau membela kematian muridku!"
"Jangan menjadi bodoh
karena otak ceroboh! Jangan menjadi dungu karena dendam yang membelenggu!
Pembalasan akan tiba saatnya sendiri, tidak harus kapan hati berkehendak untuk
membalas diri."
Kembali merenung Madang Wengi,
tapi Tabib Awan Putih semakin cemas, ia merasakan getar nadi seseorang semakin
mendekat. Karena dilihatnya Madang Wengi masih saja diam tak bergerak, maka
Tabib Awan Putih pun segera menyodokkan pipa panjangnya ke pinggang Madang
Wengi. Duhgg!
Ki Madang Wengi seketika itu
mengejang dengan mata mendelik Tubuhnya membujur kaku. Mulutnya ternganga, ia
telah bertotok jalan darah utama melalui sodokan pelan pipa panjang itu. Ia tak
bisa bergerak apa- apa lagi, walaupun ia mendengar suara apa pun yang ada di
sekitarnya.
Tubuh yang kaku itu segera
diangkat oleh Tabib Awan Putih. Lalu, kaki kirinya menghentak pelan ke tanah,
dan tiba-tiba tubuh Tabib Awan Putih melesat naik dalam satu ketinggian yang
hampir mencapai pucuk pohon kelapa. Sebelum itu, kaki kanan Tabib Awan Putih
cepat sentakkan lagi ke salah satu batang pohon kelapa yang terdekat. Wuttt...!
Kembali tubuh itu melesat lebih
tinggi ke arah samping. Dan kejap berikutnya ia sudah hinggap di atas pohon
kelapa. Di sana tubuh Ki Madang Wengi disembunyikan. Tubuh itu dibaringkan pada
jajaran pelepah daun kelapa. Setelah itu, Tabib Awan Putih melesat turun lagi
dengan gerakan ringan bagai seekor bangau hendak hinggap ke kubangan.
Wusttt...!
Kejap selanjutnya kaki Tabib
Awan Putih telah memijak tanah tempatnya berdiri tadi. Ia mendongak ke atas
sebentar, ternyata tubuh Ki Madang Wengi tidak terlihat dari bawah. Selain
pohon kelapa itu berbuah banyak, juga berdaun rimbun. Tubuh Madang Wengi
tertutup rapat oleh pelepah daun dan buah kelapa yang menggerumbul.
Tak berapa lama kemudian,
muncul dua sosok manusia berwajah angker. Walaupun wajah itu sudah tercukur
gundul dan berambut trondol, tapi kesan angker masih terlihat dari tonjolan
tulang pipi dan rahang yang besar. Mereka tak lain ialah Garong Codet dan Setan
Culik.
Rupanya keadaan Setan Culik
sudah lumayan dari luka dalam akibat pukulan maut Ki Madang Wengi itu. Garong
Codet telah menyalurkan hawa dingin ke tubuh Setan Culik, sehingga luka pukulan
itu bisa ditawarkan. Garong Codet memang bisa selamatkan Setan Culik, tapi ia
tak bisa selamatkan Tikus Ningrat. Kematian Tikus Ningrat itulah yang membuat
Garong Codet semakin penasaran mengejar Ki Madang Wengi untuk dibunuhnya.
Melihat kehadiran dua orang
yang sudah diperkirakan itu, Tabib Awan Putih tetap berdiri tegak di tepi
pantai memandang ke arah laut. Sikap berdirinya tak tampak kekar. Kedua kakinya
merapat, satu tangan dilipat di dada, tangan yang satunya menopang dagu.
Kepalanya sedikit miring dengan wajah dibuat lesu, mata dibuat sayu.
"Setan Culik! Menurutmu
apakah kita salah arah mengejar orang berbaju biru dan berjubah abu-abu
tadi?!" tanya Garong Codet.
"Kurasa tidak! Arahnya
pasti ke pantai ini!"
"Tapi mengapa dia
menghilang? Ke mana lagi larinya?" sambil berkata demikian mata Garong
Codet mengarah ke Tabib Awan Putih. Kemudian Garong Codet berbisik,
"Menurutmu, siapa orang
berbaju putih di sana itu?"
"Aku tidak kenal
dengannya. Mungkin dia tokoh sakti!" jawab Setan Culik. "Coba kita
dekati dan kita uji kemampuannya!"
Keduanya bergegas menemui Tabib
Awan Putih. Sekalipun Tabib Awan Putih tahu kedua orang itu mendekat satu dari
kiri dan satu dari kanan, tapi ia tetap dalam posisinya berdiri bagai orang
sedang merenung sedih. Wajah murungnya semakin terlihat jelas.
"Pak Tua," kata
Garong Codet dengan suara pelan, karena memang tenggorokannya tak bisa dipakai
mengeluarkan suara bentakan.
Mendengar teguran itu, Tabib
Awan Putih memandang Garong Codet. Matanya tetap sayu mirip seorang peminum
yang sedang mabuk. Pipa tembakaunya diselipkan di pinggang.
"Apa yang kau lakukan di
sini, Pak Tua?" tanya Garong Codet.
"Menunggu kekasihku,"
jawab Tabib Awan Putih dengan suara pelan bagaikan lemas karena menahan lapar.
"Ke mana kekasihmu?"
"Jauh...!" jawabnya.
"Jauh ke mana?!"
sentak Setan Culik.
"Pergi!"
"Ke lautan?"
"Seberang," jawab
Tabib Awan Putih dengan lemah.
Setan Culik segera menjelaskan
pada Garong Codet. "O, dia menunggu kekasihnya yang pergi jauh ke seberang
lautan!"
"Sejak kapan
perginya?" tanya Garong Codet.
"Jauh."
"Iya. Pergi jauhnya sejak
kapan!" sentak Setan Culik agak jengkel.
"Lama."
"Dua hari?"
"Lewatlah hari,"
jawab Tabib Awan Putih.
"Dua bulan?"
"Lewatlah bulan."
"Dua tahun?"
"Lewatlah dua!"
"Sepuluh tahun?"
Tabib Awan Putih diam,
memandang bengong. Lalu menghitung jarinya sendiri dengan mulut umik-umik.
Setelah itu menjawab,
"Dua puluh...."
"Dua puluh tahun?!"
Setan Culik mendelik.
"Lama," jawab Tabib
Awan Putih.
"Lama sekali itu! Dan kau
tetap tunggu kekasihmu di sini?"
"Janji," jawab Tabib
Awan Putih lagi.
"Oo..., maksudnya
kekasihmu sudah berjanji mau kembali, tapi sampai dua puluh tahun kau menunggu
di sini dia belum kembali?"
"Kasihan."
"Siapa yang kasihan?"
"Aku," jawab Tabib
Awan Putih.
Kemudian setelah bicara begitu,
ia kembali bertopang dagu seperti sikap semula, seakan menunggu kedatangan
kapal yang membawa kekasihnya pulang padanya.
Setan Culik miringkan jari
tangan di kening sambil pandangi Garong Codet. "Gila...!" ucapnya
pelan. Garong Codet mengangguk. Tapi segera ajukan tanya kepada Tabib Awan
Putih,
"Kau lihat orang berjubah
abu-abu lewat ke sini?!"
Tabib Awan Puti berkerut dahi.
Garong Codet menjelaskan ciri-ciri Madang Wengi, "Badannya agak gemuk, rambutnya
putih, botak tengahnya, agak pendek, membawa senjata bambu kuning yang
runcing!"
"Bukan," jawab Tabib
Awan Putih.
"Bukan bagaimana?"
tanya Setan Culik.
"Bukan kekasihku!"
Setan Culik agak membentak,
"Yang kami tanyakan memang bukan kekasihmu, tapi seseorang berjubah abu-
abu!"
"Lari," jawab Tabib
Awan Putih datar dan pelan.
"Lari ke mana...?!"
geram Setan Culik. "Ke mana?"
"Jauh!"
"Arahnya ke
mana...?!" geram Setan Culik.
"Ke sana!" Tabib
menuding arah sembarangan.
"Sudah lama?"
Tabib menghitung tangannya lalu
menjawab, "Dua puluh ........... "
"Dua puluh tahun?!"
Setan Culik kembali mendelik.
"Dua puluh napas,"
jawabnya.
Setan Culik bicara kepada
Garong Codet, "Dua puluh helaan napas kira-kira. Berarti baru saja dan
belum jauh! Masih ada waktu untuk mengejarnya, Garong!"
"Baik! Kita segera kejar
dia!"
Garong Codet menepuk punggung
Tabib Awan Putih sambil berkata, "Terima kasih, Tua Gila!"
Plok...! Brukk...! Tubuh Tabib
Awan Putih jatuh tersungkur. Tepukan itu dirasakan bukan tepukan kosong, tapi
bertenaga dalam. Tabib Awan Putih tak mau melawan tepukan tenaga dalam itu. Ia
sengaja kosongkan diri sehingga jatuh tersungkur dengan kerasnya.
"Dia memang bukan orang
berilmu! Buktinya kutepuk pelan saja sudah jatuh tersungkur begitu
kerasnya!" kata Garong Codet kepada Setan Culik. Dan Setan Culik menjawab,
"Sudah kubilang dia hanya
orang gila karena putus asa menunggu kepergian kekasihnya! Jadi tuanya bukan
karena tua berilmu, tapi tua
dimabuk rindu!"
Samar-samar percakapan itu
terdengar oleh telinga Tabib Awan Putih. Dan Tabib Awan Putih tetap tak mau
bangun lekas-lekas. Namun begitu Garong Codet dan Setan Culik menjauh, ia cepat
bangkit dan berucap kata,
"Benar apa kata Roro
Manis. Orang itu membawa Mustika Serat Iblis! Untung aku berpura-pura gila dan
kosong ilmu! Jika tidak, habislah kepalaku dipenggalnya!"
* * *
8
TANPA disengaja arah yang
dituju Garong Codet adalah lembah yang mengarah ke Gua Mulut Dewa. Sekalipun
jaraknya masih jauh dari gua tersebut, tetapi hal itu cukup membahayakan bagi
Roro Manis dan Pendekar Mabuk. Bukan hal yang mustahil jika dalam upayanya
mengejar Ki Madang Wengi akhirnya Garong Codet akan sampai pula ke gua
tersebut.
Namun agaknya Garong Codet tak
menyadari bahwa pengejarannya terhadap Ki Madang Wengi sekarang sudah menjadi
lain. Ada sosok hitam yang mengikutinya sejak dari pantai. Sosok hitam itu
sudah ada di pantai sebelum Garong Codet dan Setan Culik datang. Sosok hitam
itu juga menyadap pembicaraan Tabib Awan Putih dengan Ki Madang Wengi. Setan
Culik hanya merasa tak enak dalam hatinya ketika Garong Codet
menghentikan langkah dan
ucapkan kata,
"Di sini udaranya sangat
panas. Kita cari tempat meneduh sementara. Rasa-rasanya napasku makin lama
semakin tipis. Sesak sekali dihelanya. Aku tak kuat mengejar orang berjubah
abu-abu itu!"
"Napasmu semakin sesak?
Rasanya udara makin panas? Ah, menurutku tidak!" kata Setan Culik.
"Udara justru semakin sejuk. Dan kulihat tak biasanya kau mengeluh sesak
napas! Kau termasuk orang yang bernapas panjang, Garong!"
"Mungkin karena pengaruh
luka di tenggorokanku ini!" ucapnya pelan sambil mengusap tenggorokan yang
bernoda biru kehitaman.
"Kalau kita istirahat,
kita bisa kehilangan orang itu, Garong! Orang itu pasti lari terus tanpa
berhenti!"
"Biarlah! Biar dia lepas.
Masih banyak orang sakti lainnya yang bisa kita jadikan tumbal!"
Setan Culik hanya membatin,
"Biasanya ia tak semudah ini untuk menyerah. Tapi mengapa dia sepertinya
mulai lemah? Apakah benar karena pengaruh luka akibat pukulan toya di
tenggorokannya itu?"
Dalam masa bungkamnya itu,
Garong Codet mulai melepas Cincin Mustika Serat Iblis dari tangannya. Cincin
itu diamat-amati beberapa saat, kemudian ia ucapkan kata kepada Setan Culik.
"Rasa-rasanya aku capek
memakai cincin ini. Mengganggu kebebasan bergerakku!"
"Kau ini aneh-aneh saja!
Itu cincin maut. Jangan kau lepas sembarangan. Nanti ada orang melihatnya bisa
direbut begitu aja!"
"Entah mengapa tiba-tiba
aku ingin sekali membuang cincin ini!"
"Edan kamu ini!"
sentak Setan Culik. "Ada apa dengan hatimu? Mengapa kamu tiba-tiba
mempunyai niat seperti itu? Pasti ada yang tak beres dalam jiwamu, Garong! Ayo
lekas pakai cincin itu!"
"Tapi...."
"Pakailah! Pakai dulu
nanti kita bicarakan sesuatu yang ganjil!"
"Tentang apa itu, Setan
Culik!"
"Pakailah dulu cincinmu!"
desak Setan Culik. Dan dengan perasaan malas cincin itu pun dikenakan kembali
oleh Garong Codet. Setan Culik pun segera berkata dengan suara pelan.
"Dengar, ada sesuatu yang
kurasakan tak beres dalam pikiranmu! Sesuatu itu telah mempengaruhi jalan pikiranmu
untuk melepas cincin itu! Kau harus melawan perasaan seperti itu! Kau harus
bertahan kenakan cincin itu! Tumbal sudah banyak kau peroleh, tinggal satu
lagi! Menurut perhitunganku, tinggal satu kepala lagi yang harus kamu dapatkan.
Padahal esok malam sudah malam bulan purnama!"
"Seingatku memang sudah
mencapai tiga puluh dua tumbal sejak terpenggalnya nenek tua itu!" kata
Garong Codet.
"Benar. Tapi mengapa
susah-payahmu itu akan kau sia-siakan dengan tidak ingin menggunakan cincin
mustika itu lagi? Padahal kau mencarinya sangat susah payah! Kau telah
bertarung dengan harimau merah api itu. Nyaris nyawamu jadi korban! Karena itu,
pertahankan terus batu Mustika Serat Iblis itu! Jangan merasa malas
memakainya!"
Garong Codet merenungkan
kata-kata Setan Culik. Kejap berikutnya dia berkata, "Aku mempunyai
perasaan benci terhadap cincin ini, Setan Culik! Benci dengan warna
merahnya!"
"Lawan perasaan bencimu
itu, Garong! Lawan terus! Sadarlah bahwa perasaan benci itu datang karena
hatimu dipengaruhi oleh kekuatan gaib yang tidak kau sadari! Sekarang sadarilah
bahwa kekuatan gaib itu menghendaki kau benci kepada warna merah di batu itu!
Padahal warna merah itu sangat bagus dan menjadi kebanggaanmu! Kau harus pakai
terus mustika itu supaya kau merajai seluruh rimba persilatan!"
Dengan suara pelan lagi Garong
Codet berucap kata, "Rasa-rasanya aku tak mau penggal orang lagi! Tanganku
sudah berlumur darah dan harus segera berhenti dari tindakan seperti itu,
dan...."
Buhkkk...! Setan Culik
memukulkan telapak tangannya ke dada Garong Codet. Pukulan itu cukup keras dan
cepat, sehingga Garong Codet terjengkang ke belakang dan berguling satu kali.
Baru saja Garong Codet
mengangkat kepalanya, tiba- tiba tendangan kaki Setan Culik melesat cepat.
Plakk... ! Wajah Garong Codet terlempar ke samping dan tubuhnya pun
terpelanting. Setelah itu Setan Culik membiarkan Garong Codet berusaha bangkit
dengan
mata melotot penuh kemarahan.
"Bangsat kau! Mengapa kau
serang aku, hah?!" suaranya pelan tapi bernada marah. Setan Culik sunggingkan
senyum.
"Aku sengaja menyerangmu,
supaya pengaruh yang meracuni otak dan hatimu menjadi buyar!"
"Pengaruh apa?!"
"Kau ingin melepaskan
mustika itu dan benci dengan warna merahnya! Kurasa itu tak wajar ada
padamu!"
"Siapa bilang aku benci
dengan warna merahnya?! Siapa bilang aku ingin melepaskan Cincin Mustika Serat
Iblis ini?!"
"Kau ingin berhenti
mencari tumbal terakhir!"
"Apa aku orang bodoh, kok
mau berhenti cari tumbal?!"
"Bagus. Berarti kau sudah
kembali menjadi dirimu sendiri. Sekarang kalau kau mau balas seranganku tadi,
balaslah! Aku tak akan melawan! Balaslah...!"
Tapi Garong Codet menjadi ragu
walau ia telah kepalkan tinjunya. Setan Culik kelihatan pasrah dan hal itu
sangat aneh buat Garong Codet. Selama ini Setan Culik selalu menurut pada
perintahnya dan tak pernah menyerang. Jika sampai Setan Culik sengaja
melepaskan serangan padanya, pasti ada sesuatu yang tak beres pada dirinya.
Garong Codet segera tarik napas
dalam-dalam dan kendurkan urat-urat marahnya, ia segera berkata,
"Apakah benar aku tadi
berkata seperti itu?"
"Ya. Benar. Kalau aku
tidak menyerangmu, jati dirimu terkuasai oleh pengaruh kekuatan gaib yang ada
di sekitar sini!"
"Berarti ada orang yang
ingin memiliki Mustika Serat Iblis dengan cara mempengaruhi otak dan jiwaku?"
"Benar! Sebaiknya kita
cari saja siapa yang...."
Zlapp zlappp zlappp...!
"Heghhh...!" Setan
Culik tiba-tiba tersentak tubuhnya mengejang dalam keadaan melengkung ke
belakang. Setan Culik membuka mulutnya dalam pekik yang tertahan. Matanya
mendelik bagai mau lepas dari kelopaknya.
"Hei, kenapa kau?! Jangan
menakut-nakuti aku begitu, Setan!"
Setan Culik tetap diam.
Berlutut dengan tubuh melengkung ke belakang. Wajahnya makin lama semakin biru.
Dari warna pucat pias, lalu membiru samar-samar. Warna matanya pun mulai
menguning.
Garong Codet segera mengerti,
bahwa Setan Culik bukan menakut-nakuti dirinya. Tapi pasti ada sesuatu yang
telah terjadi pada diri Setan Culik. Kemudian, Garong Codet memeriksa tubuh
Setan Culik, dan ia tersentak kaget dengan mata melebar. "Gila...?!"
ucapnya di luar kesadaran. Garong Codet menemukan tiga bunga menancap di
punggung Setan Culik. Tiga bunga warna merah yang menyerupai mawar tapi tak
punya bau wangi itu mempunyai tangkai panjang sekitar seukuran jari tengah.
Ketiga tangkai bunga itu menembus masuk di punggung Setan Culik.
Garong Codet cepat mencabut
salah satu bunga.
Zlepp...! Ternyata tangkai
bunga itu berwarna hitam. Pasti mengandung racun yang amat ganas. Hanya saja,
siapa orangnya yang bisa menggunakan bunga tersebut sebagai senjata rahasia
yang dapat menancap di tubuh Setan Culik? Tangkai hitam itu sangat lemas, tapi
kenyataannya bisa berubah menjadi sekeras paku baja saat menancap di tubuh
Setan Culik.
Hal yang membuat Garong Codet
menjadi berang adalah rubuhnya tubuh Setan Culik. Tubuh itu rubuh ke depan
dengan kepala berpaling ke kiri dan mata tetap mendelik. Tetapi kulit wajahnya
berubah menjadi biru dan Setan Culik enggan bernapas lagi. Ia mati diterkam
racun ganas dari bunga merah itu.
"Setan! Setan Culik...!"
seru Garong Codet, tak jelas memanggil nama temannya atau mencaci-maki keadaan
yang buruk itu. Yang pasti, Garong Codet segera berdiri dengan menggeram.
Wajahnya menjadi merah karena darahnya bagai mendidih dan menyirat ke atas
melihat Setan Culik mati dibunuh orang bersembunyi.
Dengan suara serak menahan
sakit, Garong Codet berseru,
"Bangsat mana yang berani
menantangku dengan cara seperti ini, hah?! Siapa orangnya?! Keluar!"
Sssuut...! Jlegg...!
Seperti anak panah datangnya.
Tak bisa dilihat mata manusia. Tahu-tahu manusia berkerudung hitam telah
berdiri di samping kanan Garong Codet. Orang itu berwajah putih bagai
mengenakan bedak. Sorot matanya dingin. Bibirnya biru. Sekujur tubuhnya
dibungkus kain hitam dari kepala sampai kaki. Tangannya menggenggam tongkat
berujung sabit panjang melengkung. Tongkat El Maut.
Siluman Tujuh Nyawa tampakkan
diri. Garong Codet tak tahu, dia adalah tokoh sesat yang merajai lautan utara.
Ilmunya cukup tinggi. Bahkan boleh dikata sangat tinggi. Siluman Tujuh Nyawa adalah
manusia yang tak kenal belas kasihan sedikit pun terhadap musuhnya. Usianya
sudah dua ratus tahun lebih tapi masih tampak muda dan berwajah tampan.
Hidungnya mancung, matanya indah. Sayang berkesan dingin menampakkan sikap
kejinya selama ini. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin
Pemburu Nyawa" dan "Prahara Pulau Mayat").
Hanya Suto Sinting, si Pendekar
Mabuk itulah yang bisa menandingi ilmunya Siluman Tujuh Nyawa itu. Tetapi
sampai sekarang Suto masih belum bisa memenggal kepala tokoh sesat itu, karena
Siluman Tujuh Nyawa cukup licin, ia segera melarikan diri jika bertemu dengan
Suto, tapi ia punya cita-cita ingin membunuh Pendekar Mabuk juga dengan
kelicikannya.
Kali ini apa yang diduga Suto
Sinting memang benar, bahwa Siluman Tujuh Nyawa pasti bermaksud ingin merebut
Mustika Serat Iblis dari tangan Garong Codet. Tanpa Mustika Serat Iblis ia
sulit menandingi Pendekar Mabuk itu. Sementara, tanpa Mustika Serat Iblis,
Garong Codet bukan tandingan Durmala Sanca yang bergelar Siluman Tujuh Nyawa.
Tetapi karena Garong Codet
tidak mengenal siapa orang berciri kerudung hitam dan tongkat El Maut itu, maka
Garong Codet pun tak merasa gentar sedikit pun. Bahkan dengan beraninya ia
berucap kata,
"Iblis dari mana kau,
berani-beraninya mengganggu ketenanganku?!"
"Aku iblis dari
neraka!" jawab Siluman Tujuh Nyawa.
"Apa maumu memancing
perkara denganku, hah?! Kalau kau ingin serahkan nyawamu sebagai tumbal Mustika
Serat Iblis, tak perlu kau bunuh sahabat setiaku ini!"
"Membunuh itu kegemaranku!
Jadi jangan salah sangka bahwa aku hanya membunuh temanmu yang telah
membuyarkan pengaruh batinku terhadapmu tadi! Aku pun akan membunuhmu, Garong
Codet!"
"Apakah kau mampu?! Kau
yang kurus kerempeng tertutup kain hitam begitu, mau membunuh orang sesakti
aku?! Apa itu bukan mimpi belaka?!"
Tak pernah Siluman Tujuh Nyawa
menerima hinaan seperti itu dari orang serendah Garong Codet. Tentu saja
hatinya mulai bergolak dan darah membunuhnya mulai mendidih. Maka dengan
gerakan yang amat cepat, Siluman Tujuh Nyawa berkelebat cepat menyerang Garong
Codet.
Wut wut wuttt... !
Zregg...! Siluman Tujuh Nyawa
berhenti bergerak dan sudah berada di depan Garong Codet. Mata orang yang
diserangnya itu tak sempat berkedip. Tapi menjadi sangat terkejut setelah
melihat ikat pinggangnya terpotong, bajunya koyak-koyak, demikian pula
celananya bagai habis dicabik-cabik seekor beruang ganas. Garong Codet menjadi
seperti gelandangan yang berpakaian compang-camping. Tapi kulit tubuhnya tak
ada yang terluka sedikit pun.
"Edan...!" pikirnya.
"Cepat sekali gerakannya! Lihai juga dia menggunakan senjata itu, sampai
tak terasa dalam sekejap tubuhku telah dibuat berpakaian compang-camping
begini?! Jelas dia orang berilmu tinggi! Agaknya inilah tumbal
terakhirku!"
Wajah dan pandangan mata Durmala
Sanca masih sedingin gunung es. Mulutnya terkatup rapat menampakkan bentuk
bibir yang indah sebenarnya, tapi sayang berwarna biru mayat. Garong Codet
sempat berdebar setelah tahu kecepatan gerak dan keganasan senjata El Maut itu.
Namun sekarang tangan kanannya yang terus-terusan menggenggam itu kini mulai
dikendurkan supaya cepat pantulkan cahaya melalui batu Mustika Serat Iblis yang
dipakainya sebagai cincin itu.
"Kau benar-benar cari
mati, Iblis Gila!" geram Garong Codet. "Kau belum tahu kehebatan Cincin
Mustika Serat Iblisku!'
"Aku sudah cukup tahu
tentang kehebatan Mustika Serat Iblis," kata Siluman Tujuh Nyawa dengan
nada datar dan dingin. "Pusaka hebat seperti itu dulu pernah
kukejar-kejar, tapi aku tak berhasil mendapatkannya! Aku juga tahu bagaimana
keganasan pantulan sinarnya yang bisa memenggal orang dengan mudah dan memotong
benda apa saja, termasuk pilar baja sebesar
gunung sekalipun!"
"Rupanya kau banyak tahu
tentang Mustika Serat Iblis ketimbang aku!"
"Sudah kubilang, aku
sangat tahu tentang mustika itu! Juga aku tahu siapa orang yang kau kejar-kejar
dari kemarin! Ki Madang Wengi, itulah orang yang ingin kau jadikan tumbal
terakhirmu! Tapi ketahuilah, kau telah ditipu oleh Tabib Awan Putih yang tadi
kau jumpai di pantai sebagai orang gila! Dia sebenarnya orang sakti. Dia telah
sembunyikan Ki Madang Wengi di atas pohon kelapa! Dia juga telah menyuruh
perempuan yang kau kejar, yaitu Roro Manis untuk sembunyi di Gua Mulut Dewa
bersama seorang pendekar sinting yang bernama Suto Sinting, si Pendekar
Mabuk!"
"Kau ada di pihaknya?!
Kurang ajar betul orang tua di pantai itu! Kalau begitu, kaulah yang harus
menerima akibat penipuannya!"
"Tunggu...!" Siluman
Tujuh Nyawa mencegah gerakan Garong Codet yang ingin membuka telapak tangan
kanannya. Mendengar seruan itu, Garong Codet urungkan niat untuk menyerang
lawannya.
"Kalau kau butuh tumbal
orang berilmu tinggi, carilah di Gua Mulut Dewa, tak jauh dari sini! Arahnya
ada di sebelah kananmu! Di sana kau bisa bertemu dengan seorang pemuda bernama
Suto Sinting, yang ke mana-mana..selalu membawa bumbung tempat tuak! Dia orang
yang ilmunya lebih tinggi dariku!"
"Mengapa susah-susah ke
sana? Kau sendiri orang berilmu tinggi dan layak menjadi tumbal Mustika Serat
Iblis!"
Siluman Tujuh Nyawa terkesiap
sejenak, ia seperti baru menyadari bahwa dirinya pun memang layak dijadikan
tumbal dan diburu oleh Mustika Serat Iblis. Sementara itu, ia pun mengakui
bahwa mengalahkan keganasan Mustika Serat iblis bukanlah hal yang mudah. Memang
bisa saja ia memotong tangan Garong Codet lalu mengambil cincinnya. Tapi jika
ia salah gerak dan terlambat bertindak, ia bisa mati terpenggal oleh pantulan
sinar Mustika Serat Iblis. Menyesal juga ia tadi ketika bergerak, mengapa hanya
mencabik-cabik pakaian Garong Codet? Mestinya tadi ia memotong tangan Garong
Codet.
"Garong Codet, kau tidak
akan bisa membunuhku dengan mudah. Tapi kau dapat membunuh Pendekar Mabuk
dengan satu kali gebrakan!"
"Justru semakin sulit
dibunuh berarti kau punya ilmu sangat tinggi. Mustika Serat Iblis akan merasa
lebih senang mendapatkan tumbal yang sulit dibunuh?'
Dalam hati Siluman Tujuh Nyawa
berucap kata, "Celaka! Aku masuk dalam jebakanku sendiri!"
Garong Codet segera mengangkat
tangan kanannya ke atas kepala sambil berkata, "Sekarang tiba giliranmu
untuk mati sebagai penebus kematian sahabatku itu! Kau berhutang nyawa pada
Setan Culik dan aku akan mengirimkan nyawamu sebagai pembalasan dan
tumbal!"
"Tunggu dulu...!"
Baru saja Siluman Tujuh Nyawa
mau bergerak, tiba- tiba kilatan cahaya merah tanpa putus telah menyerangnya.
Clapp...! Mau tak mau Siluman Tujuh Nyawa cepat menghindarkan diri. Gerakan
cepatnya membuat Garong Codet terpaksa pantulkan cahaya mustika secara membabi
buta.
Clap clapp clappp clap clap
clapp...! Siluman Tujuh Nyawa terdesak serangan maut yang membabi buta itu. Ia
tahu, sinar tersebut tak boleh ditangkis oleh apa pun kecuali oleh Perisai Naga
Bening. Karena itu, Siluman Tujuh Nyawa tak berani menerjang atau menangkis
kilatan cahaya merah yang bergerak dengan membabi buta itu.
"Bisa mampus aku di sini!
Sebaiknya kugiring saja dia ke arah Gua Mulut Dewa, biar dia berhadapan dengan
Suto. Aku akan punya kesempatan menebas tangannya dan membawa lari tangan itu
untuk memiliki Mustika Serat Iblis...!" Durmala Sanca membatin demikian.
Lalu, dengan gerakan cepat juga
ia melesat pergi. Namun sengaja tampakkan diri sebentar supaya dikejar Garong
Codet. Ternyata pancingannya mengena. Garong Codet mengejar terus ke mana pun
larinya Siluman Tujuh Nyawa.
* * *
9
RORO Manis berjalan lebih dulu.
Gua Mulut Dewa telah kelihatan. Tinggal beberapa saat lagi mereka akan sampai
di sana dan beristirahat. Tetapi suasana bungkam masih menyelimuti antara
mereka berdua sejak dalam perjalanan. Pendekar Mabuk sendiri bungkam karena
memikirkan cara mengalahkan Garong Codet. Sedangkan Roro Manis bungkam karena
bertahan diri untuk tidak menegur Suto lebih dulu. Walau dalam hatinya sangat
berharap untuk mendapat teguran dari Suto dan bisa bicara panjang lebar, tapi
Roro Manis tetap bertahan diri untuk bersikap acuh.
Tetapi ketika mulut gua tinggal
beberapa langkah lagi, Roro Manis punya alasan mendahului bicara dengan ajukan
sebuah pertanyaan,
"Itukah gua yang dimaksud
Tabib Awan Putih?"
"Mungkin," jawab
Pendekar Mabuk pendek sambil hanyut kembali dalam renungannya. Roro Manis
mendengus kesal hatinya, ia melangkahkan kaki untuk mendekati mulut gua yang
dari kejauhan mirip bentuk bintang berlubang hitam itu.
Roro Manis tidak langsung
masuk, karena ia curiga dan takut ada binatang buas di dalamnya, ia berharap
Suto masuk lebih dulu untuk memeriksanya. Tapi pemuda tampan itu justru
berhenti dari langkahnya dan meneguk tuak beberapa kali. Setelah itu ia
melemparkan pandangan ke arah bawah, ke arah kaki bukit dan bentangan sawah di
kejauhan sana. Laut pun tampak dari tempat mereka berdiri.
"Masuklah sana," kata
Pendekar Mabuk kepada Roro Manis.
"Aku bukan orang bodoh,
Suto! Aku tak mau menjadi umpan binatang buas! Kalau kau mau, silakan kau masuk
lebih dulu untuk memeriksa apakah gua ini bukan sarang harimau atau sarang ular
naga?!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum kecil. "Kau takut?"
"Aku tidak takut! Tapi aku
orang yang dididik oleh Guru untuk menjadi manusia penuh waspada!"
Suto makin melebarkan senyum
sindiran. Roro Manis membuang muka. Pendekar Mabuk pun segera masuk, ia
memeriksa keadaan di dalam gua yang punya lorong panjang dan gelap. Hidungnya
mengendus-endus, ia hanya, mencium bau kelembaban udara dan tanah. Tak ada bau
kotoran hewan atau bau keringat binatang. Itu tandanya gua dalam keadaan aman.
Bahkan kotoran kelelawar pun tak ada. Gas beracun juga tak dijumpainya. Tanah
hanya sedikit lembek, tapi bagian lebih ke dalam terasa keras. Banyak bebatuan
di kanan kiri gua. Tapi sekali lagi telinga Suto tidak menangkap adanya desis
seekor ular.
Ia pun segera keluar dari gua
untuk memberitahukan bahwa keadaan di dalam gua cukup aman. Tetapi alangkah
terkejutnya Pendekar Mabuk ketika keluar dari gua ternyata matahari sudah
banyak condong ke barat. Padahal baru saja ia masuk dan matahari belum mencapai
pertengahan jarak edarnya. Di atas kepala manusia pun belum, mengapa sekarang
matahari telah bergeser dan condong ke barat. Dan satu hal lagi yang ia
herankan, ke mana Roro Manis? Gadis itu hilang! Entah sekarang ada di mana.
Pendekar Mabuk segera mengejar
ke tempat semula. Jalan yang digunakan untuk datang ke situ disusurinya lagi.
Dan ternyata, kira-kira dalam jarak sepuluh langkah dari mulut gua, ia sudah
bisa melihat Roro Manis berkelebat terbang menghindari suatu serangan.
"Celaka! Pasti orang
itulah yang bernama Garong Codet!" pikir Suto Sinting, ia menjadi
berdebar-debar melihat Roro Manis melenting ke sana-sini menghindari pukulan
tenaga dalam lawannya. Dan makin terkejut lagi ketika Suto melihat kilatan
sinar merah dari telapak tangan bercincin batuan merah. Sinar merah itu bisa
dihindari oleh Roro Manis, tapi sinar itu segera memotong pohon sebesar dua
pelukan manusia. Pohon besar itu terpotong dengan cepat dan rapi, sehingga
segera tumbang dalam beberapa kejap saja.
"Benar-benar celaka! Apa
yang harus kulakukan jika sudah begini?! Tabib Awan Putih berpesan wanti-wanti
agar jangan menghadapi Garong Codet. Langkah yang terbaik adalah menghindari
pertemuan dan bentrokan dengan Garong Codet. Tapi keadaan sudah menjadi begini?
Kalau Roro Manis pintar, ia harusnya memancing Garong Codet agar masuk gua! Di
dalam gua nanti biar aku yang membereskan! Ah, tapi agaknya Roro Manis sendiri
terdesak dan tak bisa melarikan diri kemari!"
Pendekar Mabuk merasa perlu
mengulur waktu untuk sesaat, ia segera melepaskan pukulan jarak jauhnya yang
bernama 'Turangga Laga'. Dua jarinya dikeraskan menjadi kaku, menempel di
kening sebentar, lalu disentakkan ke depan. Zlappp...! Sinar ungu keluar dari
jari itu melesat ke arah Garong Codet.
Sayang sekali Garong Codet
bergerak menyerang Roro Manis, sehingga sinar ungu itu hanya menyerempet di
bagian punggung Garong Codet. Srett...!
"Waaak...!" Garong
Codet terpekik kaget. Punggungnya bagai dirobek dengan senjata tajam, ia jatuh
terbungkuk. Padahal mestinya sinar ungu itu bisa membuat jantung Garong Codet
berhenti dalam beberapa saat. Lalu, dengan begitu berarti ada kesempatan untuk
melepas cincin tersebut dari tangan Garong Codet.
Sekalipun hanya merobek
punggung, tapi Suto punya kesempatan untuk memanggil Roro Manis dengan isyarat
tangan melambai. Roro Manis melihat gerakan tangan Suto yang melambai lalu
menuding gua. Roro Manis segera tanggap bahwa ia harus memancing Garong Codet
untuk masuk ke dalam gua. Setidaknya isyarat itu mengatakan bahwa Roro Manis
harus segera bersembunyi ke dalam gua.
Maka dengan gerakan cepat Roro
Manis melarikan diri. Pedang masih digenggam di tangan kanan. Gerakannya lebih
dipercepat lagi. Dalam kejap berikutnya, Roro Manis sudah berada di samping
Suto Sinting.
"Cepat masuk ke dalam
gua!"
"Jangan hadapi dia! Dia
punya cincin maut! Kau pun harus cepat masuk gua, Suto...!"
"Hei, aku juga punya
cincin pusaka?! Aduh! Hampir saja aku lupa!"
Suto Sinting mempunyai cincin
pusaka yang terkenal dahsyat. Cincin itu milik bibi gurunya, yaitu Bidadari
Jalang. Cincin itu pernah diperebutkan oleh para tokoh tua di rimba persilatan.
Cincin itu bernama Cincin Manik Intan. Benda pusaka itu pernah membawa maut
yang begitu mengerikan dalam suatu pertempuran hebat di Istana Garinda (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Murka Sang Nyai"). Cincin itu
disimpannya dalam tabung tempat tuak dan tak pernah lepas dari tempat
penyimpanannya.
Sengaja Pendekar Mabuk tidak
menggunakan cincin itu di tangannya, karena sedikit sentakan tenaga saja sudah
menghasilkan seratus kali lipat tenaga yang keluar. Cincin itu pun sangat ganas
dan sukar dikendalikan. Kadang ia keluarkan sinarnya sendiri di luar kesadaran
pemakainya manakala si pemakai keluarkan tenaga dalam tanpa sengaja. Cahaya
cincin bisa keluar menyerang ke mana-mana.
Garong Codet segera lompat
mengejar Roro Manis. Pada saat itu, Pendekar Mabuk segera menenggak habis tuak
dalam bumbungnya. Karena jika tanpa menenggak habis tuak maka cincin itu sulit
diambilnya. Bahkan cincin tersebut sempat masuk ke mulut Pendekar Mabuk namun
tak sempat tertelan. Pendekar Mabuk segera mengambil dan memakainya. Cara
memakai cincin itu juga disamakan dengan cara memakai Cincin Mustika Serat
Iblis, yaitu letak batuannya ada di bagian telapak tangan. Suto segera
menggenggam cincin tersebut ketika dilihatnya Garong Codet mulai mendekat. Suto
menghadang langkah orang itu.
"Apa maksudmu menghadang
langkahku?!" gertak Garong Codet dengan suara serak menahan sakit.
"Apa maksudmu datang
kemari?" Suto ganti bertanya.
"Persetan dengan
pertanyaanmu! Minggir! Biarkan aku mengejar perempuan berilmu tinggi itu!"
"O, kau sedang memburu
tumbal?" kata Suto melecehkan.
"Siapa kau
sebenarnya?!"
"Suto Sinting!"
"Ooo... jadi kaulah orang
yang dikatakan berilmu tinggi itu?" Garong Codet manggut-manggut, tak
menghiraukan rasa sakit di punggungnya.
"Siapa yang mengatakan aku
orang berilmu tinggi?"
"Seseorang yang bersenjata
El Maut!"
Suto kerutkan dahi.
"Maksudmu, orang bersenjata tongkat berujung sabit dan mengenakan kain
hitam dari kepala sampai kaki, serta berwajah putih dan...."
"Iya. Iya! Sudah jangan
banyak bicara!" potong Garong Codet. "Siapa pun dirimu, kulihat kau
pancarkan sinar ungu dari tempat ini. Jadi kau pasti berilmu tinggi dan layak
jadi korban tumbalku!"
Pendekar Mabuk diam sesaat.
"Rupanya dia sudah bertemu dengan Siluman Tujuh Nyawa! Hemm... tapi
mengapa Siluman Tujuh Nyawa tidak merampas Mustika Serat Iblis? Apakah Garong
Codet sudah berhasil membunuh Siluman Tujuh Nyawa?!" pikir Suto Sinting
sambil matanya tak lepas memperhatikan tangan kanan Garong Codet yang selalu
mengenggam.
Sekelebat ia bisa tangkap
pandangan ke arah mulut gua. Tenyata gadis yang berlagak ketus itu belum mau
masuk ke dalam gua. Dia masih mengintip dari batuan di mulut gua. Dia ingin
tahu seberapa hebat gerakan yang dimiliki oleh Pendekar Mabuk.
"Suto Sinting! Aku telah
gagal membunuh orang berjubah hitam itu sebagai tumbal terakhirku. Tapi aku
telah mendapatkan kamu di sini, kekecewaanku telah terobati! Kuharap kau tidak
lari terbirit-birit seperti orang berkerudung yang bikin pakaianku compang-
camping seperti ini!"
"Aku tak akan lari, karena
aku ingin lihat saat nyawamu lari dari ragamu! Tapi jika kau mau turuti saranku
untuk melepaskan cincin mustika itu, dan membuang jauh-jauh, kau akan selamat
dari ancaman mautku! Percayalah, Garong Codet... cincin mustika itu hanya bikin
kamu sesat dan tidak punya kedamaian dalam hidupmu!"
"Bocah kencur mau kasih
nasihat orang seperti aku?! Lebih baik kukirim ke neraka kau sekarang juga!
Hiaaat...!"
Garong Codet bergerak menghantamkan
pukulannya ke arah dada Suto. Tapi tanpa diduga-duga Suto bergerak memutar
sangat cepat dan kakinya berkelebat menendang. Duhggg... !
Roro Manis kejap-kejapkan mata.
Ia tak bisa melihat gerakan Pendekar Mabuk, tahu-tahu Garong Codet terpental
dan terguling-guling beberapa tindak di belakangnya. Terlalu cepat gerakan
Pendekar Mabuk buat mata Roro Manis, sehingga Roro Manis semakin mendekat untuk
melihat lebih jelas lagi.
Tetapi pada saat itu, Garong
Codet berada dalam cahaya sinar matahari, ia cepat kembangkan tangan kanannya,
berdirinya agak merendah, lalu kilatan sinar merah terpantul dari Mustika Serat
Iblis itu. Clappp...!
Pendekar Mabuk cepat sentakkan
kakinya dan bersalto di udara untuk menghindari sinar merah itu. Crass...! Batu
yang ada di samping Roro Manis itu terpotong menjadi dua bagian. Rapi sekali
potongannya, tapi sempat membuat jantung Roro Manis copot. Karena beberapa
jengkal lagi sinar itu bisa mengenai dirinya.
Kini keadaan Pendekar Mabuk
yang dipandang kembali. Roro Manis melihat Suto berdiri di tempat terbuka tanpa
ada rasa gentar, seperti saat ia menghadapi Garong Codet tadi. Justru Roro
Manis yang berdebar- debar melihat Suto Sinting berada di tempat terbuka dan
enak dijadikan sasaran cahaya merah Mustika Serat Iblis itu.
"Suto!" teriak Garong
Codet. "Kau tak akan lolos dari sinar merahku ini! Hiaaah...!"
Tangan kanan Garong Codet
kembali membuka. Sinar merah pun melesat karena mendapat pantulan matahari.
Tetapi dengan cepat, Suto pun membuka tangan kanannya yang menggenggam Cincin
Manik Intan berwarna putih. Sentakan tenaga dalam melalui cincin itu timbulkan
sinar putih yang melesat sangat cepat.
Clapp...! Arah sinar putih itu
tepat mengenai batu merah di tangan Garong Codet. Zzzrrruubb...!
Krakkk... ! Sinar merah yang
memantul seharusnya melesat cepat ke arah Pendekar Mabuk. Tapi sinar putih dari
Cincin Manik Intan lebih dulu menghantam cincin merah itu. Akibatnya cincin
mustika menjadi retak dan remuk. Tak bisa lagi pantulkan sinar merah seperti
biasanya.
Garong Codet tersentak amat
kaget sampai matanya terbuka lebar-lebar. Lebih kaget lagi setelah ia tahu,
sinar putih dari cincin di tangan Pendekar Mabuk keluar lagi dengan cepat dan
menghantam dadanya.
Bross...!
Dada itu berlubang besar,
tembus sampai ke belakang. Cepat-cepat Pendekar Mabuk menggenggam kembali
Cincin Manik Intan. Sikapnya tetap tenang dalam berdiri tegak. Garong Codet
ternganga mulutnya. Ingin pekikkan suara namun tak mampu lagi. Ia pun akhirnya
menghembuskan napas terakhir. Mati tanpa bersuara lagi.
Sekelebat bayangan hitam
muncul. Siluman Tujuh Nyawa berdiri tak jauh dari mayat Garong Codet. Suto
sempat terkejut lalu segera melepaskan pukulan Cincin Manik Intannya lagi. Tapi
sebelum sempat hal itu dilakukan, Siluman Tujuh Nyawa telah melesat pergi dengan
lebih dulu menebaskan senjatanya, memotong tangan kanan Garong Codet. Potongan
tangan itu dibawanya lari menghilang. Dan Suto jadi tertawa kegelian sendiri
pada akhirnya.
Siluman Tujuh Nyawa merasa
Cincin Mustika Serat Iblis masih utuh di tangan Garong Codet. Tak terbayangkan
alangkah kecewa dan murkanya siluman berwajah dingin itu jika mengetahui bahwa
Mustika Serat Iblis telah hancur tak berguna lagi.
"Roro Manis, kau sekarang
bebas berkeliaran ke mana saja maumu!" kata Suto Sinting. Roro Manis hanya
tertegun bengong. Tak mampu berucap kata, tak mampu berkedip mata. Ketampanan
Pendekar Mabuk terasa seimbang dengan kehebatan ilmunya yang amat mengagumkan
itu. Dan untuk semua itu, Roro Manis hanya bisa diam dalam kecamuk hatinya yang
berdebar- debar penuh keindahan.
"Akankah ia tetap
bersamaku?" tanya Roro Manis.
SELESAI
PENDEKAR MABUK Selanjutnya
dalam episode:
Emoticon