BANTARAN ANGIN
KERAJAAN Bantaran Angin di daerah Ponorogo, sejak
ditinggal mangkat rajanya, Raden Bagus Kelana Swan-
dana, nampak terasa mulai turun pamornya. Perselisihan
antar kerabat dekat di dalam kehidupan keraton nampak
jaan yang memperebutkan pangkat dan kedudukan tinggi
makin hari makin menjadi-jadi. Secara diam-diam telah
terjadi persekongkolan, saling sikut, dan saling tikam di
antara para anggota keluarga kerajaan. Di tingkat para
pejabatnya, antara pimpinan yang satu dengan pimpinan
lainnya pun saling berseteru berebut pengaruh dan men-
Kerajaan Bantaran Angin telah lama berdiri kuat. Ketika
di bawah kepemimpinan Raja Bagus Kelana Swandana,
dengan didampingi permaisurinya yang termashur ber-
nama Dewisri Sangga Langit, putri cantik jelita keturunan
Raja Daha dari Kediri yang waktu itu banyak diperebut-
kan oleh raja-raja yang ingin mempersuntingnya,
akhirnya Raden Bagus Kelana Swandana yang
memenangkan perebutan putri tersebut. Beliau
berhasil mempersunting putri itu yang kemudian
menjadi permaisurinya diboyong ke keraton Ban-
taran Angin di Ponorogo.
Kerajaan Bantaran Angin kemudian mencapai puncak
keemasannya pada masa pemerintahan Raden Bagus
Kelana Swandana itu. Rakyat hidup tenteram. Hasil bumi
tiap tahun dapat dipanen berulang-ulang, sehingga ber-
limpah ruah. Perdagangan antar daerah berjalan
baik. Kehidupan kesenian berkembang pesat, teru-
tama kesenian khas Reog Ponorogo yang lahir pada
masa pemerintahan Raden Bagus Kelana Swandana
ini.
Ketika itu Raden Bagus Kelana Swandana ingin melamar
putri kerajaan Daha Kediri, yang bernama Dewisri
Sangga Langit yang amat terkenal dengan kecantikannya
yang menawan hati tiap laki- laki pada masa itu. Namun
bagi uap pelamar yang terdiri dari para raja sakti yang
berasal dari hampir semua kerajaan- kerajaan di seluruh
tanah Jawa, dipersyaratkan harus mampu menyajikan
suatu hasil ciptaan baru berupa pertunjukan. kesenian
asli yang belum pernah ada duanya di dunia. Raden Bagus
Keiana Swandana penguasa Kerajaan Bantaran Angin
dari Ponorogo itu pun akhirnya mampu menciptakan
jenis kesenian rakyat yang masih abadi dilestarikan
hingga sekarang yang disebut Reog Ponorogo itu. Atas
keberhasilan menciptakan kesenian Reog Ponorogo itu,
maka Raden Bagus Kelana Swandana berhasil memper-
sunting putri Raja Daha Kediri yang cantik jelita itu yang
kemudian diangkat menjadi permaisurinya.
Lalu diboyong ke keraton Bantaran Angin di Ponorogo
Namun, amat disayangkan, setelah Raja Bagus Kelana
Swandana meninggal dunia, tatanan kehidupan keraton
menjadi kacau-balau. Kerajaan Bantaran Angin hancur.
Kehancurannya bukan karena disebabkan oleh serangan
musuh dari luar, tetapi hancur dari dalam sendiri. Banyak
desas-desus yang sengaja dihembuskan oleh para pemi-
nat peraih kekuasaan di seputar kekuasaan keraton
sendiri. Entah itu dari para penggede atau keluarga turun
Raja sendiri, terutama anak-anak dari selir-selir raja dan
pengikutnya. |
Sejak runtuhnya kerajaan Bantaran Angin, timbul se-
bagian pendapat dan para sesepuh keraton bahwa tidak
ada lagi turun raja yang dapat dianggap berhak naik tahta.
Sebab turun Raja Kelana Swandana yang beristerikan
puteri berasal dari kerajaan Daha Kediri itu, dinilai bukan
orang asli daerah Ponorogo, maka anak turunnya dapat
dianggap tidak asli lagi, merupakan darah campuran.
Bahkan ada pendapat yang berkembang, bahwa anak-
anak turun Raja dan selir yang berasal dari perempuan,
orang Ponorogo asli, justeru yang lebih berhak menjadi
pengganti raja daripada turun permaisuri yang bukan
orang Ponorogo asli.
Silang pendapat di antara para sesepuh keraton menjadi
ramai, Masing-masing pihak yang berselisih sama-sama
berpegang pada pendinannya sendiri-sendiri. Akhirnya
kehidupan keluarga keraton terpecah belah. Suasana
yang tidak menentu itu telah mengganggu kehidupan
rakyat menjadi kacau-balau. Banyak muncul kejahatan.
Banyak lahir jagoan yang membikin keonaran di-
mana-mana. Berita yang terjadi di daerah Ponorogo
itu akhirnya sampai terdengar ke telinga Prabu
Brawijaya, Raja penguasa kerajaan Majapahit di
Trowulan.
Melihat situasi yang kacau di daerah Ponorogo ini,
akhirnya Prabu Brawijaya mengambil prakarsa un-
tuk menjadikan daerah Ponorogo sebagai daerah .
kekuasaanya menjadi daerah Kadipaten. Dan ke-
mudian telah ditunjuk seorang Adipati yang berasal
dari salah seorang perwira tinggi kerajaan Majapahit,
yang kemudian setelah menjadi Adipati bergelar Kanjeng
Raden Adipati Sampurnoaji Wibowo Mukti.
Walaupun ketika pengangkatan Kanjeng Adipati se-
belumnya telah dilangsungkan upacara di Trowulan,
pusat kerajaan Majapahit, namun di Ponorogo juga
diadakan Kirab besar-besaran untuk memberikan peng-
hormatan atas pengangkatan Adipati baru di daerah
Ponorogo im.
Selain digelar pertunjukan reog Ponorogo, juga di-
pagejarkan sajian wayang kulit yang berlangsung
hingga tujuh hari tujuh malam, tiada henti-hentinya.
Siang diadakan pertunjukan reog, dan malamnya di-
gelar wayang kulit, Penduduk Ponorogo nampaknya
dapat menikmati gelar pertunjukan yang amat
disukainya itu. i
Pagi itu, di halaman depan keraton Kadipaten Ponorogo,
nampak para prajurit Majapahit yang berpakaian seragam
beraneka rupa warna sedang berjajar rapi ikut menyema-
rakkan upacara kebesaran yang diikuti pula oleh pasukan
penabuh genderang, pasukan pengendara kuda, kereta-
kereta kerajaan Majapahit, yang dimaksudkan sebagai
upacara kebesaran pengangkatan Adipati baru untuk
daerah kekuasaan di Kadipaten Ponorogo.
Kanjeng Adipati berpakaian lengkap kebesarannya, di-
dampingi isterinya yang cantik jelita, kemudian berbaris
para penggede Kadipaten bersama isteri masing-masing,
berikutnya diiringi oleh deretan putri-putri keraton yang
berdandan elok menawan, dayang- dayang hari itu pun
ikut berbaris berhias diri dengan mengenakan pakaian
seragamnya yang terbagus, dan para punggawa pilihan
yang merupakan prosesi yang lazim diadakan bagi peno-
batan seorang Adipati sebagai penguasa tunggal daerah
Kadipaten Ponorogo yang baru.
Bunga-bunga mawar, melati, sedap malam, dan lain-lain-
nya menghiasi dinding-dinding keraton, terhampar di
permadani yang memberikan aroma harum semerbak
dimana-mana, bak seperti suasana pengantenan daup raja
yang penuh wewangian membawa citra pesona bagi para
undangan yang hadir di keraton yang dikeramatkan itu.
Setelah dilangsungkan acara pelantikan di keraton Kadi-
paten Ponorogo, kemudian diadakan arak-arakan keliling
kota Ponorogo. Barisan kesenian Reog Ponorogo men-
duduki posisi paling depan, kemudian diikuti oleh para
penari yang berjoget ria melenggang- lenggokkan tarian-
nya dengan menggunakan aneka rupa warna pakaian
tradisonal khas Ponorogo, baik perempuannya maupun
para laki- lakinya, anak-anak kecil maupun orang de-
wasa, semuanya Tumplek blek jadi satu tenggelam dalam
suasana kegembiraan pada hari- hari yang bersejarah itu.
Atraksi yang paling menarik bagi rakyat Ponorogo adalah
pegelaran kesenian Reog Ponarogo yang legendaris itu.
Sebuah barongan besar yang berkepala harimau, ke-
mudian di atasnya digelar bulu-bulu burung merak yang
kepala mencekeram tepat di atas kepala hanamau nampak
hijau tua berkemilauan. Seorang gadis cantik sebagai
penari bertengger di atas kepala harimau itu berjoget
sambil barongan reog itu berputar-putar mengelilingi
arena pertunjukkan. Seorang yang menggunakan topeng
pentulan, bernama Bujangganong menari-nari di depan
barongan mengikuti irama gerak tabuhan musik yang
ditabuh bertalu-talu pirantinya terdiri dari gamelan reog,
kethuk, kenong, kempul, kendang, slompret, angklung
bambu, dan ketipung. Barisan reog itu paling tidak terdiri
dari jelmaan Raden Bagus Kelana Swandana yang mem-
bawa pecut sakti, Patih Kelana Wijaya, Patih Singolodro-
Barongseta, barisan jaranan atau jejeran para peningga
kuda dari bambu.
Melihat iringan-iringan reog itu penonton terus bertenak-
teriak bergembiraan. Orang-orang yang sedang mengu-
rus pekerjaannya langsung saja meninggalkan
pekerjaannya itu, mereka yang sedang bertani di sawah,
yang sedang mengembala ternah di lapangan terbuka,
yang sedang masak di dapur, begitu mendengar suara
tabuhan reog sudah lupa pada pekerjaannya segera lari
mendatangi suara gaduh yang penuh sorak-sorai penon-
ton yang kegirangan. Baik itu laki-laki, perempuan, anak-
anak semua berbondong mendatangi suara tetabuhan
reog itu. Mereka berkerumun beramai- ramai, anak-anak
kecil sampai dipanggul oleh kakeknya agar dapat melihat
kesenian reog yang digemari masyarakat Ponorogo itu.
Kemudian, barisan ketiga dari iring-inngan pawai yang
merah itu disi oleh para penggede Kadipaten, Path
Brojosento sebagai sesepuh senior yang rambutnya telah
memutih itu menunjukkan kewibawaannya sebagai
orang yang disegani. di lingkungan keraton, kemudian
para penasehat spiritual, para warok yang ditunjuk seba-
gai kepala-kepala pengamanan daerah, para senopati
yang nampak muda-muda dan gagah berani, kemudian
dibelakangnya disusul barisan pasukan perang Kadi-
paten, ikut serta pula pasukan pengamanan sebagai
polisinya rakyat, kemudian bala tentara Majapahit
yang berbaris tegap dengan beraneka persenjataan, tom-
bak-tameng, pedang-tameng, kemudian pasukan kavalen
yang berkuda dan berkereta merupakan pasukan
yang diandalkan oleh kerajaan Majapahit yang kini
telah mengatur rakyat Ponorogo melalui penguasa
Kadipaten.
Masyarakat Ponorogo menyambutnya dengan gegap
gempita sebagai hiburan yang menarik dan jarang terjadi.
Pertunjukkan reog yang paling gempar biasanya hanya
terjadi pada bulan syuro, namun kali ini pertunjukkan
lebih lengkap karena ditunjang oleh para seniman-seni-
man yang didatangkan khusus dari Trowulan pusat kera-
jaan Majapahit yang megah pada zamannya. Suara
tetabuhan yang terus terdengar bertalu-talu selama tujuh
hari tujuh malam 'itu telah membangkitkan gairah
masyarakat Ponorogo untuk mengingat kembali kebe-
saran kerajaan Wengker peninggalan zaman dahulu yang
pernah tumbuh dan kemudian punah di tengah perubahan
zaman.
2
PERMASALAHAN
TOMBAK PUSAKA
SEMENJAK berubahnya kedudukan kerajaan Bantaran
Angin menjadi daerah Kadipaten di bawah kekuasaan
Kerajaan Majapahit ini, memang kehidupan keraton nam-
pak makin tertata. Akan tetapi, masih banyak orang-
orang Ponorogo asli yang tidak begitu menyukai
perubahan kedudukan dari Kerajaan menjadi daerah
Kadipaten itu. Terutama dari kalangan warok yang dulu
pernah mengabdikan diri dihadapan bekas kerajaan Ban-
taran Angin dahulu kala. Atau para sesepuh dahulu yang
pernah mengenyam masa kejayaan Kerajaan Wengker
sebelumnya kemudian berubah menjadi Kerajaan Ban-
taran Angin itu.
Tidak sedikit para warok yang sakti mandraguna yang
masih memimpikan kembalinya daerah Ponorogo men-
jadi kerajaan yang berdiri sendiri secara mandiri. Ter-
lepas sama sekali dari campur tangan kekuasaan kerajaan
besar mana pun, termasuk terlepas dari pengaruh Kera-
jaan Majapahit itu. Para warok itu kemudian banyak yang
keluar dari kedudukannya sebagai punggawa Kadipaten
yang baru berdiri ini. Mereka lebih menyukai hidup bebas
di tengah masyarakat. Umumnya mereka, kemudian
hidup menjadi petani, pencari kayu bakar di hutan, atau
ada juga yang menjadi pamong pengamanan di desa-desa
yang jauh dari jangkauan pengamatan penguasa Kadi-
paten.
Meskipun demikian masih beredar pendapat di kalangan
masyarakat Ponorogo bahwa Kanjeng Raden Adipati
Sampurnoaji Wibowo Mukti itu sebenarnya tidak berhak
memerintah daerah ini. Selain bukan turun Raja
Ponorogo, beliau juga tidak mewarisi senjata pusaka
kerajaan Wengker yang sampai sekarang belum tahu
ujung pangkainya, dimana keberadaan pusaka kerajaan
itu. Siapa pun orangnya yang menguasai pusaka kerajaan
itu, justeru dianggap lebih syah berkuasa daripada
penguasa tunjukan dari Kerajaan Majapahit itu.
Namun demikian, melihat kemampuan Kanjeng
Adipati dalam mengelola perekonomian rakyat
Ponorogo, dan kecerdikannya mengatur orang- orang
yang berpengaruh di Ponorogo, telah menjadikan
kedudukan Kanjeng Adipati sebagai penguasa daerah
Ponorogo lambat-laun makin kokoh.
Ditambah lagi, melihat karakter rata-rata orang Ponorogo
yang biasanya sangat percaya diri. Mereka biasanya
merasa lebih suka menjadi tuan atas dirinya sendin.
Merasa menjadi jagoan dan tidak mudah diatur orang
lain, sehingga jarang yang berhasil menjadi pemimpin di
antara mereka. Kedudukan mereka dianggap sejajar. Hal
ini yang kemudian membuat orang Ponorogo sukar untuk
bersatu. Mereka berjalan sendiri-sendiri.
Demikian juga kehidupan para Warok, biasanya tidak ada
seorang Warok pun yang sudi menjadi bawahan Warok
lainnya. Mereka bisa saling segan sesamanya, bisa saling
menghormati, tetapi tidak sudi jadi anak buahnya. Dalam
soal urusan pribadi. biasanya juga diselesaikan secara
pribadi, satu lawan satu. Menghindari main keroyokan.
Tetapi tiap perkara yang menyangkut antar pribadi bi-
asanya diselesaikan secara kasatria, berhadapan langsung
tanpa melibatkan orang lain.
Kanjeng Adipati nampaknya sangat maklum terhadap
sifat-sifat orang-orang Ponorogo ini. Oleh karena itu
ketika beliau ditunjuk oleh Prabu Brawijaya menjadi
penguasa Kadipaten ini, ia berusaha mengatur perim-
bangan kekuatan-kekuatan yang berkembang di
masyarakat Ponorogo. Khususnya kehidupan para
warok-warok yang biasanya menguasai daerah-daerah
tertentu dan disegani oleh masyarakat setempat. Lantaran
antar Warok biasanya juga tidak mudah bersatu. Bahkan
cenderung untuk bersaing. Berebut pengaruh, dan
meninggikan derajadnya masing-masing atas
kekuatan ilmu kanuragan yang dikuasainya. Oleh karena
itu, Kanjeng Adipati berusaha memecah-mecah
kekuatan-kekuatan itu jangan sampai terhimpun, dan ke-
mudian menyerang untuk menghadapi dinnya.
Tidak sedikit para warok yang berpengaruh yang ke-
mudian ditawari untuk menjadi penggede Kadipaten dan
memimpin kekuatan prajurit- prajurit pengamanan. Fu-
juannya tidak lain untuk menghadapi warok- warok lain
yang banyak berkeliaran di kampung-kampung yang apa-
bila mereka tidak puas terhadap cara pemerintahan Kan-
jeng Adipati bisa menjadi ancaman terhadap keluhuran
penguasa Kadipaten itu.
Kebetulan memang, orang-orang yang menyandang gelar
warok dari penduduk itu, lazimnya adalah orang-orang
yang "mumpuni", tidak sembronoan, dan lurus hati.
Walaupun termasuk orang keras, tetapi tergolong orang
baik yang tidak mudah membuat keonaran, justeru sering
menjadi payung mengamanan penduduk. Suka
menolong, dan bersikap jujur. Dan terlebih-lebih sukar
untuk diajak kompromi dalam melakukan tindak keja-
hatan. Oleh karena itu, hampir tidak ada ceriteranya
pemberontakan para warok ini yang ditujukan kepada
penguasa yang adil, dan arif bijaksana.
Pada suatu sore hari Kanjeng Adipati Sampumoaji Wi-
bowo Mukti sedang dihadap oleh para penggede Kadi-
paten, para penasehat spiritual, para pengatur
kemakmuran rakyat, dan para pengamanan termasuk
salah seorang warok yang loyal kepada kepemimpinan
' "Kakang Empu Tonggreng", ujar Kanjeng Adipati kepada
salah seorang penasehat spirituainya yang sudah
termasuk jajaran senior dalam sesepuh Kadipaten, "Ba-
gai mana berita kemajuan mengenai usaha pencarian tom-
bak pusaka peninggalan kerajaan Wengker itu. Apa sudah
ada titik-titik terangnya”.
"Ampun Kanjeng Adipati”, jawab Empu Tonggreng,
"Segala daya dan upaya telah kami kerahkan untuk men-
cari tombak pusaka peninggalan kerajaan Wengker itu.
Namun, sampai hari ini belum nampak membawa hasil.
Kami telah menggunakan kekuatan spiritual, bersemedi
dan berusaha melihat dengan mata hati, tetapinampaknya
yang mengambil tombak pusaka ini bukan orang sem-
barangan. Memiliki keunggulan ilmu bathin yang tinggi.
Oleh karena itu, kami menganjurkan kepada Kanjeng
Adipati, agar untuk menemukan tombak ini, kita tidak
menempuh cara biasa. Harus menggunakan cara-cara
yang luar biasa. Membalik cara berpikir kita".
"Aku belum bisa memahami. Apa yang Kakang Empu
maksudkan", kata Kanjeng Adipati nampak masih
diliputi tanda tanya.
"Kalau yang menguasai tombak pusaka itu seorang
maling ulung yang sangat pandai. Kita harus menyu-
ruh orang yang sebangsanya dia. Maksud hamba,
maling barus dilawan dengan maling”, jelas Empu
Tonggreng nampak mantab.
Suasana persidangan itu jadi herung. Semua yang hadir
nampak terdiam berusaha mencerna kata-kata Empu
Tonggreng sebagai sesepuh keraton yang berfungsi seba-
gai penasehat Adipati dan keluarganya.
"Bagaimana menurut pendapat Dimas Warok Sawung Gun-
tur yang telah lama memiliki pengalaman di lapangan per-
golakan para jagoan di wilayah Ponorogo ini", kata Kanjeng
Adipati yang ditujukan kepada Warok Sawung Guntur
yang dinilai sebagai tokoh masyarakat yang tahu banyak
soal cara-cara yang jazim dilakukan oleh orang-orang
Ponorogo terhadap pusaka-pusaka keraton.
"Hamba rasa, pendapat Eyang Empu Tonggreng itu
benar, Kanjeng Gusti. Dapat kita coba. Memang kalau
kita sebagai penguasa pengamanan akan menangkap
seorang perampok, tentu akan sulit kalau tidak ber-
hadapan langsung untuk. bertarung secara terbuka.
Tetapi dengan cara menangkap konco-konco peram-
pok itu, kita cukup masuk akal dengan cara menyebar
konco-konco perampok itu yang sudah jelas-jelas
memihak kita. Kemudian kalau sudah ketahuan siapa
pencurinya baru kita atur cara menggrebeknya”, sahut
Warok Sawung Guntur yang menjadi ‘ompleng-om-
plengnya' penguasa Kadipaten mendukung pendapat
Empu Tonggreng itu.
"Lalu, siapa yang ingin memberikan urun rembugnya -
lagi", tanya Kanjeng Adipati kepada semua penggede
yang hadir dalam persidangan itu. Akan tetapi nam-
paknya tidak ada yang menjawabnya.
"Kalau demikian, aku putuskan untuk menerima usulan
Kakang Empu Tonggreng itu. Lalu, siapa orangnya yang
bisa kita anggap dapat dipercaya dan mampu men-
jalankan tugas ini".
"Ampun hamba Kanjeng Adipati. Hamba mengenai
seorang perampok sakti yang sekiranya dapat kita ajak
kompromi, namanya Begal Bledeg Ampar Mongso-
dilogo. Ia banyak melakukan kejahatan di daerah
Ponorogo Timur, di sekitar lereng bukit-bukit gunung
Wilis. Dan konon ia berasal dan Dukuh Pulung. Sudah
kondang sak onang-onang, orang ini banyak menimbul- _
kan kejahatan di masyarakat. Menunut berita terakhir. ia
banyak memiliki hubungan dekat dengan para perampok-
perampok tangguh sampai ke daerah- daerah lain di luar
Ponorogo, misalnya daerah Kertosono, Daha- Kediri,
Wonogiri, sampai Blitar Selatan. Hanya masalahnya,
apakah bisa Kanjeng Adipati, memberikan pengam-
punan terhadap segala kejahatan-kejahatan yang diper-
buatnya ini. Lagipula dia tentu akan minta upah yang
besar untuk menjalankan tugas ini", urai Warok Sawung
Guntur, '
Suasana jadi hening sejenak Kanjeng Adipati sedang
berpikir keras. Bagaimana mungkin akan mengampuni
seorang perampok yang telah membuat kejahatan ter-
hadap masyarakat. Namun, soal tombak pusaka itu pun
juga harus segera ditemukan lantaran menyangkut soal
pembenaran terhadap kekuasaannya di daerah
Ponorogo itu melalui lambang penguasaan tombak
pusaka itu. Akhirnya, Adipati lebih mempertim-
bangkan pada memperkuat kedudukan kekuasaan-
nya terlebih dahulu dihadapan rakyat yang
disimbulkan dengan peninggalan tombak pusaka itu
daripada harus memperhitungkan soal kejahatan
perampok ulung yang bernama Begai Bledeg Ampar
Mongsodiiogo itu.
"Warok Sawung Guntur, usulmu baik. Aku dapat
menerima. Tetapi bagaimana caranya untuk mendapat-
kan Begal Bledeg Ampar itu. Selama ini para punggawa
sudah lama tidak bisa menangkapnya".
“Ampun Hamba, Adipati", jawab Warok Sawung Gun-
tur, "Soal cara menghubungi Begal Bledeg Ampar itu:
urusan hamba. Atas seijin Kanjeng Adipati hamba akan
mengerahkan orang-orang kepercayaan hamba untuk
mengirim pesan-pesan damai kepada Begal Bledeg Am-
par. Jadi mohon hendaknya tidak perlu dikhawatirkan
mengenai hal ini. Ada semacam isyarat-isyarat yang
bisa disampaikan melalui orang kepercayaan yang
berpengalaman. Kemudian isyarat itu tentunya
akan dengan mudah bisa ditangkap maknanya
oleh penerima pesan. Itu semua merupakan ba-
hasa-bahasa di kalangan hitam yang beroperasi
di daerah ini, Kanjeng Adipati", jelas Warok
Sawung Guntur membanggakan. diri.
"Baik, aku restui cara-caramu itu, Warok Sawung Gun-
tur. Segera bersiaplah kamu untuk menjalankan tugas
ini", perintah Kanjeng Adipati Sampurnoaji Wibowo
Mukti kepada pengawal andalannya itu Warok Sawung
Guntur yang gagah perkasa sakti mandraguna. Kemudian
persidangan siang itu ditutup, para penggede Kadipaten
bubar menuju ke tempat masing-masing.
MEMBUAT PERJANJIAN
WAROK SAWUNG GUNTUR satu-satunya warok di
antara para warok lainnya yang bersedia memberikan
pengabdiannya kepada penguasa Kadipaten. Ia mendapat
tugas besar dari Kanjeng Adipati untuk mencari tombak
pusaka peninggalan kerajaan Wengker yang hingga kini
belum jelas dimana beradanya.
Warok Sawung Guntur berusaha menjalin kontak dengan
pemimpin perampok dari wetan yang konon berpusat di
daerah Pulung itu bernama Begal Biedeg Ampar. Melalu:
orang kepercayaannya, bernama Seco Larendro yang
bertindak sebagai kurier berpengalaman, ia diperintah
oleh Warok Sawung Guntur untuk menyampaikan surat
yang ditujukan kepada pemimpia perampok itu.
Di tengah jalan ia dicegat oleh segerombolan laki-laki
yang nampaknya mereka itu telah mengikuti Seco Laren-
dro sejak ia keluar dari pendopo kadipaten. Anak buah
Bledeg Ampar telah memata-matai gerakan Seco Laren-
dro kemudian diikutinya dan belakang. Setelah Seco
Larendro melewati Dukuh Prajangan, rasanya perjalanan-
nya ada yang mengikutinya. Ia kemudian dengan cekatan
membelokkan kudanya menikung tajam ke kiri menuju
jurang babi. Ia segera turun dari kudanya, setelah menam-
batkan tali kuda itu pada pohon asam yang rindang itu, ia
bersembunyi di semak-semak yang nmbun.
"Sialan. Kemana larinya monyet kecopret tadi," terdengar
suara laki-laki yang bersuara serak menandakan umurnya
mungkin sudah tua dengan diikuti oleh sekitar lima orang
anak buahnya yang semuanya berpakaian hitam legam.
“Sebaiknya kita berpencar saja, Paman." usul salah
seorang anak buahnya itu.
"Bagus. Itu usulan yang bagus. Baiklah, kalian berpencar.
Cari sampai dapat si bedebah tikus lodeng itu."
Tidak berapa lama terdengar suara langkah kuda mereka
yang menuju ke segala arah. Mereka berpencar.
Seco Larendro yang bersembunyi di balik pohon randu
yang dikelilingi semak-semak belukar itu, menggunakan
kesempatan baik ini untuk segera melarikan diri. Dengan
mengendap-endap mendekati kudanya lalu meloncat ke
atas dan memacunya kencang ke arah timur.
Hari mulai sore dan akan memasuki malam. Seco Laren-
dro mencoba mencari tempat bermalam, atau apakah
malam begini akan terus langsung menuju ke tempat-
persembunyian Bledeg Ampar. Ia baru pikir-pikir
langkah apa yang sebaiknya sambil duduk-duduk di
bekas pohon-pohon rubuh yang besar-besar itu. Tiba-tiba
terdengar suara keras seperti orang yang sedang dikejar
mangsa yang dengan kuatnya memacu kudanya. Ranting-
ranting dedaunan itu seperti patah diinjak-injak oleh kaki-
kaki kuda yang berlari kencang. Suaranya makin lama
makin mendekat. Tidak berapa iama terlihat seorang
perempuan yang kelihatannya masih muda belia menun-
jukkan wajahnya yang ketakutan berlari dengan kuda
pacunya itu dari arah selatan menuju ke arah utara.
Seco Larendro terperanjat, apa yang sedang terjadi. Na-
mun tidak berapa lama, tidak jauh dari larinya kuda
perempuan muda itu menyusul serombongan laki-laki
yang ternyata mereka itu para laki-laki yang sejak dari
keraton kadipaten itu membuntutinya.
Seco Larendro nampaknya tidak punya kesempatan lagi
untuk bersembunyi, salah seorang dari orang-orang itu
melihat Seco Larendro yang sedari tadi sudah dikagetkan
oleh datangnya suara kuda kencang yang dikendalikan
oleh perempuan muda tadi.
"Itu dia. Orang yang kita kejar tadi," teriak salah seorang
dari mereka. Rupanya sejak melihat adanya Seco Laren-
dro di tengah hutan itu, mereka lupa mengejar kepada
perempuan muda tadi. Kini perhatiannya berpaling
kepada Seco Larendro yang sedang berdiri nampak ke-
bingungan mau menghindar kemana. Akhirnya ia memu-
tuskan untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk
yang bakal terjadi.
"Hae. Bajingan. Kemana saja kamu. Menghilang di
tengah hutan tanpa memberitahu,” kata orang yang
berambut memutih itu yang nampaknya sebagai
pemimpin mereka.
"Apa maksud kalian membututiku sejak tadi dari kota
kadipaten.” kata Seco Larendro dengan penuh ke-
waspadaan.
"Hae. Kunyuk, Kau kira aku tidak tahu maksud dan
tujuanmu datang ke daerah kami ini. Kamu akan memata-
matai gerakan kami, yah. Kamu orang dari punggawa
kadipaten mau menyelidiki keberadaan kami di sini”.
"Jangan salah paham kawan. Aku memang orang dari
kadipaten. Aku membawa pesan dari paman Warok
Sawung Guntur untuk pemimpin kalian, Warok Bledeg
Ampar."
"Ha...ha...ha..Pandai membual si kunyuk ini. Apa
buktinya kamu diutus Warok Sawung Guntur untuk
membawa pesan kepada pemimpin kami Kangmas
Bledeg Ampar."
"Aku membawa pesan khusus untuk paman Bledeg Am-
par."
“Mana pesan tertulis yang kau bawa itu. Serahkan
kepadaku."
"Aku harus menyerahkan sendiri dihadapan Paman
Bledeg Ampar. Antar aku kepada beliau."
"Serahkan dahulu surat itu. Baru aku akan putuskan perlu
untuk mengantar kamu atau tidak. Sekarang perintahku.
Serahkan surat itu, atau kamu akan menemui ajalmu di
sini."
"Maaf. Sekali lagi mohon antarkan aku kepada Paman
Bledeg Ampar. Jangan paksakan aku..”. Belum habis
ucapan Seco Larendro. Ketiga laki-laki yang membuntuti
Seco Larendro sejak tadi itu tanpa banyak omong lagi
meloncat dari kuda mereka masing-masing terus meng-
hajar Seco Larendro yang sedari tadi memang telah ber-
siap diri. Pergulatan pun tidak terhindarkan lagi. Seco
Larendro dikeroyok beramai-ramai dengan menerima
serangan dari berbagai jurusan. Untung Seco Larendro
bukanlah seorang prajurit rendahan, ta adalah seorang
senopati muda yang cukup memiliki bekal ilmu
- kanuragan yang ‘mumpuni. Sehingga serangan para
laki- laki yang begitu brutal itu dapat ditanggulangi
dengan enteng hanya cukup meliuk-liukkan tubuhnya
yang tegap itu telah membuat kewalahan para musuh-
nya itu.
Tidak berapa lama, pimpinan gerombolan itu mem-
bunyikan peluit dengan mengapit tangannya, tanda ia
memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk mening-
galkan arena pertarungan. Tidak berapa lama para laki-
laki yang mengeroyok Seco Larendro menaiki kudanya
kembali dan pergi kabur meninggalkan Seco Larendro
yang segera juga meloncat ke kudanya untuk mengikuti
perginya gerombolan pencegat itu. Ia mengambil jarak
agak jauh agar tidak diketahui oleh gerombolan itu. Tu-
juan mengikuti jejak gerambolan itu agar ia mendapat
penunjuk jalan untuk menemui sarang gerombolan Bega!
Bledeg Ampar.
Sementara hari mulai malam. Jalan-jalan mulai gelap.
Seco Larendro mulai kehilangan jejak gerombolan itu.
Namun dengan menggunakan indera pendengarannya,
Seco Larendro masih bisa mengenali arah perginya
gerombolan tadi. Tidak berapa jauh, di kejauhan tiba-tiba,
Seco Larendro melihat beberapa obor yang kelihatannya
baru saja dinyalakan. Ia menduga, barangkali obor- obor
itu milik gerombolan tadi yang mau menerangi jalan
untuk pulang ke sarangnya. Maka dengan cekatan, Seco
Larendro memacu kudanya lebih cepat lagi untuk men-
dekati arah obor-obor itu
Begitu cepatnya Seco Larendro untuk berusaha men-
dekat, tidak dinyana tiba-tiba ia menginjak tanah yang
kelihatanya tanah rumput tetapi begitu kudanya
melangkah ke situ ia terpelosok ke dalam jauh ke bawah.
Dari posisi tempat itu nampaknya ini bukan tempat asli
tetap: sengaja ada yang membuat untuk memasang
perangkap. Tiba-tiba terdengar banyak orang
tertawa...ha....ha. Benar juga tidak berapa lama muncul
banyak obor-obor dinyalakan. Nampak dari atas lubang
besar dimana Seco Larendro terperosok di dalamnya itu
telah berkumpui banyak laki-laki yang hampir semuanya
berewokan.
"Hae punggawa goblok," hardik salah seorang dari
mereka "Apa tujuanmu jauh-jauh dari kota kadipaten
datang kemari."
"Ampun Paman. Namaku Seco Larendro. Aku membawa
pesan dan Paman Sawung Guntur untuk disampaikan
kepada Paman Bledeg Ampar."
Emoticon