1
PENGEMBARAAN ANAK BUPATI
PADUKUHAN Bubadan yang terletak tepat di bagian
utara ibukota Kadipaten Ponorogo, di situ tinggal
kala, bernama Warok Wirodigdo. Gelar kehormatan
sebagai Warok itu diberikan oleh penduduk di
Padukuhan, Bubadan kepada laki-laki yang bertubuh
tinggi kekar itu. Dalam pengembaraannya mencari ilmu
ia termashur tekun berguru ilmu kanuragan kepada
pendekar-pendekar di berbagai. perguruan silat di
pelosok tanah Jawa. Mulai dari ujung kolon di daerah
Banten, sampai ujung timur di daerah Banyuwangi.
Warok Wirodigdo adalah sosok seorang punggawa
kerajaan yang memutuskan lebih baik menyingkir dari
haru-birunya perebutan pangkat di Kadipaten
Ponorogo daripada harus mengabdikan diri kepada
kekuasaan yang menurut keyakinannya harus berasal
dari turun raja, bukan berasal dari rintisan urutan jenjang
kepangkatan yang diperolehnya lantaran prestasinya
selama mengabdi kepada kerajaan Majapahit di Trowulan
sana. la termasuk orang yang tidak sehaluan dengan
perubahan kedudukan daerah Ponorogo yang semula
merupakan kerajaan sekarang diganti menjadi daerah
Kadipaten itu.
Dalam usianya yang sudah menginjak lanjut, Ia agaknya
lebih memilih untuk tinggal di rumah bambu yang
berhalaman luas di kampung halamannya daripada
harus tinggal di istana yang gemerlapan seperti halnya
ketika waktu dahulu masih menjadi punggawa kerajaan.
Sejak ia tidak lagi menjadi punggawa kerajaan, kini ia
hidup dari hasil mengolah sawah dan mencari, kayu
bakar di hutan yang terletak tidak jauh dari pedukuhan
Bubadan ini.
Dalam kedudukannya yang berumur kakek-kakek itu,
ia tercatat sebagai orang yang belum pernah punya isteri.
Sejak menekuni ilmu kedigdayan itu, ia nampaknya
tidak pernah menyentuh perempuan secara sengaja. Ia
memiliki banyak gemblakan, laki-laki muda yang berwajah
tampan, dipeliharanya untuk teman tidur, ber-
cengkerama, dan berfungsi seperti layaknya "isterinya".
Selama keberadaan Warok Wirodigdo itu, Pedukuhan
Bubadan dalam keadaan aman-tenteram. Tidak ada
seorang perampok pun yang berani membuat onar me-
masuki dukuh itu. Nama Warok Wirodigdo sudah san-
gat dikenal di antara para jagoan di sekeliling dukuh itu.
Penduduk pun sangat menghormatinya sebagai-
mana layaknya menghormati seorang tokoh pelindung
yang baik hati. Ja menjadi tokoh yang tidak mempunyai
pangkat resmi. Namun para penggede dari Kadipaten
kalau mau mengambil pajak penduduk dukuh Babadan
terlebih dahulu terbiasa meminta kemufakatan dari
Warok Wirodigdo sebagai satu-satunya orang yang
disegani di Pedukuhan itu. Setelah para penduduk
dikumpulkan diminta keikhlasannya, barulah petugas
Kadipaten itu menjalankan tugasnya memungut upeti
kepada penduduk. Akan tetapi kalau dirasakan kurang
adil, maka Warok Wirodigdo tanpa basa-basi minta
kepada Kanjeng Adipati penguasa Kadipaten Ponorogo
untuk menurunkan penetapan upetinya bagi rakyat
Padukuhan Bubadan itu. Dan biasanya para penggede
yang diutus Bupati itu tidak dapat berbuat banyak.
Mereka segan menghadapi kearifan dan keluhuran budi
Warok Wirodigdo yang banyak menguasai ilmu-ilmu
kesaktian itu.
Pada suatu hari, datang rombongan dari Kadipaten.
Rupanya ada kekhilafan yang dilakukan oleh para
punggawa Kadipaten, kedatangan Putra Mahkota Adipeti
itu tidak diberitahu terlebih dahulu kepada rakyat
setempat. Oleh karena itu, pada saat kedatangan
rombongan dari Kadipaten ke pedukuhan itu, tidak ada
rakyat yang menyambutnya. Putra Mahkota, anak sulung
dari Kanjeng Adipati yang bernama Raden Mas Sumboro
itu nampak tersinggung melihat sikap penduduk
Dukuh Bubadan yang acuh tak acuh saja ketika melihat
kedatangannya itu.
Raden Mas Sumboro kemudian memerintahkan kepada
kepala punggawa untuk menghadapkan siapa kepala
dukuh ini kepadanya. Setelah ditanya kepada orang-
orang yang dijumpai, semua menjawab dukuh ini tidak
ada kepalanya. Semua rakyat di sini sama kedudukannya.
Tidak ada yang memimpin. Hanya sempat disinggung
nama Warok Wirodigdo seorang sakti yang kerjanya
seharian berada di sawah mengolah ladang atau di tengah
hutan mencari kayu bakar. Lalu putra mahkota Raden
Mas Sumboro itu memerintahkan kepada Kepala Pung-
gawa untuk segera mencari orang yang disebut-sebut
namanya tadi untuk menghadapnya.
Sudah hampir malam, matahari tinggal tenggelam
sebagian, para punggawa yang diperintahkan mencari
Warok Wirodigdo itu belum ada yang kembali.
Kemudian, Raden Mas Sumboro memerintahkan
kepada segenap punggawa yang masih tinggal, segera
mencarikan rumah penduduk yang paling bagus untuk
tempat bermalam. Akhirnya ditemukan sebuah rumah
yang begitu besar dan terkesan bersih, sehingga
kemudian dipilih untuk bermalam Putra Mahkota
Kadipaten itu bersama rombongannya.
Pemilik rumah itu segera menyiapkan diri. la merasa
mendapat kehormatan lantaran rumahnya mau di tempati
oleh putra mahkota Kadipaten itu. Maka rombongan
bergegas singgah di rumah milik Pak Kartosentono,
nama seorang pedagang beken, pengusaha hasil tani
yang terbiasa pulang balik dari Dukuh Bubadan ke kota
Kadipaten untuk menjual dagangan. Dengan suka cita
rombongan Putra Mahkota Kadipaten itu diterima
bermalam di rumah Pak Kartosentono yang besar itu
dengan mendapatkan suguhan makanan yang lezat hasil
olahan yang disajikan oleh isteri Pak Kartosentono,
bernama Waijah Sarirupi yang pandai memasak itu.
Pada tengah malam, ketika putra mahkota itu ingin
melakukan hajat kecil di balik bilik belakang rumah
dengan disertai seorang pengawal yang membuntutinya,
sesampai di pintu kamar kakus itu putra mahkota itu
tidak mengetok pintu terlebih dahulu, tetapi langsung
saja masuk ke dalam, dikiranya tidak ada orang di
dalam. Tiba-tiba, terdengar suara lirih menjerit
"Auh...mengapa tidak ketuk pintu dulu," teriak suara
perempuan dari balik pintu kakus itu. Rupanya di dalam
kamar kakus itu sedang ada seorang perempuan, isteri
Pak Kartosentono yang sedang nongkrong di jongkokan
kakus yang menghadap pintu masuk, melepaskan
berak.
"Maaf Bu...aku tidak tahu kalau ada orang," kata Raden
Mas Sumboro tersipu-sipu, sambil kembali keluar
kamar kakus itu. Demi diketahui yang masuk kakus itu
Putra Mahkota Kadipaten, yang menjadi tamunya, perem-
puan itu buru-buru menyudahi beraknya walaupun
perutnya masih terasa mules. Dan segera meninggalkan
putra mahkota itu, sambil tidak lupa memberi hormat
menyembah, terus masuk ke dalam rumah, Darah muda
Raden Mas Sumboro berdesir keras setelah menyaksikan
apa yang baru saja dilihat dari kemolekan paras perem-
puan tadi. Ia sempat melihat bagian-bagian perempuan
tadi yang sedang nongkrong menghadap di depannya
ketika ia masuk ke kakus itu. Semalaman ia tidak bisa
tidur. Akhirnya ia keluar tekadnya meminta pertimbangan
kepada penasehat spiritualnya. Seorang yang ber-
perawakan seperti Durno dalam kisah pewayangan,
yang disebut namanya sebagai Empu Tonggreng itu,
ternyata mempunyai peranan kuat dalam tiap kali mem-
berikan nasehat-nasehat kepada Putra Mahkota
Kadipaten itu.
Menurut nasehat Empu Tonggreng yang dituturkan
kepada Putra Mahkota Kadipaten itu, "Sebaiknya Anak-
mas Sumboro menyuruh salah seorang punggawa untuk
membangunkan Pak Kartosentono."
Usul Empu Tonggreng itu rupanya diterima baik oleh
Putra Mahkota Kadipaten. Oleh karena itu, tidak berapa
lama muncul Pak Kartosentono tergagap-gagap meng-
hadap putra mahkota di kamarnya itu dalam keadaan
setengah mengantuk. Setelah menyembah, ia duduk di
bawah bersila sambil kepalanya menunduk menghadap
Putra Mahkota Kadipaten itu.
"Hamba menghadap Raden Mas Sumboro," kata Pak
Kartosentono takjim sambil bersila sangat sopan.
"Maaf Pak Kartosentono. Saya ingin membuat repot Bapak.
Aku baru saja bertemu dengan isteri Bapak...," tiba-tiba
kata-kata Raden Mas Sumboro berhenti. Dan Pak Karto-
sentono makin ketakutan hanya menunduk diam,
kesalahan apa yang telah diperbuat oleh isterinya.
“Kal...kal...kalau tidak keberatan, apa...ap...apa...
apa...Pak Kartosentono...bis..bis...bis...bisa... : Tidak ke-
beratan isteri bapak untuk menemani aku tidur malam
ini saja. Aku tidak bisa tidur sejak tadi," tiba-tiba ujar
Putra Mahkota Kadipaten itu terbata-bata.
Tidak ada suara. Semuanya jadi hening. Pak Kartosentono
dalam keadaan tersilap, harus menjawab bagaimana.
Hatinya makin kecut. Apakah sebenarnya yang ingin
dimaui putra mahkota itu. Kalau saja ia harus menyerahkan
isterinya, bagaimana mungkin. Namanya saja sudah
isteri yang disayang-sayang, dimanja-manja, dan mana
mungkin diserahkan begitu saja kepada laki-laki lain.
Demikian juga sebaliknya. Tidak menyerahkan, juga
takut akan mendapatkan amarah.
"Jangan khawatir Pak Karto, aku akan perlakukan dengan
baik isteri. Pak Karto...Sudah berapa banyak anak
Bapak," sambung Putra Mahkota Kadipaten itu lagi.
"Eh...eh... belum punya anak Den. Itu sebenarnya isteri
muda saya. Isteri saya yang pertama saya cerai karena
juga tidak punya anak. Ini yang kedua sudah tiga tahun
juga belum punya anak," jawab Pak Kartosentono polos.
"Baik kalau begitu kebetulan, siapa tahu dengan
kedatanganku ini akan menolong Bapak untuk menda-
patkan anak," ujar Putra Mahkota Kadipaten itu nampak.
lebih bersemangat.
Demi mendengar soal anak itu, tiba-tiba pikiran Pak
Kartosentono berubah. Inilah barangkali kesempatan
baik untuk membalas dendam kepada teman-temannya
sesama pedagang yang sering mengejeknya ia sebagai
laki-laki mandul. Tidak bisa membuahi isterinya. Tidak
bisa punya anak. Maka tanpa pikir panjang lagi ia
menyetujui untuk menyerahkan isterinya itu untuk
digauli Putra Mahkota Kadipaten itu.
"Kalau demikian. Sil...si..silakan saja Den...silakan Aden
pakai saja...kalau Aden suka. Hamba tidak apa-apa
menyerahkan isteri Hamba demi untuk Aden," kata Pak
Kartosentono sambil menunjukkan suasana wajah yang
ceria, bahkan hatinya nampak suka cita. Lalu ia
memanggil isterinya yang sedari tadi ikut mendengarkan
dari balik bilik. Walaupun agak keberatan, namun
karena ini dianggap sebagai perintah Putera Adipati,
maka akhirnya isterinya pun yang bernama Waijah
Sarirupi itu menuruti saja kehendaknya untuk pindah
ke kamar yang digunakan bermalam Putra Mahkota
Adipati itu.
Paginya, seperti biasa, antara Putra Mahkota Kadipaten
dan isteri Pak Kartosentono, nampak tidak pernah terjadi
apa-apa semalam. Putra mahkota Adipati beserta para
punggawa itu pun kemudian meninggalkan Dukuh
Bubadan untuk pergi berburu babi hutan di hutan
Gorang-Gareng yang masih lumayan jauh dari Dukuh
Bubadan itu.
2
GUNDAH-GULANA
SELANG tiga bulan dari kejadian bermalamnya putra
mahkota Kadipaten, Raden Mas Sumboro, di Dukuh
Bubadan, agaknya Waijah Sarirupi, isteri Pak Kartosentono
mulai memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Sering
muntah-muntah, perutnya nampak mulai agak
membuncit, dan jalannya pun mulai kelihatan tertatih-
tatih.
"Pak, kayaknya aku mau bunting, Pak," kata Waijah
Sarirupi pada suatu sore hari yang cerah kepada
suaminya Pak Kartosentono yang duduk tidak jauh
darinya sedang menghitung uang hasil penjualan
dagangannya hari itu.
*Hah...Apa. Kamu meteng. Sudah bunting," kata Pak Kar-
tosentono kelihatan terkejut mendengar ucapan isterinya
itu.
“Benar Pak," jawab Wajjah Sarirupi dengan muka pucat.
"Wah, hebat kamu, Nduk. Ini namanya baru rejeki.
Peristiwa ini harus dirayakan dengan hebat. Perlu
diperingati besar-besaran. Diadakan selamatan yang
meriah. Kini aku benar-benar jadi laki-laki jantan. Bisa
punya anak. Aku akan umumkan kepada semua handai-
taulan, kerabat karib, teman-teman dagangku. Aku akan
punya anakkkkkkkk...ha...ha...ha... Tidak ada rejeki yang
paling besar kecuali mempunyai anak. Rejeki uang dapat
dicari. Tetapi rejeki anak, baru kali ini aku dapat
merasakan nikmatnya dan bahagianya. hati
ini...ha...ha...ha," tawa Pak Kartosentono dengan suara
riang gembira. Ketika itu ia sedang menghitung uang
dari hasil penjualan dagangannya di kota hari itu, Uang
yang sudah diatur rapi dan sebagian sudah dihitung itu
diambilnya ditebarkan ke atas seperti hujan uang. Wajah
Pak Kartosentono pun nampak berseri-seri kegembiraan
mengumpulkan kembali uang-uang yang berceceran
baru saja ditebarkan ke atas itu. Perilakunya berubah
seperti anak kecil yang sedang kegirangan mendapatkan
hadiah.
Sebaliknya muka Waijah Sarirupi kelihatan malah
semakin pucat. Ia tahu benar anak yang dikandungnya
itu bukan hasil dari pembuahan suaminya itu. Akan
tetapi dari hasil perhubungan dengan Putra Mahkota
Adipati yang berkunjung dan bermalam di rumahnya
tempo hari itu.
"Bapak senang, saya dapat bunting begini ?" tanya Waijah
Sarirupi kemudian.
"Iya. Tentu. Tentu saja. Aku sangat senangggggg. Bagai-
mana aku tidak senang wong mau punya anak dari
isterinya sendiri kok. Tentu aku sangat senang. Aku
sangat beruntung akan mendapatkan anak dari perutmu
ini, Nduk," sambil kegirangan Pak Kartosentono meloncat
mendekati isterinya. Kemudian, memeluknya erat-erat
isterinya itu yang dianggapnya akan memberikan
anugerah bagi hidupnya. Benar-benar membahagiakan
Pak Kartosentono yang sudah akan memasuki usia baya
itu, lantaran akan datangnya seorang anak dari perut
isterinya yang cantik jelita yang selama ini 'dinanti-
nantikan kehadiran seorang bayi ditengah-tengah
keluarga ini.
"Nduk, engkau memang benar-benar luar biasa. Engkau
telah memberikan segalanya bagiku. Aku sangat
bersyukur mempunyai isteri seperti kamu ini. Sudah
cantik, merak ati, bongoh, sengoh, juga andemenakake," ujar
Pak Kartosentono tidak habis-habisnya memuji kelebihan
isterinya itu dengan penuh kasih sayang kepada
isterinya itu, sambil tangannya dengan lembut
mengelus-elus keningnya, membelai rambut isterinya
yang berambut mayang sari itu, dan terutama beberapa
kali mengelus-elus perut Wajjah Sarirupi yang mulai
agak membuncit itu. Waijah Sarirupi, isterinya itu,
mukanya terus menjadi pucat pasi, ia hanya bisa menun-
dukkan kepalanya dengan perasaan yang tidak
menentu melihat tingkah aneh suaminya itu. Harus
bilang apa. Mungkin suaminya sudah mulai pikun
mengingat usianya yang sudah tergolong lewat tengah
baya dan mendekati umur ketuaan. Hanya saja
memang, semangat hidupnya tetap menyala-nyala seperti
pemuda yang tidak pernah padam dan tidak pernah
merasa dirinya telah tua. Itulah perwujudan watak Pak
Kartosentono, pedagang kaya di Dukuh Bubadan yang
telah termashur namanya, baik di kampungnya maupun
para pedagang di kota kadipaten Ponorogo banyak
mengenal dirinya sebagai seorang pedagang sejati yang
ulet berusaha.
000000000
Setelah memasuki pada bulan ke tujuh, kandungan
Waijah Sarirupi isteri Pak Kartosentono yang nampak
makin membesar itu, oleh keluarganya kemudian
diadakan acara upacara selamatan "Selapanan", Pada
acara ini selain dilakukan upacara adat, juga diadakan
perayaan yang meriah. Sampai diadakan tanggapan
wayang kulit tujuh hari tujuh malam dan acara ruwatan
segala. Mendatangkan pertunjukan Reog Ponorogo tujuh
hari penuh, para penunggang "kuda" jatilan itu menari
di jalanan tidak ada henti-hentinya keliling kampung-
kampung pada tiap harinya. Penduduk dari kampung-
kampung tetangga sebelah pun pada berduyun-duyun
berdatangan ke Dukuh Bubadan itu ikut meramaikan
suasana. Mereka butuh menghibur diri masing-masing
yang sudah lama tidak menyaksikan pertunjukan Reog
Ponorogo yang gegap gempita dibawakan oleh para
pemainnya yang penuh semangat, suara tetabuhannya
berdengung sampai terdengar ke sebelah, kampung-
kampung tetangga. Malam harinya, semalam suntuk
para tamu disuguhi pertunjukan wayang kulit yang
amat digemari oleh penduduk setempat, merupakan
tanggapan dari keluarga Pak Kartosentono seorang
pedagang kaya yang makin tersohor namanya pada
zaman itu,
Makanan-makanan yang lezat-lezat, terutama makanan
khas masyarakat setempat sate ayam Ponorogo yang
amat digemari orang-orang, dan berbagai jenis minuman
seperti wedang jahe, kopi nasgitel, dihidangkan sepan-
jang malam, dan siang hari dawet cendol, kepada tamu-
tamu yang datang terus membanjir memenuhi halaman
rumah besar keluarga Pak Kartosentono yang diubah
seperti layaknya sebuah tonil panggung gembira.
Mereka dengan suka cita menyaksikan acara pementasan
wayang kulit itu yang dalangnya didatangkan khusus
dari kota Kartosuro yang sudah "kondang sak onang-
onang” namanya Ki Dalang Dharmo Pendem. Cara
memperagakan urutan ceritera yang nampak tertata
apik dan banyak ‘guyonannya’, terutama saat dilang-
sungkan acara Goro-Goro pada tengah malam ketika para
anak-anak kecil sudah tertidur lelap, banyak orang
tertawa terpingkal-pingkal ger-geran tidak ada habis-
habisnya ketika Pak Dalang bersaut-sautan dengan
jejeran para pesinden yang nampak berdandan menor-
menor sedhet banyak menyajikan sindiran-sindiran yang
agak berbau cabul mengenai urusan perhubungan birahi
antara laki-laki dan perempuan. Pertunjukan wayang
kulit itu sendiri mengambil ceritera, Gatutkoco lahir
yang mengisahkan lahirnya seorang satria, cucu Pandu
pendiri Dinasti Pandawa dalam kisah pewayangan yang
amat terkenal waktu itu.
Sejak peristiwa pesta meriah malam itu di rumah Pak
Kartosentono, banyak ceritera burung yang beredar.
Pendek kata, Pak Kartosentono sekarang menjadi buah-
bibir pembicaraan masyarakat luas. Ia dianggap sebagai
sosok usahawan sukses. Selain dikenal sebagai orang
kaya, ia juga dianggap sebagai seorang dermawan, dan
baik hati suka menolong kesusahan orang lain.
Pendeknya ia menjadi manusia idola di kampungnya
dan kampung-kampung tetangganya. Di samping
dikenal mempunyai isteri yang cantik jelita yang pada
malam hiburan itu dipamerkan kepada khalayak ramai,
masyarakat pengunjung, tamu-tamu yang berjubel
menghadiri undangan keluarga Pak Kartosentono
malam itu pun ikut menyaksikan mengenai kehamilan
isterinya itu yang sudah kelihatan dari perutnya yang
menjembul membuncit itu. Dengan tersenyum lepas,
Pak Kartosentono dengan bangga memberikan sambutan
mengenai maksud diadakan acara selamatan ini untuk
mensyukuri nikmat atas telah mengandungnya isteri
tercintanya, Waijah Serirupi itu. "Mudah-mudahan anak
yang dikandungnya selamat. Dan kelak di kemudian
hari mudah-mudahan pula akan lahir jabang bayi laki-
laki, seorang satria yang akan berguna bagi masyarakat.
Seorang satria yang memiliki Waseso Segoro memiliki
wawasan yang luas, Satria Wibowo selalu memperoleh
keberuntungan, dan Sumur Sinobo yaitu orang yang
selalu suka menolong terhadap sesama.” Demikian kira-
kira ringkasan sambutan keluarga Pak Kartosentono
yang pada malam hari itu dibawakan secara takjim oleh
seorang sahabat karib dekatnya bernama Pak Kardjo
Pranyono yang malam itu secara rapi mengenakan
pakaian adat, pakaian khas daerah, yang membawa
nama kebesaran bagi tradisi Ponorogo yang sangat
dibanggakan oleh masyarakat setempat pada waktu itu.
000000000
SEMINGGU setelah berlangsunganya pesta meriah
di rumah keluarga Pak Kartosentono itu, pada suatu
malam hari, Warok Wirodigdo sebagai sesepuh dan
pelindung Dukuh Bubadan itu, datang bertamu ke rumah
keluarga Pak Kartosentono. Keluarga Pak Kertosentono
yang dianggapnya juga sebagai seorang dermawan
yang banyak membantu orang susah di Padukuhan
Bubadan itu sehingga sering mendapatkan simpatik
dari banyak orang, termasuk Warok Wirodigdo yang
sangat menaruh hormat kepada keluarga Pak Kartosen-
tono ini.
Warok Wirodigdo yang berilmu tinggi dan waskita itu,
segera dapat membaca apa yang terjadi pada keanehan
warga Dukuh Bubedan ini. Terutama terhadap kehidupan
keluarga Pak Kartosentono yang terkenal sebagai orang
kayanya di Dukuh Bubadan ini. Tiba-tiba isterinya bun-
ting, dan dirayakan pesta ria sampai menanggap wayang
kulit semalam suntuk, dan pertunjukan reog yang tiada
henti-hentinya tiap hari.
"Apakah Pak Kartosentono merasa dihinakan oleh
perlakuan yang kurang ajar dari Putra Mahkota Adipati
dengan adanya kejadian malam itu," reaksi Warok
Wirodigdo menunjukkan muka penuh keprihatinan
setelah mendapatkan ceritera panjang-lebar dari Pak
Kartosentono mengenai peristiwa yang dilakukan oleh
Putra Mahkota Adipati terhadap isterinya, Waijah
Sarirupi pada malam hari itu.
Pak Kartosentono tidak bisa berbuat apa-apa terhadap
kedatangan Warok Wirodigdo malam-malam ini,
kecuali menceriterakan hal yang sebenarnya terjadi. Tidak
berceritera pun, Warok Wirodigdo punjuga pasti sudah
tahu dengan hanya melihat dari mata hatinya ia
mengerti segala hai yang terjadi terhadap warga Dukuh
Bubadan ini.
"Kalau memang merasa dihinakan," lanjut Warok
Wirodigdo, "Aku sanggup untuk berbuat apa saja deni
kebaikan keluarga Pak Kartosentono. Aku bersedia menentasi
perkara ini, bila perlu membela sampai matiku aku
menyanggupkan diri. Aku akan meminta seluruh
penduduk untuk tidak mau membayar upeti atas
imbalan yang menimpa kehormatan keluarga Pak
Karto, Dan aku yang akan menjadi timbainya dari peristiwa
ini. Kalau mendapat amarah dari Kadipaten aku yang
akan menanggungnya sendirian," tegas Warok
Wirodigdo sebagai orang yang pernah mengabdikan
diri bertahun-tahun ketika masih berdiri kerajaan
Bantaran Angin dahulu, dan kemudian keluar ketika
kedudukan kerajaan Bantaran Angin berubah menjadi
Kadipaten di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit sampai
seperti sekarang ini.
"Maafkan saya, Kangmas Wirodigdo. Saya mengucapkan
terima kasih banyak atas segala perhatian dan pembelaan
Kangmas. Akan tetapi, saya mohon kepada Kangmas
Wirodigdo, agar masalah ini Kangmas rahasiakan saja.
Halini hanya Kangmas yang tahu. Sebaiknya tidak perlu
dibuat perkara berkepanjangan, justeru saya yang
bangga dengan adanya kehamilan isteriku itu, lantaran
selama hidupku aku belum pernah punya anak, dan kini
isteriku telah hamil. Entah apa pun yang menjadi penyebab
ini semuanya, saya tidak ambil peduli. Mchon pengertian,
Kangmas saja."
"Ohhhh, jadi begitu tho, Pak Karto,"
"Benar, Kangmas Wirodigdo. Saya ihklas kok. Biarlah
anak dalam kandungan isteriku itu lahir dengan selamat,
dan dapat tumbuh dewasa menjadi anakku. Mohon dengan
kerendahan hati Kangmas Wirodigdo, sekiranya hal ini
jangan sampai diberitahukan kepada siapa pun
mengenai rahasia siapa sebenarnya ayah dari anak itu.
Saya benar-benar mohon kearifan Kangmas Wirodigdo
sebagai orang yang bijaksana dan berilmu tinggi, juga
sebagai pelindung penduduk dukuh kita selama ini,"
pinta Pak Kartosentono menunjukkan wajah memelas.
"Baiklah kalau memang demikian kemauan Pak Karto.
Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya 'ingin
menegakkan keadilan dan memberantas kesewenangan.
Saya akan pegang janji untuk merahasiakan hal ini,
kalau itu yang Pak Karto minta," kata Warok Wirodigdo
merendah.
"Terima kasih sebesar-besarnya lho, Kangmas
Wirodigdo," balas Pak Kartosentono memperlihatkan
wajah cerah.
Sejak pertemuan antara Warok Wirodigdo dengan Pak
Kartosentono malam itu, agaknya Warok Wirodigdo
selama ini lebih baik mengambil sikap diam dan
waspada. Ia telah menepati janjinya untuk tetap mera-
hasiakan mengenai siapa sesungguhnya ayah dari anak
yang kini sedang dikandung oleh isteri Pak Kartosentono
itu.
3
KEMELUT
KADIPATEN Ponorogo sedang dirundung kesedihan,
Adipati Nagoro yang bergelar Kanjeng Raden Adipati
Sampurnoaji Wibowo Mukti mangkat. Akhirnya atas
persetujuan Prabu Brawijaya, Raja Majapahit yang
menguasai daerah Kadipaten Ponorogo, diangkatlah
putra mahkota Raden Mas Sumboro menjadi Adipati
menggantikan kedudukan ayahandanya, dengan
menyandang nama baru Kanjeng Gusti Adipati Raden
Mas Sumboro Mukti Wibowo.
Sudah lima tahun menduduki jabatan Adipati, belum
ada berita Kanjeng Gusti Adipati mempunyai keturunan
anak. Isterinya yang bernama Raden Ajeng Roro Lestari
Kusumadewi belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan-
nya. Sudah banyak para ahli ketabiban dan kebidanan
didatangkan untuk memeriksa kesehatan isterinya,
tetapi belum juga berhasil. Akhirnya Kanjeng Gusti Adipati
mengambil isteri lagi. Dari isteri yang kedua ini pun juga
belum punya anak. Kemudian beliau mengawini lagi
seorang dayangnya yang kelihatan subur merekah, untuk
menjadi selirnya. Para pujangga Kadipaten menasehati
bahwa dayang yang dikawini itu punya garis keturunan
yang baik, tetapi sudah tiga tahun dikawini ternyatajuga
belum memperlihatkan kehamilan. Barangkali Sang Hyang
Tunggal sedang mencampakkan dirinya yang pernah
berbuat salah, atau oleh sebab-sebab lain yang dibuat
para dukun yang sedang menghalanginya dengan mak-
sud-maksud tertentu. Para ahli spiritual keraton kadi-
paten sudah dikerahkan, tetapi belum juga membawa
hasil. Akhirnya Raden Gusti Adipati, berdiam diri,
sudah tiga isteri dimiliki tidak eda satu pun yang dapat
memberikan keturunan. Pada suatu hari ia ingat pada
Waijah Sarirupi, perempuan Dukuh Bubadan di pinggir
hutan, isteri Pak Kartosentono yang pernah digauli
semalam yang konon menurut laporan punggawanya
ia waktu itu terus hamil dan punya anak laki-laki Maka
diam-diam Raden Adipati mengirim utusan untuk
menyelidiki. Bagaimana keadaan putranya itu, dan juga
bagaimana kondisi ibunya, apakah masih secantik seperti
dulu
Laporan para punggawa yang diutus untuk menyelidiki
itu pun cukup menggembirakan. Perempuan itu kini
masih tinggal di Dukuh Bubadan itu bersama suaminya
yang dulu juga, Pak Kartosentono. Setelah mendengar
semua laporan punggawa kepercayaannya itu. dalam
benak Raden Gusti Adipati timbul minat untuk
mengawininya, dan akan mengambil anaknya dari
hubungan gelapnya dulu itu sebagai putra mahkota
Kadipaten.
Sikap Adipati ini telah menampar muka Pak Kartosentono
yang selama ini merahasiakan mengenai peristiwa itu
dan anaknya yang sudah dikenal masyarakat sebagai
anak kandung Pak Kartosentono. Malahan selama ini
Pak Kartosentono sangat bangga sebab dapat mema-
merkan kepada teman-temannya bahwa ia mampu
punya anak laki-laki, dan terbukti ia bukan laki-laki
mandul yang sering dituduhkan teman-temannya itu,
maka dengan terbukanya kedok itu, bahkan akan diam-
bilnya isterinya itu, ia diam-dian menjadi berang dan
menyimpan dendam kesumat kepada Kanjeng Gusti
Adipati Raden MasSumboro Mukti Wibowo karena rasa
malu yang tak tertanggungkan itu.
Maka ia pun kemudian menghadap Warok Wirodigdo
untuk minta pertimbangan keadilan. Warok menyanggupi
seperti yang dulu pernah diucapkan ia akan membela
sampai mati. Maka kali iri Pak Kartosentono memberikan
sikap tegasnya. Menolak mentah-mentah kemauan
Raden Gusti Adipati. Dalam surat balasan yang disam-
paikan kepada punggawa Kadipaten itu ia mengatakan ,
"Saya telah memberikan pengorbanan kepada Kanjeng
Adipati dengan menyerahkan isteri yang saya cintai,
demi penghormatan saya kepada Kanjeng Gusti Adipati.
Akan tetapi kalau sudah diberi hati jangan merogoh
Tempela. Itu tidak baik bagi kedudukan Kanjeng Adipati.
Untuk permintaan menyerahkan isteri dan anak itu
Sama saja saya menyerahkan jiwa raga saya. Mohon
ampun, kami tidak bisa menyerahkan."
Setelah membaca surat balasan dari Pak Kartosentono
itu terlihat dari mukanya, Raden Kanjeng Adipati marah
sekali, Dan tanpa pikir panjang ia menyuruh kepada
kepala pengawalan Kadipaten untuk mengirim pung-
gawa perangnya agar memberi palajaran kepada Pak
Kartosentono yang dianggap telah berani menghina
kedudukan Kanjeng Gusti Adipati Raden Mas Sumboro
Mukti Wibowo. Namun naas nasib para punggawa
perang yang dikirim itu. Tidak diduga sebelumnya,
ternyata para punggawa itu bukannya berhadapan lang-
sung dengan Pak Kartosentono pedagang hasil tani dari
Dukuh Bubadan itu, tetapi harus berhadapan terlebih
dahulu dengan Warok Wirodigdo yang terkenal sakti
mandraguna itu, yang sudah sejak pagi hari mencegat
di pintu masuk gapura Dukuh Bubadan itu.
"Kalau mau saya nasehati, sayangi nyawamu, dan
urungkan niatmu mematuhi maksud buruk Kanjeng
‘Gusti Adipati yang mursal itu. Tetapi kalau nekat, jangan
salahkan aku kalau sampai ajalmu, kau akan mati sia-sia,"
begitu sergah Warok Wirodigdo menghadapi pasukan
perang utusan dari Kadipaten itu.
Akhirnya perkelahian pun tidak bisa dihindarkan. Para
punggawa tidak berani pulang kembali ke Kadipaten
kalau belum menjalankan tugas yang dilimpahkan
kepadanya. Kalau mau nekat berarti berhadapan dengan
Warok Wirodigdo yang terkenal perkasa itu, Maka
dalam waktu yang tidak lama, tubuh-tubuh para pung-
gawa itu sudah bergelimangan bercucuran darah,
mereka tergores oleh senjata tajam yang dibawanya
sendiri. Sedangkan Warok Wirodigdo hanya menyabetkan
kolor putihnya yang panjang itu melingkar-lingkar di
udara, satu per satu para punggawa itu roboh kesakitan.
"Aku tidak ingin membunuh kalian. Hayo banguniah,
dan tinggalkan Dukuh Bubadan ini dan laporkan
kepada Kanjeng Adipati supaya bisa bertindak adil."
Demi mendengar ucapan Warok Wirodigdo yang masih
memberikan kesempatan hidup kepada para punggawa
itu, maka seketika para punggawa itu bangkit sem-
poyongan sambil menahan sakit luka-luka itu berusaha
menaiki kuda-kudanya lari kembali ke Kadipaten
Ponorogo meninggalkan Warok Wirodigdo yang berdiri
gagah di tengah gapura Dukuh Bubadan itu.
Rupanya, setelah mendengar laporan para punggawa
itu, Kanjeng Gusti Adipati malahan penasaran, dan timbul
amarahnya, peristiwa ini dianggap sebagai tamparan
terhadap kewibawaan Kadipaten, maka ia bertubi-tubi
mengirim para jagoan punggawa yang berilmu kanuragan
lebih tinggi untuk menangkap Warok Wirodigdorperistiwa
itu telah membawa korban banyak punggawa Kadi-
paten yang dikirim, dan konon ada yang terpaksa
menemui ajalnya di tangan warok sakti itu.
Setelah mendengar peristiwa naas itu, para penasehat
spiritual Kadipaten turun tangan, ikut urun rembug
mencoba memberikan pandangan 'kepada Kanjeng
Gusti Adipati.
"Nuwun Kanjeng Gusti Adipati. Peristiwa naas ini telah
menjadi keprihatinan kami para sesepuh Kadipaten.
Kami mempunyai pandangan, kalau tujuan Kanjeng
Gusti Adipati ingin memperisteri perempuan itu, dan
mengambil sekaligus anak yang kini telah tumbuh menjadi
bocah itu, tentu ada cara lain yang lebih bijaksana."
"Ара itu cara yang lebih bijaksana, Paman," tanya Kanjeng
Adipati yang nampaknya sudah mulai tenang.
"Kita harus lakukan perbaikan hubungan dengan laki-
laki, si suami perempuan itu."
"Caranya bagaimana ?."
"Kita kirim utusan untuk memberitahu bahwa kejadian
ini adalah kesalahpahaman. Ada kekeliruan di tingkat
pelaksana, kekeliruan oleh para punggawa kita. Dan
Kanjeng Adipati tidak pernah memerintahkan soal ini.
Dan untuk itu, kita mengundang laki-laki itu, Kartosentono
untuk datang di pesta Kadipaten sebagai tanda kehor-
matan atas penyesalan kejadian tragis yang salah oleh
para punggawa kita itu."
Atas saran para sesepuh Kadipaten itu, Kanjeng Gusti
Adipati, langsung saja menyetujuinya. Kartosentono,
laki-laki malang itu benar juga bersedia diundang pesta.
Dalam pertemuannya dengan seorang penggede Kadi-
paten yang datang diutus khusus oleh Kanjeng Adipati
untuk bertamu ke rumah Kartosentono dikemukan
alasan undangan itu bahwa lantaran ingin membalas
budi baik di masa lalu yang diberikan Pak Kartosentono,
telah bersedia meminjamkan isterinya dipakai Kanjeng
Adipati waktu masih muda dahulu, maka Kanjeng Adipati
bermaksud akan memberikan imbalan sesuai
kedudukan Pak Kartosentono sebagai pedagang. Pak
Kartosentono rupanya benar-benar tergiur oleh
penawaran Kanjeng Gusti Adipati yang akan memberikan
prioritas sebuah kios di pasar Kadipaten Ponorogo yang
bergengsi itu. Karena pekerjaannya berdagang, maka
penawaran menarik yang akan membawa keuntungan
itu telah mendorongnya untuk mengadakan perseku-
tuan dagang dengan Kanjeng Adipati yang nantinya
akan dibicarakan langsung dengan Kanjeng Adipati di
pesta nanti.
Sebelum memberikan jawaban kesediaan untuk hadir
pada pesta di Kadipaten itu, Pak Kartosentono menemui
terlebih dahulu Warok Wirodigdo yang waskita itu untuk
minta pertimbangan. Warok Wirodigdo menasehati,
agar Pak Kartosentono tidak perlu datang di pesta yang
akan diadakan itu, karena akan membawa celaka.
Rupanya nasehat warok yang sakti itu, kali ini tidak
digubris. Agaknya Pak Kartosentono lebih menemukan
alasan yang lebih masuk akal untuk datang ke pesta
sebagai balas budi Kanjeng Gusti Adipati kepadanya
yang telah berbaik kepadanya di masa lalu itu tinimbang,
ada rencana jahat seperti yang dituturkan Warok
Wirodigdo itu. Maka diputuskan untuk menghadiri
pesta itu secara diam-diam, tanpa memberitahu Warok
Wirodigdo, bahkan ia membawa serta isterinya untuk
berangkat mengendarai dokar kudanya yang dikendalikan
kusir kepercayaannya Si Trimo. Laki-laki muda yang
pandai bermain pencak-silat itu sekaligus diangkat
sebagai pengawal pribadinya untuk menjaga kesela-
matan diri dan keluarganya di perjalanan.
Malam ini, nampak Pak Kartosentono didampingi isterinya
yang cantik jelita Waijah Sarirupi yang mengenakan
kebaya lurik coklat, berdua telah duduk berhadapan
dengan Kanjeng Gusti Adipati beserta para penggede
yang terbatas diundang untuk acara makan malam itu
di ruang samping gedung Kadipaten. Mata Kanjeng
Gusti Adipati nampak tidak berkedip setelah menemui
perempuan molek itu. Kelihatan kesengsem, hatinya
terpana, terpikat berat. Timbul sensasi dalam
benaknya. "Inikah perempuan yang dulu tidak pernah
aku lihat secara jelas wajahnya karena gelap malam di
kampung, dan pagi-pagi buru-buru pergi sebelum
matahari terbit, jadi aku tidak pernah memperhati-
kan secara jelas wajahnya." Hanya tubuhnya lamat-la-
mat pernah diingat, tapi waktu itu dianggap tidak pent-
ing, sebab yang dicari hanya untuk melepaskan nafsu
birahinya yang tiba-tiba bergolak, jadi soal tubuh dan
wajah tidak pernah terlintas. Dan kini baru pertama kali
sempat memperhatikan sekujur tubuh perempuan yang
dandanannya sangat sederhana itu.
"Магі Pak Kartosentono. Silakan makan hidangan ala
kadarnya ini," kata Kanjeng Gusti Adipati dengan penuh
keramahan memecahkan kesunyian. Dan diikuti oleh
semua undangan yang berjumlah hanya enam orang.
"Heran juga, katanya mengadakan pesta mengapa yang
datang hanya kurang dari sepuluh orang, dan tidak ada
gamelan, penari, atau apa-apa yang selama ini pernah
didengar dari penuturan orang, pesta Kadipaten biasanya
sangat meriah." Begitu yang berputar dalam benak Pak
Kartosentono. Suasananya pun agak kaku, semua
bersantap malam dan berdiam diri kalau tidak ditanya
Oleh Kanjeng Gusti Adipati. Sedangkan Kanjeng Adipati
juga berdiam diri, pikirannya sedang terhanyut oleh
fantasi perempuan yang dihadapannya itu. Jadi
suasananya benar-benar hening, hanya sekali-sekali ter-
dengar suara sendok beradu dengan piring.
Setelah bersantap malam, Kanjeng Gusti Adipati
memerintahkan kepada seorang punggawanya mengam-
bilkan surat penggunaan kios pasar yang telah disiapkan
untuk diberikan kepada Pak Kartosentono.
"Ini Pak Karto surat pelimpahan wewenang penggunaan
kios pasar Kadipaten. Bapak mulai besuk sudah dapat
menggunakan untuk berdagang," kata Kanjeng Gusti
Adipati sambil memperlihatkan muka manis, kemudian
membubuhkan tanda tangannya, dan lembaran suratitu
diserahkan kepada Pak Kartosentono yang menerimanya
dengan suka cita.
"Terima kasih Kanjeng Gusti Adipati. Terima kasih,"
balas Pak Kartosentono kegirangan sambil mencium
telapak tangan Kanjeng Gusti Adipati itu.
"Dan ini seperangkat pakaian ksatria untuk digunakan
putra Pak Karto", kata Kanjeng Gusti Adipati sambil
mendekati isteri Pak Kartosentno untuk menyerahkan
bungkusan itu. Tangan Kanjeng Gusti Adipati nampak
gemetaran ketika menyentuh tangan perempuan itu untuk
memberikan jabat tangannya.
"Matur nuwun, Ndoro, Terima kasih, Paduka," ucap Waijah
Sarirupi, sambil membungkuk menyembah memberi
hormat.
"Nah, sekarang kita minum-minum di kursi sebelah
sana,” kata Kanjeng Gusti Adipati sambil menunjuk
deretan meja bundar yang telah siap di sudut ruangan
penuh dengan macam-macam minuman. Di tiap kursi
sudah ada tanda nama-nama tiap tamu yang hadir.
Setiap tamu dipersilahkan mencari tempat sesuai yang
telah ditentukan.
"Silakan. Hayo diminum ini arak asli dari Majapahit.
Rasanya lezat, didatangkan dari negeri daratan Cina,"
kata Kanjeng Gusti Adipati.
Semua mengambil gelas masing-masing. Kartosentono
dan isterinya sebenarnya tidak menyukai tuak, dan
belum pernah meminumnya, tetapi demi penghormatan
kepada Kanjeng Adipati, isi gelas itu diminum sampai
habis seperti juga yang dilakukan oleh para tamu yang
lain.
"Baiklah, bapak-bapak dan ibu, kita telah selesaikan santap
malam dan acara minum tuak malam ini. Aku ucapkan
terima kasih atas kehadirannya pada pesta keluarga
malam ini", sambil berkata demikian, Kanjeng Adipati,
terus tangannya menjulurkan ke tiap tamunya untuk
berjabat tangan yang semuanya menyambutnya dengan
memberikan sungkem.
Suatu hal yang jarang dilakukan, Karjeng Adipati sempat
mengantarkan kepada semua tamunya sampai di depan
pendopo kadipaten ketika kuda-kuda yang menarik
dokar itu mendekat ke tangga pendopo itu untuk mem-
bawa para penumpang pulang ke rumah masing-masing.
Emoticon