1
Debur ombak menggelegar! Gelombang air laut menciptakan garis-garis putih,
memanjang seolah-olah saling berkejaran atau saling berlomba lebih dulu
sampai di pantai. Terdengar air laut berdesah memanjat tepi pantai yang
landai, kemudian turun dan kembali bersatu dengan gelombang yang datang
menyusul.
Hari masih pagi, namun karena sang surya sedang cerah, permukaan laut
tampak berkilau-kilau. Cukup indah.
Tetapi hempasan ombak yang datang bergulung-gulung seolah-olah menutupi
keindahannya dan kemudian menimbulkan kesan menakutkan. Gulungan ombak itu
terkadang sampai sekitar sepuluh meter, tampak siap melumat benda apa saja
yang ada di sekitarnya.
Burung-burung camar terbang berkelompok-kelompok di langit biru. Beberapa
ekor di antaranya menukik cepat sekali, kemudian melesat lagi ke atas,
bergabung dengan rombongannya.
Dinding batu karang di tepi laut menjadi geronggang terkikis hantaman
ombak. Tak diragukan lagi, laut di tempat itu sangat ganas!
Siapa saja yang pernah terjun langsung ke lautan itu atau hanya
mendengarnya, mengakui hal tersebut. Ganasnya gelombang tidak hanya dapat
menghanyutkan perahu ukuran besar, tetapi juga mampu membuatnya hancur
berkeping-keping. Itulah laut Arafuru!
Laut Arafuru merupakan rangkaian samudra Hindia dari Barat ke Timur, sampai
sekarang masih dikenal sebagai laut berombak besar dan ganas. Merupakan
pemisah Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Aru dengan benua Australia, yang
dikenal sebagai negeri Kanguru. Di sebelah Barat adalah laut Timor, dan di
sebelah Barat Laut membentang laut Banda.
Kepulauan Aru yang merupakan gugusan pulau-pulau kecil berada di sebelah
Barat Daya Irian Jaya sekarang. Dari kepulauan itulah kisah ini dimulai
beratus-ratus tahun silam. Kisah petualangan para pendekar muda dari Pulau
Jawa.
Jika sebagian orang mendengar debur ombak yang menggelegar di laut Arafuru
sudah ngeri atau ciut nyalinya, justru sekarang tampak seorang lelaki
berusia muda duduk berendam di perairan yang dangkal. Usianya baru sekitar
duapuluh lima tahun.
Tubuhnya tegap dan kekar. Rambutnya yang panjang sebatas bahu diikat dengan
sepotong kain. Tampaknya ia sudah cukup lama dan terbiasa pula duduk
bersemedi di laut, sehingga wajahnya berubah agak kehitam-hitaman. Namun
wajahnya yang mencerminkan kejujuran itu tetap terlihat tampan dan
simpatik.
Itulah dia Karta yang lebih dikenal dengan julukan si Gila Dari Muara
Bondet. Pendekar itu duduk di perairan dengan sikap tegak, kedua tangan
dilipat di dada, sedangkan kedua matanya dipejamkan. Walaupun arus ombak
cukup kuat, tubuhnya tetap tegak tidak bergerak-gerak sehingga dari kejauhan
tampak seperti patung.
Nun jauh di atas tebing, berdiri pula seorang wanita sambil menggendong
anaknya yang masih kecil. Ia masih muda, sekitar duapuluh satu tahun.
Rambutnya yang panjang dikuncir dan dihiasi manik-manik.
Wajahnya yang bulat lonjong berkulit putih bersih kelihatan memancarkan
kecantikan. Namun kini wajah itu tampak muram, bagaikan cakrawala dihiasi
mendung, sepasang matanya juga redup, menatap suaminya yang sedang bersemedi
di laut.
Nomina, adik kandung Kepala Suku bernama Pampani adalah istri Karta. Mereka
sekarang sudah dikaruniai seorang anak. Kehidupan rumah tangga Karta selama
ini sebetulnya cukup sejahtera, selalu diwarnai keceriaan. Nomina dan Karta
saling mencintai dan pengertian satu sama lain.
Namun kedamaian itu tidak terlalu lama mereka rasakan. Bukan karena di
antara mereka terjadi kesalah pahaman. Tetapi karena suku yang dipimpin
Pampani sedang terlibat perang suku dengan kelompok-kelompok Wan-Da-I dan
Womere.
Tokoh dari golongan sesat ini sudah sekian lama berambisi menggulingkan
Pampani. Segala cara mereka tempuh untuk bisa menjadi penguasa di Kepulauan
Aru.
Dalam suatu pertempuran baru-baru ini Karta menderita luka dalam yang cukup
parah, sehingga berhari-hari ia harus bersemedi di laut untuk memulihkan
kesehatannya. Dengan setia, Nomina istrinya itu sering menjenguknya dari
atas tebing dan berharap suaminya itu secepatnya sembuh seperti sedia
kala.
Dari arah belakang Nomina, terdengar suara langkah tertatih-tatih. Lelaki
itu menutupi kepalanya dengan topi jenis caping lebar sehingga wajahnya
terlindung dari sengatan terik matahari.
Ia sudah cukup tua, mungkin sudah mencapai empatpuluh tahun atau lebih. Ia
selalu menggunakan tongkat, karena kaki kanannya telah buntung sebatas
lutut. Namanya Baureksa. Namun karena kakinya yang buntung tetapi tetap
mempunyai ilmu silat yang tinggi, di kalangan persilatan ia dijuluki
Pendekar Kaki Tunggal.
Ia sekarang melangkah menghampiri Nomina. Sejenak Baureksa menatap Nomina
dengan mata sendu. Ia merasa sangat terharu, karena terasa benar olehnya
betapa besar cinta dan kesetiaan adik Kepala Suku itu terhadap suaminya,
Karta.
“Tuanku Ratu,” ujar si Kaki Tunggal dengan suara lembut.
Nomina sudah mengenal suara itu. Mungkin itu sebabnya ia tidak berpaling,
masih melayangkan pandangan matanya ke hamparan laut di bawah sana.
“Sudahlah tuanku putri. Hari sudah mulai petang. Sebaiknya kalian berdua
pulang saja. Udaranya tidak baik untuk si orok yang masih lemah. Kasihan,
nanti jadi sakit.”
Perlahan-lahan Nomina membalikkan badan, menatap Baureksa dengan mata
berkaca-kaca.
“Biarlah aku yang menunggui suamimu. Dalam beberapa hari lagi ia tentu akan
selesai bersemedi. Ia telah mengalami luka dalam cukup parah. Karena itu
diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyembuhkannya. Tapi pasti sembuh!
Ayolah biar aku antarkan kalian pulang.”
Akhirnya dengan gerak perlahan, Nomina mengangguk, “Terima kasih,” ujarnya
lirih.
Di tengah perjalanan pulang, mereka berpapasan dengan suami istri Umang dan
Mirah. Sepasang pendekar muda itu mengangguk hormat, lalu tersenyum
ramah.
“Oh, kau Umang dan Mirah. Kebetulan, tolong kawal tuan permaisuri ke
istana. Aku akan berjaga-jaga di sini.”
“Baik, kami akan antarkan!”
Sementara itu di sudut lain pantai karang, tampaklah seorang lelaki tegap
dan tinggi besar berjalan menyusuri pantai karang. Ia mempunyai tinggi tubuh
sekitar dua meter.
Tubuhnya yang penuh otot itu hanya ditutupi semacam cawat, menutupi
kemaluannya. Kedua lengan atas dan pergelangan tangannya dihiasi
gelang-gelang perak, demikian juga pergelangan kakinya. Sementara di daun
telinganya dihiasi anting-anting bulat besar.
Wori, demikian nama lelaki raksasa itu. Ia sebenarnya bukan penduduk
pribumi Kepulauan Aru, melainkan suku asli dari negeri Kanguru yang sekarang
bernama Australia. Sama seperti suku asli di negerinya, ia juga menggunakan
senjata bumerang, terbuat dari logam campuran baja dan kuningan.
Senjata itu berbentuk setengah lingkaran hingga mirip bulan sabit, yang
kedua ujungnya sangat runcing. Adapun keistimewaan senjata bumerang adalah
jika dilemparkan namun tidak mengenai sasaran, akan kembali kepada si
pemiliknya.
Setiap senjata memang mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. Namun
karena sudah sangat ahli menggunakannya, senjata andalan Wori hanyalah
bumerang itu. Makanya di kepulauan Aru ia dijuluki Pendekar Bumerang. Ia
sudah cukup lama bergabung dengan suku pimpinan Pampani, setelah dalam
petualangannya terdampar di Kepulauan Aru.
Kini ia sedang berdiri tegak di dekat dinding cadas tepi pantai. Sepasang
matanya yang besar menatap liar, mengamati batu cadas. Lalu dengan gerakan
cepat, ia melemparkan bumerang di tangannya, meluncur menghantam batu cadas.
Bumerang itu kemudian berbalik ke tangan Wori.
“Bukan! Suaranya biasa saja,” kata Wori pada dirinya sendiri.
Berkali-kali lelaki kekar dan tinggi besar itu melemparkan senjatanya yang
unik ke setiap dinding cadas yang dijumpainya. Sampai suatu saat suara
benturan bumerang terdengar lain. Wajah Wori tiba-tiba berubah jadi
berseri-seri, matanya bersinar-sinar.
“Nah, ini dia! Suaranya agak lain!” katanya.
Lalu ia mengetuk-ngetuk dinding cadas sambil melekatkan telinganya. Setelah
yakin bahwa dinding itulah yang dicarinya, maka ia pun mundur beberapa
langkah dan memasang kuda-kuda.
Kedua tangannya disilangkan di dada, nafasnya ditahan beberapa saat. Sambil
berteriak dengan suara menggelegar, tiba-tiba Wori menyeruduk dinding cadas
itu. Kepalanya yang botak menghantam dengan dahsyat bagaikan godam
raksasa.
“Bruuk!” Dinding cadas itupun jebol, hancur berkeping-keping, membuat
lubang yang cukup besar, Wori agak pusing juga, tetapi ia menarik nafas
lega, karena telah berhasil menemukan sebuah terowongan yang belum pernah
diketahui sebelumnya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Wori segera masuk ke terowongan itu. Hanya
beberapa saat kemudian, ia masuk ke dalam suatu ruangan yang cukup besar,
yang sekelilingnya merupakan dinding batu cadas pula. Di sudut ruangan itu
tampak sebuah pintu terbuat dari sebongkah batu besar.
“Aku akan menggeser pintu ini,” pikir Wori sambil mengerahkan tenaga.
Namun jangankan tergeser, bergeming pun tidak. Kembali ia mencoba sampai
sekujur tubuhnya dibasahi keringat, tetapi usahanya tetap sia-sia, karena
pintu batu itu mempunyai urat-urat yang saling menjalin.
“Mungkin ada cara khusus untuk membukanya,” kata Wori, lalu memeriksa
sudut-sudut batu itu. Namun ia tak menemukan apa-apa. Dengan rasa penasaran,
ia mencoba lagi mengerahkan segenap tenaganya menggeser pintu rahasia
tadi.
Karena belum juga berhasil, pendekar bumerang itu akhirnya memutuskan cara
lain. Ia mundur beberapa langkah, lalu berdiri tegak lurus dengan posisi
kedua kaki setengah terbuka.
Kedua tangannya disilangkan di dada. Sepasang matanya mencorong tajam
menatap ke pintu batu, udara dihirup banyak-banyak dan untuk beberapa saat
ditahan hingga dadanya tampak membusung.
“Hiyaaaat!” Wori berteriak dengan suara mengguntur dan bersamaan dengan itu
ia berlari kencang. Tangan kanannya ditarik ke belakang, lalu ia menghantam
batu itu dengan telapak tangan seperti sedang menampar.
Tenaga dalam pendekar bumerang itu memang dahsyat luar biasa. Sewaktu
tangannya mendobrak lurus ke urat nadi pintu batu, terdengar suara
menggelegar bagaikan gunung runtuh. Pintu batu itu pun hancur
berkeping-keping.
Dengan, wajah berseri-seri, namun tetap waspada, Wori segera melangkah
masuk. Pintu batu itu ternyata menutupi sebuah lorong yang cukup sempit,
sehingga Wori harus agak menunduk sewaktu menyusurinya.
Suasana di dalam itu cukup gelap, karena cahaya hanya sedikit yang masuk.
Baru sekitar sepuluh meter melangkah, Wori melihat sebuah obor tergantung di
dinding batu. Timbullah niat di dalam hatinya untuk menyalakannya.
Lalu ia menarik obor itu dengan tangan kanan. Tetapi tanpa diduga-duga,
terdengar suara berderak. Batu yang diinjak Wori bergeser dan sebelum ia
sempat menyadari apa yang terjadi, tubuhnya amblas ke bawah.
Ternyata obor itu adalah jebakan, yang diatur sedemikian rupa sehingga jika
ditarik, batu yang diinjak akan amblas. Wori ingin meraih lantai batu yang
tidak ikut amblas, namun terlambat sudah, tubuhnya sudah keburu melayang
jatuh. Ia hanya bisa berteriak kaget.
“Buk!” Bagian punggung Wori terbanting keras ke dasar lubang, membuatnya
kembali berteriak kesakitan. Lelaki bertubuh raksasa itu geram dan mengumpat
dalam hati.
Punggungnya terasa sakit, tetapi bukan hanya itu yang membuatnya kesal,
tetapi terutama adalah karena merasa tertipu dan dipermainkan. Ia segera
bangkit berdiri dan menyapu keadaan di sekelilingnya dengan tatapan mata
liar.
Sebelum sempat berbuat apa-apa, terdengar suara berdesir kalajengking yang
jumlahnya mungkin ratusan atau bahkan ribuan, menyerbu Wori dari segala
jurusan. Binatang itu sangat berbisa, sekali menggigit korbannya bisa tewas,
atau paling tidak akan keracunan yang sangat berbahaya.
Tak terkatakan betapa terkejutnya Pendekar Bumerang, apalagi karena
binatang-binatang berbisa itu mulai merayapi sekujur tubuhnya. Kalau saja
Wori bukanlah pendekar berilmu tinggi dan belum mempunyai pengalaman,
pastilah ia akan berteriak-teriak panik sambil berlari-larian ke sana ke
mari.
Tetapi dengan ketabahan yang luar biasa, ia berdiri tegak tanpa
bergerak-gerak. Nafasnya ia tahan beberapa saat dan mengeluarkannya sepelan
mungkin. Memang itulah satu-satunya jalan terbaik bagi Wori, sebab kalau ia
bergerak sedikit saja, kalajengking itu pasti akan menyengatnya.
◄Y►
2
Cukup lama juga Pendekar Bumerang diam bagaikan patung. Hingga akhirnya
ketika mulai cemas tidak mampu bertahan, terdengar suara air meluncur dari
celah-celah dinding batu yang retak, terkena pukulannya tadi.
Karena tempat itu kebetulan lebih rendah dari permukaan laut, dalam sekejap
sudah penuh dengan air. Sungguh suatu pertolongan yang sangat menguntungkan,
karena kalajengking takut air, sehingga segera berlarian dari tubuh
Wori.
Barulah pendekar dari pulau Kanguru itu bisa menarik nafas lega. Makin
lama, air yang masuk ke tempat itu makin tinggi hingga akhirnya hampir
menenggelamkan dirinya sendiri.
Tetapi justru hal itu membuatnya dengan mudah mencapai pintu lubang
jebakan. Ia berenang ke atas, lalu meraih pinggir jebakan dan akhirnya dapat
keluar dari dasar yang dalam serta gelap itu.
Kembali ia meneruskan langkahnya dengan sikap yang lebih hati-hati lagi.
Apalagi karena lorong berikutnya jauh lebih gelap lagi. Langkah kakinya
diusahakan seringan mungkin, sementara kedua telinganya dipasang sewaspada
mungkin, siapa tahu ada suara mencurigakan.
Akan tetapi tampaknya lorong itu penuh dengan jebakan yang sangat
membahayakan. Tiba-tiba Wori menginjak kayu melintang di dasar lorong. Hanya
beberapa saat kemudian, dari kiri kanan dinding meluncur tombak-tombak
runcing yang dirangkai hingga menyerupai pagar, mengarah ke tubuh
Wori.
Sambil berseru kaget, laki-laki tegap itu membantingkan tubuh ke samping.
Loloslah pendekar bertenaga dahsyat itu dari maut, walaupun tangan dan
kakinya terluka mengeluarkan darah segar.
Lelaki itu menggeram, kembali nyawanya nyaris terbang meninggalkan raga.
Dipukulnya jebakan maut itu hingga jebol. Wori menghela nafas dalam-dalam
dalam ketertegunannya.
Ia tak berani membayangkan bagaimana kalau pintu bergigi runcing itu
menggencet tubuhnya. Hanya dalam beberapa helaan nafas saja, ia tentu akan
tewas. Keadaan itu membuatnya merasa perlu meningkatkan kewaspadaan,
walaupun tidaklah membuatnya gentar dan mengurungkan niat.
Ia terus melangkah menyusuri lorong di depannya dan tak lama berselang
sampailah dirinya ke sebuah ruangan yang cukup besar, berukuran sekitar
empat kali empat meter dan semua dindingnya terbuat dari batu cadas.
Di dinding itu ada pula gagang kayu yang tampaknya merupakan kunci dari
gerbang batu di depannya. Wori sekarang lebih berhati-hati.
Diperiksanya lantai kayu yang diinjaknya, karena ia bermaksud akan memutar
gagang kayu itu. Namun tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan ketika
gagang itu diputar, bahkan secara perlahan-lahan gerbang batu di depannya
terbuka, setelah bergerak naik ke atas.
Masuk ke lorong melalui gerbang tadi itu, Wori menemukan lorong yang
sedikit lebar. Kira-kira sepuluh meter di depannya terdapat sebuah belokan.
Di ujung belokan itu terlihat cahaya memancar membuat Wori ingin secepatnya
mengetahui benda apa yang bercahaya itu.
Astaga! Wori hampir tak percaya pada penglihatannya sendiri. Matanya
terbelalak lebar. Sekitar lima meter di depannya ada sebuah cungkup (sumur)
berbentuk segi empat, agak tinggi tempatnya.
Di empat sudutnya terdapat alat penerangan terbuat dari api alam (gas
bumi), sehingga tempat itu terang benderang. Cungkup itu terbuat dari batu
pualam yang ditata apik hingga tampak sangat indah dan di bawahnya dua anak
tangga, mirip seperti singgasana raja.
Wori melangkah mendekat dan ia kembali terbelalak menyaksikan cungkup
berukuran sekitar enam kali enam meter itu penuh butir-butir mutiara. Seumur
hidup Wori belum pernah melihat mutiara sebanyak itu, bahkan membayangkannya
pun tidak.
Lama pendekar bumerang itu tertegun memikirkan untuk apa tumpukan mutiara
sebanyak itu dan dari mana saja dikumpulkan. Di hadapannya terpampang pula
sebuah akuarium raksasa.
Dindingnya terbuat dari batu kaca yang langsung dipahat hingga cukup tipis
dan halus, serta tembus pandang. Di balik akuarium itu tampak dasar laut
sepanjang kanal buatan itu. Di dalam akuarium itu berkeliaran berpuluh-puluh
ekor ikan hiu.
Sungguh suatu pemandangan yang menakjubkan. Tetapi lebih menakjubkan lagi
kemahiran teknik Maleang Pangaru membangun cungkup berisi mutiara, akuarium
dari kaca batu dan kanal buatan.
Wori sendiri tidak pernah membayangkan bahwa tokoh sesat Maleang Pangaru
sudah mencapai kemahiran sehebat itu. Maleang Pangaru yang dijuluki Iblis
Pulau Aru sebetulnya adalah adik dari ayah Pampani.
Tetapi selama hidupnya ia tidak pernah akur dengan kakaknya pemimpin suku
di pulau tersebut. Selain memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, tokoh
sesat ini juga dikenal memiliki ilmu sihir yang tiada bandingannya.
Dalam petualangannya sebagai jagoan dari dunia hitam, Maleang Pangaru
sering pula dijuluki si Manusia Hiu, karena bentuk mukanya persis kepala
ikan hiu, yang bagian ekornya memanjang sampai ke batas lututnya melalui
punggung.
Agaknya semasa hidupnya Iblis Pulau Aru itu telah mengumpulkan banyak
sekali mutiara di dalam lorong rahasia. Setelah ia meninggal, lorong rahasia
atau bangunan bawah tanah itupun dikuasai anaknya Wan-Da-I, yang juga
mewarisi sifat buruk ayahnya.
Dalam keadaan seperti itu, Wan-Da-I yang menaruh dendam kesumat kepada
Pampani bermaksud menggunakan timbunan mutiara itu untuk bisa menjadi
penguasa di Kepulauan Aru.
Sekarang Wori yang merupakan sahabat dekat musuh besarnya itu sedang di
tempat penyembunyian mutiara. Pendekar bumerang itu meraup mutiara-mutiara
itu dan memandangnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ia tak habis pikir untuk apa mutiara sebanyak itu. Tetapi menurut
perkiraannya, kalau hendak membangun istana terbuat dari mutiara tentulah
bisa.
Ketika Wori masih tetap mengagumi mutiara-mutiara itu, tiba-tiba sebuah
bayangan bergerak di belakangnya, lalu melemparkan beberapa lembar kertas.
Wori menjadi terkejut mendengar suara gemerisik itu.
Secepat kilat ia berbalik dan menatap liar keadaan di sekelilingnya.
“Heh! Siapa itu?” bentaknya sambil memasang kuda-kuda. Ia segera meloncat
ke balik lorong itu, di mana terdapat sebuah lemari kayu. Kebetulan ada
seekor tikus melintas di antara kertas-kertas itu.
Ah, cuma seekor tikus, pikir Wori, lalu memungut kertas. Kertas itu
diperiksanya sejenak, ternyata berisi tulisan.
Sayang sekali ia tidak bisa membaca sama sekali. Wori kemudian
memasukkannya ke sela-sela cawatnya dan nanti akan ia tunjukkan kepada
Pampani, siapa tahu tulisan itu berisikan sesuatu yang sangat penting.
<>
Sementara itu, penduduk pimpinan Pampani masih sibuk membangun kembali
istana baru di atas puing-puing istana yang lama. Mereka tampak bekerja
sangat tekunnya, sehingga tanpa terasa hari sudah siang.
Pampani melangkah menghampiri para pekerja itu. Wajahnya tampak
berseri-seri melihat kesungguhan warganya. Bentuk kasar istana itu sudah
terlihat dan menurut perkiraannya, dalam beberapa hari lagi pastilah akan
rampung. Sebuah istana yang mirip dengan rumah tradisional, cuma jauh lebih
besar dan indah karena ditata bagus dan diberi warna-warni kontras seperti
kebiasaan penduduk pribumi di sekitar laut Arafuru.
Seperti halnya rumah lainnya, istana itu dibangun dengan tiang penyangga
yang cukup tinggi dan bagian atapnya dibuat melengkung dari ujung ke ujung.
Terdiri dari beberapa ruangan yang luasnya berbeda-beda sesuai keperluannya,
ruang pertemuan, kamar tidur dan peristirahatan, tempat singgasana, ruang
penyimpanan buku-buku dan harta istana lainnya, ruang penjagaan dan yang
lainnya.
Pekarangan istana itu sangat luas dan diberi pagar rapat dan tinggi sekitar
enam meter, di mana ujung-ujungnya dibuat runcing, sehingga akan sulitlah
bagi orang melewatinya tanpa diketahui penjaga karena di sudut kanan
pekarangan istana itu dibangun pula menara pengawas. Walaupun belum rampung,
dapatlah diyakini bahwa istana baru itu jauh lebih bagus dan kuat
dibandingkan istana lama.
“Waktu bersantap sudah tiba. Marilah tamu-tamu kehormatanku! Berkumpullah
untuk bersantap!” kata Pampani dengan ramah.
Para pekerja itu sama-sama menghentikan pekerjaannya. Mereka segera
berkumpul di ruang tengah istana itu.
Di bagian paling ujung duduklah Pampani. Di sebelah kanannya Pendekar Kaki
Tunggal dan Bungoru, yang tubuhnya tinggi besar. Perawakannya hampir sama
dengan Wori, hingga mirip raksasa.
Di sebelah kiri Pampani duduklah sepasang suami istri Umang dan Mirah.
Sedangkan di hadapan mereka telah terhidang makanan serta lauk
pauknya.
“Di manakah saudara kita Wori?”
“Barangkali ia sedang sibuk di luar,” kata Pampani.
“Sejak tadi aku belum melihatnya,” sahut Bungoru.
“Kita tunggu saja barang sebentar. Lebih nikmat rasanya kalau bersantap
bersama-sama,” Umang menimpali.
Sejenak mereka berdiam diri sambil menunggu Wori yang sejak tadi tidak
kelihatan batang hidungnya.
Setelah itu, si Kaki Tunggal berkata. “Hm, sayang sekali! Di saat-saat
seperti ini sudah berhari-hari saudara Karta tak hadir di tengah-tengah
kita. Kurang nikmat rasanya.”
“Ya, apa boleh buat! Kita harapkan saja semoga dia lekas sembuh. Hm,
Bungoru. Coba kau panggil saudara Wori!” kata Pampani.
“Daulat, tuanku!”
Tepat ketika Bungoru bangkit dari duduknya, muncullah Wori di ambang pintu.
Laki-laki bertubuh raksasa itu tertawa terkekeh-kekeh.
“Tak usah repot-repot. Aku sudah datang!” katanya.
“Huh dari mana saja kau?” kata Bungoru.
“Maafkan aku! Rupanya kalian agak cemas menunggu. Aku kebetulan sedang
menemukan sesuatu yang sangat penting.”
“Apakah yang kau maksudkan itu?” tanya Baureksa, si Kaki Tunggal.
“Sebaiknya kita makan saja dulu! Aku pun sudah sangat lapar!”
Mereka pun segera bersantap dengan sangat lahapnya. Sama seperti Bungoru,
Wori pun makannya sangat cepat dan banyak. Mulut lelaki raksasa itu
berdecap-decap diiringi gerak perut yang gendut turun naik sehingga
kelihatan sangat lucu.
Orang lain tentulah akan geli melihat cara makan Wori dan Bungoru. Tetapi
orang-orang di ruangan itu sudah terbiasa melihatnya, jadi telah dianggap
hal yang biasa pula.
Usai makan, Wori segera menceritakan pengalaman dan temuannya di dalam
bangunan rahasia Iblis Pulau Aru.
“Aku membawa kabar penting untuk baginda Kepala Suku dan kita semua.
Menjelang matahari terbit, aku telah berhasil menemukan gudang penyimpanan
mutiara dari Iblis Pulau Aru. Banyak sekali, hampir aku tidak percaya di
sini ada mutiara sebanyak itu.”
“Hah? Jadi kau telah menemukannya?” kata Bungoru terkejut.
“Ya! Tak percumakan aku dijuluki Pendekar Bumerang?” kata Wori
bangga.
“Lalu bagaimana keadaan di sana?” tanya Baureksa.
“Penuh dengan jebakan mematikan. Aku hampir saja masuk liang kubur.” Lalu
Wori menyodorkan berkas-berkas kertas yang ditemukannya.
“Aku tak bisa membaca. Tolong kau yang membacanya. Mungkin berisi sesuatu
yang sangat penting!”
Baureksa menjadi tertawa masam, “Wah, sarua keneh! Waktu kecil aku cuma
diajari tulisan Arab di pesantren. Kalau tulisan Belanda mah' teu tiasa
jang, he-he-he!”
“Kalau tulisan Latin sebaiknya serahkan saja pada Mirah. Dia adalah putri
bekas pejabat di Kuningan, tentu bisa baca!” kata si Lengan Tunggal
Umang.
Wori segera menyerahkan kertas-kertas itu kepada Mirah. Tetapi wanita itu
pun rupanya rada-rada buta huruf pula. Dengan susah payah ia mencoba mengeja
huruf demi huruf, namun tetap saja ia tak bisa membacanya dengan
sempurna.
“Ini....... ini surat penjualan mutiara-mutiara kepada Belanda,” kata Mirah
agak ragu-ragu.
“Hah?” Pampani berseru kaget mendengar ucapan Mirah, “Benarkah itu?”
“Ya, benarkah itu, Mirah?” tanya Baureksa pula ingin memperoleh
kepastian.
Mirah kembali mengeja-ngeja huruf demi huruf. Beberapa saat kemudian, ia
mengangguk mantap, “Benar! Tidak salah lagi, Tulisan ini memang surat
penjualan mutiara kepada Belanda!”
Para pendekar di ruangan itu saling pandang satu sama lain, seolah-olah
ingin bertanya, kalau memang benar demikian, apakah gerangan maksud Wan-Da-I
menjual mutiara-mutiara itu kepada Belanda?
Dapat diterka, tokoh sesat itu pun tentu telah merencanakan sesuatu yang
lebih hebat lagi untuk bisa jadi penguasa di Kepulauan Aru. Dan itu membuat
Pampani serta teman-temannya pendekar dari Pulau Jawa merasa harus
meningkatkan kewaspadaan.
◄Y►
3
Di tepi pantai, si Gila Dari Muara Bondet masih duduk bersemedi di antara
terpaan gelombang laut yang cukup kuat. Kedua matanya terpejam dan tubuhnya
tegak diam, pertanda bahwa ia benar-benar hanyut dalam semedinya.
Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali di atas tebing, lalu mengintai
dari balik pepohonan. Tangannya yang kekar memegang sebatang lembing yang
ukurannya kecil dan pendek, sehingga mirip anak panah. Tanpa menimbulkan
suara mencurigakan, lelaki misterius itu menyambitkan lembing itu dari atas
tebing ke arah punggung si Gila Dari Muara Bondet.
Agaknya lelaki yang melancarkan serangan gelap itu memiliki tenaga dalam
yang luar biasa kuatnya, sehingga benda runcing bergagang panjang itu
meluncur bagaikan kilat dan menimbulkan suara berdesing.
“Club!” Dengan kecepatan luar biasa, si Gila Dari Muara Bondet meloncat ke
atas, sehingga senjata rahasia itu hanya menancap di dasar air tempat Karta
tadi duduk bersemedi.
Dalam semedinya, si Gila Dari Muara Bondet ternyata tetap memasang
kewaspadaan, sehingga ketika senjata itu meluncur ke arahnya, ia segera
mengetahui lewat pendengarannya yang sangat tajam.
Tubuhnya bersalto beberapa kali dengan gerakan yang sangat ringan dan
cepat. Kakinya, kemudian mendarat di atas tebing dengan gerakan yang hampir
tidak menimbulkan suara, pertanda ia sudah memiliki ilmu meringankan tubuh
yang amat tinggi.
“Haiiiit!” Karta langsung memasang kuda-kuda sambil menatap liar ke
sekelilingnya. Tetapi alangkah kecewanya dia, manakala menyadari bahwa orang
yang menyerangnya telah lenyap.
Sadarlah Karta bahwa orang itu pasti memiliki ilmu yang sangat tinggi dan
mempunyai sifat kejam serta sadis. Kalau saja senjata itu tadi mengenai
sasaran, kemungkinan Karta akan tewas, atau paling tidak akan menderita luka
parah.
Dengan kesal, Karta meloncat turun dan kembali duduk bersemedi di dalam
air. Sebelum hanyut dalam semedinya, pendekar itu masih sempat
bertanya-tanya siapakah gerangan musuh yang menyerangnya secara diam-diam
tadi?
Sementara itu, Pampani dan kawan-kawannya masih duduk berbicara serius
mengenai penemuan Wori yang sangat menakjubkan. Dari wajah mereka, terlihat
adanya ketegangan.
“Bagaimana pendapat kalian mengenai penjualan mutiara-mutiara peninggalan
Iblis Pulau Aru?” tanya Pampani.
“Menurut pendapatku lebih baik jual beli ini tidak diteruskan. Kita ambil
mutiara-mutiara itu dan kita kembalikan kepada rakyat yang berhak,” kata
Mirah mengajukan pendapatnya.
“Hm, aku ada akal lain,” sahut Baureksa, “Lebih baik mutiara-mutiara itu
kita jual ke lain bangsa, tetapi bukan kepada Belanda. Kita jual saja kepada
bangsa Inggris, kita cari persaingan harga yang lebih tinggi. Siapa yang
berani bayar tinggi, merekalah yang dapat.”
“Tapi apa bedanya?” kata Wori tampak kurang setuju dengan saran si Kaki
Tunggal, “Dengan cara seperti itu, sama saja meneruskan pekerjaan
Maleang.”
“Tunggu dulu! Maksudku, dengan cara seperti itu maka akan timbul perang
dagang di antara orang-orang kulit putih. Biarlah mereka saling
cakar-cakaran satu sama lain. Kita yang makan untungnya. Apakah kalian
setuju?”
“Ha ha ha!” Wori tertawa tergelak-gelak sehingga perutnya
berguncang-guncang, “Bagus! Bagus sekali. Aku setuju. Inggris kita adu
dengan Belanda!”
Pampani tampak manggut-manggut. Wajahnya pun tampak berseri-seri, dan
dengan nada ceria ia berkata: “Aku pun setuju! Tapi siapa orangnya yang bisa
menghubungi bangsa Inggris?”
Sebelum sempat ada yang menjawab, tiba-tiba si Kaki Tunggal berteriak
nyaring. Tongkatnya yang ujungnya bergagang dua disambitkan sambil
mengerahkan tenaga dalam, sehingga meluncur bagaikan kilat ke atas atap
istana.
“Hiyaaaat!” Suami istri Umang dan Mirah pun meluncurkan golok mereka. Wori
pun tak ketinggalan, bumerang mautnya menyambar bagaikan kilat menyusul
senjata teman-temannya.
Hampir secara berbarengan, semua senjata itu menembus atap. Terdengar suara
seruan kaget seseorang yang sejak tadi rupanya mengintai dari atas atap.
Tetapi agaknya lelaki itu bukanlah orang sembarangan. Tubuhnya segera
berkelebatan di antara kilatan-kilatan cahaya senjata dari Pulau Jawa
itu.
Tidak sampai satu helaan nafas berselang, tubuh keempat pendekar itu sudah
melesat naik ke atap istana. Senjata bumerang Wori mencoba menghadang
laki-laki misterius itu.
Namun sambil bersalto di udara, kaki kanannya menendang bumerang itu dengan
gerakan yang sangat cepat dan kuat, sehingga senjata itu berbalik meluncur
ke arah pemiliknya.
Hampir saja senjata makan tuan, karena gerakan lelaki itu sungguh tidak
terduga-duga. Untunglah Wori segera berkelit disertai seruan kaget, dari
bumerang itupun tertancap ke dinding istana.
Sewaktu para pendekar kawan akrab Pampani itu mendaratkan kakinya di atap
istana, mereka hanya sempat menyaksikan sesosok bayangan berkelebat bagaikan
anak panah, sehingga wajahnya tidak sempat terlihat.
“Setan! Gerakannya cepat luar biasa! Apa kalian sempat melihat wajahnya
tadi?” tanya si Kaki Tunggal dengan wajah merah padam karena marah, tetapi
juga bercampur kagum. Kalau pendekar berilmu tinggi seperti Baureksa sampai
memaki lantaran kagum, dapatlah dibayangkan betapa hebatnya ilmu meringankan
tubuh laki-laki misterius tadi.
“Sayang sekali tidak sempat melihat wajahnya. Cuma potongan tubuhnya agak
kurus,” sahut Umang. Pendekar berlengan tunggal ini pun sangat kagum dan
diam-diam harus mengakui bahwa kepandaiannya belum tentu lebih tinggi dari
orang itu.
“Maleang Pangaru memang bertubuh kurus. Tetapi Wan-Da-I pun demikian. Entah
siapa sebenarnya orang itu?” kata Baureksa sambil menghela nafas
dalam-dalam.
Agaknya orang tua itu mulai dapat merasakan bahwa saat ini musuh yang
teramat lihai telah muncul yang setiap saat tidak mustahil dapat
mencelakakan mereka. Karena itu ia pun berfikir bahwa dalam waktu dekat
mereka pasti akan menghadapi kesulitan yang tak boleh dianggap remeh.
“Saya rasa itu bukan Wan-Da-I.” kata Umang mantap. “Bukankah pemberontak
berilmu sihir itu belum memiliki kelihaian setinggi itu?” Demikianlah
perhitungan si Lengan Tunggal sehingga ia merasa sangat yakin akan kebenaran
tebakannya.
Mereka kemudian meloncat turun ke halaman istana, di mana Pampani sudah
menunggu dengan wajah yang sedikit memancarkan ketegangan. Betapa tidak,
empat temannya pendekar dari Pulau Jawa itu bukanlah orang
sembarangan.
Namun rupanya tidak berhasil menangkap lelaki yang tadi mencoba mencuri
dengar pembicaraan mereka. Tidak mungkin ada tokoh persilatan yang bisa
lolos dari tangan teman-temannya, kalau tak memiliki kesaktian yang sangat
tinggi.
“Sudahlah,” kata Pampani menghibur diri sendiri, “Sekarang mari kita
buktikan siapa sebenarnya dia! Kita bongkar kuburan Maleang Pangaru! Kalau
betul dia sudah mati, jenazahnya tentu akan terlihat, tapi kalau masih hidup
seperti yang dikatakan Wan-Da-I, apa boleh buat kita terpaksa harus mengadu
nyawa dengannya!”
“Baiklah kalau begitu. Sekarang mari kita berangkat, makin cepat makin
baik,” kata Baureksa.
“Ya, tetapi kita harus tetap hati-hati dan siap siaga. Siapa tahu nanti
datang musuh berikutnya. Kita harus membagi kekuatan. Sebaiknya saudara
Umang dan Mirah menjaga dalam istana, melindungi tuan putri. Sedangkan aku,
Wori serta Pendekar Kaki Tunggal pergi ke kuburan itu.”
“Baik, kami siap berjaga-jaga di istana!” sahut Umang.
“Berhati-hatilah, engkau saudaraku! Awasi setiap gerakan yang mencurigakan.
Kami secepatnya akan kembali!”
Pampani, Wori dan Baureksa segera menyusuri jalan kecil, menembus hutan di
malam yang gelap itu. Perjalanan menuju lembah kuburan Iblis Pulau Aru cukup
memakan waktu, karena selain cukup jauh, langkah mereka pun sering terhambat
semak-semak dan akar pepohonan yang kurang jelas terlihat.
Untunglah saat itu rembulan bersinar cukup terang, sehingga sangat membantu
ketiga pendekar itu. Setelah hampir satu jam menempuh perjalanan menurun,
mereka akhirnya sampai ke kuburan Maleang Pangaru.
Keadaan di tempat itu sangat sepi, bahkan terasa menyeramkan. Gundukan
tanah dan batu nisan makam tokoh sesat itu tampak seperti menyimpan sebuah
misteri yang terlalu sukar dimengerti maknanya.
Beberapa ekor burung malam terbang dari dahan pohon di dekat kuburan itu
karena terkejut menyaksikan kedatangan tiga laki-laki tadi. Beberapa saat
terdengar burung memecah kesunyian malam, berbaur dengan desah dedaunan
diterpa angin.
Pampani dan kedua sahabatnya berdiri tegak di sisi kuburan itu. Sejenak
Pampani memeriksa kuburan itu, lalu sambil menatap si Kaki Tunggal dan Wori
bergantian, ia berkata.
“Inilah kuburan Maleang Pangaru. Oleh karena dia adalah adik dari ayahku,
maka ia berhak mendapat cara penguburan kehormatan. Tetapi ia tidak berhak
dikuburkan di halaman istana,” kata Pampani.
“Bagaimana dengan Wan-Da-I?” tanya Baureksa.
“Wan-Da-I telah dianggap sebagai musuh suku, karena ia adalah anak haram
dari pamanku. Oleh karena itu, derajatnya sama dengan pendeta Naomi,
mayatnya dibuang begitu saja.”
“Sudahlah, kita tak perlu terlalu banyak bicara sekarang. Sebaiknya kita
menggali kuburannya!” kata Wori.
Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi, ia menggali kuburan itu dengan
peralatan yang salah satu ujungnya berfungsi seperti cangkul sedang ujung
yang satunya lagi berfungsi sebagai sekop.
Wori yang memiliki tenaga bagaikan banteng, dengan sangat cekatan melakukan
pekerjaan itu, sedangkan Pampani dan si Kaki Tunggal menunggu di dekat
kuburan. Tak lama kemudian peti kuburan itu sudah kelihatan.
“Bukalah!” kata Pampani dengan wajah tegang. Hanya dengan jari-jari
tangannya, Wori membuka peti itu. Terdengar suara gemeretak, dan peti itu
pun terbuka.
“Hah? Kosong?” seru Pampani dan Baureksa berbarengan.
Ternyata peti itu kosong melompong. Tidak ada mayat Maleang di dalamnya
seperti yang mereka perkirakan sebelumnya. Bukankah Iblis Pulau Aru itu
sudah tewas? Bagaimana mungkin petinya kosong? Apakah mayatnya diambil orang
atau memang ia hidup kembali?
“Tak mungkin ia dapat hidup kembali. Racun buatan paman Cebol sangat ampuh.
Tidak pernah gagal!” kata Pampani masih belum bisa mengatasi rasa kagetnya.
Ia memang tahu persis, beberapa waktu lalu Maleang Pangaru tewas oleh racun
paman Cebol dan setelah itu dikuburkan di lembah, agak jauh dari
istana.
“Kalau begitu.......” sahut Wori ragu-ragu.
“Pasti ada orang lain yang telah membongkar kuburannya!” sela Pampani
cepat, “Mungkin orang itu mempunyai maksud tertentu. Tidak mungkin hidup
kembali!”
“Jika demikian, siapakah gerangan yang membongkarnya?”
Sebelum sempat menjawabnya, tiba-tiba sebuah jaring berupa jala menyambar
turun dan langsung menyergap ketiga pendekar itu. Tanpa sempat mengelak,
mereka menjadi terjebak.
Sambil berseru kaget, ketiganya mencoba mengerahkan segenap tenaga untuk
meronta. Namun rupanya jala itu terbuat dari benda yang sangat lemas tapi
kuat sekali, sehingga makin meronta tubuh ketiga pendekar itu makin
terjerat.
“Keparat! Kupecahkan kepalamu!” bentak Wori dengan suara mengguntur.
Tiba-tiba terdengar suara terbahak-bahak, sambung-menyambung sehingga
terasa menggetarkan daun-daunan di sekitar lembah itu.
“Ha-ha-ha! Sekali tangguk tiga nyawa sekaligus! Terima kasih karena kalian
telah menggali kubur sendiri. Nah, sekarang nikmatilah ajal kalian!”
Bersamaan dengan itu, menyemburlah gumpalan asap berwarna ungu dari atas
tebing dan langsung menyelimuti Pampani dan kedua sahabatnya.
“Ahhh....! Asap beracun!” teriak Baureksa terkejut.
Ia mencoba menahan pernafasannya, tetapi racun berupa gas itu sudah
terlanjur masuk ke paru-parunya. Demikian juga halnya Pampani dan Wori. Dada
mereka terasa sangat sesak, seolah-olah hendak meledak dan nyeri
sekali.
Sekujur tubuh mereka bagaikan ditusuk-tusuk ribuan jarum dan seketika
lemaslah tubuh mereka, seperti telah kehilangan semua tenaga dan kesaktian
mereka. Tak diragukan lagi, gas beracun itu sangatlah berbahaya, sehingga
pendekar sakti seperti Baureksa, Wori dan Pampani langsung terkulai lemas
dalam waktu yang sangat singkat. Beberapa saat, tubuh mereka berkelojotan,
lalu diam tak bergerak-gerak lagi.
“Nah, sudah mampus!” teriak lelaki itu sambil tertawa puas.
Muncullah dua lelaki bertubuh tinggi besar bagaikan raksasa. Rambut kedua
lelaki itu dikuncir ke atas, sama seperti Wori keduanya pun mengenakan
anting-anting besar di daun telinga dan hanya mengenakan cawat.
Usia mereka sekitar empatpuluh lima tahun. Tetapi melihat gerak-gerik dan
cara mereka memandang sesuatu, dapat diterka keduanya memiliki sifat yang
sangat kejam, seperti hewan buas yang siap diperintah setiap saat untuk
melakukan apa saja.
Di tempat itu telah berdiri pula si ahli sihir Womere. Ternyata laki-laki
itulah yang memasang jebakan dan meracuni Pampani dan kedua
sahabatnya.
Ia berusia sekitar empatpuluh tahun dengan tubuh yang sedang namun tegap
dan tampak penuh otot berisi pertanda bahwa dirinya memiliki tenaga yang
sangat kuat. Rambutnya keriting dan hitam dan selalu mengembang membuat
kepalanya terlihat lebih besar.
Tidak seperti penduduk asli Pulau Aru, tokoh sesat ini mengenakan pakaian
berupa jubah. Matanya terlihat jarang sekali berkedip dan selalu memancarkan
sesuatu yang sangat mudah karena mempengaruhi orang lain.
Hal itu tidak mengherankan, karena ia memang adalah ahli ilmu sihir yang
sangat jahat dan setiap saat bisa mencelakakan lawan bila berhadapan
dengannya.
“Angkat mereka ke atas!” perintah Womere dengan berwibawa.
Kedua laki-laki bertubuh raksasa itu segera mengeluarkan tubuh ketiga
tawanan mereka dari dalam jaring. Lalu hanya sekali cemplak, tubuh Pampani
dan Baureksa telah tergantung lemas di atas pundak kedua laki-laki raksasa
itu.
“Sekarang lemparkan Pampani dan si Buntung ke dalam kanal ikan-ikan hiu.
Tetapi si pendekar bumerang Wori harus kalian bawa ke markas! Jalankan tugas
kalian dengan baik! Aku masih ada urusan lain!”
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kedua orang bertubuh raksasa itu
menjalankan perintah atasannya dengan patuh.
Mereka berjalan melalui terowongan air, yang merupakan bangunan alam.
Lorong-lorong gelap itu cukup panjang dan banyak berkelok-kelok.
Akhirnya mereka sampai ke dalam gua di bawah tanah. Lorong di tempat itu
jauh lebih sempit, sehingga kadang-kadang kedua anak buah Womere itu
terpaksa harus membungkukkan badan agar bisa lewat.
◄Y►
4
Di pinggir lorong itu, terlihat tumpukan tulang-belulang dan tengkorak
manusia berserakan. Agaknya tempat itu dulunya merupakan ruangan yang khusus
dibangun untuk tempat pembantaian orang-orang yang dianggap pembangkang atau
musuh.
Melihat keadaan tulang-belulang dan tengkorak itu sudah mulai lapuk,
kemungkinan mereka dibunuh beberapa tahun atau bahkan mungkin puluhan tahun
silam. Penduduk biasa tentulah akan ngeri atau sedikitnya merasa terkejut
melihat pemandangan itu.
Tengkorak-tengkorak itu seperti menyeringai buas, seolah-olah siap menerkam
siapa saja. Tetapi kadang-kadang terlihat seperti merintih kesakitan,
bagaikan hendak mengungkapkan penderitaan yang sangat menyiksa sebelum
mereka dihabisi. Kedua anak buah Womere melewatinya dengan tenang, bahkan
ada kalanya menginjak tengkorak-tengkorak itu dengan mimik wajah biasa-biasa
saja.
Tak jauh dari tumpukan-tumpukan tengkorak itu, terdapat kanal buatan tempat
tersekapnya ikan-ikan hiu yang sangat ganas, karena sangat jarang diberikan
makan. Itu memang disengaja, sehingga kalau ada seseorang yang dilemparkan
ke sana sebagai hukuman, maka orang tersebut akan segera menemui ajalnya
disantap habis-habisan oleh ikan-ikan hiu itu.
Kedua laki-laki bertubuh raksasa tadi memutar-mutar tubuh Baureksa dan
Pampani dengan cepat sekali hingga berubah bagaikan baling-baling. Agaknya
keduanya sengaja membuat ancang-ancang agar dapat melempar tawanannya lebih
jauh.
Yang mendapat giliran pertama adalah Kepala Suku berusia muda Pampani.
Setelah dibuat baling-baling beberapa saat, tubuhnya dilemparkan melayang
tinggi ke arah kanal maut itu. Tubuh itu kemudian meluncur turun dan agaknya
tidak akan dapat diselamatkan lagi.
Tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat bagaikan kilat menyambar tubuh
Pampani hingga terhindar dari kanal maut itu. Sesosok bayangan itu sambil
mengapit tubuh Pampani bersalto beberapa kali dan akhirnya mendarat ringan
di pinggir kanal.
“Bangsat!” Anak buah Womere berteriak, lantaran merasa terkejut bukan
main.
Sungguh tak dinyana masih ada yang berani menggagalkan pekerjaan mereka.
Dan lebih hebat lagi, tubuh Pampani yang hanya tinggal beberapa jengkal dari
permukaan kanal buatan itu dapat diselamatkan.
Sungguh merupakan kelihaian yang luar biasa! Entah kapan pula lelaki itu
masuk ke dalam ruang bawah tanah.
Tak terkatakan betapa marahnya kedua anak buah Womere. Biarpun mereka
sama-sama menyadari bahwa musuh yang muncul cepat bagaikan siluman itu
sangat tinggi ilmunya, keduanya tampak tidak gentar sedikitpun juga.
Keduanya segera memasang kuda-kuda dan dari sinar mata mereka terlihat
jelas bahwa mereka akan membunuh lelaki itu.
Ternyata bayangan yang berkelebat menyambar tubuh Pampani adalah si Gila
Dari Muara Bondet Karta. Tadi kebetulan saja ia keluar dari air tempatnya
bersemedi dan sempat menyaksikan Baureksa serta Pampani dibawa ke dalam gua
bawah tanah.
Emoticon