1
Hujan gerimis sudah mulai mereda, tinggal kecil dan jarang. sebentar lagi
tentu akan berhenti. Di Timur, sinar matahari mulai menerobos awan, mengusir
dingin. Angin laut berhembus perlahan, seakan-akan sedang membelai Kepulauan
Aru dan segenap isinya, baik benda hidup maupun benda mati.
Terasa benar angin itu membawa kesejukan, yang bukan saja dapat menciptakan
kenyamanan tetapi juga kedamaian. Pepohonan dan dedaunan hijau tampak
melambai-lambai seperti sedang menari riang gembira.
Akan tetapi tak lama berselang, matahari yang tadi sempat tersembul, kini
tertutup lagi oleh awan, seolah-olah seorang gadis cantik yang sengaja
menyembunyikan wajah lantaran merasa malu. Dan tiupan angin yang tadi
semilir, sekarang berubah jadi kencang sekali, sehingga tidak mungkin lagi
dinilai sebagai suatu salam kedamaian, melainkan terjangan dahsyat yang
ingin merobohkan pepohonan dan apa saja yang dilewati.
Benar saja, beberapa pohon tumbang, terkapar di bumi seperti prajurit
perang yang tewas diterjang senjata musuh. Keadaan itu layaknya bisikan
naluri alam, bahwa di jagat raya ini tidak hanya kedamaian yang ada, tetapi
juga ketegangan atau permusuhan.
Saling mengaku kekuatan, saling berlomba memenuhi ambisi. Tidak perduli
benar atau salah seolah-olah tiada batas lagi antara yang baik dan benar.
Langit pun menangis disertai raungan petir sambung menyambung.
Tampaknya demikianlah adanya suasana di Kepulauan Aru sekarang ini.
Kepulauan yang tadinya aman tenteram itu kini dilanda kepanikan dan
permusuhan dua kelompok, yang senantiasa menganggap dirinya benar atau
paling tidak selalu menilai dirinya tak patut disalahkan.
Di Kepulauan tersebut sudah lama berdiri sebuah kerajaan yang sebetulnya
hanyalah terdiri satu kelompok suku yang dipimpin seorang Kepala Suku.
Kelompok suku itu terdiri dari beberapa puluh kepala keluarga yang tinggal
dalam satu lingkungan, yang sekelilingnya dipagar tinggi yang semua ujungnya
dibuat runcing, sehingga tidak akan mudah bagi musuh untuk menyelusup ke
dalam tanpa diketahui.
Apalagi karena di empat sudutnya dibuat pula semacam menara pengawas, yang
selalu dijaga oleh seorang laskar secara bergiliran pula.
Di bagian tengah kerajaan itu, dibangunlah sebuah istana yang jauh lebih
besar dan megah dibandingkan rumah penduduk. Sekelilingnya pun dijaga ketat
oleh puluhan laskar pilihan, ditambah penjaga di dalam istana yang tentu
saja terdiri dari penduduk yang lebih kuat lagi. Untuk masuk atau ke luar
pemukiman itu, dibuatlah sebuah gerbang berukuran sekitar empat meter yang
juga tak pernah ditinggalkan laskar yang ditugasi untuk itu.
Pemimpin kerajaan itu disebut Kepala Suku, bukannya raja seperti sebutan di
masa-masa yang lebih modern kemudian. Akan tetapi kedudukan maupun
kekuasaannya sama seperti raja. Setiap kata yang terlempar dari bibirnya
merupakan titah yang tidak boleh dibantah oleh siapapun, sehingga lebih
tepat barangkali kalau dikatakan sebagai ultimatum.
Demikian mutlaknya kekuasaan Kepala Suku, sehingga haruslah dipilih yang
paling arif bijaksana. Sebab kalau tidak demikian, kiranya kerajaan yang
dipimpinnya akan cepat hancur, karena kekuasaannya yang boleh dikatakan
tiada batas itu.
Beruntunglah penduduk Pulau Aru sebab Kepala Suku mereka sekarang adalah
seorang yang arif bijaksana. Tegas bahkan keras, namun selalu bersikap adil
dan jujur.
Tidak segan-segan menjatuhkan hukuman berat, tetapi sangat mencintai
rakyatnya. Meskipun ia tahu kekuasaannya mutlak, ia tak pernah mau bertindak
sendiri. Selalu terlebih dulu meminta pertimbangan atau saran-saran dari
para penasehatnya.
Dengan demikian, semua keputusan yang ditetapkannya boleh dikatakan
semata-mata adalah kehendak rakyatnya sendiri.
Nama Kepala Suku itu adalah Pampani, kakak ipar Karta yang dijuluki si Gila
Dari Muara Bondet. Dahulu, Karta bersama tiga orang sahabatnya yakni suami
istri Umang dan Mirah serta si Kaki Tunggal Baureksa terdampar di Kepulauan
Aru, sedangkan sahabat mereka Parmin si Jaka Sembung sampai sekarang belum
mereka ketahui di mana berada.
Sewaktu terdampar di pulau itulah Karta berkenalan dengan Nomina, adik
kandung Pampani. Nomina yang cantik jelita itu ternyata jatuh cinta kepada
Karta dan karena suatu hal yang tak dapat dielakkan lagi, maka keduanya
kemudian menikah.
Walaupun sebetulnya Karta sudah mempunyai istri yakni Ranti, yang
ditinggalkannya di Pulau Jawa. Pasangan suami istri itu sekarang sudah
dikaruniai seorang putra, sehat dan kuat serta lincah sehingga sangat
disukai penduduk di kerajaan tersebut.
Boleh dikatakan, hampir semua penduduk sangat menyukai Pampani. Tindak
tanduknya hampir tak bercela sedikitpun jua. Demikian pula halnya Nomina,
istri Karta selalu menunjukkan budi pekerti yang patut dicontoh. Akan tetapi
kedamaian yang tercipta lewat tangan Pampani yang arif bijaksana itu tidak
terlalu lama dapat dirasakan penduduk.
Itu karena di Pulau Aru telah muncul seorang tokoh sesat yang sangat
berambisi jadi penguasa di Pulau Trangan dan sekitarnya, menumbangkan
kekuasaan Pampani. Namanya Wan-Da-I, yang sebetulnya masih mempunyai
hubungan kekeluargaan dengan Pampani.
Ayah Wan-Da-I adalah adik kandung ayah Pampani. Tetapi tokoh sesat itu
adalah anak haram, sehingga kedudukannya tidaklah dapat diakui. Ayah
Wan-Da-I semasa hidupnya jahat bukan main, tidak segan-segan membunuh atau
menyiksa siapa saja yang dianggap berani menentangnya.
Ilmunya pun sangat tinggi, sehingga sangatlah sukar mencari tandingannya.
Ia dijuluki Iblis Pulau Aru! Nama sebenarnya adalah Maleang Pangaru, tetapi
sejak sepak terjangnya yang sangat kejam serta sadis seolah-olah membuat
orang lupa akan nama itu, selain julukan Iblis Pulau Aru.
Sebuah julukan yang bukan saja menyeramkan, tetapi juga bisa membuat bulu
roma merinding. Ada satu keistimewaan tokoh sesat ini, yakni setiap muncul
di muka umum, ia selalu mengenakan semacam topeng ikan hiu.
Mukanya ditutupi bagian kepala ikan, sedangkan bagian tubuh serta ekor ikan
yang terkenal ganas itu memanjang sampai ke lutut kakinya, melalui punggung.
Hal itu membuat wajahnya yang menyeramkan hampir tak pernah bisa dilihat
orang banyak.
Sedangkan matanya yang selalu mencorong tajam dan dingin, menyambar melalui
bagian mata ikan hiu yang sengaja dilobangi sedemikian rupa sehingga ia
bebas melihat ke mana saja seperti layaknya orang biasa. Selain Iblis Pulau
Aru, Maleang Pangaru pun dijuluki pula si Manusia Hiu.
Dalam pertarungan melawan pihak Pampani beberapa waktu lalu, tokoh sesat
itu bersama seorang tokoh lainnya yang bernama Pendeta Naomi yang juga tak
kalah jahatnya, tewas terjatuh ke dalam jurang.
Beberapa hari lalu, muncul seorang laki-laki bertopeng ikan hiu dan sempat
merampas putra Karta yang masih bayi. Maka gemparlah kerajaan
tersebut.
Tokoh sesat Iblis Pulau Aru yang diyakini telah tewas itu, dikira hidup
kembali. Mereka tidak tahu bahwa lelaki yang muncul itu adalah Wan-Da-I
sendiri, yang sengaja menyamar untuk melumpuhkan dan membikin kacau suasana
di istana.
Kalau suku yang dipimpin Pampani percaya Iblis Pulau Aru dan nenek sihir
Pendeta Naomi sudah hidup kembali, mereka tentu akan ketakutan. Dengan
demikian, akan mudah bagi Wan-Da-I melumpuhkan kekuatan mereka.
Dalam melaksanakan segala niatnya itu, Wan-Da-I dibantu seorang raja sihir
dari Pulau Kolepom bernama Womere. Tokoh sesat yang selalu mengenakan jubah
serba hitam ini memiliki berbagai ilmu hitam yang sangat tangguh, sehingga
bisa menguasai pikiran seseorang dan memerintahnya untuk melakukan apa saja
pun sesuai kehendaknya.
Sekarang kedua tokoh sesat itu sedang berbincang-bincang di ruangan rahasia
di bawah tanah. Keduanya sedang asyik membicarakan tentang rencana mereka
selanjutnya. Wan-Da-I masih mengenakan topeng ikan hiunya dan bicaranya
tampak sangat bersemangat.
“Bagaimana rencana kita. Apakah sudah beres?”
“Semuanya sudah dipersiapkan, Tuan. Barang-barang itu telah diangkut ke
tempat yang kita rencanakan semula.”
“Bagus! Lalu bagaimana dengan Pendekar Bumerang Wori? Apa kita sudah bisa
memakai dia?”
“Siap, Tuan! Saya sudah membuktikannya sendiri. Ia bahkan hampir membunuh
ke-tiga kawannya sendiri. Suatu jaminan yang tak perlu diragukan
lagi.”
“Ha-ha-ha!” Wan-Da-I tertawa tergelak-gelak sehingga topeng ikannya
bergoyang-goyang, “Bagus! Bagus! Berarti langkah-langkah selanjutnya sudah
bisa kita laksanakan secepat mungkin.”
“Tentu, Tuan!”
“Jika barang-barang itu telah sampai ke tangan pemiliknya, kita akan
langsung menerima tukarannya sesuai keinginan kita. Dan benda-benda ajaib
itu pasti akan menggegerkan seluruh Kepulauan Aru, bagai dentuman halilintar
atau kutukan Dewa dari langit. Aku akan menjadi penguasa di Pulau Trangan
dan sekitarnya tanpa seorang pun dapat mencegahnya.”
“Saya turut bergembira, Tuan!”
“Bagus! Sekarang aku ingin mencoba berbicara dengan Wori. Tolong antarkan
aku ke sana!”
Womere mengangguk sambil tersenyum. Karena gigi-giginya besar dan bibirnya
pun tebal hitam, senyuman itu tampak lebih mirip seringai buas, bagaikan
harimau lapar siap menerkam mangsa. Ia membentangkan kedua tangan
mempersilahkan Wan-Da-I melangkah.
“Silahkan, Tuanku! Dia sedang menunggu sekarang!”
Sambil manggut-manggut penuh kegembiraan, putra Iblis Pulau Aru itu
melangkah diikuti oleh Womere serta beberapa penjaga yang tampak tak berani
memandang majikan mereka karena sangat segan dan takut. Tak lama kemudian,
mereka sampai di dalam ruangan khusus tempat Wori ditidurkan di dalam sebuah
peti bulat. Panjangnya sekitar tiga meter dan bagian luarnya penuh ukiran
dengan warna warni kontras.
Ukiran itu sebetulnya cukup indah, tetapi karena kombinasi warnanya yang
sangat kontras menimbulkan kesan agak menyeramkan, Seolah-olah peti itu
adalah tempat iblis bersembunyi.
Wan-Da-I mengamati peti itu beberapa saat, lalu sambil menatap Womere, ia
berkata. “Aku ingin mencoba berbicara dengan Wori. Buka peti itu!”
“Silahkan, Tuanku! Dia sedang menunggu!” ujar Womere sambil memberi isyarat
agar pengawal membuka peti mati itu.
Ketika sudah dibuka dua pengawal, Womere mengangguk seraya tersenyum ke
arah Wan-Da-I. “Cobalah Tuan berbicara padanya! Semuanya sudah berjalan
dengan lancar!”
“Baik!” sahut Wan-Da-I sambil mengarahkan pandangan matanya ke wajah
Wori.
“Hai, Wori! Apakah kau dengar suaraku? Cobalah kau katakan siapa aku. Kau
pasti kenal dengan suaraku. Jawablah!”
Tubuh Wori yang tadinya terbujur kaku di dalam peti mati dengan kedua
tangan dilipatkan di dada, kini mulai tampak bergerak perlahan-lahan.
Kelopak matanya terbuka dan menatap si Manusia Hiu dengan sayu. Lalu
bibirnya yang tampak kaku itu mengeluarkan kata-kata sahutan.
“Tentu. Aku kenal siapa Tuan. Aku siap melaksanakan segala perintah Tuan.
Apapun yang akan terjadi, aku sanggup melaksanakan. Sekarang, besok, lusa
atau kapan saja!”
“Bagus, Wori! Kau betul-betul seorang panglima yang setia. Aku percaya
sepenuhnya padamu!” kata Wan-Da-I dengan gembira.
Benar juga rupanya ucapan si Raja Sihir dari Kolepom Womere itu. Wori
benar-benar sudah bisa dikuasai dan dapat diperintah melakukan apa saja dan
kapan saja tanpa dapat membantah.
Wori, lelaki bertubuh raksasa yang dijuluki Pendekar Bumerang itu
sebenarnya adalah sahabat baik Pampani maupun Karta. Bertahun-tahun ia hidup
bersama di lingkungan Kerajaan Pampani.
Ia adalah penduduk Benua Kanguru yang sekarang bernama Australia. Sama
seperti penduduk pribumi di sana, ia pun sangat mahir menggunakan senjata
bumerang, yakni semacam senjata yang bentuknya seperti bulan sabit dengan
kedua ujungnya yang sangat runcing dan tajam.
Senjata itu disambitkan dengan kecepatan kilat dan jika tidak mengenai
sasaran, akan kembali melayang kepada pemiliknya.
Pada suatu hari, dalam petualangannya untuk memperdalam ilmunya yang kelak
diharapkan dapat digunakan untuk mengusir kaum penjajah Inggris dari
negerinya, ia sampai ke Kepulauan Aru, lalu menjalin persahabatan dengan
Pampani serta para pendekar Pulau Jawa.
Siapa tahu, ketika sedang menyusup ke dalam bangunan bawah tanah yang
menjadi markas Wan-Da-I, ia terjebak. Wori tidak dibunuh, bahkan sengaja
dibiarkan hidup dengan tenang. Tetapi berkat kehebatan ilmu sihir Womere,
lelaki perkasa dan memiliki tenaga yang sangat kuat itu berubah seperti
binatang jinak atau bahkan seperti boneka.
Pikirannya telah dikuasai Womere, sehingga bisa diperintah sesuka hatinya.
Demikian hebat dan jahatnya ilmu sihir Womere, sehingga beberapa waktu lalu,
Wori hampir saja membunuh Pampani serta sahabat-sahabatnya yang lain.
Sewaktu bertarung menghadapi Pendekar Bumerang itu, si Gila dari Muara
Bondet tercebur ke dalam laut. Si Kaki Tunggal berusaha mencarinya. Ia
menyelusuri pinggir pantai dan sesekali turun ke laut, namun tubuh Karta
telah lenyap bagaikan ditelan bumi.
Sampai sekarang, si Kaki Tunggal masih terus mencari Karta. Akan tetapi
setelah hampir seharian melakukan pencarian namun tetap tidak berhasil,
Baureksa akhirnya menjadi putus asa. Ia berdiri menatap hamparan laut yang
terbentang di hadapannya.
Rasanya tiada lagi harapan baginya untuk bisa menemukan Karta. Bahkan
rasanya mustahil pula pendekar itu masih bisa menyelamatkan diri setelah
begitu lama berada di dalam laut.
Si Kaki Tunggal Baureksa kemudian duduk lesu di pinggir pantai. Tongkatnya
yang pangkalnya bercagak dibiarkan menyentuh air laut, seolah-olah dengan
berbuat demikian ia ingin menyatakan kepedihan hatinya mengingat nasib
Karta.
Lamunan si Kaki Tunggal tiba-tiba buyar, dan ia menjadi tersentak mendengar
suara gemerciknya gelombang laut yang tiba-tiba kacau. Ia segera berdiri dan
memusatkan perhatian.
Melihat gerakan air itu, yakinlah dirinya bahwa di dalamnya sedang bergerak
sebuah makhluk besar. Mungkin ikan, atau siapa tahu adalah Karta
sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara berteriak dan muncullah sesosok mahluk aneh di
hadapan Baureksa. Pendekar Kaki Tunggal sempat melangkah mundur karena
sangat terkejut.
Dikucek matanya beberapa kali seolah-olah tak percaya akan penglihatannya
sendiri, namun pemandangan di depannya tetap tidak berubah sedikit pun.
Mahkluk itu bertubuh manusia biasa dan hanya ditutupi sejenis celana dalam
menutupi kemaluannya.
Di kedua tangannya terdapat gelang dari akar-akar pohon seperti yang biasa
dipakai suku di Pulau Aru. Akan tetapi wajahnya yang luar biasa dengan
hidung yang panjang sekali melengkung ke atas. Rambutnya tidak ada sama
sekali dengan kulit yang sama dengan wajah, bergaris-garis hitam dan
berlobang-lobang.
Seumur hidup si Kaki Tunggal belum pernah melihat mahluk seperti itu,
sehingga timbullah dugaannya bahwa itu adalah Raja Kodok yang baru muncul
dari dasar laut. Dugaan si Kaki Tunggal adalah makhluk itu memiliki
kesaktian luar biasa serta suka memangsa orang.
Siapa tahu kemunculannya sekarang adalah karena sudah sangat lapar lalu
ingin melahap siapa saja yang ditemukannya. Maka si Kaki Tunggal pun segera
mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Tongkatnya disilangkan di
dada dan sepasang matanya mencorong tajam.
Akan tetapi makhluk itu tampak tenang-tenang saja. Ia kemudian tampak
seperti hendak mencopot kepalanya. Si Kaki Tunggal kembali berseru
kaget.
Ternyata yang berdiri di hadapannya adalah Bungoru sendiri. Hidung panjang
melengkung serta kulit hitam bergaris-garis itu hanyalah sebuah topeng atau
barangkali alat untuk menyelam, si Kaki Tunggal belum bisa memastikan.
Bungoru adalah pengawal Pampani yang selain sangat setia juga memiliki
kesaktian yang cukup tinggi, terutama karena tenaganya seperti gajah. Hal
itu karena ia memang memiliki tubuh tinggi besar bagaikan raksasa dan sejak
kecil sudah terbiasa melakukan pekerjaan-pekerjaan berat serta rajin pula
berlatih silat. Di kerajaan yang dipimpin Pampani, tak seorang pun yang
mampu mengimbangi kekuatan Bungoru selain Wori sendiri.
“Mungkin sesuatu yang sangat tak diinginkan telah terjadi terhadap diri
Karta,” kata Bungoru sambil mempermainkan alat selamnya yang ajaib.
“Oh, jadi kau pun mencarinya?”
“Menyesal sekali aku tidak berhasil menemukan saudara kita itu. Hampir
semalam suntuk aku menyelam di laut mencarinya atas perintah Pampani. Heran,
entah ke mana tubuhnya lenyap. Padahal biasanya kalau ada yang tenggelam,
dalam beberapa jam saja sudah bisa kutemukan.”
Si Kaki Tunggal yang tadi sempat kaget bagaikan orang melihat setan di
siang bolong, kini menjadi tertawa geli.
“He-he-he. Tapi ngomong-ngomong aku menjadi geli. Ada-ada saja kau,
Bungoru. Pakai apa sih itu? Bikin orang jadi kaget saja. Tadinya kukira kau
adalah Raja Kodok yang baru muncul dari dasar laut mencari mangsa.”
Bungoru pun tertawa tergelak-gelak, terutama karena tadi dia sempat
memperhatikan Baureksa mundur beberapa langkah dan langsung memasang
kuda-kuda. Tetapi ia pun menjadi maklum, sebab sahabatnya itu tentu belum
pernah melihat alat menyelam hasil ciptaannya yang sederhana namun sangat
bermanfaat.
“Heh, Kaki Tunggal! Dengarkan baik-baik. Tanpa alat ini, aku takkan mungkin
dapat menyelam semalam suntuk. Pipa hawa ini dapat ditarik panjang sampai ke
permukaan air, Dengan demikian, aku tetap dapat menghirup udara walaupun
sedang di dalam air.”
“Wah, sialan! Tetapi hebat betul alat menyelammu itu. Ternyata biar tubuhmu
gendut bagaikan gajah, otakmu cerdik juga. Rasanya aku ingin mencoba alat
ajaib itu.”
“Ah, sudahlah saudara Kaki Tunggal! Sekarang apa yang harus kita lakukan?
Kita sudah berusaha mati-matian mencari saudara Karta, tetapi hasilnya
nihil. Aku jadi malu pada diriku sendiri, hampir semalam suntuk mencarinya
namun tak berhasil.”
“Sudahlah, Bungoru! Kita tak perlu terlalu berkecil hati. Mungkin sudah
takdirnya harus begitu. Walaupun begitu, kita doakan saja semoga saudara
Karta masih selamat.
“Memang melihat keadaannya, tipis sekali harapan bahwa dia masih hidup.
Tetapi nyawa manusia ada di tangan Tuhan. Sebaiknya kita pulang saja dulu ke
istana. Biar aku nanti yang menjelaskan semuanya.”
Apa yang diucapkan si Kaki Tunggal memang ada juga benarnya. Dalam hidup
ini banyak sekali kejadian yang sangat di luar dugaan dan perkiraan. Seperti
kata pepatah, sebelum ajal berpantang mati, maka demikian pula halnya dengan
Karta.
Setelah beberapa jam dihanyutkan gelombang laut dalam keadaan tak sadarkan
diri, tubuh Karta akhirnya terdampar pada tepi pantai laut. Rambutnya yang
panjang jatuh terurai di atas tanah. Ia tergeletak dengan posisi
tertelungkup, di mana sebatas pinggang sampai ke kaki masih terbenam dalam
air.
Entah berapa lama pendekar gagah perkasa itu tergeletak dalam keadaan
seperti itu, tak seorang pun tahu. Tetapi kemudian, perlahan-lahan ia
merasakan nyeri di sekujur tubuhnya.
Dadanya pun mulai turun naik, walaupun belum teratur tetapi telah
menunjukkan bahwa dirinya masih hidup. Ia mencoba membuka kelopak matanya
dan baru beberapa saat kemudian bisa melihat keadaan di sekelilingnya dengan
pandangan kabur.
Ternyata sekarang ia sedang berada di dalam sebuah gua, entah di pantai
sebelah mana ia sekarang berada belum bisa diketahuinya, sebab tempat itu
terasa masih sangat asing baginya. Sekilas pandang saja, ia sudah yakin
bahwa selama ini belum pernah menginjakkan kaki di sana.
Ia pun bertanya-tanya, siapa gerangan yang membawanya ke tempat itu. Bisa
jadi ada yang menyeretnya atau hanya kebetulan saja terdampar sewaktu
dirinya masih tak sadarkan diri.
Lama Karta berpikir-pikir sebelum tiba-tiba ia menyadari bahwa tubuhnya
terasa sudah lebih segar dibandingkan pada saat ia tercebur ke laut karena
diserang Wori secara mendadak. Perlahan-lahan ia bangkit dan yang
pertama-tama dilakukannya adalah meraba-raba dinding batu cadas di tempat
itu.
Siapa tahu ada kunci rahasianya! Tetapi tampaknya tidak ada sama sekali,
sehingga makin kuatlah dugaannya bahwa terowongan itu adalah buatan alam.
Mungkin karena arus air laut yang deras memukul-mukul sepanjang hari, tebing
cadas itu akhirnya berlobang membentuk terowongan.
Walaupun demikian, Karta tidak mau bertindak sembrono. Sewaktu melangkah
menyusuri terowongan itu, ia tetap berhati-hati dan bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan. Kenyataan yang di hadapinya selama berada di Kepulauan
Aru adalah banyak sekali jebakan-jebakan yang sangat sukar ditebak
sebelumnya.
Sekitar lima meter kemudian, Karta menemukan banyak sekali tumpukan tulang
belulang dan tengkorak manusia. Agaknya itu berasal dari dasar laut bekas
keganasan ikan-ikan hiu, yang kemudian terseret arus ke dalam terowongan
itu. Sadarlah Karta bahwa selama berada di laut, ia sebenarnya terancam maut
dan rasanya hanya karena pertolongan Tuhan-lah makanya dirinya
selamat.
◄Y►
2
Malam sudah tiba, ibukota Pulau Trangan tampak sunyi senyap. Semua
penduduknya sudah tertidur pulas, atau kalaupun masih ada yang terjaga,
mungkin hanya beberapa orang saja. Di sebelah Selatan perkampungan penduduk
tampaklah sebuah lembah di kaki bukit-bukit.
Di lembah itu banyak tumbuh pepohonan liar besar dan rimbun. Jarang ada
penduduk yang berani mendatangi lembah itu, karena selain hampir tak ada
yang bisa diambil dari sana kecuali kayu bakar juga dipercaya penduduk bahwa
di situ ada makhluk halus yang suka mengganggu.
Itulah sebabnya sampai saat itu tidak ada persawahan maupun kebun di sana,
walaupun tanahnya sebetulnya sangat subur.
Jika siang hari saja penduduk sudah tak berani, malam harinya pun tentu
tambah takut lagi. Di tempat itulah dulunya tokoh sesat atau si Nenek Sihir
Pendeta Naomi tewas. Itu sebabnya sebagian besar penduduk menduga, roh jahat
yang suka mengganggu itu adalah arwah nenek tua itu sendiri.
Akan tetapi sekarang, di tengah malam yang sunyi senyap dan menyeramkan
itu, tampak sesosok tubuh melangkah menyusuri lembah. Mungkinkah itu roh
halus yang dipercaya penduduk sangat suka menggoda?
Tidak! Dia adalah manusia biasa, seorang laki-laki yang masih tergolong
muda. Usianya paling sekitar tigapuluh lima tahun. Tubuhnya yang hanya
ditutupi selembar kain penutup aurat itu tampak tidak terlalu gemuk, namun
tetap tegar penuh otot, pertanda dirinya memiliki tenaga yang sangat
kuat.
Sepasang matanya dengan alis mata tebal dan hitam tampak mencorong tajam di
kegelapan malam, tak ubahnya mata seekor kucing, jarang sekali
berkedip.
Tulang pipinya menonjol, pertanda bahwa dia yang keras hati dan memiliki
sifat kejam. Rambutnya yang keriting dan hitam diikat dengan selembar kain
yang diberi beberapa buah perhiasan mutiara hingga tampak berkilauan di
timpa sinar rembulan yang redup.
Laki-laki yang tak lain tak bukan adalah Wan-Da-I itu melangkah menghampiri
dua kuburan dan setelah dekat, ia segera berlutut memberikan hormat.
Wajahnya yang tadi tampak bengis kini berubah jadi muram, seperti langit
yang disapu mendung. Perlahan-lahan meluncurlah kata-kata dari mulutnya yang
selama ini lebih banyak terkatup mencerminkan keangkuhan dan
kelicikan.
“Aku tahu ayah sangat mencintai ibu. Oleh karena itu aku telah memindahkan
kuburanmu ke lembah ini.”
Sejenak putra Maleang Pangaru itu diam sembari menyeka air mata yang
menggenangi pelupuk matanya. Kepalanya tertunduk pilu, tetapi kemudian
diangkat tegak lurus kembali.
“Memang sebaiknya tempat ayah di sini, daripada harus dikubur dalam makam
pengasingan oleh Pampani si keparat itu.”
Lalu wajah itu kembali tampak beringas. Sepasang matanya mendorong, merah
bagaikan memancarkan api. Kedua tangannya dibuka lebar-lebar dan diangkat
tinggi-tinggi hingga melewati kepalanya.
“Tetapi ayah dan ibu tidak perlu mati penasaran! Masih ada aku anakmu yang
akan menuntut balas. Tak seorang pun bisa merenggut nyawaku. Aku bisa hidup
seribu kali. Akan kuhancurkan si Pampani keparat itu bersama anak buahnya.
Akan kuhancurkan! Itu sumpahku, biarlah arwah ayah dan ibu yang menjadi
saksi!”
Kemudian Wan-Da-I tertawa tergelak-gelak menyeramkan, sehingga bergema ke
seluruh lembah itu. Seandainya ada orang lain yang mendengarnya tentu akan
mengira suara itu adalah ketawa iblis sehingga akan menggigil
ketakutan.
“Ha-ha-ha! Akan kumusnahkan mereka semua!”
Saat itulah si Raja Sihir Womere muncul sambil membawa topeng ikan hiu.
Dengan gerakan yang sangat ringan hingga hampir tak menimbulkan suara, ia
sudah meloncat dan berada beberapa langkah di belakang Wan-Da-I.
“Ingat, Tuanku! Tuan masih dalam penyamaran. Tuan tampaknya lupa memakai
topeng ikan hiu ini untuk mengelabui musuh. Ingat Tuanku! Ini sudah
merupakan sebagian dari rencana kita!”
“Oh, kau Womere!”
“Pakailah terus sampai mereka patah semangat karena gentar. Makin sering
melihat kau memakai topeng ini, mereka pasti akan percaya bahwa Iblis Pulau
Aru dan Pendeta Naomi telah hidup kembali!”
“Terima kasih, Womere! Kau telah mengingatkan aku!” Tanpa banyak bicara
lagi, Wan-Da-I segera mengenakan topeng ikan hiu itu.
“Sekarang marilah kita menemui Wori! Pengawal Tuan yang setia itu telah
siap menjalankan perintah selanjutnya!”
Wan-Da-I mengangguk-angguk, lalu mengikuti langkah Womere meninggalkan
lembah itu. Tampaknya laki-laki itu sangat patuh kepada Womere.
Hal itu tidaklah mengherankan, karena sebetulnya orang yang paling
diandalkan dan dipercayainya adalah si Ahli Sihir tersebut. Tanpa mereka
sadari ada dua pasang mata yang sejak tadi telah mengintip segala apa yang
terjadi di lembah itu.
Mata itu sempat terbelalak saking kaget mendengar kata-kata yang terucap
dari bibir Wan-Da-I. Keduanya adalah si Kaki Tunggal dan Bungoru sendiri,
ketika hendak pulang tadi merasa curiga mendengar suara langkah di sekitar
lembah itu, lalu mengintip dari balik pepohonan.
“Hmhhh! Baru terbuka kedoknya! Maleang Pangaru dan Naomi memang sudah
benar-benar mampus,” bisik si Kaki Tunggal.
“Ya, tapi aku heran mengapa Wan-Da-I masih hidup?”
“Mungkin hari itu nyawanya belum mau meninggalkan raga. Sst, Bungoru!
Mereka sudah dekat, kita cepat! Siap?”
“Siap!”
Kedua pendekar itu segera meloncat dari tempat persembunyiannya dan
langsung menghadang Wan-Da-I dan Womere. Kedua tokoh sesat yang sama sekali
tidak menduga hal itu menjadi terkejut dan serentak menghentikan
langkah.
“Jangan lari, iblis-iblis tengik! Sekarang kedok kalian sudah terbuka dan
karena kalian bermaksud meruntuhkan pemerintahan Pampani, maka malam ini
juga kalian berdua harus mampus di tangan kami!” bentak si Kaki Tunggal
sambil mengayun-ayunkan tongkatnya, sehingga terdengar menimbulkan angin
pukulan yang dahsyat.
“He-he-he! Kalian berdua memang benar-benar iblis yang harus dilenyapkan
dari muka bumi ini,” sambut Bungoru dan sambil mengeluarkan bentakan keras,
ia menerjang Womere.
Kedua tangan Bungoru menyambar mencengkeram ke arah leher Womere dan
ternyata biarpun bertubuh raksasa, gerakannya sangat cepat, sehingga
lawannya tampak tersentak kaget. Womere berusaha menunduk, namun sudah
terlambat karena kedua tangan Bungoru telah mencekik lehernya.
“Ekh!” Womere berseru tertahan sambil berusaha melepaskan cekikan lawan.
Namun tangan yang mencekik itu seperti jepitan baja saja. Makin ia meronta,
jepitan itu terasa makin kuat, sehingga nafasnya terasa hendak putus.
“Hihhh! Enyah kau tukang sihir dari Pulau Kolepom!” bentak Bungoru sambil
mendorong tubuh lawan hingga terjatuh. Tubuhnya yang sebesar kerbau itu
kemudian menindih Womere sementara cekikan lengannya pun tidak dilepaskan,
sehingga membuat lawan tampak semakin tak berdaya.
“Aaaaaak!” Womere menjerit panjang dengan mata mendelik. Kepalanya pun
terkulai dan tidak bergerak-gerak lagi.
Nasib si Topeng Ikan Hiu lebih mengerikan lagi. Setelah berhasil
mengelakkan sambaran tongkat si Kaki Tunggal, ia terdesak oleh
serangan-serangan yang sangat cepat dan kuat serta mengandung maut.
Jurus-jurus ilmu tongkat si Kaki Tunggal memang luar biasa, biarpun kaki
kanannya sudah buntung sebatas lutut, namun gerakannya sangat cepat,
sehingga tubuhnya tampak hanya bayang-bayang saja. Senjata tongkat di
tangannya juga tampak seolah-olah berubah jadi banyak sekali, mengincar
tubuh lawan dari segala penjuru.
Agaknya kedua pendekar sahabat Pampani itu sudah menyadari bahwa lawan yang
sedang dihadapi memiliki kesaktian yang tinggi, sehingga mereka segera
mengeluarkan jurus-jurus maut mereka. Ternyata dalam waktu singkat keduanya
segera dapat mendesak lawan.
Belum sampai sepuluh jurus, ujung tongkat si Kaki Tunggal menyambar dahsyat
ke arah jantung Wan-Da-I. Begitu cepatnya serangan si Kaki Tunggal, sehingga
si Topeng Ikan Hiu itu tampak tidak sempat mengelak lagi. Dan ujung tongkat
itu pun menancap di bagian jantung dan tembus sampai ke punggungnya.
Darah segar tersembur disertai jeritan panjang yang terdengar sampai ke
segenap penjuru lembah itu. Si Kaki Tunggal menyeringai, tetapi ia tampak
belum puas. Dicabutnya tongkat yang tertancap di tubuh lawan dan
ditancapkannya lagi ke bagian-bagian tubuh lainnya sampai beberapa
kali.
“Orang seperti kau tidak boleh diberi ampun!” bentaknya geram. Lalu setelah
tubuh Wan-Da-I tampak sudah tercabik-cabik, si Kaki Tunggal berkata kepada
Bungoru.
“Beres, Bungoru! Bagaimana dengan si Tukang Sihir itu!”
Bungoru tertawa kecil dan masih tetap menginjak perut Womere. Ia pun tampak
sangat senang dan bangga, karena dalam waktu yang demikian singkatnya dapat
membunuh lawan.
“Kepalanya sudah kucopot! Mudah-mudahan tak ada setan gentayangan lagi,”
katanya.
Dan memang kepalanya Womere sudah terpisah dari badan, darah segar masih
mengucur deras dari leher yang telah buntung itu. Luar biasa kuatnya tenaga
laki-laki bertubuh raksasa itu, hanya dengan sekali cekikan sudah dapat
memisahkan kepada dari badan.
“Hei, tentu dia akan jadi setan tanpa kepala nanti,” teriak si Kaki Tunggal
yang diam-diam merasa agak ngeri juga menyaksikan kesadisan sahabatnya
itu.
“Mau jadi setan apa nanti terserah dialah. Sekarang apa yang harus kita
lakukan?”
“Sebaiknya kau pulang ke istana membawa bangkai-bangkai ini kepada Pampani
dan umumkan bahwa kedua tikus inilah yang selama ini mencoba mengacau. Aku
sendiri masih tetap di sini untuk mencari jejak Karta. Siapa tahu dia muncul
nanti!”
“Baiklah kalau begitu. Nanti aku akan membantumu mencari sahabat kita itu.
Bagaimanapun juga, kita harus menemukannya, hidup atau mati!”
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari atas puncak
bukit cadas. Suaranya keras sekali terbahak-bahak, seakan-akan orang itu
sedang menyaksikan sesuatu yang sangat lucu.
Akan tetapi si Kaki Tunggal dan Bungoru yang tadi bercakap-cakap di lembah
menjadi kaget dan merasakan bulu kuduk mereka meremang mendengar suara
ketawa itu bergema ke segala penjuru, sehingga udara di malam hari itu
terasa dipenuhi suara ketawa. Hebatnya lagi, suara itu mendatangkan hawa
dingin dan menusuk-nusuk, sehingga jantung seakan-akan hendak berhenti
berdetak.
Si Kaki Tunggal dan Bungoru saling pandang, seperti dua orang yang baru
tersadar dari mimpi buruk. Lalu serentak mereka memandang ke puncak bukit
cadas. Nun jauh di puncak itu, di bawah sinar remang-remang rembulan, tampak
dua sosok tubuh sedang tertawa yang tak lain tak bukan adalah Wan-Da-I dan
Womere sendiri.
“Ha-ha-ha! Kalian benar-benar hebat, sejak tadi bertarung dengan batu-batu
cadas. Benar-benar lucu, dua pendekar hebat ternyata hanya berani melawan
batu. Luar biasa!” suara dari puncak bukit cadas itu terdengar sangat
mengejek, sehingga membuat si Kaki Tunggal dan Bungoru tersentak.
Secara berbarengan mereka melihat ke tanah di hadapan mereka. Tubuh
Wan-Da-I maupun Womere yang tadi tergeletak berlumuran darah dalam keadaan
tak bernyawa ternyata sudah lenyap. Sebagai gantinya di situ tergeletak atau
lebih tepatnya berserakan pecahan-pecahan batu cadas.
Si Kaki Tunggal dan Bungoru boleh merupakan pendekar yang gagah perkasa dan
dikagumi banyak orang, bahkan Baureksa sendiri sudah kesohor pula di Pulau
Jawa karena kesaktiannya. Namun menghadapi kenyataan seperti itu, tidak
urung mereka terkejut juga.
Tadi jelas sekali mereka bertarung dengan Wan-Da-I serta Womere dan dengan
mudah dapat melumpuhkan lawan-lawannya. Tetapi sekarang bagaimana bisa
terjadi kedua musuh mereka itu sudah lenyap dan bahkan sedang tertawa-tawa
atau mentertawakan mereka dari puncak bukit cadas?
Bungoru lebih cepat dapat mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi,
karena sebagai penduduk pribumi, ia segera bisa mengenali ilmu yang
dipergunakan lawan.
“Celaka, ternyata mereka telah menggunakan ilmu sihir yang sangat memuakkan
itu. Kurang ajar! Saudara Kaki Tunggal, hati-hati! Itulah ilmu sihir dari
Pulau Kolepom.”
“Keparat! Kita serang lagi mereka! Aku tidak takut!” bentak si Kaki Tunggal
sambil bersiap-siap menerjang lawan yang kini masih berada di puncak bukit
batu cadas.
“Ha-ha-ha!” Womere tertawa lagi, “Kenapa kalian begitu kesal seperti kakek
kehilangan tongkat? Hai, Bungoru yang tolol! Sejak kapan kau mimpi bisa
mengalahkan aku?”
“Bangsat! Hiyaaaaat!” Bungoru sadar bahwa lawan yang dihadapi kini sangat
hebat dan licik. Tetapi bukan Bungoru lagi namanya kalau menghadapi lawan
seperti itu sudah gentar.
Sejak masa mudanya, ia sudah terbiasa menghadapi lawan-lawan tangguh bahkan
sudah sangat sering bercanda dengan maut. Maka ia pun segera berteriak
nyaring seraya meloncat menerjang lawan.
Si Kaki Tunggal pun tidak mau tinggal diam. Ia mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya yang sangat tinggi, sehingga tubuhnya melayang bagaikan terbang ke
puncak bukit cadas.
Tongkatnya diputar cepat sekali untuk melindungi diri kalau lawan menyerang
secara tiba-tiba dan sekaligus mempersiapkan serangan mautnya. Ia sekarang
sengaja menerjang Womere si Ahli Sihir yang sangat jahat itu.
Setelah berada dalam jarak jangkauan, si Kaki Tunggal mengayunkan
tongkatnya dengan gerakan kilat menyambar leher Womere. Tukang sihir itu
berseru kaget, lalu buru-buru menundukkan badan sehingga pukulan lawan tidak
mengenai sasaran.
Akan tetapi Womere kemudian dibuat kaget setengah mati, karena ujung
tongkat lawan sudah menyambar turun ke arah ubun-ubunnya. Cepat luar biasa
gerakan si Kaki Tunggal dan sangat kuat pula, sehingga lawan yang ilmunya
biasa-biasa saja tentu akan tewas oleh serangan itu.
“Akh...!” Womere mengeluarkan seruan kaget lalu meloncat mundur. Akan
tetapi ujung tongkat lawan seperti mempunyai mata saja, selalu mengikuti dan
mengancam dirinya ke sebelah manapun ia mengelak.
Karena puncak bukit cadas itu cukup terjal, akhirnya Womere tidak dapat
mundur lagi karena tubuhnya tentu akan menggelinding ke bawah. Tampaknya ia
tak menginginkan hal itu, lalu sambil berteriak panjang ia mencelat ke udara
dan ketika tubuhnya meluncur turun kedua tangannya memantul ke arah kepala
dan ulu hati si Kaki Tunggal.
Serangan si Tukang Sihir itu cukup cepat dan kuat, tetapi si Kaki Tunggal
tampak tenang saja, bahkan sempat tersenyum mengejek. Ia sengaja tidak
segera mengelak dan barulah ketika tangan lawan hendak menyentuh tubuhnya ia
berkelit ke samping. Lalu dengan gerakan kilat ujung tongkatnya menyambar
dahsyat ke arah ulu hati Womere.
“Blesss! Augh!”
Tongkat si Kaki Tunggal dengan telak menghunjam di bagian jantung Womere
hingga tembus sampai ke punggung, membuat tukang sihir Kolepom itu menjerit
kesakitan. Tubuhnya kemudian ambruk ke tanah dalam keadaan bermandikan
darahnya sendiri.
“Mampus kau!” Si Kaki Tunggal memaki geram, mencabut tongkatnya, lalu
mengayunkan ke arah leher Womere hingga nyaris putus. Kembali darah segar
muncrat membasahi puncak bukit cadas itu.
Begitu pun halnya dengan Bungoru, tanpa perlawanan berarti ia sudah
berhasil merobohkan Wan-Da-I. Dan dengan mengerahkan tenaganya yang sangat
besar, ia mencabik-cabik tubuh musuhnya itu sehingga terpisah-pisah menjadi
beberapa bagian.
Si Kaki Tunggal sudah hendak berbicara menyatakan kegembiraan hatinya
karena berhasil membunuh lawannya. Tetapi tiba-tiba keduanya menyadari bahwa
pekerjaan mereka kali ini ternyata sia-sia saja seperti yang pertama
tadi.
Tubuh Womere dan Wan-Da-I yang tadi terkapar berlumuran darah, kini sudah
menghilang entah ke mana dan di tempat itu telah berserakan pecahan-pecahan
batu cadas.
“Astaga! Ke mana mereka? Tidak ada bekasnya sama sekali!” kata si Kaki
Tunggal setengah berteriak.
“Sial, kita terkena sihir lagi,” gerutu Bungoru geram.
Kembali terdengar suara tertawa terbahak-bahak bergema ke seluruh lembah
dan puncak bukit cadas itu. Si Kaki Tunggal dan Bungoru serentak berpaling
dan tampaklah oleh keduanya Womere dan Wan-Da-I telah berada di puncak bukit
cadas yang satu lagi.
“Itu mereka di sana! Sungguh ilmu iblis yang terlalu sukar dikalahkan,”
kata Bungoru yang tampak mulai cemas tidak akan dapat mengatasi ilmu sihir
lawan.
“Jangan putus asa, Bungoru! Ingat, segala yang batil di atas bumi ini pasti
dapat dimusnahkan. Mereka toh adalah manusia biasa, seperti kita juga.
Mereka tidak akan luput atau bisa melepaskan diri dari ajal,” kata si Kaki
Tunggal sambil mempersiapkan tongkatnya kembali.
“Apa yang akan kau lakukan, saudara Kaki Tunggal?”
Si Kaki Tunggal melirik ke arah jurang yang ada di hadapannya, merupakan
pemisah bukit cadas tempatnya berdiri dengan bukit tempat Womere dan
Wan-Da-I. Jurang itu tidak terlalu lebar, tetapi kelihatannya cukup dalam.
Sekali loncat saja, orang yang ilmunya tidak terlalu tinggi tentu akan dapat
melewati jurang itu, apalagi pendekar seperti si Kaki Tunggal.
“Tenanglah, Bungoru! Aku akan meloncati jurang yang pendek ini, kemudian
akan menyerang mereka secara mendadak. Aku sudah mempersiapkan jurus mautku
untuk menghajar mereka sekali gebrakan!”
“Tunggu, saudara Kaki Tunggal!” kata Bungoru sambil menarik tangan
Baureksa, “Jangan kau lakukan itu! Ini pasti tipuan muslihat sihir lagi.
Jangan kau lakukan!”
“Tidak, Bungoru! Aku percaya akan penglihatanku sendiri. Akan kuhajar
mereka sampai mampus. Hiyaaat!” Si Kaki Tunggal berteriak nyaring dan
bersamaan dengan itu tubuhnya mencelat bagaikan terbang ke bukit cadas
tempat Womere dan Wan-Da-I berdiri sambil tertawa mengejek.
Tongkat di tangan Kaki Tunggal diayunkan dengan gerakan kilat menyambar
dahsyat ke arah Womere dan Wan-Da-I. Inilah jurus maut yang merupakan salah
satu inti ilmu silat tongkat si Kaki Tunggal.
Keistimewaan jurus itu selain cepat dan kuat, juga memiliki perkembangan
yang sangat tidak terduga-duga dan dapat dilakukan secara beruntun, sehingga
dalam waktu yang hampir bersamaan dapat memukul roboh dua orang lawan
sekaligus.
“Wuuuuut!” Tongkat itu terus menyambar ke arah lawan.
Namun tiba-tiba si Kaki Tunggal tersentak kaget karena tiba-tiba tubuh
kedua lawannya sudah lenyap, sehingga tongkatnya hanya memukul angin. Dan
lebih kaget lagi dia ketika hendak menginjakkan kakinya di bukit cadas itu,
ternyata juga sudah lenyap. Tanpa ampun lagi, tubuh si Kaki Tunggal
terhempas jatuh ke dalam jurang.
Tepat seperti yang dikatakan Bungoru tadi, pemandangan yang ada di hadapan
mereka hanyalah permainan ilmu sihir lawan, di mana mereka seolah-olah
melihat kedua lawan sedang berdiri di atas bukit cadas, padahal sebenarnya
bukit itu tidak ada.
“Aaaaaa!” Si Kaki Tunggal menjerit panjang ketika menyadari bahwa tubuhnya
sudah terhempas jatuh ke jurang di bawah bukit cadas.
Ia berusaha mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dengan maksud kalau
terhempas nanti tidak akan terlalu kuat. Beruntung sekali dia, karena
tubuhnya terhempas tepat ke dasar jurang yang tanahnya merupakan rawa-rawa
berlumpur.
Si Kaki Tunggal menjerit, kaget dan girang. Tak disangka dalam keadaan
seperti itu dia masih dapat selamat. Ia tidak menderita luka-luka, selain
kulit pinggangnya yang terasa agak nyeri karena terbentur lumpur
rawa-rawa.
Bagi pendekar sakti seperti dia rasa sakit seperti itu tentu tidak ada
artinya. Ia segera berusaha melangkah ke luar dari rawa-rawa itu, akan
tetapi, ia kembali berseru kaget manakala menyadari semakin banyak bergerak
tubuhnya semakin terseret dan terbenam dalam pasir berlumpur.
Dalam keadaan panik, si Kaki Tunggal bergerak dan mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya. Namun tetap seperti tadi, setiap menggerakkan
tubuhnya, ia semakin tenggelam hingga sekarang pasir berlumpur sudah sampai
ke batas lehernya.
“Saudara Kaki Tunggal, jangan bergerak! Pasir berlumpur itu akan semakin
menelan tubuhmu bila bergerak. Tenanglah!” teriak Bungoru sambil meluncur
turun dari atas puncak bukit.
Ia bagaikan pemain ski es saja, meluncur di atas kedua tumit kakinya dengan
sangat mengagumkan. Dalam waktu singkat saja, ia sudah berada di tepi
rawa-rawa maut itu.
Pada saat itu, dari puncak tebing di sebelah sana terdengar lagi suara
tertawa bersorak-sorak mengejek. Siapa lagi kalau bukan si Tukang Sihir
Womere dan Wan-Da-I. Mereka geli menyaksikan si Kaki Tunggal mengulurkan
tongkatnya kepada Bungoru.
“Sedikit lagi, belum sampai saudara Kaki Tunggal. Perlahan-lahan, jangan
sampai membuat gerakan mengejutkan. Ulur lagi........” kata Bungoru.
Emoticon