"Hap! Hiyaaa...!"
Begitu gencar serangan yang dilancarkan Ki Jalaksana, membuat Pranggala
terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Dan beberapa kali pula pedang
mereka berbenturan. Meskipun setiap kali terjadi benturan senjata Ki
Jalaksana merasakan tangannya jadi bergetar, tapi tidak dipedulikan lagi.
Dan memang disadari tingkat pengerahan tenaga dalam
yang dimilikinya masih kalah dari pemuda ini. Namun tetap saja
serangan-serangan gencar yang cepat dan beruntun dilancarkannya, membuat
Pranggala tidak memiliki kesempatan balas menyerang. Dan pemuda itu hanya
bisa berlompatan, berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang
dengan gencar dan cepat ini.
Pertarungan antara Ki Jalaksana dan Pranggala memang berlangsung sengit.
Dan mereka bertarung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang begitu
dahsyat. Gerakan-gerakan yang dilakukan juga begitu cepat, hingga sulit
diikuti pandangan mata biasa. Sementara, Dewi Manik yang menyaksikan
pertarungan itu jadi cemas juga. Sudah lebih dari sepuluh jurus pertarungan
berlangsung, tapi Ki Jalaksana belum juga mampu mendesak. Bahkan serangan
balasan yang dilancarkan Pranggala beberapa kali membuat Ki Jalaksana jadi
kelabakan.
"Lepas...!"
Tiba-tiba saja Pranggala berseru keras mengejutkan. Dan seketika itu juga,
pedangnya cepat dikebutkan untuk sengaja diadu dengan pedang Ki Jalaksana.
Begitu cepat putaran pedangnya, sehingga Ki Jalaksana tidak sempat lagi
menghindari pedangnya yang saat ini tengah menjulur ke depan.
Hingga....
Trang!
"Ikh...!"
Ki Jalaksana jadi terpekik, begitu pedangnya tersambar pedang Pranggala.
Begitu keras benturan tadi, hingga laki-laki setengah baya itu tidak dapat
lagi menahan pedangnya hingga lepas dari genggaman. Dan saat itu juga,
tangannya terasa jadi bergetar panas. Sementara, pedangnya sudah melambung
tinggi ke angkasa.
"Hiyaaa...!"
Ki Jalaksana langsung melesat tinggi ke udara, hendak meraih pedangnya
kembali. Tapi pada saat itu juga, Pranggala sudah melenting ke atas juga.
Dan dengan kecepatan bagai kilat dilepaskannya satu pukulan keras
menggeledek dengan tangan kiri, yang disusul sabetan pedang ke arah
perut.
"Haiiit..!"
Namun Ki Jalaksana masih bisa menghindari pukulan itu. Dan matanya jadi
terbeliak, karena tidak menyangka kalau Pranggala bisa mengebutkan pedangnya
begitu cepat bagai kilat. Akibatnya, dia tidak sempat lagi menghindar.
Dan....
Cras!
"Aaakh...!"
Bruk!
Keras sekali Ki Jalaksana ambruk, terbanting ke tanah dengan bagian perut
robek mengeluarkan darah.
Kakang...!" jerit Dewi Manik.
Wanita itu jadi tersentak kaget setengah mati, melihat Ki Jalaksana
menggelepar di tanah sambil memegangi perutnya yang sobek berlumuran darah.
Tanpa menunggu waktu lagi, segera tubuhnya melesat mengejar Pranggala yang
baru saja menjejakkan kakinya kembali di tanah. Cepat sekali pedangnya
dicabut dan langsung dibabatkan ke kepala pemuda itu.
"Kubunuh kau, Setan Keparat! Hiyaaat...!"
Bet!
"Hap!"
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, tebasan pedang Dewi Manik
tidak sampai mengenai kepala Pranggala. Lalu dengan gerakan manis sekali,
Pranggala menarik kakinya ke belakang satu langkah. Dan seketika itu juga
kaki kirinya cepat dihentakkan ke depan, sambil memiringkan tubuhnya sedikit
ke kiri.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat dan sama sekali tidak terduga tendangan yang dilepaskan
Pranggala, membuat tubuh Dewi Manik sama sekali tidak dapat lagi
menghindarinya. Hingga....
Des!
"Akh...!"
Dewi Manik jadi terpekik, begitu tendangan yang cukup keras ini mendarat
tepat di dadanya. Wanita itu terpental ke belakang sejauh lima langkah,
namun cepat bisa menguasai keseimbangan. Dan dengan cepat, dia kembali
melompat sambil menebaskan pedang ke arah dada.
"Hiyaaat...!"
Wut!
"Haiiit..!"
Pranggala cepat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga ujung pedang Dewi
Manik hanya lewat sedikit di depan dadanya. Dan saat itu juga, tangannya
dijulurkan ke depan, mencoba melum-puhkan wanita ini dengan totokan. Tapi
gerakan tangan yang lembut itu bisa diketahui Dewi Manik. Maka cepat-cepat
pedangnya ditarik, dan langsung dikibaskan menyilang ke depan dada.
"Ups...!"
Pranggala agak terkejut juga melihat tindakan wanita ini. Maka cepat
tangannya ditarik kembali, dengan kaki bergeser ke kanan sedikit. Lalu
begitu tubuhnya doyong ke kiri, cepat sekali kaki kanannya menghentak ke
depan, tepat mengarah ke dada wanita lawannya ini.
"Hap!"
Dewi Manik kembali menebaskan pedangnya secara berputar ke depan dada,
membuat Pranggala terpaksa harus menarik pulang serangannya. Dan begitu
kedua kakinya menjejak tanah, Dewi Manik sudah cepat mengebutkan pedangnya
lagi ke arah perut sambil meliuk dengan gerakan indah sekali.
"Hap!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, Pranggala tidak berusaha menghindar sedikit
pun juga. Bahkan tanpa diduga telapak tangannya dirapatkan di depan perut,
tepat di saat ujung pedang Dewi Manik berada di depan perutnya.
Dan....
Tap!
"Ikh...!"
Dewi Manik jadi tersentak kaget, begitu ujung pedangnya terjepit kedua
telapak tangan Pranggala. Segera pedangnya ditarik, tapi sedikit pun tidak
bergerak. Bahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya sudah dikerahkan, membetot
pedang yang terjepit di kedua telapak tangan lawannya ini. Tapi, tetap saja
senjata itu sedikit pun tidak bergerak.
"Setan keparat! Hih! Yeaaah...!"
Dengan perasaan mendongkol, Dewi Manik langsung melenting ke atas. Dan saat
itu juga, dilepaskannya satu tendangan keras yang mengarah ke kepala pemuda
ini. Namun tanpa diduga sama sekali, Pranggala justru menghentakkan
tangannya yang menjepit ujung pedang, hingga membuat Dewi Manik jadi
tersentak setengah mati.
Dan belum juga hilang rasa keterkejutan Dewi Manik, mendadak saja Pranggala
sudah melepaskan jepitan pada ujung pedang. Lalu begitu cepat tangan
kanannya menghentak ke depan, tepat ke dada wanita ini. Saking cepatnya
sentakan itu, sehingga Dewi Manik tidak sempat lagi menghindarinya.
Dan...
Des!
"Akh...!"
Kembali Dewi Manik terpekik, begitu telapak tangan Pranggala menghantam
keras dadanya. Akibatnya, tubuhnya terpental jauh ke belakang sejauh satu
batang tombak. Dan saat itu juga, Pranggala sudah melesat cepat bagai kilat
mengejar wanita ini. Bahkan sebelum tubuh Dewi Manik bisa menyentuh tanah,
Pranggala sudah melepaskan satu tendangan keras yang disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Begitu deras tendangan itu, hingga sudah dapat
dipastikan tubuh Dewi Manik pasti bakal hancur! Tapi sedikit lagi saja
telapak kaki Pranggala menghantam tubuh wanita ini, mendadak...
Slap!
Plak!
"Ikh...?!"
Pranggala jadi tersentak kaget, karena tiba-tiba saja terlihat sebuah
bayangan putih melesat begitu cepat memotong arus serangannya. Dan seketika
itu juga, terasa ada sesuatu yang sangat keras menghantam kakinya.
Akibatnya, dia jadi terpekik kaget, dan cepat-cepat melenting ke belakang.
Tiga kali Pranggala melakukan putaran, lalu manis sekali kembali menjejakkan
kakinya di tanah. Saat itu juga, kedua bola matanya jadi mendelik lebar.
Ternyata sekitar dua batang tombak di depannya sudah berdiri seorang pemuda
berwajah tampan, tengah memondong tubuh Dewi Manik yang tampaknya sudah
tidak sadarkan diri lagi.
Pemuda berwajah tampan bertubuh tegap berotot dan berbaju putih tanpa
lengan itu meletakkan tubuh Dewi Manik di atas tanah yang cukup teduh dan
aman. Kemudian dia. berdiri lagi, menghadapi Pranggala. Namun, pandangannya
tertuju pada Ki Jalaksana yang masih tergeletak dengan darah mengucur cukup
deras dari perutnya yang sobek. Pemuda itu menghampiri laki-laki berusia
setengah baya ini. Sebentar diperiksanya laki-laki itu, lalu diberikannya
beberapa totokan di sekitar perut yang sobek. Seketika itu juga darah
berhenti mengalir keluar. Dan, pemuda itu kembali berdiri tegak menghadapi
Pranggala.
"Setan! Siapa kau...?!" bentak Pranggala gusar.
***
LIMA
"Kau yang membunuh mereka semua...?" pemuda berbaju rompi putih itu malah
balik bertanya, dengan suara terdengar agak dingin.
"Merekalah yang cari mampus sendiri!" sahut Pranggala, ketus.
"Hebat sekali kepandaianmu, Kisanak Tapi sayang, digunakan untuk membantai
sesamamu."
"Phuih! Apa urusanmu, heh...?! Atau kau juga tertarik oleh hadiah yang
disediakan Ki Tunggul Santak untuk membawa kepalaku...? Kalau memang itu
kemauanmu, ayo maju saja sekalian. Biar kukirim kau sekalian ke neraka!"
dengus Pranggala lantang.
Tapi, pemuda berwajah tampan dan berkulit putih bersih yang terbungkus baju
rompi putih itu hanya diam saja. Hanya saja matanya memandang dengan sorot
mata tajam, menembus langsung ke bola mata Pranggala. Dan perlahan kakinya
melangkah beberapa tindak ke depan, hingga jaraknya tinggal sekitar tujuh
langkah lagi. Sementara, Pranggala sudah menyilangkan pedangnya di depan
dada. Sorot matanya juga memancar begitu tajam, membalas tatapan mata pemuda
berbaju rompi putih yang sama sekali tidak dikenalnya ini
Belum lagi mereka ada yang membuka suara terdengar suara langkah kaki-kaki
kuda menuju tempat ini. Dan tidak lama kemudian terlihat seorang gadis
cantik menunggang kuda putih sambil menuntun seekor kuda hitam yang
melangkah belakang, tanpa penunggang. Gadis itu langsung melompat turun dari
punggung kuda. Langsung dihampirinya pemuda berbaju rompi putih yang
menyandang sebilah pedang bergagang kepala burung di punggung.
Gadis berwajah cantik berbaju biru muda itu lalu berdiri di sebelah kanan
pemuda berbaju rompi putih ini. Pedangnya yang bergagang kepala naga
berwarna hitam tampak menyembul di balik punggung. Sementara sebuah kipas
putih keperakan tampak terselip di balik ikat pinggangnya. Saat itu,
Pranggala hanya memperhatikan saja dengan sinar mata masih menyorot tajam
menusuk.
"Kau urus mereka yang masih hidup, Pandan, ujar pemuda itu tanpa berpaling
sedikit pun juga.
"Berapa orang?" tanya gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Pandan
ini
Memang, gadis cantik itu adalah Pandan Wangi. Di kalangan rimba persilatan,
dia lebih dikenal sebagai si Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbajui rompi
putih yang menyelamatkan nyawa Dewi Manik ini tidak lain dari Rangga, yang
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Dua. Satu wanita, dan satu lagi laki-laki yang berada di bawah pohon itu,"
sahut Rangga sambil menunjuk Ki Jalaksana.
Tanpa bertanya lagi, Pandan Wangi bergegas menghampiri Dewi Manik,
satu-satunya wanita yang ada di tempat ini. Sebentar diperiksanya luka-luka
yang diderita Dewi Manik. Dan wanita itu sempat mengatakan sesuatu pada si
Kipas Maut. Setelah membawa Dewi Manik ke tempat yang lebih baik, Pandan
Wangi bergegas menghampiri Ki Jalaksana. Keningnya seketika berkerut melihat
luka dan keadaan tubuh laki-laki berusia setengah baya ini.
"Aku tidak tahu siapa dirimu, Kisanak. Tapi aku tahu, kaulah yang membantai
mereka semua. Hhh...! Tindakanmu sungguh kejam. Tidak seharusnya mereka
semua dibunuh," kata Rangga menyesali tindakan Pranggala yang membantai
habis setiap lawannya.
"Hhh! Sudah kuduga.... Kau pasti sama seperti yang lain. Gampang tergiur
oleh hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak. Baik! Aku tidak bakal
menyingkir. Bahkan ingin bertemu langsung dengannya. Akan kulumat dia sampai
habis, tidak bersisa lagi. Dan kalau kau mau mencoba, silakan. Dengan senang
hati akan kulayani," kata Pranggala, agak datar nada suaranya.
"Sadarlah, Kisanak. Tidak ada gunanya mengumbar nafsu dan amarah dengan
menyebarkan maut di mana-mana. Semua yang kau lakukan hanya menyulitkan
dirimu saja. Percayalah. Semua persoalan pasti bisa diselesaikan secara
baik-baik. Tidak harus dengan pertumpahan darah," kata Rangga mencoba
lembut. "Sedangkan untuk mengetahui siapa yang salah dan siapa yang benar,
nanti akar diketahui. Dan sebaiknya, hentikanlah semua pembantaian ini.
Tidak ada gunanya lagi bagimu terus-menerus membantai sesama manusia.
"Sudah! Aku tidak perlu nasihatmu...!" bentak Pranggala sengit.
"Aku tidak menasihatimu, Kisanak. Aku hanya...."
"Cukup...!"
Rangga langsung berhenti, begitu Pranggala membentaknya dengan suara keras
menggelegar. Tampak raut wajah pemuda itu jadi memerah. Sedangkan kedua bola
matanya berapi-api, menatap langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
Dan untuk beberapa saat mereka jadi terdiam, saling berpandangan dengan
sorot mata tajam. Seakan-akan, tengah mengukur tingkat kepandaian yang
dimiliki masing-masing.
"Aku tidak mengenalmu, Kisanak. Sebaiknya jangan ikut campur urusanku.
Sebelum pikiranku berubah, sebaiknya segeralah menyingkir dari sini.
Daripada nanti kepalamu kupecahkan," terasa begitu dingin nada suara
Pranggala.
Rangga jadi tercenung juga mendengar kata-kata bernada ancaman itu. Dan
dari sorot matanya, Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Pranggala tidak
main-main. Sementara Pandan Wangi yang sejak tadi mendengar percakapan itu,
sudah langsung gemas. Dia bangkit berdiri dan hendak meninggalkan Ki
Jalaksana. Tapi belum juga kakinya terayun, Ki Jalaksana sudah
mencegahnya.
"Sebaiknya kalian pergi saja. Dia bukan manusia lagi. Kalian hanya akan
mengantarkan nyawa saja berurusan dengannya," lemah sekali suara Ki
Jalaksana.
Kening Pandan Wangi jadi berkerut juga, mendengar kata-kata orang tua itu.
Sebentar dipandanginya wajah Ki Jalaksana yang semakin kelihatan memucat.
Kemudian pandangannya beralih pada Rangga yang masih berdiri berhadapan
dengan Pranggala. Sementara itu, terlihat Pranggala sudah menyilangkan
pedang kembali di depan dada. Sorot matanya sangat tajam, seakan hendak
merobek jantung melalui kedua bola
mata Rangga yang juga menatap tidak kalah tajam.
"Turuti saja kata-kataku, Nisanak. Ajak temanmu pergi dari sini," ujar Ki
Jalaksana lagi sambil terbatuk kecil.
Darah kembali keluar dari rongga mulut laki-laki setengah baya itu.
Sementara Pandan Wangi kelihatan jadi bimbang. Tapi begitu mengalihkan
pandangan pada Ki Jalaksana lagi, mendadak saja terdengar teriakan keras
menggelegar yang begitu mengejutkan. Cepat Pandan Wangi memalingkan
wajahnya. Saat itu tampak Pranggala sudah melesat menyerang Rangga dengan
kecepatan tinggi. Pedangnya dikebutkan begitu cepat mengarah ke kepala
PendekarRajawali Sakti.
Wut!
"Haps...!"
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala Pendekar Rajawali Sakti bisa
menghindari serangan pedang Pranggala.Lalu cepat kakinya ditarik belakang
dua langkah. Namun pada saat yang bersamaan, Pranggala sudah memiringkan
tubuhnya sedikit ke kiri. Dan saat itu juga, kaki kanannya melayang deras
mengarahke dada.
"Haiiit..!"
Rangga agak terkejut juga mendapatkan serangan yang demikian cepat dan
beruntun ini. Maka cepat tubuhnya dimiringkan ke kiri, menghindari tendangan
menggeledek yang dilepaskan Pranggala. Lalu begitu cepat tangan kanannya
dihentakkan, tepat menghantam tulang kering kaki Pranggala yang menjulur
lurus, lewat di samping tubuhnya. Begitu cepat sekali sentakan tangan kanan
Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Pranggala tidak sempat lagi
menghindarinya. Dan....
Plak!
"Ikh...!"
Pranggala jadi terpekik kecil. Cepat-cepat kakinya ditarik, dan melompat ke
belakang. Untung saja Rangga tidak mengerahkan tenaga dalam pada pukulannya.
Sehingga, Pranggala hanya meringis sedikit merasakan nyeri pada tulang
kakinya.
Pranggala tadi memang terlalu menganggap enteng pemuda berbaju rompi putih
ini, hingga sempat kecolongan. Dan untung saja pukulan Pendekar Rajawali
Sakti barusan tidak disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga tulang
kakinya tidak sampai remuk. Saat itu juga, Pranggala cepat menyadari kalau
lawan yang dihadapinya sekarang ini tidak seperti lawan-lawannya terdahulu.
Nyatanya, pemuda berbaju rompi putih itu memiliki kemampuan tinggi. Ini bisa
dilihat dari gerakannya yang begitu cepat, saat menghindari serangannya
tadi. Bahkan Pranggala sama sekali tidak bisa melihat gerakan tangan pemuda
berbaju rompi putih itu, yang begitu cepat menghantam tulang kering kaki
kanannya tadi.
"Phuih! Rupanya kau punya kepandaian juga, heh...?!" dengus Pranggala
seraya menyemburkan ludah dengan sengit.
Rangga hanya diam saja. Namun matanya terus memperhatikan gerakan kaki
Pranggala yang menggeser ke kanan menyusuri tanah. Sedangkan pedang pemuda
itu bergerak-gerak melintang di depan dada. Sementara, Pandan Wangi yang di
samping Ki Jalaksana tanpa berkedip memperhatikan kedua pemuda yang berdiri
saling berhadapan itu. Sedangkan Ki Jalaksana yang masih baring dengan wajah
semakin memucat beberapa kali terbatuk disertai semburan darah dari
mulutnya.
"Nisanak... Dengarkan aku.... Ugkh!"
Perhatian Pandan Wangi jadi beralih. Ditatapnya Ki Jalaksana yang berusaha
bangkit, tapi kembali roboh dan menggeletak di tanah. Darah kental berwarna
kehitaman menyembur dari mulutnya. Cepat-cepat Pandan Wangi mendekati, dan
berlutut di sampingnya.
"Nisanak dia bernama Pranggala. Dia sudah banyak membunuh orang. Tidak
sedikit pendekar tangguh mati di tangannya. Sebaiknya, cepatlah pergi. Dan
jangan berurusan dengannya. Kau akan mati, Nisanak..," kata Ki Jalaksana
terbata-bata.
"Siapa dia sebenarnya, Ki?" tanya Pandan Wangi.
Saat itu, pertarungan antara Pranggala dan Pendekar Rajawali Sakti sudah
berlangsung sengit. Tapi, Pandan Wangi tidak mempunyai kesempatan untuk
memperhatikan. Karena, perhatiannya kini tercurah penuh pada Ki Jalaksana
yang semakin memucat wajahnya. Bahkan tarikan napasnya juga sudah
tersendat-sendat. Beberapa kali Ki Jalaksa terbatuk dan menyemburkan darah
kental berwarna agak kehitaman.
"Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia dan dari mana asalnya. Tapi...,"
kata-kata Ki jalaksana terputus. Kembali laki-laki setengah baya itu
terbatuk beberapa kali dengan darah terus berhamburan dari mulutnya.
"Tapi kenapa, Ki?" tanya Pandan Wangi mendesak.
"Ki Tunggul Santak..."
"Siapa...?"
"Ki Tunggul Santak. Dialah yang menyediakan hadiah tiga ribu kepeng emas
untuk kepala anak itu.... Ugkh...!"
"Ki...."
Pandan Wangi mengguncang bahu Ki Jalaksana. Tapi, laki-laki berusia
setengah baya itu sudah mengejang, lalu terkulai tidak bernyawa lagi. Memang
sangat parah luka yang dideritanya. Pandan Wangi hanya bisa menarik napas
sedikit. Dan perhatiannya langsung beralih pada Dewi Manik. Bergegas
dihampirinya wanita itu. Tapi gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu
juga jadi terperanjat karena Dewi Manik juga sudah tidak bernyawa
lagi.
"Hm.... Aku harus segera memberi tahu Kakang Rangga. Aku yakin, pemuda itu
sangat berbahaya," gumam Pandan Wangi.
Lalu si Kipas Maut itu segera melangkah cepat menghampiri Rangga yang masih
bertarung sengit melawan Pranggala. Tapi ayunan kakinya jadi terhenti,
begitu melihat pertarungan kedua pemuda itu sepertinya tidak mungkin
dihentikan begitu saja. Bahkan kalau Pendekar Rajawali Sakti dipanggil, bisa
berbahaya akibatnya. Bisa-bisa pemuda berbaju rompi putih ini akan celaka.
Kini Panda Wangi jadi kebingungan sendiri, tidak tahu bagaimana cara
menghentikan pertarungan. Dan dia jadi berdiri mematung memperhatikan tanpa
berkedip sedikit pun juga.
Sementara pertarungan antara Pranggala melawan Pendekar Rajawali Sakti
terus berlangsung semakin sengit. Entah sudah berapa jurus berlalu tapi
tampaknya tidak akan cepat-cepat berakhir. Kini mereka sudah sama-sama
saling melontarkan serangan-serangan dahsyat yang sangat berbahaya. Sedikit
saja kelengahan, akan sangat berbahaya akibatnya.
Saat itu, terlihat Rangga melentingkan tubuhnya ke atas, hingga melewati
kepala lawannya. Dan dengan gerakan cepat sekali, tubuhnya menukik dengan
kedua kaki berputar cepat mengarah ke kepala Pranggala. Begitu cepatnya
gerakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikerahkan Pendekar
Rajawali Sakti, membuat Pranggala jadi tersentak.
"Haiiit..!"
Wut!
Tapi Pranggala bisa cepat menguasai keadaan. Maka bagai kilat pedangnya
dikebutkan ke atas kepala, hingga membuat Rangga terpaksa harus menarik
kakinya kembali. Dan saat itu juga, tubuhnya terbalik, hingga kepalanya
berada di bawah. Tepat di saat jangkauan tangannya berada di depan dada,
secepat kilat tangan kanannya dihentakkan, melepaskan satu pukulan keras
dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Yeaaah...!"
Begitu cepatnya gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Pranggala yang
baru saja bisa menghindari terjangan kakinya, jadi terbeliak kaget setengah
mati. Dan pemuda itu berusaha berkelit menghindarinya, tapi tanpa diduga
Rangga merangkum jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dengan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'. Akibatnya, tangannya bisa berputar begitu cepat
mengibas mengikuti gerakan tubuh Pranggala. Apalagi, gerakan Pendekar
Rajawali Sakti benar-benar tidak diduga. Hingga....
Diegkh!
"Akh...!"
Begitu keras kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Pranggala
terpental sampai sejauh dua batang tombak. Dan tubuhnya jatuh menghantam
tanah dengan keras, membuat pemuda itu kembali terpekik. Sementara, Rangga
sudah kembali berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan
dada.
"Phuih!"
Sambil menyemburkan ludah dengan sengit, Pranggala kembali bangkit berdiri.
Dadanya terasa begitu sesak. Dan napasnya juga jadi tersengal, bagai ada
sebongkah batu yang mengganjal rongga dadanya. Sedikit kepalanya menggeleng,
mencoba mengusir rasa pening di kepala, yang membuat pandangannya jadi
berkunang-kunang.
"Belum pernah ada seorang pun yang membuatku jatuh. Hhh!" Bisik dalam hati
Pranggala.
Sorot mata Pranggala terlihat begitu tajam menusuk langsung ke bola mata
Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di
depan dada, sejauh dua batang tombak.
"Kepandaianmu luar biasa, Kisanak. Tapi sayang, aku tidak ada waktu untuk
terus meladenimu. Masih ada urusanku yang belum selesai. Kelak, akan bertemu
lagi," kata Pranggala masih dengar suara yang terdengar dingin.
"Hm...."
Rangga hanya menggumam sedikit saja, melihat Pranggala memutar tubuhnya.
Dan dengar kecepatan bagai kilat, pemuda itu melesat pergi. Begitu tinggi
tingkat ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga dalam sekejap saja, bayangan
tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara Rangga masih tetap
berdiri tegak memandang ke arah lenyapnya Pranggala.
Pendekar Rajawali Sakti baru memutar tubuhnya, begitu mendengar suara
langkah-langkah kaki yang begitu ringan menghampiri. Ternyata itu langkah
Pandan Wangi. Gadis itu berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga
langkah lagi di depan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Kenapa dia kau biarkan pergi, Kakang? Padahal, kau bisa saja membunuhnya
tadi," kata Pandan Wangi langsung, seperti menyesali sikap Rangga yang
membiarkan Pranggala pergi begitu saja.
"Tidak ada alasan untuk membunuhnya, Pandan," sahut Rangga kalem.
"Tidak ada alasan katamu...?" Pandan Wangi jadi mendelik. "Lihat
mayat-mayat ini! Dialah yang membantainya, Kakang. Apa alasan itu belum
cukup...?"
"Aku tidak tahu siapa mereka semua, Pandan."
"Aku tahu," selak Pandan Wangi cepat.
Kening Rangga jadi berkerut. Dipandanginya wajah cantik itu dalam-dalam.
Dan yang dipandangi malah membalasnya dengan sorot mata tajam. Untuk
beberapa saat, mereka terdiam saling berpandangan.
"Kalau pemuda tadi namanya Pranggala. Sudah banyak yang mati di tangannya.
Bahkan tidak sedikit pendekar yang mati. Dan mereka ini...," Pandan Wangi
penunjuk mayat-mayat yang bergelimpangan termasuk mayat Dewi Manik dan Ki
Jalaksana. "Mereka semua hendak menangkap pemuda itu, Kakang."
"Dari mana kau tahu semua itu, Pandan?" tanya Rangga agak heran juga.
"Laki-laki itu yang mengatakannya padaku sebelum dia mati," sahut Pandan
Wangi seraya menunjuk mayat Ki Jalaksana.
Rangga hanya melirik saja sedikit. Walaupun tidak memeriksa, dia juga sudah
tahu kalau orang yang ditunjuk Pandan Wangi sudah tidak bernyawa lagi.
"Juga wanita itu, Kakang. Sebelum meninggal, dia sempat mengatakan kalau
Pranggala itu iblis pembunuh yang harus dilenyapkan. Bahkan akan membunuh
siapa saja yang dijumpainya. Apalagi, kepandaiannya juga sangat tinggi.
Begitu berbahayanya, sampai-sampai Ki Tunggul Santak mengeluarkan hadiah
tiga ribu kepeng emas untuk kepalanya," sambung Pandan Wangi, menjelaskan
lagi.
"Siapa itu Ki Tunggul Santak?" tanya Rangga jadi semakin heran.
"Aku sendiri tidak tahu. Mereka tidak sempat mengatakan lebih jelas lagi.
Luka yang mereka derita sangat parah, Kakang. Dan aku tidak bisa lagi
menolong," sahut Pandan Wangi. "Tapi wanita itu sempat mengatakan, jika kita
mau bertemu Ki Tunggul Santak, tempat tinggalnya tidak jauh dari sini. Dan
katanya lagi, sekarang Ki Tunggul Santak sedang berada di sekitar Desa Salak
Rejeng. Hanya saja tepatnya tidak tahu."
"Desa Salak Rejeng ada di kaki Gunung Puting ini," terdengar bergumam suara
Rangga.
"Sebaiknya, kita ke sana saja, Kakang," kata Pandan Wangi cepat memberi
saran.
"Untuk apa?" tanya Rangga.
"Mencari tahu, siapa sebenarnya Pranggala itu. Kalau memang sangat
berbahaya, rasanya tidak mungkin kita berdiam diri saja, Kakang. Dan kalau
kupikir, mustahil Ki Tunggul Santak sudi mengeluarkan hadiah begitu besar
untuk kepala Pranggala. Jadi jelas, pemuda itu memang berbahaya," kata
Pandan Wangi lagi.
Rangga jadi terdiam merenung. Kakinya lalu terayun menghampiri dua ekor
kuda yang berada tidak seberapa jauh dari tempat mereka berdua berdiri.
Pandan Wangi memandangi sebentar, lalu bergegas menyusul. Mereka memegangi
tali kekang kuda masing-masing, tapi belum juga beranjak pergi dari tempat
ini. Sementara angin yang bertiup perlahan, mulai menyebarkan bau anyir
darah yang mengalir dari tubuh-tubuh bergelimpangan tak bernyawa lagi di
sekitar tempat ini. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti merayapi tubuh-tubuh
yang bergelimpangan saling tumpang tindih itu.
"Hup!"
Dengan gerakan ringan dan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat
naik ke punggung kuda hitamnya yang dikenal bernama Dewa Bayu. Pandan Wangi
bergegas mengikuti, naik ke punggung kuda putih tunggangannya. Tapi, mereka
belum juga menggebahnya. Entah apa yang ada dalam benak Rangga, hingga
seperti merenung memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan menyebarkan bau
anyir darah.
"Tidak lama lagi malam akan tiba, Kakang. Kau mau bermalam di sini?" Pandan
Wangi mengingatkan.
"Hanya Desa Salak Rejeng yang terdekat dari sini, Pandan," kata Rangga
pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Tidak ada salahnya kita ke sana, Kakang."
Rangga hanya tersenyum saja sedikit, kemudian mendecak. Tali kekang kudanya
segera dihentakkan. Maka kuda hitam bernama Dewa Bayu itu melangkah
perlahan-lahan. Sementara Pandan Wangi mengikuti dari samping kiri Pendekar
Rajawali Sakti. Mereka terus menjalankan kuda perlahan-lahan, meninggalkan
tubuh-tubuh yang bergelimpangan saling tumpang tindih tidak bernyawa
lagi.
Saat itu, matahari memang sudah condong ke arah barat. Cahayanya tidak lagi
terik. Dan angin yang bertiup sudah mulai terasa dingin. Kedua pendekar muda
dari Karang Setra itu terus menjalankan kuda perlahan-lahan menuju Desa
Salak Rejeng yang tidak jauh lagi jaraknya.
***
ENAM
Tidak terlalu sulit untuk mencari tempat tinggal Ki Tunggul Santak. Dengan
pengumuman hadiah tiga ribu kepeng emas bagi siapa saja yang berhasil
membawa kepala Pranggala kepadanya yang disebarkan, semua orang di Desa
Salak Rejeng ini sudah mengenal Ki Tunggul Santak. Bahkan hanya sekali saja
Rangga bertanya, maka orang yang ditanya langsung mengantarkan sampai ke
depan rumahnya.
Rumah Ki Tunggul Santak memang tidak begitu besar, tapi memiliki halaman
cukup luas. Dan sebenarnya rumah itu hanya disewa Ki Tunggul Santak, selama
belum ada seorang pun yang mampu membawa kepala Pranggala padanya. Bukan
hanya Rangga saja yang merasa heran, karena rumah itu dijaga ketat puluhan
anak-anak muda bersenjata pedang dan golok. Tapi, Pandan Wangi juga jadi
bertanya-tanya sendiri dalam hati. Entah dari mana Ki Tunggul Santak bisa
mengumpulkan mereka. Padahal, muridnya sendiri sudah tinggal sedikit. Tapi
sekarang, rumah sewa yang kini menjadi tempat tinggal sementara dijaga
ketat. Entah berapa puluh orang yang menjaga di sekeliling rumah itu.
Rangga langsung melompat turun dari punggung kudanya, begitu tiba di depan
pintu pagar bambu yang mengelilingi rumah kecil dan sederhana bentuknya itu.
Terlihat tiga orang anak muda yang semuanya menyandang pedang di pinggang
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Pandan Wangi juga segera turun dari
punggung kudanya. Mereka menunggu tiga orang murid Ki Tunggul Santak itu
sampai dekat.
"Maaf, apakah ini tempat tinggal Ki Tunggul Santak?" tanya Rangga langsung,
setelah memberi salam.
"Benar," sahut salah seorang anak muda itu. "Kalian siapa, dan apa
keperluannya hingga ingin bertemu Ki Tunggul...?"
"Kami hanya dua orang pengembara, yang mendengar kalau Ki Tunggul Santak
menyediakan hadiah besar bagi siapa saja yang bisa membawa kepala Pranggala.
Kami berdua merasa tertarik, dan ingin meminta keterangan sebelum mencari
orang yang kepalanya disayembarakan itu," sahut Rangga beralasan.
"Ikut aku," kata pemuda itu lagi, seraya berbalik.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk, lalu melangkah mengikuti. Sementara
Pandan Wangi juga ikut melangkah di samping kanannya. Tapi begitu mereka
sampai di tengah halaman, dua orang pemuda mencegatnya.
"Biar kami yang mengurus kuda-kuda kalian," pinta salah seorang.
Rangga tersenyum, lalu menyerahkan tali kekang kudanya pada salah seorang
dari mereka. Pandan Wangi juga menyerahkan kudanya. Kinimereka kembali
melangkah mengikuti pemuda yang sejak tadi terus berjalan di depan. Kemudian
pendekar muda dari Karang Setra itu kemudian disuruh menunggu, setelah tiba
di beranda depan rumah yang kecil dan sederhana ini. Sementara, pemuda yang
membawanya sudah menghilang ke dalam. Tapi tidak berapa lama, dia muncul
lagi bersama seorang laki-laki tua berjubah putih bersih, dengan sebilah
pedang tergenggam di tangan kiri. Sarung pedang itu terlihat indah berwarna
hitam yang berkilat.
"Silakan duduk," ucap laki-laki tua yang tidak lain Ki Tunggul Santak,
dengan senyum ramah tersungging di bibirnya.
"Terima kasih," ucap Rangga.
Mereka bertiga kemudian duduk di lantai beranda depan yang beralaskan
selembar tikar lusuh. Sementara, anak muda yang mengantarkan kedua pendekar
itu sudah menghilang lagi entah ke mana.
"Kudengar kalian ingin bertemu denganku...?" tanya Ki Tunggul Santak masih
ramah sikapnya.
"Benar," sahut Rangga. "Kami ingin bertemu orang yang bernama Ki Tunggul
Santak."
"Akulah Ki Tunggul Santak."
"Ooo...."
"Dan kalian dua orang pendekar yang ingin mengadu nasib?" tanya Ki Tunggul
Santak ingin memastikan.
"Benar, Ki," sahut Rangga lagi seraya mengangguk sedikit.
"Ketahuilah. Orang yang akan kalian kejar memiliki kepandaian tinggi sekali
dan sukar ditandingi. Sudah banyak pendekar seperti kalian, baik muda maupun
tua yang mencoba mengadu nasib. Tapi sampai sekarang, yang kudengar hanya
kematian mereka saja. Tidak seorang pun yang sanggup menandingi kesaktian
Pranggala. Maaf, bukannya ingin menggentarkan dan menghilangkan semangat
kalian berdua. Paling tidak kalian harus siap, kalau orang yang akan
dihadapi tidak sembarangan," kata Ki Tunggul Santak langsung
menjelaskan.
"Kami tahu, Ki," ujar Rangga kembali tersenyum sedikit.
"Ya, aku percaya. Kalian pasti sudah mendengar banyak dari orang-orang. Aku
memang menyebar pengumuman itu, tidak hanya di Desa Salak Rejeng ini. Tapi
di seluruh desa yang ada di sekitar kaki Gunung Puting ini."
"Mudah-mudahan nasib kami baik, Ki," Ujar Rangga.
"Bukan hanya pada kalian berdua saja. Setiap orang yang datang ke sini,
selalu kuharapkan bisa datang kembali dengan membawa berita menggembirakan.
Tapi sampai sekarang, tidak ada seorang pun yang bisa membawa kepala
Pranggala kesini," kata Ki Tunggul Santak.
Rangga hanya diam saja. Bisa dirasakan adanya keputusasaan dalam nada suara
laki-laki tua ini. Sedangkan Pandan Wangi sejak tadi hanya diam saja
mendengarkan semua percakapan itu, tanpa sedikit pun menyelak. Juga bisa
dirasakannya kalau kata-kata Ki Tunggul Santak tadi memang mengandung nada
keputusasaan. Tapi diam-diam, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Pandan
Wangi. Hanya saja gadis itu seperti tidak mau mengutarakannya. Dan hanya
lirikan matanya saja yang beberapa kali hinggap di wajah Pendekar Rajawali
Sakti.
Kesempatan Pandan Wangi untuk mengutarkan ganjalan yang ada dalam hatinya,
memang terbuka juga. Itu terjadi setelah dia dan Rangga meninggalkan rumah
yang disewa Ki Tunggul Santak. Mereka tidak menunggang kuda keluar dari
halaman rumah yang dijaga sangat ketat itu. Dan kuda-kuda itu hanya
dituntun, mengikuti dari belakang. Kedua pendekar muda dari Karang Setra ini
berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah Desa
Salak Rejeng ini.
"Kakang, apa kau tidak merasakan adanya kelainan pada Ki Tunggul Santak?"
Pandan Wangi baru membuka suara setelah berada cukup jauh dari rumah yang
disewa Ki Tunggul Santak.
"Maksudmu...?" tanya Rangga meminta penjelasan.
"Aku merasakan ada sesuatu yang tersembunyi dalam suaranya," sahut Pandan
Wangi, terdengar agak ragu-ragu.
Rangga langsung menghentikan ayunan langkahnya, dan kontan menatap gadis di
sebelahnya dalam-dalam. Dan yang dipandangi balas menatap dengan sorot mata
begitu sukar diartikan.
"Kau memperhatikannya juga, Pandan...?" ujar Rangga bernada bertanya.
"Ya. Dia seperti putus asa, Kakang," sahut Pandan Wangi.
"Hm.... Kalau itu, aku juga merasakannya sejak pertama kali bertemu," kata
Rangga sedikit menggumam.
"Tapi ada sesuatu yang sejak tadi menjadi beban pikiranku, Kakang," tambah
Pandan Wangi, kembali terdengar agak ragu-ragu.
Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Kembali kakinya melangkah
perlahan-lahan. Sementara, Pandan Wangi mengikuti disebelah kirinya.
"Rasanya sukar dipercaya kalau tidak ada sesuatu antara Pranggala dengan
dia, sehingga Ki Tunggul Santak sampai mau menyediakan hadiah begitu besar
hanya untuk sebuah kepala saja. Sedangkan kita, tidak tahu pasti
permasalahannya sampai Pranggala menjadi buruan dan berharga begitu tinggi,"
papar Pandan Wangi, mulai mengemukakan ganjalan hatinya. Tapi Rangga masih
tetap saja diam mende-ngarkan.
"Semua orang yang ada di desa ini tidak ada yang tahu, siapa Pranggala dan
Ki Tunggul Santak itu. Mereka juga baru tahu setelah kedua orang itu ada di
desa ini, Kakang. Dan mereka secara bersamaan muncul di sini, dengan membawa
persoalan yang tidak bisa dipandang ringan. Sudah banyak nyawa yang
melayang, tanpa ada seorang pun yang mengetahui permasalahannya. Bahkan
mereka yang tergiur oleh hadiah itu, juga tidak tahu persoalannya.
Sampai-sampai rela mengantarkan nyawa sia-sia. Aku merasa ada sesuatu yang
tersembunyi dibalik semua peristiwa ini, Kakang. Kalau kita mengikuti arus,
itu berarti harus menyusuri jejak-jejak setan yang tidak akan terlihat.
Bahkan tidak tahu, di mana akhir perjalanannya," panjang lebar Pandan Wangi
mengutarakan beban yang sejak tadi mengganjal hatinya.
"Hm...," tapi Rangga hanya menggumam sedikit saja.
Namun kening Pendekar Rajawali Sakti terlihat berkerut. Seakan-akan ada
sesuatu yang tengah dipikirkannya. Sesuatu yang sulit dikemukakan, walaupun
sorot matanya begitu jauh memandang ke depan. Pandan Wangi sendiri melangkah
dengan pandangan lurus ke depan, seakan-akan juga tengah memikirkan sesuatu.
Dan mereka jadi terdiam membisu, dengan pikiran terus menggantung di dalam
benak masing-masing. Hingga mereka sampai di perbatasan desa, belum juga ada
yang bicara.
Namun ayunan langkah mereka tiba-tiba jadi terhenti, begitu di depan tampak
berdiri menghadang seorang pemuda yang hampir sebaya dengan Pendekar
Rajawali Sakti, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Baju warna merah
muda yang dikenakannya sangat ketat sehingga otot-ototnya tampak
bersembulan, membuat tubuhnya kelihatan tegap dan berisi. Dan sorot matanya
terlihat seperti kosong, menatap lurus ke depan. Seakan-akan, kehadiran
kedua pendekar yang berdiri sekitar dua batang tombak di depannya tidak
diperhatikannya. Bukan hanya Pandan Wangi saja yang langsung bisa mengenali.
Tapi, Rangga juga sudah langsung bisa mengetahui kalau pemuda yang
menghadang di depan adalah Pranggala.
"Sejak semula sudah kuduga, kalian berada sini pasti tergiur oleh hadiah
yang dijanjikan Ki Tunggul Santak. Hhh! Kalian akan mati sia-sia...! terasa
begitu dingin nada suara Pranggala.
"Kau salah sangka, Kisanak," bantah Rangga tegas.
"Kalau tidak, untuk apa menemui Ki Tunggul Santak?"
"Hanya ingin mencari kebenarannya saja, sahut Rangga.
"Kebenaran...? Hhh! Tidak ada lagi kebenaran di jagat ini, Kisanak.
Kebenaran sudah terlalu rapuh. Jadi, jangan harap bisa mendapatkannya,"
sinis sekali nada suara Pranggala.
"Kebenaran itu masih tetap ada, Kisanak. Walaupun aku tidak menyangkal,
kalau kebenaran memang sudah rapuh. Tapi paling tidak, sekecil apapun dari
segunung kesalahan, kebenaran pasti ada. Dan, sedikit kebenaran itulah yang
kini kuinginkan. Maka kau juga jangan mengira kalau aku tergiur tiga ribu
kepeng emas. Bagiku, hadiah sebesar itu tak ada artinya untuk nyawa orang.
Terlebih lagi untukmu, Kisanak. Kau yang memiliki kepandaian tinggi, tidak
seharusnya dihargai hanya tiga ribu kepeng emas untuk kepalamu."
"Kau bicara seolah-olah berada di pihakku, Kisanak Tapi, maaf. Aku tidak
akan pernah percaya pada siapa pun juga. Setiap kali aku mempercayai
seseorang, pasti orang itu selalu mengkhianatiku," masih terdengar sinis
nada suara Pranggala.
"Aku tidak akan memihak pada siapa pun juga. Terlebih lagi, mereka yang
suka membunuh orang-orang tidak berdosa."
"Kau membuatku bingung, Kisanak. Apa sebenarnya yang kau inginkan di sini,
heh...?!"
"Kebenaran."
"Huh! Aku tidak percaya pada kebenaran!"
"Kau boleh tidak percaya. Tapi kalau kau berada di pihak yang benar, pasti
akan merasakan arti kebenaran sesungguhnya walau hanya setitik debu."
Pranggala jadi tertegun mendengar kata-kata Rangga barusan. Memang diakui
di dalam hati, baru kali ini dia bertemu seseorang yang berpandangan begitu
luas. Bahkan begitu percaya akan adanya kebenaran, yang selama ini sudah
hampir dilupakan orang. Memang, sekarang ini sulit mencari kebenaran yang
kini bisa diputarbalikkan hanya dengan kekuatan harta. Harta memang bisa
membuat yang salah menjadi benar. Tapi, tidak demikian halnya Pendekar
Rajawali Sakti. Walaupun hanya setitik debu yang ada, dia tetap percaya
kalau kebenaran bisa diperolehnya.
"Kisanak, siapa namamu?" tanya Pranggala mulai terdengar berubah nada
suaranya.
"Rangga. Dan ini adikku. Namanya, Pandan Wangi," sahut Rangga
memperkenalkan diri, juga Pandan Wangi yang berada di sebelah kirinya.
"Kau pasti sudah tahu namaku," kata Pranggala.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Kau tahu, Rangga. Kenapa aku tidak memberi kesempatan hidup pada siapa
saja yang menjadi lawanku? Padahal, sebenarnya mereka sudah berapa kali
kubiarkan tetap hidup. Tapi mereka justru mencari kesempatan, dan menohokku
dari belakang. Kau mengerti maksudku, Rangga...?' ujar Pranggala.
"Ya, aku mengerti. Memang tidak enak menjadi orang buruan," sahut
Rangga.
"Seperti mereka yang pernah kau selamatkan nyawanya dari tanganku. Sudah
berapa kali mereka kuberi kesempatan hidup tapi tetap saja memburuku seperti
binatang buruan. Bahkan selalu mencuri kesempatan untuk membunuhku. Apakah
aku salah kalau tidak sudi lagi memberi kesempatan pada mereka yang ingin
membokongku...? Apa kau pikir tindakanku salah...? Lalu, di mana letak
kebenarannya, Rangga...?"
Mendapat pertanyaan yang beruntun begitu, Rangga jadi tidak bisa menjawab
langsung. Dia jadi tertegun juga, dan bingung memberi jawabannya. Memang
sulit dijawab pertanyaan Pranggala barusan. Karena memang antara kesalahan
dan kebenaran sekarang ini hanya dibatasi oleh benang yang amat tipis.
"Kalian berdua kubiarkan tetap hidup, karena baru sekali ini bertemu
denganku. Tapi kalau kalian berdua tetap ingin membunuhku dengan segala
cara, aku terpaksa membela diri. Dan kurasa, aku tidak salah kalau sampai
membunuh kalian berdua," kata Pranggala lagi.
Kata-kata yang diutarkan Pranggala, membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi
tertegun. Kedua pendekar muda itu tidak bisa lagi menyangkal kebenaran yang
diutarkan Pranggala barusan. Dan ini juga membuat mereka jadi bimbang.
Walaupun Pranggala sudah banyak membunuh orang yang dianggap tidak bersalah
dan tidak tahu apa-apa, tapi sikap dan penuturannya membuat kedua pendekar
itu jadi berpikir lain. Dan mereka merasa yakin kalau ada sesuatu yang
tersembunyi di balik semua peristiwa berdarah ini.
"Pranggala.... Hm.... Boleh aku memanggilmu begitu?" ujar Rangga.
"Kau bisa memanggilku apa saja, Rangga," sambut Pranggala.
"Boleh aku tahu, apa persoalanmu dengan KiTunggul Santak?" tanya Rangga
langsung.
"Kenapa kau tanyakan itu?" Pranggala malah balik bertanya.
"Kau keberatan...?"
Pranggala terdiam. Beberapa saat ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti
dalam-dalam, kemudian beralih pada Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja.
Sedikit ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Sementara
Rangga tetap menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi, yang membuat
Pranggala jadi terdiam dan merasa berat menjawabnya.
"Belum pernah ada yang menanyakan hal itu padaku. Biasanya, mereka yang
mencariku langsung menyerang tanpa bertanya lagi. Dan rupanya, mereka
menyerangku karena menginginkan tiga ribu kepeng emas yang dijanjikan Ki
Tunggul Santak," terdengar pelan sekali suara Pranggala.
Begitu pelannya, hampir tidak terdengar di telinga Rangga maupun Pandan
Wangi. Dari nada suaranya, jelas sekali terasa kalau ada sesuatu yang
bergolak dalam dada Pranggala.
"Kau punya persoalan pribadi dengan Ki Tunggul Santak?" tanya Pandan Wangi,
setelah semuanya terdiam cukup lama.
Pranggala tidak langsung menjawab. Malah dipandanginya Pandan Wangi
dalam-dalam. "Aku ingin membunuhnya," kata Pranggala pelan, namun terdengar
tegas nada suaranya.
"Kenapa?" tanya Pandan Wangi lagi.
Lagi-lagi Pranggala tidak langsung menjawab. Kembali dipandanginya si Kipas
Maut itu dalam-dalam. Seakan, pertanyaan Pandan Wangi barusan begitu
mengganjal relung hatinya. Sementara diam-diam, Rangga terus mengamati
pemuda itu dengan kelopak mata agak menyipit.
"Kalaupun kukatakan, kalian tidak akan bisa memahaminya. Ini persoalan
pribadi antara aku dengan Ki Tunggul Santak. Tapi, dia sudah melibatkan
orang lain. Bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa, terpaksa harus mati di
tanganku. Dan semua yang kulakukan hanya membela diri saja. Karena tentu
saja aku tidak sudi mati di tangan siapa pun juga, sebelum bisa memenggal
kepala Ki Tunggul Santak," tegas Pranggala.
"Mendekati Ki Tunggul Santak, tidak semudah seperti apa yang kau bayangkan,
Pranggala. Dia dikelilingi jago-jago persilatan undangannya. Bahkan kurasa,
kau tidak akan bisa mendekati tempat kediamannya," kata Rangga pelan, namun
terdengar sangat dalam nada suaranya.
"Aku tahu. Itu sebabnya, kenapa aku selalu bersabar mencari kesempatan baik
agar bisa berhadapan langsung dengannya," sambut Pranggala kalem.
"Kau berkepandaian sangat tinggi, Pranggala. Kalau kau menginginkan nyawa
Ki Tunggul Santak, kenapa tidak mengajukan tantangan dan bertarung secara
jujur saja...?" usul Pandan Wangi.
"Kau belum tahu siapa Ki Tunggul Santak itu Nisanak," terdengar agak sinis
nada suara Pranggala.
"Aku memang baru mengenalnya tadi. Dan kulihat dia sangat ramah, sopan,
berilmu tinggi dan tidak angkuh. Bahkan terlihat begitu merendah," kata
Pandan Wangi lagi.
"Kau terlalu mudah terbius oleh penampilan luarnya saja. Kalau sudah tahu
siapa dia yang sebenarnya, aku yakin kau tidak akan mau bertemu dengannya.
Bahkan mungkin juga akan berhasrat melenyapkannya dari muka bumi ini," kata
Pranggala dengan nada suara sinis lagi.
"Kau memandang Ki Tunggul Santak seperti seorang penjahat besar yang harus
dilenyapkan saja," ujar Pandan Wangi terus memancing.
Tapi, Pandan Wangi hanya terlihat tersenyum kecil saja. Perlahan tubuhnya
berbalik, lalu melangkah mendekati sebatang pohon yang cukup besar dan
berdaun rindang. Sementara Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan
beberapa saat. Mereka melihat Pranggala duduk bersila di bawah pohon yang
cukup rindang, melindungi dirinya dari sengatan teriknya mentari.
Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu melangkah menghampiri, kemudian
duduk bersila tidak jauh di depan Pranggala. Masih belum ada seorang pun
yang membuka suara. Mereka semua terdiam, sibuk dengan pikiran
masing-masing.
***
TUJUH
Entah sudah berapa lama Rangga dan Pandan Wangi berbicara dengan Pranggala.
Sampai matahari sudah tenggelam di balik peraduannya, ketiga anak muda itu
masih berada tidak jauh di luar perbatasan Desa Salak Rejeng. Dari semua
pembicaraan itu, Rangga kini sudah memahami persoalan yang sedang dihadapi
Pranggala. Walaupun, belum tuntas benar.
"Namamu sudah telanjur rusak, Pranggala. Memang, aku mengakui kalau kau
belum tentu bersalah. Dan mereka yang selama ini memburumu, merasakan
seperti tengah mengikuti jejak-jejak setan yang sangat sukar dilihat.
Demikian pula, Ki Tunggul Santak. Dia juga mengalami kesulitan untuk bisa
mengetahui keberadaanmu," kata Rangga perlahan.
"Aku bisa memahami, Rangga. Memang kedudukanku sekarang ini sangat sulit.
Semua orang sudah telanjur menyangka aku adalah pembunuh. Mereka memandangku
tidak lebih dari iblis haus darah. Tapi semua yang kulakukan hanya membela
diri saja. Dan semua ini karena ulah Ki Tunggul Santak. Itu sebabnya, kenapa
aku ingin membunuhnya. Tapi, rintangan yang kuhadapi terlalu besar. Begitu
banyak orang yang tergiur oleh hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak,"
terdengar pelan sekali suara Pranggala, seakan begitu menyesali semua yang
telah terjadi pada dirinya.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu," sahut Pranggala agak mendesah, sambil mengangkat
pundaknya sedikit.
"Kalau kau merasa tidak bersalah, kenapa tidak berusaha membersihkan diri?"
saran Pandan Wangi.
"Bagaimana caranya?" tanya Pranggala meminta pendapat.
Pandan Wangi tidak langsung bisa menjawab. Malah matanya melirik Rangga.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Dan sampai sekarang,
walaupun Pranggala sudah bercerita begitu banyak, tapi belum tahu juga
sebab-sebab pertentangannya dengan Ki Tunggul Santak.
"Pranggala! Boleh aku tahu, kenapa kau menginginkan kematian Ki Tunggul
Santak..? Juga, kenapa dia menginginkan kepalamu. Apa sebenarnya yang
terjadi diantara kalian berdua, sampai mengorbankan begitu banyak orang yang
tidak tahu apa-apa...?" tanya Rangga.
Pranggala tidak langsung menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.
Pemuda itu malah diam termenung, dengan pandangan tertuju lurus ke bola mata
pemuda berbaju rompi putih yang berada tepat di depannya. Seakan-akan, dari
sorot matanya memancarkan sesuatu yang sangat berat untuk diungkapkan.
Sementara, Rangga membalas pandangan mata itu dengan sinar mata tidak kalah
dalam. Ditunggunya jawaban dari pertanyaannya barusan.
"Hhh...!" Pranggala menghembuskan napas panjang-panjang. Terasa begitu
berat hembusan napasnya.
Sementara, Rangga masih tetap sabar menunggu, sambil memandangi pemuda itu
dengan sorot mata yang cukup dalam. Demikian pula Pandan Wangi yang hanya
membisu, seperti menunggu jawaban Pranggala atas pertanyaan Rangga
tadi.
"Sebenarnya, ini masalah pribadi antara aku dan Ki Tunggul Santak. Dan
rasanya orang lain tidak perlu ikut campur. Tapi kenyataannya, Ki Tunggul
Santak sendiri yang memulai, hingga orang lain ikut campur. Bahkan mereka
semua mengejar, memburuku seperti binatang. Aku sendiri tidak tahu, kenapa
bisa sampai sejauh ini persoalannya. Padahal, aku hanya menuntut tanggung
jawabnya saja. Dan, hanya nyawanya saja yang kuinginkan. Tapi karena dia
juga, terpaksa aku harus membunuh mereka yang sebenarnya tidak tahu
apa-apa," terdengar berat dan pelan sekali suara Pranggala.
"Tanggung jawab apa yang kau tuntut dari KiTunggul Santak, Pranggala?"
tanya Pandan Wangi, semakin ingin tahu.
"Hutang...," sahut Pranggala bernada terputus.
"Hutang apa?" desak Pandan Wangi lagi.
"Hutang nyawa."
Rangga dan Pandan Wangi jadi saling berpandangan. Mereka semakin tertarik
saja untuk mengetahui persoalan yang kini sedang dihadapi. Mereka merasa
kalau persoalan antara Pranggala dengan Ki Tunggul Santak semakin rumit. Dan
kerumitan inilah yang membuat mereka semakin ingin tahu.
Tapi kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah bisa membayangkan
kalau Pranggala menuntut nyawa Ki Tunggul Santak. Dan ini tentu saja hanya
sebuah persoalan balas dendam. Hanya tampaknya, Ki Tunggul Santak sudah
meluaskan persoalan balas dendam berdarah ini dengan mengikutsertakan
orang-orang luar yang tidak tahu apa-apa. Dan dia seolah-olah menjadikan
Pranggala sosok penjahat besar haus darah, yang harus dilenyapkan dari muka
bumi ini.
"Kalau kalian tahu, Ki Tunggul Santak sebenarnya bukan orang baik-baik. Dan
dia juga tidak pernah mempunyai sebuah padepokan silat. Dia sebenarnya
adalah seorang pemimpin gerombolan liar. Bersama murid-muridnya, desa
kelahiranku dihancurkannya. Semua penduduk dibunuh, dan harta bendanya
dirampas. Hanya aku sendiri yang masih bisa selamat. Aku lalu pergi dari
desa, mengembara sampai dipungut murid oleh seorang pertapa. Dan sekarang,
aku harus membalas kematian orangtuaku, saudara-saudaraku, dan seluruh
penduduk desaku yang dibunuh dengan kejam," dengan nada suara sendu,
Pranggala menceritakan awal persoalannya dengan Ki Tunggul Santak.
"Sudah berapa lama peristiwa itu terjadi?" tanya Pandan Wangi
"Lima belas tahun yang lalu. Waktu itu, aku masih berumur sebelas tahun.
Dan aku tidak pernah lupa wajah laki-laki yang membunuh ayahku dengan keji.
Memperkosa ibuku, lalu membakar mereka semua di dalam rumah. Rangga, apa aku
salah bila hendak membalas dendam yang sudah kusimpan selama lima belas
tahun ini...?" pandangan Pranggala tertuju lurus pada Pendekar Rajawali
Sakti yang sejak tadi diam saja mendengarkan.
"Sulit dikatakan, Pranggala. Balas dendam memang tidak akan ada yang bisa
menghalangi. Aku tidak bisa mengatakan, apakah kau benar atau salah.
Semuanya sudah terjadi. Pertumpahan darah sudah begitu banyak. Rasanya, aku
memang tidak akan mungkin bisa mencegah pertumpahan darah lebih banyak lagi.
Sedangkan, sekarang ini kau berada dalam kedudukan yang sangat sulit. Semua
orang sudah memandangmu sebagai pembunuh kejam yang haus darah," sahut
Rangga hati-hati.
"Terus terang, semua itu sebenarnya tidak kuinginkan, Rangga. Tapi setiap
kali kucoba untuk menjelaskan, mereka tidak pernah mau mengerti. Bahkan
malah ingin membunuhku. Apa yang kulakukan sekarang ini, hanya sekadar
membalas dari semua perbuatan mereka, Rangga. Aku sudah berkelana mencari
mereka yang dulu menghancurkan desaku. Satu persatu kudatangi, dan sekarang
tinggal Ki Tunggul Santak saja. Aku sendiri tidak bisa menghentikan
langkahku lagi, Rangga. Sudah tidak kupedulikan lagi kata-kata orang. Dan
ini sudah menjadi sumpahku. Setelah kepala Ki Tunggul Santak terpisah, aku
akan mengasingkan diri dari dunia persilatan. Aku akan mengikuti jejak
guruku, menjadi pertapa," kata Pranggala mantap.
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi kalau memang itu sudah menjadi
tekadmu, Pranggala. Tapi kalau boleh kusarankan, sebaiknya tantang langsung
Ki Tunggul Santak, agar tidak terjadi lagi pertumpahan darah," sahut Rangga
pelan.
"Kau bijaksana sekali, Rangga. Akan kugunakan saranmu. Aku tidak peduli
lagi dengan orang-orang di sekelilingnya, dan segala tipu dayanya. Aku
seperti telah mendapat semangat baru, setelah bertemu denganmu, Rangga.
Rasanya, memang ini jalan satu-satunya agar tidak banyak pertumpahan darah
lagi," sambut Pranggala, seraya tersenyum.
Sebentar pemuda itu memandangi Pendekar Rajawali Sakti, kemudian bangkit
berdiri sambil menghembuskan napas sedikit. Sedangkan Rangga dan Pandan
Wangi masih tetap duduk memandangi. Pranggala berdiri tegak dengan pandangan
lurus ke Desa Salak Rejeng tanpa berkedip sedikit pun. Saat itu, Rangga dan
Pandan Wangi sudah berdiri. Mereka berdiri di belakang pemuda yang selama
ini selalu menjadi momok menakutkan semua orang.
"Akan kudatangi dia sekarang juga," ujar Pranggala perlahan, dan agak
mendesis suaranya.
Setelah berkata demikian, dengan kecepatan bagai kilat Pranggala melesat
pergi tanpa berpaling lagi sedikit pun pada kedua pendekar muda yang berada
tepat di belakangnya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga
dalam waktu sebentar saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan.
"Kakang, kau tidak akan membantunya...?" ujar Pandan Wangi bertanya, seraya
berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tepat di sebelah
kanannya.
"Hhh...!" Rangga hanya menghembuskan napas panjang saja.
Tanpa bicara sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri
kudanya. Kemudian, dia melompat naik ke punggung kuda hitam yang dikenal
bernama Dewa Bayu. Sedangkan Pandan Wangi memandangi beberapa saat kemudian
bergegas menghampiri kuda putihnya yang berada tidak begitu jauh dari Dewa
Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
Sebentar kemudian, Pandan Wangi sudah berada di atas punggung kuda
putihnya. Mereka sebentar berpandangan, seperti hendak mengatakan sesuatu.
Tapi tanpa bicara lagi, mereka segera menggebah kudanya perlahan-lahan
meninggalkan tempat itu. Entah disadari atau tidak, mereka justru menuju
Desa Salak Rejeng. Sementara, saat itu matahari sudah mulai condong ke arah
barat Namun, sinarnya masih tetap terik dan menyengat kulit.
***
Sementara itu Pranggala sudah tiba di Desa Salak Rejeng. Keningnya agak
berkerut juga melihat keadaan desa yang begitu sunyi, seperti sudah
ditinggalkan penduduknya. Seorang pun tidak ada dijumpainya pada jalan yang
dilalui ini. Bahkan tidak terdengar sedikit pun suara-suara yang menandakan
adanya kehidupan. Hanya hembusan angin saja yang terdengar mengusik telinga.
Dan Pranggala terus melangkah mantap, membelah jalan desa yang berdebu
ini.
Sesekali pemuda berwajah cukup tampan bertubuh tegap dengan sebilah pedang
dalam warangka di genggaman tangan kirinya ini mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Tidak ada satu rumah pun yang pintunya terbuka. Seakan, seluruh
penduduk Desa Salak Rejeng ini sudah tahu akan kedatangannya. Dan mereka
tidak ada yang berani keluar. Tapi, Pranggala tampaknya tidak peduli melihat
keadaan desa yang sunyi ini. Kakinya terus melangkah perlahan-lahan, dengan
ayunan mantap.
Dan ayunan langkah kaki pemuda itu baru berhenti, setelah tiba di depan
sebuah rumah yang tidak begitu besar, namun berhalaman luas ini. Puluhan
orang bersenjata dari segala macam bentuk dan ukuran tampak berjaga-jaga di
sekitar itu. Mereka memandangi Pranggala yang berdiri tegak tidak jauh dari
pintu pagar yang terbuat dari bambu ini. Sedangkan Pranggala sendiri tetap
berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun. Sorot matanya begitu tajam,
lurus ke arah rumah itu.
"Ki Tunggul Santak..! Aku Pranggala datang hendak membuat perhitungan lama
denganmu...!'' lantang sekali suara Pranggala.
Begitu kerasnya suara Pranggala, sehingga menggema sampai ke seluruh
pelosok Desa Salak Rejeng ini. Dari suaranya saja, sudah bisa dipastikan
kalau tenaga dalam yang dimiliki pemuda ini sudah sangat tinggi
tingkatannya. Karena jelas kalau suara itu dikerahkan dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi dan penuh.
Teriakan Pranggala yang lantang menggelegar dan disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi, mengejutkan semua orang yang ada di sekitar halaman rumah ini.
Bahkan Ki Tunggul Santak yang berada didalam rumah juga jadi terkejut
setengah mati. Bergegas laki-laki tua itu melangkah ke luar. Dan
keterkejutannya semakin bertambah, begitu melihat Pranggala berdiri tegak di
depan pintu pagar halaman rumah yang disewanya ini.
"Phuih! Akhirnya muncul juga bocah setan itu...!" dengus Ki Tunggul Santak
sambil menyemburkan ludahnya dengan sengit.
Ki Tunggul Santak bergegas melangkah menghampiri pemuda ini, diikuti semua
orang bayaran dan para pengikutnya. Dia baru berhenti melangkah, setelah
sampai di depan pintu pagar yang terbuat dari belahan bambu itu. Sementara,
mereka yang mengikuti Ki Tunggul Santak segera menyebar, mengepung Pranggala
tanpa diperintah lagi.
Sret!
Cring!
Pranggala hanya melirik sedikit saja, begitu melihat orang-orang yang
mengepungnya sudah langsung menghunus senjata. Sementara, Ki Tunggul Santak
masih tetap berdiri tegak. Dan gagang pedangnya yang tergantung di pinggang
segera digeser sedikit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, penuh kebencian
mengarah langsung ke bola mata Pranggala.
"Rupanya kau sudah bosan jadi binatang buruan, Pranggala. Dan sekarang, kau
datang menyerahkan nyawamu," terasa begitu dingin nada suara Ki Tunggul
Santak.
"Justru kedatanganku ingin memenggal kepalamu, Ular Busuk!" sambut
Pranggala, tidak kalah dingin.
"Phuih!" Ki Tunggul Santak menyemburkan ludahnya dengan sengit.
Laki-laki tua itu memandangi para pengikut yang sudah mengepung pemuda
musuh bebuyutannya itu. Tidak kurang dari lima puluh orang sudah siap dengan
senjata terhunus. Dan kepandaian mereka semua sudah cukup tinggi. Sebagian
adalah para pengikut setianya, dan sebagian lagi orang-orang bayarannya. Ki
Tunggul Santak jadi tersenyum tipis melihat kekuatan yang dimilikinya.
Dengan lima puluh orang berkepandaian tinggi, mustahil bagi Pranggala untuk
bisa mempertahankan selembar nyawanya.
"He he he...!" Ki Tunggul Santak jadi terkekeh.
Namun belum juga hilang suara tawanya, mendadak saja Pranggala sudah
mengebutkan tangan kanannya ke depan dengan kecepatan bagai kilat. Begitu
cepat kebutan tangannya, hingga tidak ada seorang pun yang sempat menyadari.
Dan seketika itu juga, dari telapak tangan Pranggala meluncur dua bilah
pisau kecil yang memancarkan cahaya keperakan. Kedua pisau itu meluruk deras
ke arah dada Ki Tunggul Santak.
"Heh...?! Hap!"
Ki Tunggul Santak jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia
melompat ke belakang, sambil memutar tubuhnya menghindari sambaran dua bilah
pisau kecil yang dilontarkan Pranggala cepat bagai kilat. Maka kedua pisau
bercahaya keperakan itu meluncur lewat sedikit saja di depan dada Ki Tunggul
Santak yang berputaran di udara.
"Hap!"
Begitu kedua kaki orang tua ini menjejak tanah, saat itu juga Pranggala
sudah melesat bagai kilat menerjang, sambil mencabut pedang yang sejak tadi
tergenggam ditangan kanan. Bagaikan kilat pula, pedangnya dibabatkan ke arah
leher Ki Tunggul Santak.
"Hiyaaat...!"
Wut!
"Haiiit..!"
Ki Tunggul Santak cepat-cepat mengegoskan kepalanya ke kanan, hingga ujung
pedang Pranggala lewat sedikit saja di depan tenggorokan. Namun belum juga
bisa menyeimbangkan tubuhnya, Pranggala sudah memberi satu tendangan keras
yang begitu cepat menggeledek, sambil melompat ke arah dada orang tua
ini.
"Jebol dadamu! Yeaaah...!"
"Ikh...!"
Ki Tunggul Santak jadi terbeliak. Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah,
dan bergulingan beberapa kali menghindari tendangan Pranggala yang begitu
dahsyat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hap!"
Dengan gerakan manis sekali, Ki Tunggul Santak melesat bangkit berdiri.
Sementara, Pranggala sudah kembali berdiri tegak dengan pedang tersilang di
depan dada. Saat itu, Ki Tunggul Santak memandangi dengan sorot mata tidak
percaya, kalau anak muda yang dulu hampir mati di tangannya ini, sekarang
memiliki kepandaian dahsyat. Pantas saja orang-orang yang tergiur hadiah
yang dijanjikan Ki Tunggul Santak, sampai sekarang tidak ada yang bisa
membawa kepala Pranggala padanya.
"Cabut pedangmu, Ki Tunggul Santak! Aku pantang membunuh orang tanpa
senjata di tangan," ujar Pranggala dingin menggetarkan.
"Phuih!" Ki Tunggul Santak hanya menyemburkan ludahnya saja dengan
sengit.
Perlahan orang tua yang berbaju jubah putih panjang dan longgar bagai
pertapa itu menggeser kakinya ke kanan. Namun sorot matanya masih begitu
tajam, menusuk langsung ke bola mata Pranggala.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Ki Tunggul Santak melesat cepat bagai
kilat menerjang Pranggala. Satu tendangan keras yang menggeledek langsung
dilepaskan ke kepala pemuda ini.
"Haps!"
Namun hanya sedikit saja Pranggala mengegos, tendangan dahsyat menggeledek
yang dilepaskan Ki Tunggul Santak dapat dihindari. Bahkan tanpa diduga sama
sekali, Pranggala melepaskan satu sodokan tangan yang begitu cepat, dan
tepat mengarah ke lambung orang tua berjubah putih bersih ini. Begitu cepat
sodokannya sehingga....
"Ikh...!"
Ki Tunggul Santak jadi terpekik kaget setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya
melenting setengah berputar ke belakang, menghindari sodokan tangan
Pranggala. Namun begitu kakinya baru menjejak tanah kembali, Pranggala sudah
melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke
arah dada.
"Haiiit..!"
Dan begitu Ki Tunggul Santak bisa menghindari pukulan tangan kiri, tanpa
diduga sama sekali Pranggala memutar arah pukulan tangan kirinya. Lalu
begitu cepat tangan kirinya itu dihentakkan.
Bet!
Plak!
"Akh...!"
Ki Tunggul Santak yang sama sekali tidak menduga kalau Pranggala bisa
memutar tangannya begitu cepat sambil menyerang, tidak dapat lagi berkelit
menghindar. Maka sentakan tangan pemuda itu tepat menghantam dadanya. Begitu
keras sentakan tangan Pranggala, sampai Ki Tunggul Santak terhuyung ke
belakang sejauh enam langkah.
"Setan keparat! Phuih...!"
"Serang! Bunuh bocah keparat itu...!" teriak Ki Tunggul Santak keras
menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa diperintah dua kali, mereka yang memang sejak tadi sudah siap dengan
kepungannya, langsung saja berlompatan menyerang pemuda ini dari segala
arah. Saat itu, Pranggala jadi terkesiap juga melihat arus serangan yang
begitu deras datang dari segala penjuru mata angin di sekelilingnya.
"Hup! Hiyaaat..!"
Cepat-cepat Pranggala melenting ke udara. Namun pada saat itu juga, puluhan
batang anak panah sudah berhamburan ke arahnya. Akibatnya, pemuda itu
terpaksa harus berjumpalitan di udara, dan kembali meluruk turun. Tapi
begitu kakinya menjejak tanah, satu sambaran golok yang berukuran sangat
besar sudah melayang ke arah kepala dari belakang.
Wusss!
"Ups!"
Sambaran angin tebasan golok itu sempat juga mengejutkan Pranggala. Namun
kepalanya lebih cepat lagi merunduk, hingga tebasan golok itu lewat sedikit
diatasnya. Dan saat itu juga, Pranggala menghentakkan kakinya ke
belakang.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat sentakan kaki Pranggala, hingga....
Dugkh!
"Akh...!"
Satu pekikan keras tertahan seketika itu juga terdengar. Tampak penyerang
yang berada di belakangnya terpental jauh ke belakang, dengan darah muncrat
dari mulutnya. Tendangan ke belakang yang dilepaskan Pranggala memang sangat
kuat, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Akibatnya, orang itu
langsung ambruk menggelepar dengan darah mengalir dari mulutnya. Dan hanya
sebentar saja tubuhnya masih bisa menggeliat, kemudian diam tidak
bergerak-gerak lagi. Mati! Sementara darah masih terus mengalir dari lubang
mulut dan hidungnya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sementara, Pranggala terus berlompatan cepat sambil mengibaskan pedang
secara berputaran. Begitu cepat gerakan-gerakannya, hingga anak buah Ki
Tunggul Santak tidak dapat lagi membaca setiap arah gerakan pedang pemuda
itu. Dan sebentar saja, sudah terdengar jeritan-jeritan panjang melengking
tinggi yang saling susul.
Dan kini, tubuh-tubuh tak bernyawa berlumuran darah pun sudah mulai
terlihat bergelimpangan di sekitar pertarungan. Sementara itu, Ki Tunggul
Santak semakin geram saja melihat orang-orangnya seakan tidak sanggup lagi
menghadapi anak muda ini.
"Bocah setan! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
Sambil memaki dengan kemarahan meluap dalam dada, Ki Tunggul Santak cepat
melesat menyerang Pranggala. Terjunnya Ki Tunggul Santak, yang rupanya
membangkitkan semangat orang-orangnya. Maka, mereka semakin gencar saja
menyerang. Sedangkan Ki Tunggul Santak bergerak begitu cepat mematahkan
setiap serangan balasan yang dilancarkan Pranggala.
***
DELAPAN
Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, keadaan jadi terbalik. Pranggala
sudah kelihatan begitu kewalahan menghadapi serangan-serangan beruntun yang
datang dari segala arah ini. Bahkan dalam waktu tidak begitu lama, entah
sudah berapa kali pukulan dan tendangan mendarat di tubuhnya. Akibatnya
keadaan pemuda itu jadi semakin mencemaskan. Namun di saat Pranggala
benar-benar hampir tidak memiliki daya lagi, mendadak saja....
"Akh!"
"Aaa...!"
Tiba-tiba dari arah belakang kepungan, terdengar jeritan-jeritan panjang
melengking tinggi yang saling sambut. Dan jeritan itu tentu saja membuat
mereka yang sedang bertarung jadi terperanjat setengah mati. Sementara, Ki
Tunggul Santak yang juga mendengar jeritan itu cepat-cepat melompat ke
belakang sejauh setengah batang tombak, meninggalkan Pranggala yang terus
sibuk menghindari setiap serangan yang datang dari sekelilingnya.
"Heh...?!"
Kedua bola mata Ki Tunggul Santak jadi terbeliak lebar, begitu melihat dua
anak muda tengah mengamuk menghajar para pengikutnya. Dan tampaknya, kedua
anak muda itu tidak akan dapat ditandingi. Dalam waktu tidak berapa lama
saja, sudah lebih dari lima belas orang yang dijatuhkan.
"Phuih...!" Ki Tunggul Santak menyemburkan ludahnya dengan sengit.
"Hiyaaat..!"
Ki Tunggul Santak memang tidak dapat lagi menahan kegeramannya. Terlebih
lagi, setelah mengetahui siapa dua orang yang menyerang anak buahnya, hingga
jadi berantakan begitu. Mereka memang Rangga dan Pandan Wangi!
"Mampus kau! Yeaaah...!"
Cring!
Bet!
Secepat kilat Ki Tunggul Santak mencabut pedangnya yang sejak tadi
tergantung di pinggang. Dan dengan kecepatan bagai kilat, pedangnya
dibabatkan tepat ke leher Rangga.
"Haps...!"
Namun hanya sedikit saja Pendekar Rajawali Sakti mengegoskan kepala, maka
tebasan Ki Tunggul Santak tidak sampai mengenai sasaran. Dan saat itu juga,
Rangga menarik kakinya ke belakang. Tapi pada saat itu juga, satu tebasan
golok meluncur cepat ke arah punggungnya.
"Yeaaah...!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti membungkukkan tubuhnya. Lalu, langsung
dilepaskannya satu tendangan keras ke belakang. Begitu cepat tendangannya,
sehingga orang yang membokongnya dari belakang tidak dapat lagi menghindar.
Dan....
Des!
"Akh...!"
"Hup! Hiyaaa...!"
Rangga tidak sempat lagi memperhatikan pembokongnya yang terpental balik ke
belakang, karena harus cepat melesat ke atas. Memang, pada saat itu tebasan
pedang Ki Tunggul Santak berkelebat begitu cepat mengarah ke kakinya. Dan
mata pedang Ki Tunggul Santak yang berkilatan tertimpa cahaya matahari itu
lewat sedikit saja di bawah telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti.
Saat berada di udara itu, Rangga cepat memutar tubuhnya. Dan kedua
tangannya langsung terentang lebar ke samping, kemudian bergerak cepat.
Sehingga, Ki Tunggul Santak jadi terbeliak lebar, terkejut setengah mati.
Dan...
Plak!
"Akh...!"
Ki Tunggul Santak jadi terpekik begitu kibasan tangan Rangga berhasil
menghantam kepalanya. Seketika itu juga, darah mengucur deras dari bagian
atas telinga orang tua ini. Memang keras sekali kibasan tangan Pendekar
Rajawali Sakti yang menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Akibatnya Ki Tunggul Santak jadi terhuyung-huyung ke belakang, dengan darah
mengalir deras dari bagian atas telinganya yang retak.
Sementara itu, di tempat lain Pandan Wangi tampak sama sekali tidak
mengalami kesulitan mengatasi lawan-lawannya. Kipas baja putih di tangan
kanannya berkelebat cepat diimbangi gerakan tubuh dan kakinya yang begitu
indah dan lincah luar biasa. Hingga, tidak ada seorang pun lawan yang bisa
menyentuh tubuh gadis cantik berjuluk si Kipas Maut ini.
Sedangkan di tempat lain lagi, terlihat Pranggala yang kini tidak lagi
menghadapi Ki Tunggul Santak. Semangatnya juga sudah bangkit kembali.
Terlebih lagi, dia tahu kalau Rangga dan Pandan Wangi berpihak kepadanya.
Hingga, tidak segan-segan lagi lawan-lawannya dibabat dengan pedang. Maka
jeritan-jeritan panjang melengking tinggi pun semakin sering terdengar
menyayat. Tubuh-tubuh bersimbah darah terus berhamburan membasahi tanah
berdebu ini.
Tapi, pengikut-pengikut Ki Tunggul Santak seakan tidak pernah habis. Mereka
terus berdatangan dari setiap pelosok Desa Salak Rejeng ini. Rupanya,
suara-suara pertarungan itu terdengar sampai ke pelosok desa. Dan mereka
yang memang sedang berjaga-jaga di sekitar Desa Salak Rejeng ini, jadi
berhamburan mendatangi dan langsung saja menyerang dari segala penjuru.
Hingga, seakan-akan pengikut Ki Tunggul Santak tidak akan pernah ada
habisnya. Selalu saja berdatangan, dan langsung menyerang.
Sementara itu, Rangga dan Ki Tunggul Santak sudah kembali bertarung sengit.
Meskpun darah mengucur dari kepalanya, tapi gerakan-gerakan Ki Tunggul
Santak masih tetap gesit dan cukup berbahaya. Beberapa kali Rangga terpaksa
harus berjumpalitan di udara, menghindari setiap serangan Ki Tunggul Santak.
Dan entah sudah berapa jurus pertarungan berlangsung. Tapi, tampaknya
laki-laki tua berjubah putih itu sudah kelihatan terdesak sekali.
Beberapa kali pukulan keras bertenaga dalam yang dilepaskan Rangga mendarat
di tubuhnya, tapi tetap saja orang tua itu terus menyerang seperti
kesetanan. Sementara, Rangga sudah mulai merasa jengkel juga. Sengaja
seluruh kepandaiannya tidak dikerahkan secara penuh. Rangga sebenarnya ingin
memberi kesempatan pada Ki Tunggul Santak untuk memperbaiki perbuatannya.
Tapi, tampaknya orang tua itu tidak mau mengerti kemurahan hati yang
diberikan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan menganggap pemuda lawannya ini
sudah meremehkannya.
"Phuih! Hiyaaat...!"
Sambil menyemburkan ludah yang bercampur darah, Ki Tunggul Santak melesat
cepat sekali ke atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat itu juga,
pedangnya dikibaskan disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Haiiit..!"
Namun hanya sedikit saja Rangga mengegoskan kepala, tebasan pedang Ki
Tunggul Santak tidak sampai mengenai sasaran. Bahkan tanpa diduga sama
sekali, Rangga melepaskan satu tendangan keras, sambil membanting tubuhnya
ke tanah. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Ki Tunggul
Santak tidak sempat lagi menghindarinya. Terlebih lagi, saat itu tubuhnya
masih berada di udara. Dan....
Diegkh!
"Akh...!"
Ki Tunggul Santak jadi terpekik, begitu tendangan yang dilepaskan Rangga
mendarat telak di dadanya. Akibatnya, tubuh orang tua itu melayang deras ke
belakang. Dan tanpa disadari, tubuhnya justru melayang mendekati Pranggala
yang kini hanya menghadapi tiga orang lawan saja.
Melihat Ki Tunggul Santak meluncur deras tanpa dapat menguasai keseimbangan
tubuh lagi, Pranggala tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang hanya sedikit
ini. Tanpa menghiraukan tiga orang lawannya, tubuhnya cepat melesat
menyongsong tubuh Ki Tunggul Santak yang meluncur deras ke arahnya, akibat
terkena tendangan menggeledek Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaat...!"
Wuk!
Langsung saja Pranggala menghunjamkan pedangnya ke tubuh orang tua berjubah
putih ini. Dan....
Bresss!
"Aaa...!"
"Hih!"
Darah seketika muncrat keluar dari punggung Ki Tunggul Santak, begitu
Pranggala mencabut pedangnya kembali. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi,
Pranggala mengibaskan pedangnya ke leher disertai pengerahan tenaga dalam
penuh dan tinggi.
"Hiyaaat..!"
Cras!
"Akh!"
Hanya sedikit saja terdengar pekikan tertahan, lalu kepala Ki Tunggul
Santak langsung terpenggal buntung. Darah kontan muncrat berhamburan dari
leher yang sudah tidak berkepala lagi itu. Hanya sebentar saja tubuh tua
berjubah putih itu masih bisa berdiri, kemudian limbung dan ambruk
menggelepar di tanah. Sementara, kepalanya menggelinding jauh dari tubuhnya.
Pranggala berdiri tegak memandangi tubuh Ki Tunggul Santak yang menggeletak
berlumuran darah tanpa kepala menempel di lehernya lagi.
Pendekar Rajawali Sakti hanya membiarkan saja Pranggala yang melampiaskan
dendamnya. Sedangkan Pandan Wangi yang sudah mengakhiri pertarungan,
langsung cepat membereskan tiga orang lawan Pranggala tadi. Tidak perlu
waktu banyak karena sebentar saja ketiga lawannya sudah ambruk tak
bangun-bangun lagi, terbabat kipas bajanya.
Sementara itu sambil menghembuskan napas panjang, Pranggala melangkah dan
mengambil kepala Ki Tunggul Santak. Sebentar dipandanginya kepala yang masih
mengucurkan darah segar itu, kemudian diletakkan kembali di tanah. Lalu
pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Kini, tidak ada lagi seorang
pun yang hidup disekitarnya. Dan saat itu juga, Pranggala jadi
tersentak....
"Eh, ke mana mereka...?"
Pranggala jadi celingukan sendiri, mencari Rangga dan Pandan Wangi yang
sudah lenyap, begitu tidak ada lagi lawan yang dihadapi. Entah pergi ke mana
kedua pendekar muda dari Karang Setra itu.
"Kalian benar-benar pendekar sejati. Terima kasih, atas bantuan kalian...,"
gumam Pranggala perlahan.
Sebentar pemuda itu memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling
rumpang tindih di sekitarnya. Kemudian kakinya terayun melangkah
meninggalkan tempat ini. Saat itu, matahari sudah benar-benar hampir
tenggelam di cakrawala. Cahayanya yang memerah jingga menyemburat disebelah
barat mayapada ini. Dan Pranggala semakin jauh melangkah, terus meninggalkan
Desa Salak Rejeng yang kini banjir darah.
TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA:
Emoticon