SATU
SENJA sebentar lagi jatuh di mayapada ini. Matahari sudah tak terasa lagi
sengatannya di kulit Di bawah siraman cahaya senja yang merah jingga, tampak
sebuah rombongan pedati yang berjumlah tujuh buah sudah mulai memasuki
sebuah kawanan perbukitan yang lengang. Nampaknya, keadaannya amat indah.
Apalagi, jauh di depan mata terlihat hamparan rumput bak permadani luas
terbentang, yang dilatarbelakangi oleh beberapa bukit yang memiliki
ketinggian beragam.
Beberapa buah bukit tampak berdiri sendiri-sendiri. Namun, ada juga yang
saling bersambungan seperti barisan benteng kokoh. Entah sejak kapan daerah
ini disebut Bukit Serigala. Tapi banyak di antara mereka yang pernah
melewati tempat itu melihat dari bawah ujung bukit-bukit itu
runcing-runcing, mirip taring serigala. Atau mungkin saja, karena di
bukit-bukit itu pernah dijumpai kawanan serigala yang mendiami daerah
selatan. Bahkan tak jarang kawanan serigala itu berada di tempat yang sering
dilalui para pedagang.
Maka semakin kuatlah dugaan, kalau nama barisan bukit itu diambil dari
banyaknya serigala yang mendiami kawasan sekitamya. Tak heran bila setiap
pedagang yang lewat melalui jalan ini harus mempersiapkan segala keamanannya
secara seksama. Mereka harus menyewa tukang-tukang pukul yang berkepandaian
tinggi atau menyiapkan banyak obor menyala untuk mengusir serigala-serigala
itu.
Namun, tak jarang banyak pula pedagang yang harus merugi karena keganasan
kawanan serigala yang buas itu. Sebenarnya, bukan hanya kawanan serigala itu
saja yang menjadi ancaman para pedagang atau orang yang akan melewati tempat
ini. Konon, didaerah Bukit Serigala itu bercokol perampok-perampok yang
keganasannya tak kalah dibanding kawanan serigala itu. Namun, para pedagang
itu tak mempunyai pilihan lain.
Bukit Serigala memang jalan pintas yang tercepat bagi mereka yang hendak
bepergian dari barat ke timur. Demikian pula sebaliknya. Jalan itu diambil,
karena biasanya para pedagang memang harus cepat mendapat keuntungan.
Sehingga, mereka hampir tak pernah mempedulikan keselamatannya sendiri.
Kalaupun para pedagang ingin mencari jalan lain yang aman, maka harus
mengitari beberapa buah gunung dan daerah-daerah curam.
Dan waktu yang ditempuh akan lama sekali, sehingga dagangan mereka pasti
tidak laku setelah sampai di tujuan. Maka tak jarang rombongan pedagang yang
akan berpergian seperti mempertaruhkan nyawa, ketika melewati Bukit Serigala
itu. Kalau toh mereka selamat pasti jumlahnya tinggal sedikit sekali.
Demikian pula rombongan pedagang yang kini melewati Bukit Serigala
ini.
Tampak dua orang penunggang kuda yang membawa golok panjang, berada di
depan mengawasi dari kanan dan kiri iring-iringan ketujuh pedati yang penuh
berisi barang-barang dagangan. Rombongan itu sendiri bergerak perlahan-lahan
seolah bersikap waspada. Masing-masing kusir yang duduk di atas pedati
menatap ke sekeliling dengan sorot mata tajam. Sementara, empat penunggang
kuda lain masing-masing berada di tengah dan di belakang
rombongan.
Kusir pedati yang berada paling depan adalah seorang laki-laki berusia
sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya yang besar terbungkus kulit hitam dengan
otot-otot yang menonjol. Kumisnya tebal dan sorot matanya tajam. Bisa
ditebak kalau laki-laki itu seorang pemberani dan tak kenal takut. Sementara
di sebelahnya terlihat seorang pemuda tanggung berusia sekitar empat belas
tahun. Tubuhnya kurus terbungkus pakaian abu-abu yang lusuh. Wajahnya
terlihat tegang dan gelisah, seperti takut akan menghadapi
sesuatu.
"Apakah mereka akan menyerang kita, Ayah?" tanya pemuda tanggung itu dengan
suara nyaris tak terdengar. Laki-laki setengah baya di sampingnya menoleh,
kemudian terlihat tersenyum pahit.
"Kau takut, Puger?" tanya laki-laki setengah baya itu.
Pemuda yang dipanggil Puger itu tak menyahut. Hanya pandangannya yang
dialihkan ke depan. Suasana masih terus mencekam. Sedangkan suasana di
perbukitan itu terasa lengang sekali.
"Kalau mereka tak kita hadapi, Ayah tak punya pekerjaan, Ger. Hanya inilah
satu-satunya yang bisa kukerjakan. Mengawal para pedagang dan
barang-barangnya ke tempat tujuan..."
"Ya! Ayah juga pernah bercerita kalau pekerjaan ini baik dan tak merugikan
orang lain. Tapi...," sahut Puger, terputus.
"Tapi kenapa, Ger?" desak laki-laki setengah baya yang ternyata ayah dari
pemuda bernama Puger.
"Kenapa ada orang yang mencari pekerjaan dengan cara merampok harta benda
orang lain? Bukankah hal itu merugikan?" tanya Puger sedikit
kesal.
Laki-laki setengah baya itu terdiam sebentar. Kemudian, terdengar helaan
napasnya yang berat. "Tak perlu heran, Puger. Di dunia ini banyak orang yang
mencari jalan termudah untuk mencapai keinginannya. Termasuk perampok.
Mereka tak peduli, apakah korbannya akan rugi atau menderita...," jelas
laki-laki bertubuh besar itu lagi. Dan baru saja kata-katanya selesai,
mendadak terdengar teriakan seseorang dari ujung depan sana.
"Berhentiii...!"
Laki-laki yang menjadi kusir pedati paling depan langsung menarik tali
kekangnya, kemudian lompat dari tempat duduknya. Sedangkan salah seorang
penunggang kuda dengan pakaian ketat warna merah dan berada di depan, juga
menghampiri. Wajahnya tampak cemas, melihat beberapa orang telah menghalang
perjalanan.
"Kita dihadang, Kang?"
Laki-laki setengah baya itu mengangguk, kemudian melangkah perlahan-lahan
ke depan. Tak begitu jauh di depan mereka, telah berdiri tegak tiga sosok
tubuh berwajah seram sorot mata tajam menusuk. Yang seorang memakai pakaian
hitam dengan selempang kain warna kuning tua. Rambutnya panjang bergelombang
berwarna kuning keemasan. Tubuhnya tak terlalu besar, namun memiliki
kuku-kuku yang runcing dan panjang. Tangan kanannya tampak menggenggam
sebuah cambuk berwarna keemasan.
Berdiri di sebelah kirinya adalah seorang laki-laki berusia sekitar dua
puluh delapan tahun. Rambutnya juga panjang. Tangan kirinya tampak disambung
dengan besi yang berbentur cakar serigala sampai sebatas siku. Sedangkan
tangan kanannya memegang senjata berbentuk arit. Sementara orang yang
terakhir berusia hampir sama dengan orang yang tangan kirinya terbuat dari
besi. Hanya saja, tubuhnya sedikit lebih kurus. Mata kirinya tampak tertutup
kain hitam. Senjatanya berupa tombak bermata tiga.
"Kisanak! Aku Suriareja yang memimpin rombongan ini. Dan aku mohon pada
kalian agar diizinkan lewat" ucap laki-laki bertubuh besar dan berusia
setengah baya dengan nada sopan, setelah memperkenalkan diri. Ternyata,
namanya Suriareja.
"Aku Ki Lodaya, di sebelah kiriku adalah muridku. Namanya, Gumarang. Dan
sebelah kananku muridku juga. Namanya, Rajendra," sahut laki-laki yang
mengaku bernama Ki Lodaya. Lak-laki bernama Suriareja mencoba
tersenyum.
"Apakah itu berarti kami boleh lewat?" tanya Suriareja.
"Tentu saja. Tapi, setelah semua barang bawaan itu kalian tinggalkan!"
sahut Ki Lodaya tegas.
Suriareja tersentak kaget, namun berusaha menyembunyikan perasaannya.
"Kisanak Kami hanya rombongan pedagang kecil yang mengadu nasib untuk
sekadar sesuap nasi buat makan anak istri. Harap sudilah kau mengerti,"
sahut Suriareja merendah.
"Aku tak peduli dengan alasan kalian. Yang jelas ingin selamat, pergi, dan
tinggalkanlah harta benda yang kalian bawa dalam pedati itu!" lanjut Ki
Lodaya dengan suara semakin keras.
Orang-orang yang berada dalam ketujuh pedati itu tampak cemas. Mereka
sama-sama melongokkan kepala, melihat ketiga sosok tubuh di depan dengan
sikap menghadang. Wajah mereka kelihatan sama sekali tak bersahabat. Meski
begitu, masih terbersit harapan di benak mereka. Karena, mereka yakin kalau
Suriareja yang dipercaya untuk mengawal rombongan ini beserta sepuluh orang
anak buahnya pasti mampu membereskan ketiga begal ini. Sementara itu tampak
kesepuluh anak buah Suriareja telah berada di belakang dengan sikap
bersiaga, sambil menggenggam senjata masing-masing.
Melihat itu Ki Lodaya dan kedua muridnya hanya tersenyum sinis. "Kuhitung
sampai tiga Dan kau harus menentukan pilihan!" ancam Ki Lodaya memberi
peringatan.
"Ki Lodaya! Aku...," Suriareja bermaksud memberikan alasannya lagi, namun
Ki Lodaya seperti tak mempedulikannya.
"Satu!"
"Ki Lodaya! Cobalah sedikit bermurah hati, dan jangan terlalu memaksa
kami?"
"Dua!" teriak Ki Lodaya sambil menggerakkan cambuk di
tangannya.
"Ki Lodaya..."
"Hancurkan mereka!" teriak Ki Lodaya memberi perintah pada dua orang
muridnya yang bernama Gumarang dan Rajendra.
Tanpa diperintah dua kali, kedua murid Ki Lodaya langsung melompat dan
mengayunkan senjatanya. Gumarang menyerang Suriareja, sementara Rajendra
mengamuk menghadapi kesepuluh anak buah Suriareja yang sejak tadi telah siap
menanti serangan.
"Yeaaa...!"
"Kau tak memberi pilihan lain kepada kami, Ki Lodaya. Maaf! Kalau itu
maumu, kami berhak mempertahankan diri!" sahut Suriareja sambil mencabut
golok yang terselip di pinggang, siap memapak serangan Gumarang.
Ki Lodaya sama sekali tak menyahuti ucapan Suriareja. Laki-laki berpakaian
hitam dengan selempang kuning itu masih tetap tegak berdiri di tempatnya
semula, sambil memperhatikan dengan seksama. Suriareja sebenarnya bukanlah
orang sembarangan. Dulu, laki-laki itu pernah berguru pada salah satu
padepokan terkenal di daerah selatan. Bahkan sempat berkelana ke mana-mana,
mengabdikan kepandaiannya.
Kemudian setelah kawin, Suriareja berhenti berkelana dan menetap di suatu
tempat. Namun pekerjaaan lain baginya amat sulit, karena kepandaian yang
dimiliki hanya bermain silat. Sehingga, akhirnya dia bersedia mengawal
rombongan pedagang yang merasa harta bendanya terancam, seperti sekarang
ini! Tapi yang dihadapi Suriareja ini bukanlah orang sembarangan. Hal itu
semakin terbukti ketika berhadapan dengan Gumarang yang mampu bergerak cepat
dan ganas.
Bahkan boleh dibilang tak kenal ampun. Tangan kirinya yang terbuat dari
besi dan membentuk cakar, beberapa kali mengancam keselamatan Suriareja.
Belum lagi sambaran senjata arit di tangan kanan yang mengancam seluruh
bagian tubuh seperti tiada henti. Beberapa kali sambaran itu ditangkisnya
dengan golok yang tergenggam, namun Suriareja jadi tersentak sendiri.
Tangannya jadi bergetar hebat. Dan rasanya, golok itu nyaris terlepas dari
genggaman saking hebatnya tenaga dalam yang dimilik Gumarang.
"Yeaaa...!"
Suriareja kembali tersentak kaget ketika tubuh lawan bergerak cepat dari
arah atas. Tampak Gumarang menukik sambil mengayunkan arit di tangannya.
Maka buru-buru Suriareja menundukkan kepalanya sambil bergerak ke samping.
Namun....
Brettt!
"Uhhh...!"
Cakar kiri Gumarang tiba-tiba saja menyambar punggung Suriareja. Dia kontan
mengeluh kesakitan. Dan belum lagi Suriareja mengambil napas, satu tendangan
kembali diluncurkan lawan. Untung Suriareja masih sempat membuang diri ke
tanah bergulingan beberapa kali. Dan begitu tubuhnya telah bangkit berdiri,
goloknya langsung bergerak menyambar.
Namun, tubuh Gumarang telah melenting ke atas sambil membuat gerakan
jungkir balik. Begitu mendarat di tanah, bagai serigala menerkam, tubuh
Gumarang melayang menyambar lawan yang tengah terpaku setelah serangannya
gagal.
"Graungrrr...!"
Gumarang menggeram buas. Bola matanya tajam berkilat bagai nyala api yang
sedang berkobar-kobar. Suriareja sempat bergidik nyalinya melihat roman muka
lawannya yang buas seperti binatang liar. Apalagi, ketika terdengar raungan
keras, sehingga sempat membuat jantungnya berdebar-debar.
"Hiiih...!"
Cakar kiri Gumarang menyambar wajah Suriareja. Namun, laki-laki setengah
baya itu cepat bergulingan ke samping untuk menghindari serangan. Bahkan
sempat mengayunkan kakinya untuk menyambar pinggang lawan. Tapi, tubuh
Gumarang sudah bisa membaca gerakan lawan. Hanya diikutinya saja gerakan
itu, hingga tendangan Suriareja hanya mengenai tempat kosong. Dan tentu saja
hal itu amat mempengaruhi keadaan Suriareja.
Apalagi tendangannya demikian keras, sehingga membuat keseimbangannya jadi
goyah. Melihat kesempatan ini, Gumarang tak mau menyia-nyiakannya.
Senjatanya langsung menyambar ke arah perut lawan. Dan Suriareja sendiri
memang tak punya pilihan lain, selain menangkis. Meskipun, dia tahu kalau
hal itu bakal berakibat buruk baginya.
Bettt
Trakkk!
Benar saja! Ketika senjata mereka beradu, golok di tangan Suriareja
terlepas. Sementara, senjata berbentuk arit milik Gumarang terus bergerak
merobek perutnya.
Crasss!
"Aaakh...!"
Suriareja kontan terpekik kesakitan, begitu sambaran arit Gumarang
menyambar perutnya. Tangannya langsung memegang perutnya yang terluka dengan
darah mengalir deras. Dan belum lagi menyadari lebih jauh, hantaman tangan
kiri Gumarang yang terbuat dari besi langsung menembus
jantungnya.
Brosss!
"Aaa...!"
Suriareja langsung terjajar disertai pekikan memilukan. Dia
terhuyung-huyung sebentar, lalu ambruk di tanah. Sebentar dia meregang
nyawa, kemudian tak bergerak-gerak lagi. Tampak darah terus mengalir
membasahi tubuhnya. Kematian Suriareja tentu saja amat mengagetkan anak
buahnya serta para pedagang yang berada dalam pedati. Semangat mereka mulai
mengendur. Dan kecemasan pun mulai tumbuh perlahan-lahan dalam hati para
pedagang itu. Apalagi, ketika melihat kesepuluh anak buah Suriareja tak
seorang pun yang mampu mendesak lawan.
"Ayah...!"
Puger berteriak dengan suara pilu ketika melihat ayahnya telah terbujur
kaku berlumur darah. Pemuda tanggung itu langsung melompat turun dari pedati
dan berlari kencang menghampiri mayat ayahnya. Tapi dengan wajah dingin dan
senyum sinis, Ki Lodaya lalu mengayunkan cambuk di tangannya ke arah pemuda
tanggung itu.
Ctar!
"Aaa...!"
Puger memang tak seperti ayahnya yang memiliki kepandaian lumayan. Apalagi
Suriareja memang tak pernah mengajarkannya ilmu silat. Sehingga ketika ujung
cambuk di tangan Ki Lodaya menyambar dadanya, anak itu tak mampu
menghindari. Tubuhnya kontan terlempar keras ke belakang dan jatuh di tanah
dengan tulang rusuk patah. Dan nyawanya langsung melayang saat pekikannya
terhenti.
"Biadab!" geram salah salah seorang anak buah Suriareja sambil melompat
menyerang Ki Lodaya. Namun sebelum anak buah Suriareja berhasil menyentuh
tubuh Ki Lodaya, Gumarang sudah mencelat menghadang sambil menggeram
buas.
"Graungrrr...!"
"Hup!"
Terpaksa laki-laki berpakaian merah itu mengurungkan niatnya. Dan dengan
memutar tubuhnya, dihindarinya sambaran arit Gumarang. Golok di tangannya
bergerak cepat menyambar leher Gumarang. Namun, murid-murid pertama Ki
Lodaya sigap sekali membungkukkan tubuhnya. Kemudian, tubuhnya berputar
dengan kaki kanan terayun ke pelipis.
Yeaaa...!
Tapi, serangan itu ternyata telah dibaca Gumarang. Terbukti, tubuhnya telah
melejit ke atas sambil mengayunkan senjata ke leher. Anak buah Suriareja itu
kontan terkejut. Maka buru-buru dijatuhkan tubuhnya untuk menghindari.
Namun, kaki kiri Gumarang yang berada di bawah langsung menghajar ke arah
perut.
Desss!
"Aaakh!"
Tubuh orang berpakaian merah itu kontan terpental pada jarak tiga langkah
ke belakang. Tapi Gumarang tak berhenti sampai di situ. Begitu kakinya
menendang, maka saat itu pula tubuhnya mencelat mengikuti gerakan lawan.
Sedangkan tangan kirinya cepat menyambar ke arah dada. Sementara, lawan
masih sempat melihat serangan itu, dan berusaha menghindari sambil memapak
dengan goloknya.
Crakkk!
Tangan orang berpakaian merah itu kontan ber-getar hebat dan goloknya
terlepas dari genggaman, begitu cakar kiri Gumarang menghantam mata
goloknya. Bersamaan dengan itu, senjata arit di tangan kanan Gumarang sudah
terus menyambar ke arah leher.
Crasss!
"Aaa...!"
Orang berpakain merah itu hanya terpekik sesaat, begitu bahunya terbabat
arit Gumarang. Kemudian kepalanya terlihat menggelinding ke tanah dengan
darah mengucur deras dari pangkal leher. Sebentar dia limbung, lalu ambruk
di tanah dengan nyawa melayang dari badan.
"Bagus Gumarang!" puji Ki Lodaya sambil tersenyum.
Gumarang memandang sekilas pada gurunya, kemudian menatap kepada adik
seperguruannya yang belum juga selesai menghabisi lawannya yang tinggal
empat orang lagi.
"Rajendra! Apakah kau perlu bantuan Gumarang untuk membereskan
lawan-lawanmu?!" teriak Ki Lodaya dengan suara kesal.
"Maaf, Guru. Kalau Guru menghendaki agar mereka mampus dengan cepat,
baiklah. Aku masih sanggup melakukannya!" teriak Rajendra di sela-sela
pertarungannya.
"Bagus. Nah! Cepat lakukanlah!"
"Yeaaa...!"
Ser! Ser!
Diiringi bentakan nyaring, tubuh Rajendra langsung melompat ke atas
setinggi satu tombak. Kemudian begitu tangannya menghentak ke depan,
terlihat beberapa buah paku beracun melesat dari tangan ke arah empat
lawannya.
"Awaaas! Dia mulai menggunakan senjata rahasia!" teriak salah seorang anak
buah Suriareja memperingatkan kawan-kawannya.
"Keparat! Dia menggunakan paku-paku beracun!" geram yang lain.
"Ha ha ha...! Mampuslah kalian sekarang!" teriak Rajendra sambil tertawa
nyaring.
Tubuh Rajendra melesat deras ke bawah sambil memutar senjatanya membentur
kitiran. Maka dua orang lawannya langsung memapak, sementara dua lainnya
mencari sisi pertahanan yang terbuka.
Trak! Trak!
Wuttt!
Ser! Ser!
Dua golok anak buah Suriareja yang coba menangkis berhasil dibuat terpental
dari genggaman. Kedua orang itu kontan tersentak kaget, namun masih sempat
menyelamatkan diri sambil menunduk. Sementara, Rajendra terus mengejar
sambil melemparkan senjata rahasianya ke arah dua orang lawannya yang
lain.
"Hiyaaa...!"
Ujung tombak bermata tiga milik Rajendra kembali menyambar kedua lawannya
yang berada di depan, kedua anak buah Suriareja itu buru-buru menjatuhkan
diri. Melihat kesempatan ini, Rajendra cepat menyusuli. Dan dengan satu
tendangan keras yang tak mampu dielakkan oleh salah seorang dari mereka.
Maka....
Diegkh!
"Aaakh...!"
Salah seorang anak buah Suriareja kontan memekik kesakitan. Tubuhnya
terlempar lima langkah ke Belakang. Namun, Rajendra terus mengejarnya dengan
lemparan senjata rahasia yang tak mungkin dielakkan lagi!
Crasss!
"Aaakh...!"
Begitu dadanya tertembus senjata rahasia Rajendra, orang itu kontan
terpekik. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil memegangi dadanya yang tertembus
paku-paku beracun. Tak lama kemudian, orang itu duduk di tanah, dengan tubuh
membiru. Dari mulutnya tampak mengeluarkan busa berwarna kekuning-kuningan.
Rajendra terus melempar senjata rahasianya ke belakang kepada dua orang
lawannya yang tadi berhasil menghindari. Betapa terkejutnya kedua orang
itu.
Salah seorang memang berhasil menghindar dengan membuang tubuhnya ke tanah.
Namun seorang lagi kontan menjerit keras, ketika sebuah paku beracun
menembus dada kirinya. Tubuhnya langsung terjungkal ambruk di tanah, dan
menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong. Tapi, mana mau Rajendra
mempedulikannya. Bahkan ketika kedua lawannya yang tersisa melompat
berbarengan membawa serangan, tubuhnya sedikit merendah. Kemudian, dia
berputar mengikuti gerakan tombaknya. Lalu....
Bret!
Cras!
"Aaa...!"
Kedua orang itu langsung memekik ketika perut mereka robek diterjang ujung
tombak lawan yang bergerak amat cepat. Mereka langsung ambruk ke tanah
dengan darah berhamburan dari perut. Sebentar mereka meregang nyawa, lalu
diam tak berkutik lagi. Mati!
"Beres!" dengus Rajendra sambil mengibas-ngibaskan tangannya, ketika
seluruh lawannya sudah tak bangun-bangun lagi. Sebentar dipandanginya
mayat-mayat lawannya, lalu dihampirinya Ki Lodaya dan Gumarang.
Perlahan-lahan ketiga orang itu menghampiri ketujuh pedati dengan wajah
dingin mengancam. Ki Lodaya memandang beberapa orang yang berada dalam
pedati itu, kemudian berteriak lantang.
"Kalau kalian masih sayang dengan nyawa, boleh keluar! Kuhitung sampai
tiga. Dan, kalian boleh pergi dari tempat ini dengan berjalan kaki!" kata Ki
Lodaya.
Belum lagi Ki Lodaya menghitung mereka yang berada dalam pedati itu
langsung melompat keluar dengan muka pucat. Bahkan beberapa orang di
antaranya langsung kabur terbirit-birit. Melihat hal itu, yang lainnya pun
ikut-ikutan. Agaknya, mereka memang tak punya pilihan lain. Memang tak
seorang pun yang mengerti ilmu silat karena hanya para pedagang. Kalaupun
punya, sudah ciut lebih dulu nyali mereka melihat sepak terjang kedua murid
Ki Lodaya.
"Ha ha ha...!"
Ketiga orang itu tertawa terbahak-bahak dan membiarkan saja mereka lari
terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
"Guru! Mereka membawa banyak uang mas!" teriak Rajendra, setelah memeriksa
isi pedati yang berada di barisan tengah.
"Mereka juga membawa pakaian dan perhiasan mahal!" teriak Gumarang pula.
begitu memeriksa isi pedati barisan kedua.
"Bagus! Nah, sekarang kalian giring kuda-kuda itu ke markas kita!" perintah
Ki Lodaya.
"Baik, Guru!" sahut keduanya serentak.
Kini, mereka segera berlalu dari tempat itu sambil menggiring kuda-kudanya
yang menarik pedati itu ke suatu lembah, di kaki Bukit Serigala. Bukit
Serigala kini lengang. Tapi sekawanan burung pemakan bangkai sudah terbang
berputar-putar di angkasa!
***
DUA
Malam merangkak semakin larut. Bulan sepotong tampak mengintip malu-malu
dari celah-celah ranting-ranting pohon yang tidak begitu rapat, mengamati
kedua anak muda yang tengah menikmati santapan daging kelinci bakar. Di
dalam hutan yang tak begitu rapat ini, mereka seperti tengah beristirahat.
Api unggun, tampak masih membakar ranting-ranting kayu membuat suasana di
sekelilingnya pada jarak tiga tombak jadi terang benderang. Sementara, malam
terus merambat membawa angin dingin yang menjatuhkan embun-embun. Sehingga,
suasana jadi semakin dingin menusuk tulang.
"Huuu! Seharusnya kita tak bermalam di sini, Kakang!" gerutu gadis cantik
berbaju biru muda yang duduk bersandar pada sebatang pohon, bersama seorang
pemuda tampan berbaju rompi putih di sebelahnya.
Sementara, pemuda berbaju rompi putih itu hanya menoleh sekilas. "Kenapa,
Pandan?!"
"Dingiiin!" sahut gadis berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi,
dengan tubuh menggigil. Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang
kepala burung itu kemudian tersenyum. Dia memang Rangga, yang di kalangan
persilatan berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Dekatkan tubuhmu ke api unggun ini," ujar Rangga.
"Huuu! Bisa-bisa, kalau ketiduran tubuhku terbakar!" sungut Pandan Wangi,
manja.
Kembali Rangga tersenyum. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan dalam
senyumannya.
"Senang ya?!" rutuk Pandan Wangi sambil memelototkan matanya.
"Tidak. Aku hanya geli melihat sikapmu. Setiap kali mendapat kesulitan, kau
selalu mengeluh. Serahkanlah semuanya pada Hyang Widhi," sahut Rangga
tenang.
Pandan Wangi mendesah berat, seperti berusaha melepaskan beban di hatinya.
Kemudian tubuhnya direbahkan pada jarak enam jengkal dari api unggun.
Sedangkan Rangga masih duduk menekur di sampingnya, memandangi nyala api di
depannya.
"Pandan...?"
"Ya?" sahut gadis itu tanpa menoleh, tapi bernada lembut.
"Kau bosan mengembara bersamaku?" tanya Rangga suaranya terdengar lirih,
namun mengandung pertanyaan yang mendalam.
Pandan Wangi lalu memiringkan tubuhnya, dipandanginya pemuda itu dengan
sorot mata heran. "Kenapa Kakang berkata seperti itu?"
"Yah..., hanya dugaanku saja," desah Rangga.
Pandan Wangi terus menatap pemuda itu, kemudian beranjak duduk di
sebelahnya. "Entahlah, Kakang. Mungkin aku hanya jenuh saja. Tapi
percayalah. Besok pagi aku sudah seperti biasa kembali," kilah Pandan
Wangi.
"Aku percaya padamu, Pandan. Tapi sebaiknya, bicaralah padaku bila kau
punya persoalan. Ingat, Pandan kita sudah sekian lama selalu bersama-sama,
tidak ada lagi yang harus disembunyikan dalam diri kita masing-masing," ujar
Rangga halus, namun bernada mendesah.
"Sudahlah, Kakang. Jangan mendesakku terus," desah Pandan Wangi, seperti
bisa membaca arah pembicaraan Rangga.
Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya mengangkat bahunya sedikit, tidak ingin
mendesak Pandan Wangi. Dia tahu betul watak gadis itu, yang selalu manja
namun juga keras kepala. Maka Rangga hanya menghadapinya dengan kesabaran.
Kini Pandan Wangi merebahkan kembali tubuhnya. Dan sebentar saja, sudah
terdengar dengkurnya yang halus dari sebelah Pendekar Rajawali Sakti.
Memang, tampaknya gadis itu lelah sekali. Mungkin karena lelahnya,
kemanjaannya pada Rangga muncul kembali. Rangga lalu mendesah perlahan.
Kakinya kemudian bersila. Kedua matanya dipejamkan, mulai bersemadi untuk
memusatkan pikirannya dan mengatur jalan darahnya. Namun, belum juga Rangga
bisa menyatukan pikirannya, mendadak matanya terbuka. Pandangannya langsung
ditujukan lurus ke depan, dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Kisanak yang mengintip di atas pohon, keluarlah! Kenapa malu-malu
menampakkan diri? Kalau hendak bergabung, silakan saja!" kata Rangga,
lantang.
Srak!
Tiba-bba dari salah satu cabang pohon, melesat turun sesosok tubuh gemuk
pendek dengan dahi lebar. Rambutnya jarang-jarang dan mukanya bulat. Begitu
mendarat, orang itu tersenyum lebar sambil memberi salam penghormatan kepada
pemuda itu.
"He he he...! Sungguh jeli matamu itu, Bocah. Kau tentu bukan orang
sembarangan. Namaku, Gemuli. Dan orang-orang menyebutku sebagai si Badut
Gembel. Nah! Siapakah kalian ini sebenarnya?" kata orang itu disertai tawa
keras.
Suara orang yang mengaku bernama Gemuli atau si Badut Gembel itu terdengar
keras, sehingga membuat Pandan Wangi terjaga. Gadis itu beringsut sambil
memandang pada orang asing yang baru datang itu dengan wajah heran.
"Hm.... Badut Gembel, agaknya kami sungguh beruntung bisa bertemu pendekar
hebat yang namanya menggetarkan jagat. Namaku, Rangga. Dan ini kawanku.
Namanya Pandan Wangi," sahut Rangga sambil membalas salam hormat laki-laki
berusia sekitar lima puluh tahun itu.
Rangga sengaja memuji, karena julukan Badut Gembel memang pernah
didengarnya. Memang kepandaiannya tinggi sekali. Namun, sikapnya sering
angin-anginan. Bahkan sulit ditebak. Dan menurut cerita orang, si Badut
Gembel pun paling suka di-sanjung. Dia akan tertawa kegirangan, jika orang
lain yang ditemui mengenalinya.
"Ha ha ha...! Tak dinyana kalian bocah kemarin sore kenal juga denganku.
Bagus! Bagus! Tapi..., heh?! Tunggu dulu!" cegah si Badut Gembel tiba-tiba
seraya mengerutkan dahinya seperti sedang berpikir.
"Ada apa, Badut Gembel?"
"Rangga..., Rangga. Di mana aku pernah mengenal nama itu...?" kata Badut
Gembel sambil mengingat-ingat.
"Mana mungkin kau mengenal namaku, Badut Gembel. Aku hanyalah seorang
pengembara," elak Rangga mencoba menyembunyikan jati dirinya.
"Edan! Aku tahu! Kau... Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti, bukan?!" tunjuk
Gemuli dengan wajah girang. Kemudian terlihat si Badut Gembel menari-nari di
tempat itu sambil berkali-kali menunjuk ke arah Rangga.
"Kisanak. Aku hanya seorang pengembara yang tak punya kepandaian apa-apa,"
Pendekar Rajawali Sakti beralasan demikian, sebab si Badut Gembel suka
sekali berbuat yang aneh-aneh. Misalnya, menghajar orang yang tak disukainya
tanpa alasan. Atau, menguji kepandaian dengan pendekar hebat yang sudah
kondang. Menyadari hal itu, maka Rangga bersikap untuk mengalah saja. Itulah
sebabnya dia tak mau mengaku kalau dirinya Pendekar Rajawali Sakti.
"Edan! Kau tak mau mengaku juga heh?!" bentak si Badut Gembel sambil
membelalakkan mata dan menuding-nuding ke arah pemuda itu.
Melihat sikap orang itu, bukan Rangga yang menjadi panas. Tapi Pandan
Wangi-lah yang langsung bangkit.
"Orang tua! Apa maumu sebenarnya? Datang-datang cekikikan seperti monyet.
Dan kini, malah memaksa orang untuk mengaku macam-macam, Dasar Gila!" dengus
Pandan Wangi jengkel, sambil menuding si Badut Gembel.
"Wueeeh! Gadis cantik cerewet! Siapa pula kau ini? Apa kau gendaknya?!"
sahut si Badut Gembel, tak kalah garang.
"Kurang ajar! Kusobek mulut kotormu itu. Yeaaa...!" Pandan Wangi tak dapat
lagi menahan amarahnya yang menggelegak dalam dada. Maka langsung
diserangnya si Bagut Gembel.
"Pandan, tahan...!" Rangga berteriak hendak mencegah, namun Pandan Wangi
tidak lagi mempedulikan.
"He he he...! Bagus! Rupanya kau punya kepandaian juga, Bocah Centil. Ingin
kulihat, sampai di mana kemampuanmu itu," sahut si Badut Gembel sambil
bergerak lincah menghindari serangan gadis itu.
"Jangan banyak mulut, Orang Tua Gila! Setelah kurobek mulutmu, barulah
matamu terbuka kalau bukan kau saja yang terhebat di jagat ini!"
"Ha ha ha...! Uts, boleh juga!" sentak si Badut Gembel, menghentikan
tawanya ketika satu tendangan keras nyaris menghajar pelipis.
Gemuli terus melompat ke belakang sambil mengangkat sebelah kakinya, ketika
tubuh Pandan Wangi berbalik dan mengirim tendangan berikut Si Badut Gembel
kembali terkekeh. Tubuhnya langsung melejit keatas, kemudian bersalto di
udara beberapa kali. Lalu, kakinya mendarat ringan di belakang gadis itu.
Kembali Pandan Wangi berbalik sambil mengayunkan kepalan tangannya menyambar
leher.
"Yeaaa...!" "Uts, copot kepalaku!" ejek si Badut Gembel sambil menunduk dan
memegang kepalanya.
"Sial!" maki Pandan Wangi kesal ketika serangannya luput. Dipermainkan
begitu rupa, panas juga hati Pandan Wangi. Dengan geram dicabutnya kipas
baja putih yang terselip di pinggangnya.
Srak!
"He he he...! Kebetulan, aku sedang kepanasan. Kau hendak mengipasiku, Cah
Ayu?" ejek si Badut Gembel.
"Ya! Aku akan mengipas lehermu biar mampus sekalian!" geram Pandan Wangi
sambil mengayunkan kipasnya yang terkembang.
Desir angin serangan kipas itu cukup kuat, sehingga pakaian serta rambut si
Badut Gembel berkibar-kibar. Namun, laki-laki setengah baya itu
tenang-tenang saja. Baru ketika ujung kipas itu hendak menyambar lehernya,
kepalanya cukup dimiringkan sedikit Lalu, kaki kanannya menyapu pergelangan
tangan gadis itu.
"Hiiih!"
Bet!
Cepat bagai kilat, Pandan Wangi merendahkan tangan untuk menghindari
sambaran kaki lawan. Tubuhnya kemudian berputar, sambil melepaskan kepalan
tangan kirinya. Ke arah dada si Badut Gembel. Namun dengan lincah lelaki
bertubuh gemuk pendek itu melompat ke atas sambil terkekeh. Bahkan tubuhnya
langsung menukik tajam seraya menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala
Pandan Wangi. Tentu saja tindakan ini membuat gadis itu terkesiap. Apalagi,
tak ada waktu untuk menghindar. Maka cepat ditangkisnya serangan itu.
"Hiyaaa!"
Plak!
"Uhhh...."
Pandan Wangi langsung mengeluh kesakitan ketika menangkis kepalan tangan
lawan dengan tangan kirinya. Masih untung kepala cepat ditundukkan, karena
si Badut Gembel menyusulinya ke bagian atas tubuhnya. Sedangkan tangan
kanannya yang memegang kipas maut cepat menyambar ke dada lawan. Namun, si
Badut Gembel telah melompat ke belakang menghindarinya sambil terus
terkekeh-kekeh.
"He he he...! Lumayan, Bocah. Lumayan. Tapi, sayang. Aku tak berselera
untuk bertarung denganmu. Hei kenapa kekasihmu tak kau suruh saja untuk
menghadapiku?!"
"Keparat! Kau pikir, aku tak mampu menghajarmu, he?!" gumam Pandan Wangi
semakin menjadi-jadi.
"He he he...! Aku tak pernah bertindak kasar pada wanita. Tapi kalau kau
coba memaksa, akan kutendang pantatmu itu!" ujar si Badut Gembel,
tenang.
"Keparat! Kau memang tak bisa diberi ampun!" bentak Pandan Wangi sambil
melompat menyerang lawan.
"Pandan Wangi, cukup!" Rangga cepat bertindak. Dia langsung melompat dan
menangkap pergelangan tangan gadis itu.
"Lepaskan, Kakang! Biar kuhajar dulu keparat bermulut besar itu agar tak
sembarangan mengumbar mulut! Lepaskan!"
"Pandan, tenanglah. Kita tak punya urusan dengannya. Sebaiknya, mari kita
pergi dari sini," ajak Rangga, tenang.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menatap gadis itu dalam-dalam. Pandan
Wangi tahu, kata-kata Rangga yang tenang tidak mungkin bisa dibantahnya
lagi. Itu kelihatan jelas dari sinar mata Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis
itu hanya menghembuskan panas berat seraya melotot geram pada si Badut
Gembel yang masih terkekeh-kekeh. Sambil kembali mendengus kesal, dihampiri
kuda putihnya yang tertambat tak jauh dari situ.
Rangga pun perlahan-lahan mengikuti langkah gadis itu dari belakang, dan
segera menuju kuda hitam yang bernama Dewa Bayu. Secara bersamaan, mereka
melompat naik ke punggung kuda. Namun ketika mereka telah siap menjalankan
kuda masing-masing si Badut Gembel melompat menghadang sambil berkacak
pinggang.
"He he he...! Jangan harap kalian boleh pergi begitu saja dari tempat ini
tanpa izinku!" dengus Gumali, alias si Badut Gembel.
"Badut Gembel! Maaf, kami tak bisa meladeni keinginanmu. Menepilah, karena
kami terburu-buru," sahut Rangga tenang.
"Ha ha ha...! Beginikah sikap Pendekar Rajawali Sakti yang gagah perkasa
dan tak seorang pun pernah mengalahkannya? He, Bocah! Aku sekarang
menantangmu!" tantang si Badut Gembel dengan sorot mata tajam menusuk.
"Maaf. Kau telah tahu jawabanku...."
"Dan kau tahu pula, bagaimana pendirianku!" sahut si Badut Gembel tak
peduli.
"Kisanak! Apa maksudmu?" tanya Rangga, heran.
"Aku menantangmu! Dan, kau mesti meladeninya!" dingin suara si Badut
Gembel.
Bersamaan dengan itu tubuh si Badut Gembel langsung melesat, melepaskan
tendangan lurus ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak! Akh..., uts!"
Rangga tak sempat melanjutkan kata-katanya, ketika satu tendangan si Badut
Gembel nyaris menghajarnya. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat
melenting ke atas dari kudanya, dan berputaran beberapa kali. Dan begitu
kedua kakinya menyentuh tanah, kembali si Badut Gembel menerjang dengan
sebuah tendangan lagi.
"Jebol perutmu!"
"Uhhh!"
Dengan gesit, tubuh Pendekar Rajawali Sakti melejut lima jengkal ke atas,
sambil balas mengayunkan kakinya ke wajah lawan.
"Maaf!" Namun, si Badut Gembel cepat melompat ke samping, sehingga
tendangan Pendekar Rajawali Sakti hanya menyambar angin kosong.
"He he he...! Akhirnya toh, kau mau juga meladeniku!" kata si Badut Gembel
sambil tertawa senang, setelah berhasil menghindar. Agaknya, si Badut Gembel
ini ingin membuktikan kalau dirinya lebih unggul dari lawan. Maka begitu
habis menghindar, dia seperti tak hendak memberi kesempatan sedikit pun pada
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa!"
"Uts!"
"Hiiih!"
Kembali satu tendangan keras yang dibarengi tenaga dalam tinggi bergerak
hendak menghantam dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun, pemuda ber-baju rompi
putih itu gesit sekali bergerak ke samping dengan pengerahan jurus 'Sembilan
Lang-kah Ajaib'. Suatu jurus yang hanya mengandalkan gerakan yang lincah,
dengan tubuh melentur ke sana kemari. Tapi tanpa diduga, kepalan tangan si
Badut Gembel menyambar ke batok kepala. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti
cepat melompat ke atas sambil jungkir balik. Dan ternyata, Gemuli yang
berjuluk si Badut Gembel telah menyusuli dengan satu sapuan kaki yang
keras.
"Yeaaa...!"
Dengan geram, Pendekar Rajawali Sakti membentak keras. Lalu disambutnya
sapuan kaki si Badut Gembel yang lurus terarah ke dada dengan tangan kanan.
Dan....
Degkh!
Benturan antara tangan Pendekar Rajawali Sakti dengan kaki si Badut Gembel
terdengar keras.
"Uhhh...!"
"Maaf, Kisanak...," ucap Rangga ketika melihat laki-laki setengah baya itu
terjajar ke belakang sambil meringis kesakitan. Rasanya, kakinya bagai
kesengat kala berbisa.
"He he he...! Apakah kau pikir aku akan kalah, karena kau telah berhasil
menangkis seranganku?" ejek si Badut Gembel sambil tertawa sinis. Namun dari
sorot matanya sudah terbaca ada rasa kekaguman terhadap pemuda berbaju rompi
putih itu.
Sementara Rangga masih berdiri tegak sambil memandang pada laki-laki
setengah baya bertubuh gemuk pendek itu dengan seksama. Jarak mereka kini
hanya tujuh langkah. Namun tiba-tiba tubuh laki-laki gemuk itu telah kembali
melompat menyerang bagaikan kilat.
"Yeaaa!"
"Uts!"
Kepalan tangan si Badut Gembel menderu ke arah wajah Pendekar Rajawali
Sakti, menimbulkan angin bersiur kencang yang hebat bukan main. Maka
buru-buru Rangga menjatuhkan diri ke tanah. Lalu, kedua kakinya diayunkan ke
tubuh si Badut Gembel yang sedang melayang di atasnya.
"Yeaaa!"
"Heh?!"
Rangga seperti tak percaya dengan apa yang dialaminya. Ternyata, kedua
tangan si Badut Gembel yang terkepal malah bermaksud hendak memapak
tendangannya yang berisi tenaga dalam tinggi. Tentu saja hal itu sangat
membahayakan diri si Badut Gembel sendiri. Apalagi, dari benturan pertama
tadi, Rangga sudah bisa mengukur tenaga dalam lawan yang berada di bawahnya.
Jelas, kedua tangan si Badut Gembel bakal remuk terhantam tendangan kakinya.
Tapi, siapa nyana ketika telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti beradu dengan
kedua kepalan tangan si Badut Gembel.
Ternyata Rangga hanya merasa menghantam angin saja. Sedang tubuh si Badut
Gembel itu telah berputar ke atas lalu meluncur deras ke bawah, tertuju
lurus ke dada Pendekar Rajawali Sakti yang masih terbaring di tanah. Dan
sungguh menakjubkan ternyata si Badut Gembel mendaratkan sebelah kakinya ke
telapak kaki Rangga yang menjulur ke atas.
Agaknya, dia bermaksud mengadu kekuatan dengan mengerahkan tenaga dalam
sekuat mungkin pada kakinya. Hal itu dirasakan betul oleh Pendekar Rajawali
Sakti. Maka, seluruh tenaga dalamnya segera disalurkan ke telapak kakinya.
Dan seketika, kedua kakinya yang perlahan-lahan tertekuk, cepat dihentakkan
ke atas.
"Hiiih!"
"Hup!"
Mendapat dorongan yang demikian kuat si Badut Gembel jadi terlontar ke
atas. Namun dengan indahnya, tubuhnya kembali menukik cepat sambil
berputaran bagai gasing. Lalu langsung disiapkannya satu hantaman berupa
pukulan tangan kanan yang keras ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang masih
terbaring di tanah. Namun, Rangga tak kalah gesit. Cepat tubuhnya
bergulingan dengan kedua kaki bergerak melingkar menyambar pinggang
lawan.
"Hiyaaa!"
Namun, si Badut Gembel ternyata telah cepat melemparkan tubuh ke samping.
Maka, sambaran kaki Pendekar Rajawali Sakti hanya menghantam angin belaka.
Sedangkan si Badut Gembel kini sudah berdiri berjarak beberapa tombak,
ketika Pendekar Rajawali Sakti baru saja bangkit berdiri.
"Ha ha ha...! Ternyata, apa yang kudengar tentang dirimu tidak berlebihan,
Bocah. Kau memang memiliki kepandaian luar biasa! Nah, sekarang pergilah
kalian sebelum pikiranku berubah!" teriak si Badut Gembel.
Rangga hanya tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kata-kata
laki-laki setengah baya itu seperti menyiratkan kalau telah mengalahkan
Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan terkesan mengampuni jiwa Pendekar Rajawali
Sakti dan Pandan Wangi. Padahal kalau saja, Pendekar Rajawali Sakti mau
mencelakakannya, sejak tadi bisa dilakukannya. Lagi pula setelah berkata
demikian si Badut Gembel yang melesat dari tempat itu. Dan sebentar saja,
tubuhnya telah lenyap tertelan kegelapan malam.
"Dasar orang tua sinting!" gerutu Pandan Wangi melihat ulah si Badut
Gembel.
Rangga tak menjawab, malah melangkah ke kuda hitamnya. Dengan gerakan manis
sekali, dia melompat ke punggung kudanya dan memacunya pelan mengikuti
Pandan Wangi yang telah lebih dulu melompat dan menggebah kudanya. Memang,
kadang-kadang sifat manusia aneh. Mereka suka bermain api, tanpa sadar
akibatnya. Demikian pula si Badut Gembel. Tokoh satu ini memang sering usil.
Sering mengganggu, tanpa tahu akibat yang akan diderita. Tapi sebenarnya dia
orang baik, karena sering membantu orang lemah. Kepandaiannya yang cukup
tinggi, sering digunakan untuk menumpas kejahatan. Hanya sayangnya, sifatnya
kadang-kadang usil. Itu saja.
***
TIGA
Dua orang berpakaian serba hitam tampak berjalan di pinggiran Hutan Jati
Kembar tergesa-gesa. Ternyata mereka telah ditunggu oleh lebih dari dua
puluh orang yang rata-rata berwajah seram. Tampak sebilah golok terselip di
pinggang mereka semua. Salah seorang yang berdiri di tengah dua puluh orang
itu bertubuh besar. Bajunya terbuat dari kulit macan loreng. Rambutnya yang
panjang dibiarkan terurai. Tangan kirinya memakai gelang bahar berukuran
besar berwarna hitam mengkilat. Wajahnya polos tanpa kumis dan jenggot.
Namun, sorot matanya demikian tajam berkilat, laksana seekor harimau liar.
Sehingga membuat siapa pun yang bertatapan dengannya pasti merasa takut dan
ngeri.
"Apa yang kalian dapat hari ini Gidon, Wowor?!" bentak orang bertubuh besar
itu yang agaknya bertindak sebagai pimpinan.
"Hanya pepesan kosong, Ki Warkala...," sahut orang laki-laki berkumis
tebal, yang ternyata bernama Gidon. Sedangkan kawannya yang satu datang
bersamanya, tadi dipanggilnya dengan nama Wowor.
"Daripada tidak dapat sama sekali, kami hanya berhasil merampok gerobak
butut dan kerbau ini" timpal Wowor.
"Keparat!" orang yang dipanggil Ki Warkala itu menggeram sambil mengepalkan
tangannya. Melihat perubahan wajah Ki Warkala, semua anak buahnya terlihat
membisu sambil menundukkan kepala. Mereka tahu, apa artinya itu. Dan tak
seorang pun yang berani bersuara.
"Kita tak bisa membiarkan hal ini terjadi terus-menerus!" lanjut Ki
Warkala, masih dengan suara seram.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Ki...?" tanya Gidon, lirih.
Ki Warkala memandang laki-laki berkumis tebal itu sekilas. Kemudian,
matanya menatap lurus ke depan. "Aku sudah punya rencana...," gumam Ki
Warkala.
"Rencana apa itu, Ki?" tanya Wowor.
"Kalian tahu Bukit Serigala?"
"Siapa yang tak kenal tempat itu," sahut Gidon.
"Bagus! Kita akan berangkat ke sana, dan menguasai tempat itu!" sahut Ki
Warkala mantap.
"Menguasai Bukit Serigala?!" kata beberapa orang serentak, dengan wajah tak
percaya.
"Kenapa? Kalian takut ke sana?!" ujar Ki Warkala, agak mendengus.
"Bukan begitu, Ki. Tapi...," sahut Gidon ragu.
"Tapi kenapa?!" bentak Ki Warkala, menggeledek.
"Bukankah di tempat itu telah bercokol Ki Lodaya yang berjuluk Serigala
Iblis Bercambuk Emas? Bahkan dia tak sendirian, tapi beserta dua orang
muridnya. Dan kabarnya juga, di tempat itu banyak kawanan serigala yang
patuh pada perintah mereka," jelas Gidon, mengemukakan
kekhawatirannya.
"Apakah kau ingin kusebut penakut?" tanya Ki Warkala dengan sorot mata
tajam menusuk.
"Eh! Bukan begitu, Ki. Tapi...."
"Diam!" bentak Ki Warkala nyaring. Dipandanginya anak buahnya satu persatu
dengan sorot mata tajam menusuk.
"Perampok Macan Loreng selama ini tak pernah takut pada siapa saja. Apa
yang kita inginkan, harus didapatkan. Aku tak ingin kalian berjiwa pengecut!
Dan lagi, kita tak bisa terus-menerus berada di tempat ini, sementara
Serigala Iblis Bercambuk Emas beserta dua orang muridnya bergemilang harta
di sana! Padahal, hanya mereka bertiga. Sedangkan kita, jauh lebih banyak
daripada mereka. Maka, akan kita hancurkan mereka sekarang juga. Dan siapa
yang tak mau ikut, akan menerima hukuman dariku!" kata Ki Warkala, dengan
suara keras.
"Aku ikut, Ki...!" sahut Wowor, terdengar bergetar.
Mendengar jawaban Wowor, yang lain satu ada seorang pun yang berani
membantah Ki Warkala. Dan kalau ada yang membantah, maka dia tak akan
segan-segan membunuh. Masih untung, Gidon tak menerima hukuman. Memang,
Gidon adalah orang kepercayaan Ki Warkala. Tapi bila anak buah yang lain,
maka bisa dipastikan nyawanya akan melayang dihukum Ki Warkala, jika berani
membantah.
"Kita berangkat sekarang juga!" lanjut Ki Warkala.
***
Di kaki Bukit Serigala, suasana terasa lengang. Hawa dingin terasa menyapu
sekitarnya, di antara kabut yang belum seluruhnya sirna. Daun-daun dan
rerumputan masih basah oleh embun. Rombongan Ki Warkala tampak bergerak
perlahan-lahan dengan mata tajam mengawasi keadaan sekelilingnya.
"Waspada! Jangan lengah!" bisik Ki Warkala pada anak buahnya.
"Baik, Ki."
"Jangan berpencar! Kalian harus saling mengawasi satu sama lain!" lanjut Ki
Warkala kembali.
Semua anak buah Ki Warkala mengangguk cepat. "Aduh! Apa ini?!" sentak salah
seorang anak buahnya, ketika tubuhnya terjerembab karena tersandung sesuatu
di tanah.
"Astaga! Tempat ini penuh tulang tengkorak manusia!" desis kawannya, ketika
melihat ke bawah.
Yang lainnya tersentak kaget, ketika mengetahui apa yang terdapat di
sekitar tempat itu. Wajah mereka tampak cemas, rasa ketakutan kini mulai
merasuki hati mereka.
"Ada apa ribut-ribut?!" sentak Ki Warkala geram.
"Anu, Ki. Tempat ini penuh tulang tengkorak manusia...," sahut Gidon,
takut-takut.
"Keparat! Apa yang kalian takutkan dengan tulang-belulang itu? Apa dia bisa
melawan kalau dihajar?!" geram Ki Warkala, sambil melotot.
"Eh! Ti..., tidak, Ki..."
"Sudah! Kalau begitu, jangan ribut! Sekali lagi kudengar teriakan
ketakutan, kupecahkan batok kepala kalian!" Semua anak buah Ki Warkala
menelan ludah, menahan rasa takut.
Mata mereka melotot lebar, seolah-olah di sekeliling tempat itu penuh hantu
yang siap mencekik kapan saja. Wajah mereka tampak semakin pucat, dan rasa
takut semakin menjadi-jadi bergolak di hati. Keadaan di tempat itu sendiri
masih terasa sunyi mencekam. Sampai kemudian, mereka disentakkan oleh
lolongan serigala yang terdengar sayup-sayup di kejauhan.
"He, kurang ajar!" maki Ki Warkala yang ikut tersentak kaget.
Kembali terdengar lolongan serigala. Kali ini, nadanya pendek dan terdengar
tak jauh dari tempat ini.
"Ki Warkala...," desah beberapa orang anak buahnya dengan suara
bergetar.
"Diam!" bentak Ki Warkala mulai kalut.
"Ha ha ha! Siapa yang berani cari mati memasuki daerah
kekuasaanku...!"
Tiba-tiba terdengar suara keras yang nyaring. Seolah-olah, suara itu
berasal dari segala penjuru.
"Heh?!"
Mereka yang berada di tempat itu kontan jadi terkejut. Termasuk Ki Warkala.
Namun, dia cepat-cepat menguasai diri.
"Siapa kau?! Tunjukkan dirimu! Kami adalah Gerombolan Perampok Macan
Loreng!" Ki Warkala balas membentak lantang.
"Ha ha ha...! Perampok tengik semacam kalian mau bertingkah di sini.
Pergilah sebelum kalian menjadi tulang-belulang!" kembali terdengar suara
yang keras dan lantang.
"Keparat! Tunjukkan dirimu di hadapan kami!" bentak Ki Warkala geram.
"Kalian tak ada derajat untuk berhadapan denganku!"
"Phuih! Siapa pun dirimu, aku tak peduli. Dan sekarang kutegaskan, mulai
hari ini kami yang menguasai Bukit Serigala. Maka yang coba-coba
menghalangi, akan mampus di tanganku!"
"Ha ha ha...! Perampok Tengik Macan Loreng, sesumbarmu tak ada artinya. Aku
Serigala Iblis Bercambuk Emas, penguasa tempat ini. Siapa pun yang berada di
wilayah kekuasaanku, harus tunduk padaku. Dan karena kau telah sesumbar
bacot, maka kau dan seluruh anak buahmu harus mampus!"
"Huh! Serigala Iblis Bercambuk Emas, buktikanlah kata-katamu kalau memang
mampu!" sahut Ki Warkala menantang.
"Auuung...!"
"Heh?!"
Baru saja Ki Warkala selesai berkata, mendadak terdengar raungan serigala
yang saling bersahutan. Bahkan amat dekat dari tempat mereka berada. Ki
Warkala dan anak buahnya kontan tersentak kaget. Dan samar-samar di antara
kabut yang mulai menipis, tampak jelas puluhan ekor serigala telah mengurung
tempat itu sambil memperlihatkan lidahnya yang terjulur meneteskan air liur.
Sorot mata binatang itu terlihat liar dan buas.
"Ki Warkala...," desah beberapa orang anak buah Ki Warkala bernada
ketakutan.
Tapi Ki Warkala tak mengacuhkan kecemasan anak buahnya. Sambil bertolak
pinggang, matanya merayapi sekeliling tempat itu.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Apakah kau seorang pengecut, sehingga
beraninya hanya mengandalkan binatang-binatang menjijikkan itu?!"
"Ha ha ha...! Kalian sama menjijikan dengan binatang-binatang itu. Maka
untuk itulah aku perlu mendatangkan lawan yang sepadan. Nah, Sobat
Nikmatilah keramahan mereka."
Ctarrr!
"Graungrrr...!"
Tiba-tiba terdengar lecutan cambuk, yang disusul raungan serigala yang siap
mendapatkan mangsa.
"Awaaas!"
Bersamaan dengan itu, serigala-serigala yang mengurung tempat itu bersamaan
menerjang Gerombolan Perampok Macan Loreng. Sementara, anak buah Ki Warkala
tampak terkejut untuk sesaat. Namun seketika, mereka mencabut golok
masing-masing.
"Hiyaaa...!"
"Huh! Binatang-binatang celaka, mampuslah kalian!"
Sambil menggeram penuh amarah, Ki Warkala menerjang dua ekor serigala yang
melompat berbarengan menerkamnya. Sementara, dua ekor lagi menerkamnya dari
samping. Ujung golok laki-laki tua itu langsung berkelebat cepat. Hasilnya,
perut dua ekor serigala berhasil dirobek goloknya. Hewan itu kontan menjerit
melengking secara bersamaan. Tubuh kedua hewan itu terjungkal di tanah dalam
keadaan bermandikan darah, dan tak bergerak-gerak lagi. Untung saja
laki-laki tua itu cepat memiringkan tubuhnya, dan terus melompat ke
belakang. Maka terkaman yang mematikan dari dua ekor Serigala itu berhasil
dihindarinya.
"Aaa...!"
"Heh?!"
"Graungrrr...!"
Ki Warkala terkejut ketika tiba-tiba terdengar jeritan beberapa orang anak
buahnya. Terlihat beberapa orang anak buahnya sudah terjungkal diterjang
beberapa ekor serigala yang langsung mengerubuti dan merencah tubuh mereka
yang terluka. Darah seketika membajiri tempat itu, dibarengi pekik kesakitan
yang menyayat. Dengan amarah meluap-luap, laki-laki tua itu melompat
membantu. Namun, lima ekor serigala lain cepat menghadang dari lima arah
yang berbeda.
"Binatang-binatang laknat, mampuslah kalian semua...!" dengus Ki
Warkala.
"Graungrrr...."
"Hiiih!"
Berkali-kali Ki Warkala menyabetkan goloknya. Namun kali ini kawanan
serigala itu seperti mengerti lawannya yang satu ini tak bisa dianggap
enteng. Itulah sebabnya, binatang-binatang liar ini melompat menerkam dengan
lompatan tinggi yang tak diperhitungkan sebelumnya oleh Ki Warkala. Dikira,
serigala-serigala itu akan menyerangnya. Padahal, hewan-hewan buas itu hanya
membingungkannya saja, sehingga membuatnya kelelahan.
Ciet... Ciet! Ciet... Ciet!
"Heh?!"
Pendengaran Ki Warkala yang tajam tiba-tiba menangkap suara angin yang aneh
di antara hiruk-pikuk raungan serigala dan teriakan-teriakan anak buahnya
yang menghadapi amukan hewan-hewan liar itu. Namun belum lagi bisa menduga
apa yang akan terjadi...
"Aaa...!"
Sekonyong-konyong terdengar kembali pekikan panjang yang bersahutan dari
anak buahnya. Tiga orang yang tumbang sekaligus, langsung diterkam
serigala-serigala kelaparan itu.
"Keparat! Kalian telah bermain curang, he?!" geram Ki Warkala ketika
menyadari adanya sambaran senjata rahasia yang sengaja dilemparkan ke arah
anak buahnya.
Baru saja orang tua itu akan melompat ke arah sesosok bayangan yang muncul
tiba-tiba di tempat itu, kembali mendesir angin kencang ke arahnya.
Buru-buru Ki Warkala melompat menangkis dengan golok di tangan.
"Hup!"
Trang! Trak!
Dalam keadaan repot menangkis senjata rahasia yang bertubi-tubi
menyerangnya, seekor serigala menerkam punggung kiri Ki Warkala. Laki-laki
tua itu terkesiap, namun tidak bisa berbuat banyak lagi. Maka....
Brettt!
"Aaakh!"
Ki Warkala kontan menjerit kesakitan. Seketika tubuhnya berbalik, seraya
mengayunkan goloknya ke belakang untuk menyambar serigala itu. Akibatnya
hewan liar itu melolong kesakitan. Bahkan tubuhnya langsung terbelah dua.
Tapi, saat itu juga kembali mendesir angin kencang dari senjata rahasia
sebuah sosok bayangan yang mengancam keselamatan Ki Warkala. Dua buah
berhasil di tangkis goloknya, namun...
"Aaakh!"
Ki Warkala langsung mengeluh kesakitan, ketika sebuah senjata rahasia
menancap di pahanya. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung ke belakang. Dengan
cepat, dicabutnya senjata rahasia yang berupa paku sebesar telunjuk itu.
Tampak di sekitar lukanya telah berubah menjadi biru yang menandakan kalau
paku itu beracun. Dan agaknya racun itu cepat menjalar. Ki Warkala seketika
merasakan kaki kanannya sulit digerakkan lagi. Peredaran darahnya seperti
terhenti dan otot-ototnya langsung kejang.
Namun, orang tua itu masih berhasil menghindar dengan menjatuhkan diri,
ketika dua ekor serigala menerkamnya. Dan baru saja tubuhnya menyentuh
tanah, kembali terdengar pekik kesakitan dari anak buahnya. Tiga orang telah
ambruk dan langsung diterkam kawanan serigala itu. Darah mulai menggenangi
tempat itu, setelah didahului oleh teriakan kematian yang memilukan.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Hadapilah aku, kalau kau memang jantan.
Jangan bisanya hanya mengandalkan binatang-binatang keparat itu!" teriak Ki
Warkala geram setelah berhasil menghindari terkaman dua ekor serigala. Dan
kedua binatang buas itu langsung menyerang anak buah Ki Warkala.
***
EMPAT
"Ha ha ha...! Kenapa tanganku mesti kotor oleh darah busuk kalian? Tapi
agar kematianmu lebih berarti, baiklah. Akan kusambut tantanganmu itu!"
sahut sebuah suara yang tak jelas wujudnya.
Ctarrr!
Kembali terdengar cambuk membelah angkasa. Maka, satu persatu kawanan
serigala itu kontan menghentikan serangannya. Dan, perlahan-lahan mereka
menjauhi gerombolan Perampok Macan Loreng yang kini tinggal tujuh orang,
termasuk Ki Warkala. Memang sebagian besar telah tewas diterkam kawanan
serigala itu. Dan sebagian lagi, tersambar senjata rahasia berupa paku-paku
beracun.
Di hadapan Gerombolan Perampok Macan Loreng, kini berdiri sesosok bertubuh
tegap terbungkus kulit hitam. Rambutnya yang riap-riapan sepanjang bahu,
dibiarkan begitu saja tak terurus. Mata kirinya ditutupi kain hitam, namun
mata kanannya menatap tajam satu persatu lawan-lawannya. Kemudian, kepalanya
berpaling kepada Ki Warkala.
"Majulah kalau ingin mampus!" dengus laki-laki bertubuh tegap itu
dingin.
Ki Warkala memandang agak lama pada laki-laki di hadapannya. Ternyata,
orang itu hanya memegang sebatang tombak bermata tiga. Jadi, bukan senjata
cambuk seperti dugaan sebelumnya. Lalu, dari mana datangnya suara cambuk
tadi?
"Kaukah yang bernama Serigala Iblis Bercambuk Emas?" tanya Ki Warkala,
seraya menatap tajam laki-laki yang memegang sebatang tombak bermata
tiga.
"Bukan. Aku Serigala Mata Satu, murid kedua Serigala Iblis Bercambuk
Emas!"
"Huh! Aku ingin bertemu dan bertarung melawan gurumu! Pergilah kau, Bocah.
Dan, panggil gurumu ke sini untuk menghadapiku!" sahut Ki Warkala,
menganggap remeh lawannya.
"Ha ha ha...! Dasar macan ompong! Nyawamu sudah di ujung tanduk saja, tapi
masih berlagak. Kau masih beruntung berhadapan denganku, sehingga mau tak
percuma direncah serigala-serigala ke-laparan itu. Nah, bersiaplah kau!"
ejek laki-laki bertubuh tegap, yang ternyata Rajendra atau berjuluk Serigala
Mata Satu.
Ki Warkala bergerak ke samping, ketika ujung tombak Rajendra menyambar
kepalanya. Dan tubuhnya langsung melompat ke belakang, ketika Serigala Mata
Satu menyusuli dengan satu tendangan keras. Namun, ketika ujung tombak
Rajendera terus berkelebat cepat menyambar, Ki Warkala tak bisa berbuat
banyak. Maka....
Bet! Bet!
"Aaakh!"
Ki Warkala kontan menjerit kesakitan, ketika sambaran ujung tombak merobek
kulit dadanya. Seketika, beberapa tulang rusuknya terasa ngilu. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang sambil memuntahkan darah kental berwarna
kehitaman. Agaknya, racun yang berasal dari mata tombak Serigala Mata Satu
bekerja cepat. Bahkan langsung mempengaruhi seluruh aliran darahnya.
Terbukti, Ki Warkala kemudian jatuh ke tanah, dan langsung
menggelepar-gelepar sambil menjerit-jerit kesakitan. Dia berusaha bangkit,
namun saat itu juga tubuhnya kembali terjerembab!
"Ke..., kenapa kalian di..., diam saja? Ha..., hajar dia...!" ujar Ki
Warkala pada anak buahnya dengan suara terbata-bata. Namun kemudian terlihat
laki-laki itu kembali berguling-gulingan menahan rasa sakit yang semakin
hebat di sekujur tubuhnya.
"Ti..., tidak. Lebih baik aku menyelamatkan diri saja," sahut salah seorang
anak buah Ki Warkala.
Dan dia langsung kabur dari tempat itu. Ternyata, perbuatan itu diikuti dua
orang kawannya yang lain. Namun baru saja mereka berlari sejauh lima tombak,
sekonyong-konyong kawanan serigala yang masih berjaga-jaga di tempat itu
menerkam tanpa kenal ampun.
"Graungrrr...!"
"Aaa...!"
Dalam sekejap, ketiga orang itu ambruk bersimbah darah. Dan seketika
kawanan serigala yang kelaparan itu merencah daging mereka tanpa tersisa
lagi.
"Biadab!" geram salah seorang anak buah Perampok Macan Loreng yang masih
tersisa.
"Aaa...!"
Mendadak mereka dikejutkan oleh lenguhan panjang Ki Warkala ketika tubuhnya
mengejang. Darah kental berwarna kehitaman tampak mengalir dari sudut-sudut
bibirnya. Sepasang matanya melotot. Dan saat itu pula, nyawanya melayang
dengan sekujur tubuh menjadi biru kehitam-hitaman!
"Serigala Mata Satu! Kami akan mengadu jiwa denganmu!" dengus anak buah
Perampok Macan Loreng yang lain.
"Sayang, kalian juga akan mampus!" dengus Serigala Mata Satu sambil
melompat ke arah mereka sambil mengayunkan tombaknya.
"Awaaas...!" teriak salah seoang di antara anak buah Ki Warkala
memperingatkan ketiga kawannya.
Serigala Mata Satu bergerak cepat sambil mengayunkan tombaknya ke arah
lawan. Dua orang berhasil menghindar dengan menundukkan kepala. Namun ketika
tubuh Rajendra berbalik, yang seorang tak sempat menghindar ketika Serigala
Mata Satu langsung melancarkan tendangan. Desss! Orang itu menjerit
kesakitan. Tubuhnya langsung terpental beberapa langkah. Dan belum lagi
orang itu menyadari apa yang terjadi, kawanan serigala sudah
menerkamnya.
"Aaa...!"
Sementara itu seorang lagi anak buah Ki Warkala terus mencoba menghindari
tendangan Rajendra dengan memiringkan badan. Namun, rupanya gerakan itu
hanya tipuan belaka. Karena, justru kepalan kiri si Serigala Mata Satu sudah
cepat menghantam telak dadanya. Akibatnya tubuh orang itu kontan terjengkang
ke belakang, dan kembali disambut kawanan serigala itu dengan buasnya.
Dua orang dari Perampok Macan Loreng yang tersisa kini hanya diam sejenak
sambil memandang ke arah Serigala Mata Satu yang tegak berdiri mengawasi.
Wajah mereka tampak pucat, sejenak mereka saling berpandangan, kemudian
perlahan-lahan mundur ke belakang. Namun baru saja beberapa langkah,
terdengar beberapa ekor serigala menggeram buas. Tentu saja hal ini membuat
keduanya tersentak kaget. Wajah mereka semakin pucat, dan keringat dingin
mulai mengucur deras dengan tubuh gemetar.
"Tinggal kalian berdua sekarang. Nah, bersiaplah untuk mampus!" dingin
sekali suara Serigala Mata Satu sambil melangkah perlahan mendekati kedua
lawannya.
"Kisanak, ampunilah kami! Tolong, jangan bunuh kami...!" pinta keduanya,
seraya bersujud ke tanah menghiba.
"Ha ha ha...! Ternyata kalian kenal takut juga. Baiklah, kalian akan
kuampuni. Nah! Berdiri, dan cepat pergi dari sini!" sahut Serigala Mata
Satu.
"Oh, benarkah? Terima kasih, Kisanak. Terima kasih! Kami tentu tak akan
melupakan budi baikmu!" kata mereka serentak sambil bersujud beberapa
kali.
Kemudian dengan cepat, tubuh mereka berbalik dan berlari terbirit-birit
meninggalkan tempat itu. Seperti mengerti apa yang dikatakan Serigala Mata
Satu, kawanan serigala yang berada di sekitar tempat itu mendiamkan saja
kedua orang yang kabur. Namun baru saja mereka belari kira-kira sepuluh
tombak, tubuh Serigala Mata Satu melompat ke atas sambil berputar.
"Hup!"
Ser! Ser!
Dari sebelah tangan Rajendra langsung melesat beberapa buah paku beracun.
Senjata rahasia itu terus meluncur deras, menghantam punggung kiri sisa
terakhir anak buah Ki Warkala.
Crab! Crab!
"Aaa...!"
Kedua orang itu langsung tersungkur ke tanah sambil menjerit
kesakitan.
"Itu bagian kalian!" dengus Serigala Mata Satu sambil membelakangi kedua
lawannya yang terkapar.
"Graungrrr...!"
Begitu selesai kata-katanya, maka seketika itu juga kawanan serigala itu
melompat menerkam kedua orang yang tengah sekarat di tanah dengan tubuh
membiru. Mereka terus memekik setinggi langit, namun dalam sekejap suara itu
sudah berhenti. Kini di tempat itu telah basah oleh darah.
"Huh!"
Serigala Mata Satu mendengus sinis, kemudian perlahan meninggalkan tempat
itu. Namun baru saja beberapa langkah berjalan, mendadak sekelebat bayangan
hitam melesat ke arahnya. Begitu cepatnya, sehingga suaranya nyaris tak
terdengar. Serigala Mata Satu menunduk sambil mengayunkan tombaknya ke atas.
Namun, tubuhnya hanya seperti menyambar angin belaka. Pandangannya yang
tajam langsung melihat sesosok bayangan hitam kembali berkelebat menyambar
ke arahnya.
"Hiiih!"
Cepat Rajendra mengayunkan tombaknya menyambut serangan lawan. Namun,
bayangan hitam itu menghindar ke samping. Dan kemudian satu tendangan keras
nyaris membuat batok kepala Rajendra pecah, kalau tak cepat bergulingan.
Jelas, tendangan itu keras bukan main. Dan itu dapat dirasakan dari angin
sambarannya. Rajendra terus bergulingan, sementara bayangan hitam itu terus
mencecarnya. Bahkan kaki bayangan hitam itu nyaris membuat tubuhnya hancur
kalau saja tidak terus bergulingan.
Jder!
Terdengar suara besar menggelegar, begitu kaki bayangan hitam itu tidak
menemui sasaran, dan hanya menghantam tanah. Terlihat bekas tapak kaki di
tanah yang melesak sedalam hampir dua jengkal. Padahal, tanah di tempa itu
keras dan berbatu!
Ser! Ser!
Meski begitu, Rajendra masih mampu melemparkan beberapa buah senjata rahasi
ke arah bayangan hitam yang masih melesat ke arahnya. Seketika bayangan
hitam itu menangguhkan serangannya, dan langsung berjumpalitan menghindar
sambil mengebutkan tangannya. Terdengar bunyi berdenting ketika senjata
rahasia berbalik menyerang diri Rajendra sendiri.
"Hup! Sial...!"
Serigala Mata Satu memaki geram sambil melompat ke depan, menghindari
senjatanya sendiri. Namun saat itu, satu sambaran serangan bayangan hitam
itu kembali mengincar menderu batok kepalanya. Begitu cepat gerakan bayangan
hitam itu, sehingga tak ada waktu lagi bagi Rajendra untuk menghindar. Maka
langsung dipapaknya hantaman yang mengincar kepalanya.
Plak!
"Uhhh!"
Rajendra atau Serigala Mata Satu mengeluh kesakitan ketika pergelangan
tangannya terasa sakit dan linu sekali, akibat berbenturan dengan tangan
bayangan hitam itu tadi. Tapi masih untung tubuhnya cepat bergulingan,
ketika merasakan satu sapuan keras kembali mengarah ke dada.
"Kurang ajar!"
Cepat-cepat tombak di tangan Rajendra diputar-putar bagai kitiran untuk
melindungi pertahanan dada, sekaligus mendesak lawan. Dalam sekejap saja,
tempat di sekitar itu bertiup angin kencang yang menerbangkan dedaunan
kering dan debu, sehingga menghalangi pandangan.
"Hiyaaa...!"
Dalam keadaan begitu, terdengar bentakan nyaring dari bayangan hitam itu.
Sementara Serigala Mata Satu balas meningkatkan tenaga dalamnya saat
memainkan tombak. Namun, mendadak tubuhnya bergetar hebat. Bahkan genggaman
pada tombaknya nyaris mengendur ketika membentur sebuah benda sekeras baja.
Tubuhnya langsung ter-huyung-huyung ke belakang, namun masih sempat
melemparkan senjata rahasia.
"Yeaaa!"
Ser! Ser!
Tubuh sosok berpakaian serba hitam itu cepat melesat dan berputaran
beberapa kali, menghindari serangan senjata rahasia Rajendra. Namun tanpa
diduga sama sekali, sosok berpakaian hitam itu terus melesat ke arah
Rajendra. Tak ada kesempatan lagi buat Serigala Mata Satu untuk menghindar.
Dan tiba-tiba saja dadanya terasa mendapat hantaman keras, sehingga
membuatnya terjungkal ke tanah sambil menjerit kesakitan. Masih untung,
sosok bayangan hitam itu tak melanjutkan serangan. Setelah berputaran
beberapa kali, dia mendarat dan tegak berdiri mengawasi sambil tertawa
terbahak-bahak.
Emoticon