SATU
Udara pagi ini begitu sejuk, setelah semalaman bumi diguyur hujan lebat
dari langit. Angin berhembus lembut mempermainkan dedaunan basah oleh sisa
air hujan. Di antara pepohonan dan rerumputan liar, terlihat seorang pemuda
berbaju kulit harimau sedang berjalan-jalan menikmati kesegaran udara pagi
ini. Sesekali tangannya meraih bunga yang tumbuh liar, lalu mencampakkannya
ke udara. Angin yang bertiup basah menghempaskan bunga itu sebelum jatuh ke
tanah.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menghentikan ayunan kakinya begitu tiba di
depan sebuah gubuk kecil yang ringkih bagai hendak rubuh. Pandangan matanya
begitu nanar, menatap lurus gubuk kecil reyot di depannya. Pintu gubuk yang
tertutup rapat, tiba-tiba terkuak memperdengarkan suara bergerit nyaring
menyakitkan telinga.
Dari dalam gubuk itu keluar seorang perempuan tua mengenakan baju panjang
yang lusuh dan kumal. Warnanya hampir pudar ditelan usia. Begitu pula
perempuan tua itu. Entah sudah berapa tahun usianya. Tapi yang jelas lebih
dari tujuh puluh tahun. Tubuhnya yang bungkuk disangga sebuah tongkat kayu
berwarna coklat kehitaman Perempuan tua itu melangkah menghampiri pemuda
berbaju kulit harimau yang memandanginya dengan sinar mata sayu.
"Bagaimana keadaannya, Nyi Rampik?" tanya pemuda berbaju kulit harimau
itu.
"Yaaah.... Meskipun sulit, tapi masih bisa kuhambat sedikit Berdoalah, Nak
Bayu," sahut perempuan tua yang dipanggil Nyi Rampik itu sedikit
mendesah.
"Apakah ada harapan sembuh?" tanya pemuda berbaju kulit harimau yang
ternyata memang Bayu atau si Pendekar Pulau Neraka.
"Mudah-mudahan Hanya saja...," Nyi Rampik tidak melanjutkan
ucapannya.
"Hanya apa?"
"Mungkin hanya mampu bertahan beberapa hari saja, tapi mungkin juga bisa
lebih. Tapi asal dia tidak banyak menggunakan kekuatan tenaga dalam yang
akan membuka saluran jalan darahnya."
Bayu terdiam membisu. Matanya menerobos ke dalam gubuk kecil reyot di
depannya, melalui pundak Nyi Rampik. Tampak di sebuah dipan kayu beralaskan
daun tikar pandan, tergolek seorang wanita muda berbaju hijau muda. Tarikan
napasnya kelihatan begitu lemah meskipun teratur lembut.
Sampai saat ini Pendekar Pulau Neraka tidak tahu lagi, apa yang harus
dilakukannya. Pertarungan gadis Itu melawan Seruni berakibat sangat parah.
Entah ilmu apa yang digunakan Seruni, sehingga membuat Rampita semakin
lemah. Tenaganya keluar tak terkontrol. Bahkan setiap kali menggunakan
tenaga dalam, selalu memuntahkan darah. Tak ada tanda-tanda kalau gadis itu
terluka. Tapi menurut Nyi Rampik, Rampita mengalami luka dalam yang sangat
parah, dan kemungkinan merenggut nyawanya. Nyi Rampik sendiri tidak tahu,
luka apa sebenarnya yang diderita Rampita.
"Mungkin hanya ada satu cara yang dapat menyembuhkan lukanya, Nak Bayu,"
ujar Nyi Rampik.
"Segala kemungkinan harus kita coba, Nyi," tegas Bayu.
"Hm..., kau tahu Bunga Cubung Biru?"
Bayu tersentak mendengar Nyi Rampik menyebut Bunga Cubung Biru. Ditatapnya
dalam-dalam perempuan tua itu. Tapi kemudian Pendekar Pulau Neraka mendesah
panjang, menghembuskan napas berat Rampita bisa terluka begitu karena
persoalan Bunga Cubung Biru yang belum terselesaikan sampai sekarang (Baca
Serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah: "Rahasia Bunga Cubung
Biru").
"Ada apa, Nak Bayu?" tanya Nyi Rampik.
"Hhh...!" Bayu menghembuskan napas panjang dan berat. Meskipun baru kemarin
Bayu mengenal perempuan tua ini, tapi sudah bisa dipercayainya. Nyi Rampik
seorang perempuan tua yang dikenal karena ahli dalam ilmu pengobatan. Hampir
semua orang di bagian Barat Kaki Gunung Cakal ini mengenal betul tabib itu.
Dan Bayu mengetahui tentang perempuan tua ini juga dari para penghuni sebuah
desa di Kaki Gunung Cakal sebelah Barat ini.
Biasanya seorang tabib tidak akan berpihak pada siapa pun. Dia akan
mengobati siapa saja yang datang meminta pertolongan kepadanya. Malah akan
melindungi dengan taruhan nyawa sekali pun. Karena itu Bayu tidak
segan-segan lagi menceritakan semua yang terjadi pada diri Rampita sehingga
mengalami luka yang sangat parah ini (Baca serial Pendekar Pulau Neraka,
dalam kisah: "Rahasia Bunga Cubung Biru"). Sedangkan Nyi Rampik mendengarkan
penuh perhatian.
"Hm..., jadi gadis itu pewaris tunggal Bunga Cubung Biru?" ujar Nyi Rampik
seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Benar, Nyi. Tapi dia sendiri tidak tahu, di mana Bunga Cubung Biru itu.
Bahkan amanat yang diberikan ayahnya menjelang ajal telah menimbulkan
malapetaka," sahut Bayu agak mendesah.
"Bunga itu memang langka dan sangat berkhasiat Tidak banyak orang yang
beruntung sehingga bisa memilikinya. Memang setiap keberadaannya selalu
menimbulkan bencana besar. Banyak orang yang ingin memilikinya, bahkan
sampai berani mempertaruhkan nyawa," agak bergumam nada suara Nyi Rampik,
seakan berkata pada dirinya sendiri.
Bayu hanya diam saja.
"Memang banyak penyakit yang bisa kuobati. Tapi untuk penyakit dalam akibat
pertarungan seperti ini..., rasanya sukar sekali. Aku harus tahu dulu ilmu
apa yang digunakan," lanjut Nyi Rampik.
"Mungkin Rampita sendiri tahu, Nyi," kata Bayu.
"Kau sendiri?"
'Tidak."
Nyi Rampik memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu. Jelas sekali kalau
sorot mata perempuan tua itu tidak mempercayai jawaban Bayu. Padahal
Pendekar Pulau Neraka itu menjawab sejujurnya. Bayu memang tidak tahu ilmu
apa yang digunakan Seruni Yang diketahuinya adalah, Seruni memiliki sebuah
ilmu aneh yang bisa membuat badai salju.
***
Sudah tiga hari ini Bayu terpaksa tinggal di gubuk Nyi Rampik. Rampita
memang sudah bisa bangun, tapi keadaannya masih terlalu lemah. Nyi Rampik
tidak mengijinkan gadis itu pergi sebelum sembuh benar. Perempuan tua itu
masih terus mencoba menyembuhkan luka yang diderita Rampita.
Malam itu Pendekar Pulau Neraka masih belum bisa memejamkan mata. Sementara
malam terus merayap semakin tinggi. Angin berhembus kencang menebarkan udara
dingin menusuk tulang. Pemuda berbaju kulit harimau itu menoleh ketika
mendengar langkah kaki menghampiri. Bibirnya tersenyum melihat Rampita
menghampiri. Gadis itu duduk disampingnya, sementara wajahnya masih
kelihatan lemah dan agak pucat
"Belum tidur, Rampita?" pelan suara Bayu.
"Tidak bisa tidur," sahut Rampita juga pelan suaranya.
"Seharusnya kau tidur. Tidak baik angin malam bagi kesembuhanmu."
Rampita tersenyum tipis, namun tidak bersuara seraya matanya menerawang
jauh. Sementara Bayu merayapi wajah cantik di sampingnya. Pandangan pemuda
itu beralih ke arah gubuk kecil yang hanya diterangi pelita minyak jarak.
Sunyi sekali tempat ini. Sangat terpencil, jauh dari jingkungan pemukiman
penduduk
"Kakang...," Rampita berpaling menatap Bayu.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
Sesaat mereka hanya saling tatap dalam kebisuan.
"Ada apa, Rampita?" tanya Bayu.
"Kau jadi pergi, besok?" tanya Rampita.
'Tentu. Aku akan mencari Bunga Cubung Biru untukmu," sahut Bayu setengah
mendesah.
"Sia-sia saja, Kakang," lirih sekali suara Rampita.
"Aku yakin, ayahmu pasti menyimpan bunga itu di suatu tempat yang sangat
rahasia. Malah sampai-sampai kau sendiri tidak mengetahuinya."
Rampita terdiam, wajahnya tertunduk merayapi tanah diujung kakinya. Gadis
itu memungut sepotong ranting kering dan menggores-goreskannya di tanah.
Sedangkan Bayu hanya memperhatikan tanpa membuka mulutnya yang terkunci
rapat.
"Kotak kayu itu sudah kau serahkan pada Seruni. Ayah tidak pernah
mengeluarkan Bunga Cubung Biru dari dalam kotak itu," tegas Rampita masih
terdengar pelan suaranya.
'Tapi Seruni bilang kotak itu sudah kosong. Bahkan menuduhku sudah
mengambil bunga itu, Rampita. Aku yakin kalau ayahmu sudah memindahkannya ke
lain tempat" sangkal Bayu.
"Kau belum tahu siapa sebenarnya Seruni itu, Kakang. Dia sangat.licik.
Segala cara selalu dilakukannya demi mencapai segala keinginannya. Aku
merasa...," kata-kata Rampita terputus.
"Kenapa, Rampita?" desak Bayu.
Rampita tidak langsung menjawab. Diangkat kepalanya, langsung menatap
pemuda di sampingnya. Agak dalam juga gadis itu merayapi wajah Pendekar
Pulau Neraka. Seakan-akan ingin di yakini kalau yang duduk di sampingnya ini
seorang pemuda berwajah tampan dan berkepandaian sangat tinggi. Sedangkan
Bayu membiarkan saja gadis itu menatapi wajahnya.
"Kau tampan sekali, Kakang. Hati-hatilah terhadap Seruni," desah Rampita
kembali menunduk
Bayu jadi mengerutkan keningnya. Sungguh sulit dimengerti ucapan Rampita
barusan. Namun di balik suaranya, Pendekar Pulau Neraka itu menangkap
sesuatu yang sukar diartikan. Hanya Rampita sendiri yang bisa memastikan
ucapannya tadi.
"Tampaknya kau kenal sekali dengan Seruni, Rampita," pancing Bayu.
Rampita mengangkat kepalanya lalu tersenyum tipis. Kembali pandangannya
menerawang jauh ke depan. Tatapan matanya begitu kosong, lurus tak berkedip.
Gadis itu seperti tengah mengingat sesuatu, atau tengah terbayang-bayang
masa lalunya. Bibirnya yang kecil memerah itu tak lepas mengembangkan
senyuman tipis hampir tak terlihat. Tapi senyum itu mendadak lenyap
bersamaan dengan redupnya cahaya matanya.
"Siapa sebenarnya Seruni itu, Rampita?" tanya Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu semakin ingin tahu saja, karena dirasakan adanya
sesuatu yang tersembunyi di antara kedua gadis ini. Dugaan kalau antara
Rampita dan Seruni memiliki hubungan darah, tak pernah lenyap dari benak
Bayu. Walaupun Rampita sendiri belum memberi jawaban yang diharapkan. Satu
teka-teki besar masih menyelimuti diri gadis itu.
"Untuk apa kau selalu menanyakan itu, Kakang?" Rampita balik
bertanya.
Bayu tidak bisa menjawab. Keingintahuannya hanya karena didorong rasa
penasaran terhadap sikap Rampita pada Seruni. Gadis ini selalu saja
mengalah, bahkan sampai-sampai rela mengalami luka dalam begitu parah. Bayu
yakin, ada sesuatu antara Rampita dan Seruni. Sesuatu yang selalu ditutupi
dan dirahasiakan gadis ini.
"Sudah malam. Aku tidur dulu, Kakang," ujar Rampita seraya bangkit
berdiri.
Sebelum Bayu sempat membuka suara, gadis itu sudah melangkah menuju gubuk
kecil. Pendekar Pulau Neraka terus memandangi gadis itu sampai lenyap di
dalam gubuk kecil itu. Pemuda berbaju kulit harimau itu masih duduk di
bangku dibawah pohon, dan pandangannya tak beralih dari gubuk kecil yang
hanya diterangi sebuah pelita minyak jarak
Sementara malam terus merambat semakin larut Udara pun semakin dingin.
Namun Pendekar Pulau Neraka tetap bertahan duduk di bawah pohon. Otaknya
terus berputar, untuk bisa menemukan jawaban dari teka-teki gadis itu.
Begitu sulitnya teka-teki itu, sehingga sukar dipecahkan.
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri, lalu berjalan gontai menuju
gubuk kecil yang berdinding bilik bambu. Terlalu banyak lubang pada dinding
gubuk itu, sehingga cahaya pelita mampu menerobos keluar. Bayu menghempaskan
tubuhnya di balai bambu, kemudian merebahkan diri. Kedua tangannya terlipat
untuk membantali kepalanya.
"Hhh...! Kenapa aku begitu memikirkannya...?" diasah Bayu diiringi hembusan
napas panjang.
***
Pagi-pagi sekali Bayu sudah bersiap-siap meninggalkan tempat sunyi dan
terpencil ini. Hatinya sudah bertekad hendak mencari Bunga Cubung Biru.
Sekuntum bunga langka yang hanya tumbuh satu kali dalam seratus tahun. Nyi
Rampik sudah mengatakan kalau hanya bunga itu yang dapat menyembuhkan luka
dalam Rampita.
Bayu memandangi Rampita yang mengantarkan sampai kepinggir sungai di
belakang gubuk Nyi Rampik. Pendekar Pulau Neraka itu memandangi wajah cantik
yang sedikit tertunduk. Entah kenapa, pemuda tampan ini seperti berat
berpisah dengan Rampita. Dia.sendiri tidak tahu tentang perasaannya ini.
Belum pernah dirasakan hal seperti ini pada seorang gadis.
"Aku harap bisa secepatnya kembali ke sini dengan Bunga Cubung Biru," kata
Bayu pelan.
"Mengapa kau ingin sekali mendapatkan bunga itu, Kakang?" tanya Rampita
seraya mengangkat kepadanya memandang Pendekar Pulau Neraka itu.
"Bunga itu sangat berarti bagimu, Rampita. Hanya dengan bunga itulah kau
bisa sembuh, pulih seperti semula."
"Tapi kau akan mendapatkan kesulitan besar, Kakang."
"Apa pun namanya, aku selalu bergelimang segala macam kesulitan.
Percayalah. Semuanya pasti bisa kuatasi dan kembali membawa Bunga Cubung
Biru," Bayu meyakinkan gadis ini.
"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, Kakang. Hati-hatilah. Aku akan
menunggumu di sini," ucap Rampita pelan.
Bayu menggamit pundak gadis itu. Ditatapnya dalam-dalam wajah cantik itu.
Untuk beberapa saat lamanya mereka saling bertatapan tanpa bicara separah
kata pun. Pelahan telunjuk Bayu menyentuh dagu gadis itu, lalu mengangkatnya
hingga terdongak. Rampita memejamkan matanya pelahan ketika Bayu mendekatkan
wajahnya ke wajah gadis itu. Semakin dekat, semakin terasa desahan napasnya
yang menerpa kulit wajah kemerahan.
Bayu memandangi bibir mungil yang setengah terbuka. Bibir indah yang selalu
merah basah dan menantang. Lembut sekali Pendekar Pulau Neraka mengecup
bibir yang agak bergetar itu. Hanya sekali kecupan lembut, namun sudah
membuat seluruh tubuh Rampita bergetar bagai tersengat ribuan lebah beracun.
Gadis itu masih memejamkan matanya meskipun kecupan itu telah hilang dari
bibirnya.
Pelahan Rampita membuka mata, dan langsung menundukkan kepalanya. Sekilas
terbersit rona merah pada wajahnya. Entah kenapa, tiba-tiba saja gadis itu
jadi gugup, dan tidak sanggup memandang sorot mata pemuda tampan ini.
"Aku pergi dulu, Rampita," pamit Bayu.
"Ya...," hanya itu yang keluar dari bibir mungil Rampita.
Bayu menepuk pundak gadis itu, kemudian melangkah meninggalkannya. Rampita
baru mengangkat kepalanya setelah pemuda itu pergi cukup jauh. Gadis itu
berdiri mematung memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka itu. Pelahan
diusap bibirnya dengan jari-jarinya yang bergetar.
"Kakang...," desah Rampita lirih.
Rampita masih berdiri mematung meskipun bayangan tubuh Pendekar Pulau
Neraka sudah tidak terlihat lagi. Gadis itu baru membalikkan tubuhnya, tapi
tidak jadi melangkah. Ternyata tiba-tiba saja di depannya sudah berdiri Nyi
Rampik yang langsung tersenyum. Seketika wajah Rampita memerah, lalu
buru-buru menundukkan kepalanya.
'Pemuda yang gagah sekali," gumam Nyi Rampik seraya melangkah menghampiri
Rampita.
Rampita hanya diam saja. Pelahan diangkat kepalanya, tapi tak sanggup
memandang bola mata perempuan tua di depannya. Entah kenapa, ada rasa malu
menyelinap di hati gadis ini. Kalau saja bisa, mungkin sudah disimpan
bibirnya. Kecupan lembut Pendekar Pulau Neraka begitu membekas, tak akan
terlupakan sepanjang hidupnya. Kecupan pertama seorang pemuda yang telah
menggetarkan relung hatinya.
"Kau sudah mengatakannya, Rampita?" tanya Nyi Rampik seraya memandangi
gadis itu dalam-dalam. Rampita menggelengkan kepalanya pelahan.
"Kenapa?"
"Aku.... Aku tidak sanggup mengatakannya, Nyi. Dia sudah berkorban banyak
untukku. Rasanya tidak sanggup untuk melukai hatinya," lirih sekali suara
Rampita.
"Aku bisa memahami perasaanmu, Rampita. Yaaah...,memang sukar
mengatakannya. Tapi aku percaya, Bayu seorang pemuda yang tegar. Dia pasti
bisa menerima semuanya dengan lapang dada dan besar hati, meskipun
pahit"
"Itulah yang membuatku tidak bisa, Nyi."
"Aku tidak menyalahkanmu, Rampita. Semuanya memang sudah digariskan Hyang
Widi. Kira hanya sebuah pelakon yang memainkan peranan di atas panggung luas
ini. Serahkan saja segalanya pada Yang Kuasa," lembut sekali suara Nyi
Rampik.
"Nyi...."
Rampita tak kuasa lagi membendung perasaannya. Gadis itu menghambur,
menjatuhkan diri dalam pelukan perempuan tua ini. Sedangkan Nyi Rampik hanya
menepuk-nepuk punggung gadis itu, dan mengelus rambutnya yang hitam berbau
harum.
"Sudahlah, Rampita. Doakan saja agar Bayu bisa membawa Bunga Cubung Biru.
Bagaimanapun juga, kau sendirilah yang harus menyelesaikan semua ini. Bukan
Bayu, atau siapa saja!" tegas Nyi Rampik seraya melepaskan pelukan gadis
itu.
"Benar. Memang hanya aku yang bisa, Nyi. Bukan orang lain, atau pun Kakang
Bayu," desah Rampita lirih.
Nyi Rampik merengkuh pundak gadis itu, lalu membawanya melangkah
meninggalkan tepian sungai kecil ini. Mereka berjalan pelahan dengan pikiran
masing-masing.
"Nyi...."
"Ada apa?"
"Apakah tidak sebaiknya aku sendiri yang mencari bunga itu, Nyi?" Rampita
memandangi wajah perempuan tua yang berjalan dengan bantuan sebatang tongkat
di sampingnya.
"Jangan menyiksa dirimu, Rampita. Kau belum pulih benar," sahut Nyi Rampik
agak terkejut.
'Tapi, Nyi...."
"Kau sendiri tidak tahu di mana bunga itu, bukan?" potong Nyi Rampik
cepat.
Rampita terdiam. Kakinya terus terayun pelahan. Kepalanya tertunduk dalam
memperhatikan ujung-ujung kakinya yang menapak pelahan di samping perempuan
tua ahli pengobatan ini.
"Nyi, boleh menanyakan sesuatu padamu?" pinta Rampita setelah lama berdiam
diri.
"Katakan, apa yang ingin kau tanyakan."
"Kenapa Nyi Rampik berpura-pura tidak mengenalku didepan Kakang Bayu?"
tanya Rampita.
Nyi Rampik tidak langsung menjawab. Ditariknya napas panjang dan
dihembuskannya kuat-kuat Sementara Rampita memandangi, menunggu jawaban
perempuan tua itu. Tapi yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Nyi
Rampik masih berdiam diri tanpa menghentikan ayunan kakinya.
Sampai mereka tiba di pondok, Nyi Rampik belum juga memberi jawaban dari
pertanyaan Rampita. Meskipun berharap, namun gadis itu tidak ingin mendesak,
dan hanya diam saja. Mereka kemudian duduk berdampingan di samping pondok,
di atas tumpukan kayu bakar yang belum semuanya terbelah.
"Ayo, Rampita. Tenaga dalammu harus bisa kau latih kembali. Mudah-mudahan
kau masih menyimpan sedikit kekuatan," kata Nyi Rampik setelah cukup lama
berdiam diri membisu.
"Baiklah," sahut Rampita setengah mendesah.
"Kalau masih memiliki sedikit tenaga dalam, aku yakin kau akan pulih. Aku
akan membantumu dengan penyaluran hawa murni ke dalam tubuhmu." ,
"Nyi, bukankah itu berbahaya?" sentak Rampita terkejut
"Demi kau, Rampita. Ayo, jangan membantah!"
"Baik, Nyi."
***
DUA
Desa Temanggal adalah satu-satunya desa yang berada di Kaki Gunung Cakal
sebelah Timur. Sebenarnya tidak lagi cocok disebut desa, karena begitu besar
dan penduduknya begitu rapat. Desa itu lebih tepat disebut kota kadipaten.
Tapi rupanya penduduk di sini lebih senang menyebutnya sebuah desa, daripada
sebuah kota.
Saat menjelang senja, Bayu sudah tiba di desa itu. Tidak mungkin lagi
perjalanannya diteruskan, karena sebentar lagi malam tiba. Untuk mencapai
Lembah Bunga, masih diperlukan tiga hari perjalanan lagi dari desa ini.
Pendekar Pulau Neraka itu memasuki sebuah kedai yang tidak terlalu padat
pengunjungnya.
Seorang pelayan atau mungkin juga pemilik kedai menghampiri, menyambut
ramah disertai senyum mengumbar lebar. Laki-laki tua bertubuh gemuk ini
membawa Bayu ke meja kosong. Sungguh beruntung, karena meja ini bersebelahan
langsung dengan jendela yang menghadap keluar. Jadi pemuda berbaju kulit
harimau ini bisa langsung memandang keadaan luar.
"Pesan apa, Den?" tanya laki-laki tua gemuk itu ramah.
" Apa saja yang bisa membuat perutku kenyang," sahut Bayu seenaknya.
"Wah! Makanan di sini lengkap, Den. Kalau dibawa semua, meja ini tentu
tidak muat," seloroh laki-laki gemuk itu.
"Kalau begitu, sediakan saja arak dan makanan secukupnya. Apa saja yang
disediakan tidak akan kutolak, asal enak."
"Baik, Den"
Laki-laki gemuk itu bergegas ke belakang. Sementara Bayu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling ruangan kedai ini. Tidak begitu banyak
pengunjung, dan hanya beberapa meja saja yang terisi. Dari tampang, pakaian,
serta senjata yang disandang, Bayu dapat memastikan kalau mereka rata-rata
dari kalangan persilatan Tapi ada juga beberapa orang yang kelihatannya dari
kalangan biasa.
Pendekar Pulau Neraka itu mengalihkan perhatiannya keluar melalui jendela
di sampingnya. Kening pemuda berbaju kulit harimau itu menjadi berkerut,
karena hampir semua orang yang lewat di jalan menyandang senjata berbagai
macam bentuk dan ukuran. Kembali diedarkan pandangannya ke sekeliling kedai
ini. Pada saat itu pemilik kedai menghampiri sambil membawa baki cukup
besar, penuh berisi makanan dan seguci arak.
"Silakan dinikmati, Den," ucap laki-laki gemuk itu setelah meletakkan semua
pesanan Bayu di meja.
'Terima kasih," sambut Bayu seraya tersenyum.
Laki-laki tua gemuk itu bergegas meninggalkan tamunya, dan kembali sibuk
melayani tamu-tamu lainnya. Sementara Bayu menikmati santapannya. Agak geli
juga hatinya melihat hampir seluruh meja di hadapannya penuh piring makanan.
Memang tidak akan mungkin dihabiskan semuanya. Beginilah jadinya kalau
memesan makanan asal memesan saja.
"He! Pergi sana! Tidak ada makanan sisa buatmu!" tiba-tiba terdengar
bentakan keras mengejutkan.
Bayu yang baru saja akan menenggak araknya, jadi tertahan. Dilayangkan
pandangannya ke arah suara bentakan tadi. Tampak laki-laki tua gemuk pemilik
kedai ini berkacak pinggang di depan pintu. Seorang laki-laki tua kurus
kering dan berpakaian compang camping berdiri terbungkuk di depannya.
Seluruh tubuh dan pakaiannya kotor berdebu. Tubuhnya disangga sebatang
tongkat kayu bercabang dua pada bagian ujung atas.
"Biarkan dia makan bersamaku, Ki!" teriak Bayu.
Laki-laki gemuk pemilik kedai itu terkejut. Dipandanginya Bayu setengah
tidak percaya. Bahkan hampir semua pengunjung kedai ini juga mengalihkan
pandangannya ke arah Pendekar Pulau Neraka itu. Namun pemuda berbaju kulit
harimau itu tidak peduli, lalu bangkit berdiri dan menghampiri pengemis tua
itu. Dibawanya orang itu ke mejanya.
"Duduk di sini, Kisanak," kata Bayu.
"Oh, terima kasih. Terima kasih, Den Biar di bawah saja," ujar pengemis tua
itu.
"Duduklah di bangku, Ki," Bayu memaksa.
Dengan sikap penuh hormat pengemis tua itu duduk di depan Bayu. Sementara
pemuda berbaju kulit harimau itu meminta satu piring lagi. Maka pemilik
kedai bertubuh gemuk itu memberi sebuah piring. Namun pandangan matanya
masih tidak bisa mempercayai sikap tamunya ini.
"Makanlah sepuasmu. Kalau perlu, bungkus yang tersisa untuk keluargamu,"
kata Bayu.
'Terima kasih, Den," ucap pengemis tua itu.
Bayu tersenyum, lalu segera menenggak araknya yang tadi belum sempat
menyentuh bibirnya. Pendekar Pulau Neraka itu tersenyum-senyum melihat
pengemis tua ini melahap makanan yang terhidang disertai napsu besar.
Mungkin sudah beberapa hari dia tidak bertemu, makanan. Sedangkan Bayu hanya
makan sedikit saja.
"Raden tidak makan?" tanya pengemis tua itu melihat Bayu tidak meneruskan
makannya.
"Aku sudah kenyang. Habiskan saja, Ki," sahut Bayu ramah.
"Ah! Kalau saja semua orang sebaik Raden, tentu tidak akan banyak pengemis
yang mati kelaparan," desah pengemis tua itu.
"Tidak selamanya aku berbuat begini, Ki," jelas Bayu terus terang diiringi
senyum tipis.
"Oh, kenapa Raden berbuat baik padaku?"
Bayu tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja. Kemudian dipanggilnya
pemilik kedai bertubuh gemuk itu, untuk membayar semua makanan dan minuman
yang telah dipesan. Pemilik kedai itu menyebutkan harganya, dan Bayu
membayarnya semua. Bahkan juga meminta untuk membungkus sisa makanannya
untuk dibawa pengemis tua itu.
"Makanlah yang enak. Semua sudah kubayar," ucap Bayu seraya mengayunkan
kakinya meninggalkan kedai itu.
Tinggal pengemis tua itu terbengong dengan mulut penuh makanan. Demikian
juga laki-laki gemuk pemilik kedai ini. Belum pernah dilihatnya ada orang
begitu berbaik hati, mengajak seorang pengemis tua makan satu meja
bersamanya. Bahkan membayar semua makanan dengan uang berlebih. Tidak ada
yang tahu, kenapa pemuda berbaju kulit harimau itu berbuat demikian. M
emang, yang diinginkannya hanyalah agar makanan yang dipesan tidak terbuang
percuma. Kebetulan sekali ada pengemis, maka semua makanannya bisa diberikan
kepada pengemis tua itu.
***
Tepat ketika matahari baru saja berada di atas kepala, Bayu melewati
perbatasan Desa Temanggal. Namun ayunan langkah kaki Pendekar Pulau Neraka
itu terhenti tiba-tiba, ketika mendengar suara orang mengaduh disertai
bentakan-bentakan keras. Suara itu datang dari balik sebuah bukit batu yang
tidak terlalu tinggi, dan berada di sebelah kanan.
"Hup !"
Sekali lompatan saja, Pendekar Pulau Neraka sudah berada di atas bukit batu
kecil itu. Seketika matanya terbeliak begitu melihat tiga orang laki-laki
bertubuh kekar dan bertampang kasar tengah menganiaya seorang laki-laki tua
bertubuh kurus, berpakaian compang camping.
"Huh! Rupanya kau memilih mampus daripada menunjukkan di mana Rampita
berada, heh...?!" bentak salah seorang seraya memberi satu pukulan keras ke
wajah laki-laki tua itu.
Des!
"Akh...!" laki-laki tua berpakaian pengemis itu terpekik.
Tubuh yang kurus kering itu tersungkur jatuh ke tanah. Darah mengalir
keluar dari mulutnya. Dan sebelum pengemis tua itu bisa bangkit berdiri,
kembali datang satu tendangan keras mendarat di tubuhnya. Tak pelak lagi,
dia terguling beberapa kali sambil merintih kesakitan.
"Katakan! Di mana Rampita!" bentak seorang yang mengenakan baju biru
tua.
"Sungguh, aku tidak tahu di mana gadis itu berada," sahut pengemis tua
itu.
"Phuih!"
Dug!
"Akh...!"
Kembali terdengar pekikan keras ketika satu pukulan keras bersarang lagi di
tubuh kurus tua itu. Belum lagi hilang pekikan itu, kembali salah seorang
yang mengenakan baju merah melayangkan pukulannya. Tapi mendadak
saja....
Tap !
"Heh...!" laki-laki kekar berbaju merah itu terkejut.
Dan sebelum ada yang menyadari apa yang terjadi, mendadak saja laki-laki
berbaju merah itu terpekik. Seketika tubuhnya terpental ke atas, namun masih
bisa bersalto sebelum mendarat lunak di tanah. Sedangkan dua orang lainnya
menjadi terpana begitu di dekat pengemis tua sudah berdiri seorang pemuda
berbaju kulit harimau.
Pemuda yang tak lain adalah Pendekar Pulau Neraka itu membantu pengemis tua
berdiri, kemudian merayapi tiga laki-laki berwajah kasar di depannya.
Pandangan mata Bayu begitu tajam menusuk.
"Memalukan! Menganiaya orang tua tak berdaya...!" dengus Bayu dingin.
"He, Kisanak! Jangan ikut campur urusanku!" bentak orang berbaju biru
geram.
"Kalian mencari Rampita, maka harus berurusan dulu denganku!" dingin sekali
suara Bayu.
Ketiga laki-laki bertubuh kekar itu terperanjat kaget, sehingga sampai
terlompat mundur dua langkah dan saling berpandangan satu sama lain.
Sedangkan Bayu dengan halus mendorong pengemis tua ke belakang. Bibirnya
menyunggingkan senyuman tipis. Dilangkahkan kakinya tiga tindak ke depan.
Kedua tangannya terlibat di depan dada.
"Kalian jangan hanya bisa mengeroyok orang tua. Hayo, hadapi aku!" tantang
Bayu lantang.
"Siapa kau, Kisanak!" bentak laki-laki berbaju merah.
'Tidak perlu kalian tahu siapa aku! Pergi dari sini, atau ingin merasakan
kepalan tanganku!" Bayu memberikan dua pilihan.
"Beludak! Hajar bocah kurang ajar ini!" geram laki-laki yang berbaju merah
kembali membentak, karena merasa diremehkan.
Seketika itu juga ketiga orang bertubuh kekar itu berlompatan menyerang
Pendekar Pulau Neraka. Meskipun diserang secara bersamaan, namun Pendekar
Pulau Neraka hanya mengegoskan tubuhnya sedikit Dan tanpa diduga sama sekali
tangannya berkelebat cepat bagai kilat.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu ketiga orang itu berpentalan
diiringi pekikan keras. Mereka bergelimpangan ditanah, namun cepat bangkit
Sesaat ketiga orang itu saling berpandangan, lalu masing-masing mencabut
golok yang terselip di pinggang.
"Mampus kau keparat! Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hih!"
Bayu langsung merentangkan kakinya ke samping, kemudian dengan cepat
memiringkan tubuhnya ketika sebuah golok berkelebat mengarah ke dada. Dan
sebelum golok itu tertarik pulang, secepat kilat Pendekar Pulau Neraka
menghentakkan tangannya.
Digh!
"Akh...!" laki-laki berbaju merah yang mengibaskan golok itu menjerit
keras.
Dan sebelum lawan terpental, kembali Bayu melayangkan satu tendangan keras
bertenaga dalam tinggi. Tak pelak lagi, laki-laki bertubuh kekar mengenakan
baju merah itu terpental deras ke belakang. Tubuhnya keras sekali menghantam
dinding batu. Dia mengerang sambil menggeliat lalu diam tak berkutik lagi.
Dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah. Sedangkan dadanya tampak melesak
masuk ke dalam.
Dua orang lainnya menjadi geram bukan main melihat seorang temannya tewas
dengan dada remuk. Mereka langsung berlompatan menyerang dengan permainan
golok yang cepat dan dahsyat. Namun Bayu bukanlah lawan enteng. Akibatnya,
mudah sekali Pendekar Pulau Neraka membuat senjata lawan-lawannya terpental.
Sebelum mereka bisa berbuat sesuatu, Bayu sudah melancarkan beberapa pukulan
yang tak satu pun luput dari sasaran. Jeritan-jeritan melengking terdengar
saling sambut, kemudian dua sosok tubuh kekar itu menggelepar ditanah.
Bayu menghampiri pengemis tua begitu melihat lawannya sudah tak berkutik,
tanpa nyawa lagi. Pengemis tua itu hanya memandangi Bayu. Mereka memang
sudah pernah bertemu sebelumnya di sebuah kedai
"Kenapa mereka mencari Rampita, Ki?" tanya Bayu langsung.
"Aku tidak tahu," sahut pengemis tua itu.
"Hm..., mereka memaksamu," gumam Bayu dengan kening berkerut "Siapa mereka,
dan apa hubunganmu dengan Rampita?"
Pengemis tua itu tidak langsung menjawab. Dia hanya memandangi pemuda
berbaju kulit harimau itu dalam-dalam, kemudian tanpa berkata sedikit pun,
melangkah pergi.
"Hey...! Tunggu!" seru Bayu seraya mengejar.
"Pergilah, Anak Muda. Jangan ganggu aku. Aku yakin, kau pasti sama seperti
yang lain. Berpura-pura baik dan menolongku, padahal hatimu busuk!" agak
ketus nada suara pengemis tua itu.
Bukan main terkejutnya Bayu mendengar kata-kata ketus itu. Pendekar Pulau
Neraka tadi bertindak cepat dengan membunuh ketiga laki-laki itu, karena
mendadak hatinya panas mendengar nama Rampita disebut-sebut. Dan lagi pula,
Bayu memang tengah menyelidiki, siapa sebenarnya Rampita itu. Seorang Dara
Ayu penuh misteri. Bayu sendiri tidak mengerti kenapa begitu memperhatikan
gadis itu Padahal mereka kenal belum begitu lama.
***
Karena Bayu terus mengikuti, pengemis tua itu menghentikan langkahnya.
Laki-laki tua itu lalu memandang tajam pemuda berbaju kulit harimau itu.
Sungguh berbeda sekali sikapnya ketika mereka bertemu pertama kali di kedai.
Tatapan mata pengemis tua itu kini tidak lagi terlihat sayu, tapi begitu
tajam menusuk. Bahkan berdirinya tegak, tidak membungkuk seperti orang
kelaparan yang meminta belas kasihan hanya untuk sesuap makanan.
"Kenapa kau mengikutiku terus, Anak Muda?" dengus pengemis tua itu
dingin.
"Jawab dulu pertanyaanku, Ki," sahut Bayu kalem.
Pengemis tua itu menatap Bayu tajam.
"Aku yakin, kau sendiri tidak tahu di mana Rampita kini berada. Lagi pula,
apa hubunganmu dengan Rampita?" agak dingin nada suara pengemis tua
itu.
"Justru karena mereka menghubung-hubungkan dirimu dengan Rampita, maka itu
jadi urusanku!" sentak Bayu ketus.
"Heh?! Apa urusanmu dengan Rampita?" sekarang pengemis tua itu yang
terperanjat.
Bayu hanya tersenyum-senyum kecil. Disandarkan punggungnya di sebuah pohon
yang cukup rindang, menaungi dirinya dari sengatan sinar matahari Sedangkan
pengemis tua memandangi dengan kening yang semakin berkerut dalam.
"Anak Muda, siapa kau sebenarnya?" tanya pengemis tua.
"Kau sendiri, siapa?" Bayu malah balik bertanya, dan bersikap
seenaknya.
"Anak Muda, kau memang telah menolongku dari kelaparan. Tapi itu bukan
berarti aku berhutang budi padamu!" desis pengemis tua itu dingin.
"Aku tidak pernah membicarakan balas budi, dan tidak akan pernah!" tegas
kata-kata Bayu. "Aku hanya ingin mengingatkan kalau di antara kita berada
dalam situasi sama. Tapi tampaknya kau tidak menginginkan. Baik..., aku akan
pergi. Dan selamanya kau tidak akan bisa bertemu Rampita!"
Setelah berkata demikian, Bayu langsung memutar tubuhnya dan melangkah
pergi.
'Tunggu...!" cegah pengemis tua cepat-cepat.
Bayu menghentikan ayunan kakinya, kembali berbalik menghadap pengemis tua
kurus kering itu.
"Ada apa lagi? Bukankah tadi menyuruhku pergi?"
"Aku mengaku kalah padamu, Anak M uda," ujar pengemis tua itu pelan.
"Hah...?! Bertarung juga belum, kenapa mengaku kalah?"
"Pertarungan bukan hanya adu kekuatan, Anak Muda. Kita tadi sudah melakukan
satu pertarungan, berupa pertarungan mental! Dan aku mengakui kekalahanku.
"
Bayu mengangkat bahunya. Kepalanya menoleh ke kiri, kemudian menghampiri
sebongkah batu yang tidak begitu besar, tidak jauh di sebelah kirinya.
Pendekar Pulau Neraka itu duduk mencangkung di situ Sedangkan pengemis tua
itu seenaknya duduk di tanah, bernaung di bawah pohon tidak jauh di depan
Bayu.
"Sebaiknya kita mulai dengan memperkenalkan diri masing-masing, Anak Muda,"
usul pengemis tua itu memulai.
"Kau bisa memanggilku Dewa Pengemis."
"Kau tentu punya nama lahir, bukan?" Bayu tidak puas.
"Aku tidak tahu lagi namaku yang sebenarnya." "Baiklah kalau begitu."
"Siapa namamu, Anak Muda?"
"Bayu"
"Siapa yang lebih dulu menceritakan hubungan kita dengan Rampita?"
"Kau dulu."
Laki-laki tua kurus berpakaian compang-camping yang mengenalkan diri
sebagai Dewa Pengemis itu tersenyum kecut. Kepalanya tergeleng beberapa
kali. Secara jujur, dalam hati diakui keteguhan pemuda berbaju kulit harimau
ini. Meskipun kata-katanya selalu terdengar tegas, bahkan menjurus kasar,
tapi Dewa Pengemis masih menangkap adanya kelembutan pada sorot mata
Bayu.
"Sebenarnya aku bukanlah orang lain bagi Rampita. Karena, aku adalah kakak
kandung ayahnya," Dewa Pengemis memulai menjelaskan di hadapan Pendekar
Pulau Neraka.
"Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Dewa Pengemis?" sergah Bayu.
"Itu urusanmu, Bayu. Yang jelas, jauh-jauh aku datang dari Selatan ingin
bertemu adik dan keponakanku. Tapi ternyata adikku sudah tewas, dan
padepokan yang didirikan dengan susah payah telah hancur. Tapi aku tetap
berusaha untuk bertemu keponakanku di Gunung Cakal. Tapi ternyata Rampita
juga sudah tidak ada lagi di sana. Sungguh tidak kumengerti, karena selama
berada di sini, sudah tiga kali aku bentrok dengan orang-orang yang tidak
bisa kumengerti apa maksud mereka mencari Rampita. Aku benar-benar tidak
tahu."
Bayu terdiam, tapi pandangannya agak dalam ke mata Dewa Pengemis. Memang
sudah disaksikannya, begitu banyak orang dari kalangan rimba persilatan
tumpah di selatar Kaki Gunung Cakal. Bahkan sampai ke Lembah Bunga. Tapi
Pendekar Pulau Neraka itu belum mau percaya begitu saja pada laki-laki tua
pengemis ini.
"Kau sudah pernah bertemu Rampita sebelumnya?" tanya Bayu menguji.
"Beberapa kali," sahut Dewa Pengemis.
Di mana biasanya kau bertemu Rampita?"
"Di Puncak Gunung Cakal. Tepatnya di sebuah gua yang menjadi tempat
tinggalnya. Semula keponakanku itu tinggal bersama Paman dan Bibi dari
ibunya. Tapi setelah paman dan bibinya meninggal, tidak pernah kujumpainya
lagi sampai sekarang. Entah sudah berapa tahun tidak kulihat," jelas Dewa
Pengemis.
Bayu semakin dalam memandangi laki-laki tua pengemis itu. Pendekar Pulau
Neraka memang pernah ke Puncak Gunung Cakal, menemui Rampita. Tapi ternyata
bukan gadis itu yang tinggal di sana. Melainkan seorang yang hampir mirip
dengan Rampita. Gadis cantik yang hidupnya bersama seekor binatang beruang
putih raksasa, dan juga penuh misteri!
Sebenarnya Bayu ingin mengatakan kalau di Puncak Gunung Cakal sekarang
bukan lagi menjadi tempat tinggal Rampita, tapi seorang gadis penuh misteri
bernama Seruni. Namun saat mendengar cerita Dewa Pengemis, pikiran Bayu
langsung berubah. Pendekar Pulau Neraka itu langsung bisa mengetahui kalau
Seruni telah meninggalkan Puncak Gunung Cakal. Juga, Bayu sudah bisa menebak
untuk apa gadis itu pergi.
"Dewa Pengemis, boleh aku tahu. Apakah paman dan bibi Rampita tidak
mempunyai anak? tanya Bayu yang tiba-tiba mendapat pemikiran yang mungkin
bisa mengungkap tabir misteri ini.
"Kenapa kau tanyakan itu, Bayu?" tanya Dewa Pengemis tanpa menjawab
pertanyaan Pendekar Pulau Neraka tadi.
"Maaf. Dalam saat seperti ini, aku tidak bisa begitu saja mempercayai
setiap orang. Apalagi yang berhubungan dengan Rampita. Masalahnya, hampir
semua orang mengetahui seluk-beluk keluarga gadis itu," jelas Bayu.
Dewa Pengemis mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti ucapan Pendekar
Pulau Neraka itu, kemudian tersenyum. Entah apa arti senyumnya itu. Bayu
sendiri sukar untuk memahaminya.
"Aku senang kalau Rampita berada di tempat yang aman dalam keadaan selamat.
Tapi...," kata-kata Dewa Pengemis terputus.
'Tapi, kenapa...?"
Belum lagi Dewa Pengemis melanjutkan kata-katanya, mendadak saja sebuah
bayangan hijau berkelebat Dan tahu-tahu di antara kedua orang itu berdiri
gadis cantik mengenakan baju warna hijau muda. Baik Bayu maupun Dewa
Pengemis terbeliak kaget. Mereka sampai terlonjak berdiri, dan mata terbuka
lebar seolah-olah tidak mempercayai apa yang dilihat kini.
***
TIGA
Bayu tidak bisa berkata apa-apa. Baginya sulit dimengerti kenapa tiba-tiba
saja Rampita muncul di tempat ini. Sementara Dewa Pengemis sudah menghampiri
gadis itu dan berdiri di sampingnya. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau
itu masih terdiam mengamati gadis cantik yang berdiri di depannya.
Seakan-akan ingin dipastikan kalau gadis itu memang benar Rampita.
"Hh! Tidak kusangka kau begitu licik, Kakang. Kau hendak memperdaya
pamanku!" dingin sekali nada suara Rampita.
"Rampita, apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau..," suara Bayu
terputus.
"Sikap dan kata-katamu memang manis, Kakang. Sayang sekali, maksud burukmu
bisa kutangkap, walaupun tersembunyi di balik sikap dan kata-kata manismu,"
desis Rampita ketus.
"Rampita, kenapa kau...? Apa yang kau katakan?" Bayu jadi tidak mengerti
pada sikap Rampita.
"Kau memang pandai berpura-pura, Kakang. Tapi semua akal licikmu sudah
kuketahui! Kau harus mati, Kakang!
Hiyaaa...!"
"He! Tunggu...!"sentak Bayu.
Tapi Rampita sudah tidak bisa dicegah lagi. Gadis itu sudah cepat melompat
menerjangnya. Terpaksa Bayu harus berkelit menghindari serangan gadis
berbaju hijau muda itu. Sementara Dewa Pengemis juga tampak kebingungan,
tidak mengerti akan semua ini. Dia hanya dapat diam menyaksikan Rampita yang
tengah menyerang Bayu dengan gencar.
Serangan-serangan yang dilancarkan Rampita begitu bertubi-tubi sehingga
membuat Bayu harus jumpalitan menghindarinya. Beberapa kali Pendekar Pulau
Neraka itu berseru agar Rampita menghentikan serangannya, tapi tidak
dipedulikan. Bahkan semakin memperhebat serangan-serangannya.
Menyadari kalau gadis ini tidak mungkin lagi bisa dihentikan, Bayu menjadi
gusar juga. Pendekar Pulau Neraka paling tidak suka dengan posisi seperti
ini, yang hanya bisa berkelit dan menghindar tanpa dapat membalas sedikit
pun. Dan pada saat Rampita mengarahkan satu pukulan keras kearah dada,
dengan cepat Bayu menyilangkan tangannya di depan dada. Satu benturan keras
pun tak dapat dihindari lagi.
"Akh...!" Rampita terpekik keras ketika pukulannya terhalang tangan
Pendekar Pulau Neraka.
Tepat pada saat itu, Bayu menghentakkan tangan kirinya ke arah lambung.
Begitu cepat gerakan tangannya, sehingga Rampita tak mungkin mengelak lagi.
Sodokan tangan kiri Bayu tepat mendarat di lambung gadis itu. .
Des!
"Ughk...!" Rampita mengeluh panjang.
Selagi tubuh Rampita terbungkuk, Bayu cepat-cepat melompat ke belakang
sejauh dua batang tombak. Sementara Rampita terhuyung-huyung ke belakang
sambil mendekap lambungnya. Seketika wajah gadis itu memerah bagai terbakar.
Seraya menyumpah dan memaki habis-habisan.
"Paman, manusia keparat itulah yang membunuh Ayah! Sudah lama aku
mencarinya. Dia harus mati, Paman!" teriak Rampita seraya meringis menahan
rasa mual yang mulai menggerogoti perutnya.
"Rampita...," Dewa Pengemis kelihatan ragu-ragu.
'Percayalah padaku, Paman. Aku punya saksi," desak Rampita.
Dewa Pengemis kelihatan ragu-ragu. Sebentar ditatapnya Bayu, sebentar
kemudian beralih ke arah Rampita yang tengah berusaha mengatur napasnya
untuk mengusir rasa mual dan nyeri pada lambungnya. Sodokan tangan kiri Bayu
memang cukup keras, mes kipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam. Namun
begitu, sudah membuat Rampita hampir mati tertahan napasnya.
"Kenapa diam saja, Paman. Bunuh dia. Keparat itu membunuh ayahku,
menghancurkan Padepokan Tongkat Sakti.
Bahkan juga mencuri Bunga Cubung Biru!" bentak Rampita gusar melihat Dewa
Pengemis masih diam saja ragu-ragu.
"Rampita, apa yang kau lakukan ini...?!" sentak Bayu tidak mengerti dengan
sikap gadis itu.
"Diam kau, keparat! Pembunuh busuk!" sentak Rampita berang.
"Heh...?!" Bayu tersentak kaget.
Belum pernah Bayu melihat Rampita berkata sekasar itu. Bahkan belum pernah
terlihat begitu berang. Namun belum juga Pendekar Pulau Neraka itu bisa
berpikir lebih jauh, mendadak saja Dewa Pengemis sudah melompat sambil
berteriak keras. Tongkat kayu yang kelihatan rapuh itu diputar kencang, dan
dikibaskan ke arah kepala Pendekar Pulau.Neraka.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Buru-buru Bayu merundukkan kepalanya. M aka sabetan tongkat Dewa Pengemis
lewat sedikit di atas kepala. Namun demikian, pemuda berbaju kulit harimau
itu bisa merasakan angin tebasan tongkat rapuh itu. Sungguh dahsyat dan
mengandung hawa panas menyengat Dan sebelum Bayu mengangkat kepalanya,
mendadak saja Dewa Pengemis sudah melepaskan satu tendangan menggeledek
bertenaga dalam cukup tinggi.
"Jebol! Yeaaah...!"
Bughk!
"Ugh...!"
Bayu terjengkang ke belakang sejauh dua batang tombak Meskipun tidak sampai
ambruk ke tanah, namun cukup membuatnya limbung juga. Didekap perutnya yang
terasa mual. Tendangan Dewa Pengemis begitu keras dan bertenaga dalam cukup
tinggi. Bayu tak bisa lagi bertahan, dan langsung memuntahkan darah agak
kental dari mulurnya. Seketika pandangan matanya jadi nanar.
"Hiy aaat ...!"
Dewa Pengemis tidak lagi menunggu lama, langsung melompat sambil cepat
memutar tongkatnya. Sementara Bayu masih belum bisa menghilangkan rasa mual
pada perutnya.
Tapi mendapat serangan lagi, Pendekar Pulau Neraka bergegas membanting
tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali menghindari tebasan dan
tusukan tongkat kayu secara beruntun.
"Hup !"
Cepat Bayu melompat bangkit. Pada saat itu Dewa Pengemis sudah kembali
bergerak menyerang. Kakinya cepat menyusur tanah, membuat debu berkepul
bagai tersepak kak kuda yang dipacu cepat. Ujung tongkatnya lurus ke depan
mengarah dada Pendekar Pulau Neraka.
"Hiy aaat ...!"
"Hap! Yeaaah...!"
Tap !
Cepat Bayu menggerakkan tangannya. Dan tepat ketika.ujung tongkat hampir
menyentuh dada, Pendekar Pulau Neraka itu merapatkan kedua tangannya di
depan dada. Seketika ujung tongkat Dewa Pengemis terjepit di antara telapak
tangan Bayu yang menyatu rapat. Tapi Dewa Pengemis rupanya tidak kehilangan
akal. Sambil melentingkan tubuh.ke depan, dihentakkan kakinya menendang dada
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Yeaaah...!"
"Hih!"
Buru-buru Bayu menghentakkan tangannya ke depan seraya melepaskan
jepitannya pada tongkat laki-laki tua pengemis itu, dan secepat itu pula
melompat mundur sejauh tiga langkah. Pada saat yang sama, Dewa, Pengemis
berputaran di udara, kemudian mendarat di tanah dengan manis sekali. Baru
saja Bayu hendak membuka mulut untuk bicara, tiba-tiba saja terdengar
teriakan keras. Dan seketika Pendekar Pulau Neraka itu terkejut. Ternyata
dari arah samping kiri, Rampita sudah melompat sambil menghunus pedang ke
arahnya.
Wut! Wuk...!
"Hiy aaat ..!"
Cepat sekali Bayu menarik tubuhnya ke belakang menghindari tebasan pedang
gadis berbaju hijau muda itu. Dan secepat itu pula, sambil melentingkan
tubuhnya ke belakang secara berputar, dikirimkan satu tendangan keras. Kalau
saja Rampita tidak cepat-cepat melangkah mundur,.pasti dadanya terhajar
tendangan itu.
Namun sebelum gadis itu sempat melakukan serangan kembali, Bayu sudah
memberikan satu pukulan jarak jauh yang keras bertenaga dalam sempurna
sekali. Rampita terperanjat Buru-buru dilentingkan tubuhnya, berjumpalitan
di udara beberapa kali. Pukulan jarak jauh Pendekar Pulau Neraka hanya
mengenai sasaran kosong.
"Rampita, mundur...!" teriak Dewa Pengemis.
"Tidak! Aku harus membalas kematian Ayah!" seru Rampita tidak kalah
kerasnya.
Gadis itu tidak mempedulikan peringatan laki-laki tua pengemis itu. Secepat
kakinya menjejak tanah, secepat itu pula kembali menyerang Pendekar Pulau
Neraka. Dengan pedang di tangan, Rampita bagai dewi maut yang siap mencabut
nyawa. Pedangnya berkelebatan cepat mengurung setiap gerak Pendekar Pulau
Neraka. Tapi serangan-serangan gadis itu mudah sekali dapat dimentahkan.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, mendadak saja Bayu berhasil menyarangkan
satu tendangan ke dada gadis itu. Rampita terpekik, langsung terlontar cukup
jauh ke belakang.
"Rampita...!" seru pengemis tua itu, sambil melompat ke depan mendekati
Pendekar Pulau Neraka. Dengan tongkat kayu di tangan, laki-laki tua itu
menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan ganas sekali. Serangan-serangan
tongkatnya sungguh berbahaya. Bahkan tongkat itu seperti memiliki mata. Ke
mana Bayu menghindari, selalu diikuti.
"Huh! Aku bosan dengan permainan ini! Hiyaaa...!" dengus Bayu langsung saja
mencelat ke atas.
Dan sebelum Dewa Pengemis bisa menyadari, Pendekar Pulau Neraka sudah
menukik deras. Langsung saja dikirimkan satu pukulan keras ke arah dada
begitu kakinya menjejak tanah tepat di depan Dewa Pengemis.
Des!
"Aaakh...!"
Dewa Pengemis menjerit keras. Pukulan Bayu telak menghantam dada Dewa
Pengemis, membuat laki-laki tua itu terpental dan jatuh tepat di samping
Rampita yang sudah bisa bangkit berdiri. Dewa Pengemis berusaha berdiri,
tapi mengeluh merasakan nyeri pada dadanya. Sepertinya ada beberapa tulang
dadanya yang patah. Dewa Pengemis bisa berdiri juga meskipun harus enahan
rasa sakit yang luar biasa.
"Kita pergi saja, Paman," ujar Rampita memberikan saran.
"Baiklah, ayo!" sambut Dewa Pengemis.
Tanpa menunggu waktu lagi, Dewa Pengemis dan Rampita berbalik dan berlari
cepat meninggalkan tempat itu. Bayu hendak mengejar, tapi segera
mengurungkan niatnya. Dia hanya berdiri tegak memandangi kedua orang yang
semakin jauh.
***
Bayu mengayunkan kakinya pelahan membelah hutan lebat. Begitu lebatnya,
sehingga matahari seakan-akan sulit meneroboskan cahayanya. Sekitar hutan
ini begitu lembab. Sepanjang jalan yang dilalui hanya tumpukan daun kering
dan lumut licin berembun. Jamur sangat subur tumbuh di balik batang dan akar
serta pohon-pohon yang sudah mati.
Pendekar Pulau Neraka itu melangkah pelahan sambil memikirkan kemunculan
Rampita. Benar-benar tidak dimengerti akan sikap gadis itu yang jauh
berubah. Sepertinya Rampita adalah seorang gadis asing. Begitu garang dan
liar sekali. Bayu benar-benar tidak mengerti akan perubahan sikap gadis itu
yang begitu tiba-tiba. Bahkan menuduhnya sebagai pembunuh ayahnya.
"Hm..., sebaiknya aku kembali ke gubuk Nyi Rampik," gumam Bayu.
Tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat ke
atas pohon. Bagai seekor burung elang, pemuda berbaju kulit harimau itu
berlompatan dari pohon satu ke pohon lainnya, bagai tidak menyentuh daun
sedikit pun. Begitu ringan dan sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar
Pulau Neraka, sehingga bisa berlompatan di atas pohon seperti berada di atas
permukaan tanah saja. Setiap dedaunan atau ranting yang digunakan untuk
pijakan, tak ada goyangan sama sekali.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Pulau Neraka itu sudah sampai
di depan pondok kecil reyot milik Nyi Rampik. Suasananya begitu sunyi
senyap. Pelahan-lahan Bayu menghampiri pondok itu. Ditajamkan mata dan
telinganya. Namun yang terdengar hanya desiran angin. Bahkan tidak terlihat
adanya tanda-tanda mencurigakan. Suasananya tidak berubah, tetap sunyi
seperti hari-hari yang lalu.
"Rampita...!" seru Bayu keras memanggil.
Sepi. Tak ada sahutan sedikit pun. Bayu jadi curiga dengan keadaan yang
sunyi begini. Langkahnya terhenti di depan pintu pondok yang sedikit
terbuka. Pelahan didorongnya pintu itu. Bunyi bergerit membuat debaran
jantung Pendekar Pulau Neraka itu jadi semakin kencang.
Kosong! Tak ada seorang pun di dalam pondok ini. Tapi begitu Bayu hendak
melangkah pergi, mendadak saja matanya menangkap sesuatu yang mencurigakan
di kolong balai bambu. Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri, lalu
membungkuk melihat ke bawah kolong balai bambu.
"Nyi Rampik...!" desis Bayu terbeliak.
Di dalam kolong balai bambu ini tergeletak seorang perempuan tua yang
sangat dikenal Pendekar Pulau Neraka. Buru-buru pemuda berbaju kulit harimau
itu menarik keluar Nyi Rampik, dan memindahkannya ke atas balai bambu
beralaskan tikar daun pandan.
"Biadab...!" desis Bayu menggeram.
Nyi Rampik dalam keadaan pingsan. Darah di sudut bibirnya hampar mengering.
Pertanda cukup lama perempuan tua itu pingsan. Seluruh wajah perempuan tua
ini memar membiru. Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kecil
ini. Tak ada tanda tanda bekas ada perkelahian disini. Keadaannya cukup
rapi. Tapi, di lantai dekat pintu belakang terdapat bercak darah
mengering.
Bergegas Bayu menghampiri pintu yang langsung menuju bagian belakang. Pintu
itu terbuka lebar, dan Bayu langsung menerobos. Kini Pendekar Pulau Neraka
itu sudah berada di bagian halaman belakang. Tampak pepohonan yang sengaja
ditanam Nyi Rampik hancur berantakan. Bercak-bercak darah mengering terlihat
di mana-mana. Begitu banyak jejak kaki manusia tertera jelas di tanah.
"Hm..., di mana Rampita?" tanya Bayu jadi teringat dengan gadis itu.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja terdengar tawa lepas menggelegar.
Bayu langsung memutar tubuhnya. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di
depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh
tahunan. Wajahnya cukup gagah dihiasi kumis tipis. Tubuhnya kekar berotot,
dan berdada bidang yang berbulu. Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling
ketika mendengar suara berkeresek dedaunan kering.
Dan sekitarnya kini bermunculan orang-orang bersenjata tombak. Jumlah
mereka begitu banyak, lebih dari lima puluh orang. Semuanya bersenjata
tombak yang bagian ujungnya berkeluk seperti mata keris. Mereka semua
langsung membuat lingkaran mengepung, sehingga tak ada satu celah sedikit
pun.
Pendekar Pulau Neraka kembali mengalihkan pandangannya pada laki-laki
setengah baya yang masih gagah di depannya. Dari pakaian yang dikenakan,
sepertinya dia bukan dari kalangan persilatan. Demikian pula orang-orang
yang mengepungnya. Mereka mengenakan seragam bagai seorang prajurit
kerajaan. Tapi, entah dari kerajaan mana. Tak ada lambang yang bisa
menyatakan mereka datang dari suatu kerajaan.
***
"Kau yang bernama Bayu?" tanya laki-laki setengah baya itu.
"Benar. Dan kau siapa?"
"Aku Panglima Gajah Sodra. Aku sengaja menunggumu di sini untuk membawamu
ke Istana Cagar Angin," tegas laki-laki setengah baya itu yang mengaku
bernama Panglima Gajah Sodra.
"Maaf, Gusti Panglima. Sepertinya kita belum pernah bertemu. Kenapa Gusti
Panglima ingin membawaku ke istana?" tanya Bayu, sopan.
"Sebaiknya kau jangan banyak tanya, Bayu. Gusti Prabu sendiri yang akan
bertemu denganmu."
"Aneh.... Apa urusannya Gusti Prabu ingin bertemu denganku?" gumam Bayu
seperti bertanya pada diri sendiri.
"Bayu! Perlu kau ketahui. Aku ditugaskan membawamu ke istana dengan cara
apa pun. Kuharap jangan membangkang, agar tidak menyulitkan dirimu sendiri!"
tegas Panglima Gajah Sodra lagi.
"Kau mengancamku, Gusti Panglima," desis Bayu kurang senang. 'Terserah apa
anggapanmu. Suka atau tidak suka, harus ikut denganku!"
"Kalau aku menolak?"
Panglima Gajah Sodra menggerung pelahan. Tatapan matanya sangat tajam
menusuk langsung bola mata Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu sudah
bersiap menghadapi segala kemungkinan. Diedarkan pandangannya ke sekeliling,
seakan-akan tengah mengukur kekuatan para prajurit Kerajaan Cagar Angin ini.
Jumlah yang cukup banyak, dan pasti mereka prajurit pilihan dengan tingkat
kemampuan rata-rata cukup tinggi.
Selain membawa tombak, mereka juga menyandang pedang di pinggang
masing-masing. Sedangkan Panglima Gajah Sodra hanya membawa pedang yang
masih tergantung dipinggang. Tapi di pinggangnya juga melilit seutas cambuk
hitam yang ujungnya menyerupai bentuk buntut kuda. Bayu bergumam pelahan,
entah apa yang digumamkan itu.
"Adya Bala...!" seru Panglima Gajah Sodra lantang.
Satu teriakan menggemuruh terdengar dari para Prajurit itu. Mereka
mengangkat tombak ke atas sambil berteriak menyambut seruan Panglima Gajah
Sodra. Sementara Bayu sudah menggeser kakinya sedikit ke samping. Sudah bisa
diduga, pasti mereka akan memberikan serangan.
"Bayu, jangan paksa aku menggunakan kekerasan," desis Panglima Gajah Sodra
memperingatkan sekali lagi.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil sambil mengerutkan kening.
Panglima Gajah Sodra mendengus. Diangkat tangannya ke atas, maka seluruh
prajuritnya sudah siap dengan tombak terhunus. Ketika Panglima Gajah Sodra
menghentakkan tangannya ke depan, mendadak saja....
'Tunggu....'" terdengar bentakan keras dan lantang.
Para prajurit yang sudah siap hendak menyerang Pendekar Pulau Neraka,
seketika mengurungkan niatnya. Panglima Gajah Sodra langsung memutar
tubuhnya ke kiri. Dan seketika itu juga dijatuhkan dirinya berlutut seraya
merapatkan tangan di depan hidung. Namun yang terjadi pada Bayu lain lagi.
Pendekar Pulau Neraka itu membeliakkan matanya, seakan-akan tidak percaya
dengan apa yang disaksikannya ini.
"Seruni...," desis Bayu mengenali perempuan muda berbaju putih yang baru
datang itu.
Gadis berbaju putih itu melangkah tenang mendekati Panglima Gajah Sodra.
Sebentar ditatapnya laki-laki setengah bayu yang bersikap penuh rasa hormat
itu. Kemudian pandangannya beralih pada Pendekar Pulau Neraka yang masih
belum mempercayai semua yang dihadapinya ini.
"Gusti Ayu, Anak Muda ini mencoba membangkang," lapor Panglima Gajah
Sodra.
"Apa Paman sudah mengatakan?" tanya Seruni.
"Sudah, Gusti Ayu. Tapi malah ditantang."
Seruni menatap Pendekar Pulau Neraka, lalu melangkah menghampiri dan
berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi. Sedangkan Bayu
hanya diam saja, tapi benaknya terus berputar keras. Gadis yang bernama
Seruni ini memang sungguh misterius. Pertama mengaku bernama Rampita.
Kemudian menjadi gadis liar dengan seekor beruang putih raksasa. Dan kini
muncul dalam keadaan lain lagi. Bayu jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya
dara ayu ini..?
"Kenapa kau menolak undangan Prabu Nata Kesuma, Bayu?" tanya Seruni agak
datar nada suaranya.
"Aku tidak merasa diundang, mereka ingin membawaku secara paksa!" sahut
Bayu ketus.
"Mereka tidak akan memaksa jika kau bersedia ke istana,"
Seruni tidak percaya pada jawaban Pendekar Pulau Neraka.
Bayu terdiam beberapa saat. Otaknya menimbang-nimbang undangan yang tidak
pernah dimengerti ini. Tapi bagi Pendekar Pulau Neraka itu bukan masalah
undangannya, melainkan rasa penasarannya pada diri gadis ini Mungkin jika
ikut ke Istana Kerajaan Cagar Angin, bisa mengetahui siapa sebenarnya.
Seruni Dara ayu yang penuh misteri.
"Baiklah. Aku penuhi undangan raja kalian," tegas Bayu setelah berpikir
cukup lama.
Seruni tersenyum. Kemudian berpaling pada Panglima Gajah Sodra.
Diperintahkannya laki laki itu untuk mempersiapkan kuda. Dengan segera
Panglima Gajah Sodra kembali memerintahkan para prajuritnya mempersiapkan
kuda. Saat itu ketegangan bisa teratasi, namun dalam pikiran Bayu masih
dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan dugaan. Terutama mengenai dara ayu
yang bernama Seruni. Rasa ingin tahunya semakin besar melihat sikap Panglima
Gajah Sodra dan seluruh prajuritnya begitu hormat pada gadis ini. Bahkan
memanggilnya dengan sebutan Gusti Ayu. Suatu sebutan penghormatan bagi
seorang wanita.
***
EMPAT
Sama sekali Bayu tidak menyangka kalau di sekitar Gunung Cakal dan Lembah
Bunga ada sebuah bangunan megah yang merupakan Istana Kerajaan Cagar Angin.
Juga tidak diduga kalau daerah ini merupakan wilayah kerajaan itu. Dan yang
lebih mengherankan lagi, Prabu Nata Kesuma ternyata masih begitu muda.
Mungkin usianya baru sekitar dua puluh tahun.
Bayu memandangi ruangan besar yang ternyata memang Balai Sema Agung Istana
Cagar Angin ini. Cukup banyak orang yang ada di sini, selain Prabu Nata
Kesuma yang duduk di singgasana yang didampingi Seruni. Di belakang raja
muda itu berdiri beberapa gadis cantik mengenakan baju putih dan memakai
selendang wama biru yang membelit pinggang. Bayu pernah bertemu gadis-gadis
cantik itu, bahkan dua orang telah tewas di tangannya. Jumlah mereka kini
tinggal delapan orang lagi.
Agak ke depan di samping kanan, duduk seorang laki-laki setengah baya,
bertampang kasar. Tubuhnya tegap dan terlihat masih gagah. Dialah Panglima
Gajah Sodra. Sementara di sebelahnya duduk beberapa orang pembesar lainnya.
Sedangkan Bayu hanya berdiri saja di tengah-tengah mereka semua. Di belakang
Pendekar Pulau Neraka itu terdapat sekitar dua puluh orang prajurit
bersenjata tombak panjang.
"Aku senang kau sudi memenuhi undanganku, Bayu," ujar Prabu Nata Kesuma.
Suaranya begitu lembut, bahkan seperti wanita saja. Senyuman di bibir yang
merah bagai bibir perempuan selalu terkembang.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
"Mungkin panglimaku memperlakukanmu kurang mengenakan. Maafkan, tidak
seharusnya terjadi adu ketegangan," sambung Prabu Nata Kesuma.
"Langsung saja, Gusti Prabu. Apa maksud Gusti Prabu mengundangku kemari?"
celetuk Bayu tanpa memberi sikap hormat sedikit pun.
Sikap Bayu yang begitu berani membuat para pembesar menjadi memberengut
tidak senang. Terlebih lagi Panglima Gajah Sodra yang hampir saja menerjang.
Untung Prabu Nata Kesuma lebih dulu memberi isyarat dengan mengangkat
tangannya sedikit. Dan Bayu memang tidak peduli, karena sejak semula memang
sudah tidak senang terhadap sikap panglima itu. Kalau saja bukan karena rasa
ingin tahunya mengenai diri Seruni, tidak mungkin Pendekar Pulau Neraka itu
ada di ruangan besar dan megah ini.
"Bayu, kudengar kau sekarang memiliki Bunga Cubung Biru. Benar itu?" ujar
Prabu Nata Kesuma lembut.
"Dari mana kau tahu?" tanya Bayu agak kaget juga meskipun sudah menduga
pasti ada hubungannya dengan Bunga Cubung Biru yang tengah dihebohkan
sekarang ini.
"Kau tentu sudah kenal gadis ini, Bayu?" Prabu Nata Kesuma menoleh pada/
Seruni yang duduk di sampingnya.
Bayu tidak menjawab, tapi hanya memandang Seruni yang tersenyum-senyum
membalas pandangannya. Pendekar Pulau Neraka kembali mengalihkan
pandangannya ke arah Prabu Nata Kesuma.
"Apa saja yang dikatakannya?" tanya Bayu.
"Tidak banyak Tapi..., ah sudahlah. Mungkin kau lelah. Sebaiknya,
beristirahatlah dulu. Kamar untukmu sudah disiapkan," jelas Prabu Nata
Kesuma seraya menjentikkan jarinya.
Seruni bangkit berdiri, lalu menghampiri Pendekar Pulau Neraka.
"Mari, kutunjukkan kamar untukmu," ujar Seruni manis.
Sebentar Bayu menatap gadis itu, kemudian berpaling ke arah Prabu Nata
Kesuma. Raja muda itu mengangguk sedikit dan tersenyum. Tanpa berkata apa
pun, Bayu mengikuti Seruni menuju kamar untuknya.
Sepeninggal Pendekar Pulau Neraka itu, Panglima Gajah Sodra menghampiri
Prabu Nata Kesuma. Diberikannya hormat dengan merapatkan kedua tangannya di
depan hidung.
"Gusti, kenapa tidak kita paksa saja agar mengaku," kata Panglima Gajah
Sodra.
"Aku masih punya rencana yang lebih baik lagi, Paman Gajah Sodra. Kita
sudah melakukan banyak kekerasan. Aku khawatir, rakyat akan tahu tentang
kita yang sebenarnya, sehingga akan menambah kesulitan kita semua, Paman.
Aku tidak ingin semuanya berantakan sebelum berhasil mendapatkan Bunga
Cubung Biru itu," jelas Prabu Nata Kesuma lembut. Namun dalam nada suaranya
mengandung tekanan yang amat dalam.
"Gusti Prabu, hamba dengar si Dewa Pengemis terlihat di sekitar Desa
Temanggal. Bahkan beberapa telik sandi mengatakan melihat Rampita bersama
Dewa Pengemis," lapor Panglima Gajah Sodra.
"Jangan hiraukan, Paman. Mereka bukanlah tandinganku. Biarkan saja mereka
menjual obat, aku yakin tak akan ada yang mau mempercayainya lagi," sembur
Prabu Nata Kesuma.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba hanya merasa khawatir. Sebab anak buah hamba
tewas ketika bentrok dengan Dewa Pengemis."
"Sudahlah, aku akan kembali ke bilik semadi," Prabu Nata Kesuma bangkit
berdiri dari singgasananya.
Delapan orang gadis cantik yang mendampinginya ikut berjalan di belakang
raja muda itu. Sedangkan semua orang yang berada di ruangan Balai Sema Agung
itu menundukkan kepala seraya merapatkan tangan di depan hidung. Mereka baru
mengangkat kepala kembali setelah Prabu Nata Kesuma keluar dari tempat
itu.
***
Malam belum begitu larut Namun Bayu sudah terlelap dialam mimpi. Kamar yang
disediakan Prabu Nata Kesuma memang sungguh menyenangkan, sehingga
membuatnya lebih cepat jatuh tidur daribiasanya. Suasana begitu sunyi dan
gelap. Hanya cahaya bulan yang menerobos masuk menerangi kamar itu. Dalam
keremangan cahaya bulan terlihat sesosok tubuh menyelinap di bawah jendela
luar kamar yang ditempati Pendekar Pulau Neraka.
Sosok tubuh hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam pekat, dan
hanya bagian mata saja yang terlihat. Sosok tubuh berbaju hitam itu mencoba
mencongkel jendela. Hanya sedikit suara yang terdengar, maka jendela sudah
terbuka lebar. Diperhatikannya Bayu yang masih terlelap dalam buaian
mimpi.
Slap !
Sungguh ringan gerakan sosok tubuh hitam itu. Tanpa menimbulkan suara
sedikit pun, dia melompat masuk melalui jendela yang sudah terbuka lebar.
Sebentar diawasinya Bayu, lalu pelahan-lahan bergerak mendekati pembaringan.
Tangannya menggapai-gapai mencari sesuatu di atas meja. Lalu berpindah ke
lemari, dinding, dan setiap sudut di kamar ini. Bahkan permadani yang
menjadi alas lantai kamar ini pun tak luput dari perhatiannya. Namun yang
dicari belum juga ditemukan. Sosok hitam itu kini memusatkan perhatiannya
pada Pendekar Pulau Neraka yang tampaknya masih terlelap tidur.
Namun begitu kakinya hendak melangkah menghampiri, tanpa disengaja
tangannya menyentuh sebuah jambangan yang berada di pinggir meja. Jambangan
dari tanah liat itu jatuh dan pecah di lantai dengan menimbulkan suara
berisik.
"Siapa itu...?"
Seketika Bayu menggelinjang bangkit dari pembaringan. Pada saat itu sosok
tubuh hitam melesat melalui jendela.
"Hai...?!" seru Bayu keras.
Tapi sebelum sosok tubuh hitam itu keluar, tangannya dikibaskan sambil
memutar tubuhnya. Seketika melesat sebuah benda berwarna kemerahan ke arah
Pendekar Pulau Neraka. Sebelum Bayu sempat menyadari, orang berbaju hitam
itu sudah cepat melesat keluar.
"Uts! Hup...!"
Bayu langsung memiringkan tubuhnya, maka benda bulat kecil kemerahan itu
lewat di depan dadanya. Secepat itu pula, Pendekar Pulau Neraka melompat
mengejar melalui jendela juga. Sekilas masih terlihat bayangan hitam
berkelebat melompati tembok benteng istana bagian belakang. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu mengejar. Gerakannya
sungguh cepat dan ringan, sehingga dalam sekejap saja sudah melompati tembok
benteng yang tinggi itu.
"Huh!" Bayu mendengus begitu kakinya menjejak tanah di luar tembok
benteng.
Sosok tubuh hitam itu lenyap tak terlihat lagi bayangannya.
Bagian belakang istana ini memang seperti hutan saja.
Pohonnya besar-besar dan rapat, sehingga menyulitkan sinar bulan
meneranginya. Meskipun Bayu sudah memasang penglihatan tajam, tetap saja
tidak bisa menemukan sosok tubuh hitam itu lagi.
"Hm..., siapa dia? Apa maksudnya memasuki kamarku...?"
Bayu jadi bertanya-tanya sendiri.
Pendekar Pulau Neraka itu kembali melompati tembok benteng. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat di bagian dalam belakang
istana ini. Namun baru saja hendak melangkah, mendadak pemuda berbaju kulit
harimau itu mengurungkan niatnya. Dipandanginya sosok tubuh ramping yang
tiba-tiba sudah berdiri dekat di depannya.
"Seruni...," desis Bayu pelahan.
"Tidak ada yang perlu kau selidiki di sini, Bayu," kata Seruni sebelum Bayu
membuka mulut
"Hm..., kau sendiri sedang apa di sini?" agak datar suara Bayu.
"Aku bebas melakukan apa saja di tempat ini, Bayu. Lain halnya denganmu.
Kau jadi pengawasanku, Pemuda Tampan."
Bayu mendengus berat. Diayunkan kakinya melewati gadis itu. Seruni hanya
memandangi sambil menyunggingkan senyuman. Gadis itu mengikuti dan
mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Pulau Neraka. Mereka berhenti
setelah sampai di depan jendela kamar yang ditempati Bayu. Jendela itu masih
terbuka lebar.
"Kau keluar lewat jendela, Bayu?" nada suara Seruni seperti
menyelidik.
"Apa urusanmu?" dengus Bayu. 'Itu menjadi tanggung jawabku, Bayu. Selama
berada disini, keselamatanmu di tanganku. Coba kalau ada yang melihat, kau
bisa disangka pencuri."
"Kau menganggap diriku seperti anak kecil, Seruni," agak sinis nada suara
Bayu.
"Aku ingatkan padamu, Bayu. Kau tamu di sini!" tajam suara Seruni.
Bayu hanya tersenyum sinis lalu enak sekali tubuhnya melompati jendela dan
masuk ke dalam kamarnya. Belum juga pemuda berbaju kulit harimau itu menutup
jendela, Seruni sudah ikut melompat ikut masuk ke dalam kamar ini.
Dihampirinya meja dan dinyalakan pelita, sehingga ruangan yang cukup besar
dan indah ini terang benderang.
"He! Kamarmu berantakan...?!" seru Seruni terkejut.
"Ada pencuri yang masuk ke sini!" dengus Bayu.
Seruni memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu, kemudian mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Sedangkan Bayu hanya berdiri saja bersandar di
samping jendela. Seruni menghampiri, dan berdiri begitu dekat di depan Bayu.
Hampir tak ada jarak di antara mereka.
"Seharusnya kau laporkan hal ini pada penjaga, Bayu," kata Seruni
pelan.
"Hh! Aku tidak percaya pada penjaga tolol begitu!" dengus Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu hendak menjauh. Tapi Seruni lebih cepat
melingkarkan tangannya ke pinggang. Bayu agak terkejut Dan sebelum hilang
keterkejutannya, tahu-tahu gadis itu sudah melumat ganas bibirnya. Hampir
saja Bayu kehilangan napas, dan untuk sesaat termangu. Tak tahu, apa yang
harus diperbuatnya.
Seruni melepaskan pagutannya. Dilingkarkan tangannya di leher Pendekar
Pulau Neraka itu. Dipandanginya wajah pemuda di depannya lekat-lekat. Dan
Bayu sendiri juga memandangi wajah yang begitu dekat dengannya, tapi belum
memberi tanggapan atas rangsangan yang dilakukan gadis ini.
"Kau tahu, Bayu. Sejak pertama kali melihatmu, aku sudah terpikat
denganmu," jelas Seruni pelan agak berbisik.
Pelahan dan halus sekali Bayu melepaskan rangkulan gadis itu. Digeser
tubuhnya ke samping, lalu melangkah menghampiri kursi di samping
pembaringan. Pendekar Pulau Neraka itu menghenyakkan tubuhnya di kursi itu.
Sementara Seruni masih saja berdiri memandanginya. Dua kali Bayu
menghembuskan napas panjang. Entah apa yang ada di dalam hati pemuda
ini.
"Siapa kau sebenarnya, Seruni?" tanya Bayu sambil menatap tajam ke wajah
gadis itu.
Seruni tidak langsung menjawab, tapi malah tersenyum dan menghampiri
Pendekar Pulau Neraka itu. Sambil menghembuskan napas panjang, gadis itu
menghenyakkan tubuhnya di samping Bayu. Digeser duduknya, dan dirapatkan
tubuhnya ke tubuh pemuda itu. Tangannya melingkar dipinggang Bayu, dan
kepalanya direbahkan ke pundak.
Sementara Bayu hanya diam saja tak menanggapi. Seruni mengangkat kepalanya.
Dipandanginya wajah pemuda tampan itu dalam-dalam. Pelahan-lahan didekatkan
wajahnya ke wajah Bayu, dan dikecup bibir pemuda itu lembut. Sebentar Seruni
melepaskan kecupannya, lalu melumatnya dalam-dalam. Mendapat rangsangan
begitu rupa, Bayu jadi gelisah. Kelelakiannya langsung tergugah, tapi masih
bisa mengendalikan diri. Dengan halus sekali dilepaskan pelukan Seruni dan
bangkit berdiri.
"Kenapa menolak, Bayu?" tanya Seruni memberengut.
Bayu diam saja. Ditariknya napas panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat
Ditatapnya Seruni dalam-dalam. Gadis ini memang cantik dan menggairahkan.
Tapi Bayu jadi teringat peringatan Rampita sebelum meninggalkan gadis itu
dipondok Nyi Rampik.
Namun sebentar kemudian Bayu juga jadi bertanya-tanya tentang diri Rampita.
Sewaktu dibawa ke istana ini, dia ada dipondok Nyi Rampik. Sedangkan
perempuan tua itu dalam keadaan pingsan dan Rampita sudah tidak ada lagi.
Dan sebelumnya Pendekar Pulau Neraka bertemu Rampita. Bahkan gadis itu kini
membencinya di depan seorang laki-laki tua yang bernama Dewa Pengemis.
Rampita mengakui kalau Dewa Pengemis adalah pamannya. Demikian juga si Dewa
Pengemis, yang mengaku sebagai paman dari gadis itu. Dan sekarang
dihadapannya ada seorang gadis yang hampir mirip Rampita. Seorang gadis yang
juga penuh terselimut misteri.
"Sudah malam, Seruni. Sebaiknya kembali saja ke kamarmu," kata Bayu
lembut
"Aku ingin tidur di sini!" dengus Seruni.
Bayu terhenyak kaget Sungguh tidak disangka gadis ini akan seberani itu.
Sementara Seruni sudah berdiri dan menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang
tengah diliputi berbagai macam perasaan di dalam dirinya. Tanpa berkata
apa-apa lagi, gadis itu memeluk dan...
"Seruni..," desah Bayu mencoba mengelakkan ciuman gadis itu.
"Huh!" dengus Seruni.
Dengan wajah memberengut kesal, gadis itu melepaskan pelukannya dan
melangkah mundur.
"Kau menolakku, Bayu. Ini pasti gara-gara Rampita!" dengus Seruni geram.
"Seruni...."
"Baik! Kau akan lihat sendiri, Bayu. Dan jangan harap akan bisa bertemu
Rampita lagi. Maka kau tentu tidak akan bisa menolakku lagi! Huh...!"
"Seruni, dengar dulu...!"
Tapi Seruni sudah bergegas meninggalkan kamar itu. Dibukanya pintu dengan
kasar dan dihempaskannya dengan kasar pula. Suara pintu terbanting begitu
keras, sehingga seluruh dinding ruangan ini sampai bergetar. Bayu
menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap gadis itu. Seorang gadis yang
cantik, liar, berkepandaian cukup tinggi tapi terselimut misteri.
***
Seruni melangkah lebar-lebar disertai wajah memberengut. Dengan sikap
kasar, dibukanya satu pintu kamar yang tertutup rapat. Sebuah kamar besar
dan indah, namun hanya diterangi satu pelita kecil. Gadis itu semakin
memberengut melihat di atas pembaringan dua orang tengah bergumul tak
mempedulikan kehadirannya. Dengan kasar dibantingnya pintu itu hingga
tertutup. Maka, dua orang di pembaringan itu kontan terkejut
Mereka langsung buru-buru merapikan diri. Tampak yang laki-laki melompat
dari pembaringan. Seorang pemuda berwajah tampan yang dikenal bernama Prabu
Nata Kesuma. Sedangkan yang wanita berwajah cantik. Sikapnya kelihatan
takut-takut ketika turun dari pembaringan. Pakaiannya belum begitu benar,
sehingga bagian dadanya masih terbuka.
"Seruni, apa-apaan ini...?!" sentak Prabu Nata Kesuma.
"Suruh gendakmu ini keluar!" rungut Seruni Prabu Nata Kesuma meminta wanita
itu keluar. Diberikannya satu kecupan di bibir gendak itu, sementara Seruni
memalingkan muka. Dia tidak peduli ketika wanita itu memberi sembah dengan
merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Dengan sikap hati-hati sekali
dibukanya pintu, lalu keluar dan menutup pintu kembali. Prabu Nata Kesuma
merapikan pakaiannya, kemudian duduk di tepi pembaringan. Sedangkan Seruni
masih saja berdiri dengan wajah kusut.
"Ada apa, Seruni?" tanya Prabu Nata Kesuma lembut
"Huh! Dia menghinaku, Kakang. Dia menolakku!" rungut Seruni seraya
menghempaskan tubuhnya di kursi.
"Bayu, maksudmu?"
"Siapa lagi? Dia pasti sudah dipengaruhi Rampita!"
Prabu Nata Kesuma tersenyum, kepalanya menggeleng beberapa kali. Laki-laki
itu bangkit dari pembaringan dan melangkah menghampiri gadis itu. Dia duduk
di samping Seruni, lalu menggenggam hangat tangan gadis itu. Tapi gadis itu
menarik tangannya dengan kasar.
"Seruni, kau adikku satu-satunya. Tidak ada seorang pun yang boleh
menghinamu. Akan kujatuhkan hukuman padanya besok," tegas Prabu Nata
Kesuma.
"Bukan itu yang kuinginkan, Kakang!"
"Lalu?"
"Kakang, buat dia menurut padaku..."
"Ha ha ha...!" Prabu Nata Kesuma malah tertawa terbahak-bahak.
Dan Seruni semakin memberengut kesal.
"Bagaimana aku bisa membuat ramuan Pelebur Jiwa sekarang ini, Seruni. Kau
sendiri kan tahu, tanpa Sari Bunga Cubung Biru tidak ada yang bisa
kulakukan. Sedangkan sampai sekarang bunga itu belum berhasil didapatkan,"
kata Prabu Nata Kesuma setelah reda tawanya.
"Huh! Kakang selalu saja memikirkan Bunga Cubung Biru!" dengus Seruni
memberengut.
"Dengar, Seruni. Kelangsungan kehidupan kita terletak pada bunga itu. Aku
yakin kekuasaanku tidak akan bertahan lama jika tidak mendapatkan kembali
bunga itu. Bunga Cubung Biru sangat penting bagiku, Seruni. Juga
untukmu...!"
'Tapi Bayu tidak memilikinya, Kakang. Aku yakin bunga itu tidak ada
padanya."
"Kenapa kau begitu yakin, Seruni?" tanya Prabu Nata Kesuma.
'Tadi sudah kucoba memasuki kamarnya. Sudah kucari, kuobrak-abrik seluruh
kamarnya, tapi tidak ada. Juga sudah kucoba untuk merayunya, tetap saja
tidak ada, Kakang. Bahkan...," suara Seruni terputus.
"Kau terus merayu dan dia menolakmu, begitu? Ha ha ha...!" Prabu Nata
Kesuma tertawa terbahak-bahak.
'Tidak lucu!" bentak Seruni memberengut Tapi mukanya memerah juga.
"Sudahlah, Adikku. Bukan hanya dia pemuda tampan di dunia ini. Kau bisa
mendapatkan sepuluh yang lebih tampan darinya," Prabu Nata Kesuma mencoba
mendinginkan hati adiknya.
"Bayu bukan hanya tampan saja, Kakang. Tapi ilmu kedigdayaannya tinggi
sekali. Bahkan dia berhasil membunuh beruang putih piaraan Eyang Banadu."
(Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah: "Rahasia Bunga Cubung
Biru").
"Apa...?!" Prabu Nata Kesuma terperanjat
"Apakah Eyang Banadu tidak menceritakan padamu, Kakang?" tanya Seruni yang
juga kaget melihat kakaknya begitu terkejut mendengar beruang putih tewas
oleh Pendekar Pulau Neraka.
'Tidak. Kenapa tidak kau ceritakan hal ini padaku, Seruni?" nada suara
Prabu Nata Kesuma terdengar menyesal.
"Hh..., aku pikir Eyang Banadu sudah mengatakannya padamu."
"Eyang Banadu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengatakan untuk
sementara tidak bisa kembali karena ada urusan. Hanya itu yang
dikatakannya."
"Eyang Banadu ingin mencari Bayu. Katanya, ingin menagih hutang beruang
putihnya," sambung Seruni,
"Huh! Kalau begitu, Bayu harus dipenjara. Dan aku akan mengutus orang untuk
memanggil Eyang Banadu!" tegas kata-kata Prabu Nata Kesuma.
"Kakang...!" Seruni terkejut. Gadis itu menyesal telah memberitahu perihal
kematian beruang putih milik guru mereka. Dan sekarang tidak mungkin lagi
niat kakaknya untuk memenjarakan Bayu bisa dicegah. Kalau sampai hal itu
terjadi, tak mungkin pemuda itu bisa diharapkan lagi. Seruni tak bisa lagi
membohongi dirinya sendiri, kalau sudah begitu terpikat. Bukan saja oleh
ketampanan, tapi ilmu kedigdayaan yang dimiliki Bayu yang membuat hatinya
semakin terpikat.
Belum pernah Seruni merasakan kecemburuan pada seorang pemuda. Kecemburuan
itu datang ketika melihat Bayu berada satu pondok bersama Rampita. Gadis itu
tak bisa lagi mengelak kalau benih cinta sudah tumbuh di hatinya. Dia
mencintai Pendekar Pulau Neraka, yang seharusnya menjadi musuhnya.
Seruni benar-benar tidak bisa berbuat apa apa lagi ketika Prabu Nata Kesuma
memanggil pengawal dan memerintahkan untuk memenjarakan Bayu malam ini juga.
Gadis itu hanya bisa diam terpaku di kursi yang didudukinya. Tidak mungkin
ucapan kakaknya yang seorang raja di sini bisa ditentangnya.
Dia mencintai Bayu, tapi juga tidak bisa menentang kakaknya.
"Kenapa Kakang memenjarakannya?" tanya Seruni tanpa disadari.
"Kenapa kau tanyakan itu, Seruni?" Prabu Nata Kesuma malah balik
bertanya.
Seruni langsung terdiam. Ditundukkan kepalanya, lalu pelahan bangkit
berdiri dan melangkah ke pintu.
"Seruni...," panggil Prabu Nata Kesuma.
Seruni tidak jadi keluar, meskipun telah membuka pintu kamar ini. Diputar
tubuhnya, menghadap pada kakaknya. Dengan pandangan sayu ditatapnya wajah
pemuda tampan itu.
"Tidurlah, kau perlu istirahat" ucap Prabu Nata Kesuma.
Seruni hanya mengangguk, kemudian berbalik dan langsung melangkah keluar.
Pintu kembali tertutup begitu Seruni berada di luar kamar. Sementara Prabu
Nata Kesuma masih berdiri memandangi pintu yang tertutup. Keningnya agak
berkerut, pertanda tengah memikirkan sesuatu. Mungkin tengah memikirkan
sikap Seruni yang mendadak berubah ketika dirinya memerintahkan pengawal
untuk memenjarakan Bayu.
"Rasanya tidak mungkin kalau Seruni jatuh cinta...," gumam Prabu Nata
Kesuma bicara pada dirinya sendiri.
***
Emoticon