5
KORBAN BACOKAN
WARUNG makan yang berada di tengah Dusun
Tempuran ini nampak masih sepi dari pengunjung,
diri, sejak pagi buta sebelum ayam jantan berkokoh ia
telah terjaga dari tidurnya untuk melakukan pekerjaan
rutinnya, bersiap diri menyalakan dapur, merebus air,
menanak nasi, menggoreng lauk pauk, membuat
adonan sayur, dan bersih-bersih rumah, peralatan
dapur, bangku-bangku, meja kursi warung depan.
"Selamat pagi, Bu. Apa boleh numpang makan," terdengar
suara seorang laki-laki, tamu warung nasi itu yang
ternyata Joko Manggolo dari perjalanannya yang hampir
satu bulan ini meninggalkan kampung halamannya
Dukuh Badegan.
"Ohhh, silakan. Tapi belum ada makanan. Masakannya
belum ada yang matang,"
"Tidak apa Bu. Saya menunggu sampai masak. Kalau
ada tolong minta wedang kopinya dulu."
"Ya. Maaf, tunggu sebentar, ya. Menunggu sampai
aimya mendidih dulu, ya."
“Baik, Bu. Terima kasih."
Perempuan setengah baya itu meneruskan pekerjaannya.
Sementara, Joko Manggolo duduk di bangku depan
sebuah lincak yang terbuat dari bambu sambil memper-
hatikan lalu-lalang orang-orang kampung yang hilir
mudik nampak sibuk bersiap diri. Ada yang nampak
sudah rapi mau bebergian berdagang keluar kampung
dengan membawa barang dagangannya, ada yang
mengembala ternak, ada yang membawa peralatan kebun,
peralatan pengolah sawah, ada yang nampak menuju ke
pasar mau berbelanja untuk keluarga, ada yang jalan
pelan-pelan sambil ngobrol bersama teman seperjalanan-
nya kelihatan habis mencuci di sungai, dan ada pula
yang kelihatan berjalan terburu-buru, mungkin sedang
menuju ke arah sungai keburu kebelet mau berak dan
menahan kencing.
Joko Manggolo nampak termangu memperhatikan
kehidupan dusun ini yang nampak tenang di pagi hari.
Orang-orangnya kelihatan bermuka ramah, memperli-
hatkan orang-orang yang mempunyai hati bersih, sumeleh,
dan nrimo ing pandum menerima atas pembagian yang
diterimanya, rejeki yang diperolehnya sebagai berkah
berapa pun besarnya. Kalau orang sudah berhati sumeleh,
ia akan merasakan hidup tenteram itu, tidak grusa-grusu,
tidak mudah iri, tidak dengki, lapang dada dan luas
pandangan. Dari wajah orang-orang yang berlalu di
depan Joko Manggolo itu dapat diterka wajah orang-
orang itu yang sumeleh.
"Iu wedang kopinya, Kangmas." Tiba-tiba terdengar
suara halus dari arah belakang Joko Manggolo, rupanya
ibu pemilik warung itu telah menyediakan secangkir
wedang kopi beserta seonggok jagung rebus yang nam-
pak masih hangat terlihat asap masih mengepul menembus
embun udara pagi.
"Terima kasih, Bu." Tanpa banyak kata lagi Joko Manggolo
langsung menghirup wedang kopi hangat itu dan
mencicipi jagung rebus yang nampak masih muda itu.
Dalam suasana ketenangan itu, tiba-tiba Joko Manggolo
dikejutkan oleh suara gaduh yang lama-lama makin
mendekat ke arahnya. Terlihat dari kejauhan seperti ada
beberapa orang yang sedang mengangkat usungan
bambu, berjalan terburu-buru melintasi jalan yang
sedang banyak orang lewat itu, di atasnya tergeletak
seorang laki-laki yang mengerang kesakitan. Setelah
dekat, lewat di depan jalan, Joko Manggolo dapat mem-
perhatikan orang yang sedang digotong itu terlihat banyak
berlumuran darah merah dari tubuh laki-laki itu.
"Ada apa itu, Bu." tanya Joko Manggolo kepada ibu
pemelik warung nasi itu.
"Biasanya kalau pagi-pagi ini ada orang yang terluka,
karena ada orang yang berkelahi di sawah berebut air."
"Berebut air?."
"Ya."
"Mengapa mereka berebut air."
"Dikampungini, terutama bagi para petani, air itu menjadi
utama. Aliran air yang mengairi sawah-sawah mereka _
sering menjadi pangkal kegaduhan mereka. Ada yang
menutup saluran air dan membelokkan ke arah
sawahnya sendiri. Itulah yang biasanya sering mejadi
biang keladinya. Pak Jogoboyo kalau tidak adil meaga-
mankan pembagian air sawah ini, bisa berubah suasana
menjadi bermusuhan ini. Orang-orang menyebutnya
tajam, bisa arit, sabit, atau membawa motek. Perkelahian
satu lawan satu ini bisa membawa korban nyawa, atau
kalau beruntung ketahuan orang-orang kampung yang
sedang lewat seperti orang itu tadi. Mereka dapat dilerai,
dan korban dapat diselamatkan penduduk. Tapi kalau
tidak ketahuan orang lain, mereka berkelahi sampai
mati. Itu bahayanya."
"Ohhh, begitu ya, Bu. Kelihatannya dusun ini tenang
tetapi ternyata sering terjadi keributan masalah berebut
air itu."
"Benar, Kangmas. Memang bagi kita yang tidak punya
sawah dan pekerjaannya dagang suasana kehidupan
kita lebih tenang daripada para petani yang acapkali
terjadi keributan yang bertartuh nyawa itu."
“Mereka itu apa penduduk dusun ini juga, Bu."
"Biasanya mereka bercekcok. dengan penduduk dari
dusun lain. Kalau kita sama-sama satu dusun ini, jarang,
terjadi. Kalau pun terjadi keributan biasanya bisa
dimusyawarahkan antar warga. Yang salah mengaku
salah dan yang benar juga berhak menerima kebenarannya."
"Yaya "kata Joko Manggolo sambil mengangguk-
anggukan kepalanya. "Jadi orang itu tadi dari dusun
sini.
"Ya, tentu saja. Kalau dari dusun lain ya mestinya
dibawa pulang ke dusunnya sana."
"Tapi apakah sering, terjadi perkelahian antar warga
dusun yang bersebelahan itu."
"Sepertinya belum pernah terjadi berkelahi keroyokan
yang hingga melibatkan banyak warga dusun. Kalau
ada masalah antar pribadi ya mereka sendiri yang
menyelesaikan. Satu lawan satu. Begitu, Kangmas. Jadi
para laki-laki di sini cukup satria. Kalau ada yang
berkelahi masalah pribadi, penduduk lain berusaha
melerai. Kalau mereka, tidak mau dilerai, ya akhirnya
mereka tidak berbuat apa-apa, menyerahkan kepu-
tusanya kepada mereka sendiri yang sedang berkelahi.
Lainnya melingkari orang yang berkelahi sebagai
penonton. Begitu rupanya adat kita ini di sini."
"Ya, memang hampir terjadi di hampir pelosok daerah
Ponorogo ini seperti itu." "Soal pribadi. diselesaikan
secara pribadi tidak mau melibatkan orang lain untuk
sama-sama berkorban membela orang yang
sedang berkelahi itu. Itu biasanya sifat orang-
orang disini."
Pembicaraan Joko Manggolo dengan Ibu pemilik
warung itu terhenti ketika tiba-tiba terdengar telapak
kuda yang berlari kencang dari arah timur. Dan tepat di
depan warung ini, penunggang kuda itu menghentikan
kudanya, Setelah menambatkan kudanya di pohon
mahoni besar di pinggir jalan itu, laki-laki itu bergegas
masuk ke warung ini.
Sosok seorang laki-laki tinggi besar dengan menyilangkan
sarungnya di pundaknya, nampak baru bangun tidur
melihat mukanya yang masih penuh blolok, berkali-kali
menguap dan mengusap-usap matanya, lalu duduk
acuh tidak jauh dari tempat duduk Joko Manggolo.
"Minta wedang kopi yang kental," kata laki-laki itu sambil
menyilangkan kakinya yang kiri terangkat bersikap
duduk jigang.
"Tunggu sebentar, ya. Pak," kata ibu pemilik warung itu
ramah.
"Ini kopi siapa. Minta," kata laki-laki itu menghampiri
tempat duduk Joko Manggolo, dan tanpa basa-basi
wedang kopi Joko Manggolo itu langsung diteguknya
sampai habis tanpa permisi terlebih dulu kepada Joko
Manggolo.
"Uahhhh, ngantuk. Kopinya pahit, bah, buuuahh" mulut
laki-laki itu meludah ke tanah sepertinya membuang
bubuk kopi yang menempel di mulutnya: Kemudian
dengan sikap tak. acuh: kembali duduk jigang meng-
angkatsatu kaki kanannya di atas bangku bah layaknya
raja kampung. Melihat sikap kasar yang tidak tahu
aturan laki-laki itu, Joko Manggolo hanya terdiam,
rupanya ia tak ingin membuat perhitungan terhadap
laki-laki yang bersikap merendahkan dirinya itu.
"Ini, Pak wedang kopinya. Dan ini rebusan ketela rambat,"
kata ibu pemilik warung itu.
"Hah, mengapa aku dikasih ketela rambat. Kenapa anak
monyet itu dikasih jagung rebus."
"Maaf, Pak. jagungnya masih di rebus. Tunggu sebentar."
"Bawa kemari itu jagung di depan anak monyet itu. Aku
mau makan jagung, tidak mau makan ketela rambat."
"Ya, maaf ya, Nak. Ini jagungnya untuk bapak ini."
"Silakan, Bu. Silakan ambil," kata Joko Manggolo kalem.
Laki-laki itu tanpa banyak cingcong langsung, menyantap
seonggok jagung rebus itu dengan rakusnya. Kulitnya
dibuang kesana-kemari seenaknya,
"Pak, maaf. Kulitnya jangan dibuangi. Tolong ditaruh di
sini saja," kata ibu pemilik warung itu sambil menyo-
dorkan tempat sampah di dekat laki-laki itu.
"Masa bodoh, aku ini kan tamu. Semauku mau apa saja,”
kata laki-laki itu tetap tidak peduli, dan terus melempari
kulit jagung itu kesana-kemari.
Tiba-tiba di luar halaman warung depan terdengar suara
riuh.telapak-telapak kuda yang nampaknya berhenti di
depan warung itu, dan serombongan penunggang kuda,
berjumlah lima orang kelihatan menambatkan kudanya
di pohon-pohon asam pinggir jalan, lalu mereka seperti
berjajar memasuki warung ini. Nampak mereka datang
dari luar Dusun ini.
"Ada sarapan apa, Mbakyu." kata salah seorang dari
mereka.
"Nasi pecel, Kangmas."
"Ya. Kasih kami enam bungkus." kata laki-laki itu sambil
tak acuh mengambil tempat duduk tidak jauh dari Joko
Manggolo. Tapi, tiba-tiba salah seorang laki-laki itu
memukul keras kaki kanan laki-laki yang tadi enak-enak
makan jagung sambil duduk kaki diangkat jigang.
"Plakkk" suara keras pukulan tangan mengenai paha
"Kalau duduk yang sopan," bentak salah seorang laki-
laki yang baru datang itu.
"Hah, apa urusanmu menganggu kesenangan orang."
Nampak laki-laki kasar itu tidak rela diperlakukan 4
demikian. Ia langsung berdiri dengan mata melotot.
"Aku hanya beritahu. Di sini ini tempat umum. Kalau
duduk yang sopan."
Tanpa banyak bacot tiba-tiba laki-laki yang tadi duduk
Jigang itu melemparkan kulit-kulit jagung itu ke arah
muka laki-laki yang memukulnya itu.
"Ini hadiah buat kamu, ha...ha..." teriaknya sambil
tertawa lebar.
Rupanya laki-laki yang membawa rombongan lima
orang itu tidak terima diperlakukan kasar dengan
mukanya ditimpuk kulit jagung itu. Dengan geram laki-
laki itu meloncat menerjang dengan menendang mulut
laki-laki kasar yang sedang menikmati ketawa lebarnya.
"brukkk".
"Wadalah. Kurang ajar. Mau bikin ribu sama aku ya.
Hayo di luar sana," kata laki-laki kasar itu sambil
memegangi mulutnya yang baru saja terkena tendangan
keras kaki lawannya itu. Ia segera meloncat keluar yang
diikuti oleh laki-laki yang baru datang itu.
Pergumulan seru tidak terelakkan lagi. Mereka ber-
tarung gigih di halaman warung itu. Rupanya kelima
kawanan laki-laki pendatang itu tidak terima melihat
temannya berkelahi sendirian. Maka, tanpa dikomando,
kelima laki-laki itu secara berbarengan mengeroyok
laki-laki kasar itu. Perkelahian yang tidak seimbang itu
telah membuat celaka laki-laki kasar itu. Ia dihajar oleh
kelima laki-laki itu berbarengan sampai tidak berkutik
memberikan perlawanan lagi. Ia terjatuh terkulai di
tanah. Joko Manggolo sejak tadi hanya memperhatikan
pertarungan tidak seimbang itu, tapi ia tidak berniatikut
terlibat. Ia tidak ingin memihak kedua kelompok yang
menurut Joko Manggolo sama-sama tidak simpatik untuk
dibela. Laki-laki pertama tadi yang bersikap kasar.
Kemudian gerombolan laki-laki pendatang yang mau
unjuk kekuatan diri.
"Sudah. Sudah, Kangmas. Jangan diteruskan nanti kalau
ketahuan Jogoboyo pengamanan dusun urusan bisa
berkepanjangan," teriak ibu pemilik warung itu
berusaha melerai dan melindungi laki-laki kasar yang
tergeletak lemas, mukanya babak-belur mengeluarkan
darah bercucuran, Dengan dibantu ibu itu, laki-laki itu
berusaha berdiri dan menjauhi kelima kawanan laki-laki
pendatang itu.
"Ha...ha...dasar begajul mau sok jadi jagoan kampung,"
ledek salah seorang laki-laki pendatang itu.
"Aw..awas, tunggu pern...pembalasanku..." kata laki-
laki kasar itu sambil beringsut dengan menyeret kakinya
yang nampak juga terluka sulit berjalan.
"Sudah babak-belur begitu masih mau menunjukkan
kesombongannya, ha...ha..." teriak seorang laki-laki
pendatang itu. Dan kemudian kelima laki-laki itu
memasuki warung itu, ketika dilihatnya laki-laki yang
baru saja dihajar itu menghilang di belokan jalan depan
sana itu.
"Mana nasi pecelnya tadi, Mbakyu."
"Maaf, sudah saya siapkan tadi. Sebentar, saya ambil di
belakang," kata ibu pemilik warung itu tergopoh-gopoh
kebilik belakang. Tidak berapa lama ibu itu telah kem-
bali dengan membawa nasi pecel yang ditaruh di atas
daun pisang, dengan ditambah lauk gorengan rempeyek.
"Silakan, makan, Kangmas-kangmas."
"Wah, ini baru nikmat," komentar salah seorang laki-laki
itu dengan muka cerah dan langsung menyantapnya.
"Kalau mau nambah lagi silakan Iho, Kangmas," kata ibu
itu.
"Ya. Terima kasih. Bikinkan aku satu lagi, Mbakyu.
Rasanya aku masih kurang kalau cuma Satu pincuk."
"Baik, saya mau bikinkan lagi. Pedas atau sumer-semuer,
biasa."
"Biasa saja, Mbakyu. Ehh, ngomong-ngomong mau
nanya tahu enggak. Rumah Juragan Suroronggo di
sebelah mana, Mbakyu," tanya laki-laki yang kepalanya
diikat udeng hitam itu,
"Di ujung jalan itu. Di depan ada monyetnya."
"Monyet.?"
"Ya. Monyet, binatang peliharaan."
"Ha...ha...ha...aku kira monyet apa," kata ketiga laki-laki
itu sambil tertawa kasar dihadapan perempuan pemilik
warung itu.
“Ada perlu apa tho Kangmas mencari Juragan Suro-
ronggo," kata Ibu pemilik warungitu sambil menyerahkan
enam bungkus nasi pecel itu.
"Achhhh, ada urusan penting. Soal duwit." kata laki-laki
itu sambil tanganya memperagakan menghitung uang.
"Ohhh mau menagih.”
"Ya, kira-kira begitulah."
"Memang Juragan Ronggo punya utang sama bapak-bapak
ini."
"Bukan aku yang punya urusan utang-piutang ini sama
dia, tapi juraganku. Aku ini hanya ditugaskan untuk
menagih utang saja."
"Ohhhh jadi-bapak-bapak ini jadi juru tagih."
"Huss, jangan bilang kasar begitu. Apa aku ini dikira
tukang tagih."
"Ya. Maksud saya bapak-bapak ini pekerjaannya
menagih utang sama orang-orang yang ngutang,"
"Enak saja sampeyan menganggap rendah pekerjaanku.
Aku ini jelek-jelek begini pengusaha."
"Ohhh pengusaha."
"Ya." kata laki-laki itu sambil memperlihatkan matanya
yang mendelik tajam.
"Maafkan kalau saya salah ngomong tadi, Pak" kata
perempuan pemilik warung itu dengan muka pucat.
"Ya, begitu."
Suasana jadi hening kembali.
"Hee, kamu juga orang asing di sini ya," tiba-tiba seorang
laki-laki yang bertubuh dempal itu menolehkan perhatian
kepada Joko Manggolo yang sedang asyik menikmati
minuman wedang kopi dan jagung rebus itu.
"Ya, Pak" jawab Joko Manggolo nampak santun.
"Kamu ada perlu apa memasuki dusun ini."
"Saya tidak sengaja lewat dusun ini, kemudian mampir
kemari untuk sekedar mencari minuman panas untuk..."
belum habis kata Joko Manggolo sudah diputus orang
itu.
"Achhh, sudah. Sudah. Aku tidak tanya macam-macam.
Aku hanya ingin tahu apa tujuan kamu kemari. Mau
ketemu siapa dan ada urusan apa," bentak laki-laki dempal
itu yang diiringi oleh teman-temannya yang lain dengan
pandangan mata yang mencorong tajam nampak
mencurigai joko Manggolo ini.
"Tadi sudah saya jelaskan, saya hanya mam..."
"Heh, goblok. Aku mau tanya apa tujuan kamu
memasuki dusun ini dan mau ketemu siapa. Jawab goblok"
"Tujuan saya mau mencari minuman. Ingin ketemu ibu
pemilik warung ini."
"Hehh, dungu. Jangan permainkan aku. Ditanya baik-
baik, jawabnya meledek."
"Lalu, harus saya jawab apa, Pakkkk" kata Joko Manggolo
nampak juga mulai kesal menghadapi rombongan laki-
laki kasar ini.
"Ehhh, kamu mau meledek ya."
"Tidak. Saya hanya menjawab pertanyaan bapak tadi."
"Siapa nama kamu."
"Joko Manggolo."
"Kamu aku ganti nama Joko Gemblung, ha..-ha...ha..."
kata laki-laki berbadan dempal itu sambil tertawa keras
yang diikuti oleh teman-teman rombongan lainnya yang
ikut mentertawai Joko Manggolo itu.
"Heh, kenapa kamu diam saja. Sudah dengar tadi, aku
namai kamu Joko Gemblung. Jawab siapa nama kamu."
"Namaku Joko Manggolo,” kata Joko Manggolo nampak
mantab.
"Kurang ajar. Katakan namamu Joko Gemblung.
Hayooo bilang.”
Joko Manggolo hanya terdiam saja sambil kembali
meminum wedang kopinya.
"Bu, sudah. Berapa, Bu." kata Joko Manggolo sambil
berdiri bersiap mau pergi meninggalkan warung ini.
"Tiga keping," kata ibu penjaga warung itu.
"Hehh, anak ingusan mau pergi kemana kamu," kata
laki-laki dempal itu nampak masih penasaran ingin
mempermainkan Joko Manggolo yang nampak seperti
pemuda lugu yang masih ingusan itu.
“Saya mau melanjutkan perjalanan, Pak" jawab Joko
Manggolo kalem.
"Sebentar, Sobat. Jangan pergi dulu. Kita kan bisa
bercanda lebih lama di sini," kata laki-laki berbadan
dempal itu sambil ia meloncat mendekati Joko Manggolo
dan memegang kedua pundak Joko Manggolo itu dengan
kasar ditekan ke bawah agar duduk kembali. Joko
Manggolo hanya bersikap menuruti kemauan orang-
orang kasar itu, walaupun ia mulai marah atas per-
lakuan kasar laki-laki itu tetapi ia berusaha menahan
diri. Tidak ingin bikin gara-gara di dusun yang baru
diinjaknya ini bisa-bisa menimbulkan salah paham
penduduk atas kehadirannya di dusun ini.
"Nah, begini kan enak...tho Leeee," kata laki-laki itu
dengan muka menyeringai kegembiraan merasa dapat
mempermainkan Joko Manggolo yang dianggap laki-
laki lugu itu untuk bahan permainan. Kemudian laki-
laki itu mengambil daun ketikir dan terus diketik-ketikan
pada lubang hidung Joko Manggolo sambil tertawa
terpingkal-pingkal diikuti oleh para laki-laki lainnya
yang melihatnya dengan geli. Kali ini kesabaran Joko
Manggolo sudah benar-benar habis. Dengan cekatan
lengan laki-laki dempal itu disambarnya kemudian dengan
cepat dipuntir ke arah belakang.
"Kamu sudah keterlaluan mempermainkan orang," kata
Joko Manggolo.
"Aduhhhh, lepaskan pegangan kamu. Kurang ajar, akan
aku hajar kamu berani berbuat beg ... begi ... begini ...
ad....aduhhhh...sak...sakitt," teriak laki-laki itu. Tapi,
tanpa diduga Joko Manggolo, keempat laki-laki yang
lainnya segera memberikan pertolongan terhadap
temannya yang dikunci lengannya oleh Joko Manggolo
itu. Seorang menendang muka Joko Manggolo, seorang
lagi melemparkan kepalan tangannya tepat mengenai
pelipis Joko Manggolo, dan lainnya menghujankan
serangan berbarengan pada punggung Joko Mangggolo.
Mereka rupanya dapat mengenali begitu melihat
gerakan Joko Manggolo yang mengeluarkan jurus kuncian-
nya itu, baru menyadari pemuda yang dikira lugu dan
dungu itu ternyata memiliki ilmu kanuragan yang
lumayan tinggi, maka nalurinya segera menggerakkan
mereka untuk segera bertindak menolong temannya
agar tidak terkena celaka ditangan pemuda perkasa ini.
Menghadapi serangan serentak yang tiba-tiba itu Joko
Manggolo yang tidak siap, terjatuh terguling-guling ke
tanah. Kunciannya terlepas, sehingga nampak laki-laki
yang tadi tangannya dikunci Joko Manggolo mengibas-
ngibaskan lengannya kelihatan kesakitan keseleo.
Setelah berguling-guling beberapa langkah, Joko Manggolo
kemudian telah berhasil membangun kembali
kedudukan kuda-kudanya dengan sikap "pasang" untuk
menghadapi kemungkinan serangan lebih lanjut dari
para begundal-begundal itu.
Benar juga tidak berapa lama, kelima laki-laki itu sudah
berpencar mengepung posisi gerak Joko Manggolo. Satu
per satu membuka serangan kombinasi gerakan tendangan
kaki dari berbagai jurusan dan lemparan pukulan tajam
tangan-tangan yang kokoh-kokoh itu. Untung Joko
Manggolo sempat memasang jurus tipuan-tipuan
sehingga para laki-laki yang menyerang dengan ber-
nafsu itu hanya mengenai teman-temannya sendiri.
Mereka saling tendang. Saling pukul tidak sengaja.
Lama-lama mereka lumpuh sendiri kehabisan tenaga.
"Maafkan, anak muda. Kami mengaku kalah.
Ma...maaf."
"Baiklah, berdirilah," kata Joko Manggolo cukup arif.
Lalu mereka nampak bersalaman, walaupun nampak
para laki-laki itu begitu lungkrah. Tidak berdaya.
Para laki-laki itu mendapatkan perawatan dari Ibu
pemilik warung itu. Mereka dirawat luka-lukanya
dibawa ke dalam bilik. Sementara itu Joko Manggolo
pun kembali duduk-duduk sambil menikmati minuman
dan makan jagung rebus yang sempat tertunda oleh
adanya gangguan dari para begundal itu tadi. Tiba-tiba,
masuk ke warung itu seorang laki-laki yang rambutnya
sudah kelihatan memutih.
"Maaf, anak muda. Saya kagum atas ketangkasan anak-
mas tadi memperagakan ilmu kanuragan. Saya diutus
oleh juragan saya untuk mengundang anakmas, ingin
menjamunya. Tetapi, sssttt," tiba-tiba laki-laki tua itu
membisikkan sesuatu ke telinga Joko Manggolo, "Jangan
sampai ketahuan para laki-laki itu. Nanti saya akan
dihajar kalau mengundang anakmas."
Rupanya, kata-kata terakhir itu yang membuat tertarik
Joko Manggolo mau menuruti ajakan laki-laki tua itu,
"Mengapa mereka merasa takut dan perlu merahasiakan
terhadap para laki-laki begundal itu, pasti ada ceritera
di balik ini, mungkin ada latar belakangnya," guman
Joko Manggolo dalam hati.
"Bu, berapa ?." teriak Joko Manggolo mau pamit.
"Tiga keping," kata ibu itu dari dalam,
“Ini, Bu. Saya tinggal di sini uangnya,"
"Ya, terima kasih."
"Pak, bapak-bapak, saya mohon diri dan mohon maaf."
“Liya, ya. Juga maafkan kami," terdengar suara serak
laki-laki agak terbata-bata dari dalam bilik yang tadi
sempat dihajar Joko Manggolo itu. Kemudian, tidak
berapa lama terlihat Joko Manggolo diiringi seorang tua
itu meninggalkan warung nasi itu berjalan kaki menuju
ke rumah Juragan Suroronggo.
6
KERIBUTAN
RUMAH besar di pinggir Dusun Tempuran ininampak
Tokoh. Terdapat pintu besar yang dijaga oleh dua
orang dengan bersenjata sebilah senjata tajam motek,
kedua orang penjaga yang berkumis tebal itu nampak
angker bagi yang bertatapan dengannya.
Joko Manggolo yang diiringi orang tua tadi dengan
lenggang melalui penjagaan kedua orang itu tanpa
ditegur sapa, "Nampaknya orang tua ini sangat dikenal
mereka dan menjadi sesepuh di sini," pikir Joko Manggolo
dalam hati.
Setelah memasuki rumah besar itu, di tengah ruangan
itu telah duduk di atas kursi besar seorang laki-laki
perkasa dengan jampangnya yang lebat, namun terlihat
pada sosok tubuhnya perutnya buncit sebagai pertanda
orangnya suka makan kenyang, bersenang-senang, dan
kurang tirakat.
"Silakan, silakan duduk anak muda," kata laki-laki
berjambang lebat itu menyilakan Joko Manggolo dengan
ramah setelah mereka berdua berjabat tangan penuh
persaudaraan.
“Terima kasih," jawab Joko Manggolo sambil mengambil
tempat duduk yang nampak sudah disiapkan untuk
dirinya, yang diikuti oleh laki-laki tua yang tadi mem-
bawanyake sini.
"Tuan Juragan, beliau ini yang tadi hamba laporkan,"
kata laki-laki tua itu memperkenalkan Joko Manggolo
yang nampak penuh hormat kepada juragannya.
"Ya, ya, aku senang anakmas bersedia bertandang ke
rumahku ini. Perkenalkan namaku Suroronggo. Siapa
nama anakmas," tanya laki-laki yang memperkenalkan
bernama Suroronggo itu.
"Nama saya Joko Manggolo."
"Bagus. Nama yang baik," kata laki-laki itu sambil
mengangguk-anggukan kepala. "Aku mengundang
anakmas kemari, selain aku pengin berkenalan juga
kepengin menjamu. Syukur-syukur anakmas bersedia
tinggal di rumah ini untuk beberapa saat untuk mem-
berikan latihan ilmu kanuragan kepada para anak buahku
di sini. Maksudku untuk meningkatkan perbenda-
haraan keilmuannya, sebab mereka rata-rata sudah
memiliki dasar-dasarnya, tinggal anakmas meningkatkan
kemampuan mereka. Apakah sekiranya tawaranku ini
bisa berkenan di hati anakmas. Soal bayarannya jangan
dipikirkan, aku akan memberikan imbalan yang
menarik...ha...ha..." kata Suroronggo yang diiringi ketawa
gembiranya yang menggeladak
"Saya akan pikirkan dulu, Pak" jawab Joko Manggolo.
"Ha..ha..jangan terlalu dipikirkan. Putuskan saja. Itu
kan lebih baik. Kami semua di sini akan menganggap
anakmas sebagai saudara. Nah, mari silakan minuman
dan makanannya. Sinambi ngobrol begini makan
minum kan geyeng. Hayo, jangan sungkan-sungkan
anggap saja seperti di rumah sendiri, ha...ha...".
"Terima kasih ," kata Joko Manggolo sambil menghirup
wedang jahe hangat dan makanan jajanan pasar, getuk,
tiwul, cenil, jongkong, dan lain-lain yang banyak digelar
di meja bulat itu. Sebenarnya Joko Manggolo sudah
kenyang tadi makan jagung di warung tetapi begitu
melihat makanan jajanan pasar yang beraneka rupa itu
seleranya bangkit juga.
"Nah, bagaimana anakmas Manggolo. Mau kan
menerima tawaranku ini," kembali terdengar kata-kata
Suroronggo yang menunjukkan mimik mukanya berseri-
seri. "Terus terang saja anakmas Manggolo, aku ini
sekarang sedang banyak musuh. Banyak orang yang
ngiri kepadaku. Oleh sebab itu aku harus menjaga diri.
Memperkuat barisan pengawalku. Mereka harus cakap
berkelahi. Itu tadi, aku harapkan anakmas Manggolo
dapat memberikan darma baktinya untuk membagi
kepandaiannya kepada sesama. Bagaimana ?."
Joko Manggolo hanya tercenung. Terdiam. Entah apa
yang sedang ia pikirkan. Kelihatannya ia keberatan untuk
menerima penawaran ini. Lantaran ia merasa bukan
sebagai guru ilmu kanuragan, ia hanya seorang
pengelana. Pekerjaannya mengembara dari satu tempat
ke tempat lain dengan tujuan untuk mencari keberadaan
ayah bundanya yang sekarang entah di mana. Dalam
suasana keheningan itu, tiba-tiba dipecahkan suara
orang, seorang pengawal pintu depan rumah Suroronggo
menghadap.
"Maafkan, Tuan Juragan. Mau melapor. Ada tamu
serombongan laki-laki mengendarai kuda berjumlah
lima orang ingin ketemu juragan, apakah
diperkenankan masuk."
"Siapa mereka itu," tanya Juragan Suroronggo.
"Mereka mengaku utusan Juragan Markhoni."
"Hah, utusan Juragan Markhoni si gendut, perut buncit itu."
"Benar, Tuan Juragan."
Nampak Juragan Suroronggo itu mukanya jadi pucat. Ia
tercenung sejenak, nampak gelisah. Kemudian ia berdiri,
berjalan pelan mondar-mandir.
"Ba...ba...baik, suruh dia masuk. Kalau bisa satu orang
saja yang masuk kemari. Lainnya suruh tinggal di luar.
Kasih mereka minum," perintah Juragan Suroronggo
kepada penjaga itu. Kemudian penjaga itu berlalu.
Suasana menjadi senyap kembali. Joko Manggolo hanya
terdiam. Dan nampak Juragan Suroronggo masih
menunjukkan rasa kekhawatirannya.
Tiba-tiba terdengar suara ribut di luar halaman rumah.
Seperti terjadi perkelahian. Benar juga, rupanya kelima
laki-laki berkuda yang hanya diperbolehkan masuk satu
orang itu memaksakan diri untuk bersama-sama masuk
ke rumah besar ini. Ketika dicegah oleh para penjaga-
penjaga itu mereka nekat. Perkelahian tidak terhin-
darkan. Dua penjaga itu yang kemudian mendapatkan
bantuan dari banyak penjaga lain yang keluar dari
dalam, jumlahnya makin banyak.
Akhirnya setelah Juragan Suroronggo mendapatkan
laporan apa yang terjadi di luar ia memutuskan untuk
keluar halaman menemui mereka. Sementara itu, Joko
Manggolo tetap tinggal diam, tetap duduk di situ
ditemani laki-laki tua itu.
"Hentikan perkelahian kalian," teriak Juragan Suroronggo.
Seketika itu perkelahian tawuran itu berhenti mematuhi
perintah Juragan Suroronggo yang menjadi tumpuhan
nafkah hidup mereka selama ini.
"Apa maksud kedatangan kalian ke rumahku ini," tanya
Juragan Suroronggo.
"Kami semua ini diutus oleh Juragan Markhoni untuk
menagih utang kepada Juragan Suroronggo," kata salah
seorang laki-laki yang nampaknya menjadi pimpinan
mereka, tanpa tedeng aling-aling, bersikap terbuka terus
mengatakan secara jelas maksud kedatangan mereka.
"Lho, utangku pada Juragan Markhoni kan sudah impas
tho Adi. Aku telah menukar dengannya beberapa perem-
puan yang ia gauli waktu ia datang kemari beberapa
bulan yang lalu. Apa Juragan Markhoni sudah lupa itu
semuanya. Berapa aku harus bayar perempuan-perem-
puan itu untuk keperluan Juragan Markhoni. Ia sendiri
yang bilang, bayarlah dengan perempuan-perempuan
itu ketika aku ajak keliling ke Dusun Kembang tempo
hari. Jadi utang apa lagi yang kalian maksud," kata Juragan
Suroronggo dengan sikap berusaha tenang menghadapi
para jagoan yang konon terkenal galak yang dihimpun
oleh juragan Markhoni untuk keperluan penagihan
demikian ini.
"Kami semua ini hanya menjalankan perintah beliau,
Juragan. Ini kalau Juragan mau lihat, ada daftar utang-
utang Juragan kepada Juragan Markhoni yang harus
kami tagih," kata laki-laki dempal itu sambil menyerahkan
seikat daun lontar yang bertulisan huruf Jawa itu.
Sepenerima daun lontar itu, Juragan Suroronggo terus
membacanya, dan tidak berapa lama kemudian, nampak
kepalanya mengangguk-angguk.
"Memang benar catatan ini utang-utangku dulu. Tetapi
semuanya sudah aku bayar. Impas dengan perempuan-
perempuan yang tadi sudah aku jelaskan. Jadi sudah
tidak ada utang lagi antara aku dan Juragan Markhoni."
"Begini saja Juragan. Kedatangan kami kemari diperintahkan
untuk menagih utang sesuai daftar yang sudah tadi kami
serahkan. Maka mohon juragan Suro membayarnya
kepada kami. Perkara Juragan Suro sudah merasa mem-
bayar dengan menyediakan perempuan-perempuan
kepada juragan Markhoni itu nanti dapat dibicarakan
lagi antara Juragan Suro dengan Juragan Markhoni,
kalau memang sudah dianggap impas kan pasti ada
perhitungannya. Dan uang yang Juragan Suro berikan
kepada kami kan besuk-besuk bisa diminta kembali.
Perkara impas atau tidak impas itu urusan antara Juragan
Suro dan Juragan Markhoni silakan bicara tersendiri.
Yang jelas tugas kami kemari untuk mengambil uang
atau benda apa saja yang bisa kami ambil, Perhitungannya
belakang."
"Jangan begitu Adi. Ini persoalan antara aku dan Juragan
Markhoni. Coba kembalilah kepada beliau dan ingatkan
mengenai utang yang sudah aku bayar dengan perem-
puan-perempuan itu."
"Rasanya bagi kami sulit untuk mengatakan hal itu
kepada Juragan Markhoni, kecuali kami telah membawa
hasil tagihan itu dihadapkan kepada beliau."
"Aku tidak bisa menyediakan uang seperti yang Adi
minta itu. Katakan saja dulu kepada Juragan Markhoni.
Kalau beliau ingat mengenai perempuan-perempuan
itu. Tentu, ia tidak akan memerintahkan Adi untuk
menagih utang itu kemari lagi."
"Maaf, Juragan Suro, Kami tidak bisa meninggalkan rumah
ini tanpa harus membawa uang atau harta benda apa saja
sebagai hasil kepergian kami kemari."
Suasana jadi hening. Juragan Suroronggo nampak mulai
terdesak. Kelima laki-laki itu nampak memasang wajah
angker mereka. Matanya memeloti semua laki-laki yang
berjajar bersiap diri di sebelah kiri kanan Juragan Suro-
ronggo.
"Aku tidak bisa menyediakan uang itu sekarang. Kalau
demikian nanti aku akan utus pembantu kepercayaanku
untuk bersama Adi menghadap kepada Juragan Markhoni
untuk menjelaskan ini semua."
"Tidak usah repot-repot, Juragan Suro mengirim orang
kesana. Cukup kita selesaiakan antara Juragan Suro dengan
kami ini di sini yang mewakili kepentingan Juragan
Markhoni. Bukankah sudah jelas tertulis dalam surat
Juragan Markhoni kalau kami berlima ini diberi keper-
cayaan untuk menyelesaikan perkara tagihan ini. Jadi
mau cari apa lagi. Sebaiknya, Juragan Suro segera
menyediakan uang itu, atau dapat berupa harta benda
lainnya. Kami berlima siap menunggu di sini sampai
berapa lama pun."
"Sudah aku jelaskan tadi. Aku tidak bisa menyediakan
uang atau harta benda lainnya. Katakan saja demikian
kepada Juragan Markhoni. Semuanya sudah impas.
Juragan Markhoni telah mengambil uangnya melalui
perempuan-perenmpuan itu tadi. Jadi sudah jelas jawabanku
ini Sekarang kembalilah ke Juragan Markhoni," kata Juragan
Suroronggo nampak tegas, ia merasa berani berbicara
dengan para jagoan itu, karena ia merasa mendapatkan
orang kuat, Joko Manggolo yang menurut laporan para
anak buahnya tadi, membisikkan kepada telinga Juragan
Suroronggo, Joko Manggolo lebih unggul daripada para
jagoan juru tagih ini ketika tadi pagi mereka bertarung.
"Wah...wah...weladalah. Ini namanya orang tidak mau
Giuntung. Diajak bicara baik-baik, tapi jawabnya sengak.
Hayo konco-konco kita paksa saja orang ini. Aku peringat-
kan kepada kalian para penjaga juragan Suroronggo,
sayangi nyawa kalian. Kalau mau pengin hidup jangan
coba-coba menghadang aku," kata laki-laki berbadan
dempal itu sambil telunjuknya ditujukan kepada para
penjaga Juragan Suroronggo itu.
Sementara itu Joko Manggolo yang duduk-duduk ngobrol
ditemani laki-laki tua itu di dalam dapat mendengar
jelas pembicaraan mereka di luar.
"Sebenarnya, apa pekerjaan Juragan Suroronggo itu,
Pak" tanya Joko Manggolo kepada laki-laki tua itu.
"Beliau itu dulu memang bekerja menjadi kaki-tangan
Juragan Markhoni untuk mengurus tengkulak-tengkulak
padi di daerah sekitar daerah sini. Ya, semacam pengi-
jonlah. Banyak petani yang memerlukan modal awal
untuk menggarap sawahnya, perlu beli bibit, mengupah
buruh, maka Juragan Suroronggo yang memberikan
pinjaman kepada petani-petani di daerah sini, nanti hasil
panenannya dibagi, dan hasil pembagiannya itu disetor
kepada Juragan Markhoni karena memang uang dia.
Tetapi belakangan ini usahanya sudah pisah. Juragan
Suroronggo mendirikan usaha sendiri di daerah sini.
Jelasnya beliau itu sekarang telah menjadi tuan tanah di
daerah sini,
"Ohhh, begitu awal mulanya," kata Joko Manggolo sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya, begitu."
"Tapi sampai sekarang, apakah Juragan Suro masih
berurusan dengan Juragan Markhoni."
"Sudah tidak lagi. Nampaknya sudah tidak ada keco-
cokan kerjasama."
"Tetapi tadi disebut-sebut orang-orang itu, Juragan Suro
masih punya hutang kepada Juragan Markhoni. Apakah
itu urusan utang lama ketika Juragan Suro masih menjadi
kaki-tangannya Juragan Markhoni atau belakang ini
setelah pisah jadi bawahannya kemudian beralih
bermitra kerja dengan Juragan Markhoni," tanya Joko
Manggolo penuh selidik.
"Belakangan ini. Itu utang piutang dagang biasa. Kirim
barang harus bayar. Begitu saja. Nah, itu tadi, sampeyan
belum kenal itu yang namanya Juragan Markhoni rakusnya
bukan main kalau sama perempuan. Kalau mungkin
semua perempuan sekampung ini maunya digauli. Tiap
kali dia datang kemari yang dicari perempuan, tentu saja
bikin repot Juragan Suro, maka kemudian ada perundingan
sendiri soal utang piutang itu dengan berapa banyak si
Juragan Markhoni itu menggauli perempuan. Sudahada
hitungan dan sudah ada kesepakatan waktu itu. Impas.
Aku sendiri yang menyaksikan. Tapi ya itu tadi dasar
laki-laki bandot. Lupa kalau sudah habis menggauli
perempuan. Waktu sebelum ia menggauli perempuan
da setuju-setuju saja menetapkan perundingan-perundingan
barter itu," kata laki-laki tua itu dengan geram memberikan
pembelaan terhadap juragannya, Juragan Suroronggo.
Tidak berapa lama, nampak terdengar suara gaduh di
luar. Rupanya perkelahian antara keliama laki-laki
pendatang dengan para pengawal Juragan Suroronggo
itu sudah tidak terhindarkan lagi. Suara keras, benturan
senjata tajam dan teriakan kesakitan terdengar nyaring
dari dalam rumah besar itu. Nampaknya Joko Manggolo
hatinya tergugah, ingin tahu apa yang terjadi diluar.
Maka ia bangkit dari tempat duduknya yang diiringi
laki-laki tua itu berjalan pelan menuju halaman rumah
besar itu.
"Kangmas...lihat...kangmas, itu Manggolo,” teriak salah
seorang laki-laki pendatang itu memberitahu kepada
temannya.
"Ya, mundur. Kita bisa mampus lagi menghadapi anak
kadal itu," kata laki-laki berbadan dempal itu seperti
memberi isyarat untuk berlari meninggalkan tempat itu
demi yang dilihat Joko Manggolo keluar dari rumah
besar milik Juragan Suroronggo, Mereka mengira Joko
Manggolo adalah orangnya Juragan Suroronggo,
sehingga mereka ketakutan karena sudah tahu kehebatan
ilmu kanuragan Joko Manggolo tadi pagi ketika mereka
bertarung keroyokan di warung nasi itu.
“Minggirrrrr, konco-konco" teriak laki-laki berbadan
dempal itu seperti memberi aba-aba untuk segera
meninggalkan tempat itu sebelum kena hajar Joko
Manggolo untuk kedua kalinya. Kelima laki-laki itu ber-
hamburan lari terbirit-birit menaiki kudanya dan
memacu dengan kencangnya meninggalkan rumah Juragan
Suroronggo itu.
Joko Manggolo sendiri tidak sadar apa yang sedang
mereka risaukan, ia sebenarnya tidak ada niat untuk
mencampuri urusan mereka itu. la sekedar nongol ingin
mengetahui apa yang terjadi, tidak ada niat untuk mem-
bantu Juragan Suroronggo yang ternyata diketahui
sebagai laki-laki yang pekerjaannya sebagai lintah darat
yang sama buruknya dengan musuhnya, Juragan Markhoni
yang bekas juragannya juga.
“Terima kasih, terima kasih, anakmas Manggolo," kata
Juragan Suroronggo yang mengetahui benar, kaburnya
para juru tagih Juragan Markhoni itu karena takut oleh
kedatangan Joko Manggolo yang tadi pagi telah mengalahkan
mereka. :
"Ada apa, Pak, mesti berterima kasih kepada saya ?,"
tanya Joko Manggolo terbengong seperti tidak tahu
maksud ucapan terima kasih Juragan Suroronggo itu,
sebab ia merasa tidak membantu berkelahi, membantu
anak buah Juragan Suroronggo.
“Mereka kabur, sebab mereka tahu kehadiran anakmas Mang-
golo. Mereka takut kena hajar anakmas Manggolo lagi."
"Ach masak. Bukannya mereka tadi sudah terdesak oleh
orang-orang bapak itu."
"Ya, posisi mereka memang mulai terdesak, tetapi korban
di pihak orang-orang saya cukup banyak. Dan belum
tentu mereka akan terus terdesak kalau kekuatan orang-
orang saya berkurang dengan banyaknya jatuh korban.
Jadi kedatangan anakmas Manggolo sangat membantu
kami.”
Joko Manggolo hanya terdiam diri. Ia merasa tidak
nyaman lagi dikatakan ikut membantu Juragan
Suroronggo yang pemeras petani ini. la tidak sudi
membantu pengijon.
"Mari, anakmas Manggolo kita teruskan ngobrol di
dalam. Biarlah para korban itu diurus anak-anak," kata
Juragan Suroronggo penuh keramahan.
Joko Manggolo hanya menuruti ajakan ramah Juragan
Suroronggo itu. Ia kemudian dijamu makan siang
lantaran hari sudah saatnya makan siang. Hidangan
yang nampak begitu mewah disajikan di meja makan
yang besar itu. Ayam goreng kampung, sayur daun-daunan,
ikan mujahir, sambal tomat, dan rebusan macam-macam
lauk pauk yang terkesan sangat berlimpah ruah.
"Silakan anakmas Manggolo disantap apa adanya," kata
Juragan Suroronggo.
Joko Manggolo pun tanpa basa-basi melahap dengan
gesitnya hidangan makanan yang nampak masih hangat
itu lantaran memang perutnya sudah lapar berat, Setelah
usai makan, Juragan Suroronggo memperkenalkan
keluarganya, isterinya Bu Sumirah, kelima anak gadisnya,
dua orang perjaka, dan seorang lagi perempuan anak
sulungnya yang sudah berkeluarga beranak dua.
"Nah, anakmas Manggolo. Kami semua sekeluarga berharap
agar hendaknya anakmas Manggolo sudi tinggal
beberapa lama di rumah kami ini bersama keluarga dan
orang-orang saya. Di belakang sana, banyak tersedia
kamar-kamar, Perkebunan, dan peliharaan ternak. Juga
ada gladi untuk berlatih kanuragan anak-anak. Aku
berharap anakmas Manggolo bisa membantu kami di
sini. Tidak perlu bekerja apa-apa, kami akan sediakan
makan-minum yang anakmas Manggolo sukai ditambah
uang jasa dan keperluan apa pun yang anakmas
inginkan. Semua kami sediakan. Kami memerlukan
anakmas Manggolo untuk menjadi centeng yang dapat
kami agul-agulkan di dusun sini dan dusun-dusun
tetangga lainnya. Nanti akan banyak perawan-perawan
di dusun-dusun sini yang melamar anakmas Manggolo.
Berebut pengin diperisteri anakmas Manggolo," bujuk
Juragan Suroronggo dengan senyuman yang tidak pernah
terlepas dari bibirnya yang jebleh itu.
S jadi sepi sejenak. Nampaknya mereka dengan
berbesar hati akan mendapatkan jawaban kesediaan
Joko Manggolo untuk menerima tawaran yang dianggap
sangat menawan itu.
"Mohon, maaf, Pak. Kami sangat berterima kasih atas
segala penawaran yang memikat ini, dan juga terima
kasih atas segala budi baik bapak sekeluarga..."belum
selesai kalimat Joko Manggolo sudah disahut oleh Juragan
Suroronggo itu.
"Ya, ya, kami ikhlas kok menerima kedatangan anakmas
disini, jangan berterima kasih, itu semua sudah menjadi
kewajiban kami. Jadi anakmas Manggolo bersedia
menerima tawaran kami."
"Tapi, maaf Pak. Saya belum bisa menerima tawaran
bapak yang sangat baik ini."
"Lhooooo, kenapaaaa ?."
"Masih banyak yang harus kami selesaikan. Kami harus
segera meneruskan perjalanan."
"Lhooo, ada pekerjaan apa. Ada masalah apa. Tentunya
anakmas dapat mengurusnya di sini. Nanti kita bantu,
kesulitan apa yang sedang anakmas alami."
"Sulit rasanya untuk diceriterakan."
"Katakan saja anakmas kepada bapak Coba kalian minggir
semua. Tinggalkan kami berdua bersama anakmas
Manggolo. Hayo pergi semua'" perintah Juragan
Suroronggo yang menurut dugaannya, Joko Manggolo
tidak mau bicara terbuka kalau didengar banyak orang.
"Maaf, pak. Saya tidak bisa menceriterakan. Saya harus
pergi sekarang dan terimakasih atasjamuan makannya,"
kata Joko Manggolo sambil berdiri akan memberi salam
kepada Juragan Suroronggo yang menjulurkan kedua
tangannya, tetapi Juragan Suroronggo tidak membalas
uluran tangannya.
"Sebentar, anakmas Manggolo. Tunggu sebentar," Juragan
Suroronggo kemudian berdiri meninggalkan Joko
Manggolo seorang diri, ia pergi ke balik pintu belakang.
Tidak berapa lama, ia sudah kembali menemui Joko
Manggolo, nampak pada raut wajahnya yang tadinya
ramah berseri-seri kini berubah menjadi bengis, merah
padam.
"Joko Manggolo, kalau bisa aku sanak ya akan aku hormati
kamu, tetapi kalau tidak mengerti aku sanak lebih baik
kamu mati di rumah ini. Anak haram tidak mau diuntung
kamu," kata kasar keluar dari mulut Juragan Suroronggo
yang memperlihatkan kemarahannya. Juragan Suro-
ronggo sangat kecewa berat terhadap Joko Manggolo yang
ditawari untuk menjadi pelatih para anak buahnya dan
sekaligus merangkap jadi Centeng menjaga keamanan
Juragan Suroronggo, ternyata ditolaknya.
"Hayooo pergilah kamu dari sini," bentaknya dengan
mata melotot.
"Baik, terima kasih. Mohon pamit, Pak."
"Pergiiii, kamu" teriak Juragan Suroronggo seperti tidak
mampu mengendalikan diri karena amarah yang
memuncak.
Setelah meninggalkan ruangan tamu yang luas itu, Joko
Manggolo, ketika sampai di halaman depan rumah,
terlihat pintu rego! besar itu nampak sudah terkunci
rapat. Dihadapannya berjejer banyak laki-laki, ia
dihadang oleh para anak buah Juragan Suroronggo agar
ia tidak meninggalkan rumahnya dan mau tinggal sebagai
Centengnya.
Rupanya keadaan makin tidak terkendali, terpaksa
terjadilah perkelahian yang keras. Joko Manggolo
berusaha menghindar dari tiap serangan, tetapi ia tidak
ingin membuat celaka pada orang-orang yang tidak
bersalah ini. Mereka itu tahunya hanya menjalankan
perintah sehingga tidak adil kalau ia sampai membuat
binasa orang-orang itu. Pertarungan yang mulai
dikuasai Joko Manggolo akhirnya memberikan kesem-
patan kepada Joko Manggolo dapat meloloskan diri
meninggalkan rumah besar di pinggir Dusun tempuran
itu.
7
DALAM PENCARIAN
SUATU sore Juragan Markhoni sedang asyik
bermalas-malasan duduk di kursi goyang
dihadap oleh para pengawalnya sambil makan
minum enak yang menjadi kegemarannya. Tiba-tiba
dikejauhan dikejutkan oleh datangnya serombongan
kuda sebanyak lima orang dengan kecepatan tinggi
memasuki halaman rumahnya yang besar itu.
Ternyata para penunggang kuda itu masih anak buah
Juragan Markhoni sendiri yang kala itu ditugasi untuk
menagih utang kepada Juragan Suroronggo di Dukuh
Tempuran tempo hari. Setelah menambatkan kuda-
kuda mereka, lalu serta-merta para juru tagih itu meng-
hadap Juragan Markhoni.
"Bagaimana kabar kalian, apa ada hasil atas segala pekerjaan
yangaku tugaskan kepada kalian," tanya Juragan Markhoni
setelah menerima salam sungkem dari kelima anak
buahnya itu.
“Ampun Juragan, sebenarnya kami berlima telah menemui
Juragan Suroronggo dan sudah bersedia menyerahkan
pembayaran utangnya," kata salah seorang laki-laki
bertubuh kekar itu melaporkan hasil perjalanannya.
"Bagus, lalu mana uangnya," sergah Juragan Markhoni
nampak tidak sabar dikiranya kelima anak buahnya itu
akan menyerahkan hasil tagihannya.
"Ampun Juragan. Namun begitu, ketika saat itu uangitu
akan kami terima dari Juragan Suroronggo, tiba-tiba
muncul seorang pemuda gagah yang langsung menyerang
kami berlima. Mereka membawa banyak pengawal
sehingga kami berlima terdesak mundur, dan kalau
tidak sempat menyelamatkan diri, mungkin kami
berlima ini sudah jadi mayat...” celetuk laki-laki itu
mencoba mengarang ceritera untuk tidak menceriterakan
kejadian yang sebenarnya agar tidak mendapat amarah
dari juragannya, Namun begitu, Juragan Markhoni tetap
saja murka begitu mendengar kegagalan pekerjaan
menagih itu dan langsung memotong pembicaraan laki-
"Hai, kalian lebih baik jadi mayat daripada pulang mem-
bawa berita buruk. Gagal menjalankan perintahku.
Siapa pemuda yang kamu maksudkan itu."
"Namanya, Manggolo. Joko Manggolo."
"Manggolo?. Aku baru mendengar nama ini,"
"Kami juga baru kenal saat itu, Juragan."
"Lalu, bagaimana maunya si Suroronggo itu, Kapan ia
mau bayar utangnya.” .
"Mak...maaf.. Juragan, surat Juragan sudah kami serahkan
dan ia mengakui semua jumlah perhitungan utang-
utangnya. Akan...ak...akan tetapi..."
"Akan tetapi, bagaimana. Ngomong yang jelas," bentak
Juragan Markhoni dengan muka keras pada wajahnya
yang tembem itu.
"Katanya, menurut Juragan Suroronggo, sudah dibayar
impas dengan perempuan-perempuan pada waktu
Juragan Markhoni berkunjung ke Dukuh Tempuran
waktu dulu itu."
"Hah, perempuan. Mana ada perempuan."
"Menurut penuturan Juragan Suroronggo memang
demikian itu, Juragan."
"Ha...ha...si Suro bikin karangan, mana ada perempuan
dikasihkan aku. Tidak pernah ada."
"Te...tet..tetapi waktu juragan berkunjung ke sana pada
musim panen itu, ada selusin perempuan yang
kemudian juragan menginap di rumah besar itu..."
"Husss, kamu itu orang saya. Kenapa kamu membela si
Suro, bukannya kamu harusnya membela aku yang
menjadi juraganmu," kata Juragan Markhoni berusaha
menyembunyikan kelakuannya ketika waktu itu
memang ia "menggarap" semalam suntuk selusin perem-
puan yang disediakan oleh Juragan Suroronggo.
"Maaf, juragan kami hanya mengingatkan juragan
kejadian waktu itu barangkali juragan lupa..."
"Sudah diam, kalian. Sekarang yang aku pikirkan bagai- .
mana menangkap si anak ingusan Manggolo itu yang
mau ikut campur urusan orang. Apakah anak itu juga
orangnya si Suro."
"Benar, juragan. Anak itu sekarang menjadi centeng
Juragan Suroronggo. Sepertinya tinggal serumah dengan
Juragan Suro."
"Sampai seberapa sakti anak ingusan itu."
"Melihat gerakannya, anak itu memiliki ilmu kanuragan
yang sangat tinggi. Kami berlima yang biasa
memenangkan pertarungan dimana-mana, tetapi
begitu menghadapi anak itu yang hanya seorang diri,
kami berlima dibuat tidak berkutik."
"Dari perguruan mana asal anak ingusan itu. Atau siapa
gurunya."
"Kurang jelas, Juragan. Sepertinya anak itu seorang
pendatang di kampung itu dan kemudian ngenger, mengabdi
kepada Juragan Suro untuk mendapatkan uang tentunya."
"Kalau begitu, kita tawari saja uang pesangon ia yang
lebih besar jumlahnya daripada yang diterima dari si
Suro. Asal saja ia mau meninggalkan Si Suro dan mau
ikut bergabung bersama kita di sini,"
"Kami rasa terserah saja kepada juragan."
Juragan Markhoni nampak termenung. Berpikir dalam.
Semua orang yang hadir di rumah besar itu terdiam.
Menunggu apa yang mau dikatakan oleh juragannya.
"Baiklah kalau demikian, kalian berlima beristirahatlah.
Aku akan tugaskan Sumirah, perempuan centil anak
gadisnya di Bromoh Jonggrah itu agar ia bisa mendekati
si pemuda ingusan Manggolo itu. Kelihatannya, si Sumirah
itu pinter merayu pemuda-pemuda. Dan kawal tiga laki-
laki untuk mengawasi dari jauh agar diperjalanan anak
gadis itu aman. Cari penginapan di kampung, itu.
Kerjakan sampai pemuda ingusan itu takluk pada
Sumirah dan mau dibujuk untuk bergabung kemari.
Sekarang kerjakan peintahku ini."
"Baikkkk, Juragan" kata para laki-laki yang duduk
melingkar mengerubungi Juragan Markhoni itu.
00000000000
SORE hari rombongan ketiga laki-laki yang
membawa Sumirah atas perintah Juragan Markhoni
itu sudah sampai di Dukuh Tempuran. Setelah mereka
mencari sewa rumah, ketiga laki-laki itu berpencar untuk
mencari informasi mengenai keberadaan pemuda Joko
Manggolo yang menjadi sasaran mereka itu. Diperoleh
keterangan dari para tetangga rumah Juragan
Suroronggo kalau memang pernah terdengar berita
mengenai pemuda Joko Manggolo itu ketika terjadi
keributan di rumah Juragan Suroronggo, tetapi menurut
ceritera para pengawal rumah Juragan Suroronggo yang
diceriterakan kepada para tetangganya, pemuda Joko
Manggolo itu yang menjadi pangkal keributan karena
menolak ditawari menjadi pengawal Juragan Suroronggo.
Sehingga, berita perkelahian di rumah Juragan Suroronggo
yang tersebar Kepada para tetangga itu dianggapnya
sebagai soal biasa. Para tetangga sudah sering mendengar
keributan perkelahian antar jagoan di tempat itu. Tetapi
mereka tidak mendengar berita soal melawan Joko
Manggolo, maupun soal keributan waktu itu dengan
para juru tagih anak buah Juragan Markhoni.
Setelah ketiga, laki-laki utusan Juragan Markhoni
mengetahui duduk soal mengenai Joko Manggolo itu,
mereka lalu memutuskan untuk kembali melaporkan
kepada Juragan Markhoni. Keesokan harinya, kelihatan
ketiga laki-laki dengan membawa seorang anak perempuan,
Sumirah itu, nampak telah meninggalkan Dukuh
Tempuran. ý
Begitu menerima laporan dari para anak buahnya itu
Juragan Markhoni marah besar. Ia. kemudian tetap
memerintahkan untuk mencari kembali dimana saja
keberadaan Joko Manggolo itu. Ia sudah lupa mengenai
persoalan utamanya mengenai utang-piutang antara dia
dengan Juragan Suroronggo yang ternyata kini tidak
dijaga oleh pemuda kuat Joko Manggolo itu.
Beberapa orang andalan Juragan Markhoni diberangkat-
kan untuk menelusuri kampung-kampung guna
mencari keberadaan Joko Manggolo. Mereka tidak ada
yang tahu dan tidak pernah berpikir untuk menjamah
Dukuh Badegan, dimana sebenarnya Joko Manggolo
berada di situ bersama keluarga Paman Sadri, karena
Dukuh Badegan waktu itu belum banyak orang yang
tahu. Hanya nama kampung-kampung termashur yang
dihuni para warok temama. Kampung demikian itu
akan ikut terbawa namanya oleh nama harum warok
penghuni kampung yang bersangkutan,
Siang malam para anak buah Juragan Markhoni mencari
Joko Manggolo, sudah berbulan-bulan belum mene-
mukan jejaknya. Namun mereka tidak ada yang berani
kembali ke Juragan Markhoni sebelum mendapat hasil
pekerjaannya itu untuk menangkap Joko Manggolo mati
atau hidup.
TAMAT
IKUTI WAROK PONOROGO 9 (Kemilau Asap Kematian)
Emoticon