Mulutnya nampak meringis, karena dadanya terasa nyeri. Kini bisa terlihat
jelas, siapa penyerangnya. Ternyata, dia adalah seorang laki-laki berpakaian
serba hitam. Rambut yang panjang, diikat pita hitam pula. Kulitnya putih
bersih. Dan melihat dari raut wajahnya, paling tidak laki-laki yang
menggenggam sebilah pedang besar itu berusia sekitar tiga puluh tahun.
Tampangnya tak seram, bahkan penuh senyum.
"Siapa kau?!" bentak Rajendra. Namun sebelum pertanyaan itu terjawab,
mendadak melesat sesosok tubuh yang langsung menjejakkan kaki di samping
Serigala Mata Satu.
"Rajendra, minggiriah! Kau bukan tandingan si Dewa Bermuka Bulan!"
"Guru!"
Serigala Mata Satu langsung menjura hormat ketika melihat kemunculan
gurunya, yang jelas berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas.
"Ha ha ha...! Hm... jadi inikah tampang si Serigala Iblis Bercambuk Emas
yang kesohor itu?" tanya laki-laki berpakaian serba hitam itu yang tadi
telah menyerang Serigala Mata Satu.
Serigala Iblis Bercambuk Emas tersenyum sinis, di hadapan laki-laki yang
ternyata berjuluk Dewa Bermuka Bulan, berjarak lima langkah. Sorot matanya
tajam menusuk seperti ingin menduga, sampai sejauh mana kekuatan Dewa
Bermuka Bulan.
"Dewa Bermuka Bulan! Angin apa yang membawamu jauh-jauh datang ke tempatku
ini?"
"He he he...? Apakah seorang dewa memerlukan angin untuk membawanya ke
sini? Hidungku mencium bau tak sedap di tempat ini. Dan tiba-tiba saja, aku
telah berada di sini!" sahut Dewa Bermuka Bulan, cengar-cengir.
"Jangan berbelit-belit! Katakanlah, apa yang kau inginkan sebenarnya?
Apakah kau juga ingin menguasai tempat ini seperti kawanan busuk yang
menamakan diri Perampok Macan Loreng itu?"
"Ha ha ha...! Apakah kau menganggapku demikian rendah, hanya untuk
menguasai tempat busuk ini? Heh, Serigala Iblis Bercambuk Emas! Kedatanganku
ke sini bukan karena silau oleh harta benda curianmu, tapi karena urusan
nyawa!" tandas Dewa Bermuka Bulan.
"Hm, sudah kuduga. Lalu, nyawa siapa yang akan kau tebus dariku?" tanya
Serigala Iblis Bercambuk Emas. Suaranya terdengar datar, dan sama sekali tak
terkejut.
"Masih ingatkah dengan Ki Srengseng yang kau bunuh beberapa hari yang
lalu?"
"Ki Srengseng? Apakah yang kau maksudkan adalah si Pedang Bertangan
Delapan?"
"Tepat! Dan dia adalah kakakku!"
"Ha ha ha...! Jelas sudah kedatanganmu ke sini. Tapi sebaiknya berpikirlah
seribu kali, untuk niatmu itu!" sahut Ki Lodaya alis Serigala Iblis
Bercambuk Emas.
"He he he...! Aku bahkan tak perlu berpikir untuk datang ke sini. Apa yang
musti ku khawatirkan darimu? Masalahnya, kau tak lebih dari kecoa busuk yang
bisanya hanya menakut-nakuti orang-orang lemah saja!" ejek Dewa Bermuka
Bulan sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Julukan Dewa Bermuka Bulan memang sudah tersohor dan memiliki kepandaian
tinggi. Tapi berhadapan denganku, kau mesti hati-hati! Ingat kakakmu saja
mampus di tanganku. Apalagi kau!" balas Ki Lodaya mengingatkan.
"Heh? Apakah kau sudah pikun atau benar-benar tuli? Bukankah sudah
kukatakan, bahwa kau bisanya hanya menakut-nakuti orang lemah dan tak
memiliki kepandaian apa-apa? Kuakui, kakakku memang kalah denganmu. Tapi
terhadapku, jangan coba-coba pamer gertakan busukmu itu!" dengus Dewa
Bermuka Bulan.
"Huh! Kita akan buktikan sekarang juga! Ayo, balaskanlah dendam kakakmu
itu!" tantang Ki Lodaya seraya memasang jurus, siap menghadapi lawan.
"He he he...! Silakan, Kawan. Ingin kulihat kepandaianmu. Apakah
gembar-gembormu sepadan dengan kenyataannya?" kata Dewa Bermuka Bulan tenang
sambil menggenggam pedang erat-erat.
"Hiyaaa!"
Serigala Iblis Bermuka Emas langsung bergerak cepat bagai sapuan angin,
mengirim satu tendangan keras ke aras Dewa Bermuka Bulan. Namun dengan
enteng, laki-laki berpakaian serba hitam itu merapatkan telapak tangan
kirinya ke dada. Kemudian ditangkisnya tendangan Ki Lodaya.
Plak!
Serigala Iblis Bercambuk Emas terperanjat. Ternyata Dewa Bermuka Bulan
sedikit pun tak merasakan kesakitan akibat benturan tadi. Malah masih sempat
mengayunkan kaki kanan, menghajar ke arah dadanya. Masih untung tubuhnya
cepat diputar ke samping dan terus meloncat ke atas. Langsung kepalan
tangannya diayunkan ke batok kepala laki-laki berpakaian serba hitam
itu.
"Yeaaa!"
"Huh!"
Namun dengan lincah, tubuh Dewa Bermuka Bulan berputar ke samping untuk
menghindarinya. Laki-laki berwajah tampan itu kemudian menyodokkan kaki
kirinya ke dagu Ki Lodaya.
"Hiiih!"
"Uts, ha!"
Ki Lodaya cepat bagai kilat mundur dua langkah. Kemudian tubuhnya berbalik
sambil mengayunkan satu sapuan kaki yang keras ke arah perut. Tapi, Dewa
Bermuka Bulan telah melompat ke atas, seraya menghindar dengan kaki kanan ke
arah dada. Agaknya, Ki Lodaya telah menduga hal itu. Maka cepat tubuhnya
ditundukkan. Dewa Bermuka Bulan jelas bersikap ksatria, untuk tidak
mengguliakan pedang di tangan kanannya. Dia melihat, Ki Lodaya juga belum
menggunakan senjata.
Namun hanya menggunakan tangan kiri untuk menyerang, itu sama artinya
merendahkan kemampuan Serigala Iblis Bercambuk Emas. Dan hal itu membuat Ki
Lodaya sudah menjadi gusar. Maka dengan geram Ki Lodaya segera merangsek
Dewa Bermuka Bulan disertai pengerahan ilmu silat tingkat tinggi yang
dimiliki. Sehingga yang terlihat hanya kelebatan tubuhnya yang bergerak amat
cepat dan ringan sekali.
Tapi Dewa Bermuka Bulan ternyata bukan orang sembarangan. Kemampuannya
sebagai tokoh tingkat atas yang tak mudah dipecundangi begitu saja, segera
dibuktikan. Tubuhnya segera berkelebat ringan, mengikuti gerakan Ki Lodaya.
Bahkan sesekali menusuk pertahanan Ki Lodaya, sehingga membuat kelabakan
laki-laki tua itu. Memasuki jurus yang kedua puluh dua, pertarungan kian
meningkat sengit.
Ki Lodaya kini menyerang gencar, dan menghajar ke mana saja Dewa Bermuka
Bulan bergerak. Namun dengan lincah tubuh laki-laki tampan itu merunduk ke
bawah. Dan kepalan kakinya cepat diayunkan, menyodok ke perut. Tak ada waktu
lagi untuk menghindar. Maka Ki Lodaya terpaksa menangkis sodokan tangan kiri
itu.
Plak!
"Uhhh...!"
"Hiiih!"
Ki Lodaya terkejut setengah mati, begitu tangannya terasa bergetar hebat
akibat benturan tadi. Tubuhnya cepat melompat ke belakang, ketika Dewa
Bermuka Bulan menyusul dengan satu tendangan keras ke arah perut. Dan begitu
tendangannya tidak menemui sasaran, Dewa Bermuka Bulan segera melompat
mengejar. Kembali dikirimkannya satu sodokan keras ke arah dada.
Ternyata hal ini membuat Ki Lodaya terkejut, dan bersiap menangkis. Namun
ketika kedua tangan mereka hampir beradu, Dewa Bermuka Bulan menarik
serangannya. Dan tubuhnya segera berputar cepat dengan kaki kanan menghantam
ke arah perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Lodaya tidak bisa
menghindarinya.
Begkh!
"Aaakh!"
Tubuh Ki Lodaya kontan terjajar ke belakang beberapa langkah sambil
memegangi perutnya yang terasa mual akibat tendangan Dewa Bermuka Bulan
tadi. Masih untung keseimbangan tubuhnya bisa terjaga, sehingga tidak
jatuh.
"Guru...!"
Serigala Mata Satu yang sejak tadi masih berdiri disitu sambil
memperhatikan pertarungan, tersentak kaget. Buru-buru dihampirinya Ki Lodaya
yang juga gurunya itu.
"Minggir!" sentak Ki Lodaya dengan muka merah menahan malu. Ki Lodaya
menatap tajam ke arah Dewa Bermuka Bulan. Seakan-akan lewat tatapannya, dia
ingin menelan bulat-bulat laki-laki berpakaian serba hitam di
depannya.
"He he he...! Agaknya kau tak bersungguh-sungguh menghadapiku, Kisanak.
Nah, berhati-hatilah," sindir Dewa Bermuka Bulan.
Ki Lodaya cepat akan menyerang lawan kembali, dengan jurus barunya. Namun
saat itu juga, melesat satu sosok bayangan di sampingnya, dan langsung
menjura memberi hormat padanya.
"Guru! Izinkan aku menghajar orang sombong itu...," pinta sosok bayangan
itu.
"Gumarang! Menepilah kau! Apa kau pikir aku tak mampu merobek mulutnya?
Huh! Kau ini hanya membuat malu saja!" dengus Ki Lodaya.
"He he he...! Jadi, kaukah yang berjuluk Serigala Buntung? Hm....
Semangatmu boleh juga, Kisanak. Tapi, sebaiknya kau memang menepi. Dan
jangan mencampuri urusan gurumu," sahut Dewa Bermuka Bulan enteng.
Serigala Buntung yang bernama asli Gumarang, sudah hendak menghajar lawan
sambil menggeram buas. Namun...
"Gumarang, minggir kataku!" bentak Ki Lodaya garang, langsung
mencegah.
Terpaksa Gumarang menyurutkan langkahnya seraya menahan perasaan geram di
hati. Dan dia hanya bisa memperhatikan gurunya yang sudah bersiap menghadapi
Dewa Bermuka Bulan sambil memegang cambuk emasnya di tangan.
"Kisanak, silakan. Aku sudah siap...," lanjut Ki Lodaya dingin.
"Ha ha ha...! Aku pun telah siap sejak tadi. Hm... Begitu lebih baik. Jadi,
rasanya aku mendapat kehormatan untuk mencicipi ilmu cambukmu yang hebat
itu!" sahut Dewa Bermuka Bulan tenang.
"Dewa Bermuka Bulan, hati-hatilah! Sekali cambuk ini terlecut, maka aku tak
bisa menahan kawanan serigala yang akan menerkammu dengan buas!" Ki Lodaya
memberi peringatan.
"Kau juga patut berhati-hati, Kisanak. Pedangku ini tak bermata, karena tak
pernah peduli pada orang yang akan mampus disambarnya!" kata Dewa Bermuka
Bulan, dingin.
"Hiyaaa...!"
Ctarrr!
Sekali Ki Lodaya membentak, maka saat itu juga cambuk di tangannya melecut
membelah angkasa. Seketika terdengar suara keras yang memecah udara pagi
menjelang siang ini.
"Grrr...!"
"Graungrrr...!"
Dan begitu mendengar suara lecutan cambuk itu, kawanan serigala yang masih
berada tak jauh dari situ menggeram liar. Dan ketika kembali terdengar
lecutan cambuk, maka secara bersamaan binatang-binatang liar itu menerjang
ke arah Dewa Bermuka Bulan disertai raungan keras. Sementara, Ki Lodaya pun
seperti berpacu dengan kawanan serigala itu sambil mengayunkan cambuknya ke
arah Dewa Bermuka Bulan.
Ctar!
Dewa Bermuka Bulan cepat melompat ke atas sambil menyilangkan pedang di
tangannya. Tubuhnya terus berputaran beberapa kali untuk menghindari kejaran
ujung cambuk Ki Lodaya, sekalian berkelit dari terkaman kawanan serigala
liar. "Hup!" Dewa Bermuka Bulan lalu meluncur ke bawah, sambil membabatkan
pedangnya ke arah beberapa ekor serigala.
Wuttt!
Cras!
Brettt!
"Ngiek!"
Sekali Dewa Bermuka Bulan mengelebatkan pedang, maka dua ekor serigala
melengking setinggi langit. Tubuh binatang-binatang itu nyaris terbelah
menjadi dua dan isi perutnya terburai keluar, ujung pedang Dewa Bermuka
Bulan menyambar. Namun bersamaan dengan itu, ujung cambuk Ki Lodaya
menyambar dengan gerakan meliuk-liuk cepat seperti mengikuti
gerakannya.
Kontan cambuk yang membelah udara, membuat gendang telinga laki-laki
berpakaian serba hitam itu terasa perih. Agaknya, permainan cambuk Serigala
Iblis Bercambuk Emas dilakukan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Maka
tak heran bila suaranya membuat jantung berdetak tak karuan, dan kulit
terasa seperti diiris-iris.
Ser! Ser!
Betapa terkejut Dewa Bermuka Bulan. Karena baru saja kedua kakinya menjejak
tanah, saat itu juga datang serangan beruntun berupa senjata rahasia ke
arahnya. Ternyata lemparan senjata-senjata rahasia itu dilakukan oleh
Serigala Mata Satu dan Serigala Buntung. Untung saja, Dewa Bermuka Bulan
cepat mengelebatkan pedangnya. Maka sebelum senjata-senjata rahasia itu
menghujani tubuhnya, sudah terpapak oleh senjatanya.
"He he he...! Ternyata dugaanku tak salah. Kalian ternyata bukan hanya
gerombolan pengecut yang bisanya membegal orang-orang lemah dan tak berdaya,
tapi juga tukang main keroyok!" ejek Dewa Bermuka Bulan sambil
terkekeh-kekeh.
Padahal jelas kedudukan Dewa Bermuka Bulan tak ada kesempatan sedikit pun
baginya untuk balas menyerang. Untuk mempertahankan diri dari serangan lawan
saja, barangkali tak akan bertahan lama. Karena dengan ikut mengeroyoknya
kedua murid Serigala Iblis Bercambuk Emas, jelas hal itu akan membuatnya
semakin terjepit saja. Dan baru saja Dewa Bermuka Bulan menarik napas, ujung
cambuk Ki Lodaya sudah menyambar ke arah pinggang kanannya.
Ctarrr!
"Uts!"
Dewa Bermuka Bulan cepat bagai kilat melenting ke atas dengan gerakan
ringan. Namun salah seekor serigala bergerak menyambar ke arah punggungnya.
Maka cepat-cepat Dewa Bermuka Bulan menyabetkan pedangnya ke arah perut
binatang buas itu.
"Mampus kau!"
Bret!
"Nguiek!"
Seketika binatang liar itu ambruk ke tanah, begitu tersambar pedang Dewa
Bermuka Bulan. Melihat hal itu Serigala Mata Satu segera me-lempar senjata
rahasia ke arah laki-laki berpakaian serba hitam.
Ser! Ser!
Dua buah berhasil dirontokkannya. Namun, sebuah paku beracun berhasil
menancap di punggung kanannya.
"Aaakh!"
Dewa Bermuka Bulan kontan meringis kesakitan, begitu tertancap sebuah paku
beracun pada punggungnya. Untung saja, dia agak jauh dari para
pengeroyoknya. Maka kesempatan itu digunakan untuk melesat dari tempat itu.
Disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, tubuhnya
berkelebat cepat, kabur dari situ. Tak ada kesempatan bagi para pengeroyok
untuk mengejar. Apalagi, tindakan itu demikian cepat. Mereka hanya saling
berpandangan, kemudian menatap ke arah kepergian Dewa Bermuka Bulan yang
sudah menghilang.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas, aku akan datang lagi untuk membuat
perhitungan dengan kalian!" teriak Dewa Bermuka Bulan sayup-sayup dari
kejauhan, menggema ke segala penjuru.
Ki Lodaya yang tidak berusaha mengejar hanya mendengus garang. Tanpa bicara
apa-apa, laki-laki itu segera berlalu diikuti kedua muridnya.
***
LIMA
Adipati Tanuwijaya adalah penguasa di kadipaten wilayah barat. Dan
kadipaten itu meliputi tujuh buah desa yang cukup ramai. Beliau sendiri
menetap di Kota Kadipaten Indrakasih, suatu daerah yang cukup padat
penduduknya dan subur tanahnya. Tak heran bila hasil panen selalu berlimpah
ruah, sehingga penduduknya hidup dalam kecukupan.
Di sebelah utara kadipaten itu terdapat sebuah tambang emas. Tiga kali
dalam setahun, para penduduk kadipaten itu diwajibkan menyerahkan upeti
kepada pihak kerajaan. Tidak hanya berupa hasil panen dan ternak, tapi juga
emas. Dan justru itulah yang belakangan ini meresahkan sang Adipati!
Pusat kerajaan berada di wilayah timur. Dan untuk menuju ke sana, jalan
yang tercepat dan termudah adalah melewati Bukit Serigala. Ada juga jalan
lain, tapi terlalu berbahaya juga. Selain memutar jalan itu juga sulit
didaki. Bahkan terdapat turunan terlalu curam. Sedangkan bila melewati Bukit
Serigala, sudah jelas di sana akan dihadang Serigala Iblis Bercambuk Emas
bersama dua orang muridnya.
Dan belakangan ini, mereka memang menjadi momok yang menakutkan bagi setiap
orang. Maka sebulan yang lalu upeti yang semula dikirim untuk kerajaan,
dirampok oleh kawanan itu. Dan jelas, hal itu membuat pihak kerajaan mulai
marah. Mereka mengira Adipati Tanuwijaya sengaja melupakan kewajibannya.
Maka tentu saja Adipati Tanuwijaya gelisah bukan main.
Amarahnya semakin menjadi ketika beberapa pengawal terbaiknya yang dikirim
untuk menghabisi Serigala Iblis Bercambuk Emas, ternyata hanya kembali
seorang. Itu pun penuh luka di tubuhnya yang bahkan tak bisa tertolong lagi,
karena keburu tewas setelah menyampaikan berita kematian kawan-kawannya. Dan
kali ini, Adipati Tanuwijaya tentu tak mau gagal lagi. Maka dipersiapkannya
segala sesuatu sebaik mungkin.
Termasuk, para pengawal yang akan menjaga upeti nantinya. Dan untuk mencari
para pengawal yang baik dan mampu diandalkan, kini di kadipaten itu diadakan
suatu sayembara dalam bentuk pertandingan adu ketangkasan. Sepuluh orang
pemenang terbaik akan diangkat menjadi pengawal pribadi Adipati Tanuwijaya,
ditambah hadiah besar. Dan mulai hari itu juga pengumuman disebar ke seluruh
wilayah kadipaten!
***
Matahari yang menyengat, membawa dua anak muda ke tepi sebuah sungai yang
airnya amat bening, di wilayah Kadipaten Indra Kasih. Mereka berhenti dan
membasuh mukanya untuk menyegarkan diri. Kemudian setelah merasa segar,
mereka berjalan ke arah sebuah pohon yang berdaun lebat. Tak lama, punggung
mereka sudah bersandar di bawah pohon itu, untuk melindungi diri dari
sengatan matahari. Sedangkan kedua kuda mereka dibiarkan minum air
sepuas-puasnya.
"Kakang! Aku masih jengkel dengan orang tua busuk itu!" kata gadis berwajah
cantik memakai baju biru muda, dengan pedang bergagang kepala naga tersembul
di balik punggungnya. Memang, dia tak lain dari Pandan Wangi. Sedangkan
pemuda di sebelahnya adalah Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti. Rangga
tersenyum dan tak menyahut.
"Lagaknya seperti yang paling hebat saja!" cibir Pandan Wangi kesal.
"Orang itu memang aneh. Dan itu memang sudah kelakuannya. Kitalah yang
patutnya bisa menahan diri...," sahut Rangga, sabar.
"Huh! Menahan diri? Enak saja!" dengus Pandan Wangi, sengit.
"Kalau tak bisa menahan diri, maka dia akan semakin menggoda kita," jelas
Rangga.
"Huh! Kalau berhadapan dengan mereka yang tak punya kemampuan apa-apa,
mungkin dia bisa berbuat sekehendak hatinya. Tapi kepadaku, jangan
coba-coba, ya!"
Rangga hanya melirik sekilas pada kekasihnya. Pemuda itu sudah paham betul
watak gadis itu. Makanya, dia tidak terlalu menanggapi kekesalan hati Pandan
Wangi.
"Kenapa tersenyum?" tanya Pandan Wangi, tak senang.
Dan ini memang sudah wataknya. Gadis itu seolah-olah ingin mengajak perang
mulut, untuk menunjukkan kemanjaannya.
"Mengejekku, ya!"
Rangga malah tertawa lebar. Sebaliknya Pandan Wangi langsung mencubit
tangan Rangga. Pemuda itu berusaha menghindar, sambil bangkit dan berlari
menjauhi Pandan Wangi.
"Huh! Ke ujung langit sekalipun, akan kukejar kau!" dengus Pandan Wangi,
langsung mengejar pemuda itu.
Kejar-kejaran di antara mereka seolah tak mau berhenti. Tanpa disadari,
Pandan Wangi mengerah-kan ilmu meringankan tubuhnya. Namun sejauh itu, belum
juga berhasil mengejar. Rangga masih tenang-tenang saja berlari di depannya
dan terus berputar-putar di sekeliling tempat itu.
"To..., tolong...."
"Heh?!"
Rangga seketika menghentikan larinya begitu pendengarannya yang tajam
menangkap teriakan minta tolong yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Bola
matanya langsung mencari-cari sambil melangkah pelan ke satu arah, dengan
pendengaran dipasang tajam. Sementara Pandan Wangi saat itu sudah dekat.
Dan....
"Kenapa kau!" teriak Pandan Wangi, langsung mencubit pemuda itu.
Namun Rangga tak peduli. Malah tangannya memberi isyarat agar gadis itu tak
membuat keributan. Pandan Wangi jadi celingukan sendiri sambil menatap ke
sekeliling tempat itu dengan wajah heran.
"Kenapa? Ada apa, Kakang?"
"Ada teriakan minta tolong dari seseorang...," sahut pemuda itu.
Baru saja Rangga menyelesaikan kata-katanya, mendadak sesosok tubuh
berpakaian serba hitam melangkah sempoyongan ke arah mereka. Wajahnya tampak
pucat. Dan begitu melihat Rangga dan Pandan Wangi tangannya langsung
menggapai-gapai.
"To..., tolong..."
Tubuh orang itu langsung ambruk persis di depan Rangga berdiri. Rangga dan
Pandan Wangi langsung menghampiri. Dan seketika itu juga Pendekar Rajawali
Sakti langsung memeriksa keadaan tubuh orang itu. Kemudian tanpa banyak
bicara lagi, Rangga segera membopong orang berpakaian serba hitam itu.
Segera dibawanya orang itu ke tepi sungai. Sementara, Pandan Wangi segera
mengikuti dari belakang, setelah memungut sebilah pedang berukuran besar
yang tadi terjatuh dari genggaman orang itu.
Sosok orang berpakaian serba hitam itu tak tahu, sudah berapa lama tak
sadarkan diri di tepi sungai. Namun ketika kesadarannya mulai pulih,
perlahan-lahan matanya melihat sepasang anak muda di depannya, yang tak lain
dari Rangga dan Pandan Wangi. Dia cepat bangkit dan bersandar di batang
pohon. Kemudian, ditatapnya Pandan Wangi dan Rangga bergantian.
"Siapa kalian?" tanya sosok berpakaian serba hitam itu, lemah.
"Aku Rangga. Dan ini kawanku, Pandan Wangi. Kami menemukanmu dalam keadaan
tak sadarkan diri. Siapa namamu, dan apa yang telah terjadi padamu,
Kisanak?" tanya Rangga disertai senyuman manis di bibir.
Orang berpakaian serba hitam itu tak langsung menjawab. Dan matanya malah
meneliti keadaan tubuhnya, serta melihat beberapa buah luka yang
dideritanya. Kemudian tatapannya beralih pada sepasang anak muda di
depannya.
"Aku Kamajaya alias Dewa Bermuka Bulan. Huh! Kalau saja mereka tak bermain
curang! Dalam pertarunganku melawan Serigala Iblis Bermuka Emas, tubuhku
telah terkena senjata rahasia. Dan tiba-tiba kepalaku pusing dan darahku
seperti berhenti mengalir. Jelas senjata rahasia itu pasti beracun. Tapi
kini keadaanku sudah berangsur-angsur baik. Kaukah yang mengobatiku?" jelas
laki-laki berpakaian serba hitam, yang ternyata Dewa Bermuka Bulan.
Suaranya terdengar masih lemah, walaupun seluruh racun dalam tubuhnya sudah
keluar. Memang, Pendekar Rajawali Sakti telah memberi pengobatan padanya,
dengan penyaluran hawa murni.
"Darahmu telah bercampur racun dari senjata rahasia yang menancap di
tubuhmu. Dan luka di pinggangmu seperti terbakar. Kau banyak muntah darah
tadi. Ini, telah kubuatkan ramuan dari tumbuhan di sekitar sini.
Mudah-mudahan ramuan ini bisa mengembalikan kesegaran tubuhmu. Minumlah,"
ujar Rangga sambil menyerahkan ramuan obat yang ditampung dengan tempurung
kelapa.
Dewa Bermuka Bulan yang bernama asli Kamajaya itu agak ragu-ragu
menerimanya. Namun begitu melihat sorot mata Rangga yang memancarkan
kesungguhan, akhirnya diterimanya juga ramuan obat itu dan diteguknya sampai
tandas.
"Kau tak boleh banyak mengeluarkan tenaga dulu, Kisanak. Dalam keadaan
begini, sangat berbahaya bagi kesehatanmu," ujar Rangga.
"Terima kasih atas kebaikan kalian padaku," ucap Dewa Bermuka Bulan sambil
tersenyum, kendati agak pahit.
"Sama-sama, Kisanak. Dan memang sudah kewajiban kami untuk menolong orang
yang membutuhkan pertolongan. Oh, ya. Apa yang telah terjadi padamu,
sehingga mengalami luka separah ini?" tanya Rangga.
"Huh, Serigala Iblis Bercambuk Emas keparat! Kalau saja dia tak berlaku
curang, mana bisa mengalahkan aku!" dengus Dewa Bermuka Bulan.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas? Siapa dia?" tanya Rangga dengan kening
berkerut.
"Apakah kalian tak tahu?"
Rangga dan Pandan Wangi, sama-sama menggeleng kepala.
"Ah! Kukira julukan itu sudah menggetarkan jagad ini. Tapi nyatanya kalian
pun tak tahu. Kalau begitu, tak salah jika aku menuduhnya sebagai pengecut
hina yang beraninya hanya merampok orang-orang tak berdaya...," sahut Dewa
Bermuka Bulan seperti berkata pada diri sendiri.
"Maaf, Kisanak. Aku tak mengerti, apa yang tengah kau bicarakan. Sudikah
kau menceritakan, siapa orang yang dimaksud dengan Serigala Iblis Bercambuk
Emas? Dan, mengapa kau sampai bertarung dengannya?" tanya Rangga.
Kamajaya terdiam sesaat seperti tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat.
Kemudian segera diceritakannya semua yang dialaminya. Namun karena urusannya
pada Serigala Iblis Bercambuk Emas adalah soal balas dendam, maka agaknya
dia lebih tertarik menceritakan soal itu lebih banyak. Hanya saja, Rangga
dan Pandan Wangi lebih tertarik dengan sepak tenang Serigala Iblis Bercambuk
Emas yang diceritakan sepintas oleh Kamajaya.
"Kalau ada kesempatan lagi, akan kuhabisi keparat licik itu!" dengus
Kamajaya, setelah mengakhiri ceritanya sambil mengepalkan tangan.
Rangga dan Pandan Wangi hanya mengangguk-angguk.
"Apakah kalian betul-betul belum pernah mengenal keparat licik itu
selumnya?" tanya Kamajaya ingin meyakinkan.
Sepasang pendekar dari Karang Setra menggeleng pelan. Dan Kamajaya pun
ikut-ikutan menggelengkan kepala dengan wajah sedih.
"Sayang sekali. Padahal kalau kalian berurusan dengannya, aku pasti bisa
menghajarnya habis-habisan. Orang itu tak bisa dibiarkan hidup lama lagi.
Sudah banyak orang yang dirugikannya...," gumam Kamajaya lirih.
"Kami mengerti, apa yang kau rasakan, Kisanak. Tapi suatu saat, dendammu
pasti akan terbalaskan," hibur Rangga.
"Ya, aku tahu itu. Aku memang mesti bersabar dan mencari jalan lain untuk
membalas kelicikannya itu," sahut Kamajaya lirih. Tak berapa lama kemudian,
Kamajaya mohon diri. Tak lupa diucapkannya terima kasih berkali-kali pada
kedua pendekar itu.
"Aku tak akan melupakan pertolongan kalian," ucap Kamajaya seraya bangun,
dan langsung berkelebat cepat dari situ.
"Aku suka orang itu. Selalu riang gembira meskipun hatinya dendam dan
sedih...," gumam Pandan Wangi, begitu Kamajaya sudah tak terlihat
lagi.
"Hm, suka...?" tanya Rangga meyakinkan.
"Ya, kenapa?" sahut Pandan Wangi balik bertanya sambil melirik dengan
senyum genit pada kekasihnya.
"O...," hanya itu yang keluar dari mulut Rangga.
***
ENAM
Hari menjelang sore, ketika Rangga dan Pandan Wangi tiba di Kadipaten
Indrakasih. Suasana di sini tampak ramai. Di sepanjang jalan, banyak
terlihat umbul-umbul berwarna-warni. Apalagi, orang tampak berduyun-duyun
mendatangi alun-alun yang terletak tepat di depan istana kadipaten. Ketika
melihat seorang laki-laki setengah baya tergopoh-gopoh menuju tempat yang
sama, Rangga segera menghampiri.
"Ada perayaan apa, Ki. Mengapa ramai betul di alun-alun itu?" tanya Rangga,
sopan.
Sejenak laki-laki setengah baya itu memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti
dari ujung kepala, hingga ujung kaki. Sepertinya, dia sedang menduga jati
diri Pendekar Rajawali Sakti.
"Apakah kau tak tahu?" laki-laki setengah baya itu malah balik
bertanya.
Rangga menggeleng, sambil tersenyum.
"Hm.... Kau bukan penduduk sini rupanya. Apakah kau seorang pendekar atau
paling tidak, berkepandaian tinggi?" lanjut laki-laki tua itu kembali
bertanya.
"Aku dan temanku ini hanya pengembara biasa, Ki. Memangnya kenapa?" kata
Rangga, merendah.
"Sayang sekali, kalau saja kalian boleh ikut sayembara itu. Hadiahnya
besar. Bahkan yang menang akan menjadi pengawal pribadi Adipati Tanuwijaya!"
jelas orang tua itu, meyakinkan.
"Sudikah kau menjelaskan pada kami, sayembara apa yang sedang diadakan oleh
adipati di sini?" tanya Rangga.
"Adipati Tanuwijaya tengah mengadakan sayembara. Dia mencari pengawal
pribadi yang bisa diandalkan untuk melawan Serigala Iblis Bercambuk Emas.
Siapa yang menang dalam pertandingan, maka akan mendapat hadiah seribu
kepeng emas murni. Bahkan akan diangkat menjadi pengawal pribadinya.
Sedangkan pemenang kedua akan menjadi kepala pasukan pengawal," jelas orang
tua itu, berseri-seri. Rangga mengangguk-angguk, tanda mengerti.
"Maaf, Kisanak. Aku harus buru-buru! Kesempatan bisa melihat tokoh-tokoh
persilatan bertarung, jarang terjadi. Pasti akan berlangsung seru dan hebat.
Mari, Kisanak!" pamit laki-laki setengah baya itu seraya berlari-lari kecil
mengikuti orang-orang yang berjalan menuju alun-alun di depan istana, tempat
kediaman Adipati Tanuwijaya.
"Bagaimana, Kakang? Apakah kau ingin ikut serta sayembara itu? Siapa tahu
kau bisa menjadi pasukan pengawal di kadipaten ini?" tanya Pandan Wangi,
menggoda.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Entah, apa arti senyumnya. Yang jelas,
buat Rangga sayembara itu tak ada artinya sama sekali. Toh dia adalah Raja
di Karang Setra. Apalagi hanya untuk mendapatkan seribu kepeng emas dan
jabatan pengawal pribadi. Bukannya Rangga merendahkan, tapi yang pasti
kepandaiannya hanya untuk membela orang yang lemah, dan untuk menumpas
keangkaramurkaan.
"Ada baiknya kita melihat pertandingan itu. Aku heran, mengapa adipati itu
sampai menempuh jalan ini. Apakah para pengawalnya tak mampu mengatasi orang
yang berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas itu?" kata Rangga mengalihkan
pertanyaan Pandan Wangi.
"Kau lupa, Kakang! Serigala Iblis Bercambuk Emas itu berilmu tinggi.
Apalagi dia mampu memerintah kawanan serigala liar untuk menyerang musuhnya.
Aku menduga, adipati itu memang pantas memerlukan para pengawal yang dapat
diandalkan dalam jumlah banyak," timpal Pandan Wangi.
Rangga hanya menggut-manggut mendengarkan penjelasan Pandan Wangi. Tak lama
kemudian, mereka segera berjalan perlahan sambil menuntun kuda masing-masing
mendekati keramaian yang ada di alun-alun depan kediaman Adipati Tanuwijaya.
Orang telah ramai memadati tempat itu. Bukan hanya dari kadipaten ini saja,
melainkan juga dari desa di sekitarnya.
Tempat sayembara itu sendiri dipagari bambu berbentuk lingkaran dengan
garis tengah kira-kira sepuluh tombak. Di salah satu sudut, tampak Adipati
Tanuwijaya duduk memperhatikan pertandingan bersama beberapa orang juri yang
akan menentukan pemenangnya. Ketika Rangga dan Pandan Wangi tiba di sana,
juri telah menentukan lima orang pemenang. Karena pesertanya cukup alot,
maka diputuskan bagi mereka yang mampu mengungguli lawan sebanyak tiga kali
berturut-turut patut menjadi pemenangnya.
Kini babak penentuan telah berlangsung. Di arena, tengah berhadapan seorang
laki-laki bertubuh tinggi kurus terbungkus baju merah. Dan lawannya adalah
laki-laki bertubuh sedang dengan wajah penuh cambang bauk. Pertarungan
tampak berlangsung singkat, karena dengan mudah laki-laki bercambang bauk
itu mengalahkan lawannya. Dan lawan kedua pun mampu dikalahkannya dalam
waktu cepat. Hal itu tak mengherankan, karena kepandaian laki-laki itu
memang di atas lawan-lawannya.
"Hidup Jumangun...!"
"Hidup jago Kadipaten Indrakasih!" teriak para penonton lain
menimpali.
Jumangun sendiri tersenyum-senyum sambil menjura memberi hormat kepada
penonton.
"Siapa lagi yang akan maju menantang Jumangun?!" teriak salah seorang juri
dengan suara lantang.
Pada saat itu juga, melesat sesosok tubuh ke arena pertarungan. Dan dengan
gerakan ringan kedua kakinya mendarat manis di tempat arena. Rambutnya
panjang dan awut-awutan. Mata kirinya tertutup kain hitam. Tangan kanan
tampak menggenggam sebatang tombak bermata tiga. Sorot matanya yang hanya
tinggal sebelah itu, tampak tajam menusuk. Sehingga membuat Jumangun
bergidik ngeri untuk sesaat. Sementara orang-orang yang berada di tempat itu
mulai was-was. Sosok yang baru datang itu terlihat buas. Dan agaknya, dia
tak segan-segan membunuh lawan. Dan yang lebih mengagetkan lagi, ternyata
penonton mengenali orang itu.
"Dia si Serigala Mata Satu. Murid si Serigala Iblis Bercambuk Emas!" teriak
seseorang.
"Heh?!" Seketika saja di tempat itu terdengar gumaman-gumaman tak jelas
seperti suara kawanan lebah.
Bahkan sebagian dari mereka, wajahnya menjadi cemas. Namun, tak seorang pun
yang meninggalkan tempat itu. Agaknya, mereka ingin menyaksikan kejadian
selanjutnya.
"He, Adipati Tanuwijaya! Apakah ada peraturan bahwa aku tak boleh ikut
dalam pertandignan ini? Kudengar sayembara ini boleh diikuti semua orang.
Lagi pula, bukankah kecoa-kecoa ini yang akan kau andalkan untuk
menghancurkan kami? Nah kini aku datang ke sini seorang diri. Jadi kenapa
mesti menunggu hingga pertarungan ini selesai? Lebih baik, suruh jago-jagomu
untuk menghadapiku sekarang juga!" tantang Serigala Mata Satu jumawa.
Adipati Tanuwijaya memandang geram pada Rajendra alias Serigala Mata Satu.
Namun sekuat mungkin dia menahan sabar. Sebentar dia berbisik pada beberapa
orang juri, kemudian terlihat kembali memandang Serigala Mata Satu.
"Sebagai seorang adipati, aku patut memenuhi janjiku. Meskipun kau seorang
pengacau yang seharusnya ditangkap dan diadili, tapi kau kuperkenankan untuk
ikut dalam pertandingan ini," ujar Adipati Tanuwijaya.
Kemudian, Adipati Tanuwijaya berpaling pada Jumangun. "Jumangun! Apakah kau
bersedia menghadapi lawanmu?"
"Ampun, Kanjeng Adipati. Mana mungkin hamba berani menolak kalau memang
lawan telah menunggu hamba!"
"He, cepat cabut senjatamu!" dengus Serigala Mata Satu.
"Kisanak! Sejak awal pertarungan, tak ada yang memakai senjata. Karena,
tujuan pertandingan ini bukan untuk mencelakakan lawan," sahut Jumangun
tenang.
"Huh! Siapa yang peduli! Bukankah tak ada peraturan yang mengatakan kalau
tidak boleh menggunakan senjata? Bahkan kalau kau mampus di tanganku, maka
pertarungan sah saja. Nah! Siapkanlah dirimu sebaik mungkin!" sahut Serigala
Mata Satu, seraya melompat menyerang lawan.
"Hup!" Jumangun cepat menundukkan kepala, ketika satu tendangan Rajendra
meluncur deras hendak menghantamnya. Tapi kemudian laki-laki bercambang bauk
itu terkejut sendiri. Ternyata setelah menghindari, sambaran angin kencang
Serigala Mata Satu seakan menggiris kulitnya.
Dan belum juga Jumangun mampu bernapas lagi, dia harus bergulingan
menghindari serangan Serigala Mata Satu yang tak kepalang tanggung, dalam
mempermainkan senjata tombak bermata tiganya. Dan hal ini membuat
kedudukannya semakin terjepit. Sementara orang-orang yang menonton
pertandingan mulai memaki-maki Serigala Mata Satu. Namun, tak seorang pun
yang berani menghentikan pertarungan itu. Memang, dari semula tak ada aturan
yang melarang seorang peserta menggunakan senjata.
"Yeaaa!"
"Uts!"
Jumangun semakin terdesak saja. Tubuhnya jatuh bangun berusaha menghindari
serangan tanpa mampu membalas. Bahkan sepertinya dia tidak mampu mengelak
ketika Serigala Mata Satu mengayunkan satu tendangan ke arah batok kepala.
Namun dengan untung-untungan, kepalanya ditundukkan sambil melompat ke
belakang. Sayang, saat itu juga Serigala Mata Satu lebih cepat berbalik dan
langsung menyodokkan kepalan tangan kirinya ke dada Jumangun.
Desss!
"Aaakh...!"
Jumangun kontan memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terjungkal sambil
memuntahkan darah segar. Tapi, agaknya Serigala Mata Satu tak mau berhenti
sampai di situ. Tubuhnya sudah melompat bermaksud menghabisi nyawa lawannya
yang sudah ambruk di lantai arena. Namun, Serigala Mata Satu tidak
mempedulikan bentakan itu. Dia terus melompat cepat sambil mengayunkan
tombak di tangan untuk menghabisi Jumangun. Dan begitu ujung tombak hampir
menyentuh tubuh Jumangun, mendadak saja melesat sesosok bayangan biru yang
memapak serangan.
Trakkk!
"Uhhh...!"
Serigala Mata Satu kaget setengah mati ketika merasakan tombaknya ditangkis
oleh suatu benda yang kuat luar biasa. Bahkan mampu membuat dadanya berdetak
kencang. Belum lagi disadari apa yang terjadi, sekonyong-konyong datang
serangan kembali yang menderu ke arahnya. Buru-buru dia melompat menghindari
sambil memutar tombaknya dan kembali menangkis.
Trang!
Bet!
"Ohhh!"
Ketika dua senjata kembali beradu, kali ini himpitan tenaga dalam sosok
berpakaian biru yang disalurkan lewat senjata membuat telapak tangan
Serigala Mata Satu terasa nyeri. Bahkan tubuhnya sampai terjajar beberapa
langkah. Keringat dingin kini mulai mengalir di tubuh Rajendra. Namun
laki-laki itu tak kehilangan akal. Maka senjata rahasianya langsung
dilemparkan.
Ser! Ser!
Beberapa buah benda melesat cepat, mengancam keselamatan sosok berpakaian
biru itu. Namun dengan gerakan cepat bagai kilat sosok berpakaian biru itu
memutar senjatanya yang berupa kipas baja putih sambil berjumpalitan.
Tring! Trang!
Beberapa buah paku beracun yang melesat ke arah bayangan biru itu, kontan
buyar dan rontok ke bawah, tersambar kipas baja putih. Dan begitu bayangan
biru itu menjejakkan kakinya, barulah Serigala Mata Satu bisa jelas
melihatnya. Ternyata orang yang memapak serangannya adalah gadis cantik
berbaju biru. Tampak tangannya memegang kipas baja putih. Gadis yang tak
lain Pandan Wangi itu memandang sinis pada Serigala Mata Satu.
"Siapa kau?!" bentak Serigala Mata Satu, garang.
"Aku malaikat maut yang akan mencabut nyawamu!" kata Pandan Wangi,
dingin.
"Setan! Kau pikir aku takut bila hanya berhadapan dengan seorang
gadis?"
"Kau tak perlu takut, sebab memang akan mampus!" dengus Pandan Wangi
geram.
Mendengar hal itu, bukan main geramnya Serigala Mata Satu. Maka dia
langsung melompat menyerang lawan disertai pengerahan segenap kemampuan yang
dimilikinya. Tapi, Pandan Wangi yang sejak tadi sudah geram melihat tingkah
orang itu, langsung melayaninya. Maka kini pertarungan tak terelakkan lagi.
Sementara itu, para penonton yang tadi kesal dan geram terhadap Serigala
Mata Satu kini bersorak-sorak gembira. Apalagi yang maju kini seorang gadis
cantik berkepandaian tinggi.
Sementara, Adipati Tanuwijaya sendiri yang merasa hajatnya jadi berantakan,
tak tahu lagi harus berbuat apa, selain mendiamkan saja pertarungan
berlangsung. Dalam adu senjata tadi, bisa dirasakan kalau tenaga dalam gadis
itu tak berada di bawah lawannya. Bahkan mampu mengimbangi kecepatan gerak
Serigala Mata Satu. Hal itulah yang membuat Pandan Wangi semakin percaya
diri saat ini.
Meskipun lawan telah mengerahkan seluruh kehebatan permainan tombaknya,
namun dengan gesit Pandan Wangi mampu lolos dari setiap incarannya. Bahkan
dalam satu kesempatan, gadis itu berhasil menyodok pertahanan Serigala Mata
Satu. Tubuhnya cepat menukik tajam, dan langsung menghantam genggaman
tangannya pada tombak.
"Hiyaaa!"
Trang!
Ketika kedua senjata itu beradu, Serigala Mata Satu mengeluh kesakitan.
Tubuhnya langsung mundur dengan langkah terhuyung-huyung. Tapi, Pandan Wangi
tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kaki kanannya cepat terayun, menghantam
ke arah dada lawan.
Desss!
"Uhh...!"
Serigala Mata Satu kontan memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terlempar
beberapa langkah kebelakang, dan jatuh deras di lantai arena. Dan pada saat
itu juga, Pandan Wangi bermaksud menghabisi Serigala Mata Satu secepatnya.
Bagaikan anak panah, tubuhnya melesat sambil mengayunkan pedangnya yang
berisi tenaga dalam kuat.
"Yeaaa...!"
Ser! Ser!
Namun pada saat terjepit begitu, Serigala Mata Satu masih mampu berbuat
curang, cepat dilemparkan paku-paku beracun ke arah Pandan Wangi. Namun,
untung gadis itu telah dapat menduga. Maka kipas baja putihnya cepat
diputar, dengan gemas menghantam senjata rahasia Serigala Mata Satu.
Trak! Trak!
Paku-paku beracun itu kontan rontok di hajar kipas baja putih Pandan Wangi.
Namun ketika gadis itu berhenti memapak, Serigala Mata Satu telah melesat
kabur.
"Wanita sial! Aku belum kalah. Hari ini, kau boleh merasakan kemenanganmu.
Tapi lain hari, aku akan datang mencarimu! Dan saat itulah hari kematianmu!"
teriak Serigala Mata Satu begitu tubuhnya telah jauh.
"Jahanam busuk! Ke sinilah kalau benar-benar bukan pengecut!" bentak Pandan
Wangi sambil mendengus garang.
Tapi, gadis itu hanya bisa memandang geram, karena Serigala Mata Satu telah
menghilang. Sambil menyelipkan kembali kipas baja putih pada pinggangnya,
gadis itu keluar dari arena pertarungan. Namun baru saja melangkah dua
tindak, Adipati Tanuwijaya menghampiri.
"Nisanak, kemarilah sesaat!"
Pandan Wangi menoleh, memandang lelaki berpakaian mewah itu. Sambil
tersenyum, tubuhnya membungkuk memberi salam hormat.
"Maaf. Kalau tak salah, bukankah Kisanak Adipati Tanuwijaya? Maafkan
sikapku!"
"Tak ada yang perlu dimaafkan Nisanak. Malah, akulah yang harus mengucapkan
terima kasih. Kemarilah, ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucap Adipati
Tanuwijaya.
"Kanjeng Adipati, maaf. Hamba tak bisa menghampiri seorang diri, sebab
hamba ke tempat ini bersama kawan," sahut Pandan Wangi.
"Hm. Kalau demikian, ajaklah kawanmu itu," titah Adipati Tanuwijaya.
***
TUJUH
Pandan Wangi pun akhirnya mengajak Rangga untuk bersama-sama menghadap sang
Adipati. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti tak setuju atas ajakan itu.
Bahkan sebelum Pandan Wangi turun tangan untuk membereskan Serigala Mata
Satu, ada sesuatu yang ingin dirahasiakannya. Dan itu menyangkut keadaan
dirinya. Beberapa tahun silam, raja negeri ini pernah datang ke Kerajaan
Karang Setra. Dan pada saat itu, dia mengajak salah seorang adipatinya. Dan
Rangga tak akan lupa wajah adipati itu. Dialah laki-laki berpakaian merah,
yang kini tengah memanggil mereka!
"Kanjeng Adipati, maaf. Kami tak sengaja mengacau tempat ini," ucap Rangga
hormat sambil menunduk ketika telah berada di hadapan Adipati
Tanuwijaya.
Adipati Tanuwijaya langsung menatap tajam memperhatikan dari ujung kaki
hingga kepala pemuda itu. Rasa-rasanya, pemuda ini memang pernah dikenalnya.
Kemudian, terlihat dia buru-buru bangkit dari tempat duduknya, langsung
tubuhnya membungkuk memberi penghormatan.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu Karang Setra. Suatu kehormatan besar bagi
kadipaten ini mendapat kunjungan Kanjeng Gusti Prabu," ucap Adipati
Tanuwijaya merendah.
"Kanjeng Adipati, apa-apaan ini? Apa yang kau lakukan? Bangkitlah. Lihatlah
orang-orang memperhatikan dengan heran. Kami hanya pengembara biasa!" sahut
Rangga, setengah tergagap.
"Gusti Prabu tak bisa menipu hamba. Dan pokoknya hamba tak akan berdiri
sebelum Gusti Prabu mengakui hal itu," sahut Adipati Tanuwijaya,
berkeras.
Rangga tak tahu, harus bersikap apa mendengar kata-kata Adipati Tanuwijaya.
Meskipun dengan berat hati, akhirnya diakui kalau dirinya adalah Raja Karang
Setra. Setelah itu, barulah Adipati Tanuwijaya bangkit seraya memberitahukan
pada rakyatnya bahwa tamu mereka adalah Raja Karang Setra. Maka seketika
orang-orang yang berada di tempat itu jadi terkejut melihat penampilan
seorang raja dari kerajaan besar, tapi hanya berpakaian seperti orang-orang
persilatan pada umumnya.
"Hidup Raja Karang Setra...!" teriak seseorang, kemudian diikuti yang
lainnya dengan gegap gempita.
Hal seperti itulah yang tak disukai Rangga. Namun pada akhirnya, dia tak
mampu menghindar. Adipati Tanuwijaya benar-benar menyambutnya dengan meriah.
Maka seketika itu juga, seluruh orang yang berada dalam istana kadipaten
sibuk menyambut kedatangan Raja Karang Setra itu. Adipati Tanuwijaya terus
membawa Rangga dan Pandan wangi menuju ruangan balai sema agung istana
kadipaten.
Dan di situ ternyata telah tersaji jamuan-jamuan untuk tamu kehormatan. Tak
lupa, Adipati Tanuwijaya juga menjamu rakyatnya yang masih berkerumun di
alun-alun depan rumahnya. Adipati Tanuwijaya sudah lama mengetahui kalau
Rangga disamping seorang raja, juga seorang pendekar sakti yang sering
mengembara. Hal itu pun diutarakan ketika mereka usai mengadakan jamuan
makan.
"Gusti Prabu, sebenarnya hamba tak pantas memohon. Namun kedudukan hamba
sangat terjepit. Sementara, pihak kerajaan mengira hamba melalaikan
kewajiban dalam menyerahkan upeti. Oleh karena itulah, hamba mengadakan
pertandingan ini," jelas Adipati Tanuwijaya, setelah menceritakan persoalan
yang menimpa dirinya.
"Ya, ya. Aku mengerti apa yang kau pikirkan, Paman Adipati Tanuwijaya,"
kata Rangga yang telah menyebut paman pada adipati itu.
"Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, banyak kudengar berita tentang
Serigala Iblis Bercambuk Emas. Hal ini memang tak bisa dibiarkan
berlarut-larut..."
"Hamba telah kehabisan akal untuk menghadapinya, Gusti Prabu. Dan kini tak
tahu harus berbuat apa. Kalau dibiarkan terus, mereka akan semakin
merajalela. Beberapa utusan yang hamba kiri ke kerajaan untuk memberitahukan
hal ini, mereka bunuh. Bahkan tak seorang pun yang pernah kembali lagi,"
kata Adipati Tanuwijaya melanjutkan keterangannya. Rangga kembali
mengangguk-angguk kecil.
"Aku pun tegah berpikir untuk memberi peringatan padanya," kata Rangga
pelan.
"Oh! Sungguhkah Gusti Prabu akan membantu kami?!" tanya Adipati Tanuwijaya,
meyakinkan dengan wajah berbinar-binar. Rangga mengangguk pasti.
"Oh! Terima kasih, Gusti Prabu! Terima kasih! Kami tak tahu bagaimana
membalas kebaikan Gusti Prabu," ucap Adipati Tanuwijaya, sambil memberi
hormat berkali-kali.
"Apakah mereka bersarang di Bukit Serigala? Hm.... Kalau tak salah di
tempat itu terdapat kawanan serigala liar yang bisa diperintah mereka untuk
menyerang lawan-lawannya?" gumam Rangga seperti berkata pada diri
sendiri.
"Betul, Gusti Prabu! Hal itulah yang amat menyulitkan para pengawal hamba
untuk meringkus, selain kepandaian mereka juga tinggi!" jelas Adipati
Tanuwijaya.
"Hm.... Ajaklah para pengawalmu, serta penduduk kadipaten ini. Bawa obor
yang banyak, dan kita akan ke Bukit Serigala.
"Ya! Hamba mengerti. Serigala takut api. Bukankah obor-obor itu untuk
menakut-nakuti kawanan serigala, Gusti Prabu?" Rangga mengangguk.
"Tapi kalian tak boleh menampakkan diri, sampai aku berhadapan dengan
mereka. Dan obor-obor itu juga jangan dinyalakan dulu. Ketika kawanan
serigala itu menyerbu, barulah obor itu dinyalakan. Dan kalian segera
bergerak bersama-sama menghalau kawanan serigala itu," jelas Rangga.
"Hamba mengerti, Gusti Prabu. Hamba sendiri yang akan turun tangan memimpin
mereka!" sahut Adipati Tanuwijaya bersemangat.
"Syukurlah. Nah! Kalau demikian, kita bisa mulai ke Bukit Serigala setelah
hari sedikit gelap. Persiapkanlah segala sesuatunya dari sekarang!"
"Baik, Gusti Prabu! Hamba akan mempersiapkannya sekarang juga!" sahut
Adipati Tanuwijaya dengan wajah cerah
***
Menjelang sore, Bukit Serigala tampak diliputi suasana yang mencekam.
Beberapa orang tampak berhadapan dengan dua sosok tubuh. Sorot mata
masing-masing terlihat nyalang. Yang dua orang tak lain Ki Lodaya alias
Serigala Iblis Bercambuk Emas. Dia didampingi murid pertamanya, Gumarang.
Atau, lebih dikenal sebagai Serigala Buntung.
Sementara di depan mereka, terlihat seorang laki-laki bertubuh gemuk dan
besar. Mukanya lebar, dengan dagu agak panjang. Sepasang matanya agak
menyipit. Bajunya longgar, sehingga tubuhnya jadi mirip gajah. Tangan
kanannya tampak menggenggam sebuah senjata tongkat. Namun bentuknya mirip
seekor ular yang sedang melilit pada sebatang pohon. Dan pada kedua sisinya
tampak tajam, seperti mata pedang. Bahkan pada ujungnya berbentuk anak
panah.
Melihat ciri-cirinya, orang sering memanggilnya Ki Keong Geni. Sementara di
sebelah Ki Keong Geni terlihat seorang lelaki berkepala botak. Kulit yang
hitam legam terbungkus rompi hitam. Di pinggangnya tampak terselip golok.
Orang itu bernama Wisesa, Ketua Perampok Golok Perak. Dan di belakangnya,
tampak sepuluh orang anak buah pilihan berdiri siap menunggu perintah.
Mereka semua memang mempunyai tujuan menguasai Bukit Serigala ini. Dan
sebelum datang ke sini, kekuatan Ki Lodaya beserta dua orang muridnya memang
telah diperhitungkan. Untuk itulah, Wisesa hanya membawa sepuluh anak
buahnya yang bisa diandalkan.
"Pulanglah kalian, sebelum amarahku memuncak! Tujuan kalian hanya sia-sia
ke tempat ini!" kata Ki Lodaya, yang begitu berang mendengar maksud
mereka.
"Ha ha ha...! Ki Lodaya! Apakah kau pikir dirimu itu sudah hebat? Phuih!
Kami datang jauh-jauh ke tempat ini sudah jelas maksudnya. Kau terlalu
serakah menyimpan harta rampokan. Dan kami pun ingin mencicipi sedikit!"
sahut Ki Keong Geni.
Dia dikenal sebagai tokoh golongan hitam yang sering merampok dan membunuh.
"Ha ha ha...! Serigala Iblis Bercambuk Emas! Kalau kami malah cukup berbaik
hati. Jika kau memberi sedikit bagian, tentu kami tak akan mengganggumu
lagi," sahut Wisesa sambil terkekeh kecil.
Mendengar kata-kata mereka yang bernada terang-terangan, tentu saja Ki
Lodaya merasa tak senang. Wajahnya semakin kelam. Sedangkan sorot matanya
tampak memancar kebencian yang dalam. Perlahan-lahan dilepaskannya cambuk
yang terselip di pinggangnya.
"Kalau demikian, aku pun tak punya pilihan lagi. Kalian harus mati!" ancam
Serigala Iblis Bercambuk Emas, dingin menggetarkan.
"Huh! Kau pikir aku takut? Kaulah yang sebaiknya cepat mampus lebih dulu!"
geram Ki Keong Geni, langsung melesat hendak menyerang lawan.
"Aku juga tak mau ketinggalan, Kisanak! Lebih cepat dia mampus, akan lebih
baik!" timpal Wisesa sudah ikut menyerang lawan.
"Gumarang! Si botak jelek ini, bagianmu. Sementara biar anak buahnya
direncah kawanan serigala itu!" dengus Ki Lodaya sambil melecutkan cambuk
membelah angkasa.
"Baik, Guru!" sahut Gumarang cepat memapak serangan Wisesa.
Ctarrr!
"Serbuuu...!" teriak anak buah Wisesa ikut mengeroyok kedua guru dan murid
itu.
Namun dengan gesit dan lincah, Ki Lodaya melenting tinggi sambil berputaran
di udara untuk menghindari sambaran senjata Ki Keong Geni yang aneh itu.
Cambuk di tangannya kembali melesat ke angkasa, menimbulkan suara
menggelegar memekakkan telinga.
Ctarrr!
"Auuung...!"
"Heh?!"
Seketika juga, terdengar raungan serigala dari kejauhan saling bersahutan.
Dan dalam beberapa saat saja, terlihat debu mengepul di kejauhan dalam
deretan yang panjang. Ki Keong Geni, Wisesa, dan anak buahnya tersentak
kaget, dan lebih terkejut lagi, ketika melihat puluhan kawanan serigala
berlari cepat ke arah pertarungan. Namun kelengahan yang sesaat itu, justru
membuat keselamatan mereka terancam. Karena, Ki Lodaya dan Gumarang memang
tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka langsung mengebutkan senjata
masing-masing, mengancam keselamatan musuh-musuhnya.
Brettt!
Crasss!
Begkh!
Ctarrr!
"Aaa...!"
Dua orang anak buah Wisesa kontan tewas tersambar cakar besi di tangan kiri
Gumarang. Sementara, seorang lagi tersambar senjata aritnya. Akibatnya
hampir membuat leher orang itu putus. Gumarang sendiri nyaris terkena
sodokan, kalau tak buru-buru melompat ke belakang. Sementara itu dua orang
anak buah Wisesa yang mengeroyok Ki Lodaya, langsung terjengkang sambil
menjerit kesakitan, begitu satu tendangan keras menghantam dada mereka
hampir bersamaan.
Sedangkan Ki Keong Geni mengeluh kesakitan ketika ujung cambuk lawan
menyambar dada kanannya, sehingga membuat luka yang cukup parah. Kalau saja
tadi tak sempat memiringkan tubuh, niscaya akan remuk dihajar ujung cambuk
yang berisi tenaga dalam tinggi itu. Bahkan dalam keadaan demikian, mereka
dibuat repot oleh kehadiran kawanan serigala liar yang langsung menerkam
buas.
Melihat hal ini Ki Keong Geni jadi mengerutukkan rahang. Dan senjatanya
langsung diayunkan menghadapi serbuan hewan-hewan liar itu. Demikian juga
halnya Wisesa, serta anak buahnya yang tersisa. Tapi, gerakan mereka tak
leluasa lagi. Bahkan semakin terjepit ketika Ki Lodaya dan muridnya tak
memberi sedikit pun kesempatan untuk bisa lolos dari tempat itu.
"Kalian akan mampus semuanya! Tak seorang pun yang boleh pergi dari tempat
ini dengan selamat!" dengus Ki Lodaya geram.
Agaknya, Serigala Iblis Bercambuk Emas memang betul-betul ingin membuktikan
ucapannya. Sehingga, tak heran bila serangan-serangan yang dilakukan
demikian gencar. Akibatnya, Ki Keong Geni semakin keteter saja.
"Guru, aku datang membantu!" Dan pada saat itu juga, mendadak terdengar
satu bentakan nyaring yang langsung menyerang Ki Keong Geni.
"Yeaaa...!"
Ser! Ser!
"Uhhh...!"
Tring! Tring!
Ki Keong Geni kontan terkejut setengah mati ketika merasakan ada sambaran
senjata rahasia ke arahnya. Dengan cepat tubuhnya berbalik sambil
mengayunkan senjatanya untuk menangkis. Beberapa buah paku beracun berhasil
dirontokkannya.
Ctarrr!
"Graungrrr...!
Crab!
Namun saat itu pula, ujung cambuk Ki Lodaya menjilat ke arah perutnya. Ki
Keong Geni terkesiap, lalu buru-buru membalikkan tubuhnya untuk menangkis.
Namun bersamaan dengan itu, seekor serigala cepat menerkam tengkuknya dari
belakang. Bahkan senjata rahasia yang kembali dilemparkan orang yang baru
datang itu cepat menghujam pinggang hingga ke kakinya.
"Aaa...!"
Ki Keong Geni memekik. Perutnya terlihat hancur dihantam cambuk lawan
meskipun masih sempat menangkis. Dan lehernya di bagian pundak terluka
parah, digigit serigala itu. Sementara, dua buah paku beracun tampak
menancap di pinggang kiri dan kanannya. Tubuh Ki Keong Geni terhuyung-huyung
sebentar, lalu ambruk di tanah. Dia menggelepar beberapa saat, kemudian diam
tak bergerak! Tampak darah mengalir deras dari perut dan pundaknya.
Ki Lodaya kembali melesat, langsung membereskan anak buah Wisesa yang hanya
tinggal segelintir saja. Apalagi semangat orang-orang berkepandaian tanggung
itu telah terbang begitu melihat kawanan serigala. Sehingga dalam waktu
singkat, mereka sudah dapat dibinasakan. Wisesa sendiri keadaannya sangat
terjepit. Beberapa kali senjata Gumarang nyaris merobek tubuhnya.
Belum lagi, harus menghindar dengan hati-hati dari terkaman
serigala-serigala liar. Namun sekuat apa pun bertahan, dia tak akan bertahan
lama. Hal itu terlihat, ketika tangan Gumarang yang terbuat dari besi
berbentuk cakar serigala menyambar ke arah perut lawan. Wisesa melompat ke
atas. Namun, tiga ekor serigala langsung serentak menerkamnya. Maka dengan
kalang kabut, goloknya dikibaskan. Dua ekor berhasil dibunuh, namun yang
seekor lagi sempat merobek paha kanannya. Dan pada saat itu, senjata
Gumarang cepat menyambar dadanya.
Wuttt!
Crasss...!
"Aaa...!"
Wisesa kontan terpekik. Dan beberapa buah tulang rusuknya patah dan dadanya
terluka parah. Namun Gumarang tak mau memberi kesempatan lagi. Tangan
kirinya kembali menyambar ke arah leher, tak sempat dihindari Wisesa sedikit
pun.
Brettt!
"Okh...."
Wisesa hanya bisa mengeluh tertahan. Lehernya kontan nyaris putus disambar
cakar kiri Gumarang. Darah kontan menyembur deras dari leher. Sebentar dia
terhuyung lalu jatuh ke tanah tidak bergerak lagi. Napasnya putus seketika
itu juga. Bahkan begitu jatuh di tanah, kawanan serigala cepat merencahnya
dengan buas.
Beberapa saat saja, orang-orang itu tinggal tulang belulangnya. Kawanan
serigala itu agaknya masih belum kenyang dengan santapan yang telah habis,
sehingga sorot mata mereka memancar tajam terarah pada Ki Lodaya dan kedua
muridnya. Namun dengan sekali melecutkan cambuknya, maka kawanan serigala
itu perlahan-lahan menjauh.
"Rajendra! Apa yang kau peroleh dari Kadipaten Indrakasih?" tanya Ki
Lodaya, setelah kawanan serigala itu berlarian menjauhi mereka.
"Adipati Tanuwijaya mengadakan sayembara. Dia mencari orang-orang yang bisa
diandalkan untuk menghancurkan kita," jelas Rajendra alias Serigala Mata
Satu setelah menjura hormat.
"Aku berhasil memporak-porandakan mereka, dan bermaksud menghabisi
orang-orang itu...," sahut Rajendra menghentikan kata-katanya sambil
menundukkan kepala.
"Lalu?!" desak Ki Lodaya, keras penuh curiga.
"Kalau saja pada saat itu tak muncul seorang gadis berbaju biru yang
menggagalkan rencanaku...," lanjut Rajendra, takut-takut.
"Keparat! Jadi kau dikalahkan oleh gadis itu?!" bola mata Ki Lodaya"
mendelik garang.
"Ma..., maafkan aku, Guru. Kepandaian gadis itu memang hebat. Aku telah
berusaha melawan sekuat tenaga, tapi dia memang terlalu kuat bagiku," jelas
Rajendra, terbata-bata.
Serigala Iblis Bercambuk Emas diam beberapa saat sambil memandang muridnya
dengan sorot mata tajam. Sedangkan Rajendra tak berani mengangkat wajahnya.
Dia hanya bisa menunduk dalam-dalam, menekuri tanah. Agaknya, hatinya sudah
pasrah bila saja nanti mendapat hukuman yang akan dijatuhkan gurunya.
"Guru! Aku memang tak mampu menjalankan tugas dengan baik. Silakan kalau
Guru hendak menghukumku...," kata Rajendra lirih.
"Seharusnya kau memang pantas dihukum. Tapi, aku ingin tahu lebih lanjut
apa yang kau lakukan setelah kabur dari hadapan mereka?" tanya Ki
Lodaya.
"Aku berusaha mencari tahu, siapa gadis itu. Lalu, aku menyelinap secara
diam-diam di antara kerumunan penduduk desa," sahut Rajendra.
"Bagus! Lantas, apa yang kau ketahui tentangnya?"
"Tak banyak, Guru. Tapi, justru kawannya tiba-tiba saja dielu-elukan para
penduduk."
"Kawannya?"
"Ya! Agaknya, mereka baru tiba di kadipaten itu. Kawan gadis itu adalah
pemuda gagah berwajah tampan. Bajunya rompi putih, dan membawa sebilah
pedang bergagang kepala burung yang tersandang di punggung. Mereka
menyebutnya sebagai Gusti Prabu. Dan belakangan ini kuketahui, kalau dia
adalah Raja dari Karang Setra," jelas Rajendra.
"Raja dari Karang Setra? Hm... Ya..., ya. Sebentar! Apa yang kau katakan
tadi? Pemuda tampan yang memakai baju rompi putih?" tanya Ki Lodaya dengan
wajah terkejut.
"Betul, Guru. Apakah Guru mengenalnya?"
"Apa dia orangnya...?" gumam Ki Lodaya seperti pada diri sendiri. Kedua
murid Ki Lodaya menjadi bingung melihat sikap gurunya.
"Apakah Guru mengenal pemuda itu?" tanya Gumarang, memberanikan diri.
"Aku curiga. Jangan-jangan, dia Pendekar Rajawali Sakti...."
"Pendekar Rajawali Sakti? Siapa dia itu Guru?" tanya Gumarang lagi.
"Dia seorang pendekar sakti yang tak terkalahkan. Ciri-cirinya pernah
kudengar dan kulihat sendiri. Dan itu sama persis dengan yang diceritakan
Rajendra. Lagi pula, pernah kudengar kalau dia memang seorang raja yang
sering berkelana!" desis Ki Lodaya termangu sendiri.
"Guru! Apakah Guru khawatir jika dia datang ke tempat kita ini?" tanya
Gumarang kembali. Ki Lodaya tak langsung menjawab, melainkan memperhatikan
wajah muridnya satu persatu.
"Tak seorang pun kuperkenankan untuk menangkapku. Dengan adanya kalian
serigala-serigala liar, serta cambuk emas yang kumiliki ini, tak seorang pun
yang mampu mengusik kita!" tandas Ki Lodaya penuh semangat.
"Guru! Apakah kita perlu untuk menyerang mereka ke kadipaten itu?" tanya
Gumarang.
"Tidak perlu. Aku tahu betul. Pendekar Rajawali Sakti tak akan diam begitu
saja, setelah mengetahui tentang kita. Dia pasti akan datang ke sini. Dan
untuk itu, kita harus siap-siap menyambutnya. Dan kau, Rajendra. Kali ini
kegagalanmu kumaafkan. Bersiaplah untuk menghadapi lawan yang lebih
tangguh!" ujar Ki Lodaya sambil melangkah perlahan meninggalkan tempat
itu.
"Terima kasih, Guru!" sahut Rajendra, dengan wajah cerah.
Mereka kemudian berlalu dari tempat itu. Sementara, matahari telah
tenggelam di ufuk barat meninggalkan bias kemerahan yang masih tersisa. Dan
perlahan-lahan, cahayanya memudar ketika malam telah menyergap kawasan
itu.
***
DELAPAN
Kegelapan mulai menyelimuti seluruh kawasan Bukit Serigala ini. Dingin
menyapu sekitarnya, begitu angin bertiup perlahan-lahan. Langit terlihat
cerah. Dan bulan lembut sekali memancarkan sinar yang kemilau menerangi
seluruh tempat itu. Di kejauhan, terdengar lolongan serigala saling
bersahutan. Di sebuah jalan yang menuju Bukit Serigala, tampak dua orang
tengah mengendarai kuda. Mereka berhenti persis di dekat sebuah batu karang
yang menjulang ke atas dan membentuk sebuah kerucut.
Bagian bawahnya sendiri lebar tak rata, dan terus bersambung dengan jejeran
bukit-bukit kecil yang tandus di sekitarnya. Sementara, tak jauh di belakang
gugusan karang-karang kecil itu terlihat sebuah hutan yang memanjang dan
luas. Sedangkan di depan mereka, terhambar padang rumput yang cukup lebar.
Dan di ujung mata memandang, terlihat dua buah gunung yang menjulang tinggi.
Kedua anak muda yang tak lain Rangga dan Pandan Wangi itu memandang sekilas
ke sekeliling tempat itu tanpa turun dari punggung kuda masing-masing.
"Kakang! Tempat ini sepi dan menyeramkan...," kata Pandan Wangi sambil
memandang ke sekeliling.
"Kenapa? Kau takut?" tanya Rangga sambil tersenyum kecil.
"Tidak. Justru aku ingin cepat-cepat melihat tampang orang yang berjuluk
Serigala Iblis Bercambuk Emas!" sahut Pandan Wangi sengit.
"Kurasa dia telah mengetahui kehadiran kita...," kata Rangga tenang.
"Kakang...?" Pandan Wangi langsung memandang wajah pemuda itu, seolah ingin
meyakinkan kata-kata yang dikeluarkan Rangga tadi.
"Mereka tengah mengawasi kita," kata Rangga tersenyum dan mengangguk.
"Di mana?"
"Di balik pepohonan itu...," tunjuk Rangga, kesebuah pohon yang tumbuh
beberapa tombak di depannya. Baru saja Rangga selesai berkata demikian,
mendadak melesat satu sosok tubuh dari arah yang ditunjuknya.
"Ha ha ha...! Dugaanku tak salah, ternyata Pendekar Rajawali Sakti berkenan
juga untuk mengunjungi tempatku yang buruk ini!"
Begitu menjejakkan kaki pada jarak sepuluh langkah di depan Pendekar
Rajawali Sakti dan Pandan Wangi, sosok itu langsung tertawa terbahak-bahak.
Rangga dan Pandan Wangi jelas dapat melihat sesosok laki-laki bertubuh
sedang itu. Tampak kain kuning, diselempangkan ke pundak kirinya. Mukanya
seram dan kedua rahangnya menonjol. Rambutnya panjang riap-riap berwarna
kuning keemasan. Di pinggang sebelah kanan, terlihat seutas cambuk berwarna
keemasan.
"Kaukah yang bernama Serigala Iblis Bercambuk Emas?" tanya Rangga
meyakinkan.
"Tak salah. Ternyata, namaku telah sampai pula di telingamu!" sahut orang
yang berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas itu sambil tersenyum
sinis.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Aku telah banyak mendengar sepak terjangmu
bersama dua muridmu. Dan ternyata kau sudah melampaui batas-batas
kemanusiaan. Maka, kuminta agar kau dan dua muridmu menyerahkan diri
sekarang juga...."
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau tak perlu berbasa-basi! Tempat ini milikku.
Dan, akulah yang berkuasa di sini. Tak seorang pun yang berhak memerintahku.
Jika aku ingin nyawa kalian, hanya seperti membalikkan tangan saja. Nah! Tak
usah banyak bicara lagi. Cabutlah pedangmu, dan pertahankan nyawamu. Karena,
aku akan mengambil sekarang juga!" sentak Serigala Iblis Bercambuk
Emas.
"Hm.... Aku percaya kata-katamu itu, Kisanak. Tapi, jangan terlalu jumawa.
Aku takut, malah kau sendiri yang terkubur di sini bersama dua muridmu yang
berjiwa melempem, karena terus bersembunyi di belakang pohon itu," balas
Pendekar Rajawali Sakti dingin.
Ki Lodaya mendengus geram mendengar perkataan Pendekar Rajawali Sakti yang
seperti meremehkannya. Kemudian matanya memandang ke satu arah, seraya
melambaikan tangannya. Saat itu juga, melesat dua sosok tubuh ke tempat ini.
Mereka tak lain dari Gumarang alias Serigala Buntung, dan Rajendra alias
Serigala Mata Satu.
"Nah! Kami kini telah berkumpul. Kau boleh menentukan kematianmu sendiri,
Kisanak," geram Ki Lodaya.
"Apakah kalian bersungguh-sungguh? Padahal aku datang secara baik-baik.
Tapi apabila kau menjualnya apa salahnya kubeli. Sekalian untuk
mempertanggungjawabkan sepak terjangmu selama ini...," timpal Rangga lagi,
tenang.
"Banyak mulut! Lebih baik, mampuslah kau sekarang!" bentak Rajendra.
Kemudian, Serigala Mata Satu langsung melemparkan paku-paku racunnya ke arah
Pendekar Rajawali Sakti.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas, kuperingatkan sekali lagi! Aku masih bisa
menahan sabar, agar tidak ada pertumpahan darah!" bentak Rangga sambil
melompat dari punggung kudanya untuk menghindari lemparan senjata rahasia
Rajendra.
"Sebaiknya jagalah dirimu agar selamat, daripada coba-coba mengancamku!"
balas Ki Lodaya sudah langsung melecut cambuknya, tepat ketika Rangga
mendarat manis di tanah.
Ctarrr...!
Belum juga gema lecutan cambuk itu hilang, dari kejauhan terlihat puluhan
ekor kawanan serigala liar berlari kencang mendekati tempat itu. Ki Lodaya
langsung menunjukkan wajah cerah.
"Kau lihat itu, Pendekar Rajawali Sakti? Setinggi apa pun ilmu yang
dimiliki, mampukah melawan kawanan serigala yang buas dan kelaparan itu? Ha
ha ha...! Kalian akan mampus direncah mereka!" ejek Ki Lodaya sambil
tertawa.
Rangga tersenyum dingin, kemudian bersuit nyaring. Maka dari jarak yang
cukup jauh, terlihat lebih dari seratus orang penduduk berdatangan sambil
menyalakan obor. Dan kini mereka siap menghadang kawanan serigala itu. Ki
Lodaya tersentak kaget. Demikian juga kedua orang muridnya.
"Serigala-serigala liar itu kini mempunyai lawan-lawannya. Dan kalian akan
berurusan dengan kami!" kata Rangga kalem.
"Huh! Kalau begitu, mampuslah kalian!" dengus Ki Lodaya sambil melecutkan
cambuknya menghajar lawan.
Ctarrr...!
Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting ke atas ketika merasakan angin
kencang yang membuat perih kulit tubuhnya, akibat lecutan cambuk lawan. Dan
bersamaan dengan itu, kawanan serigala yang tengah dihadang para penduduk
itu terlihat semakin garang saja. Meskipun pada mulanya takut-takut melihat
obor yang menerangi tempat itu, namun lecutan cambuk itu seperti memacu
keberanian mereka!
Sehingga, tak heran bila beberapa ekor serigala berani menjerang
orang-orang yang tengah menghadangnya. Dan hal itu menimbulkan kekalutan
bagi orang-orang yang kebanyakan bermodal keberanian saja. Ketika tercium
bau darah yang berasal dai beberapa orang yang berhasil dilukai, kawanan
serigala itu seperti berlomba untuk mendapatkan mangsanya. Apalagi, ketika
mendengar suara cambuk yang berkali-kali melecut di angkasa.
Maka kawanan serigala itu bertambah liar dan buas saja. Hal itu agaknya
disengaja oleh Ki Lodaya untuk mengalihkan perhatian lawan. Di samping
mempengaruhi kawanan serigala. Hal inilah yang membuat Pendekar Rajawali
Sakti menjadi geram. Apalagi, ketika mendengar jeritan kesakitan dari
beberapa orang penduduk yang mulai menjadi korban kebuasan kawanan serigala
itu.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Kau sudah keterlaluan! Perbuatanmu tak bisa
kubiarkan lagi. Pertahankanlah jiwamu sekuat mungkin!" geram Rangga sambil
mencabut pedang pusakanya.
Rupanya, Pendekar Rajawali Sakti menganggap kalau lawannya tidak mungkin
dihadapi dengan tangan kosong saja. Apalagi, ketika melihat kawanan serigala
itu telah membunuh beberapa penduduk. Dan Pendekar Rajawali Sakti memang
tidak mau tanggung-tanggung lagi. Maka untuk menahan lecutan cambuk yang
bisa mempengaruhi serigala, Rangga harus mencabut pedangnya.
Srang!
"Heh?!"
Untuk sesaat, Ki Lodaya dan Rajendra tersentak kaget melihat sinar biru
terpancar dari batang Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang menerangi
sekitarnya. Raut wajah Pendekar Rajawali Sakti mengandung hawa kemarahan,
seperti seekor rajawali yang hendak menerkam mangsanya.
"Keparat! Apa kau pikir aku takut dengan pedang bututmu?!" geram Ki Lodaya
dan muridnya. Dan mereka sudah langsung melompat menyerang lawan.
"Yeaaa...!"
Ser! Ser!
Ctarrr...!
Dengan didahului lontaran paku-paku beracun, Serigala Mata Satu, langsung
menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti dengan senjata tombak bermata tiga
yang diputar-putar bagai kitiran. Sementara, Serigala Iblis Bercambuk Emas
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang dimiliki, sambil
mengayunkan cambuk yang siap menjilat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga cepat menyilangkan pedangnya persis di depan wajah, kemudian
mendadak tubuhnya melompat ke atas. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung
mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', yang digabung dengan jurus
'Pedang Pemecah Sukma'.
"Hiyaaa...!"
Trasss! Trasss!
Weerrr...!
Sekali pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti berkelebat, maka paku-paku
beracun yang dilepaskan Serigala Mata Satu rontok tak berbentuk. Bahkan
tombak bermata tiga di tangannya pun patah menjadi tiga bagian. Dan tubuh
Rajendra nyaris terkoyak kalau saja pada saat itu tak buru-buru menjatuhkan
diri ke tanah. Demikian pula halnya Serigala Iblis Bercambuk Emas.
Bukan main terkejutnya dia, ketika melihat cambuknya yang melesat ke arah
lawan, dihajar Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti hingga putus dari
setengahnya. Saat itu, ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti tampak bergetar
menyambar ke arah dadanya. Ki Lodaya tergagap, dan berusaha menjatuhkan diri
ke bawah. Namun, Pendekar Rajawali Sakti cepat melepaskan tendangan kaki
kiri. Begitu cepatnya tendangan itu, sehingga tak mampu dihindari.
Desss!
"Aaakh...!"
Ki Lodaya kontan memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terjungkal ke tanah
lebih kurang tujuh langkah sambil memuntahkan darah segar. Namun Pendekar
Rajawali Sakti tak langsung mengejar. Dia malah berjalan perlahan-lahan
mendekati lawan yang berusaha bangkit susah payah. Dan tanpa diketahui,
tiba-tiba Rajendra melesat cepat hendak membokong Pendekar Rajawali Sakti.
Untung saja pada saat yang sama, terdengar satu suara nyaring yang diikuti
melesatnya sesosok tubuh. Dan sosok itu langsung memapak serangan Serigala
Mata Satu!
"Pendekar Rajawali Sakti! Izinkanlah Dewa Bermuka Bulan untuk membantumu
menghajar keparat licik ini! Yeaaa...!"
Ternyata sosok itu adalah Dewa Bermuka Bulan. Dan laki-laki berpakaian
serba hitam itu langsung menyerang Serigala Mata Satu. Rangga tak menoleh
sedikit pun mendengar suara itu. Pandangannya masih lurus menatap ke arah Ki
Lodaya, seperti tak berkedip. Serigala Iblis Bercambuk Emas itu sendiri
beringsut-ingsut mundur dengan wajah ketakutan.
"Ampun.... Ampunilah selembar nyawa ini, Kisanak. Aku mengaku salah, dan
rela dihukum berat asal kau tak mencabut nyawaku ini...!" ratap Ki Lodaya,
memasang wajah memilukan.
Langkah Pendekar Rajawali Sakti terhenti, ketika jaraknya hanya tinggal
tiga langkah lagi. Ditatapnya wajah Ki Lodaya yang memelas itu sesaat.
Kemudian tanpa berkata apa-apa, tubuhnya berbalik dan bersiap menyarungkan
pedangnya perlahan-lahan. Merasa kalau lawan berbuat lengah, diam-diam Ki
Lodaya mencabut dua bilah pisau kecil berwarna keemasan dari balik
pinggangnya. Dan pisau beracun yang jarang digunakan itu cepat dihujamkan ke
arah dua paha lawan.
"Mampuslah kau keparat! Hiiih!"
Wuttt!
Namun Pendekar Rajawali Sakti agaknya sudah menduga kelicikan Ki Lodaya.
Maka tubuhnya langsung melenting ke atas sambil berputar. Seketika pedangnya
berkelebat, menyambar dengan gerakan menyilang.
Crasss!
"Aaa...!"
Mulai dari bahu kiri hingga pinggang kanan Ki Lodaya nyaris terbelah
tersambar senjata Pendekar Rajawali Sakti. Diiringi jeritan panjang
memilukan, tubuh Serigala Iblis Bercambuk Emas langsung ambruk ke tanah.
Setelah meregang nyawa sesaat, Nyawa Ki Lodaya melayang saat itu juga.
Melihat kematian gurunya, agaknya berpengaruh besar bagi Rajendra dan
Gumarang. Bahkan Gumarang yang sejak tadi didesak habis-habisan oleh Pandan
Wangi, kini harus menerima pengalaman pahit, begitu lengah saat melihat
kematian gurunya. Pedang di tangan Pandan Wangi tanpa dapat dicegah lagi
menyambar tangan kirinya sebatas bahu!
Crasss!
"Aaakh...!"
Serigala Buntung kontan memekik kesakitan, begitu tangannya buntung sebatas
bahu. Dan nampaknya Pandan Wangi tidak memberi kesempatan lagi. Kaki
kanannya cepat bergerak menghajar dada kiri Gumarang.
Begkh!
"Ugkh!"
Serigala Buntung kembali memekik kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal ke
tanah beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar. Bahkan tulang rusuk
di dada kirinya sempat patah dan melesak ke dalam, akibat tendangan Pandan
Wangi. Seketika Gumarang hanya bisa menggelepar-gelepar beberapa saat,
kemudian diam tak bergerak lagi. Mati!
Sementara itu Serigala Mata Satu, semakin gelisah saja melihat guru dan
saudara seperguruannya tewas. Lebih lagi, yang dihadapinya kali ini adalah
lawan tangguh yang pernah mempecundanginya beberapa hari yang lalu, yaitu
Dewa Bermuka Bulan. Tanpa tombaknya, Rajendra menjadi bulan-bulanan dan
hanya mengandalkan senjata rahasia yang semakin menipis jumlahnya. Sedangkan
Dewa Bermuka Bulan terus mencecar dan tak memberi sedikit pun kesempatan.
Dalam satu kesempatan ujung pedangnya menyambar dada Rajendra. Begitu cepat
sambarannya, sehingga Rajendra tak bisa menghindarinya.
Crasss!
"Aaakh...!"
Serigala Mata Satu kontan menjerit kesakitan begitu perutnya robek
tersambar pedang Dewa Bermuka Bulan. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan
oleh laki-laki berpakaian serba hitam itu, dengan pedangnya kembali
berkelebat menyambar.
Crasss!
"Aaa...!"
Kali ini, Serigala Mata Satu hanya bisa berteriak tertahan ketika ujung
pedang Dewa Bermuka Bulan nyaris membuat lehernya putus! Darah kontan
muncrat dari leher. Sebentar Rajendra terhuyung-huyung, lalu ambruk ke
tanah. Mati!
"Mampus!" dengus Dewa Bermuka Bulan sambil menyarungkan pedangnya.
Dewa Bermuka Bulan melihat sekilas ke arah para penduduk desa yang berhasil
mengusir kawanan serigala itu. Sejak cambuk di tangan Ki Lodaya berhasil
dihancurkan Pendekar Rajawali Sakti, kawanan serigala itu seperti
kebingungan. Maka kesempatan itu digunakan sebagian penduduk desa yang
terdiri dari para pengawal kadipaten dan jago-jago silat, untuk menghalau
serigala-serigala itu.
Tindakan itu tentu saja membuat penduduk lain yang tadinya merasa takut,
langsung bangkit semangatnya. Dan secara beramai-ramai mereka menghalau
kawanan serigala hingga lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
Kemudian sambil berteriak-teriak gembira, mereka beramai-ramai menghampiri
Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas telah mati! Hidup Pendekar Rajawali Sakti!"
teriak seseorang.
"Hidup Raja Karang Setra...!" timpal yang lain dengan gegap gempita.
"Hm.... Tak kusangka kalau penolongku ternyata seorang pendekar tersohor!"
ujar Dewa Bermuka Bulan sambil menghampiri Rangga dan Pandan Wangi.
"Terima kasih juga atas pertolonganmu, Kisanak," sahut Rangga
merendah.
"Ah, tak perlu! Aku memang mempunyai dendam terhadap mereka. Tak dapat si
keparat Lodaya itu, muridnya pun tak apa. Nah, Kisanak. Rasanya aku tak bisa
berlama-lama di sini. Selamat tinggal, dan sampai ketemu lagi!" sahut Dewa
Bermuka Bulan.
Tubuhnya langsung melesat meninggalkan tempat itu, sebelum rombongan yang
dipimpin Adipati Tanuwijaya tiba di tempat itu. Ilmu meringankan tubuhnya
memang cukup tinggi, sehingga sebentar saja tubuhnya telah menghilang dari
tempat itu. Rangga dan Pandan Wangi hanya tersenyum melihat Dewa Bermuka
Bulan. Tak lama kemudian, mereka harus menghadapi kerumunan penduduk desa
yang mengelu-elukannya. Bukit Serigala yang semula sepi dan menimbulkan
ketakutan bagi siapa yang mendekatinya, kini ramai oleh teriakan suka cita
para penduduk kadipaten. Sinar rembulan dan obor-obor yang dibawa para
penduduk menerangi tempat itu.
"Gusti Prabu, aku akan merasa mendapat kehormatan bila Gusti Prabu
mengunjungi raja kami," pinta Adipati Tanuwijaya.
"Adipati Tanuwijaya, aku telah mampir ke wilayah negeri ini. Dan mau tak
mau, aku harus beranjang-sana kepada raja kalian. Terima kasih atas
keramahtamahan yang kuterima," sahut Rangga sambil tersenyum.
"Oh, sungguhkah itu?" tanya Adipati Tanuwijaya meyakinkan. Rangga kembali
mengangguk pelan. "Oh! Terima kasih, Gusti Prabu! Terima kasih. Ini suatu
kemuliaan bagi hamba, bisa mengawal Gusti Prabu. Kami akan menyiapkan segala
sesuatunya bagi keperluan Gusti Prabu!" sahut Adipati Tanuwijaya
cepat.
Tak berapa lama kemudian, mereka segera meninggalkan Bukit Serigala sambil
berteriak-teriak melepaskan perasaan gembira yang meluap. Sementara, malam
telah merambat pagi. Di kejauhan terdengar kokok ayam jantan
bersahut-sahutan tanda datangnya kehidupan baru.
TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA:
Emoticon