"Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras. Seketika itu juga pertarungan
berhenti. Delapan orang gadis cantik berbaju putih yang semuanya menggenggam
pedang terhunus berlompatan mundur. Dan mereka langsung menjatuhkan diri,
dan berlutut ketika melihat seorang laki-laki bertubuh gemuk yang tingginya
tidak lebih dari seorang bocah berusia sepuluh tahun. Laki-laki itu
mengenakan jubah putih, sedangkan kepalanya gundul. Tapi seluruh wajahnya
hampir tertutup kumis dan berewok tebal berwarna dua.
"Mundur kalian!" bentak laki-laki cebol itu. Suaranya terdengar besar dan
berat sekali, namun nadanya penuh kewibawaan.
Delapan orang gadis cantik berbaju putih ketat itu bergegas bergerak
mundur. Mereka segera berdiri dibelakang laki-laki cebol itu, dan serempak
memasukkan pedang ke dalam warangka di punggung. Sementara Bayu hanya
berdiri tegak memandangi orang tua cebol itu. Keningnya berkerut, mencoba
mengingat-ingat Tapi rasanya belum pernah bertemu orang cebol seperti
ini.
"Anak Muda, kenapa kau membantai murid-muridku?" tanya orang tua cebol itu
dingin nada suaranya.
"Tanyakan saja pada mereka! Aku tidak mendahului, tapi merekalah yang
memulai lebih dahulu!" jawab Bayu mendengus.
"Murid-muridku tidak akan pernah menyerang seseorang jika tidak
didahului."
"Aku tidak akan menjawab! Kau bisa tanyakan sendiri pada mereka!"
Laki-laki tua cebol itu berbalik dan memandangi delapan orang gadis cantik
yang langsung berlutut sambil menundukkan kepala. Sementara Bayu hanya diam
saja, dan wajahnya tampak memberengut kesal.
"Benar kalian yang memulai?" tanya laki laki tua cebol itu dingin.
"Ampun, Eyang Banadu. Laki-laki ini telah mengotori tempat suci, dan
mencoba mengganggu Gusti Ayu Seruni," jawab salah seorang gadis yang berada
paling kanan.
"Dusta...!" bentak Bayu menahan geram.
Laki-laki tua cebol yang dipanggil Eyang Banadu membalikkan tubuhnya
kembali. Ditatapnya tajam-tajam Pendekar Pulau Neraka itu. Pengaduan salah
seorang gadis itu membuat wajah Bayu memerah bagai kepiting rebus, dan hanya
bisa menggeram mendengar tuduhan tanpa bukti itu. Dia sendiri tidak mengenal
gadis-gadis ini yang tiba-tiba saja menyerang tanpa bicara lagi.
"Kau mengatakan muridku berkata dusta. Itu sama artinya menghinaku, Anak
Muda!" dengus Eyang Banadu.
"Huh! Guru dan murid sama saja!" dengus Bayu sengit "Baik, apa keinginan
kalian sebenarnya?"
Eyang Banadu terperangah mendapatkan tantangan begitu terbuka dari seorang
pemuda yang baru berusia sekitar dua puluh tahunan lebih. Tapi orang tua
cebol itu tersenyum, dan mendadak tertawa terbahak-bahak. Begitu lepas
tawanya sehingga perutnya yang buncit terguncang-guncang.
Bayu jadi tertegun melihat sikap orang tua cebol itu, namun hanya diam saja
dengan mata tajam tak berkedip. Meskipun orang tua cebol itu kelihatan
tenang dan tertawa renyah, tapi Bayu tetap berwaspada. Bagaimanapun juga,
seorang guru pasti memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bayu jadi teringat
gurunya sendiri. Meskipun cacat, tapi ilmu olah kanuragannya sangat tinggi
dan sukar dicari tandingannya.
"Aku kagum atas keberanianmu, Anak Muda. Siapa namamu?" tanya Eyang
Banadu.
"Bayu," sahut Bayu singkat
"Selama ini belum pernah aku bertemu seorang anak muda yang berani
menantangku. Hm.... Anak muda, jika kau tidak keberatan, aku ingin sedikit
bermain denganmu," halus sekali kata-kata Eyang Banadu, tapi maksudnya jelas
dan tegas.
"Baiklah. Tapi maaf, apakah ini berarti kau berniat membela muridmu?"
"Ha ha ha.... Itu urusanku, Anak muda. Tapi kalau muridku bersalah, aku
yang akan memberikan hukumannya. Dan jika kau memang bersalah, aku tidak
akan segan-segan membunuhmu. Paham...?!"
"Aku terima dengan baik."
"Bagus! Bersiaplah! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Eyang Banadu melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar
Pulau Neraka sambil melontarkan dua pukulan beruntun. Sementara Bayu yang
memang sudah siap sejak tadi, langsung menggeser kaki ke samping sambil
meliukkan tubuhnya untuk berkelit Serangan orang tua cebol itu hanya
mengenai tempat kosong, tapi secepat kilat menyerang kembali sebelum Bayu
bisa menguasai keseimbangan tubuhnya.
Satu tendangan keras menggeledek dilepaskan orang tua cebol itu. Dan Bayu
tidak punya kesempatan berkelit lagi. Dengan mengerahkan tenaga dalamnya,
Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangan kiri menyampok tendangan Eyang
Banadu.
Des!
"Ikh...!" Eyang Banadu terperanjat
Buru-buru dilentingkan tubuhnya ke belakang beberapa tindak. Sungguh tidak
disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki anak muda berbaju kulit harimau
itu luar biasa sekali. Persendian kakinya sampai nyeri, dan tulang-tulang
kakinya bagai remuk.
"Bagus! Ternyata kau punya kemampuan juga, Anak Muda!" puji Eyang Banadu
tulus.
'Terima kasih. Sekarang giliranku. Bersiaplah, yeaaah...!"
Setelah menyelesaikan perkataannya, Bayu langsung menggeser kakinya
menyusur tanah menghampiri orang tua cebol itu. Dan secepat kilat dilepaskan
satu pukulan bertenaga dalam sempurna. Eyang Banadu terperanjat. Buru buru
dibuang tubuhnya ke samping menghindari serangan pemuda berbaju kulit
harimau itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, Bayu menghentakkan kakinya
sambil memutar tubuh dan bertumpu pada sebelah kakinya lagi.
"Hiyaaa...!"
Ufs...!"
Kalau saja Eyang Banadu tidak cepat merunduk, barangkali kepalanya akan
terpisah terkena sambaran kaki yang begitu keras bertenaga dalam sempurna.
Namun demikian, orang tua cebol itu sempat juga terhuyung terkena sambaran
angin tendangan Pendekar Pulau Neraka.
Pertarungan kedua tokoh tangguh itu terus berlangsung sengit Semakin lama
jurus-jurus dikeluarkan semakin dahsyat dan berbahaya. Kelengahan sedikit
saja pasti berakibat dahsyat. Sementara delapan orang gadis berbaju putih
hanya menyaksikan penuh ketegangan. Tentu saja mereka berharap agar gurunya
dapat memenangkan pertarungan ini. Tapi sampai sejauh ini belum ada
tanda-tanda yang bakal terdesak. Kedua orang itu masih terus bertarung dalam
irama tingkat tinggi
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa mereka sudah menghabiskan
tidak kurang dari dua puluh jurus. Namun kelihatannya pertarungan belum akan
cepat berakhir. Keduanya masih sama-sama tangguh, dan masih banyak memiliki
jurus berbahaya. Hanya saja sampai sejauh ini, mereka tetap menggunakan
tangan kosong, tanpa senjata sama sekali.
Bet!
Tepat pada jurus keempat puluh, Eyang Banadu melepaskan kalung untaian batu
hitam yang dikenakannya, dan langsung dikebutkan ke arah kaki Bayu. Secepat
kilat Pendekar Pulau Neraka melompat menghindari sabetan untaian batu hitam
itu. Dua kali tubuhnya berputaran di udara sebelum hinggap atas sebongkah
batu.
"Yeaaah...!"
Secepat kilat Eyang Banadu melentingkan tubuhnya, langsung menghantamkan
untaian kalung batu hitam itu pada Pendekar Pulau Neraka. Tepat ketika
untaian kalung batu hitam hampir menghantam tubuhnya, Bayu melesat ke atas,
sehingga kalung hitam itu hanya menghantam batu.
Glarrr...!
Ledakan keras terdengar tepat saat bongkahan batu sebesar kerbau hancur
berantakan. Serpihan batu dan debu mengepul, membumbung tinggi ke angkasa.
Bayu sampai terpana menyaksikan kedahsyatan senjata aneh orang tua cebol
itu. Memang kalung hitam itu adalah senjata sangat dahsyat, sehingga mampu
menghancurkan sebongkah batu sebesar badan kerbau.
Bayu buru-buru menyilangkan tangan kanan didepan dada begitu kakinya
mendarat di tanah. Pada saat itu, Eyang Banadu sudah kembali melompat sambil
mengayunkan untaian kalung hitamnya. Dan ketika orang tua cebol itu berada
di udara, bagai kilat Bayu melompat sambil mengebutkan tangan
kanannya.
"Hiyaaa...!"
Swing!
Dari pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu melesat sebuah
benda berbentuk cakra bersegi enam. Cakra Maut itu melesat, melebihi
sebatang anak panah lepas dari busur ke arah untaian kalung yang berada
dalam genggaman tangan Eyang Banadu.
Cring!
"Akh...!" Eyang Banadu terpekik tertahan ketika Cakra Maut menghantam
kalung hitamnya. Bahkan orang tua cebol itu sampai terpental ke belakang
sejauh dua batang tombak, namun manis sekali berhasil mendarat dengan kedua
kakinya. Pada saat yang sama, Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya
kembali ke depan begitu kakinya menyentuh tanah.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Buru-buru Eyang Banadu berlompatan memutar tubuhnya ke belakang menghindari
terjangan Cakra Maut bersegi enam itu. Tapi belum juga kakinya menyentuh
tanah, Cakra Maut itu sudah menyerang kembali bagai kilat. Eyang Banadu
terperangah. Buru-buru diegoskan tubuhnya mencoba menghindar.
Namun....
Cras!
"Akh...!" lagi-lagi orang tua eebol itu memekik.
Ujung Cakra Maut berhasil merobek bahu kanan Eyang Banadu. Darah segar
kontan muncrat keluar tak terbendung lagi Laki-laki cebol itu terhuyung
kebelakang beberapa langkah. Ditekap bahunya yang terluka dengan tangannya.
Sementara Bayu berdiri tegak dan mengangkat tangan kanannya. Seketika Cakra
Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka.
"Bagaimana, Orang Tua?" tanya Bayu.
"Kau hebat, Anak Muda. Kali ini aku mengaku kalah," sahut Eyang Banadu.
"Tapi satu saat nanti, aku akan kembali menantangmu!"
"Aku tunggu tantanganmu, Orang Tua," sambut Bayu sambil tersenyum
manis.
Eyang, Banadu langsung melesat pergi. Demikian pula delapan orang gadis
cantik berbaju putih yang ikut meninggalkan tempat itu. Mereka pergi
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sementara Bayu hanya memandangi sambil
tersenyum. Dalam hati diakui juga ketangguhan orang tua cebol itu.
***
LIMA
Bayu tersentak bangun dari tidurnya ketika tiba-tiba mendengar suara
pertarungan. Pendekar Pulau Neraka itu bergegas menggelinjang bangkit.
Sebentar didongakkan kepalanya, mencoba mencari arah suara pertarungan itu.
Dan begitu bisa menemukan arah suara itu, langsung melesat ke sana.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka,
sehingga dalam sekejap saja sudah tiba di bagian Barat Lereng Gunung Cakal
ini. Pemuda berbaju kulit harimau itu terkejut saat melihat dua orang tengah
bertarung sengit. Seorang laki-laki tua berbaju biru tua kehitam-hitaman
tengah menggempur seorang gadis muda berwajah cantik.
Dari tongkat yang digunakan, Bayu sudah bisa mengenali kalau laki-laki tua
itu adalah Sureng Rana atau berjuluk si Kobra Hitam. Sedangkan
lawannya....
Belum pernah Bayu melihatnya di sekitar Gunung Cakal ini. Tapi kelihatannya
gadis berbaju hijau muda itu kewalahan menghadapi gempuran Sureng Rana. Bayu
mengedarkan pandangannya ke selatar pertarungan. Tampak tidak kurang dari
dua puluh orang bergelimpangan berlumuran darah.
"Akh...!" Bayu tersentak ketika tiba-tiba mendengar pekikan tertahan.
Tampak gadis berbaju hijau muda terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap
dada sebelah kiri bagian atas. Dan pada saat itu Sureng Rana sudah melompat
sambil mengibaskan tongkat ular kobranya Sudah dapat dipastikan, gadis itu
tak mungkin dapal berkelit lagi. Tapi....
Trak!
"He...!" Sureng Rana terkejut ketika tiba-tiba saja tongkatnya berbalik
saat hampir menghantam kepala gadis itu.
Dan belum lagi keterkejutan Sureng Rana hilang, tahu-tahu di depan gadis
berbaju hijau muda itu sudah berdiri Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju
kulit harimau itu menggenggam sebatang ranting kering yang besarnya tidak
lebih dari sebesar jari. Dan panjangnya hanya sekitar lima jengkal
saja.
"Bayu...," desis Sureng Rana mengenali pemuda berbaju kulit harimau
itu.
"Tidak jera-jeranya kau membantai orang, Kobra Hitam!" desis Bayu
dingin.
"Heh...! Apa urusanmu, bocah? Minggir!" bentak Sureng Rana sengit.
"Sudah kukatakan, aku selalu berurusan dengan manusia kejam
sepertimu!"
"Phuih! Kemarin kau boleh berbesar hati, bocah! Tapi sekarang jangan harap
bisa lolos dari kematian!"
"Hidup dan matiku bukan di tanganmu, Kobra Hitam. Aku khawatir malah kaulah
yang lebih dahulu ke neraka," dingin sekali nada suara Bayu.
Sureng Rana menggeram marah. Gerahamnya bergerut-gerut pertanda laki-laki
tua bertongkat ular kobra itu tidak dapat lagi menahan amarahnya. Sementara
Bayu sempat melirik gadis berbaju hijau muda di belakang agak ke samping.
Gadis itu tampak duduk bersila, dan kedua tangannya merapat di depan dada.
Melihat gadis itu sedang menjalankan semadi, Bayu menggeser kakinya lebih ke
depan lagi.
"Hmmm.... Kau tidak membawa benda itu, Pendekar Pulau Neraka. Di mana kau
sembunyikan kotak kayu itu?" suara Sureng Rana terdengar setengah
menggumam.
"Sudah sampai pada pemiliknya" sahut Bayu kalem. "Apa...?!" Sureng Rana
terperanjat bukan main. Dan Pendekar Pulau Neraka juga berkerut keningnya.
Tidak diduga kalau jawabannya akan membuat laki-laki tua bertongkat ular
kobra itu demikian terperanjat. Bahkan matanya sampai mendelik bagai hendak
mencelat keluar. Bayu melirik gadis berbaju hijau kembali ketika Sureng Rana
menatap tajam pada gadis itu.
"Kau jangan main-main, bocah setan! Kepada siapa kau berikan kotak kayu
itu?" dengus Sureng Rana menggeram.
"Sudah kukatakan pada pemiliknya! Apa masih kurang percaya pada
kata-kataku?" bentak Bayu mulai sengit.
"Bocah! Kau tahu Siapa itu Rampita?" tanya Sureng Rana.
Bayu tidak langsung menjawab. Pertanyaan Sureng Rana dianggapnya aneh dan
terlalu mengada-ada. Tapi kening Pendekar Pulau Neraka itu berkerut
juga.
"Hh! Aku yakin, kau juga berminat memiliki benda itu, Anak Muda. Baiklah.
Jika demikian, kau harus berhadapan denganku!" desis Sureng Rana.
Setelah berkata demikian, Sureng Rana langsung memutar tongkatnya. Begitu
cepat putaran tongkat itu, sehingga yang terlihat hanya bulatan hitam
membentuk tameng di depan laki-laki tua itu. Dan Bayu langsung bersiap.
Digeser kakinya sedikit Matanya tajam tak berkedip memperhatikan setiap
gerak yang dilakukan si Kobra Hitam.
"Tahan seranganku! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Sureng Rana melompat dan tongkatnya terus diputar-putar
bagai baling-baling. Bayu yang sudah siap sejak tadi, bergegas menggeser
kakinya ke samping sejauh lima langkah. Seketika dimiringkan tubuhnya
menghindari sabetan tongkat yang berputar kencang itu.
"Uts!"
Angin putaran tongkat hitam itu demikian keras, sehingga membuat Pendekar
Pulau Neraka sedikit terhuyung. Tapi cepat-cepat pemuda berbaju kulit
harimau itu menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan seketika itu juga
dikibaskan tangan kanannya sambil melompat mundur beberapa tindak.
Tampak satu kilatan keemasan melesat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka. Ternyata pemuda berbaju kulit harimau itu sudah melepaskan senjata
Cakra Mautnya. Senjata bersegi enam yang ujung-ujungnya runcing melengkung
itu, tepat menghantam bagian tengah putaran tongkat si Kobra Hitam.
Trang!
"Akh...!"
Seketika itu juga putaran tongkat berhenti bersamaan terdengarnya pekikan
tertahan. Dan Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Seketika Cakra
Maut kembali melekat di pergelangan tangan kanannya.
"Keparat..!" desis Sureng Rana menggeram. Tampak darah mengucur dari
jari-jari tangan yang menggenggam tongkat berbentuk ular kobra mengembang.
Ternyata Cakra Maut bukan hanya menghentikan putaran tongkat itu, tapi juga
berhasil melukai tangan pemiliknya.
'Pergilah, sebelum pikiranku berubah!" dengus Bayu dingin.
"Phuih!" Sureng Rana menyemburkan ludahnya. Tanpa mempedulikan luka pada
tangannya, laki-laki tua itu kembali menggerak-gerakkan tongkatnya, membuka
jurus-jurus penyerangan. Dan Bayu kembali siap dengan tangan melipat di
depan dada. Matanya sangat tajam memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan
si Kobra Hitam itu.
"Mampus kau, bocah keparat! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, Sureng Rana melompat menerjang Pendekar Pulau,
Neraka. Tongkatnya dikebutkan beberapa kali disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. Sungguh dahsyat luar biasa! Setiap kali tongkat itu dikebutkan
menimbulkan suara angin menderu bagai terjadi badai.
"Hup...!"
Sungguh manis gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka saat
menghindari setiap serangan si Kobra Hitam. Tubuhnya meliuk-liuk seperti
karet, diimbangi gerakan kaki yang lincah dan cepat namun terasa ringan.
Bahkan telapak kaki pemuda berbaju kulit harimau itu seperti tidak menyentuh
tanah.
"Hiya! Yeaaah...!"
Sureng Rana semakin berang melihat lawannya yang masih berusia muda seperti
mempermainkan. Sudah lebih dari lima jurus dikerahkan, tapi tak satu pun
Bayu balas menyerang. Pendekar Pulau Neraka itu hanya berkelit dan
menghindar sambil terus bergerak mundur menjauhi gadis berbaju hijau muda
yang masih bersemadi. Hal ini memang disengaja, agar Sureng Rana tidak
bermain licik. Bayu tahu betul watak orang golongan hitam macam Sureng Rana
ini.
"Aku masih memberimu kesempatan, Sureng Rana!" seru Bayu seraya memiringkan
tubuhnya menghindari tebasan tongkat si Kobra Hitam.
"Phuih! Mampus kau, keparat..!"
Sureng Rana semakin sengit. Giginya bergemeletuk tak dapat lagi menahan
amarah. Wajah tua keriput itu jadi memerah, dan matanya liar bernyala-nyala
bagai sepasang bola api. Serangan-serangan yang dilakukan semakin terlihat
berbahaya. Bahkan kini Bayu tampak kerepotan menghindarinya. Beberapa kali
Pendekar Pulau Neraka itu mengendus dan gerahamnya menggeretak, tapi masih
berusaha mengendalikan diri.
***
Namun menghadapi kenyataan bahwa Sureng Rana tidak lagi bermain-main dan
ingin membunuhnya, Bayu tak dapat lagi mengekang diri. Darahnya seketika
menggelegak ketika satu pukulan keras lawan bersarang di punggung dan
membuatnya tersuruk jatuh mencium tanah.
Saat berada di tanah, kemarahan Bayu langsung mencapai puncak Sureng Rana
malah mencecarnya habis-habisan. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka itu
bergulingan menghindari setiap tebasan dan tusukan tongkat berbentuk ular
kobra berwarna hitam kelam itu. Hingga pada satu tusukan yang tepat mengarah
ke dada, Bayu tidak berusaha menghindar. Dan tepat ketika ujung tongkat si
Kobra Hitam hampir mencapai dadanya, cepat bagai kilat Pendekar Pulau Neraka
itu merapatkan kedua telapak tangannya untuk menjepit ujung tongkat yang
runcing itu.
Tap!
"Hup!"
Sungguh cerdik Pendekar Pulau Neraka. Tepat pada saat Sureng Rana
menghentakkan tongkat diringankan tubuhnya sehingga ikut terbawa naik dan
melenting ke udara. Pada saat itu Bayu menghentakkan tangannya melepaskan
jepitan pada tongkat itu. Dan tanpa diduga sama sekali kakinya melayang
deras ke arah punggung si Kobra Hitam.
Des!
"Akh..!" Sureng Rana terpekik tertahan.
Sepakan kaki Bayu tepat menghantam punggungnya. Untung saja Bayu tidak
penuh mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga Sureng Rana hanya sempat
terdorong ke depan beberapa langkah. Tapi bibirnya meringis juga menahan
sakit pada punggungnya.
"Yaaah...!"
Sambil berteriak keras, Sureng Rana cepat memutar tubuhnya. Dan secepat itu
pula tongkat ular kobra itu diputar untuk menyampok kaki Pendekar Pulau
Neraka yang baru saja mendarat di tanah.
"Uts! Hup...!"
Terpaksa Bayu melentingkan tubuhnya kembali ke udara. Pada saat yang sama,
Sureng Rana menghentakkan tangan kirinya ke atas. Seketika dari tangannya
keluar benda bulat hitam yang meluncur bagai kilat ke arah Pendekar Pulau
Neraka.
Wusss!
"Yeaaah...!"
Tak ada pilihan lain lagi bagi Bayu yang berada di udara. Sambil memutar
tubuhnya yang berjumpalitan, dihentakkan tangan kanannya. Seketika itu. juga
Cakra Maut melesat menyambut benda hitam yang dilontarkan Sureng Rana.
Glaaarrr...!
Ledakan keras terjadi ketika dua benda dahsyat beradu di udara. Tampak asap
tebal menyebar disertai percikan bunga api. Bayu mengangkat tangan kanannya
ke atas ketika kakinya mendarat di tanah. Maka Cakra Maut itu kembali
melesat balik dan menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu.
Namun secepat itu pula Bayu menghentakkan tangannya kembali dengan tubuh
membungkuk agak miring ke kiri.
"Yeaaah...!"
Wut!
Cakra Maut kembali melesat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Lesatannya demikian cepat, melebihi lesatan anak panah lepas dari busur. Hal
ini membuat Sureng Rana terperangah. Buru-buru dikibaskan tongkatnya
menyampok senjata cakra bersegi enam itu.
Trang!
Satu benturan keras terjadi.
"Akh...!" lagi-lagi Sureng Rana terpekik. Laki-laki tua itu terdorong ke
belakang beberapa tindak. Tampak tangannya bergetar dan wajahnya agak
memucat Sedangkan bibirnya bergetar, dan matanya membeliak lebar. Si Kobra
Hitam itu hampir tidak percaya kalau tenaga dalamnya masih di bawah pemuda
berbaju kulit harimau itu.
Tapi Sureng Rana tidak sempat berpikir jauh lagi. Karena, Cakra Maut yang
masih berada di udara cepat berputar bagai memiliki mata, dan langsung
menyambar ke arah kepala laki-laki tua itu.
"Uts!"
Buru-buru Sureng Rana merundukkan kepalanya, maka Cakra Maut bersegi enam
itu lewat sedikit di atas kepalanya. Tapi ikat kepala laki-laki itu sempat
terbabat dan lepas terbawa angin lesatan Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka.
Bahkan Sureng Rana sampai memegangi kepalanya. Laki-laki tua itu tak bisa
lagi berpikir, karena Cakra Maut sudah kembali berbalik dan menyerangnya.
Namun matanya sempat melirik ke arah Bayu yang tengah menggerak-gerakkan
tangannya mengendalikan senjata andalan itu.
"Yeaaah...!"
Sambil mengecutkan tongkatnya untuk menyampok senjata Cakra Maut bersegi
enam itu, Sureng Rana melesat ke arah Pendekar Pulau Neraka. Kaki kirinya
terhentak memberi tendangan keras ke arah kepala.
"Yaaah...!"
Sungguh di luar dugaan sama sekali. Ternyata Bayu tidak berkelit sedikit
pun. Bahkan dengan sigapnya diangkat kedua tangannya menyilang di atas
kepala, sehingga tendangan kaki si Kobra Hitam menghantam tangan pendekar
Pulau Neraka.
Tepat ketika terjadi benturan keras, Bayu memutar tubuhnya hingga kepalanya
berada di bawah, disangga oleh kedua tangannya. Lalu kaki Pendekar Pulau
Neraka menghentak keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Satu
serangan balik yang meminjam tenaga lawan itu sungguh tidak terduga sama
sekali. Dan....
Des!
"Aaakh...!" Sureng Rana terpekik keras. Sepasang telapak kaki Pendekar
Pulau Neraka tepat menjejak perut si Kobra Hitam. Begitu kerasnya, sehingga
orang tua bertongkat ular kobra itu terpental deras dan jauh. Luncuran
tubuhnya baru berhenti setelah menghantam sebatang pohon hingga hancur
berkeping-keping
Sementara Bayu tidak ingin menunggu lama lagi Segera diangkat tangannya,
maka Cakra Maut yang sejak tadi melayang-layang di udara langsung melesat
balik. Begitu senjata bersegi enam itu melekat di pergelangan tangan. Dengan
cepat Bayu menghentakkan kembali ke depan.
"Hiyaaa...!"
Wusss!
Seketika Cakra Maut kembali melesat dengan kecepatan luar biasa. Senjata
andalan Pendekar Pulau Neraka itu meluruk deras ke arah si Kobra Hitam yang
tengah berusaha bangkit berdiri. Tapi belum juga laki-laki tua itu mampu
berdiri tegak, Cakra Maut sudah menghantam dadanya.
Crab!
"Aaa...!" kembali Sureng Rana menjerit keras. Sebentar laki-laki tua itu
masih mampu berdiri, tapi sesaat kemudian ambruk ke tanah berkelojotan.
Begitu Cakra Maut yang terbenam dalam dada Sureng Rana keluar balik pada
pemiliknya, darah langsung muncrat dari dada yang terbelah itu.
Bayu berdiri tegak sambil melipat tangan di depan dada. Senjata saktinya
kini sudah kembali menempel dipergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka. Sesaat dipandanginya si Kobra Hitam yang menggelepar meregang nyawa.
Memang tak ada seorang pun yang tahan jika terhunjam senjata maut Pendekar
Pulau Neraka itu. Demikian pula nasib Sureng Rana. Dia tewas dengan dada
berlubang berlumuran darah segar.
***
Bayu mengalihkan pandangannya ke arah gadis berbaju hijau muda yang masih
duduk bersila meskipun tidak lagi bersemadi. Wajah gadis itu tampak pucat.
Malah pandangan matanya begitu sayu bagai tak memiBki gairah hidup. Bayu
menghampiri, lalu duduk di depan gadis itu. Sebentar dipandanginya wajah
gadis itu, kemudian pandangannya beralih pada dada sebelah kiri atas, tempat
terdapatnya luka memar menghitam sebesar kepalan tangan.
"Kau terluka, Nisanak," ujar Bayu pelahan.
"Hanya sedikit Sebentar lagi juga hilang," sahut gadis itu seraya mencoba
tersenyum. 'Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku."
"Lupakan itu. Tampaknya kau membutuhkan pertolongan."
Gadis berbaju hijau itu mencoba tersenyum, tapi tiba-tiba berubah jadi
meringis seperti menahan sakit Bayu menggeser duduknya lebih mendekat, lalu
menjulurkan tangannya ke arah noda hitam sebesar kepalan tangan di dada kiri
gadis itu.
"Maaf," ucap Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu merapatkan telapak tangannya
di dada kiri gadis berbaju hijau. Kelopak mata gadis itu terpejam, seraya
menggigit-gigit bibirnya sendiri. Sementara Bayu terus menatap tangannya
yang menutup noda hitam di dada kiri itu. Tampak wajah Pendekar Pulau Neraka
kelihatan menegang dan memerah, lalu seluruh tubuhnya bergetar bagai
tersengat lebah.
"Hoek...!"
Gadis berbaju hijau muda itu tiba-tiba memuntahkan segumpal darah kental
berwarna hitam pekat Wajahnya semakin memucat Namun Bayu tepat menekan dada
kiri gadis itu kuat-kuat Asap tipis mengepul dari sela-sela jari Pendekar
Pulau Neraka.
"Yeaaah...!" tiba-tiba saja Bayu berteriak keras. Dan seketika itu juga
dihentakkan tangannya, dan langsung ditarik kembali. Tubuh gadis itu
berguncang hebat, dan kembali memuntahkan darah. Kali ini berwarna merah,
namun masih ada sedikit gumpalan kehitaman.
"Hsss...!" Bayu menarik napas dalam-dalam melalui mulut.
Tangan kanannya terbuka sejajar dada. Sedangkan tangan kiri terkepal
sejajar pinggangnya. Tatapan matanya masih terlihat tajam. Dan kembali
Pendekar Pulau Neraka itu berteriak keras. Dengan cepat dada kiri gadis itu
digedor, dan secepat itu pula ditarik kembali tangannya. Tampak tubuh gadis
itu berguncang hebat lalu memekik tertahan.
"Akh! Hoeeek....'"
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang melihat muntahan yang sudah bersih.
Muntahan yang ketiga kali ini hanya berupa darah.
"Ohhh...," gadis itu merintih lirih.
"Jika tidak segera dikeluarkan, racun itu bisa merusak seluruh jaringan
urat syarafmu. Hhh.... Untung saja belum merambat sampai ke pembuluh darah,"
jelas Bayu.
'Terima kasih," hanya itu yang bisa keluar dari mulut gadis ini.
"Sebentar lagi kau akan pulih kembali," jelas Bayu lagi:
Gadis itu hanya tersenyum saja. Bayu menggeser duduknya menjauh.
Diperhatikannya gadis itu yang kini sedang bersemadi untuk memulihkan
kondisi tubuhnya. Hanya sebentar saja gadis itu bersemadi, dan kini wajahnya
sudah kembali segar. Belahan pipinya kembali diwarnai rona merah. Bibirnya
tersenyum seakan-akan hendak mengucapkan terima kasih sekali lagi pada
pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi tampaknya gadis itu tahu kalau pemuda
di depannya tidak memerlukan ucapan terima kasih.
"Kenapa kau menolongku?" tanya gadis itu kemudian.
"Karena kau butuh pertolongan," sahut Bayu kalem.
Kembali gadis itu tersenyum manis.
"Boleh aku tahu, kenapa kau bisa bentrok dengan si Kobra Hitam?" tanya
Bayu.
"Hhh..., sudah lama Sureng Rana jadi musuh besar keluargaku. Entah kenapa
dia selalu menginginkan kotak kayu yang disimpan Ayah," desah gadis itu
pelan.
"Kotak kayu...?.'" Bayu tersentak kaget. "Iya, kenapa? Tampaknya kau
terkejut..."
"Oh! Apakah...," suara Bayu terputus, lalu mendesah menghembuskan napas
panjang. Pendekar Pulau Neraka itu mengamati wajah gadis di depannya
dalam-dalam. Mendapat pandangan seperti itu, gadis berbaju hijau itu menjadi
jengah juga. Wajahnya bersemu merah, dan bola matanya berputar. Hanya saja
dia tidak ingin memalingkan ke arah lain, meskipun hatinya berdetak
kencang
"Nisanak! Boleh aku tahu namamu?" pinta Bayu.
'Tentu saja boleh. Namaku Rampita," jawab gadis itu senang hati.
"Ohhh...," Bayu mendesah panjang sambil menepak keningnya.
"Eh! Kau kenapa...?" tanya gadis yang mengaku bernama Rampita itu tidak
mengerti akan tingkah pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Ah! Kenapa ada dua Rampita di dunia ini...?" keluh Bayu.
***
ENAM
Rampita benar-benar tak mengerti mendengar keluhan pemuda berbaju kulit
harimau itu. Kini malah berbalik, dia yang kini memandangi wajah tampan di
depannya. Sedangkan Bayu hanya mendongakkan kepala, dan beberapa kali
menghembuskan napas panjang.
"Kisanak...," sapa Rampita, pelan suaranya.
"Bayu. Panggil saja aku Bayu," potong Bayu memperkenalkan diri.
"Hm..., tampaknya kau kebingungan. Ada apa? Kenapa mengatakan ada dua
Rampita?" tanya gadis itu ingin tahu.
"Hhh..., sukar dijelaskan. Aku jadi tidak mengerti, apakah kau ini memang
Rampit atau malah hanya mengaku-aku saja. Tapi aku juga tidak yakin kalau
dia benar," ujar Bayu terdengar mengeluh.
"Siapa yang kau maksudkan, Ki...?"
"Bayu."
"Oh, iya. Hmmm..., boleh memanggilmu Kakang.Bayu? Kelihatannya kau lebih
tua usianya dariku."
"Boleh saja."
"Hm..., Kakang Siapa yang dimaksudkan dengan Rampita satunya lagi?" gadis
berbaju hijau muda itu mengulangi, pertanyaannya.
"Hhh...! Sukar mengatakannya...," desah Bayu lirih.
Tanpa diminta lagi, Pendekar Pulau Neraka itu menceritakan semua yang
dialami. Mulai dari pertemuannya dengan Adilangu yang telah berpesan sebelum
ajal menjemput, sampai pertemuannya dengan seorang gadis yang tinggal di
Puncak Gunung Cakal. Gadis itu juga mengaku bernama Rampita. Saat itu Bayu
percaya saja dan menyerahkan kotak kayu yang diamanatkan Adilangu
padanya.
"Hm..., aku tahu kini. Kau pasti bertemu Seruni si Gadis Salju," gumam
Rampita setelah Bayu menyelesaikan ceritanya.
"Oh! Kalau begitu, aku telah salah memberi kotak yang diamanatkan
Adilangu," lagi-lagi Bayu mengeluh.
"Bukan salahmu, Kakang. Aku bisa mengerti. Seruni memang mengetahui persis
keluargaku. Makanya tidak ada kesulitan baginya untuk mengelabuimu," ujar
Rampita membesarkan hati Pendekar Pulau Neraka.
"Rampita. Boleh aku tahu, kenapa mereka menginginkan kotak kayu itu?" pinta
Bayu.
"Aku sendiri tidak tahu, Kakang. Kotak kayu itu sudah ada sebelum aku
lahir. Yaaah..., yang kuketahui, hanya si Kobra Hitam saja yang begitu ingin
menguasainya. Sedangkan Ayah selalu mempertahankan. Sudah bertahun tahun si
Kobra Hitam mencoba merebutnya, tapi baru sekarang rupanya berhasil membunuh
ayahku. Untung saja dia tidak berhasil menguasai kotak kayu itu," ujar
Rampita memberitahu.
"Oh, jadi ayahmu sudah...?" Bayu tidak meneruskan pertanyaannya.
"Mereka yang memberitahu," jelas Rampita seraya menunjuk mayat-mayat yang
bergelimpangan. Bayu memandangi mayat mayat itu.
"Siapa mereka?" tanya Bayu.
"Mereka adalah murid setia ayahku yang sengaja meninggalkan Padepokan
Tongkat Sakti untuk menemuiku di sini. Mereka juga mengatakan kalau
Padepokan Tongkat Sakti sudah hancur oleh gerombolan Barong Codet"
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Gerombolan Barong Codet memang pernah
didengarnya dari Adilangu. Bahkan Pendekar Pulau Neraka sempat menyelamatkan
pemuda itu dari cengkeraman tangan iblis si Barong Codet. Meskipun tidak
sempat bentrok, karena saat itu keadaan Adilangu cukup gawat
"Rampita. Kalau boleh tahu, kenapa kau tinggal disini dan tidak
bersama-sama ayahmu?" tanya Bayu jadi ingin tahu lebih banyak lagi.
"Ayahku yang menghendaki. Aku tinggal tidak jauh dari sini, bersama Paman
dan Bibi. Tapi mereka sudah meninggal. Bibi lebih dahulu meninggal. Dan
setahun kemudian, Paman menyusul. Sebenarnya ayahku ingin mengambilku
kembali, tapi aku menolak. Aku lebih senang tinggal di tempat sunyi seperti
ini sambil memperdalam ilmu yang kumiliki."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Bayu.
"Entahlah," desah Rampita.
"Kau tidak ingin merebut kembali warisan ayahmu?"
"Mungkin tidak. Biarlah Seruni yang memilikinya."
"Aneh sekali...," gumam Bayu tidak mengerti sikap gadis ini.
'Tidak ada yang aneh, Kakang. Bagiku benda itu hanya membawa malapetaka
saja. Aku bisa merebutnya kembali dari tangan Seruni. Tapi, apakah itu akan
menyelesaikan masalah? Tidak, Kakang Malah menurutku akan menimbulkan
masalah baru lagi. Bukannya tidak mungkin mereka akan mengejarku untuk
merebut kotak itu. Bahkan guru Seruni pasti ikut campur tangan."
Bayu terdiam membisu. Secara jujur memang diakui kebenaran kata-kata
Rampita. Sudah banyak darah tertumpah hanya karena memperebutkan sebuah
benda yang dianggap memiliki pamor dahsyat. Bahkan seluruh orang rimba
persilatan mempermasalahkannya. Sebagian besar dari mereka, bentrok hanya
karena memperebutkan sebuah benda pusaka.
Tapi Bayu juga tidak menyetujui sikap gadis ini, yang kelihatannya
menunjukkan kurang berbakti pada orang tua. Tidak seharusnya Rampita
menyepelekan sebuah benda peninggalan orang tuanya. Sesuatu yang menjadi
keramat dan diwasiatkan sudah selayaknya dipertahankannya, meskipun dengan
darah dan nyawa. Tapi Rampita sepertinya tidak ambil peduli, walaupun sudah
mempunyai pegangan hidup yang diyakini memiliki kebenaran.
"Rampita, apakah kau tidak berhasrat membalas kematian ayahmu?" tanyai Bayu
jadi ingin lebih tahu lagi tentang gadis ini.
"Untuk apa? Orang yang membunuh ayahku sudah tewas, meskipun bukan dengan
tanganku sendiri," jawab Rampita tegas.
"Lalu bagaimana dengan pedepokan ayahmu?"
"Padepokan Tongkat Sakti sudah hancur. Murid-murid yang tersisa pun sudah
tewas semuanya di sini. Untuk apa mempersoalkannya lagi? Maaf, Kakang.
Dendam tidak akan menyelesaikan semua persoalan. Bahkan akan melahirkan
dendam baru yang tidak akan berhenti sampai salah satu pihak musnah tanpa
meninggalkan keturunan lagi."
"Bukan maksudku menyuruhmu membalas dendam. Tapi paling tidak kau bisa
membangun Padepokan Tongkat Sakti kembali."
"Ah! Rasanya aku lebih suka hidup begini. Kehidupan yang damai, menyatu
dengan alam dan mendekatkan diri pada Hyang Widi. Rasanya hidup seperti itu
lebih nikmat daripada harus selalu cemas dan bergelimang darah," kembali
Rampita mengemukakan prinsip hidupnya.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. Tidak ada hak baginya untuk
mempengaruhi gadis ini. Gaya hidup yang diinginkan memang berbeda jauh
dengan dirinya. Sampai sekarang Pendekar Pulau Neraka masih terus mencari
pembunuh-pembunuh ayahnya. Bahkan sampai sekarang belum diyakini kalau
ibunya tewas. Bayu percaya kalau ibunya masih hidup dan sekarang berada di
suatu tempat.
***
Dua hari lamanya Bayu tinggal di sebuah pondok kecil milik Rampita.
Pendekar Pulau Neraka itu mengakui kalau cara hidup yang dijalankan gadis
ini sungguh damai. Jauh dari persoalan-persoalan duniawi yang menyeret ke
arah napsu keserakahan jika tidak bisa mengendalikan diri. Tapi Bayu tidak
mungkin bisa hidup seperti ini sebelum bertemu ibunya.
Pagi-pagi sekali Pendekar Pulau Neraka sudah bersiap-siap hendak
meninggalkan tempat ini. Dengan ayunan kaki tenang, dia keluar dari pondok
kecil ini. Pemuda berbaju kulit harimau itu menghirup napas dalam-dalam saat
berada di luar pondok. Masih terlalu gelap, matahari juga belum menampakkan
sinarnya. Namun suara kokok dan kicauan burung sudah menyemarakkan
sekelilingnya.
"Hmmm..., indah sekali...," desahan halus terucap dari bibir Bayu.
"Tidak akan indah jika seperti ini...!" tiba tiba terdengar sahutan dari
arah samping kanan.
Bayu memalingkan muka ke arah suara itu. Dan seketika matanya terbeliak
begitu melihat Rampita terikat dalam posisi terbalik di pohon. Kedua kakinya
terikat menyatu berada di atas sedangkan kepalanya terjuntai ke bawah. Di
dekat gadis itu berdiri seorang gadis cantik berbaju putih. Di belakangnya
tampak seekor beruang berbulu putih yang sangat besar, mendekam di bawah
pohon.
"Rampita...," desis Bayu. "Heh! Apa yang kau lakukan pada Rampita?!"
"Heh! Jika kau ingin dia selamat, serahkan Bunga Cubung Biru padaku!"
dingin sekali suara gadis berbaju putih itu.
Gadis muda itu memang pernah bertemu Bayu, dan mengaku bernama Rampita.
Padahal sebenarnya bernama Seruni, yang dikenal berjuluk Gadis Salju.
"Kakang..., turuti saja keinginannya," celetuk Rampita pelan.
Bayu masih terdiam. Ditatapnya dalam-dalam Rampita yang tengah tergantung
terbalik dengan kepala berada di bawah. Wajah gadis itu memerah, tapi bukan
karena marah. Memang, dalam posisi seperti itu, darah tak seimbang lagi
mengalir. Bayu heran juga mendengar perkataan Rampita. Gadis ini seolah-olah
pasrah, dan tidak sedikit pun mencoba memberontak Padahal, kalau mau mudah
saja baginya melepaskan diri. Toh, kedua tangannya bebas tak terbelenggu.
Sedangkan Rampita menatap Bayu, namun sinar matanya penuh permohonan agar
Pendekar Pulau Neraka itu suka menuruti permintaan Seruni.
"Rampita...," desah Bayu pelahan tanpa sadar.
"Penuhi saja permintaannya, Kakang," kata Rampita lirih.
"Tapi..., tapi aku tidak tahu apa yang diinginkannya...?!" Bayu benar-benar
tidak mengerti.
"Jangan pura-pura bodoh, Bayu!" bentak Seruni sengit. "Aku tahu, Bunga
Cubung Biru ada padamu. Cepat serahkan! Kau tidak berhak memilikinya!"
"Bunga Cubung Biru...?! Apa lagi yang dikatakannya, Rampita?" Bayu semakin
kebingungan tidak mengerti.
Rampita hanya diam saja. Ditatapnya dalam-dalam pemuda berbaju kulit
harimau itu. Sedangkan Bayu sendiri tampak seperti orang bodoh. Sebentar
dipandangi Rampita, sebentar kemudian beralih pada Seruni yang berkacak
pinggang dengan mata mendelik marah tidak sabaran.
Saat semuanya sedang terdiam, mendadak saja....
"Yeaaah...!"
Bayu dan Seruni tersentak kaget begitu tiba-tiba Rampita berteriak keras.
Dan seketika itu juga, tubuhnya melesat ke udara. Entah bagaimana
kejadiannya, tahu-tahu ikatan tambang di kaki gadis itu terlepas. Dan bahkan
dia telah mendarat di samping kanan Pendekar Pulau Neraka sebelum ada yang
menyadari apa yang baru saja terjadi.
Bayu memandangi Rampita sebentar, kemudian beralih ke arah tambang yang
masih tergantung dipohon. Ikatan tambang itu masih tetap seperti semula.
Tidak ada yang berubah, dan malah tambang itu tidak putus. Kembali Pendekar
Pulau Neraka itu memandangi gadis di sampingnya. Sedangkan yang dipandangi
melangkah maju tiga tindak
"Tidak ada gunanya terus mendesak, Seruni. Aku yakin Kakang Bayu tidak
memiliki yang kau cari," tegas Rampita. Nada suaranya datar dan terasa
dingin.
"Huh!" Seruni hanya mendengus saja.
"Pergilah, Seruni. Cari Bunga Cubung Biru untukmu sendiri," kata Rampita
lagi.
"Kau pikir aku akan percaya begitu saja padamu, Rampita? Kalian pasti sudah
bekerja sama!" dengus Seruni ketus.
"Seruni..., apakah kau sudah tidak percaya lagi padaku? Sama sekali aku
tidak memiliki Bunga Cubung Biru. Lagi pula sudah kukatakan kalau aku tidak
ingin memilikinya. Biarlah kau saja yang memilikinya. Aku rela."
"Kata-katamu selalu manis, Rampita. Pantas saja Ayah selalu berpihak
padamu!"
"Jangan lagi melibatkan Ayah, Seruni. Biarkan Ayah tenang di alam kubur,"
agak dingin nada suara Rampita.
"Akan kugali kuburannya!"
"Seruni...!" sentak Rampita terkejut.
Tapi sebelum Rampita bisa berkata lagi, Seruni sudah melesat pergi.
Sedangkan beruang putih ikut melompat sambil meraung keras menggelegar.
Rampita ingin mengejar, tapi segera diurungkan niatnya begitu mendengar
panggilan lembut Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu membalikkan tubuhnya,
langsung menatap bola mata pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Tidak akan kubiarkan dia melakukan hal itu, Kakang," tegas Rampita.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Bayu.
"Kalau sampai kuburan Ayah benar-benar dibongkar, aku tidak peduli lagi
siapa dia!" desis Rampita setengah menggeram.
Bayu diam dengan mata tajam memandang wajah cantik di depannya. Banyak yang
ingin diketahuinya, tapi melihat sorot mata Rampita begitu tajam, Bayu
mengurungkan keinginannya. Meskipun rasa penasaran menyelimuti seluruh
hatinya. Betapa tidak? Sikap Rampita terasa begitu aneh, bahkan sukar
diterima akal sehat Pendekar Pulau Neraka itu.
Bayu mengayunkan kakinya mengikuti langka kaki gadis itu. Disejajarkan
langkahnya di samping Rampita yang berjalan cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Agak terkejut juga Pendekar Pulau Neraka itu saat
menyadari ilmu meringankan tubuh Rampita begitu tinggi, sehingga perlu juga
diimbangi. Sebentar saja mereka sudah jauh meninggalkan pondok kecil tempat
tinggal gadis itu.
"Rampita, bisa aku bicara padamu?" pinta Bayu tidak bisa lagi menahan rasa
keingintahuannya.
"Bicaralah," jawab Rampita tanpa mengendorkan kecepatan jalannya.
"Tolong jelaskan, apa sebenarnya yang terjadi?" pinta Bayu berharap.
Pendekar Pulau Neraka memang paling tidak betah jika dihadapkan pada
persoalan yang mengandung teka-teki seperti ini.
Berhadapan dengan manusia-manusia aneh yang memiliki tingkah polah yang
sukar dimengerti, memang bukanlah pengalaman yang mengenakkan. Dan Pendekar
Pulau Neraka itu sama sekali tidak menyukai hal ini. Dia paling benci
terhadap segala macam teka-teki yang membuat kepalanya berdenyut. Bahkan
membuat hatinya terus diselimuti berbagai macam pertanyaan dan rasa
penasaran.
"Untuk apa? Kau sendiri sudah tahu," Rampita menanggapi ringan.
Bayu menghentikan langkahnya. Dan Rampita juga ikut berhenti. Untuk
beberapa saat lamanya mereka saling melemparkan pandang. Pelahan namun
pasti, Rampita memalingkan mukanya ke arah lain. Entah kenapa, hatinya
selalu bergetar jika bertemu pandang dengan pemuda ini. Suatu perasaan yang
belum pernah terjadi pada dirinya. Tapi Rampita tidak ingin memanjakan
perasaannya. Gadis itu selalu saja bisa menghalau, meskipun sering kali
timbul selama Pendekar Pulau Neraka ini masih terlihat, dan begitu dekat di
sampingnya.
'Terus terang, aku sebenarnya tidak ingin terlibat. Tapi sukar bagiku untuk
menghindarinya. Masih banyak yang belum kuketahui tentang semua ini,
Rampita," tutur Bayu berterus terang.
"Apa lagi yang ingin kau ketahui?" tanya Rampita.
"Banyak. Terutama tentang kotak kayu, Bunga Cubung Biru, kau, dan mereka
yang menginginkan kotak itu," tegas Bayu.
"Hm..., jadi selama ini apa saja yang kau ketahui?" Rampita malah bertanya
terus.
"Aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja diriku terlibat dalam masalah yang
aku sendiri tidak bisa memahami. Dan semua yang kuketahui kuceritakan
padamu."
Rampita tersenyum manis. Diayunkan kakinya pelahan. Sebentar Bayu
memandangi Rampita, dan sempat menelan bulat-bulat senyuman manis gadis itu.
Kemudian Pendekar Pulau Neraka ikut melangkah dan mensejajarkan ayunan
kakinya di samping gadis berbaju hijau muda itu.
"Rampita, apa sebenarnya yang sedang diperebutkan?" tanya Bayu.
"Kotak kayu yang berisi Bunga Cubung Biru," sahut Rampita tanpa
menghentikan ayunan kakinya.
"Apa itu?"
"Hanya sekuntum bunga yang hanya tumbuh satu kali dalam seratus tahun.
Bunga itu tidak akan layu atau rusak selama tidak ada yang merusaknya.
Begitu banyak gunanya, sehingga banyak orang yang menginginkan. Mereka
bersedia mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan bunga itu," jelas
Rampita.
"Kau tahu apa keistimewaannya?" Bayu ingin tahu.
"Sukar untuk mengatakannya. Tapi yang jelas, bunga itu telah menyelamatkan
nyawaku dari sengatan ular kobra. Hanya dalam sekejap racun ular itu keluar
tanpa meninggalkan bekas sedikit pun."
Sedikitnya Bayu sudah bisa mengerti kalau bunga itu tentu memiliki khasiat
yang sangat langka. Buktinya orang berani mempertaruhkan nyawa hanya untuk
sekuntum bunga. Bahkan si Kobra Hitam sendiri telah bertahun-tahun mencoba
merebutnya dari tangan Anom Sura. Dan Bayu jadi ingin tahu, bagaimana ayah
Rampita itu bisa memiliki Bunga Cubung Biru...?
Waktu Bayu menanyakannya, Rampita hanya tersenyum saja. Memang tadi sudah
dijawab kalau bunga itu telah menjadi pusaka warisan leluhur gadis itu, yang
secara turun temurun hingga sampai ke tangan ayahnya. Bertahun-tahun pula
bunga itu selalu menjadi masalah, dan pemiliknya tidak akan merasa tenang.
Selalu saja datang persoalan dari orang-orang yang menginginkan bunga
itu.
Satu keistimewaan yang sangat luar biasa. Orang yang memiliki Bunga Cubung
Biru bisa menjadi tabib paling mujarab tanpa harus mempelajari ilmu
pengobatan dan segala macam ramuan. Bunga itu sudah membantu banyak. Bisa
menyembuhkan segala macam penyakit, baik penyakit dalam maupun luar. Bahkan
dapat menolak segala jenis racun yang dahsyat sekali pun.
Sambil terus berjalan, Rampita menceritakan tenang Bunga Cubung Biru. Juga
tentang leluhurnya yang sudah bertahun-tahun memiliki bunga itu. Gadis itu
sendiri tidak tahu, sejak kapan dan bagaimana leluhurnya memilikinya. Tapi
yang jelas, dia enggan memilikinya. Dan Bayu hanya bisa mempercayai saja
tanpa ingin menanyakan sebabnya. Dalam pikiran Pendekar Pulau Neraka itu,
mungkin Rampita tidak ingin kehidupannya terganggu.
Tanpa terasa mereka sudah tiba di depan Padepokan Tongkat Sakti yang hangus
terbakar. Rampita berdiri tegak memandangi puing-puing reruntuhan padepokan
yang didirikan ayahnya. Masih terlihat asap mengepul dari reruntuhan yang
terbakar hangus. Mayat-mayat masih terlihat berserakan dalam keadaan rusak.
Mungkin telah menjadi santapan binatang binatang liar. Mayat-mayat yang
mulai membusuk itu menyebarkan bau tidak sedap. Sementara matahari sudah
naik tinggi di atas kepala. Sinarnya yang terik begitu menyengat, seakan
akan hendak membakar kulit.
"Hmmm..., seharusnya Seruni sudah sampai di sini," gumam Rampita.
"Mungkin tidak ke sini," sahut Bayu tanpa diminta.
"Kau yakin, Kakang?" tanya Rampita.
Belum juga Bayu menjawab pertanyaan itu, mendadak saja terdengar tawa
menggelegar. Dan belum juga hilang tawa itu, tiba-tiba bermunculan
orang-orang bersenjata golok terhunus. Mereka langsung mengepung Pendekar
Pulau Neraka dan Rampita. Bayu menatap tajam seorang laki-laki bertubuh
tinggi kekar, yang wajahnya terdapat luka memanjang hampir membelah
pipi.
"Barong Codet...," desis Bayu mengenali.
"Hmmm...," sedangkan Rampita hanya menggumam tidak jelas.
***
TUJUH
"Sudah kuduga! Kau pasti kembali lagi ke sini, bocah!" dingin dan besar
sekali suara Barong Codet.
Laki-laki bertubuh tinggi besar dan berwajah buruk itu melangkah beberapa
tindak mendekati Bayu dan Rampita. Sedangkan anak buah Barong Codet yang
berjumlah sekitar dua puluh orang sudah menggerak-gerakkan goloknya di depan
dada. Mereka tampaknya sudah siap, tinggal menunggu perintah saja.
Bayu dan Rampita hanya diam saja, namun tatapan mereka begitu tajam ke arah
Barong Codet Sedangkan Bayu sudah mengedarkan pandangannya ke sekeliling
mencoba mengukur kekuatan gerombolan perampok yang sangat ditakuti di
sekitar daerah Lembah Bunga ini. Kelompok manusia kasar yang sudah terkenal
kekejamannya sampai keluar Lembah Bunga.
"Rampita! Serahkan Bunga Cubung Biru padaku, dan kau boleh pergi dengan
selamat dari sini!" ujar Barong Codet seraya menatap tajam Rampita.
"Bunga itu tidak ada padaku!" sahut Rampita tidak kalah dinginnya.
"Phuah! Aku tidak main-main, bocah setan! Aku tahu, kalau manusia tolol
murid ayahmu telah diselamatkan monyet buduk itu. Dan aku juga tahu kalau
Adilangu sudah mampus di tangan Sureng Rana. Kemudian kotak kayu berisi
Bunga Cubung Bini dibawa monyet itu. Dan sekarang dia bersamamu. Nah! Mana
bunga itu...?!" lantang sekali suara Barong Codet.
"Sudah kukatakan, bunga itu tidak ada padaku!" dengus Rampita sengit.
"Aku tidak ada waktu bermain-main, Rampita!" ancam Barong Codet
mendesis.
"Lalu, apa maumu?" tantang Rampita tajam Barong Codet menggereng kecil.
Tatapan matanya begitu tajam. Namun di balik tatapan mata itu, tersimpan
sesuatu yang liar. Benaknya langsung dipenuhi pikiran-pikiran kotor melihat
kecantikan dan keindahan tubuh Rampita. Barong Codet menjilati bibirnya
sendiri yang hampir tertutup berewok dan kumis.
"Sayang sekali, kau terlalu cantik untuk mati di tanganku, Rampita," agak
lunak suara Barong Codet kali ini.
Rampita hanya mendengus saja. Gadis itu sudah tahu, siapa Barong Codet itu.
Dan dia begitu muak melihat tatapan mata laki-laki kasar itu. Namun Rampita
masih bisa meredam gejolak darahnya yang sudah mendidih dalam dada.
"Baiklah. Kau boleh memiliki bunga itu, Rampita. Tapi kau harus ikut dan
hidup bersamaku. He he he...," Barong Codet terkekeh.
'Tawaran yang menarik. Tapi sayang sekali, kau begitu jelek untuk menjadi
pendampingku," ujar Rampita halus.
"Setan...!" geram Barong Codet
Kata-kata halus gadis itu membuat wajah Barong Codet memerah seketika.
Betapa tidak Ucapan Rampita memang halus, namun sangat menyakitkan telinga.
Sedangkan Bayu hanya tersenyum, bahkan tidak bisa menahan rasa geli.
Pendekar Pulau Neraka itu terkikik. Hal ini membuat Barong Codet semakin
geram, dan langsung mendelik ke arah Bayu.
"Keparat! Kau menertawakanku, bocah setan...!" geram Barong Codet
mengkelap.
Kemarahan dan perasaan terhina di dada Barong Codet seketika ditumpahkan
pada Bayu. Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki yang wajahnya terdapat luka
memanjang membelah pipinya itu langsung melompat menerjang Pendekar Pulau
Neraka. Terjangannya sangat cepat dan tiba-tiba sekali.
Namun begitu telapak kaki Barong Codet hampir bersarang di dada, bergegas
Bayu mengegoskan tubuhnya ke samping sedikit miring. Maka tendangan Barong
Codet lewat sedikit di depan dada. Dan pada saat itu, Bayu cepat
menghentakkan tangannya ke pinggang.
Buk!
"Ughk..!" Barong Codet mengeluh pendek. Sodokan tangan Pendekar Pulau
Neraka memang tidak terduga dan tidak terhindari lagi. Laki-laki kasar itu
terhuyung ke belakang dengan tubuh setengah membungkuk. Bibirnya meringis
merasakan nyeri dan mual pada perutnya. Untung saja Bayu tidak mengerahkan
penuh kekuatan tenaga dalamnya, sehingga Barong Codet hanya merasakan
sedikit nyeri dan mual.
"Keparat! Hiyaaa...!"
Sambil memaki dan berteriak keras, Barong Codet kembali menerjang pemuda
berbaju kulit harimau itu Kali ini dia tidak mau bermain main lagi. Dua
pukulan bertenaga dalam cukup tinggi dilontarkan ke bagian tubuh Bayu. Namun
manis sekali Pendekar Pulau Neraka itu berhasil berkelit mengelakkannya.
Bahkan kembali memberikan satu sodokan balasan ke arah dada.
"Uts!"
Buru-buru Barong Codet menarik mundur tubuhnya ke belakang Tapi Bayu juga
cepat menarik kembali sodokan tangannya. Dan sambil menyusur tanah, Pendekar
Pulau Neraka itu mendekati Barong Codet. Dan dengan kecepatan bagai kilat,
pemuda berbaju kulit harimau itu mengibaskan tangan kirinya disusul satu
hentakan kaki agak memutar.
"Yeaaah...!"
Des! Buk!
"Aaakh...!" Barong Codet terpekik keras.
Dua kali pukulan dan tendangan Bayu mendarat telak di tubuh laki-laki
tinggi besar itu. Tak ampun lagi, tubuh tinggi besar itu terpental deras
sekali ke belakang. Sebatang pohon yang terlanggar tubuhnya langsung tumbang
tanpa ampun. Sementara Bayu sudah berdiri tegak, seraya melirik sedikit pada
Rampita yang memberikan senyuman kecil.
"Setan keparat! Seraaang...!" umpat Barong Codet langsung memberi perintah
pada anak buahnya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Seketika itu juga dua puluh orang anak buah Barong Codet berlompatan
menyerang Pendekar Pulau Neraka. Golok-golok mereka berkelebat cepat
berkilatan tertimpa cahaya matahari.
"Menyingkirlah, Rampita!" seru Bayu keras. Tanpa diminta dua kali, Rampita
langsung melompat menjauh. Pada saat itu Bayu sudah mengegoskan tubuhnya
menghindari tebasan golok yang mengarah ke dada. Dan tangkas sekali,
Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan tangannya menyodok iga
penyerangnya.
Dughk!
"Heghk...!" orang itu melenguh.
Dan sebelum lawan sempat menyadari apa yang terjadi, Bayu langsung
memberikan gedoran keras bertenaga dalam tinggi ke dada penyerangnya
ini.
"Yeaaah...!"
Des!
Orang itu terpental jauh ke belakang tanpa bersuara lagi. Tubuhnya ambruk
ke tanah, dan tewas seketika itu juga. Dadanya tampak remuk melesak ke
dalam. Darah mengucur dari mulut dan hidungnya. Namun Bayu belum bisa
menarik napas lega. Ternyata lawan-lawan yang lain kembali menyerang ganas.
Beberapa golok berkelebat di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka yang
meliuk-liuk menghindari setiap serangan.
Bahkan meskipun dalam keadaan terkurung rapat, Bayu masih sempat memberi
serangan balasan yang tidak kalah mautnya. Pekik pertempuran berbaur menjadi
satu dengan jerit kesakitan. Satu persatu tubuh lawan bergelimpangan ke
tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Meskipun tidak menggunakan senjata,
namun kedua tangan Pendekar Pulau Neraka itu merupakan senjata ampuh yang
sukar dicari tandingannya. Setiap pukulan maupun sodokan tangannya
mengandung pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan.
***
Sementara itu Rampita yang menyaksikan pertarungan dari tempat yang tidak
terlalu jauh, semakin mengagumi Pendekar Pulau Neraka itu..Betapa tidak?
Menghadapi dua puluh orang bersenjata golok yang selama ini menjadi momok
setiap orang, ternyata pemuda itu mampu membuat lawan jungkir balik. Bahkan
dalam waktu tidak terlalu lama, hampir separuh lawan telah bergelimpangan
tak bernyawa lagi.
Bayu kelihatan seperti bermain-main saja. Dia berlompatan dan berkelit
sambil sesekali melontarkan pukulan mautnya yang sangat dahsyat Setiap kali
melontarkan pukulan, terdengar jeritan melengking tinggi yang kemudian
disusul menggeleparnya seorang pengeroyoknya. Satu persatu mereka dibuat
tewas dengan dada remuk atau kepala pecah.
"Hiyaaa...!"
Melihat anak buahnya semakin berkurang, Barong Codet jadi marah bukan main.
Ketika melihat Rampita asyik mengawasi jalannya pertarungan, dengan licik
sekali laki-laki kasar itu melompat sambil mencabut goloknya menerjang gadis
itu.
Wut!
"Heh...! Hap!"
Rampita terkejut dan buru-buru melompat mundur ke belakang tiga tindak
sambil menarik tubuhnya ke samping menghindari tebasan golok lawan.
"Curang!" dengus Rampita geram.
Barong Codet tidak mempedulikan gerutuan gadis itu, dan malah sudah kembali
menyerang. Goloknya yang terhunus berkelebatan mengincar bagian-bagian tubuh
Rampita yang mematikan. Gadis itu terpaksa harus jumpalitan, karena tidak
diberi kesempatan untuk balas menyerang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tepat ketika golok Barong Codet mengibas ke arah kaki, Rampita cepat-cepat
melompat dan menjejak ujung golok itu dengan jari kakinya. Kemudian tubuhnya
melenting ke udara, dan berputar sekali. Sungguh luar biasa sekali! Dalam
keadaan di udara, gadis itu masih bisa memberi satu tendangan menggeledek ke
arah kepala lawannya.
"Uts!"
Barong Codet buru-buru merunduk sambil mengibaskan goloknya ke atas kepala.
Dan Rampita bergegas menarik kembali kakinya. Gadis itu berputar sekali
lagi, lalu mendarat manis di belakang laki-laki itu.
"Hiyaaat..!"
Sebelum laki-laki kasar itu memutar tubuhnya, Rampita sudah memberi satu
gedoran keras ke punggung lawan. Sodokan keras- mengandung tenaga dalam
cukup tinggi itu membuat Barong Codet tersentak. Tubuhnya terjungkal keras
ke tanah dan wajahnya terantuk akar pohon yang menyembul keluar dari dalam
tanah.
"Monyet!" geram Barong Codet. Dengan punggung tangan, Barong Codet menyeka
darah yang keluar dari hidung akibat terantuk akar pohon tadi. Mulutnya
mendesis dan bibirnya menyeringai. Sedangkan matanya liar menatap buas ke
tubuh Rampita. Barong Codet menggerak-gerakkan goloknya di depan dada,
kemudian berteriak keras dan berlari cepat menerjang gadis itu.
"Yaaat..!"
"Hup!"
Rampita langsung merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada begitu
Barong Codet menusukkan goloknya. Dan tepat sekali kedua tangan yang halus
dan berjari lentik itu mengunci golok lawan di depan dadanya.
"Uh!"
Barong Codet berusaha menarik goloknya, tapi merasakan goloknya seperti
masuk dalam sebuah penjepit baja yang sangat kuat Bahkan goloknya tak
bergerak sama sekali meskipun sudah mengerahkan tenaga dalam. Sementara
Rampita tersenyum tipis, seolah-olah mengejek laki-laki itu.
"Yap!"
Tiba-tiba saja gadis itu menghentakkan tangannya ke samping, tepat pada
saat Barong Codet mencoba menarik goloknya. Dan....
"Heh...?!"
Barong Codet terkejut setengah mati. Golok kesayangannya patah jadi dua
bagian. Dan sebelum keterkejutannya hilang, secepat kilat Rampita
mengirimkan satu tendangan keras disusul satu pukulan bertenaga dalam
tinggi.
Buk!
Buk!
"Aaakh...!" Barong Codet memekik panjang melengking. Tubuh tinggi besar dan
kekar itu terpental jauh ke belakang, dan ambruk keras ke tanah. Sementara,
Rampita dengan ujung jari kakinya menjentik sebilah golok yang tergeletak di
depan kakinya. Golok itu terpental ke atas. Dengan tangkas sekali gadis itu
menangkap, dan langsung melemparkannya ke arah Barong Codet yang baru saja
menggeletak di tanah.
Swing!
Crab!
"Aaa...!" kembali Barong Codet menjerit keras. Dadanya tertembus sebilah
golok yang dilemparkan Rampita. Begitu dalamnya, sehingga hanya tangkainya
saja yang terlihat. Hanya sebentar Barong Codet berkelojotan, kemudian diam
tak berkutik lagi.
Plok! Plok....
"Ah...," Rampita tersentak mendengar suara tepukan. Ternyata Bayu bertepuk
tangan di antara mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Rupanya
Pendekar Pulau Neraka itu juga sudah menyelesaikan pertarungannya. Jelas
sekali, tak satu pun lawannya yang dibiarkan hidup. Semuanya tewas bersimbah
darah membasahi bumi.
***
"Hebat! Kau mampu menundukkan pemimpin perampok, Rampita," puji Bayu tulus
seraya menghampiri gadis berbaju hijau muda itu.
"Ah...," Rampita hanya mendesah saja.
Gadis itu langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Rampita tidak ingin
pemuda itu melihat perubahan wajahnya yang memerah tersipu. Sungguh, sulit
membohongi dirinya sendiri saat ini. Hatinya begitu senang dan sangat
menyukai pujian Bayu tadi. Bahkan ingin mendengar sekali lagi pujian itu.
Pujian yang terdengar tulus dan datang dari seorang pemuda tampan.
"Tidak kusangka, gadis secantikmu memiliki kepandaian begitu tinggi,"
kembali Bayu memuji. Pemuda ini sudah berada di samping Rampita.
"Ah, sudahlah Kakang. Bukan saatnya untuk memuji. Masih banyak yang harus
kulakukan," ujar Rampita mencoba mengelak, meskipun sangat bertentangan
dengan kata hatinya.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang, Rampita?" tanya Bayu.
Rampita tidak bisa menjawab dengan cepat karena memang tidak tahu harus
melakukan apa. Gadis itu tadi hanya asal bicara saja untuk menghentikan
pujian Bayu. Untuk menghilangkan kegugupannya, Rampita mengayunkan kakinya
pelahan. Bayu hanya memandangi, kemudian ikut melangkah dan mensejajarkan
ayunan kakinya di samping gadis ini.
Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi, dan baru berhenti setelah tiba
pada suatu tempat Tampak sekali wajah Rampita berubah memerah seketika.
Tatapannya lurus tak berkedip memandang sebuah makam yang terbongkar tak
karuan.
"Ayah...!" pelak Rampita seketika.
Gadis itu langsung memburu dan berlutut di depan kuburan yang terbongkar
itu. Ketika melongok ke dalam, ternyata....
"Oh, tidak..!" jerit Rampita langsung memalingkan mukanya.
Bayu bergegas menghampiri dan menjulurkan kepalanya. Pendekar Pulau Neraka
itu juga bergegas memalingkan mukanya, tidak sanggup menyaksikan semua yang
ada dalam lubang itu. Jasad Anom Sura telah tercabik-cabik hancur
berantakan. Bayu mendekap pundak Rampita dan mengajaknya berdiri. Kemudian
gadis itu diajak menjauh dari pusara Ketua Padepokan Tongkat Sakti
itu.
Bayu mendudukkan Rampita di sebuah pohon tumbang, kemudian menghampiri
makam itu. Pendekar Pulau Neraka mengambil dua batang golok yang menggeletak
di tanah. Dengan golok itu diuruknya kembali kuburan itu. Disertai
pengerahan tenaga dalam dan kecepatan gerak, Pendekar Pulau Neraka itu
menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu tidak berapa lama.
Sementara Rampita terdongak sambil menarik napas dalam-dalam. Gadis itu
mencoba menahan air matanya, tapi tak kuasa juga. Setitik air bening
menggulir di pipinya. Bayu membuang golok yang digunakan untuk menguruk
makam itu, kemudian menghampiri Rampita. Pendekar Pulau Neraka itu merengkuh
pundak Rampita dan memeluknya.
"Menangislah! Itu akan meredakan sedikit penderitaanmu," ujar Bayu
lembut.
Kata-kata lembut pemuda berbaju kulit harimau itu membuat tangis Rampita
meledak seketika. Gadis itu langsung menyembunyikan wajahnya di dada Bayu.
Seluruh tubuh Rampita terguncang di dalam pelukan Pendekar Pulau Neraka.
Selama hidupnya, mungkin hanya dua kali Rampita menangis. Pertama, waktu
hadir ke dunia. Dan kedua, sekarang ini.
Malah Rampita tidak menangis ketika ibunya meninggal. Baginya kematian
merupakan takdir yang akan dialami semua manusia dan seluruh makhluk hidup
di dunia ini. Takdir yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Tapi begitu melihat
kuburan ayahnya terbongkar dan jasad ayahnya hancur tercabik, gadis itu tak
kuasa lagi membendung perasaannya.
***
"Selama ini aku selalu menghindari kekerasan, dan tidak ingin ada dendam di
hatiku. Tapi...," keluhan Rampita terputus.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Masih tersisa air mata di kelopak mata
gadis itu. Sedangkan Bayu hanya diam mendengarkan. Dibiarkan saja Rampita
mengeluarkan seluruh isi hatinya. Bayu dapat merasakan betapa beratnya
penderitaan gadis ini. Siapa pun pelakunya, perbuatan membongkar kuburan
memang tidak bisa dimaafkan begitu saja. Apalagi sampai merusak jasad yang
sudah terkubur.
"Kakang, apa yang harus kulakukan sekarang? Apakah aku harus meminta
pertanggungjawaban manusia iblis itu...?" pertanyaan Rampita seperti untuk
dirinya sendiri.
Sukar bagi Bayu menjawab pertanyaan itu. Pendekar Pulau Neraka ini hanya
menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat Dipandangi dalam-dalam
bola mata bulat di sampingnya. Sedangkan Rampita membalas dengan sinar mata
bagai berharap menerima jawaban dari pertanyaannya.
"Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan sekarang ini, Rampita. Terus
terang, aku sendiri belum bisa menghapus dendam di hatiku," ungkap Bayu
pelan dan lembut sekali suaranya.
"Terima kasih, Kakang. Siapa pun orangnya, dia harus mati!" desis Rampita
dingin.
"Bagaimana jika Seruni yang melakukannya?" tanya Bayu agak memancing.
Rampita tidak langsung menjawab, tapi malah menatap dalam-dalam Pendekar
Pulau Neraka itu. Pertanyaan Bayu barusan seperti menyengat benaknya.
Rampita memalingkan pandangannya ke arah lain, dan langsung tertumbuk pada
pusara ayahnya ya kini sudah rapi kembali.
"Kenapa kau tanyakan itu, Kakang?" tanya Rampita pelan.
"Apa kau sudah lupa ancamannya, Rampita?" Bayu balik bertanya.
"Tidak," sahut Rampita mendesah. "Tapi...."
"Kenapa? Bisa saja dia yang melakukan. Orang seperti Seruni akan melakukan
apa saja demi mencapai keinginannya," tegas Bayu.
"Kau benar, kakang. Seruni memang akan melakukan apa saja asal kehendaknya
tercapai. Bahkan dia...," kembali suara Rampita terputus.
Bayu menatap dalam-dalam wajah yang kini berubah mendung itu. Sepertinya
Rampita menyimpan sesuatu yang membuat hatinya seperti tersayat. Dan pemuda
berbaju kulit harimau itu menduga keras kalau ini ada hubungannya dengan
Seruni. Sejak mengenal gadis ini, dalam benaknya memang sudah diliputi
berbagai macam pertanyaan yang belum terjawab.
Pertanyaan itu semakin melekat dan membesar sejak pagi tadi. Rampita
kelihatan begitu mengalah pada Seruni. Bahkan gadis ini rela disiksa,
digantung terbalik tanpa melakukan perlawanan sedikit pun. Dan yang lebih
mengherankan lagi, Rampita rela kalau Bunga Cubung Biru jatuh ke tangan
Seruni. Ada hubungan apa antara Rampita dan Seruni sebenarnya? Bahkan Seruni
tahu persis keluarga Rampita. Dan sepertinya mereka sudah kenal cukup
lama.
"Aku memang belum mengenalmu lebih jauh. Bahkan aku tidak tahu siapa dirimu
dan Seruni Tapi rasanya aku mencium adanya suatu hubungan antara kau dengan
Seruni. Kau selalu bersikap mengalah, bahkan rela digantung tanpa melawan
sedikit pun. Padahal aku yakin kau bisa melawan," ungkap Bayu tentang
ganjalan di hatinya.
"Ah! Sebaiknya lupakan saja, Kakang. Anggap saja tidak terjadi sesuatu
barusan," desah Rampita meminta.
Bayu semakin tidak mengerti terhadap sikap gadis ini. Pendekar Pulau Neraka
itu jadi terdiam. Sementara Rampita sudah bangkit berdiri. Ditatap sejenak
pusara ayahnya, kemudian berbalik dan berjalan gontai meninggalkan tempat
yang dipenuhi mayat bergelimpangan ini.
Sementara Bayu masih duduk memandangi gadis yang terus berjalan pelahan.
Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri, dan berjalan menyusul Rampita.
Sebentar saja Bayu sudah berada di samping gadis itu. Mereka berjalan
meninggalkan tempat itu tanpa berkata-kata lagi. Namun dalam benak Bayu
masih tersimpan teka-teki yang belum terpecahkan.
Pendekar Pulau Neraka mencoba menduga duga hubungan Rampita dengan Seruni.
Namun rasanya sukar sekali. Sementara gadis itu masih saja membisu.
Pandangan matanya menerawang jauh. Bayu memandangi gadis yang berjalan di
sampingnya. Dan tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka tersentak Baru disadari
kalau ada yang luput dari perhatiannya. Ya...,
Seruni dan Rampita begitu mirip! Baik wajah maupun bentuk tubuhnya. Hanya
saja dandanan dan bentuk pakaian mereka yang berbeda. Bayu semakin dalam
memandangi wajah gadis itu. Seketika dicobanya untuk membayangkan wajah
Seruni. Benar! Kedua gadis itu mirip sekali, seperti....
"Rampita, apakah Seruni itu saudaramu?" tanya Bayu agak ragu-ragu
suaranya.
Rampita tampak terkejut, lalu berpaling menatap pemuda berbaju kulit
harimau di sampingnya. Gadis itu sampai berhenti melangkah, dan cukup lama
memandang Bayu.
"Maaf, kalau pertanyaanku menyinggungmu," ucap Bayu buru-buru.
"Kenapa kau berpikir sampai ke situ, Kakang?" tanya Rampita.
"Mungkin karena mataku melihat ada kemiripan pada kalian berdua," sahut
Bayu seraya mengangkat pundaknya.
Rampita kembali terdiam, kemudian melanjutkan langkahnya. Gadis itu tidak
ingin menjawab pertanyaan Bayu barusan, namun sikapnya kini berubah. Kini
wajahnya semakin terselimut mendung tebal. Bayu mengangkat pundaknya
tinggi-tinggi. Meskipun masih penasaran, tapi Pendekar Pulau Neraka tidak
ingin bertanya lagi.
***
DELAPAN
Perjalanan Bayu dan Rampita terhalang sebuah sungai kecil. Tapi sebenarnya
bukan karena sungai itu yang menjadi penghalang, melainkan seorang gadis dan
seekor beruang putih yang berada di tepi sungai itu. Gadis berbaju putih itu
duduk mencangkung di atas sebongkah batu, seakan-akan sengaja
menunggu.
"Aku selalu bisa menebak, ke arah mana kau pergi, Rampita," ujar gadis
berbaju putih yang dikenali bernama Seruni.
Suaranya terdengar tenang, dan bibirnya yang merah selalu mengulas senyuman
manis. Sementara Bayu memandangi Seruni dan Rampita bergantian. Sungguh...!
Pendekar Pulau Neraka itu seperti melihat satu wajah pada dua orang gadis
itu. Mereka begitu mirip satu sama lain. Hanya pakaian dan tata rambutnya
saja yang berbeda. Tapi itu semua tidak menutupi kemiripan wajahnya.
Kalau saja baju dan tata rambut mereka sama, pasti sukar membedakannya. Dan
Bayu memang tidak bisa menemukan perbedaan pada wajah dan bentuk tubuh kedua
gadis itu. Dan ini belum lama disadarinya. Bayu semakin bertanya-tanya,
apakah kedua gadis ini saudara kembar? Sementara Seruni sudah turun dari
batu. Dia berdiri tegak di samping beruang putih yang mendekam sambil
mencakar-cakar tanah di depannya.
"Apa lagi yang kau inginkan dariku, Seruni?" tanya Rampita.
"Bunga Cubung Biru," sahut Seruni tajam.
"Bukankah kau sudah mendapatkannya?"
"Aku muak dengan kepura-puraanmu, Rampita!" bentak Seruni kasar. "Berikan
bunga itu padaku!"
"Sudah berapa kali kukatakan, aku tidak memiliki Bunga Cubung Biru," tegas
Rampita.
Ada sedikit nada kekesalan pada suara Rampita. Dan ini diketahui jelas oleh
Bayu. Bahkan sinar mata gadis itu juga memancarkan sesuatu yang sukar
diterka. Namun Bayu bisa menebak kalau dalam diri Rampita tengah bergolak
dua kutub yang saling bertentangan.
"Dengar, Rampita. Aku sudah cukup sabar menunggu, dan tidak bisa
bermain-main lagi. Kau dengar itu, Rampita...!" keras sekali suara
Seruni.
Rampita berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Diayunkan kakinya
melangkah beberapa tindak. Sedangkan Seruni berkacak pinggang dan wajahnya
memerah. Sementara Bayu hanya mengawasi saja. Pendekar Pulau Neraka ini
belum ingin melakukan sesuatu sebelum merasa pasti kebenaran kedua gadis
ini.
"Baiklah. Apa yang kau inginkan sekarang?" dingin sekali nada suara Rampita
terdengar. Sepertinya Rampita sudah kehilangan kesabarannya, dan lantas
berdiri tegak bersikap menantang. Tatapan matanya tajam, dan gerahamnya
bergemeletuk
Kedua tangannya terkepal erat agak berkeringat. Tak ada yang tahu, apa yang
sedang terjadi di dalam batin gadis ini. Hanya dia sendiri yang tahu.
"Kau yang menginginkannya, Rampita. Bersiaplah...! Hiyaaat!"
Seruni langsung melompat menerjang Rampita. Dua pukulan beruntun langsung
dilepaskan. Rampita kelihatan masih berdiri tegak, seakan-akan tidak
bergeming menerima serangan itu. Hal ini membuat Bayu jadi cemas juga. Tapi,
begitu serangan Seruni sudah dekat, mendadak saja gadis itu menghentakkan
kedua tangannya ke depan.
"Yeaaah...!" Duk!
Rampita benar-benar menyongsong pukulan Seruni, sehingga kedua tangannya
membentur keras tangan gadis berbaju putih itu. Tampak Seruni terpental
balik sejauh dua batang tombak, sedangkan Rampita hanya terdorong dua
langkah. Tiga kali Seruni berputaran di udara sebelum mendarat manis.
"Bagus! Aku ingin tahu, sampai di mana tingkat kepandaianmu, Rampita!"
dengus Seruni dingin.
Sret!
Seruni langsung mencabut pedangnya. Sedangkan Rampita masih berdiri tegak.
Meskipun kelihatan tenang, namun jelas sekali kalau raut wajah gadis itu
menegang. Matanya tidak berkedip menatap pedang ditangan Seruni.
'Tahan seranganku, Rampita! Hiyaaat...!" Dua kali Seruni berlompatan.
Kemudian begitu kakinya menjejak tanah di depan Rampita, langsung dikibaskan
pedangnya ke arah kaki gadis berbaju hijau muda itu sambil merendahkan
tubuhnya.
Wut!
"Hup! Hiyaaa...!"
Sigap sekali Rampita mengangkat sebelah kakinya seraya menarik mundur kaki
lainnya. Dan sebelum Seruni bisa menarik pulang pedangnya yang tidak
mengenai sasaran, Rampita cepat-cepat menghentakkan kakinya ke depan.
"Ikh!"
Seruni tampak tersentak kaget. Buru-buru lebih direndahkan tubuhnya dengan
kepala merunduk. Tendangan Rampita lewat di atas kepala gadis itu. Tapi
sungguh tidak disangka sama sekali. Ternyata Rampita malah meneruskan dengan
satu lompatan kecil, dan sambil memutar tubuhnya dikirimkan satu pukulan ke
arah punggung Seruni. Tak pelak lagi, gadis itu terpekik menerima pukulan
keras di punggung.
"Akh! Curang...!"
Sambil mengumpat geram, Seruni memutar tubuhnya seraya mengibaskan
pedangnya menyilang sejajar dada. Manis sekali Rampita menarik tubuhnya ke
belakang, dan meliukkannya begitu ujung pedang lewat di depan dadanya.
Kembali Rampita menghentakkan tangannya. Kali ini mengarah ke pergelangan
tangan kanan Seruni yang menggenggam pedang.
"Lepas...!"
Plak!
"Akh...!" lagi-lagi Seruni terpekik.
Gadis itu tak bisa lagi mempertahankan pedangnya yang lepas terpental ke
udara. Dan sebelum Seruni bisa melesat mengejar pedangnya, Rampita sudah
memberi satu tendangan keras. Tendangan itu tak dapat dihindari lagi, tepat
mengenai dada Seruni.
Lagi-lagi gadis berbaju putih yang berjuluk si Gadis Salju itu memekik
keras. Tubuhnya kontan terpental sejauh tiga batang tombak. Keras sekali
Seruni jatuh ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun dia cepat
melompat bangkit meskipun tubuhnya limbung. Tampak darah menetes keluar dari
sudut bibirnya.
"Keparat..!" geram Seruni seraya menyeka darah di bibir dengan punggung
tangannya.
"Kembalilah kau ke Puncak Gunung Cakal, Seruni," kata Rampita datar.
"Phuih! Aku belum kalah!" bentak Seruni. Sesaat kemudian Seruni
merentangkan tangannya ke samping, dan dengan cepat merapatkan kedua telapak
tangannya di atas kepala. Pelahan tangannya turun sampai ke depan dada.
Lalu....
"Hiyaaa...!" sambil berterik keras, Seruni menghentakkan tangannya ke
atas!
Seketika itu juga, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja bertiup angin
kencang menderu-deru. Dan udara di sekitar tempat ini menjadi dingin
membekukan. Tak lama kemudian dari langit turun butir-butir putih seperti
gumpalan kapas yang melayang layang jatuh ke bumi. Udara pun semakin terasa
dingin. ,
"Hmmm...," Rampita bergumam kecil.
"Ayo! Lawan aji 'Salju Menyiram Bukit', Rampita!" seru Seruni langsung
tertawa terbahak-bahak.
Rampita kemudian merapatkan kedua tangannya didepan dada. Kemudian
diliukkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri secara bergantian dengan kaki
tertekuk ke depan. Sebentar gadis itu menarik napas panjang, lalu....
"Aji 'Pati Agni'...!" seru Rampita keras.
Secepat tangan Rampita menghentak ke depan, seketika itu juga dari telapak
tangannya berkobar api yang mengeluarkan hawa panas membara. Melihat hal
itu, Seruni langsung merapatkan tangannya di depan dada. Dan sambil
berteriak keras, dihentakkan tangannya ke depan. Seketika itu juga badai
salju mengarah ke tubuh Rampita.
***
Agak lama juga kedua gadis itu bertarung ilmu kesaktian. Sementara Bayu
hanya dapat menyaksikan tanpa mampu berbuat ana-apa. Diam-diam Pendekar
Pulau Neraka itu mengagumi kedigdayaan kedua gadis cantik ini. Sungguh
dahsyat luar biasa ilmu kesaktian yang dimiliki mereka.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Dalam waktu yang bersamaan, kedua gadis itu berlompatan ke depan sambil
merentangkan tangan lurus ke depan. Dan pada satu titik, kedua telapak
tangan mereka beradu. Seketika terjadi ledakan dahsyat, disusul terpentalnya
tubuh masing-masing ke belakang. Tampak Rampita berjumpalitan diudara
beberapa kali sebelum kakinya mendarat manis ditanah.
Sedangkan Seruni jatuh berguling di tanah hingga membentur sebatang pohon.
Gadis itu menjerit keras, namun cepat bangkit berdiri. Dari mulutnya
menyemburkan darah kental. Kedua kakinya bergetar, dan tubuhnya limbung.
Seakan-akan dia tak mampu lagi berdiri.
"Ughk!" Seruni mengeluh. Sedangkan Rampita hanya tersenyum kecil. Tak
sedikit pun ada perubahan pada diri gadis berbaju hijau muda itu. Sikapnya
tenang, dan wajahnya menyiratkan kematangan jiwa dari seorang gadis yang
memiliki kepandaian tinggi. Sementara Seruni menggerak-gerakkan tangannya
didepan dada. Terdengar suara desisan panjang bagai ular.
"Beruang Putih! Bunuh dia!" perintah Seruni.
"Ghrauuughk...!" beruang putih yang sejak tadi diam mendekam, meraung keras
sambil mengangkat kepalanya ke atas. Binatang itu lalu bangkit berdiri
dengan kedua kakinya, dan kembali meraung. Sungguh luar biasa. Tinggi
beruang putih itu hampir menyamai pohon cemara.
"Ghraughk...!"
Sambil menggerung keras, beruang putih itu melompat menerjang Rampita. Satu
cakar depannya menyampok cepat, membuat Rampita terperangah sesaat Namun
secepat kilat gadis'itu melentingkan tubuhnya ke belakang menghindar. Tapi
angin sampokan beruang putih raksasa itu membuat tubuhnya tak terkendali.
Dan sebelum gadis itu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, beruang putih
raksasa itu sudah kembali menyampokkan tangannya.
Bret!
"Aaakh...!" Rampita menjerit keras. Sampokan beruang putih itu tak dapat
dihindari lagi. Kuku-kuku yang tajam berhasil merobek perut Rampita. Darah
merembes keluar seketika, dan gadis berbaju hijau itu terhuyung-huyung ke
belakang sambil mendekap perutnya.
Belum lagi Rampita bisa menguasai keadaan dirinya, beruang putih itu sudah
kembali menyerang sambil menggerung keras. Tak mungkin lagi Rampita
mengelak. Gadis itu hanya membeliak dengan wajah memerah. Dan pada saat kaki
depan beruang itu menyampok kembali, mendadak berkelebat sebuah bayangan
kuning menyambar tubuh Rampita.
Brak!
Sampokan beruang itu menghantam sebatang pohon yang sangat besar hingga
hancur berkeping-keping. Tampak dalam jarak yang cukup jauh, Bayu memondong
tubuh Rampita. Pendekar Pulau Neraka itu meletakkan Rampita di tempat yang
aman, kemudian langsung melompat menghadang beruang putih yang sudah berlari
mengejar ke arah mereka.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras. Bayu mengirimkan dua pukulan beruntun bertenaga
dalam sempurna sekali. Pukulan itu tak terelakkan lagi, dan tepat mendarat
di bagian dada beruang putih raksasa itu.
Duk! Bughk...!
"Ghraughk...!"
Beruang putih itu mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sambil
meraung keras. Dikibaskan cakar-cakarnya ke arah Pendekar Pulau Neraka.
Namun berkat kelincahan yang luar biasa cepatnya, Bayu berhasil mengelakkan
serangan beruang putih raksasa itu. Bahkan beberapa kali pemuda berbaju
kulit harimau itu berhasil mendaratkan pukulan dan tendangan keras bertenaga
dalam penuh.
Tapi sungguh luar biasa! Beruang putih raksasa itu hanya menggerung dan
langsung menyerang tanpa mengalami rasa sakit sama sekali. Bahkan
serangan-serangannya semakin dahsyat dan berbahaya, sehingga beberapa kali
Bayu harus berjumpalitan menghindarinya. Seluruh bagian tubuh dan kepala
beruang putih itu sudah kena hantaman bertenaga dalam tinggi dari Pendekar
Pulau Neraka, tapi tak satu pun yang mencederai binatang raksasa itu.
"Edan! Binatang apa ini...?!" dengus Bayu. Bayu memutar otaknya, mencari
cara untuk bisa mengalahkan binatang raksasa liar ini. Disadari kalau
binatang raksasa ini pasti tidak sembarangan. Sambil berpikir keras memutar
otak, Bayu terus memberi pukulan-pukulan keras dan tendangan menggeledek
bertenaga dalam sangat tinggi. Hal ini membuat binatang itu semakin marah,
sehingga mengamuk membabi buta. Akibatnya, tempat sekitar pertarungan hancur
berantakan.
"Binatang ini berbahaya sekali. Hhh! Terpaksa aku harus membunuhnya!"
dengus Bayu dalam hati. Pendekar Pulau Neraka itu kemudian melentingkan
tubuhnya ke udara hingga melewati kepala beruang putih itu. Dan sambil
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, dihantamkan satu pukulan keras di
tengah-tengah kepala binatang raksasa itu.
"Hiyaaa...!"
Des!
"Ghraughk...!"
Beruang putih raksasa itu mengibaskan tangannya ke atas sambil menggeleng
gelengkan kepala. Mungkin kepalanya terasa sakit terhantam pukulan bertenaga
dalam sempurna itu. Dan pada saat itu, Bayu melesat ke depan. Begitu kakinya
menjejak tanah, dengan tubuh setengah membungkuk, Pendekar Pulau Neraka itu
mengibaskan tangan kanannya.
Seketika itu juga Cakra Maut bersegi enam melesat secepat kiat. Dan tak
pelak lagi, senjata itu meng-hunjam tepat di antara kedua mata beruang putih
raksasa itu. Binatang itu kontan meraung keras. Bayu menghentakkan
tangannya, maka Cakra Maut kembali melesat balik dan menempel di pergelangan
tangan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hiyaaa...!"
Bayu tidak ingin lagi memberi kesempatan. Selagi beruang raksasa itu merasa
kesakitan akibat luka pada keningnya, Pendekar Pulau Neraka kembali
melontarkan Cakra Maut-nya. Seketika senjata bersegi enam itu kembali
melesat secepat kilat, dan kali ini menancap tepat di mata kiri binatang
raksasa itu. Secepat kilat Bayu melentingkan tubuhnya, dan langsung
melontarkan satu pukulan bertenaga dalam sempurna ke mata kanan beruang
putih itu.
"Aaarghk...!"
"Yeaaah...!"
Satu tendangan menggeledek disarangkan Pendekar Pulau Neraka tepat di dada,
membuat binatang raksasa itu limbung sambil meraung keras. Darah sudah
bercucuran mengotori bulu-bulu putihnya. Binatang raksasa itu tak dapat lagi
melihat, karena kedua matanya pecah berlumuran darah.
Sementara itu Bayu melirik pedang Seruni yang tertancap di pohon. Sedangkan
Cakra Maut sudah kembali menempel di pergelangan tangannya. Bagai seekor
tupai, Pendekar Pulau Neraka itu melompat, dan langsung mencabut pedang
Seruni. Tanpa menyentuh tanah lagi, pemuda berbaju kulit harimau itu
melentingkan tubuh sambil berjumpalitan di udara ke arah beruang putih
raksasa itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras, Bayu mengibaskan pedang yang telah diambil dari
pohon ke leher beruang putih itu. Tebasannya yang disertai pengerahan tenaga
dalam- tinggi itu tepat merobek leher beruang putih raksasa.
Bret!
"Yeaaah...!"
Crab!
"Aaargh...!"
"Hih!"
Bayu menusukkan pedangnya ke dada binatang raksasa itu hingga amblas sampai
ke tangkai. Ditarik pedang itu keluar sambil merobek dada beruang putih
hingga menganga lebar. Darah bercucuran deras membasahi tanah. Dan begitu
Bayu hendak menghunjamkan lagi pedang itu, beruang putih raksasa itu sudah
ambruk menggelepar di tanah.
Tring!
"Oh! Tidak!" tiba-tiba Seruni menjerit keras dan langsung menghambur ke
arah binatang kesayangannya.
Bayu melepaskan pedang itu ke tanah. Sebentar Pendekar Pulau Neraka
memandangi beruang putih raksasa itu, kemudian langsung melompat ke arah
Rampita yang duduk bersila di bawah pohon agak jauh dari tempat pertarungan.
Bayu membantu gadis itu berdiri dengan memeluk pinggangnya, lalu
menyampirkan tangan Rampita ke pundaknya.
"Tunggu dulu, Kakang," ujar Rampita ketika Bayu hendak membawanya
pergi.
Bayu menatap Seruni yang tengah memeluk dan menangisi binatang beruang
putih raksasa itu. Tidak lama Seruni menangis, kemudian bangkit berdiri
sambil mengambil pedangnya yang tergeletak di tanah. Gadis itu berdiri tegak
dengan mata merah basah menatap tajam Pendekar Pulau Neraka.
"Tunggu pembalasanku, Bayu!" desis Seruni dingin. Gadis itu langsung
melesat cepat pergi. Sedangkan Bayu hanya mendesah panjang saja. Kemudian
dibawanya Rampita pergi dari tempat itu. Tapi rupanya gadis itu cukup berat
terluka. Dia sepertinya tak mampu lagi berjalan. Tanpa meminta persetujuan
lagi, Pendekar Pulau Neraka itu memondong tubuh Rampita dan membawanya
pergi.
Kau harus segera diobati, Rampita," kata Bayu.
"Hhh...," Rampita hanya menarik napas kecil.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka memang sudah
mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga, dalam sekejap saja bayangan tubuhnya
sudah lenyap tak berbekas lagi. Seperti hilang ditelan lebatnya hutan di
sekitar Lembah Bunga ini.
Dan belum begitu lama Bayu pergi membawa Rampita, muncul seorang laki-laki
bertubuh cebol, berkepala botak, dan berperut buncit. Orang tua cebol yang
ternyata Eyang Banadu itu terperanjat begitu melihat seekor beruang putih
raksasa tergeletak berlumuran darah tak bernyawa lagi.
"Oh, beruangku...."
Eyang Banadu menubruk beruang putih itu, lalu memeluknya. Tapi sebentar
kemudian laki-laki tua itu bangkit berdiri, tepat pada saat Seruni muncul
bersama delapan orang gadis cantik. Mereka semua mengenakan baju putih.
Selendang biru melilit pinggang masing-masing bersama pedang yang tersampir
di punggung.
"Siapa yang melakukan ini, Seruni?" tanya Eyang Banadu.
"Bayu, Eyang," sahut Seruni.
"Hmmm..., Bayu. Nyawa beruang putihku harus ditebus dengan nyawamu. Kau
harus mampus, Bayu." geram Eyang Banadu.
Suara Eyang Banadu menggema ke seluruh pelosok penjuru mata angin. Tanpa
sadar, laki-laki tua cebol itu menggeram sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
Sementara itu, Bayu dan Rampita entah sudah berada di mana.
Nah! Pembaca yang budiman. Di manakah sebenarnya Bunga Cubung Biru itu?
Apakah yang akan terjadi bila Eyang Banadu berhasil bertemu Pendekar Pulau
Neraka? Ada hubungan apa antara Seruni dan Rampita? Jika Anda ingin tahu
semua jawabannya, tunggu kisah Pendekar Pulau Neraka berikutnya, dalam kisah
"RAHASIA DARA AYU".
Emoticon