7
Pembicaraan dengan Pak Penjaga
Peter, Colin, Jack, dan Skippy juga mengalami
memperhatikan jejak roda mobil di situ. Se-
sampainya di rumah tua, mereka melihat pintu
pagar pekarangan ditutup. Mereka menyandar-
kan diri ke pintu itu dan melihat jejak roda
yang menuju ke rumah.
”Itu jejak kakiku kemarin,” kata Peter sambil
menunjuk. ”Dan ctu kelihatan jejak kaki-kaki
Skippy. Tapi perhatikanlah, jejak kita terlihat
samar karena ada jejak lain di atasnya. Jejak
kaki yang lebih besar, dan jejak-jejak lain—
kelihatannya aneh.”
”Tampaknya seperti jejak seseorang yang
memakai sandal berbentuk bundar,” kata Jack
heran. "Siapa yang memakai sandal seperti
itu? Lihatlah! Jejak-jejak aneh kelihatan di
mana-mana. Seakan-akan orang yang me-
ninggalkan jejak itu sedang berontak! Mungkin
karena diseret masuk.”
Ketiga anak laki-laki itu bersandar di pintu
pagar, sambil memperhatikan jejak-jejak di
salju dengan saksama. Mereka mengikuti jejak-
jejak itu sampai tidak kelihatan lagi.
”Bisakah kalian melihat, apakah jejak-jejak
itu menuju ke pintu depan?” kata Colin. ”Dari
sini aku bisa melihatnya. Tapi kalau tak salah
lihat, salju di depan pintu itu masih halus.
Jadi belum diinjak orang.”
”Aku dapat melihatnya dengan jelas dari
sini,” kata Peter. ”Ayo kita masuk. Lagi pula
kita masih harus menanyakan pada penjaga,
apakah dia mendengar sesuatu tadi malam.
Jadi kita memang harus masuk.”
”Apa yang kita katakan nanti, jika dia me-
nanyakan kenapa kita ingin tahu?” kata Colin.
'Maksudku, jika dia terlibat dalam rahasia ini,
dia pasti akan marah jika mengira kita menge-
tahuinya.”
"Ya, mungkin dia akan marah,” kata Peter.
''Kita harus pintar bertanya. Lebih baik kita
pikirkan dulu masak-masak.”
Mereka berpikir.
"Ya, aku tak tahu cara lain. Bagaimana
kalau kita memancingnya saja? Kita tanyakan
padanya apakah dia tidak takut kalau ada
pencuri,” kata Peter pada akhirnya. ''Kita coba
saja, barangkali dia mau bicara.”
"Baiklah,” kata Colin. "Tapi rasanya, cara
begitu kurang meyakinkan. Lebih baik kita
masuk saja.”
Skippy lari mendahului, lalu menghilang di
pojok rumah. Ketiga anak laki-laki mengikuti
jejak dengan hati-hati. Mereka melihat jejak
sandal bundar tampak di mana-mana. Seakan-
akan pembuat jejak itu memberontak, dan me-
loncat ke sana kemari!
”Jejaknya tidak menuju ke pintu depan,”
kata Colin. ”Sudah kukira sejak tadi! Jejak-
jejak ini mengitari rumah lewat samping.
Lihatlah, arahnya melewati pintu samping, tem-
pat si penjaga keluar kemarin. Jejak itu me-
lewati jalan ini, dan menuju pintu dapur!”
”Eh, aneh sekali!” ujar Peter heran. ”Kenapa
ada orang yang berjalan melompat-lompat ke
pintu dapur, padahal ada pintu depan dan
pintu samping? Ya, di sini ada tiga bentuk
jejak. Dua jejak sepatu biasa, dan satu yang
seperti memakai sandal bundar. Aku tidak me-
ngerti!”
Mereka mencoba untuk membuka pintu da-
pur. Tapi tak berhasil karena terkunci. Mereka
mengintip lewat jendela. Di dapur tak kelihatan
ada orang. Yang ada cuma kompor gas, bak
cuci piring yang penuh dengan perabotan kotor,
serta sebuah ember di dekatnya.
”Rupanya Pak Penjaga hanya memakai dapur
dan kamar depan,” kata Jack.
Tiba-tiba Peter berseru, ”Awas—itu dia da-
tang!”
Pak Penjaga berjalan terseok-seok masuk ke
dalam dapur. Ia melihat ketiga anak laki-laki
yang sedang mengintip. Dengan marah, jendela
dibukanya.
”Jika kalian mencari anjing, dia ada di pe-
karangan depan!” teriaknya. "Sekarang pergi
dari sini! Aku tidak senang ada anak-anak
yang bermain di sini. Nanti tahu-tahu kalian
sudah memecahkan jendela!”
"Tidak, kami bukan hendak bermain-main
di sini!” Jack berteriak agar kata-katanya ter-
dengar oleh bapak tua yang tuli itu. "Kami
hanya hendak mengambil anjing kami lalu
pergi kembali. Maaf, karena dia berani-berani
masuk kemari.”
"Bapak tidak kesepian sendirian di sini?”
teriak Colin. "Tidak takut pencuri?”
"Tidak. Aku tidak takut,” seru bapak tua itu
agak meremehkan. ”Aku punya senjata, tongkat
besarku ini. Lagi pula, di sini tak ada barang
berharga untuk dicuri.”
"Tapi kenyataannya, ada orang yang berjalan
menuju pintu belakang!” jerit Peter. Ia melihat
kesempatan untuk membicarakan persoalan
jejak rahasia dengan penjaga tua itu, sambil
menyelidiki kalau-kalau ia mengetahui sesuatu.
Peter menunjukkan jari ke arah jejak yang
menuju ke pintu belakang. Pak Penjaga men-
julurkan badan ke luar jendela dan memperhati-
kan jari telunjuk Peter.
”Itu kan jejak kalian sendiri. Menginjak-
injak pekarangan orang tanpa izin!” bentaknya.
”Bukan, itu bukan jejak kami. Aku berani
taruhan, pasti ada pencuri atau orang lain
datang kemari semalam!” seru Peter. Ketiga
anak laki-laki itu memperhatikan wajah Pak
Penjaga. Mereka ingin melihat, apakah air
mukanya berubah.
”Eh!” teriaknya. ”Kalian rupanya ingin me-
nakut-nakuti aku ya!”
”Tidak, aku bukan mau menakut-nakuti!”
balas Peter dengan suara nyaring. '"Apakah
Bapak mendengar sesuatu tadi malam? Jika
ada pencuri mencoba masuk, apakah Bapak
mendengarnya?”
”Aku ini tuli!” seru Pak Penjaga. ”Aku tak
bisa mendengar apa-apa—eh, nanti dulu. Ya,
rasanya aku mendengar sesuatu tadi malam.
Tapi aku lupa. Eh, benar juga. Aneh!”
Ketiga anak yang berdiri di depan jendela
hampir-hampir tak bernapas karena terlalu ber
minat.
”Apa yang Bapak dengar?” tanya Jack. Tapi
ia lupa berteriak. Karena itu Pak Penjaga tidak
memedulikannya. Orang tua itu mengerutkan
dahi. Mukanya yang sudah keriput kelihatan
semakin keriput.
"Rasanya aku mendengar suara memekik
atau bunyi lain seperti itu,” katanya perlahan.
”Kukira telingaku yang mendengung. Telingaku
memang sering mendengung. Karena itu aku
tidak bangun untuk memeriksa. Tetapi tidak
ada barang yang dicuri. Juga tidak terjadi
kerusakan sama sekali. Jadi untuk apa aku
repot-repot? Kalau ada orang mau menjerit,
biarlah dia menjerit!”
”Apakah pekikan itu terjadi di dalam ru-
mah?” pekik Peter.
”Kalau pekikannya teijadi di luar, aku tak
mungkin mendengarnya,” kata orang tua itu.
”Aku ini sudah tuli benar.” Tiba-tiba Pak Pen-
jaga mulai curiga. ”Ah, kalian ini cuma mau
mempermainkan aku. Mau menakut-nakuti
orang tua. Kurang ajar!”
”Bolehkah kami masuk dan memeriksa ke
dalam?” seru Colin. Kedua temannya meman-
dang penjaga itu dengan penuh harapan. Me-
reka mengharapkan orang tua itu akan meng-
izinkan. Tapi tentu saja hal itu tidak terjadi.
”Berani benar kalian ini, meminta masuk!”
teriak Pak Penjaga. ”Aku tahu anak-anak se-
perti kalian ini. Kegemarannya mengganggu
orang lain, membuang-buang waktuku. Seka-
rang keluar semuanya! Jangan berani datang
kemari dengan dongeng tentang pencuri dan
sebagainya. Ayo pergi!”
Tepat pada saat itu Skippy datang berlari-
lari. Ia melihat penjaga tua yang sedang marah
di jendela. Skippy meloncat ke arahnya, mak-
sudnya hendak memberi salam. Pak Penjaga
meloncat mundur ketakutan. Dikiranya Skippy
hendak menggigit. Pak tua itu menjulurkan
badan ke luar, dan mengayunkan tongkat hen-
dak memukul. Skippy mengelak lalu meng-
gonggong.
"Kuhajar nanti anjing kalian!” seru pak tua
itu. ”Ya, dan kalian juga sekaligus. Berani-
berani menggoda orang tua. Tunggu saja! Tahu
rasa nanti!”
Penjaga tua pemarah itu menghilang, keluar
dari dapur.
”Dia pasti akan muncul dari pintu sam-
ping,” kata Peter. ”Ayo, kita pergi saja. Kita
sudah mengetahui hal-hal yang ingin kita ke-
tahui. Lagi pula, suaraku sudah serak karena
berteriak-teriak! ”
8
Sekali Lagi Rapat
Pertemuan sore itu ramai dan menarik, semua-
nya membawa laporan. Mereka tiba di gudang
tua tepat pada waktunya. Kata sandi terdengar
disebutkan berturut-turut.
”Pekan!”
”Pekan!”
”Pekan!”
Ketujuh anggota masuk satu per satu dan
tak lama kemudian semuanya sudah lengkap
duduk di dalam gudang. Semuanya kelihatan
seperti orang penting. Skippy duduk di dekat
Peter dan Janet. Telinganya yang panjang ter-
kulai ke bawah, memberikan kesan pintar.
”Pam dan George, kalian yang menyampai-
kan laporan pertama,” kata Peter.
Kedua anak itu menyampaikan laporan.
Mereka bercerita bahwa mereka berhasil me-
nyelidiki rumah tua yang kosong itu, dan
bahwa rumah itu telah dijual beberapa waktu
yang lalu kepada seseorang bernama J.
Holikoff. Tapi pemiliknya tak pernah tinggal
di sana.
”Kau mencatat alamatnya?” tanya Peter.
”Mungkin penting artinya.”
”Oh ya,” kata George. Ia mengeluarkan buku
catatannya, lalu membaca alamat yang tertulis
di dalamnya.
”Bagus! Mungkin kita harus menghubungi-
nya jika nanti ternyata ada hal-hal aneh yang
terjadi di rumah kosongnya,” kata Peter.
Pam dan George merasa sangat bangga.
Kemudian menyusul laporan Janet dan Bar-
bara. Mereka bercerita bahwa jejak mobil da-
tang dari arah kota Templeton, kemudian mobil
itu berhenti di depan pintu pagar rumah tua,
seperti yang dilihat Jack semalam. Selanjutnya
mereka juga melaporkan bahwa jejak mobil
mengarah ke lapangan di pinggir sungai, masuk
ke lapangan, berputar di situ, kemudian keluar
lagi. Dilaporkan juga bahwa dari jejak roda,
tampak jelas kendaraan itu bolak-balik melalui
jalan yang sama.
"Pekerjaan kalian memuaskan,” kata Peter.
Janet mengeluarkan buku catatannya, wajah-
nya agak memerah. ”Aku juga masih mem-
punyai laporan lain,” katanya. Ia menunjuk-
kan gambar jejak roda yang telah dibuatnya.
”Aku tak tahu apakah ada gunanya bagi kita.
Tapi ini gambar jejak roda mobil atau gero-
bak gandengannya. Aku juga mengukur lebar-
nya.
Semua memperhatikan gambar yang di-
tunjukkan Janet. Kelihatannya sama sekali tidak
mengesankan, tetapi Peter puas.
"Walaupun gambar ini tidak ada gunanya,
gagasanmu untuk membuatnya bagus sekali,”
ujarnya. "Misalkan saja jejak roda ini penting
artinya—sedangkan salju sudah mencair—
gambarmu ini satu-satunya pegangan yang kita
punya untuk mengetahui jenis roda.”
"Ya, menurut pendapatku, kau telah bekerja
dengan baik, Janet,” Colin memuji adik teman-
nya itu.
Janet kelihatan sangat bangga. Buku catatan
disimpannya kembali. "Sekarang giliran kalian
bertiga untuk menyampaikan laporan,” kata
Janet, meskipun ia sendiri sudah mendengar
sebagian dari Peter, sewaktu menunggu teman-
teman datang.
Peter yang menyampaikan laporan, mewakili
Colin dan Jack. Yang lain-lain mendengarkan
dengan serius. Kelihatan semuanya sangat ter-
tarik.
"Jadi, tadi malam memang ada orang yang
datang ke rumah tua itu, kemudian masuk
lewat pintu dapur, karena jejak kaki di salju
mengarah ke situ,” kata Peter mengakhiri
laporannya. "Dan menurut perkiraanku, di situ
ditinggalkan seorang tawanan.”
Napas Pam tersentak. "Tawanan? Apa mak-
sudmu?”
"Bukankah sudah jelas bahwa ada tawanan
dalam mobil gandeng yang tak berjendela itu?
Seorang tawanan yang tak boleh dilihat maupun
didengar orang lain. Seseorang yang diseret ke
dapur dan dipaksa masuk, kemudian disem-
bunyikan di salah satu tempat dalam rumah
itu. Seseorang yang disakiti dan memekik,
begitu nyaring pekikannya sehingga Pak Penjaga
yang tuli juga mendengarnya,” ujar Peter.
Teman-temannya kelihatannya kurang enak
dan gelisah.
”Wah, aku tidak suka mendengarnya,” kata
Colin. Tak ada yang senang mendengarnya.
Seram rasanya membayangkan seorang ta-
wanan malang yang menjerit-jerit, terkurung
di salah satu tempat dalam rumah tua yang
kosong.
"Bagaimana dengan makanannya?” kata
Colin pada akhirnya.
"Ya, dan bagaimana dengan air minumnya,”
sambung Janet. ”Lagi pula, mengapa orang
itu terkurung di situ?”
"Mungkin dia diculik,” kata Jack. ”Wah,
kalau dugaan kita ini benar—persoalannya
benar-benar gawat.”
Beberapa saat lamanya semua membisu, si-
buk dengan pikiran masing-masing.
"Apakah sebaiknya kita katakan pada orang-
tua kita?” tanya Pam.
"Atau barangkali ke polisi saja?” sambung
Jack.
"Nanti dulu! Kita harus menyelidiki dulu
lebih jauh,” kata Peter menenangkan. "Mungkin
saja persoalan biasa. Misalnya saja mobil salah
jalan atau hal semacam itu.”
”Eh, aku dapat kesimpulan bani!” kata Jack.
"Mobil gandengannya—mungkin saja semacam
ambulans, bukan? Maksudku, ambulans yang
dipakai orang-orang untuk mengangkut pasien
ke rumah sakit! Mungkin mobil itu ambulans
yang salah jalan, kemudian berhenti ketika
tahu telah tersasar. Sedang suara pekikan ada-
lah pasien yang menjerit kesakitan.”
"Tapi Pak Penjaga mengatakan dia juga men-
dengar suara orang memekik di dalam rumah,”
kata Peter. "Tapi tentu saja mungkin cuma
dengungan di kepalanya. Katanya, hal itu
kadang-kadang dialaminya. Memang, Jack,
mungkin saja yang datang itu sebuah ambulans
yang ditarik mobil. Meskipun harus kukatakan,
aku belum pernah melihat ambulans seperti
itu.”
"Pokoknya, kita jangan bilang siapa-siapa
dulu, sebelum kita sendiri membuktikan bahwa
hal yang aneh benar-benar telah terjadi,” kata
Colin. "Kita nanti akan malu jika sudah me-
laporkan pada polisi, tapi ternyata semuanya
cuma persoalan biasa.”
"Betul katamu. Kita jangan terburu-buru
menceritakan rahasia ini pada orang lain,”
ujar Peter. "Tapi tentu saja kita sendiri harus
berbuat sesuatu. Kita tidak bisa membiarkannya
begitu saja.”
”Tentu saja kita harus berbuat sesuatu,” kata
George "Tapi apa yang harus kita lakukan?”
"Sebaiknya kita pikirkan dulu,” kata Peter.
Sekali lagi ketujuh anak itu berpikir. Langkah
manakah yang sebaiknya diambil sekarang?
Akhirnya Jack yang membuka mulut.
”Aku mendapat akal!” katanya. ”Tapi agak
menyeramkan. Sebaiknya para anggota perem-
puan tak usah ikut.”
"Kami tak boleh ikut?” protes ketiga anak
perempuan serempak.
”Persoalannya begini. Jika betul ada seorang
tawanan terkurung dalam rumah itu, dia pasti
harus diberi makan dan minum,” kata Jack
menerangkan. ”Dan orang yang memberi
makan-minum harus datang ke situ pada ma-
lam hari. Betul, kan? Jadi, bagaimana jika
kita bergiliran setiap malam untuk mengawasi
rumah tua itu? Kita perhatikan siapa yang
masuk, barangkali juga membuntuti untuk me-
lihat ke mana dia pergi, serta melihat siapa
yang ditahan di dalam rumah.”
"Kelihatannya gagasanmu bagus juga,” kata
Peter. ”Tapi giliran menjaga harus dilakukan
berdua. Aku tak mau pergi sendiri dan ber-
sembunyi di sana malam hari!”
"Kwrasa, barangkali malam ini akan ada
orang datang,” kata George. "Mengapa tidak
kita berempat saja yang mengintai di sana?”
”Wah, susah jika berempat! Di mana harus
bersembunyi supaya tidak kelihatan?” kata
Colin.
”Aku ada akal! Lebih baik kita membungkus
badan kita dengan kain putih. Kita meng-
gabungkan diri dengan boneka salju di la-
pangan!” Sebetulnya Peter berkata begitu untuk
berkelakar saja. Tetapi ketiga anggota yang
laki-laki menyambut usulnya dengan gembira.
”Oh ya, Peter! Itu bagus! Jika kita mem-
bungkus badan dengan kain putih, pasti takkan
ada yang mengira kita bukan boneka salju,”
ujar Colin.
"Dari tempat itu kita bisa memperhatikan
jalan. Kita dapat mendengar dan melihat semua
orang yang datang,” sambung George.
”Kalau ada yang datang, dua orang dari
kita bisa membuntuti masuk ke rumah. Dua
orang lagi menjaga di luar dengan menyamar
sebagai boneka salju. Kalau yang di dalam
mengalami kesulitan, kedua teman yang di
luar bisa meminta tolong,” kata Jack. ”Aku
kepingin berdiri di luar, di antara boneka-
boneka salju. Tapi kita harus membungkus
badan supaya hangat.”
”Kami tak boleh ikut?” tanya Pam.
”Aku tak mau ikut!” kata Barbara dengan
segera.
”Memang kalian sebaiknya tidak ikut,” kata
Peter. ”Malam ini yang beraksi hanya para
anggota laki-laki!”
”Wah, hebat!” seru Jack. Matanya berkilat-
kilat karena gembira. ”Bagaimana dengan
Skippy, apakah dia juga ikut?”
"Rasanya lebih baik kita mengajaknya,”
jawab Peter. "Kalau kusuruh diam, dia bisa
diam.”
"Akan kubuatkan jubah kecil putih untuk-
nya,” kata Janet. "Dengan begitu dia juga tak
bisa terlihat lagi. Dia akan kelihatan seperti
sebongkah salju!”
Ketujuh anak itu mulai bersemangat.
"Pukul berapa kita pergi nanti?” tanya
Colin.
"Bukankah semalam orang-orang itu datang
sekitar pukul setengah sepuluh?” kata Jack.
"Jadi, malam ini kita beraksi pada saat yang
sama. Kalian berkumpul di sini sekitar pukul
sembilan malam nanti. Wah, bukan main!
Rahasia ini mulai asyik!”
9
Aksi Malam Hari
Sepanjang sore Janet sibuk membuat jubah
putih untuk Skippy. Peter mengambil sehelai
seprai putih, dan menemukan mantel tua ber-
warna putih. Seprai putih itu sangat lebar.
Peter berpendapat sebaiknya seprai itu dipotong
menjadi empat bagian, untuk dipakai ketiga
temannya dan dirinya sendiri.
Janet membantunya memotong seprai, lalu
membuatkan lubang-lubang untuk leher dan
lengan. Ia tertawa geli ketika Peter mencoba
mengenakan salah satunya.
”Kau kelihatan aneh,” katanya. ”Tapi bagai-
mana dengan kepalamu? Bagaimana hendak
kausembunyikan rambutmu yang cokelat tua
itu? Malam ini terang bulan!”
”Kau harus membuatkan topi putih atau
barang sejenis itu untuk kami berempat,” kata
Peter. "Sedangkan wajah kami akan dicat
putih!”
”Di gudang ada kapur sedikit,” kata Janet.
Ia cekikikan lagi. ”Ya ampun, kau pasti akan
kelihatan aneh! Boleh kan, aku datang ke
gudang pukul sembilan nanti? Aku ingin me-
lihat penampilan kalian sebelum berangkat.”
"Baiklah, jika kau bisa menyelinap keluar
tanpa dilihat siapa-siapa,” kata Peter. "Kalau
tidak salah, Mom akan keluar malam ini. Jadi
mestinya bisa! Tetapi kalau Mom tidak jadi
keluar, jangan pergi. Karena jika kau membuat
ribut, nanti semuanya gagal!”
Ternyata ibu mereka malam itu pergi. Janet
bersyukur. Sekarang ia bisa menyelinap ke
gudang dengan mudah. Peter mengatakan pada-
nya agar jangan lupa membungkus badan de-
ngan pakaian hangat. Dan kalau sampai ter-
tidur, jangan bangun lagi!
”Aku pasti takkan tertidur!” kata Janet kesal.
”Kau tahu hal itu takkan terjadi. Kau sendiri
yang seharusnya berjaga-jaga, jangan sampai
tertidur!”
"Jangan mengejek,” tukas Peter. "Mana
mungkin ketua Serikat sampai tertidur dalam
menghadapi rencana sepenting ini! Janet, kali
ini Sapta Siaga benar-benar menghadapi pe-
tualangan hebat!”
Pukul setengah sembilan malam lampu da-
lam kamar kedua anak itu dipadamkan. Dari
luar, kedua kamar kelihatan gelap. Tapi di
dalam dinyalakan lampu senter. Janet sibuk
sekali memasangkan jubah putih ke badan
Skippy. Tapi anjing itu sama sekali tidak me-
nyukainya. Jubah yang membungkus badannya
digigit-gigitnya.
”Oh, Skippy, jangan membandel! Kau tak
boleh ikut kalau tidak kelihatan seperti anjing
salju,” kata Janet hampir putus asa. Entahlah,
apakah Skippy memahami kata-katanya atau
tidak—tapi pokoknya sejak saat itu Skippy
membiarkan Janet memasangkan jubah. Setelah
selesai terpasang, anjing itu kelihatan aneh
dan sangat sedih.
”Ayo, jika kau masih ingin ikut. Sudah
hampir pukul sembilan sekarang,” terdengar
suara berbisik. Ternyata Peter sudah menunggu
di luar. Mereka berdua menuruni tangga de-
ngan diam-diam, diikuti oleh Skippy. Badan
mereka bertiga terbungkus hangat. Tetapi begitu
mereka sampai di luar, ternyata udara tidak
sedingin yang diperkirakan.
"Salju mencair! Malam ini suhu rupanya
tidak turun,” bisik Janet.
”Mudah-mudahan boneka salju kita belum
mencair,” kata Peter khawatir.
”Ah, pasti belum” ujar Janet. ”Cepat, aku
bisa melihat salah satu dari teman-teman kita.”
Kata sandi dibisikkan pelan-pelan di pintu
gudang. Tak lama kemudian lima dari ketujuh
Sapta Siaga telah hadir. Peter menyalakan lilin.
Mereka berpandangan dengan perasaan gem-
bira.
”Kita harus mengecat muka kita dengan
kapur, serta mengenakan jubah putih,” kata
Peter. ”Setelah itu kita siap untuk pergi.”
Jack tertawa cekikikan. ”Coba lihat si
Skippy! Ia juga berpakaian putih! Skip, rupamu
aneh.”
Skippy menggonggong dengan suara lesu.
Ia memang merasa aneh. Skippy yang malang.
Sambil tertawa-tawa, keempat anak laki-laki
itu mengecat muka mereka dengan kapur. Se-
belumnya mereka memakai jubah putih agar
mantel mereka tidak kotor. Janet memasangkan
topi-topi kecil putih yang telah dibuatnya ke
kepala setiap anak.
”Aduh! Aku tak mau ketemu kalian di jalan
malam ini!” ujar Janet. ”Kalian kelihatan me-
nakutkan!”
”Sudah waktunya kita pergi,” kata Peter.
”Janet, sekarang kau tidur saja. Besok pagi
akan kuceritakan pengalaman kami. Nanti aku
akan masuk dengan hati-hati, supaya kau tidak
terbangun.”
”Aku takkan tidur sebelum kau pulang!”
kata Janet.
Anak itu melihat Peter pergi bersama ketiga
temannya. Mereka bergerak di jalan yang di-
terangi sinar bulan. Empat sosok tubuh ber-
jubah putih, dengan wajah dilaburi kapur. Me-
reka memang kelihatan seperti boneka salju
yang sedang berbaris.
Dengan hati-hati mereka bergerak di jalan
yang menuju ke rumah tua. Mata mereka
bergerak kian kemari, kalau-kalau ada orang
lewat.
Tapi mereka tidak berpapasan dengan siapa
pun juga. Hanya ada seorang anak laki-laki
yang tiba-tiba muncul di pojok jalan. Karena
tempat itu bersalju, keempat anggota Sapta
Siaga tak sempat mendengar langkahnya. Me-
reka tertegun ketika anak itu muncul.
Anak itu berhenti. Matanya melotot, me-
mandang keempat boneka salju hidup dengan
penuh ketakutan.
’liiih!” erangnya. ”Hii—siapa kalian?”
Peter mengeluarkan suara erangan. Suaranya
menyeramkan sekali, sehingga anak laki-laki
itu gemetar karena ngeri. ”Toloong! Ada bo-
neka salju hidup! Tolooong!”
Ia lari kocar-kacir sambil berteriak-teriak.
Keempat anggota Sapta Siaga yang sedang
menyamar tak mampu menahan rasa geli. Me-
reka tertawa cekikikan, sambil menyandarkan
diri di pagar.
”Aduh, ya ampun!” kata Jack di sela-sela
tawanya. "Hampir meledak tawaku tadi, ketika
kau mengerang seseram itu. Hahaha, kau hebat,
Peter!”
”Ayo! Kita pergi saja dari sini sebelum
anak itu datang lagi bersama orang lain,” kata
Peter. Mereka meneruskan peijalanan sambil
tertawa-tawa. Mereka membelok ke jalan yang
menuju ke rumah tua. Tak lama kemudian,
mereka sudah sampai. Rumah itu kelihatan
sepi dan gelap. Hanya atapnya yang putih
ditimpa sinar bulan.
”Rupanya belum ada orang,” kata Peter.
”Di mana-mana belum kelihatan lampu me-
nyala. Juga tak terdengar suara sama sekali.”
”Kalau begitu, kita masuk saja dan meng-
gabungkan diri dengan barisan boneka salju,”
ujar Jack. ”Peter! Coba kaularang Skippy, ja-
ngan terus-terusan menyelinap di antara kakiku.
Aku nanti tersandung!”
Mereka berempat memanjat pintu pagar, lalu
masuk ke lapangan. Keempat boneka salju
masih tegak di sana. Tapi sayang, keempat-
empatnya sudah mulai mencair, dan sudah tak
sebesar tadi pagi lagi. Skippy maju dan mengen-
dus boneka-boneka itu. Peter memanggilnya.
”Skip, kemari! Kau hams diam seperti kami!
Dan awas, kau tidak boleh menggonggong.
Mendengking pelan-pelan juga tidak boleh!”
Skippy mengerti. Anjing itu berdiri seperti
patung di sebelah Peter. Keempat anak dan
seekor anjing berdiri di lapangan. Kelihatannya
seperti boneka-boneka salju di atas lapangan
bersalju.
Mereka menunggu di situ. Mereka terus
menunggu. Tapi tak seorang pun yang datang.
Mereka menunggu selama setengah jam. Lam-
bat laun mereka mulai ked ingina n.
”Salju di bawah kakiku mulai mencair,”
keluh Jack. ”Peter, menurutmu, masih berapa
lama lagi kita hams berdiri di sini?”
Kedua temannya juga sudah mulai bosan.
Padahal tadinya mereka sudah bertekad, kalau
perlu akan menunggu hingga tengah malam di
situ, bersama keempat boneka salju. Tapi ter-
nyata setengah jam saja sudah terasa terlampau
lama.
”Tidak bisakah kita berjalan-jalan sebentar?”
usul Colin. Rupanya ia sudah tak sabar lagi.
”Pokoknya, asal badan kita menjadi hangat
kembali.”
Peter baru saja hendak menjawab usul itu,
tapi tak jadi. Tiba-tiba ia memasang telinga.
Peter mendengar sesuatu. ”Apa itu?”
Colin hendak berkata, tapi dilarang oleh
Peter. Dengan segera Colin menutup mulut.
Mereka berempat menajamkan telinga. Ter-
dengar sesuatu di kejauhan.
”Itu suara orang menjerit,” ujar Jack. ’Ttu
dia yang kudengar kemarin. Tapi kali ini hanya
samar-samar, dan jauh sekali. Kedengarannya
datang dari arah rumah. Terbukti memang ada
seseorang di situ!”
Tengkuk mereka merinding. Mereka me-
masang telinga lagi. Dan sekali lagi terdengar
suara aneh di kejauhan, memecah kesunyian
malam.
”Wah, pasti ada yang tidak beres,” ujar
Peter. ”Aku akan pergi ke rumah itu. Aku
ingin tahu, apakah di situ juga masih terdengar
suara pekikan tadi. Sebenarnya kita hams mem-
beritahu orang lain.”
”Ayo kita pergi bersama-sama,” ujar Colin.
Tapi Peter bersikap tegas.
”Tidak! Dua dari kita masuk. Yang dua lagi
tinggal di sini untuk berjaga-jaga. Itu kan
sudah kita tentukan tadi. Jack, kau ikut aku.
Colin dan George, kalian menunggu di sini.
Jaga kalau ada orang datang.”
Peter dan Jack menuju ke pintu gerbang
lapangan. Dua sosok tubuh putih dengan wajah
putih memanjat pintu gerbang, menyeberangi
jalan, dan berjalan menuju pintu pagar pe-
karangan rumah tua. Mereka membuka pintu,
dan menutupnya kembali sesudah mereka ma-
suk. Kini tidak terdengar apa-apa lagi.
Mereka berdua berjalan dengan hati-hati me-
nuju ke rumah tua, menjaga agar bayangan
mereka tak terlihat, bersiap-siap jika Pak
Penjaga kebetulan melihat ke luar. Sesampainya
di pintu depan, Peter mengintip ke dalam
lewat celah kotak surat. Tapi tak kelihatan
apa-apa. Tak ada lampu yang menyala di
dalam.
Lalu mereka berjalan menuju pintu samping,
mencoba untuk membukanya. Tentu saja pintu
itu terkunci. Kemudian mencoba pintu bela-
kang. Juga terkunci! Tapi tiba-tiba mereka
mendengar bunyi aneh. Bunyi mengetuk-ngetuk
terdengar nyaring dari dalam rumah. Kedua
anak itu berpegangan tangan. Ada apa di dalam
rumah tua yang kosong ini?
”He! Pak Penjaga lupa menutup jendela
tempat dia bicara dengan kita tadi pagi,” bisik
Jack tiba-tiba. ”Itu—jendelanya terbuka se-
dikit!”
”Eh, betul! Selanjutnya bagaimana? Kita ma-
suk saja dan berusaha menemukan orang yang
ditawan itu,” ujar Peter penuh semangat.
Dalam sekejap mata, kedua anak itu sudah
berada di dalam rumah. Mereka berdiri di
dapur yang gelap dengan hati berdebar keras.
Peter dan Jack menajamkan telinga. Tapi seka-
rang tak terdengar apa-apa lagi. Di mana ta-
wanan itu dikurung?
”Kita berani atau tidak memeriksa seluruh
rumah ini?” tanya Peter. Ia masih ragu. ”Aku
membawa senter.”
”Tentu saja berani, karena kita harus me-
lakukannya,” jawab Jack. Mereka pun ber-
jingkat-jingkat, mula-mula ke ruangan kecil
tempat menyimpan makanan. Sesudah itu ke
ruangan berikutnya! Tapi tak ada siapa-siapa
di situ.
"Sekarang kita masuk ke ruang depan. Dari
situ kita mengintip ke kamar-kamar,” ujar Peter.
Kamar-kamar depan terang bermandikan
sinar bulan. Tapi kamar-kamar sebelah bela-
kang gelap. Kedua anak itu mendorong pintu
tiap-tiap kamar, lalu menyorotkan senter ke
dalam. Tapi semua kamar itu kosong dan
sunyi.
Akhirnya mereka sampai di depan pintu
yang tertutup. Dari baliknya terdengar suara
sesuatu. Peter memegang lengan Jack.
”Ada orang di dalam. Pintu ini mungkin
terkunci. Tapi kucoba saja. Bersiaplah untuk
lari, jika kita dikejar!”
10
Terjebak!
Ternyata pintu itu tidak terkunci. Peter men-
dorongnya pelan-pelan. Tiba-tiba saja, suara
yang terdengar tadi menjadi lebih jelas. Me-
mang betul ada orang di dalamnya. Seseorang
yang sedang tidur mendengkur!
Kedua anak itu serempak mendapat pikiran
yang sama. Pasti itu Pak Penjaga! Peter
menjengukkan kepala lebih jauh ke dalam
kamar.
Sinar bulan menerangi kamar. Pak Penjaga
tidur di atas sebuah tempat tidur rendah yang
berantakan. Pak Penjaga rupanya sangat letih,
sehingga tak sempat berganti pakaian! Peter
berpaling. Maksudnya hendak keluar lagi. Tapi
tiba-tiba lampu senternya terbentur pintu, dan
jatuh ke lantai. Nyaring sekali kedengarannya!
Peter tidak berani bergerak karena ketakutan.
Tapi Pak Penjaga tetap mendengkur. Barulah
Peter ingat kembali, bahwa penjaga tua itu
tuli. Bunyi senter jatuh seribut itu pun tidak
didengarnya. Dengan hati-hati Peter menutup
pintu kembali. Mereka berdua berdiri di ruang ,
depan. Peter memeriksa lampu senternya,
kalau-kalau rusak karena jatuh. Tidak, lampu-
nya masih menyala. Bagus.
”Sekarang kita naik ke lantai atas,” bisiknya.
”Kau tidak takut kan, Jack?”
”Takut juga, tapi sedikit. Ayo!”
Mereka menuju ke tangga yang mengarah
ke atas. Anak tangganya berderik-derik di ba-
wah kaki mereka. Untung pak tua itu tuli!
Mereka sampai di tingkat pertama. Di situ ada
enam kamar. Keenam-enamnya diperiksa.
Semuanya kosong. Kemudian mereka naik lagi
ke lantai teratas.
”Sekarang kita harus hati-hati,” bisik Jack.
Ia berbisik pelan sekali, sehingga Peter hampir
tidak mendengarnya. ”Kamar-kamar di atas
ini saja yang belum kita periksa. Jadi, tawanan
itu pasti dikurung di dalam salah satu kamar
di sini.”
Tapi semua pintu kamar terbuka. Kalau
begitu, mana mungkin ada tawanan di dalam-
nya? Kecuali jika ia diikat! Kedua anak itu
mengintip ke dalam setiap kamar. Jantung
mereka berdebar-debar. Mereka khawatir kalau-
kalau melihat sesuatu yang mengerikan.
Tapi semua kamar di lantai teratas itu ter-
nyata juga kosong. Ada kamar yang gelap,
tapi kosong. Ada lagi yang terang disinari
bulan. Tapi juga kosong.
"Aneh!” bisik Jack. ”Terus terang, aku tak
mengerti! Mestinya suara yang kita dengar
tadi datang dari salah satu tempat dalam rumah
ini. Tapi sudah kita periksa semua kamar,
ternyata tak ada seorang pun—kecuali si Pak
Penjaga!”
Mereka berdiri di situ, sambil berpikir-pikir.
Mereka tak tahu apa yang harus mereka laku-
kan selanjutnya. Tiba-tiba terdengar suara je-
ritan samar. Kedengarannya seperti meringkik,
disusul oleh bunyi mendepak-depak dan
gedebak-gedebuk. Aneh!
”Memang benar! Ada yang ditawan di dalam
rumah ini. Orang itu mengetuk-ngetuk minta
tolong, sambil menjerit-jerit,” kata Peter. Ia
lupa berbisik. ”Orangnya ada di lantai bawah.
Tapi tadi kita sudah memeriksa seluruh
ruangan!”
Jack sudah berjalan menuruni tangga. ”Ayo!
Pasti kita tadi melupakan sesuatu. Barangkali
lemari besar, atau pintu rahasia,” serunya.
Mereka turun ke lantai bawah. Kedua anak
itu tak peduli lagi, kini berjalan dengan cepat.
Mereka sampai di dapur kembali. Bunyi yang
tadi terdengar kini berhenti. Kemudian ter-
dengar lagi. Jack memegang lengan Peter erat-
erat.
”Aku tahu dari mana datangnya bunyi itu.
Dari ruangan di bawah kita. Di situ ada gudang
di bawah tanah. Di situlah rupanya tawanan
itu dikurung!”
”Kalau begitu, kita harus segera memeriksa
ke situ,” ujar Peter. Akhirnya mereka menemu-
kan pintu yang menuju ke bawah. Letaknya di
pojok gelap, dalam lorong antara dapur dan
ruang penyimpanan makanan. Peter mencoba
membukanya. Eh, tertanya tak terkunci!
”Pintunya tak terkunci,” bisik Jack. ”Kalau
begitu, kenapa tawanan itu tidak melarikan
diri?”
Di balik pintu terdapat tangga batu yang
menuju ke bawah. Tempat itu gelap gulita.
Peter menyorotkan lampu senternya. Tidak ke-
lihatan apa-apa. Ia berseru dengan suara yang
agak gemetar, ”Siapa di situ? Ada orang di
bawah?”
Tapi tak terdengar jawaban. Peter dan Jack
mendengarkan dengan teliti. Dengan jelas ter-
dengar suara napas berat.
”Kami dengar napasmu!” seru Jack. ”Ayo,
katakan—siapa kau. Kami datang untuk menye-
lamatkanmu!”
Tapi tetap tak ada jawaban. Wah, ini benar-
benar menyeramkan! Kedua anak itu sekarang
sangat ketakutan. Mereka tak berani turun ke
bawah. Kaki mereka tak mau melangkah,
meskipun dipaksa. Tapi mereka juga berang-
gapan, hanya orang penakut yang pada saat
itu mundur dan lari keluar. Jadi mereka tetap
di situ.
Tiba-tiba mereka mendengar suara-suara lain.
Suara-suara yang berbicara dengan pelan di
tempat lain. Kemudian menyusul bunyi kunci
dimasukkan ke dalam lubang—dan bunyi pintu
yang didorong terbuka!
Jack panik. Dipegangnya Peter erat-erat.
"Ttu dia kedua orang yang kudengar kemarin
malam. Mereka sudah datang kembali. Cepat!
Kita harus bersembunyi sebelum ketahuan!”
Kedua sosok tubuh kecil terbungkus kain
putih tertegun sesaat. Mereka tidak tahu harus
ke mana. Kemudian Peter membuka jubah
dan topi putihnya. ”Jack, buka juga jubah dan
topimu,” ujarnya pada Jack. "Kalau hanya
bermantel, kita takkan mudah kelihatan, karena
warnanya gelap. Kita bisa bersembunyi di salah
satu sudut gelap.”
Bergegas mereka mencampakkan pakaian
samaran ke sebuah pojok, lalu menyelinap
masuk ke ruang depan. Di situ mereka me-
ringkuk di sebuah sudut. Mudah-mudahan saja
orang-orang yang datang itu langsung pergi
ke gudang bawah tanah!
Namun harapan mereka tak terkabulkan.
”Coba lihat sebentar, apakah si penjaga tua
sudah tidur,” kata suara yang satu! Dua sosok
tubuh masuk ke dalam ruang depan, untuk
membuka pintu kamar Pak Penjaga.
Tiba-tiba seorang di antara mereka melihat
wajah Peter yang dilabur dengan kapur, ke-
lihatan samar dan aneh dalam gelap. Peter
lupa menghapus coretan kapur di wajahnya!
”Astaga—lihat itu—di pojok! Apa itu?” seru
satu dari kedua orang yang masuk. ”Lihat—
itu, di sana. Apa itu, Mac?”
Keduanya memandang ke pojok, tempat
Peter dan Jack sedang meringkuk. ”Kelihatan-
nya seperti wajah orang! Wajah yang putih!”
kata orang yang dipanggil Mac. ”Aneh! Coba
nyalakan sentermu. Pasti itu cuma pantulan
sinar bulan!”
Orang kedua menyalakan senternya. Cahaya
terang memancar, dan seketika itu juga kedua
anak yang sedang meringkuk ketakutan ke-
tahuan. Dengan beberapa langkah panjang,
orang yang bernama Mac datang mendekat.
Peter dan Jack dipegangnya, diguncang-
guncangkan, lalu diberdirikan di depannya.
”Apa lagi ini? Bersembunyi di sini dengan
wajah dicat seperti itu! Apa yang kalian laku-
kan di sini?”
”Aduh! Lepaskan lenganku. Kau menyakiti
aku!” jerit Jack dengan marah. ”Kalian mau
apa di sini?”
”Apa maksudmu!” bentak orang yang ber-
nama Mac dengan kasar.
Bunyi gedebak-gedebuk mulai terdengar lagi.
Peter dan Jack memandang kedua orang yang
tak dikenal itu.
’Ttu yang kumaksudkan,” ujar Jack. ”Siapa
di bawah itu? Siapa yang kalian kurung di
situ?”
Jawaban yang diterimanya bukan kata-kata.
Kepalanya ditempeleng sehingga matanya ber-
kunang-kunang. Kemudian ia dan Peter diseret
ke sebuah lemari dan dikurung di dalamnya.
Entah mengapa, kedua orang itu kelihatannya
marah sekali.
Peter menempelkan telinga pada sebuah
celah yang terdapat pada pintu lemari. Ia ber-
usaha menangkap kata-kata kedua orang yang
mengumng mereka. Keduanya sedang berun-
ding.
”Apa yang harus kita lakukan sekarang?
Jika anak-anak itu memanggil orang, habis
riwayat kita!”
”Benar! Jadi kita terpaksa menahan mereka.
Kita kurung saja bersama-sama Kilat Biru!
Besok malam kita menjemputnya. Setelah itu
kita lari. Takkan ada orang yang mengetahui.
Saat itu proyek kita sudah selesai!”
”Bagaimana dengan kedua anak itu?”
”Kita tinggalkan saja terkurung di- sini. Kita
kirimkan surat pada Pak Penjaga, supaya turun
sebentar ke gudang. Surat itu sebaiknya harus
diterimanya lusa. Pasti dia akan kaget jika
melihat ada dua orang anak terkurung dalam
gudang! Biar tahu rasa mereka! Anak-anak
rewel!”
Peter masih mendengarkan terus. Siapa yang
disebut ”Kilat Biru”? Aneh benar nama itu! Ia
gemetar, ketika mendengar kedua orang yang
tak dikenal tadi datang mendekati lemari.
Tetapi pintu tidak mereka buka. Salah se-
orang—mungkin Mac—berseru lewat celah.
"Kalian boleh mengeram di situ, sampai
pekerjaan kami selesai.”
Kemudian bermacam-macam suara aneh me-
nyusul. Ada sesuatu yang kedengarannya se-
dang diangkut ke mang penyimpanan makanan.
Peter dan Jack mendengar bunyi meretih, se-
perti kayu yang sedang dibakar. Setelah itu
tercium bau menusuk hidung lewat celah-celah
pintu.
”Wahh! Mereka sedang merebus sesuatu.
Apa itu ya?” kata Peter. ”Baunya minta ampun.
Busuk sekali!”
Mereka tak bisa menerka, bau apa yang
tercium itu. Kemudian terdengar lagi suara
ribut seperti ada yang menjerit, bercampur
dengan dengusan. Lalu bunyi gedebak-gedebuk,
seakan-akan ada barang berat yang dientak-
entakkan ke lantai batu. Aneh, benar-benar
aneh!
Lemari tempat Jack dan Peter dikurung se-
benarnya lemari tempat menggantungkan
mantel. Tempatnya sempit, dingin, dan pengap.
Kedua anak itu gelisah. Senang juga hati me-
reka ketika datang salah seorang membukakan
pintu. Mereka disumh keluar.
”Sekarang, lepaskan kami,” kata Peter. Baru
saja ia membuka mulut, bahunya sudah dipukul
dengan keras.
"Jangan banyak bicara!” bentak salah satu
dari kedua orang yang memandang mereka
dengan marah. Jack dan Peter didorong dari
belakang, ke arah pintu gudang bawah tanah.
Keduanya didorong kuat-kuat, sehingga hampir-
hampir terjatuh di tangga. Pintu ditutup, lantas
dikunci dari luar. Wah, gawat! Sekarang mereka
juga terkurung!
Dari gudang di bawah mereka mendengar
suara. Astaga, Kilat Biru-kah yang di bawah
itu? Siapa sebenarnya Kilat Biru?
”Nyalakan lampu sentermu,” bisik Jack.
”Aku ingin tahu, siapa orang yang ditawan di
sini. Aku ingin melihat wujudnya!
11
Tawanan
Peter menyalakan lampu senter. Tangannya
gemetar. Apa yang akan mereka lihat sebentar
lagi?
Pemandangan yang tampak di bawah begitu
tak terduga, sehingga napas kedua anak itu
tersentak. Mereka memandang seekor kuda
yang bagus sekali. Dari telinga yang meruncing
ke atas serta mata yang terputar-putar, kelihatan
jelas bahwa kuda itu sama takutnya seperti
kedua anak yang memandangnya.
”Kuda!” ujar Jack dengan suara lemah. ”Ya
ampun, kuda!”
"Betul! Suara pekikan yang kita dengar tadi,
rupanya suara kuda ini meringkik. Sedang
gedebak-gedebuk adalah bunyi kukunya di
lantai batu, ketika dia sedang ribut ketakutan,”
ujar Peter. ”Oh, Jack, kasihan kuda ini! Jahat
benar kedua orang itu, mengurung seekor kuda
dalam kamar ini di bawah tanah! Untuk apa
mereka melakukannya?”
”Kudanya bagus. Kelihatannya seperti kuda
pacuan,” ujar Jack. ”Mungkinkah mereka yang
di atas itu mencurinya? Barangkali mereka
menyembunyikannya di sini untuk mengubah
warna bulunya, atau untuk melakukan hal-hal
lain. Pencuri kuda biasa melakukannya, supaya
pemiliknya tidak mengenali kudanya lagi. Se-
telah itu dijual dengan nama lain.”
”Aku tak tahu. Barangkali dugaaanmu
benar,” kata Peter. ”Aku hendak mendekati-
nya.
”Kau tak takut?” tanya Jack. ”Lihat itu,
matanya berputar-putar!”
"Tidak, aku tak takut,” jawab Peter. Ia biasa
bergaul dengan kuda di tempat pertanian ayah-
nya. Ia sudah mengenal kuda sejak kecil.
"Kasihan! Dia ingin diajak bicara dan ditenang-
kan.”
Peter menuruni tangga sambil bicara. "Rupa-
nya kau yang bernama Kilat Biru ya? Namamu
bagus sekali. Kau juga kuda yang bagus. Ja-
ngan takut, Manis. Aku temanmu. Biarkan
aku mengusap hidungmu yang lembut. Nanti
kau akan tenang!”
Kuda itu meringkik sambil beijingkrak men-
jauh. Tapi Peter tidak takut. Ia terus maju
mendekati kuda yang sedang ketakutan itu.
Diusap-usapnya hidung lembut binatang itu.
Kuda itu berdiri tak bergerak, tapi tiba-tiba ia
menempelkan hidungnya ke bahu Peter sambil
mendengus-dengus pelan.
"Kemarilah, Jack. Kuda ini sudah tenang
sekarang,” panggil Peter. "Coba lihat, bukan
main bagusnya! Jahat sekali orang-orang itu—
mengurung kuda dalam gudang gelap seperti
ini. Benar-benar keterlaluan!”
Jack ikut turun ke bawah. Diusap-usapnya
punggung kuda itu, lalu berseru, "Ih! Pung-
gungnya basah dan lengket!”
Peter mengarahkan cahaya senter ke pung-
gung kuda. Ternyata benar, kelihatan basah
dan berkilat. "Jack! Kau benar! Rupanya kedua
orang tadi mengecat bulunya!” seru Peter.
"Punggungnya masih basah karena cat!”
"Rupanya ini bau yang kita cium tadi. Rupa-
nya mereka sedang merebus cat untuk mengu-
bah warna bulunya,” ujar Jack. "Kilat Biru
yang malang! Kau diapakan oleh mereka?”
Untuk tempat berbaring kuda itu, tersedia
setumpuk jerami di satu pojok. Sedang di
pojok lainnya terdapat palung berisi rumput
kering. Dalam sebuah ember besar ada gandum
makanan kuda, sedang dalam ember lain ter-
sedia air.
"Nah, kalau kita ingin berbaring, kita ter-
paksa mengambil jerami itu sedikit,” ujar Peter.
"Untuk makan, itu ada gandum!”
"Ah, rasanya kita tak perlu khawatir,” jawab
Jack. "Aku berani bertaruh, sebentar lagi Colin
dan George akan datang mencari kita. Begitu
kita mendengar mereka datang, kita berteriak-
teriak sekuat tenaga!”
Keduanya duduk di atas jerami sambil me-
nunggu. Kilat Biru juga memutuskan untuk
ikut berbaring. Jack dan Peter menyandarkan
badan ke tubuh kuda yang hangat. Mereka
hanya menyayangkan bau cat celup yang ter-
lalu menusuk hidung.
Di luar, di lapangan bersalju yang mulai
mencair, Colin dan George menunggu dengan
perasaan tak sabar. Rasanya sudah terlalu lama
mereka berdua menunggu. Mereka melihat Jack
dan Peter menghilang di balik pagar peka-
rangan rumah tua. Dengan susah payah, mereka
berhasil juga menahan Skippy yang berusaha
menyusul. Setelah itu mereka berdiri diam-
diam selama setengah jam, sambil menunggu
Peter dan Jack kembali. Tiba-tiba Skippy mulai
menggeram.
”Rupanya dia mendengar sesuatu,” kata
Colin. ”Ya, betul—ada mobil datang. Mudah-
mudahan saja bukan orang yang kemarin.
Kalau mereka yang datang, Peter dan Jack
pasti akan terjebak!”
Tapi yang datang memang orang yang ke-
marin. Kali ini mobil mereka tidak meng-
gandeng apa-apa. Mobil itu berhenti di depan
pintu pagar rumah tua. Dua orang keluar dari
dalam mobil. Tiba-tiba Skippy menyalak de-
ngan keras. Colin segera memukulnya. ”Tolol!”
desis anak itu. ”Sekarang kau membuka rahasia
kita. Kita akan ketahuan!”
Satu dari kedua orang yang turun dari mobil
datang ke dekat pagar lapangan. Ia memandang
keenam "boneka salju”.
”Hei! Kemari sebentar!” katanya memanggil
temannya. Yang dipanggil datang menghampiri.
Colin dan George gemetar ketakutan.
”Apa? Ah, itu. Kemarin kan kita sudah
melihat boneka-boneka itu. Kau sudah lupa
ya?” katanya. ”Rupanya hari ini ada lagi anak-
anak yang bermain di sini, dan membuat be-
berapa boneka lagi. Ayo, kita pergi saja. Anjing
yang menggonggong tadi rupanya tersasar.”
Kedua orang itu meninggalkan pagar, lalu
beijalan menuju ke rumah tua. Colin dan
George menarik napas lega. Wah, nyaris me-
reka celaka! Untung mereka mengenakan pa-
kaian samaran yang berwarna putih. Dan
untung Skippy juga serbaputih.
Lama setelah itu keadaan sunyi. Tak ter-
dengar bunyi sama sekali. Colin dan George
semakin kedinginan. Keduanya juga semakin
tak sabar. Apa yang sedang teijadi dalam ru-
mah tua itu? Mereka ingin sekali mengetahui-
nya. Apakah Jack dan Peter dijebak oleh kedua
orang yang baru datang itu?
Mereka merasa perlu meninggalkan tempat
itu, dan pergi menyelidiki sendiri ke rumah
itu untuk melihat apa yang teijadi. Tapi tiba-
tiba mereka mendengar sesuatu. Ada orang
bicara. Ah, rupanya kedua orang yang tadi
datang sudah kembali. Terdengar bunyi pintu
mobil terbuka, dan kemudian tertutup kembali
dengan pelan-pelan. Mesin dihidupkan. Mobil
meluncur ke ujung jalan, memutar di pintu
pagar lapangan, lalu melaju pergi di atas salju
lembut yang mulai mencair.
”Mereka sudah pergi,” ujar Colin. ”Dan
kita ini benar-benar tolol. Kenapa tadi tidak
menyelinap ke pagar, dan mencatat nomor
polisi mobil itu. Sekarang sudah terlambat!”
”Ya, mestinya itu kita lakukan tadi,” kata
George membenarkan. ”Apa yang harus kita
lakukan sekarang? Apakah sebaiknya kita tung-
gu saja sampai Peter dan Jack keluar lagi?”
”Ya, tapi jangan terlalu lama,” ujar Colin.
”Kakiku sudah beku rasanya.”
Mereka menunggu lagi selama lima menit.
Tapi baik Jack maupun Peter masih belum
muncul juga. Karena itu kedua anak itu pergi
ke pintu pagar. Kaki mereka teijeblos-jeblos
ke dalam salju yang mulai mencair. Mereka
memanjat pagar, dan tak lama kemudian me-
reka sudah berjalan di pekarangan rumah tua.
Keduanya bergegas ke pintu depan, dibuntuti
Skippy.
Tapi seperti sudah dapat diduga, Colin dan
George tidak bisa masuk lewat pintu itu. Me-
reka juga tak bisa masuk lewat pintu samping,
begitu pula pintu belakang. Kemudian, seperti
yang dialami Jack dan Peter, mereka melihat
jendela terbuka! Mereka menyelinap ke v dalam,
dan sampai di dapur. Keduanya menajamkan
telinga. Tapi tak ada yang terdengar.
Mereka memanggil-manggil dengan suara pe-
lan.
"Jack! Peter! Di mana kalian?”
Tak ada yang menjawab. Rumah itu tetap
sunyi. Kemudian Skippy menyalak dengan lan-
tang, lalu lari ke lorong yang terdapat di
antara dapur dan ruang penyimpanan makanan.
Anjing itu mengorek-ngorek di depan sebuah
pintu.
Dengan segera Colin dan George mengikuti
ke lorong. Sesampainya di sana, segera ter-
dengar suara Peter.
”Siapa itu? Colin? George? Kalau itu kalian,
sebutkanlah kata sandi kita!”
"Pekan!” seru George. ”Di mana kalian?”
”Di sini! Dalam gudang bawah tanah. Kami
akan naik ke atas,” terdengar suara Peter ber-
seru dari bawah. ”Kami tak apa-apa. Bisakah
kalian membuka pintu—atau barangkali kunci-
nya dibawa orang-orang itu?”
”Tidak! Kuncinya ditinggal di sini!” jawab
Colin.
Pintu itu dibukanya, lalu didorong sehingga
terbuka lebar. Tepat pada saat itu Jack dan
Peter sampai di ujung atas tangga.
Mereka disusul oleh Kilat Biru. Rupanya
kuda itu tak mau ditinggal sendiri dalam gu-
dang yang gelap. Ia ingin bersama-sama kedua
teman kecilnya yang baik hati.
Colin dan George melongo karena heran.
Mata mereka melotot memandang Kilat Biru,
seakan-akan belum pemah melihat kuda se-
umur hidup mereka. Seekor kuda—terkurung
dalam gudang bawah tanah—bersama Peter
dan Jack. Benar-benar luar biasa!
”Orang-orang itu sudah pergi?” tanya Peter.
Cobn mengangguk.
”Ya, mereka pergi dengan mobil mereka.
Karena itulah kami datang kemari untuk men-
cari kalian. Mereka melihat kami di lapangan,
karena tiba-tiba Skippy menggonggong. Tapi
mereka menyangka kami boneka salju. Dan
kalian—apa yang tadi teijadi di sini?”
"Sebaiknya kita keluar saja dari rumah ini,”
ujar Peter. ”Aku tak tahan lagi lama-lama di
sini.” Kemudian ia pergi menuntun Kilat Biru.
Colin heran, mengapa kuda itu tidak me-
nimbulkan bunyi berisik pada saat beijalan di
lantai papan. Dipandangnya kuku kuda, lalu
berseru, "Lihatlah! Apa yang di kakinya itu?”
"Sandal bulu yang dibuat pas untuk kuku-
kukunya,” jawab Peter sambil meringis. "Jejak-
nyalah yang kelihatan aneh di salju. Rupanya
kedua orang itu sengaja memasangkannya, agar
tidak terlalu ribut di gudang bawah tanah!
Wah, tadi kuda ini ketakutan sekali sewaktu
kami menemukannya. Ayo—aku mau pulang
saja!”
12
Rahasia Terbongkar
Enam sosok tubuh melangkah di jalan ber-
salju. Dua orang anak bermantel hitam, dua
lagi mengenakan pakaian serbaputih yang aneh
kelihaiannya. Kemudian seekor anjing beijubah
putih kedodoran, dan seekor kuda yang ba-
gus. Wajah keempat anak itu dicat putih.
Kelihatannya benar-benar aneh. Tapi tak ada
yang berpapasan dengan mereka, jadi tak apa-
lah!
Sambil beijalan, Peter asyik bercerita. Colin
dan George mendengarkan dengan mulut me-
longo. Mereka sebenarnya agak iri, karena
.tidak ikut mengalami peristiwa gawat itu.
"Kilat Biru akan kumasukkan ke dalam salah
satu kandang kuda di tempat pertanian kami,'
ujar Peter. "Sekarang dia aman! Pasti kedua
orang itu akan bingung jika melihat Kilat
Biru sudah lenyap. Besok akan kita laporkan
semuanya pada polisi. Kita besok bertemu
pukul setengah sepuluh pagi di gudang dan
jangan lupa jemput Pam dan Barbara! Wah,
bukan main, kita benar-benar mengalami pe-
tualangan seru. Dan menurut pendapatku, Sapta
Siaga telah berhasil menyelesaikan tugas de-
ngan baik! Aduh, aku mengantuk sekali. Aku
pasti nanti langsung tertidur!”
Setengah jam kemudian mereka sudah ber-
baring dan tidur nyenyak. Janet sama sekali
tidak bangun ketika Peter masuk. Kilat Biru
sudah dimasukkan ke dalam kandang sebelum-
nya.
Keesokan harinya, seisi rumah gempar! Peter
melaporkan pengalaman mereka kemarin ma-
lam pada orangtuanya. Ayahnya mendengarkan
dengan heran, lalu pergi ke kandang untuk
memeriksa Kilat Biru.
”Wah, ini kuda pacuan hebat,” ujarnya se-
sudah selesai memeriksa. ”Dan kelihatan jelas,
bulunya diolesi semacam cat sehingga berwarna
cokelat. Menurut perasaanku, orang-orang itu
berniat menjualnya untuk diikutkan ke per-
lombaan dengan nama lain. Wah, wah, wah!
Kau dan Sapta Siaga berhasil menghalang-
halangi niat penjahat itu, Peter!”
"Apakah sebaiknya sekarang kita laporkan
saja pada polisi?” ujar ibunya dengan cemas.
"Menurutku, polisi harus cepat-cepat menang-
kap bandit-bandit itu.”
”Serikat Sapta Siaga akan mengadakan rapat
di gudang pukul setengah sepuluh pagi ini,”
kata Peter. "Bagaimana kalau polisi kita undang
untuk menghadirinya?”
”Tak mungkin—kurasa polisi pasti tak mau
duduk di atas pot kembang dan peti-peti
kalian,” bantah ibunya. "Sebaiknya kalian ber-
kumpul semua di kamar kerja Dad. Tempat
itu cocok untuk para polisi.”
Jadi pukul setengah sepuluh, ketujuh ang-
gota Sapta Siaga sudah siap menanti dalam
kamar keija ayah Peter. Mereka gelisah. Apa-
lagi anggota tak resmi, Skippy. Anjing itu
sudah tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Lari ke sana kemari, menggigit-gigit ujung
permadani.
Tepat pukul setengah sepuluh, bel berbunyi.
Pintu dibuka ibu Peter, dan dua orang polisi
berbadan tegap masuk. Keduanya memandang
dengan heran ketika melihat banyak anak-
anak duduk membentuk lingkaran.
"Selamat pagi,” ujar Pak Inspektur memberi
salam. "Eh—ada apa ini sebenarnya? Anda
tadi tak mau bicara banyak sewaktu me-
nelepon.”
"Memang saya sengaja. Saya ingin Pak
Inspektur mendengar sendiri ceritanya dari mu-
lut anak-anak ini,” jawab ayah Peter. Ia mem-
bentangkan koran pagi, dan meletakkannya ke
atas meja. Anak-anak berkerumun.
Pada halaman depan tertera gambar seekor
kuda dalam ukuran besar. Bagus sekali kuda
itu. Di bawahnya tertulis dengan huruf-huruf
besar:
KILAT BIRU DICURI ORANG.
KUDA PACUAN TERKENAL
HILANG LENYAP.
POLISI BELUM MENGETAHUI TEMPAT
DISEMBUNYIKAN.
”Tentu Anda melihatnya juga pagi ini,” kata
ayah Peter lagi. ”Peter, katakanlah pada Pak
Inspektur, di mana Kilat Biru sekarang!”
”Dalam kandang kami!” seru Peter. Senang
sekali anak itu, ketika melihat wajah kedua
polisi yang keheranan.
Kedua polisi itu mengeluarkan buku catatan
masing-masing. ”Ini penting sekali,” ujar Pak
Inspektur pada ayah Peter. "Benarkah kuda itu
ada dalam kandang Anda?”
”Saya rasa begitu,” jawab ayah Peter. ”Anda
silakan melihatnya, kalau mau. Peter, ceritakan-
lah pengalaman kalian.”
”Sebaiknya kami bergiliran saja mencerita-
kannya,” kata Peter. Kemudian ia mulai ber-
cerita. Dikisahkannya, mereka bertujuh mem-
buat boneka salju di lapangan. Kemudian gi-
liran Jack memaparkan pengalamannya. Ia me-
maparkan, di malam itu ia sibuk mencari len-
cana anggota Sapta Siaga-nya yang teijatuh di
lapangan. Sesudah itu ia melihat mobil datang
dengan menggandeng sebuah kotak besar
beroda.
”Sekarang saya tahu, kotak itu gerobak
pengangkut kuda,” ujarnya. ”Tapi kemarin saya
belum tahu. Saya tak bisa menerka—dan saya
kira semacam gerobak pengangkut barang pin-
dahan. Saya juga sama sekali tidak melihat
jendela-jendela. ”
Ketujuh anak itu bercerita sambung-
menyambung. Akhirnya sampai pada bagian
yang menegangkan. Peter dan Jack menyelinap
masuk ke dalam rumah untuk mencari tempat
tawanan dikurung—kemudian mereka teijebak.
Selanjutnya Colin dan George. Keduanya
berebutan bercerita, bahwa mereka kemudian
ikut menyelinap masuk ke rumah tua lewat
jendela, untuk mencari Jack dan Peter.
”Anak-anak ini gemar bertualang rupanya!”
ujar Pak Inspektur sambil memandang ibu
Peter. Matanya memancarkan sinar geli.
”Ya, memang,” balas ibu Peter. ”Tapi saya
tak senang kalau mereka berkeliaran di malam
hari. Pak Inspektur. Seharusnya saat itu mereka
berada di tempat tidur, dan tidur pulas.”
”Betul,” kata Pak Inspektur lagi, ”saya setuju
dengan pendapat Anda. Seharusnya mereka
segera melaporkannya pada polisi. Memecah-
kan rahasia adalah urusan kami. Berkeliaran
tengah malam, menyamar sebagai boneka
salju—belum pernah saya dengar kelakukan
seperti itu!”
Pak Inspektur berbicara dengan suara galak,
sehingga ketiga anak perempuan anggota Sapta
Siaga merasa ketakutan. Tapi kemudian mereka
melihat Pak Inspektur tersenyum. Barulah ke-
tiganya sadar, bahwa sebenarnya polisi itu
senang melihat hasil penyelidikan mereka.
”Sekarang saya harus menyelidiki nama pe-
milik rumah tua itu,” katanya melanjutkan,
”sesudah itu akan saya tanyakan padanya,
barangkali dia mengetahui hal-hal yang terjadi
di rumahnya itu.”
”Pak Inspektur tak perlu susah-susah lagi.
Namanya Mr. Holikoff. Dia tinggal di Covelty,
di Jalan Heycom Nomor 64!” seru George
dengan segera. ”Kami—maksudku, Pam dan
saya sendiri yang menyelidikinya.”
”Bagus!” ujar Pak Inspektur. Petugas polisi
yang satu lagi dengan segera mencatat ke-
terangan itu. ”Bagus sekali kerja kalian!”
”Tapi kalian barangkali tidak mencatat nomor
polisi mobil mereka,” ujar polisi yang kedua.
”Kalau kalian lakukan, akan sangat menolong
tugas kami.”
”Ah, sayang tidak kami lakukan,” ujar Colin
menyesal. ”Tapi kedua teman perempuan kami
ini mengetahui sesuatu tentang gerobak kuda-
nya. Mereka sempat mengukur lebar roda,
bahkan menggambar jejak-jejak roda itu yang
membekas pada salju lembut.”
”Janet yang membuatnya,” ujar Barbara de-
ngan jujur. Ia menyesal karena menertawakan
temannya itu ketika sedang sibuk menggambar.
Janet mengeluarkan lembaran kertas yang ber-
gambar jejak roda gerobak. Pak Inspektur de-
ngan segera mengambilnya. Ia kelihatan puas
sekali!
"Hebat! Kalian benar-benar bekerja dengan
sangat teliti. Sekarang tak ada gunanya lagi
memeriksa jejak itu, karena salju sudah me-
leleh. Ini bukti yang sangat penting. Wah,
kalian ini banyak sekali akalnya!”
Muka Janet merah padam karena malu ber-
campur bangga. Peter memandang adiknya de-
ngan senyum senang. Adik perempuaiinya itu
memang hebat. Seorang anggota Sapta Siaga
sejati!
”Rupanya anak-anak ini sudah melakukan
hampir semua tugas yang harus kami kerja-
kan,” ujar Pak Inspektur sambil menyimpan
buku catatannya kembali. ”Mereka sudah men-
catat alamat pemilik rumah. Kalau ternyata
dia memiliki gerobak pengangkut kuda yang
roda-rodanya cocok dengan gambarmu ini...
nah, dia terpaksa harus menjawab beberapa
pertanyaan yang tak enak baginya!”
Kedua polisi itu pergi ke kandang untuk
melihat Kilat Biru. Anak-anak ikut berkerumun.
Telinga si Kilat Biru mulai tegak meruncing
lagi, pertanda ia mulai takut. Peter cepat-cepat
menenangkannya.
”Betul! Warna bulunya sudah diubah oleh
penjahat-penjahat itu,” ujar Pak Inspektur
sambil meraba-raba punggung Kilat Biru. ”Ka-
lau mereka sempat mengecatnya dengan wama
cokelat, pasti takkan ada yang bisa me-
ngenalinya. Menurutku, kedua penjahat yang
kalian ceritakan itu berniat untuk melakukan-
nya malam ini, dan sesudah itu memindahkan
Kilat Biru ke kandang lain! Tentu saja se-
mentara mereka mengubah wama, kuda ini
harus disembunyikan di suatu tempat sepi.
Jadi mereka memilih gudang bawah tanah rum-
ah tua kosong—yang dimili k i oleh Mr. J.
HolikofF. Aku ingin tahu sekarang—apa yang
diketahui Mr. Holikoff itu mengenai persoalan
ini!
Anak-anak tak sabar lagi menunggu kabar
mengenai akhir pengalaman mereka. Kabar itu
mereka dengar pada rapat Sapta Siaga berikut-
nya. Yang mengadakan bukan mereka sendiri,
melainkan orangtua Peter dan Janet.
Rapat dilangsungkan dalam gudang. Ayah
dan ibu Peter duduk di atas peti-peti terbesar.
Sedangkan Peter dan Janet duduk bersila di
lantai.
”Anak-anak,” kata ayah Peter membuka la-
porannya. "Ternyata Mr. Holikoff memang pe-
milik gerobak pengangkut kuda itu. Mobil itu
juga miliknya. Polisi menunggu dua orang
yang kalian lihat di mmah tua kemarin malam.
Dan mereka ternyata benar-benar datang kem-
bali! Sekarang mereka sudah masuk ke dalam
tempat tahanan. Mereka begitu terkejut ketika
melihat Kilat Biru sudah tak ada lagi, sehingga
tidak memberikan perlawanan ketika di-
tangkap!”
”Siapakah pemilik Kilat Biru yang se-
benarnya, Dad?” tanya Peter. ”Dalam koran
tertulis, namanya Kolonel James Healey. Apa-
kah dia mengirim orang untuk menjemput Kilat
Biru?”
”Ya,” jawab ayahnya. ”Hari ini Kilat Biru
akan dijemput dengan gerobak kuda miliknya.
Dia juga mengirimkan sesuatu untuk Sapta
Siaga. Maukah kau memeriksa apa kiriman
itu, Peter?”
Peter menerima sepucuk surat yang disodor-
kan ayahnya. Dengan cepat sampul surat itu
dibukanya. Seberkas karcis jatuh berhamburan
ke lantai. Janet meraih selembar.
”Wah! Karcis untuk menonton sirkus, se-
kaligus untuk menonton pertunjukan pantomim.
Ada berapa lembar? Barangkali tujuh?"
Betul. Karcisnya berjumlah tujuh lembar.
Ketujuh anggota Sapta Siaga menerima hadiah
atas kediagaan mereka. Hanya Skippy yang
tidak kebagian.
"Ah, sudahlah, Skip! Nanti kau kami beri
tulang yang lezat dan nikmat! Boleh ya,
Mom?" seru Janet sambil memeluk anjingnya
erat-erat.
"Apa lagi ysnh ksu kstsksn itu, Janet?
Mengapa kau memakai bahasa asing?"tanya
ibunya dengan heran. Teman-teman yang lain
tertawa.
Di atas sampul tertulis, "Untuk Serikat Sapta
Siaga, dengan ucapan salam dan terima kasih.
J.H
"Pak Kolonel itu baik yam," ujar Peter. "Padahal
kami sama sekali tak menginginkan hadiah.
Pengalaman kami saja sudah merupakan hadiah
yang hebat!"
"Terserah kalian sajalah, untuk bercerita
panjang-lebar mengenainya," ujar ibu Peter
sambil bangkit. "Kalau kami berdua lama-lama
duduk disini, tahu-tahu kami sudah menjadi
anggota pula. Kalau begitu namanya harus
diubah menjadi Sembilan Siaga. Bukan
Sapta Siaga lagi!"
"Tidak Perkumpulan kami harus tetap Sapta
Siaga," ujar Peter tegas. "Serikat yang
paling sigap! Hidup Sapta Siaga!"
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA
Emoticon