Sementara Ratih langsung membaringkan tubuh Purwasih pelahan-lahan.
"Biar kuteruskan, anak muda. Beristirahatlah dulu untuk memulihkan
tenagamu," sahut Orangtua itu, seraya mendekati Purwasih yang terbaring
belum sadarkan diri.
Rupanya, orang tua itu menangkap maksud lirikan Pendekar Rajawali Sakti.
Seperti yang dilakukan Rangga tadi, orangtua itu duduk bersila dan telapak
tangannya menempel ke perut gadis itu untuk menyalurkan hawa murninya.
Pendekar Rajawali Sakti lalu bangkit berdiri, dan melangkah pelahan menuju
sebuah pohon rindang. Dan Pandan Wangi mendekatinya. Selama orangtua itu
melanjutkan mengobati Purwasih, Rangga duduk bersila, untuk mengatur
pernapasan dari jalan darahnya. Beberapa saat kemudian badannya lebih segar,
namun wajahnya masih terlihat sedikit pucat.
"Kakang, kau tak apa-apa...?" tanya Pandan Wangi yang tadi begitu khawatir
melihat perubahan yang terjadi pada pemuda itu.
Pemuda itu menggeleng lemah sambil tersenyum untuk menghilangkan
kekhawatiran gadis itu. "Mari kita lihat mereka," ajak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti lalu bangkit, dan kembali melangkah menuju kedua
orang tadi. "Bagaimana keadaannya?" tanya Rangga halus, ketika melihat orang
tua itu telah duduk di dekat gadis berbaju hijau yang tengah mengelus-elus
Purwasih yang masih tak sadarkan diri.
"Dia sudah lebih baik. Nadinya berdenyut kencang, serta aliran darahnya
telah lancar. Terima kasih, Kisanak. Kau telah menyelamatkannya Jarang ada
orang yang mampu berbuat demikian. Bahkan aku sendiri sudah angkat tangan,
sebelum kalian tiba 'Racun Ulat Salju' bukan senjata sembarangan. Hanya
mereka yang memiliki tenaga dalam sangat sempurna yang mampu menyedot racun
itu. Kalau boleh kutahu, siapakah kau sebenarnya, Kisanak? Tapi melihat
ciri-cirimu..., rasanya aku pernah mendengar seorang tokoh yang digdaya..."
desah orangtua itu dengan sikap hormat.
"Aku Rangga.. Dan temanku Pandan Wangi."
"Hm... ya! Aku ingat. Kau pasti yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dan
temanmu itu pasti si Kipas Maut! Benarkah itu?!" kata orang tua itu
gembira.
"Begitulah orang-orang menjuluki kami, Ki" kata Rangga, tanpa maksud
menyombongkan diri.
"Perkenalkanlah si tua bangka ini. Aku Ki Leor! Dan ini murid tunggalku,
Ratih Kumaladewi!"
"Ah... Tak kusangka aku bertemu seorang Pendekar besar sepertimu, Pendekar
Rajawali Sakti," kata orangtua yang mengaku bernama Ki Leor, gembira.
"Ki Leor..., Aku hanya orang biasa. Dan kalau gadis itu sembuh bukan karena
aku. Melainkan, Hyang Jagat Dewa Bataralah yang menyembuhkan. Aku hanya
sebagai perantara saja. Oh, ya kalau boleh kutahu, siapakah gadis ini? Dan,
apa hubungannya dengan kalian?" kata Rangga.
"Dia Purwasih. Adik bungsu Ratih Kumaladewi," jelas Ki Leor, seraya menatap
Purwasih dan Ratih bergantian. Rangga mengangguk.
"Lalu apa yang menyebabkan sampai menderita begini?" tanya Rangga
lagi.
"Itulah yang tak kumengerti, Pendekar Rajawali Sakti. Dia terkena 'Racun
Ulat Salju'! Sedangkan satu-satunya orang yang mempunyai senjata rahasia itu
adalah Nyi Lengser, yang berdiam di puncak Gunung Rinjani. Aku tak tahu
bagaimana mungkin dia bentrok dengan Purwasih. Tapi jangan-jangan..." Ki
Leor menghenbkan kata-katanya tiba-tiba.
"Kenapa, Ki Leor?" tanya Rangga.
"Ah! Ini barangkali ada kaitannya dengan peristiwa dua puluh tahun yang
lalu.. " sahut orangtua itu lesu.
"Maksudmu?"
Ki Leor pun kemudian menceritakan tentang kejadian dua puluh tahun yang
silam, ketika dia dan beberapa tokoh persilatan berhasil menewaskan dua
tokoh sesat yang sering mengacau dengan sepak terjangnya yang menggiriskan.
Kemudian setelah itu, ada tokoh yang menyelamatkan putra-putri kedua tokoh
sesat yang mereka binasakan itu.
Rangga mengangguk-angguk berusaha memahami seluruh penuturan Ki Leor.
"Kalau saja Purwasih telah sadar, mungkin akan bisa menjelaskan...," lirih
suara Ki Leor.
"Eyang, dia mulai sadar...!" teriak Ratih dengan wajah girang ketika
melihat Purwasih mulai siuman.
Pandan Wangi cepat beringsut, dan melangkah menuju ke kudanya. Lalu
diambilnya kantung air yang ada di pelana. Dengan agak terburu-buru, kakinya
melangkah menuju ke arah Purwasih. Dan segera di minumkannya air itu ke
mulut Purwasih.
"Ohhh..."
"Purwasih...!" Ratih memanggil nama adiknya dengan wajah gembira.
"Ohhh...! Di manakah aku ini...?" desah Purwasih.
"Purwasih, aku kakakmu... Ratih. Ratih Kumaladewi!" seru gadis berbaju
hijau itu sambil menyandarkan adiknya.
"Kak Ratih..., Eyang Kumala telah tewas..."
"Apa?!" Ratih dan Ki Leor tersentak kaget, mendengar ucapan gadis
itu.
Dengan suara lirih dan sesekali terisak, Purwasih menceritakan apa yang
telah terjadi terhadap gurunya dan dia sendiri. Ratih Kumaladewi tertegun.
Sementara Ki Leor terdiam beberapa saat lamanya. Sedangkan Rangga dan Pandan
Wangi menduga kalau guru Purwasih, paling tidak punya hubungan dengan kedua
orang itu.
"Guru Purwasih adik seperguruanku. Sekaligus, adik kandungku..." lirih
suara Ki Leor ketika menjelaskan hal itu pada Rangga dan Pandan Wangi.
Rangga dan Pandan Wangi dapat merasakan kesedihan Ki Leor. Agaknya hubungan
mereka tidak hanya sekedar sebagai kakek kedua gadis itu. Jadi dengan
demikian, Eyang Kumala adalah terhitung nenek mereka sendiri. Tak heran bila
kemudian Ratih Kumaladewi menggeram dan berniat akan menuntut balas atas
neneknya.
"Ratih! Kau harus bisa menahan amarahmu. Mereka bukan tandinganmu. Salah
satu di antara kedua orang itu, pasti murid Nyi Lengser. Dan perempuan tua
itu memiiiki kepandaian hebat. Aku sendiri tak ada apa-apa bila dibandingkan
dengannya...," sahut Ki Leor. "Tapi kita tak bisa mendiamkan kematian Eyang
Kumala begitu saja, Eyang!" sentak gadis itu garang.
"Aku mengerti apa yang kau rasakan. Tapi, tak banyak yang bisa kita
kerjakan...," keluh Ki Leor.
"Tidak! Aku akan cari mereka, dan harus mati di tanganku!" sentak Ratih
sambil bangkit berdiri.
Namun sebelum mereka melangkah, Ki Leor menangkap pergelangan tangan Ratih.
Tapi, Ratih Kumaladewi agaknya keras kepala.
"Sabarlah, Ratih," bujuk Ki Leor.
Tanpa menjawab, dia melepaskan diri sekuat tenaga. Maka terpaksa Ki Leor
bertindak cepat. Menggerakkan tangannya dan...
Tuk!
"Uh...!"
Ratih kontan jatuh lemas, begitu punggungnya tertotok jari Ki Leor.
"Maafkan aku, cucuku. Tak ada jalan lain yang bisa kulakukan. Kau tak tahu
bahwa tindakanmu sama saja bunuh diri. Kita harus memikirkan cara yang
terbaik," kata Ki Leor. Kemudian, Ki Leor segera memanggul tubuh kedua
cucunya.
"Aku mengucapkan terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Dan sekarang aku
mohon diri," ucap Ki Leor.
Setelah berpamitan dengan Rangga dan Pandan Wangi, orang tua itu berbalik
dan melangkah cepat meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.
Dia berjalan melalui arah yang ditempuhnya tadi.
"Kasihan mereka...," gumam Pandan Wangi menghela napas, setelah Ki Leor dan
kedua cucunya telah lenyap dari pandangan.
Memang, Ki Leor berjalan disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh. Tak
heran kalu sebentar saja, mereka telah jauh dari sepasang Pendekar dari
Karang Setra itu.
***
LIMA
Hari belum terlalu siang ketika Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti
tiba di Desa Pasir Batang yang saat ini terlihat ramai. Tampak di dalam
sebuah kedai makan yang cukup besar, juga telah dipenuhi pengunjung.
Beberapa orang yang kebetulan melakukan perjalanan dan melewab desa ini,
pasti akan mampir ke kedai makan itu. Demikian juga Rangga dan Pandan Wangi.
Kedua pendekar dari Karang Setra segera melangkah ke arah kedai
itu.
Namun baru saja berada di ambang pintu, semua mata pengunjung kedai menatap
ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi tanpa berkedip. Beberapa di
antaranya terlihat ketakutan, dan buru-buru meninggalkan kedai itu.
Sementara yang lainnya menunjukkan wajah sinis.
"Kakang! Aku merasa tak enak dengan keadaan ini. Ada sesuatu yang tak
beres..." bisik Pandan Wangi dengan wajah kesal.
"Ya. Aku pun merasakannya. Tampaknya mereka tak bersahabat dengan kita.
Tapi kita kan tak punya persoalan dengan mereka. Ayolah, Pandan, tak usah
dipikirkan," sahut Rangga sambil mengajak Pandan Wangi memasuki kedai
itu.
Baru saja mereka hendak melangkah masuk, sekonyong-konyong....
"He, bocah-bocah busuk! Mau apa kalian ke sini. Cari mampus, ya!" terdengar
bentakan kesal menggelegar.
Rangga segera mengarahkan pandangan pada seorang laki laki bertubuh besar
dan berbaju hitam, yang mengeluarkan bentakan tadi. Tampak bagian dada laki
laki itu dibiarkan terbuka lebar, sehingga terlihat bulu-bulunya yang lebat.
Bola matanya melotot lebar dengan cambang yang menghiasi wajahnya. Di
pinggangnya terselip sebatang golok yang gagangnya sudah digenggam.
"Kisanak! Kau bicara pada kami?" tanya Rangga sopan.
"Kau kira aku bicara pada bapak moyangmu, he?!" bentak orang itu, seraya
beranjak dari tempat duduknya. diikuti tiga orang anak buahnya dari
belakang.
"Tidak bisakah kau bicara sopan, Kisanak?" kata Rangga kalem.
"Sopan katamu? Puih! Itu sudah sopan diban-dingkan kesombongan kalian!"
dengus laki-laki bertampang seram itu.
"Kisanak... Maaf, kami semakin tak mengerti arah pembicaraanmu. Karena ada
urusan yang lebih penting maka kami tak bisa meladenimu. Maaf..." sahut
Rangga berusaha mengalah. "Ayo, Pandan. Rasanya di sini sudah dipenuhi
tikus-tikus kotor."
"Keparat! Kau pikir bisa berbuat seenak perutmu di depan Warok Singodimejo!
Yeaaa...!"
Setelah membentak demikian, tubuh orang yang mengaku bernama Warok
Singodimejo langsung melompat sambil mencabut goloknya untuk
menyerang.
Bet! Bet!
Meskipun tanpa menoleh, namun Rangga dapat merasakan angin serangan tajam
yang terarah kepadanya. Maka kepalanya, cepat ditundukkan untuk menghindari
sambaran golok lawan. Bersamaan dengan itu tubuhnya berputar ke samping dan
terus mengayunkan satu tendangan ke arah perut lawan. Namun Warok
Singodimejo telah melompat ke samping kiri.
"Kurang ajar...!" maki Warok Singodimejo.
Kembali laki-laki bertubuh besar itu menyabetkan goloknya. Namun Rangga
mencelat ke atas, dan terus melewati kepala Warok Singodimejo dengan jungkir
balik. Lalu seketika itu kedua kakinya menghantam ke arah punggung laki-laki
bertubuh besar itu.
Bug!
Seketika tubuh Warok Singodimejo terjajar ke depan, begitu punggungnya
dihantam kaki Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparaaat...!" maki Warok Singodimejo geram sambil cepat berbalik hendak
menghabisi lawan.
"Kisanak, di antara kita tak ada saling permusuhan. Kenapa kau begitu
bernafsu membunuhku?" tanya Rangga, begitu kakinya mendarat di tanah.
"Dasar bocah-bocah busuk! He! Kalian pikir mataku buta? Kalian telah
membunuh guru kami, Ki Slongsor Geni. Apa itu tidak cukup?! Dan kalian juga
telah menghancurkan Perguruan Tombak Baja dan menghabisi murid-muridnya
tanpa sisa. Apa itu tidak cukup sebagai bukti kebiadaban kalian? Coba lihat
mereka! Orang orang itu memiliki dendam kesumat pada kalian berdua!" teriak
Warok Singodimejo lantang.
"Astaga! Tuduhanmu salah alamat. Kisanak. Sabarlah. Mari kita bicara
baik-baik!" bantah Rangga.
Sementara itu tokoh-tokoh persilatan yang tadi berada dalam kedai saat ini
sudah mengerumuni mereka. Apa yang dikatakan Warok Singodimejo memang tak
salah. Mereka umumnya menunjukkan wajah kebencian dan dendam menyala-nyala.
Tentu saja hal itu membuat Rangga dan Pandan Wangi semakin geram saja. Tak
ada angin atau hujan, tahu-tahu mereka menunjukkan sikap bermusuhan. Namun
dengan tenang, Pendekar Rajawali Sakti berusaha menguasai diri.
"Kisanak semua! Kalau memang kami bersalah dan melakukan apa yang
dituduhkan orang ini, kami bersedia dihukum! Tapi kalau ternyata kalian
melampiaskan dendam kesumat pada orang yang tak bersalah, kalian akan
menyesal sendiri!" kata Rangga lantang.
"He! Jangan dikira kami takut pada kalian! Kami telah sepakat. Kalau bukan
kalian maka biarlah kami yang akan mati!" timpal yang lain berteriak.
Dan teriakan itu diikuti teriakan-teriakan yang sama dan mengutuk sepasang
anak muda itu. Rangga dan Pandan Wangi melihat orang yang berkerumun di
tempat itu semakin banyak saja. Seolah-olah, seluruh penduduk desa ini
tumpah ruah untuk menyaksikan sambil memaki-maki geram. Bahkan dari arah
belakang, dengan perasaan jengkel beberapa orang melempari Rangga dan Pandan
Wangi dengan batu-batu kecil. Tentu saja hal itu membuat jengkel kedua
pendekar itu.
"Baiklah, kalau memang kalian memaksa kami untuk bertindak keras...," desah
Pendekar Rajawali Sakti, agak sedikit mengesal.
Belum selesai kata-kata yang diucapkan Rangga, mendadak....
"Hentikan perbuatan kalian...!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang
berkumandang ke segala penjuru.
Semua orang seketika menoleh ke arah datangnya bentakan tadi yang berasal
dari seorang laki-laki tua bertubuh pendek dan kurus. Jenggotnya panjang
berwarna putih, seperti rambutnya yang telah ubanan. Di pinggangnya yang
kecil terlihat sebuah pedang yang amat tipis, sehingga bisa dililitkan
seperti sebuah sabuk. Bagi Penglihatan orang awam, tentu saja akan menyangka
kalau orang tua itu memakai sabuk dari baja tipis. Namun sekali pandang
saja, Rangga bisa tahu kalau itu pedang.
"Sungguh memalukan! Tidak tahukah kalian, dengan siapa kalian berhadapan?!"
lanjut orang tua bertubuh kecil itu lantang seperti seorang bapak menghardik
anak-anaknya yang nakal.
"Ki Wakalpa, kedua orang inilah yang...," Warok Singodimejo membuka suara,
namun...
"Goblok! Tolol! Apakah kau mengetahui jelas siapa pembunuh gurumu.
Sedangkan, saat itu kau tak melihatnya?! Dan kalian semua, kenapa
ikut-ikutan tanpa periksa? Tidak tahukah kalian, kalau saat ini kita tengah
berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut?" potong orang tua
yang dipanggil Ki Wikalpa, sehingga membuat wajah Warok Singodimejo
berubah.
"Heh?!"
"Benarkah?"
"Astaga...?!"
Orang-orang yang berada di tempat itu kontan tersentak kaget ketika Ki
Wikalpa menyebutkan siapa kedua anak muda itu.
"Aku menyadari dan bisa merasakan apa yang kalian rasakan saat ini.
Kematian orang-orang yang kita cintai, memang amat menyakitkan. Tapi
membalas dendam pada orang yang tak salah secara membabi buta dan tanpa
periksa lebih dulu, adalah perbuatan tolol sekaligus tak terpuji. Aku tahu
pasti, siapa mereka berdua. Sebab, beberapa kali aku melihat sepak terjang
mereka. Tak mungkin keduanya berbuat demikian. Lagi pula dengan melihat dari
korban-korban yang jatuh, dugaanku semakin kuat kalau itu bukan perbuatan
Pendekar Rajawali Sakti maupun Kipas Maut!" jelas orang tua itu panjang
lebar, ketika melihat ada beberapa orang yang masih belum percaya.
"Oh, jadi, benarkah kau Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu?!" tanya
Warok Singodimejo dengan wajah penuh penyesalan setelah mendengar keterangan
Ki Wikalpa.
"Demikianlah orang-orang memanggilku...," sahut Rangga datar.
"Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, maafkan kesalahan dan kekasaranku.
Kami sama sekali tak menduga kalau kalian adalah pendekar besar itu.
Kematian guru kami membuat kami gelap mata dan tak bisa membedakan orang.
Sekali lagi maafkan kesalahan kami" ucap Warok Singodimejo dengan tubuh
menjuru hormat.
"Sudahlah. Kisanak. Kita memang salah paham. Dan semua itu sejak tadi telah
kusadari. Hm..., Apakah persoalan yang sebenarnya terjadi di tampat ini?"
desak Pendekar Rajawali Sakti disertai senyum manis tersungging
dibibirnya.
"Kemarin dalam satu hari saja, banyak kejadian yang menggemparkan. Guruku
Ki Slongor Geni kedapatan tewas. Lalu, murid-murid Perguruan Tombak Baja
dibantai habis. Padahal banyak orang desa ini pernah menjadi murid perguruan
itu. Maka pasti mereka merasa geram dan dendam. Kabarnya yang melakukan
perbuatan itu adalah sepasang anak muda seperti kalian. Itulah sebabnya
ketika kalian tiba, kami menduga kalau pengacau itu adalah kalian," jelas
Warok Singodimejo singkat.
Rangga dan Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala mendengar penjelasan
itu. Sementara orang-orang yang tadi mengerubungi mereka, satu persatu bubar
dengan wajah penuh penyesalan. Kini tinggal Warok Singodimejo dan tiga orang
anak buahnya, Ki Wikalpa yang kemudian menghampiri Pendekar Rajawali
Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti. Atas nama mereka, aku mengucapkan permintaan maaf
yang sebesar-besamya padamu!" ucap Ki Wikalpa.
"Ki Wikalpa, aku menyadari kesalahpahaman ini. Tak perlulah kau meminta
maaf," sahut Rangga halus.
"Ah! Kelapangan hatimu memang sering kudengar. Dan ternyata, hari ini aku
diperkenalkan untuk melihatnya. Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut,
sudilah kalian memenuhi undanganku untuk mampir di gubukku. Sekedar
istirahat, sambil melepaskan dahaga. Bukankah kalian telah melakukan
perjalanan jauh?" ajak Ki Wikalpa dengan nada hormat.
Mendengar permintaan itu Rangga tak bisa menolak lagi. Kelihatannya orang
tua itu memang baik dan sopan. Namun ketika mereka hendak melangkah
meninggalkan tempat itu, mendadak....
"Kisanak, tunggu!"
Tiba-bba terdengar sebuah suara yang membuat Ki Wikalpa, Pendekar Rajawali
Sakti dan Pandan Wangi menoleh. Begitu juga Warok Singodimejo beserta tiga
orang anak buahnya. Tampak seorang pemuda bertubuh tegap terbungkus baju
lusuh yang di beberapa bagian terlihat robek. Wajahnya keras, namun bersih
dan tampan. Sorot matanya tajam menusuk. Di pinggangnya tampak terselip dua
buah tongkat runcing yang terbuat dari batu gunung. Sementara di sampingnya,
seorang gadis cantik berambut panjang, diikat agak ke atas dengan pita
merah. Bibirnya tipis dan raut wajahnya menunjukkan kalau gadis itu amat
galak. Bajunya berwarna ungu dan agak longgar, serta terlihat sebatang
pedang dipungunggnya.
"Kamikah yang kau panggil, Kisanak?" tanya Ki Wikalpa dengan nada ramah
sambil tersenyum.
Kedua orang muda yang baru datang itu tak peduli dengan pertanyaan Ki
Wikalpa.
"Siapa di antara kalian yang bernama Wikalpa?" tanya pemuda itu dengan
sikap sombong.
"Hm.. Sudah kuduga. Cepat atau lambat, kau pasti akan datang. Kisanak! Kau
tengah berbicara dengan orangnya!" sahut Ki Wikalpa seperti telah menduga,
siapa kedua orang itu.
"Bagus! Kau tentu memang sudah tahu maksud kedatanganku. Sebagian besar
kawanmu telah mampus. Dan kau akan mendapat gilirannya saat ini!" sahut
pemuda itu dingin.
"Ki Wikalpa! Inikah orang yang telah membunuh guruku?!" tanya Warok
Singodimejo berang.
Ki Wikalpa mengangguk. Maka seketika itu juga bola mata Warok Singodimejo
kelihatan membesar. Rahangnya menggelombung dan urat-urat di pelipisnya
menegang. Dengan serentak dicabutnya golok, yang diikuti ketiga anak
buahnya.
"Keparat! Jadi kalian pembunuh biadab itu, he?! Kalian membunuh guruku!
Kalian yang menghabisi nyawa murid-murid Perguruan Tombak Baja! Kalian harus
mampus! Hiyaaa...!"
"Warok Singodimejo, hentikan...!" bentak Ki Wikalpa mencegah.
Tapi mana mau Warok Singodimejo mendengar teriakan Ki Wikalpa dalam
kemarahan yang meluap-luap seperti itu. Dendam di dadanya sudah
menyala-nyala. Dan rasa malu akibat mendakwa orang yang salah tadi, kini
membuatnya semakin geram saja ketika ketemu orang yang sebenarnya memang
tengah dicarinya. Teriakan Warok Singodimejo yang mengguntur bagai geledek,
rupanya menarik perhatian kerumunan orang yang tadi berkumpul. Mereka mulai
berdatangan satu persatu.
"Habisi iblis-iblis biadab itu!" "Cincang diaaa...!"
Orang-orang yang sudah berkerumun itu langsung berteriak memaki serta
mengutuk kedua anak muda yang baru datang ini.
"Hentikan! Hentikan! Kalian hanya mengantarkan nyawa percuma saja!" teriak
Ki Wikalpa berkali-kali mengingatkan orang-orang yang mulai mengikuti
tindakan Warok Singodimejo. Mereka memang hendak menggeroyok kedua orang itu
beramai-ramai.
Namun, tak seorang pun yang mau mendengar kata-kata Ki Wikalpa. Mereka kini
telah menemukan pembunuh orang yang mereka cintai. Dan sakit hati, serta
dendam kesumat yang masih menyala-nyala di setiap dada harus dilampiaskan,
tanpa sama sekali memperhitungkan akibatnya. Dalam benak mereka hanya ada
satu keinginan yang harus terjadi, yaitu kematian para pembunuh itu. Tapi
nyatanya itu bukanlah semudah apa yang diduga. Karena tiba-tiba
saja...
Jdeeer!
"Aaaa...!!"
Crat! Crat! Werrr...!
"Wuaaa...!
Pengeroyok itu seketika buyar, begitu terdengar suara keras laksana
geledek, diikuti teriakan kesakitan. Tampak lebih dan sepuluh orang langsung
ambruk ke bumi dalam keadaan mati! Memang, begitu terlihat beberapa kali
kilatan api yang berputar menyambar, para pengeroyok hangus. Sementara
beberapa orang lagi tewas dalam keadaan tubuh kaku dan membeku. Bahkan tak
ada darah yang menetes. Tentu saja hal itu tak bisa didiamkan Ki
Wakalpa.
"Bocah-bocah terkutuk! Hentikan perbuatan biadab kalian. Hiyaaa...! Maka
tubuhnya langsung melesat ke arah kedua anak muda itu sambil orang tua ini
menghantamkan satu pukulan jarak jauh.
Namun, pemuda yang menjadi sasarannya tak kalah sigap. Seketika kedua
tangannya dihentakkan ke arah orang tua itu. Dan Ki Wikalpa, sama sekali tak
diberi kesempatan oleh kedua anak muda itu. Dengan gerakan kompak dan saling
mengisi, mereka terus mendesak orang tua bertubuh kecil itu. Mereka terus
mengumbar serangan maut, setelah kerumunan orang-orang yang mengeroyoknya
menepi. Nyali para pengeroyok memang telah ciut, ketika melihat datangnya
lidah api yang berasal dari sepasang tongkat di tangan pemuda yang mereka
keroyok tadi. Memang, begitu tongkat-tongkat diadu satu sama lain, maka
seketika melesat lidah api ke arah sasaran.
Sementara gadis berbaju ungu yang tadi bersamanya, telah mencabut pedangnya
dan berputar beberapa kali, seperti hendak meng-gulung tubuh Ki Wikalpa.
Orang tua bertubuh kecil itu menyadari pedang di tangan si gadis itu,
bukanlah pedang sembarang. Maka dia harus hati-hati menghadapinya. Memang
pedang itu seperti menabur hawa dingin yang amat menusuk pada setiap
serangannya. Tak heran lawan yang terkena sabetan pedangnya, akan tewas
dalam keadaan tubuh membeku.
"Kakang! Aku khawatir orang tua itu tak mampu menghadapi lawannya Mereka
hebat dan sangat kompak...," keluh Pandan Wangi sambil memperhatikan
pertarungan itu.
"Ya. Aku pun menyadari. Tapi kita belum tahu, sampai di mana kehebatan
orang tua itu," sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Apakah Kakang tak turun tangan membantunya?" tanya Pandan Wangi.
"Apakah orang tua itu betul-betul membutuhkan bantuan kita?" sahut Rangga
balik bertanya.
Mendengar itu Pandan Wangi tak bertanya lagi, Memang secara tak langsung,
dibenarkannya ucapan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Buktinya, orang tua itu
mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghadapi lawan. Tapi ternyata hal
itu tak lama. Karena, kini terlihat Ki Wikalpa sudah meloloskan pedang
tipisnya yang sejak tadi melilit di pinggang.
"Hiyaaa!"
Klap! Klap!
Di tangan orang tua ini pedang yang tipis dan terlihat lemah itu berubah
tegang dan kaku laksana tombak baja. Bahkan ketika menangkis senjata lawan,
terdengar bunyi berdenting seperti halnya pedang yang kuat. Malah dalam
sekejap mata, pedang di tangan Ki Wikalpa kembali mampu lentur laksana ular
yang meliuk-liuk menyambar lawan.
"Huh! Ilmu pedangmu memang hebat, orang tua! Tapi sayang, kematianmu telah
digariskan hari ini!" dengus gadis berbaju ungu itu geram.
"Hm. Begitukah?" sahut Ki Wikalpa.
Tapi agaknya ucapan gadis itu bukan sekedar gertakan dan omong kosong
belaka. Bahkan Ki Wikalpa sampai tersentak kaget, ketika menangkis dua
senjata lawan sekaligus. Tubuhnya kontan bergetar hebat, akibat terkena dua
tenaga dalam berlainan jenis yang sangat kuat.
Ketika tubuh Ki Wikalpa terhuyung-huyung mundur, saat itu juga ujung pedang
gadis ini menyambar ke arah dadanya. Untungnya orang tua bertubuh kecil itu
masih mampu menghindari dengan menjatuhkan diri ke tanah. Namun, ternyata
serangan kedua ujung tongkat pemuda lawannya telah menanti. Bahkan mengancam
leher dan jantungnya! Dengan terpaksa pedang dikibaskan untuk
menangkis.
Tak!
Pedang tipis di tangan Ki Wikalpa, kontan terpental begitu membentur
tongkat di tangan pemuda itu, sehingga menimbulkan bunyi keras seperti
geledek. Sedangkan orang tua itu langsung melenting ringan untuk
menyelamatkan diri dari sambaran ujung tongkat yang satu lagi. Justru pada
saat itu ujung kaki kanan pemuda itu sudah bergerak cepat ke arah perulnya.
Dan...
Desss!
"Aaakh.,.!" Ki Wikalpa menjerit kesakitan, begitu kaki pemuda itu mendarat
telak di perutnya. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang.
Dan di situ, juga telah menunggu gadis berbaju ungu yang siap menebas
lehernya. Agaknya orang tua itu tak mampu menghindari lagi. Ki Wikalpa hanya
terkesima melihat maut akan menghampirinya. Namun mendadak saat itu melesat
satu sosok bayangan biru langsung menangkis pedang gadis berbaju ungu
itu.
Takkk!
"Sial!"
***
ENAM
Begitu serangannya gagal, gadis berbaju ungu itu segera melampiaskannya ke
arah bayangan itu yang memapak serangan tadi.
"Yeaaa!"
"Hup!"
Bett!
Ujung pedang di tangan gadis itu menyambar-nyambar dahsyat menimbulkan hawa
dingin yang hebat. Namun lawan yang dihadapinya kali ini pun cukup gesit.
Tubuhnya mampu meliuk-liuk seperti orang menari untuk menghindari sambaran
pedang lawan. Kemudian mendadak sosok bayangan biru tadi balas menyerang
dengan kecepatan tinggi. Dan tentu saja ini sangat mengagetkan gadis berbaju
ungu tadi. Maka dia cepat melenting ke belakang sambil membuat gerakan
berputar untuk menghindari sambaran ujung kipas sosok berpakaian biru yang
seperti mengurungnya.
"Siapa kau?!" bentak gadis berbaju ungu itu ketus bercampur geram ketika
kedua kakinya menjejak di tanah.
Di depan gadis berbaju ungu, terlihat seorang gadis cantik memakai baju
biru muda dengan kipas di tangan.
"Siapa pula kau?!" bentak gadis yang tak lain dari Pandan Wangi.
"Keparat! Kau pikir kepandaianmu sudah hebat, sehingga mau jadi pahlawan?!
Kau akan mampus bersama tua bangka busuk itu!" geram gadis berbaju ungu
itu.
Setelah berkata demikian, kembali gadis berbaju ungu itu melesat menyerang
Pandan Wangi. Bersamaan dengan itu, melompat pula pemuda yang tadi
bersamanya.
"Kania! Biar kita bereskan bersama perempuan pengacau ini agar urusan lebih
cepat!" teriak pemuda yang namanya Mintarja. Sedangkan gadis berbaju ungu
itu adalah Kaniawati.
"Biarkan mereka bermain-main, Kisanak. Dan aku ingin bermain-main pula
denganmu," sahut Rangga tenang sambil melompat menghadang Mintarja.
"Sial! Siapa kau?!" bentak Mintarja, mengurungkan niatnya untuk ikut
menyerang Pandan Wangi.
"Apa perlunya kau ketahui?" sahut Rangga.
"Keparat! Kalau begitu kau akan mampus tanpa nisan!" dengus Mintarja
tajam.
"Hm... Sayang sekali, Kisanak. Saat ini aku masih belum ingin mati," jawab
Rangga enteng.
"Huh! Yeaaa...!"
Ujung tongkat Mintarja langsung berputar-putar menyambar Pendekar Rajawali
Sakti. Sesekali terlihat lidah api yang menyambar, menimbulkan hawa panas
luar biasa ketika kedua tongkat itu diadu satu sama lain. Namun, agaknya
Rangga mampu menghindari setiap serangan lawan, dengan menggunakan jurus
Sembilan Langkah Ajaib.
Sebenarnya, kedua tongkat Mintarja amat berbahaya. Selain keras dan kuat,
juga mampu menyemburkan lidah api yang akan menghanguskan apa saja yang
terkena. Pendekar Rajawali Sakti menyadari kalau tak bisa terus-menerus
bertangan kosong. Rasanya kalau tongkat itu sudah disingkirkan, akan lebih
mudah untuk menaklukan lawannya.
"Hiyaaa!"
Bet! Bet!
"Hup...!"
Nyaris dada Pendekar Rajawali Sakti robek tersambar ujung tongkat Mintarja,
kalau tidak cepat melompat ke atas. Namun, tongkat lawan yang satu lagi
terus menyambar mengikuti. Masih untung dia talah memperhitungkan hal itu,
dengan melenting berputar. Sehingga, Pendekar Rajawali Sakti terbebas dari
jangkauan senjata lawan. Dan baru saja Rangga menjejak tanah, ujung tongkat
Mintarja kembali menyambar kearah leher. Seketika kepalanya dimiringkan
sedikit, kemudian cepat melejit ke atas.
"Yaaa!"
"Huh! Jangan harap lolos dariku, bangsat!" geram Mintarja langsung
mengejar. Tepat ketika Mintarja berada di udara, Pendekar Rajawali Sakti
sudah mencabut pedang pusakanya. Tampak sinar biru memancar dari batang
pedang di tangan pemuda berbaju rompi putih itu, sehingga orang-orang yang
berada di sekitarnya kontan terkejut. Termasuk Mintarja sendiri, begitu dia
hampir menggerakkan senjatanya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Dan Mintarja
makin terkejut ketika tiba-tiba pedang Rangga menyambar ke arahnya. Maka mau
tak mau salah satu senjatanya diayunkan untuk menangkis.
Trak!
Begitu cepat kejadian itu berlangsung, sehingga Tubuh masing-masing kontan
terjajar beberapa langkah. Bahkan Mintarja sempat terhuyung-huyung, namun
cepat menguasai keseimbangan. Memang, benturan yang disertai tenaga dalam
hebat itu menghasilkan getaran yang dahsyat. Tak heran kalau satu sama lain
bisa terjajar.
"Keparat!" maki Mintarja, begitu menyadari kalau saat itu senjatanya telah
terputus menjadi tiga bagian.
Dengan kegeraman yang amat sangat, Mintarja kembali melesat disertai ayunan
senjatanya yang tinggal satu. Dan ternyata, serangan itu bukan hanya sekedar
melalui tongkatnya saja.
Werrr! Werrr!
Begitu cepat Mintarja mengibaskan tongkatnya sehingga seketika beberapa
senjata rahasia melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Maka Rangga cepat
bergeser ke samping kiri sambil mengayunkan pedangnya Seketika disam barnya
senjata-senjata rahasia itu. hingga rontok tak tersisa.
"Hm... Kalajengking Api! Kau tak bisa mengandalkan binatang-binatang
beracun itu, Kisanak. Usahamu akan sia-sia saja. Lebih baik, sadarlah jangan
teruskan sepak terjangmu yang gila dan diliputi dendam ini. Kembalilah ke
jalan yang benar. Gunakanlah hidupmu sebaik-baiknya." ujar Pendekar Rajawali
Sakti, begitu berdiri tegak lagi.
"Puihh! Jangan coba-coba menasehatiku, keparat! Kau akan kubinasakan saat
ini juga. Yeaaa!" bentak Mintarja.
Seketika pemuda itu menyorongkan telapak tangan kirinya ke arah Pendekar
Rajawali Sakti. Maka dari telapak kirinya melesat selarik sinar kuning
keemasan ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Uts! Edan!" sentak Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar Rajawali Sakti cukup
terkejut merasakan hawa panas luar biasa dari angin sambaran pukulan lawan
tadi.
Masih untung dia cepat mengelak ke samping. Sehingga sinar itu hanya lewat
hampir dua jengkal dari pinggangnya. Dan Mintarja tak berhenti sampai di
situ. Seketika tubuhnya melesat dengan ujung tongkat menyambar ke arah leher
Rangga. Dengan kecepatan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke
belakang. Tapi....
Werrr! Werrr!
Kembali Mintarja melemparkan kalajengking-kalajengking beracunnya, begitu
serangannya gagal. Mintarja agaknya sengaja melemparkan senjata-senjata
rahasianya hanya untuk membuat repot Pendekar Rajawali Sakti. Karena
bersamaan dengan itu, tubuhnya bergerak laksana kilat ke arah Rangga
disertai satu pukulan maut. Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat
melenting seraya berputaran sambil menyabetkan pedangnya.
Tras! Tras!
Seketika seluruh kalajengking api itu habis terpapas pedang pusaka Pendekar
Rajawali Sakti. Dan begitu Rangga menjejakkan kakinya di tanah, Mintarja
sudah hampir dekat dengannya. Maka sebelum serangan pukulan datang, Rangga
cepat mendahuluinya dengan sodokan kaki kiri ke arah lambung. Namun dengan
tangkas Mintarja memapak dengan sapuan tendangannya. Lalu, seketika tubuhnya
melenting ke atas melewati kepala Mintarja. Begitu sampai berada di udara,
Pendekar Rajawali Sakti cepat meluncur turun. Dan seketika dilepaskannya
satu tendangan ke arah punggung. Cepat sekali gerakan Rangga, sehingga
Mintarja tak sempat menyadarinya. Sehingga...
Dess!
"Aaakh!"
Mintarja menjerit keras ketika satu tendangan keras menghantam punggungnya.
Tubuhnya tersungkur ke depan, namun masih mampu menguasai diri. Bersamaan
dengan itu, cepat berbalik. Dan seketika dilemparkannya senjata senjata
rahasianya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Dan tanpa mempedulikan rasa
sakit yang dideritanya, dia sudah melompat menyerang kembali dengan pukulan
jarak jauh yang mengeluarkan sinar kuning keemasan.
"Hiyaaa!"
"Hm... Kau coba bertindak nekat agaknya! Bersiaplah, Kisanak. Aku akan
memberi pelajaran sedikit tapi pasti tak akan kau lupakan! Yeaaa!" gumam
Pendekar Rajawali Sakti setelah memapas senjata-senjata rahasia lawan hingga
rontok.
Bersamaan dengan itu juga tubuh Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat,
menyorongkan tangan kirinya ke depan. Maka dari telapak tangan kirinya yang
terbuka melesat selarik sinar merah dari 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
Seketika, sinar merah itu meluncur memapak sinar kuning keemasan yang juga
meluncur cepat. Sehingga...
Glarrr!
Begitu dua sinar berlainan jenis beradu di satu titik, terdengar ledakan
dahsyat. Lalu....
"Aaakh...!"
"Yeaaa!"
Tampak tubuh Mintarja terlempar ke belakang disertai pekik kesakitan, serta
ceceran darah segar. Dan sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Pendekar Rajawali
Sakti telah melesat cepat melakukan serangan berikutnya. Mintarja sendiri
jadi terkejut. Sama sekali tak disangka kalau lawannya mampu bergerak
secepat itu. Cepat dia bangkit berdiri, lalu mengayunkan tongkatnya untuk
menangkis.
Trak!
Mintarja makin terkejut begitu menyadari tongkat ditangannya putus menjadi
tiga bagian hanya sekali dibabat saja. Begitu terkejutnya, sehingga dia lupa
kalau Pendekar Rajawali Sakti masih meluruk ke arahnya dengan hantaman
tangan kiri ke arah dada.
Dragh!
"Aaakh...!"
Mintarja memekik setinggi langit, begitu dada-nya terhantam tangan kiri
Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan beberapa tulang dadanya patah sehingga
suaranya sampai kedengaran tadi. Tubuh pemuda itu kontan ambruk, tanpa
perlawanan lagi.
"Keparat! Aku akan balas perlakuanmu ini dengan cara yang lebih
menyakitkan!" teriak Mintarja, seraya mengusap darah yang mengalir dari
sudut-sudut bibirnya.
"Kakang...?! Oh, Kakang! Keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengus
Kaniawati ketika melihat keadaan kekasihnya. Seketika itu Kaniawati terus
melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan kemarahan
meluap-luap.
"Kakang! Biar kuhadapi dia!" teriak Pandan Wangi gemas, dan langsung
melesat mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Pandan! Mundurlah! Biar sekalian gadis ini kuberi pelajaran agar tidak
besar kepala," ujar Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
Tanpa menunggu serangan lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah langsung
melompat dengan kelebatan pedang pusakanya untuk menekan ayunan pedang gadis
itu.
Trasss!
Kaniawati tersentak kaget, begitu serangannya ditahan Pendekar Rajawali
Sakti. Apalagi ketika menyadari kalau pedangnya langsung putus menjadi dua
bagian. Namun dia tidak bisa terlalu lama dalam keterkejutannya. Dan dia
harus melompat karena tendangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti
cepat mengarah ke dadanya. Gadis itu langsung bersalto ke belakang seraya
mengebutkan tangannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Serrr! Serrr!
Kaniawati mencoba menyerang lawan dengan lemparan 'Racun Ulat Salju'.
Namun, pedang Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat lagi bergerak.
Cras! Cras!
Dan tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu terus melesat keras ke arah Kaniawati
yang baru saja menjejak tanah. Dengan perasaan geram, gadis itu membalas
dengan menghentakan kedua tangannya ke depan. Maka seketika dari kedua
telapaknya melesat cahaya biru keputih-putihan. Itulah pukulan 'Banyu Ti'is'
yang mampu membuat lawan mati membeku dalam sekejap mata saja. Tapi agaknya
Pendekar Rajawali Sakti telah menduga. Maka langsung dibalasnya 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali', yang mampu mengeluarkan sinar merah, sehingga...
Desss!
"Aaakh!"
Kedua sinar itu beradu tepat di tengah-tengah. maka terdengarlah seperti
suara besi panas yang dicelupkan ke dalam air. Bahkan kemudian terde-ngar
pekikan kesakitan, sinar merah yang keluar dari pukulan Rangga terus menderu
menghantam nya. Tubuh gadis itu kontan terjungkal, dan berkali-kali
memuntahkan darah segar.
Pendekar Rajawali Sakti menyarungkan kembali pedang pusakanya. Matanya
menatap tajam sambil mendekati gadis berbaju ungu yang tertatih-tatih
berusaha bangkit.
"Pergilah kau dari sini. Dan, bawa kawanmu itu! Jangan coba-coba membuat
bencana lagi!" dingin suara Pendekar Rajawali Sakti, tegas.
Kaniawati menyadari kalau pukulan lawan tadi menghantam telak tubuhnya,
sehingga membuat luka dalam yang cukup parah. Hanya karena tenaga dalamnya
saja yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu bertahan. Tapi kalau dia
mencoba terus menyerang lawan, bisa dipastikan dirinya sendiri yang akan
celaka. Maka dengan hati diliputi dendam kesumat, gadis itu menatap tajam
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kami akan mengingat peristiwa ini. Dan kelak akan ada pembalasan setimpal
bagimu. Sebutkan siapa kau sebenarnya?!" dengus Kaniawati.
"Kau boleh membalas dendam kapan saja. Pendekar Rajawali Sakti tak akan
mundur setapak pun."
"Hm, Pendekar Rajawali Sakti! Kau harus ingat. Nantikan pembalasan kami
atas campur tanganmu ini!" lanjut Kaniawati geram sambil melangkah pelan
mendekati Mintarja.
Dengan terpaksa Kaniawati memapah Mintarja. Kemudian dengan tertatih-tatih
mereka meninggalkan tempat itu diiringi caci maki dan lemparan batu dari
penduduk desa itu. Bahkan beberapa orang hendak membunuh dengan
senjata-senjata tajam siap di tangan.
"Hentikan! Biarkan mereka pergi!" bentak Pendekar Rajawali Sakti nyaring
menggelegar.
Mendengar bentakan yang menggema ke segala arah, banyak di antara mereka
yang menggerutu kesal bercampur geram. Namun tak seorang pun yang berani
membantah. Sampai kedua orang itu lenyap dan pandangan, kerumunan penduduk
desa masih terus mengumpat-umpat tak habis-habisnya.
"Mereka agaknya tak senang dengan keputusanmu, Pendekar Rajawali Sakti..,"
kata Ki Wikalpa lirih.
"Ya... Aku menyadari hal itu, Ki Wikalpa..." sahut Rangga. "Tapi mereka
masih muda dan belum banyak pengalaman hidup. Hati mereka penuh dendam
kesumat. Aku berharap, pelajaran itu bisa membuka mata mereka. Sehingga
menentukan jalan hidup mereka ke arah yang lebih baik"
"Aku khawatir harapanmu sia sia..."
"Kenapa?"
"Melihat ilmu olah kanuragan serta senjata yang digunakan, aku yakin kalau
mereka adalah murid Ki Sara Geni dari puncak Gunung Merapi, dan Nyi Lengser
dari puncak gunung Rijasangka. Mereka bukan tokoh sembarangan. Kuat
dugaanku, merekalah yang menyelamatkan putra-putri Ki Rogo Janggat dan Ki
Sempang Jinggolo. Lalu kedua anak itu di didik untuk membalaskan dendam
kedua orangtuanya pada kami. Aku yakin hal itu, karena Ki Sara Geni dan Nyi
Lengser bersahabat akrab dengan kedua tokoh yang tewas di tangan kami dua
puluh tahun lalu," jelas Ki Wikalpa.
Rangga mengangguk-angguk kepala mendengar penjelasan orang tua itu.
"Pendekar Rajawali Sakti, maaf. Aku tahu kepandaianmu hebat. Bahkan boleh
disebut sebagai pendekar nomor wahid di negeri ini. Tapi Ki Sara Geni dan
Nyi Lengser bukan tokoh sembarangan. Kepandaian mereka sangat hebat dan tak
terukur. Apa yang dimiliki kedua muridnya, barangkali hanya separo dari
kehebatan yang dimiliki gurunya. Kau patut hati-hati jika suatu saat bertemu
mereka," sambung Ki Wikalpa memperingatkan.
"Maksud Ki Wikalpa, kedua guru mereka akan membalaskan sakit hati muridnya
kepadaku?" tanya Rangga ingin kepastian.
"Hal itu tak mengherankan, bukan?"
"Ya, aku mengerti. Tapi aku siap menghadapi mereka, apa pun yang terjadi."
sahut Rangga setenang mungkin.
"Rangga.. Aku merasa hal ini amat merepotkanmu. Kamilah sebenarnya yang
diincar mereka. Dengan campur tanganmu, maka kini sasaran mereka yang utama
adalah kau. Baru kemudian, menyelesaikan urusan dengan kami...," kata Ki
Wikalpa lirih.
"Ki Wikalpa. Sudah selayaknya kita saling tolong menolong. Anggap saja ini
merupakan kewajibanku. Nah! Kurasa, sekarang kami mohon diri dulu. Permisi."
pamit Rangga, sambil berbalik dan melangkah pergi diikuti Pandan
Wangi.
Dalam perjalanan, terlihat Pandan Wangi lebih banyak berdiam diri tak
seperti biasanya. Beberapa kali Rangga meliriknya namun gadis itu seperti
tak ingin berpaling.
"Ada apa, Pandan?" tanya Rangga ketika mereka telah berada di luar desa.
Pandan Wangi memandang sekilas, kemudian kembali meluruskan pandangan ke
depan. Wajahnya tampak gelisah.
"Pandan, adakah sesuatu yang merisaukan hatimu...?" desak Rangga
lembut.
"Kedua orang itu, Kakang. Aku khawatir kau tak akan mampu
menghadapinya...," cetus Pandan Wangi lirih.
"Guru mereka maksudmu?"
Pandan Wangi mengangguk.
"Kalau kepandaian guru mereka benar dua kali lipat dari murid-muridnya,
Kakang tentu berada dalam keadaan berbahaya. Aku tak tahu, apakah bisa
menolong banyak atau tidak," lanjut gadis itu lirih.
"Pandan..., Aku telah memikirkan hal itu. Yang jelas kita tak mungkin
mundur menghadapi kezaliman. Kau tak perlu khawatir. Aku yakin, hidup mati
seseorang bukanlah di tangan manusia, meski bagaimanapun tingginya kemampuan
seseorang," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Pandan Wangi tak berkata-kata lagi. Dan mereka terus melanjutkan
perjalanan.
***
TUJUH
Kekhawatiran Pandan Wangi beberapa hari ini agaknya mulai beralasan.
Buktinya ketika mema suki Desa Gelagah, Rangga dan Pandan Wangi melihat
sebuah lembaran yang berisi tulisan. Dan itu sudah yang ketujuh kalinya
mereka menemukan lembaran seperti ini. Hanya kali ini, lembaran itu beda
dengan yang pernah mereka lihat!
Lembaran dari kulit itu, ditancapkan di sebuah batang pohon besar, tepat di
sebelah gerbang perbatasan desa itu. Yang menarik bagi Rangga untuk
membacanya kembali adalah pisau yang menjadi alat penempel lembaran. Dan
yang lebih menarik lagi, ternyata lembaran itu ditulis dengan tinta darah!
Bunyinya,
Aku menantang Pendekar Rajawali Sakti untuk bertarung di Puncak Gunung
Rinjani pada bulan purnama ini. Jika dia tak datang, berarti malapetaka akan
menimpa orang banyak.
Rangga menghela napas pendek ketika selesai membaca tulisan yang tertera di
batang pohon itu. Pandan Wangi memandangnya sekilas, kemudian turun dari
kudanya. Gadis itu melangkah sebentar, lalu duduk di atas sebuah batu besar
tak jauh dari situ. Sedangkan Rangga juga turun, lalu melangkah ke hadapan
gadis itu.
"Bagaimana Kakang? Apakah kita akan kesana? Sudah tujuh tulisan seperti itu
kita temui selama dalam perjalanan ini. Apakah Kakang akan mendiamkannya
saja?" tanya Pandan Wangi agak risau.
Rangga tak menjawab. Bibirnya hanya tersenyum, lalu duduk di hadapan gadis
itu. Sebentar kepalanya mendongak melihat ke angkasa. Sebentar kemudian dia
sudah menatap Pandan Wangi dalam-dalam. "Kalau aku tak memenuhi
tantangannya, apakah kau kira aku takut?" tanya Pendekar Rajawali Sakti
pelan.
"Kakang! Aku mengerti, kau tak gentar pada siapa pun. Tapi apakah akan kau
biarkan namamu tercemar, tak mempedulikan tantangannya?"
"Kalau aku mengikuti tantangannya, sama artinya menyombongkan diri," jawab
Rangga kalem.
"Tapi, Kakang! Banyak orang akan menjadi korbannya kalau tantangannya tak
kau penuhi," kata Pandan Wangi, agak keras.
"Hm... Kukira orang itu hanya menggertak saja...," sahut Rangga
tenang.
"Aku pun berharap demikian. Tapi, bagaimana kalau ternyata benar?"
Rangga diam tak menjawab. Pada saat itu lewat sebuah kereta yang ditarik
dua ekor kuda. Sementara di belakangnya beberapa penumpang kuda mengiringi.
Kereta itu sendiri agaknya bukan kendaraan sembarangan. Bentuknya saja
indah, dengan jendela di kiri dan kanan yang dilapisi tirai
berbunga-bunga.
"Hei...? Bukankah itu Pendekar Rajawali Sakti?! Aku pernah melihatnya di
Desa Pasir Batang!" seru orang itu.
Rombongan itu berhenti, ketika salah seorang di antara mereka agaknya
mengenali Pendekar Rajawali Sakti. Mendengar teriakan itu, yang lain segera
menghentikan langkah kudanya. Seketika mereka berpaling ke arah Rangga dan
Pandan Wangi.
"Hei, Pendekar Rajawali Sakti! Apakah kau akan menyambut tantangan Ki Sara
Geni?" tanya seseorang.
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu.
"Atau, kau kini telah menjadi seorang penakut?!" timpal yang lain.
"Ha ha ha...!"
Kata-kata itu disambut tawa terbahak-bahak oleh yang lainnya. Rangga dan
Pandan Wangi sendiri tak mengacuhkannya. Dan kedua pendekar dari Karang
Setra itu segera bangkit berdiri, lalu menghampirinya. Begitu telah berada
di punggung kuda, mereka segera berlalu dari tempat itu.
Rangga menyadari kalau sebenarnya orang-orang itu telah kesal, karena belum
ada tanda-tanda tantangan itu ditanggapinya. Itu sebabnya, Rangga lebih suka
untuk pergi dari situ daripada meladeni orang-orang tadi. Tapi hal itu
justru membuat Pandan Wangi mencak-mencak sendiri. Gadis itu memang mudah
tersinggung melihat perlakuan orang yang dirasakannya keterlaluan. Seperti
penduduk Desa Glagah ini.
***
Waktu yang ditentukan Ki Sara Geni telah berlalu tadi malam. Dan rupanya
Pendekar Rajawali Sakti tak memenuhi tantangan orangtua itu. Semula Rangga
tak begitu mempedulikan ancaman Ki Sara Geni. Tapi ketika pagi ini melihat
sebuah desa, ternyata Ki Sara Geni membuktikan ancamannya!
Dalam setiap sudut terlihat mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan tubuh
hangus terbakar, tampak orang berduyun-duyun mengungsi, ke tempat yang lebih
aman. Rangga dan Pandan Wangi terus menggebah kudanya dengan kecepatan
sedang. Sementara korban korban yang ditemui semakin banyak. Bukan saja yang
berasal dari golongan persilatan, tapi rakyat biasa pun ikut dibantai!
Memang agaknya Ki Sara Geni tak memilih-milih korbannya. Tentu saja hal ini
amat mencemaskan Pendekar Rajawali Sakti. "Huh! Aku tak bisa membiarkan hal
ini terus berlangsung. Mari, Pandan. Kita cari dia!" geram pemuda itu dengan
marah meluap-Iuap.
***
Perguruan Silat Batu Kuwung yang berada di daerah selatan memang sudah
dikenal di berbagai kalangan persilatan. Selama dua puluh tahun terakhir,
terutama sejak dipegang seorang tokoh persilatan berkepandaian tinggi.
Namanya Ki Garda Raga yang lebih dikenal sebagai Pendekar Pedang Bambu
Kuning. Pada masa mudanya memang pernah menggetarkan rimba persilatan. Tak
heran kalau tokoh-tokoh tua sering menyebut-nyebutnya.
Siang hari ini, seperti biasanya murid-murid Perguruan Batu Kawung tengah
beristirahat setelah berlatih sejak pagi tadi, Ki Garda Raga sendiri berniat
akan istirahat di dalam rumah utama perguruan itu. Namun baru saja orangtua
berusia empat puluh delapan tahun itu berbalikkan tubuhnya, mendadak pintu
gerbang depan hancur berantakan. Tentu saja hal itu, tak hanya membuat kaget
dirinya, tapi juga seluruh murid perguruan Batu Kuwung!
Dan di ambang pintu yang telah jebol berantakan itu telah berdiri tegak
orangtua bertubuh kurus terbungkus baju compang-camping. Sorot matanya
tajam, dan kulitnya merah kehitaman dengan wajah penuh kerut, Kepalanya
hampir tak di tumbuhi rambut, kecuali di bagian tengkuknya. Itu pun
jarang-jarang dan sudah memutih.
"Orangtua! Siapa kau?! Dan, mengapa menga-cau tempat ini?!" bentak seorang
murid, langsung menghadang.
Murid itu telah siap mencabut pedang yang sejak tadi tergenggam di
tangannya. Bahkan dua orang kawannya juga bergegas mengikuti. Mereka
mengawasi orangtua yang tangan kirinya menggenggam dua buah tongkat runcing
terbuat dari batu gunung.
"Hiyaaa!"
Namun tanpa basa-basi lagi, tubuh orangtua berpakaian compang-camping itu
sudah bergerak cepat.
Craaas!
"Aaa...!"
Kedua ujung tongkatnya langsung menyambar ketiga murid Perguruan Batu
Kuwung yang kalah cepat dalam memainkan senjata. Tubuh mereka langsung
ambruk dengan bagian dada terluka lebar. Setelah menggelepar, mereka tewas
berlumur darah. "Keparat! Pengacau busuk! Kau datang hanya membawa bencana.
Mampuslah sekarang juga! Yeaaa!" bentak salah seorang murid lain langsung
diserang orangtua itu, diikuti kawan-kawannya yang lain.
"Hup!"
Orang tua bertubuh kecil itu melesat cepat sekali mengayunkan kedua
tongkatnya yang runcing. Gerakannya cepat bukan main! Bahkan tak seorang pun
dari murid-murid perguruan itu yang mampu melihat ke mana arah kelebatannya.
Dan tahu-tahu...
Trasss!
Brettt!
"Aaa...!" terdengar pekik kesakitan yang saling sambung. Tujuh orang murid
Perguruan Batu Kuwung kembali berguguran dalam keadaan mengerikan! Sementara
orang tua itu terus bergerak cepat menyambar yang lainnya sebelum di
serang.
Traaas!
Breeet!
"Aaa...!"
Korban terus berjatuhan tanpa terelakkan lagi, disertai pekikan menyayat.
Tentu saja Ki Garda Raga tak bisa membiarkan hal ini terus berlangsung.
Maka...
"Orangtua! Hentikan tindakanmu! Akulah lawanmu!"
Namun baru saja kata-kata Ki Garda Raga se-lesai, tubuh laki-laki tua yang
tengah membantai murid-murid Perguruan Batu Kuwung itu melesat ke
arahnya.
"Uts! Sial!"
Ki Garda Raga cepat melenting ke belakang ketika satu tendangan lawan
menderu menghantamnya. Namun baru saja mejejak tanah, orang tua itu sudah
meluruk ke arahnya dengan satu sambaran senjata berbentuk tongkat dari batu
itu. Tak ada kesempatan lagi bagi Ki Garda Raga untuk menghindar, selain
memapak dengan ayunan pedang bambu kuning di tangannya.
Wuuut!
Trak!
Bukan main terkejutnya Ki Garda Raga ketika senjatanya beradu dengan
senjata orang tua itu. Betapa tidak? Telapak tangannya kontan terasa nyeri
dan terkelupas. Bahkan hampir saja genggaman pedangnya terlepas. Dan belum
juga dia bersiap kembali senjata orang itu menyambar ke arah dadanya. Begitu
cepat gerakan orangtua itu, sehingga buru-buru Ki Garda Raga melenting ke
belakang. Namun usahanya terlambat sedikit Karena...
Breeet!
"Aaakh!
Betapa terkejutnya Ki Garda Raga, karena senjata orang tua itu masih sempat
merobek dadanya, sehingga membuatnya memekik kesakitan. Tampak darah
mengalir lewat sela-sela jari tangannya yang mendekap luka di dada, begitu
kakinya menjejak tanah. Sementara agaknya orangtua bertubuh kecil itu tak
suka berbasa-basi. Dia langsung mengejar, dengan tongkat siap diayunkan ke
arah Ki Garda Raga.
"Hiiih!"
Ketika tongkat orang tua itu meluncur deras ke arah dadanya Ki Garda Raga
segera menangkis dengan pedangnya.
Trakkk!
Prasss!
Bukan main terkejutnya Ki Garda Raga ketika melihat pedang di tangannya
terlepas dari genggaman dalam keadaan patah. Bahkan dia belum menghilangkan
keterkejutannya, kembali tongkat yang lain milik orang tua itu datang
menyambar ke leher. Maka buru-buru Ki Garda Raga menunduk. Namun kaki kiri
orang tua itu cepat melepaskan tendangan ke perutnya sehingga...
Desss!
"Aaakh!"
Ki Garda Raga memekik kesakitan, begitu tendangan orang tua itu mendarat
telak di perutnya. Tubuhnya terangkat tiga jengkal dari tanah. Padahal, saat
itu lawannya sudah siap dengan sabetan tongkatnya. Nyawa Ki Garda Raga
benar-benar bagai telur di ujung tanduk. Namun....
Mendadak melesat sebuah benda sebesar kepalan tangan, dan langsung
menghantam tangan orang tua yang akan menyabetkan tongkatnya.
Trakkk!
Orang tua itu bukan main terkejutnya, ketika serangannya gagal akibat
tangannya terhantam sebuah batu yang dilempar dengan pengerahan tenaga dalam
yang sangat sempurna. Langsung serangannya pada Ki Garda Raga dihentikan,
lalu berbalik.
Tahu-tahu di depan orang tua itu pada jarak delapan langkah, berdiri tegak
seorang pemuda berwajah tampan rupanya, pemuda rambut panjang terurai inilah
yang menggagalkan serangannya pada Ki Garda Raga dengan lemparan batu tadi.
Pemuda berbaju rompi putih itu menatap tajam pada orang tua di
depannya.
"Hm... Boleh juga kepandaianmu, Bocah. Siapa kau?!" tanya orang tua itu
dingin.
"Kaukah Ki Sara Geni.'?" sahut pemuda itu balas bertanya.
"Hm... Jadi kau orangnya yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti!" dengus
orang tua itu langsung menduga.
"Begitulah orang-orang menyebutku...," sahut pemuda itu tenang.
"Dan gadis di belakangmu itu yang berjuluk si Kipas Maut?"
"Ternyata matamu jeli untuk mengenali seseorang, tapi buta terhadap rasa
kasih sayang terhadap sesama manusia," sahut pemuda yang tak lain memang
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan di belakangnya berdiri Pandan
Wangi.
Rupanya dalam pencarian Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi secara tak
sengaja melintasi jalan yang tak jauh dari Perguruan Batu Kuwung. Dan mereka
mendengar teriakan-teriakan pertarungan. Makanya kemudian Rangga langsung
menolong, setelah memperhatikan mana yang harus ditolong, dan ketika melihat
senjata yang dipakai orang tua itu, Rangga menduga kalau dia adalah Ki Sara
Geni, masalahnya hanya senjata itu yang pernah dipakai Mintarja.
"Ha ha ha...! Jadi inikah tampang orang yang telah mencoreng mukaku dengan
melumpuhkan muridku?!" dengus orang tua yang tak lain dari Ki Sara Geni
sambil tertawa sinis.
Tapi kemudian wajah orang tua itu cepat berubah kelam. Kelopak matanya
menyipit, lalu me langkah tenang tiga langkah ke depan. Dan matanya terus
mengawasi Pendekar Rajawali Sakti tanpa berkedip.
"Bocah! Lekas cabut pedangmu. Aku tak ingin banyak bicara denganmu. Ingin
kulihat, sampai di mana kehebatanmu yang telah kesohor itu!" tantang Ki Sara
Geni.
"Ki Sara Geni! Sebenarnya hal ini tak perlu..."
"Uts!" Belum selesai kata-kata Pendekar Rajawali Sakti, Ki Sara Geni telah
melompat menyerang dengan kecepatan dahsyat. Sehingga, terpaksa Pendekar
Rajawali Sakti melompat ke samping kiri untuk menghindari sambaran ujung
tongkat lawan.
"Hiiih!"
Sejak bertarung melawan Ki Garda Raga, Ki Sara Geni selalu bertindak cepat
dan bermaksud menghabisi lawan secepat mungkin. Tak heran kalau segenap
kemampuannya dikerahkan. Terlebih-lebih, terhadap Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga bukannya tak menyadarinya. Dalam gebrakan pertama saja dia tak
menyangka kalau lawannya mampu bergerak secepat kilat. Dan kini, kedua
tongkat Ki Sara Geni telah mengurung ketat gerakannya Pendekar Rajawali
Sakti seperti tak mampu berbuat banyak. Dalam keadaan bertangan kosong
begitu rupa, dia betul-betul terdesak hebat.
"Yeaaa!
Tampak ujung tongkat Ki Sara Geni menyambar ke arah perut. Namun gesit
sekali Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke samping. Dan baru saja Rangga
bermaksud balas menyerang dengan tendangan keras, ujung tongkat Ki Sara Geni
yang satu lagi telah lebih dulu menyambar ke arah leher. Maka terpaksa
Pendekar Rajawali Sakti melenting seraya berputaran.
"Hup!"
Baru saja Rangga menjejakkan kedua kakinya di tanah, ujung tongkat Ki Sara
Geni kembali menyambar perutnya. Rangga terkesiap sebentar, lalu melompat ke
samping. Namun ternyata ujung tongkat satu lagi milik lawannya telah
menunggu. Sebisanya Rangga mengelak, namun terlambat karena...
Brettt!
Tak urung pinggang Rangga robek, tersambar ujung tongkat Ki Sara Geni Darah
kontan mengucur dari tubuh yang terluka cukup lebar. Belum juga Rangga
menyadari betul apa yang terjadi, tiba-tiba kaki kiri Ki Sara Geni meluncur
kearah dadanya. Begitu cepat gerakannya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti
tak marnpu menghindar. Sehingga...
Desss!
"Aaakh!"
Pendekar Rajawali Sakti kontan terjajar beberapa langkah, disertai teriakan
tertahan, begitu dadanya terhantam tendangan dahsyat bertenaga dalam
tinggi.
"Kakang....!" Pandan Wangi terpekik kaget ketika melihat pemuda itu
terjajar limbung.
Sring!
"Orang tua busuk, mari hadapi aku!" bentak Pandan Wangi nyaring.
"Pandan, jangaaan...!" Rangga terkejut melihat tindakan gadis itu.
Tapi mana mau Pandan Wangi mendengarnya dalam keadaan kalap begitu. Bahkan
pedangnya telah menyambar ke arah leher orang tua itu. Namun Ki Sara Geni
bukannya mengelak. Sambil mendengus garang, dipapaknya pedang gadis itu
dengan tongkatnya.
Trakkk!
Bukan main terkejutnya Pandan Wangi, ketika merasakan tangannya bergetar
hebat akibat benturan dengan senjata lawannya barusan. Kulit tangannya
terkelupas. Bahkan pedang dalam genggamannya terlepas. Sementara itu ujung
tongkat Ki Sara Geni terus menderu menyambar ke arah tenggorokannya. Sebelum
terlambat gadis itu masih sempat memiringkan kepalanya. Namun saat itulah
satu tendangan keras meluncur ke arah perutnya. Dan Pandan Wangi hanya
terkesiap, tak mampu berbuat apa-apa lagi. Maka...
Bugh!
"Uhhh...!"
Pandan Wangi terpekik, begitu perutnya terhantam tendangan keras bertenaga
dalam tinggi. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah sambil memuntahkan darah
segar dari mulutnya.
"Pandan Wangi...!" jerit Rangga keras sambil menghambur mendapati gadis itu
yang terengah- engah berusaha bangkit.
"Bangun kau, Pendekar Cengeng! Mari hadapi aku lagi!" dengus Ki Sara Geni
berdiri tegak dibelakangnya pada jarak lima langkah.
***
DELAPAN
Wajah Rangga yang tadi cemas memikirkan keadaan gadis itu, kini berubah
kelam dengan kemarahan sampai ke ubun-ubun. Pelahan-lahan dia bangkit sambil
memandang Ki Sara Geni dengan sorot mata tajam. Tangan kanannya
perlahan-lahan bergerak meraih pedangnya.
"Orang tua! Hari ini kita akan tentukan, kau atau aku yang akan mampus!"
dingin suara Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak usah banyak bicara. Keluarkan seluruh kepandaianmu karena aku tak
akan segan-segan mencabut nyawamu!" dengus Ki Sara Geni. Dan seketika dia
melompat menyerang.
Pendekar Rajawali Sakti berteriak keras menggelegar. Dan seketika pedangnya
dicabut.
Yeaaa!"
Maka sinar biru langsung memancar dari pedangnya. Ki Sara Geni sedikit
terkejut melihat sinar biru menyilaukan yang terpancar dari batang pedang
lawan. Namun, tak ada waktu lagi untuk memikirkan keterkejutannya, karena
Pendekar Rajawali Sakti telah menghadangnya. Maka langsung salah satu
tongkatnya digunakan memapak.
Trasss!
Betapa terkejutnya Ki Sara Geni, begitu tahu kalau tongkatnya putus menjadi
dua bagian.
"Heh?!"
Dan tentu saja Ki Sara Geni tak mau tongkatnya yang tinggal satu patah
kembali. Dia menambah serangan. Maka seketika itu potongan tongkat di tangan
kiri dihantamkannya dengan tongkat di tangan kanan, dengan sasaran ke arah
Pendekar Rajawali Sakti.
Crakkk!
Pras!
Terlihat lidah api melesat cepat menyambar ke arah Pendekar Rajawali Sakti
akibat benturan dua buah potongan tongkat tadi. Tapi Rangga melenting dan
berputaran diudara, kemudian menangkis dengan kelebatan pedangnya.
Kembali Ki Sara Geni dibuat terkejut ketika melihat nyala api sama sekali
tak berdaya ketika menghantam pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang
sudah mendarat kembali di tanah. Maka dengan melompat sambil berputaran di
udara, dilemparkannya senjata rahasianya berupa kalajengking-kalajengking
berapi ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya sendiri kemudian melesat
mengikuti disertai putaran tongkat yang menimbulkan pusaran angin kencang
berhawa panas luar biasa!
"Yeaaa...!"
Sementara Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega' disertai gerakan ilmu meringankan tubuhnya. Sambil terus
meliuk-liuk di udara, Rangga membabat senjata-senjata rahasia Ki Sara Geni
dengan pedangnya. Namun pada saat itu juga ujung tongkat Ki Sara Geni
menyambar lehernya. Cepat sekali Rangga memiringkan kepalanya ke kanan. Dan
tubuhnya terus mencelat ke atas, disertai tebasan pedang ke arah dada
lawan.
"Hup!"
Cepat sekali Ki Sara Geni melompat ke belakang untuk menghindarinya sambil
berputar. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tak memberi kesempatan sedikit pun.
Dengan gerakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' terus dikejarnya
tokoh tua itu. Bahkan pedang pusaka yang tersilang di depan cepat diusap
batang pedangnya dengan tangan kiri.
Rangga sengaja berbuat demikian untuk menjaga segala kemungkinan yang
terjadi. Dan perkiraannya memang tak meleset. Begitu berhadapan dengannya,
saat itu juga Ki Sara Geni melepaskan pukulan mautnya, 'Pukulan Racun Api'
Seketika dari kedua telapak tangannya melesat selarik sinar kuning keemasan
yang menimbulkan hawa panas luar biasa!
"Aji Cakra Buana Sukma!" bentak Pendekar Rajawali Sakti, seraya
menghentakkan tangan kirinya ke depan.
Seketika dari telapak kiri Pendekar Rajawali Sakti yang terhentak ke depan,
melesat sinar biru yang meliuk-liuk ke arah sinar kuning keemasan tadi.
Sehingga...
Glaaar!
"Aaa...!"
Terdengar benturan keras laksana guntur dahsyat yang memekakan telinga,
begitu dua sinar itu beradu di satu titik. Dan seketika itu juga terdengar
pekikan menyayat. Sementara udara di sekitar tempat itu berubah panas.
Debu-debu beterbangan ke segala arah, ketika tanah ikut bergetar
hebat.
Tampak di antara kepulan debu dua tubuh terlempar beberapa langkah. Begitu
jatuh di tanah tubuh Ki Sara Geni menggelepar-gelepar dengan sinar biru
terus menyelubunginya. Orang tua itu sesaat kemudian diam tak bergerak
dengan tubuhnya menghitam hangus!
"Kakang, kau tak apa-apa...?" teriak Pandan Wangi cemas sambil berlari
kecil mendapati Rangga yang terhuyung-huyung.
Wajah pemuda itu terlihat pucat dan napasnya tak beraturan. Beberapa tetes
darah tampak keluar dari sudut bibirnya.
"Kakang, kau... Kau terluka dalam!" desis Pandan Wangi cemas.
"Tenanglah, Pandan. Aku tak apa-apa...," sahut pemuda itu lirih.
"Kisanak, maaf, Kau jadi begini gara-gara kami. Tapi kami akan mengobati
lukamu sampai sembuh," ucap Ki Garda Raga yang tadi ikut menghampiri pemuda
itu.
"Terima kasih, Kisanak."
Ki Garda Raga segera menyuruh beberapa orang muridnya untuk menuntun tubuh
pemuda itu ke dalam rumahnya. Tapi baru saja akan melangkah...
"Pendekar Rajawali Sakti! Aku tak peduli dengan keadaanmu! Kau harus
bertarung dengaku. Atau, kau boleh mampus saat ini juga!" tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring yang menggema ke segala arah.
Semua orang yang berada di tempat itu serentak berpaling ke arah sumber
bentakan tadi. Tam pak seorang perempuan tua berwajah agak lebar dengan
tubuh kurus sudah berdiri di dekat mayat Ki Sara Geni. Pakaiannya serba
hitam. Rambutnya yang panjang dan telah memutih, dibiarkan lepas begitu saja
sehingga ujung-ujungnya menyentuh panggul.
Wajah perempuan tua itu masih menunjukkan sisa-sisa kecantikan. Tapi sorot
matanya yang tajam, memancarkan sinar keberingasan dan dendam yang mendalam.
Senjatanya sebuah tongkat runcing berwarna hitam. Kelihatannya sama seperti
yang digunakan Ki Sara Geni tadi, tapi bedanya lebih halus dan licin.
"Siapakah kau, Nisanak ini?" tanya Rangga, setelah berbalik.
"Aku Nyi Lengser!" dengus perempuan tua itu dingin.
"Nyi! Kalau memang kau ingin bertarung dengannya, cobalah secara jujur. Dia
tengah terluka akibat pertarungan tadi. Dan kini, kau malah menantangnya
dalam keadaan begini!" sinis ucapan Ki Garda Raga.
"Hi hi hi...! Apa peduliku dengan peraturan sial itu! Lagi pula, bagaimana
kau bisa mengatakan kalau aku tak jujur?! Sudah sejak tadi aku berada di
sini, memperhatikan pertarungan mereka dari awal. Ki Sara Geni itu saudara
seperguruanku! Dan kalau aku berlaku curang, sudah sejak tadi ikut menghajar
pemuda itu. Tapi setelah Ki Sara Geni mampus, maka dia harus berhadapan
denganku. Nah, bocah! Ayolah bersiap-siap!" ujar Nyi Lengser.
Perempuan tua itu segera melangkah pelan mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
Namun beberapa murid Ki Garda Raga bergerak menghadang. Demikian juga Pandan
Wangi. Padahal dia masih merasa sakit, namun tetap memaksakan diri.
"Pandan Wangi, minggirlah. Dan kalian, menepilah. Biar kuhadapi dia," sahut
Rangga tenang.
"Tapi, Kakang! Kau tengah terluka begitu! Sangat berbahaya menghadapinya.
Biar kami saja yang akan menghadapinya!" bantah Pandan Wangi.
"Benar, Kisanak. Kau tak boleh menghadapinya. Biar kami yang akan
menghadapinya!" desak Ki Garda Raga berkeras.
Setelah berkata demikian, Ki Garda Raga langsung menyuruh anak buahnya
mengepung perempuan tua itu.
"Hi hi hi...! Kecoa-kecoa busuk! Apa kalian pikir bisa menahanku di sini,
he! Ayo, majulah. Ingin kulihat, sampai di mana kemampuan kalian!"
Dengan kata-katanya, tampaknya Nyi Lengser bersiap akan menghadapi serangan
lawan-lawannya. Tapi kenyataannya, dialah yang langsung melompat
menyerang.
"Yeaaa!"
Nyi Lengser langsung melesat dengan tongkat dibenturkan satu sama lain.
Gerakan perempuan tua itu cepat bukan main. Bahkan tak kalah dengan apa yang
dilakukan Ki Sara Geni tadi. Akibatnya...
Brettt!
"Aaa...!"
Hanya dalam segebrakan saja, empat murid Ki Garda Raga tewas. Tentunya
melihat hal ini Pendekar Rajawali sakti tidak tinggal diam. Maka....
Wut!
Pandan Wangi terkejut bukan main ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti
nekat memapak serangan lawan untuk melindungi murid-murid Perguruan Batu
Kuwung yang akan menjadi korban perempuan tua itu berikutnya.
"Kakang...?!"
Gadis itu bermaksud akan turun tangan membantu, namun...
"Pandan, minggir! Bawa mereka menjauh. Turuti kataku...!" cegah Rangga
cepat.
Meski dengan perasaan kesal, Pandan Wangi terpaksa menurut juga. Kalau
Rangga sudah terlihat marah begini, Pandan Wangi tak bisa berbuat banyak
lagi.
Meskipun Rangga memiliki pedang yang hebat, tapi gerakannya terlihat
lamban. Sehingga tak heran bila semakin terdesak terus menerus. Dan Pandan
Wangi yang melihat ke arah pertarungan, jadi cemas bercampur geram.
Rangga sendiri bukannya tak menyadari hal itu. Kalau terus meladeni, maka
bisa dipastikan bakal tewas. Maka dia cepat memeras otak untuk mencari akal,
bagaimana caranya mengalahkan perempuan tua itu.
Sementara dengan kemarahan yang meluap, Nyi Lengser menyerang bertubi-tubi
pada Pendekar Rajawali Sakti. Tongkat di tangannya berputar-putar,
menimbulkan hawa dingin yang amat menggigil! Akibatnya beberapa kali
Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus melawan dua serangan sekaligus. Ujung
tongkat lawan yang runcing, dan hawa dingin luar biasa.
"Hiyaaa...!"
Disertai teriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti segera balas menyerang
dengan babatan pedangnya. Tapi gesit sekali Nyi Lengser melesat ke atas.
Bahkan kaki kanannya cepat menendang ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti
disertai tenaga dalam yang cukup tinggi. Begitu cepatnya, sehingga serangan
itu tak mampu lagi dihindari oleh Rangga. Dan...
Diegh!
"Aaakh!"
Rangga memekik nyaring sambil muntahkan darah segar. Tubuhnya terjungkal ke
belakang hingga tiga langkah, namun cepat bisa menguasai diri. Dan Nyi
Lengser agaknya tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan gerakan cepat
bagai kilat tongkat di tangannya diayunkan ke arah lawan di sertai tenaga
dalam setinggi mungkin.
"Yeaaa! Mampus kau!"
"Hiiih!"
Namun Rangga tak kalah sigap. Cepat mata pedangnya digosok dengan tangan
kiri. Seketika tangan kiri yang sudah terselimut cahaya biru itu dihentakkan
ke depan.
"Aji Cakra Buana Sukma!"
Glarrr!
"Aaa...!"
Kejadian itu begitu cepat berlalu. Pandan Wangi tersentak kaget sambil
menjerit keras, ketika melihat Rangga terlempar ke belakang, Ki Garda Raga
serta murid-muridnya terperanjat kaget, ketika mendengar pekikan nyaring
salah seorang yang tengah bertarung.
"Kakang...!"
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti ambruk ke tanah disertai muntahan darah
kental beberapa kali. Wajahnya yang sudah pucat, semakin pucat saja.
Napasnya tak beraturan. Bahkan tubuhnya begaikan tak bertenaga lemah dan tak
berdaya.
"Kakang, kau tak apa-apa?!" tanya gadis itu dengan wajah cemas.
Rangga tersenyum kecil dengan tatapan lemah. Tangannya bergerak pelahan,
menghapus darah yang mengalir di sudut bibirnya.
"Aku tak apa-apa. Bagaimana dia...?"
Pandan Wangi memandang sekilas ke arah tempat jatuhnya Nyi Lengser, Dan
ternyata wanita tua itu diam tak bergerak lagi. Bahkan tubuhnya hangus
menghitam!
"Dia sudah tewas, Kakang...," sahut gadis itu pelan.
Rangga hanya diam saja. Kejadian yang menewaskan Nyi Lengser, memang
berlangsung cepat. Rasanya Pandan Wangi dan Ki Garda Raga sendiri tak
menyangka kalau perempuan tua itulah yang justru tewas.
Sementara itu, murid-murid Perguruan Batu Kuwung menyambut gembira
kemenangan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi dan Ki Garda Raga
segera memapah tubuh Pendekar Rajawali Sakti, memasuki rumah utama perguruan
itu. Memang, Pendekar Rajawali Sakti harus memulihkan luka dalamnya yang
cukup parah. Jadi, tidak dia harus tinggal di situ selama beberapa
hari.
TAMAT
Ikuti petualangan selanjutnya
Emoticon