SATU
"Tolooong...!"
Terdengar teriakan keras melengking tinggi memecah keheningan malam.
Teriakan itu terdengar berulang-ulang dari tepi sebuah hutan yang sangat
lebat dan menghitam pekat. Tampak seorang wanita muda dengan baju koyak dan
tubuh berlumur darah berlari terseok-seok. Wanita itu menjerit-jerit minta
tolong. Tapi tidak seorang pun yang mendengar jeritannya, karena hutan itu
memang sangat jauh dari pemukiman penduduk.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar menghalau suara jeritan wanita
itu.
"Oh!" wanita itu tersentak kaget. Belum lagi hilang keterkejutannya,
tiba-tiba muncul sesosok bayangan hitam! Sebuah caping lebar hampir menutupi
seluruh kepalanya. Mata wanita itu membeliak dengan tubuh bergetar dan wajah
pucat pasi.
"Tolong, jangan sakiti aku.... Ampuuun...," rintih wanita itu
memelas.
Sosok tubuh itu hanya membisu sambil berdiri tegak dengan kedua tangan
sejajar tubuhnya. Pelahan-lahan kakinya terayun semakin dekat. Tubuh wanita
itu pun semakin gemetar dan wajahnya sudah memucat bagai mayat.
"Jangan..., tolong, biarkan aku pergi. Jangan bunuh aku! Jangan...," rintih
wanita itu, bergetar suaranya.
Tidak ada suara sedikit pun yang terdengar dari sosok hitam bercaping lebar
itu. Dia tetap melangkah pelahan semakin mendekat. Dan setelah jaraknya
tinggal tiga langkah lagi, tiba-tiba tangannya bergerak cepat menyampok
kepala wanita itu!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat hari. Dan belum
lagi jeritan itu hilang dari pendengaran, tubuh wanita itu telah ambruk ke
tanah dengan kepala terpisah dari leher! Darah segar pun langsung
menyemburat deras keluar dari leher yang buntung itu.
"Ha ha ha...!"
Kembali terdengar suara tawa terbahak-bahak. Sesaat kemudian, suara tawa
itu menghilang, disertai lanyapnya sosok tubuh hitam bercaping lebar itu.
Kini suasana malam menjadi sunyi seketika. Tidak lagi terdengar suara apa
pun. Malam yang pekat dan awan hitam yang menggantung di langit, membuat
suasana di tepian hutan itu semakin menyeramkan. Angin berhembus agak
kencang, sehingga memperdengarkan suara menggemuruh. Bau anyir darah yang
mengalir deras dari leher tanpa kepala itu, menguar kemana-mana.
Setelah agak lama suasana seperti itu terjadi, dari arah Selatan terlihat
dua orang berlari-lari cepat ke arah tepian hutan. Semakin dekat, semakin
jelas rupa kedua orang itu. Yang seorang terlihat sudah berumur sekitar lima
puluh tahun, ia mengenakan baju putih bersih yang agak ketat, sehingga
membentuk tubuhnya yang tegap berotot. Sedangkan yang satunya lagi terlihat
masih muda, memakai baju biru tua. Di pinggang mereka masing-masing
tergantung sebilah pedang panjang.
Kedua laki-laki itu berhenti, tepat di dekat sosok tubuh wanita yang
menggeletak tak bernyawa lagi dengan kepala terpisah cukup jauh dari
badannya.
"Kita terlambat, Paman," desah pemuda yang memakai baju biru tua.
"Ya," sahut laki-laki setengah baya itu lirih.
Beberapa saat lamanya kedua laki-laki itu hanya diam membisu sambil
memandangi sosok tubuh tidak bernyawa lagi itu. Darah segar masih saja
mengucur dari leher yang buntung. Pemuda berbaju biru tua mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Sedangkan laki-laki setengah baya dan memakai
baju putih itu, melangkah mendekati kepala yang terpisah dari badannya.
Dipungutnya kepala itu dan disatukan kembali dengan lehernya. Kemudian
dibetulkannya letak tubuh wanita itu agar terbaring sempurna. Sebentar
dipandanginya mayat itu, kemudian bangkit berdiri seraya menarik napas
panjang.
"Kumpulkan ranting-ranting kayu, Randu Watung," perintah laki-laki setengah
baya berbaju putih itu.
Pemuda berbaju biru tua yang dipanggil Randu Watung itu tidak membantah.
Segera dipungutnya ranting-ranting yang banyak berserakan di sekitar tepian
hutan ini. Kemudian ditumpuknya ranting-ranting itu untuk mengubur mayat
wanita tersebut, sehingga seluruh tubuhnya tertutup ranting
kering.
Pemuda itu kemudian menyalakan api dari pemantik yang diambilnya dari sabuk
pinggangnya. Api langsung berkobar besar dan melahap ranting-ranting kering
itu. Terdengar ledakan-ledakan kecil, disertai bunga api meletup menghiasi
angkasa yang kelam. Randu Warung melangkah menghampiri laki-laki setengah
baya yang dikenal dengan nama Martalaya itu.
"Lebih baik jasadnya dibakar, daripada dijadikan santapan binatang liar,"
kata Martalaya pelan.
"Sebaiknya kita kembali saja, Paman. Aku khawatir kuda-kuda kita ada yang
mencuri," ujar Randu Warung setengah berbisik.
"Ayolah."
Kemudian kedua laki-laki itu pun mengayunkan kakinya meninggalkan tempat
itu. Mereka berjalan pelahan dengan kepala agak tertunduk. Sesekali
Martalaya menoleh ke belakang, menatap api yang masih terlihat besar. Bau
yang khas mulai tercium. Dan kedua laki-laki itu terus melangkah semakin
jauh meninggalkan tempat itu. Mereka tidak menyadari kalau ada sepasang mata
yang mengawasi dari tempat yang cukup tersembunyi!
***
"Paman...!" seru Randu Watung. Ki Martalaya bergegas menghampiri pemuda
itu. Sejenak mulutnya ternganga dan matanya membeliak lebar. Betapa tidak?
Tempat mereka bermalam sudah porak poranda, dan kuda-kuda mereka pun hilang,
entah ke mana perginya? Padahal baru beberapa saat saja ditinggalkan, karena
mendengar jeritan minta tolong, disusul dengan pekikan panjang melengking
tinggi.
"Sejak semula aku sudah khawatir, Paman," kata Randu Watung bernada
menyesali.
"Randu Watung, kita kedatangan tamu. Hati-hatilah...," bisik Martalaya,
tanpa menghiraukan gerutuan pemuda itu.
Belum lagi Randu Watung bisa membuka mulut, mendadak sebuah bayangan hitam
berkelebat cepat bagaikan kilat dan langsung meluruk deras ke arah pemuda
itu. Namun Randu Watung ternyata bukanlah seorang pemuda kosong. Dengan
kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, pemuda itu melompat ke samping
menghindari terjangan bayangan hitam itu.
Randu Watung langsung melompat mendekati Martalaya. Dan mereka jadi terpaku
begitu melihat sosok tubuh hitam mengenakan caping lebar yang hampir
menutupi seluruh kepalanya, tahu-tahu sudah berdiri tegak sekitar tiga
batang tombak jauhnya dari mereka. Kedua tangan sosok tubuh hitam itu
terlipat di depan dada. Martalaya menoleh pada Randu Watung yang saat itu
juga sedang menatapnya.
"Hati-hati, Randu. Tampaknya dia memiliki kepandaian yang tidak rendah,"
ujar Martalaya setengah berbisik.
"Iya, angin sambarannya sungguh luar biasa," sahut Randu Watung. Kembali
ditatapnya sosok tubuh hitam di depannya.
Martalaya melangkah maju tiga tindak. Dengan sikunya, digesernya gagang
pedang agak ke depan. Tangan kanannya langsung menggenggam gagang pedang
yang menggantung di pinggangnya. Sikapnya begitu waspada, dan tatapan
matanya tajam menusuk. Ingin dilihatnya wajah sosok tubuh di depannya, tapi
seluruh wajah orang itu tertutup caping yang lebar. Hanya bagian dagunya
saja yang terlihat putih.
"Siapa kau? Kenapa menyerang kami tanpa alasan?" tanya Martalaya, datar
nada suaranya.
"Hm..., kalian berdua telah lancang. Berani mencampuri urusanku!" dengus
sosok tubuh hitam bercaping lebar itu.
Martalaya menggumam tidak jelas. Kepalanya sedikit dimiringkan ke kanan dan
agak mendongak ke atas. Sepertinya sedang berusaha menebak-nebak siapa orang
di depannya ini. Suaranya terdengar dibuat-buat, dan sepertinya hendak
menyembunyikan keadaan dirinya.
Sukar bagi Martalaya untuk memastikan apakah orang itu laki-laki atau
perempuan. Bentuk tubuhnya memang terlihat ramping, namun sangat tegap dan
padat berisi. Tangannya yang hanya terlihat sampai pergelangan saja, memang
berkulit putih halus bagai tangan seorang wanita. Juga kakinya yang
berbentuk indah. Dilihat dari bentuk tubuhnya, Martalaya menduga kalau orang
itu adalah perempuan. Terlebih lagi dengan adanya gundukan kembar pada
dadanya yang tertutup baju hitam yang rapat sampai menutupi leher.
"Nisanak, aku tidak kenal siapa kau. Dan aku juga tidak tahu maksud
kata-katamu. Tolong berikan penjelasan, dan seandainya kami berbuat
kesalahan, aku mohon maaf," ucap Martalaya sopan.
Sosok tubuh hitam bercaping lebar itu tidak menyahuti. Namun tiba-tiba saja
dia melompat cepat bagaikan kilat disertai pukulan beruntun sebanyak tiga
kali. Martalaya tersentak kaget. Buru-buru dia melompat mundur menghindari
terjangan gadis itu. Tubuhnya dimiringkan ke kiri dan ke kanan dengan cepat,
lalu dibalasnya serangan mendadak itu dengan melayangkan satu tendangan
cepat menggeledek.
"Hait...!"
Tapi sosok tubuh yang bentuknya seperti wanita muda itu lebih cepat lagi
berkelit dengan melentingkan tubuhnya ke atas. Dan pada saat rubuhnya
melayang di udara, tanpa diduga sama sekali dihantamnya kepala Martalaya
dengan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi!
"Akh...!" Martalaya memekik tertahan. Laki-laki berusia sekitar lima puluh
tahun itu terpental ke samping. Tubuhnya jatuh dan bergulingan beberapa
kali. Tapi belum lagi tubuh laki-laki itu berhenti berguling, tubuh hitam
bercaping lebar itu sudah meluruk deras ke arahnya. Kembali dilepaskannya
satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat..!"
Tapi belum juga orang itu bisa melaksanakan maksudnya, Randu Watung sudah
melompat cepat memotong arus terjangan orang berbaju serba hitam itu. Randu
Watung menghentakkan tangan kanannya ke arah perut. Tapi rupanya orang
berbaju hitam itu tidak bisa dianggap enteng. Diegoskan tubuhnya sedikit ke
kanan, dan sodokan tangan Randu Watung pun meleset dari sasaran. Dan belum
lagi Randu Watung bisa menarik pulang tangannya, tiba-tiba....
Des!
"Akh...!" Randu Watung memekik keras.
Tanpa dapat dihindari lagi, satu pukulan telak mendarat di dada pemuda itu.
Tubuh Randu Watung pun langsung terjengkang ke belakang, dan punggungnya
menghantam pohon dengan keras hingga tumbang!
"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak sosok tubuh berbaju hitam pekat itu.
Ia langsung melompat ke arah Randu Watung yang saat itu sedang berusaha
bangkit berdiri. Dari udut bibir pemuda itu mengucurkan darah kental agak
kehitaman. Randu Watung terkesiap begitu melihat orang berbaju hitam yang
tidak banyak bicara itu sudah melompat hendak menyerang kembali. Tapi belum
juga Randu Watung bisa melakukan sesuatu, mendadak Martalaya melompat
memapak serangan itu.
"Hait..!"
Dug!
"Akh...!"
Sungguh luar biasa! Pukulan Martalaya yang disertai pengerahan tenaga dalam
cukup tinggi itu, malah berbalik menghantam dirinya sendiri. Dan akibatnya
tubuh laki-laki setengah baya itu terpental deras ke belakang. Sedangkan
orang berbaju hitam dan bercaping lebar itu hanya terdorong satu langkah
saja, padahal pukulan Matalaya tadi tepat bersarang di dadanya.
"Phuih! Rupanya kau ingin lebih dulu ke neraka!" dengus orang berbaju serba
hitam itu.
Karena marahnya, dia lupa mempergunakan ilmu yang bisa merubah suara.
Sehingga terdengar suara merdu seorang wanita. Tapi semua itu tidak sempat
diperhatikan Martalaya, karena orang bercaping itu sudah melompat cepat
bagaikan kilat ke arah laki laki setengah tua yang sedang berusaha bangkit
berdiri itu.
"Paman, awas...!" teriak Randu Watung keras.
Tapi peringatan pemuda itu terlambat, karena satu pukulan keras bertenaga
dalam sangat tinggi sudah bersarang di dada Martalaya, sehingga tubuh
laki-laki. setengah baya itu kembali terpental ke belakang sambil menjerit
keras melengking tinggi. Dua pohon besar langsung tumbang terlanda
tubuhnya.
Tapi Martalaya masih juga bisa bangkit berdiri, meskipun agak limbung.
Laki-laki setengah baya itu mencabut pedang yang berwarna keperakan dan
segera disilangkan di depan dadanya. Tatapan matanya begitu tajam, dan
bibirnya terkatup rapat. Tapi tidak bisa mencegah darah yang merembes dari
sudut bibirnya.
"Randu, cepat pergi! Dia bukan lawanmu!" seru Martalaya keras.
"Paman...."
"Jangan hiraukan aku, cepat pergi!" bentak Martalaya.
Randu Watung kelihatan ragu-ragu. Hatinya tidak bisa membiarkan Martalaya
dalam keadaan seperti itu sendirian. Tapi mengingat dirinya yang terluka
dalam cukup parah, Randu Watung tidak punya pilihan lain. Bisa dimengerti,
kenapa orang tua itu menyuruh pergi secepatnya.
Sementara Randu Watung masih diliputi kebimbangan, orang bercaping lebar
itu sudah kembali melompat cepat bagaikan kilat, disertai teriakan keras
melengking tinggi. Serangan yang begitu cepat dan sukar diikuti pandangan
mata biasa itu, membuat Martalaya sedikit gugup. Namun dengan cepat dia
melompat ke samping seraya mengibaskan pedangnya.
"Randu, cepat pergi...!" seru Martalaya keras.
Perintah yang keras dan bernada tegas itu membuat Randu Watung tersentak.
Kemudian setelah agak lama berpikir, dia langsung melompat cepat
meninggalkan tempat itu. Meskipun dalam keadaan terluka cukup parah, namun
Randu Watung masih juga bisa mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Meskipun
tidak sebaik ketika tubuhnya dalam keadaan normal.
"Keparat..!" geram orang bercaping lebar itu.
***
Menyadari tidak mungkin lagi mengejar Randu Watung, orang berbaju serba
hitam yang kepalanya tertutup caping lebar itu jadi geram setengah mati. Dia
berteriak keras, dan langsung menyerang Martalaya dengan ganas. Serangan
yang demikian cepat disertai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi itu,
membuat Martalaya kewalahan juga sehingga jatuh bangun menghindari serangan
yang beruntun itu.
"Hiya...! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, orang berbaju serba hitam itu melompat ke depan,
dan kakinya menendang cepat ke arah kepala Martalaya. Tapi laki-laki tua itu
masih bisa menghindar dengan merundukkan tubuhnya sedikit. Namun untuk
serangan kedua yang dilancarkan lebih cepat, Martalaya tidak sanggup lagi
menghindar.
Dalam keadaan tubuh masih di udara, orang bercaping itu mampu melemparkan
dua buah pisau kecil yang tipis. Kedua pisau itu tidak bisa dielakkan oleh
Martalaya, dan langsung menghunjam dalam hingga ke pangkal gagangnya.
"Aaa...!" Martalaya menjerit melengking tinggi.
Tubuh Martalaya langsung limbung, dan darah merembes keluar dari dadanya
yang tertembus dua pisau bergagang segitiga seperti sebuah caping. Pada saat
tubuh Martalaya limbung, orang bercaping lebar itu melayangkan satu
tendangan keras, disusul dengan pukulan geledek bertenaga dalam cukup tinggi
ke arah kepala. Kembali Martalaya menjerit keras melengking. Pedang di
tangannya terlepas dan jatuh ke tanah. Dipegangi kepalanya yang retak
berlumuran darah segar.
"Mampus! Hih...!"
Satu pukulan menggeledek kembali mendarat di dada Martalaya. Untuk ke
sekian kalinya, laki-laki setengah baya itu menjerit. Tubuhnya terlontar
deras dan menabrak sebongkah batu besar hingga hancur berantakan! Tubuh
tegap itu pun langsung menggelosor ke tanah. Belum juga puas melihat
lawannya masih bernapas, orang bercaping lebar itu lalu mengambil sebongkah
batu besar berwarna hitam dan berlumut.
"Hiyaaa...!"
Tubuh ramping terbungkus baju hitam itu melenting tinggi ke udara, lalu
dengan derasnya meluncur turun. Dan tangannya dihentakkan cepat ke bawah.
Batu yang berada di dalam cengkeraman jari-jari lentik itu, langsung
dihempaskan ke kepala Martalaya.
"Aaa...!"
Darah langsung muncrat begitu kepala Martalaya hancur berantakan tertimpa
batu yang hampir sebesar kepala kerbau itu. Hanya sebentar Martalaya mampu
bergerak, kemudian tubuhnya mengejang dan tidak bergerak-gerak lagi. Orang
berbaju hitam itu berdiri tegak memandangi mayat yang kepalanya sudah tak
berbentuk lagi itu.
"Huh! Satu lolos...!" dengus orang itu kesal. Dilayangkan pandangannya ke
arah Randu Watung tadi melesat pergi. Malam yang gelap dan pekat,
menghalangi pandangan matanya. Terlebih lagi saat itu udara dipenuhi kabut
tebal. Lagi-lagi orang bercaping lebar itu menggerutu dan kakinya menghentak
ke tanah karena kesal.
"Randu Watung.... Hm..., namamu Randu Watung. Huh! Kau tidak akan bisa
lolos dariku, Randu Watung. Tidak ada seorang pun yang boleh mencampuri
urusanku. Huh!"
Sambil bersungut-sungut kesal, orang bercaping lebar itu langsung melesat
cepat meninggalkan tempat itu. Lesatannya sungguh cepat luar biasa, sehingga
bagaikan hilang saja! Kini keadaan di sekitar tempat itu menjadi sunyi
senyap bagai tidak pernah terjadi sesuatu. Hanya sosok tubuh dengan kepala
pecah saja yang menjadi saksi bahwa di tempat itu tadi, berlangsung suatu
pertempuran yang cukup dahsyat. Pertempuran yang meminta korban nyawa
seorang laki-laki setengah baya.
Beberapa saat lamanya setelah orang berbaju hitam dan bercaping lebar itu
lenyap, muncul Randu Watung dari balik semak belukar. Pemuda itu
terseok-seok mendekati mayat Martalaya. Langsung ditubruk dan dipeluknya
tubuh yang berlumuran darah itu.
"Paman, kenapa kau korbankan nyawamu hanya untuk menyelamatkanku...?"
rintih Randu Watung! "Paman, aku berjanji di depan jasadmu. Akan kubalas
kematianmu, dan kubunuh orang itu. Aku juga berjanji akan menemukan si Mata
Iblis. Dendammu akan kubalaskan, Paman. Aku janji...!"
***
DUA
Siang itu langit tampak cerah. Awan tipis berarak mengikuti hembusan angin
yang datang semilir menyejukkan. Matahari bersinar indah, membawa makna
kehidupan bagi seluruh makhluk di permukaan bumi ini. Namun semua keindahan
itu seperti tidak dinikmati oleh seorang pemuda berbaju biru tua yang
berjalan terseok-seok sambil menekan dadanya dengan tangan kanan. Sesekali
bibirnya meringis merasakan sakit pada rongga dadanya.
"Hoek...!"
Pemuda itu memuntahkan darah kental kehitaman. Kemudian tubuhnya limbung,
dan tiba-tiba ambruk ke tanah berumput basah. Pemuda itu berusaha bangkit
berdiri, tapi tenaganya tidak mampu lagi menahan berat tubuhnya. Tubuhnya
kembali ambruk, dan memuntahkan darah kental kehitaman. Pemuda itu berusaha
merayap, menggapai-gapai mendekati sebuah sungai kecil yang berair jernih di
depannya.
"Oh...," rintihnya lirih. Bibirnya semakin lebar meringis. Pandangannya
berkunang-kunang, dan kepalanya terasa berat, bagai terbebani batu yang
sangat besar.
Dengan sekuat tenaga, pemuda berbaju biru tua itu berusaha mengangkat
kepalanya. Kelopak matanya disipitkan. Samar-samar dilihatnya bayangan
seseorang yang berdiri tidak jauh di seberang sungai kecil itu. Pemuda itu
berusaha menajamkan penglihatannya yang semakin berkurang, dan belum lagi
dapat melihal jelas, penglihatannya sudah menghilang sama sekali, lalu
terkulai tidak sadarkan diri.
Seorang laki-laki muda berwajah cukup tampan, melompat indah menyeberangi
sungai kecil itu. Dia langsung mendarat tepat di dekat pemuda berbaju biru
yang tergeletak tidak sadarkan diri lagi. Pemuda itu kemudian duduk bertumpu
pada lututnya di tanah, sebentar diperiksanya tubuh yang tergeletak itu,
kemudian kepalanya terangguk-angguk.
Setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling, pemuda berwajah cukup
tampan dengan garis-garis kekerasan itu, mengangkat tubuh yang tergeletak
pingsan. Lalu dibawanya ke tempat yang teduh dan terlindung dari sengatan
matahari. Dibaringkannya tubuh pemuda berbaju biru tua itu di bawah pohon
yang berumput tebal.
"Hm...., lukanya cukup parah. Harus kukeluarkan racun di dalam tubuhnya
dulu," gumam pemuda berbaju kulit harimau itu pelahan. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, pemuda berbaju kulit harimau itu duduk bersila. Kedua telapak
tangannya merapat di depan dada dan matanya terpejam. Tidak lama kemudian
matanya terbuka, dan tangannya langsung dihentakkan ke depan.
Erat sekali kedua telapak tangannya menempel di dada pemuda yang
menggeletak tidak sadarkan diri itu. Tampak asap tipis mengepul dari
sela-sela jari tangan pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan wajahnya mulai
memerah, pertanda dia tengah berusaha menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh
pemuda berbaju biru tua itu
"Uh...."
Dengan satu keluhan pendek, dilepaskan tangannya dari dada bidang yang
terbuka itu. Kemudian ditempelkan kembali telapak tangannya erat-erat
setelah menggerak-gerakkannya sesaat. Kembali asap tipis mengepul dari
sela-sela jarinya yang bergetar. Tampak dari seluruh pori-pori tubuh pemuda
berbaju biru itu merembes darah. Dari mulut dan hidungnya juga mengeluarkan
darah agak kehitaman. Semakin lama darah yang keluar dari mulutnya semakin
banyak. Sedikit demi sedikit darah kehitaman itu berubah merah dan
segar.
"Hhh...!" pemuda berbaju kulit harimau itu menarik napas panjang.
Pelahan-lahan dilepaskan tangannya dari dada yang terbuka lebar. Kemudian
jari-jari tangannya bergerak lincah menotok beberapa bagian tubuh pemuda
yang menggeletak pingsan di depannya. Kembali ditariknya napas panjang, lalu
digeser duduknya agak menjauh. Kedua tangannya bergerak-gerak di depan dada,
kemudian pelahan turun ke bawah, dan berhenti tepat di lututnya yang
tertekuk.
"Hsss...!"
Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya sebentar menghimpun kembali tenaga
dalam dan hawa murni yang terkuras akibat berusaha mengeluarkan racun dalam
tubuh pemuda berbaju biru tua itu. Bersama dengan tersadarnya pemuda berbaju
biru itu, dia juga membuka matanya.
"Ohhh...," rintih pemuda berbaju biru itu lirih.
"Jangan banyak bergerak dulu. Racun di tubuh belum semuanya terbuang," ujar
pemuda itu seraya mendekati.
"Oh..., siapa kau?" tanya pemuda itu seraya berusaha bangkit. Tapi keburu
ditahan, sehingga dia rebah lagi.
"Namaku Bayu," sahut pemuda berbaju kulit harimau itu memperkenalkan
diri.
"Bayu.... Sepertinya aku belum mengenalmu."
"Memang, kita belum saling mengenal. Aku menemukanmu dalam keadaan pingsan
dan terluka cukup parah."
'Terima kasih."
"Siapa namamu?" tanya Bayu.
"Randu Watung."
"Siapa yang melukaimu?" tanya Bayu lagi.
Randu Watung tidak langsung menjawab, menarik napas panjang dan berat.
Terlalu sukar untuk menjawab pertanyaan Bayu Hanggara yang lebih kenal
dengan panggilan Pendekar Pulau Neraka. Masalahnya, dia sendiri tidak tahu
siapa yang melukai dan membunuh pamannya. Orang itu sukar dikenali. Seluruh
wajahnya tertutup caping lebar dan pakaiannya serba hitam.
"Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir dulu. Sebaiknya kau
beristirahat," ujar Bayu memaklumi.
'Ya, dadaku masih terasa sakit," pelan suara Randu Watung.
"Hm...."
Randu Watung memejamkan matanya kembali. Dia berusaha menghimpun hawa murni
untuk membantu mempercepat pemulihan tubuhnya. Sedangkan Pendekar Pulau
Neraka duduk bersila di sampingnya, tidak ada lagi yang dibicarakan. Tapi
dilihat dari kening Bayu yang berkerut, sudah bisa ditebak kalau ia
memikirkan sesuatu. Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas beberapa kali
diliriknya Randu Watung yang masih terpejam.
***
Randu Watung melangkah pelahan-lahan di samping Pendekar Pulau Neraka. Saat
itu matahari sudah condong ke arah Barat. Sinarnya mulai redup, tidak lagi
terik seperti semula. Mereka berhenti melangkah dan memandang lurus tidak
berkedip ke depan. Tampak sebuah perkampungan kumuh yang letak
rumah-rumahnya tidak teratur, dan jalanannya becek berlumpur. Randu Watung
menoleh pada Pendekar Pulau Neraka. Tangan kanannya masih memegangi dadanya
yang belum hilang rasa sakitnya.
"Kau perlu tempat untuk menyembuhkan luka dalammu, Randu Watung," kata
Bayu, seakan mengerti maksud pandangan pemuda berbaju biru itu.
"Apa penduduk desa itu akan menerima kita? tanya Randu Watung.
"Mudah-mudahan saja," sahut Bayu agak mendesah.
"Tunggu sebentar, Bayu!" cegah Randu Watung melihat Bayu akan
melangkah.
Pendekar Pulau Neraka itu menghentikan langkahnya. Ditatapnya pemuda di
sampingnya.
"Aku merasa ada yang aneh di desa itu, Bayu, kata Randu Watung pelan.
Bayu mengerutkan keningnya. Kemudian menoleh kembali menatap ke arah desa
yang terlihat di depannya. Semakin dalam kerutan di keningnya. Memang tidak
seperti desa-desa lainnya. Desa di depan itu sungguh tidak sedap dipandang
mata. Kadaannya tidak teratur dan berantakan sekali. Bahkan terlihat ada
sekitar lima rumah hancur berantakan hampir rubuh. Juga tidak terlihat
seorang pun penduduk di sana. Suasananya sunyi sepi seperti tidak
berpenduduk sama sekali.
Dan belum jauh Pendekar Pulau Neraka itu berpikir lebih lama, tiba-tiba di
sekitar mereka bermunculan orang-orang bertampang beringas menghunus senjata
tajam. Bayu menggeser kakinya mendekati Randu Watung. Sebentar saja mereka
sudah dikepung tidak kurang dari sepuluh orang bersenjata terhunus. Mereka
semuanya memakai ikat kepala berwarna merah tua dengan bulatan hitam pada
keningnya
"Si Mata Iblis...," desis Randu Warung pelan begitu pelannya sehingga
hampir tidak terdengar oleh Pendekar Pulau Neraka.
"Hm...., kau kenal mereka, Randu Watung?" tanya Bayu setengah
bergumam.
'Ya, mereka anak buahnya si Mata Iblis," sahut Randu Watung.
"Si Mata Iblis?! Siapa dia?" tanya Bayu lagi.
Belum sempat Randu Watung menjawab, tiba-tiba dua orang dari pengepung itu
melompat sambil berteriak nyaring. Golok mereka yang tajam berkilat,
berkelebatan cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh Bayu dan Randu Watung
yang mematikan. Namun gerakan Pendekar Pulau Neraka itu lebih cepat dari dua
orang penyerang itu. Dan sekali gebrak saja, mereka terpelanting seraya
memekik keras!
Tubuh mereka bergulingan di tanah, namun segera bangkit kembali dan
menyilangkan goloknya di depan dada. Sementara Bayu sudah siap, dan berusaha
agar Randu Watung tidak banyak bergerak, karena luka dalamnya belum sembuh
benar. Gerakan-gerakan yang dipaksakan, akan menambah parah luka
dalamnya.
"Jangan bertindak kalau tidak terpaksa, Randu," pesan Bayu.
"Seraaang...!" tiba-tiba terdengar sebuah seruan keras.
Seketika itu juga, sepuluh orang bersenjata golok dengan ikat kepala merah
itu bergerak berlompatan menyerang. Mereka berteriak memekakkan telinga
seraya mengelebatkan golok-goloknya cepat mengincar bagian tubuh yang
mematikan. Namun mereka tidak menyadari kalau berhadapan dengan seorang
pendekar yang tangguh dan pilih tanding. Seorang pendekar muda yang sudah
malang-melintang di rimba persilatan.
Meskipun harus melindungi seseorang yang sedang mengalami luka dalam cukup
parah, Pendekar Pulau Neraka masih mampu menghadapi sepuluh orang
pengeroyoknya. Bahkan satu persatu mereka terbanting keras ke tanah. Pekik
pertempuran yang tadinya menggelegar, kini berganti jerit melengking
kesakitan. Beberapa kali Bayu harus menangkis senjata mereka dengan
pergelangan tangannya yang terdapat sebuah cakra perak.
Tring!
Sebuah golok hampir menebas kepala Pendekar Pulau Neraka itu, namun manis
sekali ditangkisnya dengan tangan. Bahkan golok itu terbelah dua ketika
membentur cakra yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka itu! Dan satu tendangan menggeledek dilepaskan Bayu, sehingga
lawannya menjerit keras, terpental jauh ke belakang.
"Hiyaaa...!" teriak Bayu keras.
Seketika itu juga direndahkan tubuhnya ke samping agak terbungkuk. Lalu
dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, dari pergelangan tangan
kanannya melesat seberkas cahaya keperakan. Cakra Maut, senjata dahsyat
andalan Pendekar Pulau Neraka ttu melesat cepat, dan seketika itu juga
terdengar jeritan-jeritan melengking saling sambut. Disusul
bergelimpangannya tubuh-tubuh yang bersimbah darah.
"Hap...!"
Tiba-tiba Pendekar Pulau Neraka melompat, dan tangan kanannya terangkat ke
atas. Cakra Maut pun kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Lalu
begitu kakinya mendarat di tanah, cepat dilepaskan kembali senjatanya.
Kembali berturut-turut terdengar jeritan menyayat hati. Cakra Maut kembali
melesat balik setelah merobohkan tiga orang sekaligus. Bayu berdiri tegak
dengan tangan melipat di depan dada.
Hanya dua kali saja dilepaskan senjatanya, enam orang menggeletak bersimbah
darah tidak bernyawa lagi! Sedangkan yang empat orang lagi jadi tertegun
dengan wajah pucat pasi saling berpandangan. Kemudian, tanpa berkata-kata
lagi keempat orang itu melarikan diri tunggang-langgang. Bayu menarik napas
panjang. Ditolehkan kepalanya pada Randu Watung yang tidak bergeming sedikit
pun di tempatnya. Pemuda berbaju biru tua itu melangkah mendekati.
"Sebaiknya kita cepat pergi, Bayu," usul Randu Watung.
"Hm, baiklah," sahut Bayu, seraya menyipitkan matanya.
Randu Watung bergegas melangkah menuju desa itu, diikuti Bayu. Mereka
berjalan cepat meninggalkan enam mayat yang bergelimpangan bersimbah darah.
Sementara matahari semakin tenggelam di ufuk Barat! Rona merah menyemburat
indah bagai kobaran api yang membakar permukaan bumi. Sedangkan kedua pemuda
yang baru berkenalan itu mulai memasuki desa yang kumuh seperti tak
berpenghuni itu.
***
Bayu memilih sebuah rumah yang kosong Keadaannya sungguh kotor dan
berantakan. Meja, kursi, dan dipan bambu sudah tidak berbentuk lagi.
Pendekar Pulau Neraka itu membereskan sebuah kamar yang masih terdapat dipan
bambu. Dia meminta agar Randu Warung beristirahat di kamar itu, sementara
dia sendiri memeriksa keadaan rumah itu.
"Ada orangnya?" tanya Randu Warung, ketika Bayu kembali masuk ke dalam
kamar itu. Randu Watung duduk bersila dengan tangan menempel pada
lutut
"Tidak," sahut Bayu singkat seraya duduk di tepi pembaringan yang hanya
beralaskan tikar rombeng.
"Pasti telah terjadi sesuatu di sini...," gumam Randu Warung seperti bicara
untuk dirinya sendiri.
Bayu hanya diam saja. Namun pandangannya begitu dalam menatap wajah pemuda
berbaju biru tua itu. Dalam hatinya dia menduga ada sesuatu yang
dirahasiakan, sehingga membuat Randu Watung kini termenung menatap kosong ke
depan. Begitu jauh pandangannya, sehingga menerobos jendela yang sudah tidak
memiliki daun lagi.
Sementara suasana mulai gelap. Matahari sudah tenggelam di balik
peraduannya, digantikan cahaya bulan dan bintang yang indah gemerlapan.
Meskipun cahaya bulan dan api unggun sudah membuat terang di dalam kamar
ini, namun semua itu tidak mampu mengurangi dinginnya udara malam yang
serasa menusuk tulang.
"Kau seperti memikirkan sesuatu, Randu," tegur Bayu. Tidak enak rasanya
menduga terus-menerus.
"Entahlah...," desah Randu Watung seraya menghembuskan napas panjang dan
berat.
"Kau belum menceritakan penyebab lukamu, Randu," kata Bayu masih diliputi
penasaran. Sebab dia tahu kalau luka dalam yang diderita Randu Watung cukup
parah. Dan dia tidak bisa mengeluarkan semua racun yang mengendap didalam
tubuhnya. Sewaktu-waktu racun itu bisa membunuhnya secara
pelahan-lahan.
"Hhh...! Aku sendiri tidak mengerti, kenapa dia menyerang dan membunuh
pamanku. Padahal aku tidak mengenal, dan juga tidak tahu permasalahannya.
Tiba-tiba dia datang dan menyerang tanpa berkata-kata lagi," Randu Watung
mencoba menceritakan peristiwa pahit yang dialaminya.
"Hm..., aneh," gumam Bayu setengah tidak percaya. "Memang sukar dipercaya,
Bayu. Tapi memang itulah kenyataannya. Sayang paman telah tewas."
"Sama sekali kau tidak bisa mengenalinya?" tanya Bayu.
'Tidak. Dia berbaju serba hitam dan memakai caping lebar sehingga menutupi
seluruh kepalanya. Gerakannya begitu cepat, dan ilmunya sungguh luai
biasa!"
"Randu, kelihatannya kau kenal dengan orang-orang yang tadi mengeroyok
kita. Siapa mereka?" tanya Bayu lagi.
"Mereka anak buahnya si Mata Iblis. Bisa dikenali dari ikat kepalanya,"
sahut Randu Watung.
'Tampaknya mereka sengaja hendak menyerangmu. Bisa kulihat dari pola
serangannya yang selalu mengarah padamu," kata Bayu bernada curiga dan ingin
tahu.
"Memang. Mereka memang hendak membunuhku," sahut Randu Warung berterus
terang
"Kenapa?"
Randu Watung tidak langsung menjawab. Ditariknya napas panjang, tapi
langsung meringis, karena dadanya tiba-tiba jadi terasa nyeri. Setiap kali
ditariknya napas panjang, dadanya selalu saja seperti tertusuk ribuan jarum
berbisa. Sungguh menyakitkan!
"Masih terasa sakit?" tanya Bayu yang sejak tadi memperhatikan.
"Dadaku ini..., ugh!" Randu Warung mengeluh pendek.
"Luka dalammu cukup parah, Randu. Hanya Seorang tabib ahli saja yang dapat
menyembuhkan lukamu. Terlebih lagi racun di dalam tubuhmu belum semuanya ke
luar. Meskipun tidak begitu berbahaya, tapi...."
"Aku tahu, Bayu. Nyawaku memang terancam. Dan aku tidak boleh banyak
bergerak, terlebih lagi mengerahkan tenaga dalam," potong Randu Watung
cepat
Bayu hanya menarik napas panjang. Ada sedikit kekaguman di dalam hatinya
melihat ketabahan pemuda itu.
"Masih sanggup untuk bicara, Randu?" tanya Bayu.
Randu Watung tersenyum dan mengangguk.
"Kenapa si Mata Iblis hendak membunuhmu?" tanya Bayu.
"Bayu, sebenarnya Ayahku adalah seorang Adipati di Sangkal Putung. Bermula
dari sekelompok orang yang memberontak pada kerajaan, dan Kadipaten Sangkal
Putung menjadi sasaran pertama. Meskipun seluruh prajurit kadipaten sudah
dikerahkan, tapi tetap tidak mampu mengusir para pemberontak
itu.
Mereka berhasil memukul mundur para prajurit, dan memaksa Ayah melarikan
diri. Memang tadinya ada beberapa prajurit dan keluarga yang ikut Tapi
mereka semua tewas terbunuh dalam pelarian. Tinggal aku dan Paman yang masih
bisa sampai ke hutan itu. Tapi, yaaah..., akhirnya Paman tewas juga di
tangan orang yang tidak kukenali," Randu Watung menceritakan tentang
dirinya.
"Hm..., lalu ke mana tujuanmu sekarang?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu, kabar terakhir yang kudengar kerajaan juga sedang
berperang. Aku tidak mungkin datang ke sana dan melaporkan kejadian di
Kadipaten Sangkal Putung."
"Apakah pihak kerajaan berperang melawan para pemberontak itu juga?" tebak
Bayu.
"Bukan, tapi dengan kerajaan lain."
"Hm..., jadi mereka mengambil kesempatan...," gumam Bayu mulai
mengerti.
"Begitulah."
"Lalu, siapa sebenarnya si Mata Iblis itu. Apa dia pemimpin pemberontakan
itu?" tanya Bayu lagi.
"Aku tidak tahu," sahut Randu Watung.
"Lho...?!" Bayu terkejut mendengar jawaban itu. "Kau bisa mengenali mereka,
tapi kau tidak tahu siapa si Mata Iblis itu. Aku tidak mengerti maksudmu,
Randu...?"
"Aku memang tidak pernah tahu siapa itu si Mata Iblis. Aku hanya pernah
mendengar dan mengetahui ciri-cirinya saja. Aku juga tidak tahu, kenapa anak
buah si Mata Iblis selalu mengejar-ngejar kami berdua," Randu Warung
berusaha menjelaskan.
Meskipun demikian, Bayu bisa menangkap adanya nada lain pada suara Randu
Watung. Nada suara yang lain dan agak tertekan. Bayu menduga kalau Randu
Watung menyimpan sesuatu rahasia yang tidak ingin diketahui orang lain. Dan
rahasia itu nampaknya berhubungan dengan anak buah si Mata Iblis yang sore
tadi mengeroyok.
"Randu, aku tidak mau mengetahui urusan pribadimu. Kau akan kubawa kepada
seorang tabib yang dapat mengobati luka-lukamu. Aku tahu seorang tabib yang
sangat pandai...," kata Bayu, terputus suaranya.
'Terima kasih," ucap Randu Warung pelan.
"Sekarang istirahatlah, biar aku yang berjaga-jaga malam ini."
'Tidak akan kulupakan pertolonganmu ini, Bayu."
Pendekar Pulau Neraka itu hanya tersenyum saja. Kemudian bangkit dari
pembaringan, dan melangkah keluar kamar. Sedangkan Randu Watung masih duduk
bersila dengan mata setengah terpejam. Hawa murni terus dialirkan untuk
mengurangi rasa sakit dan menghambat penyebaran racun di dalam tubuhnya.
Sementara malam terus beranjak semakin larut. Udara pun semakin dingin
serasa menggigit tulang. Api unggun di dalam kamar itu tak mampu mengurangi
hawa dingin yang menggigilkan itu. Suasana kembali sepi, sesekali terdengar
suara binatang malam yang memecah kesunyian dimalam itu.
***
TIGA
"Masih jauh tempatnya, Bayu?" tanya Randu Warung sambil menyeka
keringatnya.
'Tidak," sahut Bayu tanpa menghentikan langkahnya.
Tapi langkah kaki Pendekar Pulau Neraka akhirnya terhenti juga karena tidak
mendengar lagi suara langkah kaki di belakangnya. Dia menoleh, da langsung
terkejut begitu dilihatnya Randu Watung menggeletak tengkurap! Bayu bergegas
menghampiri dan membalikkan tubuh pemuda berbaju biru yang tak bergerak
sedikit pun. Seluruh wajahnya basah oleh keringat. Hampir tiga hari penuh
mereka berjalan merambah hutan, dan itu membuat Randu Watung terpaksa
menguras tenaganya. Bayu memeriksa urat nadi di pergelangan tangan Randu
Watung.
"Hhh...! Terlalu banyak tenaga yang dikeluarkannya," desah Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu mengangkat rubuh Randu Watung, dan kembali
melangkah seraya membopong tubuh pemuda itu di pundaknya. Dikerahkan ilmu
meringankan tubuh, sehingga dengan cepat dia bisa berjalan melebihi orang
berlari sekuat tenaga! Begitu cepat langkahnya, seolah-olah tidak menapak
tanah!
Cukup sulit perjalanan yang ditempuh Pendekar Pulau Neraka itu, karena
hutan yang semakin rapat dan jalan yang mendaki. Namun dengan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, tidak sulit
baginya untuk cepat sampai di tempat tujuan.
Dan belum lagi matahari berada tepat di atas kepala, Pendekar Pulau Neraka
itu sudah tiba di sebuah tempat yang berbatu dan dipenuhi pohon-pohon besar
dan kecil. Di antara bongkahan batu sebesar kerbau, dan tiga buah pohon
beringin, terlihat sebuah gubuk kecil yang kumuh. Bayu mengayunkan kakinya
mendekati gubuk reyot itu.
"Masuklah, Bayu. Pintu tidak terkunci...!" terdengar suara serak dan
bergetar dari dalam gubuk reyot itu.
Bayu langsung saja menerobos pintu yang setengah terbuka itu. Tampak di
dalam ruangan yang sempit dan pengap, duduk bersila seorang laki-laki tua
bertubuh kurus kering. Hanya selembar kain lusuh yang melilit tubuhnya. Kain
yang tadinya berwarna putih itu sudah pudar. Bayu segera meletakkan tubuh
Randu Watung di atas selembar tikar lusuh di depan laki-laki tua itu.
"Siapa dia, Bayu?" tanya laki-laki tua kurus itu sambil mengelus-elus
janggutnya yang panjang dan putih.
"Randu Watung. Lukanya cukup parah, dan sudah tiga kali pingsan, Eyang
Puger," sahut Bayu yang sudah duduk bersila.
"Temanmu?" tanya laki-laki tua yang dipanggil Eyang Puger itu.
"Bukan. Ia tergeletak pingsan ketika kutemukan di tepi sungai."
"Hm...," gumam Eyang Puger pelahan. Laki-laki tua kurus kering itu
memeriksa sebentar tubuh Randu Watung. Kemudian kepalanya terangguk-angguk
sambil bergumam. Ditatapnya Pendeka Pulau Neraka yang hanya memperhatikan
saja. Matanya yang cekung, serasa begitu tajam menusuk ke bola mata
Bayu.
"Bagaimana dia bisa terluka seperti ini, Bayu?" tanya Eyang Puger.
"Aku tidak tahu pasti. Dia hanya bercerita bahwa dirinya diserang oleh
orang tidak dikenal. Sedangkan pamannya tewas oleh orang itu," sahut
Bayu.
"Hm..., kau tahu siapa dia?"
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Alisnya berkerut sehingga hampir
menyatu. Sedangkan Eyang Puger semakin tajam menatap padanya.
"Eyang kenal dengannya?" tanya Bayu penasaran.
"Entahlah, aku kurang yakin," sahut Eyang Puger. 'Tapi aku harus
menyembuhkannya. Luka dalam yang dideritanya cukup parah. Belum lagi harus
mengeluarkan racun yang bersemayam di tubuhnya. Hm..., mungkin dia tidak
sadarkan diri selama tiga hari,"
"Sembuhkan dia, Eyang. Tampaknya ada sesuatu yang disembunyikannya. Aku
merasakan ketertutupan pada dirinya," kata Bayu berharap.
"Keluar dulu, Bayu," kata Eyang Puger. Bayu bangkit berdiri, kemudian
berbalik dan melangkah ke luar. Dihenyakkan tubuhnya di balai-balai bambu
yang berada di samping pintu. Pendekar Pulau Neraka itu berbaring dengan
kepala bertumpu pada kedua tangannya.
"Hm..., tampaknya Eyang Puger mengenali Randu Watung. Tidak biasanya dia
begitu...," gumam Bayu dalam hati.
Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu jauh menerawang ke langit-langit
beranda yang hitam dipenuhi sarang laba-laba. Dia teringat kembali awal
pertemuannya dengan Eyang Puger. Pertemuan yang tidak disengaja. Desahan
napas panjang terdengar berat dari hidung Pendekar Pulau Neraka itu.
Kemudian dia bangkit berdiri, dan melangkah ke samping pondok ini.
Langkah Bayu langsung terhenti ketika di ujung kakinya terdapat gundukan
tanah berumput dikelilingi batu-batu. Dia berlutut di sisi gundukan tanah
itu. Tangannya bertumpu pada batu nisan di sebelah kanannya.
"Hhh..., seharusnya kau tidak perlu berbuat nekad begitu, Wurati". Tapi aku
kagum padamu. Cintamu begitu tulus dan murni, meskipun tahu suamimu seorang
perampok besar. Hhh..., sayang kau terlalu cepat mengambil keputusan
mengakhiri hidupmu," pelan suara Bayu.
"Ehm, ehm...!"
Bayu kaget dan langsung menoleh ketika mendengar suara mendehem di
belakangnya. Tampak Eyang Puger sudah berdiri di belakangnya. Pendekar Pulau
Neraka itu bangkit berdiri, dan berbalik menghadap laki laki tua kurus
kering itu. Sebatang tongkat yang tidak beraturan bentuknya tergenggam di
tangan yang kurus bagai tulang terbalut kulit.
"Kau sudah menemukan si jahanam itu, Bayu?" tanya Eyang Puger, agak
tertekan nada suaranya.
"Sudah," sahut Bayu. 'Tapi hanya sekali, karena dia berhasil lari dan
mengorbankan banyak anak buahnya."
"Hhh...! Seandainya aku lebih memperdalam ilmu olah kanuragan, tentu tidak
akan begini jadinya. Wurati cucuku satu-satunya. Aku. terlalu mencintainya
sehingga tidak bisa melarangnya mencintai si jahanam itu," keluh Eyang Puger
bernada menyesali diri.
"Eyang tidak salah, Wurati juga tidak. Tapi si jahanam itu memang harus
membayar semua yang diperbuatnya. Aku janji, Eyang. Jika dia kutemukan, akan
kubalaskan sakit hatimu. Aku berhutang nyawa padamu, Eyang," janji Bayu
teringat pertolongan Eyang Puger yang menyembuhkan dirinya dari keracunan
akibat bertarung melawan seorang yang tangguh dan memiliki ilmu racun yang
sangat dahsyat.
"Aku percaya padamu, Bayu. Selama si Balaga masih hidup, jiwaku selalu
bersamamu. Kau harus membunuhnya, Bayu. Kalau tidak, akan lebih banyak lagi
gadis-gadis terpedaya dan tewas di tangannya. Biarlah cucuku menjadi
tumbal," kata Eyang Puger pelan.
"Aku janji, Eyang," ucap Bayu tegas. Eyang Puger menepuk-nepuk pundak
Pendekar Pulau Neraka itu. Kemudian berbalik dan berjalan ke depan pondok
diikuti Bayu. Mereka kemudian duduk bersisian di balai-balai bambu reyot
yang hanya beralaskan tikar daun pandan lusuh dan robek-robek. Sesaat
lamanya tidak ada yang berbicara. Seakan-akan sedang mengenang masa-masa
lalu. Masa-masa yang teramat pahit bagi laki-laki tua itu.
"Bagaimana keadaan Randu Watung, Eyang?" tanya Bayu teringat pada pemuda
yang ditolongnya.
'Tunggu sampai dia sadar dulu. Tapi aku sudah memberinya penahan rasa,"
sahut Eyang Puger.
"Kapan dia akan sembuh?"
'Tergantung dari daya tahan tubuhnya. Tapi kulihat otot-ototnya terlatih
baik. Mungkin tidak lama."
Bayu kembali diam. Dan Eyang Puger pun terdiam. Mereka kembali sibuk dengan
pikirannya masing-masing. Tak ada lagi yang berbicara. Mereka hanya menatap
alam yang tidak begitu sedap dipandang mata.
***
Sudah dua hari Bayu tinggal di pondok kecil Eyang Puger. Dan selama itu
Randu Watung belum juga sadarkan diri Randu Watung masih tetap dirawat oleh
Eyang Puger, seorang tua yang ahli dalam ilmu pengobatan.
Siang itu Bayu menemani Eyang Puger menunggui Randu Watung, tapi pemuda itu
tetap seperti tidur nyenyak. Tidak bergeming sedikit pun.
"Hm...," gumam Eyang Puger pelan.
"Ada apa, Eyang?" tanya Bayu.
'Tampaknya aku kedatangan tamu," sahut Eyang Puger.
Bayu bangkit berdiri, dan pada saat itu sebatang anak panah melesat masuk
menerobos pintu yang terbuka. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu
menggerakkan tangannya, dan menangkap anak panah yang tertuju ke arah Eyang
Puger.
"Hup...!"
Bayu langsung melompat ke luar bagaikan kilat, seraya melemparkan anak
panah di tangannya ke arah datangnya tadi. Begitu besar dan sempurnanya
tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga anak panah itu
melesat cepat melebihi dari yang tadi. Anak panah itu langsung menerobos
semak belukar.
"Aaa...!"
Belum hilang suara jeritan panjang melengking, muncul sesosok tubuh dari
semak itu. Tampak sebatang anak panah tertanam dalam di lehernya! Pada saat
tubuh itu ambruk ke tanah, Bayu sudah mendarat lunak di halaman depan pondok
Eyang Puger. Bersamaan dengan itu, dari balik pepohonan bermunculan sekitar
dua puluh orang mengenakan ikat kepala merah dengan bulatan hitam tepat di
keningnya.
Mereka semua bersenjata golok. Tapi ada seorang yang memegang tombak
bercabang dua pada ujung atasnya. Seorang laki-laki setengah baya mengenakan
baju merah menyala yang di dadanya terdapat tiga lingkaran hitam. Seperti
yang lainnya, dia juga mengenakan ikat kepala yang sama.
"Anak muda, serahkan Randu Watung padaku!" berat suara laki-laki setengah
baya yang memegang tombak bercabang dua pada ujungnya itu.
"Hm..., aku tidak mengenalmu. Dan ada urusan apa kau meminta Randu Watung?"
tanya Bayu dingin.
"Anak muda, aku peringatkan! Sebaiknya jangan berurusan dengan Partai Mata
Iblis!"
"O..., jadi kau si Mata Iblis itu?" tebak Bayu.
"Bukan! Aku Nyakra, wakil ketiga dari si Mata Iblis! Sudahlah, Anak Muda.
Jangan terlalu banyak tanya. Di mana kau sembunyikan Randu Watung?" agak
kesal nada suara laki-laki setengah baya itu yang mengaku bernama
Nyakra.
"Dia tidak ada bersamaku!" sahut Bayu tegas.
"Hm...," Nyakra menggumam tidak percaya.
Matanya tajam melihat langsung ke dalam pondok yang pintunya terbuka lebar.
Bayu juga sempat melirik ke arah pondok itu. Tampak gelap di dalam sana.
Tidak terlihat sesuatu pun. Pondok itu memang selalu gelap di dalamnya,
Tidak ada jendela, hanya ada satu pintu di depan. Tapi biasanya keadaannya
tidak segelap itu, karena ini siang hari, dan pintunya terbuka lebar. Lagi
pula di dalam pondok itu terdapat api abadi yang selalu menyala terang kalau
tidak ditutupi batu di atas tungkunya.
"Geledah rumah itu!" perintah Nyakra.
"Hey..., tunggu!" sentak Bayu terkejut.
Tapi dua orang sudah melompat cepat ke pondok itu. Dan Bayu yang berada
cukup jauh, tidak mungkin bisa mengejar lagi. Pendekar Pulau Neraka itu
mendepak dua buah kerikil yang berada di ujung kakinya, dan langsung melesat
cepat bagai kilat. Kerikil itu pun segera menghantam kepala kedua orang yang
hampir sampai ke pintu pondok!
"Akh!"
"Aaa...!"
Jeritan melengking dan tertahan terdengar hampir bersamaan. Dua orang itu
pun langsung ambruk dengan kepala pecah tertimpa batu kerikil yang disepak
dengan kekuatan tenaga dalam sangat sempurna sekali. Dua orang itu langsung
tewas seketika! Bayu bergegas melompat ke pintu, dan berdiri tegak seraya
melipat tangan di depan dada. Pandangan matanya begitu tajam menusuk,
merayapi orang-orang di depannya.
"Tidak semudah itu kalian bisa masuk ke pondok ini!" dengus Bayu
tandas.
"Anak muda, apa kau sadar dengan tindakanmu itu? Kau akan berhadapan dengan
Partai Mata Iblis!" agak keras suara Nyakra.
"Siapa pun kalian, enyahlah dari sini!" bentak Bayu.
"Hm..., rupanya kau tidak bisa diajak lunak. Anak Muda. Baiklah, rasakan
akibatnya!"
Nyakra menjentikkan jari tangannya. Dan enam orang bersenjata golok,
langsung melangkah ke depan. Pendekar Pulau Neraka menggeser kakinya sedikit
ke samping. Diliriknya bagian dalam pondok itu. Tidak ada seorang pun di
sana. Meskipun benaknya masih bertanya-tanya, tapi harus dihadapinya enam
orang lawan yang berlompatan menyerang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Dengan satu gerakan kilat, Bayu melompat dan mengirimkan pukulan serta
tendangan beruntun ke arah enam orang itu. Gerakannya sungguh luar biasa
cepat, dan setiap pukulan maupun tendangannya mengandung tenaga dalam sangat
sempurna! Tak pelak lagi, sebelum enam orang itu berhasil menyarangkan
serangannya, mereka harus menerima hajaran Pendekar Pulau Neraka.
Jerit dan pekik kesakitan terdengar saling susul. Enam orang bersenjata
golok terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah. Entah bagaimana
caranya, tahu-tahu golok mereka sudah berpindah tangan! Sedangkan Bayu hanya
berdiri tegak menatap enam orang yang menggeletak tidak bergerak gerak lagi.
Tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka memang sangat dahsyat,
sehingga hanya sekali pukul saja, orang yang memiliki kepandaian rendah akan
tewas seketika.
"Hih!"
Bayu melemparkan golok rampasannya. Golok itu melayang cepat, dan menancap
dalam di ujung kaki Nyakra. Golok berjumlah enam buah itu berjajar rapi
mengelilingi wakil ketiga dari si Mata Iblis.
"Pergilah, sebelum aku bertindak lebih kejam lagi!" kata Bayu tegas.
Nyakra diam saja seraya menatap tajam. Gerahamnya bergemeletuk menahan
amarah yang luar biasa. Tapi sudah dua kali di mencoba, dan delapan orang
anak buahnya tewas hanya dengan satu kali gebrakan saja!
"Heh...!"
Nyakra mengegoskan kepalanya disertai suara mendengus bagai sapi melenguh
minta makan. Sisa anak buahnya segera melangkah mundur. Beberapa orang
menggotong mayat teman mereka. Tanpa berkata apa-apa lagi, orang-orang dari
Partai Mata Iblis segera meninggalkan tempat itu. Tapi Nyakra masih sempat
menyemburkan ludah ke arah Pendekar Pulau Neraka.
Bayu hanya menarik napas panjang. Ditolehkan kepalanya ke arah kiri. Tampak
Eyang Puger sudah berdiri di ambang pintu. Dan Bayu jadi terkejut, karena
dilihatnya Randu Watung terbujur pingsan di dalam pondok itu Eyang Puger
kemudian melangkah mendekati.
"Kau harus hati-hati, Bayu. Kelihatannya mereka tidak main-main," ujar
Eyang Puger seraya menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka itu.
"Ya," sahut Bayu mendesah.
Bayu melirik ke dalam pondok, dan Eyang Puger tersenyum. Dia bisa menebak
apa yang dipikirkan pendekar muda itu. Ditepuknya pundak pemuda berbaju
kulit harimau itu sekali lagi, dan diajaknya duduk di beranda.
"Aku tadi terpaksa menggunakan aji 'Halimun', kata Eyang Puger memberitahu
tanpa diminta.
"O...?!" Bayu terkejut tidak mengerti.
"Aku menutupi pondok dengan kabut hitam agar tidak terlihat dari luar.
Hanya itu yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan diri. Aku khawatir melihat
jumlah mereka yang banyak."
"Eyang bertindak tepat," puji Bayu tulus.
"Hanya untuk menjaga diri, Bayu. Ilmu itu tidak bisa digunakan untuk
bertarung. Hanya untuk menyembunyikan diri saja. Ilmu pengecut!" Eyang Puger
merendahkan diri.
"Tidak, Eyang. Pada dasarnya semua ilmu itu baik. Hanya manusianya saja
yang membedakan baik buruknya ilmu itu."
"Kau bijaksana sekali, Bayu."
"Hanya sekadar mengingatkan, mungkin Eyang lupa."
"Ha ha ha.... Aku semakin yakin kalau kau orang yang berbudi luhur dan
berhati emas. Meskipun...," Eyang Puger menghentikan kata katanya.
'Teruskan, Eyang," pinta Bayu.
"Kadang-kadang tindakanmu terlalu...," lagi-lagi yang Puger memutus
kalimatnya.
"Kejam...," sambung Bayu langsung menebak.
"Aku tidak mengatakan begitu, Bayu. Aku yakin, kau masih bisa
merubahnya."
'Terima kasih, Eyang," ucap Bayu tanpa ada perasaan tersinggung.
Bayu memang menyadari kalau setiap tindakannya selalu dikatakan kejam.
Bahkan tokoh-tokoh rimba persilatan pun tidak bisa memasukkannya ke dalam
golongan hitam atau putih. Sampai saat ini Pendekar Pulau Neraka tidak
mempedulikan lawan yang bakal dihadapinya.
Tidak peduli dari golongan mana. Terlebih lagi kalau orang itu tersangkut
dengan pembunuhan keluarganya. Hingga saat ini tidak diketahui nasib ibunya,
apakah sudah meninggal atau masih hidup. Hanya pusara ayahnya dan
murid-murid ayahnya saja yang ditemukannya.
Bayu sadar, kalau sifatnya tidak akan bisa berubah sebelum menemukan
ibunya. Dua puluh tahun lebih tidak pernah berjumpa. Bahkan wajah ibunya pun
tidak pernah diketahuinya, karena terpisah sejak masih lahir. Belum tahu
apa-apa, dan ayahnya saja baru memberinya sepotong nama ketika kerusuhan itu
terjadi (Baca Serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah "Geger Rimba
Persilatan").
"Kau melamun, Bayu?" tegur Eyang Puger.
"Oh!" Bayu tersentak dari lamunannya.
"Ada yang kau pikirkan?" tanya Eyang Puger lembut
'Tidak," sahut Bayu cepat. "Oh, ya. Sebaiknya kita lihat keadaan Randu
Watung," Bayu mengalihkan perhatian.
Eyang Puger mengangguk dan tersenyum. Kemudian bangkit berdiri dan
melangkah masuk ke dalam pondoknya. Sesaat Bayu masih duduk, kemudian ikut
masuk ke dalam pondok kecil yang hampir rubuh itu. Kalau saja tidak
ditunjang oleh batu dan pohon beringin, mungkin sudah lama pondok kecil ini
hancur terhempas angin.
***
Tepat seperti yang diramalkan Eyang Puger. Setelah tiga hari, Randu Watung
baru bisa sadarkan dan itu pun keadaannya masih sangat lemah sekali, dia
belum bisa diajak bicara. Eyang Puger merawatnya dengan sabar. Setiap saat
laki-laki tua kurus itu mengeluarkan racun di dalam tubuh Randu Watung dan
sedikit demi sedikit kesehatan pemuda itu pun pulih kembali. Memang tidak
hanya satu hari untuk dapat bangkit dari pembaringan.
Setelah satu pekan pulih dari kesadarannya, Randu Watung baru bisa berlatih
ringan. Tenaganya belum pulih benar, dan Eyang Puger juga masih berusaha
memulihkannya seperti sediakala. Terlalu berat luka dalam yang diderita
pemuda itu. Sehingga harus menjalani beberapa tahap penyembuhan. Dan
tampaknya Randu Watung menyadari hal itu, dia selalu sabar dan mematuhi
setiap kata yang diucapkan Eyang Puger.
"Kau berlatih cukup keras hari ini, Randu," kata Eyang Puger pada hari ke
sepuluh Randu Warung melatih jurus-jurusnya kembali.
"Aku hanya berlatih ringan saja, Eyang," sahut Randu Watung.
"Nampaknya keadaanmu sudah pulih benar. Kau sudah bisa mengerahkan kekuatan
tenaga dalammu kembali. Mudah-mudahan tidak berkurang," ujar Eyang
Puger.
"Sudah kucoba, Eyang Tidak ada perubahan sama sekali."
"O..., syukurlah," desah Eyang Puger tersenyum senang.
Percakapan mereka terhenti ketika Bayu datang membawa seikat kayu bakar.
Pendekar Pulau Neraka itu meletakkan kayu bakar di samping pondok, kemudian
dihampirinya Eyang Puger dan Randu Watung yang duduk di bawah pohon beringin
di depan pondok agak menyamping. Bayu duduk di samping laki-laki tua kurus
berjubah putih kekuningan itu.
"Kelihatannya serius sekali," kata Bayu seraya memandangi mereka.
"Tidak," sahut Eyang Puger.
"Hm ... bagaimana keadaanmu, Randu?" tanya Bayu.
"Baik," sahut Randu Watung. 'Tenagaku sudah pulih kembali, dan ini berkat
perawatan Eyang Puger."
"Syukurlah kalau begitu. Dan berarti aku tidak bisa terus tinggal di sini.
Harus kulanjutkan perjalanan kembali," ucap Bayu langsung tanpa basa-basi
lagi.
"Bayu..," agak tertahan suara Randu Watung Dia merasa tidak enak.
"Ada yang harus kukerjakan, Randu. Dan aku sudah berjanji pada Eyang
Puger," potong Bayu cepat.
"Bayu, sebaiknya kau tunda dulu urusan itu. Nampaknya Randu lebih penting
dan harus didahulukan. Sudah tiga kali mereka datang ke sini. Kau tidak akan
membiarkannya sendirian, kan?" lembut dan berwibawa nada suara Eyang
Puger.
'Terus terang, Eyang. Aku tidak bisa terus-menerus menghadapi mereka tanpa
tahu permasalahannya," kata Bayu seraya melirik Randu Watung.
"Maaf, kalau aku lupa menjelaskannya padamu, Bayu," ucap Randu Watung
menyesal.
"Baru sedikit. Yang aku tidak ketahui, siapa sebenarnya si Mata Iblis itu?
Dan mengapa ia selalu mengejar, bahkan ingin membunuhmu?" tanya Bayu
langsung.
"Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan orang lain dalam urusan pribadiku
ini. Aku telah begitu banyak merepotkan kalian berdua. Seharusnya urusan ini
kuselesaikan sendiri," kata Randu Watung, semakin tidak enak hatinya.
"Kau jangan berkata begitu, Randu. Sejak kau kutemukan tergeletak pingsan,
mau tidak mau aku sudah terlibat. Apalagi sudah lebih dari sepuluh orang
tewas di tanganku. Mereka tentu tidak akan melupakanku begitu saja," potong
Bayu cepat.
"Aku menyesal telah melibatkanmu, Bayu," desah Randu Watung pelan.
"Ah, sudahlah. Ceritakan saja, apa masalahmu sehingga orang-orang Partai
Mata Iblis mau membunuhmu?" desak Bayu tidak sabar.
Randu Watung menarik napas panjang. Tapi belum juga pemuda berbaju biru tua
itu membuka mulutnya, mendadak....
"Awas...!" seru Bayu tiba-tiba.
***
EMPAT
Pendekar Pulau Neraka langsung melentingkan tubuhnya ketika seleret cahaya
keperakan meluncur deras dari arah depan. Tubuhnya berputaran dua kali di
udara, dan mendadak cahaya keperakan itu pun lenyap di dalam gulungan
putaran tubuhnya. Begitu kakinya mendarat di tanah, terlihat sebilah pisau
kecil' dan tipis berwarna keperakan terjepit di antara kedua jari tangan
kanannya.
Belum lagi Bayu bisa menarik napas, datang lagi dua cahaya keperakan ke
arah dirinya. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu menggerakkan
tangannya, dan mulutnya menangkap salah satu pisau kecil itu. Satunya lagi
berhasil dijepit oleh jari tangan kiri.
"Hiyaaa.!"
Sambil berteriak keras, Bayu melemparkan dua pisau di tangannya sekaligus
ke arah datangnya tadi. Dan sambil memutar tubuh, diambilnya pisau kecil
yang berada di mulutnya, lalu dilontarkan ke atas sebuah pohon yang cukup
tinggi dan rimbun.
"Akh!"
"Aaa...!"
Bersamaan dengan munculnya seseorang dari balik semak dengan dua pisau
tertancap di leher, dari atas pohon meluncur jatuh seorang lagi dengan pisau
menancap tembus di lehernya. Belum lagi hilang suara jeritan itu, tiba-tiba
berlompatan beberapa orang yang langsung mengepung Bayu, Randu Watung dan
Eyang Puger.
Ada sekitar tiga puluh orang mengenakan ikat kepala merah dengan bulatan
hitam di bagian kening. Mereka semua sudah menghunus golok masing-masing.
Dan belum lagi ada yang membuka suara, dari atas pohon meluncur turun sebuah
bayangan hitam. Tahu tahu di depan Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri
seorang berbaju hitam yang kepalanya hampir tertutup caping bambu yang
lebar. Dari bentuk tubuh, kulit tangan serta kaki yang putih, dapat
diketahui kalau orang itu adalah wanita.
"Caping Maut...," desis Eyang Puger pelahan, hampir tidak terdengar
suaranya.
Tapi Bayu mendengar desisan itu dan diliriknya laki-laki tua berjubah kumal
dan bertubuh kurus kering itu. Bayu menggeser kakinya mendekati Eyang Puger.
Sedangkan Randu Watung nampak agak pucat menatap tidak berkedip pada orang
berbaju hitam bercaping lebar yang menutupi hampir seluruh wajahnya itu.
Perubahan wajah Randu Watung itu dapat dilihat Bayu, meskipun perubahan itu
hanya sesaat, dan hampir tidak terlihat sama sekali.
"Randu Watung! Sebaiknya kau tidak melakukan perlawanan sama sekali. Kau
tinggal sendiri, tidak mungkin bisa meneruskan rencana gila ayahmu," lantang
kata-kata orang bercaping bambu itu. Meskipun nada suaranya dibuat-buat,
tapi masih dapat diketahui kalau dia seorang wanita. "Dan kalian berdua,
sebaiknya tidak ikut campur dalam urusan ini
"Randu, siapa dia?" tanya Bayu setengah berbisik.
"Aku tidak tahu. Dialah yang membunuh pamanku dan melukaiku," sahut Randu
Watung jujur,
"Dia berjuluk si Caping Maut. Tapi...," celetuk Eyang Puger terdengar
bergumam seperti untuk dirinya sendiri.
"Hm..., rupanya kau tahu banyak tentang diriku, Orang Tua. Tapi sayang, kau
salah menilai!" celetuk si Caping Maut dingin.
"Siapa kau sebenarnya? Kenapa berlindung dibalik nama Caping Maut?" tanya
Eyang Puger keras.
"Ha ha ha...! Akulah si Caping Maut!" si Caping Maut tertawa
terbahak-bahak.
"Aku kenal si Caping Maut. Dia tidak punya ilmu pukulan beracun. Dan ilmu
yang kau gunakan pada Randu Watung adalah jurus 'Dewa Maut Menyebar Racun',"
lantang suara Eyang Puger. "Orang tua! Sebaiknya jangan banyak bicara.
Urusanku dengan bocah itu, bukan denganmu!" bentak si Caping Maut
geram.
"Hhh! Sebaiknya kau buka saja tudungmu, Nisanak. Kalau bukan si Ratu Iblis,
pasti kau adalah muridnya. Atau kau seorang pencuri ilmu? kata-kata Eyang
Puger.
"Keparat! Kau terlalu banyak omong, tua bangka!" geram si Caping
Maut.
Kalau saja wajahnya tidak tertutup caping yang lebar itu, pasti wajahnya
sudah memerah bagai udang rebus. Dan orang berbaju serba hitam itu
menjentikkan jarinya. Seketika itu juga sepuluh orang bersenjata golok
berlompatan menyerang. Tujuan mereka sudah jelas, membunuh Eyang Puger yang
membuat murka si Caping Maut.
Saat itu juga Bayu tidak bisa tinggal diam. Dia tidak ingin Eyang Puger
celaka. Karena Pendekar Pulau Neraka itu tahu kalau Eyang Puger hanya bisa
sedikit ilmu olah kanuragan, meskipun ilmu meringankan tubuhnya sudah
mencapai tahap kesempurnaan. Pendekar Pulau Neraka itu cepat melompat
menghadang terjangan sepuluh orang itu.
Bahkan Randu Watung yang merasa berhutang nyawa pada Eyang Puger, tidak mau
tinggal diam. Langsung diloloskan pedangnya, dan bergerak cepat menghadang
serangan sepuluh orang itu. Sedangkan Eyang Puger hanya berdiri saja di
antara dua pemuda yang berusaha menghalau penyerang-penyerang itu.
***
Si Caping Maut memberi isyarat lagi ketika dilihatnya dalam sebentar saja
sudah enam orang tewas bersimbah darah. Dan semua orang yang dibawanya,
langsung bergerak maju mengeroyok Randu Watung dan Pendekar Pulau Neraka.
Menghadapi keroyokan yang demikian banyaknya, Bayu sukar melepaskan senjata
andalannya, Cakra Maut. Dia terpaksa menggunakan senjata itu digenggam.
Namun begitu, keampuhannya tidak berkurang Golok yang beradu dengan Cakra
Maut, langsung terpotong jadi dua bagian!
Denting senjata beradu dan pekik pertempura berbaur menjadi satu.
Tubuh-tubuh bergelimpangan semakin bertambah. Bau anyir darah pun mulai
tercium menyengat hidung. Tapi orang-orang Mata Iblis seakan tidak mengenal
rasa takut. Meskipun sudah banyak yang tewas, tetap saja mereka
merangsek.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja si Caping Maut melompat cepat bagaikan kilat menyambar Eyang
Puger, dan langsung dibawanya pergi. Bayu yang melihat itu, berusaha
mengejar, namun orang orang Mata Iblis menghalanginya. Pendekar Pulau Neraka
itu jadi geram setengah mati. Dia mengamuk bagai banteng terluka! Jerit peki
kematian pun menggema saling susul dibarengi terjungkalnya tubuh-tubuh yang
tak bernyawa lagi!
Sementara itu bayangan si Caping Maut sudah tidak terlihat lagi. Dan
orang-orang dari Partai Mata Iblis, langsung berlompatan mundur melarikan
diri. Jumlah mereka sudah berkurang lebih dari setengahnya. Bayu berusaha
mengejar, tapi beberapa pisau kecil beterbangan ke arahnya. Pendekar Pulau
Neraka itu terpaksa berjumpalitan menghindari terjangan pisau-pisau kecil
dan tipis berwarna keperakan itu. Dan begitu tidak ada lagi serangan yang
datang, semua orang yang mengeroyoknya tadi sudah tidak terlihat lagi.
Lenyap bagai ditelan bumi
"Huh!" dengus Bayu kesal. Dibalikkan badannya menghadap Randu Watung yang
baru saja memasukkan pedang ke dalam sarungnya di pinggang.
Randu Watung menatap penuh penyesalan atas kejadian ini, karena harus
melibatkan orang-orang yang telah berjasa menyelamatkan nyawanya dari maut.
Bukan keinginannya untuk melibatkan Pendekar Pulau Neraka dan Eyang Puger.
Tapi keadaanlah yang memaksa. Semua sudah terjadi, tidak ada gunanya
penyesalan dihati. Sekarang ini keselamatan Eyang Puger menjadi perhatian
utama.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Bayu?" tanya Randu Warung seperti
orang kehilangan akal.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu!" sentak Bayu kesal.
"Maaf, aku...," Randu Watung menjadi bergetar.
"Ah, sudahlah...!" potong Bayu cepat. Paling tidak disukainya mendengar
kata-kata penyesalan. Baginya segala sesuatu yang telah terjadi tidak perlu
disesalkan, tapi harus dihadapi. Baginya kata-kata penyesalan bukan satu hal
untuk menyelesaikan persoalan.
Randu Warung langsung terdiam. Dari sorot matanya jelas terlihat kalau dia
begitu menyesali semua yang telah terjadi. Tapi melihat sikap Pendekar Pulau
Neraka yang tampaknya berang, dia tidak bisa berkata-kata lagi. Hanya diam
yang bisa dilakukannya saat ini.
"Kau tahu, di mana sarang mereka?" tanya Bayu tajam
"Aku tidak tahu," sahut Randu Watung.
"Tidak tahu...?!" Bayu jadi mendelik. "Mereka selalu berusaha mencarimu.
Dan kau mengakui kalau ada urusan dengan mereka, tapi sekarang kau bilang
tidak tahu di mana mereka berada. Ini bukan saatnya main-main, Randu Watung!
Kesabaranku bisa hilang, tahu!" keras nada suara Bayu.
"Sungguh, Bayu. Aku tidak tahu tempat tinggal mereka," kata Randu Watung
berusaha meyakinkan.
"Randu apa sebenarnya masalahmu dengan mereka?" tanya Bayu setelah menarik
napas panjang.
Randu Warung tidak langsung menjawab, meskipun nada suara Pendekar Pulau
Neraka itu sudah terdengar sedikit lunak. Pemuda berbaju biru tua itu
menghembuskan napas panjang, seakan-akan berat untuk menjawab pertanyaan
itu. Melihat hal itu, Bayu tampak kesal. Digeleng-gelengkan kepalanya dengan
tatapan mata sukar untuk diartikan.
"Baik...! Kau tunggu di sini sampai aku kembali bersama Eyang Puger. Tapi
kalau terjadi apa-apa padanya, kau yang pertama harus bertanggung jawab,"
kata Bayu tegas.
Setelah berkata demikian, Bayu langsung berbalik dan melangkah lebar-lebar.
Sejenak Randu Watung hanya diam mematung dengan mulut terbuka lebar Kemudian
dia berlari mengejar Pendekar Pulau Neral itu.
"Bayu, tunggu...!"
Tapi Bayu tetap berjalan cepat. Tapi dia tidak mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Sehingga Randu Watung dengan mudah bisa mengejar, dan
mensejajarkan langkahnya di samping pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Bayu, aku minta maaf. Bukan maksudku untuk mempermainkan dirimu. Sungguh,
aku tidak menghendaki semua ini terjadi...," kata Randu Watung dengan nada
suara bersungguh-sungguh.
Namun Bayu tetap diam. Dan langkahnya juga tidak berhenti setindak pun.
Bahkan semakin cepat saja diayunkan kakinya.
"Dengar dulu, Bayu. Dengar penjelasanku...," desak Randu Warung.
"Tidak perlu, dan kau sebaiknya tunggu di pondok sampai aku kembali! Jangan
paksa aku berubah pikiran, Randu!" tegas kata-kata Bayu.
"Tapi kau tidak akan bisa ke sana sendirian, Bayu!"
Seketika itu juga langkah kaki Pendekar Pulau Neraka terhenti. Tatapan
matanya tajam menusuk langsung ke bola mata Randu Warung. Sedangkan yang
ditatap jadi gelisah. Baru disadari kalau sudah keterlepasan bicara
tadi.
"Yah..., memang seharusnya aku berterus terang padamu. Bayu. Bagaimanapun
juga kau sudah terlibat. Dan sekarang keselamatan Eyang Puger terancam di
tangan mereka. Aku memang bersalah tidak mau berterus terang sejak semula.
Tapi bukan maksudku untuk mempermainkan atau bermaksud buruk. Aku hanya
tidak ingin ada orang lain yang terlibat dalam masalah ini Sungguh, Bayu.
Aku berkata jujur dari hati nuraniku sendiri. Aku hanya tidak ingin ada yang
celaka Sudah terlalu banyak korban yang jatuh," terdengar serius kata-kata
Randu Watung.
"Kau sudah melibatkan aku, Randu. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, aku
sudah tedibat Dan sekarang nyawa Eyang Puger terancam. Bagaimanapun juga aku
turut bersalah karena keterlibatan Eyang Puger karenaku juga," kata Bayu,
mulai lunak suaranya.
"Bayu, memang ada beberapa ceritaku yang tidak benar. Tapi tidak semuanya
bohong...," kata Randu Watung mulai terbuka.
"Di mana kebohonganmu?" tanya Bayu dingin. Kekesalannya mulai kambuh
mendengar dirinya dibohongi.
"Aku sebenarnya bukan anak adipati, dan ayahku juga bukan seorang adipati.
Semua itu tidak benar. Tapi memang ada pemberontakan diKadipaten...."
"Siapa kau sebenarnya?" potong Bayu cepat sebelum Randu Watung selesai
berbicara.
"Aku memang berasal dari sana. Juga seluruh keluargaku. Ayahku adalah
seorang pejabat tinggi di sana, Tapi Ayah selalu menentang tindakan Gusti
Adipati yang bertangan besi dan selalu menyengsarakan rakyat. Sebenarnya
ayah lah yang memimpin pemberontakan. Tapi gagal, karena Gusti Adipati
dibantu oleh orang dari Partai Mata Iblis. Mereka membunuh semua keluargaku,
membakar hangus seluruh desa kelahiran keluargaku. Mereka belum puas kalau
seluruh keturunan ayahku dan semua keluargaku belum lenyap," cerita Randu
Watung.
"Hm.... Benar itu, Randu?" tanya Bayu setengah tidak percaya.
"Kali ini aku mengatakan yang sebenarnya, Bayu," sahut Randu Warung
sungguh-sungguh.
'Teruskan," pinta Bayu.
***
Randu Warung menceritakan keadaan di Kadipaten Sangkal Putung sambil
berjalan pelahan-lahan. Saat itu senja mulai merayap turun, tapi mereka
tetap saja berjalan tanpa mempedulikan sang waktu. Sementara Bayu yang
berjalan di sampingnya, hanya sesekali saja membuka suara. Itu pun dia
bertanya kalau ada yang kurang jelas.
"Hm.... Rasanya sukar dipercaya kalau kau tidak tahu-menahu sama sekali
tentang si Mata Iblis. Kau bisa mengenali orang-orangnya, tapi tidak tahu
pemimpinnya," kata Bayu setengah bergumam.
"Mereka tiba-tiba saja muncul, dan menghancurkan semua rencana yang sudah
disusun matang ayahku. Tidak ada yang tahu tentang mereka, kecuali adipati
sendiri," sahut Randu Watung.
"Kau juga tidak tahu tentang si Caping Maut?" tanya Bayu bernada enggan.
Karena sudah bisa ditebak jawaban Randu Watung.
"Tidak," sahut Randu Warung singkat.
Bayu tersenyum tipis. Jawaban itulah yang sudah diduganya sejak
semula.
"Kau pasti tidak percaya, Bayu," Randu Watung merasakan ada kekecewaan di
balik senyuman tipis pendekar muda itu.
"Percaya. Hanya saja terasa aneh bagiku. Bagaimana mungkin kau akan
membalaskan kematian pamanmu, kalau kau tidak tahu siapa yang melakukan
semua itu. Sedangkan baru menghadapi si Caping Maut saja sudah tidak mampu.
Bukannya aku meremehkanmu, Randu.
Tapi..., ah, sudahlah!" Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku rasa semua jawabannya akan didapat diKadipaten Sangkal Putung, Bayu,"
kata Randu Watung pelan. Nada suaranya terdengar ragu-ragu.
"Kau yakin?"
"Entahlah," sahut Randu Watung ragu-ragu.
'Tapi semua persoalannya berawal dari sana."
"Dan kau pasti tidak berani masuk ke sana."
"Bayu, demi Eyang Puger, aku rela mati. Aku berhutang nyawa padanya. Juga
padamu. Aku tidak bisa lagi berbuat lain. Aku perlu pertolonganmu, Bayu,"
kata Randu Watung memohon.
Bayu hanya diam saja.
"Aku memang anak seorang pemberontak, Bayu. Tapi semua yang dilakukan oleh
keluargaku demi kemanusiaan. Memerangi keangkaramurkaan yang merajalela di
Kadipaten Sangkal Putung. Tidak ada maksud lain tersirat di hatiku, juga di
hati ayahku selain membebaskan rakyat dari penderitaan dan tekanan yang
mencekik leher. Kau bisa melihat penderitaan mereka nanti di sana, Bayu. Kau
bisa saksikan, betapa menderitanya mereka. Bumi yang subur dan banyak
menjanjikan kemakmuran terasa bagai neraka bagi mereka," kata Randu Watung
serius.
"Aku sering melihat orang-orang yang menderita, tertekan, bergelimang dalam
kemiskinan. Bukan hanya di tanah kelahiranmu, tapi juga di seluruh pelosok
mayapada ini. Semua itu tidak akan bisa terhapus sampai dunia ini hancur
sekalipun. Penderitaan bukan untuk disesali dan dikasihani. Tapi harus
dilawan sebatas kemampuan.
Kau, atau siapa pun juga tidak akan bisa merubah nasib mereka, Randu. Semua
itu bisa hilang dari diri sendiri. Seorang yang kelihatannya tidak memiliki
apa-apa, belum tentu dia miskin, dan sebaliknya. Semua bisa diukur dari
jiwa, bukan dari berlimpahnya harta, kedudukan ataupun kekuasaan," kata Bayu
panjang lebar menguraikan arti kehidupan.
"Kau bijaksana sekali, Bayu. Tidak heran kalau Eyang Puger selalu
menyanjungmu," ucap Randu Watung tulus.
Kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu sungguh meresap ke dalam sanubari Randu
Watung. Dan semakin diresapi, semakin nyata kebenarannya. Kemiskinan dan
penderitaan memang tidak bisa diukur dengan berlimpahnya harta, pangkat,
kedudukan dan kekuasaan. Tapi semua hanya dapat dirasakan oleh
masing-masing. Oleh jiwa seseorang.
"Randu, kita ke Kadipaten Sangkal Putung. Tapi ingat, bukan untuk merubah
nasib rakyatnya, melainkan meringankan beban penderitaan mereka. Itu pun
kalau memang benar apa yang kau ceritakan. Tapi kalau ternyata hanya
karanganmu saja, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kau sendiri yang harus
menentukannya," kata Bayu setengah mengancam.
"Nyawaku taruhannya, Bayu," janji Randu Watung.
"Terserah kau."
Pendekar Pulau Neraka itu memang sudah tidak mudah lagi percaya, karena
Randu Watung pernah membohonginya. Sekali saja dirinya merasa dipermainkan,
tidak ada ampun lagi. Bayu memang tegas, tapi mudah jatuh belas kasih. Hanya
saja dia tidak bisa dikhianati sedikit pun. Sekali saja orang mendustainya,
sukar baginya untuk bisa mempercayai kembali. Tapi melihat adanya
kesungguhan di hari Randu Watung, Bayu mau juga ke Kadipaten Sangkal Putung.
Tapi yang menjadi tujuan utamanya adalah menyelamatkan Eyang Puger dari
cengkeraman orang yang berjuluk si Caping Maut itu.
***
Emoticon