LIMA
Bayu benar-benar tidak mengerti, kenapa dijebloskan dalam penjara. Bisa
saja Pendekar Pulau Neraka memberontak, tapi melihat begitu banyak prajurit
di sekitarnya, rasanya tidak mungkin mengambil resiko terlalu besar. Tanpa
mengadakan perlawanan sedikit pun, Pendekar Pulau Neraka itu dijebloskan
dalam ruangan penjara yang kotor dan berbau tidak sedap.
Ada enam orang penjaga di depan pintu penjara ini, sehingga tak ada
kemungkinan untuk meloloskan diri. Ruangan ini terbuat dari batu tebal dan
berlumut. Tak ada lampu pelita. Satu-satunya penerangan hanyalah dari sinar
bulan yang menerobos masuk melalui celah batu kecil pada langit-langit.
Pintu penjara ini terbuat dari jeruji besi baja yang kuat.
Mungkin jeruji besi ini bisa dipatahkan, tapi Bayu tidak tahu berapa
penjaga yang harus dilewatinya. Di depan penjara ini saja ada enam penjaga.
Belum lagi di pintu keluar, atau mungkin lebih banyak lagi di sekitar
bangunan penjara ini. Yang pasti tidak mudah baginya untuk keluar. Namun
selagi Pendekar Pulau Neraka itu berpikir keras, mendadak saja....
"Ughk!"
"Akh!"
Pekikan tertahan dan keluhan pendek terdengar beruntun. Bayu jadi
terbengong melihat enam orang penjaga roboh dan tewas seketika. Sebelum
Pendekar Pulau Neraka dapat mengerti, mendadak saja di depan pintu penjara
muncul Seruni. Gadis ini membuka pintu penjara, lalu menyeretnya keluar dari
ruangan pengap berbau tidak sedap ini.
"Seruni, kenapa kau...?" "Jangan banyak tanya! Ayo ikuti aku!" potong
Seruni cepat sebelum Bayu menyelesaikan pertanyaannya.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak bertanya lagi, dan langsung menuruti saja
ke mana gadis itu membawanya pergi. Mereka menyusuri lorong bangunan penjara
yang sempit dan pengap ini. Sampai di ujung lorong, Seruni membuka sebuah
pintu yang terbuat dari kayu jati tebal. Bunyi bergerit terdengar.
"Ayo, cepat!" sentak Seruni sambil menarik tangan Bayu. Mereka melewati
pintu itu, dan Seruni menutupnya kembali. Keadaan begitu gelap, tak ada
penerangan sama sekali. Bayu mengayunkan kakinya ketika Seruni menyentakkan
tangannya. Mereka kembali berjalan pelahan. Bayu merasakan kalau mereka
berjalan menurun. Suasana yang begini gelap membuat mereka tidak bisa
bergerak cepat. Ditambah lagi, jalan yang dilalui begitu licin.
Tapi rupanya lorong gelap ini tidak begitu panjang. Dan kini mereka sudah
dihadang lagi oleh sebuah pintu besi. Seruni mengeluarkan anak kunci dari
balik lipatan bajunya untuk membuka pintu. Bayu membantu menarik pintu itu
agar terbuka. Secercah cahaya bulan langsung menerobos menerangi.
Mereka bergegas keluar. Seruni menutup kembali pintu besi itu dan
menguncinya. Disimpannya kembali kunci itu di balik lipatan bajunya.
Sementara Bayu mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Di mana ini?" tanya Bayu.
"Di luar bagian Barat istana," sahut Seruni.
Bayu belum sempat bertanya lagi, karena Seruni sudah menyeretnya kembali.
Mereka kemudian berlari kecil masuk ke sebuah hutan kecil yang tidak begitu
lebat Tidak seperti bangunan-bangunan istana lainnya yang selalu berdiri di
tengah-tengah kota, istana ini justru berada di tengah-tengah hutan.
Seruni berhenti berlari setelah cukup jauh mereka meninggalkan Istana Cagar
Angin. Bayu juga ikut berhenti. Mereka benar-benar di dalam hutan sekarang
ini. Tak ada yang bisa dilihat kecuali kegelapan dan pepohonan yang besar
dan rapat Hanya gerit binatang malam yang terdengar.
"Kenapa aku kau bebaskan, Seruni?" tanya Bayu tidak mengerti.
"Maaf, aku harus cepat kembali. Mereka tidak boleh tahu kalau aku telah
membebaskanmu," kata Seruni tanpa menjawab pertanyaan pemuda berbaju kulit
harimau itu.
"Tapi..."
Bayu tak sempat lagi meneruskan ucapannya, karena Seruni telah lebih cepat
memeluk dan melumat bibir Pendekar Pulau Neraka itu. Kejadian yang begitu
cepat dan tidak sempat disadari lagi. Sebelum Bayu bisa berkata apa-apa,
gadis itu sudah berlari cepat meninggalkannya. Pemuda itu hanya bisa
memandangi kepergian Seruni hingga lenyap ditelan kegelapan malam.
"Aneh...," desah Bayu seraya mengangkat bahunya. Bayu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Tatapan matanya langsung tertumbuk pada kerlip
cahaya yang timbul tenggelam di antara pepohonan yang menghitam. Tanpa
berpikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka itu langsung berjalan cepat
menuju arah cahaya itu.
***
Bayu memandangi sebuah pondok kecil yang terbuat dari bilik bambu dan
beratapkan daun rumbia. Cahaya yang dilihatnya tadi ternyata dari sebuah
pelita kecil yang tergantung di beranda pondok kecil ini. Bayu melangkah
mendekati kepintu yang terbuka. Sebentar Pendekar Pulau Neraka berhenti dan
melongok ke dalam. Tak ada seorang pun di dalam pondok ini.
Tapi....
Belum juga Pendekar Pulau Neraka itu sempat berpikir jauh, mendadak saja
mendengar suara mendesing dari arah belakang. Tak sempat lagi Bayu menoleh,
tapi dengan cepat dimiringkan tubuhnya ke samping Maka sebuah benda seperti
anak panah meluncur lewat di samping kepalanya. "
"Hup !"
Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu melompat.
"Nyi Rampik...!" desis Bayu terkejut begitu melihat seorang perempuan tua
tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh didepannya.
"Bayu...!" perempuan tua yang ternyata memang Nyi Rampik itu juga
terkejut
"Kenapa ada di sini, Nyi?" tanya Bayu seraya menghampiri.
"Hhh...! Ceritanya panjang, Bayu," sahut Nyi Rampik bernada mengeluh.
Mereka kemudian duduk di beranda pondok kecil ini.
"Di mana Rampita, Nyi?" tanya Bayu yang teringat Rampita.
"Itulah, Bayu.... Kenapa aku pergi dan mencarimu"
"Katakan, Nyi. Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Bayu mendesak.
"Tidak lama kau pergi, datang seorang laki-laki tua bertubuh cebol yang
ingin menculik Rampita. Aku dan Rampita berusaha melawan, tapi laki-laki itu
terlalu tangguh. Aku berhasil melukainya, tapi dia malah membuatku pingsan.
Begitu sadar, ternyata Rampita sudah tidak ada lagi. Tapi sebelum aku
pingsan, samar-samar aku dengar kalau laki-laki itu mencarimu," Nyi Rampik
menceritakan dengan singkat.
Bayu tertegun diam membisu. Dia tahu, siapa laki-laki cebol itu. Seorang
tua bertubuh kecil gemuk yang bernama Eyang Banadu. Tapi yang tidak bisa
dimengerti adalah, kenapa Eyang Banadu mencarinya? Dan kini malah menyandera
Rampita untuk jaminan kedatangannya.
Bayu teringat ketika kembali ke pondok perempuan tua ini dalam keadaan
kosong, kecuali Nyi Rampik yang tengah pingsan. Dan di situ dia bertemu
Panglima Gajah Sodra. Pendekar Pulau Neraka menatap perempuan tua yang duduk
di depannya. Tarikan napas berat terdengar dari hidung Pendekar Pulau Neraka
itu.
"Di mana dia menungguku, Nyi?" tanya Bayu.
"Di Lembah Bunga. Kau tahu Padepokan Tongkat Sakti, bukan? Di sana dia
menunggumu," sahut Nyi Rampik.
"Ya, aku tahu. Padepokan itu sudah hancur," desah Bayu.
"Kasihan anak itu. Penderitaan tidak pernah berhenti mengikutinya...,"
desah Nyi Rampik.
Bayu semakin dalam memandangi perempuan tua itu. Desahan Nyi Rampik tadi
terasa aneh di telinganya. Dan rupanya perempuan tua itu baru menyadari.
Dipalingkan mukanya, seakan-akan tak sanggup menerima tatapan Pendekar Pulau
Neraka ini. Tatapan begitu tajam menusuk, seperti menuntut banyak
darinya.
"Sepertinya kau sudah mengenal Rampita cukup lama, Nyi," ujar Bayu, bernada
curiga.
Nyi Rampik tidak menjawab, tapi hanya menarik napas panjang saja. Sedangkan
Bayu semakin dalam memandangi wajah tua di depannya ini.
"Kau menyembunyikan sesuatu, Nyi?" desak Bayu.
"Aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan padamu. Bayu. Aku merasa bersalah
karena tidak berterus terang padamu waktu itu. Aku memang sudah mengenal
lama, bahkan sejak Rampita masih kecil," pelan sekali suara Nyi
Rampik.
"Kenapa kau berpura-pura tidak mengenalnya, Nyi?" Bayu benar-benar tidak
mengerti.
Memang terlalu banyak kepura-puraan yang ditemui Pendekar Pulau Neraka di
sekitar Gunung Cakal ini. Bahkan sepertinya hampir semua orang selalu
berpura-pura. Sukar baginya untuk bisa memahami. Bahkan sulit untuk
mempercayai seorang pun di sini.
"Sukar untuk dijelaskan, Bayu. M asalahnya ini menyangkut kesetiaanku,"
kata Nyi Rampik pelan.
"Kesetiaan? Aku tidak mengerti maksudmu, Nyi."
"Kau akan mengerti jika sudah bertemu Dewa Pengemis, Bayu."
Bayu tersentak kaget. Dia ingat, kalau pernah bertemu seorang laki-laki tua
berpakaian pengemis. Bahkan sempat ditolongnya. Tapi laki-laki tua yang
mengaku bernama Dewa Pengemis itu justru malah menyerangnya setelah Rampita
muncul. Bayu sendiri jadi tidak mengerti, kenapa tiba-tiba Rampita muncul
lalu menuduhnya yang tidak tidak. Dan sekarang Nyi Rampik mengatakan kalau
Rampita diculik Eyang Banadu.
Semakin sukar bagi Pendekar Pulau Neraka untuk bisa mengetahui kebenaran
semua ini. Terlalu banyak peristiwa yang sukar dipahami. Bayu merasakan
dirinya masuk dalam lingkaran manusia-manusia aneh dengan segala tingkah
polah yang membingungkan. Tapi hal ini justru membuat Pendekar Pulau Neraka
itu semakin ingin tahu, dan tidak mungkin diungkapkan sekaligus. Paling
tidak dia harus mempercayai satu orang. Apakah mungkin Nyi Rampik bisa
dipercayai? Atau Seruni, dara ayu penuh misteri yang sikapnya begitu
aneh?
Sementara waktu terus berputar sesuai kodratnya. Terdengar ayam jantan
berkokok, dan burung-burung berkicau, pertanda malam akan segera berganti.
Namun kegelapan masih menyelimuti sekitarnya. Bayu baru tersadar, kalau
sekarang berada di suatu tempat yang tidak diketahui apa namanya.
'Tempat apa ini, Nyi?" tanya Bayu.
"Sebelah Selatan Lembah Bunga. Kalau kau ingin ke Padepokan Tongkat Sakti,
tidak berapa jauh lagi. Pondok ini baru kudirikan siang tadi," jelas Nyi
Rampik.
"Kita tunggu sampai siang nanti, Nyi."
"Kau akan menemui si cebol itu, Bayu?"
"Ya," sahut Bayu mantap.
Bayu memang sudah memutuskan untuk pergi ke Padepokan Tongkat Sakti yang
diketahuinya sudah hancur. Pendekar Pulau Neraka ingin membuktikan kata-kata
Nyi Rampik. Jika memang benar, perempuan tua ini mungkin bisa dipercayainya.
Paling tidak, ada satu orang yang bisa dipercaya daripada tidak sama sekali.
Mungkin dengan begini bisa diungkapkan satu persatu dari semua teka-teki
yang tengah dihadapinya.
***
Bayu memandangi sekitar Padepokan Tongkat Sakti yang telah rata dengan
tanah. Pemandangan yang memang tidak sedap dinikmati. Di antara reruntuhan
bekas padepokan itu, mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan rusak. Bahkan
sebagian tinggal tulang belulang berserakan. Bau tidak sedap menyengat
hidung. Pendekar Pulau Neraka mengalihkan perhatiannya ke suatu arah.
Dan memang di situ telah ada seorang laki-laki tua bertubuh kecil gemuk,
dan berkepala gundul berkilat Dia berdiri tidak jauh di depan, di bawah
sebatang pohon beringin yang cukup besar dan rindang. Tampak Rampita terikat
di pohon itu.
"He he he.... Akhirnya kau datang juga, Bayu," suara laki-laki gemuk cebol
itu terdengar serak dan berat
"Hati-hati, Bayu. Dia keturunan dari tanah India. Ilmu kedigdayaannya
sangat tinggi," bisik Nyi Rampik yang berada di samping Pendekar Pulau
Neraka.
Bayu hanya menggumam kecil saja. Diayunkan kakinya menghampiri laki-laki
tua cebol itu. Tatapan matanya begitu tajam menusuk. Sedikit pun
perhatiannya tidak dialihkan dari orang tua cebol keturunan India ini. Bayu
memang sudah pernah bertemu sekali. Tapi, waktu itu Pendekar Pulau Neraka
yakin kalau laki-laki yang bernama Eyang Banadu ini sudah mengeluarkan
seluruh kemampuannya.
Sekarang mereka berdua berhadapan lagi. Saat ini Bayu sudah tahu kalau
Eyang Banadu jelas ada hubungannya dengan Seruni dan Prabu Nata Kesuma. Di
Istana Kerajaan Cagar Angin, Pendekar Pulau Neraka itu juga telah lihat
delapan gadis murid laki-laki cebol ini. Bayu menghentikan langkahnya
sekitar dua batang tombak jaraknya di depan Eyang Banadu.
"Semula aku menghormatimu, Eyang Banadu. Kau bijaksana, tidak mendengarkan
pengaduan sepihak. Tapi perbuatanmu ini sungguh memalukan. Membuat rasa
hormatku pupus," terdengar dingin nada suara Bayu.
"He he he.... Sungguh pandai kau bermain kata-kata, Bayu. Maaf, aku telah
memanfaatkan gadis ini. Tapi hanya itulah cara yang kuperoleh untuk
mengundangmu datang ke sini," sambut Eyang Banadu ringan.
"Hm.... Kau hanya menginginkanku, Eyang Banadu. Kenapa tidak kau lepaskan
gadis itu?" tetap dingin nada suara Bayu.
Sambil terkekeh Eyang Banadu cepat menggerakkan tongkatnya. Dan seketika
itu juga tambang yang mengikat Rampita di pohon terputus.
"Nah! Sekarang tinggal urusan kita berdua, Bayu," ujar Eyang Banadu.
"Kenapa kau menantangku dengan cara licik seperti ini, Eyang Banadu?" tanya
Bayu ingin tahu.
"Karena kau telah membunuh binatang piaraanku, dan harus ditebus dengan
darahmu sendiri, Bayu!" tegas Eyang Banadu.
"Oh.... Jadi beruang putih itu milikmu?" Bayu langsung bisa
menangkap.
"Benar! Sekarang aku ingin meminta tanggung jawabmu!"
"Kenapa tidak minta tanggung jawab pada Seruni? Dialah yang membawa beruang
putih itu dan menyuruh menyerangku. Rasanya salah jika meminta tanggung
jawabku, Eyang Banadu!"
"Jangan menyalahkan orang lain, Bayu! Muridku mencoba melindungi diri dari
nafsu kotormu!" bentak Eyang Banadu.
"He...!" Bayu tersentak. "Apa lagi yang diperbuat Seruni... ?"
"Heh! Kau berpura-pura mengantarkan kotak kayu berisi Bunga Cubung Biru,
padahal punya maksud buruk pada muridku. Kau tahu, Seruni adalah murid
kesayanganku! Tak ada seorang pun yang bisa berlaku kurang ajar padanya.
Nah! Bersiaplah, Bayu...!"
Bayu tak punya waktu lagi untuk menjelaskan, karena Eyang Banadu sudah
melompat menyerang sambil berteriak keras. Laki-laki tua cebol itu
mengebutkan tongkatnya beberapa kali, membuat Pendekar Pulau Neraka terpaksa
jumpalitan menghindari. Sungguh dahsyat serangan-serangan yang dilancarkan
Eyang Banadu. Setiap kebutan tongkatnya mengandung hawa dingin membekukan
disertai hembusan angin kencang bagai hendak menghempaskan Pendekar Pulau
Neraka itu.
"Yeaaah...!"
Wuk!
Pertarungan memang tak dapat dihindari lagi. Kali ini Eyang Banadu
bertarung sungguh-sungguh. Terbukti serangan-serangannya sungguh dahsyat,
membuat Pendekar Pulau Neraka agak kelabakan menghadapinya. Tongkat kayu
yang digunakan sebagai senjata, sungguh dahsyat luar biasa. Batu dan
pepohonan hancur terkena hantamannya.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, tempat yang sudah berantakan semakin
porak poranda akibat pertarungan itu. Namun sampai sejauh ini, Bayu belum
balas menyerang. Meskipun sesekali melontarkan pukulan keras, namun tidak
berarti sama sekali. Kelihatan sekali kalau Pendekar Pulau Neraka itu tidak
sungguh-sungguh dalam pertarungan ini.
"Phuih! Kau menghinaku, Anak Muda!" bentak Eyang Banadu seraya mengirimkan
satu pukulan tangan kiri yang keras.
"Uts!"
Bayu mengegoskan tubuhnya ke samping, maka pukulan orang tua cebol itu
luput dari sasaran. Namun sebelum Bayu bisa menarik tubuhnya kembali, Eyang
Banadu sudah memberi satu sodokan tongkat ke arah dada.
Wuk!
"Yaaah...!"
Bayu terpaksa memutar tubuhnya ke belakang. Tapi Eyang Banadu terus
mencecar dengan tusukan dan kibasan tongkat beberapa kali. Terpaksa Pendekar
Pulau Neraka harus berjumpalitan berputaran menghindari serangan beruntun
ini. Pemuda berbaju kulit harimau itu melentingkan tubuhnya ke udara ketika
Eyang Banadu menghentakkan tongkatnya ke arah kaki.
"Hiyaaa...!"
Dua kali Bayu berputaran di udara, kemudian manis sekali hinggap di tanah
sekitar dua batang tombak di belakang laki-laki tua cebol itu. Cepat sekali
Eyang Banadu memutar tubuhnya.
'Tunggu! Dengarlah penjelasanku dulu!" bentak Bayu cepat
"Tidak ada lagi penjelasan, Anak Muda! Kau harus mampus hari ini!
Hiyaaat..!"
Rupanya Eyang Banadu tidak bisa lagi diajak bicara. Kemarahannya sudah
memuncak, sehingga kembali melompat menerjang dahsyat Pendekar Pulau Neraka.
Serangannya cepat luar biasa disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
Tak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Pulau Neraka untuk memberi penjelasan
yang sebenarnya. Pemuda itu terpaksa berkelit menghindari serangan orang tua
cebol itu.
Serangan-serangan yang dilakukan Eyang Banadu semakin meningkat Dan Bayu
tidak bisa lagi bermain main kali ini. Sedikit saja kelengahan akan
berakibat fatal buat dirinya sendiri. Terpaksa Pendekar Pula Neraka itu
melayani secara sungguh-sungguh pula. Di tempat yang tidak begitu jauh,
Rampita menyaksikan! pertarungan itu disertai perasaan cemas. Dia
mengharapkan Bayu dapat cepat menyelesaikan pertarungan ini. Sementara Nyi
Rampik menyaksikan pertarungan itu dari tempat yang agak jauh.
"Lepas...!"
Tiba-tiba Bayu berseru keras. Dan seketika itu juga dihentakkan tangannya,
tepat saat Eyang Banadu menghantamkan tongkatnya ke kepala Pendekar Pulau
Neraka itu. Tak dapat dihindari lagi. Tongkat kayu itu beradu keras dengan
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Tring!
Sebelum laki-laki tua cebol itu hilang dari keterkejutannya, secepat kilat
Bayu sudah mengirimkan pukulan menggeledek ke dada orang tua cebol
itu.
Deeesss!
"Ughk...!" Eyang Banadu mengeluh pendek. Tak sempat menghindari lagi
pukulan yang keras itu!
Trak!
"Eh...?!" Eyang Banadu terperanjat. Tongkat kayunya terbelah jadi dua
bagian. Dan sebelum laki-laki tua cebol itu hilang dari keterkejutannya,
secepat kilat Bayu sudah mengirimkan pukulan keras menggeledek, mengarah ke
bagian dada orang tua cebol itu.
"Yeaaah...!"
Duk!
"Ughk...!"
Eyang Banadu mengeluh pendek. Pukulan Bayu yang keras tak dapat dihindari
lagi Tubuh gemuk cebol itu terpental sejauh tiga batang tombak. Beberapa
kali Eyang Banadu bergulingan di tanah, namun mampu cepat bangkit kembali
meskipun agak limbung. Darah menetes keluar dari sudut bibirnya. Orang tua
cebol itu melemparkan tongkat yang terbelah, kemudian melepaskan untaian
kalung hitam dari lehernya.
Wuk! Wuk...!
"Hiy aaat ..!"
Sambil memutar-mutar kalung batu hitamnya. Eyang Banadu melompat menerjang
kembali. Bayu menggeser kakinya sedikit ke samping. Pada saat yang sama
laki-laki cebol itu melemparkan kalungnya dengan kecepatan tinggi. Tak
mungkin lagi bagi Bayu menghindarinya. Cepat-cepat dimiringkan tubuhnya ke
kiri, lalu....
"Yeaaah...!
Swing!
Begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu bergerak cepat seketika Cakra
Maut bersegi enam melesat Senjata itu langsung menyambar untaian kalung
hitam yang melayang deras di angkasa. Satu benturan keras terjadi, disertai
ledakan dahsyat menggelegar. Seketika bunga api memercik menyebar
ke segala penjuru.
Untuk kedua kalinya Eyang Banadu terperangah. Untaian kalung hitamnya
hancur berantakan. Sedangkan Cakra Maut bersegi enam melesat berbalik ke
arah pemiliknya, dan menempel kembali di pergelangan tangan pemuda berbaju
kulit harimau itu. Dan sebelum Eyang Banadu bisa menguasai keterkejutannya,
Bayu sudah melesatkan kembali senjata mautnya.
Sing...!
"Uts!"
Buru-buru Eyang Banadu melompat ke samping menghindari senjata bulat
bersegi enam itu. Namun belum juga bisa berdiri tegak sempurna, Cakra Maut
sudah kembali melesat ke arahnya. Seketika laki-laki tua cebol itu hanya
bisa membeliak.
Cras!
"Aaakh...!"
Eyang Banadu menjerit keras melengking. Ujung-ujung Cakra M aut berhasil
merobek dada laki-laki tua cebol itu. Seketika darah muncrat keluar
membasahi dadanya. Eyang Banadu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap
dadanya yang sobek cukup panjang.
"Kau yang menghendaki kematianmu sendiri, Eyang Banadu! Hiya!" seru Bayu
keras.
Saat Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan pemuda berbaju kulit
harimau itu, secepat itu pula dia melompat sambil mengirimkan satu pukulan
keras bertenaga dalam sangat sempurna. Eyang Banadu tak mungkin lagi
berkelit Dan....
Bughk!
"Aaa...!"
Untuk kedua kalinya Eyang Banadu menjerit melengking tinggi. Pukulan yang
dilontarkan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam kepala gundul orang tua
gemuk cebol itu. Terdengar suara berderak dari batok kepala yang pecah.
Tampak darah merembes keluar dari kepala tanpa rambut itu. Sebentar Eyang
Banadu masih bisa berdiri, kemudian tubuhnya limbung dan ambruk menggelepar
di tanah.
Bayu berdiri tegak memandangi tubuh cebol yang menggelepar meregang nyawa.
Tak lama berselang, Eyang Banadu menghembuskan napasnya yang terakhir. Darah
kini menggenang dari dada dan kepalanya. Bayu melangkah mundur beberapa
tindak, kemudian berbalik. Pada saat itu Rampita berlari menghampiri diikuti
Nyi Rampik.
"Kakang...!" seru Rampita.
***
ENAM
Belum juga Rampita sampai, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat
menyambar ke arah Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepatnya, sehingga pemuda
berbaju kulit harimau itu tidak sempat menyadari. Dan tahu-tahu Bayu
merasakan dadanya sesak, lalu tubuhnya terpental keras ke belakang hingga
menghantam sebatang pohon.
"Uhk...!" Bayu mengeluh sambil berdiri. Sebelum Pendekar Pulau Neraka itu
bisa bangkit berdiri tegak, bayangan itu kembali meluruk deras ke arahnya.
Cepat-cepat Bayu melompat ke samping dan menjatuhkan diri ke tanah. Dia
bergulingan beberapa kali, lalu bergegas melompat bangkit Pada saat itu,
terlihat bayangan itu kembali meluruk menyambarnya. Kali ini Bayu tidak
menghindar, siap menerima dengan kaki terbuka lebar agak menekuk.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu menghentakkan kedua tangannya ke depan disertai
pengerahan tenaga dalam penuh. Tepat pada saat itu, bayangan itu segera
melesat ke atas menghindari benturan dengan Pendekar Pulau Neraka. Namun
Bayu tak mau tinggal diam. Secepat kilat dilentingkan tubuhnya ke atas, dan
kembali dilontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
"Hiy aaat ..!"
Dughk!
Hantaman Bayu tepat mengenai sasaran, tapi tangannya jadi terasa nyeri.
Bahkan tubuhnya terlontar jatuh, bergulingan di tanah. Demikian juga
bayangan itu. Dia terjatuh keras ke tanah. Hampir bersamaan mereka bangkit
berdiri.
"Dewa Pengemis...!" desis Bayu begitu mengenali bayangan yang menyerangnya
tadi.
"Paman...!" Rampita tersentak begitu bisa mengenali pula.
Rampita buru-buru berlari dan berdiri di tengah-tengah ketika Dewa Pengemis
hendak melancarkan serangan kembali. Pada saat itu Nyi Rampik juga
menghampiri laki-laki tua kurus kering yang berpakaian compang camping
itu.
"Hentikan, Kakang!" bentak Nyi Rampik.
"Heh...?!" Dewa Pengemis tampak terkejut melihat Nyi Rampik ada di
sini.
"Apa-apaan ini...?!" bentak Nyi Rampik nampak gusar.
"Minggir, Rampik. Biar kuhajar bocah keparat itu!" dengus Dewa Pengemis
dingin.
"Kenapa? Apa salahnya padamu, Kakang?" tanya Nyi Rampik tidak
mengerti.
"Kau jangan coba-coba melindunginya, Rampik. Dia sudah berani mengganggu
Rampita dan menculiknya!"
"Paman...!" Rampita terkejut
"Edan! Setan mana yang menutup matamu, Kakang?" dengus Nyi Rampik
"Heh...?!" Dewa Pengemis terlonjak.
Laki-laki tua kurus itu memandangi Nyi Rampik dan Rampita bergantian. Sinar
matanya seperti tidak mempercayai apa yang didengarnya tadi. Kemudian
matanya beralih menatap Bayu. Bahkan saat itu Rampita menghampiri Bayu dan
berdiri di sampingnya. Hal ini semakin membuat Dewa Pengemis jadi bengong
seperti orang tolol.
"Ada apa ini? Rampita...!" Dewa Pengemis seakan-akan meminta
penjelasan.
"Dari dulu kelakuanmu tidak pernah berubah! Pakai otakmu, Kakang...!"
dengus Nyi Rampik bernada kesal.
Dewa Pengemis tampak semakin kebingungan. Dipandanginya ketiga orang di
sekitarnya. Sementara Rampita menggandeng tangan Bayu dan mengajak
menghampiri laki-laki tua pengemis itu. Gadis itu tersenyum, seperti
mengerti kebingungan yang dialami Dewa Pengemis.
"Kenapa Paman membenci Kakang Bayu?" tanya Rampita lembut
"Aku..., aku...," Dewa Pengemis jadi gelagapan.
"Sudahlah, ini hanya salah paham saja," Bayu menengahi. Tidak tega juga
hanya melihat laki-laki tua itu jadi serba salah.
"Aku tahu, ini pasti gara-gara si Seruni!" desis Nyi Rampik
''Jangan menuduh sembarang dulu, Nyi. Belum tentu ada sangkut pautnya
dengan Seruni," sergah Rampita.
"Pasti! Anak nakal itu selalu saja bikin ulah. Kali ini sudah keterlaluan.
Kau jangan membelanya terus, Rampita!" Nyi Rampik memperingatkan.
'Tapi, Nyi...."
"Tidak ada tapi-tapian!" bentak Nyi Rampik, cepat memotong ucapan Rampita.
"Aku kasihan padamu, Rampita. Sejak kecil selalu menderita, tapi kau terus
mengalah. Kenapa ? Kenapa kau terus mengalah, Rampita...?"
Rampita diam saja. Sedangkan Bayu hanya memandangi kedua wanita itu,
disertai sinar mata keheranan Sementara Dewa Pengemis sendiri masih diliputi
ketidakmengertian akan semua kejadian ini. Diam-diam didekatinya Pendekar
Pulau Neraka, lalu dicoleknya lengan pemuda itu. Bayu menoleh, lalu
menggeser kakinya menjauhi Rampita. Dia berjalan mengikuti laki-laki tua
pengemis itu.
"Jelaskan padaku, ada apa semua ini?" tanya Dewa Pengemis minta
penjelasan.
"Aku sendiri tidak mengerti...," sahut Bayu. "Edan! Barangkali semua orang
sudah gila. Huh! Kenapa aku jadi ikut-ikutan gila...?!" rungut Dewa
Pengemis.
"Ki... Hm, boleh aku memanggilmu begitu?"
'Terserah."
"Kenapa kau tiba-tiba memusuhi dan menyerangku, Ki?" tanya Bayu.
"Justru itu yang ingin kutanyakan padamu! Kenapa kau menculik Rampita?!"
Dewa Pengemis malah balik bertanya.
"Aku tidak menculik Rampita. Aku justru ke sini untuk membebaskannya dari
tangan Eyang Banadu."
"Heh!" Dewa Pengemis tampak terkejut
"Ada apa, Ki?" tanya Bayu.
Dewa Pengemis menatap Bayu dalam-dalam, kemudian pandangannya beralih pada
sosok tubuh cebol tua yang tergeletak tak bernyawa di tanah. Kembali
ditatapnya pemuda berbaju kulit harimau itu seperti tidak percaya.
"Kau mengalahkannya...?" nada suara Dewa Pengemis seperti tidak mempercayai
kalau Bayu yang menewaskan Eyang Banadu.
"Benar. Kenapa?"
"Aku sendiri belum tentu sanggup menandinginya. Bagaimana kau bisa
mengalahkannya, Bayu?"
"Aku sendiri tidak tahu. Mungkin karena dia dirasuk kemarahan, sehingga
tidak bisa mengendalikan diri," sahut Bayu seenaknya.
"Kau tahu, di daerah ini Eyang Banadu tidak ada yang menandingi. Ah,
sudahlah.... Itu urusanmu. Tapi...," Dewa Pengemis kembali menatap Bayu
dalam-dalam. "Benar kau tidak menculik Rampita?"
"Apa perlu bersumpah? Kalau tidak percaya, tanyakan saja kepada Rampita
sendiri."
"Aneh...! Padahal semalaman aku menjagainya. Kenapa bisa kecolongan...?"
Dewa Pengemis bergumam seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Semalaman..?! Ki, Rampita sudah ada di sini sejak kemarin."
"Tidak mungkin! Semalam dia masih ada bersamaku!" bantah Dewa
Pengemis.
"Ah..., mungkinkah ini ulah Seruni?" desah Bayu pelan.
"Ini bukan waktunya main-main, Bayu!"
"Aku tidak main-main. Hm.... Sebaiknya persoalan kita pecahkan bersama,
lalu cari biang keladinya. Bagaimana?"
"Kau benar, Bayu."
Kedua laki-laki yang semula bersitegang itu, kemudian menghampiri Rampita
dan Nyi Rampik yang juga tengah membicarakan persoalan yang sedang dihadapi.
Mereka berempat kemudian berkumpul, duduk di sebuah batang pohon rindang.
Mereka menyatukan pendapat dan mencari kebenaran yang selama ini seperti
dipermainkan.
***
Memang sukar untuk dimengerti, namun akhirnya mereka menyadari kalau selama
ini menjadi boneka permainan. Mereka sengaja diadu domba agar timbul
perpecahan satu sama lain, sehingga saling bentrok. Terutama antara Pendekar
Pulau Neraka dengan Dewa Pengemis. Terlebih lagi laki-laki tua berpakaian
compang camping itu yang baru menyadari dirinya telah dipermainkan seorang
wanita yang menyamar menjadi Rampita. Dan mereka semua tahu, siapa wanita
itu. Tapi yang lebih penting lagi, semua persoalan ini ternyata bertumpu
pada sekuntum Bunga Cubung Biru yang sampai sekarang belum ada seorang pun
yang memilikinya.
Tak ada seorang pun yang tahu, di mana Bunga Cubung Biru kini. Namun di
lain hal, semuanya jadi prihatin terhadap nasib Rampita. Gadis ini akan
terus lemah tanpa daya jika tidak segera diobati oleh bunga itu. Bahkan
mungkin nyawa gadis ini bakal terenggut jika sekali saja menggunakan ilmu
tenaga dalam. Secara alamiah, penggunaan tenaga dalam akan membuka aliran
darah. Dan itu akan mengakibatkan sejenis racun dan luka dalam di tubuh
gadis itu akan meluas sehingga akan berakibat sangat parah baginya.
"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" tanya Bayu memancing
pendapat
Tak ada satu pun yang menjawab. Mereka hanya saling melemparkan pandang.
Satu pertanyaan yang mudah dilontarkan, namun terasa sukar dijawab.
"Baiklah. Karena ini menyangkut keselamatan Rampita, aku mengusulkan untuk
mencari Bunga Cubung Biru terlebih dahulu. Kita singkirkan semua persoalan
dengan Seruni atau siapa saja. Bagaimana?" Bayu memberikan usul.
"Aku terserah saja...," Rampita menanggapi. Gadis itu memang sudah pasrah,
karena tahu tidak akan bisa pulih tanpa Bunga Cubung Biru. Tak ada satu
tabib pun yang bisa menyembuhkan luka-lukanya. Memang Rampita sendiri tidak
tahu, dengan apa Seruni melukainya. Waktu itu Nyi Rampik sudah memberi usul
agar meminta obat penawar pada Seruni, tapi hal itu tidak akan mungkin.
Karena, mereka semua tahu siapa gadis itu. Hanya saja mereka memang tidak
memberitahukan Bayu. Dan Pendekar Pulau Neraka itu sendiri tidak suka
mendesak. Dia yakin kalau antara Rampita dan Seruni ada suatu hubungan. Bisa
saja mereka bersaudara, bahkan mungkin bisa dikatakan saudara kembar.
"Dari mana kita mulai mencari bunga itu?" tanya Dewa Pengemis.
'Yang kutahu, Anom Sura menyimpan bunga itu dalam kotak kayu yang disimpan
di bawah altar semadinya," jelas Nyi Rampik.
"Kotak itu sudah ada di tangan Seruni, tapi katanya bunga itu tidak ada di
dalam kotak. Bahkan Kakang Bayu dituduh sebagai orang yang mengambilnya,"
sergah Rampita.
"Sedangkan kita sendiri tahu, Bayu tidak memiliki bunga itu," sambung Nyi
Rampik.
"Hm.". Ada satu tempat yang sangat rahasia...," gumam Dewa Pengemis. 'Tapi
aku tidak yakin kalau Anom Sura menyimpannya di sana."
"Segala kemungkinan harus dilaksanakan, Ki," celetuk Bayu.
"Kau yang lebih dekat dengan Anom Sura, jadi pasti lebih tahu tentang dia,
Kakang," tegas Nyi Rampik.
Dewa Pengemis bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya reruntuhan bangunan
Padepokan Tongkat Sakti. Kemudian kakinya terayun melangkah. Bayu, Nyi
Rampik, dan Rampita mengikuti dari belakang. Mereka hanya bisa
bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan dilakukan laki-laki tua pengemis
ini.
Sedangkan Dewa Pengemis terus melangkah pelahan mendekati reruntuhan
bangunan bekas padepokan tanpa berbicara sedikit pun juga. Dilewatinya
reruntuhan bangunan itu, lalu terus berjalan menuju sebuah bangunan batu
yang sudah hancur berantakan. Laki-laki tua berpakaian compang camping itu
berhenti di dekat situ.
"Bayu, bisa kau singkirkan batu-batu ini?" tanya Dewa Pengemis seraya
berpaling menatap pada Pendekar Pulau Neraka.
Bayu tak menjawab, tapi lalu melangkah ke depan beberapa tindak. Sedangkan
Dewa Pengemis mundur mendekati Nyi Rampik dan Rampita. Sebentar Pendekar
Pulau Neraka berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di samping tubuhnya.
Kemudian digeser kakinya hingga terentang. Pelahan sekali tangannya bergerak
ke depan dada, lalu kedua telapak tangannya merapat. Pelan-pelan Bayu
menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kemudian tangan kanannya naik ke
atas dan tangan kiri ditarik hingga sejajar pinggang. Cepat sekali ditarik
tangan kanannya hingga sejajar dada. Lalu....
"Hiyaaa...!"
Seketika itu juga Bayu menghentakkan telapak tangan kanannya yang terbuka
lebar ke depan. Pada saat itu terdengar suara menggemuruh. Tampak
batu-batuan yang bertumpuk tidak beraturan di depannya berpentalan. Sebentar
saja semua batu telah berserakan ke segala arah. Tinggal sebuah batu besar
yang tampaknya tertanam di dalam tanah, sehingga hanya bagian atasnya saja
yang terlihat
"Hebat!" puji Dewa Pengemis tulus. "Ilmu apa yang kau gunakan itu,
Bayu?"
"Aku menamakan jurus 'Sapuan Gelombang Samudra'," sahut Bayu.
"Sungguh dahsyat."
'Tapi itu belum sempurna, Ki," Bayu merendah.
"Ayolah, kita angkat batu itu," ajak Dewa Pengemis.
"Ki...."
Bayu menahan dada laki-laki tua pengemis itu yang hendak melangkah
menghampiri. Dewa Pengemis menghentikan langkahnya, lalu tersenyum dan
terangguk Bisa dimengerti maksud pemuda berbaju kulit harimau itu. Selangkah
kakinya mundur.
Bayu menggerak-gerakkan tangannya di depan dada, kemudian menghentakkan
kedua tangannya ke depan sambil berteriak keras. Tampak dari kedua telapak
tangannya meluncur secercah cahaya kuning keemasan. Cahaya itu langsung
menyambar batu yang terbenam ke dalam tanah itu. Ledakan keras terdengar
menggelegar. Seketika batu itu hancur berkeping-keping, menimbulkan debu
yang mengepul membumbung tinggi ke angkasa.
Begitu debu menyebar terbawa angin, tampak sebuah lubang yang cukup besar
berbentuk segi empat. Di tengah-tengah lubang itu terlihat sebuah kotak
terbuat dari besi berwarna kemerahan. Dewa Pengemis bergegas menghampiri,
lalu masuk ke dalam lubang itu dan mengambil kotak besi. Bayu membantu
laki-laki tua itu keluar dari dalam lubang.
Dewa Pengemis membuka tutup besi. Tampak di dalam kotak besi kemerahan itu
terdapat sekuntum bunga berwarna biru yang mengeluarkan cahaya terang
berkilauan. Bunga itu bentuknya mirip bunga teratai, tapi ukurannya lebih
kecil. Wajah Dewa Pengemis, Nyi Rampik, dan Rampita berseri-seri.
"Sudah kuduga, pasti Anom Sura menyimpannya di situ," desah Dewa Pengemis
seraya menyerahkan kotak besi yang sudah tertutup lagi pada Rampita. "Ini
milikmu, jaga dengan baik"
Rampita menerimanya, namun bibirnya bergetar dan matanya berkaca-kaca.
Benda yang selama ini menjadi pangkal segala kerusuhan, ternyata berhasil
dimilikinya lagi. Bunga ajaib yang akan memulihkan keadaan tubuhnya kembali
seperti semula. Rampita menyerahkan kotak besi berisi Bunga Cubung Biru itu
pada Nyi Rampik.
"Buatkan obat untukku, Nyi," ucap Rampita agak tersendat suaranya. "Baik,
Gusti Ayu," sahut Nyi Rampak seraya menerima kotak besi itu, bersikap penuh
rasa hormat.
"Gusti Ayu...?!" Bayu mendesis tidak mengerti. Pendekar Pulau Neraka itu
memandangi Rampita dan Nyi Rampik bergantian. Sungguh hatinya terkejut dan
tidak mengerti, kenapa Nyi Rampik memanggil Rampita dengan sebutan Gusti
Ayu. Suatu sebutan yang biasa digunakan putri-putri bangsawan atau kerabat
kerajaan. Tapi Bayu belum bisa menanyakan, karena Dewa Pengemis sudah
menggeret tangannya meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Rampita dan Nyi
Rampik yang langsung sibuk menyiapkan peralatan yang dibawa untuk membuat
ramuan obat dari Bunga Cubung Biru.
***
Bayu mengayunkan kakinya pelahan-lahan, berjalan semakin jauh meninggalkan
reruntuhan Padepokan Tongkat Sakti. Sementara di sampingnya berjalan Dewa
Pengemis. Sesekali mereka berhenti dan menoleh ke belakang. Tampak Nyi
Rampik masih sibuk mempersiapkan peralatan untuk membuat ramuan Bunga Cubung
Biru. Tanpa terasa kedua orang itu sudah begitu jauh meninggalkan kedua
wanita itu.
"Bayu...."
"Ya?" Bayu menghentikan langkahnya. Pendekar Pulau Neraka itu membalikkan
tubuh menghadap Dewa Pengemis yang rupanya sudah lebih dahulu berhenti
berjalan. Sesaat mereka hanya saling tatap saja.
"Maaf, aku telah berlaku buruk padamu," ucap Dewa Pengemis.
"Lupakan saja," desah Bayu seraya tersenyum.
"Bayu, boleh aku bertanya secara pribadi padamu?"
"Kenapa tidak?"
"Kenapa kau selalu membela Rampita?" tanya Dewa Pengemis.
"Aku...? Aku...," Bayu tidak bisa menyelesaikan jawabannya.
Terus terang, dia sendiri tidak tahu, kenapa selalu membela gadis itu.
Rampita memang cantik. Bukan hanya wajahnya, tapi juga hatinya. Bayu dapat
merasakan kecantikan seutuhnya pada gadis itu. Tapi untuk menjawab
pertanyaan Dewa Pengemis, terasa sulit sekail
"Kenapa kau tanyakan itu, Ki?" Bayu malah balik bertanya.
"Jika kau tidak suka menjawabnya, lupakan saja. Ah! Pikiran orang tua
memang selalu macam-macam. Lupakan saja, Bayu."
"Sikap yang sangat aneh!" dengus Bayu dalam hati. Benar-benar sulit
memahami sikap laki-laki tua ini.
Sesaat kedua orang itu membisu, seperti mencari kata-kata yang tepat untuk
berbicara kembali.
"Baiklah, kalau begitu aku yang akan bertanya padamu. Boleh?" Bayu
mengalah.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
'Tentang Rampita."
Dewa Pengemis mengerutkan keningnya.
"Siapa dia sebenarnya, Ki?" tanya Bayu.
Baru sekarang pertanyaan yang selalu menjadi ganjalan di benaknya bisa
dilontarkan. Dan Dewa Pengemis nampak terhenyak mendengar pertanyaan
Pendekar Pulau Neraka itu. Sesaat laki-laki tua itu terdiam membisu.
Sepertinya tengah berpikir keras, menimbang-nimbang untuk menjawab
pertanyaan yang terasa sangat berat ini.
"Aku yakin, kau begitu dalam mengenalnya. Bahkan Rampita memanggilmu dengan
sebutan Paman. Itu sudah menandakan antara kau dan Rampita punya hubungan,"
tegas Bayu lagi.
"Kenapa kau ingin tahu tentang dia, Bayu?" tanya Dewa Pengemis.
"Kenapa? Karena aku merasa ada keanehan pada dirinya. Dan itu selalu
mengganggu pikiranku. Kau tahu, Ki. Hatiku tidak akan pernah puas jika hanya
setengah jalan saja. Kau pasti bisa memahami maksudku," jelas Bayu.
"Kau mencintainya, Bayu?" tebak Dewa Pengemis langsung.
"Jangan tanyakan itu, Ki! Aku baru beberapa hari mengenalnya!" dengus Bayu
kurang senang.
Tidak dipungkiri, Bayu sempat juga bergetar mendengar tebakan laki-laki tua
pengemis itu. Dia sendiri tidak tahu dengan perasaannya kali ini. Belum
pernah hatinya begitu penasaran ingin mengetahui diri seorang gadis. Bahkan
belum pernah mempunyai perasaan seperti ini sebelumnya. Dalam
petualangannya, sering dijumpainya gadis-gadis, tapi tidak ada yang sempat
menggetarkan hatinya.
Entah kenapa, begitu bertemu Rampita, mendadak saja timbul berbagai macam
perasaan yang sulit dicari arti dan sebabnya. Tapi yang jelas, Pendekar
Pulau Neraka itu telah menumpahkan seluruh perhatiannya. Bahkan ada rasa
cemas begitu mengetahui Rampita terluka dalam yang cukup parah dan sukar
disembuhkan.
"Rampita memang membutuhkan seseorang yang bisa memberi perlindungan
kepadanya. Sedangkan aku sudah tua, tidak mungkin bisa melindunginya terus
menerus. Kasihan dia.... Mungkin sudah takdirnya harus bergelimang
penderitaan yang tak kunjung reda," kata-kata Dewa Pengemis seakan-akan
bernada mengeluh.
Bayu langsung bisa mengerti, tapi tidak bisa memutuskan secepat ini. Dia
harus tahu betul, siapa Rampita itu sebenarnya, dan mengapa selalu mengalah
pada Seruni. Apakah antara kedua gadis itu memiliki hubungan dekat? Berbagai
macam pertanyaan yang belum terjawab menghantui benak Pendekar Pulau Neraka
itu.
"Rampita sebenarnya bukan orang lain bagiku. Dia keponakanku satu-satunya
yang tersisa. Ayahnya adalah adik kandungku sendiri," Dewa Pengemis mulai
membuka sedikit tabir yang menyelimuti Rampita.
Bayu hanya diam saja mendengarkan, karena inilah saat yang tepat untuk bisa
mengetahui tentang diri Rampita sesungguhnya. Dan kesempatan seperti ini
sudah lama dinantikan.
"Keluarga kami terpecah belah karena adanya Bunga Cubung Biru. Bunga itu
memang banyak memberi manfaat, tapi juga tidak sedikit mendatangkan
malapetaka. Kami harus selalu menghadapi tantangan dan bahaya yang tak
pernah kunjung padam selama bunga itu masih ada, walaupun semua hal itu
disadari betul. Pernah kami sepakat untuk memusnahkannya saja, tapi ayah
Rampita tidak menyetujui. Dia rela menyimpan bunga itu dengan segala resiko
yang akan dihadapinya," sambung Dewa Pengemis.
"Aku mengerti, kenapa kau bisa dengan mudah menemukan tempat persembunyian
bunga itu," gumam Bayu seperti untuk dirinya sendiri.
"Kau salah jika menyangka Anom Sura adalah ayah Rampita, Bayu," tegas Dewa
Pengemis.
"O...?!" Bayu terhenyak. Langsung dikerutkan keningnya.
"Anom Sura sebenarnya bukan ayah kandung Rampita. Memang sejak masih bayi
Rampita diasuh dan dibesarkan olehnya."
"Lalu, siapa Anom Sura itu?"
"Adikku, berarti juga pamannya Rampita."
"Lantas, di mana ayahnya sekarang?"
"Ayah Rampita sebenarnya bernama Ki Laban. Atau juga Wira Kerti, yang
berjuluk Satria Pedang Perak."
"Hm...," gumam Bayu tidak jelas.
"Waktu Rampita baru berusia satu bulan, datang bencana. Sekelompok orang
persilatan menyerbu hendak merebut Bunga Cubung Biru. Dan malangnya, ibu
gadis itu tewas. Tapi Wira Kerti berhasil menyelamatkan putrinya dan membawa
ke Padepokan Tongkat Sakti ini. Dia sendiri kemudian mengembara untuk
membalas dendam mencari pembunuh istrinya."
"Lalu, apakah dia membawa Bunga Cubung Biru?"
"Bunga itu berhasil jatuh ke tangan seorang wanita berkepandaian tinggi.
Aku, Rampik, dan Anom Sura berhasil merebutnya kembali. Dan kami sepakat
agar Anom Sura yang menyimpannya."
"Hm..., lalu, apa hubungannya Rampita dengan Seruni?" tanya Bayu, berusaha
membuka tabir hubungan dua gadis itu.
"Inilah yang menyulitkan, Bayu. Setahun setelah Wira Kerti mengembara,
datang seorang wanita membawa anak. Dia terluka berat, tapi bayi
perempuannya dalam keadaan sehat. Wanita itu mengaku sebagai istri Wira
Kerti. Semula kami tidak mau percaya. Tapi setelah satu minggu wanita itu
meninggal, datang seorang tua bertubuh cebol mengakuinya sebagai saudaranya.
Dan bayi perempuan itu diakuinya sebagai keponakannya. Kami tak bisa berbuat
banyak, lalu menyerahkan bayi perempuan itu padanya."
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pendekar Pulau Neraka tahu siapa
laki-laki cebol itu. Dia tentu Eyang Banadu yang sudah tewas di tangannya.
Dan dugaan Bayu hampir terbukti, bahwa antara Seruni dan Rampita tentu masih
satu darah. Wajah mereka begitu mirip, bahkan seperti saudara kembar saja.
Paling tidak, Seruni dan Rampita memiliki satu Ayah lain Ibu.
"Satu hal lagi yang perlu kau ketahui, Bayu," sambung Dewa Pengemis.
"Apa itu?" tanya Bayu.
"Wira Kerti sebenarnya seorang raja di Cagar Angin. Kami semua bersaudara
dan sepakat menyerahkan tahta padanya, karena dia lebih pantas dan selalu
bertindak adil. Tapi usianya tidak berlangsung lama. Kami semua cerai berai.
Bahkan jadi tidak mengenal satu sama lainnya karena harus menyelamatkan diri
masing-masing."
"Kenapa?"
"Ada sekelompok orang yang tidak menyukai kehidupan kami. Dan kelompok itu
akhirnya juga pecah. Tapi ada satu orang yang berhasil menguasai Istana
Cagar Angin hingga sekarang ini."
"Siapa?" tanya Bayu ingin tahu.
"Nata Kesuma."
"Nata Kesuma..?!" Bayu tidak percaya.
Bagaimana mungkin Bayu bisa mempercayai? Nata Kesuma masih begitu muda. Dan
kalau pun terlibat, tentu usianya sudah sama dengan Dewa Pengemis ini.
Rasanya sukar dipercaya. Tapi setelah mendengar penjelasan Dewa Pengemis,
Bayu semakin tercengang saja.
'Tapi, kenapa dia mengakui Seruni sebagai adiknya?" tanya Bayu.
Itulah, Bayu. Dia selalu memecah belah keluarga besar kami, sehingga tidak
mengatakan dirinya yang sebenarnya pada Seruni. Dia sebenarnya sudah tua,
bahkan usianya mungkin dua kali lipat dariku."
"Hebat! Ilmu apa yang dipakai untuk bisa awet muda...?" Bayu seperti
bertanya pada diri sendiri.
"Ilmu 'Pati Sukma Bayangan'. Ilmu itu sudah dikuasainya dengan sempurna,
sehingga bisa membuat dirinya tetap muda tanpa dipengaruhi usia. Ilmu itu
sangat langka, dan tidak sembarangan orang bisa menguasainya."
Bayu berdecak kagum.
"Satu hal lagi, Bayu. Dengan ilmu itu, Nata Kesuma sukar ditandingi. Dia
tidak akan mati walaupun tubuhnya tertembus ribuan senjata pusaka yang maha
sakti sekali pun."
"O...?!" Bayu semakin kagum.
''Itu sebabnya kami lebih baik menyingkir daripada berhadapan dengannya.
Mencari perkara dengannya sama saja bunuh diri."
"Setiap ilmu pasti punya kelemahan, Ki."
"Memang! Tapi Nata Kesuma sudah memindahkan kelemahan dirinya ke dalam
sebuah cupu emas yang berada didalam sabuk pinggangnya. Tanpa cupu itu semua
ilmunya lenyap, dan dia akan kembali tua."
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
***
TUJUH
Malam sudah demikian larut. Suasana di sekitar Istana Cagar Angin begitu
sunyi. Hanya beberapa penjaga saja masih terlihat terkantuk menjalankan
tugasnya. Namun di taman belakang istana, terlihat Seruni tengah duduk
menyendiri di sebuah bangku taman tidak jauh dari kolam.
Dari sikapnya, sudah bisa ditebak kalau gadis itu gelisah. Beberapa kali
dihembuskan napas panjang dan terasa berat. Sejak melepaskan Bayu dari
penjara, gadis ini selalu diliputi perasaan gelisah. Padahal perbuatannya
tidak ada yang mengetahui. Bahkan Prabu Nata Kesuma sendiri sampai sekarang
tidak mengetahuinya.
Gadis itu tidak tahu kalau ada sepasang mata mengawasinya dari tempat
tersembunyi. Dia baru tahu saat merasa ada seseorang berdiri di belakangnya.
Saat menoleh....
"Oh...!" Seruni hampir terpekik.
"Ssst..."
"Kakang Bayu.... Ada apa ke sini?" agak berbisik suara Seruni. Yang
mengawasi Seruni sejak tadi memang Pendekar Pulau Neraka. Laki-laki berbaju
kulit harimau itu menarik tangan Seruni dan membawanya ke tempat terlindung.
Gadis itu menuruti saja tanpa membantah sedikit pun Hatinya sudah begitu
terpikat pada pemuda tampan ini, dan tidak peduli kalau pernah bentrok.
Bahkan sekarang Bayu menjadi buronan kakaknya.
"Kenapa kau ke sini, Kakang?" tanya Seruni.
"Aku rindu padamu, Seruni," sahut Bayu berbisik.
"Ah, Kakang...," desah Seruni langsung berbunga hatinya.
Tanpa malu-malu lagi, gadis itu menjatuhkan diri dan memeluk Pendekar Pulau
Neraka. Dan Bayu membalasnya dengan hangat. Tapi saat Seruni hendak
mendekatkan bibirnya ke bibir pemuda itu, Bayu cepat-cepat menahan dengan
jarinya ke bibir gadis itu.
"Kenapa? Kau rindu padaku, bukan?"
"Ya, aku rindu padamu. Tapi tidak di sini"
"Di mana? Di kamarku?"
Bayu hanya tersenyum saja sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Pendekar
Pulau Neraka itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kemudian menatap
Seruni dalam-dalam. Gadis itu masih melingkarkan tangannya ke leher pemuda
berbaju kulit harimau itu.
"Sudah kusiapkan sebuah pondok untuk kita, Seruni," kata Bayu berbisik
dekat telinga gadis itu.
"Oh, benarkah...?" berbinar mata Seruni.
'Itu juga kalau kau suka."
'Tentu suka sekali, Kakang."
"Ayolah, selagi tidak ada yang melihat."
Seruni tersenyum manis sekali. Diberikannya satu kecupan lembut di bibir
pemuda itu, sebelum Bayu dapat mencegahnya. Dan Seruni menuruti saja ketika
Bayu mengajaknya melompati pagar benteng. Tak ada yang menyaksikan,
sementara malam terus merayap semakin larut Dan kedua orang itu lenyap di
balik pagar tembok benteng yang tinggi dan kokoh.
***
Bayu dan Seruni sambil berpegangan tangan berlari-lari kecil menembus hutan
di malam gelap gulita ini Seruni tidak tahu, ke mana pemuda itu membawanya
pergi. Tapi semua tak dipedulikannya karena hatinya begitu berbunga,
melambung tinggi ke angkasa. Mereka berhenti di depan sebuah pondok kecil
yang terbuat dari bilik bambu dan beratapkan daun rumbia. Hanya sebuah
pelita kecil yang menyala redup di dalam pondok. Seruni memandangi pondok
itu. Dilingkarkan tangannya ke pinggang Bayu. Bibirnya tersenyum manis dan
bola matanya berbinar bagai bintang yang bergemerlapan di langit
hitam.
"Hanya ini yang bisa kubuat untukmu," kata Bayu
"Indah sekali, Kakang. Aku suka," sambut Seruni semakin mengetatkan
pelukannya pada pinggang pemuda itu.
"Masuk, yuk?" ajak Bayu.
Sebentar Seruni memandang wajah tampan pemuda itu, kemudian kembali
tersenyum dan mengangguk. Mereka berjalan pelahan menuju ke pondok itu. Bayu
membuka pintunya dan mempersilakan Seruni masuk. Gadis itu melangkah masuk
dan memandangi bagian dalam pondok ini. Hanya pelita kecil dari buah jarak
yang berada tergantung ditengah-tengah. Nyala api yang redup sepertinya
sanggup menerangi seluruh bagian dalam pondok.
"Kakang.... akh!"
Seruni tak sempat lagi mengucapkan kata kata, dan langsung terkulai begitu
membalikkan tubuh. Bayu cepat menangkap gadis itu, lalu membaringkannya ke
lantai pondok. Pada saat itu masuk tiga orang ke dalam pondok. Bayu bangkit
dan melangkah mundur.
"Aku hanya membuatnya pingsan sebentar," jelas Bayu.
"Kau hebat, Bayu," puji Dewa Pengemis.
"Sebenarnya aku benci dengan rencana ini," dengus Bayu.
"Aneh, kenapa kau membenci rencanamu sendiri?" tanya Nyi Rampik
"Pekerjaan seorang pengecut"
'Tapi tidak ada cara lain lagi, Bayu. Kau lihat apakah Rampita mirip
Seruni?" Nyi Rampik mendorong Rampita agar maju.
Bayu tidak bisa berkata apa-apa. Tak ada lagi yang bisa membedakan, mana
Rampita dan mana Seruni. Kedua gadis ini serupa, seakan tak berbeda sedikit
pun. Benar-benar seperti saudara kembar. Padahal mereka hanya satu ayah,
lain ibu. Dan Rampita tahu kalau antara dirinya dengan Seruni satu Ayah. Itu
sebabnya dia selalu mengalah, karena dia sendiri tidak bernapsu dengan
segala macam urusan duniawi.
Sementara itu Dewa Pengemis sudah mengikat Seruni dengan tambang, dan
membaringkannya di dipan bambu. Dihampirinya Rampita yang kini sudah
berubah, baik tata rambut maupun pakaiannya. Gadis ini akan menyamar jadi
Seruni, seperti yang sering dilakukan Seruni dalam melaksanakan aksinya.
Sering orang menyangka kalau Rampita adalah gadis liar, binal, dan selalu
membuat onar. Padahal sebenarnya yang melakukan adalah Seruni. Gadis itu
memanfaatkan kesamaan antara mereka berdua untuk mengotori nama
Rampita.
"Sebaiknya kau cepat ke Istana Cagar Angin, Rampita," tegas Dewa
Pengemis.
"Aku tidak yakin kalau akan berhasil, Paman," kata Rampita ragu-ragu.
"Yakinkan dirimu, Rampita. Semua ini demi kebaikanmu sendiri," Nyi Rampik
memberi semangat.
"Kau tidak lupa orang-orang di Istana Cagar Angin, Rampita?" tanya Dewa
Pengemis.
'Tidak," sahut Rampita.
"Bagus. Hanya kau harus berhati-hati pada Panglima Gajah Sodra. Dia punya
pandangan tajam," Nyi Rampik memperingatkan.
"Baiklah, aku berangkat sekarang," ujar Rampita memantapkan hatinya.
"Hati-hati, Rampita. Ingat! Begitu memperoleh cupu itu, kau harus segera ke
sini," pesan Nyi Rampik.
Rampita mengangguk, kemudian melangkah keluar pondok Bayu bergegas
mengikuti gadis itu.
"Kau kuantar sampai ke istana," kata Bayu menawarkan jasa.
Rampita tidak menolak, karena memang membutuhkan seseorang untuk teman
dalam perjalanan Mereka berjalan cepat meninggalkan pondok itu. Namun di
tengah perjalanan, mereka berhenti. Rampita memutar tubuhnya. Dipandanginya
dalam-dalam bola mata pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Aku tahu, setelah semua ini berakhir kau pasti meninggalkanku," pancing
Rampita pelan.
Bayu tidak berkata apa-apa.
"Kakang, apakah salah jika seorang gadis mengatakan isi hatinya lebih
dahulu?"
'Tidak," sahut Bayu.
'Tapi...."
Bayu cepat menutup bibir gadis itu dengan dua jari tangannya. Pemuda itu
melangkah semakin dekat Begitu dekatanya, sehingga hampir tidak ada jarak di
antara mereka. Pelahan Bayu menurunkan tangannya, dan berhenti di bahu.
Untuk beberapa saat mereka hanya diam saling pandang.
Pelahan wajah Bayu mendekati wajah gadis itu. Sedangkan Rampita hanya bisa
memejamkan mata dengan wajah terdongak. Bibir yang memerah sedikit terbuka
itu agak bergetar. Bayu memandangi bibir yang bergetar terbuka itu, kemudian
melumat bibir itu disertai kecupan lembut membangkitkan gairah.
"Oh...," Rampita mendesah lirih.
"Kakang, aku...."
"Aku tahu apa yang akan kau ucapkan, Rampita," potong Bayu cepat. Rampita
terdiam.
"Ayolah, kau harus sampai di istana malam ini juga," Bayu
mengingatkan.
Mereka melepaskan pelukan, dan kembali berjalan cepat menuju Istana Cagar
Angin. Mereka berjalan bergandengan tangan. Sesekali Rampita mencuri pandang
menatap wajah tampan di sampingnya. Gadis itu tidak tahu, kalau hati Bayu
sendiri tengah bergolak.
Kelembutan, ketegaran, dan segala sikap gadis ini telah menggoyahkan
benteng pertahanan Pendekar Pulau Neraka. Entah, Bayu sendiri tidak tahu,
apakah ini yang dinamakan cinta? Pemuda itu memang belum pernah merasakan
yang namanya cinta. Dan memang dia tidak bisa membohongi diri sendiri.
Sekeping hatinya telah terkoyak oleh panah asmara yang tertanam dalam. Sukar
baginya untuk membantah. Bayu benar-benar menyukai gadis ini, tapi tidak
ingin larut dalam gelombang cinta.
***
Rampita ragu-ragu juga untuk mengetuk pintu kamar pribadi Prabu Nara
Kesuma. Tapi akhirnya dimantapkan hatinya. Namun belum juga mengetuk pintu,
tiba-tiba saja muncul Panglima Gajah Sodra.
"Gusti Ayu...."
"Oh!" Rampita terkejut.
Cepat Rampita menghilangkan kegugupannya. Namun sorot mata Panglima Gajah
Sodra membuat hatinya bergetar dan jantungnya berdebar tidak menentu.
Menyamar seperti ini merupakan pengalaman terbaru dalam hidupnya. Tidak
heran jika gadis itu harus bisa menguasai perasaannya.
"Maaf, Gusti Ayu. Gusti Prabu tidak ada di dalam kamar ini," kata Panglima
Gajah Sodra memberitahu.
"Oh, di mana?" tanya Rampita.
"Apakah Gusti Ayu lupa? Ini hari ketujuh, purnama kelima. Gusti Prabu
selalu berada di ruang semadi setiap hari ketujuh, dan baru keluar setelah
matahari tenggelam nanti."
"Oh, iya. Aku lupa," desah Rampita buru-buru.
"Apakah ada sesuatu, Gusti Ayu?"
'Tidak," buru-buru Rampita menjawab.
Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu segera meninggalkan pintu kamar itu.
Sementara Panglima Gajah Sodra memperhatikan sambil mengerutkan
kening.
"Gusti Ayu...," panggil Panglima Gajah Sodra.
Rampita menghentikan langkahnya disertai gemuruh dadanya. Dia teringat
pesan Nyi Rampik agar selalu waspada pada Panglima Gajah Sodra. Mengingat
pesan itu, dadanya semakin bergemuruh kencang. Hatinya khawatir kalau
penyamarannya akan terbongkar sebelum maksudnya tercapai.
"Maaf, Gusti Ayu. Mengapa Gusti tidak membawa pedang?" tanya Panglima Gajah
Sodra yang sudah berada didepan Rampita kembali.
"Ada di kamar," sahut Rampita sekenanya.
'Tidak biasanya Gusti meninggalkan pedang," ada nada kecurigaan pada suara
Gajah Sodra.
"Apakah ada larangan untuk tidak membawa pedang?" Rampita mendelik, mencoba
menghalau kegugupannya.
"Ampun, Gusti Ayu. Hamba hanya mengingatkan saja."
"Sudahlah! Aku akan ke kamar. Jangan ganggu aku. Dan beritahu kalau Kakang
Prabu sudah selesai bersemadi."
Rampita buru-buru meninggalkan Panglima Gajah Sodra yang membungkukkan
badan sedikit memberi hormat. Tapi laki-laki setengah baya itu malah
memandangi dengan kening berkerut dan mata agak menyipit.
Sementara Rampita terus berjalan menuju kamarnya. Dengan tergesa-gesa
dibukanya pintu kamar dan terus masuk. Gadis itu mengunci kamar itu dan
menghamburkan diri ke pembaringan. Tapi mendadak saja hatinya tersentak
ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya.
"Oh!"
"Sss...."
"Kakang...," desah Rampita langsung duduk begitu melihat Bayu tahu-tahu
sudah duduk di tepi pembaringan ini.
"Bagaimana Kakang bisa masuk ke sini?"
"Sejak semalam aku sudah berada di sini," sahut Bayu kalem.
"Seharusnya Kakang bersama Paman Dewa Pengemis dan Nyi Rampik."
"Aku mencemaskanmu, Rampita."
"Ah, Kakang...."
Bayu memberi senyuman. Tapi sesaat kemudian mata Pendekar Pulau Neraka itu
menyipit. Dipandanginya wajah Rampita yang agak memucat.
"Ada apa, Rampita?" tanya Bayu. "Kau mendapat kesulitan?"
'Panglima Gajah Sodra. Kelihatannya mencurigaiku," sahut Rampita
memberitahu. "Dia menanyakan pedang. Aku tidak tahu kalau Seruni tidak
pernah melepaskan pedangnya."
"Itu di meja," Bayu menunjuk sebuah meja.bundar disamping pintu. Di sana
tergeletak sebilah pedang.
"Bagaimana pedang itu ada di sini?"
"Waktu kau masuk ke sini, Ki Dewa Pengemis datang membawa pedang itu untuk
diberikan kepadamu. Makanya aku berada di sini menunggumu. Ke mana saja kau
semalaman?"
"Menghafal istana ini. Semalaman aku mengelilinginya."
Untuk beberapa saat tak ada lagi yang berbicara. Dan mereka hanya saling
pandang saja, kemudian sama-sama tersenyum. Entah apa yang membuat mereka
tersenyum. Yang jelas Rampita langsung menundukkan wajahnya. Tapi Bayu
kembali mengangkat wajah gadis itu dengan dua jari tangannya.
"Kau sudah bertemu Prabu Nata Kesuma?" tanya Bayu
"Belum. Hari ini dia bersemadi sampai malam nanti," sahut Rampita.
"Hm..., sebaiknya kau beristirahat saja. Tenangkan hati dan pikiranmu.
Kesalahan kecil saja bisa menyulitkanmu, Ram ita."
"Baik, Kakang. Tapi...."
"Kenapa?"
"Panglima Gajah Sodra. Rasanya hatiku tidak sanggup menerima sorot matanya.
Dia sepertinya tahu kalau aku bukan Seruni."
"Kau tenang saja. Biar aku yang menanganinya."
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"
"Menjauhkan dia darimu. Tenang saja, pokoknya usahakan agar mendapatkan
cupu itu."
"Aku usahakan, Kakang."
"Bagus!"
Bayu memberi satu kecupan lembut di bibir gadis Itu.
"Kakang...."
Rampita menahan tangan Pendekar Pulau Neraka yang akan bangkit
berdiri.
"Kau mau ke mana?" tanya Rampita.
"Aku akan membereskan Panglima Gajah Sodra. Dialah satu-satunya orang yang
berbahaya bagi kita."
Kecemasan jelas terpancar dari sorot mata Rampita. Dan Bayu menepuk
punggung tangan gadis itu yang mencekal tangannya, berusaha memberi
ketenangan. Tapi Rampita malah menarik tangan Pendekar Pulau Neraka itu, dan
melingkarkan tangannya di leher. Pemuda itu terpaksa menahan dengan tangan
bertumpu di pembaringan.
"Beri aku ketenangan, Kakang," bisik Rampita agak mendesah.
Bayu melingkarkan tangannya di pinggang ramping gadis itu Dan kini bibir
mereka sudah menyatu rapat Tak ada lagi kata-kata yang terucapkan. Hanya
desah napas dan suara kecupan yang terdengar. Pelahan-lahan tubuh mereka
rebah diatas pembaringan. Rampita mendesah panjang, menahan berat badan
Pendekar Pulau Neraka. Saat gadis itu menggelinjang, tanpa disadari bagian
bawah pakaiannya tersingkap.
Rampita merintih lirih ketika merasakan jari-jari tangan Bayu menjalari
kulit pahanya yang gempal. Gadis itu buru-buru mencekal tangan Bayu yang
hampir saja nyasar ke daerah terlarang. Rampita membawanya ke tempat lain di
samping tubuhnya. Kembali tangan Bayu menjalar. Gadis itu buru-buru menepis,
lalu menggelinjang keluar dari himpitan pemuda itu.
"Jangan, Kakang...," desah Rampita. Bayu memandangi gadis itu, kemudian
bangkit dan turun dari pembaringan. Rampita merapikan pakaiannya yang sempat
berantakan, sehingga beberapa bagian tubuhnya terbuka.
"Maafkan aku, Kakang," ucap Rampita lirih.
'Tidak ada yang perlu dimaafkan Kau benar, Rampita," tegas Bayu.
"Aku mencintaimu, Kakang. Tapi aku tidak ingin...."
"Ssst.., sudahlah. Seharusnya aku yang minta maaf padamu"
Bayu melangkah mendekati jendela. Dibukanya pintu jendela sedikit, lalu
mengawasi keadaan luar.
"Aku pergi dulu, Rampita."
Sebelum Rampita memberikan jawaban, Bayu sudah melesat keluar melalui
jendela. Rampita bergegas memburu, dan berhenti di ambang jendela yang
terbuka lebar. Tak terlihat lagi bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka itu.
Rampita mendesah panjang. Entah merasa bersyukur atau menyesali, karena
kesuciannya telah terselamatkan.
***
DELAPAN
"Panglima Gajah Sodra mengatakan kalau kau ingin bertemu denganku. Ada apa,
Seruni?" tanya Prabu Nata Kesuma.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Kakang," kata Rampita. Prabu Nata
Kesuma memang belum sadar kalau gadis yang berada di depannya ini bukan
Seruni.
"Katakan saja."
"Aku takut Kakang marah," Rampita mencoba merajuk
"Ha ha ha...! Kenapa harus marah, Seruni? Katakan saja.
Apa yang ingin kau bicarakan?"
'Tentang Bunga Cubung Biru."
"Hm..., kau sudah mendapatkannya?" Prabu Nata Kesuma langsung
bersungguh-sungguh mendengar Bunga Cubung Biru disebut.
"Belum. Tapi aku ingin tahu, untuk apa bunga itu bagimu, Kakang?"
"Kau kan tahu, Seruni. Bunga Cubung Biru banyak sekali kegunaannya. Salah
satu kegunaannya bisa menyempurnakan hidup dan seluruh ilmu-ilmu yang
kumiliki. Apa kau tidak bangga mempunyai Kakak yang digdaya? Pertanyaanmu
aneh-aneh saja, Seruni."
'Tapi, kenapa Kakang tidak memberiku ilmu ilmu yang Kakang miliki?"
"Untuk apa? Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang pun sudah sukar
dicari tandingannya. Ilmu yang kau peroleh dari Eyang Banadu sudah cukup
tinggi."
'Tapi aku ingin seperti Kakang," rajuk Rampita.
"Itu tidak mungkin, Seruni. Semua ilmuku tidak boleh ada yang bisa
menyamai. Tidak sembarang orang bisa menguasainya. Ah, sudahlah. Kenapa kau
mempermasalahkan itu? Yang penting tugasmu adalah mendapatkan Bunga Cubung
Biru."
Rampita terdiam. Gadis itu melihat ke pinggang pemuda tampan yang
sebenarnya sudah berusia lebih dari seratus tahun.
"Ke mana sabukmu, Kakang?" tanya Rampita tidak melihat Prabu Nata Kesuma
memakai sabuk.
"Oh!" Prabu Nata Kesuma terperanjat seperti baru tersadar kalau tidak lagi
mengenakan sabuk emasnya. "Pasti tertinggal di bilik semadi."
"Ah, Kakang sudah sudah mulai pelupa. Biasanya sabuk itu tidak pernah
ketinggalan."
"Aku terburu-buru tadi. Seruni, bisa tolong ambilkan sabukku?"
Rampita tersenyum. Entah kenapa, hatinya menjadi gembira mendengar
permintaan Prabu Nata Kesuma. Sungguh tidak disangka akan semudah ini
tugasnya. Tanpa menunggu waktu lagi, gadis itu langsung bangkit dan
melangkah keluar dari kamar itu. Tapi belum juga melewati pintu, Prabu Nata
Kesuma sudah memanggilnya.
"Cepat kau bawa ke sini, aku harus segera membersihkan diri," pesan Prabu
Nata Kesuma.
"Baik, Kakang," sahut Rampita.
Bergegas gadis itu keluar dari kamar pribadi raja yang kelihatannya muda
itu. Sementara Prabu Nata Kesuma masih duduk bersila beralaskan permadani
tebal berwarna biru muda. Diraba-raba pinggangnya yang tidak mengenakan
sabuk emas. Di dalam sabuk itu tersimpan sebuah cupu kecil yang menjadi
segala pusat kekuatan dan ilmu-ilmu yang dimilikinya.
"Hhh...! Untung Seruni mengingatkan," desahnya.
***
Rampita menimang-nimang sabuk emas di tangannya. Bibirnya tersenyum
mengamati sabuk yang indah ini. Kemudian dikenakannya sabuk itu di
pinggangnya. Pas! Tidak kekecilan atau kebesaran. Padahal ukuran pinggangnya
dengan pinggang Prabu Nata Kesuma tidak sama. Tapi, sabuk ini pas
sekali.
Rampita menutupi sabuk itu dengan melilitkan selendang berwarna biru muda,
kemudian keluar dari bilik semadi itu. Dua orang penjaga membungkukkan badan
memberi hormat. Rampita bergegas meninggalkan bilik semadi itu. Tapi baru
saja berjalan sekitar tiga batang tombak, tampak di depannya berjalan
Panglima Gajah Sodra. Ayunan kakinya lebar-lebar dan nampak
tergesa-gesa.
"Gusti Ayu, hamba diminta untuk membawa sabuk Gusti Prabu," jelas Panglima
Gajah Sodra begitu dekat di depan Rampita.
"Justru aku baru dari bilik semadi, tidak ada sabuk Kakang Prabu di sana,"
ujar Rampita.
'Tapi, tadi Gusti Prabu mengatakan kalau Gusti, Ayu sedang mengambil
sabuknya yang tertinggal di bilik semadi."
"Kenyataannya tidak ada! Kalau tidak percaya, cari saja sendiri!" dengus
Rampita.
Panglima Gajah Sodra bergegas masuk ke dalam bilik semadi Sedangkan Rampita
tersenyum tipis memperhatikan. Tidak lama kemudian laki-laki setengah baya
itu keluar lagi, dan berhenti di depan Rampita yang tersenyum sinis.
"Percaya tidak? Sabuk itu tidak ada," ujar Rampita sinis. "Hamba harus
segera melaporkannya, Gusti Ayu."
"Sekalian katakan, aku akan berburu ke hutan."
Rampita bergegas pergi meninggalkan Panglima Gajah Sodra. Sedangkan
laki-laki setengah baya itu segera melangkah pergi menuju kamar pribadi
Prabu Nata Kesuma. Beberapa prajurit yang berpapasan dan memberi hormat,
tidak ditanggapi sama sekali Panglima Gajah Sodra bergegas masuk ke kamar
yang besar dan indah itu.
"Mana sabukku?" tanya Prabu Nata Kesuma langsung.
"Tidak ada, Gusti Prabu," sahut Panglima Gajah Sodra seraya memberi
hormat.
'Tidak ada...?!" Prabu Nata Kesuma mendelik.
"Gusti Ayu Seruni juga tidak menemukannya di...."
"Panggil Seruni ke sini!" bentak Prabu Nata Kesuma memotong cepat.
'Tapi, Gusti. Gusti Ayu Seruni sudah pergi berburu ke hutan."
"Apa kau bilang...?!" Prabu Nata Kesuma semakin berang.
"Ampun Gusti Prabu," buru-buru Panglima Gajah Sodra memberikan
sembah.
"Cepat kejar, dan bawa ke sini! Aku tidak mau tahu, hidup atau mati. Bawa
anak itu ke sini dan serahkan sabuknya padaku!"
"Hamba laksanakan segera, Gusti Prabu."
Panglima Gajah Sodra bergegas keluar dari ruangan itu. Sementara Prabu Nata
Kesuma tampak gusar. Wajahnya memerah dan gerahamnya bergemeletuk menahan
geram.
"Edan! Malam-malam begini berburu!" dengus Prabu Nata Kesuma.
Tapi mendadak saja Prabu Nata Kesuma tersentak, dan buru-buru berlari
keluar kamar pribadinya. Tapi Panglima Gajah Sodra sudah tidak terlihat
lagi. Laki-laki itu bergegas menuju kamar Seruni. Ditendangnya pintu kamar
itu hingga jebol berantakan. Dipandanginya setiap sudut kamar itu. Matanya
langsung tertuju pada sebilah pedang yang tergeletak di atas meja.
"Setan! Dia pasti bukan Seruni! Pasti Rampita...!" geram Prabu Nara Kesuma
baru tersadar.
Bergegas Prabu Nata Kesuma keluar dari kamar itu. Laki-laki yang sebenarnya
sudah tua itu berteriak-teriak memanggil semua prajuritnya sambil terus
berlari keluar istana. Seluruh prajurit langsung berlarian dan berkumpul di
depan istana. Prabu Nata Kesuma berdiri bertolak pinggang di ujung tangga
beranda.
"Mana Panglima Gajah Sodra?" tanya Prabu Nata Kesuma lantang.
"Gusti Panglima membawa seratus-prajurit menyusul Gusti Ayu Seruni," jawab
salah seorang punggawa.
"Siapkan kudaku' Bawa seluruh senjata dan kerahkan kekuatan kalian. Kejar
Seruni hidup atau mati!" perintah Prabu Nata Kesuma keras menggelegar.
Tak ada seorang prajurit pun yang berani membantah. Mereka bergegas
melaksanakan perintah itu. Dan tidak lama kemudian serombongan besar
bergerak meninggalkan Istana Cagar Angin. Prabu Nata Kesuma berkuda paling
depan didampingi empat punggawa. Hampir seribu prajurit yang mengiringinya.
Itu pertanda seluruh kekuatan Kerajaan Cagar Angin telah meninggalkan
istana.
***
Sementara itu di pinggiran hutan, Bayu sudah menghadang rombongan yang
dipimpin Panglima Gajah Sodra. Pendekar Pulau Neraka itu langsung mengamuk
menghajar para prajurit hingga berantakan. Jerit dan pekikan melengking
memecah kesunyian di tengah malam ini Tubuh-tubuh bergelimpangan bersimbah
darah. Bayu bertarung menggunakan jurus-jurus cepat Senjata mautnya
tergenggam di tangan, membabat setiap prajurit yang tak sempat lagi
menghindar.
Saat hampir seluruh prajurit tewas, muncul Rampita yang langsung
menerjunkan diri dalam kancah pertempuran. Kemunculan gadis itu membuat
sisa-sisa prajurit itu semakin kelabakan, bahkan berusaha melarikan diri.
Bayu melihat Panglima Gajah Sodra mencoba kabur, namun cepat-cepat
dihadangnya. Pada saat itu, Rampita juga sudah menghabiskan sisa prajurit
yang ada dan sudah berdiri di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Sejak semula aku sudah curiga padamu, Rampita!" dengus Panglima Gajah
Sodra dingin.
"Sayang terlambat, Panglima Gajah Sodra. Aku sudah menguasai sabuk emas
Nata Kesuma," ujar Rampita disertai senyum sinis.
Rampita melepaskan selendang biru yang membelit pinggangnya, dan
melemparkan begitu saja ke samping. Tampak di pinggangnya melilit sebuah
sabuk berwarna keemasan. Panglima Gajah Sodra mendelik, melihat sabuk emas
itu berada di pinggang Rampita. Sedangkan gadis itu tersenyum-senyum penuh
kemenangan.
"Bersiaplah menerima hukumanmu, pengkhianat!" geram Rampita.
Seketika itu juga Rampita melompat menerjang Panglima Gajah Sodra.
Terjangan gadis itu demikian dahsyat. Hal ini membuat laki-laki setengah
baya itu terperangah sejenak, namun cepat berkelit dan memberi serangan
balasan.
Tapi Rampita bukanlah wanita sembarangan. Apalagi derita akibat luka dalam
yang dialaminya sudah lenyap oleh Bunga Cubung Biru. Bahkan kini dengan
sabuk emas dipinggang, gadis ini bergerak begitu cepat seringan kapas. Hal
ini membuat lawannya sebentar saja sudah terdesak hebat. Beberapa kali
pukulan dan tendangan Rampita mendarat di tubuhnya.
Panglima Gajah Sodra menyadari kalau tidak akan mungkin bisa menandingi
Rampita yang mengenakan sabuk emas itu. Bahkan ketika ujung pedangnya
berhasil menggores bahu kanan gadis itu, tak ada luka sedikit pun. Kulit
Rampita jadi kebal, bahkan tenaga dalamnya berlipat ganda. Sabuk emas yang
dikenakan gadis itu sudah merasuk, sehingga membuatnya semakin tangguh dua
kali lipat
"Mampus kau! Hiyaaa...!" seru Rampita keras.
Seketika itu juga Rampita melontarkan satu pukulan keras ke dada Panglima
Gajah Sodra. Pukulan yang begitu cepat dan bertenaga dalam sangat tinggi itu
tak dapat dihindari lagi, tepat menghantam dada lawan.
Dughk!
"Aaakh...!"
Panglima Gajah Sodra menjerit keras. Tubuh laki-laki setengah baya itu
terlontar hebat sejauh beberapa batang tombak. Rampita langsung melompat
mengejar, dan memberi satu tendangan menggeledek disertai pukulan dahsyat ke
bagian kepala. Terdengar suara berderak dari kepala yang pecah. Panglima
Gajah Sodra kembali menjerit melengking. Tubuhnya seketika ambruk, langsung
diam tak berkutik lagi. Darah merembes keluar dari kepala yang remuk.
Rampita berdiri tegak memandangi mayat Panglima Gajah Sodra Kepalanya
menoleh ketika merasakan bahunya disentuh lembut. Ternyata Bayu sudah
berdiri di sampingnya. Rampita menyandarkan kepalanya di dada Pendekar Pulau
Neraka itu.
"Ayo, Rampita. Kita harus segera menemui Dewa Pengemis dan Nyi Rampik,"
ajak Bayu.
"Ayo, Kakang."
Tapi belum juga mereka berjalan meninggalkan tempat itu, mendadak terdengar
suara menggemuruh dari arah belakang. Kedua anak muda itu langsung memutar
tubuhnya berbalik. Tampak debu mengepul di udara. Semakin jelas terdengar.
Suara ratusan ekor lkuda dipacu cepat disertai teriakan-teriakan keras
menggelegar. Bayu dan Rampita saling berpandangan.
"Mereka mengejar, Kakang," desah Rampita.
"Ya! Jumlah mereka begitu banyak," sahut Bayu.
"Bagaimana, Kakang?"
Bayu tidak segera menjawab. Dan sebelum bisa mengeluarkan suara, ribuan
prajurit berkuda yang langsung dipimpin Prabu Nata Kesuma sudah muncul. Bayu
dan Rampita saling berpandangan. Sungguh tidak disangka kalau Prabu Nata
Kesuma akan membawa begitu banyak prajurit.
***
"Rampita! Serahkan sabuk itu padaku!" bentak Prabu Nata Kesuma
lantang.
"Heh, enak saja! Sabuk ini milikku!" dengus Rampita ketus.
"Dengar, Rampita. Aku akan mengampunimu, asal kau serahkan sabuk itu
padaku," Prabu Nata Ke-suma mencoba membujuk.
"Sekali tidak, tetap tidak!" tegas Rampita. "Setan...!" geram Prabu Nata
Kesuma.
Kemarahan laki-laki muda tampan itu semakin memuncak melihat sabuk emasnya
sudah membelit pinggang Rampita. Dan dia tahu, orang yang mengenakan sabuk
itu akan sukar dikalahkan. Meskipun tanpa sabuk itu dia masih memiliki
kekuatan, tapi sebagian besar sudah lenyap.
"Hari ini riwayatmu tamat, Prabu Nata Kesuma!" desis Rampita dingin
"Setan keparat...! Seraaang...!" seru Prabu Nata Kesuma tak dapat lagi
menahan kemarahannya.
Seketika itu juga, ribuan prajurit yang sejak tadi sudah siap menunggu
perintah langsung berhamburan menyerbu Pendekar Pulau Neraka dan Rampita.
Tentu saja kedua orang itu jadi gelagapan. Meskipun mereka memiliki
kepandaian sangat tinggi, tentu tidak mungkin sanggup menghadapi ribuan
prajurit ini.
"Mati kita, Kakang...," desis Rampita.
Namun belum juga para prajurit itu mencapai Bayu dan Rampita, mendadak saja
bertebaran ribuan anak panah menghujani para prajurit itu. Seketika
terdengar jerit dan pekikan melengking, disusul tumbangnya prajurit-prajurit
dengan tubuh tertancap panah.
Belum juga ada yang sempat menyadari, tiba-tiba saja dari segala arah
berlarian orang-orang berpakaian compang camping membawa tongkat yang
beraneka ragam bentuknya. Mereka langsung menyerang para prajurit yang masih
dihinggapi kepanikan. Tak dapat dihindari lagi, pertempuran masal pun
terjadi. Jerit dan pekik melengking disertai teriakan-teriakan pertempuran
bercampur menjadi satu. Tampak Prabu Nata Kesuma kelabakan mengatur para
prajuritnya yang berantakan. Teriakan-teriakannya yang keras memberi
perintah, tenggelam dalam hiruk pikuknya suara pertempuran.
Saat itu Bayu melihat seorang laki-laki tua kurus kering tengah mengamuk
membantai para prajurit dengan tongkatnya. Tidak jauh darinya, tampak
seorang perempuan tua berjubah kumal yang juga mengamuk menggunakan tongkat
Bayu mengenali mereka. Dan ternyata Rampita juga melihat. Kedua anak muda
itu saling berpandangan sejenak.
"Bagaimana, Kakang?" tanya Rampita meminta pendapat
"Kau bantu Dewa Pengemis dan Nyi Rampik, sementara aku akan menghadapi
Prabu Nata Kesuma," kata Bayu.
"Baik, Kakang," sahut Rampita.
Gadis itu tidak membuang-buang waktu lagi, langsung terjun ke dalam kancah
pertempuran. Sementara Bayu melompat mendekati Prabu Nata Kesuma yang tengah
menggempur para pengemis yang mengeroyoknya. Meskipun tanpa sabuk emas,
namun Prabu Nata Kesuma tidak bisa dianggap enteng. Pukulan dan tendangannya
masih berbahaya, walau kadar kekuatannya jauh berkurang.
"Mundur semua...!" seru Bayu keras.
"Bayu...," desis Prabu Nata Kesuma.
Para pengemis yang mengeroyok Prabu Nata Kesuma langsung berlompatan
mundur. Mereka kemudian menyatu bersama yang lainnya, menggempur para
prajurit yang semakin kedodoran. Entah sudah berapa orang bergelimpang tak
bernyawa. Tapi banyak juga yang berhasil melarikan diri. Pertempuran terus
berlangsung meskipun para prajurit Kerajaan Cagar Angin semakin terdesak
hebat
"Aku lawanmu, Prabu Nata Kesuma!" desis Bayu dingin.
"Huh! Menyesal kau kubiarkan hidup!" dengus Prabu Nata Kesuma.
"Tidak ada gunanya lagi penyesalan. Bersiaplah, Prabu Nata Kesuma!"
Bayu langsung menggerakkan tangannya di depan dada. Pandangannya tajam
menusuk langsung bola mata Prabu Nata Kesuma. Sedikit Bayu menggeser kakinya
ke samping. Sedangkan Prabu Nata Kesuma sudah melintangkan pedangnya di
depan dada. Juga, digeser kakinya pelahan mengikuti gerak kaki Pendekar
Pulau Neraka itu.
"Hiy aaa...!"
"Yeaaah...!"
Mereka sama-sama berlompatan menyerang. Prabu Nata Kesuma mengibaskan
pedangnya ke arah leher. Namun manis sekali Bayu berkelit, bahkan dengan
cepat melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna.
Pukulan Bayu yang cepat dan keras, masih dapat dihindari lawannya. Namun
pertarungan tidak berhenti sampai di situ. Masing-masing mengerahkan
jurus-jurus dahsyat dan berbahaya. Meskipun hanya menggunakan tangan kosong,
tapi pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu sangat dahsyat.
Setiap tebasan pedang Prabu Nata Kesuma selalu ditangkis de ngan pergelangan
tangannya yang terdapat Cakra Maut Senjata andalan yang jarang digunakan
jika tidak dalam keadaan terdesak.
Dalam waktu sebentar saja, puluhan jurus telah terlewati. Namun pertarungan
masih berlangsung sengit Bayu mengakui kalau lawannya ini sangat tangguh,
meskipun sebagian kekuatannya telah sirna akibat sabuk emas yang menyimpan
kekuatannya sudah berpindah tangan.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Prabu Nata Kesuma berteriak keras. Seketika itu juga
dikibaskan pedangnya cepat mengarah ke kepala. Tak ada lagi kesempatan bagi
Bayu yang baru saja menghindari tendangan menggeledek lawannya ini. Dengan
cepat digerakkan tangan kanannya menangkis pedang itu.
Tring!
Benturan keras terjadi sehingga menimbulkan bunga api. Selagi pedang Prabu
Nata Kesuma terpental balik, cepat-cepat Bayu memiringkan tubuhnya. Dan
secepat itu pula dikibaskan tangan kanannya ke atas. Cakra Maut melesat
cepat bagai kilat ke arah dada Prabu Nata Kesuma yang tidak menyadari akan
serangan kilat itu.
Crab!
"Aaa...!"
Prabu Nata Kesuma menjerit keras melengking. Cakra Maut yang dilepaskan
Bayu menembus dada Prabu Nata Kesuma hingga tembus ke punggung. Dan sebelum
laki-laki itu bisa menguasai tubuhnya, Cakra Maut yang melesat melalui
punggung, berbalik cepat Senjata itu langsung membabat lehernya. Sekali lagi
Prabu Nata Kesuma menjerit melengking tinggi. Darah muncrat dari dada dan
leher.
Cakra Maut kembali menempel di pergelangan Pendekar Pulau Neraka. Saat itu
juga Bayu melentingkan tubuhnya sambil berteriak keras. Dan dengan satu
tendangan keras menggeledek yang mendarat di tubuh Prabu Nata Kesuma,
Pendekar Pulau Neraka membuat lawannya seketika itu juga ambruk menggelepar
ke tanah. Sebentar kemudian, tubuh penguasa Kerajaan Cagar Angin itu diam
tak bergerak-gerak lagi.
Keanehan terjadi Laki-laki muda tampan itu berangsur-angsur berubah tua
keriput. Prabu Nata Kesuma kembali ke asalnya, seorang laki-laki tua yang
berusia lebih dari seratus tahun Bayu memandangi sambil bergerak mundur
beberapa tindak. Pada saat yang sama, para prajurit Kerajaan Cagar Angin
sudah melarikan diri setelah melihat rajanya tewas. Sebagian pengemis
mengejar, tapi sebagian lagi diam saja sambil mengurangi lelah.
Bayu memutar tubuhnya ketika mendengar langkah menghampiri. Rampita
berjalan cepat menghampiri Pendekar Pulau Neraka diikuti Dewa Pengemis dan
Nyi Rampik. Gadis itu langsung memeluk Bayu dan memberi satu kecupan
dibibir.
'Terima kasih. Untung kau cepat datang, Ki," ucap Bayu setelah Rampita
melepaskan pelukannya.
"Sudah kuduga hal ini akan terjadi, jadi cepat-cepat kukumpulkan rakyatku,"
jelas Dewa Pengemis.
Bayu memandangi para pengemis yang berjajar di belakang laki-laki tua itu.
Meskipun dari kalangan pengemis, tapi kemampuan yang dimiliki sungguh luar
biasa.
"Bagaimaan dengan Seruni?" tanya Bayu.
"Biar aku yang menangani. Bagaimanapun juga dia masih keponakanku," celetuk
Nyi Rampik.
"Dan kau bisa kembali ke istana, Rampita," sambung Dewa Pengemis.
Rampita tidak menyahut, tapi malah memandangi Bayu. Seakan-akan gadis itu
meminta pendapat Pendekar Pulau Neraka. Dewa Pengemis menggamit lengan Nyi
Rampik dan mengajaknya pergi. Kedua orang tua itu seperti sengaja membiarkan
dua anak muda ini berbicara berdua saja.
"Maaf, Rampita. Aku harus pergi," kata Bayu pelan
"Ya. Kita memang tidak bisa bersama-sama. Aku juga akan kembali ke Gunung
Cakal. Di sanalah tempatku, bukan diistana," desah Rampita.
Sesaat mereka saling berpandangan.
"Kapan kau akan pergi, Kakang?" tanya Rampita.
"Secepatnya," jawab Bayu singkat
"Boleh minta sesuatu?"
"Katakan saja." "Aku ingin kau tinggal bersamaku untuk beberapa
hari."
Sukar bagi Bayu untuk menolak permintaan gadis ini. Dipandanginya bola mata
bening indah itu, kemudian dilingkarkan tangannya di pinggang yang ramping.
Tubuh mereka merapat, sementara wajah mereka juga begitu dekat Rampita
melingkarkan tangannya di leher pemuda itu. Tak ada kata-kata terucapkan.
Tahu-tahu bibir mereka sudah menyatu rapat, mengikuti alur gelombang asmara
yang disadari tak akan bisa bersatu.
TAMAT
Episode Berikutnya :
Emoticon