6
BALAS DENDAM
Kematian Warok Surodilogo ditangan pimpinan
Paling tidak muncul nama seseorang yang telah
kondang namanya sebagai orang yang berperangai
berangasan, bernama Jenggoio Kobro. Ia merasa tidak
senang atas matinya pimpinannya Warok Surodilogo
yang diagul-agulkan itu di tangan Warok Bledeg Ampar.
Seseorang yang dianggap tidak ada artinya apa-apa,
hanya bekas pemimpin gerombolan perusuh yang
sekarang berubah tabiat baik dan mendapat gelar sebagai
warok sakti.
Kematian seorang warok telah menjadi aib bagi dunia
perwarokan di Ponorogo, seseorang pemimpin penjahat
yang bernama Bledeg Ampar yang berasal dari daerah
wetan dapat membuatcelakaseorang warok yang tersohor
namanya dari daerah selatan. Walaupun mantan
penjahat Bledeg Ampar itu kini juga sudah bergelar
Es Bledeg Ampar karena belakangan ini telah
mengubah tabiatnya menjadi orang baik di kampung
halamannya. Berita ini sungguh menyakitkan hati bagi
para musuhnya. Membuat tidak mengenakan bagi
kalangan tokoh persilatan di daerah selatan yang memihak
kepada Warok Surodilogo almarhum.
Suatu hari, Jenggolo Kobro mengumpulkan teman-
temannya yang masih satu aliran. Mereka adalah yang
pernah bergabung dalam mitra usaha yang waktu itu
masih dipimpin oleh almarhum Warok Surodilogo.
Mereka berkumpul di rumah Jenggolo Kobro yang
masih berada dibilangan pinggir kota Dukuh Dawuan.
"Bagaimana teman-teman, sebaiknya kita sekarang.
Apakah yang harus kita perbuat. Belakangan ini banyak
kawan-kawan kita yang tersisih dari pergaulan
masyarakat Dawuan sejak meninggalnya Kangmas
Surodilogo," kata Jenggolo Kobro membuka pertemuan
para mantan anggota kelompok usahanya dulu itu.
"Sebaiknya, kita memilih dahulu siapa yang pantas
untuk kita jadikan pemimpin kita sebagai pengganti
Kangmas Surodilogo," kata Surokepruk memberikan
usulannya.
"Nah, kalau demikian saya mengusulkan agar Kangmas
Jenggolo Kobro saja yang memimpin kita ini. Beliau ini
selama masih ada Kangmas- Surodilogo hanya satu-
satunya orang yang sering menjadi wakilnya. Maka
lebih tepat kalau Kangmas Kobro saja yang mengatur
segalanya," kata Gempur Seco laki-laki yang pem-
bawaannya kalem tetapi matanya memancarkan sorot
tajam penuh kebengisan.
"Baiklah kawan-kawan, kalau memang kalian memilih
aku menjadi pengganti sementara Kangmas Surodilogo
almarhum. Aku terima kepercayaan kawan-kawan.
Lalu, bagaimana sebaiknya sikap kita untuk meng-
hadapi perubahan di Dukuh Dawuan yang kini
pengaruh Wulunggeni semakin menjadi-jadi itu," kata
Jenggolo Kobro.
"Apa tidak sebaiknya kita lawan saja, Kangmas Kobro.
Sampeyan berani tidak menghadapi dia," kata Gempur
Seco lagi.
"Masalah ini bukan soal berani atau tidak. Mengun-
tungkan atau tidak bagi kelompok kita berurusan dengan
si Wulunggeni itu. Itulah yang penting harus kita
pertimbangkan," kata Jenggolo Kobro.
"Kalau menurutku, kita sebagai orang yang pernah
menikmati keberuntungan semasa Kangmas Surodilogo
masih hidup, sebaiknya kita menuntut balas atas kerna-
tian Kangmas Suro. Jadi yang kita hadapi terlebih
dahulu adalah gerombolannya si Bledeg Ampar itu,"
kata Bardo Gunung, orang yang berasal dari gunung
pegat yang bertubuh besar berkulit hitam keling.
"Aku akur saja sama penemunya Kangmas Bardo. Kita
semua wajib menuntut balas. Sukmanya Kangmas
Surodilogo tidak akan tenteram di alam baka kalau kita
sebagai anak buahnya membiarkan musuh yang satu ini
hidup pongah menikmati kemenangannya. Aku berani
berhadapan dengan si Bledeg Ampar itu," kata Gempur
Seco dengan penuh semangat.
"Baiklah kalau demikian. Lalu bagaimana caranya kita
menghadapi gerombolan Bledeg Ampar yang anggotanya
begitu banyak tersebar dimana-mana itu. Apa kita
tantang dia satu lawan satu adu tanding. Apa kita mau
main keroyokan," kata Jenggolo Kobro.
"Kita tantang tanding. Satu lawan satu saja," kata Bardo
Gunung.
"Lalu siapa yang akan kita jagokan di antara kawan-
kawan kita ini," tanya Jenggolo Kobro lagi.
Semua terdiam, mereka saling pandang tidak ada yang
memberikan suara.
"Kamu saja Kangmas Bardo yang menghadapinya," usul
Sastro Kecik laki-laki yang bertubuh kecil gempal itu.
"Hah, jangan aku, Kangmas Kobro saja. Beliau iri kan
ilmu kanuragannya lebih tinggi," kata Bardo Gunung
nampak ragu.
"Tadi Kangmas Gempur Seco katanya berani meng-
hadapi Bledeg Ampar," kata Sastro Kecik.
"Memang aku berani menghadapi dia. Tetapi kan masih
ada Kangmas Kobro. jadi Kangmas Kobro dulusaja yang
menghadapi, baru aku" balas Gempur Seco enteng.
"Kalau demikian berat bagi kita untuk menantang adu
tanding. Kita belum siap di antara kita yang mau maju
melawan dia. Bagaimana kalau kita carikan lawan yang
sekiranya ilmunya sepadan dengan si Bledeg jelek itu,"
kata Jenggolo Kobro kemudian.
"Aku akur, Kangmas" kata mereka hampir berbarengan.
"Lalu siapa kira-kira yang akan kita jagokan, Kangmas
Kobro," tanya Bardo Gunung.
"Kalau menurut pendapatku, memang agak sulit untuk
mencari tandingannya si Bledeg itu. Tetapi di Dukuh
Griyantoro ada Warok Singobeboyo, nampaknya hanya
dia satu-satunya warok yang hingga kini masih bisa
disegani ilmunya untuk ukuran daerah kidul ini."
"Tetapi bagaimana caranya. Apa ia mau. Dia kan
sekarang menjabat sebagai kepala pengamanan daerah.
Tentu tidak mudah kalau ia dipancing untuk tiba-tiba
menantang adu tanding, Tugasnya dia sebagai kepala
pengamanan daerah justeru harus menenangkan
kerusuhan. Tidak mungkin dia mau kita ajak untuk bikin
gara-gara."
"Kita harus cari akal lagi, Kangmas."
"Ya. memang kita harus hati-hati dalam melakukan
usaha pembalasan kepada Bledeg Ampar ini. Coba kita
carikan pemecahan bersama," kata Jenggolo Kobro.
"Apa sebaiknya kita coba saja Kangmas. Kita berkunjung
ke rumah Warok Singobeboyo. Siapa tahu ia lagi butuh
uang. Kita bisa bayar dia," usul Bardo Gunung.
"Baik, kawan-kawan. Tidak ada jeleknya kita mencobanya,"
kata Jenggolo Kobro yang diikuti kesepakatan oleh kawan-
kawannya itu.
Memang agak sulit bagi gerombolan Jenggolo Kobro ini
untuk mewujudkan balas dendamnya sebab mereka
harus berhadapan dengan banyak kekuatan. Selama ini
nama harum Warok Surodilogo yang disandangnya
sejak ia berhasil mengalahkan Warok Wulunggeni
dalam acara adu tanding di alun-alun Ponorogo hampir
dua puluh tahun yang lalu itu, telah membuat bangga
bagi para pengikutnya. Terutama Jenggolo Kobro
sebagai orang dekat kepercayaannya, merasa kehilangan
besar atas matinya Warok Surodilogo itu. Jenggolo
Kobro sebagai pembantu setia Warok Surodilogo ingin
membuat perhitungan lebih lanjut untuk menebus
kematian Warok Surodilogo seorang pemimpin yang
sangat dihormatinya itu. Untuk langsung menantang
sabung dengan Warok Bledeg Ampar, masih pikir- pikir
dulu. Mengingat reputasi Warok Bledeg Ampar di dunia
hitam pada masa lalunya sangat menonjol. Ia sangat
disegani oleh kalangan hitam. Demikian juga nama
Warok Bledeg Ampar sering ditakuti oleh musuh-
musuhnya di antara sesama kalangan hitam. Oleh
karena itu, Jenggolo Kobro tidak ingin sembarangan
menghadapi lawan yang bukan tandingnya seperti
Warok Bledeg Ampar yang tersohor namanya sebagai
warok sakti itu. Satu-satunya cara untuk melampi-
askan kemarahannya itu diarahkan kepada Juragan
Njenduk.
Orang seperti Juragan Njenduk ini yang dianggap
sebagai biang keladi kematian pemimpin mereka itu.
Namun kemudian, kini diketahui ternyata Juragan
Njenduk sedang menjalin kemitraan usaha dengan
Warok Wulunggeni, musuh bebuyutan Warok
Surodilogo di masa lalu. Oleh karena itu untuk langsung
menguber si Juragan Njenduk, tidak mungkin. Sebab
tidak ayal ia akan berhadapan pula dengan Warok
Wulunggeni yang perkasa itu, dan urusan bisa
berkepanjangan kalau mau berhadapan dengan Warok
Wulunggeni itu. Hanya pimpinan mereka Warok
Surodilogo almarhum yang dapat menandingi
kedigdayaan Warok Wulunggeni ini. Oleh karena itu
Jenggolo Kobro masih berusaha mencari akal. Satu-
satunya jalan ia berusaha mencari centeng orang kuat
lainnya. Tercetus gagasan untuk mendekati Warok
Singobeboyo. Warok yang satu ini memegang jabatan
sebagai kepala pengamanan daerah Dukuh Griyantoro.
Jenggolo Kobro kemudian berusaha mengambil hati
terhadap warok yang berusia lanjut itu untuk dapat
dijadikan sebagai mitra kerjanya. Namun ternyata,
ketika rombongan Jenggolo Kobro itu menghadap
Warok Singobeboyo di Dukuh Griyantoro, mereka
disambut baik dengan keramahan seorang bapak yang
wicaksono, akan tetapi Warok Singobeboyo menolak
untuk bergabung dengan mereka.
"Aku memang punya musuh. Si Tanggorwereng kaki
tangannya Si Wulunggeni itu memang pernah kurang
ajar terhadap wargaku di Dukuh Griyantoro sini. Aku
hampir beradu tanding dengan Tanggorwereng ketika
aku peringatkan dia jangan bersikap kurang ajar suka
mengganggu perempuan di Tempat Hiburan Nyai
Lindri beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi bukan
berarti aku sekarang mau menerima tawaran kalian
untuk mencari gara-gara berurusan dengan Si Bledeg
Ampar yang sekarang bergabung dengan rombongannya
si Wulunggeni itu. Aku tidak sudi berurusan dengan
mereka. Kecuali kalau memang mereka bikin gara-gara
di daerah yang menjadi kewenanganku di Dukuh
Griyantoro ini," kata Warok Singobeboyo nampak arif.
“Bukankah dengan memberantas Warok Bledeg Ampar
bersama Warok Wulunggeni, kekuatan Warok Tang-
gorwereng akan berkurang, sehingga bapak tinggal
menggulung Si Tanggorwereng," kata Jenggolo Kobro.
"Aku jelaskan yaaaaa. Soal Bledeg Ampar itu tidak bisa
diganggu gugat. Aku dapat bisikan langsung dari
Warok Sawung Guntur yang mewakili penguasa kadi-
paten agar jangan mengganggu sepak terjangnya si
Bledeg Ampar itu. Memang, aku kurang tahu latar
belakangnya ini semua. Tapi begitulah pesan dari
Warok Sawung Guntur. Jadi sesuai kedudukanku
sebagai punggawa, kadipaten Ponorogo yang di-
tugaskan untuk mengamankan daerah Dukuh Griyantoro
ini, tugasku hanya sebatas itu. Jadi, Adi sekalian ini
sudah mengerti bagaimana posisiku ini," tegas Warok
Singobeboyo.
"Mengertiiii, Pakkk." Jawab para laki-laki itu hampir
berbarengan.
"Jadi, ya maafkan saja aku. Aku sebenarnya tidak ingin
membuat kalian yang datang dari jauh-jauh ini kecewa.
Jangan tersinggung oleh penolakanku ini. Tapi ya itu
tadi, aku tidak bisa melakukan ajakan kalian. Aku ini
sebagai warok yang tidak bisa bebas untuk berbuat
sekehendak hatiku. Aku sudah terlanjur mengabdikan
diriku kepada pemerintah Kadipaten Ponorogo. Jadi
sekali lagi maafkan aku."
"Tidak apa kok, Pak. Kami semua ini datang lantaran
penghargaan kami kepada bapak sebagai orang sakti
yang menurut pandangan kami bisa menegakkan
keadilan atas terbunuhnya pimpinan kami Kangmas
Surodilogo di tangan Bledeg Ampar."
"Ya...ya...sudahlah relakan kematiannya. Sudah menjadi
risikonya sebagai warok sejati harus berani menerima
kekalahan. Apalagi kematian Surodilogo karena
bertanding itu merupakan nilai tertinggi bagi seorang
warok sejati yang berani mempertahankan martabat
dirinya. Tapi kalau kalian mau menuntut balas atas
kematian pimpinan kalian itu bukannya malahan
menjadi balas dendam yang tidak pada tempatnya,
mencari gara-gara. Itu jelas tidak baik Iho Diiii. Persoalan
pribadi antara Warok Surodilogo dengan Warok Bledeg
Ampar, adalah menjadi persoalan kedua orang itu.
Mereka berdua telah mengambilsikap hidupnya dengan
cara bertarung sampai mati itu. Jadi kalian sebagai bekas
anak buahnya ya sebaiknya sekarang mencari pemimpin
baru. Masih banyak kok warok sakti di daerah kita ini."
"Baik, terima kasih atas nasehat bapak."
"Nah, hayo dimakan dulu jadahnya ini, dan ini
wedangnya diminum, jangan dibiarkan saja keburu
dingin," kata Warok Singobeboyo ramah menyilakan
tamunya itu.
Tidak lama kemudian, nampak serombongan
kuda yang dipimpin oleh Jenggolo Kobro itu hampir
berbarengan meninggalkan rumah sederhana di pinggir
Dukuh Griyantoro itu pulang kembali ke Dukuh
Dawuan dengan tanpa membawa hasil untuk mem-
pengaruhi Warok Singobeboyo yang sudah berusia
lewat setengah baya itu.
6
MENJADI MURID
KELIMA jagoan mantan anak buah Warok Surodilogo
hum itu nampak lemas kehilangan akal sejak
penolakan Warok Singobeboyo yang menyatakan tidak
bersedia menjadi pelindungnya untuk diadu tanding
menghadapi Warok Bledeg Ampar.
Mereka kemudian berkumpul di rumah Jenggolo Kobro
sebagai yang ditunjuk menjadi pemimpin mereka untuk
mencari upaya menghadapi kerumitan yang menimpa
gerombolannya ini.
"Kalau tidak ada warok yang bersedia diadu tanding
menghadapi si Bledeg Ampar itu, sekarang sudah saatnya
kita berpikir untuk tidak perlu mengharapkan akan
datangnya orang yang mau membantu kita," kata
Jenggolo Kobro memecahkan kesunyian.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan Kangmas Kobro,"
tanya Surokepruk.
“Kita harus mau berguru. Kita mencari guru warok sakti.
yang setinggi-tingginya," kata Jenggolo Kobro.
"Kepada siapa kita akan berguru, Kangmas” tanya Gempur
Seco laki-laki yang pembawaannya kalem tetapi
matanya memancarkan sorot tajam penuh kebengisan
itu.
"Kita harus mencari tahu dimana ada warok sakti yang
mau mengangkat kita menjadi muridnya," kata Jenggolo
Kobro.
Suasana menjadi hening. Nampak mereka berpikir
keras, mengingat-ingat dimana saja pernah terdengar
berita mengenai kehebatan warok yang memiliki kesaktian
mandraguna. Tiba-tiba salah seorang dari kelima laki-
laki itu berteriak lantang.
"Aku baru ingat. Ini penting konco-konco. Ada seorang
warok sakti yang kini sedang menjalani tapa brata.
Namanya...nama...aku...ach siapa, aku lupa" kata Sastro
Kecik laki-laki yang bertubuh kecil gempal itu sambil
memutar-mutarkan kepalanya mengingat-ingat
sesuatu.
“Dimana kira-kiranya tempat tinggalnya,” tanya Bardo
Gunung orang yang berasal dari gunung pegat yang
bertubuh besar berkulit hitam keling seperti tidak sabar.
"Di...di...di dekat Dukuh Badegan,” kata Sastro Kecik.
Di pekuburan Pepunden, Ditunggui oleh ahli warisnya
bernama Warok Suroyudho," kata Gempur Seco laki-laki
yang pembawaannya kalem itu.
"Ya. Benar," jawab Sastro Kecik dengan telunjuk tangannya
mengarah ke muka Gempur Seco membenarkan ucapan
Gempur Seco itu.
"Mana mungkin orang tua itu mau mengangkat kita
menjadi muridnya. Orang tua itu memang terkenal sakti,
tetapi ia tidak mau lagi berurusan dengan pergolakan
kanuragan lagi. Ia nampak sudah menjauhkan diri dari
urusan tetek bengek orang hidup di dunia," kata Bardo
Gunung orang yang bertubuh besar berkulit hitam
keling itu dengan membelalakan matanya yang bulat itu.
"Apa salahnya kita coba, Kang. Siapa tahu orang tua itu
lagi enak hatinya dan mau menerima kita menjadi
muridnya," kata Sastro Kecil lagi.
Suasana menjadi hening kembali. Nampak mereka
sedang menimbang-nimbang kemungkinan-
kemungkinan yang lebih buruk menimpa gerombolan
mereka ini.
"Ada baiknya kita pertimbangkan usulan Dimas Sastro.
Dalam situasi sulit sekarang ini, tidak ada buruknya
segala jalan kita tempuh, Dan aku rasa, orang tua ini
satu-satunya harapan saat sekarang. Bagaimana konco-
konco kita temui orang tua itu," ajak Jenggolo Kobro.
"Aku setuju," jawab Surokepruk.
"Aku juga akur saja," kata Gempur Seco laki-laki yang
pembawaannya kalem, matanya memancarkan sorot
tajam penuh kebengisan yang mendalam.
"Baiklah kalau demikian kita berangkat sekarang
mumpung hari belum siang."
"Hayoooo," kata Sastro Kecik laki-laki yang bertubuh
kecil gempal itu segera bangkit dari duduknya dengan
penuh semangat yang diikuti oleh para laki-laki lainnya.
Tidak berapa lama terlihat kuda-kuda mereka telah ber-
pacu kencang meninggalkan rumah Jenggolo Kobro di
pinggiran Dukuh Dawuan itu.
Pada siang hari rombongan yang dipimpin Jenggolo
Kobro itu telah sampai di pinggir sebuah kuburan besar
di tengah bulakan tandus. Di tengah kuburan itu terdapat
pohon-pohon beringin besar yang daun-daunnya
nampak sudah mulai mengering. Setelah mereka
menambatkan kuda di pohon-pohon yang memagari
kuburan itu, mereka nampak membisu saling meman-
dang, apa yang harus mereka lakukan kemudian, Sebab,
di lingkaran pagar kuburan itu terdapat tulisan-tulisan
yang melarang orang lain memasuki pekuburan itu
tanpa ada ijin dari penghuni pekuburan.
"Bagaimana ini Kangmas Kobro. Kepada siapa kita harus
minta ijin memasuki pekuburan ini. Menurut ceritera
para sesepuh, orang tua yang bergelar Warok
Suroyudho itu tinggalnya di bawah pohon beringin
kering besar di tengah-tengah pekuburan ini. Di sana
ada padepokan, rumah kayu besar yang terlindung
pandangan oleh kayu-kayu kering besar itu. Sedangkan
untuk mencapai kesana harus memasuki pekuburan ini.
Untuk memasuki pekuburan ini harus ada ijin; Apakah
Ef] artinya sama saja kita tidak boleh menemui Warok
Suroyudho itu," tanya Surokepruk.
"Ya, aku sendiri juga tidak mengerti," jawab Jenggolo
Kobro dengan muka nampak kebingungan.
"Bagaimana kalau kita kirim berita isyarat kepada dia,"
usul Gempur Seco laki-laki yang pembawaannya kalem
itu.
"Bagaimana kamu akan lakukan Kangmas Gempur,"
tanya Bardo Gunung.
"Aku akan mencoba menyampaikan pesan dengan
menggunakan mata hatiku," kata Gempur Seco.
"Lakukanlah, Dimas Seco" kata Jenggolo Kobro.
Tidak berapa lama nampak Gempur Seco duduk bersila.
Mata dipejamkan. Pikiran dipusatkan kepada wajah
Warok Suroyudho orang yang dulu pernah ditemui
hampir lima belas tahun yang lalu ketika beliau pernah
berkunjung ke Dukuh Dawuan atas undangan Warok
Surodilogo semasa masih menjadi penguasa kegiatan
usaha jasa-jasa pengamanan di daerah itu.
Tidak berapa lama terdengar suara kranakkkkk pelan-
pelan pintu pekuburan yang terbuat dari kayu itu
terbuka. Entah kekuatan apa yang menggerakan pintu
itu Tentunya ada semacam dorongan dari dalam pekuburan
itu. Rupanya antara Gempur Seco dan Warok
Suroyudho sudah terjadi pembicaraan lewat dunia gaib.
Warok Suroyudho lalu mengijinkan mereka mene-
muinya, kemudian ia membukakan pintu pekuburan itu
sebagai jalan masuk ke padepokannya.
"Dia telah menangkap isyarat kita," kata Jenggolo Kobro.
"Benar Kangmas. Ini berarti kita telah dipersilakan
masuk," kata Bardo Gunung orang yang bertubuh besar
berkulit hitam keling itu.
"Seco...Seco...bangun. Dia sudah menerima isyaratmu.
Kita sudah dipersilakan masuk," kata Jenggala Kobra
memudarkan semedi Gempur Seco.
Tidak berapa lama kemudian Gempur Seco sudah
kembali pada kesadarannya. Ia lalu bangkit dari duduk
bersilanya, dan mengikuti mereka yang telah memasuki
pekuburan itu. Dengan langkah hati-hati penuh
kewaspadaan, kelima laki-laki itu mendekati pohon-
pohon beringin kering di tengah-tengah pekuburan itu.
Kemudian mereka telah sampai di depan pintu sebuah
gubug besar yang terlindung pohon-pohon beringin
kering itu. Pintunya terbuka tidak ada daun pintunya.
Mereka satu per satu memasuki pintu kayu yang terbuat
nampak kasar asal-asalan itu, Baru beberapa langkah
melewati pintu itu, terlihat pemandangan seorang tua
yang sedang duduk bersila di atas batu hitam besar.
Rambutnya panjang terurai. Matanya terpejam. Mulutnya
komat-kamit. Tidak jauh dari orang tua itu duduk bersila
seorang pemuda tampan dengan tubuh kekar, tetapi
matanya tidak dipejamkan memperhatikan kehadiran
kelima laki-laki itu dengan raut muka yang ramah
seperti mempersilakan tamu-tamunya itu. Pemuda itu
ternyata Joko Manggolo. Telah beberapa bulan ini secara
diam-diam tanpa sepengetahuan keluarganya, khususnya
Paman Sadri, ia telah berguru ilmu kepada orang tua
sakti ini. la tahu kalau hal ini dimintakan ijin kepada
Paman Sadri pasti tidak disetujui, maka ia kemudian
berpamit ingin berkelana, setelah beberapa lama
kemudian memutar kembali ke daerah ini dan menemui
Warok Suroyudho untuk menjadi muridnya. Tiap
minggu Joko Manggolo memang selalu pulang ke
Dukuh Badegan, tetapi kemudian pamit lagi untuk
berkelana. Padahal ia kemudian bermukim di gubug
reyot ini untuk memperdalam ilmu kanuragannya,
"Maaf, Eyang. Mohon maaf mengganggu. Menyampaikan °
salam hormat kepada Panjenengan Warok Suroyudho,"
kata Jenggolo Kobro dengan hati-hati.
"Duduklah kalian," kata Warok Suroyudho setelah
matanya dibuka. "Ada keperluan apa kalian berlima
jauh-jauh datang kemari."
"Kak...kam...kami...menghaturkan hormat Eyang.
Kam...kami berlima ingin berguru kepada Eyang. Ingin
menjadi murid Eyang Suro..." kata Jenggolo Kobro
terbata-bata.
"Sudah, sudah, sudah cukup. Aku mengerti. Kalian
sedang risau. Kalian mempunyai rencana. Aku tidak
menerima murid yang akan mengamalkan ilmunya
hanya untuk tujuan mau balas dendam."
"Kami tidak ingin balas dendam Eyang. Kami ingin
memohon keadilan."
"Bagus, bagus. Apa pun menurut katamu. Tetapi aku
tidak sudi ilmuku kalian kotori. Sebaiknya kalian
mencari guru orang lain saja. Masih banyak orang
sakti di daerah Ponorogo ini yang bisa kalian jadikan
panutan."
"Mohon ampun, Eyang. Kami mengharapkan Eyang
sudi menerima kami menjadi murid. Menurut kami,
Eyang adalah satu-satunya warok yang sangat bijaksana
dibandingkan dengan banyak warok yang hanya
mengandalkan kesaktiannya tetapi tidak memiliki
kearifan seperti yang dimiliki Eyang Suroyudho," kata
Jenggolo Kobro dengan takjim.
Suasana kembali tenang tidak ada kata-kata yang keluar.
Agaknya Warok Suroyudho sedang mencerna kata-kata
terakhir Jenggolo Kobro yang menyarjungnya itu.
"Apa benar katamu itu. Apakah engkau hanya mau
menyanjung untuk menyenangkan aku saja."
"Bukan untuk mencari muka, dan menyanjungnya, Eyang.
Kami mengatakan yang sebenarnya," kata Jenggolo Kobro.
"Baiklah kalau demikian. Kalau memang kalian mem-
punyai tekad yang bulat. Aku ingin mengujimu."
Kelima laki-laki itu saling berpandangan. Ujian apa
gerangan yang akan diterapkan Warok Suroyudho
orang tua ini.
"Begini. Dihadapanmu ini adalah muridku bernama
Manggolo. ia telah beberapa bulan ini menekuni ilmu
kanuragan yang aku ajarkan. Nah, kalian ingin aku adu
tanding dengan muridku iri. Kalau kalian beramai-
ramai berhasil! mengalahkan dia dengan mengeroyok,
maka kalian akan aku terima sebagai murid."
Kelima laki-laki itu kembali saling berpandangan untuk
meminta pendapat teman-temannya.
“Baiklah, Eyang. Kami bersedia menerima ujian ini," kata
Jenggala Kobro.
"Bersiaplah Manggolo,” kata Surokepruk langsung berdiri
kelihatan sudah tidak sabar lagi ingin menyerang Joko
Manggolo yang masih duduk terdiam. Namun
demikian, tidak berapa lama Joko Manggolo sudah
bersiap.
"Tunggu," kata Warok Suroyudho, "Kalian tidak bolch
bertarung di ruangan sempit ini. Dan jangan sekali-kali
bertarung di dalam lingkaran pekuburan pepunden ini.
Kalian semua keluar dari lingkaran dalam pekuburan.
Bertarunglah di luar sana."
Tanpa banyak kata lagi, kelima laki-laki yang diikuti
oleh Joko Manggolo itu segera beranjak keluar rumah
gubug reyot iri, dan terus menuju luar lingkaran pekuburan
pepunden.
Joko Manggolo nampak telah siap menerima serangan
dari kelima laki-laki itu. Mereka berlima tanpa tanya-
tanya lagi langsung terus menyerang ganas kedudukan
Joko Manggolo dari segala arah dengan penuh variasi
jurus-jurus yang mematikan. Akan tetapi serangan yang
datang secara bertubi-tubi itu dapat dipatahkan oleh
gerakan-gerakan lincah Joko Manggolo yang sudah
banyak berpengalaman menghadapi pertarungan berat.
Beberapa kali memang Joko Manggolo nampak mulai
terdesak mundur oleh serangan beruntun yang dilan-
carkan berbarengan oleh kelima laki-laki itu yang ke-
lihatan penuh perhitungan matang. Mereka kelihatan
mulai berhasil memojokkan terus posisi Joko Manggolo
yang terus mengambil gerakan mundur sampai
beberapa langkah jauh ke belakang. Dalam beberapa
langkah mundur yang dilakukan Joko Manggolo nampak
ia semakin kesulitan mengimbangi kehebatan jurus-
jurus serang yang dilancarkan oleh kelima laki-laki
bekas kepercayaan Warok Surodilogo almarhum itu.
Mereka berlima nampak cekatan memperagakan jurus-
jurusnya. Dalam keadaan terdesak terus itu Joko Mang-
golo masih berusaha mengatur permainan jurus-jurus
bela serangnya secara tajam. Namun nampaknya kelima
laki-laki itu sudah terbiasa menyerang serentak secara
teratur sehingga mempersulit posisi Joko Manggolo.
Tidak ada pilihan lagi bagi Joko Manggolo yang harus
mengimbangi dengan melepaskan jurus-jurus mautnya
sampai beberapa gerakan beruntun. Ia kemudian meng-
geser langkahnya mundur kembali untuk menata irama
jurus-jurusbertahannya. Dalam mengħadapi serangan
bertubi-tubi yang dilancarkan serentak dari berbagai
jurusan oleh para laki-laki yang mengeroyoknya itu,
kembali Joko Manggolo mengembangkan jurus mem-
babat kuda-kuda lawan. Melihat perubahan cara gerak
Joko Manggolo itu, mereka kemudian mengubah taktik
dengan melakukan gerakan surut ke belakang untuk
menata posisi serang kembali. Joko Manggolo mulai
kerepotan melawan kelima laki-laki itu yang mempunyai
banyak tipu muslihat yang bisa mengecoh gerakan-
gerakan Joko Manggolo. Untuk menyelesaikan
pertarungan ini tidak ada jalan lain, terpaksa Joko
Manggolo mengeluarkan jurus andalannya yang baru
diterima dari ajaran Warok Suroyudho gurunya
sekarang yang juga dengan tekun ikut mengamati
pertarungan itu secara seksama. Jurus andalan babat
bumi" yang dilambari aji-ajian itu ternyata mampu
melumpuhkan pertahanan kelima laki-laki yang
mengeroyoknya itu. Sehingga kelima laki-laki itu berhasil
dihajar habis-habisan oleh Joko Manggolo, sehingga
mereka kewalahan tergeletak lemas kehabisan tenaga.
"Cukup, cukup. Hentikan Manggolo,” kata Warok
Suroyudho, "Suruh mereka semua masuk ke gubug
kita."
"Baik Eyang," jawab Joko Manggolo.
Setelah mereka dengan susah payah beriringan berjalan
menuju gubug reyot, badan mereka seperti remuk
redam, masih terasa benturan ajian babat bumi jurus
andalan Joko Manggolo. Beberapa kali tangan Warok
Suroyudho itu memberikan pengobatan penyembuhan
terhadap bekas benturan. ajian yang dilemparkan Joko
Manggolo itu pada tubuh kelima laki-laki itu.
Beberapa saat kemudian mereka nampak telah duduk
takjim dihadapan Warok Suroyudho.
“Sekarang dengarkanlah aku," kata Warok Suroyudho
dengan suara parau, "Walaupun ternyata kalian kalah
tanding melawan Manggolo. Aku tetap terima kalian
sebagai muridku walaupun seperti janjiku tadi kalian
baru aku terima kalau dapat mengalahkan Manggolo.
Namun karena aku tahu, sebenarnya kalian, bersama
jaga Manggolo, mempunyai musuh yang sama yaitu
Juragan Markhoni yang oleh masyarakat diparapi
Juragan Njenduk itu. Bedanya, kalau Manggolo itu
sedang diuber oleh para anak buah juragan Njenduk
karena pernah menghajar kelima anak buahnya, padahal
dia tidak pernah membuat gara-gara dengan mereka,
hanya sekedar membela diri, dan juga tidak merasa
dimusuhi mereka. Sedangkan kalian mau menghajar
Juragan Njenduk yang kalian anggap sebagai biang
keladi kematian pemimpin kalian Warok Surodilogo,
akan tapi kalian tidak berani menghadapi laki-laki licik
yang tidak punya pegangan ilmu kanuragan sama sekali
itu. Hanya saja laki-laki itu bernasib beruntung karena
banyak para jagoan yang menjadi sahabat Juragan
Njenduk itu sudi membelanya hanya untuk mendapatkan
sekeping uang,"
Kelima laki-laki dan Joko Manggolo itu mendengarkan
uraian Warok Suroyudho yang waskita itu dengan
seksama. Orang tua ini selalu dapat menebak isi hati
orang itu dengan penuh perhatian sambil mereka duduk
bersila di atas tanah lempung,
"Aku sebenarnya tidak ada kepentingannya sama sekali
mengenai urusan kalian dengan Juragan Njenduk itu.
Tapi, aku hanya ingin memberikan pelajaran kepada
laki-laki rakus itu yang sangat jauh dari sifat-sifat laki-
laki sejati yang menjadi jati diri para warok di daerah kita
ini, Oleh karena itu, aku akan turunkan ilmu-ilmuku
untuk tujuan memberantas sifat-sifat manusia semacam
Juragan Njenduk itu. Kini kalian bersatulah," kata Warok
Suroyudho mengakhiri wejangannya.
Akhirnya kelima laki-laki itu sejak hari ini diterima
menjadi murid Warok Suroyudho. Dan konon hingga
bertahun-tahun mereka tekun berguru kepada Warok
Suroyudho bersama Joko Manggolo yang kini makin
berkembang menguasai aneka ragam ilmu kanuragan
dan jurus-jurus pamungkas lainnya.
8
BALAS DENDAM
TELAH berjalan hampir satu tahun ini, Jenggolo
Kubro dan teman-temannya berguru kepada Warok
Suroyudho. Merasa sudah mendapatkan tambahan ilmu
yang banyak, mereka kemudian berpamitan untuk
pulang kampung.
"Baiklah, kalau kalian sudah merasa puas memperoleh
kemajuan dari ilmu-itmuku yang aku turunkan kepada
kalian. Aku tidak keberatan engkau tinggalkan tempat
ini. Kalau kalian menemui kesulitan, cobalah untuk
kalian pecahkan bersama. Bermusyawarahlah. Akan
tetapi kalau kalian tidak bisa memecahkan persoalan
kalian bersama, datanglah kemari lagi barangkali aku
bisa membantunya," kata Warok Suroyudho memperli-
hatkan pandangan seorang tua yang sudah lanjut usia
itu tampak bijak.
"Matur nuwun, Eyang. Kami berlima mohon pamit."
"Apakah kalian tidak menunggu sampai Manggolo
datang. Tidak berpamitan terlebih dulu dengan dia.
Manggolo sedang pulang ke Badegan. Keluarganya
katanya ada yang sakit."
"Tolong sampaikan salam kami saja Eyang kepada
Manggolo."
"Ya, ya, ya, nanti aku sampaikan. Hati-hatilah kalian di
jalan. Ingat jangan cari gara-gara dan perkara. Tapi kalau
gara-gara dan perkara itu datang dimukamu, hadapilah
dengan tabah dan gunakanlah imumu semampumu."
"Terima kasih, Eyang. Kami mohon pamit."
"Ya, berangkatlah."
Setelah mereka menempuh perjalanan seharian, sesam-
painya di rumah Dukuh Dawuan, mereka beristirahat
sejenak. Tidak berapa lama kemudian nampak mereka
berembug kembali dengan semangat baru sejak berbulan-
bulan mereka menggembleng diri di bawah asuhan Warok
Suroyudho, kini merasa lebih berbobot
"Aku rasa-rasakan, Kang" celetuk Sastro Kecik, "Semua
masalah yang membuat kematian Kangmas Surodilogo
tempo hari itu, biang keladinya tidak lain ya si gendut
Juragan Njenduk itu. Apalagi ketika waktu pertama kali
kita diterima sebagai murid Eyeng Suroyudho, beliau
nampaknya juga mendorong kita untuk menghajar Si
Njenduk itu. Salah satu alasan yang membuat kita
diterima sebagai muridnya, salah satunya adalah
kebencian guru kita terhadap sifat semacam Juragan
Njenduk itu. Oleh karena itu, Kang. Aku rasa sebaiknya
kita habisi dulu si Juragan Njenduk itu. Baru kemudian
Si Bledeg Ampar, orang yang selama ini diagul-agulkan
oleh Juragan Njenduk itu."
"Aku setuju dengan pendapatmu itu Kang," sela
Surokepruk.
"Kalau demikian kita cari saja si Juragan Njenduk. Kita
hajar ramai-ramai sampai mampus laki-laki gendut itu,"
kata Gempur Seco penuh kebencian.
"Aku juga setuju, hayo kita berangkat sekarang," kata
Bardo Gunung.
"Bagaimana menurut pendapat Kangmas Kobro," tanya
Sastro Kecik.
"Aku setuju saja. Aku rasa makin cepat kita bertindak
akan makin baik," jawab Jenggolo Kobro nampak penuh
dengan kehati-hatian.
"Baik konco-konco sayookkkk. Hayo kita berangkat,"
teriak Gempur Seco seperti memberi aba-aba berangkat
kepada teman-temannya.
Kelima laki-laki dengan cekatan memacu kuda masing-
masing menuju tengah kota Dukuh Balong, Pergi ke
pasar, ke tempat-tempat keramaian untuk mencari tahu
keberadaan Juragan Njenduk. Diperoleh informasi, ada
orang yang melihat tadi pagi Juragan Njenduk dengan
naik dokar pergi ke arah utara mungkin ke Dukuh
Dawuan.
"Wah kita simpangan jalan dengan dia. Tadi kita dari
Dawuan tidak kita periksa dulu di sana. Hayo kembali
konco-konco," teriak Gempur Seco kembali memutar
kudanya ke arah utara yang diikuti oleh teman-temannya
yang lain.
Kebetulan dalam perjalanannya menuju ke Dukuh
Dawuan dari kejauhan tidak jauh dari Dukuh Dawuan
terlihat ada dokar yang menuju ke arahnya. Nampaknya
akan pergi menuju ke arah Balong.
"Itu dokar Juragan Njenduk," teriak Bardo Gunung nampak
matanya masih awas.
"Benar itu dia si gendut itu," balas Surokepruk mem-
benarkan kata temannya itu.
Juragan Njenduk yang lagi enak-enak duduk di atas
dokarnya sambil ngantuk-ngantuk yang dikendalikan
seorang kusir dan dua pengawainya yang duduk di
depan, tiba-tiba dicegat oleh rombongan Jenggolo Kobro
dan teman-temannya itu.
"Berhentiiiiiii," teriak Bardo Gunung dengan suaranya
yang lantang,
"Haitttt,” sopir dokar itu menghentikan dokarnya. Juragan
Njenduk terperanjat dokarnya dihentikan oleh lima laki-
laki yang selama ini sepertinya sudah dikenalnya.
"Selamat siang, Juragan," kata Jenggolo Kobro memper-
lihatkan sikap ramah yang dibuat-buat.
"Siapa kalian. Mau apa," kata Juragan Njenduk dengan
memasang muka angker.
"Langsung saja Juragan. Kami berlima ini mau menuntut
balas atas kematian pemimpin kami Kangmas Warok
Surodilogo. Utang nyawa harus dibayar nyawa."
"Aku bukan yang membunuhnya. Itu urusan dia sendiri
dengan Kangmas Warok Bledeg Ampar. Kalau kalian
berani, urus saja sama Warok Biedeg Ampar. Dia yang
membunuh pemimpin kalian, bukan aku."
"Tapi dia itu kan selama ini yang melindungi juragan."
"Buih, ngawur saja kamu kalau ngomong," kata Juragan
Njenduk sambil meludah ke tanah yang membuat marah
kelima laki-laki yang menghadangnya itu.
"Sudahlah tidak usah banyak bacot. Hayooooo turun
dari dokar, dan akan kami antar ke ajal kamu," kata kata
Surokepruk nampak tidak sabar sudah mencabut senjata
tajamnya sebilah motek,
Melihat gelagat yang tidak aman ini, ketiga laki-laki
pengawal dan sopir dokar Juragan Njenduk itu segera
mengambil prakarsa. Mereka meloncat berdiri gagah di
depan dokar untuk melindungi Juragan Njenduk dan
serangan kelima laki-laki itu.
"Weeeladalah. Kalian bertiga mau mati mendahulu:
juraganmu yaaa. Boleh, boleh, kalau kamu kepengin
mati duluan. Boleh saja. Itu soal mudah," ejek Sastro
Kecik yang terus turun dari kudanya maju ke depan,
mau menghadapi kedua pengawal dan seorang kusir
dokar Juragan Njenduk itu yang diikuti oleh empat laki-
laki lainnya. Mereka berari menghadapi Juragan Njenduk
karena sekarang pengawalannya tidak seketat dulu lagi.
Tiba-tiba dokar yang tadinya diam itu dengan cepat
berputar haluan menghadap kembali ke arah Dukuh
Dawuan dan dihardik kencang sehingga kudanya lari
terbirit-birit meninggalkan orang-orang itu. Dokar itu
dikendali sendiri oleh Juragan Njenduk.
"Wahhh, dasar pengecut. Kita tidak ada gunanya lagi
menghabisi nyawa ketiga orang yang tidak berdosa ini.
Sebab kalian bertiga ini hanya orang upahan, bekerja
menerima upah dari juragan kamu itu," kata Jenggolo
Kobro sambil ia melemparkan segenggam kepingan
uang yang jumlahnya agak banyak kepada ketiga laki-
laki yang telah siap berlaga itu. "Silakan ambil, Kangmas."
"Kangmas bertiga. Kita ini nasibnya sama, Sama-sama
orang susah, ambillah uang-uang itu. Toh kalian juga
biasa menerima upahan kepingan itu dari Si Gendut itu.
Kita tidak ada gunanya lagi berkelahi di sini. Kita akan
sama-sama mati konyol. Sementara orang yang kalian
bela sudah lari dan tidak tahu apakah kalian telah
melawan kami atau tidak. Dia tidak tahu Maka, ambillah
uang keping ini. Kami akan berlalu," kata Jenggolo Kobro
berusaha membujuk. Nampaknya ketiga laki-laki itu
mulai ragu-ragu saling pandang di antara teman-temannya.
Minta persetujuan. Tiba-tiba salah seorang dari mereka
menyarungkan senjata tajamnya dan berkata.
"Silakan berlalu, Kangmas."
"Nahhhh, itu baru punya pikiran waras sobat. Hayo
konco-konco kita kejar si gendut itu," kata Jenggolo Kobro
yang langsung menaiki kudanya diikuti teman-temannya
meninggalkan ketiga laki-laki itu yang kemudian saling
berebut mendapatkan kepingan uang yang dilempar
Jenggolo Kobro tadi.
Juragan Njenduk rupanya sempat melarikan diri
menuju ke arah rumah Warok Wulunggeni di Dawuan.
Kebetulan Warok Wulunggeni yang biasanya tinggal di
Dukuh Jabung, sekarang ia lebih banyak tinggal di
Dawuan. Tiba-tiba terdengar suara roda dokar yang
berlari kencang memasuki rumahnya hampir tidak
terkendali mau menabrak pintu masuk halaman rumah
antik itu.
"Kangmas, tolonggge. Tolong Kangmas Wulung," teriak
Juragan Njenduk berlari-lari masuk rumah Warok
Wulunggeni yang sedang asyik mengiris-iris racikan
jamu.
"Hae ada apa, Ndut” tanya Warok Wulunggeni dengan
mata terbelalak kaget.
"Mereka itu arak buah Surodilogo mau membunuh
aku."
"Apaaaa. Anak buah Surodilogo. Mana orangnya." Demi
mendengar kata Surodilogo rasa sentimen Warok
Wulunggeni bangkit ia ingat terhadap nama musuh
bebuyutnya yang telah mati itu. Seketika ia meloncat lari
ke depan rumahnya. Di dpan rumah itu telah berdiri
lima laki-laki nampak dengan percaya diri penuh siap
berlaga.
"Ohhhhh, kalian tho yang datang jagoan-jagoan kam-
pung. Beraninya menguber sama orang lemah."
"Ya. Aku memang datang mau menghabisi si gendut itu.
Kamu tidak usah ikut campur. Yang aku cari si gendut
itu sama pelindungnya si Bledeg Ampar." kata Jenggolo
Kobro dengan sinis.
"Husss, mbacot tidak ada aturan. Kalau kamu berani-
beraninya memasuki halaman rumahku ini, tanpa
permisi, itu berarti sudah menjadi urusanku. Ngertiii,"
kata Warok Wulunggeni dengan memelototkan
matanya kelihatan seram.
"Kalau Kangmas Surodilogo masih hidup, kamu ini
bukan apa-apa dihadapannya. Ilmumu masih sebiji
menir dibandingkan dengan beliau..."
"Bajingan, tutup cocotmu itu. Kalau tidak pengin mati
jangan umbar bacotmu Toleeee," geram Warok Wulunggeni
dengan muka merah padam tanda marah. Ia kemudian
tiba-tiba ingat akan petuah gurunya, harus dihindari
kemarahan untuk menggunakan ajian harimau lodaya.
Maka kemudian ia berusaha mengatur pernafasan, jurus
pengendalian diri diterapkan. Tidak berapa lama ia
menjadi berimbang hatinya.
"Kami datang kemari memang juga sengaja mau
mengambil nyawamu, Wulung."
"Ambillah sekehendak hatimu, kalau bisa, Toleee. Ini
aku serahkan nyawaku. Ambillah sendiri," jawab Warok
Wulunggeni menjadi kalem.
"Serbuuuu, konco-konco," Jenggolo Kobro mulai tidak
sabar yang kemudian memberi aba-aba menyerang
kepada Warok Wulunggeni. Maka perkelahian pun
terjadi dengan seru. Warok Wulunggeni dengan geram
menghajar kelima laki-laki bekas anak buah almarhum
Warok Surodilogo. Terjadilah perkelahian hebat. Warok
Wulunggeni dapat memenangkan perkelahian ini,
setelah berhasil melumpuhkan lawannya satu per satu
terhadap rombongan tamu yang tidak diundang ini.
Mereka berlima sempat melarikan diri. Warok Wulunggeni
sengaja tidak membuat mereka sampai mati. Tidak ada
ajian pamungkas yang digunakan, hanya olah keteram-
pilan. Walaupun demikian kelima laki-laki sudah
merasa dihajar habis-habisan sampai luka parah.
Dengan cara memperpanjang nyawa mereka itu, dimak-
sudkan oleh Warok Wulunggeni agar mereka masih ada
kesadaran di hari kemudian, dan terutama tidak menim-
bulkan korban nyawa baru di daerah yang kini sedang
diusahakan pembangunannya. Rupanya mereka yang
dalam keadaan luka parah itu masih sempat memacu
kudanya lari ke gurunya, Warok Suroyudho.
Setelah mengobati luka-luka para muridnya itu, Warok
Suroyudho menyatakan tidak mau membela murid-
muridnya untuk menghadapi Warok Wulunggeni yang
telah mencederai mereka.
"Ketahuilah anak-anakku, aku bukannya takut kepada
Wulunggeni. Sebenarnya sebagai gurumu aku dapat
membelamu. Akan tetapi karena perbuatan kalian ini
didasari oleh sikap balas dendam, maka aku tidak bisa
terima. Sekarang sembuhkan dulu luka-lukamu, baru
nanti aku akan beritahu bagaimana sebenarnya ilmu
sejatinya hidup itu," petuah Warok Suroyudho singkat.
Sementara itu, sepeninggal para laki-laki bekas anak
buah Warok Surodilogo yang lari kabur meninggalkan
halaman rumah Warok Wulunggeni, Juragan Njenduk
dengan tergopoh-gopoh membawakan minuman menemui
Warok Wulunggeni yang sedang duduk-duduk di atas
batu besar halaman rumah sambil memijat-mijat
kakinya yang hampir keseleo ketika menyarangkan
tendangan-tendangan tadi. Kemudian ia melakukan
pernafasan, guna mengembalikan keseimbangan jiwa-
raganya.
"Kangmas Wulung terima kasih telah menyelamatkan
nyawaku. Ini ada minuman Kangmas,” kata Juragan
Njenduk terbata-bata.
"Njenduk, duduklah," kata Warok Wulunggeni, "Aku
sebenarnya malas membela kamu. Tetapi karena kamu
itu amanat dari sahabatku si Warok Bledeg Ampar, dan
kebetulan orang-orang yang memburumu itu tadi,
adalah bekas para anak buah almarhum Si Surodilogo.
Jadi aku terpaksa mau membelamu. Bukan untuk kamu
tetapi aku sendiri punya kepentingan untuk menghajar
orang-orang itu. Jadi, kamu yang beruntung, Ndut. Dapat
aku selamatkan. Tapi lain waktu aku tidak tahu. Maka
cobalah ubah perangaimu selama ini agar kamu mendapat
banyak pengikut dan mereka semua bersedia membe-
lamu."
"Ya, Kangmas Wulung, aku akan perhatikan pesan-
pesan Kangmas."
Sejak kejadian itu, Juragan Njenduk tidak berani pulang
kembali kerumahnya di Balong. Hanya memang sekali-
kali pulang ke Balong dengan pengawalan yang amat
ketat oleh para anak buah Warok Wulunggeni. Ia lebih
banyak tinggal di rumah Warok Wulunggeni di Dukuh
Dawuan yang selama ini, sejak Warok Wulunggeni
pindah ke Jabung, rumah ini diurus oleh anak buahnya,
bernama Sarwo Dipo, seseorang yang berhati penyabar,
lugu, dengan pekerjaan sebagai petani, sehingga waktu
orang-orangnya Warok Surodilogo masih berjaya suka
mengolok-olok atas kekalahan juragannya, Warok
Wulunggeni, ia hanya diam saja. Keluguannya itu yang
membuat Warok Wulunggeni amat menyayangi
keluarga laki-laki ini dan dipercaya untuk mengurus
rumah besar di Dukuh Dawuan ini.
TAMAT
Emoticon