SATU
SEORANG penunggang kuda berpacu cepat melintasi padang rumput luas, bagai
tak bertepi. Sepanjang mata memandang hanya hamparan rerumputan hijau bagai
permadani terhampar. Terik sengatan matahari hampir tak terasa, karena
disapu tiupan angin yang kencang menaburkan hawa sejuk daerah
perbukitan.
Penunggang kuda itu terus menggebah kuda hitamnya semakin cepat.
Pandangannya lurus ke depan, ke arah tepian hutan yang mulai menghadang di
depan. Semakin dekat dengan hutan itu, semakin tersirat ketegangan pada
wajah tampannya. Sebaris kumis tipis menghiasi bibir yang terkatup rapat.
Kuda hitam itu terus berpacu semakin mendekati tepian hutan yang kelihatan
rapat oleh pepohonan besar dan kecil.
Swing!
Tiba-tiba saja melesat sebuah benda bersinar keperakan ke arah penunggang
kuda itu.
"Hup...!"
Penunggang kuda itu cepat-cepat melompat. Tapi benda bercahaya keperakan
itu menghantam badan kuda, sehingga binatang itu meringkik keras sambil
mengangkat kedua kaki depannya. Tepat saat pemuda itu mendaratkan kakinya,
kuda hitam tunggangannya ambruk menggelepar di tanah. Tampak pada bagian
perutnya berlubang dan mengepulkan asap.
Pemuda berwajah tampan itu merayapi hutan di depannya. Begitu sunyi,
sampai-sampai suara serangga pun tak terdengar. Namun kesunyian ini semakin
membuat pemuda tampan yang mengenakan baju warna biru muda itu menjadi lebih
waspada. Pe-lahan digeser kakinya melangkah maju ke depan. Tatapan matanya
tetap tajam tak berkedip merayapi hutan yang begitu lebat di depannya. Belum
juga pemuda itu sampai di tepian hutan, mendadak saja....
Swing!
"Yeaaah...!"
Pemuda berbaju biru itu langsung melentingkan tubuhnya ke atas begitu
melihat sebuah benda keperakan meluncur deras dari arah depan. Benda bulat
sebesar kenari itu bagaikan kilat melesat lewat di bawah kaki pemuda
itu.
Belum juga pemuda itu sempat mendarat turun, kembali melesat benda-benda
keperakan yang memancarkan cahaya terang disertai kepulan asap. Benda-benda
bulat sebesar kenari itu meluncur deras, memaksa pemuda berbaju biru harus
berjumpalitan di udara untuk menghindarinya.
Sungguh indah gerakan saltonya, sehingga tak satu pun benda-benda keperakan
itu menghajar tubuhnya. Dengan satu gerakan manis, pemuda itu mendarat
ringan di tanah. Begitu ringannya, sehingga tak terdengar suara sedikit pun
saat kedua kakinya menjejak tanah berumput.
"Siapa kau?! Keluar...!" seru pemuda itu lantang. Suara yang disertai
pengerahan tenaga dalam itu menggema sampai ke seluruh penjuru mata angin,
namun tak ada sahutan sama sekali. Pemuda itu melirik kudanya yang telah
tewas dengan perut berlubang sebesar jari. Kembali dirayapi hutan lebat di
depannya.
"Hik hik hik...!" tiba-tiba terdengar suara tawa kecil nyaring mengikik.
Pemuda tampan berbaju biru muda itu melompat satu langkah ke belakang. Suara
tawa itu terdengar kering, dan seakan-akan datang dari segala arah. Siku
pemuda itu segera menggeser gagang pedang yang tergantung dipinggang untuk
menjaga kemungkinan.
"Kau terlalu berani datang sendiri ke sini, Raden Antawirya!"
Belum hilang suara kering melengking tinggi itu, mendadak saja di depan
pemuda tampan itu muncul seorang perempuan berjubah merah panjang. Sebatang
tongkat yang bagian ujungnya berbentuk bintang bersegi delapan, tergenggam
di tangan kanan. Rambutnya panjang terurai, sehingga hampir menutupi
wajahnya yang lebih mirip muka tengkorak. Pemuda yang dipanggil Raden
Antawirya itu agak bergidik juga melihatnya.
Memang, penampilan perempuan itu sungguh mengerikan. Seluruh wajahnya tak
lagi memiliki daging. Dan kedua matanya bolong, namun berwarna merah menyala
seperti sepasang bola api Baju merah yang dikenakannya sangat panjang,
sehingga menutupi seluruh kaki dan tangannya. Mulutnya yang tanpa bibir itu
meringis memperlihatkan baris-baris gigi yang tampak jelas menghitam.
"Mau apa kau datang ke sini, Raden Antawirya?" kering sekali suara
perempuan berwajah tengkorak itu.
"Aku ingin meminta adikku kembali!" tegas Raden Antawirya.
"Hik hik hik... Adikmu sedang menjalani hukuman, Raden. Jadi kau harus
bersabar menunggu selama seratus tahun, baru dia bebas dari hukuman."
"Kau lepaskan adikku, atau kuhancurkan purimu, perempuan setan!" bentak
Raden Antawirya geram.
"Kata-katamu bisa membahayakan dirimu sendiri, Raden!" desis wanita
berwajah tengkorak itu, mengancam.
"Phuih! Kau pikir aku takut, heh?! Ayo, maju. Biar kubunuh kau sekalian,
perempuan laknat!" geram Raden Antawirya.
"Bocah sinting! Pergi kau dari sini!" bentak perempuan berwajah tengkorak
itu mulai gusar.
"Tidak! Sebelum kau lepaskan adikku!"
"Edan...!"
Perempuan berwajah tengkorak itu seketika mengebutkan tangannya yang
tersembunyi di balik lengan jubah. Dan saat itu juga melesat beberapa butir
benda berwarna keperakan yang langsung menerjang pemuda itu. Namun gesit
sekali Raden Antawirya berlompatan menghindari serangan yang cepat dan riba
riba itu.
Dan sebelum Raden Antawirya bisa menarik napas lega, mendadak perempuan
berwajah tengkorak itu melompat sambil berteriak keras melengking tinggi.
Maka secepat kilat dikebutkan tongkatnya ke arah kaki.
"Hup!"
Raden Antawirya melompat menghindari tebasan tongkat itu. Namun sungguh
tidak terduga sama sekali, perempuan berwajah tengkorak itu menghentakkan
tongkatnya ke atas sehingga menghantam keras telapak kaki Raden
Antawirya.
Tak dapat dicegah lagi, tubuh pemuda berbaju biru itu melayang deras ke
udara. Pada saat itu juga, perempuan berwajah tengkorak melesat ke angkasa,
memburunya. Sementara tangan kirinya menghentak keras sambil berteriak
melengking.
"Hiyaaat...!"
"Aaakh...!" Raden Antawirya menjerit melengking tinggi
Hentakan tangan kiri perempuan berwajah tengkorak itu tak bisa dihindari
lagi. Tubuh Raden Antawirya meluncur deras ke angkasa, dan meluruk jatuh di
tengah-tengah padang rumput yang menghampar bagai permadani. Namun sebelum
pemuda itu menghantam tanah, mendadak sebuah bayangan menyambarnya cepat,
dan langsung membawanya pergi
"Hm...," perempuan berwajah tengkorak hanya menggumam.
Dia sudah berdiri tegak di atas tanah berumput memandangi bayangan yang
berkelebat cepat menyambar tubuh Raden Antawirya. Meskipun matanya bolong
sehingga yang terlihat hanya berupa cahaya merah, namun pandangannya
demikian tajam. Baris-baris giginya yang tidak tertutup bibir itu
bergerak-gerak. Mungkin tengah tersenyum atau menggumamkan sesuatu. Namun
seketika itu juga perempuan itu melesat masuk ke dalam hutan. Begitu
cepatnya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan
kelebatan hutan.
***
SEMENTARA itu di balik sebuah bukit yang menjadi pembatas padang rumput,
berdiri sebuah bangunan besar dikelilingi pagar batu bagai sebuah benteng.
Di tengah-tengahnya berdiri bangunan megah dan besar. Di sekeliling benteng
bangunan megah itu terdapat rumah, baik besar maupun kecil yang letaknya
saling merapat satu sama lain. Tempat itu merupakan sebuah kota Kerajaan
Kali Jirak.
Suasana kota itu demikian ramai, seakan-akan tak pernah mati dari segala
kegiatan rakyatnya. Namun dari wajah-wajah rakyat yang mendung, terlihat
kalau mereka seperti tengah menghadapi masalah yang cukup berat. Bahkan para
penjaga di perbatasan maupun di depan gerbang kelihatan lesu tak bergairah.
Hal ini karena Prabu Truna Dilaga yang menjadi raja di situ, tengah dilanda
gelisah.
Sudah beberapa hari ini Prabu Truna Dilaga selalu menyendiri dalam kamar
atau di taman belakang istana. Semua orang tahu, apa yang sedang menjadi
beban pikiran Prabu Truna Dilaga. Sejak kehilangan putrinya, Raja Kali Jirak
itu memang selalu murung. Dan sekarang ini, putranya yang dipersiapkan untuk
menggantikan kedudukannya menghilang tak tentu rimbanya. Berarti sudah tiga
hari ini Raden Antawirya tidak terdengar kabarnya.
"Gusti Prabu...." "
Prabu Truna Dilaga mengangkat kepalanya ketika mendengar suara. Matanya
kini terpaku pada seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun,
bertubuh tegap dan berwajah tampan namun mencerminkan ketegasan. Laki-laki
itu duduk bersimpuh sambil merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
Kepalanya tertunduk, seakan-akan ikut merasakan beban yang tengah diderita
rajanya ini. Sorot mata Prabu Truna Dilaga begitu redup bagai tak memiliki
gairah hidup lagi.
"Gusti Prabu, hamba membawa seorang perambah hutan yang melihat Raden
Antawirya," lapor laki-laki itu sebelum diminta.
"Bawa ke sini, Patih Natabrata," ujar Prabu Truna Dilaga lesu.
"Hamba, Gusti Prabu."
Patih Natabrata memberikan sembah, kemudian bangkit berdiri dan
meninggalkan Prabu Truna Dilaga yang masih tetap duduk di bangku taman.
Tidak lama berselang, Patih Natabrata sudah kembali membawa seorang
laki-laki tua bertelanjang dada dan bertubuh kurus. Mereka duduk bersimpuh
di depan Prabu Truna Dilaga bersikap penuh rasa hormat.
"Siapa namamu?" tanya Prabu Truna Dilaga.
"Hamba bernama Ki Ebun, Gusti Prabu," sahut laki-laki tua itu seraya
merapatkan kedua tangannya di depan hidung memberi sembah.
"Benar kau melihat putraku?" tanya Prabu Truna Dilaga lagi.
"Benar, Gusti Prabu. Hamba melihat Raden Antawirya berkuda di dalam hutan.
Hamba pun sempat bertanya hendak ke mana, tapi Raden Antawirya tidak
menyahut. Bahkan beliau mendera kudanya lebih kencang lagi," tutur Ki
Ebun.
"Kau tahu ke mana arah perginya?"
"Ke Utara, Gusti Prabu."
"Hutan Kamiaka...," desis Prabu Truna Dilaga pelan, hampir tidak
terdengar.
Prabu Truna Dilaga memandangi laki-laki tua perambah hutan itu. Sorot
matanya terlihat semakin redup tak bercahaya. Bahkan wajahnya seperti
kehilangan cahaya kegairahan. Dua kali dihembuskan napas panjang dan berat.
Sementara Ki Ebun dan Patih Natabrata hanya diam saja sambil menundukkan
kepala.
"Patih Natabrata, antar orang tua ini pulang," perintah Prabu Truna
Dilaga.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Patih Natabrata seraya memberikan sembah.
"Aku berterima kasih atas keteranganmu, Ki Ebun. Kau patut mendapatkan
hadiah dariku," ujar Prabu Truna Dilaga.
"Oh terima kasih, Gusti Prabu."
Ki Ebun beberapa kali memberi sembah sambil mengucapkan terima kasih
berulang-ulang. Patih Natabrata kemudian menggamit lengan laki-laki tua
perambah hutan itu. Mereka memberi sembah sekali lagi, kemudian beranjak
pergi meninggalkan Raja Kali Jirak itu sendirian. Prabu Truna Dilaga baru
saja akan bangkit berdiri ketika tampak seorang wanita berusia sekitar empat
puluh lima tahun datang menghampiri. Dia diiringi enam orang gadis berparas
cantik.
'Permaisuriku Rara Kuminten...," sambut Prabu Truna Dilaga seraya
memberikan senyum, meskipun terasa getir dan amat dipaksakan.
"Kulihat ada seorang tua di sini tadi, Kanda Prabu?" tanya Permaisuri Rara
Kuminten setelah duduk di samping laki-laki berusia sekitar tujuh puluh
tahun itu.
"Seorang perambah hutan yang kebetulan melihat Raden Antawirya," sahut
Prabu Truna Dilaga.
Permaisuri Rara Kuminten hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
Disuruhnya enam orang gadis yang menyertainya untuk pergi. Setelah memberi
sembah, keenam gadis itu beranjak pergi dengan sikap penuh hormat
"Apa yang dikatakannya, Kanda Prabu?" tanya Permaisuri Rara Kuminten
setelah keenam dayangnya pergi.
"Dia hanya mengatakan kalau melihat Raden Antawirya di dalam hutan," sahut
Prabu Truna Dilaga.
"Dia tidak mengatakan ke mana perginya?"
"Katanya ke arah Utara. Hah.., pasti ke Hutan Kamiaka."
"Anak nakal! Sudah kularang ke sana, masih juga membandel...!" dengus
Permaisuri Rara Kuminten.
Sedangkan Prabu Truna Dilaga hanya diam saja dengan wajah semakin
terselimut mendung. Kedua anaknya kini sudah tidak ada. Tak ada yang bisa
diharapkan lagi untuk mengganti kedudukannya sebagai raja di Kali Jirak ini.
Sedangkan usianya semakin menggerogoti tubuhnya.
"Mau ke mana, Kanda Prabu?" tanya Permaisuri Rara Kuminten melihat Prabu
Truna Dilaga bangkit dan melangkah hendak pergi.
"Aku ingin istirahat," sahut Prabu Truna Dilaga tanpa menghentikan ayunan
kakinya.
Permaisuri Rara Kuminten tidak mencegah, dan hanya diam saja memandangi
laki-laki tua itu meninggalkannya. Wanita yang masih kelihatan cantik itu
tetap duduk di kursi taman, meskipun Prabu Truna Dilaga tidak kelihatan lagi
punggungnya.
Malam sudah jatuh, dan kegelapan menyelimuti seluruh permukaan bumi
Kerajaan Kali Jirak. Malam ini angin berhembus kencang menyebarkan udara
dingin menggigilkan tulang. Sayup-sayup di kejauhan, terdengar lolongan
anjing hutan yang menyayat bagai mendendangkan irama kematian.
Seluruh rakyat Kali Jirak sudah terlelap dalam buaian mimpi. Hanya para
prajurit yang bertugas ronda malam saja yang masih terlihat berjaga-jaga di
tempat tertentu. Namun agak jauh dari kota, tepatnya dekat gerbang
perbatasan kota sebelah Utara, seorang laki-laki tua masih duduk menyendiri
di depan rumahnya yang kecil dan kumuh.
Laki-laki tua itu adalah Ki Ebun, yang setiap hari mencari nafkah dengan
merambah hutan mencari kayu bakar dan berburu binatang untuk dijual ke kota.
Laki-laki tua itu duduk mencangkung sambil menikmati kepulan asap daun
tembakau. Mata tuanya lurus merayapi bulan purnama yang malam ini bersinar
indah keemasan, menyirami bumi dalam selimut kegelapan.
"Ayah...."
"Oh...!" Ki Ebun tersentak dari lamunannya ketika mendengar sapaan lembut
dari belakang. Ditolehkan kepalanya, lalu tersenyum melihat seorang gadis
berparas manis tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Gadis itu kemudian
duduk di sampingnya. Pakaiannya sangat sederhana. Bahkan pada kain yang
dikenakan terdapat satu tambalan. Meskipun begitu tidak menghilangkan
kemanisan wajahnya yang sederhana.
"Kenapa Ayah belum tidur?" lembut sekali suaranya.
"Kau sendiri, kenapa belum tidur, Melati?" Ki Ebun malah balik
bertanya.
"Tidak bisa," sahut gadis yang dipanggil Melati itu.
Nama yang sangat indah, seindah wajahnya. Mungkin Ki Ebun memberi nama
anaknya ini dengan harapan akan menjadi seorang gadis yang dapat
mengharumkan kaumnya, seharum bunga melati. Satu harapan yang wajar dari
seorang tua seperti Ki Ebun ini.
"Kenapa?" tanya Ki Ebun lembut.
"Aku memikirkan hadiah dari Gusti Prabu, Ayah. Sebaiknya kita apakan,
ya...?" tanya Melati seperti pada dirinya sendiri.
"Aku sendiri bingung, Melati. Padahal aku hanya mengatakan apa adanya.
Eee..., kok malah diberi hadiah begitu besar. Ayah jadi takut, Melati...,"
semakin pelan suara Ki Ebun.
'Takut kenapa, Yah?" tanya Melati polos.
"Aku takut perampok," bisik Ki Ebun, seakan-akan suaranya takut terdengar
orang lain.
"Ah, Ayah.... Jangan macam-macam, ah! Nanti kalau benar-benar kejadian,
bagaimana?" Melati mencoba bergurau, padahal hatinya cemas juga.
"Melati! Tadi Ayah sedang berpikir-pikir, apa sebaiknya kita pindah saja
dari sini...?" kali ini nada suara Ki Ebun terdengar sungguh-sungguh.
"Pindah ke mana lagi, Yah...? Kita sudah enam kali pindah, dan rasanya jadi
bosan! Aku ingin menetap di sini saja," rungut Melati.
'Tapi di sini hidup kita juga tidak ada perubahan, Melati. Tetap saja aku
jadi perambah hutan. Aku ingin memberimu kesenangan, seperti gadis-gadis
lain. Bisa punya baju bagus, bisa punya kereta untukmu bepergian, dan punya
segala macam."
"Jangan mengkhayal, Yah. Aku sudah cukup senang, kok."
'Tapi kau belum punya baju bagus, Melati."
"Untuk apa baju bagus, harta, dan kekayaan, kalau hidup kita selalu
diliputi ketakutan, Ayah. Tidak, ah! Aku tidak mau. Aku sudah senang hidup
begini Aman dan tentram tanpa harus memikirkan segala macam."
"Tapi hadiah itu saja sudah membuat kepala kita jadi seperti pecah."
Melati terdiam, dan Ki Ebun jadi membisu. Hadiah yang diberikan Prabu Truna
Dilaga memang membuat mereka jadi gelisah, tidak seperti hari-hari yang
lalu. Mereka jadi tidak tenang, seakan-akan selalu diintai ribuan pasang
mata yang mencari kesempatan baik untuk menerkam.
Saat mereka terdiam, mendadak di depan mereka muncul seseorang yang
mengenakan jubah merah panjang membawa tongkat yang ujungnya berbentuk
bintang bersegi delapan Ki Ebun dan Melati terperanjat, sehingga langsung
melompat bangkit berdiri. Terlebih lagi gadis itu. Dia sampai terpekik dan
hampir pingsan melihat raut wajah orang itu.
Wajah yang tidak memiliki daging dengan mata bolong memerah bagai bola api.
Gigi-gigi yang tidak tertutup bibir itu menyeringai menyeramkan. Ki Ebun
sampai bergetar dan seluruh wajahnya memucat bagai tak pernah dialiri
darah.
"Kau yang bernama Ki Ebun?" dingin dan kering sekali suara perempuan
berwajah tengkorak itu.
"Iy.., iy..., iya," sahut Ki Ebun tergagap.
"Kau harus mati, orang tua!"
"Ap..."
Belum juga Ki Ebun bisa meneruskan ucapannya, mendadak saja perempuan
berwajah tengkorak itu mengecutkan tongkatnya. Maka seketika itu juga tubuh
Ki Ebun mengejang kaku dan bola matanya membeliak lebar. Tak ada suara
sedikit pun yang terdengar. Tahu-tahu, laki-laki tua perambah hutan itu
ambruk ke tanah. Kepalanya tergulir, terpisah dari lehernya.
"Aaakh...!" Melati menjerit melengking tinggi. Gadis itu langsung melorot
jatuh tak sadarkan diri melihat kematian ayahnya yang sangat menyayat itu.
Jeritan Melati mengejutkan seluruh rakyat yang rumahnya berdekatan dengan
rumah Ki Ebun. Seketika saja suasana jadi terang benderang oleh nyala pelita
dan obor. Perempuan berwajah tengkorak itu mendengus, kemudian dengan sekali
lesat saja, tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Pada saat itu berdatangan orang-orang membawa obor. Mereka terperanjat
begitu melihat mayat Ki Ebun tergeletak berlumuran darah. Lebih terperanjat
lagi, setelah melihat leher laki-laki tua perambah hutan itu yang terpenggal
buntung. Dan di dekatnya tergolek Melati yang tak sadarkan diri.
***
DUA
KEMATIAN Ki Ebun yang begitu mengerikan menjadi pembicaraan seluruh orang d
Kerajaan Kali Jirak. Bahkan berita kematian laki-laki tua perambah hutan itu
sampai ke telinga Prabu Truna Dilaga. Hal ini I membuat Raja Kali Jirak itu
menjadi semakin murung. Dia ingat kalau perambah hutan itu yang memberitahu
tentang kepergian putranya.
"Seharusnya dia tidak kuberi hadiah terlalu banyak," keluh Prabu Truna
Dilaga menyesali diri.
"Tapi hadiah itu tidak hilang, Gusti Prabu," jelas Patih Natabrata.
Prabu Truna Dilaga memandangi patihnya ini.
"Ampun, Gusti Prabu Seharusnya hamba melaporkan hal ini sejak tadi," ucap
Patih Natabrata seraya memberi sembah. "Bagaimana kau tahu, Patih?" tanya
Prabu Truna Dilaga.
"Hamba sempat mengunjungi rumah Ki Ebun, Gusti. Menurut putrinya, hadiah
yang diberikan Gusti Prabu masih utuh. Tak berkurang sedikit pun."
"Hm..., aneh...? Jadi untuk apa dia membunuh orang tua itu?" Prabu Truna
Dilaga seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Itulah yang sedang hamba pikirkan, Gusti Prabu.
Menurut putri Ki Ebun, orang itu wajahnya menyerupai tengkorak, berjubah
merah, dan memegang tongkat. Dan dengan tongkatnya itulah dia memenggal
kepala Ki Ebun. Kejadian selanjutnya, gadis itu tidak tahu, karena telah
pingsan saat itu juga."
"Dewi Iblis...," desis Prabu Truna Dilaga pelan. Hampir tak terdengar
suaranya.
"Gusti Prabu...."
"Aku tidak mengerti, untuk apa perempuan iblis itu membunuh Ki Ebun...?"
Prabu Truna Dilaga bertanya-tanya sendiri.
"Siapa itu Dewi Iblis, Gusti?" tanya Patih Natabrata.
Prabu Truna Dilaga tidak langsung menjawab. Dipandangi patihnya
dalam-dalam. Sorot matanya begitu dalam dan menyimpan sejuta arti yang sukar
dimengerti. Wajahnya menyiratkan tekanan batin yang amat berat Patih
Natabrata hanya menundukkan kepalanya saja, tidak sanggup membalas tatapan
tajam junjungannya.
"Dulu ketika dia muncul di sini, kau masih kecil, Patih. Dan aku pun masih
begitu muda. Belum menjadi raja...," pelan suara Prabu Truna Dilaga.
Sedangkan Patih Natabrata hanya diam saja mendengarkan.
"Ah..., aku tidak yakin kalau dia muncul lagi di sini. Aku yakin kalau
iblis itu sudah tewas," desah Prabu Truna Dilaga setengah menggumam
seakan-akan bicara untuk dirinya sendiri.
"Gusti...," agak tercekat suara Patih Natabrata.
"Kau harus mengetahuinya, Patih. Karena kalau memang dia belum tewas dan
sekarang muncul lagi, maka kemunculannya ada sangkut pautnya denganmu,"
jelas Prabu Truna Dilaga.
Patih Natabrata terhenyak, sampai-sampai mendongakkan kepalanya menatap
Prabu Truna Dilaga. Namun buru-buru laki-laki setengah baya itu memberi
sembah dan menundukkan kepalanya kembali.
"Dulu, aku dan ayahmu bersahabat karib. Ayahmu juga seorang patih yang
sangat gagah berani. Aku selalu memanggilnya paman, karena memang jauh lebih
tua usianya dariku sendiri...," Prabu Truna Dilaga berhenti sebentar. "Aku
waktu itu ingat sekali, saat Ayahanda Prabu mengajakku berburu. Lalu kuminta
agar ayahmu ikut serta, dan Ayahanda Prabu tidak berkeberatan. Kami berburu
bersama-sama dan berlomba-lomba mendapatkan buruan yang terbanyak"
Patih Natabrata masih diam mendengarkan. Dia memang sering mendengar cerita
ayahnya sebelum meninggal. Ayahnya dan Prabu Truna Dilaga memang tidak bisa
dipisahkan. Ke mana-mana mereka selalu berdua, seperti dua saudara kandung.
Itu sebabnya, mengapa Patih Natabrata memutuskan untuk mengabdi sepenuhnya
pada Kerajaan Kali Jirak ini. Dia tidak ingin mengecewakan harapan mendiang
ayahnya. Dan rupanya Prabu Truna Dilaga juga sangat kehilangan sahabatnya,
sehingga langsung mengangkat Natabrata sebagai patih begitu ayahnya
meninggal.
"Di dalam hutan, aku dan ayahmu berhasil memanah seekor kijang dalam waktu
bersamaan. Tapi rupanya kijang itu milik seorang wanita. Akibatnya dia
menuntut nyawa kijang itu dengan nyawaku setelah tahu kalau aku waktu itu
seorang putra mahkota. Ayahmu membela, hingga akhirnya bertarung mengadu
nyawa dengannya. Tapi kemudian Ayahanda Prabu melerai dan mengganti kijang
itu dengan sejumlah uang," kembali Prabu Truna Dilaga menghentikan
kisahnya.
Dan Patih Natabrata masih juga diam mendengarkan tanpa memberi tanggapan
sedikit pun.
"Tapi rupanya perempuan itu tidak merasa puas, hingga akhirnya datang ke
sini dan membuat keonaran selama bertahun-tahun. Segala tindakannya begitu
kejam, sehingga dijuluki Dewi Iblis. Aku sendiri tidak tahu, siapa nama
sebenarnya. Kepandaiannya sungguh luar biasa, sehingga para prajurit maupun
panglima pilihan mengalami kesukaran untuk membekuknya Hingga akhirnya dia
kembali bentrok lagi dengan ayahmu. Pertarungan berlangsung seru, hingga
memakan waktu tiga hari tiga malam. Namun akhirnya ayahmu berhasil
menyudahi. Wanita itu tewas, tapi ayahmu mendapat luka parah sehingga
dia...," Prabu Truna Dilaga tidak meneruskan kisahnya.
Patih Natabrata sendiri sudah mengerti lanjutannya. Ayahnya lumpuh setelah
bertarung melawan wanita yang dijuluki Dewi Iblis itu. Hingga ajalnya,
laki-laki berjasa dan penuh pengabdian itu dalam keadaan lumpuh. Untuk
beberapa saat lamanya mereka berdiam diri membisu. Ruangan yang besar ini
jadi sunyi.
"Gustri Prabu, apakah ada kuburan si Dewi Iblis itu?" tanya Patih Natabrata
setelah cukup lama berdiam diri.
"Ada. Letaknya di Hutan Kamiaka," sahut Prabu Truna Dilaga pelan.
"Hutan Kamiaka...," desis Patih Natabrata.
***
PATIH NATABRATA memandangi padang rumput luas bagai permadani terhampar tak
bertepi. Di seberang sanalah terletak Hutan Kamiaka. Sebuah hutan yang tidak
pernah terjamah tangan-tangan manusia. Jadi sampai saat ini masih menjadi
hutan perawan yang dianggap angker. Belum ada seorang pun yang berani
menjamahnya. Dan mereka yang nekad, tak akan pernah lagi terdengar kabar
beritanya.
"Hhh...!" Patih Natabrata menghembuskan napas panjang.
Dipandanginya dua puluh orang prajurit yang menyertai. Mereka memang
prajurit pilihan yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Tapi dua
puluh prajurit pilihan tidak berarti apa-apa, bila teringat cerita Prabu
Truna Dilaga tentang seorang perempuan yang memiliki julukan sangat
menggetarkan hati. Dewi Iblis! Patih Natabrata kembali mengarahkan
pandangannya ke seberang padang rumput ini.
Kepalanya menoleh ketika mendengar suara langkah kaki halus dari arah
kanan. Tampak dua orang laki-laki berjalan ke arahnya. Seorang mengenakan
baju dari kulit harimau, dan seorang lagi mengenakan baju warna biru muda.
Hampir seluruh kepalanya tertutup caping besar dari anyaman bambu. Kedua
laki-laki itu menghentikan langkahnya sekitar dua batang tombak di samping
Patih Natabrata.
"Maaf, boleh kami lewat?" ucap orang yang mengenakan baju kulit harimau,
sopan.
"Kisanak berdua hendak ke mana?" tanya Patih Natabrata.
"Kami hendak ke bukit sana," sahut laki-laki muda berbaju kulit harimau itu
lagi.
Sedangkan yang seorang hanya diam saja sambil terus menundukkan kepala,
seakan akan sengaja menyembunyikan wajah. Namun Patih Natabrata justru
tertarik padanya. Diamati dalam-dalam sehingga matanya agak menyipit
"Boleh kami lewat?" pinta pemuda berbaju kulit harimau itu lagi.
"Silakan," Patih Natabrata mempersilakan.
Kedua orang itu bergegas berjalan meninggalkan Patih Natabrata dan dua
puluh orang prajuritnya. Sementara Patih Natabrata memperhatikan dengan
kening berkerut dalam. Perhatiannya justru terpusat pada orang yang berjalan
di sebelah pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Ah, tidak mungkin...!" desah Patih Natabrata seraya menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Tapi..., bentuk tubuhnya mirip sekali dengan Raden Antawirya...."
Patih Natabrata terus memperhatikan kedua orang itu hingga lenyap di balik
kelebatan pepohonan. Dan segera diberinya isyarat agar para prajuritnya
bersiap melanjutkan perjalanannya kembali. Sebentar kemudian, dua puluh satu
kuda berpacu melintasi padang rumput.
Tanpa setahu mereka, dari balik kerimbunan pepohonan, tampak dua pasang
mata tengah mengawasi tak berkedip. Dua pasang mata dari pemuda-pemuda yang
tadi lewat di depan Patih Natabrata. Pemuda berbaju biru kini sudah
melepaskan caping bambunya, dan membiarkan saja tersampir di punggung.
"Kau kenal dia, Raden Antawirya?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu
tanpa mengalihkan pandangannya ke depan.
"Ya. Dia patih kepercayaan Ayahanda Prabu," sahut pemuda berbaju biru yang
ternyata memang Raden Antawirya. "Bayu, mau apa dia ke sana...?"
"Mungkin tujuannya sama denganmu, Raden," sahut pemuda berbaju kulit
harimau.
Pemuda itu memang bernama Bayu yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau
Neraka. Sementara Raden Antawirya terus memandangi rombongan kecil itu yang
semakin jauh melintasi padang rumput Entah kenapa, Raden Antawirya jadi
cemas setelah teringat pengalamannya yang sangat pahit. Hampir saja dia
tewas kalau tidak ditolong pemuda di sampingnya ini.
"Mereka bisa tewas semua, Bayu," desah Raden Antawirya tak bisa
menyembunyikan kecemasannya.
"Kau cemas, tapi kenapa tadi tidak mau menunjukkan dirimu?" Bayu memandangi
wajah pemuda di sampingnya.
"Aku tidak akan kembali ke istana tanpa adikku, Bayu," sahut Raden
Antawirya.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Bayu.
"Kita harus mencegah mereka mendekati hutan itu, Bayu. Aku tidak ingin
Paman Patih tewas sia-sia."
Bayu mengangkat pundaknya.
"Cepat, Bayu. Sebelum mereka sampai ke hutan itu!" ajak Raden
Antawirya.
Bayu tak punya pilihan lain lagi, kecuali mengikuti Raden Antawirya yang
sudah berlari cepat mengejar rombongan kecil Patih Natabrata. Dalam hari,
Pendekar Pulau Neraka itu kagum juga pada ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Putra Mahkota Kerajaan Kali Jirak ini. Namun belum cukup tinggi
untuk bisa menyamainya. Dan Bayu hanya mengerahkan setengah saja dari ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki. Itu pun tampaknya jadi terbalik. Bukannya
Bayu yang menyesuaikan diri, tapi malah Raden Antawirya yang harus
menyesuaikan.
***
RADEN ANTAWIRYA terperanjat ketika tiba-tiba mendengar jeritan-jeritan
melengking saling susul. Putra Mahkota Kerajaan Kali Jirak itu buru-buru
mengenakan tudungnya, lalu berlompatan cepat. Tapi dua kali pemuda itu
melompat pada saat yang sama Bayu sudah mendahului dengan hanya sekali
lesatan saja.
Pada saat Pendekar Pulau Neraka tiba, tampak seluruh prajurit yang dibawa
Patih Natabrata sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Tubuh mereka berlubang
mengeluarkan asap. Selagi Bayu memeriksa para prajurit itu, Raden Antawirya
baru sampai Hati pemuda itu terkejut melihat semua prajurit yang dibawa
Patih Natabrata sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
"Bayu, di mana Paman Patih?" tanya Raden Antawirya.
Bayu tersentak, karena seperti diingatkan oleh pertanyaan itu. Semua mayat
ini berjumlah dua puluh, dan hanya para prajurit saja. Sedangkan Patih
Natabrata tidak kelihatan. Kedua pemuda itu saling berpandangan, kemudian
sama-sama mengalihkan pada kuda yang tadi ditunggangi Patih Natabrata.
"Pasti Paman Patih mengejar perempuan iblis itu, Bayu," desis Raden
Antawirya menduga.
Bayu cepat menangkap tangan Raden Antawirya yang akan melangkah memasuki
Hutan Kamiaka. Raden Antawirya mengurungkan niatnya, lalu menatap Bayu
dalam-dalam.
"Jangan bertindak gegabah dulu, Raden. Kita belum tahu, siapa orang itu,"
kata Bayu mengingatkan. 'Tapi aku harus menyelamatkannya, Bayu" "Aku tahu.
Tapi tidak dengan cara begini. Kita harus hati-hati dan jangan terbawa arus
kemarahan."
Raden Antawirya menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Diakui kebenaran kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu. Untuk menghadapi
manusia misterius berkemampuan sangat tinggi memang tidak bisa dengan kepala
panas. Raden Antawirya mengangkat bahunya, menyerahkan segalanya pada pemuda
berbaju kulit harimau itu.
"Ayo kita kembali ke kotaraja," ajak Bayu.
"Kembali..?!" Raden Antawirya terperanjat
"Iya, nanti akan kujelaskan"
Raden Antawirya tidak bisa membantah lagi. Diikuti saja Pendekar Pulau
Neraka yang sudah melangkah cepat meninggalkan tepian Hutan Kamiaka yang
angker ini. Mereka berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh,
sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan tepian
hutan.
"Kau punya rencana, Bayu?" tanya Raden Antawirya tidak sabar.
"Ya. Kudengar seorang perambah hutan tewas terbunuh semalam," sahut
Bayu.
"Apa hubungannya dengan semua ini?"
"Jika perambah hutan itu tidak bertemu denganmu lebih dahulu, mungkin aku
tidak akan mengkaitkannya. Terlebih lagi, aku dengar dia sempat melaporkan
pada ayahmu di istana. Hanya sayang sekali malamnya, perambah hutan itu
tewas dengan leher terpenggal."
"Ohhh...," Raden Antawirya mendesah panjang.
"Aku akan memancingnya untuk menemuiku, Raden," jelas Bayu mengemukakan
rencananya.
"Maksudmu?" Raden Antawirya tidak mengerti.
"Aku akan menemui ayahmu dan mengatakan pernah melihatmu Dengan cara
demikian, aku yakin orang itu akan menemuiku dan hendak membunuhku."
"Rencanamu terlalu berbahaya, Bayu," Raden Antawirya kurang setuju.
"Raden.... Adalah suatu perbuatan bodoh jika memasuki Hutan Kamiaka.
Padahal masih ada cara lain yang lebih memungkinkan dan tidak terlalu
berbahaya," Bayu mencoba memberi pengertian.
Kembali Raden Antawirya terdiam. Meskipun hatinya tidak setuju terhadap
rencana Pendekar Pulau Neraka ini, tapi tidak bisa membantah lagi. Disadari
kalau pengalamannya dalam menghadapi kejadian seperti ini belumlah seberapa
bila dibandingkan Bayu yang sudah kenyang makan asam garam rimba
persilatan.
Meskipun baru sedikit, tapi cerita mengenai diri Pendekar Pulau Neraka itu
sudah terserap ke dalam hati sanubari Raden Antawirya. Tidak mungkin orang
biasa akan bisa menyambarnya begitu cepat ketika hampir saja terhempas ke
tanah akibat serangan Dewi Iblis. Bahkan pemuda berbaju kulit harimau itu
juga menyembuhkan luka-lukanya hanya dengan penyaluran hawa mumi. Bayu
memang hanya mengatakan sedikit tentang dirinya, tapi itu sudah cukup bagi
Raden Antawirya untuk menaruh kepercayaan padanya.
"Aku akan membuat pondok kecil di luar batas kota," kata Bayu kembali
mengemukakan rencananya untuk bertemu orang misterius itu.
"Lalu?" tanya Raden Antawirya ingin tahu lebih lanjut.
"Sementara kau tetap tinggal di pondok, dan jangan ke mana-mana. Meskipun
dia datang, jangan menampakkan diri. Biar aku yang akan menghadapinya
sendiri. Aku yakin, dia bukan setan, jin, iblis dari neraka atau sejenisnya.
Dia pasti manusia biasa yang memiliki tingkat kepandaian tinggi."
"Tapi, mukanya...," Raden Antawirya serasa tak sanggup membayangkan wajah
orang itu.
"Bisa saja mengenakan topeng, Raden. Atau mungkin juga pernah terluka
sehingga kulit wajahnya habis terkelupas."
"Yah..., terserah kau sajalah," desah Raden Antawirya menyerah.
Bayu hanya tersenyum saja.
"Bayu, ada sesuatu yang masih mengganjal hatiku," ungkap Raden Antawirya
pelan.
"Katakan saja, Raden."
"Mungkin aku sudah mengatakan padamu, tapi rasanya masih kupikirkan."
"Hm...."
"Terus terang aku tidak mengerti, kenapa orang itu menculik adikku. Bahkan
juga mengatakan kalau adikku harus menjalani hukuman selama seratus tahun
lamanya...," Raden Antawirya mengeluarkan ganjalan di hatinya.
"Kau pernah menanyakan hal ini pada ayahmu, Raden?" tanya Bayu.
'Tidak," sahut Raden Antawirya, agak ngambang suaranya.
"Kenapa Raden tidak menanyakannya?"
"Ayah terlalu larut dalam kesedihan. Sedangkan aku tidak sampai hati untuk
menanyakannya, Bayu. Itu sebabnya, kenapa aku nekad hendak membebaskan
adikku sendiri tanpa sepengetahuan orang lain," jelas Raden Antawirya
"Selama ini, apakah kau tahu ayahmu punya musuh?" tanya Bayu lagi.
"Tidak. Belum pernah kudengar kalau Ayahanda Prabu punya musuh," sahut
Raden Antawirya.
"Aneh juga...," gumam Bayu pelan, seperti bicara pada dirinya
sendiri.
"Itulah yang membuatku tidak habis mengerti sampai sekarang, Bayu. Baik
Ayahanda Prabu, aku, dan adikku tidak pernah menyakiti siapa pun juga.
Kehidupan kami selalu damai, hingga sampai datang manusia aneh itu yang
menculik adikku."
"Di mana adikmu diculik?"
"Di kaputren. Semua dayang dan emban pengasuhnya tewas. Bahkan pengawal
yang menjaga kaputren pun tewas. Orang itu sudah lenyap sambil membawa
adikku begitu aku, Ayahanda Prabu, dan Patih Natabrata serta beberapa
prajurit datang."
"Lalu, bagaimana kalian bisa tahu kalau adikmu diculik?"
"Salah seorang pengawal memberitahu sebelum tewas."
Bayu terdiam membisu dengan kening agak berkerut Ayunan langkahnya tidak
berhenti meskipun mereka sudah meninggalkan padang rumput, dan kini tengah
menuju Kota Kerajaan Kali Jirak. Dari cerita yang didengar, Pendekar Pulau
Neraka belum menemukan adanya kejanggalan. Tapi agak heran juga, karena
seluruh dayang dan emban serta pengawal kaputren tewas.
Sedangkan yang dia tahu, kaputren merupakan tempat terlarang. Dan hanya
keluarga istana serta kerabat dekat saja yang boleh memasuki. Sekeliling
kaputren sudah pasti dijaga ketat. Jika orang itu bisa masuk dengan
menewaskanseluruh penjaga, tentu tingkat kepandaiannya tinggi sekali. Dan
yang pasti, orang itu sudah mengetahui seluk-beluk kaputren, sehingga bisa
bergerak cepat dan leluasa sebelum diketahui penjaga lainnya.
"Raden, apakah benteng kaputren mudah dilompati?" tanya Bayu.
"Rasanya sulit, Bayu. Aku sendiri belum bisa mencapai puncaknya," sahut
Raden Antawirya.
"Tapi entah jika memang dia memiliki kepandaian tinggi. Dan aku yakin, kau
juga bisa melewatinya dengan sekali lompatan saja."
"Ada berapa pintu masuk ke dalam kaputren?" tanya Bayu lagi.
"Satu. Tapi...." '
'Tapi apa, Raden?
"Ada pintu khusus yang hanya dilalui Ibunda Permaisuri. Tidak ada seorang
pun yang boleh melewatinya, karena pintu itu langsung menembus kamar
pribadinya."
"Hm...," gumam Bayu pelahan.
Sedangkan Raden Antawirya hanya diam saja. "Satu lagi pertanyaanku, Raden.
Apakah di luar benteng kaputren ada penjaga selain di dalam?" tanya
Bayu.
"Ada. Jumlahnya sekitar satu pasukan jika siang, dan dua pasukan di malam
hari." "Penjaga-penjaga itu tewas juga?"
'Tidak..."
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban Raden Antawirya yang terakhir
bernada ragu-ragu. Tapi untuk sementara jawaban itu dirasa cukup untuk
menjadi bahan pertimbangannya. Dan otak Pendekar Pulau Neraka itu mulai
bekerja keras. Dan kini mulai timbul berbagai macam dugaan di benaknya.
Juga, berbagai macam pertanyaan yang disadari belum bisa terjawab secepat
ini.
***
TIGA
BAYU memandangi bagian dalam bangunan Istana Kerajaan Kali Jirak yang
begitu megah dan indah. Dua orang penjaga membawanya untuk bertemu Prabu
Truna Dilaga yang menunggu di taman belakang istana. Ruangan demi ruangan
dilalui, dan Bayu selalu mengamatinya. Setelah melalui satu lorong panjang
yang di kanan dan kirinya terdapat pintu-pintu tertutup, mereka tiba di
depan sebuah pintu yang dijaga empat orang prajurit. Salah seorang prajurit
yang membawa Bayu menjelaskan tentang maksud kedatangan pemuda berbaju kulit
harimau ini yang hendak bertemu Prabu Truna Dilaga. Dan ketika pintu
terbuka, aroma harum langsung menyerbu menyengat hidung.
Bayu mendesah kagum begitu kakinya menginjak taman yang indah bagai berada
di dalam sorga. Pandangan Pendekar Pulau Neraka itu langsung tertumbuk pada
seorang laki-laki berusia lebih dari tujuh puluh tahun yang duduk di kursi
taman. Di sebelahnya duduk seorang wanita berparas cantik, meskipun
garis-garis ketuaan mulai menggurat wajahnya. Bayu menaksir kalau usia
wanita ini mungkin sudah berkepala empat.
Dua prajurit yang membawa Bayu segera berlutut memberi sembah begitu sampai
di depan Prabu Truna Dilaga dan permaisurinya. Bayu ikut berlutut dan
merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Pemuda berbaju kulit harimau itu
sudah diajarkan Raden Antawirya, bagaimana jika berhadapan dengan Prabu
Truna Dilaga.
"Ada apa, Prajurit?" tanya Prabu Truna Dilaga.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba membawa seorang pemuda yang mengaku melihat
Raden Antawirya," sahut salah seorang prajurit, bersikap penuh rasa
hormat
"Hm...," Prabu Truna Dilaga menggumam sambil mengamati pemuda berbaju kulit
harimau yang sudah duduk bersila di tanah berumput. "Kalian boleh pergi,
Prajurit"
Kedua prajurit itu memberi sembah, lalu beranjak pergi meninggalkan taman
ini.
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya Prabu Truna Dilaga setelah kedua prajurit
itu pergi.
"Nama hamba Bayu, Gusti Prabu," sahut Baya Sikapnya telah seperti yang
diajarkan Raden Antawirya, meskipun tidak pernah menyukainya.
"Pekerjaanmu?"
"Berburu, Gusti Prabu."
"Benar, kau telah bertemu putraku?" tanya Prabu Truna Dilaga seraya menatap
dalam-dalam pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
"Benar, Gusti Prabu. Hamba bertemu di tepi padang rumput Dan Raden
Antawirya menuju
Hutan Kamiaka."
"Lalu, kau bertemu lagi?"
"Tidak, Gusti. Tapi kemarin hamba bertemu Patih Natabrata dan dua puluh
orang prajurit yang juga menuju Hutan Kamiaka."
"Apa...?!" Prabu Truna Dilaga terperanjat bukan main. Dia sampai terlonjak
berdiri mendengar Patih Natabrata pergi ke Hutan Kamiaka bersama dua puluh
orang prajurit.
"Pengawal! Panggil Punggawa Dipa Praga!" perintah Prabu Truna Dilaga pada
seorang pengawal yang berada di dekatnya.
Pengawal itu memberi sembah, kemudian bergegas berlari melaksanakan
perintah itu. Prabu Truna Dilaga berjalan mondar-mandir dengan wajah
membe-rengut Jelas terlihat kegelisahan melanda hatinya. Dari sudut ekor
matanya, Bayu memperhatikan sikap Prabu Truna Dilaga. Dia juga memperhatikan
wanita yang tetap saja duduk tanpa cahaya sedikit pun.
Bahkan wanita itu memandangi pemuda berbaju kulit harimau di depannya
dengan sinar mata sukar diartikan. Pengawal yang diperintahkan tadi, kini
telah datang kembali bersama seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh
tahun. Mereka langsung memberi sembah begitu sampai didepan Prabu Truna
Dilaga. Pengawal kembali mengambil tempat, berdiri di belakang Raja Kali
Jirak itu.
"Punggawa Dipa Praga," terdengar berat nada suara Prabu Truna Dilaga.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Punggawa Dipa Praga seraya memberi
sembah.
"Di mana kau lihat Patih Natabrata?" tanya Prabu Truna Dilaga.
"Ampun, Gusti Prabu. Kemarin Gusti Patih berangkat ke Hutan Kamiaka," sahut
Punggawa Dipa Praga.
"Heh...! Kau tahu, kenapa tidak melaporkan padaku?" bentak Prabu Truna
Dilaga.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba dilarang untuk melaporkannya. Gusti Patih
sendiri yang melarang."
Prabu Truna Dilaga bersungut-sungut sendiri, kemudian memerintahkan
Punggawa Dipa Praga mengantarkan Bayu ke luar. Tanpa banyak kata lagi,
mereka beranjak pergi meninggalkan taman itu. Prabu Truna Dilaga masih
berjalan mondar-mandir, dan wajahnya masih memberengut. Memang disesali juga
tindakan Patih Natabrata yang nekad pergi ke Hutan Kamiaka. Sedangkan Raden
Antawirya sendiri sampai sekarang belum kembali juga.
"Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Paman Patih. Kenapa dia
begitu nekad pergi ke hutan itu...?" gumam Prabu Truna Dilaga seperti bicara
pada dirinya sendiri.
"Mungkin ingin membebaskan anakmu, Kanda Prabu," celetuk Permaisuri Rara
Kuminten yang sejak tadi diam saja.
'Tapi tidak seharusnya bertindak sendiri seperti itu...? Paling tidak hal
itu bisa dibicarakan padaku lebih dahulu. Hhh.... aku tidak yakin bisa
bertemu lagi dengannya. Tidak ada seorang pun yang bisa keluar dalam keadaan
hidup dari hutan itu," nada suara Prabu Truna Dilaga terdengar
menyesali.
"Kenapa tidak kau kirim saja prajurit ke sana, Kanda?" usul Permaisuri Rara
Kuminten.
"Terlalu riskan mengirim prajurit ke hutan itu, Dinda."
"Kau sudah kehilangan kedua anakmu, dan sekarang ditambah patih
kesayanganmu Apa kau ingin ada lagi korban berikutnya dari orang-orang yang
kau sayangi? Malah tidak mustahil, aku pun bisa hilang diculik."
"Jangan punya pikiran yang bukan-bukan, Dinda."
"Aku hanya mengemukakan pendapatku saja, Kanda:"
Permaisuri Rara Kuminten bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan taman
itu. Enam orang gadis yang selalu bersamanya mengikuti dari belakang.
Sedangkan Prabu Truna Dilaga masih di taman ini bersama dua orang pengawal
saja. Wajah Raja Kali Jirak itu semakin terlihat kusut.
***
BAYU duduk mencangkung di beranda pondok yang dibangunnya siang tadi
bersama Raden Antawirya. Pondok yang tidak begitu bagus, tapi cukup buat
melancarkan rencananya untuk bertemu manusia bermuka tengkorak. Sementara
malam terus merambat semakin larut. Kesunyian begitu terasa mencekam
sekitarnya.
Di halaman pondok itu, Bayu membuat api unggun untuk sedikit memberi
kehangatan di malam yang cukup dingin itu. Pendekar Pulau Neraka masih tetap
menunggu dengan sikap penuh waspada. Namun, beranda yang hanya diterangi
lampu minyak jarak itu, tidak mampu menyingkap ketegangan di wajah Pendekar
Pulau Neraka.
"Dia sudah datang, Bayu?" terdengar suara dari dalam pondok.
"Belum. Jangan menampakkan dirimu, Raden," sahut Bayu berbisik.
"Kapan datangnya?" tanya Raden Antawirya yang bersembunyi di balik dinding
pondok. Sengaja pintunya dibuka sedikit agar nanti bisa melihat ke
luar.
"Aku tidak tahu, Raden," sahut Bayu lagi.
"Uh! Nyamuk-nyamuk ini membuatku tidak tahan lagi, Bayu!" rungut Raden
Antawirya.
Bayu hanya tersenyum kecut. "Dasar anak raja!" umpat Pendekar Pulau Neraka
dalam hati.
Beberapa kali memang terdengar tepukan yang cukup keras. Pasti Raden
Antawirya sedang berperang melawan nyamuk.
"Jangan berisik, Raden. Nanti dia tidak mau datang..!" bisik Bayu.
"Kulitku pedas digigiti nyamuk terus, Bayu!" rungut Raden Antawirya.
'Tahanlah sedikit. Kau bukan perempuan yang bisanya hanya mengeluh
saja."
Kini tak ada lagi suara. Mungkin Raden Antawirya memberengut atau mengumpat
dalam hati. Dan Bayu hanya tersenyum-senyum saja. Entah apa yang membuatnya
tersenyum. Mungkin kelakuan Raden Antawirya yang membuatnya jadi tertawa
geli di dalam hati. Memang sukar hidup di alam terbuka bagi yang tidak
terbiasa.
"Heh...!" tiba-tiba Bayu terperanjat ketika mendadak saja pelita dari
minyak jarak padam. Demikian pula api unggun yang dibuatnya tadi.
Belum hilang rasa keterkejutan Pendekar Pulau Neraka itu, mendadak saja di
depannya muncul seorang perempuan berambut panjang terurai hampir menutupi
wajahnya yang tidak memiliki daging. Wanita itu mengenakan jubah merah
panjang yang menutupi seluruh tubuhnya. Sebatang tongkat yang ujungnya
berbentuk bintang bersegi delapan tergenggam di tangan yang tertutup lengan
jubah merahnya. Bayu menggelinjang bangkit berdiri, lalu melangkah beberapa
tindak ke depan
"Kau yang bernama Bayu?" serak dan kering sekali suara wanita berwajah
tengkorak itu.
"Benar, dan kau siapa?" balas Bayu.
"Kau tidak periu tahu siapa aku, Bayu!" desis wanita berwajah tengkorak itu
sengit.
"Hm..., lalu apa maksudmu datang ke sini?" dengus Bayu tidak kalah
dinginnya.
"Aku datang hendak mencabut nyawamu, keparat!"
"Apa salahku...?"
Tapi pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu tidak terjawab. Bahkan jawaban
yang diterima adalah serangan dari kibasan tongkat yang begitu cepat luar
biasa. Sejenak Bayu terperangah, namun cepat menarik lehernya ke belakang.
Maka sabetan tongkat itu lewat di depan lehernya.
Namun Bayu sempat terkejut juga, karena angin tebasan tongkat itu
mengandung hawa panas dan hempasan yang begitu kuat Akibatnya Pendekar Pulau
Neraka itu sedikit terhuyung, terdorong ke belakang.
"Bagus! Rupanya kau punya kebolehan juga, Bayu!" dengus wanita berwajah
tengkorak itu.
"Kau belum menjelaskan, kenapa ingin membunuhku?" sentak Bayu.
"Tidak perlu penjelasan bagi manusia lancang sepertimu!"
Setelah berkata demikian, perempuan bermuka tengkorak itu langsung saja
melompat menyerang kembali. Dan kali ini lebih dahsyat dari semula. Bayu
cepat-cepat melompat ke samping sambil menarik tubuhnya ke belakang,
sehingga tebasan tongkat itu kembali luput dari sasaran. Hal ini membuat
perempuan bermuka tengkorak itu jadi geram bukan main.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, perempuan bermuka tengkorak itu memperhebat
serangannya. Tongkat berujung bintang segi delapan itu berkelebatan cepat
mengurung setiap gerakan Pendekar Pulau Neraka. Tapi, kali ini wanita itu
mendapat lawan yang memiliki segudang pengalaman bertarung dan kepandaian
yang sangat tinggi. Makanya, hingga kini serangannya belum juga bisa
mendapatkan hasil yang diharapkan.
Bahkan beberapa kali Bayu melancarkan serangan balik yang membuat perempuan
bermuka tengkorak itu jadi kelabakan menghindarinya. Beberapa kali dia
menyumpah dan memaki menyemburkan ludahnya saat Pendekar Pulau Neraka
melancarkan serangan balik yang dahsyat dan membuatnya kerepotan untuk
menghindar.
Pertarungan terus berlangsung semakin sengit. Jurus demi jurus cepat
terlewati. Sementara dari balik pintu pondok, Raden Antawirya memperhatikan
tanpa berkedip. Sungguh tidak diduga kalau Bayu mampu menandingi perempuan
bermuka tengkorak itu. Walaupun pertarungan sudah berlangsung lebih dari
sepuluh jurus, tapi belum ada tanda tanda bakal ada yang terdesak. Bahkan
pertarungan ini kelihatan akan berlangsung lama.
Dan setelah dua puluh jurus berlalu, Bayu tidak hanya menerima serangan.
Bahkan sekarang dia malah lebih banyak memberi serangan. Tentu saja hal ini
membuat perempuan bermuka tengkorak itu semakin kelabakan saja. Sambil
bertarung, mulutnya terus mengeluarkan sumpah serapah, karena tidak akan
menyangka bakal mendapatkan lawan begini tangguh.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" sambil berteriak keras, perempuan bermuka
tengkorak itu mengayunkan tongkatnya ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka.
Tapi Bayu tidak berusaha berkelit. Bahkan tangan kanannya diangkat, dan
dibiarkan saja tongkat itu beradu dengan pergelangan tangan kanannya.
Trang!
Satu benturan keras terjadi. Seketika percikan bunga api menyebar ke segala
penjuru. Tampak perempuan bermuka tengkorak itu bergetar tangannya, dan
buru-buru menarik pulang tongkatnya. Tapi belum juga sempurna menarik
tongkatnya, mendadak saja Bayu melayangkan satu tendangan keras
menggeledek.
"Yeaaah...!"
Tendangan yang begitu cepat dan tiba-tiba itu tidak bisa dihindari lagi.
Terlebih lagi perempuan tua bermuka tengkorak itu tengah berusaha menahan
getaran pada tangannya akibat benturan ujung tongkatnya dengan pergelangan
tangan Bayu tadi.
Dughk!
"Hughk..!" perempuan bermuka tengkorak itu mengeluh pendek. Tendangan Bayu
tepat menghantam perutnya, membuat tubuh berjubah merah itu terbungkuk dan
terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat itu Bayu sudah melompat cepat sambil
melancarkan dua pukulan sekaligus ke arah dada. Tapi perempuan bermuka
tengkorak itu masih mampu menghindari dengan menarik kakinya cepat-cepat ke
samping. Sungguh sukar diikuti pandangan mata biasa. Karena tanpa diduga
sama sekali, dalam keadaan tubuh masih berada di udara, Pendekar Pulau
Neraka memutar tubuh sambil mengibaskan tangan kirinya langsung ke arah muka
perempuan bermuka tengkorak itu.
Plak!
"Akh...!" perempuan bermuka tengkorak itu terpekik keras. Pukulan Bayu
demikian keras, sampai-sampai tubuh perempuan bermuka tengkorak itu berputar
bagai gasing. Dan pada saat itu terlihat sebuah benda keperakan terlontar.
Seketika itu juga, perempuan bermuka tengkorak cepat melesat kabur. Begitu
cepatnya, sehingga sebelum Bayu bisa mengejar, bayangan tubuhnya sudah
lenyap ditelan kegelapan malam.
"Hhh...!" Bayu menghembuskan napas panjang.
***
RADEN Antawirya keluar dari pondok setelah cukup lama menunggu akhir
pertarungan. Dihampainya Bayu yang sedang membungkuk memungut sesuatu dari
tanah. Pendekar Pulau Neraka itu langsung memutar tubuhnya menghadap Raden
Antawirya.
"Ini...!" Bayu menyodorkan tangannya yang memegang benda berwarna
keperakan.
"Apa ini...?" tanya Raden Antawirya seraya menerima benda keperakan itu.
"Topeng...?"
Raden Antawirya memandang Bayu dalam-dalam, kemudian kembali merayapi benda
perak di tangannya. Benda berbentuk topeng tengkorak yang begitu halus
berwarna keperakan, tapi lentur bagai karet
"Sayang, aku tidak sempat melihat wajah di balik topengnya," desah
Bayu.
Raden Antawirya kembali mengalihkan pandangannya pada Pendekar Pulau Neraka
itu. Sedangkan Bayu menghampiri tumpukan kayu api unggun yang tadi padam
akibat terlempar sebuah benda keperakan. Bayu menyalakan kembali api dengan
batu pemantik, kemudian duduk di dekat api. Beberapa ranting ditambahkan
agar nyala api lebih besar. Raden Antawirya ikut duduk di samping Pendekar
Pulau Neraka itu, sambil mengamati topeng tengkorak di tangannya.
"Sudah kuduga, dia pasti manusia biasa yang hanya mengenakan topeng," jelas
Bayu lagi setelah menghembuskan napas panjang.
'Tapi, siapa orang itu, ya...?" gumam Raden Antawirya seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
"Itulah yang harus kau selidiki, Raden."
"Aku...?!" Raden Antawirya menatap Bayu dalam-dalam.
"Siapa lagi kalau bukan kau yang menyelidiki, Raden."
"Lalu, kau sendiri...?"
Bayu tersenyum. Meskipun Raden Antawirya tidak mengemukakan secara
langsung, tapi dari nada suaranya sudah bisa dipastikan kalau bantuan
Pendekar Pulau Neraka ini sangat diharapkan. Memang, Raden Antawirya telah
menyaksikan sendiri kehebatan Pendekar Pulau Neraka. Pertama, ketika dia
bentrok dan hampir tewas kalau Bayu tidak segera menolongnya.
Dan yang kedua telah disaksikan sendiri betapa dahsyatnya pertarungan tadi.
Dari situ saja Raden Antawirya sudah bisa mengukur kemampuannya sendiri. Tak
mungkin manusia misterius itu bisa dihadapi seorang diri kalau tidak meminta
bantuan Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat ini, tidak mungkin mencari
orang lain lagi.
"Bayu, kau bersedia membantuku?" tanpa sungkan-sungkan lagi Raden Antawirya
meminta bantuan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kalau kau percaya padaku?"
"Kenapa tidak? Aku tentu menaruh kepercayaan penuh padamu, Bayu."
Bayu tersenyum, dan Raden Antawirya juga tersenyum senang. Untuk beberapa
saat lamanya mereka tidak berbicara, namun benak masing-masing terus
berputar. Memang sangat disayangkan kalau wajah di balik topeng tengkorak
itu tidak sempat terlihat. Orang itu begitu cepat melarikan diri begitu
topengnya terbebas. Bahkan Raden Antawirya sendiri belum sempat melihat
wajah aslinya.
"Bayu, kita sudah tahu kalau dia manusia biasa. Apa tidak sebaiknya kita ke
Hutan Kamiaka saja?" saran Raden Antawirya.
"Untuk apa ke sana, Raden?" tanya Bayu.
"Aku merasa adikku dan Paman Patih masih hidup, dan kini dikurung di dalam
hutan itu."
"Dan kau akan menjelajahinya?"
Raden Antawirya tidak menjawab.
"Hutan itu sangat luas, Raden. Dan tidak mungkin bisa menjelajahinya dalam
waktu singkat. Lagi pula akan memakan waktu yang tidak sedikit."
"Lalu, apa pikiranmu, Bayu?" tanya Raden Antawirya meminta pendapat.
"Aku rasa kita bisa mendapatkan orang itu di sini, Raden."
"Di sini...?!" Raden Antawirya tidak mengerti.
"Ya, di Istana Kafi Jirak."
"Kau jangan main-main, Bayu!" sentak Raden Antawirya.
"Sebaiknya kita telaah setiap kejadian yang telah berlalu, Raden. Dan
jebakanku berhasil baik. Dari situ saja sudah bisa kuduga kalau orang yang
kita maksud ada di dalam istana. Dan dia tahu kedatanganku, serta mengetahui
apa yang kukatakan pada Prabu Truna Dilaga. Dan aku yakin, orang itu juga
mengetahui kedatangan perambah hutan itu, sehingga dengan mudah bisa
membunuhnya," Bayu memaparkan jalan pikirannya.
'Teruskan, Bayu," pinta Raden Antawirya mulai tertarik
"Pertama dari ceritamu. Sudah kuduga kalau orang itu ada di dalam istana
dan mengetahui seluk beluknya dengan pasti. Itu sebabnya kenapa aku
menggunakan cara ini. Aku memang ingin membuktikan, apakah dia akan membunuh
setiap orang yang melaporkan tentang dirimu, Raden," lanjut Bayu.
"Lalu?"
"Dia bisa mengetahui siapa saja yang pergi ke Hutan Kamiaka, dan
mencegatnya di sana sebelum orang itu datang. Itu sebabnya kedatanganmu ke
sana sudah diketahuinya. Bahkan dia juga menunggu kedatangan Patih
Natabrata."
"Hm..., aku tidak mengatakan kepergianku pada siapa pun," gumam Raden
Antawirya.
'Ingat-ingatlah, Raden. Mungkin Raden lupa, atau secara tidak sadar pernah
mengucapkan sesuatu."
Raden Antawirya diam termenung.
"Ya. Aku memang pernah bilang, akan mencari adikku di Hutan Kamiaka. Tapi
aku tidak mengatakan kapan dan dengan siapa akan pergi."
"Kepada siapa Raden bicara?" tanya Bayu.
"Pada Ayahanda Prabu. Tapi di situ juga ada Ibunda Permaisuri dan Paman
Patih Natabrata. Juga ada beberapa punggawa serta prajurit."
'Terlalu banyak. Sukar mencurigai salah satunya," gumam Bayu pelan.
"Kau mencurigai salah satu dari mereka, Bayu?"
"Raden! Waktu aku datang menemui ayahanda-mu, hanya ada Prabu Truna Dilaga,
Gusti Permaisuri, dan dua orang prajurit pengawal. Tidak ada yang lain.
Tapi...."
"Tapi apa, Bayu?"
"Punggawa Dipa Praga tahu kalau Patih Natabrata pergi ke Hutan Kamiaka,
tapi tidak melaporkannya pada ayahmu."
"Aneh...," desah Raden Antawirya.
***
EMPAT
BAYU tersentak bangun dari tidurnya, dan langsung melihat Raden Antawirya
yang sudah terbangun. Bumi yang mereka pijak bergetar, disertai gemuruh
bagai terjadi gempa. Belum lagi mereka sempat berpikir, tiba-tiba saja asap
mengepul di atap pondok ini. Dan....
"Cepat keluar dari sini...!" seru Bayu begitu melihat api cepat melahap
atap pondok
Raden Antawirya langsung menyambar tudung tikar, lalu mengenakannya.
Kemudian dia melompat ke atas mengikuti Pendekar Pulau Neraka yang sudah
lebih dahulu melompat menerjang atap yang terbakar. Mereka berputar di
udara, kemudian hinggap di sebuah batang pohon yang cukup besar.
Kedua pemuda itu terkejut bukan main ketika melihat di sekeliling pondok
telah dikepung orang-orang berbaju merah dengan kepala terselubung kain
merah juga. Wajah mereka mengenakan topeng ber-bentuk tengkorak manusia.
Mereka semua menunggang kuda, berjumlah sekitar dua puluh orang.
"Itu di atas pohon! Seraaang...!" tiba-tiba salah seorang menunjuk ke atas
pohon tempat Bayu dan Raden Antawirya berada. Seketika itu juga benda-benda
bulat kecil berwarna keperakan bertebaran ke arah Bayu dan Raden Antawirya.
Sejenak kedua pemuda itu saling berpandangan, kemudian secepat kilat
berlompatan, berputaran di udara menghindari terjangan benda-benda kecil
keperakan itu.
Pohon yang mereka naiki tadi meledak dan hancur berkeping-keping tersambar
benda-benda keperakan yang dilontarkan orang orang berbaju merah dan
mengenakan topeng tengkorak itu. Bayu dan Raden Antawirya mendarat manis di
tanah, agak jauh jaraknya dari dua puluh orang bertopeng tengkorak
itu.
Tapi belum juga mereka bisa menarik napas lega, orang-orang bertopeng
tengkorak itu sudah menggebah kudanya dan menerjang kedua pemuda itu.
Terpaksa Raden Antawirya harus mencabut pedangnya, dan langsung melompat
menyongsong. Sedangkan Bayu menunggu dengan tangan terkepal erat.
"Hiya!"
"Yeaaah...!"
Pertempuran pun tak dapat dihindari tagi. Raden Antawirya mengamuk bagai
banteng terluka. Dengan pedang di tangan, pemuda itu benar-benar sangat
berbahaya bagi lawan-lawannya. Pedangnya berkelebat cepat dan sukar diduga
arahnya. Namun orang-orang bertopeng tengkorak itu rupanya memiliki tingkat
kepandaian tinggi juga. Mereka mampu mengimbangi amukan Raden Antawirya.
Bahkan tidak jarang membuat putra mahkota itu kerepotan.
Sementara Bayu hanya dengan tangan kosong saja sudah berhasil merobohkan
lima orang pengeroyoknya. Sambil bertarung, Pendekar Pulau Neraka itu selalu
memperhatikan Raden Antawirya yang kelihatannya masih kerepotan menghadapi
lawan-lawannya. Melihat posisi Raden Antawirya semakin terdesak dan
kewalahan, Bayu segera meningkatkan serangan-serangannya.
Jerit dan pekikan terdengar saling sahut, disusul robohnya orang-orang
berbaju merah yang wajahnya tertutup topeng tengkorak. Dalam waktu tidak
berapa lama saja, semua pengeroyok Pendekar Pulau Neraka sudah tergeletak
tak bernyawa lagi.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu melompat membantu Raden Antawirya.
Meskipun putra mahkota itu selalu terdesak, tapi sudah merobohkan tiga orang
lawannya. Dan terjunnya Pendekar Pulau Neraka membuat lawan-lawan semakin
porak poranda. Pukulan dan tendangan Bayu sungguh keras luar biasa, dan tak
terbendung lagi. Jerit dan pekik melengking semakin sering terdengar, dan
sebentar kemudian suasana jadi sunyi senyap.
Bayu dan Raden Antawirya berdiri tegak berdampingan, dan sama-sama
menghembuskan napas panjang sambil memandangi dua puluh mayat
bergelimpangan. Raden Antawirya membuka topeng tengkorak salah satu mayat
dengan ujung pedangnya. Tampak seraut wajah yang masih tergolong muda
tersembunyi di balik topeng tengkorak itu.
"Kau kenal dia?" tanya Bayu.
Raden Antawirya hanya menggelengkan kepalanya saja. Ujung pedangnya
kemudian menyingkap satu persatu topeng-topeng tengkorak. Tak ada satu pun
yang bisa dikenali. Mereka semua masih muda-muda, dan mungkin usianya tidak
jauh berbeda dengan putra mahkota ini. Bayu memandangi pemuda yang
mengenakan tudung tikar pandan itu. Raden Antawirya memasukkan pedangnya
kembali ke dalam sarungnya di pinggang.
"Aku tidak tahu, siapa mereka...?" desah Raden Antawirya.
"Siapa pun mereka, yang jelas maksudnya akan membunuh kita, Raden," kata
Bayu.
"Apakah mereka suruhan manusia tengkorak itu?" nada suara Raden Antawirya
seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak bisa memastikan, Raden. Hhh...! Sayang sekali, seharusnya kita
tadi membiarkan salah seorang hidup."
"Ya, kita terlalu terbawa amarah."
Kedua pemuda itu terdiam. Mereka sama-sama memandangi pondok yang sudah
hancur terbakar. Asap masih mengepul dari sisa-sisa pondok yang sudah jadi
arang. Hampir bersamaan kedua pemuda itu menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat.
"Bayu, apa tidak sebaiknya semua ini kita selidiki dari dalam istana?" usul
Raden Antawirya seraya memandang Pendekar Pulau Neraka di sampingnya.
"Tidak mungkin kita masuk ke sana, Raden," sergah Bayu. "Aku akan kembali
terang-terangan. Aku ingin tahu, ada perubahan apa di dalam istana." .
"Apakah itu tidak membahayakan diri Raden sendiri?"
"Kau pernah bilang, Bayu. Segala sesuatu selalu mengandung bahaya, tinggal
tergantung kita sendiri. Apakah mampu meredam bahaya itu ataukah pasrah
menghadapinya... ?"
Bayu tersenyum lebar. Memang hal itu pernah dikatakannya pada Raden
Antawirya, saat pemuda ini tengah putus asa akibat nyaris tewas di tangan
manusia aneh bermuka tengkorak. Cukup banyak yang dikatakan Bayu untuk
membangunkan semangat putra mahkota ini. Dan rupanya setiap kata yang
diucapkan Pendekar Pulau Neraka meresap ke dalam hatinya.
"Baiklah. Aku akan tetap menjagamu, Raden," ujar Bayu.
"Aku percaya itu, Bayu."
***
KEMUNCULAN Raden Antawirya di istana kembali, sungguh mengejutkan. Semua
orang menyangka kalau putra mahkota itu sudah tewas di Hutan Kamiaka. Ini
baru pertama kali terjadi, orang bisa selamat keluar dari Hutan Kamiaka yang
terkenal angker. Kedatangan Raden Antawirya disambut gembira. Bahkan Prabu
Truna Dilaga sendiri ingin berdua dengan putranya di dalam kamar pribadi
yang tidak seorang pun diijinkan masuk.
Terlebih lagi Raden Antawirya memang ingin bicara saja berdua bersama
ayahnya, tanpa orang lain. Malah Permaisuri Rara Kuminten tidak diijinkan
masuk ke dalam kamar khusus ini. Prabu Truna Dilaga tidak puas-puasnya
memandangi putranya, yang seakan-akan baru saja bangkit kembali dari
kematian.
"Bagaimana kau bisa keluar dari Hutan Kamiaka, Putraku?" tanya Prabu Truna
Dilaga tidak sabar lagi hendak mendengar cerita pengalaman anaknya.
"Ceritanya sangat panjang, Ayahanda Prabu. Tapi bukan itu yang hendak
ananda bicarakan," kata Raden Antawirya.
"O...," Prabu Truna Dilaga mengerutkan alisnya.
"Ada sesuatu yang lebih penting, yang hendak ananda bicarakan, Ayahanda
Prabu," jelas Raden Antawirya lagi.
"Pembicaraan apa?" tanya Prabu Truna Dilaga bertanya-tanya dalam
hati.
"Ananda mohon, Ayahanda Prabu tidak bergusar hati. Ananda memang selamat
dari Hutan Kamiaka, tapi itu bukan karena usaha ananda sendiri. Ada seorang
pendekar perkasa yang telah menyelamatkan ananda, Ayahanda Prabu."
"Oh...," desah Prabu Truna Dilaga semakin berkerut keningnya.
"Pendekar perkasa itu tentu sudah Ayahanda Prabu kenal," lanjut Raden
Antawirya.
"Siapa?" tanya Prabu Truna Dilaga.
"Dia bernama Bayu, dan pernah menemui Ayahanda Prabu di sini."
"Bayu...," gumam Prabu Truna Dilaga mencoba mengingat-ingat. "Oh, ya....
Memang pernah datang ke sini seorang pemburu muda yang bernama Bayu. Apakah
pemuda gagah itu yang kau maksudkan, Anakku?"
"Benar, Ayahanda Prabu. Bayu sengaja datang ke sini dengan satu
siasat."
"Siasat..?"
"Maksud Bayu sebenarnya baik, Ayahanda Prabu. Dan ananda yang menyetujui
siasatnya itu. Hasilnya juga sungguh mengejutkan."
"Ceritakan selengkapnya padaku," pinta Prabu Truna Dilaga semakin
tertarik.
"Sepulangnya dari sini, malamnya Bayu didatangi seseorang yang mukanya
seperti tengkorak. Ananda jelas melihatnya. Mereka kemudian .bertarung, tapi
orang itu berhasil kabur setelah Bayu melepaskan topeng tengkorak yang
dikenakannya. Dan pagi tadi, ananda dan Bayu diserang dua puluh orang
bertopeng tengkorak Kami berhasil mengalahkan mereka. Dan itu pun berkat
Bayu juga, Ayahanda Prabu," dengan singkat Raden Antawirya mengisahkan
pengalamannya bersama Pendekar Pulau Neraka.
"Hm." Teruskan, Anakku," pinta Prabu Truna Dilaga.
"Dari situ ananda yakin, kalau orang bertopeng tengkorak itu ada di dalam
istana ini, Ayahanda Prabu," lanjut Raden Antawirya.
"Bagaimana kau bisa menduga begitu, Anakku?" tanya Prabu Truna
Dilaga.
"Dari setiap kejadian yang terjadi, orang itu mengetahui persis keadaan dan
orang-orang istana. Bahkan dia tahu kalau aku, Paman Patih Natabrata pergi
ke Hutan Kamiaka."
"Kau tahu...?!" Prabu Truna Dilaga terhenyak kaget.
"Ananda memang telah tahu kepergian Paman Patih Natabrata ke Hutan Kamiaka.
Bahkan ananda dan Bayu berusaha menolong, tapi terlambat Paman Patih
Natabrata lenyap, sedangkan dua puluh prajuritnya tewas."
"Oh...," keluh Prabu Truna Dilaga langsung tertunduk kepalanya. "Maafkan
ananda, Ayahanda Prabu. Ananda terpaksa memberitahukan hal ini," ucap Raden
Antawirya.
"Tidak apa, Anakku. Lanjutkanlah, apa saja yang sudah kau ketahui?"
"Tidak banyak yang ananda ketahui, Ayahanda Prabu. Itu sebabnya ananda
pulang kembali ke istana untuk memancing tanggapan manusia bermuka tengkorak
itu."
Prabu Truna Dilaga diam membisu dengan wajah terselimut mendung. Pelahan
diangkat kepalanya, ditatapnya dalam-dalam bola mata pemuda di
depannya.
"Seharusnya kau tidak kembali ke sini, Anakku," ujar Prabu Truna Dilaga
lirih.
"Kenapa?" tanya Raden Antawirya tidak mengerti.
"Karena aku juga sebenarnya sudah berpikir ke arah itu, tapi belum punya
cukup bukti. Aku tahu siapa orang yang menculik adikmu, dan yang membuat
resah seluruh Kerajaan Kali Jirak ini...."
"Siapa orangnya, Ayahanda Prabu?" desak Raden Antawirya.
"Dewi Iblis."
"Dewi Iblis...?!" Raden Antawirya mengerutkan keningnya.
Tanpa diminta lagi, Prabu Truna Dilaga menceritakan tentang perempuan
berwajah tengkorak itu. Apa yang diceritakan kini, sama persis dengan yang
pernah diceritakan pada Patih Natabrata. Sedangkan Raden Antawirya
mendengarkan penuh perhatian. Sungguh tidak disangka kalau pada masa mudanya
dulu, ayahnya punya musuh yang sangat tangguh. Hanya saja yang masih sulit
dimengerti, apakah mungkin seseorang yang sudah mati bisa bangkit kembali
sehingga mampu melancarkan pembalasan dendam sekarang ini?
Kalau memang benar manusia bertopeng tengkorak itu adalah Dewi Iblis, itu
berarti mereka berhadapan dengan sosok makhluk halus, bukan manusia biasa.
Tapi Raden Antawirya tidak percaya dengan segala macam hantu. Dia teringat
kata-kata Pendekar Pulau Neraka yang meyakinkan dirinya kalau yang sedang
dihadapi saat ini adalah manusia biasa berkepandaian sangat tinggi.
Tapi kalau mengingat cerita ayahnya, Raden Antawirya jadi bimbang juga.
Prabu Truna Dilaga mengenali betul kalau orang itu adalah Dewi Iblis. Wanita
yang pernah menjadi musuh besar keluarga Istana Kerajaan Kali Jirak ini.
Sedangkan menurut Prabu Truna Dilaga, Dewi Iblis sudah tewas di tangan orang
tua Patih Natabrata. Rasanya sukar dipercaya kalau orang yang sudah mati
bisa bangkit lagi, dan sekarang melancarkan aksi balas dendamnya.
"Ayah, apakah Dewi Iblis mempunyai murid?" tanya Raden Antawirya, yang
tiba-tiba mendapat pikiran begitu.
"Setahuku tidak, Anakku," sahut Prabu Truna Dilaga.
"Hm.... Pasti ada orang lain yang menggunakan nama Dewi Iblis, dan ingin
meruntuhkan Kerajaan Kali Jirak ini...," gumam Raden Antawirya seperti
bicara pada dirinya sendiri.
Sedangkan Prabu Truna Dilaga hanya terdiam saja membisu. Persoalan yang
mereka hadapi sekarang semakin bertambah pelik. Mereka sadar kalau tengah
menghadapi seseorang yang sangat licin dan berbahaya. Terlebih lagi ketika
menyadari kalau orang itu berada di dalam istana ini. Memang sulit untuk
membuktikan siapa di antara sekian banyak orang yang bisa dicurigai dalam
lingkungan istana.
Hal ini bagaikan mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami. Karena semua
pembesar istana dan pengurus istana ini adalah orang-orang yang mereka
kenal, dan sudah mengabdi secara turun-temurun. Rasanya tidak mungkin salah
seorang dari mereka yang mencoba memberontak meruntuhkan kekuasaan.
Mereka terus -berbicara bertukar pikiran hingga jauh malam. Baru pada lewat
tengah malam, mereka keluar dari kamar itu dan kembali ke kamarnya
masing-masing. Di dalam kamarnya, Raden Antawirya tidak bisa memejamkan mata
sedikit pun. Pikirannya terus mengambang, melayang jauh pada semua peristiwa
yang terjadi di Kerajaan Kali Jirak ini. Dia tidak percaya kalau kejayaan
Kali Jirak akan runtuh dalam waktu dekat.
***
SEMENTARA itu di dalam kamar lain, Prabu Truna Dilaga juga belum bisa
memejamkan matanya. Pembicaraannya dengan Raden Antawirya tadi benar-benar
tidak diduga sama sekali. Hampir-hampir penguasa Kali Jirak ini tidak
percaya kalau ada musuh yang menghendaki keruntuhan kerajaan di dalam istana
ini Terlebih lagi, orang yang menghendaki itu ada hubungan dengan Dewi Iblis
yang dulu menjadi musuh besar keluarga istana.
"Kau sudah kembali, Kanda...?"
Prabu Truna Dilaga berpaling saat mendengar sapaan lembut dari arah
belakang. Tampak Permaisuri Rara Kuminten menggeliat bangkit dari
pembaringan, lalu duduk ditepinya sambil memandangi laki-laki yang telah
lama menjadi suaminya itu. Sedangkan Prabu Truna Dilaga sendiri masih tetap
berdiri di samping jendela kamar ini.
"Sudah malam, kenapa belum tidur...?" lembut sekali suara Permaisuri Rara
Kuminten.
'Tidurlah dulu, aku belum mengantuk," ujar Prabu Truna Dilaga kembali
memandang ke luar melalui jendela.
Permaisuri Rara Kuminten beranjak bangkit dari pembaringan. Dilangkahkan
kakinya menghampiri suaminya, lalu memeluk pinggang laki-laki tua itu.
Sedangkan Prabu Truna Dilaga hanya diam saja tidak memberi tanggapan.
"Ada yang kau pikirkan, Kanda?" tanya Permaisuri Rara Kuminten.
"Hhh...!" Prabu Truna Dilaga hanya menarik napas panjang saja.
"Apa yang kau bicarakan dengan Antawirya?" tanya Permaisuri Rara Kuminten
lagi.
"Tidak ada," sahut Prabu Truna Dilaga seraya melepaskan pelukan
istrinya.
Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu melangkah menghampiri
pembaringan Kemudian direbahkan tubuhnya di sana. Permaisuri Rara Kuminten
menghampirinya, lalu duduk di tepi pembaringan kembali.
Dipandanginya wajah laki-laki tua itu. Tangannya bergerak lembut memainkan
rambut di dada Prabu Truna Dilaga.
"Rasanya kau belum pernah menyimpan rahasia padaku, Kanda. Apakah
pembicaraanmu dengan Antawirya begitu penting, sehingga aku tidak boleh
tahu?" rajuk Permaisuri Rara Kuminten.
Prabu Truna Dilaga hanya diam saja. Namun matanya tidak juga mau terpejam,
meskipun terasa berat dan lelah sekali. Sementara Permaisuri Rara Kuminten
merebahkan rubuhnya di samping laki-laki tua -itu. Diletakkan kepalanya di
dada yang berbulu lebat itu.
"Kanda, Antawirya memang bukan anakku. Tapi apakah aku tidak boleh
mengetahui rahasianya? Aku menyayangi dan menganggapnya anakku sendiri,
walau aku sendiri tidak bisa memberimu seorang keturunan," pelan sekali
suara Permaisuri Rara Kuminten.
"Jangan persoalkan itu lagi, Dinda. Aku tidak suka lagi mendengar keluhanmu
tentang anak. Aku sudah cukup bahagia kau dampingi. Kaulah penyelamat
hidupku di saat aku kehilangan pegangan karena kehilangan seorang
pendamping. Ah, sudahlah.... Lupakan semua itu, Dinda."
"Bagaimana aku bisa tinggal diam saja, Kanda. Sementara kau terus gelisah
dalam ketidakmenentuan. Aku tahu, kau sangat memikirkan keselamatan Intan
Wandira yang sampai sekarang belum jelas nasibnya. Dan aku yakin kalau
kedatangan Antawjrya tidak akan mengobati kegelisahan hatimu. Sedangkan
aku...."
Prabu Truna Dilaga buru-buru menutup mulut istrinya dengan dua jari tangan,
maka kata kata Permaisuri Rara Kuminten terputus seketika. Prabu Truna
Dilaga menggeser tubuhnya, lalu duduk bersandar di pembaringan. Sedangkan
Permaisuri Rara Kuminten memandanginya, sambil duduk dengan tangan bertumpu
pada tubuh suaminya.
"Terlalu banyak yang telah kau lakukan untukku, Dinda. Dan aku tidak ingin
membebanimu dengan segala macam pikiran yang akan membuatmu susah," kata
Prabu Truna Dilaga.
"Tapi, untuk apa aku mendampingimu jika kau masih saja menyimpan rahasia,"
rungut Permaisuri Rara Kuminten.
"Ini rahasia keselamatan negeri, Dinda. Dan aku...."
"Aku bisa membantu mencari jalan keluarnya, Kanda," potong Permaisuri Rara
Kuminten cepat Prabu Truna Dilaga menarik napas panjang. Memang diakui kalau
Rara Kuminten selalu mempunyai pikiran cemerlang. Tidak sedikit buah
pikirannya terpakai untuk membantu meningkatkan kemajuan negeri. Bahkan di
kala sedang menghadapi masa sulit sekalipun, buah pikiran cemerlang wanita
ini tiba-tiba saja muncul.
"Ayolah, Kakang.... Untuk apa menyimpan rahasia jika akhirnya aku toh tahu
juga...," bujuk Permaisuri Rara Kuminten.
"Baiklah...," desah Prabu Truna Dilaga menyerah.
Laki-laki tua ini memang selalu saja tidak'kuasa menyimpan rahasia sekecil
apa pun di depan Permaisuri Rara Kuminten. Sedangkan wanita itu selalu saja
dapat membujuk sehingga membuat hati laki-laki tua ini lemah. Prabu Truna
Dilaga akhirnya menceritakan juga tentang pembicaraan bersama Raden
Antawirya. Bahkan sampai ke hal-hal yang terkecil sekalipun tuntas
diceritakannya.
Sementara Rara Kuminten mendengarkan penuh perhatian. Sepertinya setiap
kata yang diucapkan laki-laki tua ini disimak, dan ditelannya bulat-bulat.
Raut wajahnya sedikit berubah ketika Prabu Truna Dilaga mengatakan bahwa
kepulangan Raden Antawirya bermaksud menyelidiki setiap orang yang ada di
dalam istana.
Hal ini karena putra mahkota itu menduga segala yang telah terjadi
bersumber dari dalam istana sendiri. Permaisuri Rara Kuminten masih berdiam
diri meskipun Prabu Truna Dilaga telah menyelesaikan ceritanya. Bahkan untuk
beberapa lamanya mereka hanya membisu saja. Beberapa kali terdengar tarikan
napas panjang dan berat.
"Kanda..., apakah Kanda percaya pada pemuda yang bernama Bayu itu?"
Permaisuri Rara Kuminten baru membuka suara setelah cukup lama diam
membisu.
"Rasanya pemuda itu bermaksud baik, Dinda," sahut Prabu Truna Dilaga.
"Justru aku sebaliknya, Kanda. Aku malah jadi curiga. Jangan-jangan justru
dialah yang memanfaatkan Raden Antawirya. Toh kita tidak tahu siapa dirinya
yang sebenarnya. Sedangkan Raden Antawirya sendiri baru beberapa hari
mengenalnya."
"Maksudmu...?" Prabu Truna Dilaga meminta penjelasan.
"Pertolongan tidak akan selamanya tulus, Kanda. Bahkan banyak dari
pertolongan yang mengharapkan sesuatu. Bisa saja pemuda itu berpura-pura
membantu Raden Antawirya, padahal sebenarnya hendak meruntuhkan kerajaan
ini. Kau harus menyelidiki siapa dia sebenarnya, Kakang. Kalau perlu
penjarakan dia," tegas Permaisuri Rara Kuminten.
Prabu Truna Dilaga hanya diam saja. Keningnya berkerut dalam, pertanda
tengah berpikir keras. Sementara Permaisuri Rara Kuminten terus berbicara
mengemukakan pendapatnya yang sangat bertentangan dengan apa yang dikatakan
Raden Antawirya.
***
Emoticon