SATU
Brak!
“Goblok! Dungu...!”
Bentakan keras terdengar menggelegar, memecahkan kesunyian malam. Suara itu
datang dari salah satu ruangan di sebuah rumah besar dan megah yang
dikelilingi tembok batu tinggi dan kokoh. Tampak seorang laki-laki berusia
setengah baya tengah berkacak pinggang di depan empat orang laki-laki
bertubuh tinggi tegap berotot. Empat laki-laki itu duduk bersimpuh di
lantai, dengan kepala tertunduk dalam.
Sebuah meja berukir dari kayu jati, terlihat hancur di samping kaki
laki-laki setengah baya yang tubuh dan perutnya buncit seperti genderang.
Wajahnya memerah, dan sinar matanya berkilatan tajam. Jelas, dia sedang
dikuasai nafsu amarah yang membara. Untuk beberapa saat lamanya, suasana di
ruangan besar dan megah itu jadi sunyi senyap. Dan kini yang terdengar hanya
detak jantung dan dengus napas.
“Dasar gentong nasi! Kerja seperti itu saja tidak becus. Goblok...!”
kembali laki-laki gemuk itu memaki dengan suara tinggi menggelegar.
“Maafkan kami, Gusti. Kami sudah melaksanakannya dengan baik sekali.
Tapi...,” salah seorang yang duduk bersimpuh di lantai dan mengenakan baju
warna merah muda mencoba menjelaskan. Suaranya terdengar pelan dan agak
bergetar.
“Tapi apa...?!” bentak laki-laki gemuk berusia setengah baya itu.
“Ada orang lain yang ikut campur, Gusti Narata,” sahut orang berbaju merah
muda itu lagi, seraya memberikan sembah dengan merapatkan telapak tangannya
di depan hidung.
“Phuih! Alasan....”
“Kami tidak berdusta, Gusti. Orang itu berkepandaian tinggi sekali.”
“Benar, Gusti. Bahkan tujuh orang teman kami tewas di tangannya,” timpal
seorang lagi yang mengenakan baju hijau daun.
“Mengapa kalian tidak sekalian ikut mati saja, hah...?!”
Empat orang itu terdiam dan kepalanya tertunduk semakin dalam. Kata-kata
yang meluncur dari mulut laki-laki yang dipanggil Narata itu memang sangat
pedas dan menyakitkan. Namun mereka tidak berani mengangkat kepalanya.
Terlebih lagi untuk membalas tatapan mata yang memerah berapi-api itu.
“Kalian tunggu sebentar di sini,” ujar Narata.
Saat keempat orang itu memberi sembah dengan merapatkan kedua tangan di
depan hidung, Narata sudah berbalik, lalu melangkah meninggalkan ruangan
itu. Sedangkan empat orang laki-laki bertubuh tegap dan berotot itu tetap
saja duduk bersimpuh di lantai tanpa sedikit pun mengangkat kepalanya. Agak
lama juga Narata meninggalkan ruangan itu. Dan kini telah kembali lagi
sambil membawa segulungan surat yang tersimpan dalam selongsong bambu yang
terikat pita warna biru muda.
“Ke sini...!” masih terdengar kasar nada suara Narata.
“Hamba, Gusti”
Salah seorang yang mengenakan baju kuning bergegas maju mendekati.
Diberikannya sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan
hidung.
“Dengar! Kali ini kalian tidak boleh gagal,” tegas Narata, dalam sekali
nada suaranya. “Berikan surat ini langsung kepada Kanjeng Ratu Nyai Langas.
Aku tidak ingin surat ini jatuh ke tangan orang lain. Jadi harus kalian
sendiri yang menyampaikannya. Mengerti..?!”
“Mengerti, Gusti,” sahut keempat orang itu serempak. Orang yang berbaju
kuning menerima gulungan surat itu dengan penuh hormat sekali, kemudian
menyelipkan ke balik sabuk pinggangnya. Dia kembali mundur ke tempatnya
semula tanpa berdiri tegak.
“Pergilah sekarang juga,” perintah Narata.
Keempat orang itu memberikan sembah, kemudian bergerak mundur. Hampir
bersama-sama mereka bangkit berdiri, dan bergegas meninggalkan ruangan yang
besar dan megah ini. Sementara laki-laki bertubuh gemuk berperut buncit itu
meng-hempaskan tubuhnya di kursi berukir indah yang berwarna coklat muda
agak kemerahan.
“Hhh...!” terasa berat sekali hembusan napasnya. Pada saat itu datang
seorang anak muda bertubuh kurus kering. Begitu kurusnya, sehingga seperti
sosok tengkorak hidup yang terbungkus selembar kulit tipis kuning
langsat
''Kemari, Jarong. Duduklah di sini,” ujar Narata seraya memberi senyuman
pada pemuda kurus kering yang wajahnya terlihat begitu pucat. Bahkan sorot
matanya seperti redup tak bercahaya, bagai tak memiliki gairah hidup
lagi.
“Ada yang bisa kulakukan, Paman?” tanya pemuda kurus kering yang tadi
dipanggil Jarong. Pemuda kurus itu tetap saja berdiri di depan Narata,
meskipun laki-laki setengah baya bertubuh gembur itu tadi meminta untuk
duduk di sampingnya.
“Sedikit. Dan yang pasti, tidak berat bagimu,” sahut Narata.
“Katakan saja, Paman. Aku pasti akan melakukan apa saja demi Paman.”
Narata semakin tersenyum lebar. Memang, sungguh beruntung sekali mempunyai
kemenakan yang begitu setia dan selalu berada di belakangnya dalam keadaan
apa pun juga.
***
Malam terus merayap semakin larut. Hampir seluruh pelosok Kotaraja Langkat
telah diselimuti kegelapan dan kesunyian. Hanya di beberapa tempat saja
masih nampak beberapa orang yang belum terbuai di alam mimpi. Malam itu
udara terasa begitu dingin. Tampak beberapa prajurit masih berjaga-jaga di
sekitar bangunan istana yang megah dan dikelilingi tembok benteng tinggi
kokoh. Mereka terkantuk-kantuk sambil sesekali bergidik mengusir udara
dingin yang begitu menusuk sampai ke tulang.
Dalam kegelapan malam ini, tampak empat orang laki-laki tengah bergerak
cepat dan ringan sekali mendekati bangunan benteng istana yang memang dijaga
ketat. Mereka berhenti tidak jauh dari bangunan megah dan indah sebelah
Timur. Jelas sekali kalau mereka tengah mengamati keadaan sekitarnya, dengan
pandangan tajam tak berkedip.
“Tampaknya malam ini penjagaan ketat sekali,” bisik salah seorang.
“Ya, hati-hatilah. Jangan sampai ada seorang pun yang ketahuan,” sahut
seorang lagi. Juga dengan
suaranya yang pelan dan hampir tidak terdengar.
“Bagaimana? Kita bergerak sekarang?”
“Memang sebaiknya begitu.”
“Benar! Lebih cepat selesai, lebih baik.”
Empat orang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap berotot itu segera
bergerak cepat dan ringan sekali. Sedikit pun tak ada suara yang terdengar.
Menandakan kalau mereka rata-rata memiliki tingkat kepandaian yang cukup
tinggi. Ringan sekali gerakan mereka saat melompat ke atas benteng yang
tingginya sekitar dua batang tombak itu. Dan begitu kaki mereka menjejak
tembok benteng, langsung melenting turun ke dalam. Mereka terus bergerak
cepat begitu sampai di dalam benteng Istana. Namun belum juga sempat
mendekati bangunan istana yang besar dan megah itu, mendadak saja....
“Berhenti...!”
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar dan mengejutkan. Empat
laki-laki bertubuh tinggi dan tegap itu seketika tersentak kaget, dan
menghentikan larinya. Dan selagi rasa keterkejutan mereka belum hilang,
mendadak saja sebuah bayangan biru ber-kelebat cepat. Dan tahu-tahu di depan
mereka sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh kurus kering mengenakan baju
warna biru tua.
“Mau apa kalian, heh?! Menyelinap seperti maling...!” bentak laki-laki
kurus kering itu.
Empat orang laki-laki itu tidak menjawab, dan hanya saling berpandangan
sejenak. Kemudian dengan cepat sekali, mereka berlompatan mencabut golok
masing-masing.
Bet!
Wut!
“Hat..! Uts!”
Orang bertubuh kurus kering itu terkejut begitu mendapat serangan mendadak
dan tiba-tiba ini. Dan sebelum sempat melakukan sesuatu, sebilah golok
berkelebat cepat mengarah ke dadanya. Cepat-cepat tubuhnya ditarik ke
belakang, sehingga tebasan golok itu hanya lewat sedikit di depan dadanya
yang kurus, sehingga tulang-tulang bersembulan terlapis kulit.
Dan belum juga tubuhnya sempat ditarik kembali, sebuah golok mengibas dari
arah samping ke kepalanya. Bergegas laki-laki bertubuh kurus kering itu
merundukkan kepalanya sedikit. Maka golok itu pun kembali lewat di atas
kepalanya. Sebelum ada serangan lagi yang datang, laki-laki kurus kering itu
cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke udara dan berputaran beberapa kali.
Kemudian, tangannya bergerak cepat luar biasa.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Slap!
Wus…!
Seketika itu juga dari balik lipatan lengan bajunya yang longgar, melesat
benda-benda kecil sepanjang jengkal dan bersinar keperakan. Benda-benda itu
meluncur deras, cepat bagai kilat. Dan sebelum empat orang itu bisa
menyadari apa yang akan terjadi, tiba-tiba....
Creb!
“Aaakh...!”
“Wuaaa...!”
Dua jeritan melengking tinggi dan menyayat terdengar keras memecah
kesunyian malam ini. Sedangkan dua orang lagi masih bisa melompat sambil
mengibaskan goloknya beberapa kali, menghindari benda-benda berwarna
keperakan itu. Tampak dua orang sudah tergeletak tak bernyawa lagi,
tertembus beberapa bilah pisau tipis, sepanjang jengkal tangan orang
dewasa.
Sementara dua orang sisanya yang masih bisa selamat, saling berpandangan
sejenak. Kemudian salah seorang segera melesat menyerang orang bertubuh
kurus kering yang baru saja mendaratkan kakinya di tanah. Sedangkan yang
seorang lagi, bergegas melompat balik. Dengan satu gerakan ringan, dia
melesat melompati benteng istana itu. Sementara temannya terus memecahkan
perhatian orang bertubuh kurus kering itu dengan serangan-serangan yang
cepat dan dahsyat.
“Hiya...!”
“Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja satu sama lain melompat ke atas. Dan secara bersamaan,
saling menghentakkan tangan ke depan. Tak pelak lagi, dua tangan saling
beradu keras di udara. Seketika ledakan menggelegar terdengar dahsyat
memecah kesunyian malam di sekitar bangunan istana itu.
“Aaakh...!”
Terlihat satu orang terpental ke belakang sambil menjerit panjang
melengking tinggi. Sementara seorang lagi yang bertubuh kurus kering seperti
tengkorak hidup, cepat meluruk ke bawah. Dan begitu kakinya menjejak tanah,
tangannya cepat dikibaskan ke arah orang yang jatuh bergulingan di atas
tanah berumput basah oleh embun.
Wus!
Sebuah benda bercahaya keperakan melesat cepat bagai kilat dari balik
lipatan lengan baju laki-laki kurus kering itu. Dan tanpa dapat dicegah
lagi, benda itu menghunjam dalam di dada orang yang berbaju biru tua dan
bersenjata golok.
Crab!
“Aaa...!”
Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Hanya sebentar dia
masih mampu bergerak menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Laki-laki kurus kering itu segera melompat mendekati mayat-mayat yang
bergelimpangan bersimbah darah. Dia seperti mencari sesuatu pada setiap
mayat itu.
“Setan...!” dengusnya keras.
Pada saat itu, terlihat beberapa orang berseragam prajurit berlarian
berdatangan. Mereka tampak terkejut saat melihat tiga sosok mayat tergeletak
berlumuran darah. Laki-laki kurus kering itu seperti tidak menghiraukan
kedatangan para prajurit itu. Dicabutinya pisau-pisau yang tertancap di
tubuh tiga orang yang datang secara menyelinap tadi. Kemudian pisau-pisau
itu dimasukkan ke dalam lipatan lengan bajunya.
“Kalian urus mayat-mayat ini!” perintah laki-laki kurus kering itu.
“Segera, Raden...,” serempak para prajurit itu menyahut sambil
membungkukkan badan, penuh rasa hormat
Laki-laki kurus kering yang kelihatan masih muda itu bergegas melangkah.
Namun sebentar kemudian ayunan langkahnya terhenti. Kepalanya berpaling,
memandang tembok benteng, ke arah perginya seorang yang berhasil lolos
tadi.
“Hm....”
Setelah memperdengarkan suara gumaman kecil, kakinya kembali terayun
meninggalkan bagian Timur Istana Langkat ini. Ayunan kakinya begitu ringan,
sehingga tak memperdengarkan suara sedikit pun juga. Sementara prajurit yang
berjumlah sekitar dua puluh orang itu mengangkut tiga mayat yang tergeletak
dengan darah masih mengucur.
***
Pagi-pagi sekali, Narata sudah memacu cepat kudanya melintasi jalan berdebu
yang membelah Kotaraja Langkat. Belum ada seorang pun yang terlihat keluar
dari dalam rumahnya, karena matahari memang belum menampakkan dirinya.
Tanda-tanda datangnya pagi sudah nampak dari suara kokok ayam jantan dan
kicauan burung-burung, yang seakan-akan mengajak sang mentari untuk segera
bangkit dari peraduannya sepanjang malam.
Laki-laki setengah baya bertubuh gemuk itu ter-guncang-guncang di atas
punggung kuda yang berpacu cepat bagai dikejar setan. Tak sedikit pun lari
kudanya dikendurkan, meski sudah hampir mendekati gerbang Istana Langkat
yang dijaga enam orang prajurit bersenjata pedang dan tombak.
“Hm.... Tidak seperti biasanya, di sini ditempatkan enam penjaga,” gumam
Narata dalam hati. “Ada apa ya...?”
Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang itu ber-gegas membuka pintu begitu
melihat Narata di atas kudanya yang dipacu cepat menuju ke arah istana ini.
Laki-laki berperut buncit itu terus menerobos masuk tanpa mengendurkan
kecepatan lari kudanya. Enam orang prajurit penjaga segera membungkukkan
badannya saat Narata melewati pintu gerbang.
“Hooop...!”
Narata menarik tali kekang kudanya, sehingga kuda hitam belang putih itu
berhenti tepat di depan tangga istana. Dengan gerakan indah dan ringan
sekali, laki-laki gemuk berperut buncit itu melompat turun dari punggung
kudanya. Kakinya langsung melangkah cepat begitu menjejak undakan pertama
tangga istana. Dengan langkah lebar, dia meniti anak-anak tangga yang
panjang ini. Seorang laki-laki tua berlari-lari kecil menghampiri kuda
Narata, kemudian membawanya ke samping kanan bangunan istana yang megah dan
indah ini.
Sementara Narata terus berjalan dengan langkah lebar-lebar. Dua orang
prajurit di samping pintu, segera membungkuk begitu laki-laki berperut
buncit itu melintasi pintu depan istana yang selalu terbuka lebar. Hanya
malam hari saja pintu itu tertutup. Narata terus berjalan menelusuri ruangan
depan yang luas dan tertata indah.
Langsung dimasukinya bagian tengah istana ini. Di sana, beberapa orang
seperti sudah menunggunya. Tampak seorang wanita berparas cantik mengenakan
baju sutra halus yang indah berwarna biru muda, tengah duduk di sebuah kursi
berukir berwarna keemasan. Di sampingnya, berdiri enam orang gadis cantik.
Sementara, delapan orang laki-laki bertubuh kekar berjajar di
belakangnya.
Narata merapatkan kedua tangannya di depan hidung begitu berada sekitar
satu tombak di depan wanita cantik itu. Dia tetap berdiri tegak di situ.
Padahal, orang-orang yang berada sejak tadi di ruangan ini telah duduk
bersila di lantai yang beralaskan permadani bulu tebal berwarna merah
menyala. Hanya beberapa orang saja yang duduk di kursi kecil terbuat dari
ukiran kayu jati hitam.
“Mendekatlah, Kakang Narata,” lembut sekali suara wanita itu.
Narata melangkah maju, kemudian duduk di kursi yang berada di kanan agak ke
depan dari wanita cantik itu. Sikapnya terlihat angkuh, dan dadanya sedikit
dibusungkan. Sebentar dipandanginya orang-orang yang berada di dalam ruangan
ini. Dan pandangannya terpaku sejenak pada seorang pemuda bertubuh kurus
kering yang mengenakan baju biru tua. Pemuda itu duduk di kursi kecil
bersama para pembesar kerajaan lainnya.
“Ada apakah gerangan, sehingga Dinda Nyai Ratu mengumpulkan seluruh
pembesar?” tanya Narata ingin tahu. “Terus terang, aku terkejut mendapat
panggilan mendadak ini.”
“Ada sesuatu yang penting, dan harus dibicarakan segera, Kakang Narata,”
sahut wanita cantik yang ternyata memang Ratu Nyai Langas, penguasa tunggal
Kerajaan Langkat ini.
''Persoalan penting...?” Narata mengerutkan keningnya.
“Benar, Kakang. Semalam empat orang tidak dikenal mencoba memasuki istana.
Memang belum pasti tujuannya. Tapi Jarong, kemenakanmu telah mengetahuinya.
Tiga orang berhasil dibunuh. Dan seorang lagi melarikan diri,” jelas Ratu
Nyai Langas, singkat
“Hm...,” Narata hanya bergumam saja.
“Mereka masuk melewati benteng bagian Timur. Tentu kau tahu kalau itu
merupakan taman keputren pribadiku. Dan tak seorang pun boleh memasukinya,
kecuali keluarga istana,” lanjut Ratu Nyai Langas.
“Siapa mereka? Dan apa maksudnya, Dinda Ratu?” tanya Narata.
“Itulah yang aku tidak tahu, Kakang Mas Narata. Untuk itulah aku
memanggilmu ke sini, agar kau mengetahui persoalannya. Dan kuharap, kau bisa
mengetahui siapa dan apa maksud mereka menyelinap ke dalam keputren.”
Narata terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dari sudut ekor matanya,
dia sempat melirik pada pemuda kurus kering yang mengenakan baju warna biru
tua. Dan pemuda itu hanya memandang, namun sinar matanya kosong. Bahkan raut
wajahnya tanpa ekspresi sama sekali.
“Apakah Dinda Ratu menginginkan agar aku menyelidiki mereka?” tanya
Narata.
“Aku rasa itu memang sudah tugasmu, Kakang Mas Narata,” sahut Ratu Nyai
Langas.
“Secepatnya aku akan mengetahui siapa mereka. Dinda Ratu,” janji
Narata.
Ratu Nyai Langas tersenyum.
“Untuk langkah pertama, sebaiknya cari orang yang melarikan diri itu,
Kakang Mas Narata,” ujar Ratu Nyai Langas memberikan saran.
“Aku yakin Jarong bisa melakukan itu, Dinda Ratu.”
Ratu Nyai Langas menatap pemuda bertubuh kurus kering. Dan pemuda itu hanya
memberi sembah dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Kembali
Ratu Nyai Langas menatap Narata, kemudian pandangannya beredar ke
sekeliling, merayapi orang-orang yang berada di depannya. Mereka semua
memberi sembah dengan merapatkan tangan di depan hidung.
“Kuserahkan padamu untuk mengatur segala sesuatunya, Kakang Mas. Aku
merasakan ada seseorang, ataupun sekelompok orang yang menginginkan agar aku
terguling dari tahta,” duga Ratu Nyai Langas.
“Kalaupun ada, aku pasti akan cepat memberantasnya, Dinda Ratu,” ujar
Narata mantap.
Ratu Nyai Langas kembali tersenyum, dan bangkit berdiri. Pada saat itu,
semua orang menundukkan kepala seraya merapatkan kedua telapak tangan di
depan hidungnya. Sebentar wanita cantik itu mengedarkan pandangannya ke
sekeliling, kemudian melangkah pelan dan gemulai meninggalkan ruangan
ini.
Enam orang gadis dan delapan orang laki-laki pengawal pribadinya, mengikuti
dari belakang. Tak ada seorang pun yang mengangkat kepalanya, sebelum Ratu
Nyai Langas menghilang dari ruangan besar dan indah ini. Hanya Narata saja
yang tidak bersikap demikian. Laki-laki buncit itu tetap duduk tegak sambil
membusungkan dadanya, memandangi wanita itu sampai lenyap di balik
pintu.
“Jarong! Kau ikut aku,” kata Narata seraya bangkit berdiri.
Pemuda bertubuh kurus kering yang dipanggil Jarong segera bangkit berdiri.
Dia langsung berjalan begitu Narata mengayunkan kakinya meninggalkan ruangan
ini. Tak lama kemudian, mereka yang sejak tadi duduk bersimpuh di lantai
ikut bangkit berdiri, lalu meninggalkan ruangan besar itu. Hanya ada dua
orang saja yang masih tinggal dan duduk di kursi kecil. Mereka adalah dua
orang laki-laki berusia sekitar lima puluh dan tujuh puluh tahun. Beberapa
saat dua orang itu saling melemparkan pandangan. Sementara ruangan ini sudah
sunyi, tak ada seorang pun lagi selain mereka berdua.
“Hhh.... Seharusnya Kanjeng Ratu tidak mem-berikan tugas itu pada Gusti
Narata,” keluh salah seorang yang lebih tua dan mengenakan jubah putih
panjang.
“Yaaah..., akan sia-sia saja nantinya,” sambut seorang lagi yang mengenakan
baju ketat warna kuning.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Sebaiknya lihat saja dulu perkembangannya.”
“Hhh...!”
“Kita awasi terus Gusti Narata secara diam-diam, Kakang Jawala.”
“Ya. Kejadian semalam membuatku semakin curiga pada maksudnya yang
tersembunyi. Mudah-mudahan Hyang Widi selalu melindungi Kanjeng Ratu Nyai
Langas.”
Kedua laki-laki itu kemudian bangkit berdiri, dan meninggalkan ruangan ini
tanpa berkata-kata lagi. Mereka berjalan perlahan-lahan dengan bibir
terkatup rapat, namun benaknya terus bekerja keras. Entah apa yang
dipikirkan, hanya mereka berdua saja yang mengetahuinya.
***
DUA
Siang ini matahari bersinar begitu terik. Langit tampak bening. Sedikit pun
tak ada awan yang menggantung di sana. Sehingga sinar matahari begitu
leluasa membakar permukaan bumi, membuat daun-daun seperti merintih dan
rerumputan meranggas kekurangan air. Di antara siraman teriknya sang
mentari, tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan mengenakan baju
kuning gading berjalan tertatih-tatih.
“Uh! Panas sekali...,” dia mengeluh sambil menyeka keringat di wajahnya
yang bercampur debu.
Sebentar langkahnya terhenti, dan kepalanya terdongak memandang matahari di
atas sana. Kemudian kakinya kembali melangkah perlahan-lahan dan agak
terseret. Keringat semakin banyak bercucuran. Walaupun kakinya terasakan
seperti menginjak bara, namun dia terus melangkah menuju sebuah hutan yang
tidak seberapa jauh lagi.
Kembali langkahnya terhenti setelah sampai di tepi hutan itu. Sambil
menghembuskan napas panjang, laki-laki yang berusia sekitar tiga puluh tahun
itu menghempaskan tubuhnya di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Angin
yang berhembus lembut sedikit mengusir kelelahannya. Dengan punggung tangan,
disekanya keringat yang membanjiri wajah dan lehernya.
Slap!
“Heh...?!”
Mendadak saja hatinya terperanjat ketika tiba-tiba sebatang anak panah
melesat cepat ke arahnya. Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah dan
bergulingan beberapa kati. Anak panah itu menancap dalam di batang pohon.
Bergegas laki-laki berbaju kuning gading itu melompat bangkit berdiri. Namun
begitu kakinya menjejak tanah, dari balik pepohonan dan gerumbul semak
bermunculan orang-orang bersenjatakan golok terhunus. Mereka langsung
mengepung rapat, tanpa ada celah sedikit pun. Laki-laki berbaju kuning
gading itu langsung mengedarkan pandangannya berkeliling
“Hm...,” dia bergumam pelan.
Ada sepuluh orang bersenjata golok telanjang yang telah mengepung rapat.
Mereka bergerak perlahan memutari laki-laki berbaju kuning gading itu.
Golok-golok yang bergerak-gerak melintang di depan dada, berkilatan tertimpa
cahaya matahari
“He he he...!” tiba-tiba terdengar tawa terkekeh.
Laki-laki berbaju kuning gading itu memutar tubuhnya. Entah kapan dan dari
mana datangnya, tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang laki-laki kurus
kering mengenakan baju agak longgar warna biru tua. Dia berdiri di atas
sebatang pohon mati yang meng-geletak roboh di tanah.
“Jarong...,” laki-laki berbaju kuning gading itu mendesis pelan, mengenali
pemuda bertubuh kurus kering itu.
Tentu saja dia mengenali, karena sering melihat pemuda kurus kering itu.
Dia memang Jarong, kemenakan laki-laki bertubuh gembur dan berperut buncit,
kakak sepupu dari Ratu Nyai Langas yang bernama Narata.
“Tidak sukar untuk menemukanmu kembali, Bokor,” terdengar kering dan datar
sekali suara Jarang.
“Mengapa kau menggagalkan tugasku, dan membunuh teman-temanku?!” agak
lantang suara laki-laki berbaju kuning gading yang dipanggil Bokor.
“Kau tidak punya hak untuk bicara, Bokor. Bersiaplah menyusul ketiga
temanmu,” tetap dingin dan datar sekali suara Jarong.
“Huh!” dengus Bokor.
Jarong menjentikkah ujung jarinya. Maka seketika itu juga, sepuluh orang
bersenjata golok yang mengepung Bokor segera berlompatan menyerang. Melihat
hal ini Bokor segera mencabut goloknya yang terselip di pinggang. Dan
secepat itu pula, tubuhnya diputar sambil cepat mengibaskan goloknya. Namun
sebelum tubuhnya berhenti berputar, sebuah golok berkelebat cepat mengarah
ke kepalanya. Sesaat Bokor terkesiap, namun cepat sekali goloknya dikibaskan
ke atas kepala.
Tring!
Dua senjata golok beradu keras di atas kepala. Tampak orang yang menyerang
Bokor tersentak kaget. Seluruh jari-jari tangannya jadi terasa kaku, begitu
goloknya beradu dengan golok laki-laki berbaju kuning gading itu. Dan
sebelum sempat disadari apa yang terjadi pada dirinya, Bokor sudah melompat
cepat sambil mengibaskan goloknya.
“Hiyaaa...!”
Bet!
Cras!
“Aaa...!”
Orang itu menjerit keras melengking tinggi. Tebasan golok Bokor tepat
membelah dadanya. Seketika darah muncrat, bersamaan dengan tergulingnya
tubuh laki-laki bertubuh sedang itu. Dan sebelum yang lain menyadari apa
yang telah terjadi terhadap salah seorang temannya, Bokor sudah bergerak
cepat memutar tubuhnya.
Bet!
Kembali laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu mengibaskan goloknya
ke arah seorang penyerang yang berada dekat dengannya. Serangan Bokor yang
cepat dan tidak terduga sama sekali tak mungkin dapat dihindari lagi.
Crab!
“Aaa...!”
Kembali terdengar jeritan panjang dan menyayat, disusul ambruknya seorang
lagi dengan leher terpenggal hampir buntung. Darah mengucur deras dari leher
yang menganga lebar itu. Hanya sebentar tubuh orang itu mampu menggeliat dan
mengerang meregang nyawa, kemudian diam tak berkutik lagi. Mati.
“Keparat..!” geram Jarong melihat dua anak buahnya tewas begitu cepat
Sementara Bokor sudah kembali bergerak begitu cepat Tapi kali ini
orang-orang yang mengepungnya tidak lagi terpaku pada kejadian yang begitu
cepat dan menimbulkan dua nyawa melayang. Mereka segera mengambil tindakan
untuk mendesak Bokor yang mengamuk seperti kesetanan.
***
Bokor yang menyadari kalau sebenarnya orang-orang yang menyerangnya ini
memiliki tingkat kepandaian lumayan, tidak tanggung-tanggung menghadapinya
lagi. Terlebih lagi di tempat ini juga ada Jarong. Meskipun sampai sekarang
dia belum juga ikut terjun dalam pertarungan ini, tapi Bokor yakin kalau
cepat atau lambat Jarong pasti akan terjun juga. Dan ini sebenarnya yang
dicemaskannya. Bokor sadar betul kalau kemampuan yang dimilikinya tidak akan
sanggup menandingi pemuda bertubuh kurus kering itu. Namun dia tidak ingin
mati sia-sia. Sedapatnya separuh dari jumlah mereka yang mengeroyoknya
dengan ganas harus bisa dikurangi
“Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Bokor mengebutkan goloknya sambil
berputar, bertumpu pada satu kaki Gerakan yang cepat dan tak terduga ini,
tak bisa lagi dihindari dua orang yang sudah keburu melompat sambil
menghunus golok ke depan.
Bret!
Cras!
“Aaakh!”
“Aaa...!”
Dua jeritan panjang melengking tinggi terdengar saling sambut, disusul
ambruknya dua orang yang sudah keburu melompat. Darah seketika menyembur
deras dari tubuh yang terbelah tertebas golok Bokor. Belum lagi ada yang
sempat menyadari apa yang baru saja terjadi, mendadak saja tubuh Bokor
melenting ke udara. Dia memang bermaksud kabur dari tempat ini.
“Yeaaah...!”
Namun sebelum niatnya terlaksana, mendadak saja tangan kanan Jarong sudah
mengebut ke arah laki-laki berbaju kuning gading itu. Dan seketika itu pula,
dari balik lipatan lengan bajunya melesat dua buah pisau yang tipis
sepanjang jengkal. Dua pisau itu meluruk deras ke arah Bokor yang sedang
berada di udara.
“Hap!”
Cepat sekali Bokor memutar tubuhnya sambil mengibaskan golok untuk
menyampok kedua pisau itu sekaligus.
Tring!
Kedua pisau itu langsung terpental. Dan seorang yang sedikit lengah tak
bisa lagi menghindari pisau yang berbalik arah itu. Seketika terdengar
jeritan panjang melengking tinggi ketika satu pisau menancap di dada orang
itu. Sedangkan pisau satunya lagi menancap dalam di tanah.
''Yeaaah...!”
Melihat serangan pisaunya gagal, seketika Jarong melesat cepat mengejar
Bokor yang mulai mendarat turun. Sebelum Bokor sempat berlari, Jarong sudah
cepat melontarkan dua pukulan beruntun ke arahnya.
“Hup! Uts...!”
Cepat-cepat Bokor menjatuhkan diri ke tanah dan bergulingan beberapa kali.
Maka dua pukulan yang dilepaskan Jarong tidak mengenai sasaran. Namun baru
saja Bokor bisa melompat bangkit berdiri, Jarong sudah kembali menyerang
dengan kecepatan luar biasa.
“Hiyaaa...!”
Kali ini Bokor hanya bisa bertahan dan menghindar. Tapi sesekali masih juga
mampu memberi serangan balasan. Namun semua serangan balasannya tidak
berarti sama sekali. Karena sebelum mencapai sasaran, Jarong sudah membuat
serangan itu mentah. Dan tanpa dapat dicegah lagi, Bokor sudah mendapat
serangan kembali. Hanya beberapa gebrakan saja, Bokor sudah kelihatan
terdesak sekali. Dan kini setelah melewati tiga jurus, laki-laki berbaju
kuning gading itu benar-benar tidak mampu lagi balas menyerang. Dia hanya
bisa menghindar dan berkelit semampunya. Serangan-serangan yang dilancarkan
Jarong, begitu cepat dan dahsyat sekali. Hingga suatu saat...
“Jebol dadamu! Yeaaah...!”
Belum lagi teriakan itu hilang, mendadak saja Jarong melontarkan satu
tendangan keras menggeledek seraya melompat sedikit Bokor terperangah,
karena baru saja bisa menghindari satu pukulan ke arah kepala. Dan tendangan
itu memang tak mungkin dapat dihindari lagi. Namun mendadak saja....
Plak!
“Akh...!”
Jarong mendadak terpekik. Pemuda kurus kering itu terpental balik ke
belakang, lalu berputaran beberapa kali sebelum sepasang kakinya mendarat di
tanah berumput. Sungguh tidak diduga kalau tendangannya tadi seperti
membentur sebuah tembok baja yang begitu kuat Akibatnya, tulang pergelangan
kakinya serasa remuk.
“Heh...?!”
Jarong tersentak kaget ketika tahu-tahu di depan Bokor sudah berdiri
seorang pemuda berbaju kulit harimau. Bahkan Bokor pun terlongong keheranan
menyaksikan pemuda berwajah cukup tampan dengan garis-garis kekerasan dan
ketegasan membayang jelas di wajahnya itu. Tak terlihat senjata melekat di
tubuhnya, kecuali sebuah cakra di tangan kanan.
Memang, Jarong yakin betul kalau tendangannya tadi terhalang oleh pemuda
berbaju kulit harimau itu. Tapi yang membuatnya heran, sama sekali
kedatangannya tidak terlihat. Bahkan kelebatan bayangannya pun tidak
terlihat. Dan ini yang membuat pemuda kurus itu jadi keheranan. Dia yakin
kalau pemuda berbaju kulit harimau itu memiliki tingkat kepandaian
tinggi.
“Setan alas...! Siapa kau?! Berani-beraninya mencampuri urusanku!” bentak
Jarong. Suaranya kasar dan dingin sekali.
“Tidak perlu tahu siapa diriku. Yang jelas, aku paling tidak suka melihat
kecurangan!” jawab pemuda berbaju kulit harimau itu, dingin.
“Sombong...! Kau belum tahu siapa aku, heh...?!” desis Jarong geram.
“Tengkorak hidup yang bisanya main keroyok.”
“Keparat..! Serang...!”
Jarong begitu marah, sehingga seketika itu juga sisa orang-orangnya
diperintahkan untuk menyerang. Pada saat itu, dia juga bersiul nyaring.
Siulan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu menyebar ke angkasa,
terbawa angin yang bertiup lembut siang ini. Dan tak berapa lama kemudian,
dari dalam hutan itu muncul orang-orang berbaju hitam bersenjatakan tongkat
pendek kembar berwarna merah. Mereka berlompatan cepat ke arah Bokor dan
pemuda berbaju kulit harimau itu.
“Celaka...,” desis pemuda itu saat melihat puluhan orang meluruk cepat ke
arahnya.
Tak ada lagi yang bisa dilakukan, kecuali cepat-cepat menyambar tubuh
Bokor. Dan sebelum anak buah Jarong yang berseragam hitam bisa mencapainya,
secepat kilat pemuda berbaju kulit harimau itu melesat sambil membawa
Bokor.
“Setan...!” geram Jarong.
Begitu cepatnya lesatan pemuda berbaju kulit harimau itu, sehingga dalam
sekejap mata saja sudah lenyap seperti tertelan bumi saja. Hal ini membuat
mereka yang baru berdatangan jadi bengong. Sementara Jarong tidak
henti-hentinya memaki dan mengumpat geram.
***
Bruk!
“Ah...!” Bokor terpekik kecil, ketika tiba-tiba tubuhnya terbanting agak
keras ke tanah. Sambil meringis, laki-laki berbaju kuning gading itu bangkit
berdiri. Dia berdiri tepat sekitar dua langkah di depan pemuda berbaju kulit
harimau yang telah menyelamatkan nyawanya dari kematian.
“Terima kasih atas pertolonganmu yang telah menyelamatkan nyawaku. Tapi aku
yakin, setelah ini aku tidak akan lama menghirup udara segar,” ucap
Bokor.
“Sebaiknya kau pergi saja sejauh mungkin. Kalau perlu, pergi ke balik dunia
ini,” pemuda berbaju kulit harimau itu menyarankan.
“Percuma saja,” sahut Bokor seraya tersenyum.
Bokor tahu kalau saran tadi hanya sebuah gurauan saja, tapi memang
dibenarkan juga. Dia memang harus pergi jauh agar tak mungkin bisa dicapai
musuhnya seorang pun juga. Tapi itu tidak akan mungkin. Ke mana pun dirinya
pergi, pasti Jarong dan orang-orangnya bisa menemukan. Bokor sendiri tidak
mengerti, mengapa Jarong justru menjegalnya. Padahal dia sedang melaksanakan
tugas yang diberikan paman pemuda kurus kering itu. Dan baru kali ini Bokor
tahu kalau Jarong yang kelihatannya lemah, ternyata memiliki ke-pandaian
yang sangat tinggi.
Bahkan lebih tinggi dari yang didengarnya selama ini. Dan sampai di mana
tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda bertubuh kurus kering itu, Bokor
tidak tahu. Bokor meraba pinggangnya. Dan seketika itu juga keningnya
berkerut. Jari-jari tangannya menyelusup ke balik sabuk yang membelit
pinggangnya. Tapi mendadak saja dia jadi seperti kebingungan, dan wajahnya
jadi memucat. Perubahan ini menjadi perhatian pemuda berbaju kulit harimau
di depannya.
“Ada apa? Kau mencari sesuatu?” tanya pemuda berbaju kulit harimau
itu.
“Ya! Ada yang hilang,” sahut Bokor seraya memandang pemuda di depannya
ini.
“Senjatamu?”
“Bukan, tapi surat.”
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengerutkan keningnya, dan matanya agak
menyipit menatap laki-laki kekar di depannya ini. Sedangkan dengan lesu
sekali, Bokor menghempaskan tubuhnya, duduk di atas rerumputan. Di dalam
hutan yang cukup lebat ini, udara terasa sejuk. Namun, tidak sesejuk hati
dan perasaan Bokor yang jadi gelisah seketika. Terutama setelah menyadari
kalau surat yang harus disampai-kan pada Ratu Nyai Langas tidak ada lagi di
tempatnya.
“Hhh.... Gusti Narata pasti akan memenggal kepalaku...,” keluh Bokor
lirih.
“Siapa itu Gusti Narata?” tanya pemuda berbaju kulit harimau lagi.
“Majikanku,” sahut Bokor, suaranya masih terdengar pelan. “Aku harus
menyampaikan surat itu langsung pada Kanjeng Ratu Nyai Langas. Tapi sekarang
surat itu hilang. Hhh.... Aku tidak tahu lagi, apa yang harus kulakukan
sekarang.”
Bokor benar-benar kebingungan. Dia tidak bisa lagi berpikir jernih. Tidak
ada lagi keberanian dalam dirinya untuk kembali bertemu Narata. Sudah pasti
junjungannya itu akan memenggal lehernya, karena tugas yang diembannya gagal
lagi.
“Itu merupakan surat rahasia Gusti Narata, khusus untuk Kanjeng Ratu Nyai
Langas. Tidak boleh seorang pun yang boleh menerima, selain Kanjeng Ratu
Nyai Langas...,” kembali Bokor mengeluh.
“Ingat-ingat dulu, barangkali kau lupa menyimpannya,” pemuda berbaju kulit
harimau itu mencoba mengingatkan.
“Aku tidak mungkin lupa, Kisanak.... Aku....”
“Bayu,” ujar pemuda berbaju kulit harimau itu memperkenalkan namanya, saat
suara Bokor terhenti.
Pemuda itu memang bernama Bayu, yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau
Neraka. Tidak ada lagi di dunia ini pendekar tangguh dan digdaya yang
mengenakan baju dari kulit harimau, selain Pendekar Pulau Neraka. Memang
tampaknya dia tidak membawa senjata apa pun juga. Tapi di pergelangan
tangannya, melekat sebuah lempengan logam keras. Bentuknya jelas sebuah
cakra yang sisinya bergerigi, berjumlah enam buah. Cakra itulah merupakan
senjata andalannya, yang bernama Cakra Maut.
“Aku Bokor,” Bokor juga memperkenalkan namanya.
“Atau barangkali terjatuh,” duga Bayu.
“Ya..., hal itu lebih masuk akal lagi. Pasti terjatuh. Tapi di mana...?”
Bokor seperti bertanya pada diri sendiri.
“Ingat-ingat dulu, ke mana saja kau selama membawa surat itu,” saran Bayu
kembali.
Bokor terdiam dengan mata menerawang jauh ke depan. Dicobanya untuk
mengingat-ingat di mana kira-kira surat yang berada di dalam selongsong
bambu itu terjatuh. Sejak keluar dari rumah kediaman Narata, dia bersama
ketiga temannya langsung menuju Istana Langkat. Di dalam keputren istana
mereka sempat bertarung, sehingga hanya tinggal dirinya sendiri yang
selamat. Sedangkan ketiga temannya tewas di tangan Jarong. Dari istana itu,
dirinya langsung pergi hingga sampai ke tepi hutan, tempat dia mendapat
serangan dari Jarong dan orang-orangnya lagi.
Rasanya terlalu sukar bagi Bokor untuk mengetahui persis, di mana surat itu
terjatuh. Padahal diyakini betul kalau surat itu tersimpan di balik sabuk
pinggangnya. Dan sekarang, benda yang menjadi tanggung jawabnya itu sudah
lenyap. Entah berada di mana, yang jelas Bokor berharap agar surat itu tidak
jatuh ke tangan orang yang salah. Terlebih lagi Jarong, yang tidak jelas
maksudnya menyerang dan menjegalnya. Padahal, dia sedang melaksanakan tugas
dari paman pemuda kurus kering itu.
“Hhh.... Apa yang harus kulakukan sekarang...?” keluh Bokor seperti
bertanya pada dirinya sendiri.
“Kalau merasa bertanggung jawab, kau harus mencari surat itu,” Bayu
menyahuti.
“Aku memang harus menemukannya. Tapi di mana...?” lagi-lagi Bokor bertanya
tanpa ada yang bisa menjawabnya.
Dan Pendekar Pulau Neraka sendiri sudah pasti tidak bisa menjawab, karena
memang tidak tahu menahu tentang surat itu. Dia tadi hanya kebetulan lewat
saja. Kebetulan, jiwa kependekarannya tidak bisa melihat seseorang dikeroyok
tanpa dapat memberi perlawanan sedikit pun. Walaupun diakui, Bokor berhasil
merobohkan lima orang pengeroyoknya.
“Aku akan membantumu mencari surat itu,” kata Bayu menawarkan jasa.
“Terima kasih. Bukannya aku menolak, tapi ini merupakan tanggung jawabku,”
sahut Bokor seraya bangkit berdiri lagi.
“Aku merasa, saat ini kau sendirian dan pasti membutuhkan seseorang yang
bisa mengerti dan membantumu tanpa mengharapkan imbalan apa pun juga,” kata
Bayu lagi.
Bokor tidak bisa menjawab lagi. Dia tahu kalau pemuda berbaju kulit harimau
ini akan membantunya secara sukarela dan tanpa mengharapkan sesuatu imbalan
apa pun. Tak ada yang bisa dilakukannya, selain mengulurkan tangan dan
menjabat tangan Pendekar Pulau Neraka.
“Kuharap kita bisa bekerja sama,” ujar Bokor. Bayu hanya tersenyum
saja.
***
TIGA
Bokor berdiri agak berlindung di balik sebatang pohon yang cukup rindang.
Pandangannya tidak berkedip ke arah bangunan istana yang berdiri megah di
tengah-tengah Kotaraja Langkat. Di situ, tampak sesosok tubuh tengah merapat
di atap bangunan besar dan megah itu. Sosok tubuh yang memakai baju dari
kulit harimau.
“Oh...?!”
Mendadak Bokor tersentak kaget ketika pundaknya terasa ada yang menepuk
dari belakang. Dan belum sempat berpaling, mendadak saja laki-laki bertubuh
tinggi tegap itu merasakan punggungnya terhantam sesuatu dengan keras.
Diegkh!
“Akh...!”
Seketika itu juga, Bokor terpental keras ke belakang. Dia jatuh bergulingan
ke tanah beberapa kali, namun cepat bangkit berdiri. Dan belum juga bisa
berdiri tegak, tiba-tiba sebuah bayangan biru berkelebat cepat menerjang ke
arahnya.
“Uts!”
Bergegas Bokor memiringkan tubuhnya, maka bayangan biru itu lewat sedikit
di samping tubuhnya.
Namun angin sambaran bayangan itu membuat Bokor sedikit terhuyung. Bergegas
keseimbangan tubuhnya cepat dikuasai, dan secepat itu pula tubuhnya
diputar.
“Jarong..,” desis Bokor ketika melihat seorang pemuda bertubuh kurus kering
tahu-tahu berdiri sekitar dua tombak di depannya.
“Kau terlalu berani untuk masuk ke kota, Bokor,” dingin sekali suara
Jarong.
Bokor sempat melirik ke arah atap bangunan istana, dan langsung terkejut.
Ternyata di atas atap itu sedang terjadi pertarungan sengit. Tampak
seseorang berpakaian dari kulit harimau sedang bertarung sengit melawan
empat orang bersenjata pedang. Pada saat itu, beberapa orang sudah
berlompatan ke atas atap itu dan langsung mengeroyok laki-laki berbaju kulit
harimau.
“Sebaiknya kau menyerah saja, Bokor. Tidak ada gunanya melakukan perlawanan
lagi,” kata Jarong lagi, tetap dingin dan datar nada suaranya.
“Walaupun harus mati, jangan harap aku menyerah,” sahut Bokor ketus.
“Pilihlah nasibmu sendiri, Bokor. Baiklah, aku tidak akan sungkan-sungkan
lagi memenggal kepalamu...!”
Setelah berkata demikian, Jarong cepat sekali melesat menerjang laki-laki
berbaju kuning gading itu. Hanya sedikit saja Bokor memiringkan tubuhnya
maka satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Jarong
berhasil dihindarinya. Namun tanpa menarik pulang pukulannya, Jarong sudah
menghentakkan kakinya. Diberikannya satu tendangan keras menggeledek.
“Yeaaah...!”
Begkh!
“Ughk...!”
Bokor mengeluh pendek. Tendangan pemuda bertubuh kurus kering itu tak dapat
dihindari Bokor. Tak urung lagi telapak kaki yang bagaikan hanya terbalut
kulit tipis, telak sekali mendarat di perut Bokor. Akibatnya laki-laki
berbaju kuning gading itu terhuyung-huyung ke belakang.
Sret!
Bokor cepat menarik goloknya yang terselip di pinggang. Pada saat itu,
Jarong sudah cepat mengibaskan tangannya sambil melompat menerjang.
“Hiyaaa...!”
Wus!
Bet!
Begitu pisau-pisau bertebaran deras ke arah tubuhnya, Bokor cepat sekali
mengibaskan goloknya beberapa kali untuk menyampok pisau-pisau itu. Namun
pada saat yang sama, Jarong sudah menerjang cepat. Langsung diberikannya dua
pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang tak dapat terbendung lagi.
Plak!
“Akh...!” Bokor memekik keras ketika pukulan yang dilepaskan Jarong tepat
menghantam dada. Seketika itu juga Bokor terpental deras sekali ke belakang.
Dan sebelum keseimbangan tubuhnya bisa terkuasai, mendadak saja Jarong sudah
cepat mengibaskan tangannya.
Slap!
Tampak dua bilah pisau tipis sepanjang jengkal melesat cepat dari balik
lipatan lengan baju pemuda bertubuh kurus kering itu. Sementara Bokor yang
sedang terhuyung, tak mampu lagi menghindar. Dua bilah pisau menancap tepat
dan dalam sekali di dada pemuda berbaju kuning gading itu. Maka....
Crab!
“Aaa...!”
Bokor terpental ke belakang, dan dengan keras sekali terbanting di tanah.
Hanya sebentar tubuhnya mampu menggeliat sambil mengerang, kemudian diam tak
bergerak-gerak lagi. Tampak darah merembes keluar dari dada yang tertancap
dua bilah pisau.
“Ha ha ha...!” Jarong tertawa terbahak-bahak melihat buruannya kini sudah
tergeletak tak bernyawa lagi.
Pemuda bertubuh kurus kering itu menghampiri Bokor yang sudah tergeletak
tak bernyawa lagi. Diperiksa seluruh tubuh laki-laki itu. Tapi sebentar
kemudian, wajahnya seketika berubah semakin memucat bagai tak teraliri darah
lagi.
“Keparat..!” geram Jarong mendesis. “Hih!”
Keras sekali kakinya dihentakkan menendang tubuh yang sudah tak bernyawa
lagi itu. Mayat Bokor terpental cukup jauh, hingga menghantam dinding sebuah
rumah sampai jebol berantakan. Penghuni rumah itu keluar, dan langsung
berlari terbirit-birit begitu mengetahui yang menjebol dinding rumahnya
adalah sesosok mayat.
“Setan keparat..!”
Tubuh Jarong berbalik sambil memaki geram. Matanya langsung memandang ke
arah atap bangunan istana. Namun seketika itu juga jadi mendelik. Ternyata
di atas atap itu hanya terlihat beberapa sosok tubuh yang tergeletak.
Apalagi di sana tak ada pertarungan lagi.
“Hup!”
Cepat sekali pemuda bertubuh kurus kering itu melesat ke arah bangunan
istana itu. Dan Jarong tidak melewati pintu gerbang yang tertutup rapat dan
dijaga sekitar enam orang prajurit Lesatannya bagaikan kilat melompati
tembok benteng istana itu. Siang ini, keadaan sekitar istana itu memang agak
lain. Suasananya sunyi senyap. Bahkan tak seorang pun terlihat kecuali para
prajurit yang berjaga di tempat-tempat tertentu.
***
Bayu berdiri tegak memandangi gundukan tanah yang masih terlihat baru. Di
ujung gundukan tanah merah itu, terdapat sebuah batu sebagai pertanda kalau
di dalamnya terbaring jasad seseorang yang sudah menyelesaikan tugasnya di
dunia ini. Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengangkat kepalanya.
“Seharusnya aku tidak meninggalkanmu sendirian, Bokor,” pelan sekali suara
Bayu kedengarannya.
Gundukan tanah itu memang kuburan Bokor. Bayu menguburkannya di tepi hutan
tidak jauh dari perbatasan Kotaraja Langkat. Tubuh Bokor ditemukan
tergeletak tidak jauh dari tembok benteng Istana Langkat, setelah Pendekar
Pulau Neraka lolos dari kepungan di atas atap bangunan istana itu.
“Maaf. Aku tidak bisa memilihkanmu tempat yang lebih baik lagi,” ujar Bayu
lagi, tetap pelan suaranya.
“Itu sudah lebih baik, daripada dihanyutkan ke sungai....”
Bayu langsung memutar tubuhnya ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari
arah belakang. Entah kapan datangnya, tahu-tahu agak jauh di depan Pendekar
Pulau Neraka sudah berdiri seorang pemuda bertubuh kurus kering mengenakan
baju agak longgar warna biru tua. Di belakang pemuda yang perawakan tubuhnya
seperti tengkorak hidup itu berdiri empat orang bertubuh tinggi tegap. Wajah
mereka kasar, dengan mata menyorot bengis.
“Pasti kau yang membunuh Bokor,” tuduh Bayu langsung.
“Ha ha ha...,” pemuda kurus kering yang tak lain Jarong tertawa
terbahak-bahak keras sekali.
Namun suara tawa Jarong begitu kering, dan terdengar serak menyakitkan
telinga. Tanpa dijawab sekalipun, Bayu sudah tahu kalau pemuda kurus kering
bagai tengkorak hidup inilah yang telah membunuh Bokor. Dan Pendekar Pulau
Neraka pernah bertemu sekak, ketika menyelamatkan Bokor dari
keroyokannya.
“Kisanak! Aku tidak akan memperpanjang persoalan ini, jika kau suka
menyerahkan surat itu padaku,” tegas Jarong dengan suaranya yang selalu
datar dan dingin.
“Aku tidak pernah punya surat,” sahut Bayu tak kalah tegas.
“Jangan membuat kesabaranku habis, Kisanak,” desis Jarong bernada
mengancam.
“Mau habis, mau tidak, itu urusanmu,” balas Bayu tidak kalah
dinginnya.
“Sudah besar kepala rupanya kau...!”
Bayu hanya tersenyum sinis saja. Kemudian tubuhnya berputar ke kanan. Tanpa
mempedulikan geraman pemuda kurus kering itu, Bayu mengayunkan kakinya
hendak meninggalkan tempat ini.
''Keparat..! Kau meremehkan aku, heh...?!” geram Jarong jadi gusar bukan
main melihat sikap Pendekar Pulau Neraka yang sepertinya tidak memandang
sebelah mata padanya.
Namun Bayu tetap saja berjalan, tidak peduli. Dan ini semakin membuat
Jarong geram. Seketika tangan kanannya dihentakkan ke depan. Maka, dari
balik lipatan lengan bajunya melesat dua buah pisau kecil tipis sepanjang
jengkal tangan berwarna keperakan.
Wus...!
Mendengar desiran angin yang halus dari arah belakang, Bayu cepat sekali
memutar tubuh. Dan saat itu juga tangan kanannya digerakkan dengan cepat ke
depan dada.
Tap!
“Heh...!” Jarong terkejut melihat kedua senjatanya mudah sekali ditangkap
Pendekar Pulau Neraka.
Dan kini, kedua pisau tipis keperakan itu terselip di antara kedua jari
tangan Bayu. Belum lagi Jarong bisa menghilangkan keterkejutannya, mendadak
saja Bayu sudah mengibaskan tangan kanannya untuk melemparkan kedua pisau
tadi kepada pemiliknya kembali.
“Yeaaah...!”
Wus!
Kedua pisau itu meluncur lebih cepat daripada yang dilemparkan Jarong tadi.
Dan ini membuat pemuda bertubuh kurus kering itu jadi terbeliak semakin
terkejut. Namun cepat sekali, tubuhnya melenting ke udara. Maka kedua pisau
itu melesat lewat di bawah telapak kakinya. Empat orang yang berdiri di
belakang pemuda itu juga bergegas berlompatan menghindari terjangan pisau.
Mereka menjatuhkan diri di tanah dan bergulingan beberapa kali. Tepat di
saat Jarong menjejakkan kakinya kembali ke tanah, empat orang laki-laki
berwajah kasar itu sudah berlompatan bangkit berdiri.
“Kurang ajar...,” desis Jarong geram. “Serang! Bunuh keparat itu...!”
Tanpa diperintah dua kali, empat orang yang semuanya bersenjatakan golok
segera berlompatan menerjang Pendekar Pulau Neraka. Golok mereka yang
langsung tercabut seketika itu dikibaskan ke tubuh Bayu. Namun lewat gerakan
indah dan ringan sekali, tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu meliuk-liuk,
menghindari setiap serangan yang dilancarkan empat orang bersenjata golok
itu.
Sedangkan Jarong hanya memperhatikan saja jalannya pertarungan itu. Saat
memperhatikan, matanya tidak berkedip sama sekali. Sementara, empat orang
bersenjata golok itu terus mencecar hebat Pendekar Pulau Neraka. Mereka
menyerang secara bergantian dari empat arah. Dan Bayu sendiri tampaknya
masih mampu menandinginya, meskipun pada saat ini hanya berkelit dan
menghindar saja. Dan ini memang disengaja, karena ingin mengetahui dulu,
sampai di mana tingkat kepandaian empat orang pengeroyoknya ini.
“Uts! Yeaaah...!”
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka merunduk sambil memiringkan tubuh ke
kiri, ketika sebatang golok menyambar ke arah kepalanya. Dan pada saat itu,
tangan kanannya bergerak cepat mengibas ke depan.
“Yeaaah...!”
Secercah cahaya keperakan berkelebat cepat dari pergelangan tangan pemuda
berbaju kulit harimau itu. Sementara orang yang berada di depannya tidak
sempat menyadari lagi. Tahu-tahu....
Crab!
“Aaa...!”
Satu jeritan melengking dan menyayat terdengar, tepat saat orang yang
berada di depan Pendekar Pulau Neraka terpental. Tampak di lehernya
tertancap sebuah benda pipih bulat, yang sisinya bergerigi enam.
“Hap!”
Saat itu Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas, tepat begitu tubuhnya
tegak kembali. Seketika benda berbentuk cakra perak melesat keluar dari
leher yang langsung memuncratkan darah segar. Senjata maut Pendekar Pulau
Neraka langsung menempel di pergelangan tangan kanannya.
“Hup...!”
Bayu melompat keluar dari kepungan itu, di saat tiga orang yang
menyerangnya tadi tengah terpaku melihat kejadian yang begitu cepat dan
tidak terduga sama sekali. Mereka seperti tidak percaya kalau seorang
temannya kini telah tergeletak tak bernyawa. Lehernya robek mengeluarkan
darah segar. Mendadak saja Pendekar Pulau Neraka meluruk deras ke arah
Jarong. Pemuda kurus kering bagai tengkorak hidup itu menjadi terkejut bukan
main. Bergegas dia melompat ke samping ketika Bayu melontarkan dua pukulan
keras beruntun, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Glarrr!
Suara ledakan keras terdengar begitu pukulan Bayu menghantam pohon di
belakang Jarong tadi. Pohon yang cukup besar itu langsung hancur
berkeping-keping.
“Gila...!” desis Jarong terkejut begitu melihat akibat pukulan pemuda
berbaju kulit harimau yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Dan sebelum pemuda kurus kering itu bisa menghilangkan keterkejutannya,
Bayu sudah kembali melesat menerjang. Gerakan Pendekar Pulau Neraka sungguh
cepat luar biasa. Dan ini berarti tak ada lagi kesempatan buat Jarong untuk
menghindar dari serangan yang cepat dan dahsyat itu.
“Yeaaah...!”
Jarong cepat menghentakkan tangannya ke depan, menyambut pukulan yang
dilontarkan Pendekar Pulau Neraka. Tak dapat dihindari lagi, dua kekuatan
tenaga dalam yang saling bertentangan beradu keras hingga menimbulkan
ledakan keras menggelegar.
Blarrr!
Tampak kedua pemuda yang mengadu tenaga dalam itu sama-sama terpental ke
belakang. Tiga kali Bayu berputaran di udara, dan manis sekali kakinya
mendarat di tanah. Sementara itu, Jarong agak terhuyung begitu
mendarat
“Phuih!”
Jarong menyemburkan ludahnya. Dan semburan ludah itu ternyata berwarna
merah agak kental. Jarong menyadari kalau tenaga dalam yang dimilikinya
masih kalah dibandingkan lawan. Juga disadari kalau tubuhnya sedikit terluka
dalam. Ludah yang bercampur darah itu sudah menandakan kalau tubuhnya
terluka dalam, akibat benturan tenaga dalam tadi.
“Keparat..!” geram Jarong.
Pemuda bertubuh kurus kering itu menjentikkan jari tangannya. Maka mendadak
saja, dari atas pohon yang banyak tumbuh di tepi hutan ini meluncur
anak-anak panah ke arah Pendekar Pulau Neraka.
“Kadal...!” maki Bayu gusar.
Namun tak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Pulau Neraka itu. Dengan
cepat sekali, tubuhnya melenting, lalu membuat putaran beberapa kali di
udara. Sementara, tangannya bergerak cepat untuk menyampok anak panah yang
menghujani tubuhnya. Bayu harus berpelantingan di udara sambil memutar cepat
tubuhnya. Begitu kakinya menjejak tanah, kembali cepat melesat ke udara.
Hanya itu jalan satu-satunya untuk menghadapi hujan anak panah yang datang
dari segala arah ini. Namun juga disadari kalau tidak akan mungkin bisa
bertahan lama. Cara seperti ini menguras tenaga terlalu banyak.
“Hiyaaa...!”
Cepat Bayu menjatuhkan tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan mendekati tubuh
yang tergeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan panah-panah itu terus
berdesingan di sekitar tubuhnya.
“Hap!”
Cepat Bayu melenting bangkit setelah bisa menyambar golok yang tergeletak
tidak jauh dari mayat laki-laki itu. Dan dengan golok ini, setiap anak panah
yang datang mengancam tubuh dibabatnya. Kini Bayu tidak perlu lagi menguras
tenaga terlalu banyak. Dengan sedikit kelincahan kaki, dan gerakan tangan
yang cepat, serangan panah-panah itu berhasil dipatahkan.
“Seraaang...!” tiba-tiba saja Jarong berteriak keras memberi
perintah.
Dan seketika itu juga, dari atas pepohonan dan dari balik semak belukar
berlompatan manusia-manusia berbaju hitam bersenjata tombak pendek kembar
berwarna merah. Mereka seperti berlomba, langsung meluruk ke arah Pendekar
Pulau Neraka.
“Monyet celaka...!” geram Bayu mendesis.
Tak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Pulau Neraka untuk bisa menghindar.
Karena sebelum sempat berpikir, dari samping kanan dan kirinya sudah datang
serangan orang-orang berbaju hitam. Mereka langsung menusuk dan mengibaskan
tongkat pendeknya cepat sekali.
Wut!
“Hap...!”
Bayu tak mempunyai pilihan lain lagi. Segera dia bergerak menyambut
serangan yang datang dari segala arah itu secara beruntun dan cepat sekali.
Dengan mengandalkan kelincahan gerak kaki dan ketinggian pengerahan tenaga
dalam, Pendekar Pulau Neraka langsung mengamuk dan menghajar siapa saja yang
dekat dari jangkauannya.
Sebentar saja sudah terdengar jerit dan pekikan keras melengking tinggi,
disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh tak bernyawa lagi. Pukulan yang
dilepaskan Bayu, memang dahsyat sekali, karena disertai pengerahan tenaga
dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Namun, jumlah mereka semakin bertambah banyak saja. Dan tentu saja ruang
gerak Pendekar Pulau Neraka semakin terbatas. Rasanya sukar sekali untuk
bisa keluar dari keroyokan ini. Meskipun dirinya seorang pendekar digdaya
yang berkepandaian tinggi, tapi tetap saja kodratnya hanyalah manusia biasa
yang memiliki keterbatasan. Dan ini sangat disadarinya. Tidak mungkin mereka
semua yang jumlahnya seperti satu pasukan prajurit bisa dikalahkan.
“Huh! Bisa habis napasku kalau begini terus,” dengus Bayu dalam hati.
Di saat Pendekar Pulau Neraka sedang berpikir keras sambil terus menghalau
serangan, mendadak keroyokan orang-orang berpakaian serba hitam itu jadi
terpecah belah. Ini karena tiba-tiba saja sepasukan prajurit Kerajaan
Langkat telah datang dan langsung menyerang para pengeroyok Bayu. Seketika
terdengar jeritan-jeritan diselingi denting senjata beradu. Saat itu Bayu
memiliki sedikit kesempatan untuk bisa keluar dari kepungan ini. Kesempatan
itu tidak disia-siakannya. Dengan cepat sekali, Pendekar Pulau Neraka
melentingkan tubuhnya ke udara dan ber-putaran beberapa kali.
“Hap!”
Begitu kakinya mendarat di batang pohon, dia segera bersiap melepaskan
senjata Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan. Namun
mendadak saja niatnya diurungkan.
“Lari...!” tiba-tiba terdengar teriakan memberi perintah.
Seketika itu juga, orang-orang berpakaian serba hitam berlompatan cepat,
masuk ke dalam hutan. Gerakan mereka memang cepat sekali. Maka dalam waktu
sebentar saja, tempat ini sudah ditinggalkan. Bayu yang berada di atas pohon
jadi tercenung melihat orang-orang berpakaian prajurit berada di tempat itu,
di antara mayat-mayat yang bergelimpangan.
“Hup...!” Bayu melompat turun dari atas pohon.
Prajurit-prajurit itu terkejut, dan langsung bergerak mengepung. Namun
seorang laki-laki berjubah putih yang membawa tombak pendek bermatakan
keemasan, merentangkan tangannya lebar-lebar. Di sampingnya berdiri seorang
laki-laki lain yang mengenakan baju warna kuning ketat, membawa cambuk hitam
berduri halus.
“Siapa kau. Anak Muda?” tanya laki-laki tua berjubah putih itu.
“Bayu,” sahut Bayu memperkenalkan namanya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya orang tua berjubah putih itu
lagi.
“Hm.... Mungkin Kisanak tidak melihat kalau aku yang tadi dikeroyok
mereka,” sahut Bayu.
“Oh, maaf. Tapi mengapa kau sampai bentrok dengan mereka?”
“Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja mereka muncul dan menyerangku.”
Laki-laki tua berjubah putih panjang itu menganggukkan kepalanya beberapa
kali. Dia kemudian berpaling, memandang laki-laki berbaju kuning ketat di
samping kanannya agak ke belakang sedikit Yang dipandang juga menganggukkan
kepalanya sedikit.
“Kau tahu siapa mereka itu tadi?” tanya laki-laki tua itu lagi.
Bayu hanya menggelengkan kepalanya saja. Pendekar Pulau Neraka memang tidak
tahu tentang sekelompok orang berseragam hitam yang menyerangnya tadi,
setelah mendapatkan isyarat dari pemuda bertubuh kurus kering. Untuk
beberapa saat lamanya, tak ada yang membuka suara. Sementara itu orang-orang
yang mengenakan seragam prajurit, sudah sibuk mengumpulkan mayat yang
bergelimpangan berlumur darah.
***
EMPAT
“Siapa mereka itu, Paman?” tanya Bayu.
“Mereka kaum pemberontak yang menguasai hutan ini,” jelas Jawala.
“Pemberontak...?” Bayu mengerutkan keningnya.
“Benar! Sudah lama kami ingin menumpas, tapi mereka begitu menguasai hutan
ini. Dan sukar sekali untuk mengejarnya jika mereka sudah memasuki hutan
ini, Anak Muda,” timpal Rahseta menjelaskan.
Bayu terdiam dengan kepala berkerut dalam. Sebentar dipandanginya kedua
laki-laki tua itu, kemudian beralih pada mayat-mayat yang bergelimpangan.
Benaknya seketika dipenuhi berbagai macam pikiran dan dugaan. Pandangan Bayu
beralih pada kuburan Bokor.
“Makam siapa itu?” tanya Jawala.
“Bokor,” sahut Bayu.
“Temanmu?” tanya Jawala lagi.
“Bisa dikatakan begitu, kami baru kenal beberapa hari saja,” jelas Bayu
singkat. “Dia tewas dibunuh oleh pemimpinnya di Kotaraja Langkat. Apakah
paman berdua mengenalinya?”
Jawala dan Rahseta tidak langsung menjawab, namun hanya saling berpandangan
sejenak, kemudian sama-sama menggeleng. Bayu yang semula berharap kalau
kedua laki-laki tua itu mengetahui tentang Bokor, ternyata jadi sedikit
kecewa. Tapi Pendekar Pulau Neraka sepertinya tidak percaya. Jawala dan
Rahseta adalah orang penting di Kerajaan Langkat.
Sedangkan Bokor pernah bercerita kalau beberapa orang penting sedang
merencanakan satu pemberontakan untuk menggulingkan ke-kuasaan Ratu Nyai
Langas. Dan Bokor sendiri mengakui kalau dirinya bekerja untuk salah satu
orang penting yang bebas keluar masuk di dalam istana itu. Tapi, kedua
laki-laki tua ini tidak mengenal Bokor. Dan ini membuat Bayu semakin
bertanya-tanya dalam benaknya.
“Anak muda. Tampaknya, kau punya urusan dengan mereka itu. Jika tidak
berkeberatan, sebaiknya kau bergabung bersama kami untuk menumpas mereka,”
ajak Jawala.
“Terima kasih. Sebenarnya....”
“Kau tidak perlu khawatir, Anak Muda,” potong Jawala cepat. “Jika kau
bersedia, kami akan mengusahakan kedudukan penting di istana nanti. Tapi kau
jika tidak menghendaki, dan tidak ingin keterikatan, kami juga tidak
memaksa.”
Bayu terdiam membisu, dan matanya kembali memandang pusara Bokor. Pendekar
Pulau Neraka masih terdiam membisu, dengan kening sedikit berkerut. Memang
tidak ada salahnya jika ikut bersama kedua laki-laki tua ini. Barangkali
saja bisa mendapatkan suatu petunjuk penting. Persoalan ini memang bukan
urusannya, tapi Bayu sudah telanjur masuk.
Kalau toh Pendekar Pulau Neraka itu tidak ingin melanjutkan lagi, pasti
pemuda bertubuh kurus kering dan orang-orang berbaju serba hitam itu akan
mencarinya. Bayu seketika teringat akan pengakuan Bokor. Katanya dia sedang
melaksanakan tugas dari junjungannya untuk menyampaikan sebuah surat
penting. Dan Bokor juga mengatakan kalau beberapa pembesar kerajaan,
bermaksud memberontak.
“Baiklah. Aku memang ingin membalas kematian temanku ini,” ujar Bayu
beralasan menerima tawaran itu setelah memikirkannya cukup lama juga.
“Kalau begitu, sebaiknya kita kembali saja dulu ke kota,” sambut Jawala
senang atas kesediaan Pendekar Pulau Neraka yang menerima tawarannya.
Tak berapa lama kemudian, mereka berangkat menuju Kotaraja Kerajaan Langkat
Jawala memberi pinjaman kuda dari prajurit yang tewas kepada Pendekar Pulau
Neraka itu. Bayu yang memang tidak menyukai kuda sebenarnya ingin menolak,
tapi tidak ingin mengecewakan orang-orang yang baru dikenalnya. Dengan
perasaan terpaksa, Pendekar Pulau Neraka menunggang kuda bersama yang
lainnya.
***
Bayu mengatakan apa yang diketahuinya dari Bokor semasa hidupnya, setelah
diyakini kalau Jawala dan Rahseta berada di jalan yang benar. Sedangkan dua
orang tua itu juga mengatakan segalanya yang diketahui. Namun setelah saling
menukar cerita, belum juga ditemukan satu titik terang yang diinginkan.
Jawala dan Rahseta jadi tercenung setelah mendengar cerita Pendekar Pulau
Neraka. Katanya, Bokor sebenarnya hendak menyerahkan sesuatu berupa selembar
surat yang tersimpan dalam selongsong bambu. Yang membuat mereka tercenung,
ternyata surat itu khusus untuk Ratu Nyai Langas.
“Apakah dia mengatakan tentang isi surat itu, Bayu?” tanya Jawala.
“Sayang sekali, dia tidak tahu,” sahut Bayu.
“Lalu, siapa yang memerintahkannya?” kini Rahseta yang bertanya.
“Itu juga tidak dikatakannya. Bokor hanya mengatakan kalau dirinya bekerja
untuk salah seorang pembesar di istana ini Maaf, aku tidak bertanya lebih
banyak lagi. Saat itu aku sendiri semula tidak ingin ikut campur. Aku hanya
menolongnya saja ketika dia dikeroyok,” Bayu mencoba menutupi cerita yang
pernah didengarnya dari Bokor. Pendekar Pulau Neraka ini masih merasa belum
perlu menceritakan perihal yang sesungguhnya. Sebab Bayu masih belum
menemukan bukti-bukti yang kuat untuk mendukung kebenaran cerita
Bokor.
“Hm..., persoalan ini memang masih gelap. Tapi dari ciri-ciri yang kau
sebutkan tentang pemimpin pengeroyok itu, aku yakin kalau pemuda itu adalah
Jarong,” tebak Jawala, agak bergumam nada suaranya.
“Jarong...? Siapa itu?” tanya Bayu.
''Pemuda kurus yang kau ceritakan tadi, Bayu,'' sahut Jawala.
“Apakah dia orang dalam istana ini juga?” tanya Bayu lagi.
“Dia kemenakan Narata, kakak sepupu Kanjeng Ratu Nyai Langas,” jelas
Jawala. “Terus terang, aku dan Rayi Rahseta memang mencurigai Narata.
Terlebih lagi, asal-usul Jarong yang sebenarnya tidak jelas. Baru tiga bulan
dia berada di sini. Dan itu bertepatan dengan munculnya kelompok pemberontak
yang bersarang di Hutan Landaka.”
“Benar, Bayu,” sambung Rahseta. “Kami memang tidak tahu, dari mana asalnya
kemenakan Gusti Narata itu. Sedangkan yang kami ketahui, Gusti Narata tidak
mempunyai istri, apalagi anak. Saudara satu-satunya hanyalah Kanjeng Ratu
Nyai Langas.”
“Apa selama ini tidak ada yang menyelidiki tentang asal-usulnya?” tanya
Bayu lagi.
“Tidak ada yang diperbolehkan menyelidiki asal-usul seseorang yang diakui
sebagai anggota keluarga istana. Itu merupakan larangan yang tidak bisa
ditawar lagi, Bayu. Sangat besar hukumannya jika dilanggar,” sahut Rahseta
menjelaskan.
Bayu terdiam beberapa saat. Sementara, kedua laki-laki tua itu juga tidak
berbicara lagi. Dari raut wajah, jelas sekali kalau mereka sedang memikirkan
sesuatu. Entah apa yang dipikirkan saat ini, hanya mereka sendiri yang tahu.
Dan Pendekar Pulau Neraka merasakan kalau dirinya tidak akan mungkin lagi
bisa keluar dari masalah ini. Secara tidak sengaja, Bokor telah menyeretnya.
Dan itu juga karena Bayu tidak bisa melihat kecurangan berlangsung di depan
matanya.
Kalau saja Pendekar Pulau Neraka itu tidak menolong Bokor saat itu, sudah
pasti tidak akan terlibat dalam kemelut yang melibatkan orang-orang berdarah
biru ini. Ya..., suatu gerhana telah terjadi di lingkungan Istana Langkat.
Gerhana darah biru yang melibatkan orang-orang bangsawan dan pembesar serta
anggota keluarga istana. Apakah Pendekar Pulau Neraka akan terperosok
semakin dalam di dalam kemelut ini..?
***
Bayu tertegun di ambang pintu kediaman Jawala. Kakinya tidak jadi melangkah
keluar ketika melihat seorang pemuda bertubuh kurus sedang berbicara dengan
Jawala dan Rahseta di halaman depan rumah besar ini. Pada saat yang sama
pemuda kurus kering itu melihat ke arah Bayu. Tampak sekali kalau dia
terkejut melihat Bayu baru keluar dari dalam rumah Jawala.
“Bayu...,” Jawala memanggil Pendekar Pulau Neraka dengan lambaian
tangannya.
Bayu melangkah menghampiri, kemudian berhenti setelah tiba di samping
Jawala yang dipanggilnya dengan sebutan paman. Pandangan Pendekar Pulau
Neraka itu tidak berkedip ke arah pemuda kurus kering dan berwajah pucat di
depannya. Saat itu juga, pemuda kurus kering itu menatap tajam Pendekar
Pulau Neraka.
“Bayu. Kenalkan, ini Jarong. Kemenakan Gusti Narata,” Jawala
memperkenalkan.
“Aku sudah pernah bertemu dengannya,” ujar Jarong. Suaranya dingin dan
datar.
“Oh..., benarkah?” tampak Jawala terkejut
Bayu sempat melirik laki-laki tua berjubah putih itu. Tampak kalau sinar
mata Jawala tidak terkejut seperti nada suaranya tadi. Dan Pendekar Pulau
Neraka tahu kalau Jawala hanya berpura-pura saja.
“Di mana kalian bertemu?” tanya Jawala.
Sementara Rahseta yang berada di samping kiri Jawala, hanya diam saja tanpa
membuka suara sedikit pun. Namun tatapan matanya selalu berganti-ganti dari
Bayu kemudian kepada Jarong. Dia seperti hendak mengetahui sikap kedua
pemuda itu.
“Ada hubungan apa antara dia dan Paman?” tanya Jarong, jelas penuh selidik
dan penuh kecurigaan.
“O.... Bayu ini kemenakanku. Dia baru datang dari Kadipaten Pantur,” jelas
Jawala.
“Hm...,” Jarong hanya bergumam saja, dan tampaknya tidak percaya penjelasan
Jawala yang singkat itu.
Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri, namun suasana begitu kaku.
Yang jelas, penuh dengan kecurigaan dan segala macam perasaan dan
ketegangan. Hal ini bisa dirasakan dari sorot mata yang selalu tajam
mengandung pancaran kecurigaan mendalam.
“Aku permisi dulu, Paman,” pamit Jarong. Sebelum Jawala menyahuti, Jarong
sudah memutar tubuhnya. Dan dengan gerakan ringan sekali, pemuda kurus
kering berwajah pucat itu melompat naik ke punggung kudanya. Secepat itu
pula kuda hitam dengan kaki belang putih itu digebahnya. Sementara Jawala,
Rahseta, dan Bayu masih berdiri memandangi sampai pemuda kurus kering itu
tidak terlihat lagi.
“Kelihatannya dia tidak percaya, Kakang,” ujar Rahseta dengan suara sedikit
bergumam.
“Biarlah. Toh, kalau dia berbuat macam-macam, kita juga bisa membalikkan
asal-usulnya,” sahut Jawala kalem.
Tanpa bicara lagi, mereka kemudian masuk ke rumah yang cukup besar dan
indah ini. Rumah kediaman Paman Jawala yang dikelilingi pagar tembok cukup
tinggi dan tebal, seperti rumah-rumah pembesar lainnya. Beberapa orang
berseragam prajurit terlihat berjaga-jaga di tempat-tempat yang telah
ditentukan.
Ketiga orang itu kemudian duduk menghadapi sebuah meja bundar beralaskan
batu pualam putih yang licin dan berkilat di ruangan depan. Sampai saat ini
masih belum ada yang membuka suara. Pertemuan Bayu dengan Jarong tadi memang
membuat suasana jadi terasa kaku. Baik Jawala maupun Rahseta sudah bisa
merasakan akan terjadi sesuatu setelah hari ini. Hanya saja sulit untuk
dipastikan, kejadian apa yang akan menimpa mereka berdua.
***
“Oaaah...!”
Bayu membuka mulutnya lebar-lebar seraya menggeliatkan tubuhnya. Suara
bergemeretak ter-dengar dari seluruh tubuh Pendekar Pulau Neraka itu. Saat
ini, malam sudah demikian larut Suasana di dalam rumah kediaman Jawala ini
sudah terasa sunyi sekali. Sebagian penghuninya sudah sejak tadi terlelap
dalam buaian mimpi. Namun di dalam salah satu kamar, mata Pendekar Pulau
Neraka belum juga bisa terpejam.
Pikiran pemuda itu masih terus dipenuhi kejadian siang tadi. Sungguh tidak
disangka kalau pemimpin orang-orang berbaju serba hitam ternyata kemenakan
kakak sepupu Ratu Nyai Langas sendiri. Bahkan mereka sudah dikenal sebagai
satu kelompok orang yang merasa tidak puas pada Ratu Nyai Langas. Dan mereka
sudah beberapa kati mencoba menggulingkan tahta, namun selama ini selalu
gagal. Dan sekarang gerakan mereka dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
“Huuuh...! Rasanya malam ini lain sekali,” desah Bayu agak mengeluh.
Kembali Pendekar Pulau Neraka menguap lebar. Kantuk yang menyerang kelopak
matanya terasa amat berat Namun, Bayu belum juga mau jatuh tidur. Seluruh
tubuhnya terasa penat sekali. Dia ingin sekali beristirahat tenang dalam
kamar yang cukup besar dan tertata apik ini.
Bet!
Bet!
Bayu menggerak-gerakkan tangannya, membuat beberapa persiapan. Kemudian dia
duduk bersila di atas pembaringan. Kedua telapak tangannya menempel di lutut
yang tertekuk. Sebentar napasnya ditarik dalam-dalam. Pemuda berbaju kulit
harimau itu sejenak ingin melemaskan otot-otot dan urat syarafnya yang
terasa menegang.
Namun, saat matanya hendak dipejamkan untuk bersemadi, mendadak saja
telinganya yang terlatih mendengar desiran yang begitu halus.
“Hup!”
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melesat turun dari pembaringan. Pada
saat itu, terlihat seberkas cahaya keperakan melesat masuk dari celah-celah
jendela, dan langsung menghantam pembaringan. Padahal, tadi Bayu duduk
bersila di sana. Sekilas Pendekar Pulau Neraka melirik.
“Hm...” Bayu hanya menggumam kecil saja. Di atas pembaringan beralaskan
kain merah muda itu, jelas tertancap sebilah pisau kecil tipis sepanjang
jengkal. Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka melompat mendekati jendela.
Dan begitu jendela kamar ini dibuka, mendadak saja secercah cahaya keperakan
kembali meluruk deras ke arahnya.
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melompat. Tubuhnya kemudian melenting
dan berputar ke belakang. Cahaya keperakan yang memang berupa sebilah pisau
kecil tipis itu, lewat sedikit di bawah tubuhnya. Dan tepat saat pisau itu
menancap di dinding, kaki Bayu menjejak lantai.
Hanya sekali saja tubuhnya digenjot, dan secepat kilat, Pendekar Pulau
Neraka melesat ke luar. Begitu kakinya menjejak tanah berumput halus,
seketika itu juga empat buah bayangan hitam berkelebatan cepat meluruk deras
ke arahnya. Dan sebelum Bayu bisa menyadari, mendadak saja empat buah cahaya
keperakan berkelebat cepat mengarah ke tubuhnya.
“Yeaaah...!”
Bergegas tubuh Pendekar Pulau Neraka berputar sambil melesat ke udara.
Sinar keperakan yang berasal dari empat senjata golok, lewat di bawah
telapak kaki pemuda berbaju kulit harimau ini. Dan pada saat itu, cepat
sekali Bayu memutar tubuhnya, hingga kepala berada di bawah dan kaki lurus
ke atas.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Pulau Neraka mengibaskan kedua
tangannya beberapa kali dengan kecepatan bagaikan kilat. Kemudian tubuhnya
kembari melenting ke udara, dan mendarat manis sekali di tanah
berumput
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu di tangan Pendekar Pulau Neraka itu
sudah tergenggam empat bilah golok yang cukup besar bercahaya keperakan
tersiram cahaya rembulan. Tampak tidak jauh di depan Bayu, berdiri empat
orang berbaju serba hitam. Nampaknya, semuanya anak-anak muda yang mungkin
baru berusia sekitar dua puluh tahun. Mereka tampak terkejut setelah melihat
orang yang diserangnya tahu-tahu sudah merampas senjata mereka semua.
“Siapa kalian?!” tanya Bayu dengan suara tegas dan datar.
Tapi empat orang pemuda berbaju hitam itu, tidak menjawab sama sekali.
Bahkan mencabut sepasang senjata yang terselip di pinggang, berupa sepasang
tongkat pendek sepanjang tiga jengkal berwarna merah menyala. Dan sebelum
Bayu sempat bertanya lagi, tiga orang serentak berlompatan mengepung
Pendekar Pulau Neraka dari empat jurusan.
“Hm...,” Bayu hanya menggumam saja. Perlahan tubuhnya memutar, dan
pandangannya berkeliling merayapi empat pemuda berbaju hitam bersenjata
sepasang tongkat merah yang digerak-gerakkan di depan dada. Dari desiran
angin akibat gerakan tongkat itu, Bayu sudah bisa menduga kalau keempat
orang berbaju serba hitam ini memiliki tingkat kepandaian lumayan.
“Hm..., apa yang kalian kerjakan di tempat ini?” kembali Bayu membuka
mulutnya bertanya.
Namun tetap saja tidak ada sahutan sama sekali. Bahkan, mendadak saja empat
orang anak muda berbaju serba hitam itu melesat cepat secara bersamaan untuk
menerjang Bayu.
“Yeaaah...!”
Emoticon