1
"Ayaaah...! Tolong...!"
Jeritan nyaring melengking, dan berasal
dari sesosok tubuh ramping yang berada di pon-
dongan sosok kekar berpakaian hitam, menguak
keheningan siang. Tubuh wanita itu menggeliat-
geliat dalam pelukan tangan kanan sosok berpa-
"Penjahat-penjahat keji! Jangan harap ka-
lian dapat lolos dari tanganku!" sebuah suara ke-
ras dan parau bernada kemarahan, menimpali te-
riakan wanita berpakaian merah itu.
Pemilik suara kedua ini ternyata seorang
lelaki berusia sekitar lima puluh tahun bertubuh
tinggi kurus dan berkumis melintang. Dia berlari
cepat mengejar sosok hitam yang membawa ka-
bur putrinya. Sebuah golok pendek berwarna hi-
tam mengkilat tergenggam di tangan kanannya.
Lelaki berpakaian coklat tua itu ternyata
memiliki kecepatan lari berada di atas sosok hi-
tam yang dikejarnya. Jarak antara mereka yang
semula cukup jauh, semakin lama semakin dekat.
Namun ketika jarak mereka tinggal sekitar sepu-
luh tombak, kawan-kawan sosok berpakaian hi-
tam membalikkan tubuh, menghadang di depan-
nya. Hal ini membuat lelaki berkumis melintang
tidak bisa melanjutkan pengejarannya.
"Tua bangka dungu! Rupanya kau sudah
kepingin masuk lubang kubur, heh?!" seru sosok
berpakaian serba hitam yang bertubuh pendek
kekar. Tangan kanannya bergerak, dan tahu-tahu
di dalam genggamannya telah tercekal sebuah pi-
sau pendek berwarna putih mengkilat. Tiga sosok
hitam lainnya pun melakukan hal yang sama.
"Kalianlah yang akan kukirim ke akherat!"
Berbareng keluarnya ucapan itu, lelaki berkumis
melintang menubruk maju. Golok hitam di tan-
gannya diputar laksana kitiran di atas kepala se-
belum diluncurkan ke arah kepala sosok hitam
yang bertubuh pendek kekar.
Trangng!
Bunga-bunga api berpercikan ke udara ke-
tika sosok hitam pendek kekar mengayunkan pi-
sau di tangan memapak serangan itu. Akibatnya,
tubuh sosok pendek kekar terhuyung-huyung
dua langkah ke belakang, sedangkan lelaki ber-
kumis melintang hanya tergetar tubuhnya.
Lelaki berpakaian coklat itu tidak menyia-
nyiakan kesempatan. Goloknya kembali meluncur
deras untuk menghabisi nyawa lawan yang belum
sempat memperbaiki kedudukan. Namun niatnya
tak menjadi kenyataan, karena tiga sosok berpa-
kaian serba hitam yang juga berwajah dan bersi-
kap kasar seperti sosok pendek kekar, serentak
menyambuti serangan lawan. Mau tidak mau le-
laki tinggi kurus itu membatalkan serangan dan
memutar goloknya untuk menghadapi serangan
tiga pisau yang meluncur ke arahnya. Pertarun-
gan pun segera terjadi.
Lelaki berpakaian coklat yang terus diliputi
kecemasan terhadap keselamatan putrinya itu
bertarung kalap seperti binatang buas terluka.
Dengan ganas goloknya berkelebatan mencari-cari
sasaran. Dia ingin secepatnya mengakhiri perta-
rungan itu. Tapi maksudnya tetap tidak kesam-
paian. Tiga orang lawannya terlalu kuat untuk di-
hadapi, betapapun telah dikerahkan seluruh ke-
mampuan, dia tidak mampu mendesak. Malah
keadaannya yang kian lama kian terhimpit. Apa-
lagi ketika lelaki pendek kekar ikut campur dalam
pertarungan. Lelaki tinggi kurus ini terus terde-
sak dan hanya mampu bermain mundur.
Tak sampai sepuluh jurus, ujung pisau sa-
lah seorang lawan telah membabat goloknya hing-
ga terpental jauh. Dan sebelum lelaki berkumis
melintang ini bertindak untuk menghindar, tiga
batang pisau yang lain secara hampir bersamaan
membabat tubuhnya. Seketika mulutnya menge-
luarkan jeritan menyayat hati ketika senjata-
senjata lawan menjarah sekujur tubuhnya. Lelaki
berpakaian coklat itu ambruk berlumuran darah.
Tanpa mempedulikan mayat lelaki tinggi
kurus, empat lelaki berpakaian serba hitam itu
segera melesat meninggalkannya. Mereka berlari
menyusul rekan mereka yang memondong wanita
berpakaian merah muda.
Langkah keempat lelaki berpakaian hitam
ini semakin dipercepat ketika melihat rekan me-
reka berdiri sekitar dua puluh tombak di depan.
Sosok ramping berpakaian merah muda masih
berada di bahu kanannya. Namun bukan hal itu
yang membuat empat lelaki berpakaian hitam itu
tergesa-gesa, melainkan keberadaan sosok yang
menghadang perjalanan rekan mereka.
•kick
"Ah...! Kiranya kau tidak sendirian, Pencu-
lik Hina?! Pantas kau bersikap demikian tenang!
Rupanya kau mengandalkan kawan-kawanmu,
heh?!" ujar sosok yang berdiri menghadang di
tengah jalan. Matanya memandangi keempat lela-
ki berpakaian serba hitam yang telah berdiri di
dekat lelaki yang memondong tubuh wanita itu.
"Siapa kau, Kakek Tua?!" sergah lelaki
pendek kekar, keras. "Sungguh berani mati kau
menghadang perjalanan kami! Menyingkirlah!
Sayangilah umurmu yang tinggal beberapa hari
itu! Pergilah cepat sebelum kami kehilangan ke-
sabaran dan terpaksa membunuhmu!"
"Hmh!" Sosok yang ternyata seorang kakek
bermuka kehijauan itu mendengus. "Asal kalian
tahu saja, keberadaanku di sini justru untuk
menghalangi niat busuk kalian! Lepaskan wanita
yang kalian culik itu, dan aku akan membiarkan
kalian pergi dari sini. Atau... haruskah aku men-
gambilnya dengan cara kekerasan?!"
"Kau mencari mati sendiri, Tua Bangka
Bau Tanah...!"
Lelaki pendek-kekar melompat menerjang
dengan sebuah tusukan pisau ke arah leher. Na-
mun kakek bermuka kehijauan itu tetap bersikap
tenang, seakan-akan membiarkan ancaman maut
terhadapnya. Baru ketika ujung pisau itu me-
nyambar dekat, tangan kanannya bergerak cepat.
Baik lelaki pendek kekar maupun keempat
kawannya tidak dapat mengetahui tindakan yang
dilakukan kakek bermuka kehijauan itu. Yang je-
las, tahu-tahu tubuh lelaki pendek kekar itu ter-
pental jauh ke belakang dan jatuh berdebuk di
tanah, beberapa tombak dari tempat semula. Pi-
sau putih mengkilat yang semula berada di tan-
gannya telah berada di tangan kakek bermuka
kehijauan. Sambil tertawa terkekeh-kekeh kakek
bermuka kehijauan itu menimang-nimang pisau
lawannya.
"Sebuah senjata yang cukup bagus," gu-
mam kakek bermuka kehijauan yang bertubuh
tinggi melebihi manusia umumnya. Mungkin
tinggi tubuhnya tidak kurang dari satu setengah
kali manusia normal.
Melihat dalam segebrakan lelaki pendek
kekar telah dapat dirobohkan, keempat rekannya
pun tahu kalau kakek bertubuh jangkung ini
memiliki kepandaian amat tinggi. Maka serentak
mereka mencabut senjata masing-masing. Bah-
kan lelaki berpakaian hitam yang memondong
wanita berpakaian merah muda pun, ikut berge-
rak dan mengepung kakek bermuka kehijauan se-
telah terlebih dulu melemparkan tubuh gadis itu
ke tempat yang cukup aman dari bahaya perta-
rungan.
"Begini lebih baik, agar pertarungan cepat
selesai," dengus kakek bertubuh jangkung itu
tanpa memperhatikan empat lelaki berpakaian
serba hitam yang telah mengurungnya dari empat
penjuru. Dia masih asyik menimang-nimang pi-
sau rampasannya.
Sikap kakek bermuka kehijauan ini mem-
buat kemarahan empat lelaki berpakaian hitam
semakin meluap. Sambil mengeluarkan teriakan-
teriakan nyaring mereka menerjang. Sinar-sinar
menyilaukan mata langsung mencuat ketika em-
pat lelaki berpakaian hitam itu menggerakkan
tangan, melakukan penyerangan dengan pisau di
tangan.
Namun mereka kecelik. Babatan, tusukan,
tikaman, dan ayunan senjata mereka ternyata
hanya mengenai angin.
Laksana bayangan tubuh kakek bermuka
kehijauan itu begitu cepat menyelinap di antara
serangan pisau-pisau lawan yang berkelebatan.
Hal ini membuat empat lelaki berpakaian hitam
semakin penasaran dan melakukan penyerangan
lebih dahsyat. Seperti semula, hasilnya tidak be-
rubah. Kakek bertubuh jangkung itu terlalu lin-
cah untuk dapat dikejar dengan serangan.
"Sekarang giliranku...!"
Di tengah-tengah kelebatan serangan pi-
sau-pisau empat pengeroyoknya, kakek yang
mengenakan jubah putih itu berseru keras men-
gatasi riuh rendahnya bunyi pertarungan. Dan
belum lagi gema ucapannya lenyap, tubuh-tubuh
lelaki berpakaian hitam berpentalan keluar kan-
cah pertarungan dan terbanting keras di tanah.
Dengan tenang kakek bertubuh jangkung itu ber-
diri tegap. Kedua tangannya menggenggam senja-
ta-senjata milik keempat lawan.
Tampaknya kelima lelaki berpakaian hitam
mulai sadar kalau kakek jangkung itu terlalu
tangguh bagi mereka. Kakek itu memiliki kepan-
daian yang amat tinggi. Maka sebelum terjadi hal-
hal yang tidak diinginkan, setelah saling pandang
sebentar, mereka membalikkan tubuh dan berlari
tunggang-langgang meninggalkan tempat itu. Se-
buah keuntungan masih berada di pihak mereka,
kakek bertubuh jangkung tidak berwatak telengas
dan menjatuhkan tangan maut kepada mereka.
Bahkan melukai pun tidak. Kakek bermuka kehi-
jauan itu hanya merampas senjata dan membuat
tubuh mereka terlempar! Sehingga kelima lelaki
berpakaian hitam masih mampu berlari cepat
meninggalkan tempat itu.
Sementara kakek bermuka kehijauan itu
tidak mempedulikan lima orang lawannya lagi.
Diayunkan kakinya menghampiri wanita muda
berpakaian merah muda yang tergolek lemah di
bawah sebatang pohon berdaun rimbun. Rupanya
sebelum dilemparkan tubuh gadis itu telah dito-
tok oleh lelaki yang memondongnya.
"Bangkitlah, Cucu! Orang-orang jahat itu
telah kuusir pergi," ucap kakek bertubuh jang-
kung itu seraya menepuk tubuh gadis itu untuk
membebaskan totokan.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek!"
ucap gadis bermuka cantik jelita itu seraya bang-
kit berdiri.
"Lupakanlah, Anak Manis!" sahut kakek
jangkung itu sambil mengulapkan tangan dan
tersenyum lebar.
"O ya, mengapa kau bisa berada bersama
mereka?"
Gadis berpakaian merah muda itu menen-
gadahkan kepalanya ke langit seperti tengah
mencari jawaban pertanyaan itu.
"Aku tinggal bersama ayahku di tempat
terpencil. Ayah bekas seorang pendekar, meski-
pun kepandaiannya tidak terlalu tinggi. Di tempat
itu Ayah dan aku hidup sebagai petani untuk me-
nyambung hidup. Bertahun-tahun lamanya kami
hidup tenang. Tadi, tiba-tiba saja muncul lima
orang jahat itu yang menculikku. Ketika itu Ayah
tengah sibuk di sawah, dan aku dalam perjalanan
untuk mengirim makanan kepada Ayah. Entah
bagaimana nasib Ayah sekarang karena tadi kuli-
hat beliau mengejar-ngejar kelima orang yang
menculikku."
"Kalau begitu... mari, kita temui ayahmu.
Barangkali saja dia tengah mencari-carimu," ajak
kakek bermuka kehijauan itu.
Gadis berpakaian merah muda itu menye-
tujuinya. Sesaat kemudian, keduanya telah me-
nempuh arah yang semula ditinggalkan oleh lima
lelaki berpakaian hitam.
Tak membutuhkan waktu lama bagi dua
orang itu untuk menemukan lelaki berkumis me-
lintang. Mendadak gadis berpakaian merah lang-
sung mengeluarkan jeritan menyayat hati sambil
menghambur ketika melihat sosok tubuh ayahnya
tergolek di tanah bermandikan darah.
"Ayah...!"
Gadis berpakaian merah meraung-raung.
Tanpa mempedulikan darah yang membasahi wa-
jah dan sekujur tubuh ayahnya, ditubruknya tu-
buh lelaki yang telah tidak bernyawa itu.
"Hhh...!" kakek jangkung hanya menghela
napas berat melihat kenyataan ini. Disadari kalau
tidak ada gunanya mencegah tindakan gadis ber-
pakaian merah itu. Dibiarkan saja dia menangis
dengan suara memilukan beberapa saat sebelum
akhirnya roboh tak sadarkan diri.
Tanpa berkata apa pun, kakek bermuka
kehijauan yang memang sejak tadi sudah bersiap
segera menyambut tubuh gadis itu sebelum am-
bruk di tanah. Kemudian, dibawanya melesat me-
ninggalkan tempat itu.
•k'k'k
"Hhh... hhh... sebenarnya untuk apa sih
semua siksaan ini, Gumilang?" tanya seorang ga-
dis berpakaian hijau muda dengan suara teren-
gah-engah dan peluh bercucuran membasahi
kening dan lehernya yang putih mulus.
Sosok yang dipanggil Gumilang, tidak lang-
sung menjawab pertanyaan itu. Pemuda berpa-
kaian coklat itu malah melompat, kemudian hing-
gap di sebuah tonjolan batu beberapa tombak di
depannya. Sebuah perbuatan yang tidak terlalu
sulit sebenarnya kalau saja dilakukan dalam kea-
daan biasa. Namun saat itu dia mengenakan alas
kaki berupa potongan kayu tebal yang dibentuk
sesuai telapak kaki. Cara mengenakannya dengan
menjepit mempergunakan ibu jari kaki dan telun-
juk pada tonjolan di bagian depan. Hal itu tentu
membuatnya repot juga. Apalagi bahu kanannya
memanggul sebuah pikulan yang terbuat dari su-
sunan rotan-rotan diikat menjadi satu. Pada
ujung-ujung rotan itu tergantung dua buah ember
besar dari kayu tebal yang penuh berisi air. Ben-
da cair itu tampak bermuncratan ke sana kemari
ketika kaki Gumilang mendarat di tonjolan batu.
Tindakan serupa pun dilakukan oleh gadis
berpakaian hijau muda itu. Seperti juga Gumi-
lang, dia pun memakai alas kaki yang sama dan
memikul dua ember air. Hanya saja ember yang
dibawanya lebih kecil.
"Jangan kau anggap ini sebagai siksaan,
Kenari!" ujar Gumilang sambil kembali melompat
untuk hinggap pada batu runcing yang berada di
depannya lagi. "Aku yakin, apa yang kita lakukan,
dan karena semua ini perintah Eyang, pasti ba-
nyak gunanya bagi kita. Hhh... hhh... hhh...."
"Bisa kau beritahukan gunanya padaku,
Gumilang?!" desak gadis berpakaian hijau muda
yang ternyata bernama Kenari, penuh perasaan
penasaran, tetap dengan suara terengah-engah.
"Aku belum merasakan sedikit pun kegunaan se-
mua siksaan ini."
"Jadi kau tidak merasakan kegunaannya,
Kenari? Apakah kau tidak merasakan sendiri per-
bedaannya?"
Gumilang balik bertanya sambil terus me-
lompat-lompat dan hinggap di atas batu-batu
runcing yang membentang dan harus mereka la-
lui. Terpeleset sedikit saja cukup untuk membuat
mereka mengalami luka-luka akibat tersayat-
sayat batu-batu itu.
"Tidak!" sambung Kenari, lantang.
"Lupakah kau, Kenari?! Beberapa bulan la-
lu, kita tidak mampu melewati tempat ini! Andai-
kan bisa pun, air yang kita bawa telah habis ter-
cecer di perjalanan. Apakah kau tidak tahu pula
kalau pikulan kita secara bertahap semakin men-
gecil karena batang-batang rotannya dikurangi
Eyang satu-persatu?! Tidakkah kau sadari kalau
sekarang kita dapat menempuh perjalanan lebih
cepat?! Apakah kau tidak tahu pula kalau ember-
ember yang kita bawa ini beratnya semakin ber-
tambah?! Dan masih banyak lagi hal-hal yang
tampaknya tak kau sadari...," urai Gumilang pan-
jang lebar, dengan penuh semangat
Kenari kontan terdiam. Rupanya penjela-
san Gumilang membuatnya dapat berpikir. Dan
dia pun mulai menyadari kebenaran ucapan pe-
muda berpakaian coklat itu ketika mengingat-
ingat semua yang dikatakan secara terperinci itu.
Dan sekarang, sepasang muda-mudi itu melan-
jutkan pekerjaan mereka tanpa bercakap-cakap.
"Hup!"
Setelah sekian lamanya melalui perjalanan
yang bermedan batu-batu runcing, Gumilang dan
Kenari tiba pada sebuah tempat datar, di lereng
gunung.
"Ayo, Kenari!" seru Gumilang penuh se-
mangat "Aku yakin sekarang kita akan lebih cepat
tiba di puncak. Dan, kolam-kolam yang harus ki-
ta isi telah penuh! Kita telah maju pesat. Aku ya-
kin, sekarang Eyang akan memberikan pelajaran
yang jauh lebih berharga!"
Kemudian Gumilang dan Kenari pun kem-
bali berlari. Meskipun medan yang dilalui menan-
jak serta berbatu terjal dengan enak mereka me-
lesat. Namun anehnya tak tampak tumpahan
atau percikan air dari ember-ember yang mereka
pikul. Padahal, isinya hampir penuh!
Mendadak langkah Gumilang dan Kenari
yang semula cepat, langsung mengendur ketika
melihat lima sosok tubuh berpakaian hitam berdi-
ri di depan, menghadang perjalanan mereka.
"Berhati-hatilah, Kenari!" bisik Gumilang.
"Aku yakin mereka bermaksud tidak baik. Ingat,
apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kau
lekas kabur! Biar aku yang akan mencoba meng-
hadang mereka," ujar Gumilang.
"Tapi, Kang...," Kenari mencoba memban-
tah, dengan suara pelan karena takut ketahuan.
"Tidak ada tapi-tapian, Kenari!" tegas Gu-
milang masih dengan suara berbisik. "Ingat, kita
belum mempelajari ilmu silat yang berarti dari
Eyang. Jadi, tidak ada gunanya melawan mereka
bersama-sama."
Karena yakin kalau lima sosok yang berdiri
menghadang sekitar sepuluh tombak dari mereka
bermaksud tidak baik, Gumilang segera berjalan
di depan, dan tidak berlari seperti sebelumnya.
Keduanya membelok ke kanan, melalui jalan se-
tapak yang licin dan menurun. Tanpa banyak bi-
cara, Kenari mengikuti langkah Gumilang meng-
hindari para penghadang yang belum dikenalnya
itu.
Begitu keduanya berbelok arah dan baru
mulai menuruni jalan setapak, lima lelaki itu ber-
lari mengejar.
"Hey! Mau ke mana kalian?! Berhenti!" seru
lelaki yang bertubuh pendek kekar.
"Kenari! Cepat kabur! Beritahu Eyang!
Buang saja pikulan itu!" seru Gumilang tanpa bi-
sa menyembunyikan kecemasannya. Dia sendiri
langsung membalikkan tubuh, bersiap mengha-
dang kelima lelaki berpakaian hitam itu. Ember-
ember segera diturunkan, lalu pikulan yang ter-
susun dari rotan-rotan sebesar jari telunjuk dan
berjumlah empat buah itu, digenggam dengan ke-
dua tangan. Pemuda berpakaian coklat ini bersiap
untuk mengadakan perlawanan.
Wuttt!
Ayunan pikulan rotan yang digerakkan se-
cara mendatar itu membuat lima lelaki berpa-
kaian hitam melompat ke belakang. Dari bunyi
berdecit nyaring yang terdengar mereka dapat
mengetahui kalau tenaga dalam pemuda berpa-
kaian coklat itu tidak bisa dianggap remeh.
"Keparat! Rupanya kau sudah kepingin
mampus, heh?!" seru lelaki pendek kekar geram
ketika melihat gadis berpakaian hijau muda yang
berada jauh di depan. Gerakan gadis itu ternyata
sangat cepat, bagaikan larinya seekor kijang!
Baik lelaki pendek kekar maupun keempat
kawannya tidak bisa terlalu lama memperhatikan
Kenari karena Gumilang telah kembali menyerang
mereka, secara kalap. Cukup hebat gebrakan
Gumilang, sehingga membuat lima lelaki berpa-
kaian hitam ini buyar dan kerumunan.
Hal itu hanya berlangsung beberapa gebra-
kan, karena sesaat kemudian, Gumilang telah
terkurung. Lima lelaki berpakaian hitam ini tam-
paknya orang-orang yang terbiasa bertempur un-
tuk mempertaruhkan nyawa. Maka sebentar ke-
mudian mereka langsung tahu kalau Gumilang
hanya menang dalam hal tenaga dan kegesitan
gerakan, sedangkan mengenai gerakan-gerakan
ilmu silat, tipu-tipu penyerangan, dan tangkisan
maupun elakan, belumlah mahir. Serangan-
serangan yang dilancarkan pemuda berpakaian
coklat itu pun tidak berkembang. Dapat ditebak
dan mudah dipatahkan. Keadaan Gumilang be-
nar-benar gawat!
Sementara itu, Kenari meskipun
mengkhawatirkan keselamatan Gumilang, terus
berlari tanpa mempedulikan medan yang ditem-
puh. Tidak dipedulikannya sama sekali jalanan li-
cin atau kadang semak belukar berduri yang
membuat pakaiannya koyak-koyak, namun aneh-
nya tidak mampu melukai kulitnya yang halus.
Yang ada di benaknya adalah berlari secepat
mungkin untuk memberitahukan kejadian ini pa-
da gurunya.
Krakkk! Brukkk!
"Hey...!"
Kenari mengeluarkan jeritan kaget ketika
sebatang pohon besar tiba-tiba tumbang mengha-
langi jalan, padahal saat itu dia tengah berlari se-
cepat mungkin. Gadis berpakaian hijau muda ini
menjadi gugup, tapi tetap tidak kehilangan kesa-
daran untuk bertindak, meski untuk sesaat nya-
linya seperti terbang entah ke mana. Untuk per-
tama kali, Kenari yang belum pernah mengguna-
kan kemampuannya, ditantang untuk menyela-
matkan diri dengan kepandaian yang belum dike-
tahui kegunaannya.
"Hih!"
Di saat-saat terakhir, Kenari menjejak ta-
nah dengan kaki kanannya. Seketika tubuhnya
melenting ke atas melewati batang pohon yang
menghalangi jalan. Setelah bersalto beberapa kali
di udara, dia berusaha mendarat di tanah. Tapi....
Tappp!
Kenari terpekik kaget ketika pergelangan
kaki kanannya dicekal oleh sebuah tangan besar
dan penuh bulu-bulu tebal. Dan sebelum dia
sempat berbuat sesuatu, tubuhnya terayun deras
ketika tangan besar itu bergerak menghem-
paskannya.
Krosakkk!
Tubuh Kenari terlempar jauh dan jatuh ke
semak-semak. Ini merupakan sebuah keuntungan
bagi gadis berpakaian hijau muda ini, karena
apabila jatuh menimpa batu atau tanah, dengan
luncuran sederas itu, entahlah bagaimana luka
yang akan dideritanya.
Kenari, menduga kalau pemilik tangan be-
sar dan berbulu itu termasuk orang-orang yang
mengejarnya. Karena begitu takutnya ia tidak
mempedulikan rasa pusing akibat bantingan tadi.
Dengan cepat gadis itu menerobos kerimbunan
semak-semak berusaha melesat kabur.
Kedua kalinya Kenari menjerit kaget. Seke-
tika itu juga terhenti. Matanya membelalak lebar,
seakan tidak percaya akan pemandangan yang di-
lihatnya.
2
Memang tidak terlalu berlebihan kalau Ke-
nari sampai demikian terkesima. Sosok yang ber-
diri di hadapannya dalam jarak dua tombak, me-
mang memiliki potongan tubuh menggiriskan ha-
ti. Bentuk tubuhnya tidak ada bedanya dengan
manusia biasa, memiliki sepasang tangan, sepa-
sang kaki, dan kepala di atas. Namun bagian tu-
buhnya yang hanya tertutup pakaian berupa
rompi putih, memperlihatkan bulu-bulu halus
berwarna hitam dan bergaris-garis kuning seperti
layaknya bulu-bulu yang terdapat pada seekor
macan!
Ketika sosok makhluk yang mengerikan itu
membuka mulutnya, tampak gigi-gigi taring runc-
ing mencuat kanan kiri. Sosok ini lebih mirip ma-
nusia harimau!
"Gggrrrhhh...! Mau lari ke mana kau, Wani-
ta Liar?! Grrrhhh...! Jangan harap dapat lolos dari
tanganku. Grrrhhh...!" Sosok berompi putih itu
mengeluarkan suara keras dan parau dengan se-
sekali diselingi geraman keras mirip auman hari-
mau.
Seruan manusia harimau itu membuat Ke-
nari sadar dari terkesimanya. Dan hal ini menye-
lamatkan nyawanya. Karena saat itu juga lelaki
berompi putih yang berbulu harimau loreng itu
melompat menerkamnya. Lompatannya pun mirip
seekor harimau menyerang mangsanya.
Kenari yang belum pernah memperguna-
kan kemampuannya, dan bahkan belum menge-
tahui tingkat kepandaiannya, menjadi gugup me-
lihat serangan itu. Sesaat dia terpaku kaku di
tempatnya. Untung saja di saat-saat gawat, ketika
jari-jari tangan sosok manusia harimau yang
mempunyai kuku-kuku panjang melengkung dan
berwarna kehitaman hampir merencah lehernya,
Kenari teringat akan pelajaran ilmu silat yang di-
terimanya dari gurunya. Kaki kanannya digerak-
kan melakukan tendangan lurus ke arah perut
lawan yang tengah melompat.
Wuttt!
Manusia harimau itu ternyata benar-benar
memiliki ilmu meringankan tubuh yang hampir
tidak masuk akal! Serangan Kenari berhasil di-
elakkannya. Padahal, saat itu tubuhnya tengah
berada di udara, tidak memiliki landasan apa pun
yang dapat digunakan untuk menjejak, tapi toh
hal itu mampu dilakukannya. Dengan hanya
menggeliatkan tubuh, serangan Kenari berhasil
dielakkannya, bahkan sempat mengirimkan sam-
pokan yang membuat gadis berpakaian hijau mu-
da itu melempar tubuh ke belakang dan bergulin-
gan menjauh.
Karena tidak ingin bertarung, Kenari mem-
pergunakan kesempatan itu untuk terus mencelat
dan melarikan diri. Namun manusia harimau itu
benar-benar tidak mau melepaskannya. Dengan
kecepatan yang mengagumkan makhluk aneh itu
melesat mengejar. Kejar-kejaran pun terjadi. Ke-
nari hampir tak percaya ketika sempat menoleh
ke belakang. Dilihatnya manusia harimau itu ter-
kadang berlari dengan bantuan kedua tangan se-
bagaimana halnya seekor harimau sungguhan!
Dengan cara lari seperti itu, kecepatan larinya
pun tidak berkurang, bahkan bertambah cepat
Kenari mengerahkan seluruh kemampuan-
nya untuk meninggalkan manusia harimau se-
jauh mungkin. Namun maksudnya tidak tercapai
sama sekali. Makhluk yang merupakan campuran
antara manusia dengan harimau itu tetap tidak
bisa ditinggalkan. Meskipun demikian Kenari pun
tidak bisa disusul, jarak antara keduanya tidak
berubah.
Setelah melalui jalan terjal berbatu-batu
yang kadang menanjak dan menurun, Kenari dan
manusia harimau itu sampai di sebuah tempat
datar. Dari situ tampak di kejauhan sebuah ban-
gunan berupa pondok
Melihat hal ini semangat Kenari bertam-
bah. Dia yakin apabila telah tiba di pondok itu
dan gurunya datang, manusia harimau ini akan
dapat diusir, dan bahkan dikalahkan.
Namun tiba-tiba semangat Kenari surut,
bahkan berubah menjadi ketegangan, ketika ma-
tanya melihat lima sosok tengah terlibat dalam
suatu pertarungan sengit. Satu di antara mereka
dikenali betul oleh Kenari, Eyang Kendi Laga. Dan
yang membuat hatinya lebih terkejut ketika meli-
hat lawan-lawan yang mengeroyok gurunya itu
sama seperti makhluk yang mengejarnya, campu-
ran antara manusia dengan binatang.
Meskipun demikian, Kenari tetap mene-
ruskan larinya. Biar bagaimanapun dia lebih te-
nang kalau berada di sisi gurunya. Namun ketika
jarak antara Kenari dengan tempat pertarungan
tinggal beberapa tombak lagi, tiba-tiba manusia
harimau itu melompat melewati atas kepala sam-
bil meraung keras. Kini makhluk aneh itu telah
berdiri menghadang di depan Kenari. Mau tak
mau Kenari terpaksa melakukan penyerangan.
Untuk kedua kalinya pertarungan antara mereka
pun terjadi.
Penglihatan Kenari ternyata tidak salah.
Tak jauh dari tempat itu seorang kakek kecil ku-
rus dan berkepala botak tengah sibuk bertarung
menghadapi empat orang pengeroyoknya yang be-
rupa makhluk aneh. Campuran antara manusia
dengan binatang. Dan masing-masing memiliki
keistimewaan yang berbeda sesuai dengan jenis
campuran hewannya.
Eyang Kendi Laga, meskipun tengah sibuk
mengerahkan seluruh kemampuan untuk meng-
hadapi pengeroyokan lawan-lawannya, masih
sempat melihat kehadiran Kenari. Perasaan kha-
watir akan keselamatan muridnya pun timbul. In-
gin dia berusaha menolong Kenari, tapi apa
dayanya? Dia sendiri tengah sibuk menghadapi
gempuran dahsyat kelima makhluk aneh itu.
Desss!
Untuk yang kesekian kali, Eyang Kendi La-
ga berhasil mengirimkan sebuah tendangan ke
arah perut salah seorang lawannya yang merupa-
kan campuran antara manusia dengan badak!
Tapi, lagi-lagi tubuh lawannya sama sekali tidak
bergeming, seakan tidak merasakan akibat ten-
dangan kakek kurus itu. Padahal tendangan dah-
syat itu kalau mengenai sebongkah batu besar
atau cadas pun akan hancur!
Sama halnya dengan manusia badak, tiga
pengeroyok lainnya pun tidak kalah hebatnya,
Manusia kera memiliki kegesitan yang menga-
gumkan.
Setiap serangan Eyang Kendi Laga selalu
kandas. Sebaliknya kakek kecil botak itu harus
selalu berhati-hati terhadap serangannya. Kedah-
syatan yang sama dimiliki pula oleh manusia be-
ruang dan manusia serigala!
Crattt!
Eyang Kendi Laga memekik tertahan ketika
sampokan tangan manusia kera berhasil meng-
gores bahu kanannya. Tubuh kakek kecil kurus
ini tampak terhuyung ke belakang dengan darah
merembes keluar dari bagian yang terluka. Belum
sempat Eyang Kendi Laga memperbaiki kedudu-
kan, manusia badak telah melancarkan serangan
dengan serudukan kepala.
Eyang Kendi Laga terkejut bukan kepalang,
namun masih sempat untuk menjejakkan kaki
sehingga tubuhnya melayang ke atas. Namun tin-
dakannya tetap kurang cepat, kepala manusia
badak yang mempunyai tanduk tunggal sempat
menghantam kaki kanannya.
Meskipun tidak mengenai dada, serangan
manusia badak itu cukup membuahkan hasil.
Eyang Kendi Laga tidak bisa mendarat secara wa-
jar di tanah. Serbuan terkaman manusia serigala
yang berhasil dielakkan membuatnya jatuh ter-
guling di tanah
Tindakan manusia serigala ternyata amat
cepat. Makhluk berbulu hitam ini langsung melu-
ruk menerkam Eyang Kendi Laga untuk men-
goyak-ngoyak tubuhnya dengan disertai lolongan
melengking.
Karena tidak sempat untuk mengelakkan
serangan, Eyang Kendi Laga mengambil keputu-
san untuk memapak moncong yang penuh gigi-
gigi runcing dengan kedua tangannya, meskipun
untuk itu harus terluka. Dihentakkan kedua tan-
gannya itu ke depan
•kick
"Kaing..!"
Sebelum moncong manusia serigala ber-
benturan dengan sepasang tangan Eyang Kendi
Laga yang dikepalkan, makhluk berbulu hitam itu
mengeluarkan lengkingan kesakitan. Tubuhnya
ambruk ke tanah sebelum berhasil melaksanakan
maksudnya.
Sebagai tokoh tua yang sudah banyak pen-
galaman di dunia persilatan, Eyang Kendi Laga
mengetahui penyebabnya. Meskipun hanya beru-
pa sekelebatan, dia sempat melihat sepotong rant-
ing sebesar ibu jari melesat cepat dan menghan-
tam telak badan manusia serigala itu. Dia tahu
ada seseorang yang telah menolongnya.
Belum sempat Eyang Kendi Laga bangkit,
di depannya, berdiri membelakangi sesosok tubuh
kekar berambut panjang. Tanpa membalikkan tu-
buh, dan hanya menolehkan kepala, sosok kekar
yang ternyata seorang pemuda tampan berwajah
jantan itu berkata.
"Biar aku yang menghadapi mereka, Eyang.
Lebih baik kau tolong muridmu."
Ucapan pemuda berambut panjang itu
hanya terhenti sampai di situ karena empat orang
pengeroyok Eyang Kendi Laga telah menerjang-
nya. Pemuda berambut panjang itu mengelak-
kannya dan kemudian melancarkan serangan se-
hingga terjadi pertarungan seru.
Eyang Kendi Laga tahu kalau pemuda pe-
nolongnya memiliki kepandaian tinggi. Hal itu di-
ketahuinya dari hasil sambitan yang mengenai
manusia serigala. Tanpa berpikir lebih lama lagi
dia segera melakukan perintah pemuda berambut
panjang itu. Meskipun dengan keadaan tubuh
yang belum sehat betul, dia melesat menuju kan-
cah pertarungan antara Kenari dengan manusia
harimau.
Semula pertarungan antara Kenari dan
manusia harimau berlangsung tak jauh dari per-
tarungan Eyang Kendi Laga. Namun karena mas-
ing-masing pertarungan bergeser pindah tempat,
terutama sekali pertarungan antara Kenari den-
gan manusia harimau, jarak antara mereka jadi
terpisah jauh. Bahkan pertarungan antara Kenari
dengan manusia harimau telah berada di tepi se-
buah jurang. Sementara keadaan gadis itu sangat
gawat, karena terus terdesak ke bibir jurang.
Dan tepat di saat Eyang Kendi Laga berha-
sil mendekati kancah pertarungan, Kenari me-
lompat ke belakang untuk menghindari sampokan
tangan manusia harimau yang bertubi-tubi. Gadis
berpakaian hijau muda ini sama sekali tidak tahu
kalau di belakangnya adalah jurang menganga.
"Kenari..! Awas...!"
Eyang Kendi Laga yang melihat adanya ba-
haya itu berseru keras. Namun teriakannya ter-
lambat karena tubuh Kenari telah melayang ke
belakang. Kenari yang belum sadar akan bahaya
itu mengira peringatan gurunya adalah untuk
menghadapi manusia harimau. Dia baru memekik
kaget ketika menyadari kedua kakinya tidak kun-
jung menjejak tanah, dan bahkan terus melayang
ke bawah. Gadis itu baru tahu kalau dirinya me-
lompat ke jurang.
"Kenari...!" Eyang Kendi Laga berteriak ke-
ras sejadi-jadinya. Entahlah bagaimana perasaan
yang ada di dalam hati lelaki tua itu. Keterkeju-
tan, kepiluan, marah, cemas bercampur jadi satu.
Sekali lihat saja, meskipun belum menjenguk
sendiri jurang itu, dirinya tahu kemungkinan un-
tuk hidup bagi Kenari tipis sekali.
Kemarahan yang menggelegak tak dapat
lagi dibendungnya. Wajahnya memerah dengan
mata membelalak menatap manusia harimau itu.
Tanpa mengucapkan kata-kara apa pun Eyang
Kendi Laga langsung melompat menerjangnya.
Manusia harimau, tanpa banyak cakap se-
gera menyambut terjangan Eyang Kendi Laga.
Pertarungan dahsyat pun terjadi di tepi jurang
itu. Pukulan dan tendangan serta cakaran yang
menimbulkan angin menderu keras terdengar di-
tingkahi oleh suara teriakan-teriakan kemarahan.
Belasan jurus berlalu dengan cepat, tapi belum
ada yang terkalahkan. Si Manusia Harimau itu
tampaknya merasa kalau lawannya kali ini tidak
bisa dianggap remeh, terlalu kuat. Hanya dalam
beberapa gebrakan, dia berapa kali terkena puku-
lan yang mengakibatkan tubuhnya terpental jauh
dan terguling-guling di tanah.
Di kancah lainnya, pemuda berambut pan-
jang pun telah dapat menguasai jalannya perta-
rungan. Meskipun manusia serigala dan manusia
monyet memiliki kecepatan gerak yang menga-
gumkan, dia mampu mengatasi mereka. Beberapa
kali dia membagi-bagi pukulan pada empat la-
wannya. Terutama sekali pada manusia badak
dan manusia beruang yang mempunyai gerakan
lambat. Untung manusia beruang dan manusia
badak memiliki kekuatan tubuh yang mengagum-
kan, sehingga pukulan-pukulan pemuda beram-
but panjang itu seperti tidak menimbulkan akibat
apa pun pada mereka. Tidak demikian halnya
dengan manusia kera dan manusia serigala. Baru
dua kali pukulan pemuda berambut panjang ber-
sarang, mereka sudah tidak mampu bangkit lagi,
tergolek di tanah. Sekarang yang masih menga-
dakan perlawanan sengit tinggal manusia badak
dan manusia beruang yang sudah agak payah da-
lam melakukan gerakan.
Sebuah tendangan yang dilakukan pemuda
berambut panjang tanpa terduga-duga membuat
manusia beruang terpental jauh dan terbanting di
tanah tak berkutik lagi. Tendangan yang menda-
rat di dada itu membuat tulang tubuh campuran
antara manusia beruang itu remuk.
Kenyataan ini membuat manusia badak
menggeram keras. Dengan cepat makhluk berku-
lit keras itu melakukan penyerangan dengan
mempergunakan kepalanya. Deru angin keras
mengiringi tibanya serangan yang menuju ke da-
da pemuda berambut panjang itu. Dan....
Cappp!
Cappp!
Kepala bercula itu menghantam perut pe-
muda berambut panjang dengan telak. Namun se-
buah kejadian yang mengejutkan lawannya terja-
di, Tubuh pemuda berambut panjang itu tidak ber-
geming sama sekali. Malah, kepala manusia ba-
dak itu yang menempel di perutnya!
Dengan telak dan keras kepala bercula itu
menghantam perut pemuda berambut panjang
yang tidak berusaha mengelak sama sekali. Na-
mun sebuah kejadian yang mengejutkan lawan-
nya terjadi. Tubuh pemuda berambut panjang itu
tidak apa-apa. Bergeming pun tidak! Kepala ma-
nusia badak itu malah menempel ke perutnya.
Manusia badak mendengus dan berusaha
untuk menarik kepalanya. Tapi sia-sia saja! Kepa-
lanya seakan telah melekat dengan perut lawan.
Selain itu, ada hawa panas luar biasa yang me-
nyeruak dari perut pemuda berambut panjang
itu, sehingga membuat kepala manusia badak itu
seperti diletakkan di atas sebuah tungku api yang
panas! Manusia badak ini meraung-raung kesaki-
tan dengan suaranya yang aneh.
Saat itulah, pemuda berambut panjang
menghantamkan kedua telapak tangannya yang
terbuka pada sisi-sisi kepala manusia badak.
Blangng!
Raungan keras dan menggetarkan keluar
dari mulut si Manusia Badak. Tubuh makhluk je-
jadian ini sempoyongan karena pada saat yang
bersamaan, pemuda berambut panjang itu mele-
paskan tenaga yang membuat kepala lawan me-
nempel dengan perutnya.
Pada saat yang bersamaan, manusia hari-
mau pun mengeluarkan raungan keras ketika dua
buah pukulan tangan terbuka Eyang Kendi Laga
menghantam telak di dadanya.
Eyang Kendi Laga mengayunkan kaki
mendekati pemuda berambut panjang ketika dili-
hat lawannya sudah tidak bergerak lagi. Lawan-
lawan pemuda tampan itu pun sudah tergeletak
semua di tanah.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak
Muda. Kalau tidak ada kau, mungkin aku yang
tua sudah tidak berada lagi di dunia ini," ucap
Eyang Kendi Laga penuh rasa terima kasih.
"Lupakanlah, Kek!" sambut pemuda be-
rambut! panjang itu, sopan. "Pertolonganku tidak
ada artinya sama sekali. Bahkan karena keter-
lambatanku pula muridmu jatuh ke jurang. Kalau
saja aku datang lebih cepat, mungkin hal ini tidak
akan terjadi. Benarkah dugaanku kalau wanita
yang jatuh ke jurang tadi muridmu...?"
"Benar," Eyang Kendi Laga mengangguk-
kan kepala. "Hm... boleh kutahu siapa kau, Anak
Muda? Aku, Eyang Kendi Laga."
"Ah, syukurlah kalau begitu. Aku memang
tengah mencari-carimu, Eyang. Itulah sebabnya
aku berada di sini. Menurut berita yang kudengar
kau tinggal di sini. Bahkan bersama-sama dengan
beberapa orang muridmu. O ya, aku Arya Bua-
na...," jawab pemuda berambut panjang itu mem-
perkenalkan diri.
"Arya Buana?!" Eyang Kendi Laga menger-
nyitkan dahi seperti tengah berpikir. Beberapa
saat lamanya dia termenung dengan pandangan
tertuju ke angkasa. "Rasanya aku pernah men-
dengar nama itu. Dan.... Ah...! Arya...! Bukankah
kau yang terkenal dengan julukan Dewa Arak?!
Ya, benar! Ciri-cirimu sesuai dengan berita yang
kudengar mengenai tokoh muda yang telah meng-
goncangkan dunia persilatan. Bukankah kau
yang berjuluk Dewa Arak..., Arya?"
"Begitulah orang memberiku julukan,
Eyang," jawab Arya, tanpa rasa bangga sama se-
kali. "Tapi, aku lebih suka dipanggil dengan na-
maku, Arya."
Eyang Kendi Laga merasa kagum menden-
gar ucapan pemuda berambut panjang yang ber-
diri di hadapannya. Dari tanggapan atas ucapan-
nya dia tahu kalau Arya memiliki watak rendah
hati. Penuh rasa gembira, sungguhpun tidak bisa
menyembunyikan kegetiran hatinya akibat jatuh-
nya Kenari ke dalam jurang, ditatapnya sekujur
tubuh Arya penuh selidik. Pakaian khasnya yang
berwarna ungu dengan rambut panjang berwarna
putih keperakan. Tak ketinggalan pula guci arak
yang tergantung di punggung, jelas ciri-ciri yang
dimiliki Dewa Arak.
"O ya. Hm..., lalu apa maksud kedatan-
ganmu mencariku, Arya? Apakah hanya sekadar
untuk mengunjungi gubukku yang reot ini?!"
tanya Eyang Kendi Laga kemudian seraya terse-
nyum memandangi Dewa Arak.
"Kurasa hal itu bisa kita bicarakan nanti,
Eyang. Urusan ini tidak terlalu mendesak. Lebih
baik kita selidiki kemungkinan keadaan murid-
mu. Mudah-mudahan saja dia masih hidup dan
lolos dari maut," Arya mengajukan usul.
"Tidak ada salahnya kalau kuikuti saran-
mu itu, Arya. Tapi, aku yakin kemungkinan un-
tuk hidup bagi Kenari amat kecil. Aku tahu betul,
jurang itu amat dalam dan terjal, sulit untuk da-
pat kita turuni kecuali kalau mempunyai sayap."
Mulut kakek kecil kurus ini berkata demi-
kian, tapi kakinya melangkah menuju jurang
tempat tubuh Kenari tadi terjatuh. Hampir Dewa
Arak tertawa geli, tapi karena takut menyinggung
hati kakek kecil kurus itu, ditahannya. Tanpa
berkata apa pun, diikutinya tindakan Eyang Ken-
di Laga menuju ke jurang.
Langkah Eyang Kendi Laga dan Arya ter-
henti bibir jurang. Keduanya melongokkan kepala
ke bawah. Ternyata benar, di samping curam dan
sangat terjal jurang itu amat dalam. Sejauh mata
memandang yang terlihat hanya kabut di bawah,
tidak tampak sama sekali dasar jurang itu.
Arya menghela napas berat. Kemudian ia
menoleh ke arah Eyang Kendi Laga. Kakek kecil
kurus itu pun balas menatapnya dengan pandan-
gan terharu dan penuh penyesalan.
"Bagaimana, Arya?!" tanya Eyang Kendi La-
ga dengan suara parau dan pelan sekali,
"Rasanya kemungkinan yang dikatakan
Eyang benar. Kecil sekali kemungkinannya bagi
Kenari dapat lolos dari maut. Kecuali... bila Tu-
han menghendaki lain."
"Mudah-mudahan, Arya," sambung Eyang
Kendi Laga cepat dan penuh harap. "Tapi ke-
mungkinan untuk hidup sangat kecil. Dasar ju-
rang itu berupa bebatuan cadas yang siap mere-
mukkan tubuh siapa saja yang terlempar ke sa-
na,..."
"Siapa yang tahu kehendak Yang Maha
Kuasa, Eyang...," gumam Dewa Arak sambil kem-
bali menengok ke dasar jurang.
Eyang Kendi Laga tidak memberikan tang-
gapan lagi. Diayunkan kakinya meninggalkan
tempat itu seraya memberi isyarat pada Arya agar
mengikutinya. Pemuda berambut putih keperakan
itu pun melangkah di sisi Eyang Kendi Laga.
"Kelihatannya sepi sekali, Eyang," Arya
membuka pembicaraan setelah suasana hening
beberapa saat. "Ke mana saja muridmu yang
lain?"
Eyang Kendi Laga berubah seketika. Meski
hanya sekejap hal itu tidak bisa lolos dari pan-
dangan Arya yang tajam dan berpengalaman. Se-
ketika itu pula pemuda berpakaian ungu ini tahu,
ada sesuatu yang terjadi terhadap murid Eyang
Kendi Laga.
"Mereka sudah tidak ada lagi, Arya," jawab
Eyang Kendi Laga datar tanpa nada sedih, tapi
mulutnya yang tersenyum getir serta sorot ma-
tanya yang kosong menunjukkan kalau hati ka-
kek ini terguncang.
"Hhh... maafkan aku, Eyang! Bukan mak-
sudku untuk mengusik kenangan yang tidak enak
dan..." ujar Arya.
"Tidak apa-apa, Arya. Lagi pula aku pun
ingin menceritakan masalah yang menimpa tem-
patku ini padamu. Barangkali saja kau dapat
memecahkannya...," potong Eyang Kendi Laga ce-
pat untuk menghilangkan perasaan tidak enak
yang menyelimuti hati Arya atas pertanyaan tadi.
Arya diam. Diedarkan sepasang matanya
ke sekeliling tempat itu. Tapi seperti tadi, hanya
keheningan yang dijumpainya.
"Kejadiannya berawal dari beberapa hari
yang lalu," Eyang Kendi Laga memulai ceritanya.
Dewa Arak pun memperhatikannya dengan sung-
guh-sungguh.
"Memang berita yang kau dapat itu tidak
salah. Aku mempunyai beberapa orang murid.
Sembilan orang. Delapan lelaki muda dan seorang
gadis. Tapi beberapa hari yang lalu, tujuh di anta-
ra mereka lenyap tanpa ketahuan ke mana per-
ginya. Lenyap begitu saja seperti ditelan bumi.
Yang tinggal hanya dua orang Gumilang dan Ke-
nari. Dan..., Gumilang! Ke mana dia?! Mengapa
aku begitu pelupa?! Kenari hanya kembali seo-
rang diri! Duh..,, pasti ada sesuatu yang terjadi
terhadap dirinya...!"
Tiba-tiba Eyang Kendi Laga teringat akan
Gumilang, muridnya.
"Kalau begitu, mari kita cari, Eyang," sahut
Arya, cepat. Dirinya langsung bisa mengetahui
kegelisahan Eyang Kendi Laga.
"Mari, Arya!" sambut Eyang Kendi Laga tak
sabar. "Aku mempunyai dugaan di mana adanya
Gumilang! Mudah-mudahan saja belum terjadi
sesuatu yang tidak kita harapkan atas dirinya!"
Dengan kekhawatiran yang mendalam
akan keselamatan Gumilang, Eyang Kendi Laga
melesat meninggalkan tempat itu. Kakek kecil ku-
rus ini langsung melesat menuju jalan yang dila-
lui dua orang muridnya untuk mengambil air dan
mengisi dua bak besar di belakang rumah.
Tanpa berkata apa pun, Arya segera men-
gikutinya.
3
"Itu tong air mereka...!"
Suara Eyang Kendi Laga terdengar penuh
getaran karena perasaan tegang menyergap ha-
tinya. Telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke
depan, agak ke atas
Arya terbelalak melihat tong air yang ditun-
juk Eyang Kendi Laga. Tong dari kayu berat itu
berada di udara, melayang-layang sekitar tiga
tombak di atas permukaan bumi. Padahal dua
buah tong kayu besar yang masih tergantung pa-
da pikulannya itu tidak ada yang memegang. Jadi
melayang-layang sendiri!
"Hati-hati, Eyang!" Meski dengan perasaan
tidak enak karena takut dianggap menasihati,
Arya memperingatkan Eyang Kendi Laga. "Aku
yakin ada orang sakti yang tersangkut dengan pe-
ristiwa ini. Aku yakin tong itu tidak bergerak sen-
diri. Atau..., benarkah muridmu mampu melaku-
kan hal seperti ini?"
Ucapan Aiya membuat Eyang Kendi Laga
agak memperlambat larinya. Dia merasakan ke-
benaran ucapan Arya. Perasaan tegang mengingat
keselamatan murid yang tinggal semata wayang
membuatnya melupakan keberadaan tong air itu.
Tong air itu tidak mungkin berada di sana tanpa
ada orang sakti yang berdiri di belakangnya. Dan
dia tahu pasti kalau Gumilang, betapa pun he-
batnya, tidak akan mampu melakukan hal seperti
itu? Dia sendiri pun merasa sangsi untuk dapat
melakukannya.
Sayangnya, baik Arya maupun Eyang Ken-
di Laga tidak dapat langsung mengetahui orang
yang berada di balik tong air itu. Tempat tong air
itu berada, lebih tinggi dari tempat Aiya dan
Eyang Kendi Laga. Dua tokoh sakti yang berbeda
usia ini menempuh jalan mendatar beberapa saat
lamanya ingin mengetahui siapa yang mengenda-
likan tong air itu.
Langkah Eyang Kendi Laga dan Arya lang-
sung tertahan. Mata mereka membelalak menatap
lurus ke depan. Berjarak lima tombak dari tempat
mereka, berdiri sesosok tubuh ringkih dan bong-
kok dari seorang kakek yang mengenakan pa-
kaian terbalik. Baik baju ataupun celananya di-
kenakan secara terbalik, yang bagian dalamnya di
luar! Kakek bongkok ini tengah menjulurkan tan-
gan kanannya ke depan. Sedangkan tangan ki-
rinya melambai-lambai tertiup angin. Baik Eyang
Kendi Laga maupun Arya tahu kalau lengan baju
itu kosong! Tangan kiri kakek bongkok itu bun-
tung sampai pangkal tangan.
Kakek bongkok itu pun rupanya melihat
kedatangan Eyang Kendi Laga dan Arya. Tangan
kanannya yang terjulur itu ditarik kembali ke sisi
pinggang. Seketika itu pula tong air yang me-
layang-layang di udara jatuh ke tanah. Kenyataan
ini membuat Eyang Kendi Laga dan Arya semakin
yakin kalau kakek bongkok inilah yang membuat
tong air itu berada di udara.
"He he he...!" kakek bongkok itu tertawa
terkekeh dengan biji mata berputaran liar seperti
orang tak waras. "Siapa kalian? Apakah kalian
mempunyai nyawa rangkap sehingga berani men-
gintai perbuatanku?"
"Kaulah yang harus menjelaskan kebera-
daanmu di sini!" sergah Eyang Kendi Laga tak
mau kalah gertak. "Sekitar daerah ini berada da-
lam kekuasaanku! Dan tong air yang kau per-
mainkan itu milik muridku! Katakan apa yang te-
lah kau lakukan terhadapnya!"
"He he he,..! Rupanya kau galak juga, Ku-
rus!" ujar kakek bongkok seraya mengayunkan
kaki menghampiri. "Ingin kuketahui apakah la-
gakmu sesuai dengan kepandaian yang kau mili-
ki?!"
"Boleh kau lihat sendiri, Bongkok!" Seraya
berkata demikian, Eyang Kendi Laga yang ter-
pancing kemarahannya, melompat menerjang.
Tangan kanannya dijulurkan ke depan dengan ja-
ri-jari siap menusuk mata lawan. Desiran angin
keras dan suara berdesit mengiringi serangan itu.
"Uh...! Boleh juga kau, Kurus!" Kakek
bongkok itu melangkahkan kaki kanan ke bela-
kang sehingga tusukan jari tangan lawan tak
mengenai sasaran. Namun hal ini sudah diperhi-
tungkan oleh Eyang Kendi Laga, langsung diki-
rimkan serangan susulan berupa tendangan ke-
ras dan bertubi-tubi.
Kakek bongkok tampak tetap tenang. Sedi-
kit pun tak tampak kegugupannya. Dengan tak
kalah cepat dia menyelinap maju melalui bawah,
dan tahu-tahu dia telah berada di dekat Eyang
Kendi Laga. Tangan kirinya yang buntung mengi-
rimkan serangan tak kalah dahsyat. Lengan ba-
junya yang kosong menegang kaku laksana pe-
dang, dapat menusuk ke arah tenggorokan lawan.
Namun, Eyang Kendi Laga pun berhasil memus-
nahkannya dan mengirimkan serangan tak kalah
dahsyat sehingga menimbulkan pertarungan sen-
git
Sebentar saja pertarungan telah berlang-
sung hampir dua puluh jurus.
Tukkkk! Prattt!
Eyang Kendi Laga memekik kesakitan seir-
ing dengan tubuhnya yang terlempar ke belakang.
Kakek kecil berkepala botak ini masih mampu
mendarat dengan kedua kaki, meski agak ter-
huyung-huyung.
Sebelum Eyang Kendi Laga melesat mener-
jang untuk melanjutkan pertarungan, Arya telah
lebih dulu bergerak dan berdiri di sebelahnya.
"Biar aku yang mencoba menghadapinya,
Eyang," ujarnya dengan suara halus.
Dewa Arak sengaja ikut campur karena ta-
hu kalau Eyang Kendi Laga bukan tandingan ka-
kek bongkok yang berilmu lebih tinggi. Pemuda
berpakaian ungu ini melihat secara jelas jalannya
pertarungan. Sehingga mengetahui kalau Eyang
Kendi Laga telah terluka cukup parah. Tangan ki-
ri kakek bongkok yang kosong itu ternyata benar-
benar luar biasa, Eyang Kendi Laga sempat terke-
na dua pukulan beruntun. Pertama lengan baju
itu menotok bahu kanan, kemudian langsung me-
lemas dan mengebut mengenai bahu kiri secara
keras. Itulah sebabnya tadi tubuh Eyang Kendi
Laga terlempar beberapa langkah sambil menjerit.
•kick
"He he he...! Rupanya kau juga ingin ber-
main-main denganku, Rambut Setan? Mengapa
harus membuang waktu dengan melawan satu
persatu? Lebih baik maju bareng, aku akan men-
galahkan kalian sekaligus biar tidak bertele-tele!"
"Terima kasih atas usulmu itu, Kek," ucap
Arya sambil mengembangkan senyum di bibir. Dia
tidak terpengaruh oleh ucapan mengejek dari ka-
kek bongkok itu. "Tapi sayang sekali, aku tidak
bisa menurutimu. Aku dan kawanku ini bukan
termasuk orang-orang pengecut! Biarlah, andai-
kata kalah darimu pun aku tidak menyesal. Kau
memang tangguh dan sakti."
"He he he...! Kau terlalu merendah, Rambut
Setan! Aku tidak yakin akan dapat mengalah-
kanmu, tapi jangan harap kau akan mudah pula
mengalahkanku. Terimalah seranganku!"
"Uh...!"
Arya mengeluarkan keluhan tertahan keti-
ka melihat kakek bongkok itu melancarkan se-
rangan dengan tangan kirinya yang buntung.
Lengan baju itu bergerak aneh, mematuk-matuk
dan meliuk-liuk seperti seekor ular. Gerakannya
yang lemas tapi cepat, sempat membuat pendekar
muda berambut putih keperakan itu agak kebin-
gungan untuk mengetahui secara pasti bagian
yang menjadi sasaran.
Namun Arya adalah Dewa Arak yang telah
kenyang pengalaman menghadapi berbagai ma-
cam tokoh di dunia persilatan. Sebelum serangan
itu mencapai sasaran, telah bisa diketahuinya ka-
lau tangan baju yang kosong itu mengincar wa-
jahnya. Maka buru-buru didoyongkan tubuh ba-
gian atasnya ke belakang tanpa memundurkan
kaki.
Dewa Arak hampir terpekik kaget ketika
serangan itu mendadak berubah. Serangan len-
gan baju lawan ternyata hanya pancingan belaka,
karena langsung ditarik sebelum mencapai sasa-
ran. Serangan sesungguhnya ternyata sebuah
pukulan tangan kanan dengan jari-jari terbuka ke
arah dada.
Deru angin keras yang mengiringi serangan
tipuan menyadarkan Dewa Arak kalau gedoran
itu mampu menumbangkan sebatang pohon be-
sar. Maka tanpa membuang-buang waktu lang-
sung dipapaknya dengan bentuk jari-jari tangan
serupa.
Glarrr!
Baik tubuh kakek bongkok maupun Dewa
Arak terhuyung-huyung ke belakang, akibat ben-
turan keras tangan mereka yang mengandung te-
naga dalam kuat itu. Arya agak kaget ketika me-
nyadari kalau kakek bongkok hanya terhuyung
dua atau tiga langkah. Padahal dirinya hampir
mencapai dua tombak ke belakang. Sama sekali
tidak disangkanya kalau tenaga dalam lawan
sampai sekuat itu.
Namun Arya tidak bisa berlama-lama teng-
gelam dalam alun keterkejutannya karena kakek
bongkok telah mengirimkan serangan susulan
dengan mempergunakan sepasang kakinya. Dua
batang kaki itu meluncur bertubi-tubi ke arah
Arya dengan kibasan-kibasan yang mengeluarkan
deru angin keras.
Pertarungan sengit antara dua tokoh ber-
beda usia itu terus berlangsung. Dewa Arak den-
gan kemampuannya dapat mematahkan seran-
gan-serangan maut lawan. Bahkan mengirimkan
serangan balasan yang tak kalah berbahaya den-
gan mengerahkan ilmu 'Delapan Cara Menakluk-
kan Harimau' dan 'Sepasang Tang Penakluk Na-
ga'. Pemuda berambut putih keperakan ini senga-
ja tidak mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' nya
karena dia menduga kalau lawannya bukan orang
jahat. Buktinya, tadi kakek bongkok ini tidak
mengirimkan serangan susulan pada Eyang Kendi
Laga yang terhuyung-huyung karena terkena se-
rangannya. Hal itu merupakan cerminan tokoh
persilatan yang tak suka berlaku curang. Tak in-
gin membokong lawan bila dalam keadaan tidak
siap.
Seperti dua buah ilmu yang dipergunakan
Dewa Arak, ilmu-ilmu kakek bongkok memiliki
daya serangan luar biasa. Pertarungan telah ber-
jalan beberapa jurus, kedua belah pihak lebih ba-
nyak melancarkan serangan daripada pertaha-
nan. Sehingga pertarungan tampak seru dan me-
negangkan.
Sementara itu Eyang Kendi Laga yang me-
nyaksikan dari jarak beberapa tombak, merasa
tegang dan was-was. Sebab setiap kali terjadi ben-
turan keras baik kaki maupun tangan Dewa Arak
tampak selalu terhuyung-huyung ke belakang.
Seakan pemuda itu tak mampu menahan kekua-
tan tenaga dalam lawannya.
Plakkk! Bretttt!
Hampir bersamaan Dewa Arak dan kakek
bongkok itu terhuyung-huyung ke belakang. Dari
mulut keduanya pun keluar jeritan kesakitan dan
keterkejutan. Dalam sebuah gerakan yang sangat
cepat, tepakan tangan kanan kakek bongkok ber-
hasil menghantam pundak kiri Arya. Namun pe-
muda berambut putih keperakan itu pun berhasil
mencengkeram lengan baju kiri lawan hingga so-
bek.
Tanpa menemui kesulitan Dewa Arak ber-
hasil mematahkan kekuatan yang membuat tu-
buhnya sempoyongan. Kemudian bersiap untuk
melompat kembali ke kancah pertarungan setelah
terlebih dahulu menggosok sudut bibirnya dengan
punggung tangan kanan. Tampak darah di tan-
gannya. Dewa Arak terluka.
"Cukup, Rambut Setan! Kau benar-benar
lihai!" Seketika urat-urat saraf dan otot-otot Dewa
Arak yang semula menegang kaku menjadi lemas
kembali, mendengar ucapan kakek bongkok itu.
Apalagi kakek itu pun tak siap untuk bertarung
lagi. Tentu saja hal itu membuat kening Dewa
Arak berkerut karena merasa heran.
"Sekarang beritahukan pada kami pemilik
tong air yang kau buat permainan itu. Tentu saja
kalau kau memang tidak bermaksud untuk men-
cari permusuhan dengan kami," sela Eyang Kendi
Laga cepat
"He he he...! Pemilik tong air itu?" tuding
kakek bongkok pada tong air yang tergeletak di
atas tanah berbatu-batu. Dan ketika hampir Arya
dan Eyang Kendi Laga menganggukkan kepala,
kakek ini segera menyambung ucapannya, "Men-
gapa kalian bertanya padaku? Sejak aku berada
di sini pun pemiliknya sudah tidak ada. Hanya
tong air itu yang ada di sini. He he he...!"
Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga saling
pandang. Keduanya tahu kakek bongkok itu sama
sekali tidak berdusta.
"Kalau begitu..., maafkan atas tindakan
kami, sobat," ucap Eyang Kendi Laga sambil men-
gulurkan tangan meminta maaf. "Kami telah sa-
lah menjatuh tuduhan. Kami kira kau yang telah
mencelakai pemilik tong air itu. Asal kau tahu sa-
ja, pemilik tong air itu adalah muridku."
"Lupakanlah, Kurus!" sambut kakek bong-
kok tetap tidak merubah panggilannya. Uluran
tangan Eyang Kendi Laga tidak disambutnya sa-
ma sekali. "Sikapmu membuat perutku mual!"
Meski merasa mendongkol atas sikap ka-
kek bongkok, Eyang Kendi Laga tidak berkata
apa-apa. Perhatiannya dialihkan pada Dewa Arak.
"Kalau begitu, Gumilang mendapat bahaya
sebelum kakek ini datang, Eyang."
Eyang Kendi Laga menganggukkan kepala
membenarkan dugaan Dewa Arak. "Dan aku ya-
kin Gumilang tidak menyerah begitu saja. Dia
pasti mengadakan perlawanan. Namun, apabila
itu terjadi, pasti akan ada bekas-bekas pertarun-
gan di sekitar sini."
Tanpa berbicara lagi Arya dan Eyang Kendi
Laga mulai sibuk meneliti sekitar tempat itu. Se-
mentara kakek bongkok tampak hanya berdiri
memperhatikan sambil cengengesan sendirian.
Namun kemudian secara diam-diam dia melang-
kah mengikuti Eyang Kendi Laga dan Dewa Arak
yang tengah meneliti tempat ini.
•k'k'k
"Arrrggghhh...!"
Bagai diberi perintah Arya, Eyang Kendi
Laga, dan kakek bongkok menolehkan kepala ke
arah asal jeritan. Saat itu ketiganya telah berada
di tempat Kenari dihadang oleh sebatang pohon
yang tumbang. Dan si Kakek Bongkok pun ter-
nyata mengikuti sampai ke tempat itu. Serentak
ketiganya melesat menuju tempat asal jeritan itu.
Suara yang lebih mirip jeritan kematian karena
didera oleh rasa sakit yang hebat.
Mereka bertiga harus menerobos kerimbu-
nan semak-semak dan pepohonan sebelum ak-
hirnya melihat pemilik jeritan yang menggiriskan
hati. Pemilik raungan ternyata makhluk jejadian
pula, hanya berlainan dengan yang mengeroyok
Eyang Kendi Laga tadi. Makhluk jejadian kali ini
merupakan gabungan antara manusia dengan
macan kumbang.
Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga tercen-
gang dengan mata membelalak. Begitu pula kakek
bongkok bertangan buntung yang berdiri agak
jauh dengan Dewa Arak. Mereka bertiga tak men-
gerti melihat manusia macan kumbang itu tengah
mengguling-gulingkan tubuh di rerumputan sam-
bil terus meraung-raung seperti dilanda kesakitan
hebat. Tubuhnya yang bergulingan beberapa kali
menabrak batang pohon atau semak-semak ber-
duri, tapi seperti tidak merasakannya sama seka-
li. Manusia macan itu tetap meraung-raung den-
gan tubuh berkelojotan.
"Apa yang terjadi dengannya, Eyang...?"
tanpa ragu-ragu Arya mengajukan pertanyaan
pada Eyang Kendi Laga.
"Entahlah, Arya," jawab Eyang Kendi Laga
sambil menggeleng. Tampaknya dia tak berani
buru-buru menyimpulkan. "Tapi aku yakin dia ti-
dak menderita luka apa pun. Kemungkinan besar
makhluk jejadian ini menderita keracunan. Tapi,
keracunan apa, ini yang menjadi pertanyaan...."
Baru saja Eyang Kendi Laga menghentikan
jawabannya, sambil mengeluarkan keluhan pan-
jang manusia macan itu terkulai lemas, tidak ber-
gerak lagi. Seketika suasana di tempat itu beru-
bah hening. Tanpa memeriksa lagi pun, baik
Eyang Kendi Laga maupun Arya dan kakek bong-
kok tahu kalau makhluk jejadian itu telah tewas.
Meski begitu, ketiganya tetap melangkahkan kaki
mendekat memeriksa apa penyebab kematian
manusia macan itu secara lebih jelas.
"Makhluk ini benar keracunan," gumam
Eyang Kendi Laga setelah memeriksanya sesaat
"Dan racun inilah yang telah merenggut nya-
wanya. Dan anehnya mungkin kalian berdua
akan menjadi heran karenanya. Racun yang me-
matikan itu ternyata memang berada dalam di-
rinya. Maksudku dia tidak karena terkena racun
dari luar. Jelasnya di dalam tubuh makhluk ini
memang mengandung racun, mungkin di dalam
darahnya. Hhh... aneh! Kemungkinan racun di
dalam darahnya itulah penyebab kematiannya...."
Arya dan kakek bongkok tercenung. Kedu-
anya pun merasa heran mendengar penuturan
Eyang Kenda Laga. Mungkinkah makhluk jejadian
ini memiliki darah beracun seperti layaknya bina-
tang-binatang berbisa? Tapi, yang menjadi perta-
nyaan mengapa dia keracunan darahnya sendiri?
Kedua orang ini memaksa benaknya untuk berpi-
kir seperti Eyang Kendi Laga. Sesaat suasana
kembali hening. Tak satu pun yang berbicara,
hanya menatap sosok manusia berbulu hitam
yang tergeletak di depan mereka.
"Kurasa kita dapat mencari jawabannya
nanti," Ucap Eyang Kendi Laga memecahkan ke-
heningan yang terjadi karena masing-masing ha-
nyut dalam perasaan heran dan aneh. "Yang pent-
ing sekarang mumpung aku ingat, ingin kuketa-
hui, mengapa kau berada di sini, Sobat? Dan sia-
pa dirimu. Seperti yang telah kau ketahui nama-
ku Eyang Kendi Laga, dan ini kawanku Aiya. O
ya, kau pun belum menjelaskan maksudmu men-
cariku, Arya."
"Sebenarnya sepele saja, Eyang," jawab
Arya setelah tercenung sejenak. "Kedatanganku
mengunjungi tempatmu hanya untuk mengaju-
kan sebuah pertanyaan. Tapi sama sekali tidak
kusangka kalau pertanyaan yang akan kuajukan
berada di sini pula. Aku ingin tahu, benarkah
makhluk seperti yang kita jumpai ini ada? Mak-
sudku, apakah memang mempunyai jenis sendiri,
seperti layaknya kita yang termasuk jenis manu-
sia?!"
Eyang Kendi Laga tidak langsung membe-
rikan jawaban. Dia tercenung dengan menenga-
dahkan wajah ke langit. Tindakannya mengisya-
ratkan seolah-olah jawaban bagi pertanyaan itu
ada di atas sana dan dia tengah mencarinya.
"Kemungkinan jawaban bagi pertanyaanmu
itu, ya dan tidak Arya," jawab kakek kecil kurus
ini masih dengan kening berkernyit yang menan-
dakan kalau dirinya masih berpikir. "Masing-
masing jawaban mempunyai alasan kuat. Ya, ka-
lau mengingat rasanya tidak mungkin seorang
manusia, betapapun tinggi ilmunya mampu men-
jelma atau membuat dirinya seperti yang telah ki-
ta lihat ini. Mungkinkah seorang manusia dapat
merubah manusia atau binatang menjadi campu-
ran antara keduanya? Rasanya mustahil!"
Arya mengangguk-anggukkan kepala kare-
na merasakan adanya kebenaran dalam uraian
Eyang Kendi Laga. Sementara kakek bongkok di-
am saja. Bahkan seperti tidak memperhatikan
Eyang Kendi Laga sama sekali.
"Tetapi kita pun tak bisa menolak kemung-
kinan adanya makhluk-makhluk aneh seperti itu.
Bukankah di dunia ini banyak keganjilan dan ke-
jadian yang kadang tak masuk akal sama sekali.
Yang menjadi pertanyaan dalam hatiku, kalau
memang benar makhluk ini ciptaan Yang Maha
Kuasa, mengapa baru muncul akhir-akhir ini? Ti-
dak sejak dulu? Dan mengapa mereka bisa akur,
rukun, satu sama lain, padahal campuran jenis-
nya berbeda-beda...," Eyang Kendi Laga berhenti,
lalu menatap Arya. "O ya, mengapa kau tanyakan
hal itu, Arya? Apa kau juga menjumpai mereka di
sepanjang perjalanan kemari?"
Arya menganggukkan kepala pertanda
membenarkan.
"Sekarang giliranmu menerangkan semua
hal yang berhubungan dengan dirimu, Sobat?!"
Kakek bongkok yang mendapat giliran, ter-
tawa terkekeh-kekeh. Seakan pertanyaan Eyang
Kendi Laga merupakan sesuatu yang lucu.
"Namaku, Resi Bumi Gidulu. Tapi kebera-
daanku di sini dalam tujuan untuk mencari mu-
rid murtadku. Dia berhasil lolos dari penjara di
sebuah pulau kosong dan penuh rahasia. Itulah
sebabnya aku mencarinya. Muridku seorang ber-
watak bejat. Apabila dia muncul ke dunia ramai,
kekacauan takkan dapat dihindari lagi. Dia memi-
liki watak telengas, kejam, dan membunuh terlalu
ringan baginya.... Jejak yang kudapat menunjuk-
kan kalau dia berada di pegunungan ini. Setidak-
tidaknya, dia pernah berada di sini. Maka dari si-
ni aku mulai melacak jejaknya. Barang kali saja
dapat bertemu."
Arya dan Eyang Kendi Laga tidak memberi-
kan tanggapan. Mereka mendengarkan penjelasan
kakek bongkok sambil mengangguk-anggukkan
kepala. Benar dugaan Dewa Arak bahwa tokoh
tua itu bukan orang jahat
4
"Hup!"
Dengan sebuah gerakan manis seorang ga-
dis berpakaian merah melompat dari atas pung-
gung kuda dan mendarat di tanah. Rambutnya
yang digelung ke atas agak bergoyang-goyang ke-
tika kakinya menjejak tanah.
Kemudian, setelah mengikatkan tali kuda
pada sebatang pohon yang di dekatnya banyak
terdapat rumput segar, gadis berpakaian merah
ini menghampiri sebuah sungai. Hanya dengan
beberapa langkah, dia telah berada di pinggir
sungai, dan berjongkok di bagian pinggiran yang
dekat dengan permukaan air.
"Ah...! Segarnya...!" desah gadis berpakaian
merah itu setelah membasuh wajah dan kedua
tangannya dengan air sungai yang jernih. Wajah
yang semula penuh peluh dan debu, telah kemba-
li putih kemerahan.
Bunyi ringkikan kuda yang tiba-tiba ter-
dengar membuat gadis itu serta-merta membalik-
kan tubuh dengan sikap waspada. Tangannya
dengan cepat mencabut pedang yang tersampir di
punggungnya. Seketika sinar yang menyilaukan
mata mencuat dari mata pedang yang mengkilat
itu.
"Keparat!"
Gadis berpakaian merah itu mengeluarkan
desisan kemarahan ketika melihat kuda tunggan-
gannya ambruk ke tanah. Dari leher kuda coklat
itu mengalir darah segar, karena tertancap seba-
tang pisau. Tanpa berpikir lebih panjang, gadis
berpakaian merah ini tahu kalau binatang tung-
gangannya telah dibunuh orang. Dan dugaannya
ternyata tidak salah! Sekejap kemudian, dari balik
pepohonan yang ada di sekitar tempat itu berlom-
patan lima sosok berpakaian hitam. Sebilah pisau
berwarna putih mengkilat tergenggam di tangan
kanan mereka.
"Tidak usah membuang-buang tenaga den-
gan marah-marah dan mencoba melawan kami,
Anak Manis! Lebih baik kau menyerah dan ikut
secara baik-baik. Tidak ada gunanya kau mela-
wan kami" ucap lelaki bertubuh pendek kekar
sambil menyeringai kejam.
"Ooo..., jadi kalianlah yang menjadi pelaku
penculikan terhadap wanita-wanita tak berdosa?!"
Tanpa memberikan jawaban atas permintaan le-
laki pendek kekar, gadis berpakaian merah itu
menghampiri kudanya yang telah tergeletak sam-
bil memasukkan pedangnya ke dalam warangka.
Ternyata dia mengambil sebatang tongkat dari pe-
lana kudanya.
"Ah...! Jadi kau telah mendengar berita itu,
Manis?!" sahut lelaki pendek kekar tanpa merasa
kaget lama sekali. "Kebetulan kalau begitu. Me-
mang kamilah yang telah melakukan penculikan
terhadap wanita-wanita. Menyerahlah kalau kau
ingin diperlakukan baik-baik!"
"Tutup mulutmu, Manusia Iblis!" sentak
gadis berpakaian merah, "Wanita lain boleh kau
perlakukan sekehendakmu. Tapi aku, Mawar, ti-
dak akan membiarkan kau bertindak semaunya!
Orang-orang seperti kalian harus dilenyapkan da-
ri muka bumi!"
Lima lelaki berpakaian hitam tertawa ber-
gelak. Semua merasa geli mendengar ucapan ga-
dis berpakaian merah yang mereka anggap terlalu
berani itu. Kelimanya baru merasa kaget ketika
gadis berpakaian merah itu mengirimkan seran-
gan dengan tongkatnya yang runcing. Bunyi ber-
desing nyaring dari udara yang terobek akibat ge-
rakan tongkat runcing itu menyadarkan kelima
lelaki berpakaian hitam. Gadis berpakaian merah
yang mereka anggap mangsa empuk itu ternyata
memiliki tenaga dalam tinggi.
Oleh karena itu, kelima lelaki berpakaian
hitam ini tidak berani bertindak gegabah. Mereka
terpaksa melakukan perlawanan dengan menge-
rahkan kemampuan masing-masing.
Trang, trang, trang!
Bunga api berpijar ketika tongkat runcing
di tangan gadis berpakaian merah berbenturan
dengan lima batang pisau mengkilat milik lawan-
lawannya. Kelima lelaki berpakaian hitam sema-
kin kaget ketika merasakan tangan mereka terge-
tar hebat bahkan senjata masing-masing hampir
terlepas dari pegangan. Hal ini semakin meyakin-
kan mereka kalau mangsa kali ini bukan gadis
sembarangan.
Dugaan mereka ternyata tak salah. Mawar
bukanlah lawan yang ringan. Gadis ini memiliki
kepandaian cukup tinggi. Apalagi setelah Dewa
Arak memberikan petunjuk-petunjuk berharga
kepadanya meskipun hanya dua hari. Ditambah
pula dengan bimbingan saudara kembarnya, Me-
lati, membuat kepandaian Mawar meningkat pe-
sat (Untuk jelasnya mengenai tokoh Mawar, sila-
kan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Sepa-
sang Alap-Alap Bukit Gantar").
Bukkk!
Crettt!
Dua di antara lima lelaki berpakaian hitam
terjengkang ke belakang ketika kaki kanan Mawar
mendarat di paha kanan salah seorang di antara
mereka. Sedangkan yang satunya lagi terkena ba-
batan ujung tongkat runcing.
Tiga lelaki berpakaian hitam sisanya lang-
sung bergerak cepat, melompat ke belakang dan
mengurung dari tiga arah. Mawar berdiri diam di
tempatnya. Dia tidak mau melancarkan serangan
karena ingin melihat terlebih dulu tindakan me-
reka selanjutnya.
Ternyata tiga lelaki berpakaian hitam itu
tidak melancarkan serangan. Mereka berdiri di
tempat masing-masing dan membentur-
benturkan pisau di tangan kanan dengan sarung-
nya hingga menimbulkan bunyi berdenting yang
cukup riuh.
Mawar mengernyitkan alisnya, heran. Dia
tidak mengerti mengapa tiga lelaki berpakaian hi-
tam itu melakukan tindakan demikian. Apalagi
ketika disadari kalau ketukan itu memperdengar-
kan bunyi yang khas. Suaranya terdengar susul-
menyusul secara berirama tetap.
Mawar baru merasa kaget bukan kepalang
ketika mendadak merasakan sakit pada telin-
ganya. Kian lama kian bertambah sakitnya, bah-
kan kemudian rasa pusing mulai menyerangnya.
Sekujur tubuhnya terasa lemas secara mendadak
bagaikan dilolosi tulang-belulangnya. Tanpa da-
pat dicegah lagi, tongkat yang tergenggam di tan-
gan terlepas dan jatuh ke tanah. Bahkan tubuh
Mawar mulai limbung.
Saat Mawar tengah tidak berdaya seperti
itu, lelaki berpakaian hitam yang tadi terkena
tendangan pada paha kanannya, dengan agak ter-
tatih-tatih melangkah mendekati gadis itu. Mawar
masih menyadari adanya bahaya, tapi tidak ber-
daya sama sekali. Dirinya tidak mampu melaku-
kan perbuatan apa pun, bahkan sampai lelaki
pincang itu menotok bahu kanannya, hingga ro-
boh lemas tidak berdaya.
Bersamaan dengan robohnya Mawar, tiga
lelaki berpakaian hitam menghentikan ketukan
senjata mereka.
"Hebat juga betina liar ini!" ucap lelaki
pendek kekar bernada kagum. "Tanpa cara ini
mungkin kita tidak akan dapat membekuknya!"
Empat rekannya, tak terkecuali yang pin-
cang kakinya dan yang terluka perutnya, namun
telah ditotok jalan darahnya sehingga darah tidak
mengalir lagi, menganggukkan kepala membenar-
kan. Kemudian, setelah lelaki pendek kekar me-
manggul tubuh Mawar di bahu kanan, mereka
beranjak meninggalkan tempat itu.
"Tunggu...!"
Seruan keras yang membuat suasana di
tempat itu tergetar hebat membuat lima lelaki
berpakaian hitam berhenti dan membalikkan tu-
buh.
Lima lelaki berpakaian hitam itu terjingkat
kaget ketika melihat orang yang telah mengelua-
rkan suara menggeledek itu.
"Lagi-lagi kau, Kakek Bau Tanah.,.!" seru
lelaki pendek kekar tanpa menyembunyikan nada
kegentaran dalam ucapannya.
"Hm... kau masih mengenaliku, Penculik-
Penculik keparat!" gumam pemilik suara yang
ternyata si Kakek Bermuka Kehijauan. Tubuhnya
yang tinggi laksana galah, tampak bergoyang-
goyang seperti akan jatuh karena tertiup angin.
Lima lelaki berpakaian hitam saling pan-
dang. Sinar mata mereka menyiratkan kebingun-
gan.
"Kalau kalian tidak mau melepaskan wani-
ta itu jangan harap aku akan mengampuni kalian
seperti dulu lagi! Asal kalian tahu saja, sekarang
aku sedang tidak enak pikiran. Bukan tak mung-
kin kalau sekarang aku akan membunuh kalian!
Lepaskan wanita itu dan pergi dari sini! Cepat!"
Lima lelaki berpakaian hitam itu tidak
langsung mematuhi bentakan kakek bermuka hi-
jau. Mereka saling pandang sejenak. Dalam sinar
mata mereka rupanya terdapat kecocokan penda-
pat. Sambil menghembuskan napas berat lelaki
pendek kekar melemparkan tubuh gadis berpa-
kaian merah.
Tappp!
Seperti menerima segumpal daun kering,
kakek bermuka hijau itu menyambut tubuh Ma-
war dengan tangan kiri. Hampir pada saat yang
sama, tangan kanannya bergerak menepuk, dan
Mawar pun merasakan totokannya telah punah.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek,"
ucap Mawar penuh perasaan terima kasih. "Kalau
tidak ada Kakek entah apa yang akan terjadi pada
diriku. Aku berhutang budi padamu."
Mawar segera membalikkan tubuh. Dia
bermaksud mengejar lima lelaki berpakaian hitam
yang masih terlihat di kejauhan. Mereka melesat
cepat meninggalkan tempat itu setelah memberi-
kan tubuh Mawar pada kakek bermuka hijau.
"Tunggu, Nak!" Cegahan kakek jangkung
membuat Mawar menghentikan maksudnya. Tu-
buhnya kembali dibalikkan
"Ada apa, Kek?"
"Kurasa lebih baik kau urungkan niatmu
untuk mengejar mereka. Terlalu berbahaya. Kau
akan ditangkap lagi oleh mereka. Mereka sangat
licik dan mempunyai banyak cara untuk mero-
bohkanmu. Lebih baik kau ikut bersamaku."
Mawar tercenung sejenak. Kalau menuruti
perasaan, dia ingin menolak tawaran itu. Dirinya
masih mempunyai urusan yang harus diselesai-
kan. Dan urusan itulah yang menyebabkannya
berada di tempat ini.
"Ikutlah bersamaku, Nak...!" ujar kakek
jangkung itu lagi, mengulang ajakannya.
Mawar menganggukkan kepala. Kakinya
melangkah menghampiri kakek jangkung. Kemu-
dian keduanya berlari cepat meninggalkan tempat
itu.
Belum berapa lama kakek jangkung dan
Mawar berlari, di kejauhan mereka melihat sosok
yang tengah melesat cepat menuju tempat itu.
Namun, baik kakek Jangkung maupun Mawar ti-
dak mempedulikannya sama sekali dan terus ber-
lari. Sebentar kemudian, kedua belah pihak ber-
papasan. Dan...
"Hei, Mawar! Mengapa kau berada di sini?!
Hendak ke mana kau?!" tanya sosok yang melesat
dari arah berlawanan, begitu jarak antara mereka
tinggal lima tombak. Sosok itu berhenti dan berdi-
ri menghadang di jalan. Mau tidak mau Mawar
dan kakek jangkung pun berhenti.
"Ah! Kakang Arya...!" sambut Mawar penuh
perasaan gembira. "Memang aku tengah mencari-
carimu, Dan..."
"Siapa orang ini, Mawar?!" selak kakek
jangkung bernada selidik dan tak senang seraya
menatap Arya dan Mawar berganti-ganti.
"Dia Arya, Kek. Kawan baikku...."
Mawar terpaksa menghentikan ucapannya
karena mengetahui kakek jangkung tidak meng-
hiraukan melainkan mengalihkan perhatian pada
pemuda berpakaian ungu di depannya.
"Anak Muda, siapa pun kau adanya. Beta-
papun Mawar mengatakan kalau kau adalah ka-
wan baiknya, aku tidak bisa mempercayaimu.
Jangan-jangan kau kawan dari para penculik
yang baru saja menawannya dan berhasil kuusir
pergi. Menyingkirlah dari sini, sebelum aku ber-
tindak kasar padamu! Lagi pula aku dan Mawar
mempunyai urusan yang harus segera diselesai-
kan. Bukan begitu, Mawar?!"
"Be... betul, Kang Arya," jawab Mawar agak
terbata-bata setelah tercenung dan agak kelihatan
gugup mendapat pertanyaan yang tak disangka-
sangka itu.
Arya tertegun. Jawaban Mawar benar-
benar tidak disangkanya. Dan sebelum dia sem-
pat berkata apa-apa, dengan tidak sabaran kakek
jangkung telah mengayunkan kaki ke depan,
bermaksud pergi.
"Mari, Mawar! Aku tidak yakin kalau pe-
muda ini bermaksud baik padamu...."
Tanpa banyak membantah, meskipun tari-
kan wajahnya menyiratkan kebingungan, Mawar
mengikuti tindakan kakek jangkung. Tapi....
"Tunggu dulu, Kek!"
Di saat terakhir, Arya masih sempat ber-
tindak sebelum kakek jangkung dan Mawar me-
ninggalkan tempat itu. Dia menggeser kaki se-
hingga berdiri menghadang jalan. Kedua tangan-
nya pun dijulurkan ke depan. Tindakannya itu
memaksa kakek jangkung dan Mawar berhenti.
"Rupanya kau memang seorang berkepala
batu, Anak Muda," dengus kakek jangkung tanpa
menyembunyikan rasa kesalnya. "Peringatan se-
cara baik-baik tidak mempan untukmu. Jadi, kau
ingin diperlakukan secara kasar, hah?! Baik ka-
lau itu maumu! Sambutlah ini!"
Arya tidak mendapat kesempatan untuk
memberikan jawaban karena kakek jangkung itu
telah mengirimkan serangan berupa cengkeraman
kedua tangannya. Yang kanan mengancam ubun-
ubun sedangkan yang kiri mengincar dada. Dua
buah serangan yang mematikan.
"Keparat!"
Bersamaan dengan dengusan itu, Dewa
Arak melempar tubuh ke belakang. Namun kakek
jangkung yang telah bangkit amarahnya itu sege-
ra melompat memburu seraya mengirimkan ten-
dangan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati.
Tendangan yang mengeluarkan bunyi angin ber-
kesiutan karena didukung pengerahan tenaga da-
lam tinggi.
Plak, plakkk!
Tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung dua
langkah ke belakang ketika memapak tendangan
itu dengan kedua tangannya. Namun serangan
maut itu dapat dikandaskannya. Bahkan pemuda
berambut putih keperakan itu mampu mengirim-
kan serangan balasan. Sebentar kemudian, dua
tokoh yang berbeda usia ini telah terlibat perta-
rungan sengit.
Tentu saja perkembangan yang tidak ter-
sangka-sangka ini membuat Mawar kebingungan.
Dia tidak ingin kakek jangkung itu bertarung
dengan Arya. Dia tahu kedua belah pihak telah
salah paham. Mawar khawatir pertarungan ini
akan membuat salah satu pihak terluka. Hal ini
tidak diinginkannya sama sekali, karena baik
Arya maupun kakek jangkung telah sama-sama
melepas budi besar pada dirinya. Namun sayang-
nya dia tak memiliki kemampuan apa pun untuk
menghentikan pertarungan itu.
Yang dapat dilakukan Mawar hanya me-
nyaksikan jalannya pertarungan dengan hati ce-
mas sambil berseru-seru agar kedua belah pihak
menghentikan pertarungan. Namun sia-sia saja!
Teriakannya sama sekali tidak diperhatikan, apa-
lagi oleh kakek bermuka kehijauan. Rupanya ka-
kek jangkung telah demikian marah sehingga ti-
dak dapat diajak berpikir lagi.
"Ternyata kau memiliki sedikit kepandaian,
Anak Muda Sombong! Pantas kau berani bersikap
kurang ajar terhadap orang tua...!" seru kakek
jangkung sela-sela hujan serangan yang dikirim-
kannya.
Suara kakek bermuka kehijauan ini ter-
dengar sarat dengan perasaan geram dan penasa-
ran, karena Arya mampu menangkis serangan
yang dilancarkan dengan pengerahan seluruh te-
naga dalam. Dan setiap tangkisan pemuda be-
rambut putih keperakan itu selalu membuatnya
terhuyung dan tergetar. Hal ini membuatnya san-
gat penasaran, meskipun dilihatnya Arya menga-
lami hal serupa.
Karena kedua belah pihak memiliki gera-
kan cepat, tak terasa pertarungan telah berlang-
sung tiga puluh jurus. Selama itu belum terlihat
pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Kedu-
anya masih saling serang dengan sengitnya.
"Grrrhhh...!"
Tanpa terduga-duga, kakek jangkung men-
geluarkan geraman keras laksana seekor singa
yang hendak melumpuhkan mangsa dengan sua-
ra aumannya. Sekitar tempat itu tergetar hebat,
bahkan Mawar langsung jatuh duduk karena ke-
dua kakinya mendadak lemas.
Kalau Mawar saja yang berada cukup jauh
dari kancah pertarungan terpengaruh hingga ja-
tuh setengah berlutut, apa lagi Dewa Arak, orang
yang berada dekat dan menjadi sasaran serangan.
Meskipun telah terlindung oleh tenaga dalam
tinggi, tak urung tubuh pemuda berambut putih
keperakan itu terhuyung-huyung ke belakang.
Kalau saja tidak mempunyai tenaga dalam kuat,
isi dadanya mungkin terguncang dan bahkan
nyawanya akan melayang.
Kakek jangkung yang sudah memperhi-
tungkan hal ini, langsung meluruk dengan tam-
paran kedua tangan bertubi-tubi dari kanan dan
kiri ke arah pelipis Dewa Arak. Sudah terbayang
di benaknya kalau pemuda berambut putih kepe-
rakan itu akan tewas dengan kepala remuk.
Arya pun, meski tengah berada dalam kea-
daan terhuyung-huyung dan matanya berkunang-
kunang karena pengaruh suara geraman tadi,
masih dapat melihat adanya ancaman bahaya
maut. Buru-buru diangkat kedua tangannya un-
tuk menghalangi tangan lawan mendarat di sasa-
ran. Hal ini dilakukan karena tidak mempunyai
kesempatan untuk mengelak,
Plak, plakkk!
Karena sebagian tenaga dalamnya seperti
lenyap akibat geraman lawan, tangkisan yang di-
lakukan membuat tubuh Arya terlempar dan ja-
tuh bergulingan di tanah. Namun, dengan gera-
kan manis pemuda bangkit dan berdiri tegak siap
untuk menghadapi serangan lanjutan lawan.
"Iblis!" seru kakek jangkung penuh pera-
saan ngeri melihat lawannya masih berdiri tegak
dengan sikap siap menghadapi serangannya. Se-
telah menatap Dewa Arak sejenak, disambarnya
tangan Mawar dan dibawanya kabur.
"Mari, Mawar! Tinggalkan tempat ini..!"
Kakek jangkung berlari dengan pengerahan
seluruh ilmu lari cepatnya karena khawatir Dewa
Arak akan mengejarnya. Tindakan kakek ini
membuat Mawar yang mempunyai kemampuan
lari cepat jauh bawahnya jadi setengah terseret.
Namun gadis berpakaian merah ini tidak meng-
hentikan pengerahan ilmu larinya dan membiar-
kan saja tubuhnya dibawa kabur
Kakek jangkung berlari sambil beberapa
kali menoleh ke belakang karena khawatir Arya
akan mengejarnya. Hatinya lega ketika melihat
pemuda berambut putih keperakan itu tidak
mengejarnya, melainkan hanya berdiri menatap-
nya. Dewa Arak tetap bersikap begitu sampai ak-
hirnya kakek jangkung itu tidak melihatnya kare-
na lenyap ditelan kejauhan.
Yakin kalau pemuda berbaju ungu tidak
mengejarnya, kakek bermuka kehijauan itu mem-
perlambat larinya. Meskipun agak heran mengapa
pemuda berambut putih keperakan itu tidak
mengejar, padahal keadaannya masih segar -
bugar, kakek jangkung menghibur hatinya den-
gan menganggap Arya merasa sia-sia untuk men-
cegahnya.
Sementara itu, begitu melihat tubuh kakek
jangkung lenyap di kejauhan, tubuh Arya baru
bergetar keras. Lalu....
"Bhuakh,..!"
Arya memuntahkan darah segar dari mu-
lutnya. Darah yang sejak tadi ditahan-tahan ke-
luarnya. Apabila kakek jangkung mengetahui hal
ini, nyawanya akan melayang karena kakek itu
pasti akan terus melanjutkan penyerangan.
Begitu mengeluarkan darah segar banyak
dari mulutnya, Arya terguling roboh dan pingsan.
Paksaan yang dilakukannya untuk tetap tampak
segar-bugar dan menahan-nahan muntahnya da-
rah segar, membuatnya harus mengerahkan te-
naga dalam. Padahal, keadaannya saat itu terluka
parah, dan tindakan ini membuat luka dalamnya
semakin parah.
5
Sosok tubuh tegap bergerak dengan sikap
hati-hati mendekati tubuh Arya yang tergolek.
Semula sosok yang mengenakan pakaian rompi
kulit ular ini tengah berlari cepat, tapi langsung
dihentikan ketika melihat sosok tubuh berambut
putih keperakan tergolek tak bergerak.
"Siapa pemuda ini, ya?" tanya sosok berpa-
kaian kulit ular yang ternyata seorang pemuda
berwajah jantan, apalagi dengan adanya kumis
dan jenggot tebal serta hitam menghias wajahnya.
"Mengapa dia bisa terluka? Melihat ciri-cirinya
aku jadi teringat akan seorang tokoh golongan pu-
tih yang julukannya menggemparkan dunia persi-
latan. Diakah Dewa Arak?"
Semua pertanyaan itu terucap hanya di da-
lam hati pemuda berpakaian kulit ular. Dan den-
gan pertanyaan yang bergaung-gaung di dalam
hati, didekatinya, tubuh Arya dengan sikap was-
pada karena khawatir kalau-kalau sosok itu tiba-
tiba bangkit dan menyerangnya. Namun sampai
pemuda berompi kulit ular itu berada dekat den-
gan tubuh Aiya, dan bahkan sampai berjongkok,
apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Tubuh itu
tetap diam mematung seperti sebelumnya.
"Hei... Apa yang kaulakukan?!"
Di saat pemuda berompi kulit ular itu
mengulurkan tangan hendak menyentuh tubuh
Arya, terdengar suara teriakan. Suara itu terden-
gar dekat sekali padahal pemiliknya masih berada
dalam jarak sekitar tiga puluh tombak, teriakan
itu menimbulkan getaran hingga ke dalam dada!
Rasa kaget membuat pemuda berompi kulit
ular menghentikan gerakan tangannya, dan bah-
kan menariknya kembali. Tubuhnya segera berba-
lik, tapi sebelum dia sempat berbuat sesuatu,
pemilik suara itu telah berada di depannya. "Apa
yang hendak kau lakukan terhadap si Rambut Se-
tan, Manusia Ular?!" tanya pemilik suara yang
ternyata seorang kakek bongkok mengenakan pa-
kaian terbalik, bagian dalam di luar!
"Jangan sembarangan menuduh, Kek!" sa-
hut pemuda berompi kulit ular itu merasa tidak
senang, setelah wajah dan sikapnya menampak-
kan keterkejutan seperti seorang maling yang ter-
tangkap basah. "Aku sendiri baru tiba di sini, dan
akan memeriksa tubuh muda ini. Barangkali saja
nyawanya masih bisa diselamatkan...."
Kakek bongkok tidak langsung memper-
cayai jawaban pemuda berompi kulit ular itu.
Meski dia tidak memberikan tanggapan, beberapa
saat sepasang matanya meneliti sekujur tubuh
pemuda berompi kulit ular itu dengan penuh seli-
dik dan tanpa menyembunyikan perasaan curiga.
Pemuda berompi kulit ular rupanya terma-
suk orang yang berwatak sabar, atau merasa gen-
tar melihat sikap dan tindakan kakek bongkok.
Dia malah menundukkan kepala setelah sejenak
balas menatap. Sikap ini membuat kakek bong-
kok semakin bertambah curiga karena setahunya
hanya orang yang bersalah merasa takut diselidi-
ki.
"Uuuh...!"
Keluhan panjang dari mulut Arya membe-
baskan pemuda berompi kulit ular dari tatapan
penuh selidik kakek bongkok. Sepasang mata tua
tapi masih tajam berkilat penuh pengaruh itu ber-
lari secara cepat ke arah tubuh Arya yang tergolek
"He he he...! Apa yang terjadi, Rambut Se-
tan? Aku tak percaya kalau tidak melihat sendi-
ri...! Orang seperti kau bisa terluka. Luar biasa!
Apakah ini orang yang telah melukaimu?!" tanya
kakek bongkok tak sabar begitu melihat Dewa
Arak yang tergolek di tanah mengerjap-
ngerjapkan sepasang matanya.
Arya meski baru saja sadar dari pingsan,
tapi karena telah terbiasa hidup dalam bahaya,
langsung dapat mengetahui keadaan. Meski pan-
dangannya masih kabur, dia dapat mengenali dua
sosok yang berdiri depannya.
"Bukan, Resi. Bukan dia yang telah melu-
kaiku. Aku bertarung dengan seorang kakek sak-
ti."
Pemuda berompi kulit ular melirik ke arah
kakek bongkok penuh kemenangan. Sorot ma-
tanya seperti mengucapkan perkataan.
"Apa kubilang?!"
"He he he...! Kau terluka parah, Rambut
Setan! Biar kucoba mengobati lukamu. Duduklah
bersila!" ujar kakek bongkok yang ternyata ber-
nama Resi Bumi Gidulu.
"Terima kasih, Resi, Tidak usah repot-
repot, biar aku yang menyembuhkan luka ini. Ti-
dak parah, kok."
Dewa Arak lalu bangkit dan duduk bersila
meski agak payah, untuk bersemadi.
Resi Bumi Gidulu tidak bisa berkata apa-
apa selain mengangkat dua bahunya. Dia tidak
memaksakan kehendak karena tahu Dewa Arak
bersungguh-sungguh dengan penolakannya, bu-
kan sekadar basa-basi belaka.
Dibiarkan saja pemuda berambut putih
keperakan itu melakukan hal yang ingin dikerja-
kan. Dan sebentar kemudian, Dewa Arak telah
tenggelam dalam keheningan semadi untuk men-
gobati luka dalamnya.
Resi Bumi Gidulu menatap Dewa Arak se-
bentar, tapi kemudian mengalihkan perhatian pa-
da pemuda berompi kulit ular.
"Siapa kau, Manusia Ular?! Apakah kau
pun di sini untuk memburu makhluk-makhluk je-
jadian?!" tanya Resi Bumi Gidulu, langsung tanpa
basa-basi. Mulutnya cengengesan menatap pe-
muda itu.
"Panggil saja aku Dongga! Keberadaanku di
sini untuk mencari pengalaman. Ke mana saja
kakiku ini membawa ke situlah aku menuju," ja-
wab pemuda berompi kulit ular, halus.
"Mencari pengalaman?! Pengalaman tai
kucing! Kau di sini tidak untuk mencari pengala-
man! Untuk apa pengalaman?! Aku di sini karena
membawa sebuah tugas yang sebenarnya tidak
kusukai. Tapi, karena ini masih tanggung jawab-
ku, apa boleh buat, harus kuselesaikan juga."
"Tugas, Resi. Tugas apa? Barangkali saja
aku dapat menyumbangkan tenaga dan kemam-
puanku yang tidak seberapa ini untuk meringan-
kan tugasmu. Maaf kalau aku terlalu lancang,
Resi."
"Tentu saja tidak, Manusia Ular! He he
he...! Bahkan aku memang bermaksud menceri-
takannya padamu," sambut Resi Bumi Gidulu te-
tap tidak memanggil pemuda itu dengan na-
manya.
"Aku sebenarnya sudah mundur dari rimba
persilatan. Aku sudah jenuh, bosan! Kini, terpak-
sa harus keluar lagi dan terlibat dengan kekera-
san, karena ingin mencari dan menangkap, serta
kalau bisa melenyapkan murid murtadku dari
muka bumi ini kalau dia masih melanjutkan ke-
se satannya seperti dulu."
Resi Bumi Gidulu menghentikan ceritanya
untuk melihat tanggapan Dongga. Barangkali saja
pemuda berompi kulit ular itu hendak mengaju-
kan sebuah perkataan. Namun, Dongga ternyata
diam, tak menyela cerita kakek bongkok itu. Ia ti-
dak berbicara apa pun, menunggu kelanjutan ce-
rita dengan sabar, sikap seorang pendengar yang
baik!
"Dulu, hampir tiga puluh tahun yang lalu
aku terpaksa menyekap murid yang sangat ku-
sayangi di sebuah pulau mengerikan. Pulau aneh
yang tidak mungkin orang keluar dari tempat itu
kecuali mengetahui rahasianya. Sebuah kebetu-
lan, aku mengetahui rahasianya, dan muridku ti-
dak. Hal itu terpaksa kulakukan, setelah muridku
yang waktu itu berusia dua puluh lima tahun, ti-
dak juga mau sadar dari kesesatan tindakannya.
Mengacaukan dunia persilatan, bahkan dengan
cara licik berani membuat tubuhku cacat. Kau li-
hat bongkokku? Ini akibat perbuatan muridku!"
"Keji sekali muridmu itu, Resi!" Dongga
mengeluarkan makian terhadap murid Resi Bumi
Gidulu, ketika kakek bongkok itu menghentikan
ceritanya untuk mengambil napas.
"He he he...! Dia memang bukan manusia
lagi, Manusia Ular, tapi iblis! Itulah sebabnya aku
khawatir sekali ketika menengok pulau itu satu
purnama yang lalu, tidak kulihat keberadaannya
di sana. Malah aku melihat adanya tanda-tanda
kalau dia telah pergi meninggalkan pulau huku-
man itu. Maka, walau sudah tua, lewat seratus
tahun usiaku, karena khawatir murid biadab itu
melakukan tindakan kejinya, aku terpaksa turun
gunung. O ya, nama muridku itu Rawali. Kulitnya
hitam kelam. Wajahnya khas karena mengin-
gatkan orang akan wajah seekor burung elang.
Bukan hanya karena dandanannya, tapi karena
bentuk hidung dan sepasang matanya. Aku yakin
akan mudah mencari orang dengan ciri-ciri seper-
ti itu. Tapi sampai sekarang aku belum juga ber-
hasil menemukan jejaknya. Aku jadi ragu, apakah
muridku itu menempuh jalan yang berlainan den-
ganku atau sebenarnya belum keluar dari pulau
hukuman?!"
"Mungkin muridmu itu menempuh jalan
yang berada jauh denganmu, Resi. Siapa tahu dia
menempuh arah ke barat, sedangkan kau ke ti-
mur. Bagaimana mungkin kau bisa menemukan
jejaknya. Lagi kau... maksudku... tahukah kau,
Resi, kapan tepatnya muridmu itu telah tidak be-
rada di pulau hukuman?!"
"Aku tidak tahu pasti, Manusia Ular," Resi
Bumi Gidulu mengangkat bahunya. "Tapi, aku
yakin tidak sampai setahun. Sebab, aku menen-
gok tempat itu saja tahun sekali. Jadi, kemungki-
nannya paling lama hanya setahun dia lolos dari
tempat itu. Meskipun demikian entah mengapa
aku yakin sekali kalau Rawali pergi belum lama
dari pulau itu. Paling lama hanya berseling bebe-
rapa hari."
Dongga tidak sempat memberikan tangga-
pan lagi karena Arya telah menyelesaikan sema-
dinya dan berjalan mendekati mereka berdua.
Terlihat jelas kala luka dalam pemuda berambut
putih keperakan itu telah sembuh, karena wajah-
nya terlihat telah segar. Hanya saja tenaga Arya
belum seluruhnya pulih seperti sediakala. Arya
masih memerlukan semadi lagi untuk membuat
tenaga dalamnya penuh.
"Mengapa kau berada di sini, Resi?!"
Arya mengajukan pertanyaan tanpa ber-
prasangka buruk, setelah terlebih dulu berkena-
lan dan berbasa-basi dengan Dongga, dan mence-
ritakan penyebabnya terluka.
"He he he...! Meskipun tidak melihatnya,
kau tahu kalau sekarang Eyang Kendi Laga telah
menemukan jawaban bagi pertanyaanmu, Ram-
but Setan," jawab Resi Bumi Gidulu, memberikan
alasan keberadaannya di tempat ini. Memang, tiga
orang ini mulanya telah saling pisah untuk me-
laksanakan kepentingan masing-masing.
"Lalu... bagaimana hasilnya, Resi?!" tanya
Dewa Arak penuh rasa ingin tahu.
"Mengapa tidak kau temui si Kurus itu dan
bertanya padanya, Rambut Setan?!" Resi Bumi
Gidulu malah balas bertanya.
"Kau ikut, Dongga?!" ajak Arya sebelum
pergi.
"Kalau kau tidak keberatan, Arya?!."
"Tentu saja tidak!" jawab Arya cepat. "Bu-
kankah kita sekarang berkawan?!"
Dongga si Pemuda Berompi Kulit Ular me-
lesat mengikuti Dewa Arak dan Resi Bumi Gidulu.
Semula Aiya menahan-nahan kecepatan larinya,
khawatir kalau Dongga akan tertinggal jauh. Na-
mun ternyata tidak, pemuda berompi kulit ular
itu mampu mengimbangi lari mereka berdua,
bahkan ketika Arya mengeluarkan hampir selu-
ruh ilmu meringankan tubuhnya. Diam-diam baik
Arya maupun Resi Bumi Gidulu bertanya-tanya
dalam hati, "Murid siapakah pemuda berompi ku-
lit ular ini?"
Karena ketiga tokoh itu berlari cepat, da-
lam waktu sebentar saja telah berada dekat den-
gan pondok kediaman Eyang Kendi Laga. Dan
tampak kakek kecil kurus itu berdiri menunggu di
depan pintu pondok. Tampak jelas perasaan tidak
sabarnya untuk memberitahukan hasil penyelidi-
kannya. Dan seperti juga Arya, Resi Bumi Gidulu,
Dongga, dan Eyang Kendi Laga pun melihat keda-
tangan mereka. Dan tergesa-gesa kakek kecil ku-
rus itu berlari menyambut. Kedua belah pihak
pun bertemu muka di tengah perjalanan.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu, Eyang?"
tan Arya, sebelum Eyang Kendi Laga mengata-
kannya.
"Kau akan terkejut mendengarnya, Arya,"
jawab kakek berkepala botak itu yakin akan uca-
pannya. "Makhluk-makhluk jejadian itu ternyata
tidak ada!"
"Maksudmu... makhluk-makhluk itu di-
buat orang, kurus?!" Resi Bumi Gidulu yang ma-
lah mengajukan pertanyaan.
"Benar," Eyang Kendi Laga mengangguk-
kan kepala. "Entah dengan cara bagaimana aku
sendiri pun tidak tahu, tapi yang jelas, makhluk
jejadian ini dibuat dari bahan dasar berupa ma-
nusia sungguhan!"
"Biadab!" Arya memaki penuh perasaan ge-
ram.
"Iblis!" Resi Bumi Gidulu ikut pula menge-
luarkan seruan kemarahan.
Dongga, karena tidak tahu masalah yang
tengah diributkan, hanya berdiam diri. Dia tidak
mengajukan pertanyaan sama sekali. Dan, Resi
Bumi Gidulu yang telah tahu sikap pemuda be-
rompi kulit ular yang sungkan itu, segera bersi-
kap tanggap dengan menceritakan semuanya.
"Ah, jadi... makhluk jejadian itu benar-
benar ada?! Dan, itu semua merupakan hasil per-
buatan seseorang? Sungguh keji!" ujar Dongga
ketika Resi Bumi Gidulu telah selesai mengutara-
kan ceritanya. "Sama sekali tidak kusangka. Ku-
pikir berita itu hanya kabar burung belaka. Se-
mula aku tidak percaya. Mana mungkin ada ma-
nusia harimau, manusia kera, atau yang lain-
nya?"
"Kau sendiri, bagaimana hasilnya, Arya?"
tanya Eyang Kendi Laga ingin tahu.
"Belum, Eyang." Kemudian secara jelas
Arya menceritakan semua kejadian yang diala-
minya. "Mudah-mudahan saja kakek itu tidak
bermaksud jahat terhadap Mawar."
"Kau jangan terlalu yakin, Arya," gumam
Eyang Kendi Laga membuat Dewa Arak menoleh
ke arahnya. "Bisa kau ceritakan, maksudku... be-
ritahukan ciri-ciri kakek yang telah membawa lari
kawan baikmu itu. Aku khawatir kawanmu itu se-
lamat dari mulut serigala tapi masuk dalam ceng-
keraman harimau,"
Arya tidak langsung menjawab pertanyaan
itu. Dia tercenung dengan sepasang mata mena-
tap ke angkasa. Pemuda berambut putih kepera-
kan ini mencoba mengingat ciri-ciri kakek yang
telah membawa Mawar pergi.
"Seorang kakek bertubuh jangkung... ting-
ginya tak kurang dari satu setengah kali orang bi-
asa. Wajahnya kehijauan. Hanya itu ciri-ciri khas
orang itu yang dapat kuberitahukan padamu,
Eyang. Apakah kau mengenalnya?!"
Arya mengajukan pertanyaan demikian ka-
rena melihat wajah Eyang Kendi Laga berubah,
menampakkan keterkejutan dan kekhawatiran.
"Kekhawatiran ku ternyata beralasan,
Arya," gumam Eyang Kendi Laga, pahit. "Ciri-ciri
orang yang kau sebutkan padaku itu amat ku-
kenal. Aku pernah beberapa kali bertemu den-
gannya meskipun tidak pernah bentrok. Dia seo-
rang tokoh hitam yang berwatak keji. Aku bukan
bermaksud menakut-nakutimu, tapi aku yakin
keselamatan kawanmu itu terancam!"
"Siapa sebenarnya tokoh itu, Kurus?!"
tanya Resi Bumi Gidulu sebelum Arya mengaju-
kan pertanyaan. Kakek bongkok ini mendengar-
kan percakapan Arya dan Eyang Kendi Laga.
Tampaknya dia merasa tertarik sehingga segera
ikut campur dan mengajukan pertanyaan.
"Raja Sihir Pelenyap Sukma," jawab Eyang
Kendi Laga, singkat
"Ah...!"
Seruan keterkejutan hampir bersamaan ke-
luar dari mulut Aiya, Resi Bumi Gidulu, dan
Dongga.
"Kau mengenalnya, Arya?" tanya Eyang
Kendi Laga, ingin tahu.
"Tidak, Eyang. Tapi nama besar dan keja-
hatan tokoh itu telah lama kudengar. Ah, kasihan
Mawar!" Wajah Dewa Arak mendadak berubah,
mencemaskan keadaan kawannya.
"Apakah tidak mungkin bagi kita untuk
menyelamatkannya," Dongga menyela pembica-
raan mereka. "Barangkali saja kita dapat bertin-
dak cepat sebelum terjadi sesuatu atas diri Ma-
war."
"Kemungkinan untuk menyelamatkannya
merupakan sebuah hal yang sulit, Dongga. Bukan
karena kita tidak mampu, tapi aku yakin kalau
waktu tidak memungkinkan kita. Terkecuali ka-
lau kita sudah lebih dulu mengetahui tempat ke-
diaman Raja Sihir Pelenyap Sukma itu."
Dongga mengangguk-anggukkan kepala,
dapat menyadari adanya kebenaran dalam uca-
pan Eyang Kendi Laga yang menanggapi usulnya.
"Kalau benar demikian, kurasa kemungki-
nan itu terjadi besar, Kurus!" sambut Resi Bumi
Gidulu penuh semangat. Hal itu membuat wajah-
wajah, terutama sekali Arya yang sudah lesu sete-
lah mendengar penuturan Eyang Kendi Laga, jadi
bercahaya karena mempunyai sedikit harapan.
'Apakah kau mempunyai cara cepat untuk
dapat menyelamatkan Mawar, Resi?!" tanya Arya,
cepat
"Menyelamatkannya sih, aku tidak yakin,"
jawab Resi Bumi Gidulu yang membuat dua wa-
jah lain terutama Arya yang semula sudah berse-
ri-seri jadi putus asa kembali. "Bukankah, si Ku-
rus itu hanya mengingatkan kalau kita mampu
mengetahui tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap
Sukma, akan dapat menyelamatkan nyawa Ma-
war?! Nah! Aku mempunyai sebuah cara untuk
mengetahui tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap
Sukma secara cepat"
"Benarkah itu, Resi?!" sambut Arya cepat
dengan semangat yang mulai timbul kembali.
"Tentu saja!" jawab Resi Bumi Gidulu,
mantap. "Tapi, apakah usahaku ini akan berarti
bagi keselamatan nyawa kawanmu itu, Rambut
Setan?!"
"Mudah-mudahan saja!" sahut Arya.
"Kalau begitu aku bersedia. Tapi, aku tetap
membutuhkan bantuan kalian semua. Siapa di
antara kalian yang bersedia membantu?! Tapi,
sebelumnya perlu kuberitahukan bahwa caraku
ini tidak wajar. Aku akan meminta bantuan pada
roh-roh yang berada di sekitar tempat ini. Baik
roh gentayangan maupun setan-setan yang berke-
liaran. Bantuan yang dibutuhkan adalah kese-
diaan salah seorang di antara kalian untuk men-
jadi tempat dari roh yang akan dipanggil. Aku
akan mengajukan pertanyaan pada roh-roh yang
akan bersedia datang. Siapa di antara kalian yang
bersedia?!"
"Aku saja, Resi. Biar bagaimanapun aku
lebih bertanggung jawab atas keselamatan ka-
wanku itu. Bukan karena aku mengecilkan arti
Eyang Kendi Laga atau pun Dongga."
"Kalau begitu, bersiaplah, Rambut Setan!
Kita akan memulainya."
Dewa Arak melangkah mendekati tempat
kakek bongkok itu berada. Sedangkan Dongga
dan Eyang Kendi Laga segera menjauh.
Sementara itu Resi Bumi Gidulu segera
mengeluarkan perabotannya untuk memanggil
roh-roh dimaksud dari buntalan kain yang ada di
belakang punggungnya. Pedupaan, kemenyan,
dan bubuk berwarna putih. Dupa yang telah diisi
kemenyan diletakkan di tengah-tengah tempat
pemanggilan roh. Sedangkan bubuk putih itu dis-
ebarkan menggelilingi tempatnya dan Aiya berada
membentuk persegi panjang cukup luas.
6
"Aungng...!"
Lolong anjing hutan yang mengaung pan-
jang membuat suasana malam yang melingkupi
hutan di bawah puncak gunung terasa semakin
menyeramkan. Apalagi bulan penuh yang tampak
di langit perlahan-lahan mulai tertutup awan hi-
tam bergumpal-gumpal yang entah muncul dari
mana.
Dalam suasana mencekam seperti itu, so-
sok tubuh jangkung yang tak lain Raja Sihir Pele-
nyap Sukma melesat cepat dengan pengerahan
ilmu larinya, sehingga bentuk tubuhnya lenyap
dan yang terlihat hanya bayangan berkelebat da-
lam bentuk tidak jelas. Sementara di belakang-
nya, berlari mengejarnya sesosok tubuh yang
hampir telanjang karena sebagian pakaiannya te-
lah hancur berantakan.
"Hayo kejar aku, Iblis Busuk! Akan kuhan-
curkan tulang-belulangmu!" seru Raja Sihir Pele-
nyap Sukma sambil menolehkan kepala, tapi tan-
pa memperlambat kecepatan larinya.
Sosok yang hampir telanjang itu rupanya
sudah jenuh mengejar-ngejar buruannya. Dia
berhenti, lalu berbalik arah. Namun anehnya, Ra-
ja Sihir Pelenyap Sukma malah menghentikan la-
rinya dan bergerak mengejar.
"Hey! Iblis Busuk! Iblis Pengecut, kemari
kau! Hadapi aku!"
Ucapan-ucapan keras bernada tantangan
dari Raja Sihir Pelenyap Sukma ternyata sia-sia
belaka. Sosok hampir telanjang yang dimaki-
makinya terus berlari tanpa mempedulikan teria-
kan tantangan dari kakek jangkung itu.
Melihat hal ini Raja Sihir Pelenyap Sukma
sambil terus mengejar, mengeluarkan benda-
benda logam berbentuk bintang segitiga. Lalu, di-
lemparkannya ke arah sosok hampir telanjang
yang berlari di depannya berjarak enam tombak.
Cap, cappp!
Bintang bersegitiga itu menancap semua
pada saran yang dituju karena sosok hampir te-
lanjang tidak mengelakkannya sama sekali.
Sosok hampir telanjang itu mengeluarkan
jeritan keras menggelegar penuh kemarahan. Se-
ketika berhenti lalu membalikkan tubuhnya.
Dengan gerakan cepat sosok hampir telanjang itu
melompat menerkam Raja Sihir Pelenyap Sukma
seperti seekor harimau menerkam mangsa. Kedua
tangannya yang berkuku panjang dan hitam siap
merobek-robek tubuh kakek jangkung itu.
Namun Raja Sihir Pelenyap Sukma tidak
kalah gesit bertindak. Sebelum serangan itu men-
genai sasaran, dia bergerak cepat mengelak ke
kanan depan. Tangan kirinya dikibaskan ke dada
lawannya yang terbuka lebar
Bukkk!
Telak dan keras sekali tangan kiri Raja Si-
hir Pelenyap Sukma mendarat di dada lawan. Se-
ketika tubuh sosok hampir telanjang itu terlem-
par jauh ke samping. Namun, dengan gerakan
manis sosok itu menggerakkan tubuh untuk me-
matahkan kekuatan yang membuatnya terlempar,
kemudian mendarat di tanah dengan kedua kaki.
Tidak terlihat tanda-tanda kalau pukulan keras
Raja Sihir Pelenyap Sukma yang mampu meng-
hancurkan batu sebesar rumah itu berpengaruh
terhadap dirinya. Dengan gerakan yang lebih ke-
ras dari sebelumnya, sosok hampir telanjang itu
kembali menerjang lawannya.
Raja Sihir Pelenyap Sukma kali ini melom-
pat jauh ke belakang untuk mengelakkannya. Dia
tidak kaget melihat lawannya tidak terluka atau
kesakitan akibat pukulan tadi.
Malam mencekam dengan suasana re-
mang-remang karena bulan purnama tertutup
awan tebal terus merayap perlahan. Pertarungan
sengit itu pun terus berlanjut. Sebuah pertarun-
gan aneh karena sosok hampir telanjang yang
memusatkan diri pada penyerangan, tidak pernah
berusaha mengelak atau menangkis gempuran
lawan. Berkali-kali serangan Raja Sihir Pelenyap
Sukma, baik berupa pukulan maupun tendangan
bersarang di tubuhnya, namun hanya membuat-
nya terlempar jatuh untuk kemudian melakukan
penyerangan lebih dahsyat. Serangan-serangan
aneh karena dilakukan dengan gerakan kaku.
Sepuluh jurus berlalu dan tidak terhitung
sudah beberapa kali sosok berpakaian hampir te-
lanjang itu terkena pukulan maupun tendangan
dari Raja Sihir Pelenyap Sukma. Namun kekuatan
tubuhnya benar-benar luar biasa! Tak sedikit pun
terlihat adanya tanda-tanda kalau serangan-
serangan yang gencar mendarat pada sasaran itu
berpengaruh atas dirinya.
Raja Sihir Pelenyap Sukma sejak semula
sadar, percuma menghadapi lawannya karena
mengetahui keperkasaan dan ketangguhan sosok
berpakaian hampir telanjang itu. Itulah sebabnya,
pada jurus kedua belas, ketika memperoleh ke-
sempatan, dia segera melesat meninggalkan la-
wannya, setelah terlebih dahulu melempar tubuh
ke belakang untuk menjauhkan diri.
Sosok hampir telanjang tidak mau mem-
biarkan lawan pergi begitu saja. Dia kembali me-
lesat mengejarnya. Tak pelak lagi kejar-mengejar
yang kedua kalinya pun terjadi
Namun kali ini, Raja Sihir Pelenyap Sukma
terus berlari tanpa mengucapkan kata-kata me-
nantang. Dan cerdiknya, kakek jangkung ini me-
nempuh tempat-tempat yang banyak dipenuhi
semak-semak dan pepohonan, sehingga dalam
waktu sebentar saja lawannya kehilangan jejak
Sosok berpakaian hampir telanjang itu
menggeram penuh kemarahan ketika mengetahui
buruannya lenyap. Meskipun demikian karena
merasa amat penasaran, pengejaran terus dilaku-
kan. Kerimbunan semak-semak dan pepohonan
menjadi sasaran kemurkaannya. Semak-semak
serta pepohonan itu porak-poranda ketika dia
menghentakkan dan menyambar-nyambar tan-
gannya secara sembarangan sambil meraung-
raung karena marah.
Mendadak sosok hampir telanjang itu me-
nolehkan kepala secara cepat ke samping kanan-
nya. Pendengarannya yang tajam menangkap
adanya bunyi gerakan dari arah itu. Maka dengan
kecepatan kilat dia melesat ke sana.
***
"Astaga makhluk apa itu?!"
Terdengar suara seruan dari mulut kakek
kecil kurus yang merupakan salah satu dari em-
pat sosok yang tengah berlari menerobos kerim-
bunan semak-semak dan pepohonan di dalam hu-
tan ini. Tiga sosok lainnya adalah seorang kakek
bongkok dan dua orang pemuda. Satu di antara
pemuda itu mempunyai rambut berwarna putih
keperakan. Pemuda berambut putih keperakan
ini tak lain Arya. Sedangkan tiga sosok lainnya
adalah Dongga, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang
Kendi Laga.
"Melihat ciri-cirinya aku yakin sosok ini
bukan manusia, Kurus," timpal Resi Bumi Gidu-
lu. "Aku lebih condong menduga kalau makhluk
ini adalah mayat hidup!"
Arya dan Dongga tidak memberikan tang-
gapan sama sekali, tapi dari mereka terlihat kalau
dua pemuda perkasa ini mempunyai pendapat
yang sama dengan Resi Bumi Gidulu.
Keempat tokoh ini menatap ke arah sosok
yang tengah mereka perbincangkan dengan mata
hampir tidak berkedip. Sosok yang muncul secara
tiba-tiba dari balik kerimbunan semak dan pepo-
honan sehingga membuat perjalanan mereka ter-
henti. Keempat orang ini tengah dalam perjalanan
menuju tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap
Sukma, setelah berhasil menemukan tempat ke-
diaman kakek jangkung itu lewat upacara pe-
manggilan roh!
Dan keempat tokoh ini memang tidak ber-
lebihan dengan pendapatnya. Sosok yang berdiri
di hadapan mereka tampak kaget juga melihat
keempatnya. Sosok itu memiliki ciri-ciri yang
menggiriskan hari. Tubuhnya kurus kering seper-
ti tidak memiliki daging, pakaian koyak-koyak
membungkus tubuhnya. Sebuah pakaian yang te-
lah lusuh dan rapuh karena ada bagian yang ro-
bek dan jatuh ke tanah ketika angin agak keras
berhembus. Namun yang lebih meyakinkan Arya
dan ketiga kawan seperjalanannya akan dugaan
Resi Burnt Gidulu adalah ketika mencium bau ti-
dak enak yang menyebar dari tubuh sosok hampir
telanjang itu. Baik yang hanya keluar dari tubuh
binatang atau manusia yang telah lama mening-
gal, bau bangkai!
"Arrrggghh...!"
Setelah sesaat tertegun sosok kurus kering
itu menggeram keras. Dia tertegun karena tidak
menyangka kalau bunyi yang tadi didengarnya
bukan yang ditimbulkan oleh langkah kaki Raja
Sihir Pelenyap Sukma.
Sebelum gema suara keras itu lenyap, so-
sok kurus kering telah melompat menerjang
Eyang Kendi Laga, yang berada paling depan. Ke-
dua tangannya melancarkan totokan bertubi-tubi
dengan menggunakan sebuah jari telunjuk. Bunyi
mencicit nyaring mengiris pendengaran mengirin-
gi tibanya serangan itu.
Sebelum serangan sosok hampir telanjang
itu mengenai sasaran, terdengar teriakan keras
yang menggeledek Dongga melesat memotong dari
samping seraya mengirimkan tendangan ke arah
dada sosok kurus kering itu.
Bluk! Blukk!
Tubuh mayat hidup itu terpental jauh ke
belakang ketika tendangan terbang Dongga
menghantam sasaran secara telak dan keras. Ti-
dak hanya sekali, karena begitu tendangan per-
tama menghantam sasaran, pemuda berompi ku-
lit ular ini langsung menyusulnya dengan tendan-
gan kaki yang lain.
Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi
Laga menghela napas berat melihat hat ini. Diam-
diam ketiga tokoh ini menyayangkan tindakan
Dongga yang mereka anggap terlalu kejam. Seba-
gai tokoh-tokoh tingkat tinggi, Arya dan kedua
kakek itu tahu kalau tendangan Dongga itu amat
dahsyat dan cukup untuk menewaskan lawan
yang bagaimanapun kuatnya. Perasaan kagum
pun menyeruak di hati mereka terhadap Dongga
karena tidak menyangka kalau pemuda pendiam
itu memiliki ilmu demikian tinggi. Walaupun begi-
tu perasaan ini tidak mampu mengusir perasaan
sesal atas tindakan Dongga yang mereka anggap
terlalu gampang menjatuhkan serangan memati-
kan.
Namun penyesalan yang membelit hati
Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga
langsung berubah ketika melihat perkembangan
yang tidak mereka sangka-sangka. Tubuh sosok
kurus kering yang melayang jauh itu tidak jatuh
berdebuk di tanah seperti dugaan mereka semula.
Dengan sebuah gerakan manis sosok hampir te-
lanjang itu mendarat di tanah dengan kedua kaki,
secara mantap.
"Tidak salahkah penglihatanku...?!" Perta-
nyaan itu bergayut di hati Arya dan dua kakek
sakti itu.
Ketiganya baru yakin kalau sosok yang mi-
rip mayat hidup itu benar-benar tidak terpenga-
ruh terhadap tendangan Dongga. Sambil mengge-
ram keras makhluk menggiriskan hati itu kembali
melompat menerjang. Kali ini yang mereka serang
adalah Dongga.
Dongga yang rupanya tidak menduga hal
itu akan terjadi, kelihatan gugup. Dengan gerakan
mendadak, dibanting tubuhnya ke tanah. Namun
makhluk kurus kering itu tidak membiarkan la-
wannya lolos. Dia melesat mengejar, lalu menghu-
janinya dengan serangan-serangan maut sehingga
membuat Dongga menggulingkan tubuh ke tanah
untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Eyang Kendi Laga yang melihat keselama-
tan Dongga terancam, tak bisa tinggal diam. Ba-
gaimana pun tadi pemuda berompi kulit ular itu
telah menunjukkan maksud baiknya dengan
menjegal serangan makhluk aneh itu terhadap di-
rinya. Maka, kakek kecil kurus berkepala botak
ini pun melesat di dalam kancah pertarungan,
menghampiri Dongga yang masih bergulingan se-
dangkan makhluk kurus kering itu mengejarnya
terus dengan serangan-serangan maut
"Makhluk Buruk, lihat serangan!" seru
Eyang Kendi Laga yang tidak mau mengirimkan
serangan di saat lawannya tidak bersiap.
Kakek kecil kurus ini mengirimkan seran-
gan dengan pengerahan seluruh tenaga dalam-
nya. Kedua tangannya yang terkepal keras dipu-
kulkan susul-menyusul ke arah punggung mak-
hluk kurus kering itu.
"Arrrggghhh.
Makhluk hampir telanjang yang mempu-
nyai kekuatan tubuh luar biasa itu menggeram
keras. Tubuhnya membalik kemudian memapak
serangan Eyang Kendi Laga juga dengan tangan
terkepal. Tindakan ini membuat serangan terha-
Ketika Dongga masih berada di tanah,
makhluk kurus itu tidak membiarkan dirinya lolos.
Makhluk itu melesat mengejar, lalu menghujaninya
dengan serangan-serangan maut sehingga mem-
buat Dongga menggulingkan tubuh ke tanah untuk
menyelamatkan selembar nyawanya.
dap Dongga dihentikan.
Duk, duk, dukkk!
Bunyi keras terdengar berkali-kali ketika
dua tangan yang terkepal berbenturan secara ke-
ras. Dan setiap benturan membuat tubuh Eyang
Kendi Laga tergetar hebat dengan tangan terasa
sakit-sakit. Bahkan benturan terakhir membuat
tubuhnya terjengkang ke belakang.
Kesempatan baik ini dipergunakan cepat
oleh makhluk menyerupai mayat hidup itu untuk
mengirimkan cengkeraman ke arah lambung dan
ubun-ubun Eyang Kendi Laga.
Ctarrr! Rrrttt!
Sebelum ubun-ubun dan lambung Eyang
Kendi Laga hancur oleh cengkeraman makhluk
aneh itu, Resi Bumi Gidulu, telah lebih dulu ber-
tindak dengan cambuknya. Bunyi meledak keras
mengiringi meluncurnya cambuk itu ke arah
makhluk hampir telanjang itu dan secara telak
menghantam ubun-ubunnya.
Seketika itu pula tubuh makhluk menye-
rupai mayat hidup itu terjengkang ke belakang
bagai diseruduk kerbau. Serangannya terhadap
Eyang Kendi Laga pun kandas di tengah jalan.
"Iblis!"
Resi Bumi Gidulu sampai mengeluarkan
seruan terkejut tanpa sadar ketika melihat mak-
hluk hampir telanjang itu masih tetap tegar. Han-
taman pada ubun-ubun yang merupakan tempat
mematikan itu sama sekali tidak berpengaruh,
kecuali hanya terjengkang ke belakang. Dan keti-
ka pengaruh hantaman cambuk yang membuat-
nya terjengkang berhasil dipunahkan, makhluk
kurus kering itu kembali melancarkan serangan
dahsyat. Sasaran serangan makhluk berkekuatan
tubuh luar biasa ini berpindah, tidak pada Eyang
Kendi Laga lagi, melainkan pada Resi Bumi Gidu-
lu.
Mengetahui kekuatan luar biasa makhluk
kurus kering itu, Eyang Kendi Laga tidak tega
membiarkan Resi Bumi Gidulu yang telah menye-
lamatkan nyawanya. Dia pun ikut campur. Maka,
pertarungan yang lebih seru dari sebelumnya pun
berlangsung. Makhluk kurus kering itu mengha-
dapi Resi Bumi Gidulu dan Eyang Kendi Laga.
Dongga yang telah kembali menjauhi kan-
cah pertarungan dan berdiri di sebelah Arya me-
nyaksikan jalannya pertarungan dengan hati pe-
nuh takjub.
"Benarkah itu makhluk hidup?!" tanya
Arya masih belum percaya akan pandangan ma-
tanya.
"Apa lagi, Arya?" sambut Dongga bernada
membenarkan. "Ciri-ciri dan kedahsyatannya te-
lah menjadi bukti nyata kebenaran kalau dia
memang makhluk hidup."
Arya tidak memberikan tanggapan lagi, da-
lam hati dia membenarkan ucapan Dongga. Kini
pandangan dan perhatiannya dipusatkan kembali
ke arah pertarungan yang tengah berlangsung.
Pemuda berambut putih keperakan ini tahu, lam-
bat laun makhluk kurus kering itu pasti akan ke-
luar sebagai pemenang. Kekuatan tubuhnya yang
menakjubkan akan menyebabkannya berada di
atas angin. Makhluk itu dengan berani menerima
semua serangan Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi
Gidulu tanpa khawatir terluka. Sebaliknya, kedua
kakek itu justru harus berhati-hati karena sekali
saja terkena serangan, nyawa mereka akan teran-
cam. Serangan-serangan makhluk menyerupai
mayat dan berbau busuk itu sangat dahsyat dan
berbahaya.
Sambil terus memperhatikan pertarungan,
Dewa Arak memutar benaknya berusaha menja-
wab pertanyaan mengenai makhluk kurus kering
itu. Kalau benar makhluk hidup, bagaimana dia
bisa bangkit, dan kalau benar mengapa bisa de-
mikian. Akal dan hati nuraninya menolak, mana
mungkin mayat bisa hidup dan bangkit sendiri.
Pasti ada orang yang membangkitkannya.
"Arya!" Teguran Dongga membuat Dewa
Arak menolehkan kepala ke arah pemuda berompi
kulit ular yang berada di sebelahnya.
"Kurasa sebaiknya kita segera mendatangi
tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma. Ti-
dakkah kau khawatir kalau tokoh sesat yang keji
itu lebih dulu mencelakai temanmu?!"
Arya langsung memberikan jawaban,
meskipun hatinya membenarkan usul Dongga.
Namun dia merasa khawatir akan keselamatan
Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu. Dia ya-
kin lambat laun kedua kakek itu akan celaka di
tangan mayat hidup yang menggiriskan itu, kecu-
ali apabila mereka telah menemukan kelemahan-
nya.
"Kurasa kau tidak perlu mengkhawatirkan
keselamatan mereka, Arya," sambung Dongga,
seperti mengetahui hati yang membuat pemuda
berambut putih keperakan itu tidak langsung
mengiyakan ajakannya. "Mereka tokoh-tokoh sak-
ti dan berpengalaman, aku yakin keduanya akan
sadar dan menyelamatkan diri apabila tidak
sanggup menghadapi mayat hidup itu."
"Kau benar, Dongga?!" Kali ini Arya lang-
sung sigap menyambut "Mari kita tinggalkan tem-
pat ini! Eyang, Resi, aku teruskan maksud kita
semula!" teriaknya kemudian.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak ber-
sama Dongga melesat menuju tempat kediaman
Raja Sihir Pelenyap Sukma. Namun baru bebera-
pa langkah, keduanya saling pandang ketika me-
lihat sosok jangkung tengah berlari searah den-
gan mereka. Sosok jangkung yang sudah pasti
Raja Sihir Pelenyap Sukma itu berada di depan
mereka dalam jarak sekitar dua puluh tombak.
Sosok itu berlari dengan hati-hati.
"Itukah penculik kawanmu, Aiya?!" tanya
Done meminta jawaban pasti. Dan ketika Dewa
Arak menganggukkan kepala, pemuda berompi
kulit ular ini segera menyambung, "Kalau begitu,
lekas kita kejar! Aku yakin dia tengah menuju
tempat kediamannya,!"
"Dan kau sendiri langsung menuju tempat
kediamannya, Dongga?" tebak Arya yang telah bi-
sa menduga arah pemikiran pemuda berompi ku-
lit ular itu.
"Benar!"
"Baiklah kalau demikian, Dongga. Aku
sendiri sudah tidak sabar lagi untuk memberikan
ganjaran dan kalau bisa mengirim nyawanya ke
akherat. Aku yakin makhluk-makhluk jejadian
yang muncul di dunia persilatan ada hubungan
dengannya. Bahkan aku mempunyai dugaan ka-
lau Raja Sihir Pelenyap Sukma yang telah mem-
buat makhluk dari mayat hidup itu. Mungkin un-
tuk menghalangi pertolongan yang kita lakukan
terhadap Mawar. Tapi kusarankan kau hati-hati,
Dongga. Bukan tidak mungkin kalau Raja Sihir
Pelenyap Sukma telah mengetahui maksud kita!"
Usai berkata demikian, Arya melesat den-
gan pengerahan seluruh ilmu meringankan tu-
buhnya. Dalam waktu sekejap dia telah berada di
belakang kakek bertubuh jangkung itu.
"Mau lari ke mana kau, Iblis Keji?!"
Dewa Arak melompat ke atas melewati ke-
pala Raja Sihir Pelenyap Sukma, bersalto bebera-
pa kali di udara, dan mendarat dengan mantap di
depannya.
"Lagi-lagi kau...!" desis kakek jangkung
yang ternyata Raja Sihir Pelenyap Sukma. "Selalu
saja kau yang menghalangi maksudku, Orang
Usilan! Menyingkirlah, sebelum kau menyesal!"
"Aku akan lebih menyesal lagi kalau mem-
biarkan orang sepertimu terus berkeliaran di du-
nia ini!" tandas Aiya, mantap.
"Menyingkirlah, Anak Muda! Aku tak ada
waktu meladeni bocah ingusan sepertimu! Cepat
beri aku jalan sebelum semuanya terlambat!"
"Sayang sekali, aku tidak bisa memenuhi
permintaanmu itu! Kau hanya dapat pergi dari si-
ni jika mampu membunuhku...."
"Kau mencari penyakit!"
Wuttt!
Bersamaan dengan keluarnya ucapan itu,
Raja Sihir Pelenyap Sukma mengirimkan seran-
gan dengan tusukan sebuah benda yang diambil
dari pinggang kanannya. Gerakannya sangat ce-
pat sehingga bentuk benda itu tidak tampak jelas
bahkan ketika meluncur ke arah Dewa Arak.
Meskipun demikian, sepasang mata pendekar
muda itu mampu mengetahui kalau benda yang
mengancamnya ternyata sebuah kipas yang
ujung-ujungnya runcing dan tajam. Deru angin-
nya saja mungkin mampu merobek pakaian jika
terkena.
Dewa Arak tentu saja tidak membiarkan
kipas itu merobek dadanya. Dia melompat ke be-
lakang, tapi Raja Sihir Pelenyap Sukma tidak
membiarkan tindakan pemuda berambut putih
keperakan itu. Dia melancarkan serangan susu-
lan cepat dengan sebuah kebutan kipas ke arah
wajah. Kipas itu dikembangkan.
Namun Raja Sihir Pelenyap Sukma terlalu
memandang rendah, hingga mengira dengan se-
rangan susulan dahsyat itu Dewa Arak akan da-
pat dirobohkannya.
Meskipun serangan itu meluncur secara ti-
ba-tiba, Dewa Arak mampu mengelakkannya den-
gan merendahkan tubuh. Bahkan pemuda itu da-
pat mengirimkan serangan yang membuat lawan-
nya melompat mundur. Untuk yang kedua ka-
linya pertarungan antara Dewa Arak dengan Raja
Sihir Pelenyap Sukma terjadi. Hanya saja kali ini,
kakek jangkung itu menggunakan kipas baja yang
merupakan senjata andalannya.
Arya pun mengeluarkan ilmu 'Belalang
Sakti', yang menjadi penyebab julukan Dewa Arak
menggemparkan dunia persilatan.
Raja Sihir Pelenyap Sukma menggertakkan
gigi, merasa geram karena kecelik. Semula dis-
angka setelah kipas andalannya dikeluarkan,
dengan mudah Dewa Arak dapat dirobohkan.
Sama sekali tidak diduga kalau tindakan itu
membuatnya berada dalam keadaan gawat. Kare-
na memberi kesempatan Dewa Arak mengelua-
rkan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalan-
nya. Dan begitu Dewa Arak menggunakan guci
araknya terasa oleh kakek jangkung betapa dah-
syat ilmu yang dimiliki pendekar muda itu. Setiap
serangan kipasnya selalu berhasil dikandaskan,
sebaliknya serangan-serangan lawan begitu dah-
syat dan penuh tekanan, tak ubahnya hantaman
gelombang laut.
7
Bukk!
Dibarengi pekikan kesakitan, tubuh Raja
Sihir Pelenyap Sukma terpental ke belakang keti-
ka sebuah tendangan kaki kanan Arya bersarang
di paha kanannya. Dewa Arak yang memang su-
dah bertekad bulat untuk melenyapkan lawan-
nya, segera meluruk untuk mengirimkan seran-
gan mematikan. Guci araknya diayunkan dengan
cepat ke arah kepala kakek bermuka kehijauan
itu.
"Tahan...!"
Ayunan guci itu terhenti di tengah jalan ke-
tika Raja Sihir Pelenyap Sukma mengeluarkan te-
riakan keras sambil melempar kipas di tangan-
nya. Dewa Arak tidak bisa membunuh lawan yang
tidak bersedia melawan lagi, karena tindakan itu
bukan sifat seorang pendekar sejati.
"Apa maksudmu, Raja Sihir?!" bentak Arya,
keras. Tangan kanannya masih menegang, dan
siap mengayunkan guci apabila kakek jangkung
itu melakukan tindakan yang mencurigakan. Pe-
muda berambut putih keperakan ini khawatir ka-
lau-kalau Raja Sihir Pelenyap Sukma melakukan
tindakan kecurangan. Dia tahu hal itu bukan
pantangan bagi tokoh golongan hitam.
"Kalau kau teruskan niatmu itu dan aku
mati, maka keamanan dunia persilatan akan te-
rancam. Aku yakin kau bukan tokoh golongan hi-
tam, Anak Muda. Apa kau tega dunia persilatan
akan kacau-balau?!" Ucap Raja Sihir Pelenyap
Sukma lagi tenang tapi bernada tuntutan, dan si-
kapnya tidak memperlihatkan tanda-tanda kalau
akan melakukan tindakan kecurangan.
"Kau bergurau, Raja Sihir?!" Arya masih ti-
dak percaya. "Aku yakin malah sebaliknya! Den-
gan kematianmu, dunia persilatan akan menjadi
aman dan...."
"Tunggu sebentar, Anak Muda!" potong ka-
kek jangkung cepat sebelum Arya menyelesaikan
ucapannya. "Kau... mengapa kau memanggilku
Raja Sihir?! Apakah kau tidak keliru mengenali
orang?!"
"Kau masih juga mau berpura-pura, Raja
Sihir?! Ataukah... kau ingin memungkiri bahwa
dirimu berjuluk Raja Sihir Pelenyap Sukma?!" sa-
hut Arya, langsung mengajukan dugaan.
"Kau... kau gila, Anak Muda...!" sergah ka-
kek jangkung sambil menudingkan tangan ka-
nannya. "Kau memaksakan diriku untuk menga-
kui julukan yang bukan milikku! Lalu apa mak-
sudmu, Anak Muda?! Apa kau tidak percaya ka-
lau kukatakan diriku bukan Raja Sihir Pelenyap
Sukma?!"
Arya kontan terdiam mendengar ucapan
kakek jangkung itu. Nuraninya sebagai seorang
pendekar mengatakan kalau kakek jangkung di
hadapannya ini tidak berbohong. Pegangannya
terhadap guci arak pun mengendur.
"Jadi... kau bukan Raja Sihir Pelenyap
Sukma?!" tanya Aiya meminta kepastian dengan
nada suara mulai melunak.
Kakek jangkung itu menganggukkan kepa-
la.
"Apa kau hendak mengingkar pula kalau
kita pernah bertemu sebelumnya, dan bahkan
pernah bertempur di saat kau hendak membawa
kabur seorang gadis berpakaian merah?!" tanya
Arya lagi setelah tercenung sejenak dan memutar
otak.
Kakek jangkung tersenyum lebar sebelum
memberikan jawaban.
"Kuakui kalau kita pernah bertemu sebe-
lumnya. Tapi, percayalah padaku, Anak Muda!
Kejadian yang telah menimpa kita adalah kesa-
lahpahaman belaka!"
"Mungkin aku bisa mempercayainya, Kek,"
Arya merubah panggilannya. "Tapi, bisakah kau
membuktikan padaku kalau kau tidak melakukan
hal-hal keji terhadap kawan baikku? Aku baru
mempercayaimu kalau kau mempertemukanku
dengan kawanku itu"
"Kalau hal itu dapat membuatmu memper-
cayaiku; aku tidak keberatan. Tapi, sebelumnya
perlu kutekankan padamu, aku tidak melakukan
hal-hal seperti yang kau khawatirkan. Dan kau
boleh mengajukan pertanyaan itu pada kawanmu
nanti."
Arya tidak memberikan tanggapan sama
sekali. Tanpa berkata apa-apa diayunkan kakinya
mengikuti kakek jangkung yang melangkah lebih
dulu setelah terlebih dulu mengambil kipasnya.
Meskipun demikian, pemuda berambut putih ke-
perakan itu tidak langsung mempercayainya begi-
tu saja. Dan karena kekhawatiran kalau kakek
jangkung itu melakukan kecurangan secara men-
dadak, Dewa Arak mengambil jarak agak jauh.
"Mawar...! Kenari...! Lasini..,! Kemarilah...!"
Begitu sampai di mulut sebuah goa kakek
jangkung itu langsung berteriak. Tidak keras, tapi
cukup untuk terdengar oleh orang-orang yang be-
rada di dalamnya.
Arya sempat memperhatikan bagian tebing
di sekitar goa yang akan dimasukinya bersama
kakek jangkung itu. Ternyata benar, bagian teb-
ing itu berbentuk kepala tengkorak manusia, per-
sis seperti penjelasan dari roh yang dipanggil oleh
Resi Bumi Gidulu.
Namun perhatian Arya hanya sebentar, ka-
rena langsung dilibat oleh perasaan kaget men-
dengar panggilan yang dikeluarkan kakek jang-
kung. Ternyata bukan Mawar saja yang berada
bersama kakek jangkung ini. Ada juga Kenari, ga-
dis murid Eyang Kendi Laga, dan seorang gadis
lain. Bagaimana mungkin Kenari bisa berada ber-
sama kakek bermuka kehijauan ini? Perasaan cu-
riga yang bersemayam di benak Dewa Arak sema-
kin membesar.
Sungguhpun demikian, Arya tidak bertin-
dak gegabah dan langsung menjatuhkan seran-
gan terhadap kakek jangkung itu. Diputuskan
untuk melihat terus perkembangannya, serta se-
makin bertindak hati-hati. Dengan kewaspadaan
yang semakin meningkat, Arya mengikuti kakek
jangkung masuk ke goa. Di dalam ternyata te-
rang-benderang seperti layaknya pada waktu
siang hari dan tersorot sinar matahari. Hal ini cu-
kup mengherankan sebenarnya, tapi tidak mem-
buat Arya bingung. Pemuda berambut putih kepe-
rakan ini tahu kalau ada sejenis batuan yang me-
nyerap sinar matahari di waktu siang dan me-
mantulkan nya kembali di waktu malam. Dia
menduga batu-batuan yang ada di dalam goa
termasuk batuan seperti itu.
"Mawar...! Kenari...! Lasini...! Di mana ka-
lian..,! Cepat kemari...!"
Kembali kakek jangkung mengeluarkan se-
ruan ketika belum juga terdengar sahutan dari
dalam.
Kenyataan ini membuat Dewa Arak sema-
kin curiga. Dia tidak percaya kalau panggilan ka-
kek jangkung itu tidak terdengar. Dia lebih con-
dong kalau semua cerita kakek itu hanya bualan
belaka, dan kini tengah menyiapkan perangkap.
Keberadaan Kenari bersama Mawar, dan tidak
adanya panggilan jawaban atas panggilan itu
membuat kepercayaanya terhadap ucapan kakek
jangkung mulai luntur.
Dewa Arak melompat mundur ketika sam-
pai di bagian terakhir goa, tidak terlihat gadis-
gadis yang dipanggil kakek jangkung. Lorong goa
telah berakhir di sebuah jalan buntu berupa dind-
ing tebal dan beruang cukup luas.
"Cukup sandiwaramu, Raja Sihir! Sekarang
aku tidak memberimu kesempatan lagi, bersiap-
lah untuk mati!" seru Arya bernada mengancam.
"Tidakkah kau bisa bersabar sebentar,
Anak Muda?!" sahut kakek jangkung, masih den-
gan tenang. "Aku yakin ada kekeliruan di sini.
Mungkin ketiga gadis itu pergi keluar goa. Dan...."
"Aku telah bertindak cukup bijaksana den-
gan mempercayaimu, Raja Sihir! Tapi, kenya-
taannya, kau tidak bisa memberikan bukti atas
ucapanmu. O ya, ada satu hal yang kulupakan.
Kau masih mengingkari kalau dirimu berjuluk
Raja Sihir Pelenyap Sukma?!"
"Benar!" sahut kakek jangkung, mantap.
"Aku memang bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma."
"Kau mungkin bisa menipuku, karena aku
memang belum pernah menjumpaimu, Raja Sihir!
Aku tidak mengenalmu, tapi, seorang kawan
baikku kenal betul dengan dirimu, bahkan hanya
dengan mendengarkan ciri-cirimu yang kukata-
kan dia langsung mengetahuinya! Kalau benar
kau bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma, bisa kau
jelaskan mengapa ciri-cirimu bisa mirip dengan-
nya? Aku tak yakin ini hanya sebuah kebetulan!"
"Hhh...!" Kakek jangkung menghela napas
berat setelah terdiam beberapa saat lamanya. Si-
kapnya menunjukkan kesan kalau hal yang akan
dikatakan merupakan hal yang bertentangan
dengan batinnya, "Karena kau terlalu memaksa.
Dan agar masalah ini tidak berlarut-larut, se-
baiknya kukatakan padamu. Aku akan berterus
terang, memberitahukan hal yang sebenarnya ti-
dak boleh dan tidak pernah kukatakan pada sia-
pa pun. Aku adalah saudara kembar Raja Sihir
Pelenyap Sukma! Nah, puas kau sekarang, Anak
Muda?!"
"Tidak," Arya menggelengkan kepala. "Aku
tidak bisa mempercayainya. Aku tidak percaya
dengan ucapanmu lagi!"
"Percayalah, Anak Muda, aku berkata se-
benarnya! Kalau saja tidak terjepit waktu dan ada
urusan besar yang membutuhkan bantuanku
demi keamanan dunia persilatan, tak sudi aku
mengemis-ngemis kepercayaanmu! Asal kau tahu
saja, Anak Muda, aku tidak takut mati! Bagiku,
mati bukan apa-apa!"
"Aku pun merasa berat untuk tidak mem-
percayaimu, Kek," ujar Arya hati-hati. "Tapi, ba-
gaimana, kenyataan menunjukkan kalau uca-
panmu tidak bisa dipercaya. Bukti yang kau akan
tunjukkan padaku, tidak ada sama sekali. Aku
curiga kalau kawanku dan dua gadis yang kau
sebutkan itu telah menjadi korban kekejianmu!"
"Baiklah," kakek jangkung berdesah. "Bawa
saja aku pada kawanmu yang kau katakan men-
genal Raja Sihir Pelenyap Sukma! Aku yakin dia
tahu kalau aku bukan tokoh sesat yang kau mak-
sud itu."
"Ah...!"
Kakek jangkung tersentak kaget ketika me-
lihat tanggapan Arya. Pemuda berambut putih
keperakan itu terlihat begitu terkejut. Bahkan tu-
buhnya sampai terjingkat seperti disengat ular
berbisa. Kakek berwajah kehijauan ini jadi mera-
sa keheranan. Dia sama sekali tidak tahu menga-
pa Arya bersikap seperti itu.
"Mengapa aku demikian pelupa?!" Arya
menepak keningnya tanpa mempedulikan kehe-
ranan kakek jangkung.
"Kalau benar kau bermaksud baik, dan di-
rimu bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma, tunggu di
sini!"
Tanpa memberikan kesempatan pada ka-
kek jangkung untuk memberikan tanggapan, Arya
melesat pergi. Pemuda berambut putih keperakan
itu melesat cepat dengan pengerahan seluruh il-
mu meringankan tubuhnya, karena khawatir
akan terjadi hal-hal seperti yang dikhawatirkan-
nya.
"Eyang...! Resi...!"
Arya berseru kaget ketika telah berada da-
lam jarak lima tombak, melihat tubuh Eyang
Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu terhuyung ke
belakang dan memekik kesakitan.
Sesaat kemudian kedua kakek itu siap me-
lancarkan serangan secara bersamaan. Resi Bumi
Gidulu mengirimkan serangan cambuk ke arah
mata. Sedangkan Eyang Kendi Laga menusukkan
tombak pendek ke punggung lawan tangguhnya
setelah terlebih dulu meludahi tombak itu dan
menggurat-guratkannya ke tanah.
Arya yang bermata tajam melihat kalau ge-
rakan kedua kakek itu sudah tidak segesit sebe-
lumnya. Dia tahu kalau Eyang Kendi Laga dan
Resi Bumi Gidulu telah kelelahan, dan bahkan
bukan tidak mungkin kalau mereka telah terluka.
Sambil terus berlari mendekati, pandangannya te-
tap ditujukan ke tempat pertarungan.
"Arrrggghh...!"
Makhluk kurus kering menggeram keras
melihat serangan yang datang dari dua jurusan
itu. Namun seperti sebelumnya, sosok yang me-
miliki kekuatan tubuh menakjubkan itu tidak
tampak gentar melihat serangan-serangan yang
tertuju ke arahnya. Tanpa menggeser tubuh dari
kedudukan semula, tangan kanannya diulur. Pa-
da saat yang bersamaan kaki kanannya menen-
dang ke belakang, seperti layaknya seekor kuda
menyepak.
Tappp! Dukkk!
Hampir bersamaan serangan cambuk dan
tombak itu berhasil dipunahkan. Ujung cambuk
dicengkeram dengan tangan kanan, sedangkan
tombak dibiarkan menghantam punggung, tapi
tidak menimbulkan luka sama sekali.
Kedua kakek rekan seperjalanan Dewa
Arak ini tampak kaget ketika melihat untuk ke
sekian kalinya usaha mereka kandas. Dan sebe-
lum Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu
sempat berbuat sesuatu.
Crattt! Bukkk!
Jeritan kesakitan hampir berbarengan ke-
luar dari mulut Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi
Gidulu. Tubuh kedua nya sama-sama terjengkang
ke belakang. Eyang Kendi Laga terpental lebih
jauh karena kakek kecil kurus ini terkena ten-
dangan pada paha kirinya. Sedangkan Resi Bumi
Gidulu terkena sampokan tangan makhluk kurus
kering itu pada dadanya. Kakek bongkok ini men-
galami nasib demikian karena setelah cambuknya
tertangkap langsung disentakkan hingga tubuh
Resi Bumi Gidulu ikut tertarik, dan saat itulah
tangan kiri makhluk menyerupai mayat hidup itu
merobek dadanya.
Kesempatan baik itu tidak disia-siakan
makhluk mayat hidup. Sambil mengeluarkan ge-
raman mengerikan, dia melompat menerkam tu-
buh Resi Bumi Gidulu yang tengah terhuyung-
huyung. Seketika wajah kakek bongkok bertan-
gan satu itu memucat, menyadari maut yang ten-
gah meluruk ke arahnya.
Namun sebelum kuku-kuku jari makhluk
kurus kering itu merencah tubuh Resi Bumi Gi-
dulu, Dewa Arak melesat menyambar tubuhnya.
" Aaarrrggghh...!"
Makhluk aneh itu menggeram penuh ke-
murkaan ketika melihat calon korbannya terlepas
dari maut. Tentu saja dia tidak bodoh untuk
mengetahui ada orang yang telah menyelamatkan
Resi Bumi Gidulu. Bergegas kepalanya menoleh
saat melihat melesatnya Dewa Arak. Tampaklah
bayangan ungu berkelebat cepat sekali.
Geraman keras penuh kemarahan kembali
terdengar dari mulutnya ketika melihat sosok un-
gu itu melesat ke arah tubuh Eyang Kendi Laga
htip: /&uniddbuk6isel. blogspot. cotn
yang tengah terhuyung dan menyambarnya. Ke-
mudian dengan gerakan secepat kilat membawa
keduanya melesat kabur dari situ.
Makhluk menyerupai mayat itu bergegas
mengejar. Namun lagi-lagi usahanya kandas! De-
wa Arak ternyata memiliki kecerdikan menga-
gumkan. Dia tahu kalau makhluk itu memiliki il-
mu lari cepat yang juga luar biasa, maka meru-
pakan sebuah tindakan berbahaya kalau untuk
berlari di tempat terbuka dengan beban yang cu-
kup berat itu. Dewa Arak memilih tempat yang
banyak memungkinkan untuk menghilangkan je-
jak Dia terus melesat menembus semak-semak
dan pepohonan.
Arya tersenyum lega dalam hati ketika
mendengar teriakan geram itu sangat jauh, kare-
na kehilangan jejaknya. Namun pemuda beram-
but putih keperakan ini tidak berpuas diri, me-
lainkan terus berlari untuk menjauhi lawannya.
"Lebih baik kau turunkan aku, Arya! Aku
bisa berlari sendiri," pinta Eyang Kendi Laga keti-
ka suara geraman makhluk aneh itu sudah tidak
terdengar lagi.
"Aku juga demikian, Rambut Setan," Resi
Bumi, Gidulu menyambung.
Arya berhenti dan menurunkan tubuh ke-
dua kakek itu.
"Bagaimana hasil usahamu, Arya?" tanya
Eyang Kendi Laga, setelah merapikan pakaiannya
yang terbuka di sana-sini karena dipanggul Arya.
"Aku bertugas menghadang perjalanan Ra-
ja Sihir Pelenyap Sukma, sedangkan Dongga
mendapat bagian untuk menyelamatkan kawan-
ku." Arya langsung menceritakan semua yang di-
alami, sampai dia berhasil menolong Eyang Kendi
Laga, dan Resi Bumi Gidulu.
"Sekarang aku ingat, Resi, Eyang, mung-
kinkah lenyapnya Mawar dan lain-lain dari dalam
goa itu karena telah ditolong oleh Dongga? Tapi,
kalau benar demikian, mengapa pemuda itu tidak
memberi kabar?!"
Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu
mengernyitkan kening, berpikir keras.
"Masalah ini jadi rumit, Arya. Ada dua per-
tanyaan di sini. Apakah betul kakek jangkung itu
bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma dan ke mana
perginya Dongga?!" Eyang Kendi Laga membuka
suara.
"He he he...! Kurasa lebih baik kalau kita
pergi ke goa tempat tinggal kakek yang tidak mau
disebut Raja Sihir Pelenyap Sukma itu! Kalau ter-
nyata ucapannya benar, pasti dia masih berada di
sana! Bukankah demikian, Rambut Setan?!"
"Seharusnya demikian, Resi!" jawab Arya
tanpa berani memberikan kepastian.
Pernyataan Resi Bumi Gidulu membuat
mereka memutuskan untuk menuju tempat ke-
diaman kakek jangkung yang tidak mau mengaku
sebagai Raja Sihir Pelenyap Sukma.
Hanya dalam waktu sebentar saja, Arya
dan kedua kakek itu telah sampai di depan goa.
Dan dengan penuh waspada ketiganya masuk ke
goa untuk membuktikan keberadaan kakek jang-
kung di sana. Dan ternyata, kosong!
"Berarti benar, dia Raja Sihir Pelenyap
Sukma!" tandas Resi Bumi Gidulu, mantap. "Dan
dia telah membohongimu, Rambut Setan. He he
he.,.! Dia yang telah menyebabkan terjadinya se-
mua kekacauan ini. Bahkan aku yakin kalau
Dongga mendapat celaka di tangannya!"
"Tapi, saat itu dia tengah bertarung den-
ganku, Resi. Maaf, kalau aku berani berlancang
mulut, Resi!"
"Kita kehilangan jejak kembali," gumam
Eyang Kendi Laga, mengeluh
"Haruskah upacara pemanggilan roh itu
diadakan lagi, Bumi Gidulu?"
"Tidak perlu, Kurus! Kalau benar Raja Sihir
Pelenyap Sukma penipu itu telah berada di sini
sebelumnya, dan belum pergi lama, aku dapat
melacak ke mana dia pergi," jawab Resi Bumi Gi-
dulu, penuh keyakinan.
Lalu, tanpa mempedulikan Arya dan Eyang
Kendi Laga yang masih belum mengerti yang di-
maksudkannya, kakek bongkok ini sudah sibuk
mengembang kempiskan hidungnya seperti ten-
gah mencium-cium bau. Tindakannya mengin-
gatkan akan kelakuan seekor anjing, atau bina-
tang lain yang mempergunakan hidung untuk
melacak jejak.
Resi Bumi Gidulu sibuk mengendus-endus
sekitar tempat yang cukup luas di dalam goa itu
beberapa saat, sebelum akhirnya melangkah ke
luar goa. Arya dan Eyang Kendi Laga sating pan-
dang sejenak dan mengangkat bahu, lalu mengi-
kuti Resi Bumi Gidulu.
Resi Bumi Gidulu terus saja mengembang-
kempiskan hidungnya. Bahkan terkadang berhen-
ti sejenak di satu tempat sambil tetap mengem-
bang-kempiskan hidungnya seraya memutar ke-
pala seperti mencari-cari bau yang dimaksudkan.
Kemudian melangkah secara pasti menuju arah
yang diyakininya dilewati kakek jangkung.
8
Arya dan Eyang Kendi Laga tidak bisa me-
nyembunyikan perasaan kagum ketika Resi Bumi
Gidulu memberikan isyarat pada mereka untuk
melihat ke depan, dan ternyata di sana tampak
sesosok tubuh jangkung yang tengah bersem-
bunyi di balik sebatang pohon. Sosok yang diya-
kini Resi Bumi Gidulu sebagai Raja Sihir Pelenyap
Sukma.
Dengan tindakan hati-hati dan tanpa me-
nimbulkan suara, ketiganya melangkah mendeka-
ti tempat kakek jangkung. Mereka khawatir kalau
kakek yang diduga Raja Sihir Pelenyap Sukma itu
akan kabur. Sebab di samping saat itu suasana
malam terlalu gelap, tempat di sekitar mereka
merupakan semak-semak dan pepohonan.
Rupanya kakek jangkung itu benar-benar
memiliki pendengaran tajam. Saat jarak Resi Bu-
mi Gidulu tinggal tiga tombak darinya, kepala ka-
kek jangkung itu menoleh ke belakang.
Resi Bumi Gidulu tidak ingin kehilangan
jejak buruannya itu. Maka sebelum kakek jang-
kung itu sempat melakukan gerakan apa pun, dia
lebih dulu melesat.
"Mau kabur ke mana lagi, Raja Sihir?!" seru
Resi Bumi Gidulu keras, sambil mengirimkan to-
tokan maut ke leher dengan lengan bajunya yang
menegang kaku laksana pedang.
Prattt!
Serangan Resi Bumi Gidulu kandas ketika
kakek jangkung memapak serangan itu dengan
kipas yang dicabut secara cepat dari balik ikat
pinggangnya, Tubuh kedua belah pihak sama-
sama terhuyung-huyung ke belakang. Lengan ba-
ju Resi Bumi Gidulu kembali melemas seperti se-
diakala.
Resi Bumi Gidulu menggertakkan gigi ka-
rena penasaran melihat serangannya menemui
kegagalan. Tanpa memberi kesempatan sedikit
pun kembali dilancarkan serangan susulan yang
membuat pertarungan berlanjut
"Hentikan...! Tahan...!"
Kakek berwajah kehijauan beberapa kali
berteriak mencegah untuk menahan Resi Bumi
Gidulu agar tidak menyerangnya. Namun sia-sia!
Kakek bongkok itu terus saja menghujaninya
dengan serangan maut. Arya dan Eyang Kendi
Laga saling pandang. Mereka merasa heran men-
dengar seruan-seruan itu. Mengapa kakek jang-
kung sepertinya tak menyukai terjadinya perta-
rungan? Benarkah ada kesalahpahaman di sini?
Betulkah kakek berwajah kehijauan itu tidak ber-
salah? Pertanyaan ini bergayut di benak Arya dan
Eyang Kendi Laga.
"Jangan-jangan kakek jangkung itu benar-
benar tidak bersalah, Eyang!" Aiya tidak tahan
untuk menyimpan dugaan itu terus-menerus di
dalam hati.
"Mungkin kau benar, Arya. Kulihat dia ti-
dak menginginkan terjadinya pertarungan," ujar
Eyang Kendi Laga. Namun sebelum Aiya dan
Eyang Kendi Laga melompat untuk mencegah ter-
jadinya pertarungan lebih lanjut, pandang mata
mereka yang tajam, melihat beberapa sosok
bayangan berkelebat mendekati kancah pertarun-
gan.
Baik Arya maupun Eyang Kendi Laga men-
getahui kalau sosok-sosok yang berjumlah lima
orang dan mengenakan pakaian serba hitam. Ka-
rena ingin mengetahui hal yang akan mereka la-
kukan, Arya dan Eyang Kendi Laga menghentikan
tindakan mereka dan memperhatikan
Lima lelaki berpakaian hitam itu ternyata
berhenti sekitar tujuh tombak dari tempat perta-
rungan. Mereka langsung menyelinap di balik pe-
pohonan.
'Apa yang hendak mereka lakukan?" tanya
Arya dan Eyang Kendi Laga dalam hati.
Lima lelaki berpakaian hitam itu lalu men-
geluarkan benda-benda berkilat yang ternyata
senjata tajam berupa pisau. Kemudian masing-
masing sosok melemparkannya ke arah kancah
pertarungan. Bunyi berdesing langsung terdengar
di antara teriakan-teriakan kedua kakek yang se-
dang bertarung.
Arya dan Eyang Kendi. Laga terkejut ketika
mengetahui arah pisau-pisau itu tertuju pada Re-
si Bumi Gidulu. Hal ini menjadi pertanda kalau
lima lelaki berpakaian hitam berada di pihak ka-
kek jangkung.
Resi Bumi Gidulu jadi kelabakan, karena
dirinya tengah memusatkan seluruh perhatian
untuk menghadapi kakek jangkung.
Dan celakanya, serangan-serangan pisau
itu berlangsung berkali-kali. Sehingga dalam se-
kejapan saja Resi Bumi Gidulu jadi terdesak he-
bat oleh lawannya,
Melihat kenyataan ini Arya dan Eyang
Kendi Laga tahu kalau dibiarkan terus Resi Bumi
Gidulu akan celaka di tangan lawan. Sebab, ka-
kek jangkung yang semula berteriak-teriak untuk
mencegah Resi Bumi Gidulu menyerangnya, ma-
lah melancarkan tekanan-tekanan hebat yang
membahayakan. Hal ini membuat Arya dan Eyang
Kendi Laga tidak segan-segan lagi mengambil tin-
dakan guna menyelamatkan Resi Bumi Gidulu.
Sudah terbukti kalau kakek jangkung mempunyai
hubungan dengan lima lelaki berpakaian hitam
itu.
Baru saja Aiya dan Eyang Kendi Laga me-
luruk ke dalam kancah pertarungan, dari arah
berlawanan muncul sosok-sosok yang amat me-
reka kenal. Makhluk-makhluk jejadian yang me-
nurut penyelidikan Eyang Kendi Laga merupakan
hasil pekerjaan manusia!
Sambil mengeluarkan geraman-geraman
khasnya, beberapa sosok makhluk yang terdiri
dari campuran antara manusia dengan harimau,
kera, badak, beruang, dan lain-lainnya menyam-
but kedatangan Dewa Arak dan Eyang Kendi La-
ga. Hal ini membuat pertarungan lain terjadi
Berbareng dengan munculnya makhluk-
makhluk jejadian itu, lima lelaki berpakaian hi-
tam menghentikan bantuan mereka terhadap ka-
kek jangkung. Bahkan kemudian melesat me-
ninggalkan tempat itu. Resi Bumi Gidulu yang
semula terdesak hebat perlahan-lahan dapat me-
nyusun kekuatan lagi, sehingga mampu bangkit
mengimbangi perlawanan.
Di tempat lain, Dewa Arak dan Eyang Ken-
di Laga tampak sibuk. Hanya saja tindakan kedua
orang ini tidak sekeras sebelumnya. Baik Arya
maupun Eyang Kendi Laga tidak berusaha mengi-
rimkan serangan yang dapat membahayakan ke-
selamatan lawan-lawan mereka. Serangan-
serangan yang mereka kirimkan hanya bertujuan
merobohkan makhluk-makhluk jejadian itu, tan-
pa harus membunuh mereka. Tindakan ini dila-
kukan karena mengetahui kalau makhluk-
makhluk jejadian itu berasal dari manusia. Se-
mua melakukan penyerangan karena pengaruh
jahat yang mengendalikan mereka.
Tentu saja niat Arya dan Eyang Kendi Laga
membuat mereka semakin sulit untuk mengalah-
kan makhluk-makhluk jejadian itu. Merobohkan
tanpa melukai secara berat lebih sulit ketimbang
membunuh mereka. Sebab, baik tindakan Aiya
maupun Eyang Kendi Laga jadi tidak leluasa.
Teriakan-teriakan keras bersahut-sahutan
yang berasal dari kancah pertarungan lainnya
membuat Arya dan Eyang Kendi Laga mengalih-
kan perhatian sejenak. Mereka melihat kakek
jangkung serta Resi Bumi Gidulu sama-sama me-
lompat saling terjang dengan tangan terbuka sa-
ma-sama dijulurkan ke depan. Tak pelak lagi ke-
dua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam
tinggi itu bertemu di udara dan melekat, sampai
tubuh keduanya turun ke tanah.
Eyang Kendi Laga menghela napas berat
melihat hal ini. Sebagai tokoh-tokoh tingkat ting-
gi, Arya pun tahu kalau Resi Bumi Gidulu dan
lawannya tengah mengadu tenaga dalam secara
langsung. Dan hal ini amat berbahaya. Yang ka-
lah akan tewas, sementara yang menang pun ti-
dak akan luput dari luka dalam parah.
Menyadari akan keadaan yang gawat Arya
dan Eyang Kendi Laga semakin mempertinggi ke-
mampuan daya serang. Dewa Arak melompat ke
atas dengan bersalto di udara melewati kepala la-
wan-lawannya. Kemudian dari sana mengirimkan
serangan ke arah belakang kaki lawan.
Dalam sekali gerakan Dewa Arak mampu
mengirimkan serangan beruntun terhadap lawan-
lawannya. Dan semua mengenai sasarannya. Se-
ketika itu pula tubuh makhluk-makhluk jejadian
itu ambruk ke tanah, tak mampu bangun lagi ka-
rena sambungan lutut mereka terlepas!
Hal yang sama pun berhasil dilakukan oleh
Eyang Kendi Laga. Hanya saja kakek kecil kurus
ini mengirimkan serangan dari depan, tapi sasa-
ran yang dituju tetap lutut. Dua makhluk jejadian
sisanya roboh dengan sambungan tulang lutut
terlepas.
Tanpa mempedulikan lawan-lawan mereka,
Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga mengalihkan
perhatian pada pertarungan menegangkan antara
Resi Bumi Gidulu dan kakek jangkung. Keadaan
dua kakek itu tampak sudah mengkhawatirkan.
Dari atas kepala kedua belah pihak, mengepul
uap putih. Keadaan lawan Resi Bumi Gidulu tam-
pak lebih parah. Wajahnya dibanjiri peluh sebe-
sar-besar biji jagung.
"Apa yang akan kau lakukan, Arya?" tanya
Eyang Kendi Laga, ingin tahu. Sebab dia menya-
dari kalau saat-saat seperti itu, merupakan hal
yang sulit untuk dipisahkan. Orang yang menco-
ba memisahkan dua tenaga dalam akan tewas
dengan sekujur tubuh hancur, karena terkena
gabungan tenaga dalam yang tengah menyatu.
Arya tidak memberikan jawaban. Pemuda
berambut putih keperakan ini terdiam dengan ha-
ti memanggil-manggil belalang raksasa di alam
gaib. Aiya telah berjanji dalam hati untuk tidak
menggunakan bantuan belalang raksasa kasat
mata itu kecuali dalam keadaan gawat. Dan seka-
rang keadaan telah kritis, maka dia memanggil-
nya.
Sesaat kemudian, Dewa Arak merasakan
sekujur tubuhnya bergetar sebentar. Bulu ku-
duknya berdiri ketika belalang raksasa dari alam
gaib itu masuk ke tubuhnya.
Eyang Kendi Laga, meskipun tidak menge-
tahuinya, bisa merasakan adanya keanehan yang
secara tiba-tiba itu. Dia sempat merasakan ada
hembusan angin dingin yang membuat bulu ku-
duknya tiba-tiba meremang. Kebetulan dia berada
di sebelah Dewa Arak.
Sepasang mata Eyang Kendi Laga hampir
keluar dari rongganya ketika melihat di belakang
Dewa Arak seperti tampak sesosok binatang ber-
sayap yang besar, berwarna coklat. Sosok bina-
tang menyerupai belalang raksasa itu hanya tam-
pak samar-samar dan berupa bayangan.
"Arrrggghh...!"
Mendadak Dewa Arak mengeluarkan gera-
man keras menggetarkan sekitar tempat itu. Sua-
ra yang tidak patut keluar dari mulut seorang
manusia. Meskipun Eyang Kendi Laga telah men-
gerahkan seluruh tenaga dalam untuk menahan
pengaruh geraman itu, dia tetap tidak mampu.
Sekujur kakinya terasa lemas, dan tak dapat di-
cegah lagi dia jatuh berlutut. Selain sekujur tu-
buh merasa lemas lunglai seluruh tenaganya sea-
kan lenyap seketika.
Hal yang sama pun dialami Resi Bumi Gi-
dulu dan lawannya. Hanya saja karena kedua ka-
kek ini tengah mengerahkan tenaga dalam, pen-
garuhnya tidak sedahsyat yang dialami Eyang
Kendi Laga. Meskipun demikian, akibat pengaruh
geraman keras itu membuat aliran tenaga dalam
mereka sempat terhenti sejenak.
Kesempatan di saat aliran tenaga dalam
kedua kakek itu terhenti, dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Dewa Arak. Dengan kecepatan luar
biasa pemuda berambut putih keperakan itu me-
lesat ke dalam kancah pertarungan. Dan di saat
tubuhnya masih berada di udara, kedua tangan-
nya dihentak-hentakkan.
Angin dahsyat pun muncul dari tangan
Dewa Arak, menghempaskan tubuh kedua kakek
yang tengah bertarung, hingga terpental dan ter-
guling-guling.
Begitu kekuatan yang membuat tubuh me-
reka terguling-guling habis, Resi Bumi Gidulu dan
kakek jangkung merangkak bangun. Keduanya
tampak lemas sekali. Gerakan mereka tidak sigap
atau pun gesit seperti semula. Baik tenaga Resi
Bumi Gidulu maupun lawannya telah terkuras
habis.
Di tempat yang sama, hanya berbeda jarak
sekitar lima tombak, Eyang Kendi Laga pun tam-
pak tertunduk lesu. Kakek kecil kurus ini masih
berdiri dengan kedua lututnya. Dia masih tidak
bergairah untuk bangkit karena belum mampu
menghilangkan perasaan kagetnya akibat teria-
kan Dewa Arak. Sementara tokoh yang menjadi
penyebab semua ini pun terdiam tapi dengan se-
nyum puas tersungging di bibir. Saat itu belalang
raksasa telah keluar dari dalam dirinya.
Karena masing-masing tokoh terdiam, sua-
sana berubah hening. Mendadak....
" Aaarrrggghh...!"
Geraman yang tidak kalah dahsyat dengan
suara Dewa Arak tadi, kembali terdengar. Bunyi
geraman ini pun berbeda, meskipun sama-sama
mengandung getaran yang dapat melumpuhkan
lawan.
Hal ini membuat tokoh-tokoh di tempat itu,
yang masih terpengaruh oleh teriakan Arya, jadi
kembali lemas. Arya satu-satunya orang yang se-
mula berdiri tegak pun, merasakan kedua ka-
kinya menggigil. Namun dengan pengerahan te-
naga dalam dia berhasil membuat kedua kakinya
tetap berdiri tegak di atas tanah.
"Hak hak hak...!"
Sebelum gema geraman keras tadi lenyap
seluruhnya, terdengar suara tawa keras tergelak
bernada aneh, sehingga membuat Arya dan yang
lainnya kecuali kakek jangkung, merasa heran.
Wajah kakek jangkung tampak pucat pasi
"Ah...! Celaka...! Aku terlambat..,! Semua-
nya sia-sia...!" keluh kakek jangkung itu penuh
penyesalan. Kemudian pandangannya diedarkan
pada Dewa Arak, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang
Kendi Laga. "Kalianlah yang menjadi penyebab-
nya! Kalau kalian tidak terlalu keras kepala me-
maksakan kehendak, dan mau mengerti sedikit,
hal ini tidak akan terjadi. Sia-sia semua usaha-
ku!"
Dewa Arak, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang
Kendi Laga saling pandang penuh perasaan heran
mendengar makian kakek jangkung. Mereka tidak
paham mengapa kakek itu marah-marah dan me-
nimpakan kesalahan pada mereka. Yang jelas, ke-
tiga tokoh ini tahu kalau marahnya kakek jang-
kung berhubungan dengan munculnya sesosok
makhluk seperti mayat hidup yang didahului sua-
ra geraman keras menggelegar itu.
Sebentar kemudian, ketiga tokoh ini dan
juga kakek jangkung melihat sendiri pemilik sua-
ra aneh tadi. Sosok itu ternyata si Makhluk Kurus
Kering yang memiliki kekebalan tubuh luar biasa.
Tapi, dia tidak sendirian, ada sosok lain yang da-
tang bersamanya, seorang pemuda mengenakan
pakaian dari kulit ular!
"Dongga...!" hampir berbareng Arya, Eyang
Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu memanggil
pemuda itu. Sorot mata dan tarikan wajah Arya
serta dua kakek rekan seperjalanannya menyi-
ratkan perasaan heran melihat keberadaan Dong-
ga dengan makhluk kurus kering itu. Dongga ke-
lihatannya bersahabat dengan makhluk yang
hampir telanjang itu. Hal ini membuat Aiya dan
kedua kakek kawannya menduga bakal terjadi se-
suatu.
"He he he...!"
Dongga tertawa terkekeh mengejek kehera-
nan Dewa Arak dan kedua kawannya. Bahkan se-
karang mereka melihat jelas sorot kekejian di ma-
ta pemuda berompi kulit ular itu.
"Pada kalian bertiga memang aku memper-
kenalkan diri dengan nama Dongga. Masalahnya
kalau kuperkenalkan nama asliku, jangan-jangan
kalian terutama sekali kakek buntung itu akan
mengenalku," ucap Dongga dengan tenang sambil
menuding Resi Bumi Gidulu.
"Tutup mulutmu, Pengecut Licik!" sergah
Resi Bumi Gidulu, keras dan penuh kemarahan...
Kakek bongkok ini merasa kecewa sekali menge-
tahui pemuda yang telah mendatangkan rasa
simpatik di hatinya, tak lebih dari seorang penja-
hat "Jangankan mengenal namamu, wajahmu
pun tidak kukenal!"
"Begitukah?!" sambut Dongga cepat, penuh
ejekan. "Tapi, aku yakin kau akan mengenali na-
maku, Guru."
"Guru?!" suara Resi Bumi Gidulu terdengar
menggigil karena kaget. Perasaan yang sama me-
nyemak di hati Arya, Eyang Kendi Laga, dan ka-
kek jangkung. Mereka menolehkan kepala dengan
cepat pertanda kaget, mendengar sapaan Dongga.
"Si... siapakah kau... aku... eh..."
"Jadi, kau telah lupa padaku, Guru?! Aku,
muridmu! Orang yang kau cari-cari karena lari
dari pulau hukuman. Aku Rawali...!"
"Rawali?!" Suara Resi Bumi Gidulu sema-
kin menggigil karena cekaman perasaan tegang
yang melanda. "Ti... tidak mungkin! Kau masih
muda... sedangkan Rawali sudah berusia lanjut.
Bahkan sekarang, mungkin usianya tak akan ku-
rang dari lima puluh lima tahun. Kau tidak bisa
mempermainkan aku, Pembohong!"
"He he he...!" Dengan sikap tenang, Dongga
alias Rawali tertawa terkekeh. "Kalau hanya men-
jadi muridmu, tentu saja kau bisa berkata demi-
kian, Tua Bangka Bau Tanah! Tapi aku tidak bo-
doh, aku berguru lagi. Dan dari guruku yang ke-
dualah aku mendapatkan kemampuan merubah
wajahku sehingga terlihat muda. Bahkan dengan
ramu-ramuan tertentu yang kubuat, aku berhasil
membuat tubuhku tetap seperti layaknya tubuh
orang muda. Aku pun belajar pula ilmu-ilmu ra-
cun yang membuatku dapat membuat makhluk
jenis baru campuran antara manusia dengan bi-
natang. Sayang, beberapa di antaranya gagal. Me-
reka mati keracunan, karena tidak kuat adanya
kesalahan. Bagaimana, masih tidak percaya?"
Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi
Laga terdiam dengan wajah menyiratkan pera-
saan kaget tidak terkira. Sama sekali tidak dis-
angka kalau dalang semua kejadian ini ternyata
Dongga, bukan kakek jangkung yang mereka
anggap Raja Sihir Pelenyap Sukma!
"Aku tahu ramuan-ramuan yang kau mak-
sud, Rawali!" sela Arya dengan suara keras. "Wa-
nita-wanita itu bukan?"
"Tepat! Tapi masih kurang tertuju, Dewa
Arak!" jawab Dongga atau Rawali sambil men-
ganggukkan kepala. "Tepatnya adalah wanita-
wanita yang masih gadis. Tapi, sayang dua kali
pengambilan yang dilakukan anak buahku dijegal
oleh kakek sialan itu!" Dongga alias Rawali me-
nuding kakek jangkung. "Namun kakek itu bodoh!
Begitu wanita culikan anak buahku yang pertama
berhasil dirampasnya, aku segera membuat jeba-
kan. Kusuruh anak buahku menculik wanita tapi
bukan perawan, karena aku yakin akan dirampas
kembali. Aku melihat kakek dungu itu mengintai
tindak-tanduk anak buahku! Dan memang, kakek
bodoh itu tertipu! Wanita yang bukan gadis diam-
bil juga. Padahal, aku tahu pasti kalau dia tengah
melakukan sebuah perbuatan yang membutuh-
kan wanita-wanita yang masih gadis. Dia tertipu!"
Arya, Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gi-
dulu menatap kakek jangkung. Jadi, kakek jang-
kung itu pun menculiki gadis-gadis untuk mela-
kukan suatu percobaan? Berarti sama bejatnya
dengan Rawali.
"Tutup mulutmu yang kotor itu, Rawali!"
maki kakek jangkung kalap. "Jangan samakan
tindakanku dengan perbuatanmu! Kau menculiki
gadis untuk obat awet mudamu dan juga mak-
hluk-makhluk jejadianmu. Gadis-gadis itu kau
bunuh setelah kau pergunakan. Sedangkan aku
hanya membutuhkannya untuk melenyapkan ter-
jadinya angkara murka di dunia persilatan, dan
gadis-gadis itu tidak kurang suatu apa. Mereka
tetap masih gadis, dan sehat. Malah mereka
membantuku dengan suka rela!"
"Sebentar, Rawali!" selak Resi Bumi Gidulu
untuk menghentikan pertengkaran antara Rawali
dengan kakek jangkung. "Aku yakin, kau lolos da-
ri pulau hukuman belum lama. Bahkan aku yakin
tidak sampai sebulan sebelum kedatanganku
yang terakhir. Bagaimana mungkin dalam waktu
singkat kau dapat bertemu dengan seorang guru
dan belajar ilmu-ilmu sesat itu serta mengua-
sainya?"
"Kau memang tolol, Bumi Gioutu!" Enak
saja Rawali memaki gurunya. "Tentu saja aku
mempelajarinya di pulau hukuman. Karena aku
menemukan guru kedua itu di pulau hukuman.
Dan beberapa hari sebelum kau datang menjen-
guk aku telah tamat belajar dan langsung me-
ninggalkan pulau. Sungguh kebetulan guru ke-
duaku tahu jalan keluar dari pulau. Dialah yang
menuntunku keluar. Sayangnya, guru keduaku
mempunyai watak seperti kau juga, lemas! Kebe-
radaannya di pulau itu justru sengaja dan meng-
hukum diri karena menyesali atas dosa-dosa yang
dilakukannya belasan tahun lalu. Keluarnya dari
pulau hanya karena ingin menolongku. Ketika
timbul rasa khawatir akan menjadi penghalangku
dikemudian hari akhirnya dia kubunuh!"
"Biadab!" seru Eyang Kendi Laga, dan Resi
Bumi Gidulu, serta kakek jangkung, hampir ber-
samaan. Sementara Dewa Arak menggeleng-
gelengkan kepala
"Keparat, Rawali! Kau harus mengganti
dengan nyawamu atas tindakan kejimu terhadap
saudara kembarku itu!" seru kakek jangkung pe-
nuh kemarahan. Kalau saja tidak dalam keadaan
payah, tentu sudah diterjangnya pemuda berompi
kulit ular itu.
"Ah, jadi Raja Sihir Pelenyap Sukma itu
saudara kembarmu, Kakek Dungu. Aku memang
sudah merasa heran sejak semula melihat kemi-
ripan wajahmu dengan guru keduaku yang bodoh
juga itu. Ternyata kau saudara kembarnya. Dan
kau ingin membalaskan sakit hati Raja Sihir Pe-
lenyap Sukma yang bodoh itu? Silakan!"
Arya tidak ingin kakek jangkung yang ter-
nyata tidak bersalah dan masih lelah itu melan-
carkan serangan, maka langsung melompat men-
dahului. Dan karena telah mengetahui tingkat
kepandaian Rawali alias Dongga yang luar biasa,
dikerahkan seluruh tenaga dalam. Dengan kedua
tangan terbuka dikirimkan serangan bertubi-tubi
ke arah dada dan ulu hati lawannya.
Namun sebelum serangan Arya mencapai
sasaran, Rawali memberi isyarat pada makhluk
kurus kering yang sejak tadi berdiam diri di sebe-
lahnya. Makhluk menyerupai mayat hidup itu
mengeluarkan gerengan aneh sambil menggerak-
kan tangan. Mendadak tubuh Dewa Arak tertahan
di udara, seperti dipaku! Pemuda berpakaian un-
gu itu terapung di udara dalam sikap tengah me-
lancarkan serangan,
Eyang Kendi Laga, dengan sisa tenaga yang
masih ada bergerak untuk melancarkan seran-
gan. Namun, dia pun mengalami nasib seperti
Arya ketika makhluk kurus kering itu mengge-
rakkan tangan menuding.
"Tidak akan ada orang yang sanggup
menghadapinya," ucap kakek jangkung pelan tapi
terdengar jelas oleh Resi Bumi Gidulu. "Karena te-
lah berhasil dikuasai oleh Rawali, makhluk kurus
kering itu jadi memiliki kemampuan berlipat gan-
da. Dia tidak akan bisa dikalahkan apa lagi dibu-
nuh, kecuali... olehku!"
"Mengapa tidak kau lakukan?!" sentak Resi
Bumi Gidulu cepat, tak sabaran karena khawatir
makhluk kurus kering itu mengalihkan sasaran
padanya.
"Tapi, kau harus berjanji membunuh Ra-
wali untuk membalas kematian saudara kembar-
ku!"
"Aku berjanji," sahut Resi Bumi Gidulu
mantap, sungguhpun merasa heran mengapa ka-
kek jangkung itu bersikap demikian. Bukankah
kakek itu memiliki kepandaian tidak kalah den-
gannya? Mengapa harus meminta bantuan pa-
danya?
Kakek jangkung tak mempedulikan kehe-
ranan Resi Bumi Gidulu. Dia sibuk berkomat-
kamit entah membaca apa, Resi Bumi Gidulu
sendiri tidak mendengarnya. Yang jelas ketika ka-
kek jangkung itu berhenti merapal mantera dan
kemudian mengangkat tangan kanannya, mak-
hluk kurus kering di sana ikut mengangkat tan-
gan kanannya.
"Hih?!"
Kakek jangkung menghantamkan tangan-
nya ke ubun-ubun hingga hancur dan mengelua-
rkan bunyi berderak keras. Pada saat yang ber-
samaan, ubun-ubun makhluk kurus kering itu
pun hancur tertembus tangannya. Dan bersa-
maan tubuh kakek jangkung dan tubuh makhluk
aneh itu ambruk di tanah dalam keadaan tidak
bernyawa.
Dengan tewasnya, makhluk kurus kering
itu, pengaruh ilmunya punah. Tubuh Arya dan
Eyang Kendi Laga melayang turun. Arya yang se-
jak tadi dalam hati memanggil belalang raksasa di
alam gaib namun binatang itu tidak kunjung da-
tang, mendadak merasakan kehadiran belalang
alam gaib itu di dalam tubuhnya ketika melayang
turun.
Seketika itu pula dengan sebuah gerakan
tidak masuk akal, di saat tubuh berada di udara,
Dewa Arak melompat dan mengirimkan sampo-
kan ke arah pelipis Rawali.
Rawali yang tengah terkesima melihat ke-
matian makhluk kurus kering andalannya, gugup
melihat serangan yang datang secara cepat dan
tidak tersangka-sangka itu. Meskipun demikian
dia masih sempat mengangkat tangan melindung
bagian yang diserang.
Plakkk! Plakkk!
Rawali hanya bisa memekik tertahan ketika
sampokan Dewa Arak tetap menghantam kepa-
lanya hingga hancur berantakan. Tangkisannya
tidak mampu menahan tenaga serangan lawan.
Tubuh pemuda berompi kulit ular ini pun berke-
lojotan di tanah sebentar sebelum akhirnya diam
tidak bergerak lagi, mati!
•k'k'k
Menjelang pagi, Dewa Arak, Eyang Kendi
Laga, Resi Bumi Gidulu, Kenari, Mawar, serta ga-
dis lainnya meninggalkan tempat yang menjadi
saksi tewasnya Rawali. Dari cerita Mawar dan Ke-
nari, Arya serta kedua kakek itu mendengar seca-
ra lebih jelas tentang kakek jangkung. Kakek itu
memang berkata benar, meminta kesediaan Ma-
war dan Kenari serta seorang gadis lain untuk se-
buah perbuatan yang akan dilakukannya. Me-
nyempurnakan kematian seorang leluhur dari ka-
kek jangkung yang telah dikutuk suatu saat akan
bangkit dari kubur dan menyebar malapetaka.
Dengan sentuhan tangan tiga orang gadis yang
masih perawan, dengan hati suka rela, mayat le-
luhur kakek jangkung tidak bangkit lagi untuk
selamanya. Namun, ternyata keadaan menjadi
lain karena Mawar bukan gadis lagi. Leluhur ka-
kek jangkung jadi mayat hidup dan akhirnya ja-
tuh ke tangan Rawali, yang mengorbankan Lasini
untuk membuat makhluk kurus kering itu patuh
padanya. Lasini tewas menjadi tumbal.
Dan berkat Kenari, Eyang Kendi Laga tahu
kalau Gumilang telah dijadikan makhluk jejadian.
Gumilang termasuk salah seorang di antara enam
makhluk jejadian yang menyerang Dewa Arak dan
Eyang Kendi Laga. Kakek kecil kurus itu pun ber-
janji akan mencari obat guna memulihkan kea-
daan makhluk-makhluk campuran itu.
Sayangnya, lima lelaki berpakaian hitam
telah pergi ketika Dewa Arak dan yang lain-lain
menyatroni tempat kediaman Rawali.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Biang-biang Iblis
Emoticon