1
Seorang pemuda tampan mengayunkan langkah seenaknya
menyusuri sebuah hutan di kaki Gunung Arjuno. Sambil
melangkahkan kaki, sesekali ditarik napas dalam-dalam dengan
Mendadak pemuda itu menghentikan langkah
Pendengarannya yang tajam menangkap ada bunyi tangkah kaki
menuju ke arahnya.
"Hih!"
Hanya dengan sekali jejak, tubuh pemuda itu telah
melayang ke atas dan hinggap di atas cabang pohon yang melintang
di atas jalan berumput. Di kanan kiri jalan itu manang ditumbuhi
berbagai pepohonan. Dari tempat ini, pemuda yang tak lain Arya
atau lebih terkenal dengan julukan Dewa Arak, mengintai.
Beberapa saat kemudian. Dewa Arak telah melihat sosok
tubuh ramping berpakaian kuning. Seorang gadis berusia sekitar
dua puluh tahun, dan berwajah cantik jelita.
"Hhh... hhh.J"
Desah napas memburu, terdengar oleh A iya ketika gadis
berpakaian kuning itu lewat di bawah cabang pohon tempatnya
bertengger. Lari gadis itu agak terhuyung-huyung, menjadi
pertanda jelas kalau dia telah merasa lelah.
Semua ini menarik perhahan Arya Dia yakin gadis
berpakaian kuning itu tengah melarikan diri dari sesuatu yang
ditakuhnya. Itulah sebabnya. Dewa Arak memutuskan untuk
menunggu. Dibiarkannya gadis itu lewat.
Baru saja gadis berpakaian kuning lewat, di kejauhan, dari
arah yang sama dengan kedatangan si gadis, tampak hga sosok yang
bergerak ke tempatnya secara cepat. Hanya dalam sekejapan, tiga
sosok itu telah berada di dekat tempat Arya berada. Di sini mereka
menghentikan langkah.
Arya pun memperhatikan mereka tanpa berani bergerak
sedikit pun. Disadari kalau orang-orang yang berada di bawahnya
memiliki tingkat kepandaian tinggi, karena mereka memiliki
gerakan yang gesit. Kalau tidak hati-hati, keberadaannya bisa di¬
ketahui mereka
"Bagaimana, Setan Hitam? Mana arah yang harus kita
tempuh? Kanan, kiri, atau depan?" tanya lelaki bertubuh pendek
gemuk, berkepala botak, dari berperut gendut
Setan Hitam yang julukan lengkapnya Setan Hitam Muka
Kuda tidak langsung menjawab pertanyaan kawannya Lelaki
bertubuh hnggi besar dan berbahu lebar itu memperhatikan ke
sekitarnya sejenak. Wajahnya yang mirip kuda menoleh ke sana
kemari.
"Kukira dia menempuh jalan ke kiri," jawab Setan Hitam
Muka Kuda dengan suara khasnya yang parau. "Bagaimana
menurutmu, Iblis Pemburu Nyawa?"
"Aku setuju. Setan Hitam! Bukankah jalan itu akan menuju
tempat kediaman sahabat Eyang Dipayana, kakeknya?!" sahut Iblis
Pemburu Nyawa. Lelaki bertubuh kedi dengan pinggang terlilit
rantai baja yang berujung bola berduri sebesar kepalan tangan orang
dewasa.
Yakin pada dugaannya, tiga lelaki berwajah kasar dan rata-
rata memiliki mata tajam itu melesat ke kiri. Hanya dalam beberapa
lesatan saja, tubuh mereka telah jauh. Yang tampak hanya bayangan
hitam yang semakin mengecil dan akhirnya lenyap.
Semua percakapan itu didengar Dewa Arak. Dan meskipun
belum jelas persoalannya, pemuda berambut putih keperakan itu
condong berpihak pada gadis berpakaian kuning. Maka, Arya pun
melesat mengejar.
"Mau lari ke mana. Bangsat Kedi?!"
Gadis berpakaian kuning terkejut bukan kepalang
mendengar bentakan itu. Dan sebelum dia sempat menoleh,
dirasakan ada hembusan angin. Tahu-tahu di depannya berdiri
sesosok tubuh pendek gemuk.
Seketika gadis berpakaian kuning menghentikan larinya
Dibalikkan tubuhnya untuk melarikan diri Namun ayunan kakinya
tertahan begitu melihat di depan telah berdiri Iblis Pemburu Nyawa
dan Setan Hitam Muka Kuda. Menyadari kalau jalan untuk
melarikan diri sudah tertutup, gadis itu nekat.
Srattt!
Dengan cepat gadis berpakaian kuning mencabut
pedangnya!
"Ha ha ha..!"
Lelaki pendek gemuk yang berjuluk Gajah Kecil Bertangan
Maut, tertawa tergelak. "Bagus! Rupanya kau ingin melawan?!
Majulah! Kulihat sampai di mana kelihaian ilmu yang kau terima
dari Dipayanakeparat itu!"
"Tutup mulutmu, KeibauGundul!"
Usai berkata demikian, gadis berpakaian kuning
melancarkan serangan pada Gajah Kedi Bertangan Maut. Sepasang
pedang di tangannya langsung dibabatkaa Yang di kanan
diayunkan ke arah leher, sedangkan yang di tangan kiri menebas
kaki dengan arah gerakan berlawanan.
Sing, sing!
Bunyi berdesing nyaring yang terdengar, menandakan kalau
tenaga dalam gadis berpakaian kuning cukup kuat.
"Sebuah serangan yang bagus," puji Gajah Kecil Bertangan
Maut seraya melompat ke atas untuk menghindari serangan yang
mengancam kaki. Ada pun yang menuju ke leher, dipapaknya
dengan sampokan tangan kanan. Lelaki pendek gemuk ini tidak
khawatir tangannya akan terluka karena telah mengenakan sarung
tangan yang menjadi senjata andalannya. Sebuah sarung tangan
pusaka berwarna hitam yang tahan bacokan senjata tajam.
Takkk!
"Hah...?!"
Tubuh gadis berpakaian kurung langsung terhuyung-
huyung ke belakang begitu terjadi benturan. Sedangkan Gajah Kecil
Bertangan Maut tampak tenang saja. Dari sini saja, gadis itu tahu
kalau tenaga dalam lawan berada jauh di atasnya
Sungguhpun demikian, gadis berpakaian kuning tidak
merasa gentar. Setelah berhasil manperbaiki kedudukan, langsung
dikirimkan serangan susulan kembali.
Dewa Arak yang menyaksikan jalannya pertarungan,
mengernyitkan alis. Hanya dengan memperhatikan sebentar, dia
sudah dapat mengetahui kalau gadis berpakaian kuning bukan
tandingan Gajah Kedi Bertangan Maut yang lihai!
Setiap serangan gadis itu selalu berhasil dipatahkan lawan.
Sebaliknya, serangan balasan yang dikirimkan Gajah Kecil
Bertangan Maut, membuatnya kerepotan. Beberapa kali dia
terpontang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan diri.
"Hih!"
Menginjak jurus ketiga belas, sambil menggertakkan gigi,
Gajah Kedi Bertangan Maut merangsek maju. Tangannya pun
disampokkan seraya memutar tubuhnya laksana kitiran. Serangan
itu memaksa gadis berpakaian kuning terus melangkah mundur
sambil memutar-mutarkan pedangnya di depan dada untuk
bertahan
Prattt!
"Ih...!"
Gadis berpakaian kuning memekik kesakitan ketika
sampokan Gajah Kedi Bertangan Maut menghantam pergelangan
tangannya Seperti terhantam sebatang baja yang amat keras,
tangannya dirasakan nyeri sekali. Pedangnya terlepas dari tangan.
Tubuhnya pun terhuyung-huyung ke belakang.
Saat itulah. Gajah Kedi Bertangan Maut merendahkan
tubuhnya, mengambil sikap seperti seekor katak. Kemudian, kedua
tangannya dihentakkan ke depan.
"Kok kok kok...!"
Bunyi berkokok seperti ayam habis bertelur terdengar dari
kerongkongan Gajah Kedi Bertangan Maut. Dan dari kedua tangan
yang dihentakkan, keluar angin keras berputar mirip angin topan.
Wajah gadis berpakaian kuning memucat. Disadari adanya
ancaman maut. Namun sayang dia tidak berdaya untuk berbuat
sesuatu karena masih terbawa kekuatan yang membuat tubuhnya
terhuyung-huyung.
Di saat yang amat gawat itulah, Arya segera melesat
menyambar tubuh gadis berpakaian kuning.
Brakkk!
Pohon besar di belakang gadis berpakaian kuning tumbang
dan hancur berantakan, terhantam pukulan jarak jauh Gajah Kecil
Bertangan Maut. Kepingan-kepingan kayu beterbangan dan berpu¬
taran seperti digulung angin topan!
Kejadian itu bukan hanya membuat Gajah Kecil Bertangan
Maut yang merasa terkejut. Namun juga kedua rekannya. Iblis
Pemburu Nyawa dan Setan Hitam Muka Kuda. Bagai diberi
perintah, mereka bergerak bersama Sehingga ketika Dewa Arak
menjejak tanah, tiga tokoh berpakaian hitam itu telah
mengurungnya
"Menyingkirlah Mereka bukan tandinganmu!" ujar Arya
seraya menurunkan tubuh gadis berpakaian kuning dari
pondongannya.
Gadis berpakaian kuning segera melaksanakan perintah
Dewa Arak. Dia memperhatikan dari jauh dengan hati berdebar
tegang. Mampukah pemuda berambut putih keperakan itu
menghadapi lawan-lawannya yang memiliki kepandaian sangat
menggiriskan?
Sementara itu, Gajah Kecil Bertangan Maut mengangguk-
anggukkan kepala setelah memperhatikan Arya dari ujung rambut
sampai ujug kaki dengan penuh selidik.
"Hm.J Rupanya kau yang berjuluk Dewa Arak. Memang,
julukanmu telah mampir ke telingaku. Kau terkenal sebagai tokoh
yang berkepandaian luar biasa. Mari, Dewa Arak! Kita bermain-
main sebentar."
Dewa Arak tidak memberikan tanggapan sama sekali.
Dengan sikap tenang, diperhatikannya gerak-gerik Gajah Kecil
Bertangan Maut. Meskipun ti dak terlihat berwaspada, seluruh urat-
urat saraf pemuda berambut putih keperakan ini menegang, siap-
siap menghadapi kemungkinan yang tidak diinginkan. Disadari
kalau lelaki pendek gemuk itu merupakan tokoh berkepandaian
tinggi. Terutama sekali pukulan jarak jauhnya yang dilakukan
dengan merendahkan tubuh mirip katak.
"Haaat...!"
Diawali teriakan keras yang membuat sekitar tempat itu
tergetar hebat Gajah Kedi Bertangan Maut melancarkan serangan.
Jari tangan kirinya bergerak menusuk ke mata lawan. Sedangkan ta¬
ngan kanannya mencengkeram lambung.
Dewa Arak sudah terbiasa bertindak hati-hati. Meskipun
serangan seperti ini bisa dipatenkannya dengan tangkisan, dia tidak
melakukannya Kekuaian tenaga dalam lawan, belum diketahuinya
Begitu pula perkambangan serangan itu Maka dilemparkan
tubuhnya ke belakang dan bergulingan di tanah menjauh.
Gajah Kecil Bertangan Maut melihat adanya kesempatan
baik untuk melancarkan serangan susulan. Keadaan Dewa Arak
amat menguntungkan pihaknya Maka buru-buru dia meluruk
menerjang pemuda berambut putih keperakan itu
Gerakan lelaki gemuk berkepala botak itu begitu cepat.
Namun dengan gerakan yang tak kalah cepatnya Dewa Arak
melenting ke atas mengelakkan serangan lawan
Gajah Kecil Bertangan Maut menggereng bagai macan luka.
Kegagalannya memanfaatkan kesempatan di saat kedudukan lawan
tidak menguntungkan, tidak membuatnya putus asa. Dikejarnya De¬
wa Arak. Kemudian dengan kedua tangan terbuka dihantamnya
dada pemuda berambut putih keperakan itu.
Plak! Plak!
Bunyi keras terdengar ketika dua pasang tangan yang sama-
sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan Memang,
Dewa Arak memapak serangan lawannya dengan sikap jari-jari
tangan yang sama.
Akibatnya, tubuh Gajah Kecil Bertangan Maut dan tubuh
Dewa Arak pun sama-sama terjengkang ke arah belakang. Hanya
saja, lelaki pendek berbadan gemuk itu terhu yung tiga langkah
lebih jauh daripada Dewa Arak yang hanya terhuyung satu langkah.
Kenyataan yang menunjukkan kekalahannya manbuat
Gajah Kecil Bertangan Maut penasaran bercampur geram. Untuk
yang kedua kalinya direndahkan tubuhnya mirip seekor katak. Lalu,
secara bergantian tangan kanan dan kirinya digerakkan ke atas dan
ke bawah. Bunyi seperti ayam habis bertelur terdengar seiring
dengan gerakan kedua tangannya Kemudian kedua tangannya
segera dihentakkan.
Wusss!
Hembusan angin keras berputar keluar dari kedua tangan
yang dihentakkan.
Kali ini Dewa Arak tidak mengelak Dipapaknya serangan
itu dengan kedua tangan yang dihentakkan pula
Blarrr!
Bunyi keras terdengar memekakkan telinga dan manbuat
sekitar tempat itu tergetar hebat, ketika dua pukulan jarak jauh
saling beradu. Tubuh keduanya tampak terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang.
Dewa Arak terkejut ketika menyadari ada sebuah kekuatan
yang membuat tubuhnya berputar. Namun berkat kelihaiannya,
pemuda berpakaian ungu itu segera mampu memperbaiki
keseimbangan tubuhnya.
Dewa Arak masih tetap keheranan. Entah dengan cara
bagaimana, ilmu pukulan yang dilancarkan dengan tubuh setengah
berjongkok mirip katak tadi mengandung tenaga berlipat ganda.
Terbukti, dirinya sempat terhuyung-huyung beberapa langkah.
Sementara itu Gajah Kecil Bertangan Maut pun demikian.
Meskipun begitu, dia tahu kalau ilmu pukulan mukjizatnya cukup
membuahkan hasil. Maka setelah kekuatan yang manbuat
tubuhnya sempoyongan berhasil dipatahkan, langsung dikirimkan
serangan susulan dengan cara seperh tadi.
Namun kali ini Dewa Arak hdak mau meladeninya. Dengan
kecepatan yang mengagumkan, pemuda berambut putih keperakan
itu melenting. Dan dari atas dilancarkan serangan bertubi-tubi.
Tentu saja yang menjadi sasaran bagian kepala dan punggung
lawan.
Tindakan yang diambil Dewa Arak membuat lelaki
bertubuh gemuk pendek itu tampak kelabakan. Sama sekali tidak
disangka kalau lawan akan melakukan perlawanan di atas. Cara
perlawanan seperti ini membuat kedahsyatan ilmunya tak berfungsi.
Karena dia tidak mampu melancarkan serangan ke atas kepalanya
Tambahan lagi kecepatan gerakan Dewa Arak jauh di atasnya,
sehingga setiap serangan yang dilancarkannya selalu mengenai
tempat kosong.
Tak pelak lagi. Gajah Kecil Bertangan Maut kian kewalahan.
Dia dibuat kerepotan untuk tetap berada di hadapan lawan. Namun,
karena dirinya kalah cepat bergerak, selalu berada dalam keadaan
dicecar.
Melihat keadaan rekannya. Iblis Pemburu Nyawa dan Setan
Hitam Muka Kuda pun tidak tinggal diam. Keduanya terjun ke
dalam kancah pertarungan dan mengeroyok Dewa Arak Maka
pertarungan yang jauh lebih sengit pun berlangsung.
Melihat keadaan itu Dewa Arak tidak bisa bertindak
setengah-setengah. Setan Hitam Muka Kuda dan Iblis Pemburu
Nyawa ternyata memiliki kepandaian lebih tinggi dibanding Gajah
Kecil Bertangan Maut.
Seperti juga lelaki pendek gemuk itu, kedua tokoh golongan
hitam ini pun memiliki ilmu-ilmu yang aneh dan dahsyat
Setan Hitam Muka Kuda memiliki keistimewaan dalam
penggunaan sepasang kakinya. Itulah jurus 'Sepak Kuda'.
Sedangkan Iblis Pemburu Nyawa mempunyai ilmu yang membuat
tangannya seperti berjumlah puluhan pasang.
Tidak hanya dalam satu jurus Iblis Pemburu Nyawa mampu
melancarkan serangan dalam beberapa bentuk gerakan jari. Inilah
ilmu andalan tokoh kedi kurus itu, 'Satu Tangan Seribu Serangan'!
Menghadapi keroyokan lawan yang memiliki ilmu khas
beraneka ragam. Dewa Arak semakin sibuk. Apalagi karena lawan
menyerang dari tiga penjuru. Serangan-serangan dahsyat silih
berganti meluncur ke arahnya
Dewa Arak sadar kalau ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi
andalannya tidak segera dikeluarkan, dia akan menghadapi
kesulitan besar. Dmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan Ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' yang sejak tadi digunakan
tampaknya tak mampu menanggulangi pengeroyokan tiga
lawannya.
2
"Hih!"
Dewa Arak menjejakkan kaki Dengan cepat tubuhnya
melenting, kemudian bersalto beberapa kali di udara sambil
mengambil gud araknya dan menuangkan ke mulut.
Gluk.... Gluk... Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan Arya mengalir ke perut Hawa hangat berputar di
sekitar perut dan kemudian secara perlahan merayap ke atas.
Jiiggg!
Kedua kakinya menjejak tanah dalam kedudukan yang tidak
tetap karena pengaruh arak dan ilmu 'Belalang Sakti'. Sementara tiga
orang musuhnya telah melancarkan serangan susulan. Malah,
sekarang di tangan mereka tergenggam senjata.
"Kok kok kok...!"
Untuk yang kesekian kali. Gajah Kedi Bertangan Maut yang
berada di depan, merendahkan tubuh dan melancarkan serangan
khasnya. Kali ini sebelum kedua tangan dihentakkan, lehernya telah
dikembungkan mirip leher katak.
Pada saat yang hampir bersamaan, dari belakang Iblis
Pemburu Nyawa menyerang dengan rantainya yang mengikat bola
baja berduri. Sedangkan dari samping kanan. Setan Hitam Muka
Kuda menusukkan tombak berujung logam bulan sabitnya ke arah
pinggang.
Dewa Arak tidak berani bertindak lambat. Dalam waktu
yang demikian singkat, benaknya bekerja keras. Sehingga dia tahu
kalau di antara semua serangan itu yang akan tiba lebih dulu adalah
serangan Gajah Kecil Bertangan Maut, satu-satunya lawan yang
tidak menggunakan senjata. Maka diputuskan untuk mematahkan
serangan lelaki pendek gemuk itu lebih dulu.
Wusss!
Dewa Arak langsung menghentakkan kedua tangannya
menggunakan jurus 'Pukulan Belalang'. Deru angin keras berhawa
panas menyengat, meluruk menyambuti pukulan jarak jauh Gajah
Kecil Bertangan Maut.
Glarrr...!
Ledakan keras seperti halilintar menyambar langsung
terdengar ketika dua buah pukulan jarak jauh itu berbenturan.
Tubuh Gajah Kecil Bertangan Maut terjengkang ke belakang dan
bergulingan di tanah. Dan ketika akhirnya bangkit, wajah lelaki
pendek gemuk itu pucat pasi!
Begitu pula Dewa Arak. Tubuh pemuda berambut putih
keperakan itu terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.
Namun hal itu sudah diperhitungkan. Sehingga dengan sendirinya
serangan Setan Hitam Muka Kuda kandas, lewat beberapa jari di
depan tubuhnya. Sedangkan tusukan Iblis Pemburu Nyawa
dipapaknya dengan ayunan guci ke belakang
Krakkk!
Klang.J
Serangan Iblis Pemburu Nyawa pun kandas Bahkan
tubuhnya yang kecil kurus melayang kembali ke belakang akibat
benturan itu. Dewa Arak yang cerdik menambahkan tenaga pada
tangkisan sehingga membuat daya dorongnya jadi berlipat ganda.
Tindakan Dewa Arak tidak terhenti sampai di situ. Kaki
kirinya langsung mencuat ke arah leher Setan Hitam Muka Kuda.
Hal ini memaksa tokoh tinggi besar itu melompat ke belakang.
Kepungan terhadap Dewa Arak mengendur.
Namun keadaan itu hanya berlangsung sesaat, karena
kemudian ketiga lawannya kembali mehiruk ke arah Dewa Arak.
Dan pertarungan sengit pun kembali berkobar.
Bunyi mencicit, mengaung, dan menderu mengiringi setiap
gerakan mereka Sesekali terdengar bunyi dentang senjata masing-
masing yang beradu, atau ledakan ketika pukulan jarak jauh
berbenturan di tengah jalan.
Tanah berhamburan di sana-sini sehingga menimbulkan
kepulan debu tebal Pepohonan beterbangan terhantam pukulan
jarak jauh mereka. Keadaan tanah di sekitar tempat itu seperti habis
diinjak puluhan ekor keihau liar.
Gadis berpakaian kuning, satu-satunya orang yang
menyaksikan jalannya pertarungan memandang penuh perasaan
takjub. Hatinya diliputi perasaan kagum terutama terhadap Dewa
Arak. Seorang tokoh yang meskipun masih belia mesti menghadapi
keroyokan tokoh-tokoh hitam yang berkemampuan tinggi.
Sementara, tokoh-tokoh yang dikagumi sama sekali tidak
mempedulikan Kedua belah pihak sibuk mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki untuk mengalahkan lawan masing-
masing.
Tak terasa pertarungan telah berlangsung delapan puluh
jurus. Dan selama itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak
yang akan keluar sebagi pemenang. Pertarungan masih berlangsung
seimbang. Dan kedua belah pihak masih saling bergantian
melancarkan serangan.
Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa, dan
Setan Hitam Muka Kuda kian penasaran. Memang kesaktian Dewa
Arak telah mereka dengar. Namun merupakan sebuah berita yang
memalukan apabila dengan mengeroyok bertiga, mereka tetap tidak
mampu mencapai kemenangan. Apalagi ketika melihat Dewa Arak
beberapa kali bertindak seperti merendahkan mereka. Sambil me¬
ngelak, pemuda berambut putih keperakan itu menenggak araknya,
membuat ketiga tokoh sesat ini semakin kalap. Serangan-serangan
yang mereka lancarkan pun semakin dahsyat. Namun Dewa Arak
tetap mampu menanggulanginya, bahkan sempat mengirimkan
serangan yang tidak kalah dahsyat.
"Anjing-anjing Kurap! Berani kalian mengacau tempat ini?!"
tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggetarkan. Belum lagi
hilang gema teriakan itu, sesosok bayangan melesat ke dalam
kancah pertarungan. Dan begitu terjun, sosok berpakaian abu-abu
itu langsung mengirimkan serangan!
Setan Hitam Muka Kuda yang berada paling dekat dengan
sosok abu-abu itu yang menjadi sasaran. Buru-buru digerakkan
tombak bulan sabitnya untuk memapak ayunan tasbih yang
mengancam pelipisnya
Cririggg!
Setan Hitam Muka Kuda terperanjat ketika merasakan
tangannya bergetar hebat begitu benturan terjadi. Apalagi ketika
tasbih itu langsung melibat logam bulan sabitnya
Namun lelaki berkulit legam ini tidak menjadi gugup.
Dengan cepat ditarik tombaknya dengan maksud agar tasbih itu
putus. Tapi dia tak berhasil ketika melihat senjata yang kelihatannya
rapuh itu tidak putus! Tombaknya bahkan tidak bergeming dari
belitan tasbih. Setan Hitam Muka Kuda pun sadar kalau dia tengah
berhadapan dengan seorang tokoh yang memiliki tingkat
kepandaian tinggi
Walaupun demikian. Setan Hitam Muka Kuda tidak
kehilangan akal. Tombaknya dengan cepat disodorkan ke arah leher
lawan.
"Uh!"
Wuttt!
Sosok berpakaian abu-abu memekik kaget. Buru-buru
dilepaskan belitan tasbihnya seraya menarik kaki ke belakang,
sehingga tombak lawan menyambar angin
"Kiranya kau, Eyang Ranggalawe," desah Setan Hitam Muka
Kuda begitu melihat wajah lawannya secara jelas.
Kakek berpakaian abu-abu itu tersenyum sinis.
Ditatapnya wajah calon lawannya yang tidak langsung
melancarkan serangan begitu berhasil membebaskan senjatanya
"Rupanya kau masih mengenaliku, Setan Hitam," ucap
Eyang Ranggalawe, menyindir.
"Ha ha ha...!" Setan Hitam Muka Kuda tertawa bergelak
"Siapa yang bisa lupa padamu, Ranggalawe?! Apalagi sebentar lagi
kita semua akan mengadakan pertemuan!"
"Tidak usah banyak cakap, Setan Hitam!" tandas Eyang
Ranggalawe yang tidak bisa berbasa-basi, "Sekarang katakan, apa
urusanmu berada di tempat ini! Jangan katakan kalau kau
bermaksud mengunjungi tempatku yang buruk!"
"Dia mengejar-ngejarku, Paman! Ayah telah dicelakainya
Bahkan Gusti Prabu Paso Pati!" seru gadis berpakaian kuning,
menyela sebelum Setan Hitam Muka Kuda menjawab.
"Apa?!" Eyang Ranggalawe tersentak seperti disambar petir.
"Kalau begitu, kau harus mampus untuk menebus perbuatan-
perbuatanmu yang keji itu, Setan Hitam!"
Wungngng!
Usai berkata demikian. Eyang Ranggalawe mengayunkan
tasbihnya menyambar pelipis Setan Hitam Muka Kuda, setelah
terlebih dahulu memutarnya laksana kitiran sehingga menimbulkan
bunyi mengaung.
"Kaulah yang akan mampus, Tua Bangka...! Hea.J"
Setan Hitam Muka Kuda menarik kaki kanan ke belakang,
sehingga sambaran tasbih itu lewat beberapa jari di depan wajahnya
Kemudian, tombak bulan sabit di tangannya ditusukkan ke perut
lawan. Daya jangkau senjatanya yang panjang memungkinkan lelaki
berkulit legam ini untuk melakukan hal seperti itu.
Wuttt!
"Ah...!"
Eyang Ranggalawe mengeluarkan pekik tertahan karena
merasa kaget melihat serangan lawan. Buru-buru dijejakkan kaki
sehingga tubuhnya melayang ke atas. Kemudian disabetkan
tasbihnya ke ubun-ubun lawan. Namun, Setan Hitam Muka Kuda
dapat mengelakkannya sambil mengirimkan serangan yang tidak
kalah dahsyat Pertarungan sengit pun berlanjut.
Dengan terjadinya pertarungan antara Eyang Ranggalawe
menghadapi Setan Hitam Muka Kuda, Dewa Arak jadi kehilangan
satu lawannya. Dan hal itu membuat kedudukannya segera berubah
Perlahan-lahan pemuda berambut putih keperakan itu berhasil
mendesak kedua lawannya.
Berkali-kali Gajah Kecil Bertangan Maut dan Iblis Pemburu
Nyawa dibuat terhuyung-huyung ke belakang dalam benturaa
Terutama sekali si Gajah Kecil Bertangan Maut. Tubuhnya beberapa
kali bergulingan di tanah ketika pukulan mukjizatnya beibenturan
dengan jurus 'Pukulan Belalang' Dewa Arak. Padahal, seluruh
tenaga mukjizatnya telah dikeluarkan dengan cara
menggembungkan leher. Namun usahanya sia-sia! Dalam
penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak pun mengalami keku¬
atan tenaga yang bertambah, sehingga tetap saja Gajah Kecil
Bertangan Maut kewalahan manghadapinya.
Sementara Eyang Ranggalawe pun demikian. Setelah
bertarung ketat dalam tiga puluh jurus, kakek berpakaian abu-abu
ini berhasil mendesak lawannya.
Kenyataan ini disadari oleh tiga tokoh golongan hitam itu.
Mereka tampaknya tidak mau bertindak bodoh dengan melakukan
perlawanan terus. Maka bagai telah disepakati, ketiganya
melemparkan tubuh menjauh Lalu melarikan diri.
"Mau lari ke mana. Keparat?!" seru Eyang Ranggalawe
seraya melesat mengejar.
Namun hanya beberapa langkah Eyang Ranggalawe
melakukannya Pengejarannya langsung dihentikan. Lalu kepalanya
ditolehkan ke belakang. Dilihatnya Dewa Arak tidak melakukan
pengejaran, hanya berdiam diri menatap kepergian lawannya.
"Mengapa kau tidak mengejar mereka. Anak Muda?" tanya
Eyang Ranggalawe seraya melangkah menghampiri
"Untuk apa, Ki?" Arya balik bertanya, "Aku tidak punya
urusan dengan mereka."
"Mereka orang-orang jahat, Anak Muda. Tckoh-tokoh
golongan hitam! Andaikata dibiarkan, akan banyak orang tak
bersalah yang akan jadi koiban!" jelas Eyang Ranggalawe setengah
memberitahukan.
"Tapi aku tidak melihat sendiri tindak kekejaman yang
mereka lakukan, Ki. Tanpa itu aku tak dapat sembarangan
menjatuhkan tangan Sudah terlalu banyak aku menanam
permusuhan dengan tokoh-tokoh persilatan. Aku tak ingin
menambahnya dengan masalah-masalah yang tidak jelas."
"He he he.J" Eyang Ranggalawe tertawa lunak. "Aku
kagum mendengar jawabanmu, Anak Muda. Kau memiliki
pandangan yang luas. Kalau mataku masih belum lamur, kau
pastilah orang yang berjuluk Dewa Arak."
"Ah, hanya sebuah julukan kosong, Ki," jawab Arya
merendah.
"Kalau begitu lupakanlah. Dewa Arak. Mungkin perlu
bagimu mendengarkan sedikit ceritaku. Barangkali saja
keputusanmu untuk tidak melenyapkan tiga tokoh golongan hitam
itu dapat kau rubah."
Dewa Arak tidak menjawab ucapan Eyang Ranggalawe.
Hanya kepalanya terlihat mengangguk kecil seraya menatap lelaki
tua itu.
"Kalau begitu, mari kita singgah di gubukku! Sepanjang
perjalanan menuju ke sana akan kuceritakan mengenai tokoh-tokoh
yang tadi bertarung denganmu Mari, Dewa Arak!"
Tanpa ragu-ragu lagi, Arya segera mengayunkan langkah,
mengikuti Eyang Ranggalawe dan gadis berpakaian kuning yang
telah melangkah lebih dulu
***
Kriiit.
Bunyi bergerit pelan terdengar ketika pintu pondok Eyang
Ranggalawe bergerak membuka. Dari dalamnya keluar sesosok
tubuh ramping. Sikapnya terlihat demikian hati-hati, baik ketika
melangkahkan kaki maupun menutupkan daun pintu.
Kemudian sosok ramping itu melesat keluar. Sinar rembulan
yang cukup terang di langit, menampakkan sosok ramping itu
cukup jelas. Dia ternyata Nawangsih, murid Eyang Dipayana.
Nawangsih semakin mempercepat larinya ketika telah
cukup jauh dari pondok. Sekejap kemudian bentuk tubuhnya
lenyap. Yang terlihat sekarang hanya sekelebatan bayangan kuning
dalam bentuk tidak jelas, melesat cepat menuju ke puncak.
Meskipun yakin kalau kepergiannya tidak diketahui orang,
Nawangsih tetap tidak meninggalkan kewaspadaan. Sesekali
kepalanya ditolehkan ke belakang untuk memastikan kalau tidak
ada orang yang mengikutinya.
Hati gadis berpakaian kuning itu lega kehka tidak melihat
hal yang dikhawatirkan. Kenyataan ini membuat semangatnya
semakin beigelora. Kecepatan larinya pun bertambah. Laksana kera
kedua kakinya menotok ke sana kemari membuat tubuhnya
melayang ke atas secara cepat.
Nawangsih baru memperlambat larinya ketika telah melihat
sebuah goa yang berjarak sekitar sepuluh tombak di hadapannya.
Kini dirinya berada di sebuah hamparan tanah datar berumput.
Dengan langkah satu-satu Nawangsih mendekati mulut goa.
Wusss!
Tiba-tiba serentetan angin dahsyat berasal dari dalam goa,
meluruk ke arah Nawangsih, ketika gadis itu telah berjarak sekitar
tiga tombak dari mulut goa.
Nawangsih tersentak kaget. Hatinya menyadari ada bahaya
maut yang tengah mengancam. Buru-buru dia menjatuhkan diri ke
tanah dan bergulingan menjauh. Ketika akhirnya dia bangkit berdiri,
di mulut goa telah berdiri sesosok tubuh kekar berpakaian compang-
camping. Rambutnya pun awut-awutan.
Namun bukan hal itu yang menyebabkan Nawangsih
merasa ngeri, melainkan sorot mata lelaki muda berpakaian
compang-camping itu. Sinar yang keluar dari sepasang matanya
mengingatkan Nawangsih akan tatapan seekor harimau dalam
kegelapan. Mencorong dan bersinar kehijauan. Sepertinya ada
kekuatan aneh terkandung di dalam diri lelaki muda berpakaian
gembel itu.
Dengan langkah lambat-lambat dan sikap mengancam,
lelaki berpakaian compang-camping itu menghampiri Nawangsih
"Pemberontak Keparat! Sungguh berani kau mendekati
istanaku!" seru lelaki muda berpakaian compang-camping itu keras.
"Kalau pengawal-pengawalku tahu kau akan dipancung!"
Nawangsih tidak merasa heran sama sekali melihat sikap
dan ucapan lelaki berpakaian compang-camping itu. Dirinya telah
mendapat pemberitahuan kalau penghuni goa itu orang tidak waras.
Hampir dia tertawa mendengarnya, tapi dengan sekuat tenaga
ditahannya. Bahkan Nawangsih yang berwatak lincah ini
bermaksud meladeni kegilaan lelaki berpakaian compang-camping
itu.
"Apakah kau sudah tak mengenaliku lagi, Kang? Aku bukan
pemberontak. Aku istrimu! Aku bermaksud ikut membantumu
membasmi pemberontak-pemberontak itu. Lihat, aku telah
mendapatkan pedang sri baginda Beliau telah memberikan
kepercayaan pada kita untuk membasmi para pengkhianat!" seru
Nawangsih seraya mencabut pedang yang diberikan Eyang
Dipayana dan mengacungkannya tinggi-tinggi ke atas.
"Ah! Sungguhkah...?! Kalau begitu, mari kita basmi
pemberontak-pemberontak itu sekarang. Istriku!" sambut lelaki
berpakaian compang-camping merasa gembira Kakinya melangkah
menghampiri Nawangsih
Nawangsih terbelalak kaget bercampur kagum ketika
melihat pemuda berpakaian compang-camping itu tahu-tahu berada
di dekatnya. Padahal, dia hanya melihat lelaki itu mengayunkan
kaki selangkah secara sembarangan.
Nawangsih bertambah kaget ketika melihat pemuda
berpakaian compang-camping itu mengembangkan kedua lengan
hendak memeluk. Rasa jijik melanda hati gadis berpakaian kuning
ini, apalagi ketika hidungnya mencium bau apek, asem, dan pengak!
Bau orang yang lama tidak mandi!
Didorong oleh rasa jjik, dan tentu saja Nawangsih sebagai
seorang gadis, tidak mau dipeluk oleh sembarangan orang. Dia pun
berusaha mengelak. Gadis berpakaian kuning ini melangkahkan
kakinya ke belakang seraya mendoyongkan tubuh. Namun entah
bagaimana, Nawangsih sendiri tidak mengetahuinya, tahu-tahu
tangan lelaki gila itu melingkari tubuhnya
Ketika gadis itu telah berjarak tiga tombak dari mulut goa, tiba-
tiba serentetan angin dahsyat meluruk ke arahnya. Nawangsih menyadari
ada bahaya maut yang tengah mengancam. Buru-buru dia menjatuhkan
diri ke tanah dan bergulingan menjauh.
Kenyataan ini membuat Nawangsih gugup. Sebelum dia
sempat berbuat sesuatu, lelaki berpakaian compang-camping itu
telah memperketat pelukan, lalu menciumi Nawangsih dengan
buasnya.
Hampir Nawangsih pingsan menerima perlakuan yang
sama sekali tidak disangka-sangkanya Dia berusaha meronta dan
kalau perlu manbunuh lelaki gila ini. Namun hanya dengan sebuah
sentuhan pada bahu kanannya tubuh Nawangsih telah dibuat lemas
tidak berdaya.
"Keparat!" lelaki berpakaian compang-camping itu
menggeram keras penuh kemarahan, dan bahkan sepasang matanya
mengeluarkan sinar berapi "Rupanya benar berita yang kudengar
bahwa kau telah bennain gila dengan Gusti Pangeran Laksanadewa!
Buktinya kau sekarang tidak mau kucium!"
Nawangsih mengeluh dalam hati. Tidak disangkanya sama
sekali kalau sandiwara yang dilakukannya akan berlanjut seperti itu
Dia harus bertindak cepat kalau ingin nyawanya selamat. Orang gila
yang tengah murka itu telah merenggangkan pelukan, dan tangan
kirinya sekarang telah berada di ubun-ubun Nawangsih. Sekali saja
lelaki gila itu mengerahkan sedikit tenaga dalam, Nawangsih akan
tewas dengan ubun-ubun pecah!
"Kau salah, Kakang! Bukannya aku tak mau, tapi Gusti
Prabu memerintahkan agar kita bergegas! Kau harus buru-buru
berkemas agar kita dapat segera pergi! Toh, nanti di perjalanan
masih banyak waktu bagi kita untuk melakukannya," ucap Na¬
wangsih dengan raut wajah memerah ketika mengucapkan kata-kata
yang terakhir.
"Ah...! Kau benar...! Benar sekali..! Mengapa aku demikian
pelupa?"
Sambil mengangguk-anggukkan kepala lelaki gila itu
melepaskan pelukannya, dan membebaskan totokan terhadap
Nawangsih. Kemarahan yang tadi membayang jelas di wajahnya
telah menguap pergi Bahkan sorot matanya telah melembut
kembali meskipun tetap aneh.
Nawangsih menghela napas. Hatinya lega melihat
keberhasilan ucapannya Sudah kepalang, pikirnya, lebih baik
dilanjutkan saja sandiwara ini!
"Benar kan? Lebih baik kau mandi dulu, bersihkan tubuh,
ganti pakaianmu dan kita berangkat," ucap Nawangsih, yang
bingung memikirkan bagaimana dia akan tahan melakukan
perjalanan dengan orang yang memiliki bau seperti itu!
Lelaki berpakaian compang-camping itu mengangguk-
anggukkan kepala menyetujui permintaan Nawangsih. Tubuhnya
berbalik lalu melangkah. Namun mendadak ayunan kakinya
terhenti. Karuan saja hal ini membuat Nawangsih yang sudah
merasa lega jadi khawatir kembali
"Mengapa harus, aku saja. Istriku? Bukankah lebih baik
kalau kau ikut mandi juga? Kita mandi bersama seperti sewaktu kita
belum mempunyai anak? Anak... anakku.... Di mana anak kita, Na¬
wangsih?"
Lelaki berpakaian compang-camping itu tertegun. Seolah
dia teringat sesuatu, anaknya, bahkan sekaligus nama istrinya
Kepalanya ditolehkan ke sana kemari dengan sepasang mata liar.
Ucapan-ucapan lelaki gila itu membuat Nawangsih merasa
kaget. Sebagai seorang dara yang cerdik, dia dapat memperkirakan
kalau sandiwara yang dilakukannya ternyata mempunyai
persamaan dengan riwayat hidup lelaki berpakaian compang-
camping itu. Setidak-tidaknya membuat lelaki itu teringat akan
masa lalunya
"Mengapa kau demikian pelupa. Kang?" ucap Nawangsih
ketika menemukan jawaban yang akan digunakannya untuk
melepaskan diri dari keadaannya yang terjepit. "Anak kita diculik
pemberontak-pemberontak keparat itu. Dan kita akan membe¬
baskannya setelah melenyapkan mereka"
"Diculik?!" lelaki berpakaian compang-camping
mengernyitkan alis, membuat hati Nawangsih berdebar-debar.
Namun kekhawatiran Nawangsih langsung pupus ketika
lelaki berpakaian compang-camping tidak mempedulikan hal itu
lagi.
"Lebih baik kau pergi mandi sendiri, Kang. Bukannya aku
tidak mau menemani. Aku hanya khawatir kalau kita pergi berdua,
istana kita akan diserbu pemberontak."
"Kau benar..., kau benar...!" lagi-lagi lelaki berpakaian
compang-camping itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian, masih dengan kepala terangguk-angguk, lelaki
gila itu membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan
Nawangsih.
Mendadak langkahnya dihentikan. Sepasang matanya
menatap tajam ke depan. Nawangsih yang sejak tadi
memperhatikan gerak-geriknya, ikut pula mengarahkan pandangan
ke arah yang sama Seketika dia merasa gelisah.
Di kejauhan, tampak dua sosok tubuh tengah melesat cepat
ke arah mereka Namun bukan gerakan mereka yang menyebabkan
Nawangsih gelisah, melainkan karena mengenali siapa dua sosok
yang tengah menuju ke arahnya Salah seorang di antara keduanya
benar-benar jelas dari kejauhan.
Pakaian ungu dan rambutnya putih panjang terurai. Siapa
lagi kalau bukan Dewa Arak?
"Kang...! Kembali kemari..! Cepat, kita tinggalkan tempat
ini...!" seru Nawangsih penuh perasaan gelisah
Namun lelaki berpakaian compang-camping itu seperti
tidak mendengar teriakan Nawangsih Dia menatap dua sosok yang
tengah menuju tempatnya, dengan sepasang mata membelalak lebar
laksana melihat hantu
Sikap lelaki berpakaian compang-camping itu manbuat
Nawangsih semakin gelisah.
"Kang...! Cepat...! Nanti pemberontak-pemberontak itu
keburu kabur...!" seru Nawangsih lagi dengan kegelisahan yang kian
memuncak.
Namun lelaki berpakaian compang-camping tetap tidak
memberikan tanggapan sama sekali. Nawangsih ingin menghampiri
dan mengajaknya kabur, tapi khawatir karena dia tahu lelaki itu
memiliki sikap yang tidak bisa ditebak. Apalagi ketika dilihatnya
tubuh lelaki itu sekarang menggigil. Bunyi berkerotokan terdengar
dari sekujur tubuhnya, seakan tulang-tulangnya berpatahan!
Padahal, lelaki itu tidak menggerakkan tangan atau kaki.
Nawangsih bergidik karena tahu kalau bunyi itu timbul
akibat tenaga dalam yang bergolak sendiri. Tenaga dalam yang amat
dahsyat!
Nawangsih tahu, tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dia
hanya menunggu dengan jantung berdetak kencang. Tidak ada
gunanya lagi melarikan diri karena dua sosok yang tidak lain Dewa
A-rak dan Eyang Ranggalawe telah melihatnya. Nawangsih hanya
berdiri di tempatnya dengan pasrah
•kkk
Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe memang telah melihat
keberadaan Nawangsih dan lelaki berpakaian compang-camping itu.
Keduanya langsung menghentikan langkah berjarak empat tombak
dari lelaki berpakaian compang-camping itu dan memasang sikap
waspada.
Sebagai orang-orang yang telah kenyang pengalaman. Dewa
Arak dan Eyang Ranggalawe tahu kalau lelaki berpakaian compang-
camping itu tengah dalam keadaan murka Hanya saja, mereka tidak
tahu penyebabnya. Namun baik Eyang Ranggalawe maupun Dewa
Arak tahu, kemarahan lelaki berpakaian compang-camping itu
tertuju pada mereka.
"Kau...?!" ucapan bernada penuh geram dan kemarahan
keluar dari mulut lelaki berpakaian compang-camping dengan
pandangan tertuju ke arah Dewa Arak. "Iblis Jahanam..!
Nawangsih..! Tidak,..! Kubunuh kau, Jahanam!"
Belum lenyap gema ucapannya, lelaki berpakaian compang-
camping itu telah melompat menerjang Dewa Arak. Di udara,
tubuhnya berputar, kemudian kaki kanannya dikibaskan ke arah
pelipis Dewa Arak.
Dewa Arak yang memang sudah sejak tadi bersikap
waspada langsung melompat ke belakang, sehingga serangan itu
menyambar di depan wajahnya. Namun betapa kaget hatinya ketika
melihat, dengan sebuah gerakan aneh lelaki berpakaian compang-
camping itu mampu melancarkan serangan susulan berupa kibasan
kaki yang satu lagi.
Dewa Arak hampir tidak percaya dengan pandang matanya
sendiri. Meskipun demikian dia tidak tampak gugup. Dengan
gerakan cepat ia segera mengelak.
Bukkk!
Meskipun tidak membuahkan hasil seperti yang
diharapkan, tindakan Arya cukup berhasil menyelamatkan selembar
nyawanya. Serangan kaki lawan tidak menghantam kepalanya, tapi
menyerempet bahunya Sungguhpun begitu, karena tenaga dalam
yang terkandung pada serangan itu kuat, tubuh Dewa Arak
terhuyung-huyung ke belakang. Wajahnya tampak menyeringai
menahan sakit.
Saat itu, lelaki berpakaian compang-camping telah
melancarkan serangan susulan dengan gedoran kedua tangannya
Terpaksa Arya menyambutinya lagi karena keadaan tidak
memungkinkan
Plakkk!
Benturan keras antara dua tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi tak dapat dielakkan ketika Dewa
Arak memapak dengan menggunakan tapak tangan kanan terbuka.
Lelaki gila itu menggunakan tenaga tangkisan untuk
bersalto di udara, melewati kepala lawan. Ketika berada di belakang
Dewa Arak mengirimkan totokan dahsyat dan bertubi-tubi ke arah
tengkuk pemuda berambut putih keperakan.
Dewa Arak yang merasakan ada desir angin tajam di
belakangnya, tidak berani bertindak lambat. Dia melompat ke depan
dan bergulingan menjauh. Ketika telah berhasil bangkit lawan telah
menjejak tanah dan menghadap ke arahnya Arya pun langsung
bersiap sedia. Dia tahu, lelaki berpakaian compang-camping itu
memiliki kepandaian tinggi
Lelaki berpakaian compang-camping itu menggeram keras
hingga membuat sekitar tempat itu seakan bergetar hebat. Rupanya
dia merasa penasaran dan marah melihat serangannya gagal. Lalu,
setelah mengeluarkan gerengan keras seperti harimau, tubuhnya
melompat tinggi. Kemudian meluncur ke arah Dewa Arak dengan
kedua kakinya bergerak melakukan tendangan maut bertubi-tubi
menuju tengkuk, ubun-ubun, pelipis, dan tenggorokan. Sekali saja
terkena tendangan ini betapa pun kuatnya tenaga dalam Dewa Arak,
mungkin tak akan mampu bertahan.
Dewa Arak tahu hal itu. Dengan cepat dia melompat
mundur, ke kanan, dan ke kiri menghindarkan diri dari serangan
gencar lawannya. Bentuk serangan yang demikian aneh membuat
Dewa Arak tidak berani bertindak sembrono dengan melakukan
tangkisan.
Untuk beberapa jurus lamanya pemuda berambut putih
keperakan itu hanya mengelak ke sana kemari Bukan karena takut,
tapi untuk mempelajari perkembangan ilmu lawan yang aneh dan
tidak dikenalnya Sebagai seorang pendekar yang telah kenyang
pengalaman, Arya tahu kalau lelaki berpakaian compang-camping
itu memiliki ilmu tendangan dahsyat. Dia juga menduga ilmu itu
dari aliran putih. Ini bisa diketahuinya dari serangan-serangan yang
jarang menggunakan tipuan.
Dewa Arak harus mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuhnya untuk dapat mengelakkan serangan lawannya yang
bertubi-tubi. Sebab serangan-serangan itu meluncur secara cepat.
Sebentar saja, telah tampak pemuda berambut putih keperakan itu
terdesak hebat, karena hanya mengelak ke sana kemari dan terus-
menerus mundur.
Sementara itu. Eyang Ranggalawe yang tadi segera
menghindar ketika melihat lelaki berpakaian compang-camping itu
menerjang Dewa Arak, segera menghampiri Nawangsih
"Apa arti perbuatanmu ini, Nawangsih?" tegur Eyang
Ranggalawe kepada Nawangsih yang hanya menundukkan kepala
Nawangsih tidak memberikan jawaban sama sekali.
Kepalanya tetap ditundukkan sementara kaki kanannya digores-
goreskan ke tanah
"Kau bius aku dengan makanan dan minuman yang kau
sediakan. Untung saja Dewa Arak telah menaruh curiga padamu,
hingga dia telah lebih dulu menyiapkan penangkalnya sebelum
mencicipi makanan dan minuman yang kau sediakan. Dialah yang
mengetahui kepergianmu dan membangunkanku begitu dilihatnya
kau bertemu dengan Satria Sinting," ujar Eyang Ranggalawe masih
bernada teguran.
"Satria Sinting?!" ulang Nawangsih dengan alis berkerut
"Memang begitulah julukan yang kami berikan padanya
Memang tidak cocok, tapi itu lebih baik daripada kami berikan
julukan Pendekar Gila padanya. Sebuah julukan yang kasar dan
bernada penghinaan, meskipun memang benar adanya. Apa
maksud tindakanmu ini, Nawangsih?! Tidakkah kau sadari kalau
perbuatan yang kau lakukan ini amat beibahaya?! Satria Sinting
memiliki sifat yang tidak dapat diduga. Meskipun seiba sedikit aku
cukup mengenalnya. Dia memiliki kepandaian yang amat tinggi.
Terus terang saja, kalau dibandingkan dengannya aku bukan apa-
apa. Jelaskan, Nawangsih...!"
"Aku tidak bermaksud buruk, Eyang," jawab Nawangsih
masih tetap menundukkan kepala "Aku hanya ingin membalaskan
kematian Eyang D i paya na dan ayahku dengan bantuan Satria
Sinting. "
"Apa?! Sepasang mata Eyang Ranggalawe membelalak lebar.
"Kau tidak main-main, Nawangsih?! Kau gila! Kau bercanda dengan
maut kalau begitu! Satria Sinting, seperti yang kukatakan tadi
memiliki sifat yang tidak bisa diduga Meskipun demikian aku tahu
masa lalunya. Masa lalunya penuh dengan gelimangan darah. Itulah
sebabnya, meskipun dia telah menolong kami, aku, dan gurumu.,
kami tidak berani bergaul terlalu dekat dengannya Asal kau tahu
saja, Nawangsih... aku hampir mati di tangannya. Untung saja
datang gurumu yang berhasil menjinakkan sifat liarnya"
Eyang Ranggalawe menghentikan ceritanya sejenak untuk
mengambil napas. Sementara Nawangsih yang telanjur tertarik
dengan cerita itu menunggunya dengan perasaan tidak sabar. Dia
jadi ingin mengetahui riwayat hidup tokoh yang berjuluk Satria
Sinting itu.
"Mungkin sedikit kuberitahukan padamu, Nawangsih. Sifat
liar dan lembutnya timbul karena ada hal-hal yang dilihatnya
Dalam keadaan biasa dia bertingkah laku seperti orang kurang
waras. Kadang-kadang dia bermain-main seperti anak kedi. Namun
aku tidak tahu pasti kapan sifat lembut dan ganasnya muncul...,"
sambung Eyang Ranggalawe lagi agak tersendat-sendat
menjelaskannya karena kesulitan mencari kata-kata untuk
dikeluarkan.
"Aku juga menduga demikian. Eyang," tukas Nawangsih
mendukung dugaan kakek berpakaian abu-abu itu.
"Kau..?!" seru Eyang Ranggalawe setengah tak percaya
"Dari mana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu?"
"Dari kejadian yang telah kualami bersamanya akibat aku
mencoba meladeni kegilaannya," jawab Nawangsih kalem
Kemudian secara singkat tapi jelas diceritakan semua kejadian yang
dialaminya.
Berkali-kali Eyang Ranggalawe mengeluarkan seruan-
seruan kaget begitu mendengar cerita Nawangsih. Bahkan
kepalanya digeleng-gelengkan ketika gadis berpakaian kuning itu
mengakhiri ceritanya.
"Kau, ahhh.., kalau tadi bdak melihat kau berdua
dengannya, sedikit pun mungkin aku bdak akan percaya. Lalu.,
kesimpulan apa yang kau dapatkan, Nawangsih?"
4
Nawangsih mengangkat wajah, dan menatap Eyang
Ranggalawe tepat pada kedua bola matanya.
"Satria Sinting termasuk orang penbng kerajaan, entah
kerajaan mana Punya istri dan anak serta telah siap untuk
berperang menghadapi pemberontak," Nawangsih menghentikan
ucapannya sejenak. "Tapi anehnya, nama istri yang disebut-sebutkan
sama dengan namaku."
"Ah...!" sepasang mata Eyang Ranggalawe membelalak lebar
saking kagetnya "Nawangsih?! Kini aku mengerti, mengapa tadi
sebelum menerjang Dewa Arak, dia menyebutkan nama Nawangsih
Kukira tadi dia menyebut namamu."
Kakek berpakaian abu-abu ini lalu mengalihkan perhatian
ke arah pertarungan yang tengah berlangsung dan semakin sengit.
Dewa Arak melakukan perlawanan begitu telah dapat mengetahui
perkembangan ilmu lawan meskipun hanya sedikit. Pemuda
berambut pubh keperakan itu belum mempergunakan ilmu
andalannya. Hanya ilmu Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan
ilmu 'Sepasang Tangan Panakluk Naga' yang terus dikerahkannya
menghadapi Satria Sinbng.
"Kalau begitu.. Dewa Arak mengingatkannya akan kejadian
buruk yang telah dialaminya," ucap Eyang Ranggalawe dengan
suara bergumam. "Dan menilik dari sikapnya yang demikian
membenci, sepertinya Satria Sinting amat membenci orang yang
memiliki ciri-ciri mirip dengan Dewa Arak."
"Bukan tidak mungkin kalau orang mirip Dewa Arak itulah
yang menjadi musuhnya. Eyang," sambut Nawangsih memberikan
dugaan.
Eyang Ranggalawe mengangguk-anggukkan kepala
membenarkan dugaan yang diajukan Nawangsih.
"Berarti dengan kejadian yang kau alami misteri yang
menyelimuti rahasia Satria Sinting mulai terungkap. Hhh...! Sudah
bisa kubayangkan kalau masa lalu Satria Sinting sangat menarik dan
luar biasa untuk diketahui."
Usai berkata demikian, karena tidak ada pembicaraan lagi.
Eyang Ranggalawe mengalihkan perhatian pada pertarungan antara
Dewa Arak dengan Satria Sinting. Memang, tidak ada kesenangan
yang lebih menarik perhatian seorang tokoh persilatan kecuali
memperhatikan sebuah pertarungan. Apalagi pertarungan antara
tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian tinggi seperti Dewa Arak
dengan Satria Sinting.
Menggiriskan hati jalannya pertarungan antara Dewa Arak
dengan Satria Sinting. Bentuk tubuh kedua tokoh bagaikan lenyap.
Yang terlihat hanya dua bayangan yang saling belit dan hanya
kadang-kadang saja saling pisah. Bahkan terkadang kedua bayangan
itu seperti jadi satu karena begitu cepat gerakan yang dilakukan.
Tak terasa pertarungan telah berlangsung empat puluh
jurus. Namun selama itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak
yang akan keluar sebagai pemenang. Jalannya pertarungan masih
seimbang. Kedua belah pihak masih saling melancarkan serangan.
Beberapa kali terjadi benturan antara tangan atau kaki yang
menyebabkan masing-masing pihak terdorong ke belakang. Namun
dengan cepat keduanya saling terjang kembali.
"Haaat...!"
Pada jurus kelima puluh delapan, Satria Sinting menerjang
Dewa Arak dengan sebuah pukulan tangan terbuka ke arah dada.
Serangan dahsyat itu mampu menimbulkan bunyi menderu, yang
membuat Dewa Arak sempat terbelalak kaget ketika menyadari
kalau deru angin yang meluruk ke arahnya berlainan rasanya Yang
kanan berhawa panas sedangkan yang kiri dingin.
Meskipun demikian. Dewa Arak tidak gentar untuk
memapakinya dengan gerakan yang sama. Pemuda berambut putih
keperakan ini tampaknya bermaksud mengadu keras lawan keras
Bresss!
Benturan keras dari dua buah tenaga dalam yang sangat
dahsyat membuat tubuh Dewa Arak dan Satria Sinting sama-sama
terjengkang ke belakang. Bahkan getarannya terasa oleh Eyang
Ranggalawe dan Nawangsih yang berada cukup jauh dari tempat
pertarungan. Keduanya segera menyingkir untuk menjauh dari
tempat pertarungan agar lebih aman.
Namun, rupanya Satria Sinting tidak bergairah untuk
melanjutkan pertarungan. Kekuatan yang membuat tubuhnya
terpental dipergunakan untuk menambah tenaga lesatannya menuju
tempat Nawangsih berada.
Tindakan ini tidak hanya mengejutkan Dewa Arak yang
tidak menyangka hal itu melainkan juga Eyang Ranggalawe dan
Nawangsih. Dan karena merasa khawatir terhadap keselamatan
Nawangsih, lelaki tua itu berusaha menghadang gerakan Satria
Sinting yang meluncur ke arah Nawangsih dari sebelah kiri dengan
melancarkan tatokan ke arah pelipis dan ubun-ubun.
Prattt!
"Uh...?!"
Eyang Ranggalawe memekik tertahan ketika tubuhnya
terlempar ke belakang begitu Satria Sinting mengibaskan tangan
memapak serangannya.
Sementara, luncuran tubuh Satria Sinting sama sekali tidak
terlambat. Meskipun akibat serangan Eyang Ranggalawe membuat
kecepatan luncurannya berkurang, namun dengan sedikit
menggerakkan tubuh di udara, dia telah kembali meluncur ke arah
Nawangsih.
"Hea.J"
Tuk! Tuk!
"Aaaa...!"
Meskipun Nawangsih telah berusaha menghindar dan
melakukan perlawanan lelaki berpakaian gembel itu akhirnya
berhasil melumpuhkan. Dengan gerakan yang cepat sekali
tangannya meluncur menotok tubuh Nawangsih.
Melihat kejadian itu Dewa Arak tidak tinggal diam Dengan
gerakan cepat sekali tubuhnya melesat memburu Satria Sinting yang
berhasil membawa kabur Nawangsih. Namun rupanya lelaki
berpakaian gembel itu cukup cerdik. Selain memiliki ilmu lari cepat,
dia mampu mencari tempat-tempat yang tersembunyi untuk dapat
lolos dari pengejaran Dewa Arak.
Dewa Arak akhirnya tak melanjutkan pengejaran. Dia
berbalik untuk melihat keadaan Eyang Ranggalawe yang sempat
terlempar ketika beradu tenaga dengan Satria Sinting.
"Kau tidak apa-apa. Eyang?" tanya Arya, meskipun telah
bisa memperkirakan kalau kakek berpakaian abu-abu itu tidak
mengalami luka apa pun
"Dia masih hebat seperti dulu, bahkan mungkin sekarang
ilmunya telah banyak mengalami kemajuan...," jawab Eyang
Ranggalawe seraya menggeleng-gelengkan kepala
"Mengapa kau tidak mengejarnya. Dewa Arak?" tanya
Eyang Ranggalawe merasa heran.
"Kurasa lebih baik kita melakukan pengejaran bersama-
sama Eyang."
Eyang Ranggalawe tidak memberikan tanggapan. Namun
dalam hati dia menyetujui ucapan pemuda berambut putih
keperakan itu. Sesaat kemudian kedua tokoh itu melesat
meninggalkan tempat itu untuk mengejar Satria Sinting yang
membawa kabur Nawangsih.
"Kang...! Kang, turunkan aku, Kang...! Aku bisa berlari
sendiri...!" seru Nawangsih ketika tidak melihat adanya Dewa Arak
atau Eyang Ranggalawe mengejarnya
Satria Sinting menghentikan lari dan menurunkan tubuh
Nawangsih dari panggulannya, setelah membebaskan totokannya.
Nawangsih langsung merapikan pakaiannya yang agak kusut
karena panggulan Satria Sinting.
"UhhhJ"
Tiba-tiba terdengar lenguhan yang membuat Nawangsih
kaget dan menoleh ke arah datangnya suara itu.
"Kang...! Ada apa. Kang?"
Nawangsih terkejut ketika melihat tubuh Satria Sinting
limbung sambil tangannya memegangi dahi.
Namun tidak ada jawaban sama sekali dari Satria Sinting.
Lelaki gila itu tetap memegangi dahi dengan kedua tangan sambil
merintih seperti menahan rasa sakit. Tubuhnya semakin terhuyung-
huyung ke sana kemari. Mulutnya meringis menyiratkan sakit yang
tengah dirasakannya
Nawangsih yang merasa heran bercampur khawatir segera
menghampiri Satria Sinting. Tubuh lelaki berpakaian compang-
camping jatuh terkulai lemas seraya mengeluarkan lenguhan
panjang. Kalau Nawangsih tidak segera mengulurkan tangan, me¬
nangkap, tentu Satria Sinting terbanting keras di tanah.
"Kang..! Apa yang terjadi?" tanya Nawangsih kebingungan.
Diguncang-guncangnya Satria Sinting yang telah berada dalam
pelukannya Namun tetap tidak ada tanggapan sama sekali Tubuh
berpakaian compang-camping itu terkulai lemas di pelukannya
Satria Sinting telah pingsan secara aneh.
Nawangsih menghentikan usahanya untuk mengguncang-
guncangkan tubuh Satria Sinting. Dia menyadari kalau tindakannya
akan sia-sia. Ditolehkan kepalanya ke sana kemari mencari tempat
yang enak untuk merebahkan tubuh Satria Sinting yang tak
sadarkan diri.
Untung tak jauh dari situ tumbuh sebatang pohon besar
berdaun rimbun Bergegas Nawangsih memapah tubuh Satria
Sinting dan merebahkannya di bawah pohon. Dengan hati gelisah,
Nawangsih menunggu hingga lelaki berpakaian compang-camping
itu sadar. Karena meskipun telah diusahakan untuk menyadarkan.
Satria Sinting tetap pingsan.
"Ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam tiba...! Rupanya
keberuntungan masih berpihak pada kami, sehingga di tempat
seperti ini berhasil menemukanmu, Cah Ayu! Ha ha ha...! Sekarang
siapa yang akan menolongmu lagi? Ha ha ha...!"
Nawangsih tersentak kaget mendengar suara tawa itu.
Wajahnya berubah pucat ketika menoleh ke arah suara itu.
Dikenalinya betul siapa pemilik suara yang khas barusan
Dugaannya tidak keliru, berjarak lima tombak dari tempatnya
berdiri tiga sosok lelaki yang amat dikenalnya. Mereka tak lain Setan
Hitam Muka Kuda, Iblis Pemburu Nyawa, dan Gajah Kecil
Bertangan Maut Tokoh-tokoh hitam yang terus memburunya entah
untuk keperluan apa
Sing! Sing!
Tanpa pikir panjang Nawangsih langsung melolos sepasang
pedang yang tersampir di pundaknya Tak ada jalan lain baginya
kecuali melakukan perlawanan. Gadis berpakaian kuning ini telah
siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Dia
terpaksa memberikan perlawanan mati-matian karena menyadari
untuk melarikan diri merupakan hal yang tidak mungkin sama
sekali.
"Hoho ho.J"
Gajah Kecil Bertangan Maut yang berwatak gembira dan
lucu tertawa bergelak melihat tindakan Nawangsih. Perlawanan
yang akan dilakukan gadis cantik itu dianggapnya bukan suatu
persoalan berat. Telah diketahuinya sendiri tingkat kepandaian Na¬
wangsih berada jauh di bawahnya.
"Biar aku yang menangkapnya. Gajah Kecil!" pinta Iblis
Pemburu Nyawa seraya melangkah maju.
Baru saja ucapan itu berhenti, Nawangsih telah melompat
menerjang Iblis Pemburu Nyawa yang berada paling depan. Hal itu
membuat Gajah Kedi Bertangan Maut dan Setan Hitam Muka Kuda
melompat mundur menjauhi kancah pertarungan.
Hal yang sama dilakukan Iblis Pemburu Nyawa. Namun
kalau kedua rekannya menjauhi tempat pertarungan, lelaki kurus
bersenjata rantai dengan bola baja berdiri itu melompat guna
mengelakkan serangan Nawangsih.
Serangan gadis berpakaian kuning itu ternyata tidak bisa
dianggap remeh juga Bentuk sepasang pedangnya berubah menjadi
dua gulungan sinar menyilaukan mata laksana halilintar
menyambar. Namun gerakan Iblis Pemburu Nyawa pun tak kalah
cepat. Sehingga serangan-serangan Nawangsih beberapa kali hanya
menyambar tempat kosong.
Melihat serangannya gagal Nawangsih tak tinggal diam
Dengan gerakan cepat diluncurkannya kembali serangan-serangan
gencar dan dahsyat Sepasang pedangnya mengaung, berputar dan
menyambar, memburu sasaran dalam bentuk sinar-sinar kilat yang
menyilaukan mata
Dalam hati Iblis Pemburu Nyawa memuji kedahsyatan
permainan pedang Nawangsih. Namun dengan mudah serangan-
serangan itu dielakkannya. Lelaki tua bertubuh kecil kurus ini
memang tidak percuma mendapat julukan Iblis Pemburu Nyawa.
Gerakannya sangat cepat, bahkan seakan bembah menjadi bayangan
yang melesat ke sana kemari dalam mengelakkan serangan lawan.
Kenyataan ini membuat Nawangsih menggertakkan gigi
menahan kegeraman. Dia merasa sedah menyerang bayangannya
sendiri, sehingga ke mana pun pedangnya mduncur, tak satu pun
yang mengenai sasaran. Padahal, telah hampir sepuluh jurus
serangan dilancarkannya
"Hih.J"
Bukkk!
"Uh...!"
Sebuah tamparan tangan kanan Iblis Pemburu Nyawa
mendarat telak di pundak Nawangsih. Untung saja, kakek tinggi
kurus itu tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Meskipun
demikian tubuh Nawangsih terlempar ke belakang dan jatuh bergu¬
lingan di tanah. Darah menetes dari mulutnya bersamaan dengan
terlemparnya pedang di tangan kanan.
Namun Nawangsih tampak tak merasa gentar sedikit pun
Dia bergegas bangkit. Walaupun sekarang hanya memegang
sebatang pedang, dengan gerakan mantap gadis itu masih berani
menerjang Iblis Pemburu Nyawa dengan sebuah tusukan ke arah
leher.
Iblis Pemburu Nyawa tertawa terkekeh. Dengan ilmu
meringankan tubuhnya yang luar biasa, dia menyelinap ke belakang
Nawangsih. Dengan cepat tangannya bergerak menotok punggung
Nawangsih. Seketika tubuh gadis berpakaian kuning itu terkulai di
tanah.
"Ha ha ha..!"
Iblis Pemburu Nyawa, Gajah Kecil Bertangan Maut, dan
Setan Hitam Muka Kuda sama-sama tertawa bergelak menyaksikan
robohnya tubuh Nawangsih. Dan masih dengan tawa berderai, Iblis
Pemburu Nyawa menghampiri tubuh Nawangsih yang terkulai tak
berdaya
"Hey...! Apa yang hendak kalian lakukan?"
Sebuah bentakan keras membuat kedua tangan Iblis
Pemburu Nyawa yang terjulur hendak meraih tubuh Nawangsih
terhenti di tengah jalan. Seketika kepala Iblis Pemburu Nyawa dan
dua rekannya menoleh ke arah asal suara.
Dengan langkah setengah berlari, sesosok tubuh
menghampiri tempat Nawangsih tergolek
Iblis Pemburu Nyawa yang merasa diganggu urusannya,
menggeram penuh kemarahan. Sepasang matanya menatap lelaki
berpakaian compang-camping itu yang ternyata Satria Sinting
adanya. Kemudian dengan secara sembarangan dikibaskan tangan
kanannya
Wusss!
Segundukan angin keras meluruk ke arah Satria Sinting, dan
menghantamnya secara telak. Sehingga tubuhnya terlontar deras ke
belakang. Luncuran itu baru terhenti ketika punggung Satria Sinting
menghantam batang pohon tempatnya berteduh tadi.
Tanpa mempedulikan keadaan Satria Sinting, Iblis Pemburu
Nyawa mengangkat tubuh Nawangsih dan meletakkan di bahu
kanannya
"Apa yang hendak kau lakukan terhadapnya?!"
Seruan ini membuat Iblis Pemburu Nyawa terjingkat kaget
bagai disengat kalajengking. Bahkan tubuh Nawangsih yang berada
di bahunya hampir terlempar. Masih dalam keadaan diliputi rasa
terkejut dialihkan pandangannya ke tempat lelaki berpakaian
gembel yang tadi terlempar oleh serangannya.
Sepasang mata Iblis Pemburu Nyawa terbelalak kaget.
Seperti tak percaya melihat Satria Sinting kembali mengayunkan
langkah mendekatinya. Tidak tampak tanda-tanda kalau pukulan
jarak jauh yang menghantamnya, berpengaruh terhadap tubuh lelaki
berpakaian gembel itu. Dan kenyataan ini tidak hanya membuat
kaget Iblis Pemburu Nyawa. Setan Hitam Muka Kuda, dan Gajah
Kecil Bertangan Maut sama-sama terlongo bengong. Menurut
perhitungan mereka pukulan jarak jauh Iblis Pemburu Nyawa telah
cukup untuk mengirim nyawa lelaki berpakaian compang-camping
itu ke akherat. Ketiga tokoh hitam itu melihat langkah Satria Sinting
yang berat dan tidak lincah. Sungguh suatu gambaran dari seorang
yang tidak memiliki ilmu silat.
Itulah sebabnya kebka melihat Satria Sinting tidak
mengalami kejadian apa pun. Iblis Pemburu Nyawa dan dua
rekannya terkejut bukan kepalang.
Namun kekagetan yang menyelimuti tiga tokoh hitam itu
hanya berlangsung sesaat, karena segera berubah menjadi rasa
penasaran dan geram. Dan karena dorongan perasaan itulah Iblis
Pemburu Nyawa tidak ragu-ragu lagi untuk bertindak. Dengan
pengerahan tenaga dalam tangan kanannya dihentakkan.
Wrrrs!
Seketika gelombang angin pukulan meluruk ke arah Satria
Sinting. Sebuah pukulan yang jauh lebih dahsyat daripada
sebelumnya Bunyi menderu keras seperti badai langsung terdengar
ketika Iblis Pemburu Nyawa menghentakkan tangan.
5
Glarrr...!
Bunyi ledakan keras terdengar ketika dari arah samping
meluruk pula segundukan angin dahsyat, memapaki pukulan jarak
jauh Iblis Pemburu Nyawa. Sehingga serangan lelaki tua itu pun
kandas. Bahkan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang akibat
pengaruh benturan yang dahsyat.
"Keparat!"
Iblis Pemburu Nyawa memaki penuh kemarahan. Dengan
wajah bengis, dialihkan pandangannya ke arah asal pukulan jarak
jauh yang memapaknya
Dalam jarak sekitar empat tombak, berdiri seorang kakek
berpakaian serba merah Sikapnya terlihat angker dan penuh
wibawa.
"Siapa kau?!" tanya Iblis Pemburu Nyawa setengah
membentak setelah beberapa saat lamanya mengawasi kakek
berpakaian merah.
"Siapa adanya aku, tidak penting. Yang jelas, kau dan dua
kawanmu kuminta segera meninggalkan tempat ini, dan jangan
coba-coba mengganggu dia!" tandas kakek berpakaian merah sambil
menuding Satria Sinting.
"Keparat! Berani benar kau berkata begitu pada Iblis
Pemburu Nyawa?!" teriak Iblis Pemburu Nyawa penuh ancaman.
"Hhh.J"
Kakek berpakaian merah menghembuskan napas berat
seperti menyesali Iblis Pemburu Nyawa yang mengucapkan
perkataan seperti itu.
"Kau menyia-nyiakan kesanpatan yang kuberikan! Sayang
sekali! Terpaksa aku akan membunuhmu dan juga kedua rekanmu!
Asal kalian tahu saja, aku mempunyai alasan kuat untuk
melakukannya karena kalian telah berani lancang membunuh Eyang
Dipayana. Padahal, akulah yang akan membunuhnya karena dia
musuh besarku! Bersiaplah menerima kematian...!"
"Sombong...! Kaulah yang akan mati di tanganku atas
kelancangan sikapmu itu!"
Iblis Pemburu Nyawa melemparkan tubuh Nawangsih ke
tanah. Lalu tubuhnya melesat menerjang kakek berpakaian merah
Tangan kanannya yang mengepal keras, dipukulkan ke arah dada
lawan hingga menimbulkan bunyi menderu karena kekuatan tenaga
dalam yang dikerahkannya
Kakek berpakaian merah tetap bersikap tenang. Tanpa
menunjukkan sikap gugup dia melompat ke atas dan mengirimkan
tendangan kilat ke arah kepala lawan
Iblis Pemburu Nyawa terkejut melihat serangan balasan
yang tidak disangka-sangkanya. Namun, tidak percuma dia
mendapat julukan Pemburu Nyawa karena gerakannya memang
cepat. Dalam kesempatan yang begitu sempit dia masih mampu
mengelakkan serangan dengan melompat ke belakang.
Iblis Pemburu Nyawa menggereng keras karena marah.
Sambil menggeretakkan gigi dia segera melolos rantai yang
berujung bola berduri di pinggangnya. Kemudian diputar-
putarkannya di atas kepala.
Wukkk! Wukkk!
Diiringi bunyi menderu keras, rantai berujung bola berduri
itu melesat ke arah kepala kakek berpakaian merah.
Kakek berpakaian merah tidak berani bertindak main-main.
Dia sadar Iblis Pemburu Nyawa memiliki kepandaian tinggi. Maka
segera ditariknya senjatanya yang tersimpan di balik pakaian.
Ternyata sebuah sabuk berwarna hitam. Tanpa ragu-ragu di¬
sambutnya luncuran bola berduri dengan menyabetkan cambuk itu.
Wuttt!
Prattt!
"Ehh.J"
Kakek berpakaian merah terhuyung-huyung ke belakang
akibat benturan itu. Hal ini terjadi karena tenaga Iblis Pemburu
Nyawa jadi berlipat ganda setelah mendapat tambahan dari tenaga
luncuran senjatanya.
Kakek berpakaian merah mengeluh dalam hati. Disadari
kalau keadaan ini terus berlangsung, dirinya dapat dilumpuhkan
tawan. Dia sadar kalau jarak yang terlalu jauh sangat
menguntungkan lawan. Karena senjata lawan memiliki jangkauan
yang panjang. Dengan jarak seperti itu dia akan mengalami
kesulitan untuk melancarkan serangan balasan. Digertakkan gigi
seraya mengerahkan seluruh kepandaian, terutama sekali kecepatan
geraknya agar dapat mendekati Iblis Pemburu Nyawa. Namun sam¬
pai dua puluh lima jurus pertarungan berlangsung, keadaan tetap
seperti semula. Usahanya untuk memperpendek jarak selalu kandas,
karena lawan memiliki ilmu meringankan tubuh cukup handal.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang berada di atas
lawannya Iblis Pemburu Nyawa terus menjauhkan diri setiap kali
kakek berpakaian merah berusaha mendekat
Pada jurus ketiga puluh dua, kakek berpakaian merah habis
kesabarannya. Ketika mencoba melompat lagi untuk mendekati
lawan, tangan kirinya dihentakkan berkai-kali!
"Heh.J"
Iblis Pemburu Nyawa terkejut juga melihat serangan jarak
jauh yang bertubi-tubi. Buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah dan
bergulingan menjauh, karena tidak mungkin menangkis serangan
itu dengan tindakan serupa. Sebab, kedua tangannya memegang
senjata andalannya
Kesempatan baik itu dipergunakan oleh kakek berpakaian
merah. Dikejarnya lawan yang tengah bergulingan dengan
menyabetkan senjatanya.
Glarrr!
Debu bercampur bongkahan tanah berhamburan ke sana
kemari ketika pecut kakek berpakaian merah yang ditujukan pada
tubuh Iblis Pemburu Nyawa menghantam tanah.
Melihat ancaman bahaya terhadap rekannya. Setan Hitam
Muka Kuda tidak bisa tinggal diam. Tubuhnya melesat cepat dengan
tongkat bulan sabit di tangan.
Trangngng!
Bunga api berpercikan ke sana kemari ketika tongkat bulan
sabit Setan Hitam Muka Kuda membentur pecut kakek berpakaian
merah yang dihantamkan ke arah kepala Iblis Pemburu Nyawa.
Pada saat yang hampir bersamaan. Gajah Kecil Bertangan
Maut merendahkan tubuhnya untuk melancarkan pukulan jarak
jauh dengan kedua tangan terbuka.
"Kok.. Kok... Kok...!"
Bunyi seperti ayam habis bertelur terdengar seiring
meluncurnya pukulan jarak jauh ke arah dada kakek berpakaian
merah. Kakek itu buru-buru melemparkan tubuh ke samping
melakukan lompatan harimau, lalu melenting dan menyambar
Satria Sinting. Kemudian melesat cepat meninggalkan tempat itu
Iblis Pemburu Nyawa, Gajah Kecil Bertangan Maut, dan
Setan Hitam Muka Kuda hanya dapat menatap kepergian kakek
berpakaian merah dengan hati dongkol Mereka tak melakukan
pengejaran sama sekali karena tahu akan sia-sia. Kakek itu telah jauh
sebelum mereka sempat berbuat sesuatu. Dengan hati kesal
ketiganya meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh
Nawangsih. Masing-masing berjanji dalam hati setelah berhasil me¬
nunaikan tugas terhadap Nawangsih, akan membuat perhitungan
dengan kakek berpakaian merah itu.
•Jelek
"Tunggu, Eyang...!"
Sambil mengucapkan seruan demikian. Dewa Arak
menghentikan larinya. Eyang Ranggalawe yang berlari di
sebelahnya pun terpaksa melakukan hal yang sama.
"Ada apa. Dewa Arak?" tanya Eyang Ranggalawe
keheranan.
"Kau lihat keadaan tempat ini, Eyang?!" ujar Arya seraya
meneliti tanah tempatnya berpijak saat itu
Eyang Ranggalawe mengedarkan pandangan sebentar.
"Bekas-bekas pertempuran.desis kakek berpakaian abu-
abu itu.
"Benar," Dewa Arak menganggukkan kepala "Dan
bukankah itu pedang milik Nawangsih?" lanjutnya seraya menunjuk
dua buah pedang tergeletak tak jauh dari tempat mereka
Eyang Ranggalawe mengikuti arah tudingan tangan Arya
Dia pun menganggukkan kepala kehka mengenali pedang-pedang
Nawangsih. Lelaki tua itu bergegas menghampiri dan
mengambilnya
"Celaka...!" desis Eyang Ranggalawe dengan tarikan wajah
menyiratkan kecemasan. "Apa yang terjadi dengan anak itu?
Mungkinkah Satria Sinting menganiaya Nawangsih? Kalau benar
demikian, celaka...!"
"Kurasa hdak demikian. Eyang," ujar Arya setelah
termenung sesaat. "Aku yakin bukan Satria Sinting yang telah
mencelakai Nawangsih. Kau lihat pohon yang hancur di sana.
Eyang? Aku yakin semua ini tindakan Gajah Kedi Bertangan Maut
dan rekan-rekannya Hancurnya pohon itu aku yakin akibat bola
berduri Iblis Pemburu Nyawa!"
"Kau benar. Dewa Arak," ujar Eyang Ranggalawe setelah
memperhatikan lebih telih semua yang dikatakan pemuda berambut
putih keperakan itu. Dan sekarang kecemasannya kian bertambah.
"Berarti...," ujar kakek berpakaian abu-abu setelah tercenung
sejenak. "Nawangsih dan Satria Sinting dibawa pergi oleh kelompok
Gajah Kecil Bertangan Maut. Ini benar-benar ancaman bagi dunia
persilatan! Mereka pash akan mempergunakan Satria Sinting untuk
tujuan tidak baik!"
"Kalau demikian... kita harus cepat-cepat mengejar mereka.
Eyang!" tandas Dewa Arak tanggap.
"Kita ke selatan. Dewa Arak," ucap Eyang Ranggalawe
seraya melesat lebih dulu
Tanpa m e m b u a n g-b u a n g waktu, Dewa Arak segera melesat
menyusul. Dan hanya dalam beberapa kali lesatan, pemuda
berpakaian ungu itu telah berlari di samping Eyang Ranggalawe.
"Mengapa kau memilih selatan, Eyang?" tanya Dewa Arak
sambil terus berlari
"Gajah Kedi Bertangan Maut dan rekan-rekannya bertempat
tinggal di sekitar Gunung Kidul. Dan jalan ini merupakan jalan
pintas menuju ke sana. Jadi, kita bisa mendahului mereka tiba di
sana!" jawab Eyang Ranggalawe.
Dewa Arak tidak memberikan pertanyaan lagi kecuali
mengangguk-anggukkan kepala Keduanya terus berlari ke selatan
Baik Dewa Arak maupun Eyang Ranggalawe berusaha keras
agar segera sampai di tempat tujuan. Namun, Dewa Arak tidak bisa
mengerahkan seluruh ilmu larinya. Sebab jika hal itu dilakukan.
Eyang Ranggalawe yang memiliki ilmu meringankan tubuh di
bawahnya tentu akan tertinggal jauh di belakang.
Kecepatan lari Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe tidak
mengendur, meskipun tempat yang dilalui cukup sulit. Kadang-
kadang keduanya melewati jalan sempit yang licin, serta berkelok-
kelok memutari dinding tebing yang menjulang tinggi. Terpelesat
sedikit saja sudah cukup untuk mengirim nyawa mereka ke akherat,
karena sebelah kiri jalan menganga jurang terjal yang sangat dalam.
Jalan pintas seperti yang dikatakan Eyang Ranggalawe
ternyata amat sulit ditempuh dan penuh dengan ancaman maut.
Kalau saja bukan orang-orang seperti Dewa Arak dan Eyang
Ranggalawe mungkin tak akan sampai tempat tujuan. Keduanya
meskipun sedikit kewalahan, akhirnya berhasil melewati medan
sulit itu. Kini jalan yang mereka tempuh mulai menurun
Begitu melewati tanah berumput yang sangat luas, dan tetap
menurun, baik Dewa Arak maupun Eyang Ranggalawe melihat
nyala api kuning di angkasa! Api itu kemudian memecah ke
sekelilingnya
Ayunan kaki Eyang Ranggalawe yang semula hendak
menuju ke timur, dibelokkan. Sehingga keduanya tidak melewati
hutan lebat yang tampak di depan, melainkan menyusuri jalan yang
ditumbuhi ilalang tinggi dan rapat.
"Mengapa menempuh arah ini. Eyang?" tanya Arya tak
mampu menyembunyikan rasa herannya.
"Terpaksa, Dewa Arak," jawab Eyang Ranggalawe, "Karena
di sana ada seorang tokoh sakti yang tak pernah menyukai orang
lain datang ke tempat itu. Tanda api kuning yang memecah di
angkasa itulah petunjuk nyata kalau tokoh sakti itu tengah berada di
luar."
"Tapi bukankah semula kau hendak menempuh tempat itu,
Eyang?" tanya Arya yang tidak puas dengan jawaban Eyang
Ranggalawe.
"Semula kukira dia berada di goanya," jawab Eyang
Ranggalawe ringan sambil terus mengayunkan kaki menyusuri
rumput ilalang
Arya hanya mengangkat bahu dan tidak bertanya lagi. Dia
terpaksa hanya mengikuti jalan yang ditempuh Eyang Ranggalawe.
•kirk
"Kau lihat itu. Dewa Arak...!" Eyang Ranggalawe
mengeluarkan seruan itu sambil menudingkan telunjuk ke depan.
Sebuah perbuatan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, karena
tanpa diberitahukan pun pemuda berambut putih keperakan itu
dapat melihatnya. Sebuah pemandangan terpampang berjarak
sekitar dua puluh tombak dari tempat Dewa Arak dan Eyang
Ranggalawe berada. Suatu tempat persembunyian yang cukup baik
karena terlindung sebuah gundukan batu sebesar gajah
Terlihat oleh Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe, tiga sosok
yang tidak lain Gajah Kecil Bertangan Maut, Setan Hitam Muka
Kuda, dan Iblis Pemburu Nyawa duduk bersimpuh di depan sebuah
bangunan mirip kuil. Di depan ketiga orang itu tampak tergolek
tubuh Nawangsih.
"Guru...!"
Terdengar oleh Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe, Gajah
Kecil Bertangan Maut berseru tanpa mengangkat wajahnya yang
tertunduk menekun tanah Begitu pula Iblis Pemburu Nyawa dan
Setan Hitam Muka Kuda, keduanya tertunduk hormat.
"Kami tidak berhasil membawa Eyang Dipayana kemari.
Bukan karena ketidakmampuan kami, tapi karena telah ada orang
yang mendahului kami membunuhnya. Entah siapa kami tidak tahu
Dan sebagai gantinya kami bawa murid musuh besarmu kemari
untuk kamicucurkan darahnya ke hadapanmu, Guru... Anggap saja
muridnya ini sebagai ganti Eyang Dipayana! Harap kau terima
persembahan kami ini. Guru!".
Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa, dan
Setan Hitam Muka Kuda bangkit.
Arya yang mendengar semua ucapan Gajah Kecil Bertangan
Maut, langsung mengetahui adanya ancaman bahaya terhadap
Nawangsih. Maka dia segera melesat keluar dari tempat persembu¬
nyiannya tanpa menunggu Eyang Ranggalawe.
Namun, sebelum Dewa Arak bergerak, terdengar jeritan
melengking nyaring seperti pekik seekor burung garuda yang
tengah murka Dan belum lenyap suara pekikan itu, tak jauh dari
tempat Gajah Kecil Bertangan Maut telah berdiri seorang pemuda
berpakaian gembel. Di tangannya tergenggam sebatang pedang.
Sikapnya menunjukkan kalau dia telah siap untuk bertarung.
Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa, dan
Setan Hitam Muka Kuda, serentak bangkit berdiri
"Keparat! Lagi-lagi kau..!" geram Setan Hitam Muka Kuda,
penuh kemarahan "Kali ini nyawamu akan lenyap...!"
Bersamaan keluarnya seruan itu, Setan Hitam Muka Kuda,
serta dua rekannya serentak menerjang Satria Sinting.
Singngng!
Tongkat bulan sabit di tangan Setan Hitam Muka Kuda
menyambar lebih dulu ke arah leher Satria Sinting. Gerakannya
yang begitu cepat sehingga yang tampak hanya seleret sinar
berkilauan melesat ke arah pemuda berpakaian compang-camping
itu.
Trangngng!
Tangkisan Satria Sinting dengan manpergunakan pedang
yang digerakkan dengan tenaga dalam, membuat tubuh Setan
Hitam Muka Kuda terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan
Satria Sinting tampak hanya teigetar tangannya
"Kok kok kok...!"
Suara Gajah Kecil Bertangan Maut yang siap menyerang
membuat Satria Sinting bergegas membalikkan tubuh Sebab lelaki
gemuk berkepala botak menyerangnya dari belakang.
Ternyata Gajah Kecil Bertangan Maut telah siap
melancarkan serangan. Tubuhnya telah berjongkok, tangan kiri dan
kanannya dihentakkan beberapa kali ke arah Satria Sinting
menimbulkan bunyi angin berddtan. Tanpa ragu-ragu Satria Sinting
melakukan tindakan serupa dengan tangan terbuka.
Glarrr...!
Dua tenaga dahsyat berbenturan di udara
memperdengarkan bunyi ledakan keras, membuat sekitar tempat itu
tergetar hebat. Untuk kedua kalinya tubuh Satria Sinting
terguncang. Namun Gajah Kedi Bertangan Maut terjengkang ke
belakang, dan bergulingan ke tanah
Saat itulah, terdengar angin keras menderu Walaupun tidak
dapat melihat, Satria Sinting tampaknya mengetahui kalau Iblis
Pemburu Nyawa telah melancarkan serangan dengan bola berduri
ke arah kepalanya Maka buru-buru direndahkan tubuhnya
sehingga hantaman bola berduri itu lewat di atas kepalanya.
Belum lagi Satria Sinting sempat berbuat sesuatu, Setan
Hitam Muka Kuda menyusul melancarkan serangan, diikuti Gajah
Kecil Bertangan Maut. Namun semua itu dapat dipatahkan oleh
pemuda berpakaian compang-camping itu. Bahkan mampu
melancarkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Sesaat
kemudian pertarungan sengit pun tidak dapat dielakkan lagi.
Tanah dan rerumputan berhamburan diterjang pukulan-
pukulan dahsyat mereka Bahkan bebatuan yang berdekatan pecah
berantakan Serta pepohonan di sekitar tempat itu tumbang
mengeluarkan suara kera h seperti diamuk gajah-gajah liar.
"Heaaattt...!"
Pada jurus kelima puluh sambil mengeluarkan teriakan
keras. Setan Hitam Muka Kuda menerjang maju. Tombak bulan
sabitnya diputar laksana kiliran, kemudian ditusukkan ke arah dada
Satria Sinting secara bertubi-tubi
Pada saat yang bersamaan. Iblis Pemburu Nyawa yang
berada agak jauh dari Satria Sinting mengayunkan bola berdurinya
menyambar leher. Sedangkan Gajah Kecil Bertangan Maut tidak
sempat mengirimkan serangan karena baru saja melompat mundur
untuk mengelakkan sambaran pedang pemuda berpakaian
compang-camping itu.
"Hih!"
Satria Sinting melompat ke atas dan berjumpalitan beberapa
kali. Gerakan itu tidak semata-mata untuk mengelakkan serangan,
karena dengan gerakan yang sulit diikuti mata biasa, tangan kirinya
mencengkeram batang tongkat di dekat logam bulan sabit yang
tajam itu. Sambil menyentakkan tombak milik Setan Hitam Muka
Kuda, tangan kanannya mengayunkan pedang memapak bola duri
Iblis Pemburu Nyawa.
Trakkk!
"Huhhh.J"
Setan Hitam Muka Kuda mengeluarkan keluhan tertahan
karena tidak mampu menahan sentakan pemuda berpakaian gembel
itu. Tubuhnya terseret ke depan. Bertepatan dengan itu, pedang Sa¬
tria Sinting membentur senjata milik Iblis Pemburu Nyawa secara
keras. Sehingga bola berduri itu meluruk ke arah pemiliknya dengan
kecepatan berlipat ganda.
Hampir tidak berselisih waktu dengan terjadinya benturan
itu, Satria Sinting mengirimkan tendangan kaki kanan ke punggung
Setan Hitam Muka Kuda yang tengah terhuyung-huyung ke depan.
"Aaakh..!"
Tubuh Setan Hitam Muka Kuda melayang-layang ke depan
seperti daun kering dihempaskan angin
Jiiggg!
Baru saja Satria Sinting menjejak tanah. Gajah Kecil
Bertangan Maut yang melihat rekan-rekannya dibuat pontang-
panting langsung meluruk dengan pukulan kedua tangan terbuka.
Plak! Plak!
Gajah Kedi Bertangan Maut tersenyum gembira ketika
melihat serangannya mengenai dada lawan. Dikiranya Satria Sinting
tidak sempat mengelakkan serangannya yang dilancarkan secara
cepat. Namun sesaat kemudian senyumnya lenyap ketika melihat
pemuda berpakaian compang-camping itu tidak terpengaruh sama
sekali dengan serangannya Bahkan kedua tangannya justru melekat
pada dada lawan
Gajah Kecil Bertangan Maut terbelalak kaget ketika tidak
mampu menarik tangan. Dirasakan ada daya sedot yang amat kuat
dari tubuh pemuda gembel itu. Ketika lelaki gemuk itu berusaha
keras untuk membebaskan tangannya, tiba-tiba Satria Sinting
menggedor dadanya
6
Brakkk!
"AaakhJ"
Tubuh Gajah Kecil Bertangan Maut terlontar ke belakang.
Pukulan Satria Sinting menimbulkan suara berderak keras seperti
tulang berparahan. Darah segar menyembur deras bersamaan
dengan keluarnya jeritan menyayat dari mulut lelaki pendek gemuk
itu.
Hampir berbarengan jeritan Gajah Kedi Bertangan Maut,
Iblis Pemburu Nyawa pun mengeluarkan lolongan menyayat hati.
Dia tewas dengan kepala hancur terhantam senjatanya sendiri
Tanpa mempedulikan nasib ketiga lawannya. Satria Sinting
segera mengayunkan kaki menghampiri tubuh Nawangsih yang
tergolek. Sementara Dewa Arak yang sejak tadi menyaksikan
jalannya pertarungan terkesiap ketika melihat Satria Sinting
mendekati Nawangsih. Namun segera diurungkan niatnya untuk
mencegah tindakan pemuda gembel itu, ketika Eyang Ranggalawe
menyentuh tangannya, memberi isyarat agar tidak melakukan
tindakan apa pun.
Arya yang tadi telah berdiri segera kembali bersembunyi di
balik gundukan batu besar. Untung saja sejak tadi Satria Sinting
tidak melihatnya. Rupanya pemuda berpakaian compang-camping
itu sibuk menghadapi Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua
rekannya
Dari tempat terlindung dan tersembunyi Dewa Arak
bersama Eyang Ranggalawe mengintai semua gerak-gerik Satria
Sinting. Tampak pemuda berpakaian gembel itu telah berada di
dekat tubuh Nawangsih. Bahkan kedua tangannya telah dijulurkan
hendak mengangkat tubuh gadis berpakaian kurung itu. Tapi...
"Tahan...!"
Satria Sinting menggereng keras penuh kemarahan karena
tahu kalau larangan itu ditujukan padanya. Tubuhnya langsung
berbalik ke arah asal suara. Sikapnya bengis penuh ancaman.
"Kau berani membantah perintah raja?" seru seorang kakek
berpakaian merah yang kini telah berdiri di depan Satria Sinting.
Kakek itu mengacungkan sebuah pedang tinggi-tinggi di atas
kepala. Sebuah pedang berkilauan yang gagangnya berhiaskan batu
kemala.
Anehnya pemuda berpakaian gembel seperti orang gila itu
tampak terkejut. Wajahnya yang semula garang langsung surut.
Bahkan langsung menjatuhkan diri dan berlutut.
"Sebenarnya kau harus dihukum atas tindakanmu yang
berani melarikan diri dariku Tapi, atas dasar pertimbangan lain, aku
atas nama raja mengampunimu. Ingat, kita hendak menghukum
seorang pemberontak. Kau mengerti?!"
Satria Sinting mengangguk-anggukkan kepala mengerti
maksud kakek berpakaian merah.
"Sekarang, ikut aku dan tinggalkan gadis itu di situ!"
Bagai kerbau dicocok hidungnya. Satria Sinting bangkit dan
menghampiri kakek berpakaian merah. Sesaat kemudian keduanya
melesat meninggalkan tempat itu. Hanya dengan beberapa kali
lesatan tubuh mereka telah lenyap dari pandangan mata. Baru
Eyang Ranggalawe memberi isyarat pada Dewa Arak agar keluar
dari tempat persembunyian.
"Kau mengenalnya. Eyang?" tanya Arya seraya
mengarahkah pandangan ke arah menghilangnya Satria Sinting dan
kakek berpakaian merah.
"Maksudmu..., lelaki berpakaian merah itu?!" Eyang
Ranggalawe balas bertanya. "Dia Kala Tungging, seorang tokoh
sesat. Belasan bahkan mungkin puluhan tahun lalu dia banyak
melakukan tindakan yang mengganparkan. Dia pernah mengacau
pertemuan tokoh-tokoh golongan putih. Bahkan maninta seluruh
tokoh persilatan agar menganggap dirinya sebagai seorang ketua
rimba persilatan. Dia juga menantang tokoh-tokoh persilatan guna
membuktikan kelihaiannya Dan memang, tak satu pun tokoh yang
sanggup melawannya Mereka dibantai satu persatu."
"Lalu... bagaimana kelanjutannya. Eyang?" tanya Arya
dengan perasaan tertarik
"Hampir saja keinginan Kala Tungging terkabul. Untung
saja di saat-saat terakhir muncul seorang kakek sakti bernama Ki
Tambak Raga Tokoh itulah yang memupuskan harapan Kala
Tungging untuk mendapatkan julukan jago nomor satu. Dia
dikalahkan oleh Ki Tambak Raga. Dengan hati penuh rasa malu Kala
Tungging pergi meninggalkan tempat Menghilang tanpa diketahui
rimbanya Namun sekitar lima tahun kemudian dia muncul lagi dan
mencari Ki Tambak Raga. Rupanya, dia ingin membalas dendam.
Dia menantang Ki Tambak Raga dan bahkan bermaksud
membunuhnya. Tapi, usahanya sia-sia. Ki Tambak Raga memang
terlalu kuat untuknya"
Eyang Ranggalawe menghentikan cerita lalu
membungkukkan tubuh untuk memeriksa Nawangsih.
"Dia tidak apa-apa, hanya pingsan...," jawab Eyang
Ranggalawe kalem.
"Syukurlah, Eyang," sambut Arya gembira. "Kurasa sudah
saatnya bagiku mohon diri untuk melanjutkan perjalananku Kau
yang lebih berhak atas Nawangsih, Eyang."
Tanpa memberikan kesempatan pada Eyang Ranggalawe
untuk menanggapi, Arya telah melesat meninggalkan tempat itu.
Hanya dengan sekali langkah dia telah berada dalam jarak tak
kurang dari tiga belas tombak. Eyang Ranggalawe semakin
bertambah kagum, dan harus mengakui kalau Dewa Arak benar-
benar memiliki kepandaian menakjubkan
Kakek berpakaian abu-abu ini menatap hingga tubuh Dewa
Arak lenyap di kejauhan Setelah itu dihampirinya tubuh
Nawangsih.
•kirk
"Hey...!"
Seruan keras tiba-tiba terdengar membuat dua sosok yang
baru saja melewati pintu gerbang sebuah bangunan mewah,
menghentikan langkah.
"Siapa kau?! Apa hubunganmu dengan Ki Tambak Raga?"
tanya kakek berpakaian merah, salah satu dari dua orang yang
tengah memasuki halaman rumah megah itu. Suaranya keras
menyiratkan ketidaksenangan dalam hatinya.
"Seharusnya aku yang mengajukan pertanyaan seperti itu
padamu, Ki?! Siapa kau? Dan apa maksud kedatanganmu kemari?!"
jawab lelaki bertubuh kekar dan bertelanjang dada yang tadi berseru
keras. Dia telah berdiri di depan kakek berpakaian merah dan lelaki
berpakaian compang-camping.
"Keparat!"
Kakek berpakaian merah menggeram keras, lalu
mengibaskan tangan kanannya sehingga membuat tubuh lelaki
bertelanjang dada itu terpental jauh ke belakang. Jeritan menyayat
hati keluar dari mulut lelaki yang sial itu. Dia tak sadar apa yang
dialami. Yang dirasakan hanya tubuhnya bagai diseruduk seekor
kerbau liar.
Tanpa mempedulikan keadaan lelaki bertelanjang dada itu,
kakek berpakaian merah mengayunkan langkah untuk meneruskan
maksudnya semula. Tanpa berkata sepatah kata pun pemuda
berpakaian compang-camping itu mengikuti di belakangnya.
"Keji...!"
Terdengar seruan keras Kakek berpakaian merah yang tak
lain Kala Tungging menghentikan langkahnya. Pemuda berpakaian
compang-camping yang ternyata Satria Sinting pun berhenti.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan Kala
Tungging dan Satria Sinting berdiri seorang kakek berpakaian putih
bersih. Jenggotnya yang juga putih panjang sampai ke dada
"Tambak Raga...!" seru Kala Tungging antara rasa gembira
dan kaget "Kukira kau akan bersembunyi lagi seperti biasanya..."
Kakek berjenggot panjang yang ternyata Ki Tambak Raga
hanya tersenyum getir.
"Kau atau aku yang mempunyai sifat seperti itu. Kala
Tungging?" ejek Ki Tambak Raga. "Dan apa maksud kedatanganmu
kemari? Apa kau hendak membuat pahitungan atas kejadian lalu?"
"Tidak salah!" tandas Kala Tungging, "Aku akan menebus
kekalahan yang memalukan itu! Sekarang aku mengajukan jago
untuk menandingimu!"
"Sudah kuduga," jawab Ki Tambak Raga, kalem. "Orang
sepertimu mana mungkin berani bertindak jujur? Pasti kau akan
mengajukan anak muda ini. Tidak salahkah penglihatanku atas
pilihanmu ini, Tungging? Jago yang kau bawa menderita kelainan
jiwa!"
"Memang itu kusengaja!" tegas Kala Tungging, "Aku ingin
semua orang persilatan tahu, Ki Tambak Raga, tokoh sakti golongan
putih yang diagung-agungkan, tewas di tangan orang gila...! Aku
yakin dunia persilatan akan gempar!"
Ki Tambak Raga menggeleng-gelengkan kepala seakan
menertawakan gagasan Kala Tungging. Meskipun di dalam hati dia
merasa terkejut karena dapat mengetahui kalau jago yang diajukan
Kala Tungging bukan tokoh sembarangan. Dan itu bisa diketahui Ki
Tambak Raga dengan melihat sorot mata lelaki berpakaian
compang-camping itu. Tajam, mencorong, dan berwarna kehijauan,
seperti mata seekor harimau dalam kegelapan.
"Tidak usah berpanjang kata lagi, Tambak Raga! Bersiaplah
kau!"
Kala Tungging lalu mengeluarkan sebatang pedang
berwarna putih berkilauan dari pinggangnya. Karuan saja hal itu
membuat Ki Tambak Raga kaget. Bukankah Satria Sinting yang akan
melawannya, tapi mengapa Kala Tungging yang menghunus
senjata?
Meskipun demikian kakek berjenggot panjang itu bersikap
hati-hati. Dilangkahkan kakinya ke belakang untuk menghadapi hal-
hal yang tidak diinginkan.
Ternyata Kala Tungging tidak menyerangnya Dengan
kedua tangan erat-erat digenggamnya pedang bergagang bulat
penuh batu permata itu. Matanya menatap tajam sejenak pada Satria
Sinting.
"Atas nama kerajaan, kuperintahkan kau untuk membunuh
pemimpin pemberontak ini!"
Ki Tambak Raga yang sudah bersiap-siap menghadapi
serangan Kala Tungging, tercekat hatinya. Sebagai seorang tokoh tua
yang telah kenyang pengalaman, dia bisa merasakan adanya
pengaruh aneh dalam ucapan Kala Tungging. Suara itu penuh
dengan kekuatan sihir!
Namun kakek berjenggot panjang itu tidak sempat berbuat
sesuatu, karena Satria Sinting yang semula mengarahkan tatapan
pada Kala Tungging kini mengalihkan kepadanya Sikap pemuda
berpakaian compang-camping itu tampak penuh wibawa
"Bersiaplah untuk menerima hukuman. Pemberontak
Keparat!"
Sebelum gema ucapannya lenyap, Satria Sinting telah
mengirimkan sebuah tendangan ke arah lambung Ki Tambak Raga
Gerakannya yang sangat cepat menimbulkan bunyi menderu
Ki Tambak Raga yang sudah bersiaga sejak tadi, tampak
tetap tenang. Sedikit pun tak tampak kegugupan di wajahnya.
Dengan cepat dan ringan dia melompat ke samping, sehingga
serangan itu mengenai tempat kosong. Namun Satria Sinting tidak
berhenti sampai di situ. Dia langsung melanjutkan dengan serangan
lainnya secara gencar dan bertubi-tubi. Kaki kanan kirinya
mengincar bagian-bagian berbahaya di tubuh kakek berjenggot pan¬
jang itu.
Berkali-kali Ki Tambak Raga mengeluarkan seruan kaget
setiap kali serangan lawannya meluncur, meskipun dia dapat
mengelakkan secara mudah. Karuan saja hal ini membuat Kala
Tungging heran. Sedangkan Satria Sinting tak mempedulikannya
sama sekali akan keterkejutan lawan, dan terus melancarkan
serangan susul-menyusul laksana gelombang laut.
Hampir sepuluh jurus Satria Sinting melancarkan serangan
dengan kakinya. Dan selama itu Ki Tambak Raga hanya mengelak,
tidak sekali pun melakukan tangkisan apalagi melancarkan serangan
balasan. Dan hebatnya, kakek ini mampu terus mengelakkan setiap
serangan lawan tanpa menemui kesulitan
Kenyataan ini membuat Kala Tungging merasa khawatir,
apakah Satria Sinting tetap tidak akan mampu mengalahkan Ki
Tambak Raga? Sedemikian lihaikah musuh besarnya itu? Sehingga
serangan-serangan pemuda gila suruhannya dapat dielakkannya
dengan mudah.
"Hih!"
Pada jurus kelima bela$ ketika Satria Sinting melompat
menerjang sambil mengirimkan serangan dengan kibasan kaki, Ki
Tambak Raga melakukan hal yang sama.
Plakkk!
Benturan keras antara dua batang kaki yang sama-sama
dialiri tenaga dalam tinggi tak dapat dielakkan Tubuh kedua belah
pihak sama-sama terpental balik ke tempat semula Ki Tambak Raga
terpental lebih jauh dua langkah dan mendarat di tanah dengan
agak terhuyung-huyung. Sementara Satria Sinting dapat mendarat
secara mantap.
Kala Tungging menyunggingkan senyum lebar melihat
kenyataan itu, karena tahu kalau jagonya memiliki tenaga dalam
jauh lebih kuat. Padahal sepengetahuannya, Ki Tambak Raga
memiliki tenaga dalam yang amat kuat.
Namun kegembiraan hati Kala Tungging mulai berganti
keterkejutan dan kekhawatiran, ketika melihat tindakan Ki Tambak
Raga.
"Tahan..!" seru Ki Tambak Raga sambil menjulurkan tangan
agar Satria Sinting menghentikan serangan dan mau mendengarkan
ucapannya.
Lelaki berpakaian compang-camping itu tidak
mempedulikan seruan Ki Tambak Raga. Tanpa berkata apa pun
terus diterjangnya kakek berjenggot panjang putih itu.
"Ah...!"
Untuk yang kesekian kalinya, Ki Tambak Raga
mengeluarkan seruan kaget.
"Bukankah itu ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin? Dari
mana kau mendapatkannya. Anak Muda?"
Ki Tambak Raga mengeluarkan pertanyaan tanpa bisa
menyembunyikan rasa kaget yang melanda hati. Namun tidak ada
tanggapan sama sekali atas pertanyaannya Satria Sinting tidak
menghentikan terjangan dengan serangan yang membuat kedua
tangannya seperti meluncur dari delapan penjuru. Ilmu yang
dikatakan Ki Tambak Raga sebagai ilmu 'Tangan Delapan Penjuru
Angin'.
Ternyata Ki Tambak Raga bukan hanya mengenal ilmu itu,
tapi juga menguasainya. Sebab beberapa kali dia mampu
mengelakkannya dengan mudah bahkan mengirimkan serangan
pada tempat-tempat yang memang merupakan kelemahan dari ilmu
itu. Tidak hanya itu yang dilakukannya Kakek berjenggot panjang
itu pun melancarkan serangan balasan dengan mempergunakan
ilmu serupa.
Akibatnya pertarungan berlangsung kurang menarik karena
masing-masing pihak telah dapat menerka arah yang akan dituju
serangan lawan.
Kala Tungging, yang sejak tadi menyaksikan jalannya
pertarungan tampak semakin cemas bercampur khawatir. Hal ini
timbul ketika melihat kenyataan ilmu-ilmu yang dimiliki Ki Tambak
Raga dengan Satria Sinting berasal dari satu sumber. Manang ada
beberapa bagian yang berlainan, tapi itu terjadi disebabkan bakat
tubuh masing-masing pihak, selain kemampuan mengembangkan
ilmu-ilmu yang dimiliki. Namun pada dasarnya sama, dan jelas
berasal dari satu sumber.
Sekarang, kakek berpakaian merah itu sudah bisa
memperkirakan, mengapa tadi sejak pertarungan dimulai Ki
Tambak Raga tak henti-hentinya mengeluarkan seruan kaget. Pasti
karena melihat ilmu yang dipergunakan Satria Sinting! Mengapa
dirinya begitu bodoh? Kala Tungging menyalahkan dirinya dalam
hati. Mengapa dia tidak melihat kalau Satria Sinting memainkan
ilmu-ilmu yang dulu dipergunakan Ki Tambak Raga ketika
menghadapinya.
Sudah telanjur basah, biar saja aku mandi sekalian! Pikir
Kala Tungging, nekat. Diperhatikannya jalan pertarungan dengan
mata tidak berkedip. Hatinya berdebar khawatir kalau-kalau antara
Ki Tambak Raga dengan Satria Sinting memiliki hubungan dan
mereka jadi berdamai. Bukan tidak mungkin kalau Ki Tambak Raga
berhasil menyadarkan Satria Sinting dari penyakit kurang warasnya!
Plakkk! Plakkk!
Untuk kesekian kali, pada jurus ketujuh puluh terjadi
benturan antara Ki Tambak Raga dengan Satria Sinting. Namun kali
ini jauh lebih keras dari sebelumnya. Dan benturan itu lebih telak.
Tak pelak lagi tubuh kedua belah pihak sama-sama terjengkang ke
belakang. Namun berkat kemampuan masing-masing, baik Ki
Tambak Raga maupun Satria Sinting mampu mematahkannya
Kemudian kembali bersiap untuk menghadapi lawan. Terlihat jelas
kalau Ki Tambak Raga yang terjengkang lebih jauh menyeringai
kesakitan.
Kali ini kedua belah pihak tidak langsung melanjutkan
pertarungan, karena Satria Sinting tidak langsung mengirimkan
serangan. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki
Tambak Rasa.
"Anak Muda,.., sadarlah! Antara kau danaku ada hubungan
erat. Buktinya ada kesamaan ilmu yang kita miliki. Jangan kau
tertipu oleh Kala Tungging yang licik dan gemar mengadu domba!
Sadarlah, Anak Muda...! Sadar...!"
Ucapan-ucapan Ki Tambak Raga itu tidak keluar secara
biasa, tapi mengandung pengaruh aneh yang kuat. Kakek berjenggot
panjang itu sengaja melakukannya untuk memunahkan kekuatan
sihir yang membelenggu Satria Sinting. Namun usahanya sia-sia.
Pemuda gila itu tidak mempedulikarmya sama sekali Walaupun
demikian, Ki Tambak Raga tidak putus asa dan terus mengeluarkan
ucapan-ucapan untuk memberi kesadaran pada Satria Sinting. Sebab
dia tahu, lelaki berpakaian compang-camping itu pasti mempunyai
hubungan dengannya. Meskipun sepengetahuannya dia tidak mem¬
punyai hubungan lagi dengan siapa pun Dialah orang terakhir yang
menjadi pewaris tunggal ilmu-ilmu peninggalan leluhurnya....
7
Satria Sinting merangkapkan kedua telapak tangan ke depan
dada beberapa saat lamanya. Kemudian dijulurkan ke depan tanpa
melepaskan tempelan kedua telapak tangannya. Tindakan itu dila¬
kukan secara perlahan dengan pengerahan tenaga dalam Tampak
asap putih mengepul dari sela-sela telapak tangannya yang masih
merapat
Ki Tambak Raga yang sejak tadi memperhatikan tingkah
laku Satria Sinting, membelalak dengan wajah memucat. Keningnya
berkerut tajam seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Ti... tidak mungkin..! Mustahil...!" ucap kakek berjubah
putih itu dengan suara teibata-bata karena bibirnya menggigil keras.
Kala Tungging yang memperhatikan setiap tindakan kedua
belah pihak, juga melihat asap putih timbul dari kedua tangan Satria
Sinting. Sebagai seorang tokoh tua yang telah berpengalaman, dia
tahu kalau hal seperti itu hanya timbul karena pengaruh tenaga
dalam yang menyimpang dari biasanya. Satria Sinting mempunyai
jenis tenaga dalam berbeda dengan tokoh umumnya
Pemandangan demikian membuat Kala Tungging terkejut.
Apalagi ketika melihat sikap Ki Tambak Raga yang ketakutan
seperti tengah melihat hantu. Apa yang terjadi dengan musuh
besarnya itu?
Keheranan Kala Tungging memang beralasan. Sikap Ki
Tambak Raga terlihat aneh Bukan hanya bibirnya yang menggigil.
Sekujur tubuhnya yang terbungkus jubah putih pun tampak mulai
dibasahi keringat dingin Begitu juga di keningnya yang tampak
berkerut bersembulan butiran-butiran keringat.
"Hih.J"
Satria Sinting yang bersikap tidak peduli dengan keadaan
lawan, memukulkan tangan kirinya dengan kuat ke arah Ki Tambak
Raga, tanpa menggeser kaki Memang jarak antara mereka terpisah
hampir satu tombak saja!
"Ah...!"
Tanpa sadar. Kala Tungging terpekik kaget ketika melihat
dari tangan kiri Satria Sinting meluncur asap putih bergulung-
gulung menuju Ki Tambak Raga. Asap putih itu menimbulkan angin
dingin yang terasa membekukan tubuh Kala Tungging. Padahal
kakek berpakaian merah itu berada dalam jarak belasan tombak dari
Satria Sinting.
Kalau Kala Tungging saja merasakan akibat nya, apalagi Ki Tambak
Raga yang menjadi sasaran serangan Kakek berjubah putih itu
merasakan sekujur tubuhnya beku. Sehingga sulit baginya untuk
menggerakkan tangan atau kaki baik untuk mengelak maupun
menangkis.
Tidak ada yang dapat dilakukan Ki Tambak Raga, kecuali
menunggu datangnya maut! Serangan hebat Satria Sinting
membuatnya tidak berdaya Memang hal itu terjadi sebagian besar
karena dirinya terlalu larut dalam alun keterkejutan. Kalau tidak,
sedikit banyak akan dapat melakukan tindakan yang mampu
membuat dirinya terhindar. Namun, nasi telah menjadi bubur.
"He he he.J"
Kala Tungging tahu apa yang tengah dialami Ki Tambak
Raga. Sudah terbayang ke benaknya betapa nyawa Ki Tambak Raga
akan segera melayang
Bresss!
"Ah...!"
Seruan kaget tidak hanya keluar dari mulut Kala Tungging.
Pemuda berpakaian gembel pun tersentak kaget karena serangan
berupa asap bergulung-gulung itu tak mengenai tubuh Ki Tambak
Raga. Asap putih yang melesat dari kedua telapak tangannya
menghantam sebatang pohon besar di belakang Ki Tambak Raga
Seketika itu pula pohon itu diselimuti butiran-butiran es
yang ditimbulkan oleh asap putih tadi.
Satria Sinting tidak peduli dengan keadaan Ki Tamtbak Raga yang
penuh keringat dingin. Pemuda itu tetap memukulkan tangan kirinya ke
arah Ki Tambak Raga, tanpa menggeser kaki. Memang jarak antara mereka
hanya sehtar satu tombak saja!
Satria Sinting dan Kala Tungging mengarahkan pandangan
ke tempat sosok bayangan ungu yang tadi menyambar tubuh Ki
Tambak Raga, sebelum asap pubh bergulung-gulung itu
menghantamnya.
Beberapa tombak dari tempat Ki Tambak Raga tadi berada,
berdiri Dewa Arak. Dengan sikap tenang tapi tanpa menghilangkan
kewaspadaan, pemuda berambut pubh keperakan itu menurunkan
tubuh Ki Tambak Raga sambil menatap lekat-lekat wajah Satria
Sinting.
Ki Tambak Raga yang telah berhasil menguasai perasaan
kagetnya, menatap wajah Dewa Arak sejenak.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Anak Muda. Tapi,
cepatlah kau menyingkir dari sini. Dia pash akan membunuhmu
dengan mudah...!" ujar Ki Tambak Raga penuh rasakhawahr.
"Tenangkanlah hatimu, Ki! Percayalah aku dapat
menghadapinya! Aku pernah bertarung dengannya dan dia
melarikan diri," sahut Arya berusaha menenangkan hati Ki Tambak
Raga.
"Ah...! Boleh kutahu siapa namamu, Anak Muda?" tanya Ki
Tambak Raga setengah terkejut dan bdak percaya dengan jawaban
Dewa Arak. Mungkinkah pemuda ini akan dapat mengalahkan
Satria Sinbng.
"Orang-orang persilatan menjulukiku Dewa Arak," jawab
Arya untuk membuat kakek itu percaya dan tidak mengkhawahrkan
dirinya.
Dewa Arak sengaja memperkenalkan julukannya, karena
tahu kalau julukan Dewa Arak lebih dikenal orang. Dan Ki Tambak
Raga pasb mengenalnya! Keyakinan Arya ternyata terbukti Ki Tam¬
bak Raga terperanjat mendengarnya Namun dia bdak bisa
mengutarakannya karena Satria Sinbng telah melancarkan serangan
kembali Kali ini kedua tangannya yang terbuka dipukulkan bertubi-
tubi ke tempat Dewa Arak dan Ki Tambak Raga berada.
Wusss!
Asap putih tebal dan bergulung-gulung yang manbuat
keadaan sekitar tempat itu terselimut hawa dingin membekukan
tubuh, meluncur ke arah Dewa Arak dan Ki Tambak Raga. Asap kali
ini lebih banyak dari sebelumnya, karena Satria Sinbng benar-benar
marah melihat serangannya berhasil digagalkan Dewa Arak.
"Menyingkir, Dewa Arak! Asap itu berbahaya...!" teriak Ki
Tambak Raga sambil melompat menghindar.
Namun Dewa Arak tidak menuruti seruan Ki Tambak Raga
Pemuda berambut putih keperakan itu justru berdiam diri di
tempatnya. Dia menunggu hingga asap itu meluncur agak dekat.
Meskipun demikian, tenaga dalam 'Inti Matahari'-nya langsung
dikerahkan untuk melawan pengaruh hawa dingin yang telah lebih
dulu melingkupi tubuhnya sebelum asap itu tiba
Dewa Arak tidak setengah-setengah lagi dalam bertindak.
Tahu betapa berbahayanya sergapan hawa dingin yang dapat
membuat darahnya membeku, bahkan mampu menewaskan bila
tersentuh, dia segera mengerahkan seluruh tenaga dalam 'Inti Ma-
tahari'-nya untuk bertahan. Dari sekujur tubuh Dewa Arak keluar
asap tipis berwarna putih, diiringi hawa panas menyengat menyebar
ke sekitarnya
Usaha Dewa Arak ternyata tidak sia-sia. Hawa dingin luar
biasa yang mampu membekukan darah dan urat sarafnya berhasil
diusir pergi. Namun hal itu bukan berarti telah bebas dari maut.
Karena gumpalan asap berwarna putih tebal tengah meluncur ke
arahnya.
Dewa Arak tidak merasa gugup sama sekali menghadapi
kenyataan ini. Seperti juga Satria Sinting, dia pun berkali-kali
memukulkan kedua tangannya yang terbuka secara gencar ke
depan. Dari kedua tangan yang dipukulkan keluar angin keras
berhawa panas menyengat yang membuat gumpalan-gumpalan
asap putih tebal seketika buyar di tengah jalan
Melihat serangannya kandas di tengah jalan Satria Sinting
kian geram dan penasaran. Tanpa bergerak dari tempatnya segera
dilancarkan serangan serupa. Karena Dewa Arak pun melakukan
hal yang sama, pertarungan aneh dan tidak lazim pun terjadi. Kedua
tokoh muda itu tidak hanya melancarkan pukulan, melainkan juga
tendangan-tendangan gencar. Anehnya hal itu dilakukan dalam
keadaan berjauhan. Sebuah pertarungan aneh, dua tokoh yang
saling serang dan tangkis dalam jarak berjauhan.
•kirk
Ki Tambak Raga dan Kala Tungging menyaksikan jalannya
pertarungan dengan hati berdebar tegang, di samping perasaan
heran dan takjub.
Memang keduanya, terutama sekali Ki Tambak Raga
memiliki ilmu kepandaian yang tidak bisa dianggap remeh Namun
ketika menyaksikan pertarungan seperti itu keduanya tak mampu
menahan keheranannya Belum pernah seumur hidupnya
menyaksikan pertarungan seperti itu
Baik Ki Tambak Raga maupun Kala Tungging tahu.
Meskipun pertarungan berlangsung dalam jarak berjauhan seperti
itu, bahaya yang mengancam tidak kalah besar dengan pertarungan
biasa. Mereka yang menyaksikan jalannya pertarungan dari jarak
belasan tombak merasakan hawa-hawa aneh yang membuat jantung
berdebar tegang. Dari kancah pertarungan berhembus hawa panas
dan dingin silih berganti.
Kejadian yang aneh pun terjadi. Ki Tambak Raga dan Kala
Tungging menyaksikan jalannya pertarungan dengan jarak hampir
bersebelahan tanpa sadar. Perasaan tertarik dengan pertarungan
yang berlangsung seakan membuat masing-masing lupa kalau di
sebelahnya lawan yang menyebabkan timbulnya pertarungan aneh
itu.
"Luar Biasa...! Jadi... itukah ilmu 'Awan Putih' yang
diceritakan Ayah? Luar biasa...! Entah dari mana orang gila itu
menemukannya? Aku harus mengetahuinya! Bukankah kata Ayah
ilmu itu telah lenyap puluhan tahun ialu? Benar-benar dahsyat!"
gumam Ki Tambak Raga sambil terus memperhatikan pertarungan
yang tengah berlangsung. Malah mengedip pun hampir tidak
pernah dilakukan, karena khawatir tidak melihat kalau salah satu
pihak roboh!
Kekaguman Ki Tambak Raga terhadap ilmu 'Awan Putih'
memang bisa dimaklumi karena benar-benar dahsyat. Gumpalan
awan putih tebal yang keluar dari telapak tangan Satria Sinting
diakui oleh Dewa Arak terlalu kuat untuk dilawan. Bahkan dia
menyadari tidak mungkin baginya menghadapi lawan dengan cara
seperti itu.
Itulah sebabnya, setelah gumpalan awan putih yang semula
berhasil didorongnya, kembali mendekatinya. Dewa Arak melompat
ke atas. Dari udara laksana seekor garuda, dia melancarkan
serangan bertubi-tubi ke arah kepala Satria Sinting.
"Uh...!"
Dewa Arak tanpa sadar mengeluarkan keluhan
keterkejutan, ketika Satria Sinting memapak serangannya Sebelum
terjadi benturan dirasakan adanya daya tolak yang sangat kuat dari
kedua tangan lawan. Sebagai seorang pendekar yang kenyang
makan asam garam di rimba persilatan, Arya tahu kalau daya tolak
timbul karena asap putih itu.
Hampir saja Dewa Arak celaka akibat dalam waktu
sekejapan dia terkejut dan Satria Sinting melancarkan serangan.
Untung di saat terakhir dia sempat melemparkan tubuh menjauh.
Namun Satria Sinting tak mau membiarkannya dan memburunya
dengan serangan-serangan maut. Arya mengelak dan balas
menyerang sehingga membuat pertarungan berlangsung sengit.
Pertarungan kini tampak wajar, tidak seperti sebelumnya
Untuk kesekian kalinya Dewa Arak pun harus
mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ilmu 'Belalang Sakti'
dipergunakan sampai ke puncaknya Bahkan telah ditenggaknya
arak ketika mendapat satu kesempatan.
Satria Sinting benar-benar merupakan lawan yang tangguh.
Meski Dewa Arak telah mengeluarkan seluruh kemampuan, tetap
mengalami kesulitan untuk mengalahkannya. Jangankan mengalah¬
kan, mendesaknya saja merupakan hal yang amat sukar!
Tak terasa pertarungan telah menginjak tujuh puluh jurus
dan selama itu jalannya pertarungan tetap tidak berubah. Belum ada
pihak yang sanggup mengalahkan pihak lainnya Meskipun
demikian, terlihat Satria Sinting berada di atas angin. Asap tebal
yang keluar dari kedua tangan dan tubuhnya membuat Dewa Arak
terus terdesak.
Sungguhpun begitu. Satria Sinting tetap tidak bisa berbuat
lebih banyak. Dia hanya sanggup mengungguli lawan, tapi tidak
dapat berbuat lebih jauh. Dewa Arak dengan ilmu 'Belalang Sakti¬
nya terlalu kuat untuk dapat dirobohkannya
•kirk
Ketika Dewa Arak dan Satria Sinting terlibat dalam
pertarungan sengit, dua sosok bayangan berkelebat memasuki
halaman dan langsung berdiri di sebelah Kala Tungging.
"Apa yang terjadi, Tungging?" tanya Eyang Ranggalawe
salah satu dari dua sosok yang baru datang, sedangkan sosok yang
satu lagi adalah Nawangsih.
Kakek berpakaian abu-abu itu mengajukan pertanyaan
tanpa mengalihkan perhatian dari jalannya pertarungan.
"Dewa Arak dan Satria Sinting bertarung," jawab Kala
Tungging tanpa menoleh. Lalu secara singkat diceritakan semua
kejadiannya
Berbeda dengan Eyang Ranggalawe yang begitu datang
langsung menatap ke arah pertarungan dan lupa segala-galanya,
tidak demikian halnya dengan Nawangsih. Dia ingat betul maksud
Eyang Ranggalawe mengajaknya kemari. Maka dia tidak sabar
ketika melihat kakek itu malah asyik menyaksikan jalannya
pertarungan.
"Mana pembunuh orangtuaku, Eyang?" tanya Nawangsih
bernada menuntut.
"Kakek berjenggot panjang itulah pembunuh ayahmu,"
jawab Eyang Ranggalawe seraya menuding Ki Tambak Raga.
Nawangsih menoleh ke arah Ki Tambak Raga dengan sorot
mata beringas. Dan..
Sing! Sing!
Tanpa membuang-buang waktu lagi Nawangsih langsung
melolos kedua pedangnya yang berkilauan. Namun perbuatan gadis
itu tidak menarik perhatian ketiga kakek yang memperhatikan
pertarungan.
"Pembunuh Biadab...! Rasakan pembalasanku!"
Usai berkata demikian, Nawangsih menggenjotkan kaki
sehingga tubuhnya melayang melewati atas kepala Kala Tungging
dan Eyang Ranggalawe. Dari atas sepasang pedangnya menyambar
ganas ke arah Ki Tambak Raga
Karuan saja Ki Tambak Raga terkejut namun tidak menjadi
gugup. Dengan tenang, dikeluarkan kebutan berupa rangkaian bulu-
bulu yang diselipkan di pinggang. Lalu digunakannya untuk meng¬
hadapi serangan sepasang pedang Nawangsih
Rrrttt!
"Uh!"
Nawangsih memekik tertahan ketika ujung kebutan yang
lemas melibat batang pedang di tangan kanannya Sedangkan
pedang kiri yang ditusukkan ke arah leher, melesat karena Ki
Tambak Raga cepat memiringkan kepalanya Dan sebelum gadis itu
sempat berbuat sesuatu, Ki Tambak Raga telah menyentakkan
kebutannya, sehingga pedang Nawangsih pun terlepas dari cekalan
dan terlempar jauh.
Bukan hanya pedangnya yang tertarik, tetapi juga tubuh
Nawangsih yang berada di udara Tubuh gadis berpakaian kuning
itu ikut terbawa turun Namun murid Eyang Dipayana mampu
menunjukkan kelihaiannya Tubuhnya yang melayang turun digu¬
nakan untuk melancarkan serangan berupa jejakan kaki kanan ke
arah dada lawan.
"Bagus...!"
Ki Tambak Raga yang merasa kagum melihat kecerdikan
Nawangsih, berteriak memuji. Meskipun begitu dia mampu
mengelakkannya dengan mudah. Didoyongkan tubuhnya ke
belakang, kanudian tangannya bergerak mencekal.
Tappp!
Pergelangan kaki kanan Nawangsih terkena cekalan.
Untung saja Ki Tambak Raga tidak berniat mencelakainya karena
langsung melontarkan tubuh gadis itu. Kalau mau lelaki tua itu
mampu meremas pergelangan kaki Nawangsih hingga remuk!
Tidak percuma Nawangsih menjadi murid Eyang Dipayana
Di saat tubuhnya melayang, dia mampu mematahkannya dengan
bersalto beberapa kali di udara, lalu meluncur turun dan menjejak
tanah dengan ringan laksana seekor burung.
Ki Tambak Raga menggeleng-gelengkan kepala ketika
melihat begitu menjejak tanah, Nawangsih langsung mencelat dan
menubruknya Pedang yang tinggal sebatang itu, ditusukkan cepat
ke arah leher!
Hati Ki Tambak Raga mulai kesal melihat kebandelan
Nawangsih. Saat ini dia tengah asyik memperhatikan jalannya
pertarungan. Betapapun sabarnya, dia mulai tidak senang hati
karena merasa terganggu. Maka Ki Tambak Raga bermaksud
memberikan sedikit pelajaran pada gadis itu, agar pertarungan seru
yang tengah disaksikannya tidak keburu usai.
Itulah sebabnya tusukan pedang Nawangsih dielakkannya
dengan mendoyongkan tubuh ke kanan. Dan pada saat bersamaan,
kebutannya yang dengan pengerahan tenaga dalam berubah kaku
laksana tombak, meluncur ke arah bahu kanan Nawangsih.
Nawangsih terkejut bukan kepalang melihat serangan itu.
Dengan agak geragapan dia berusaha mengelak. Namun
gerakannya kalah cepat Ujung kebutan Ki Tambak Raga lebih dulu
mengenai bahu kanannya Seketika itu tubuh gadis berpakaian ku¬
ning itu terkulai lemas. Dan mungkin akan ambruk ke tanah kalau
Eyang Ranggalawe tidak lebih dulu menangkapnya
"Kau keji, Tambak Raga!" desis Eyang Ranggalawe. "Setelah
kau bunuh ayahnya, kau hina pula anaknya!"
"Jelaskan maksud ucapanmu, Ranggalawe!" desak Ki
Tambak Raga keras Keningnya berkerut tajam dengan mata
menunjukkan ketidaksenangan. "Siapa yang kau maksudkan?"
"Lupakah kau pada Wiratmaja? Ataukah kau telah menjadi
pikun?"
"Wiratmaja putra Eyang Dipayana?!" tanya Ki Tambak Raga
meminta penegasan setelah tercenung beberapa saat.
"Benar!" Eyang Ranggalawe menganggukkan kepala "Dan
gadis yang kau lumpuhkan ini anak Wiratmaja!"
"Ah...!" desah Ki Tambak Raga terkejut. Matanya
membelalak tapi mulutnya tidak berkata-kata lagi
"Asal kau tahu saja, Tambak Raga," sambung Eyang
Ranggalawe yang terlihat jelas masih merasa penasaran
"Kedatangannyakemari untuk membalaskan kematian ayahnya!"
"Gila! Ini benar-benar tidak mungkin!" sahut Ki Tambak
Raga. Wajahnya menegang
"Memang, kalau dilakukannya sendiri, tidak akan mungkin
berhasil. Dia tak akan menang melawanmu, tapi masih ada aku!
Akulah yang akan membalaskan dendamnya!" tandas Eyang
Ranggalawe, berapi-api.
"Kau gila, Ranggalawe!" sergah Ki Tambak Raga. "Sadarkah
kau akan tindakan yang akan kau lakukan? Kau tak berhak
melakukannya! Masih ada Eyang Dipayana yang menjadi kakeknya!
Dia lebih berhak daripadamu! Dia sendiri tidak melakukannya!"
"Bukan tidak mau melakukannya. Tambak Raga!" bantah
Eyang Ranggalawe. "Dia ingin melakukannya, tapi menunggu
hingga cucunya besar. Dia ingin cucunya sendiri yang melakukan.
Dan dia hanya membantunya!"
"Kau dusta, Ranggalawe!" tukas Ki Tambak Raga "Kalau
benar demikian, apakah dia mengatakan sendiri hal itu padamu?"
"Memang tidak," sahut Eyang Ranggalawe. "Tapi aku yakin
akan dilakukannya."
"Mana buktinya, Ranggalawe?! Kenyataannya sekarang
kaulah yang mendampingi gadis,itu! Jangan-jangan kau
menginginkan hal ini! Dan karena Eyang Dipayana tidak
menginginkannya, kau membawanya kabur kemari!"
"Bukan itu alasannya. Tambak Raga! Dia tak mungkin bisa
menemani cucunya untuk membalaskan dendam terhadapmu! Dia
telah mati! Kau dengar. Tambak Raga?! Eyang Dipayana telah tewas,
dan aku yakin pembunuhnya adalah... kau!"
8
"Apa...?!"
Mata Ki Tambak Raga membelalak lebar seperti melihat
hantu di siang hari, hatinya terkejut bukan main mendengar
tudunan Eyang Ranggalawe.
"Tidak usah berpura-pura bodoh. Tambak Raga!" tandas
Eyang Ranggalawe keraa "Akui saja kalau kau yang telah
membunuh Dipayana! Hanya kau satu-satunya yang mempunyai
alasan untuk melakukannya!"
"Fitnah!" bantah Ki Tambak Raga tak kalah keras. 'Dan aku
tak membiarkan begitu saja orang melakukan hal ini padaku!"
"Tidak usah berpura-pura sud, Tambak Raga! Aku yakin
kaulah pelakunya! Bersiaplah untuk menerima kematian!"
"Kaulah yang akan mampus di tanganku, Ranggalawe!"
dengus Ki Tambak Raga tak mau kalah
Belum juga ucapan Ki Tambak Raga lenyap. Eyang
Ranggalawe telah menubruk maju. Kakek berpakaian abu-abu ini
telah tahu kalau lawan memiliki kepandaian amat tinggi Maka dia
tak ingin bersikap setengah-setengah Dalam serangan pertama telah
dikeluarkan senjata andalannya, tasbih, yang langsung dikibaskan
ke arah pelipis Ki Tambak Raga
Kakek berjenggot panjang itu menarik tubuh ke belakang
sehingga sabetan tasbih lewat di depan wajahnya. Kemudian
dengan pengerahan tenaga dalam, dijadikannya bulu kebutannya
menegang kaku seperti anak panah Kemudian sambil
mendoyongkan tubuh ke depan ditusukkan kebutan itu ke leher
Eyang Ranggalawe.
Eyang Ranggalawe mengetahi adanya ancaman maut. Dia
tahu bulu kebutan itu akan mampu menembus lehernya. Maka dia
buru-buru merendahkan tubuh seraya menarik sedikit tangan
kanannya. Secepat itu pula segera dilancarkan serangan susulan
dengan sabetan tasbih ke wajah lawan.
Namun lagi-lagi Ki Tambak Raga berhasil mengelakkannya,
bahkan seraya mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah
hebat. Sesaat kemudian kedua kakek itu telah saling serang dengan
mempergunakan seluruh kepandaian yang dimiliki
Di halaman luas di depan rumah Ki Tambak Raga
berlangsung dua pertarungan. Namun, pertarungan antara Dewa
Arak dengan Satria Sinting sudah hampir mencapai penyelesaian
Dalam pertarungan yang demikian lama, serangan Satria
Sinting tampak mulai mengendur. Pukulan dan tendangan yang
dilancarkannya tidak sekuat sebelumnya Demikian pula gerakan-
gerakan yang dilakukan, tampak telah berubah Jelas kalau pemuda
berpakaian gembel itu telah merasakan kelelahan.
Kelelahan yang dialami Satria Sinting tidak diderita Dewa
Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu masih tetap seperti
sediakala. Serangan-serangan yang dilancarkannya masih
mengandung tenaga dalam penuh. Begitu pula gerakan-gerakannya,
tetap gesit seperti semula, tidak mengalami penurunan. Hal itu
karena pengaruh arak yang ditenggaknya di dalam pertempuran.
Arak yang berasal dari gud yang tersampir di punggungnya mam¬
pu membuat tenaganya yang susut dapat pulih kembali seperti
sediakala.
Oleh karena itu, menginjak jurus keenam puluh perlahan-
lahan Dewa Arak mulai bisa mengendalikan jalannya pertarungan.
Lambat tapi pasti dia mulai berada di atas angin. Dan sekarang
Satria Sinting tampak lebih banyak mengelak daripada melancarkan
serangan. Beberapa kali dia mencoba menangkis karena sudah tidak
mungkin lagi baginya untuk mengelak. Akibatnya pemuda
berpakaian gembel itu harus terhuyung-huyung. Semakin lama
keadaan Satria Sinting semakin mengkhawatirkan. Sekarang dia
mulai bennain mundur. Awan putih tebal yang keluar dari tangan
dan sekujur tubuhnya sekarang hampir tidak terlihat lagi Hal itu
membuat tenaga tolakannya tidak terasa oleh Dewa Arak
Pada pertarungan yang lain, perlahan namun pasti Ki
Tambak Raga mulai berhasil menguasai pertarungan. Kakek
berjenggot panjang ini memang memiliki tenaga dalam dan
kelincahan di atas lawannya. Selain itu dia mampu menggunakan
kelebihannya untuk melancarkan desakan terhadap lawan. Kebutan
di tangannya senantiasa berubah-ubah. Kadang lemas dan melentur,
tapi kemudian bisa berubah menjadi kaku dan mengeras. Sehingga
senjata itu tidak hanya dapat digunakan untuk melibat, tapi juga
menusuk dan menotok. Beberapa kali Eyang Ranggalawe
terhuyung-huyung mundur ketika terjadi benturan. Dan menginjak
pada jurus kelima puluh kakek berpakaian abu-abu ini terdesak
hebat dan hanya mampu bennain mundur.
Di saat Eyang Ranggalawe dalam keadaan seperti itu, dan
pertarungan antara Dewa Arak dan Satria Sinting mulai tidak
menarik, Kala Tungging masuk dalam kancah pertarungan untuk
membantu Eyang Ranggalawe.
"Jangan khawatir, Ranggalawe! Aku membantumu
menghadapi tua bangka sombong ini!"
Tarrr!
Kala Tungging langsung menyabetkan pecutnya ke arah
pelipis Ki Tambak Raga. Serangan ini memaksa Ki Tambak Raga
yang tengah mendesak lawan, mengurungkan serangannya Segera
dilemparkan tubuhnya ke samping untuk menyelamatkan diri. Tak
pelak lagi pertarungan satu melawan dua pun tidak bisa dielakkan
•kirk
Brettt! Bukkk!
"Akh..!"
Satria Sinting memekik tertahan. Tubuhnya terlempar ke
belakang ketika cakaran tangan kiri Dewa Arak yang diikuti
pukulan tangan kanan menghantamnya. Tangan kiri merobek
pakaiannya mulai dari leher sampai ke pusar, sedangkan tangan
kanan yang terbuka mendarat di bahu kanan
Meskipun serangan itu tidak pada tempat mematikan, tapi
cukup untuk membuat Satria Sinting terbanting di tanah dan jatuh
pingsan.
Dewa Arak sendiri bukan tidak menderita. Sambungan lutut
kirinya telepas ketika ujung kaki Satria Sinting menghantamnya.
Namun, Dewa Arak tidak mempedulikan rasa sakit itu.
Langsung diarahkan pandangan ke kancah pertarungan, ketika
yakin kalau Satria Sinting tidak terancam bahaya karena lukanya
Pemuda berambut putih keperakan ini langsung dapat melihat ke¬
adaan Ki Tambak Raga yang terdesak hebat.
Menghadapi satu orang lawan, Ki Tambak Raga jauh lebih
unggul, bahkan akan dapat memperoleh kemenangan, karena
tingkat kepandaiannya berada di atas masing-masing lawannya
Namun menghadapi dua orang sekaligus, terlalu berat baginya
Itulah sebabnya ketika pertarungan menginjak jurus kedelapan
puluh dia terdesak hebat dan hanya mampu bertahan dan mengelak.
"Arrghh..!"
Dewa Arak mengeluarkan raungan keras dari dalam
perutnya. Akibat suaranya yang menggelegar tiga tokoh yang
bertarung mendadak terhuyung-huyung dengan wajah memucat.
Raungan yang dikeluarkan Dewa Arak dengan pengerahan tenaga
dalam itu, telah membuat mereka terpengaruh Baik Ki Tambak
Raga, Kala Tungging, maupun Eyang Ranggalawe merasakan
betapa dada mereka bergetar hebat. Ketiganya buru-buru
mengerahkan tenaga dalam untuk membuat bagian dalam tubuh
mereka tidak terguncang, yang dapat mengakibatkan luka dalam.
Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk melompat
masuk ke kancah pertarungan, kemudian mengibaskan kedua
tangannya Sehingga tubuh ketiga tokoh tua itu seketika berpentalan
ke belakang dan bergulingan. Dan ketika Ki Tambak Raga, Kala
Tungging, dan Eyang Ranggalawe berbasil bangkit Dewa Arak
telah berdiri dengan sikap angker.
Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe
merasa penasaran bukan kepalang, karena dapat dirobohkan Dewa
Arak dengan mudah Meskipun demikian ketiganya tahu, hal itu
terjadi karena keadaan mereka yang tidak siap tarung. Kalau tidak,
mustahil Dewa Arak akan mampu melakukan hal seperti itu dengan
sangat mudah.
Mendadak Ki Tambak Raga mengeluarkan seruan kaget dari
mulutnya. Sepasang matanya membelalak lebar seakan tengah
dilanda keterkejutan yang hebat. Bahkan mulutnya terbuka lebar
tanpa disadarinya.
Karuan saja sikap Ki Tambak Raga membuat semua orang
yang berada di situ, tak terkecuali Dewa Arak, merasa heran.
Mereka pun mengikuti arah pandangan kakek berjenggot panjang
itu. Tatapan mata Ki Tambak Raga ternyata tertuju pada tubuh
Satria Sinting.
Mendadak dengan diawali keluhan tertahan, Ki Tambak
Raga melesat ke arah Satria Sinting. Khawatir kalau kakek
berjenggot panjang itu melakukan tindakan yang tidak diinginkan.
Dewa Arak bergegas mengikuti. Kala Tungging dan Eyang
Ranggalawe pun melakukan hal yang sama Kedua kakek ini ingin
mengetahui apa yang akan dilakukan Ki Tambak Raga.
•kirk
Kecurigaan Dewa Arak ternyata tidak terbukti. Ki Tambak
Raga tidak melakukan hal-hal yang dikhawatirkannya Kakek itu
tidak melancarkan serangan sedikit pun, melainkan duduk
bersimpuh di dekat sosok Satria Sinting yang tergolek lemah
Pandangan Ki Tambak Raga tertuju pada gambar naga dan
tengkorak kepaia manusia di dada Satria Sinting.
"Ada apa, Ki?"
Dewa Arak tidak tahan untuk berdiam diri melihat Ki
Tambak Raga duduk bersimpuh tanpa berkata apa pun, kecuali
melongo di dekat tubuh Satria Sinting.
Ki Tambak Raga tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Ditatapnya wajah Arya, kemudian dialihkan perhatiannya lagi pada
tubuh Satria Sinting.
"Dia mempunyai hubungan denganku, Dewa Arak!
Hubungan yang amat dekat hubungan perguruan Hanya saja, baik
aku maupun dia tidak mengetahuinya," jawab Ki Tambak Raga
dengan pandangan tertuju ke arah tubuh Satria Sinting. Kala
Tungging dan Eyang Ranggalawe terdiam mendengar penuturan Ki
Tambak Raga
"Leluhurku..," Ki Tambak Raga mulai dengan ceritanya,
"Memiliki kepandaian amat tinggi Hanya jarang bahkan tidak ada
di antara orang-orang persilatan yang mengenal mereka. Mereka
selalu menyembunyikan diri Tapi mereka senantiasa mewariskan
ilmu itu pada keturunannya, sampai akhirnya tiba pada diriku
sebagai keturunan terakhir. Keyakinan itulah yang kupegang, tapi
sekarang pupus. Leluhurku ternyata masih mempunyai keturunan
lagi selain diriku, yaitu dia! Aku tidak akan tahu jika tidak melihat
tanda ini pada kedua dadanya."
Dewa Arak, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe
menatap dada Satria Sinting.
"Apa artinya, Ki?" tanya Arya ingin tahu
"Tanda gambar naga merupakan dri khas keluarga kami
Sedangkan gambar tengkorak kepala manusia menandakan kalau
dia keturunan dari leluhur kami yang telah diusir dari garis
keluarga karena mempelajari ilmu larangan."
"Jadi... Satria Sinting itu keturunan dari orang buangan
keluargamu, Ki?" tanya Arya lebih lanjut "Tapi mengapa kau semula
tidak tahu? Bukankah ilmu-ilmu yang kau miliki mempunyai
kesamaan dengannya?"
"Aku tidak tahu karena ayahku tidak menceritakan kalau
leluhurku punya garis keluarga lain yang merupakan orang
buangan di keluarga kami Untung saja aku melihat tanda tengkorak
itu. Dan aku pun pernah mendengar dari kakekku yang pernah
menyinggung cerita tentang keluarga buangan itu. Namun aku telah
lama melupakan...," ujar Ki Tambak Raga, menutup ceritanya
Mendadak, melesat sesosok bayangan kuning ke arah Ki
Tambak Raga
"Pembunuh Jahanam! Mampuslah kau..!"
Dan sosok yang tak lain Nawangsih itu mengayunkan
pedangnya ke arah leher Ki Tambak Raga. Namun sebelum sempat
mengenai sasaran Dewa Arak telah lebih dulu bergerak. Hanya
dengan sekali sambar, pedang Nawangsih telah pindah ke ta¬
ngannya
"Tidak baik menyerang dari belakang!" ujar Dewa Arak
seraya menatap wajah gadis itu.
"Tapi..., dia pembunuh ayahku!" sahut Nawangsih.
"Aku bukan pembunuh ayahmu!" tukas Ki Tambak Raga
"Bohong!" bentak Nawangsih dengan mata masih
menyimpan dendam
"Aku tidak bohong! Untuk apa aku membchongi cucuku
sendiri?!" Ki Tambak Raga balas mengajukan pertanyaan
"Apa?" sepasang mata Nawangsih membeliak lebar
mendengar pertanyaan Ki Tambak Raga.
"Benar," Ki Tambak Raga menganggukkan kepala untuk
lebih menegaskan ucapannya "Aku tidak bohong, aku kakekmu
karena ibumu, istri ayahmu adalah anakku Jadi Wiratmaja, ayahmu
itu mantuku!"
'Tapi..., mengapa kau bunuh ayahku?!" desak Nawangsih
dengan suara melunak.
"Aku tidak pernah membunuhnya, Nawangsih.
Percayalah...! Aku tak ingin kau terluka kalau mendengar cerita
sesungguhnya. Apakah kau tidak diberitahukan oleh Eyang
Dipayana?"
Nawangsih menggelengkan kepala.
"Lebih baik begitu, Nawangsih. Hhh.., Eyang Dipayana
memang bijaksana. Dia mungkin tak ingin kau lebih terluka kalau
mendengar cerita sebenarnya," jawab Ki Tambak Raga, bernada
keluh.
"Tidak, Kek!" sahut Nawangsih, "Aku tidak akan terluka.
Lebih baik aku mendengarnya sekarang daripada tak mengetahui
sama sekali apa yang terjadi terhadap ayahku"
"Baiklah kalau kau memaksa," ucap Ki Tambak Raga dengan
suara berdesah. "Dengar baik-baik! Ayahmu mati di tangan ibumu
sedangkan ibumu mati karena bunuh diri. Ibumu membunuhnya
karena ayahmu mempunyai watak mata keranjang! Di mana-mana
dia beigaul dengan wanita secara tidak patut! Jelas?!"
"Kakek...!"
Nawangsih berseru dengan hati pilu setelah beberapa saat
terpaku dengan wajah pucat pasi karena kaget mendengar cerita
yang dituturkan Ki Tambak Raga. Gadis berpakaian kuning itu
menubruk tubuh Ki Tambak Raga dan menangis.
Kala Tungging, Eyang Ranggalawe, dan Dewa Arak ikut
merasa terharu karenanya. Dan untuk tidak mengganggu
keberadaan Nawangsih dan Ki Tambak Raga, mereka mengalihkan
tatapan ke arah lain. Meskipun demikian, rasa ingin tahu membuat
telinga mereka dipasang untuk mendengarkan pembicaraan lebih
lanjut
"Benarkah Dipayana telah tiada, Nawangsih?!" tanya, Ki
Tambak Raga setelah membiarkan Nawangsih menangis beberapa
saat di dadanya.
Nawangsih menjauhkan wajah dari dada kakeknya
"Benar, Kek," jawab gadis berpakaian kuning itu dengan
suara serak sambil terisak. "Dia tewas terbunuh. Semula, kukira
Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua rekannya yang membunuh
Eyang Dipayana, tapi ternyata bukan. Mereka pun tidak tahu siapa
pembunuh Eyang Dipayana?"
"Bukankah kau tinggal bersamanya. Mengapa kau tidak
tahu kematian Eyang Dipayana? Bukankah dia tewas di rumah."
"Saat Itu, aku tengah pergi ke kebun untuk memetik
sayuran-sayuran kegemaran Eyang, Kek. Tapi., begitu aku pulang
yang kujumpai Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua rekannya
Mereka tengah marah-marah dan di antara mereka kulihat tubuh
Eyang teigolek Aku marah, dan menyerang mereka, tapi mereka
terlalu kuat untukku. Maka, aku melarikan diri dan minta
pertolongan pada Eyang Ranggalawe."
"Hhh.J"
Ki Tambak Raga menghembuskan napas berat sambil
mengangguk-anggukkan kepala Dahinya berkerut-kerut seperti
tengah berpikir keras.
"Bisa kau terangkan pada kami sebab-sebab kematiannya,
Nawangsih?" Eyang Ranggalawe menyela pembicaraan itu.
Memang, dia belum mendapatkan pemberitahuan apa pun dari
Nawangsih tentang cara kematian sahabatnya itu.
"Em... aku tidak bisa melihat jelas dari dekat. Aku hanya
dapat melihat ada tanda merah pada dadanya berupa telapak
tangan. Tanda itu menghancurkan pakaian Eyang...."
Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe
tersentak kaget. Mereka saling pandang dengan wajah berubah
Tampak adanya kekhawatiran yang menggurat di wajah mereka.
Dewa Arak melihat hal ini menjadi heran.
"Apakah ada yang salah, Kek?" tanya Arya pada Ki Tambak
Raga
"Tidak, Dewa Arak," jawab Ki Tambak Raga dengan nada
ucapan sungguh-sungguh "Hanya saja ciri-ciri penyebab kematian
Eyang Dipayana mengingatkan aku pada seorang tokoh luar biasa
dari dunia hitam. Tokoh yang memiliki watak aneh, gemar
memakan jantung orang yang kurang waras pikirannya. Tokoh itu
memiliki ilmu 'Telapak Tangan Darah' yang menimbulkan akibat
seperti yang dikatakan Nawangsih. Untuk kegunaan ilmu itulah,
tokoh sesat itu memakan jantung orang kurang waras. Luwing Sewu
namanya!"
"Mengapa dia membunuh Eyang Dipayana, Kek?! Apakah
di antara mereka ada permusuhan?" tanya Arya, ingin tahu.
"Tidak, Dewa Arak. Tapi, semua orang tahu kalau satu-
satunya orang yang mengetahui tempat Satria Sinting, hanya Eyang
Dipayana. Dan mengingat Luwing Sewu gemar memakan jantung
orang kurang waras, bisa ditebak sendiri kejadiannya Mungkin,
tokoh sesat itu memaksa Eyang Dipayana untuk menunjukkan
tempat Satria Sinting berada. Tapi, karena tak mendapatkan jawaban
yang manuaskan, Eyang Dipayana dibunuhnya. Dan...."
"Ha ha ha..!"
Sebuah tawa keras tiba-tiba terdengar menyambuti ucapan
KI Tambak Raga Kakek berjenggot putih panjang itu terjingkat
kaget, dan mengalihkan tatapan ke tempat asal suara tawa. Hal yang
sama dilakukan pula oleh dua kakek lainnya
"Luwing Sewu...!"
Kala Tungging berseru kaget dengan mata membelalak.
Begitu pula Eyang Ranggalawe dan Ki Tambak Raga Semua terkejut
melihat kedatangan seorang kakek bertubuh bongkok dan
berpakaian kulit ular. Tangan kanannya menggenggam sebuah
tongkat terbuat dari ular yang dikeringkan.
"He he he.J" kakek bongkok itu mengeluarkan tawa
terkekeh sambil melangkah maju. "Rupanya kau cerdik juga.
Tambak Raga. Memang, dugaanmu itu tidak keliru. Sekarang,
biarkan aku mengambil Satria Sinting. Siapa yang mencoba mengha¬
langi akan menerima kematian di tanganku...."
"Keparat!" Ki Tambak Raga menggeram "Kau hanya dapat
melakukannya setelah melangkahi mayatku!"
Ki Tambak Raga melompat menerjang dengan kedua tangan
terbuka dipukulkan bertubi-tubi ke arah ulu hati, perut, dan dada.
Hembusan angin mengiringi tibanya serangannya yang dikerahkan
dengan tenaga dalam.
"Hehehe...!"
Luwing Sewu tertawa terkekeh. Tongkatnya segera
diselipkan ke ketiak kanan. Kemudian dengan kedudukan dan
gerakan tangan yang sama seperti Ki Tambak Raga, dipapaknya
serangan itu
Prattt!
"Aaakh..!"
Ki Tambak Raga mengeluarkan jeritan menyayat. Tubuhnya
yang memakai jubah putih terpental beberapa langkah ke belakang.
Sementara tubuh Luwing Sewu tampak hanya terguncang-guncang.
Mulutnya tertawa terkekeh-kekeh melihat lawannya berhasil
menjejak ke tanah dengan sempurna.
"Bedebah..!" Ki Tambak Raga mendengus kesal seraya
menatap kedua telapak tangannya yang memerah sebatas
pergelangan. Namun dengan cepat warna merah akibat benturan itu
menjalar ke atas.
Ki Tambak Raga segera mengerahkan tenaga dalam untuk
mengusir hawa beracun yang diduga akibat ilmu 'Telapak Tangan
Darah' lawannya Usaha Ki Tambak Raga sia-sia. Warna merah itu
tetap terus menjalar ke atas.
Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe tahu apa artinya itu.
Mereka merasa tegang. Kalau Ki Tambak Raga saja dalam
segebrakan dibuat terluka dan dalam keadaan terancam maut,
apalagi mereka?
Namun tidak demikian halnya dengan Dewa Arak Pemuda
berambut putih keperakan itu langsung melompat mengirimkan
serangan mematikan ke arah Luwing Sewu. Namun hanya dengan
kibasan-kibasan tangannya, kakek bongkok itu memaksa Dewa
Arak untuk melompat mundur karena tak tahan mencium bau amis
yang memuakkan berasal dari racun jahat yang dikeluarkan Luwing
Sewu.
"He he he...!" Luwing Sewu tertawa terkekeh-kekeh. "Ayo,
siapa lagi yang ingin ikut bertamasya ke akherat bersama Tambak
Raga?! Silakan maju!"
"Aku, Luwing!" sambut sebuah suara dengan suara
menggigil seperti merasa kedinginan, mendahului Dewa Arak dan
yang lain-lain
"Lagi-lagi kau, Tua Bangka Gila! Dasar nasibku yang kurang
baik!"
Setelah berkata demikian dengan sikap gentar yang tidak
dapat disembunyikan, Luwing Sewu melesat kabur dari situ. Dan
sesaat kemudian, di tempat itu telah berdiri seorang kakek kecil
kurus yang selalu tertawa cekikikaa Sepasang matanya tampak
berputar-putar liar.
Dewa Arak merasakan debaran tegang dalam jantungnya
Dirinya tidak tahu sama sekali, darimana dan bagaimana kakek kecil
itu muncul. Tahu-tahu saja telah berada di antara mereka. Suatu
kenyataan yang membuktikan bahwa kakek yang tampak kurang
waras itu memiliki ilmu peringan tubuh yang sudah mencapai
tingkat tinggi
Masih dengan tawa cekikan dan sepasang mata berputaran
liar, kakek kecil kurus itu menghampiri Ki Tambak Raga yang
tengah mengerahkan tenaga dalam menahan menjalarnya hawa
beracun. Kemudian, ditepuknya punggung kakek berjenggot pan¬
jang itu sekali Seketika warna merah yang menjalar di sekujur
tangan Ki Tambak Raga, perlahan-lahan memudar dan akhirnya
lenyap sama sekali
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat," ucap Ki Tambak
Raga dengan perasaan kagum yang tidak dapat disembunyikan.
"He he he...! Siapa menolong siapa?! Aku hanya mencoba
bertanggung jawab memberikan pertolongan pada orang yang telah
berusaha menolong anakku. Kau Tambak Raga, kan? Aku telah
sering mendengar namamu Aku bersyukur kau tidak membenci
anakku sekalipun dia berasal dari keluarga yang terbuang sepertiku
Memang, pesan leluhur kita tidak keliru, ilmu-ilmu larangan itu
sangat beibahaya Hanya akan membuat kesadaran kita lenyap.
Ilmu larangan itu membuat orang yang mempelajarinya menjadi
kurang waras. Kau lihat aku, he he he.J Juga anakku..? Kami
adalah saksi nyata betapa berbahayanya ilmu-ilmu larangan itu!
Keinginannya untuk menjadi prajurit kerajaan semakin
membuatnya parah dalam kegilaan. Keadaan itu dipeigunakan baik-
baik oleh orang yang punya sifat jahat... Selamat tinggal, Tambak
Raga!"
Tanpa memberi kesempatan pada Ki Tambak Raga untuk
berbicara, kakek kecil kurus itu menyambar tubuh Satria Sinting,
lalu melesat dari situ. Hanya dalam beberapa kali lesatan tubuhnya
sudah lenyap dari-pandangan mata.
"Itulah orang sakti yang pernah kuceritakan. Dewa Arak.
Tokoh aneh yang tempat tinggalnya tiada yang tahu...," ucap Eyang
Ranggalawe lirih
Dewa Arak hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Dia
masih belum bersemangat untuk berbicara. Hatinya masih diliputi
kebingungan dan heran dengan kejadian-kejadian yang baru saja di¬
alami. Bahkan Kala Tungging pun telah kehilangan gairah untuk
bertempur. Mereka mengarahkan pandangan ke arah perginya
kakek kedi kurus dengan tatapan kosong....
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Si Linglung Sakti
Emoticon