1
Suara senandung gembira keluar dari mulut seorang
kakek bertubuh tinggi kurus, dan berpakaian longgar
berwarna putih. Kakek ini tengah duduk di pinggir sungai.
Mendadak kakek tinggi kurus itu menarik jorannya.
Tampak seekor ikan berkelojotan. Sebetulnya, joran milik
kakek ini tidak layak disebut joran karena tanpa tali,
pelampung bahkan mata kail. Hanya sebatang kayu yang
dibuat mirip joran.
Sambil bersiul-siul, kakek tinggi kurus itu meraih
ikan yang menggeliat di ujung joran, Lalu dimasukkannya ke
dalam keranjang kecil yang telah berisi ikan hasil
tangkapannya. Ketika dia bermaksud memasukkan jorannya
ke dalam air, mendadak gerakan tangannya dihentikan, lalu
ditolehkan kepalanya ke belakang.
"Sumini...," desah kakek tinggi kurus itu dengan
tarikan wajah menyiratkan kecemasan.
Belum juga gema ucapannya lenyap, kakek itu sudah
bangkit secara cepat. Joran dan keranjang berisi ikan
tangkapannya tidak dipedulikan lagi. Kemudian dengan
sekali lesatan, dia telah berada dalam jarak belasan tombak
dari tepi sungai.
Dengan kecepatan yang tidak mengendur, kakek
tinggi kurus itu melesat Tubuhnya yang terbalut pakaian
putih sekejap saja telah lenyap. Kini yang tampak hanya
kelebatan bayangan putih melesat menuju sebuah bangunan
yang berada tak jauh dari sungai tempatnya memancing.
"Sumini...," untuk yang kedua kalinya si Kakek tinggi
kurus menyebutkan nama itu. Namun kali ini dengan sorot
mata menyiratkan keterkejutan.
Beberapa tombak di hadapan kakek tinggi kurus itu
tampak empat sosok yang tengah menuju ke arahnya.
"Kakek...!"
Salah seorang dari keempat sosok, berseru memanggil
si Kakek tinggi kurus. Dia seorang gadis berusia sekitar tujuh
belas tahun. Wajahnya cantik. Tubuhnya yang ramping
terbalut pakaian kuning.
"Sumini...!"
Kakek tinggi kurus berseru penuh kecemasan seraya
melangkah maju. Namun langkahnya langsung terhenti
karena salah satu dari tiga orang yang berada bersama
Sumini segpra menariknya 1$ belakang, dan dua sosok lagi
melangkah kc depan. Ketiganya menunjukkan sikap
bermusuhan, bahkan siap bertarung.
"Selangkah lagi kau maju, gadis ini akan kehilangan
nyawanya, Jaya Katwang!" ancam lelaki berkepala botak dan
beralis tebal. Dadanya yang terbuka memperlihatkan bulu
tebal dan hitam.
"Siapa kalian? Dan apa maksud kalian dengan semua
ini?"
Kakek tinggi kurus yang bernama Jaya Katwang tidak
berani bergeming dari tempatnya karena menyadari
kesungguhan ancaman itu. Matanya dengan tajam merayapi
tiga lelaki berwajah kasar itu satu persatu, terutama sekali
kepada lelaki berkepala botak dan rekannya yang bertubuh
pendek kekar. Karena kedua orang inilah yang berdiri paling
depan.
"He he he...!" lelaki pendek kekar yang mengenakan
rompi merah tertawa te rkc kc h. "Tindakanmu memang
bijaksana, Jaya Katwang. Kau langsung berbicara pada
pokok persoalan. Maka kami pun tidak mau berpanjang kata
lagi. Cepat, serahkan pusaka peninggalan Raja Ftedang Langit
Bumi, kalau ingin gadis ini selamat!"
Wajah Jaya Katwang langsung berubah hebat.
"Apakah aku tidak salah dengar? Mengapa kalian
meminta padaku? Apa hubungannya aku dengan Raja
Pedang Langit Bumi?"
Brettt!
"Awww...!"
Sumini memekik ketakutan ketika lelaki bermuka
hitam yang menyanderanya, merenggut pakaiannya sehingga
sobek! Dua buah bukit kembar pun mencuat menantang.
Indah dan menggiurkan.
"Kau lihat, Jaya Katwang?!" tanya lelaki berkepala
botak, tenang tapi penuh ancaman. "Kami tidak hanya
bergurau! Apabila tak kau serahkan pusaka-pusaka itu, gadis
ini akan ditelanjangi oleh kawanku dan diperkosanya sampai
mati di depanmu!"
Jaya Katwang tidak langsung memberikan tanggapan.
Ditatapnya Sumini dan tiga lelaki kasar itu sesaat dengan
sorot mata menyiratkan kebingungan yang tidak dapat
dise mbunyikan.
"Hhh.... Baiklah," ujar Jaya Katwang setelah
menghembuskan napas berat. Disadari tidak ada lagi pilihan
lain baginya. "Aku akan memberikan pusaka itu pada kalian.
Tapi, harap bebaskan gadis itu dulu."
"Kau bersumpah tak akan mengingkari janjimu, Jaya
Katwang?" ujar lelaki pendek kekar, tidak percaya
"Aku bersumpah demi arwah leluhurku, dan
majikanku yang mulia, Raja Pedang Langit Bumi!" tandas
Jaya Katwang mantap.
Wajah ketiga lelaki kasar langsung berseri. Mereka
tahu Jaya Katwang tidak akan berani mengingkari janjinya.
Maka tanpa ragu-ragu, lelaki berwajah hitam segera
membebaskan totokannya pada Sumini dan mendorong
tubuh gadis itu.
Jaya Katwang bergegas melangkah maju dan
menangkap tubuh Sumini Namun, gadis berpakaian kuning
itu langsung melepaskan diri. Dan setelah merapikan
pakaiannya sebentar, dipukulkan tinju kanannya ke perut
lelaki berkepala botak yang kebetulan berada paling dekat
dengannya.
Blegkh!
"Heh...?!"
Tangan Sumini mengpnai perut yang lunak seolah-
olah tenaganya amblas ke dalam air. Dan sekali, lelaki
berkepala botak itu mengibaskan tangan secara
sembarangan, tubuh Sumini terhuyung-huyung ke belakang
seperti dihempaskan angin badai!
Untung Jaya Katwang bertindak cepat menancap
tubuh Sumini yang meluncur ke arahnya.
"Ha ha ha...!" lelaki berkepala botak tertawa bergelak
bernada meremehkan. "Itulah akibatnya bagi orang yang
berani menjnrang Kerbau Bertenaga Raksasa! Ha ha ha...! "
Seketika wajah Jaya Katwang berubah. Pernah
didengarnya julukan Kerbau Bertenaga Raksasa. Seorang
tokoh penting golongan hitam yang dulu pernah dikalahkan
Raja Pedang Langit Bumi!
"Hm.... Lelaki berkepala botak ini yang mempunyai
julukan seperti itu," gumam Jaya Katwang dalam hati
Berbeda dengan Jaya Katwang, Sumini tidak pernah
mendengar julukan Kerbau Bertenaga Raksasa, maka dia
tidak merasa kaget sama sekali. Meskipun demikian, dari
serangan yang dilakukan tadi telah menyadarkannya kalau
lelaki berkepala botak itu memiliki kepandaian yang tak bisa
diremehkan. Dirinya jelas bukan apa-apanya jika
dibandingkan tokoh ini. Maka, begitu berhasil ditangkap Jaya
Katwang, dia langsung menyerang lelaki berompi merah.
"Sumini! Lihat baik-baik siapa aku! Engkau takut dan
lemas, berlututlah!" seru lelaki berompi merah ketika gedoran
kedua tangan Sumini hampir mengenai dadanya.
Akibatnya benar-benar seperti yang dikatakan.
Sumini merasakan sekujur tubuhnya lemas. Tanpa dapat
ditahan lagi tubuhnya ambruk, dan berlutut di depan lelaki
berompi merah.
Sebagai seorang yang telah memiliki kepandaian
tinggi, Jaya Katwang tahu kalau lelaki berompi merah itu
pasti seorang yang ahli dalam ilmu sihir. Dia sadar kalau
dalam ucapan itu terkandung kekuatan aneh yang mampu
mempengaruhi orang yang dituju. Maka sebelum kejadian
lebih buruk menimpa Sumini, dia langsung berkelebat dan
berdiri di depan gadis itu, bersiap untuk memberikan
perlindungan.
"Aku telah beijanji untuk memberikan pusaka-pusaka
yang kalian minta. Untuk apa kalian masih mencelakainya.
Jangan kalian lakukan kalau tak ingin aku terpaksa menjilat
ludahku sendiri!" tandas Jaya Katwang, tegas.
"Ha ha ha...!"
Kerbau Bertenaga Raksasa tertawa terbahak-bahak.
"Jangan salah duga, Jaya Katwang! Kami tidak
bermaksud mencelakai gadis ini. Dan kurasa kau pun
mengetahuinya pula. Gadis itu sendiri yang telah menyerang
kami. Kami tidak melakukan apa pun yang membahayakan
nyawanya. Dan tentu saja akan dapat kami cabut dengan
mudah kalau dikehendaki...."
Jaya Katwang tidak bisa berkata apa-apa lagi karena
dia pun tahu kalau Sumini yang melakukan penyerangan
terlebih dahuhi. Sedangkan lelaki berkepala botak dan lelaki
berompi merah yang diduganya sebagai Raja Sihir Berbaju
Merah, hanya membela diri. Karena itu, tanpa banyak cakap
ditariknya Sumini agar bangun.
"Tidak ada gunanya melawan mereka, Sumini," ujar
Jaya Katwang dengan suara perlahan, memberi tahu Sumini.
Sumini tidak memberikan jawaban sama sekali.
Namun dari sikapnya yang hanya diam, jelas kalau gadis itu
pun menyadari kebenaran ucapan Jaya Katwang. Hanya
tarikan wajah dan sorot matanya yang menyiratkan
kebencian. Rasa penasaran dan sakit hati masih bersarang di
hatinya.
"Cepat berikan pusaka-pusaka itu, Jaya Katwang!
Kami sudah tak sabar lagi menunggu. Jangan tunggu sampai
kami kehilangan kesabaran!" tandas lelaki berwajah hitam
yang berjuluk Setan Ular Karang.
Jaya Katwang menghela napas berat seraya menatap
wajah Setan Ular Karang sesaat. "Kalau begitu, mari ikut
aku!"
Dengan sikap waspada dan agak bergegas tiga
pentolan golongan hitam itu mengikuti Jaya Katwang dan
Sumini yang melangkah lebih dulu.
Sesampainya di depan pintu sebuah bangunan
sederhana tempat kediamannya, Jaya Katwang
menghentikan langkah.
"Kalian tunggu sebentar di sini! Karena tempat tinggal
pusaka majikanku tidak boleh dimasuki orang lain kecuali
keturunannya. Dan kalau kalian memaksa, biarlah aku
bertindak bodoh dengan melawan kalian, setelah terlebih
dulu kubunuh dia!" ucap kakek tinggi kurus itu seraya
meletakkan tangan kanannya di ubun-ubun Sumini.
Kerbau Bertenaga Raksasa, Setan Ular Karang, dan
Raja Sihir Berbaju Merah saling pandang sejenak. Lalu,
perlahan Kerbau Bertenaga Raksasa menganggukkan kepala,
menyetujui. Rupanya, lelaki berkepala botak ini secara tidak
langsung telah didaulat rekan-rekannya untuk menjadi juru
bicara.
"Kami tidak keberatan dengan usulmu itu, Jaya
Katwang. Tapi, Sumini tidak boleh kau ajak serta! Ingat,
kalau kau berani bertindak macam-macam gadis ini
menerima akibatnya!" tandas Kerbau Bertenaga Raksasa
mengancam.
Tanpa memberikan tanggapan sedikit pun, Jaya
Katwang melangkah masuk.
"Kau tunggu di sini, Sumini!" ujar Jaya Katwang
sambil menoleh ke arah Sumini.
Sebelum Sumini memberikan jawaban, Setan Ular
Karang telah berdiri di sebelahnya, bersiap untuk mencegah
gadis berpakaian kuning itu melarikan diri. Sumini tidak
berani berkutik. Dia menyadari tiga tokoh gobngan hitam itu
tidak segan-segan melakukan tindakan mengerikan apabila
berani melakukan sesuatu yang mencurigakan mereka.
•k-k-k
"Lepaskan gadis itu dulu, baru pusaka ini akan
kuserahkan," seru Jaya Katwang begitu muncul di ambang
pintu dengan sebuah buntalan kain lusuh berwarna kuning.
Tanpa memberikan bantahan sedikit pun, Setan Ular
Karang langsung mendorong tubuh Sumini. Gadis
berpakaian kuning itu pun menghambur kc arah Jaya
Katwang.
"Terima ini...!"
Sambil berkata demikian, Jaya Katwang melemparkan
buntalan kuning yang dijinjingnya. Lalu tangannya
digunakan untuk memeluk Sumini.
Mereka saling berlomba, Setan Ular Karang, Kerbau
Bertenaga Raksasa, dan Raja Sihir Berbaju Merah
mengururkan tangan untuk menyambuti. Namun, karena
Setan Ular Karang yang berada paling dekat dengan Jaya
Katwang, dialah yang berhasil menangkapnya. Tapi....
"Setan Ular Karang berikan padaku!"
Pada saat yang bersamaan dengan itu, Kerbau
Bertenaga Raksasa mengirimkan serangan berupa sapuan
kaki kanan ke arah sepasang kaki Setan Ular Karang.
Namun rupanya tokoh sesat bermuka hitam itu telah
menduga. Dia segera melompat ke atas, kemudian ujung
kakinya menendang ke arah tenggorokan Kerbau Bertenaga
Raksasa.
"Ukh...!"
Lelaki botak bertelanjang dada itu terpekik kaget.
Kemudian melompat ke belakang untuk menghindarkan
serangan itu.
Setan Ular Karang memang berhasil memaksa Kerbau
Bertenaga Raksasa untuk mundur. Namun saat itu
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Sihir Berbaju Merah
untuk merampas buntalan kain kuning.
Brettt!
"Keparat!"
Setan Ular Karang memaki penuh perasaan geram
melihat buntalan yang berisi pusaka peninggalan Raja
Pedang Langit Bumi berpindah tangan.
Namun, di saat tubuh Raja Sihir Berbaju Merah masih
berada di udara, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih
memapaki. Lelaki berompi merah ini langsung mengetahui
adanya ancaman terhadap buntalan di tangannya. Dan
karena dua rekannya masih belum mungkin melakukan hal
itu, pelakunya pasti Jaya Katwang. Maka dipercepat
cekalannya terhadap buntalan kain itu.
Brettt!
Kain yang telah rapuh itu langsung robek-robek tak
mampu menahan tarikan dua tangan bertenaga dalam tinggi
yang memperebutkannya. Isi yang ada di dalam buntalan itu
pun beijatuhan ke tanah.
Untuk yang kedua kalinya perlombaan
memperebutkan isi buntalan kain kuning itu terjadi. Setan
Ular Karang dan Kerbau Bertenaga Raksasa yang berada
dalam kedudukan lebih menguntungkan, langsung meluruk
ke arah jatuhnya isi buntalan kain kuning.
Kerbau Bertenaga Raksasa langsung melompat kc
depan dan menggulingkan tubuhnya untuk mendekati
pusaka yang diincarnya. Sedangkan Setan Ular Karang
melesat 1$ atas laksana seekor burung garuda, dan dari sana
menukik ke bawah!
"Ikhhh...!"
Kerbau Bertenaga Raksasa yang hampir saja berhasil
mencekal kitab, langsung menarik kembali tangannya sambil
mengeluarkan pekik kengerian. Karena Setan Ular Karang
tahu kalau dirinya akan kalah, langsung melemparkan
senjata andalannya. Seekor ular belang yang besarnya
selengan manusia!
Sehingga tidak ada satu pun yang berhasil mengambil
kitab dan pedang yang tergolek di tanah. Karena masing-
masing pihak tidak berani melakukannya, takut akan
menjadi korban yang penyerang pihak lain. Beberapa saat
keempat tokoh itu saling mengawasi satu sama lain sambil
sesekali memperhatikan pusaka yang tergeletak di tanah.
"Mengapa kau hendak mengambil kembali pusaka
yang telah kau berikan, Jaya Katwang! Apa kau hendak
mengingkari janji yang telah kau ucapkan?!" lantang suara
Kerbau Bertenaga Raksasa tanpa mengalihkan perhatian dari
pusaka dan dua orang rekannya. Dirinya khawatir mereka
akan mendahului mengambil pusaka itu, kalau sampai
lengah sekejap saja.
"Aku telah memenuhi janjiku, menyerahkan pusaka
itu pada kalian. Tapi, karena kulihat kalian
memperebutkannya, kurasa tidak ada salahnya kalau aku
ikut serta dalam perebutan ini!" jawab Jaya Katwang, kalem.
Kerbau Bertenaga Raksasa langsung terdiam karena
menyadari kebenaran ucapan kakek tinggi kurus itu. Sekilas
diliriknya tempat Sumini tadi berada. Ternyata tempat itu
telah kosong. Rupanya ketika dia dan rekannya
memperebutkan pusaka ini, Jaya Katwang yang cerdik telah
menyuruhnya kabur.
Setan Ular Karang dan Raja Sihir Berbaju Merah pun
tampaknya mengetahui siasat Jaya Katwang. Setelah
ketiganya saling pandang sejenak, masing-masing
menganggukkan kepala seperti telah mengambil sebuah
persetujuan.
"Kau cerdik, Jaya Katwang! Rupanya kau bermaksud
mencari kesempatan di dalam kesempitan! Mencoba
memanfaatkan keadaan untuk mengambil keuntungan di
saat kami tengah saling terpecah. Sayang, kami tidak
sebodoh yang kau duga, Jaya Katwang! Hhh.... Ternyata kami
harus menyingkirkan mu lebih dulu, Tua Bangka! Bukankah
demikian, Setan Ular Karang, Raja Sihir Berbaju Merah?!"
"Tidak salah!" sahut Setan Ular Karang dan Raja Sihir
Berbaju Merah hampir berbarengan seraya menganggukkan
kepala.
"Aku sudah siap untuk kemungkinan itu! Majulah
kalian semua!" tantang Jaya Katwang, mantap.
"Ha ha ha...!" Kerbau Bertenaga Raksasa tertawa
terbahak-bahak. "Kami bukan pengecut-pengecut yang hanya
berani melakukan pengeroyokan, Jaya Katwang! Bukankah
demikian, Setan Ular Karang?!"
Setan Ular Karang yang tidak menyangka akan
mendapat pertanyaan seperti itu, buru-buru mengpnggukkan
kepala.
"Nah! Kau lihat sendiri kan, Jaya Katwang? Setan Ular
Karang berani menghadapimu sendirian! Kalau begitu biar
aku dan Raja Sihir Berbaju Merah yang menjadi saksi
pertarungan kalian!" ujar Kerbau Bertenaga Raksasa lagi.
Setan Ular Karang menggertakkan gigi karena geram,
merasa telah tertipu oleh Kerbau Bertenaga Raksasa. Dia
diadu domba dengan Jaya Katwang! Tapi, apa boleh buat?
Tidak mungkin dia mundur sekarang kalau tak ingin dicap
pengecut!
Begitu melihat kesediaan Setan .Ular Karang, Jaya
Katwang segera mencabut pedangnya. Pelayan kepercayaan
tokoh yang terkenal sebagai rajanya ilmu pedang itu merasa
lebih berbesar hati bertarung mempergunakan senjata.
"Hm...! Bedebah...!" gumam Setan Ular Karang dalam
hati.
Setelah menarik napas, perlahan-lahan kedua
tangannya yang terbuka disilangkan di depan wajah, lalu
ditarik ke sisi pinggang. Bunyi berdesis dan menggetarkan,
seperti suara belasan ekor ular yang tengah murka terdengar.
Sesaat kemudian, kedua tangan lelaki berwajah hitam
legam ini mulai dari ujung jari sampai pergelangan tangan
berubah menghitam! Inilah ilmu 'Ular Karang' yang menjadi
andalannya.
Jaya Katwang tahu kalau lawan telah menggunakan
ilmu andalan. Namun tak tampak perasaan gentar di
wajahnya. Kakek tinggi kurus ini lalu menggerakkan
pedangnya. Suara deru angin dari kibasannya terdengar
seiring dengan berubahnya pedang itu menjadi sinar.
Meluncur deras ke depan.
"Heaaa...!"
Tak! Tak! Tak!
"Heh...!"
Bunyi berdetak seperti benturan logam keras
terdengar ketika Setan Ular Karang memapak serangan mata
pedang lawan dengan tangan telanjang. Karuan saja hal ini
membuat Jaya Katwang kaget bukan kepalang. Hatinya
hampir tak percaya, melihat kedua tangan lawan tak
mempan bacokan senjata tajam.
Walaupun demikian, Jaya Katwang tetap melanjutkan
serangan. Sebagai seorang yang telah banyak makan asam
garam, dia tahu kalau bagian lainnya belum tentu akan kebal
juga. Maka segera dialihkan serangannya agar tidak
berbenturan dengan kedua tangan lawan. Pertarungan sengit
pun berlangsung.
Karena kedua belah pihak sama-sama memiliki
gerakan cepat, maka pertarungan itu berlangsung cepat.
Tubuh kedua tokoh berkelebatan 1$ sana kemari. Hanya
bayangan putih dan coklat yang tampak saling belit, dengan
sesekali terpisah. Namun kemudian telah saling gempur
dengan kecepatan tinggi.
Tak terasa pertarungan telah berlangsung empat
puluh jurus. Dan selama itu belum nampak adanya tanda-
tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Keduanya
masih seimbang.
Kerbau Bertenaga Raksasa dan Raja Sihir Berbaju
Merah menyaksikan jalannya pertarungan dengan penuh
minat. Kedua tokoh ini merasa kagum akan kepandaian Jaya
Katwang dan Setan Ular Karang. Keduanya tidak yakin kalau
kepandaian yang dimiliki berada di atas tokoh-tokoh yang
tengah bertarung itu.
"Heaaa...!"
"Hih!"
Pada jurus keenam puluh, Setan Ular Karang tiba-tiba
mengibaskan tangannya. Seleret sinar kehitaman pun
meluncur ke arah lawan, Jaya Katwang tampak tersentak
kaget, tahu kalau sinar-sinar kehitaman itu ternyata ular-
ular hitam yang mempunyai racun ganas. Dengan cepat
pedangnya diputar untuk memapak!
"Heaaa...!"
Cra, erat, erat!
Ular-ular hitam kelam itu terbelah hingga menjadi
beberapa potong ketika pedang Jaya Katwang menebasnya.
Namun, Setan Ular Karang tidak mempedulikannya. Pada
saat yang bersamaan dengan meluncurnya ular-ular itu
kedua telapak tangannya dipukulkan bertubi-tubi ke dada
Jaya Katwang!
Jaya Katwang kembali terkejut bukan kepalang.
Namun sebisa-bisanya laki-laki itu berusaha mengandaskan
serangan lawan dengan pedangnya.
"Hih...!"
Tak, tak, tak!
Bugkh!
"Akh!"
Jaya Katwang menjerit tertahan ketika tangan kiri
Setan Ular Karang menghantam telak dadanya, setelah
beberapa pukulan sebelumnya berhasil ditangkis. Tubuh
kakek tinggi kurus ini pun terjengkang ke belakang
kemudian ambruk di tanah untuk selama-lamanya.
2
"Kakek...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan ketakutan dari
dalam pondok. Sesosok ramping berpakaian kuning
menghambur lalu bersimpuh di dekat tubuh Jaya Katwang
yang tergolek.
Setan Ular Karang, Kerbau Bertenaga Raksasa, dan
Raja Sihir Berbaju Merah tersenyum gembira melihat
kehadiran Sumini. Semula mereka menyangka gadis itu telah
kabur.
Sebenarnya Sumini telah disuruh pergi oleh Jaya
Katwang. Namun dirinya tak sampai hati meninggalkan
kakek yang sangat disayanginya itu, menantang maut
sendirian. Sumini tidak pergi justru mengintip semua
kejadian itu dari dalam! Dapat dibayangkan betapa kagetnya
hati Sumini ketika melihat Jaya Katwang tewas. Sehingga dia
tidak bisa menahan diri dan berlari keluar.
"Anak itu akan menjadi ancaman telak, biar kuhabisi
dia sekalian! Toh, kurasa janji kita telah tidak berlaku lagi
karena Jaya Katwang sendiri telah membatalkannya!" ucap
Setan Ular Karang seraya mengayunkan kaki menghampiri
Sumini yang masih duduk bersimpuh.
"Tunggu, Setan Ular Karang!" cegah Raja Sihir Berbaju
Merah sambil melompat menghadang. "Daripada kau bunuh
percuma, lebih baik aku yang melakukannya!"
"Sesukamulah!"
Setan Ular Karang mengangkat bahu. Lalu kembali ke
tempat semula. Dia tahu, mengapa lelaki berompi merah itu
mau mengambil alih tugas. Apalagi kalau bukan karena
tertarik pada tubuh montok menggiurkan Sumini? Raja Sihir
Berbaju Merah mempunyai sifat mata teranjang. Jadi, sudah
dapat diperkirakan kejadian yang akan menimpa Sumini
sebelum dibunuh.
Sambil tertawa terkekeh, Raja Sihr Berbaju Merah
terus menghampiri Sumini. Sementara, gadis berpakaian
kuning itu telah berhasil menguasai perasaan sedihnya.
Perlahan-lahan tubuhnya berbalik dengan wajah beringas
menatap Raja Sihir Berbaju Merah yang tengah
me n de katinya.
"Lihat siapa aku, Sumini? Aku Jaya Katwang!" ucap
Raja Sihir Berbaju Merah seraya menatap kedua bola mata
Sumini dengan sorot mata mengandung suatu kekuatan
aneh.
Wajah Sumini yang semula bengis dan penuh
kebencian mendadak berubah redup dan memperlihatkan
kesedihan.
"Kakek...!" seru Sumini. Gadis itu langsung
menghambur ke arah Raja Sihir Berbaju Merah yang telah
menjelma menjadi Jaya Katwang. Kedua tangan terkembang
menyambut Sumini.
Raja Sihir Berbaju Merah tersenyum gpmbira
menyambut tubuh Sumini dengan pelukan erat. Dengan
napas memburu Jaya Katwang penjelmaan itu menciumi
dengan buas pipi, leher, dan bibir mungil Sumini.
Karuan saja Sumini kelabakan. Dia meronta tapi sia-
sia. Pelukan kedua tangan Raja Sihir Berbaju Merah terlalu
erat. Sumini semakin keras meronta ketika melihat orang
yang memeluk dan menciuminya secara rakus ini bukan
Jaya Katwang melainkan Raja Sihir Berbaju Merah. Sumini
tiba-tiba tersadar, karena Raja Sihir Berbaju Merah tidak
terus menekankan ilmu sihirnya. Lelaki berompi merah itu
larut dalam amukan nafsu birahinya.
Brettt!
"Aaakh...!"
Pakaian Sumini mulai dari bagian dada sampai pusar
langsung koyak ketika tangan Raja Sihir Berbaju Merah
merenggutnya. Sumini menjerit penuh perasaan ngeri.
Tubuhnya pun semakin kuat meronta-ronta.
Namun tindakan Sumini tidak berarti sama sekali.
Tanpa menemui kesulitan, Raja Sihir Berbaju Merah terus
menjarah tubuh Sumini. Sekarang ciuman-ciumannya mulai
turun ke leher. Ciuman campur gigitan gemas.
Satu tangan Raja Sihir Berbaju Merah memeluk
tubuh Sumini. Sedangkan yang lain digunakan untuk
melucuti pakaian calon korbannya diselingi dengan remasan-
remasan terhadap dua bukit kembar di dada Sumini yang
telah menyembul keluar.
Sumini memekik tertahan. Tubuhnya terjengkang ke
belakang dan jatuh telentang di tanah ketika Raja Sihir
Berbaju Merah mendorongnya. Kesempatan itu dipergunakan
sebaik-baiknya oleh lelaki berompi merah untuk membuka
pakaian lalu menubruk Sumini.
•k-k-k
"Binatang...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara bentakan teras diiringi
angjn kencang menderu dan menghantam tubuh Raja Sihir
Berbaju Merah yang tengah menindih Sumini. Tubuh lelaki
berompi merah itu terpental ke samping dan terguling-guling
di tanah. Namun dengan manis Raja Sihir Berbaju Merah
mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya
terlempar. Dengan cepat dia bangkit berdiri.
"Keparat! Orang gila dari mana yang berani
mengganggu kesenanganku?!" seru Raja Sihir Berbaju Merah
penuh perasaan gram.
"Menyingkirlah, Dik," terdengar suara memerintah
Sumini agar menyingkir.
Dengan raut wajah merah padam dan sorot mata
penuh kebencian terhadap Raja Sihir Berbaju Merah, Sumini
bangkit dan bergegas lari ke dalam rumah. Sekilas matanya
melihat orang yang telah memberikan pertolongan atas
dirinya.
Penolong Sumini ternyata seorang pemuda tampan
berambut putih keperakan hingga ke pinggang. Tubuhnya
yang kekar terbungkus pakaian warna ungu.
"Siapa kau, Anjing Kecil? Cepat katakan! Pantang
bagiku membunuh orang yang tidak kukenal!" seru Raja Sihir
Berbaju Merah dengan nada tinggi.
"Aku Aiya, dan kesenanganku membunuh orang yang
gemar bertindak biadab sepenjmu! Memperkosa wanita tak
berdaya!"
"Sombong! Kaulah yang akan mampus di tanganku,
Pemuda Gila! Heaaa...!"
Raja Sihir Berbaju Merah langsung mengirimkan
tusukan dengan tangan kiri ke arah mata pemuda berambut
keperakan itu.
Pemuda berpakaian ungu yang tak lain Dewa Arak itu
masih bersikap tenang. Padahal dia tahu lawannya memiliki
kepandaian tinggi. Dari serangannya yang menimbulkan
angin menderu keras menandakan terkandung tenaga dalam
kuat Tanpa menggeser kaki, didoyongkan tubuhnya ke kiri
sehingga serangan itu lewat di sebelah kanan wajahnya.
Tangan kanannya bergerak cepat menangkap pergelangan
tangan lawan.
Gerakan Dewa Arak yang sangat cepat membuat Raja
Sihir Berbaju Merah tersentak kaget. Matanya membelalak
dengan kening mengkerut, seakan tak percaya. Kemudian
dengan gerak cepat, tapi terlambat, pergelangan tangannya
telah lebih dulu tercekal oleh Dewa Arak.
Meskipun demikian, lelaki berompi merah tetap tegar.
Tak tampak sedikit pun perasaan gugup.
"Hih...!"
Tangan kanannya dipukulkan ke dada Dewa Arak
yang terbuka.
Deb!
"Heh...?!"
Kali ini Raja Sihir Berbaju Merah tidak kuasa untuk
menahan keluarnya jeritan. Tangannya menempel di dada
lawan dan tak dapat ditarik kembali. Namun Raja Sihir
Berbaju Merah tidak kehilangan akal.
"Aiya, lihat siapa aku? Berani kau melakukan hal
seperti ini pada gurumu?" ucap lelaki berompi merah ini
seraya mengerahkan seluruh kekuatan ilmu sihir yang
dimilikinya. Dia menyadari kalau lawan kali ini tidak akan
dapat dipengaruhi segampang Sumini.
"Hah...?!"
Dewa Arak tersentak kaget ketika melihat yang dicekal
ternyata lengan gurunya. Bagai disengat ular berbisa,
pemuda beramput putih keperakan itu segera melepaskan
cekalan dan kekuatan menyedotnya, lalu melompat ke
belakang. Kesempatan itu pun segera dipergunakan Raja
Sihir Berbaju Merah untuk melompat ke belakang pula.
Sekarang Aiya baru melihat kalau yang berdiri di
belakangnya bukan Ki Gering Langit, gurunya, melainkan
Raja Sihir Berbaju Merah. Sebagai seorang pendekar yang
telah kenyang pengalaman, dia segera sadar kalau lawannya
menggunakan ilmu sihir. Maka dia berusaha untuk tidak
menatap mata lawannya.
Sementara itu, Kerbau Bertenaga Raksasa dan Setan
Ular Karang yang telah memperhatikan jalannya pertarungan
segera tahu kalau pemuda berambut putih keperakan itu
merupakan lawan yang amat tangguh.
Mendadak Setan Ular Karang melesat ke arah kitab
milik Raja Pedang Langit Bumi yang masih tergeletak di
tanah, dan menyambarnya. Kemudian membawanya kabur.
Kerbau Bertenaga Raksasa tentu saja tidak mau membiarkan
hal itu.
"Setan licik! Jangan harap niatmu yang busuk itu
akan berhasil!" seru lelaki berkepala botak itu seraya melesat
mengejar.
Tindakan yang sama dilakukan Raja Sihir Berbaju
Merah. Namun, hanya dengan sekali menggerakkan tubuh,
Dewa Arak telah berdiri menghadangnya.
"Jangan harap aku akan membiarkan orang
sepertimu hidup lebih lama di dunia!" ujar Dewa Arak penuh
tekanan.
Raja Sihir Berbaju Merah menggeram karena tahu tak
akan dapat meloloskan diri dari Dewa Arak. Dia memutuskan
untuk melakukan perlawanan mati-matian. Namun,
mendadak mulutnya menyeringai seperti merasa kesakitan.
Lalu, kedua tangannya saling menggaruk. Yang kanan
menggaruk telapak tangan kiri dan sebaliknya.
Karuan saja Dewa Arak merasa heran melihat
tindakan Raja Sihir Berbaju Merah. Dia merasa curiga kalau
hal ini hanya merupakan siasat lawan, maka
kewaspadaannya tetap tak ditinggalkan. Namun,
kecurigaannya semakin memupus ketika melihat garukan
Raja Sihir Berbaju Merah tidak hanya pada bagian itu, tapi
juga mengarah pada mulutnya.
"Ah...!"
Tanpa sadar Aiya mengeluarkan jeritan bernada kaget
ketika melihat kedua telapak tangan dan mulut Raja Sihir
Berbaju Merah mulai menghitam. Gosong! Seakan-akan
terbakar sesuatu. Dan sekarang, lelaki berompi merah itu
mulai mengerang-erang sambil terus menggaruk tubuhnya
yang lain.
Tindakan Raja Sihir Berbaju Merah tak berlangsung
lama. Sesaat kemudian tubuhnya ambruk ke tanah.
Nyawanya melayang seketika.
Setelah menunggu beberapa saat tubuh Raja Sihir
Berbaju Merah tidak bergerak lagi, Dewa Arak
menghampirinya. Memeriksanya dari jarak dua tombak.
Hanya sekilas hal itu dilakukannya. Dewa Arak segera bisa
mengetahui kalau Raja Sihir Berbaju Merah tewas karena
racun yang amat ganas.
Tapi, siapa yang telah melakukan hal keji ini?
"Hhh...!"
Dewa Arak menghembuskan napas berat. Lalu
diarahkan pandangannya ke pondok di belakangnya, tempat
Sumini tadi masuk. Ditunggunya beberapa saat agar gadis
berpakaian kuning itu keluar. Namun tidak nampak adanya
tanda-tanda kalau Sumini akan keluar.
"Sumini...!" panggil Dewa Arak pelan seraya
mengawasi pintu pondok.
Tidak ada tanggapan sama sekali. Jangankan muncul,
sahutan pun tidak. Perasaan tidak enak pun menyeruak di
hati Aiya. Khawatir kalau-kalau di saat dia tengah terlibat
pertarungan, ada orang yang memanfaatkan kesempatan
untuk menoelakai gadis itu. Padahal, dia telah beijanji pada
Raja Pedang Langit Bumi untuk menjaga Sumini hingga gadis
itu kembali seperti sedia kala.
Setelah menunggu beberapa saat Sumini tidak juga
muncul, Dewa Arak tidak sabar. Dengan sekujur urat-urat
syaraf menegang waspada, dilangkahkan kakinya menuju
pondok.
kkk
"Sumini...!"
Untuk yang kedua kalinya, Aiya memanggil putri Raja
Pedang Langit Bumi itu. Kali ini dengan perasaan cemas
karena ruang tengah dan kamar-kamar yang diperiksanya
kosong. Tidak terlihat adanya tanda-tanda keberadaan
Sumini.
"Sumini...! Aku Aiya! Disuruh ayahmu untuk
menyampaikan hal penting. Keluarlah dan jangan
bersembunyi!" seru Aiya lagi dengan suara lebih keras,
sambil menyinggung-nyinggung nama Raja Pedang Langit
Bumi. Karena ada sekelumit dugaan menyelinap di hati Aiya
kalau Sumini takut menjumpainya dengan alasan dirinya
termasuk orang yang bermaksud jahat.
Setelah mencari akal lagi dan tidak juga menjumpai
Sumini, Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu.
Pantang baginya meremehkan amanat yang diberikan orang.
Apalagi orang yang memberikan amanat itu telah meninggal
dunia!
Dugaan Aiya tidak keliru. Sumini memang
menghindarinya. Sumini mengira kalau Aiya sama dengan
tiga tokoh golongan hitam yang hendak merampas pusaka.
Namun banyak alasan yang membuatnya menghindari
pemuda berambut putih keperakan itu. Rasa malu karena
Aiya telah melihatnya dalam keadaan tanpa pakaian adalah
penyebab utamanya. Sedangkan hal lainnya, keinginannya
untuk menjumpai sang Ayah dan menceritakan nasib yang
menimpa Jaya Katwang.
Sumini kabur melalui pintu belakang karena khawatir
bentrokan dengan Dewa Arak. Mula-mula dia mengendap-
endap. Ketika telah melewati jalan setapak yang di kanan
kirinya tumbuh pepohonan dan semak-semak cukup lebat,
Sumini mulai mempergunakan ilmu lari cepatnya. Namun
beberapa kali, larinya harus diperlambat karena keadaan
jalan yang licin dan harus menembus kelebatan pepohonan.
Memang, tempat tinggal Raja Ftedang Langit Bumi dekat
dengan hutan.
Sumini berlari dengan sepenuh tenaga karena
keinginan untuk cepat-cepat menjauhkan diri dari Dewa Arak
untuk segera bertemu dengan ayahnya. Namun, mendadak
larinya dihentikan, sepasang matanya menatap tajam kc
depan.
Tampak oleh Sumini, dari jarak sekitar tiga puluh
tombak belasan orang mengpnakan pakaian seragam prajurit.
Sumini memperhatikan lebih teliti untuk mencari ketegasan
kalau rombongan prajurit itu berasal dari Kerajaan Samodra.
Seragam yang mereka kenakan diketahuinya betul.
Sebuah keberuntungan bagi Sumini karena dia
berada di tempat yang tinggi, sedangkan belasan orang
prajurit itu berada di dataran rendah. Tempat putri Raja
Pedang Langit Bumi berada merupakan sebuah hamparan
tanah bemmput. Pada beberapa bagian terdapat pepohonan
dan semak-semak lebat. Sehingga memungkinkan baginya
bersembunyi untuk mengawasi mereka.
Wajah Sumini berubah ketika melihat arah yang
ditempuh rombongan prajurit itu adalah tempat yang
ditinggalkannya. Jadi dia dan rombongan prajurit itu akan
berpapasan di tengah jalan, Sumini tidak menghendaki hal
itu terjadi karena dia tahu prajurit-prajurit Kerajaan Samodra
itu akan menangkap apabila melihatnya. Hatinya yakin
kehadiran rombongan prajurit itu karena hendak menangkap
ayahnya dan dia. Memang, keluarganya telah menjadi
buronan sejak sang Ayah memutuskan untuk memihak
kaum Brahmana!
Itulah sebabnya, Sumini bergegas melesat ke salah
satu kerimbunan semak yang ada di sebelah kirinya, dan
bersembunyi di sana. Dia tahu kalau rombongan prajurit itu
bukan orang-orang rendahan. Hiasan-hiasan pada bagian
leher dan seragam yang dikenakan, menunjukkan kalau
rombongan itu terdiri dari orang-orang pilihan. Terutama
sekali dua orang yang berada paling depan.
Sumini tidak berani bertindak gegabah.
Diusahakannya untuk tidak menimbulkan bunyi yang dapat
menimbulkan kecurigaan. Bahkan bernapas pun dia berhati-
hati sekali, khawatir terdengar rombongan prajurit Kerajaan
Samodra yang semakin dekat jaraknya.
"Tak lama lagi selesailah tugas kita. Hanya tinggal
menangkap hidup atau mati putri Raja Ftedang Langit Bumi,"
ucap salah soerang dari rombongan prajurit yang beijalan
paling depan. Dia bertubuh kecil kurus, tapi memiliki
sepasang mata tajam, berkilat
"Benar," sahut sosok yang beijalan di sebelahnya,
bertubuh tegap dan berkulit kemerahan. "Sayang, mayatnya
tidak dapat kita bawa ke istana sebagai bukti kepada Gusti
Prabu Pancanala. Pemuda berambut putih keperakan itu
terlalu eepat untuk dapat kita kejar. Aku jadi penasaran
padanya."
"Hukh!"
Sumini merasakan dadanya sesak bukan kepalang
seakan-akan telah habis diseruduk seekor kerbau liar.
Percakapan kedua orang yang ada dalam rombongan
Kerajaan Samodralah yang menjadi penyebabnya.
Percakapan kedua orang itu memang sampai ke telinganya,
karena tepat berada di dekatnya.
Keterkejutan akibat mendengar berita ini membuat
Sumini tanpa sadar menginjak dedaunan kering. Pelan saja
bunyinya, tapi cukup keras bagi dua orang yang menjadi
pemimpin rombongan Kerajaan Samodra itu.
"Maling hina, tunjukkan dirimu!" Sambil berkata
demikian, lelaki kecil kurus mengibaskan tangan kanannya.
Seketika beberapa bilah benda berkilat meluncur ke arah
semak-semak tempat persembunyian Sumini
S rak! S rak! S rak!
Tiga bilah pisau berkilat yang dilemparkan lelaki kecil
kurus itu amblas ke dalam semak-semak. Namun tidak
terdengar jeritan apa pun karena Sumini telah lebih dulu
melompat keluar dari situ.
"Ha ha ha...!" lelaki kecil kurus itu tertawa terbahak-
bahak ketika melihat sosok yang sekarang telah berada di
hadapannya. "Sungguh tak kusangka kalau kami akan
menemukanmu di sini. Tak perlu bersusah payah 1$
rumahmu.... Menyerahlah, Pemberontak Hina sebelum kami
terpaksa menggunakan kekerasan!"
"Jangan mimpi, Anjing Penjilat! Kaulah yang harus
melepaskan kepalamu sekarang!"
Sumini melompat meneijang seraya menusukkan
pedangnya ke arah ulu hati lelaki kecil kurus. Lelaki kecil
kurus itu menangkisnya dengan pisau putih berkilat yang
sejak tadi memang telah dipegangnya.
Trang!
Bunyi berdentang teras terdengar ketika pedang dan
pisau berbenturan menimbulkan percikan bunga api. Tubuh
Sumini terjengkang ke belakang. Senjatanya terlepas dari
pegangan karena sekujur tangannya dirasakan bagaikan
lumpuh seketika.
Kesempatan itu dipergunakan oleh seorang prajurit
untuk meringkus Sumini. Rupanya dia tak ingin menyia-
nyiakan tubuh Sumini yang ramping dan menggiurkan. Maka
prajurit yang mata teranjang itu meluruk dan memeluk
tubuh Sumini erat-erat. Namun....
"Wuaaa...!"
Prajurit itu menjerit keras dan menyayat ketika kedua
lengannya melingkari tubuh Sumini yang ramping. Tubuh
montok itu langsung dilepaskannya. Dan wajahnya yang tadi
menciumi sekujur wajah Sumini dengan buas tampak
menghitam seperti terbakar.
Sambil mengerang-erang kesakitan prajurit itu
menggunakan kedua tangan untuk menggaruki wajahnya
yang gosong. Karena di samping hangus, rasa gatal yang
hebat menggerayangi sekujur wajahnya. Akibat yang lebih
mengerikan pun teijadi, kedua tangannya yang dipakai
menggaruk, berubah hitam! Sesaat kemudian, tubuhnya
ambruk dalam keadaan tanpa nyawa.
Kejadian ini membuat rombongan prajurit kerajaan
terkejut bukan kepalang. Mereka terlongong bengong seperti
melihat hantu, dengan sorot mata memanearkan kengerian.
"Menyingkir semua...! Biar aku yang membunuh iblis
keji ini...!"
Saat itulah terdengar bunyi meledak-ledak keras,
disusul dengan meluncurnya sinar kemerahan ke arah ubuh-
ubun Sumini. Padahal saat itu putri Raja Pedang Langit Bumi
ini tengah merasa heran melihat kejadian yang menimpa
prajurit mata keranjang itu.
Ctarrr!
Sinar kemerahan yang ternyata sebuah cambuk,
langsung meledak di udara. Tidak pada sasaran yang dituju.
Ketika ujung cambuk hampir mengenai ubun-ubun Sumini,
tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan ungu. Dengan
kecepatan luar biasa hingga tak tertangkap pandangan mata
biasa, sosok itu menyambar titbuh Sumini.
"Keparat!"
Lelaki bermuka kemerahan menggeram murka
mengetahui ada orang yang menyelamatkan calon korbannya.
Dengan geram pandangannya dialihkan ke arah sosok ungu
itu melesat. Dan baik dia maupun rombongan langsung
melihatnya. Orang yang baru saja mereka percakapkan,
Dewa Arak.
"Menyingkirfah, Sumini! Biar aku yang
menghadapinya," ucap A iya seraya menurunkan tubuh gadis
berpakaian kuning itu.
Lalu tanpa mempedulikan Sumini, Dewa Arak segera
menghadapi rombongan prajurit Kerajaan Samodra yang
telah mengurungnya dengan senjata di tangan.
"Siapa kau, Anak Muda? Apakah kau salah satu dari
para pemberontak itu?! Jangan harap dapat lolos dari tangan
kami!" ancam lelaki berkulit kemerahan.
"Menyingkirlah dari sini! Dan serahkan mayat Raja
Pedang Langit Bumi, baru keselamatanmu akan kami
pertimbangkan," tambah lelaki kecil kurus seraya menimang-
nimang dua bilah pisau di tangannya.
"Manusia-manusia berhati binatang!" ucap Aiya
dengan suara berat kaiena amarah yang bergolak,
menyaksikan ketelengasan sikap lelaki berkulit kemerahan
itu. Sekejap saja tadi dia terlambat, nyawa Sumini pasti
melayang. Kekejaman tindakan orang-orang Kerajaan
Samodra ini membuat Dewa Arak memutuskan untuk
menentang. "Jangan harap aku akan memenuhi permintaan
gila kalian! Lebih baik menyingkirlah, sebelum aku terpaksa
mengusir kalian dari sini dengan kekerasan!"
"Pemberontak Hina, mampuslah kau!"
Ctar, etar, etar...!
Cambuk merah panjang di tangan lelaki berkulit
kemerahan melecut, seperti halilintar menyambar-nyambar
ke arah kepala Dewa Arak.
"Hea!"
Trap!
Unjung cambuk itu tersambar di tangan Dewa Arak
yang memapaknya. Dengan cepat dicengkeramnya ujung
cambuk, lalu ditarik. Tentu saja lelaki berkulit kemerahan itu
tidak membiarkan senjata andalannya itu dirampas oleh
lawan yang telah membetotnya. Keduanya saling bersitegang.
Cambuk yang terbuat dari bahan ulet dan dapat mulur itu
meregang, dan tiba-tiba Aiya melepaskannya.
Sing!
"Heh...?!"
Bunyi berdesing nyaring terdengar ketika ujung
cambuk itu menyambar ke arah muka pemiliknya sendiri.
Lelaki berkulit kemerahan terkejut bukan kepalang. Dengan
cepat dia merendahkan tubuh sehingga lesatan ujung
cambuk itu lewat di atas kepalanya.
"Serang...!"
"Bunuh dia...!"
Sebelum Dewa Arak melancarkan serangan susulan,
lelaki kecil kurus dan anak buahnya langsung melancarkan
serangan. Sehingga pemuda berambut putih keperakan itu
mengalihkan perhatiannya. Karena dihujani berbagai macam
senjata yang memburu tubuhnya.
Melihat keadaan yang sangat berbahaya, Dewa Arak
langsung mempertunjukkan kemampuannya. Semua
serangan yang mengancam, dipapaknya dengan tangan
telanjang. Bunyi berdetak nyaring mengiringi berbenturannya
tangan dan kaki Dewa Arak dengan senjata-senjata
pengeroyoknya.
Setiap kali tangan atau kakinya menangkis, selalu
membuat penyerangnya sendiri yang terpental ke belakang.
Namun, kekerasan hati para prajurit Kerajaan Samodra itu
memang patut diacungi jempol. Setiap kali mereka terlempar,
setiap kali pula kembali menerjang, meskipun untuk itu
tubuhnya kembali terlempar.
Karena tahu kalau di antara rombongan itu hanya
lelaki kecil kurus dan lelaki berkulit kemerahan yang
memiliki tingkat kepandaian paling tinggi, Dewa Arak terus
mencecar dengan melancarkan serangan yang lebih keras
pada keduanya.
Meskipun demikian, pemuda berambut putih
keperakan itu tidak mau menjatuhkan tangan kejam pada
lawan-lawannya. Disadari kalau mereka hanya orang-orang
yang melakukan perintah pimpinan. Lagi pula tidak terbukti
kalau mereka melakukan tindakan kejam, kecuali lelaki
berkulit kemerahan. Itulah sebabnya, Dewa Arak selalu
menjaga agar tangkisan atau serangannya tidak terlalu keras
untuk mereka.
Pertarungan berlangsung kurang menarik karena
keadaan para prajurit Kerajaan Samodra itu bagaikan
sekebmpok semut yang menerjang api. Mereka roboh
sebelum sempat mencapai sasaran. Tak sampai tiga puluh
jurus, tubuh-tubuh mereka telah bergelimpangan di tanah,
tak mampu bangkit lagi hanya bisa mengeluarkan keluhan
kesakitan.
"Aku tak punya urusan dengan kalian. Maka
menyingkirlah dari sini!" ucap Dewa Arak penuh perasaan
wibawa, seraya menatap sosok-sosok yang bergelimpangan di
sekelilingnya.
Lelaki kecil dan lelaki berkulit kemerahan tahu kalau
Dewa Arak terlalu kuat untuk dilawan. Maka setelah berhasil
bangkit, meskipun dengan agak payah, segera memberi
isyarat agar mundur pada rombongannya. Dihampirinya
lelaki berkulit kemerahan itu, lalu dipapahnya untuk
meninggalkan tempat Lelaki itulah yang menderita luka
paling parah.
Aiya hanya menatap rombongan prajurit Kerajaan
Samodra yang melangkah terseok-seok meninggalkannya.
Dan ketika pandangannya dialihkan, tampak Sumini tengah
menatapnya. Kemudian diayunkan langkahnya mendekati
gadis itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap
Sumini seraya menundukkan kepala. Dia masih malu
mengingat Aiya telah menjumpainya dalam keadaan tanpa
berpakaian.
"Lupakanlah, Sumini!" ujar Aiya perlahan, tidak
merasa heran mengptahui Sumini telah mengenalnya. Dia
menduga gadis itu telah mendengar percakapannya dengan
Kerbau Bertenaga Raksasa dan rekan-rekannya.
"Dewa Arak...," ucap Sumini tersendat-sendat dengan
sepasang mata merembang berkaca-kaca. "Aku ingin
mengajukan pertanyaan padamu. Boleh?"
"Silakan, Sumini," jawab Aiya agak terharu. Dia bisa
memperkirakan pertanyaan Sumini melihat sikapnya yang
sedih.
"Be..., benarkah ayahku telah tewas...?" tanya Sumini
lagi dengan suara yang semakin terbata-bata. Bahkan
sepasang bibirnya pun tampak bergetar.
"Hhh...!"
Setelah terlebih dulu menghembuskan napas berat,
Dewa Arak menganggukkan kepalanya secara perlahan-
lahan. Dia tahu tidak ada gunanya menyimpan rahasia itu.
Lebih cepat Sumini mengetahui nasib ayahnya, lebih baik.
"Ayaaah...!" desah Sumini seraya mendekapkan kedua
tangan di dengan wajahnya yang tertunduk. Ada air bening
mengalir keluar dari celah-celah jarinya.
Aiya membiarkan saja gadis itu menangis. Bahkan dia
memberinya kesempatan dengan membalikkan tubuhnya
membelakangi agar gadis itu tidak malu. Namun sempat
dilihatnya tubuh Sumini terguncang-guncang karena tangis
yang ditahan.
Setelah beberapa saat lamanya tidak terdengar bunyi
tangisan, Aiya membalikkan tubuh. Dilihatnya Sumini masih
seperti semula, tubuhnya terguncang-guncang dan air mata
bercucuran dari celah-celah jari kedua tangan. Rupanya
gadis itu berusaha keras untuk menahan agar tangisnya
tidak keluar.
Aiya melangkah menghampiri. Pelan-pelan karena
khawatir mengejutkan Sumini.
"Jangan kau tahan tangismu, Sumini! Keluarkanlah!
Karena dengan menangis tekanan batin yang menghimpitmu
akan berkurang. Tak usah kau menahannya," ucap Aiya
lembut.
Ucapan Aiya bagaikan minyak menyambar api.
Seketika tangis Sumini langsung meledak. Memang, saat itu
Sumini membutuhkan orang yang dapat dijadikannya tempat
mencurahkan perasaan sedih dan mengasihi kemalangannya.
Setelah beberapa saat lamanya Dewa Arak menunggu,
akhirnya tangis Sumini mulai mereda.
"Maafkan aku, Dewa Arak. Aku telah merepotkan
dirimu...," ucap Sumini serak karena cukup lama menangis.
"Tidak usah kau pikirkan itu, Sumini Aku merasa
gembira dapat menolongmu karena dapat memenuhi amanat
yang diberikan ayahmu sebelum meninggal. Beliau
memintaku membawamu kepada Empu Pradaga. Beliau
berdiam di salah satu goa di sebelah selatan Gunung
Anjasmoro ini.
3
Sumini tidak langsung memberikan tanggapan.
Ditatapnya wajah Dewa Arak yang tengah menatapnya
karena menunggu jawaban dari mulutnya.
"Terima kasih atas jerih payahmu, Dewa Arak. Tapi....
Sebelum aku pergi dan ikut denganmu ke tempat ringgal
Empu Pradaga, aku ingin mendengar secara jelas bagaimana
kematian ayahku. Beliau memiliki kepandaian amat tinggi,
Dewa Arak. Dan, belum pernah terkalahkan. Aku tidak
percaya ada orang yang mampu membunuhnya!"
Dewa Arak menatap wajah Sumini lekat-lekat
Sikapnya terlihat sungguh-sungguh.
"Kuakui. Aku percaya kepandaian ayahmu amat
tinggi, dan jarang ada yang dapat menandinginya. Tapi, asal
kau tahu saja, banyak tokoh dari persilatan yang memiliki
kepandaian tinggi. Dan mungkin ayahmu harus menghadapi
tokoh yang lebih tinggi ilmu dan kedigdayaannya. Sehingga
ayahmu menemui ajalnya...."
"Jadi.... Kau tidak tahu orang yang telah membunuh
ayahku, Dewa Arak?" tanya Sumini, tanpa menyembunyikan
rasa kecewanya. Semula disangkanya Dewa Arak tahu
pembunuh ayahnya. "Sayang sekali, begitu kutemukan
ayahmu tengah sekarat. Dan dia hanya menyebut namamu.
Tak jauh dari tempat kejadian kutemukan segulung surat
yang berisikan pesan agar.... Maaf, Sumini aku telah lancang
membukanya. Untuk jelasnya silakan kau baca saja surat
ini!" ujar Aiya seraya menyerahkan gulungan daun lontar
pada Sumini.
Tanpa bicara apa pun, Sumini menerima surat itu dan
membacanya.
Sumini, Anakku....
Apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap
diriku, kuharap kau pergi dan meminta perlindungan pada
Empu Pradaga di sebelah selatan Gunung Anjasmoro ini.
Ayahmu,
Raja Pedang Langit Bumi.
"Ayah...!" seru Sumini dengan suara serak karena rasa
sedih yang menyeruak 1$ dalam hatinya. Gadis itu tak tahan
mengenangkan sang Ayah yang telah pergi untuk selamanya.
Dewa Arak membiarkan Sumini tenggelam dalam alun
kesedihannya beberapa saat.
"Sekarang kau mengerti mengapa aku harus
membawamu kepada Empu Pradaga, Sumini? Dan, o ya...,
ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu. Apakah kau
tahu kalau dalam tubuhmu tersembunyi racun ganas yang
membahayakan orang lain, tapi anehnya tidak berpengaruh
sedikit pun pada dirimu?!"
"Jadi.... Itulah sebabnya prajurit kerajaan itu tewas
setelah memeluk diriku?" sahut Sumini masih serak
suaranya. "Aku..., aku sama sekali tidak mengetahui hal itu,
Aiya."
"Bukan hanya prajurit itu, Sumini. Tapi juga Raja
Sihir Berbaju Merah. Hanya saja karena tenaga dalam Raja
Sihir Berbaju Merah lebih kuat, dia mampu bertahan lebih
lama," jelas Aiya, panjang lebar. "Kalau saja aku tidak
melihat sendiri nasib prajurit yang tewas secara mengerikan
tadi, mungkin teka-teki kematian Raja Sihir Berbaju Merah,
tidak akan terjawab olehku. Ada apa..., Sumini?"
"Ah..., eh... tidak ada apa-apa, Dewa Arak," jawab
Sumini agak gugup, seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Dewa Arak diam, tidak ingin mendesak lagi setelah
mendengar jawaban itu. Tadi dia menanyakan hal itu karena
dilihatnya Sumini tengah termenung. Seperti ada sesuatu
yang dipikirkannya. Namun, tentu saja meskipun yakin ada
yang disembunyikan, Arya tidak mengajukan
ketidakpercayaannya atas jawaban yang diberikan Sumini.
"Kau tahu, mengapa racun ganas itu bisa berada di
dalam dirimu tanpa mencelakaimu, Sumini?"
"Tidak, Dewa Arak," jawab Sumini.
Lagi-lagi jawaban yang diberikan Sumini membuat
kecurigaan Dewa Arak semakin besar. Sebab dia tahu,
meskipun tidak mengatakannya, Sumini tidak memusatkan
perhatian pada percakapan mereka. Ada sesuatu yang tengah
mengganggu pikiran gadis itu. Namun yang jelas masalah
ayahnya.
"Tapi, kurasa ayahmu tahu, Sumini," lanjut Aiya
dengan sikap seolah-olah tidak tahu kalau Sumini tidak
memperhatikan percakapan yang tengah berlangsung. "Itulah
sebabnya dia bermaksud membawa pada Empu Pradaga. Aku
yakin, kakek itu yang diandalkan ayahmu untuk mengobati
penyakitmu yang aneh ini. Hhh...! Kalau tak melihatnya
sendiri aku tidak percaya ada racun yang bersarang di tubuh
orang dan mampu melukai orang lain. Tanpa melukai tubuh
orang tempatnya bersarang. Seakan-akan kau ini ular atau
binatang berbisa lainnya."
Usai berkata demikian, Dewa Arak menolehkan kepala
ke belakang karena mendadak mendengar adanya bunyi
mencurigakan. Pendengarannya ternyata tidak salah. Dalam
jarak sekitar lima tombak di belakangnya, berdiri dengan
bersandar pada sebatang pohon, seorang nenek berpakaian
serba hitam. Tubuhnya terbalut pakaian hitam, mengenakan
topi berbentuk kerucut dan sebatang payung terkepit di
ketiak kanannya.
"Hik hik hik...!" nenek berpakaian hitam itu tertawa
mengikik. "Tak kusangka di tempat seperti ini akan
menemukan seorang hidung belang yang tengah merayu
korbannya!"
Wajah Dewa Arak kontan berubah. Meskipun nenek
itu tidak menunjukkan ucapannya, tapi bisa diketahuinya
kalau dirinyalah yang dimaksud.
"Mulutmu ternyata tajam sekali, Nek. Tidak
sepantasnya ucapan seperti itu keluar dari mulut orang setua
dirimu!" sahut Dewa Arak berusaha sekuat tenaga untuk
menahan amarah, agar ucapannya tidak menandakan
kemarahan.
"Kau masih mau menyangkal, Hidung Belang?!
Rupanya kau ingin dihajar dulu baru mengaku?! Baiklah
kalau itu yang kau mau!"
Belum lagi lenyap ucapannya, nenek berpakaian
hitam itu telah menubruk Dewa Arak dengan sebuah
tusukan payung ke arah perut. Namun, dengan melompat 1$
belakang, Dewa Arak telah beihasil membuat serangan itu
mengenai tempat kosong. Kemudian, dengan cepat
mengirimkan tendangan kaki kanan kc leher perempuan tua
itu.
Dewa Arak mengeluarkan pekikan tertahan. Kakinya
membalik ketika nenek berpakaian hitam itu membuka
payung untuk menangkal serangan lawan. Ketika tubuh
pemuda berambut putih keperakan agak terhuyung, nenek
itu kembali melancarkan serangan dengan sebuah tusukan
ke ulu hati, pusar, dan dada secara bertubi-tubi.
Meskipun berada dalam keadaan kurang
menguntungkan, Dewa Arak masih berhasil mengelakkan
serangan itu. Bahkan cepat mengirimkan serangan balasan
yang tidak kalah dahsyat. Beberapa saat kemudian kedua
belah pihak telah terlibat dalam pertarungan sengit.
Pada jurus-jurus awal Dewa Arak mengalami sedikit
kesukaran menghadapi nenek berpakaian hitam itu. Senjata
payung itulah yang membuatnya kelabakan, karena dengan
cepat menguncup dan membuka seiring dengan serangan
yang dilancarkan Dewa Arak. Dengan jurus seperti itu seakan
memiliki pasangan senjata pedang dan perisai.
Ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh,
mulai terlihat adanya perimbangan kekuatan. Kedua belah
pihak mampu melancarkan serangan jumlah serangan yang
sama. Saling serang dan menangkis. Padahal Dewa Arak
belum mengeluarkan ilmu andalannya. Baik nenek
bersenjata payung maupun Dewa Arak tampak berusaha
saling mendesak pertahanan lawan. Hingga pada jurus
kelima puluh, pertarungan belum berubah. Imbang. Belum
tampak adanya tanda-tanda siapa yang bakal menang.
Mendadak nenek berpakaian hitam melancarkan
tusukan beruntun dengan ujung payungnya. Sehingga
memaksa Dewa Arak melompat menjauh. Namun, nenek
berpakaian hitam itu tidak melancarkan serangan lanjutan.
Dia melompat jauh ke belakang dan melesat meninggalkan
Dewa Arak. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya
sudah lenyap dari pandangan mata.
Dewa Arak yang memang tidak berniat mencari
permusuhan tidak menghalangi, kepergian nenek itu. Setelah
yakin musuhnya tidak kembali lagi untuk melancarkan
serangan, ditolehkan kepalanya untuk membagi perhatian
pada Sumini,
"Heh...?!"
Namun, betapa terkejutnya Dewa Arak ketika
mendapati Sumini tidak berada di tempat. Rasa penasaran
membuat pemuda berambut putih 1$ perakan itu
mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Namun tetap saja
tidak menemukan adanya gadis berpakaian kuning itu.
"Sumini...!" seru Dewa Arak seraya melangkahkan
kakinya secara serampangan, karena tidak tahu ke mana
Sumini lenyap. Lagi pula dia tidak tahu apakah Sumini pergi
sendiri atau diculik orang lain.
Sambil terus berseru, tanpa tujuan yang jelas Dewa
Arak mencari-cari Sumini. Dia merasa bertanggung jawab
atas nasib gadis itu, meskipun Raja Pedang Langit Bumi
tidak memesannya secara langsung. Namun, demi
ketenteraman roh Raja Pedang Langit Bumi, dirinya berniat
menyelamatkan Sumini sampai berada di tangan Empu
Pradaga.
•k-k-k
Sementara itu Sumini telah berada jauh dari tempat
Dewa Arak. Gadis itu melarikan diri ketika Dewa Arak tengah
terlibat pertarungan dengan nenek berpakaian hitam. Dia
menunggu sampai pemuda berpakaian ungu itu benar-benar
lengah. Dengan mengendap-endap dia meninggalkan tempat
itu. Ketika telah beijarak cukup jauh baru berlari dengan
mempergunakan ilmu lari cepatnya.
Ehtah berapa lama berlari, Sumini tidak
mengetahuinya. Namun yang jelas, larinya terhenti ketika
mendengar bunyi tawa mengikik yang dikenalnya, karena
tawa itu baru saja didengar. Tawa nenek berpakaian hitam.
Sumini bermaksud menolehkan kepala 1$ belakang,
arah asal suara itu. Namun, maksudnya diurungkan karena
melihat kelebatan bayangan hitam melesat dari belakang,
melewatinya. Dan ketika diarahkan pandangannya kc depan,
tepat di hadapannya telah berdiri nenek berpakaian hitam
yang tadi bertarung dengan Dewa Arak.
"Syukurlah kau dapat bertindak cepat, Sumini," ucap
nenek berpakaian hitam dengan nada suara seperti orang
yang telah lama mengenal gadis berpakaian kuning itu.
"Bukankah ini semua sesuai dengan siasatmu pula,
Nek?!" Sumini balas memuji. "O ya, bagaimana dengan Dewa
Arak? Apakah kau berhasil merobohkannya?"
"Hikhikhik...!"
Nenek berpakaian hitam tertawa mengikik dan
tersenyum menggoda karena merasakan adanya nada
kekhawatiran dalam ucapan Sumini.
"Kau tidak usah khawatir, Cucuku. Dewa Arak tidak
apa-apa. Dia lihai sekali. Lagi pula, andaikata aku mampu
merobohkannya, tak akan mungkin kulukai orang yang telah
beijasa menolongmu berkali-kali itu," ucap nenek berpakaian
hitam bernada menghibur.
"Kau..., kau mengetahui semua itu, Nek?" tanya
Sumini setengah tidak percaya.
"Tentu saja!" sahut nenek berpakaian hitam, tegas.
"Sayang, kedatanganku terlambat hingga tidak sempat
mencegah mereka membunuh Jaya Katwang, suamiku! Tapi,
aku sempat melihat tindakan Raja Sihir Berbaju Merah
terhadap dirimu, hanya saja aku sengaja membiarkannya.
Sebab aku mempunyai sebuah rencana terhadapmu!"
"Rencana?!" ulang Sumini dengan alis ber-kerut.
"Rencana apa, Nek?!"
"Baiknya kuceritakan secara lengkap saja agar kau
tidak terus bertanya-tanya dan masalahnya menjadi jelas,"
ucap nenek berpakaian hitam yang ternyata nenek Sumini.
Sebab nenek itu ibu kandung Raja Pedang Langit Bumi.
Kemudian secara singkat tapi jelas, nenek berpakaian
hitam itu menceritakan semuanya. Berkali-kali Sumini yang
mendengarkan cerita itu mengeluarkan jeritan kaget karena
tidak menyangka akan seperti itu berita yang didengarnya.
"Nah, begitulah ceritanya, Sumini," ujar nenek
berpakaian hitam menutup ceritanya. "Sekarang, tibalah
saatnya untuk merampungkan rencana yang telah lama
kususun. Kau akan kujadikan orang sakti! Hik hik hik...!"
•k-k-k
Sumini berlari cepat meninggalkan tempat
pertemuannya dengan nenek berpakaian hitam itu yang
ternyata nenek kandungnya sendiri. Sungguh pun demikian,
gadis berpakaian kuning itu tidak lupa untuk bertindak hati-
hati karena jalan yang ditempuhnya menurun. Sumini
memang bermaksud turun gunung.
Selama ini Sumini tidak pernah turun gunung.
Tinggal di Gunung Anjasmoro itu pun kaiena ikut ayahnya
melarikan diri dari kejaran pasukan kerajaan, dan untuk
yang pertama kalinya. Tambahan lagi, dia turun melewati
jalan yang belum dikenal. Akibatnya dia tersesat karena tidak
tahu arah. Sampai akhirnya tiba di sebuah anak bukit yang
merupakan tanah pekuburan yang amat luas.
Sumini berlari terus dengan maksud hendak melewati
bukit tanah kuburan itu. Namun tiba-tiba bulu tengkuknya
berdiri, dan kedua kakinya menggigil. Seolah sengaja dia
berhenti. Hatinya terkejut merasa takut, mendengar suara
tawa berkakakan, sedang orangnya belum tampak. Suara
tawa itu tidak seperti biasa. Seolah-olah bukan suara
manusia. Ibliskah atau suara mayat!
Meskipun bukan gadis yang penakut, mendengar
suara tawa mengprikan seperti itu Sumini tak dapat
menahan. Tubuhnya merinding ketakutan. Apalagi tempat itu
merupakan kuburan. Hampir saja gadis berpakaian kuning
itu berlari tunggang langgang kalau tidak ingat bahwa saat
itu siang hati. Dia yakin setan atau hantu takkan muncul di
siang hari.
Keyakinan itulah yang menumbuhkan keberanian di
hati Sumini. Sekarang dia menduga kalau suara tawa itu
keluar dari mulut seorang tokoh persilatan yang mempunyai
tenaga dalam cukup kuat. Maka, tanpa ragu-ragu
dilangkahkan kakinya menuju asal suara.
Sebelum Sumini sampai di tempat yang dituju, dari
balik salah satu kuburan tampak sesosok tubuh. Rupanya
dia sejak tadi merebahkan diri sehingga tidak terlihat oleh
Sumini. Dan ketika Sumini melihatnya, kontan dia
menggeram. Dikenalinya betul sosok itu sebagai Setan Ular
Karang! Orang yang hampir membuatnya menjadi orang
terhina selamanya!
"Iblis keji! Sekarang kau harus terima balasan atas
kejadian yang kau lakukan!" seru Sumini keras penuh
kemarahan. Dia teringat akan nasib yang hampir menimpa
dirinya. Juga ke matian Jaya Katwang, kakeknya.
Setan Ular Karang terperanjat mendengar bentakan
gadis itu. Buru-buru tubuhnya dibalikkan! Ketika melihat
siapa yang barusan membentaknya lelaki berpakaian coklat
itu merasa lega.
"Ah.... Kebetulan sekali kau datang kemari, Anak
Manis. Aku memang tengah ingin menggeluti tubuh seorang
wanita. Kemarilah, Anak Manis! Kita bermain cinta," ucap
Setan Ular Karang sambil melambaikan tangan.
Terlihat gembira sekali tokoh sesat yang berwajah
hitam ini. Bukan hanya karena dia ingin bermain cinta
dengan Sumini. Harinya merasa lega ketika mengetahui
orang yang menegurnya ternyata Sumini. Semula
disangkanya orang yang datang Raja Sihir Berbaju Merah
atau Kerbau Bertenaga Raksasa untuk merampas pusaka
Raja Pedang Langit Bumi dari tangannya.
Memang, pusaka Raja Pedang Langit Bumi berada di
tangan Setan Ular Karang. Tokoh sesat yang licik itu berhasil
melarikan diri dengan membawa pusaka itu. Sedangkan
Kerbau Bertenaga Raksasa yang mengejarnya, tidak berhasil
karena telah kehilangan jejak lelaki berwajah hitam ini.
Di tempat pekuburan yang letaknya tersembunyi ini,
Setan Ular Karang tinggal dan mempelajari ilmu-ilmu
peninggalan Raja Ftedang Langit Bumi. Dia berlatih keras agar
cepat dapat mempelajari ilmu-ilmu Raja Ftedang Langit Bumi.
Namun baru dua hari, tempat persembunyiannya yang
terpencil berhasil diketemukan Sumini.
Sementara itu Sumini menatap penuh kebengisan
pada Setan Ular Karang. Kemarahan seketika terbangkit
melihat lelaki berwajah hitam itu.
"Temuilah setan-setan di neraka, Iblis Keji!" dengus
Sumini sambil menubruk maju dengan jari-jari tangan kiri
terbuka meluncur ke arah muka Setan Ular Karang.
Gerakannya begitu cepat mengarah kedua bola mata lawan.
Dan dari sambaran tangannya terasa hawa pukulan yang
kuat! Setan Ular Karang terkejut melihat serangan cepat
Sumini. Namun dengan cepat pula tokoh berwajah hitam itu
menarik tubuhnya ke belakang.
Plak!
Rrrt!
"Hey! Kembalikan kitabku!" Setan Ular Karang berseru
marah dan kaget ketika melihat Sumini dengan tenangnya
memasukkan sebuah kitab ke balik baju. Setan Ular Karang
tidak tahu bagaimana kitab milik Raja Pedang Langit Bumi
yang berada di pinggangnya bisa diambilnya dengan begitu
cepat. Dia hanya merasa ketika menarik tubuh ke belakang,
kitab itu diserobot dengan kecepatan kilat. Dan tahu-tahu
kitab itu telah lenyap dari pinggangnya.
Dengan sepasang mata terbelalak marah bercampur
kaget Setan Ular Karang menatap wajah Sumini lekat-lekat.
Benarkah gadis ini telah menjadi demikian lihainya? Padahal,
beberapa hari yang lalu, dengan sebelah tangan pun dia
sanggup mengalahkan gadis itu. Tapi sekarang? Ataukah dia
tadi yang bertindak terlalu memandang rendah? Pikiran-
pikiran seperti itu berkecamuk di benak Setan Ular Karang.
Memang dugaan Setan Ular Karang ada benarnya.
Keberhasilan Sumini merampas kitab itu dari pinggangnya,
sebagian besar teijadi karena Setan Ular Karang menganggap
remeh. Di samping itu, tak jelas kalau Sumini ternyata
memiliki gerakan yang sangat cepat.
Sumini tersenyum tenang bercampur gembira melihat
keberhasilan usahanya. Dia tidak merasa heran sama sekali
meskipun telah berhasil merampas kitab dengan cara cukup
menakjubkan.
"Kitabmu? Lupakah kau kalau engkau mencuri kitab
ini dari tempat tinggalku? Kitab ini milikku! Enak saja kau
mengaku-aku...!"
"Keparat! Rupanya kau ingin mati secara mengerikan,
Wanita Sundal? Akan kuperkosa sampai mati!"
Belum habis gema ucapan itu, Setan Ular Karang
telah meluruk maju melancarkan serangan. Karena marah,
dan tahu kalau Sumini telah memiliki kepandaian lebih hebat
dari sebelumnya, dia langsung mengeluarkan ilmu 'Ular
Karang' yang diandalkannya. Kedua tangannya hingga
sebatas pergelangan berubah warna hitam legam. Suara
berdesit dan menderu nyaring mengiringi tibanya
serangannya.
Tapi Sumini sekarang bukankah Sumini beberapa
hari yang lalu, yang dapat dengan mudah diro-bohkan.
Laksana bayangan tubuhnya berkelebat ke sana kemari di
antara sambaran-sambaran kedua tangan Setan Ular Karang.
Setan Ular Karang menggeram. Beberapa jurus sudah
dilancarkan untuk menyerang, tapi tak satu pun yang
mengenai sasaran. Serangan-serangan yang dilancarkan pun
semakin dahsyat.
Sejauh itu Sumini belum memperlihatkan perlawanan
yang berarti. Dia hanya mengelakkan setiap serangan Setan
Ular Karang dengan menggunakan kelincahannya. Hati
Sumini merasa gembira sekali ketika melihat serangan-
serangan lawan, tidak satu pun yang dapat menyentuh
tubuhnya. Hal ini memang pertanda kalau kepandaiannya
telah meningkat pesat
Pada jurus kedua belas, untuk kesekian kalinya
kedua tangan Setan Ular Karang meluncur ke arah leher.
Dengan cepat Sumini memiringkan kepalanya sedikit, dan
bersamaan dengan itu tangannya menampar.
Plak!
Sumini menampar dengan menggunakan sebagian
tenaganya, dan mengenai pipi kiri Setan Ular Karang. Namun
akibatnya cukup untuk membuat tubuh lelaki berwajah
hitam itu terbanting dan bergulingan. Ketika Setan Ular
Karang meloncat bangun, pipinya telah bengkak membiru,
dan beberapa giginya di pinggir kiri copot!
Sesaat Setan Ular Karang menggetarkan kepala,
karena dirasakan pening sekali, sambil tangannya mengusap
darah di mulut
"Cuhhh!"
Sambil meludahkan gigi dan darah, Setan Ular Karang
menatap Sumini yang berdiri tenang, dengan amarah
berkobar-kobar. Sekarang, tokoh sesat berwajah hitam ini
tahu kalau entah dengan cara bagaimana Sumini telah
mampu menguasai kepandaian tinggi. Diam-diam dia merasa
gentar. Disadari kalau dirinya bukan tandingan Sumini.
Meskipun demikian Setan Ular Karang tidak rela
meninggalkan kitab Raja Pedang Langit Bumi yang baru
sedikit dipelajarinya. Dia bertekad untuk melakukan
perlawanan.
Setan Ular Karang mengeluarkan sebatang suling
kecil dari pinggangnya dan bermaksud meniupnya. Ini adalah
salah satu keistimewaan ilmu yang dimilikinya. Dengan
meniup suling kecil dari bambu itu dia mampu memanggil
dan memerintahkan ular-ular agar membantu dirinya.
"Heaaakh...!"
Namun sebelum suling bambu kecil itu menempel di
mulut mendadak Setan Ular Karang melolong menyayat hati
sambil memegang dan kemudian menggeruk- garuk pipi
kirinya yang telah menghitam. Sesaat kemudian tubuh Setan
Ular Karang ambruk dan sampailah ajalnya.
Sumini menatap tubuh lawannya yang tergolek di
tanah setelah menabrak sebuah kuburan. Kemudian gadis
berpakaian kuning ini mendongakkan kepalanya 1$ atas.
"Tenanglah di alam baka, Kakek! Satu pembunuhmu
telah berhasil kubinasakan! Aku beijanji akan mencari yang
dua orang lagi...."
Setelah menundukkan kepala beberapa saat untuk
mengheningkan cipta atas arwah Jaya Katwang, Sumini
melesat meninggalkan tempat itu. Tujuannya mencari dan
membalas dendam terhadap pembunuh-pembunuh kakek
dan ayahnya.
4
Hari telah senja ketika Sumini memasuki mulut
sebuah desa di kaki Gunung Anjasmoro. Rasa lapar
membuatnya melangkahkan kaki menuju sebuah kedai yang
terletak di pinggir jalan.
Namun baru sebelah kakinya memasuki ambang
pintu kedai, dia terperanjat melihat sosok-sosok tubuh yang
bergelimpangan tak tentu arah di lantai. Meja dan kursi
berserakan. Begitu pula perabotan kedai itu pecah dan
berantakan.
"Uhhh...!"
Suara rintihan dari dalam kedai membuat Sumini
melangkah masuk dan menghampiri seorang lelaki bertubuh
kekar yang tengah berusaha bangkit. Lelaki inilah yang
lukanya tidak terlalu parah.
"Apa yang terjadi, Ki? Siapa yang melakukan hal ini?"
tanya Sumini, ketika tubuhnya sudah berjongkok di dekat
lelaki kekar itu. Bunyi gemeretak teras dari mulutnya
menandakan kalau gadis berpakaian kuning ini dilanda
perasaan geram.
"Seorang lelaki berkepala botak datang menanyakan
tentang seorang lelaki berpakaian serba coklat dan bermuka
hitam pada kami semua. Begitu mendapat jawaban tidak
tahu, karena kami semua memang tidak mengptahuinya, dia
mengamuk dan menganiaya kami semua. Beberapa orang
yang mempunyai kemampuan mencoba untuk melawan, tapi
dia lihai sekali. Dan juga tebal! Dengan mudah perlawanan
orang-orang itu dipatahkannya," tutur lelaki kekar itu
panjang lebar.
"Sekarang ke mana perginya orang itu?" tanya Sumini.
Dia dapat menduga kalau orang yang melakukan kekejian itu
Kerbau Bertenaga Raksasa yang tengah mencari-cari Setan
Ular Karang.
"Dia baru saja pergi ke arah barat," jelas lelaki kekar
itu.
Sumini tersenyum gembira mendengar jawaban yang
jelas itu.
"Bukankah lelaki berkepala botak itu bertelanjang
dada. Dan mempunyai bulu-bulu tebal di dadanya?" tanya
Sumini untuk mencari kepastian.
"Benar!" sahut lelaki kekar seraya mengangguk.
Tanpa mengucapkan terima kasih lagi, Sumini
melesat kabur meninggalkan kedai. Dan berlari cepat ke arah
perginya lelaki berkepala botak yang diduganya Kerbau
Bertenaga Raksasa itu. Lelaki kekar itu hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala melihat gadis di hadapannya
tahu-tahu lenyap. Dia hanya melihat kelebatan bayangan
kuning melesat keluar kedai dan seterusnya lenyap.
Sumini terus berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki. Pemberitahuan kalau
Kerbau Bertenaga Raksasa belum lama meninggalkan kedai,
membuatnya ingin segera memburunya. Gadis berpakaian
kuning itu telah lupa niatnya semula untuk makan di kedai.
Ternyata pemberitahuan yang didapat tidak salah.
Belum lama berlari, Sumini telah melihat sesosok tubuh di
kejauhan. Kenyataan ini membuat Sumini semakin
bersemangat, dan larinya pun semakin cepat. Sehingga jarak
antara sosok di depan dengan dirinya semakin dekat. Betapa
girang hatinya ketika mengetahui kalau sosok yang
dikejarnya itu ternyata Kerbau Bertenaga Raksasa
"Berhenti kau, Iblis Keji!" seru Sumini sambil terus
berlari.
Kerbau Bertenaga Raksasa terkejut tersentak kagst
mendengar bentakan itu. Belum juga kepalanya sempat
ditolehkan tahu-tahu sosok bayangan kuning telah melesat
melewati atas kepala, lalu beidiri menghadang di depannya.
Laksana sehelai daun kering Sumini menjejak tanah.
"Ha ha ha...!"
Setelah tertegun sejenak, memperhatikan sosok yang
berdiri di hadapannya, Kerbau Bertenaga Raksasa tertawa
bergelak.
"Kiranya kau, Bocah Cilik?! Sungguh berani mati kau
menghadang jalanku! Apakah kau telah mempunyai nyawa
rangkap? Kudengar kau jadi buronan kerajaan..., biarlah kau
kutangkap untuk kuserahkan pada mereka. Siapa tahu aku
mendapat ganjaran kedudukan tinggi!"
Sambil berkata demikian, Kerbau Bertenaga Raksasa
melangkah menghampiri Sumini dengan sikap memandang
rendah. Dia benar-benar tak menyadari bagaimana gadis
berpakaian kuning itu mampu menghadang di depannya
tanpa menimbulkan suara. Yang teringat olehnya, Sumini
adalah seorang gadis lemah.
Baru Kerbau Bertenaga Raksasa melangkah beberapa
tindak, sambil tersenyum sinis, Sumini mengambil sesuatu
dari balik pakaiannya.
"Apakah kau tidak tertarik dengan ini, Kerbau Gila?"
tanya Sumini seraya mengacung-acungkan kitab milik
ayahnya di depan wajah.
Kerbau Bertenaga Raksasa terkejut dengan mata
terbelalak melihat kitab yang amat diinginkannya berada di
tangan Sumini. Keterkejutan ini membuatnya tak sempat
marah mendengar sapaan Sumini tadi
"Dari mana kau dapatkan kitab itu?" tanya Kerbau
Bertenaga Raksasa dengan suara bergetar karena perasaan
tegang dan heran melanda hatinya.
Kerbau Bertenaga Raksasa tidak langsung merampas
kitab di tangan Sumini karena masih merasa heran dari
mana dan bagaimana pusaka Raja Pedang Langit Bumi itu
berada di tangan Sumini. Bukankah kitab itu berada di
tangan Setan Ular Karang. Ataukah kitab yang diberikan
kepada tokoh sesat berwajah hitam itu palsu belaka. Dan di
tangan gadis inilah yang asli?
"Tidak usah kau tahu dari mana aku
mendapatkannya, Kerbau! Yang penting apakah kau tidak
menginginkannya? Kalau kau mau cepatlah sebelum aku
membakarnya!" tantang Sumini tenang.
Ucapan Sumini menyadarkan Kerbau Bertenaga
Raksasa akan hal yang harus dilakukannya. Maka sambil
melangkah maju dengan cepat tangan kanannya bergerak
merampas kitab yang ditimang-timang Sumini.
Wuttt!
Tangkapan Kerbau Bertenaga Raksasa mengenai
angin ketika Sumini menarik tubuh bagian atasnya ke
belakang tanpa menggeser kaki. Karuan saja hal itu
membuat lelaki berkepala botak penasaran. Kembali
tangannya diayunkan untuk merampas, tapi tidak hanya
sekali digerakkan melainkan berkali-kali.
Seperti juga sebelumnya, usaha Kerbau Bertenaga
Raksasa mengalami kegagalan. Padahal Sumini sama sekali
tidak bergeser dari tempatnya. Dia hanya menggerak-
gerakkan kedua tangan dan tubuh bagian atasnya, kadang ke
kiri dan kadang ke kanan, serta sesekali ke belakang.
Kenyataan ini menyadarkan Kerbau Bertenaga
Raksasa kalau Sumini ternyata memiliki kepandaian tinggi.
Gadis itu memiliki kecepatan gprak yang menakjubkan.
"Hanya sampai di situ sajakah kemampuanmu,
Kerbau?" ejek Sumini yang memang bermaksud
mempermainkan Kerbau Bertenaga Raksasa sebelum
membunuhnya.
Kerbau Bertenaga Raksasa mendengus teras, karena
kemarahan yang menggelegak. Kemudian serangan-serangan
lanjutan dengan pengerahan seluruh kemampuan pun
dilancarkan.
Melihat serangan lawan semakin ganas, Sumini pun
tak tinggal diam. Dan, sesaat kemudian, kedua belah pihak
telah terlibat dalam pertarungan sengit. Namun hanya
beberapa jurus saja terbau Bertenaga Raksasa mampu
melakukan perlawanan sengit. Menginjak jurus ketiga belas,
serangan-serangan yang dilakukannya semakin berkurang.
Dia lebih banyak mengelak, bahkan menangkis pun jarang
dilakukan karena selalu mengakibatkannya bergetar hebat.
Kerbau Bertenaga Raksasa kalah dalam hal tenaga dalam
dan ilmu meringankan tubuh. Dengan keunggulan itulah
Sumini dapat mendesaknya.
Pada jurus ketujuh belas Sumini melancarkan
tendangan lurus ke arah leher. Kerbau Bertenaga Raksasa
mengelakkannya dengan menundukkan tubuh. Namun
secepat kilat, Sumini menarik kakinya, dan meluncurkan lagi
dengan sebuah tendangan ke arah kepala.
Prak!
"Aaakh...!"
Kerbau Bertenaga Raksasa meraung teras ketika
kepalanya remuk. Darah bercampur otak berhamburan dari
kepala yang pecah. Tubuhnya ambruk saat itu juga.
"Hhh...!"
Sumini menghela napas lega melihat lawannya telah
tewas berlumuran darah. Dihapus peluh yang membasahi
dari pipi dan leher dengan lengan bajunya.
"Bagus sekali...!"
Tiba-tiba terdengar suara pelan tanpa pengerahan
tenaga dalam. Meski begitu tetap membuat Sumini
terperanjat dan menolehkan kepala 1$ belakang. Tampak
seorang kakek berpakaian abu-abu, dan bermuka merah
berdiri di belakang dengan melipat kedua tangan di dada.
Jantung Sumini langsung berdebar keras ketika
melihat sosok berpakaian abu-abu. Tubuh yang tinggi kekar
dan sebuah penutup kepala berbentuk setengah tempurung
kelapa berwarna hitam yang bertengger di atas kepala. Sosok
hitam itu mengingatkannya akan cerita ayahnya.
"Inikah Barnaba, petapa di lereng Gunung Welirang
yang turun gunung karena ingin membaktikan diri pada
Kerajaan Samodra dengan menangkap ayahku? Setelah
bertahun-tahun para prajurit tak berhasil menangkap Raja
Pedang Langit Bumi. Hm.... Inikah tokoh sakti yang telah
membunuh Ayah...?" pertanyaan-pertanyaan seperti itu seke¬
tika berkecamuk di benak Sumini.
"Kaukah tokoh yang bernama Barnaba?" tanya Sumini
dengan suara bergetar karena perasaan tegang yang
melanda.
Raja Pedang Langit Bumi pernah cerita pada Sumini
akan seorang tokoh sakti yang mempunyai ciri-ciri seperti ini.
"Dan kau putri Raja Pedang Langit Bumi?!" sosok abu-
abu itu malah balas mengajukan pertanyaan. "Kalau dirimu
bukan seorang bocah ingusan, mungkin sudah kubawa ke
kerajaan karena telah berani memberontak!"
Sumini menggertakkan gigi menahan amarah yang
menggelegak di dadanya. Dia tak heran sama sekali kalau
kakek berpakaian abu-abu ini bisa menebak dirinya dengan
tepat. Sebab hatinya yakin kakek ini telah menyaksikan
pertarungannya tadi dengan Kerbau Bertenaga Raksasa.
"Kaukah pembunuh ayahku?!" tanya Sumini lagi
dengan suara parau dan bergetar. Kemarahannya seakan
sudah tak mampu dibendung lagi. Dan sekali saja, kakek
berpakaian abu-abu itu menganggukkan kepala atau
mengiyakan Sumini akan menerjangnya dengan hebat
Kakek berpakaian abu-abu yang bernama Barnaba itu
hanya tertawa terkekch, tidak mengiyakan atau membantah
pertanyaan Sumini. Kemudian dibalikkan tubuhnya,
bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Berhenti, Keparat! Heaaa...!"
Sumini melompat menerjang dan langsung me
lancarkan serangan.
Deru angin keras berhawa dingin yang menusuk
tulang mengiringi ribanya serangan, dengan kedua tangan
terbuka gadis itu menghantam ke arah dada Barnaba.
"Hmh!"
Sambil mendengus dibalikkan tubuhnya. Barnaba
menyambut pukulan Sumini dengan dorongan kedua
tangannya seraya mengeluarkan seluruh tenaga dalam. Tak
pelak lagi, hawa panas yang menyengat melingkupi sekitar
tempat itu ketika pertapa Gunung Welirang itu
menghentakkan kedua tangannya.
Bresss!
Tumbukan teras antara dua pasang tangan yang
sama-sama dialiri tenaga dalam kuat dan mengandung hawa
berlawanan itu tak terelakkan. Sumini terjengkang kembali
ke belakang dengan hawa panas menjalari sekujur badan.
Sedangkan Barnaba hanya bergoyang-goyang tubuhnya.
"Berhenti, Keparat! Heaaa...!" Sumini melompat dan
langsung melancarkan serangan.
"Hmh!" Sambil mendengus, Bamaba membalikkan
tubuhnya. Lalu, kedua tangannya didorongkan menyambut
pukulan Sumini.
Bresss!
Kemudian, tanpa mempedulikan Sumini yang masih
berusaha untuk mengusir hawa panas di tubuhnya, Barnaba
melesat meninggalkan tempat itu sambil mengerahkan tenaga
panas untuk mengusir hawa dingin yang menjalar ke dalam
tubuhnya.
Sumini hanya bisa menggertakkan gigi penuh
perasaan kesal, sambil menatap tubuh Bamaba yang
semakin menjauh. Dia tidak mampu mencegah kepergian
Barnaba karena hawa panas masih dirasakan menyengat di
tubuhnya. Andaikata dibiarkan bagian tubuhnya akan
terluka dalam. Yang bisa dilakukan sekarang hams segera
mengusir hawa panas itu keluar dari tubuhnya, sambil beru¬
saha untuk memulihkan tenaga. Dirinya sadar dalam
keadaan seperti ini tidak mungkin mampu menandingi
Bamaba yang sakti. Tenaganya telah berkurang jauh setelah
bertarung menghadapi Kerbau Bertenaga Raksasa.
Oleh karena itu, setelah berhasil mengusir hawa
panas yang menyergap sekujur tubuh, dilangkahkan kakinya
menghampiri semak-semak yang berada di sekitar tempat itu.
Sumini bermaksud menjalankan semadi guna memulihkan
tenaga dalamnya. Hatinya sudah tak sabar untuk
menghadapi Barnaba.
kkk
"Itu dia orangnya!"
Tiba-tiba terdengar seman keras yang membuat
Sumini menghentikan semadi dan membuka sepasang
matanya. Gadis berpakaian kuning ini tidak tahu berapa
lama dia bersemadi, tapi yang jelas hari telah malam. Untung
saja ada sang Dewi Malam bersinar cukup terang, sehingga
keadaan di persada tidak gelap pekat.
Dalam siraman sinar bulan terlihat oleh Sumini
serombongan orang-orang berpakaian seragam prajurit
kerajaan.
Sumini buru-buru bangkit begitu rombongan prajurit
Kerajaan Samodra itu bergerak mengepungnya. Sepasang
matanya memancarkan kebengisan ketika melihat seorang
pemuda tampan berkumis tipis berada di belakang
rombongan prajurit itu. Sosok itu begitu dikenalinya. Dialah
Pranacitra, Kakak seperguruan Sumini yang ketika terjadi
pertikaian antara para Brahmana dengan kerajaan, justru
memihak kerajaan. Meskipun harus bermusuhan dengan
gurunya, Raja Pedang Langit Bumi.
Pranacitra mengayunkan langkah menyibak beberapa
orang prajurit yang menghalangi jalan. Sekarang dia berdiri
paling depan, berhadapan dengan Sumini. Dalam sekilas
saja, pemuda berkumis tipis ini telah mengpnali Sumini.
"Apakah kau tidak keliru?" Pranacitra menoleh ke
arah prajurit pendek kekar yang tadi menunjukkan
keberadaan Sumini. "Benarkah gadis ini yang tadi berkelahi
dengan Kerbau Bertenaga Raksasa, dan dia memegang
sebuah kitab berwarna kuning?"
"Benar, Panglima. Dialah yang telah membunuh
Kerbau Bertenaga Raksasa," tegas prajurit pendek kekar
penuh kesungguhan karena merasakan adanya nada
ketidakpercayaan dalam pertanyaan Pranacitra.
Sumini yang mendengar percakapan itu melongo.
Pranacitra telah menjadi Panglima Kerajaan Samodra? Luar
biasa? Kalau tidak mendengar dan menyaksikan sendiri, dia
tidak akan percaya.
Sumini tidak tahu kalau Pranacitra diangkat menjadi
salah satu Panglima Kerajaan Samodra atas jasanya
Pranacitra selalu ikut campur dan membantu pasukan
Kerajaan Samodra dalam menghadapi perlawanan orang-
orang yang tidak mau menuruti perintah Raja Pancawala.
Penguasa Kerajaan Samodra memerintahkan kepada
semua orang di lingkungan kerajaan untuk menganggap
dirinya sebagai dewa dan menyembahnya. Saat itu, para
prajurit kerajaan kewalahan harus menghadapi banyak orang
pandai. Dan karena jasa Pranacitra itulah rombongan
prajurit kerajaan memperoleh kemenangan. Maka Pranacitra
mendapat anugerah sebagai Panglima Kerajaan Samodra. Dia
memimpin pasukan Kerajaan Samodra dalam menumpas
orang-orang yang menentang perintah raja.
Karena keheranan melihat Pranacitra menjadi
Panglima Kerajaan Samodra, Sumini tampak tercengang
keheranan. Dia masih berdiri dengan pikiran melayang ke
sana kemari.
Sementara itu, begitu mendengar jawaban bernada
sungguh-sungguh dari prajurit pendek kekar, Pranacitra
langsung mengerutkan alis. Dia bingung bukan kepalang.
Benarkah Sumini yang telah membunuh Kerbau Bertenaga
Raksasa? Rasanya mustahil! Dia tahu betul sampai di mana
kemampuan ilmu gadis berpakaian kuning itu. Tapi,
mungkinkah prajurit pendek kekar itu berbbhong? Rasanya
tidak mungkin juga. Karena tahu, tak akan dapat menjawab
pertanyaan itu dengan berpikir. Pranacitra membuang jauh-
jauh pertanyaan yang menggayut di benaknya itu.
"Menyerahlah Sumini! Tidak ada gunanya melawan.
Percuma! Kau tidak bisa menang...! Kalau dulu kau dan
ayahmu menuruti kehendak kerajaan, nasibmu tak akan
sengsara seperti ini. Menyerahlah, Sumini! Biar
bagaimanapun kau tetap adik seperguruanku. Kau tahu, aku
tak ingin dirimu harus tersiksa. Percayalah, aku akan
memohon ampunan kepada Baginda Raja Pancawala. Ya.
Setidak-tidaknya agar hukuman yang akan dijatuhkan
kepadamu, dapat diperingan.... Ayolah, Sumini!" dengan
sopan dan lemah lembut Panglima Kerajaan Samodra itu
berusaha membujuk Sumini.
Mendengar bujuk rayu yang lembut itu Sumini
tercenung. Pikirannya tiba-tiba merenung ke masa silam.
Beberapa tahun lalu Pranacitra begitu baik kepadanya. Suatu
masa-masa indah yang sulit dilupakannya. Pranacitralah
yang sering membimbingnya. Diakui, memang pemuda
tampan itulah yang sangat diakrabinya. Bahkan lebih erat
dibanding terhadap ayahnya sendiri.
Namun kenangan tinggallah kenangan. Hal itu terjadi
jauh sebelum Pranacitra tergiur kedudukan dan mabuk
jabatan. Kini Pranacitra telah menjadi pengkhiahat
perguruan. Murid murtad yang tidak mendukung kesetiaan
pada gurunya. Mengingat sikap yang menyakitkan itu Sumini
menggertakkan gigi menahan geram.
"Tutup mulutmu, Ftengkhianat...!" sahut Sumini
dengan geram, "Aku bukan orang bejat sepertimu yang sudi
menjilat pantat raja lalim itu. Kau telah mabuk kemewahan
dan kedudukan, Prana! Kau telah lupa tanggung jawabmu
sebagai seorang murid perguruan...!"
Mendengar ucapan yang menyindir itu Panglima
Pranacitra tersenyum sinis.
"Hhh.... Dasar keras kepala...!"
"Heaaa...!"
Dengan diawali teriakan melengking nyaring, Sumini
melompat meneriang bekas kakak seperguruannya.
"Ah!"
Pranacitra terpekik kaget tanpa sadar ketika
merasakan adanya sambaran angin keras berhawa dingin
keluar dari serangan Sumini. Meskipun demikian, dia tetap
menganggap remeh. Sebab, dulu dia paham benar beberapa
ilmu yang dimiliki Sumini. Tanpa ragu-ragu dipapaknya
terjangan Sumini seraya mengerahkan seluruh tenaga dalam
yang dimiliki. Pranacitra bermaksud segera merobohkan
Sumini dalam segebrakan!
Bresss!
"Aaakh...!"
Panglima Kerajaan Samodra itu terpekik keras.
Tubuhnya terlontar deras ke belakang seperti daun kering
ditiup angin, lalu terbanting dan bergulingan di tanah. Dan
ketika akhirnya berhasil bangkit, pemuda berkumis tipis ini
menggigil karena adanya aliran hawa dingin menyerangnya.
Belum juga rasa kagpt yang melandanya lenyap,
Sumini telah melancarkan serangan susulan. Dengan cepat
sekali tangannya menampar pelipis, sambil mencengkeram
dengan tangan kiri ke pusar Pranacitra! Dua buah serangan
maut yang dilancarkan secara cepat dan bersamaan.
Pranacitra mengenal serangan maut itu. Maka buru-
buru tubuhnya dibanting ke tanah dan bergulingan menjauh.
Namun Sumini mengpjamya. Untung saja belasan prajurit
Kerajaan Samodra yang melihat adanya ancaman bahaya
maut, segera bertindak cepat menghadang Sumini. Meieka
langsung menghujaninya dengan serangan secara bersa¬
maan.
Sumini marah, melihat tindakannya terhalang.
Serangannya terhadap Pranacitra terpaksa dibatalkan. Dan
sekarang kedua tangannya digunakan untuk menangkis
hujan senjata yang mengancam keselamatan nyawanya.
Seketika para prajurit tersentak kaget. Mata mereka
terbelalak, seakan tidak percaya melihat senjatanya
berpatahan tersambar tangan Sumini. Bahkan para
penyerangnya langsung terjengkang dan berjatuhan ke
tanah.
Lagi-lagi Sumini tidak sempat meneruskan tin-
akannya. Karena Pranacitra telah lebih dulu melancarkan
serangan. Pedang yang menjadi senjata andalannya
ditusukkan ke leher Sumini. Namun tanpa menemui
kesulitan putri Raja Pedang Langit Bumi ini mengelakkannya.
Pertarungan semrawut pun berlangsung.
5
Sekarang Pranacitra percaya akan keterangan prajurit
pendek kekar, bahwa Sumini telah membunuh Kerbau
Bertenaga Raksasa. Bekas adik seperguruannya itu ternyata
sekarang telah memiliki kemampuan yang hebat. Padahal,
dia dan prajurit kerajaan telah mengeroyoknya. Namun
sedikit pun Sumini tidak terdesak. Bahkan pihak Pranacitra
yang kewalahan. Beberapa prajurit telah bergelimpangan
tanpa nyawa di tanah akibat amukan putri Raja Ftedang
Langit Bumi itu. Pranacitra menyadari bahwa saat ini ilmu
yang dimiliki Sumini bahkan berada di atas ayahnya. Entah
bagaimana hal itu bisa teijadi, Pranacitra merasa tak habis
pikir.
Pranacitra mengeluarkan siulan nyaring dari
mulutnya, seraya terus melakukan perlawanan. Sumini tahu
kalau bekas kakak seperguruannya itu akan
mempergunakan siasat, tapi sedikit pun dia tak gentar,
bahkan seakan tidak mempedulikannya. Terus saja
dilancarkan desakan, meskipun empat orang prajurit yang
ikut mengeroyok, berlari meninggalkan kancah pertarungan.
Perginya empat orang prajurit membuat kekuatan
Pranacitra dan sisa anak buahnya semakin melemah.
Namun, Panglima Kerajaan Samodra itu terus melakukan
perlawanan, sungguhpun korban di pihaknya terus
berjatuhan.
Mendadak Pranacitra melemparkan serbuk dari
tangan kirinya kc arah Sumini Terpaksa gadis ini melempar
tubuh ke belakang khawatir serbuk itu beracun.
Namun rupanya tindakan itu hanya merupakan siasat
belaka. Karena begitu Sumini melompat mundur, Pranacitra
melarikan diri. Menyusul empat prajuritnya. Melihat hal itu
sisa dua prajurit yang mendampingi Pranacitra, ikut
melarikan diri. Namun hanya dengan sekali lesatan, Sumini
telah melewati mereka. Dengan cepat Sumini melancarkan
serangan yang membuat nyawa kedua prajurit sial itu tewas
seketika.
Sumini tidak mempedulikan hal itu dan terus
melakukan pengejaran terhadap Pranacitra. Berkat ilmu
meringankan tubuhnya yang berada di atas Pranacitra, bekas
kakak seperguruannya itu disusul. Mendadak...
Rrrttt!
"Heh...?!"
Hati Sumini tersentak kagpt Tubuhnya terangkat
dengan kaki di atas, ketika pergelangan kaki kanan teijerat
sesuatu. Dan sebelum gadis berpakaian kuning itu sadar,
tubuhnya telah tergantung dengan kepala di bawah.
"Ha ha ha...!"
Pranacitra membalikkan tubuh dan berlari
mendekatinya ketika melihat tubuh Sumini tergantung di
atas cabang pohon besar. Sumini tidak berdaya untuk
melepaskan diri karena pedangnya telah teijatuh saat
tubuhnya tergantung. Sedangkan tali jerat sangat kuat dan
tidak bisa diputuskan dengan pengerahan tenaga dalam.
Sumini menggertakkan gigi karena marah dan geram
melihat kelicikan lawan. Dia tahu sekarang, empat prajurit
yang pergi lebih dulu telah diperintahkan untuk membuat
perangkap ini. Dan ternyata usaha mereka tidak sia-sia
Sumini masuk perangkap! Kemenangan pun berada di
tangan Panglima Pranacitra.
"Pranacitra, Pengecut Hina! Ftenjilat pantat raja lalim,
pengkhianat busuk! Kalau kau mau, lekas bunuh! Kau kira
aku takut mati?! Bunuhlah aku, Ftengecut Hina!" maki
Sumini, sejadi-jadinya karena kesal. Hal itu hanya ditanggapi
Pranacitra dengan tawa bergelak.
Sumini yang semakin meluap amarahnya, segera
melancarkan serangan dengan pukulan-pukulan jarak jauh
kedua tangannya yang bebas. Namun dengan mudah
serangan itu dielakkan oleh Pranacitra seraya terus tertawa-
tawa penuh ejekan.
"Tak semudah itu akan menghabisi nyawamu,
Sumini. Kau akan kusiksa sampai setengah mati, baru
kuhadapkan pada raja untuk menerima hukuman
sebagaimana layaknya seorang pemberontak!"
"Keparat!" Sumini hanya bisa memaki-maki penuh
perasaan geram karena lelah melancarkan serangan tanpa
hasil.
Sing...!
"Heh...?!"
Mendadak Pranacitra menghentikan tawanya secara
mendadak, karena mendengar bunyi mendesing nyaring.
Belum sempat dia berbuat sesuatu....
Brettt!
Tali yang menjerat kaki Sumini, putus tersambar
sebuah kerikil tajam. Sehingga tubuh gadis berpakaian
kuning itu melayang turun. Dan yang membuat Pranacitra
semakin kelabakan, Sumini langsung bisa mempergunakan
peluang itu sebaik-baiknya. Gadis itu melancarkan
cengkeraman 1$ arah ubun-ubun Pranacitra.
"Heaaa...!"
Wuttt...!
Meskipun dengan agak geragapan, Pranacitra mampu
mengelakkan serangan tiba-tiba itu. Namun, serangan
lanjutan Sumini yang berupa tendangan kaki kanan ke arah
dada, tidak mampu dielakkannya dan mendarat secara telak.
Sehingga membuat dadanya hancur. Saat itu nyawa Prana¬
citra melayang ke alam baka.
•k-k-k
"Bagus...! Bagus...! Kau dapat mempergunakan
kesempatan yang kuberikan.
Sumini mengalihkan pandangan ke arah asal suara.
Di belakangnya telah berdiri dengan anggun seorang kakek
berpakaian putih. Wajahnya yang bersih bercahaya terhias
jenggot panjang sampai ke leher. Di tangannya tergantung
menjuntai sebuah tasbih putih. Matanya tampak merah
seakan kurang tidur. Dia tersenyum manis memandangi
Sumini yang masih terbengong.
"Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan,
sehingga aku dapat membunuh orang terkutuk itu, Kek,"
ucap Sumini penuh hormat seraya menganggukkan kepala.
Tak dipedulikannya empat prajurit anak buah Pranacitra
yang melarikan diri ketika melihat pemuda pimpinan meieka
tewas. "Kalau boleh kutahu siapa kau, Kek?"
"He he he...!" kakek berpakaian putih itu tertawa
lembut "Akulah orang yang tertulis di dalam surat dari
ayahmu itu, Sumini."
"Ah...! Jadi..., jadi... kau.... Eyang Pradaga?!" Sumini
tersentak kaget bercampur gembira.
"He he he...!" kakek beijubah putih yang ternyata
Eyang Pradaga tertawa seraya mengangguk-anggukkan
kepala. "Sekarang, tunggu apa lagi, Sumini?! Bukankah
semua urusanmu sudah beres? Mari, pergi bersamaku untuk
memenuhi permintaan ayahmu! Tempatku terpencil, dan tak
mungkin pasukan kerajaan akan menemukannya! Kalau
tidak mengingat kau adalah putri sahabat kentalku, tak
mungkin aku bersusah payah turun gunung untuk
membawamu ke tempatku."
"Tapi, Kek...," Sumini meragu. "Aku belum berhasil
menemukan pembunuh ayahku, tak mungkin aku bisa ikut
denganmu. Hatiku tak akan pernah tenang."
"Tidak usah repot-repot, Sumini," sahut Empu
Pradaga, tetap dengan senyum lebar. "Aku baru saja bertemu
dengan pembunuh ayahmu dalam perjalanan 1$ sini."
"Benarkah itu, Kek?!" tanya Sumini dengan sepasang
mata membelalak lebar. "Siapakah orang yang telah
membunuh ayahku itu?"
"Barnaba," jawab Eyang Pradaba, kalem. "Cepatlah!
Nanti dia keburu pergi."
Tapi sebelum Empu Pradaga dan Sumini melesat
meninggalkan tempat itu, terdengar seruan teras.
"Sumini...! Tunggu sebentar...!"
Seruan itu berasal dari tempat yang jauh, di belakang
Sumini dan Empu Pradaga. Tapi bunyinya seakan berada
dekat. Dan begitu Sumini dan Empu Pradaga menoleh
mereka melihat sebuah titik kecil di kejauhan tengah melesat
cepat ke arah mereka. Hanya satu tarikan napas saja sosok
itu telah sampai di dekat mereka.
"Ah...! Kiranya kau, Dewa Arak," ucap Sumini dengan
raut wajah memerah, teringat akan perjumpaannya pertama
kali dengan perhuda berambut putih keperakan itu.
"Maaf mengganggu sebentar, Kek!" ucap Arya sopan
pada Empu Pradaga. "Tapi bolehkan kutahu ke mana kalian
berdua akan pergi? Bukan bermaksud ikut campur, tapi aku
telah mendapat amanat dari Raja Pedang Langit Bumi untuk
mengantarkannya pada seorang yang beniama Empu Pra¬
daga."
Terima kasih atas jerih payahmu, Anak Muda. Kau
tak perlu repot-repot lagi mengantarkannya. Akulah Empu
Pradaga yang kau maksudkan itu."
"Ah...! Sungguh kebetulan sekali...!" seru Aiya dengan
nada gembira. "Jadi, sekarang kalian akan pergi ke
pertapaanmu, Empu?!"
"Tidak, Aiya," Sumini menyelak. "Aku akan
membalaskan kematian ayahku dulu pada Barnaba."
Kemudian secara singkat tapi jelas, Sumini
menerangkan semua percakapannya dengan Empu Pradaga.
"Maaf, Anak Muda!" ujar Empu Pradaga ketika Sumini
telah menghentikan ceritanya. "Kami hendak pergi dulu.
Mari, Sumini. Kita harus bergegas sebelum dia pergi lebih
jauh."
Dewa Arak pun tidak bisa menahan keduanya. Dia
hanya bisa menganggukkan kepala ketika kedua orang itu
melesat meninggalkannya. Diam-diam hatinya merasa
bersyukur karena tugas yang dibebankan kepadanya meski
tanpa sengaja telah tuntas. Dengan hati lega dia melangkah
menempuh arah berlawanan dengan yang ditempuh Sumini
dan Empu Pradaga.
"Barnaba...! Berhenti, kau...!"
Kakek berpakaian abu-abu yang tengah beijalan di
sebuah hamparan tanah lapang berumput, menghentikan
langkah. Kemudian ditolehkan kepalanya ke belakang.
Dilihatnya sosok bayangan melesat cepat dari kejauhan.
Hanya dalam sekejapan saja telah berada di dekatnya.
"Siapa kau, Anak Muda? Mengapa kau
memberhentikan langkahku...?! Sungguh besar nyalimu
melakukan hal itu! Dan, dari mana kau tahu namaku?!"
tanya kakek berpakaian abu-abu yang ber-nama Barnaba
memberondong.
Pemuda berwajah tampan itu tersenyum. Meskipun,
tengah mempunyai sebuah urusan yang sungguh-sungguh,
tapi menghadapi pertanyaan bertubi-tubi seperti itu, mau
tidak mau dia agak merasa geli. Itulah sebabnya dia
menyunggingkan senyum walaupun getir.
"Aku Aiya. Aku tahu namamu dari seseorang gadis
yang ayahnya kau bunuh. Aku tidak mempermasalahkan
ayah kawanku yang telah kau bunuh itu. Aku hanya ingin
meminta pertanggungjawabanmu atas nasib kawanku dan
orang yang dipercayakan menjadi ayah angkatnya," jelas Aiya
panjang lebar.
"Lebih baik kau tinggalkan tempat ini sebelum aku
berubah pikiran dan membunuhmu, Anak Muda! Aku tak
mengerti maksud ucapanmu. Aku tidak kenal siapa
kawanmu apalagi ayah kandungmu!"
Usai berkata demikian, Bamaba membalikkan tubuh
dan bersiap melangkahkan kaki meninggalkan Dewa Arak.
"Tunggu, Bamaba!" sentak Dewa Arak. "Ayah
kawanku itu bernama Raja Pedang Langit Bumi!"
"Dan kawanmu yang kau maksudkan itu pasti putri
Raja Pedang Langit Bumi yang cantik itu, bukan?" timpal
Barnaba dengan suara dan sikap yang membuat Dewa Arak
bembah dengan wajah memerah. Dia merasakan adanya
sindiran dalam ucapan kakek berpakaian abu-abu itu.
"Benar!" sahut Aiya, pura-pura tidak mengetahui
sindiran Bamaba. "Dan dia bersama ayah angkatnya hendak
menemuimu. Aku yakin kau telah bertemu dengan mereka
berdua. Katakan apa yang telah kau lakukan terhadap
mereka, Barnaba?!" desak Dewa Arak dengan suara berat.
"Keparat!"
Barnaba yang mpanya telah kehilangan kesabaran,
langsung menerjang dengan menghantamkan pukulan
telapak tangan kiri. Kelihatannya hanya sembarangan saja,
tapi ada hembusan angin teras yang mengiringi ribanya
serangan kakek berpakaian abu-abu itu.
Dewa Arak sadar kalau pukulan tangan kosong
Bamaba amat dahsyat. Dia tahu sebatang pohon yang amat
besar pun akan tumbang apabila terhantam. Namun Dewa
Arak tanpa ragu-ragu memapak-serangan Barnaba dengan
gerakan yang sama. Hal itu dilakukan karena rasa jengkel
melihat sikap Bamaba yang meremehkannya.
Plak!
Dua buah tangan yang sama-sama mengandung
tenaga dalam tinggi berhawa panas berbenturan. Akibatnya,
tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung beberapa
langkah ke belakang.
"Kiranya kau lihai juga, Anak Muda," puji Bamaba
sejujurnya. "Pantas kau membuat nama besar di dunia
persilatan. Tapi, aku belum kalah!"
"Kau benar hebat, Bamaba," timpal Aiya, dengan
pujian yang sama.
Memang, kedua belah pihak sama-sama kagum akan
kelihaian lawan. Meskipun telah menduga sebelumnya
mereka tak urung merasa terkejut merasakan kehebatan
lawan masing-masing.
Rasa penasaran membuat Barnaba tak sungkan-
sungkan langsung melancarkan serangan lanjutan.
Diterjangnya Dewa Arak. Pemuda beramput putih keperakan
itu segera menyambutnya dengan sikap lebih hati-hati.
Bentuk tubuh keduanya lenyap, yang terlihat kini
hanya dua bayangan kelabu dan ungu. Dalam bentuk tidak
jelas mereka saling belit, hanya kadang-kadang saja saling
pisah, itu pun sebentar karena sesaat kemudian keduanya
telah saling serang. Bahkan terkadang sukar untuk
dibedakan saking cepatnya gerakan masing-masing pihak.
Karena begitu cepatnya, tak terasa pertarungan telah
berlangsung lebih dari seratus jurus. Namun sejauh itu
belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar
sebagai pemenang. Kedua belah pihak masih saling
melancarkan serangan dahsyat. Beberapa kali benturan
tangan dan kaki terjadi namun keduanya memang sama-
sama tangguh.
Kenyataan ini rupanya membuat kedua belah pihak
jadi penasaran bercampur tidak sabar. Bagai telah disepakati
sebelumnya, baik Barnaba maupun Dewa Arak pada jurus ke
seratus tiga puluh lima, sama-sama mengeluarkan ilmu
andalan. Barnaba mengeluarkan sebilah pedang batangnya
berwarna kehijauan. Sedangkan Dewa Arak mengambil guci
arak yang tersampir di punggung, lalu dituangkan ke mulut.
Setelah terdengar bunyi tegukan, Dewa Arak
merasakan adanya hawa hangat menjalar naik 1$ kepala
setelah arak itu sampai di lambungnya. Sesaat kemudian,
tubuh pemuda berambut putih keperakan itu mulai limbung
karena kedua kakinya tidak menapak secara tetap di tanah.
Barnaba tidak merasa heran melihat tingkah laku
lawannya. Sebagai seorang tokoh persilatan yang telah
kenyang pengalaman dia tahu, banyak orang memiliki ilmu
aneh, tapi mengandung kedahsyatan luar biasa. Dia yakin
Dewa Arak memiliki ilmu seperti itu. Maka, tanpa
membuang-buang waktu dia melompat menerjang Dewa
Arak. Pedangnya diputar seperti kitiran dan menyambar
ganas ke arah dada lawan. Sedangkan tangan kiri bersiap
untuk melancarkan serangan susulan.
"Heaaa...!"
Klang!
Suara berdentang nyaring disertai percikan bunga api,
ketika Dewa Arak menangkis tusukan pedang lawan dengan
ayunan guci araknya. Pada saat yang hampir bersamaan,
tangan kiri Barnaba meluncur dengan sebuah totokan ke
arah leher Dewa Arak. Namun pemuda berambut putih kepe¬
rakan itu berhasil mengelakkannya dengan memiringkan
kepala. Bahkan langsung mengirimkan tendangan kaki
kanan ke arah pusar yang memaksa Barnaba melompat
mundur!
Kesempatan yang sebentar di saat berada cukup jauh
dari lawan dipergunakan kedua belah pihak untuk
memeriksa senjata masing-masing. Hati mereka lega ketika
mengetahui tak ada kerusakan sedikit pun pada masing-
masing pusaka. Kembali keduanya saling gebrak.
Pertarungan yang lebih menggiriskan dan
menyeramkan dari sebelumnya kembali berlangsung. Sinar
kehijauan pedang Barnaba berkelebatan 1$ sana kemari
seperti halilintar menyambar-nyambar, terkadang meliuk-liuk
mirip ular. Memang, tak dapat diremehkan kehebatan ilmu
pedang kakek tua berpakaian abu-abu ini. Setiap serangan
yang dilancarkan selalu mengarah pada bagian-bagian
mematikan. Sehingga apabila tergores sedikit saja sudah
cukup untuk mengirim nyawa orang ke alam baka, karena
racun yang terkandung di dalam batang pedang itu.
Klang!
"Heaaa...!"
Pada jurus kedua ratus tujuh puluh, Dewa Arak
menangkis dengan guci. Kemudian mempergunakan tenaga
tangkisan itu untuk bersalto 1$ atas melewati kepala
Bemaba, ketika serangan pedang kakek itu meluncur ke arah
leher.
Barnaba yang dapat menduga maksud Dewa Arak,
segera membalikkan tubuh sambil menyabetkan senjatanya
ke belakang menangkal serangan susulan yang akan
dilakukan Dewa Arak.
Trikkk!
"Heh...!"
Barnaba memekik kaget ketika dengan perhitungan
matang Dewa Arak berhasil mempergunakan batang pedang
sebagai tempat landasan gucinya. Ftemuda itu tidak berani
mempergunakan tangan atau kaki mendarat di batang
pedang Barnaba yang beracun.
Ketika itulah, sebelum Barnaba sempat berbuat
sesuatu, tangan kiri Dewa Arak telah memukul bahu
kanannya. Sehingga tubuh lelaki tua itu terjengkang ke
belakang dengan darah menetes di sudut bibirnya.
Dan, sebelum kakek berpakaian abu-abu itu sempat
berbuat sesuatu, Dewa Arak telah melesat ke arahnya. Dan
tahu-tahu tangannya telah menempel di ubun-ubun
Barnaba. Sekali saja Barnaba melakukan suatu gerakan yang
mencurigakan, nyawanya akan lebih dulu melayang ke alam
baka.
"Aku tidak ada permusuhan denganmu, Barnaba.
Tapi, tolong katakan padaku, apa yang telah kau lakukan
pada diri Sumini dan Empu Pradaga?!" tanya pemuda
berambut putih keperakan itu dengan nada ancaman.
"Ha ha ha...!" Barnaba tertawa terkekeh. "Kau keliru,
kalau mengira dengan ancaman ini aku takut dan
mengatakan hal-hal yang ingin kau ketahui, Dewa Arak. Kau
keliru. Mau bunuh silakan bunuh, siapa yang takut mati?"
Mendengar ucapan ini Dewa Arak segera menarik
kembali tangannya karena tahu kalau Barnaba bersungguh-
sungguh dengan ucapannya. Aiya tahu bagi orang seperti
Barnaba, dan bahkan dia sendiri, mati bukan hal yang perlu
ditakuti! Setiap saat nyawa bisa melayang tanpa bisa dicegah.
"Barnaba, seperti yang telah kukatakan tadi, di antara
kita tidak ada permusuhan, dan aku tidak mau
menciptakannya. Aku tidak ikut campur, dan bahkan tidak
peduli dengan pembunuhan yang telah kau lakukan terhadap
Raja Pedang Langit Bumi. Tapi, aku wajib tahu akan nasib
yang menimpa Sumini dan Empu Pradaga!"
Wajah Barnaba berubah hebat seketika. Karuan saja
hal itu membuat Aiya merasa heran. Apakah ada yang salah
pada ucapannya sehingga mebuat kakek berpakaian abu-abu
itu merasa terkejut.
"Itukah nama dua orang yang kau khawatirkan
keselamatannya?" tanya Barnaba dengan suara bergetar.
Tanpa bisa menyembunyikan keterkejutan yang membayang
jelas di wajahnya.
"Benar," Aiya menganggukkan kepala. "Sumini adalah
putri Raja Pedang Langit Bumi sedangkan Empu Pradaga,
orang yang akan menjadi ayah angkatnya."
"Bisa kau berikan sedikit ciri-cirinya padaku, Dewa
Arak? Maksudku, ciri-ciri Empu Pradaga itu! Dan, mengapa
kau menyangka mereka berdua kucelakai?"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak
segera menoeritakan pertemuannya dengan Sumini dan
Empu Pradaga. Juga ciri-ciri kakek berpakaian putih tadi.
Pendekar muda itu merasakan ada hal-hal yang pelik di sini.
Sehingga segpra diceritakannya secara gamblang, tanpa ada
yang ditutup-tutupi. Sikap Barnaba yang seperti itu
membuatnya merasa yakin ada hal-hal hebat yang
tersembunyi di sini.
"Celaka! Putri Raja Pedang Langit Bumi itu sekarang
berada dalam bahaya, Dewa Arak!" desah Barnaba setelah
mendengar penuturan Aiya sampai selesai.
Kemudian, kate k berpakaian abu-abu ini men¬
ceritakan hal-hal sebenarnya yang diketahuinya. Hal itu
membuat Dewa Arak merasa heran dan teikejut setengah
mati mendengarnya.
"Kalau begitu, sekarang juga aku akan menyusulnya,
Barnaba. Maafkan atas kesalahanku!"
"Lupakanlah, Dewa Arak. Aku tidak menganggap kau
melakukan sebuah kesalahan padaku. Bahkan sebaliknya
kau memberikan keuntungan. Karena dengan terjadinya
pertarungan di antara kita dan kesalahpahaman ini, aku jadi
mengetahui di mana adanya Empu Pradaga itu."
Namun, Dewa Arak tidak bisa menyambuti ucapan
Barnaba. Begitu mendengar kakek berpakaian abu-abu itu
tidak menganggap kesalahannya sebagai hal yang perlu
dipersoalkan, tubuhnya telah melesat. Dewa Arak ingin
secepatnya bertemu dengan Sumini dan Empu Pradaga.
kkk
Sementara itu Sumini tengah berlari cepat dengan
napas terengah-engah. Tanpa mempedulikan semak belukar
dan rumput ilalang yang dilaluinya, gadis itu terus berlari.
Bahkan onak berduri pun diterjangnya, sehingga pakaiannya
banyak yang koyak-koyak. Saat itu, Sumini berada di dalam
sebuah hutan yang tampaknya masih perawan, belum
terjamah orang.
Sumini baru menghentikan larinya dan bersembunyi,
ketika menemukan sebuah semak-semak belukar yang lebat.
Di sini, gadis berpakaian kuning itu berjongkok dan
menenangkan deru napasnya yang memburu karena rasa
takut dan tegang.
Dengan menggeleng-gelengkan kepala, putri Raja
Pedang Langit Bumi itu teringat kembali kejadian yang baru
saja dialaminya. Kejadian bersama Empu Pradaga.
"Di mana penjahat keji itu, Kek?!" tanya Sumini.
Hatinya tak sabar setelah beberapa saat lamanya dia dan
Empu Pradaga, berlari cepat untuk menuju tempat Barnaba,
tidak juga bertemu. Bahkan tanda-tanda 1$beradaannya pun
tidak terlihat.
"Penjahat keji?!"
Empu Pradaga malah balik bertanya tanpa
mengalihkan pandangan, berlari di sebelah Sumini dengan
tatapan tertuju ke depan. Kakek ini ternyata cukup lihai,
mampu menjajari Sumini. Padahal putri Raja Ftedang Langit
Bumi itu telah mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimiliki untuk berlari cepat.
"Lho...?!" Sumini terperanjat mendengar jawaban yang
tidak disangka-sangka itu. Tanpa sadar kecepatan larinya
mengendur hingga dia tertinggal. Namun keadaan kembali
seperti semula karena Empu Pradaga menghentikan lari dan
membalikkan tubuh, menghadap Sumini. "Bukankah kau
hendak mengajakku menemui Barnaba, orang yang telah
membunuh ayahku, Kek?!"
"Sayang sekali, Sumini," jawab Empu Pradaga seperti
menyesalkan keadaan. "Sebenarnya dengan senang hati aku
akan membawamu pada Barnaba, dan bahkan
membunuhnya untukmu. Tapi..., bagaimana aku mempunyai
urusan yang jauh lebih penting denganmu. Kau akan kubawa
ke tempat tinggalku."
Aku tidak mau!" sentak Sumini keras sambil
mengayunkan kaki ke belakang, mundur-mundur. "Jangan
harap aku sudi ke tempat tinggalmu sebelum aku berhasil
membalaskan dendam atas ke matian ayahku! Bahkan
menjumpai kuburnya pun belum kulakukan!"
Empu Pradaga menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau
saja aku mempunyai waktu lebih banyak lagi, mungkin aku
akan membantumu mendapatkan Barnaba dan bahkan
membunuhnya, Sumini. Tapi... sayang, waktu yang kumiliki
terbatas. Tapi, percayalah aku akan mencari Barnaba dan
membunuhnya setelah urusan ini selesai! Dan...."
"Tidak! Sekali kukatakan tidak, sampai kapan pun
tetap tidak. Bukankah kau mengatakan kalau Barnaba telah
kau jumpai beberapa saat yang lalu?! Mengapa repot-repot
mencarinya lagi?! Atau....", kau telah berbohong padaku?!"
"Kau cerdik, Sumini! Memang, aku tidak bertemu
dengan Barnaba. Tadi kukatakan telah bertemu hanya agar
kau mau ikut pergi deriganku. Cepatlah, Sumini! Aku tidak
punya banyak waktu, jangan sampai aku terpaksa
membawamu dengan kekerasan."
"Keparat! Lakukan kalau kau mampu, Empu
Pembohong!" ujar Sumini, tegas.
"He he he...!" Empu Pradaga tertawa bergelak merasa
lucu melihat Sumini yang telah bersiap-siap melakukan
perlawanan. Seakan-akan kakek ini tengah melihat seorang
anak kecil yang tengah menantangnya. "Tidak ada gunanya
kau melawan, Sumini. Aku tahu kau memiliki kepandaian
tinggi, dan hal itu kuketahui dari keberhasilan mu membu¬
nuh Pranacitra secara mudah. Tapi, tidak ada gunanya. Tak
akan ada satu pun tokoh persilatan yang dapat
menghadapiku, Sumini! Camkan itu! Tidak juga Dewa Arak!
Kalau aku mau, saat bertemu dengannya, telah kukirim
nyawanya ke neraka!"
Belum juga Empu Pradaga menutup mulutnya,
Sumini telah melancarkan serangan. Kakinya menendang
bertubi-tubi ke arah lambung yang mengeluarkan bunyi
menderu teras karena didorong tenaga dalam kuat.
Hanya dengan melangkahkan kaki kanan dan ke
belakang, Empu Pradaga telah membuat semua serangan
Sumini kandas. Kemudian kate k berpakaian putih itu-
mengulurkan kedua tangan ke arah pinggang Sumini seperti
hendak memeluk.
Tappp!
"Ikh!"
Sumini memekik tertahan ketika pergelangan tangan
kanannya tercekal Empu Pradaga yang bergerak demikian
cepat. Hal itu dilakukan ketika Sumini menarik tubuhnya
mengelak dari pelukannya.
Meskipun demikian, Sumini tidak gugup. Buru-buru
ditarik tangannya. Namun kalah cepat! Karena begitu
tangannya tercekal Empu Pradaga, langsung melakukan
gerakan lanjutan. Entah dengan cara bagaimana tahu-tahu
kedua tangan kakek berpakaian putih itu telah menangkap
kedua pinggang Sumini.
Kelanjutan kejadian yang tidak tersangka-sangka ini
membuat Sumini gugup. Sungguh pun demikian, karena
telah dapat menduga tindakan yang akan dilakukan lawan,
Sumini mengerahkan tenaga untuk memperberat tubuhnya.
Untuk ke sekian kalinya Sumini harus menelan
kenyataan pahit. Usahanya gagal. Tubuh gadis itu terangkat
ke atas dan Empu Pradaga memutar- mutamya sambil
tertawa bergelak.
Sumini tidak berdaya untuk berbuat apa pun ketika
tubuhnya diputar-putar beberapa saat. Akhirnya kakek
berpakaian putih itu melemparkannya ke depan dengan
mengerahkan tenaga dalam.
Tanpa dapat ditahan lagi, tubuh Sumini meluncur
jauh ke depan akibat tenaga lemparan yang kuat itu. Namun,
kali ini Sumini mampu mempertujukkan kalau dirinya tidak
mudah dijadikan pecundang. Dengan manis diabeijungkir
balik di udara, kemudian membalik dengan tenaga lontaran
yang masih mendorongnya. Sehingga tubuhnya meluncur ke
arah lawan, dan berdiri di depannya.
Empu Pradaga membelalakkan sepasang mata heran
melihat lawan mampu menggagalkan lemparannya. Sama
sekali tidak disangka kalau Sumini mampu melakukan hal
seperti itu. Semula kakek berpakaian putih ini menduga
kalau tubuh Sumini akan melayang jauh dan akhirnya
menumbuk pohon yang berada tak jauh dari situ.
"Ha ha ha...! Bagus...! Bagus...! Rupanya kau memiliki
sedikit kepandaian juga, Anak Manis?! Baik, kita bersenang-
senang dulu sebelum kau terpaksa ikut pergi denganku!"
ucap Empu Pradaga, penuh perasaan gpmbira.
Sumini yang telah berhasil memperbaiki
kedudukannya, dan berdiri tegak berhadapan dengan kakek
berpakaian putih itu, tidak mempedulikan ucapan yang
tertuju padanya. Menyadari kalau lawan kali ini memiliki
kepandaian tinggi, dicabut pedangnya. Sebagai seorang putri
raja pedang, dengan pedang di tangannya itu Sumini tidak
ubahnya seekor harimau bersayap.
6
Serangan-serangan Sumini, benar-benar
menakjubkan. Bentuk pedangnya lenyap. Yang terlihat
sekarang hanya sinar-sinar berkilauan laksana halilintar
menyambar-nyambar ke arah Empu Pradaga. Kadang-
kadang, sinar itu memecah seperti membuat jalan sendiri-
sendiri, tapi semuanya menuju ke satu arah, Empu Pradaga!
"Hebat..!"
Di sela-sela kesibukannya mengelakkan serangan,
Empu Pradaga masih sempat mengeluarkan pujian. Kakek
berpakaian putih ini sebenarnya merasa kagum menyaksikan
permainan ilmu pedang Sumini
Dengan ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam
yang luar biasa, Sumini benar-benar menggiriskan hati.
Namun, toh Empu Pradaga mampu menangkal setiap
serangannya. Tubuh kakek itu bagaikan asap, berkelebatan
ke sana kemari di antara sambaran pedang Sumini. Ke mana
saja pedang lawan menyambar, selalu berhasil dielakkan.
Sumini menggertakkan gigi karena kesal ketika
sampai empat puluh jurus melancarkan serangan, tak satu
pun mengenai sasaran. Dan yang lebih menjengkelkan
hatinya, kate k berpakaian putih itu belum melancarkan
serangan sama sekali.
Tiba-tiba Empu Pradaga menggeram keras laksana
seekor harimau tengah murka. Getaran suaranya membuat
Sumini terkejut. Dadanya terasa tergetar hebat, bahkan
kedua kakinya menggigil. Sebelum dia sempat berbuat lebih
jauh, tangan kakek itu telah bergerak. Sumini memekik
tertahan ketika merasakan tangannya yang menggenggam
pedang terasa lumpuh. Dia tidak mampu mencegah sama
sekali ketika Empu Pradaga mengulurkan tangan merampas
pedangnya.
Wajah Sumini seketika pucat. Kenyataan ini
menyadarkannya kalau Empu Pradaga benar-benar memiliki
kepandaian tinggi. Dia mulai merasa gentar. Baru sekali ini
ditemukannya lawan yang memiliki kepandaian tinggi.
"Bagaimana, Anak Manis?" tanya Empu Pradaga
dengan senyum mengejek sambil menimang-nimang pedang
Sumini.
Sumini mundur-mundur ketika Empu Pradaga
melangkah perlahan ke arahnya. Dengan pedang di tangan
saja dia tidak mampu menghadapi kakek yang luar biasa ini,
apalagi tanpa senjata. Dia akan dapat dikalahkan secara
mudah.
"Subranta,..! Sungguh kau tidak tahu malu berani
mengganggu seorang bocah ingusan...."
Mendadak terdengar suara seseorang yang membuat
Empu Pradaga terkejut. Begitu juga Sumini. Diam-diam
perasaan gembira menyeruak di hati gadis berpakaian kuning
ini karena mengenai pemilik suara itu. Pemilik suara inilah
yang dulu membuatnya lolos dari Dewa Arak. Seorang
perempuan tua berpakaian hitam yang sebenarnya nenek
kandung Sumini.
Tiba-tiba pula terdengar angin berkesiutan, dan di
tengah-tengah antara Sumini dan Empu Pradaga, berdiri
seorang nenek berpakaian hitam.
"Kau...?!" Empu Pradaga membelalakkan mata
keheranan. "Kau masih hidup?! Kau tidak mati?! Kau
selamat, Durgandini?"
"Ya," sahut nenek berpakaian hitam yang ternyata
bernama Durgandini. "Tapi tidak dengan cara seperti yang
kau lakukan, Subranta?! Mengorbankan banyak nyawa tidak
berdosa! Dan sekarang kalau aku tidak segera datang,
mungkin cucuku pun akan menjadi korban kebiadaban mu!"
"Ah...!" Subranta alias Empu Pradaga terperanjat.
"Jadi, bocah ini cucumu?! Kalau begitu Raja Ftedang Langit
Bumi anakmu?!"
"Mengapa? Kaget?"
"Terus terang kukatakan iya, Durgandini. Tapi, aku
tidak mau mengurus hal-hal kecil semacam itu. Yang
penting, sekarang aku butuh cucumu ini! Menyingkirlah kau,
Durgandini, jangan sampai aku lupa kalau kita pernah
mempunyai hubungan baik!"
"Lupakanlah hal itu, Subranta! Apa pun yang teijadi,
aku tidak akan membiarkan cucuku jadi korban
kebiadaban mu!" tegas Durgandini mantap.
"Sumini! Cepat kau pergi dari sini! Selamatkan
dirimu!"
"Tapi, Nek...!" Sumini masih mencoba membantah.
"Cepat pergi kataku!" sergah Durgandini. Ketika
Sumini hendak memberikan tanggapan lagi, Empu Pradaga
alias Subranta telah menggeram hebat dan menubruk
Durgandini dengan kedua tangan terpentang, seperti
layaknya seekor harimau menerkam mangsanya.
Kedahsyatan serangan ini membuat Sumini melompat
mundur, tapi tidak demikian halnya dengan Durgandini.
Dengan gagah berani nenek berpakaian hitam itu memapak
datangnya serangan dengan kedua tangan hendak
mencengkeram.
Jglarrr...!
Ledakan teras menggelegar seketika terdengar
memekakkan telinga. Suasana di sekitar tempat itu bergetar
hebat. Bahkan Sumini yang berada jauh dari tempat
pertarungan pun merasakan sendiri kedahsyatan getarannya.
Hal ini memaksa gadis berpakaian kuning itu untuk terus
menjauhi dari tempat pertarungan karena menyadari
bahayanya.
Kini Sumini mulai mengetahui kekhawatiran
neneknya, ketika melihat Durgandini terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang akibat benturan itu. Sumini
tahu, tenaga dalam neneknya kalah kuat jika dibandingkan
dengan Empu Pradaga.
Sementara itu, Empu Pradaga tampaknya tidak main-
main dengan ancamannya. Tanpa memberi kesempatan pada
Durgandini untuk memperbaiki kedudukan, dia melakukan
serangan susulan. Namun, Durgandini pun bukan orang
yang gampang dipecundangi. Dengan cepat dia dapat
mengelak, dan bahkan segpra melancarkan serangan tidak
kalah dahsyat. Dia mulai mempergunakan payung yang
menjadi senjata andalannya.
Sesaat kemudian bentuk tubuh kedua tokoh sakti
yang sama-sama tua itu lenyap. Sehingga yang tampak hanya
bayangan hitam dan putih saling berkelebatan saling
membelit. Pandangan mata Sumini yang tajam dapat melihat
kalau Empu Pradaga memang terlalu tangguh untuk dilawan.
Menginjak jurus ketiga puluh, dilihatnya Durgandini telah
dapat bermain mundur. Serangan-serangan yang
dilakukannya sudah mulai berkurang. Hanya mengelak dan
menangkis yang dilakukan, bahkan menangkis pun sesekali
saja karena merugikannya.
Dalam keadaan terdesak, rupanya Durgandini masih
sempat melihat kalau Sumini belum meninggalkan tempat
itu. Maka dikeluarkan seruan-seruan untuk memaksa
Sumini meninggalkan tempat itu secepatnya.
Hal itu amat berbahaya, dan hampir saja tindakan
yang cukup membagi perhatian ini membuatnya kehilangan
nyawa. Sumini tahu kalau dia tetap di sini, neneknya akan
menghadapi bahaya besar karena selalu
mengkhawatirkannya. Maka meskipun tidak sampai hati,
dikeraskan perasaan untuk meninggalkan tempat ini.
Sungguhpun demikian, karena rasa khawatirnya yang
masih berkecamuk, Sumini berkali-kali menolehkan kepala
berusaha melihat keadaan neneknya. Tindakan itu
dihentikan ketika tubuh kedua orang yang bertempur tidak
terlihat lagi. Sampai akhirnya gadis berpakaian kuning itu
tiba di kerimbunan semak-semak belukar.
Baru saja deru napas Sumini mereda, terdengar bunyi
berkerosakan yang semakin lama semakin keras pertanda
ada sesuatu yang tengah mendekati tempatnya dengan
menerobos kerimbunan semak-semak. Sumini merasakan
jantungnya berdetak cepat lagi.
"Mau lari ke mana, Bangsat Kecil?! Jangan harap
dapat lolos dari tanganku! Aku tahu kau bersembunyi di
sekitar tempat ini. Aku mencium baumu! Keluarlah, cepat!
Sebelum aku kehilangan kesabaran dan merobek-robek
tubuhmu sampai hancur...!"
Sumini bukan seorang gadis penakut. Namun
mendengar ancaman itu kakinya menggigil keras karena
ngeri. Apalagi ketika didengarnya bunyi mendengus-dengus,
seperti seekor anjing pelacak tengah mencari jejak.
Kekhawatiran Sumini semakin memuncak! Suara dan bunyi
mengendus-endus itu terdengar demikian dekat
"Keluarlah kau, Bangsat Kecil!"
Berbareng keluarnya teriakan itu, serentak angin
keras berhembus. Semak-semak tempat sembunyi Sumini
tercabut sampai ke akar-akarnya, bagai ditarik oleh tangan-
tangan raksasa gaib.
Hampir Sumini copot jantungnya ketika melihat
tempat persembunyiannya dihancurkan. Apalagi ketika
melihat Empu Pradaga dengan wajah dan sepasang mata
yang semakin merah telah berdiri beberapa tombak di
depannya.
Meskipun demikian, Sumini tidak kehilangan akal
untuk bertindak di saat-saat genting, dia masih ingat untuk
menghentakkan tangannya melancarkan pukulan jarak jauh.
Namun hanya dengan kibasan tangan kiri, Empu Pradaga
yang tengan kalap membuat pupus serangan Sumini yang
dahsyat itu.
Sumini seakan tidak kuat berdiri karena hatinya
ngeri. Dia tahu tidak ada jalan lolos lagi baginya untuk
menyelamatkan selembar nyawa. Dan, Empu Pradaga yang
tengah murka langsung menubruknya. Sumini tidak bisa
bergerak lagi. Dengan rasa putus asa matanya terpejam,
pasrah pada kenyataan yang akan menimpanya.
Tapi, serangan Empu Pradaga tidak kunjung datang.
Bahkan dia mendengar adanya seruan teras diikuti dengan
berdesimya angin keras.
"Pradaga...! Keparat keji, terimalah ajalmu! Heaaa...!"
Sebuah benturan keras langsung terdengar ketika
teriakan itu belum lenyap gemanya. Benturan yang membuat
tempat berpijak Sumini tergetar hebat seperti terlanda
gempa. Dan ketika gadis berpakaian kuning itu membuka
mata dilihatnya sesosok tubuh berpakaian abu-abu melayang
deras ke belakang, bahkan melewati kepalanya. Sementara
Empu Pradaga hanya terhuyung-huyung beberapa langkah.
Namun sosok berpakaian abu-abu itu rupanya bukan
tokoh sembarangan. Dia mampu mematahkan kekuatan yang
membuat tubuhnya terlontar, lalu meluruk kembali ke arah
Empu Pradaga yang baru saja hendak menerkam Sumini lagi.
"Keparat jahanam!" Empu Pradaga menggeram seperti
harimau luka yang membuat dada Sumini tergetar keras.
"Siapa kau, Anjing Kudisan! Sungguh berani mati kau
mencampuri urusanku!"
"Kaulah yang harus mati di tanganku, Pradaga! Demi
membalas kematian murid-muridku yang telah kau bantai
dan jadikan korban kebiadanmu yang terkutuk itu!" sahut
kakek berpakaian abu-abu. Ingatkah kau akan perguruan
kecil wanita di leher Gunung Welirang? Nah, akulah guru
mereka. Kau telah melakukan kekejian iblis di saat aku tak
ada di sana! Sekarang terimalah balasanku, Iblis Keji!"
"Jadi, kau Barnaba?! Rupanya kau ingin menyusul
murid-muridmu, heh?! Baiklah, terimalah kematianmu,
Barnaba!"
Empu Pradaga melancarkan serangan berturut-turut
dengan kedua tangannya yang tertepai keras. Tapi, Barnaba
mengelakkan serangan dengan membanting tubuh ke tanah
dan bergulingan menjauh.
"Menyingkirlah, Sumini! Pergi, tinggalkan tempat ini!
Cari Dewa Arak dan minta perlindungan padanya! Iblis keji
ini akan menjadikanmu korban kebiadaban nafsunya!" seru
Barnaba sambil terus menggulingkan tubuh.
Sumini tidak langsung mematuhi seruan itu. Hatinya
berperang antara mengikuti perintah itu atau menyerang
orang yang telah membunuh ayahnya.
Dan Barnaba pun rupanya mengetahi keragu-raguan
Sumini. Maka sambil bergulingan mengelakkan serangan
maut Empu Pradaga, dia kembali berseru, "Pergilah, Sumini!
Cepat! Percayalah, bukan aku yang membunuh ayahmu!
Kalau kau tidak percaya, tanya saja pada Dewa Arak. Dia
tahu pembunuhnya!"
Kali ini Sumini tidak berani membuang waktu lebih
lama. Dia merasakan adanya kesungguhan dalam ucapan
kakek berpakaian abu-abu itu. Maka sambil menggertakkan
gigi untuk lebih menambah kekuatan tenaga dalamnya,
tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tujuannya
ingin menjumpai Dewa Arak untuk meminta pertolongan
sekaligus keterangan mengenai ayahnya.
•k-k-k
Barnaba harus berjuang keras untuk menanggulangi
serangan gencar Empu Pradaga. Harus diakuinya kalau saat
ini kepandaiannya belum dapat diandalkan untuk dapat
membalas dendam. Empu Pradaga memang seperti bukan
manusia lagi. Serangan-serangan Barnaba baik pukulan
maupun tendangan tidak dirasakan sama sekali. Beberapa
kali serangannya mendarat di berbagai bagian tubuh lawan,
tapi hanya mampu membuat Empu Pradaga terhuyung-
huyung sebentar, kemudian kembali sigap seperti sediakala.
Tidak terlihat kalau pukulan dan tendangannya berpengaruh.
Sebaliknya, Barnaba harus berhati-hati menghadapi
setiap serangan balasan Empu Pradaga. Karena, jangankan
terkena secara telak, baru terserempet angin serangannya
saja sudah cukup untuk membuat tubuh Barnaba
terhuyung-huyung seperti diseruduk seekor banteng.
Sadar akan ketinggian ilmu lawannya Barnaba tidak
ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan pedangnya yang beracun.
Dan setelah pedang itu dikeluarkan Empu Pradaga tidak
berani menerima serangan. Rupanya dia telah mengetahui
kalau pedang Barnaba mengandung racun yang tidak terkira
ganasnya.
Dengan pedang beracun di tangan, Barnaba dapat
bernapas lebih lega. Empu Pradaga tidak bisa bersikap
seperti sebelumnya, mengacuhkan setiap serangan.
Sekarang, kakek berpakaian putih itu bertarung seperti
layaknya, terkadang mengelak dan sesekali melancarkan
serangan balasan.
Lima puluh jurus telah berlalu. Selama itu Empu
Pradaga tidak bisa melakukan tindakan berarti. Barnaba
masih mampu melakukan perlawanan sengit. Empu Pradaga
tidak mampu melakukan desakan karena lawan mampu
mempergunakan pedang beracunnya di saat yang tepat.
Wajah Empu Pradaga merah padam karena geram.
Sambil mendengus segera dikeluarkan senjata andalannya,
berupa seuntai tasbih. Kehebatannya tidak terperikan.
Bentuk tasbih itu lenyap ketika digerakkan. Yang tampak
kini hanya segulungan sinar putih yang meluncur ke arah
Barnaba.
Hanya dengan beberapa gerakan, dihitung dari Empu
Pradaga menggunakan senjata, Barnaba dibuat kelabakan.
Permainan tasbih Empu Pradaga benar-benar membuatnya
bingung. Tasbih itu terkadang lepas dari tangan memburu
dan menyambar tubuh lawan tapi kemudian bisa kembali lagi
ke pemiliknya.
Trakkk!
"Aaakh...!"
Barnaba mengeluarkan jeritan tertahan ketika tasbih
Empu Pradaga membelit batang pedangnya. Dicobanya untuk
melepaskan senjata andalan itu dari belitan senjata lawan.
Tapi sia-sia. Sebelum Bamaba sempat berbuat sesuatu,
Empu Pradaga mengirimkan serangan maut 1$ arah ulu hati
dengan tusukan jari-jari tangan kirinya.
Barnaba segera melangkah mundur seraya
melakukan tarikan terhadap senjatanya agar dapat lepas dari
belitan senjata lawan. Tindakan ini membuat tubuh,
terutama bagian atas tergeser ke belakang sejauh beberapa
kaki. Ini membuat jari-jari tangan Empu Pradaga tidak akan
bisa menyentuh sasaran.
Namun perhitungan Barnaba meleset sama sekali.
Tangan Empu Pradaga terus mengejar dan akhirnya berhasil
menembus ulu hatinya. Padahal Barnaba telah berusaha
keras untuk mengelakkannya. Ternyata tangan Empu
Pradaga bisa memanjang hampir dua kali lipat ukurannya.
Inilah yang menyebabkan elakan Barnaba sia-sia. Dan kakek
berpakaian abu-abu itu menjerit teras, ketika jari-jari tangan
Empu Pradaga menembus dadanya hingga menimbulkan
muncratan darah segar membasahi tubuhnya.
Tanpa mempedulikan lawannya lagi, Empu Pradaga
segera melesat untuk mengejar Sumini.
7
Empu Pradaga yang sudah kalap itu berlari secepat-
cepatnya sehingga kedua kakinya seperti tidak menapak
tanah. Namun setelah beberapa saat lamanya berlari, kakek
berpakaian putih ini menurutkan alis ketika melihat ada
sesosok tubuh yang juga bergerak cepat. Hanya saja arah
yang ditempuh sosok itu berlawanan dengannya.
Karena kedua belah pihak bergerak saling mendekati,
hanya dalam waktu sesaat saja, jaraknya telah semakin
dekat. Dan Empu Pradaga menggeram hebat ketika melihat
secara jelas kalau sosok yang bergerak cepat mendekatinya
ternyata, Dewa Arak.
Dan kegeraman Empu Pradaga semakin menjadi-jadi
ketika melihat Dewa Arak sepertinya sengaja menghadang
pe ij alan an nya.
"Hendak ke mana, Empu?! Dan mengapa terburu-
buru sekali?!" tanya Dewa Arak yang telah berdiri
menghadangnya dijalan. "Ke mana Sumini?"
Jawaban bagi pertanyaan Dewa Arak sebuah
hentakkan kedua telapak tangan yang menimbulkan bunyi
angin keras. Apabila mengenai sasaran mampu membuat
tubuh hancur lebur, dan itu diketahui secara pasti oleh Dewa
Arak. Pendekar muda itu segera melompat ke atas, sehingga
serangan lewat di bawah kakinya.
Empu Pradaga benar-benar tengah mengejar waktu.
Begitu melihat Dewa Arak melompat kc atas, dia langsung
melesat lari menerobos tempat Dewa Arak semula berada.
Namun Dewa Arak tidak kalah cerdik. Ketika
tubuhnya masih berada di atas langsung berputar tepat di
saat Empu Pradaga tengah melewati tempatnya. Kedua
tangannya diayunkan ke arah ubun-ubun kepala kakek
berpakaian putih itu.
Dewa Arak langsung melancarkan serangan maut.
Dan itu bukan tanpa alasan karena dia telah mengetahui
secara pasti siapa sebenarnya Empu Pradaga ini!
Begitu meninggalkan Barnaba yang saat itu tengah
terluka. Dewa Arak memacu larinya secepat mungkin.
Maksudnya agar segera tiba di tempat pertapaan Empu
Pradaga di sebelah selatan lereng Gunung Anjasmoro.
Cukup lama Dewa Arak berlari cepat ketika
pendengarannya yang tajam menangkap adanya bunyi
rintihan dari sebelah kanannya. Semula, pemuda berambut
putih keperakan itu bermaksud membiarkannya saja
mengingat dia sendiri tengah mengejar waktu. Namun, naluri
kependekarannya tidak bisa diajak melakukan hal seperti itu.
Maka, Aiya membelokkan arah, dan berlari menuju tempat
suara rintihan itu berasal.
Hanya beberapa kali lesatan, Dewa Arak telah berhasil
mengetahui asal dan pemilik suara rintihan itu. Dan begitu
melihatnya, Aiya sempat terperanjat. Langkahnya seketika
terhenti di tengah jalan. Pemilik suara rintihan itu
dikenalinya betul, nenek berpakaian hitam yang telah
menyebabkan Sumini terpisah darinya, Durgandini.
Durgandini juga melihat kedatangan Dewa Arak
meskipun tubuhnya saat itu terkapar berlumur darah.
Pendengarannya yang tajam, menangkap bunyi langkah kaki
Dewa Arak dan ditolehkan kepalanya. Begitu dilihatnya
pemuda itu, wajahnya tampak berseri gembira.
"Dewa Arak...! Syukur kau datang, cepat selamatkan
Sumini! Dia terancam bahaya mengerikan!"
Seruan Durgandini membuat Dewa Arak
mengernyitkan kening karena heran. Sebagai seorang
pendekar yang telah kenyang makan asam garam dunia
persilaan, dia dapat merasakan adanya nada kekhawatiran
dalam ucapan nenek berpakaian hitam ini. Dan hal itu
membuatnya merasa heran. Mengapa, Durgandini merasa
khawatir akan nasib Sumini.
Dewa Arak tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam
alun pertanyaan seperti itu. Begitu mendengar nama Sumini
disebut, dia langsung melupakan tindakan Durgandini yang
waktu itu telah menyebabkan Sumini lolos darinya?
Keselamatan Sumini saat itu jauh lebih penting daripada
meribiitkan masalah yang telah lalu!
"Apa yang teijadi dengan Sumini? Aku tahu kalau
Sumini pergi dengan Empu Pradaga yang berhati keji! Lalu,
sekarang di mana dia?" tanya Dewa Arak tak sabar.
"Kau sudah tahu hal itu, Dewa Arak?" tanya
Durgandini setengah tidak percaya.
"Aku sudah tahu dari Barnaba! Jangan buang-buang
waktu, cepat katakan ke mana Sumini dibawa pergi!"
"Sumini berhasil kuselamatkan dari tangan jahat
Empu Pradaga itu. Aku bertarung dengannya dan kalah.
Untung saja karena dia tengah terburu-buru aku tidak
sempat dibunuhnya. Dia lebih mementingkan mengejar
Sumini berlari ke arah sana!"
"Siapakah kau ini, Nek?" tanya Dewa Arak tak kuasa
menahan perasaan ingin tahunya.
"Aku nenek kandung Sumini. Raja Pedang Langit
Bumi adalah anakku!"
"Ah...!"
Dewa Arak kaget karena hal itu benar-benar tidak
disangkanya. "Bisa kutinggalkan kau sebentar, Nek?! Kalau
saja aku tidak tengah beradu cepat dengan waktu, dan
Sumini tidak berada dalam keadaan gawat, aku akan
menungguimu di sini sampai keadaanmu pulih seperti
sediakala."
"Tidak usah kau pedulikan aku, Dewa Arak! Aku tidak
apa-apa. Yang penting, selamatkan Sumini."
Dewa Arak sudah tidak sempat lagi mendengar
sambutan Durgandini karena langsung melesat cepat
meninggalkannya. Dan ternyata arah yang ditunjukkan
nenek berpakaian hitam itu tidak keliru sama sekali. Baru
beberapa saat berlari, di kejauhan dilihatnya sesosok tubuh
tengah melesat cepat mendekati tempatnya berada. Dan tak
lama kemudian Aiya tahu kalau sosok itu Sumini adanya.
"Sumini! Syukurlah kau selamat!" seru Aiya seraya
menghadang di depan Sumini yang tampak pucat pasi. "Di
mana Empu Pradaga itu?! Dan mengapa kau lari kembali ke
tempat semula. Cepat kau tolong nenekmu!"
"Em... pu Pra... da... ga tengah berta... rung dengan
Bar... naba...," jawab Sumini dengan suara terputus-putus
karena napasnya yang terengah disebabkan rasa takut dan
tegang.
Perasaan takut dan tegang membuat Sumini tidak
bisa memperhatikan arah lagi. Yang dipikirkannya berlari
sejauh-jauhnya dari Empu Pradaga yang mengerikan. Sama
sekali tidak sempat diingat kalau dia menuju ke tempat yang
semula ditinggalkannya. Sehingga dia berpapasan dengan
Dewa Arak.
"Kau mau ke mana, Dewa Arak?" tanya Sumini ketika
melihat Dewa Arak melesat ke tempat yang baru
ditinggalkannya. Tempat Empu Pradaga dan Bamaba tengah
bertarung keras.
"Menjumpai Empu Pradaga dan menghentikan
perbuatan kejinya yang telah meienggut nyawa tidak
berdosa," jawab Aiya pelan, tapi mantap.
"Lebih, baik kau urungkan niatmu, Dewa Arak!" ujar
Sumini tanpa dapat menyembunyikan rasa khawatir atas
keselamatan Dewa Arak. "Akan sangat berbahaya bagi
keselamatanmu. Empu Pradaga bukan manusia lagi, dia iblis!
Kepandaian yang dimilikinya benar-benar tidak lumrah
manusia! Kau akan tewas di tangannya, Dewa Arak!"
"Biarlah kalau itu memang sudah nasibku, Sumini!
Aku rela mempertaruhkan nyawa demi membasmi orang
seperti Empu Pradaga!"
Kemudian, tanpa menunggu jawaban Sumini, Dewa
Arak melesat menuju tempat yang baru ditinggalkan Sumini.
Dan akhirnya dia melihat Empu Pradaga yang tengah berlari
cepat ke arahnya. Dari kenyataan ini saja dia sudah bisa
menduga nasib yang diterima Barnaba.
Tanpa membuang-buang waktu lagi dan tanpa pikir
panjang, Dewa Arak segera mengirimkan serangan maut.
Sudah bisa diperkirakannya ketinggian ilmu Empu Pradaga
dengan keberhasilannya mengalahkan Durgandini dan
Bamaba.
Namun serangan Dewa Arak kandas ketika Empu
Pradaga dengan cepat merendahkan tubuhnya. Bahkan
kakek berpakaian putih itu mampu mengirimkan serangan
tidak terduga. Kaki kanannya ditendangkan ke belakang,
seperti seekor kuda yang tengah menyepak!
Karena tidak ada kesempatan untuk mengelak, Dewa
Arak pun menangkisnya dengan kedua tangannya
disilangkan.
Dukkk!
"Eh...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak
segera mengirimkan serangan maut ke arah Empu Pradaga.
Namun, serangan Dewa Arak kandas ketika kakek itu
merendahkan tubuhnya.
Dewa Arak menyeringai ketika sekujur tangannya
terasa lumpuh, dan tubuhnya tergetar hebat. Di samping itu
dia terpental kembali ke udara. Namun, Dewa Arak tak
mudah untuk ditundukkan, pertarungan sengit pun
berlangsung.
Baru beberapa jurus saja, Dewa Arak telah me¬
ngetahui kebenaran Sumini mengkhawatirkan nasibnya.
Empu Pradaga ternyata benar-benar lihai! Setiap kali terjadi
benturan antara mereka, baik kaki maupun tangan selalu
membuat tubuh Arya terhuyung-huyung ke belakang dengan
rasa sakit yang menjalar 1$ sekujur tubuh. Sementara lawan
hanya tergetar saja tubuhnya.
Namun hal itu belum membuat Dewa Arak merasa
takjub. Yang membuat pemuda berambut putih keperakan
itu merasa kagum hanya ketika mengetahui lawan tidak
pernah menalakkan setiap serangan yang mengarah
berbagai bagian tubuhnya. Setiap serangan baik pukulan
maupun tendangan yang mengenai berbagai bagian
tubuhnya, tidak berpengaruh banyak. Tubuh Empu Pradaga
hanya tergetar sedikit. Setelah itu kakek berpakaian putih ini
langsung melancarkan serangan dahsyat. Hanya dalam
beberapa jurus, Dewa Arak sudah dipaksa untuk
mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti'. Pendekar muda itu
merasa kewalahan. Setiap serangan tidak berarti bagi lawan,
sedangkan serangan lawan membuatnya terpontang-panting.
Dan setelah Dewa Arak mengeluarkan ilmu 'Belalang
Sakti' keadaannya jauh lebih menguntungkan daripada
sebelumnya. Setidak-tidaknya dia tidak terlalu terpontang-
panting dalam mengelakkan serangan. Dengan jurus
'Delapan Langkah Belalang', serangan-serangan Empu
Pradaga tidak terlalu sulit untuk dipupuskan.
Namun Dewa Arak tetap saja terdesak ketika Empu
Pradaga mulai menggunakan tasbihnya. Tasbih itu mampu
saling bantu dengan tangan kiri yang senantiasa
mengirimkan serangan berupa pukulan jarak jauh. Pukulan
dahsyat yang membuat tanah, batu, dan pohon yang terkena
sasaran hancur be-rantakan.
"Hea...!"
Duk!
"Heaps...!"
Tubuh Aiya terdorong jauh ke belakang ketika
menangkis dengan guci tendangan Empu Pradaga yang
mengarah ke perut.
Kesempatan baik itu tidak disia-siakan Empu
Pradaga. Dengan sinar mata bengis, dia bersiap melancarkan
serangan mematikan. Namun, tindakannya mendadak
tertahan ketika terdengar bunyi berdesing nyaring diikuti
meluncurnya beberapa bilah pisau 1$ arah mata,
tenggorokan, dan ulu hati.
"Heh...! Haits...!"
Sambil mengeluarkan pekikan tertahan, Empu
Pradaga cepat menundukkan tubuh. Sehingga serangan dua
bilah pisau yang mengarah sepasang mata lewat di atas
kepalanya. Yang mengancam tenggorokan langsung
tertangkap mulutnya. Sedangkan yang mengarah ulu hati
disampokkan sehingga kembali ke tempat semula.
Empu Pradaga belum sempat berbuat sesuatu,
sesosok bayangan kuning melesat diiringi bunyi berdesing
nyaring. Seleiet sinar berkilauan yang ternyata sebilah
pedang meluncur ke tenggorokan Empu Pradaga.
Trak!
Dengan kecepatan yang mengagumkan Empu Pradaga
berhasil menangkis pedang sosok bayangan kuning dengan
tasbih, dan membelitnya. Tidak hanya sampai di situ, dengan
satu sentakan, Empu Pradaga membuat tubuh sosok
bayangan kuning itu tertarik ke depan. Kemudian
disambutnya dengan gedoran telapak tangan kiri terbuka.
"Uh...!"
Sosok bayangan kuning yang ternyata Sumini
terpekik. Namun berkat kelihaiannya, dia mampu
menghentakkan kaki sehingga tubuhnya melenting ke atas
dan serangan itu pun lewat di bawahnya.
Sebelum keadaan Sumini semakin buruk Dewa Arak
telah melesat menyelamatkannya dengan mengirimkan
serangan yang membuat Empu Pradaga mengalihkan
perhatian dari Sumini. Ffertarungan yang jauh lebih sengit
berlanjut. Empu Pradaga kini menghadapi dua orang lawan.
Meskipun dikeroyok oleh Dewa Arak dan Sumini,
Empu Pradaga tidak terdesak Perlawanan sengit tetap dapat
diberikan. Bahkan Dewa Arak diam-diam kaget karena
merasakan kepandaian Empu Pradaga sepertinya bertambah.
Kalau semula, serangan-serangan pedang Sumini tidak
ditangkisnya dengan tangan, sekarang dilakukan hal itu.
Begitu juga terhadap serangan-serangan yang dikirimkan.
"Ikh!"
Sumini menjerit tertahan ketika pedangnya berhasil
dicengkeram tangan kiri Empu Pradaga. Semula meskipun
beberapa kali tertangkis, tak pernah di tercengkeram karena
Sumini bertindak lebih cepat.
Jeritan pendek Sumini kembali terdengar ketika
Empu Pradaga menarik tangannya sehingga tubuh gadis itu
ikut tertarik ke depan. Kemudian dengan kecepatan yang
sulit untuk diikuti mata, kakek berpakaian putih itu
mengirimkan totokan 1$ arah bahu kanan. Sumini yang tidak
sempat mengelak langsung roboh lemas.
Melihat hal itu Dewa Arak yang tadi dipaksa mundur
menjauh oleh serangan jarak jauh Empu Pradaga segera
melesat untuk menolong Sumini. Namun dia kalah cepat,
kakek berpakaian putih itu telah lebih dulu menyambar
tubuh Sumini dan memondongnya. Kemudian dengan sekali
menjejakkan kaki, tubuh Empu Pradaga telah lewat di atas
kepala Dewa Arak dan terus melesat cepat meninggalkan
tempat itu.
Dewa Arak tidak tinggal diam, dan langsung
melakukan pengejaran. Namun ternyata untuk kesekian
kalinya, pemuda berambut putih keperakan itu harus
menelan pil pahit. Kecepatan lari Empu Pradaga benar-benar
tidak terjangkau olehnya. Kedua kaki kakek berpakaian putih
itu seperti tidak bersentuhan dengan tanah, melainkan
melayang. Dewa Arak meskipun telah mengerahkan seluruh
kecepatan lari, tetap saja tertinggal, dan semakin lama
semakin jauh.
Sungguhpun demikian, Dewa Arak tidak putus asa.
Dia terus melakukan pengejaran. Di dalam hati, dirinya
menyayangkan tindakan Sumini yang datang untuk
menolongnya. Meskipun diakui tanpa adanya Sumini
mungkin nyawanya sudah melayang ke alam baka.
Semangat Dewa Arak untuk melakukan pengtjaran,
semakin membara ketika melihat sosok tubuh tengah terlibat
dalam pertarungan. Memang masih terlalu kecil untuk
diketahui, tapi menilik gerakan-gerakan yang dilakukan, bisa
diketahui kalau sosok yang tengah terlibat dalam
pertarungan sengit itu Empu Pradaga dan Durgandini.
Sesaat kemudian, Aiya telah bisa membuktikan
kebenaran dugaannya. Durgandini dan Empu Pradaga tengah
terlibat dalam pertarungan. Namun dalam sekilas dia tahu
kalau keadaan nenek berpakaian hitam itu amat gawat.
Tubuhnya terpontang-panting ke sana kemari. Dia tidak
sempat melakukan serangan balasan, hanya mampu
mengelak dengan susah payah.
"Hih!"
Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya,
melakukan serangan jarak jauh dengan jurus 'Pukulan
Belalang'. Seterika itu pula angin berhawa panas menyengat,
meluruk ke arah Empu Pradaga yang tengah memburu dan
menghujani Durgandini dengan serangan-serangan maut.
Glarrr!
Ledakan teras laksana petir menyambar terdengar
ketika Empu Pradaga menghentakkan kedua tangan pula
untuk memapak serangan Dewa Arak. Akibatnya tubuh Dewa
Arak terjengkang ke belakang dan terguling-guling dengan
dada dirasakan sesak. Bahkan, dari sudut bibirnya mengalir
darah segar tanda kalau dia terluka dalam. Sementara tubuh
Empu Pradaga hanya tergetar.
Saat itulah Durgandini melompat bangun dan
menusukkan payungnya ke perut Empu Pradaga.
Begitu cepat, payung itu dikembangkan.
Pyarrr!
Payung Durgandini langsung hahcur berantakan
ketika tangan Empu Pradaga menangkisnya. Padahal, payung
itu bukan senjata sembarangan melainkan pusaka yang
sangat ampuh. Tubuh Durgandini pun terpental ke belakang.
"Bertahanlah, Dewa Arak!" ujar Durgandini sambil
mengerling Arya yang berada di sebelahnya. "Sebentar lagi
kita akan memperoleh ke menangan."
"Bagaimana kita akan memperolehnya, Nek?!" tanya
Dewa Arak penuh perasaan tidak percaya. "Dia lihai sekali!
Aku tidak pernah menyangka akan ada orang yang memiliki
kepandaian setangguh ini!"
"Lupakanlah hal itu, Dewa Arak!" sergah Durgandini
cepat. "Sekarang yang penting kita harus memberikannya
kejutan terakhir yang membuatnya pergi ke alam baka.... Kita
gabungkan kekuatan! Kau siap?!"
Tanpa menunggu persetujuan, Durgandini berdiri di
belakang Dewa Arak dan menempelkan kedua tangannya ke
punggung pemuda berambut putih keperakan itu. Seketika
Dewa Arak merasakan aliran kekuatan dahsyat yang
menjalar dari kedua tangan yang menempel di punggung.
Pendekar muda itu pun memusatkan kekuatan untuk
mengalirkan tenaga dahsyat Durgandini ke pusar.
"I Iih!"
Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke
depan. Dan segulungan angin dahsyat yang jauh lebih keras
hembusannya dari sebelumnya, menyambar ke arah Empu
Pradaga yang tengah terhuyung-huyung akibat serbuk-
serbuk yang menyebar dari payung Durgandini yang hancur.
Nenek berpakaian hitam itu menaruh serbuk-serbuk
di payungnya. Serbuk yang mampu membuat orang pingsan
seketika itu. Tapi, Empu Pradaga ternyata hanya terhuyung-
huyung dan pusing beberapa saat karena begitu serangan
Dewa Arak meluncur dia sudah sadar. Seperti semula, tanpa
ragu dipapaknya serangan itu dengan hentakan kedua
tangannya pula.
Glarrr!
Bunyi yang jauh lebih keras dari sebelumnya pun
terdengar ketika dua hembusan angin dahsyat bertabrakan di
udara. Tubuh Dewa Arak dan Durgandini serta Empu
Pradaga sama-sama terhempas deras ke belakang seperti
daun diterbangkan angin. Mereka jatuh terguling-guling, tapi
segera bangkit meski dengan kepala digeleng-gelengkan
akibat rasa pusing yang melanda.
"Aaakh...!"
Empu Pradaga mengeluarkan jeritan melengking
tinggi dan menyayat hati. Tubuhnya ambruk ke tanah.
Sekujur tubuhnya basah bersimbah darah yang keluar dari
hidung, mulut, telinga, dan matanya. Lelaki tua beijubah
putih itu seketika tewas dengan tubuh berubah merah bagai
udang rebus.
"Apa yang terjadi?! Mengapa dia tewas, Nek?!" tanya
Dewa Arak, heran.
"Ilmu yang dituntutnya, Dewa Arak," jawab
Durgandini kalem.
Kemudian secara singkat Durgandini menceritakan
pada Dewa Arak. Empu Pradaga yang nama sebenarnya
Subranta adalah kakak seperguruannya. Dulu, puluhan
tahun lalu, bersama-sama dengan Durgandini menuntut ilmu
mukjizat yang mampu membuat tenaga dalam meningkat
pesat dan memiliki penciuman setajam anjing pelacak.
Sehingga tahu di mana adanya orang yang dicari. Selain itu
tubuhnya akan tebal segala macam senjata.
Sayang, ilmu itu menuntut adanya pengorbanan
manusia. Korban yang dibutuhkan adalah wanita dan lelaki
muda belia. Empu Pradaga membutuhkan wanita, sedang
Durgandini membutuhkan lelaki. Korban-korban itu diambil
darahnya.
"Aku berhasil melepaskan diri dari ketergantungan
terhadap lelaki dengan bantuan suamiku. Tidak demikian
halnya dengan Subranta. Akhirnya dia sial sendiri. Korban
yang baru dicicipinya ternyata sudah tidak perawan lagi,
akibatnya nyawanya terancam. Itulah sebabnya dia mencari-
cari Sumini. Seorang gadis sesakti Sumini mempunyai darah
yang bagus! Puluhan bahkan ratusan kali lebih bagus dari
darah wanita lain."
"Kini aku mengerti, Nek. Sepasang mata dan wajah
Empu Pradaga yang merah tidak teijadi secara sewajarnya."
"Benar. Semakin merah, berarti waktu hidupnya
semakin sedikit, karena semakin banyak bagian tubuhnya
keracunan akibat darah wanita yang tidak suci itu."
"Pantas dia begitu bersemangat untuk mendapatkan
Sumini," Aiya mengangguk-anggukkan kepala seraya
menatap tubuh Sumini tergolek di sebatang bawah pohon.
"Sayang," desah Aiya. "Dengan matinya Empu
Pradaga tidak ada yang tahu siapa pembunuh Raja Ftedang
Langit Bumi."
"Empu Pradaga pembunuhnya. Dia mengakuinya
padaku, Dewa Arak. Raja Pedang Langit Bumi memergokinya
ketika tengah melakukan tindakan biadab terhadap wanita
korbannya. Itulah sebabnya ayah Sumini bermaksud
merobek surat yang dibuat sebelumnya. Rupanya anakku
baru tahu kalau Subranta menginginkan Sumini untuk
dikorbankan. Subranta memang selalu menginginkan korban
yang tidak dalam keadaan cemas dan ketakutan. Karena
korban yang dalam keadaan tenteram batinnya lebih mampu
menimbulkan kekuatan yang hebat, berlipat kali daripada
yang tengah ketakutan...."
Kemudian Durgandini pun tak lupa menceritakan
kepada Dewa Arak, bahwa selama beberapa hari ini
kemampun Sumini telah mengalami kemajuan pesat. Hal itu
teijadi karena adanya perubahan dari kekuatan racun aneh
yang bersarang di tubuh Sumini menjadi tenaga dalam yang
hebat. Dahulu ketika Sumini masih kecil, Durgandini sengaja
menyuntikkan racun aneh ke tubuh cucunya itu. Maksudnya
untuk melindungi tubuh Sumini. Sebab jika batin gadis itu
mengalami rasa takut dan cemas, dengan sendirinya racun
akan bekeija, bahkan mampu membunuh lawan secara
mengerikan.
Namun ketika mengetahui cucunya dalam bahaya,
Durgandini dengan keahliannya telah mengubah racun di
tubuh Sumini menjadi suatu kekuatan. Agar Sumini mampu
menghadapi lawan yang akan menangkapnya.
Kini Dewa Arak baru memahami keheranannya
melihat Sumini dalam beberapa hari saja telah menguasai
ilmu kemampuan tinggi. Juga tentang racun aneh yang telah
menewaskan beberapa tokoh sakti secara mengerikan.
Usai menjelaskan demikian, Durgandini menghampiri
tubuh Sumini yang masih tergolek dalam keadaan pingsan.
Rasa takut yang hebat telah menyebabkannya pingsan.
Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk melesat
pergi.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Angkara Si Anak Naga
Emoticon