1
Hari sudah siang. Sang Surya yang sudah
tinggi memancarkan sinar ke persada. Sinar yang
Namun, ketidaknyamanan suasana itu tidak
dihiraukan oleh sosok bayangan merah. Padahal
dia berada di tengah hamparan tanah lapang yang
gersang, tanpa rumput dan pepohonan. Rupanya
sosok itu tengah berlatih silat. Gerakannya yang
cepat menyebabkan bentuk tubuhnya seakan le-
nyap. Yang terlihat hanya bayangan tak jelas ber-
warna merah berkelebatan ke sana kemari. Sese-
kali terdengar suara teriakan keras mengiringi pu-
kulan atau tendangan sambil melompat melancar-
kan serangan terhadap lawan yang hanya ada da-
lam bayangannya.
Mendadak sosok merah itu menghentikan
gerakannya, lalu berdiri tegak. Sosok itu ternyata
seorang wanita cantik berusia paling banyak dua
puluh tahun. Rambutnya yang hitam berkilat, te-
rurai, menambah kecantikannya. Bentuk tubuh-
nya yang sintal terbalut kulit mulus kuning lang-
sat, semakin menambah daya tarik wanita muda
itu.
Gadis berpakaian merah berdiri dengan ke-
dua kaki agak terpentang beberapa saat untuk
meredakan nafasnya yang memburu. Peluh yang
membasahi wajah dan leher membuktikan kalau
dirinya telah banyak menguras tenaga dalam lati-
han itu. Tidak aneh, sebab sejak sang Surya be-
lum muncul gadis berpakaian merah itu telah si-
buk berlatih.
"Bagus...! Bagus sekali, Lestari! Kau telah
mengalami kemajuan yang pesat!"
Pernyataan bernada pujian itu membuat ga-
dis berpakaian merah menoleh kepala ke arah asal
suara.
"Benarkah itu, Ayah?!" tanya gadis berpa-
kaian merah yang dipanggil dengan nama Lestari.
Dia segera mengayunkan kaki menghampiri lelaki
setengah baya yang tengah memandanginya.
"Tentu saja, Lestari. Pernahkah Ayah berbo-
hong padamu?!" ujar lelaki yang ternyata ayahnya
Lestari. Dia seorang lelaki tinggi besar bertubuh
gemuk tapi gagah dan tegap. Sambil memandangi
gadis itu mulutnya tersenyum lebar, menggam-
barkan kepuasan hatinya.
"Tapi... mengapa aku tetap belum dapat me-
lakukan hal seperti yang Ayah lakukan?! Setiap
batu yang ku pukul selalu hancur berkeping-
keping. Tidak pernah terjadi seperti yang Ayah la-
kukan. Kalau Ayah yang memukul, batu itu tak
hancur, gompal pun tidak. Tapi, begitu angin ber-
hembus agak kencang, batu itu hancur lebur men-
jadi debu," ujar Lestari yang merasa tidak puas.
"Lestari... Lestari..." Lelaki tinggi besar beru-
sia tak kurang dari lima puluh tahun itu mengge-
leng-gelengkan kepala mendengar bantahan pu-
trinya. "Kau kira mudah melakukan hal itu?! Ke-
mampuan seperti itu hanya akan kau dapatkan
apabila dirimu telah memiliki tenaga dalam yang
sempurna. Sedangkan untuk mencapai tingkat ke-
sempurnaan itu perlu berlatih semadi dan perna-
pasan yang sungguh-sungguh. Dan memang kini
kau tinggal melatih tenaga dalam serta memper-
tinggi ilmu meringankan tubuh karena semua il-
mu yang kumiliki telah kuwariskan kepadamu!"
"Jadi..., tidak ada lagi yang akan Ayah ajar-
kan padaku?!" tanya Lestari setengah tidak per-
caya.
"Benar, Lestari," jawab lelaki tinggi besar se-
raya menganggukkan kepala. "Kau hanya tinggal
mematangkannya. Setahun lagi kau boleh terjun
ke dunia persilatan untuk mencari pengalaman
dan menggunakan kepandaian yang kau miliki un-
tuk menegakkan kebenaran. Oleh karena itu, wak-
tu yang hanya setahun ini, pergunakan sebaik-
baiknya, Lestari. Giat-giatlah kau berlatih semadi
dan pernapasan serta ilmu meringankan tubuh
agar aku tenang melepas kau pergi ke dunia persi-
latan. Pesanku, jangan sekali-kali kau beritahu-
kan kalau dirimu mempunyai hubungan dekat
denganku. Sedapat mungkin kau harus menyem-
bunyikannya. Apabila hal itu kau langgar, atau
tanpa sengaja diketahui orang lain, akan besar
bahayanya buatmu. Asal kau tahu saja, Lestari,
aku banyak menanam permusuhan dengan tokoh-
tokoh persilatan. Aku yakin, mereka akan melam-
piaskan dendamnya padamu apabila hal yang ku
khawatirkan itu terjadi. Dan..."
Lelaki tinggi besar itu menghentikan uca-
pannya di tengah jalan karena tiba-tiba terasa ada
getaran keras di tanah yang mereka pijak. Seper-
tinya, ada seekor gajah besar lewat di dekat tem-
pat mereka. Lestari pun merasakannya. Maka dia
tidak merasa heran melihat ayahnya menghenti-
kan ucapan di tengah jalan.
Dengan sendirinya percakapan terhenti. Les-
tari dan ayahnya memusatkan perhatian pada ge-
taran-getaran keras di tanah yang mereka pijak.
Lestari terkejut ketika melihat sikap ayahnya men-
jadi gelisah.
"Ada apa, Ayah?!" tanya Lestari tanpa me-
nyembunyikan rasa heran dan penasaran dalam
nada suara dan tarikan wajahnya.
"Tidak usah banyak tanya! Cepat tinggalkan
tempat ini, Lestari! Tinggalkan sejauh-jauhnya,
dan ingat pesanku tadi!" ujar lelaki tinggi besar,
penuh perasaan gelisah yang tidak dapat disem-
bunyikan. Dia tidak mempedulikan pertanyaan
anaknya sama sekali.
Namun Lestari bukan gadis yang bisa di ge-
bah begitu saja, tanpa ada penjelasan yang meya-
kinkan. Sang Ayah sebenarnya tahu hal itu tapi
kegelisahan yang melanda membuatnya lupa.
Bahkan ketika melihat Lestari tidak mematuhi pe-
rintahnya, dia menjadi kalap.
"Cepat tinggalkan tempat ini, Lestari! Cepat,
kataku!" sentak sang Ayah dengan suara keras
dan mata membelalak. "Atau kau ingin mencoba-
coba menentang perintahku?!"
Lestari sampai terjingkat ke belakang men-
dengar nada keras bentakan ayahnya. Gadis itu
benar-benar kaget, karena selama ini belum per-
nah ayahnya bicara keras seperti ini Seketika dia
tahu akan gawatnya keadaan, tapi rasa penasaran
dan ingin tahu, membuatnya tidak segera melak-
sanakan perintah sang Ayah.
"Ha ha ha...!"
Tawa keras menggelegar yang membuat kea-
daan di sekitar tempat itu bergetar hebat mengi-
ringi getaran yang semakin keras pada tanah. Dan
pada jarak dua puluh tombak dari tempat Lestari
dan ayahnya, tampak sesosok tubuh tinggi besar
berlari mendekati tempat mereka. Dan hanya da-
lam waktu sekejap, sosok itu telah berdiri di ha-
dapan mereka.
Lestari dan ayahnya membelalakkan mata
kaget, seolah mereka tak percaya melihatnya. So-
sok itu mampu berlari dengan menimbulkan geta-
ran hebat bagaikan seekor gajah. Selain itu suara
tawanya yang keras menyebabkan getaran hebat
di dada mereka.
Lestari, yang sejak sosok itu terlihat mem-
perhatikannya dengan penuh selidik, merasa ngeri
ketika melihat adanya dua buah taring yang me-
nyembul di mulut sosok yang baru tiba itu.
Sosok yang memiliki taring di mulutnya ini
memang memiliki ciri-ciri mengerikan. Tubuhnya
tinggi dan besar. Sehingga ayahnya Lestari yang
memiliki tubuh tinggi besar saja, tidak sampai se-
bahunya. Di samping tinggi besar, otot-ototnya
tampak bersembulan dan melingkar-lingkar di tu-
buh sosok berwajah mengiriskan. Lestari dapat
melihatnya dengan jelas, karena makhluk itu tak
mengenakan pakaian pun, kecuali sehelai celana
panjang hitam sebatas bawah lutut
"Raksasa Pemangsa Manusia...!" desis ayah-
nya Lestari dengan suara bergetar. "Mau apa kau
kemari?"
"Ha ha ha...!" Sosok tinggi besar berotot yang
disapa dengan julukan Raksasa Pemangsa Manu-
sia, tertawa bergelak. "Rupanya kau mengenaliku,
Malaikat Petir! Kalau begitu tidak ada gunanya lagi
kau berpura-pura. Aku yakin kau pasti mengeta-
hui maksud pertanyaanku. Asal kau tahu saja,
sudah lama aku mencari-cari mu, Malaikat Petir.
Ternyata mencarimu lebih sukar daripada mencari
jarum dalam tumpukan jerami. Kau lenyap begitu
saja dari dunia persilatan.
Ayahnya Lestari yang berjuluk Malaikat Pe-
tir, tersenyum getir. Senyum yang muncul di saat
dia tidak ingin tersenyum.
"Pasti karena masalah muridmu, kan?!" ter-
ka Malaikat Petir, datar.
"Tepat! Aku datang untuk menuntut balas
atas kematian muridku, Malaikat Petir. Bersiaplah
untuk menerima kematian!" sahut Raksasa Pe-
mangsa Manusia penuh keyakinan akan keberha-
silan usahanya itu.
"Menyingkirlah, Lestari, dan cepatlah pergi
dari sini! Tinggalkan tempat ini sejauh-jauhnya!"
Usai berkata demikian, tanpa memberikan
kesempatan pada Lestari untuk memberikan tang-
gapan, Malaikat Petir langsung menerjang Raksasa
Pemangsa Manusia. Dan sesuai julukannya, lelaki
berpakaian abu-abu ini memang memiliki gerakan
amat cepat. Bentuk tubuhnya langsung lenyap ke-
tika melancarkan serangan, hingga yang terlihat
hanya sekelebatan bayangan abu-abu, meluruk ke
arah Raksasa Pemangsa Manusia.
Namun, Raksasa Pemangsa Manusia ternya-
ta tidak hanya berbicara besar ketika mengu-
capkan perkataan hendak mengirim nyawa lawan-
nya ke akherat. Meskipun gerakan Malaikat Petir
amat cepat, dan bahkan sampai tidak terlihat ma-
ta, dia dapat melihatnya secara jelas. Lelaki berte-
lanjang dada ini tahu kalau Malaikat Petir menu-
bruk ke arahnya dan mengirimkan serangan gedo-
ran telapak tangan kanan terbuka ke arah ulu ha-
tinya.
Plakkk!
Benturan keras terdengar ketika Raksasa Pe-
mangsa Manusia menangkis serangan Malaikat
Petir dengan gerakan dan sikap jari serupa. Aki-
batnya, tubuh Malaikat Petir terhuyung-huyung
ke belakang, sementara lawannya tidak bergeming
sama sekali.
Benturan itu dilihat jelas oleh Lestari yang
masih berada di situ, menyaksikan jalannya perta-
rungan dari tempat yang aman. Sekarang, baru
gadis berpakaian merah ini mengerti mengapa
sang Ayah menyuruhnya meninggalkan tempat
itu. Lawan yang dihadapi Malaikat Petir amat
tangguh!
"Lestari! Cepat pergi...!"
Malaikat Petir yang masih sempat melihat
kalau putrinya masih berada di tempat ini, menye-
rukan peringatan lagi, sebelum kembali menubruk
Raksasa Pemangsa Manusia dengan serangan le-
bih dahsyat
"Ha ha ha...!" Raksasa Pemangsa Manusia
tertawa bergelak. "Inikah ilmu 'Telapak Tangan Pe-
tir'-mu, Malaikat Petir? Ternyata tak sehebat berita
yang kudengar!"
Lelaki bertelanjang dada mengeluarkan per-
nyataan menghina itu ketika mendengar bunyi
meledak-ledak nyaring di saat Malaikat Petir me-
lancarkan serangan susulan. Asap tipis mengepul
dari kedua telapak tangan Malaikat Petir.
Pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi.
Malaikat Petir yang tahu kalau lawannya memiliki
kepandaian amat tinggi, tidak segan-segan menge-
luarkan seluruh kemampuannya. Bunyi meledak-
ledak diiringi asap tipis yang mengepul menyema-
raki setiap serangan yang dilancarkan lelaki ber-
pakaian abu-abu ini.
Namun, Raksasa Pemangsa Manusia me-
mang amat tangguh. Meskipun tidak memiliki ge-
rakan cepat sebagaimana lawannya, dia tidak
mengalami kerepotan untuk menghadapi setiap
serangan Malaikat Petir. Justru, ayahnya Lestari
yang mengalami kesulitan besar untuk menjatuh-
kan serangan, karena seperti ada benteng tak
nampak yang menghalangi serangannya sehingga
selalu membalik sebelum mengenai sasaran. Se-
lain itu kerasnya kulit tubuh Raksasa Pemangsa
Manusia, membuat tangan atau kaki Malaikat Pe-
tir malah membalik ketika bertemu dengan tubuh
lawannya.
Lestari menggigit bibir dengan perasaan geli-
sah ketika melihat perkembangan pertarungan itu.
Memang, dia tidak dapat mengetahui secara jelas
karena cepatnya gerakan tubuh kedua orang itu,
terutama yang dilakukan Malaikat Petir. Namun,
gadis berpakaian merah ini dapat memperkirakan
dengan melihat ayahnya yang beberapa kali ter-
huyung, dan terus didesak mundur. Ayahnya ter-
desak hebat
"Hiyaaattt...!"
Setelah beberapa saat lamanya mempertim-
bangkan, Lestari mencabut kipas baja yang terse-
lip di pinggangnya, kemudian melompat ke dalam
kancah pertarungan. Dan begitu dekat, kipasnya
yang berujung runcing ditusukkan ke dada Rak-
sasa Pemangsa Manusia yang tengah mendesak
ayahnya.
Takkk!
Gadis itu menjerit kaget ketika melihat ujung
kipasnya seperti mengenai karet keras yang kenyal
sehingga membalik. Bahkan tangannya terasa ke-
semutan. Ujung kipasnya yang terbuat dari baja,
tidak mampu menembus kulit tubuh Raksasa Pe-
mangsa Manusia.
Sebelum Lestari sadar dari keterkejutannya
dan melakukan tindakan tangan, Raksasa Pe-
mangsa Manusia bergerak cepat Lestari yang me-
nyadari akan adanya ancaman ketika melihat ber-
kelebatannya benda tak jelas dengan diiringi desi-
ran angin kencang, berusaha keras untuk mela-
kukan tindakan penyelamatan.
Tappp!
Lestari terkejut bukan kepalang ketika meli-
hat usahanya gagal. Pergelangan tangan kanannya
yang memegang kipas baja telah tercekal lawan
yang besarnya malah lebih dari paha Lestari. Ke-
nyataan yang tidak disangka-sangka ini membuat
gadis berpakaian merah itu gugup dan kelabakan.
Dengan sebisa-bisanya dia meronta untuk mele-
paskan diri. Kedua kakinya pun ikut melakukan
tendangan ke tubuh lelaki bertaring yang bertelan-
jang dada itu. Namun kesudahannya malah mem-
buat kedua kaki Lestari sakit-sakit karena tena-
ganya seperti membalik ketika serangan-
serangannya itu mendarat pada sasaran.
Lestari tidak berdaya ketika tubuhnya dide-
katkan ke mulut lelaki bertelanjang dada itu. Gigi-
gigi yang sebagian terdiri dari taring itu, siap me-
nelan bulat-bulat tubuh Lestari yang putih mulus.
"Lepaskan anakku!" teriak Malaikat Petir
yang menjadi kalap ketika melihat nasib putrinya.
Ketika Lestari melancarkan serangan, tubuh
Malaikat Petir tampak masih terhuyung-huyung
ke belakang sehabis menangkis serangan Raksasa
Pemangsa Manusia, sehingga dirinya tidak mampu
mencegah lelaki bertaring itu membuat Lestari ti-
dak berdaya. Namun sesaat kemudian, Malaikat
Petir menerjang Raksasa Pemangsa Manusia. Ke-
dua telapak tangannya yang terbuka dipukulkan
dengan pengerahan seluruh tenaga dalam. Kek-
hawatiran akan nasib putrinya membuat serangan
Malaikat Petir berkesan nekat, dan seperti tidak
mempedulikan keselamatan diri sendiri.
Raksasa Pemangsa Manusia rupanya tahu
kedahsyatan serangan lawan. Apalagi kali ini ba-
gian yang diserang adalah ulu hati dan pusar, dua
bagian terlemah di tubuh manusia. Maka dia tidak
berani berlaku sembrono. Cekalan tangannya atas
Lestari segera dilepaskan, bahkan tubuh gadis
berpakaian merah itu dilemparkan. Lalu, kedua
tangannya dipukulkan ke depan dengan sikap jari-
jari yang sama untuk memapak serangan lawan.
Prattt!
Benturan kali ini lebih keras dari sebelum-
nya. Tubuh Malaikat Petir melayang ke belakang
seperti daun kering yang diterbangkan angin. Rak-
sasa Pemangsa Manusia pun tak luput dari seran-
gan keras itu. Meski tidak sampai terlempar seper-
ti lawannya, dia terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang.
Sungguh sebuah pemandangan yang meng-
gelikan hati, sebenarnya, kalau kebetulan ada
yang melihatnya. Dalam waktu yang hampir ber-
samaan, tubuh ke tiga sosok itu sama-sama ter-
lempar ke belakang. Namun karena yang paling
sedikit menerima akibatnya adalah Raksasa Pe-
mangsa Manusia, tokoh yang mengiriskan hati itu
lebih dulu dapat menguasai diri. Dan langsung
melompat menerjang memburu Malaikat Petir.
Bukkk!
Tubuh Malaikat Petir terjungkal ke belakang
ketika tangan kanan Raksasa Pemangsa Manusia
menghantam bahu kanannya. Darah segar mun-
crat dari mulutnya.
"Ayah...!"
Lestari mengeluarkan jeritan kaget bercam-
pur perasaan pilu ketika melihat kejadian yang
menimpa ayahnya. Dia melihat secara jelas karena
telah lebih dulu berhasil bangkit ketika Raksasa
Pemangsa Manusia menerjang dengan gedoran
tangan ke arah dada Malaikat Petir. Untung lelaki
gagah itu berhasil mengelakkannya sehingga se-
rangan lawan hanya menghantam bahu kanan.
Meskipun demikian, karena kuatnya tenaga dalam
manusia yang memiliki taring itu, Malaikat Petir
sampai muntah darah.
"Lestari, cepat pergi dari sini...!"
Malaikat Petir masih sempat mengeluarkan
seruan terhadap putrinya ketika Raksasa Pemang-
sa Manusia meluruk ke arahnya.
Lestari menahan isak tangis yang naik ke
tenggorokannya. Sekilas sepasang bola matanya
yang bening itu menatap sang Ayah yang sedang
terlibat pertarungan dengan lawannya. Memang,
meskipun sudah terluka Malaikat Petir masih cu-
kup tangguh untuk dapat dirobohkan dengan mu-
dah.
"Selamat tinggal, Ayah...!" seru Lestari den-
gan suara serak karena rasa haru yang mencekik
tenggorokan. Firasatnya membisikkan kalau per-
pisahan dengan ayahnya ini adalah merupakan
perpisahan yang terakhir kali. Maka sambil me-
nangis terisak-isak dia berlari cepat meninggalkan
tempat itu. Sebenarnya hatinya merasa berat un-
tuk melakukan hal itu. Namun, dia tahu kalau pe-
san ini tidak dilaksanakan, sang Ayah, si Malaikat
Petir mati dengan perasaan penasaran. Lagi pula,
Lestari tidak ingin mati sebagai anak yang tidak
berbakti karena membangkang perintah orangtua.
Di samping itu, untuk melakukan perlawanan, je-
las merupakan tindakan sia-sia. Ayahnya saja
tampak kewalahan dibuatnya, apalagi dirinya!
Meskipun tengah sibuk menghadapi desakan
lawannya yang bertubuh besar dan mengiriskan
itu, Malaikat Petir masih sempat melihat kepergian
Lestari.
"Selamat tinggal, Lestari! Jagalah dirimu
baik-baik!" seru lelaki tinggi besar ini dengan mu-
lut tersenyum.
Dan ketika bayangan tubuh Lestari lenyap di
kejauhan, perlawanan Malaikat Petir mulai menu-
run jauh. Lelaki berpakaian abu-abu ini memang
telah terluka parah, tenaganya pun telah berku-
rang jauh, tambahan lagi, kemampuan lawan be-
rada di atasnya. Hanya karena terdorong perasaan
untuk menyelamatkan putrinya yang membuat di-
rinya seperti mendapat tenaga baru. Begitu dia
yakin kalau Lestari selamat, tenaga tambahan itu
pun lenyap.
Degk!
Malaikat Petir mengeluarkan jeritan me-
nyayat hati ketika kaki kanan Raksasa Pemangsa
Manusia menghantam dadanya secara telak se-
hingga membuat tubuhnya terlontar jauh ke bela-
kang. Seketika itu pula nyawa Malaikat Petir me-
layang ke alam baka karena seluruh isi dadanya
telah hancur berantakan akibat tendangan yang
keras itu.
Tanpa mempedulikan nasib Malaikat Petir
lagi, Raksasa Pemangsa Manusia melesat mening-
galkan tempat itu, menuju arah yang tadi ditem-
puh oleh Lestari.
kkk
Lestari bukan seorang gadis yang bodoh. Se-
telah berlari beberapa saat, pikiran jernihnya tim-
bul kembali. Sekarang, dia dapat menerima kebe-
naran perintah yang diberikan ayahnya. Kalau tadi
dia memaksakan diri membantu ayahnya meng-
hadapi Raksasa Pemangsa Manusia itu, mungkin
dia dan ayahnya akan tewas. Lalu, siapa yang
akan membalaskan dendam mereka? Kalau seka-
rang dia dapat menyelamatkan diri, kemungkinan
untuk mengadakan pembalasan, meskipun kecil
tapi ada harapannya.
Itulah sebabnya, ketika mendengar bunyi
berdebum yang semakin lama semakin keras, dan
mendekati tempatnya, Lestari dapat menduga ka-
lau Raksasa Pemangsa Manusia tengah mengejar-
nya. Dan itu berarti Malaikat Petir, ayahnya, telah
tewas!
Lestari menelan kesedihan yang menyesak-
kan dada. Dendam yang hebat terhadap Raksasa
Pemangsa Manusia pun seketika muncul di ha-
tinya. Namun, dia tidak mau bertindak gegabah
dengan menyerang tokoh yang memiliki taring itu
secara membuta. Gadis berpakaian merah ini ju-
stru terus mempercepat larinya seraya mengedar-
kan pandangan ke sana kemari untuk mencari
tempat persembunyian yang baik.
Dan ketika akhirnya menemukannya, Lestari
segera menyelinap ke sana. Sebuah kerimbunan
semak belukar yang rapat ditumbuhi pepohonan.
Namun, baru saja masuk ke dalamnya, gadis ber-
pakaian merah ini hampir menjerit kaget kalau ti-
dak cepat-cepat menahannya. Di dalam semak be-
lukar yang dimasukinya tengah bersembunyi seo-
rang pemuda tampan berpakaian coklat. Pemuda
tampan bertubuh tegap itu meletakkan jari telun-
juknya di bibir, memberi tanda agar Lestari tidak
membuat kegaduhan hingga membuat jeritan ga-
dis berpakaian merah tertahan.
Dan sebelum Lestari sempat berbuat sesua-
tu, pemuda berpakaian coklat itu telah mengang-
surkan sebuah kendi kecil padanya.
"Gosokkan isinya pada seluruh pakaian dan
kulit tubuhmu agar Raksasa Pemangsa Manusia
tidak dapat menemukanmu," ucapnya dengan su-
ara berbisik.
"Apa ini?!" tanya Lestari sambil menerima
kendi yang diangsurkan pemuda berpakaian cok-
lat itu. Dia memperhatikan kendi itu sejenak, de-
mikian pula dengan wajah pemuda yang memberi-
kannya. Meski ucapannya itu pun dikeluarkan
dengan suara pelan tapi tidak menyembunyikan
adanya nada curiga di dalamnya.
"Cairan berisikan ramuan yang menyebar-
kan bau tanam-tanaman. Paman ku yang membe-
rikannya, dan sengaja kuberikan padamu agar
kau terhindar dari tangan Raksasa Pemangsa Ma-
nusia. Kau tahu, tokoh yang mengerikan itu me-
miliki penciuman yang amat tajam. Sekali saja
bertemu denganmu, dia akan mengetahuinya
meski kau berada jauh dari tempatnya. Raksasa
Pemangsa Manusia memiliki hidung binatang
buas."
"Jadi... ramuan ini untuk menghilangkan
bau tubuhku dan menggantinya dengan bau ta-
nam-tanaman?!" tanya Lestari meminta kepastian.
"Benar, tapi tidak dapat bertahan lama. Ce-
patlah, aku khawatir kita terlambat dan Raksasa
Pemangsa Manusia lebih dulu tiba di sini...!"
Kali ini Lestari tidak ragu-ragu lagi untuk
membuka tutup kendi itu. Meskipun demikian,
perasaan hati-hati mendorongnya untuk mencium
baunya ketika sumbat kendi itu terbuka. Dan
memang, pemuda berpakaian coklat itu tidak ber-
kata bohong, dia mencium bau khas tanaman dari
dalam kendi itu.
Baru saja pemuda berpakaian coklat meng-
gosok-gosokkan isi kendi itu pada sekujur pakaian
dan tubuhnya, langkah-langkah yang menggetar-
kan bumi semakin keras terdengar. Sesaat kemu-
dian, Raksasa Pemangsa Manusia berlari, lewat ja-
lan tak jauh dari semak belukar tempat keduanya
bersembunyi.
Raksasa Pemangsa Manusia menghentikan
lari. Kepalanya ditolehkan ke arah kerimbunan
semak-semak di kanan kiri jalan yang tengah dila-
luinya. Hidungnya yang besar bergerak-gerak se-
perti tengah mengendus-endus. Tingkah manusia
bertubuh besar dan tinggi ini mirip binatang buas
tengah mencari mangsanya yang lolos.
Lestari yang berada di dalam kerimbunan
semak-semak, sempat berdebar tegang hatinya ke-
tika melihat Raksasa Pemangsa Manusia memper-
hatikan tempat persembunyiannya. Untung saja
semak-semak ini amat rapat sehingga dirinya ti-
dak terlihat. Sementara Lestari sendiri dapat men-
gamatinya dengan jelas, bahkan ketika raksasa
bertaring panjang itu mengembang-kempiskan hi-
dungnya yang besar. Kenyataan yang dilihatnya
ini semakin menambah kepercayaan di hati Lestari
terhadap pemuda berpakaian coklat
Ketegangan yang melanda hati Lestari mem-
buyar ketika Raksasa Pemangsa Manusia tidak
mempedulikan tempat persembunyiannya lagi. So-
sok bertubuh raksasa itu terus berlari dengan di-
iringi bunyi bergetar keras dan berirama pada ta-
nah.
kkk
2
"Hhh...!"
Lestari mengeluarkan napas lega ketika me-
lihat tubuh Raksasa Pemangsa Manusia lenyap di-
telan di kejauhan. Yang tertinggal hanya getaran
langkahnya pada tanah.
"Terima kasih atas pertolonganmu..., Sobat.
Aku Lestari," gadis berpakaian merah ini mengu-
lurkan tangan, memperkenalkan diri.
"Aku Prapanca, Lestari. Dan mengenai perto-
longanku, lupakan saja! Hanya sebuah pertolon-
gan kecil dan tidak berarti," jawab pemuda berpa-
kaian coklat seraya menyambut uluran tangan
Lestari.
"Bagaimanapun kau telah berjasa besar,
Prapanca" Tanpa sungkan-sungkan, Lestari yang
mempunyai watak lincah dan tidak pemalu, me-
nyapa pemuda berpakaian coklat itu dengan nada
akrab seakan-akan mereka telah kenal lama. "Ka-
lau tidak ada dirimu, mungkin aku sudah tertang-
kap oleh raksasa bermulut bau itu. Kau benar,
Prapanca. Raksasa bermulut kotor itu memiliki
hidung unik, seperti hidung macan! Eh, bagaima-
na kau bisa tahu kalau aku tengah dikejar-kejar
raksasa jelek yang menjemukan itu? Dari mana
pula kau mengetahui ketajaman... eh, hidungnya?
Mengapa kau berada di sini? Siapa pula pamanmu
itu?"
Pemuda berpakaian coklat yang bernama
Prapanca sampai melongo menerima pertanyaan
memberondong seperti gelombang laut itu. Dia
merasa bingung memikirkan jawaban lebih dulu
yang harus diberikan. Tambahan lagi dia masih
merasa terkesima ketika merasakan halusnya tan-
gan Lestari yang tadi berada di genggamannya.
"Hey...! Kau ini kenapa, sih?" sentak Lestari
agak keras ketika melihat Prapanca hanya terlon-
gong bengong.
"Ah... oh.... Ti... tidak apa-apa, Lestari.
Hanya saja... maaf, maksudku... eh.... Aku harus
menjawab pertanyaanmu yang mana dulu? Perta-
nyaanmu terlalu banyak sih!"
"Sesukamulah!" sahut Lestari sambil men-
gangkat bahu.
"Baiklah kalau begitu. Aku tahu kalau diri-
mu tengah dikejar-kejar karena melihatmu menye-
linap kemari. Tahu orang yang mengejarmu Rak-
sasa Pemangsa Manusia, penyebabnya karena
hanya tokoh sesat itulah yang memiliki ciri khas
begitu jika berlari. Sedangkan mengenai keistime-
waan Raksasa Pemangsa Manusia... kudengar dari
paman ku. Jelas?!"
"Sangat jelas!" Lestari mengangguk-
anggukkan kepala dan tersenyum.
"Sekarang giliranku mengajukan pertanyaan,
Lestari," ujar Prapanca bersikap seperti Lestari,
sok akrab. "Mengapa kau bisa berurusan dengan
Raksasa Pemangsa Manusia? Lalu bagaimana kau
bisa lolos dari tangannya?"
Wajah Lestari langsung berubah hebat men-
dengar pertanyaan ini. Semula gadis berpakaian
merah ini lupa nasib ayahnya, tapi kini teringat
kembali karena mendapat pertanyaan itu.
"Ayaaah...!" seru Lestari dengan hati pilu.
Dan sebelum gema teriakannya lenyap, dia telah
melesat cepat ke arah semula.
Mendapat jawaban seperti ini, karuan saja
Prapanca jadi kebingungan. Dia sama sekali tidak
menyangka, kalau pertanyaannya akan berakibat
seperti itu. Meskipun begitu, pemuda berpakaian
coklat ini mampu bersikap tanggap.
"Lestari...! Tunggu...!"
Namun seruan Prapanca sia-sia. Lestari ti-
dak menggubris seruannya sama sekali, dan terus
berlari. Hingga Prapanca pun tidak tinggal diam.
Dia segera berlari mengejar. Dan ternyata ilmu lari
cepat pemuda berpakaian coklat ini tidak rendah.
Dia mampu membayangi Lestari, bahkan perlahan
namun pasti dapat memperdekat jarak.
Lestari tentu saja tahu kalau Prapanca men-
gikutinya. Namun tidak dipedulikannya sama se-
kali. Yang ada di benak gadis itu hanya ayahnya.
Dia khawatir sesuatu yang buruk menimpa ayah-
nya. Kalau tidak Raksasa Pemangsa Manusia tidak
akan bisa mengejarnya karena Malaikat Petir pasti
akan berusaha sekuat tenaga untuk menghalan-
ginya.
"Ayaaah...!"
Lestari menjerit keras penuh bernada kek-
hawatiran, kepiluan, dan keterkejutan ketika me-
lihat sosok yang tergeletak di tanah di tempat per-
tarungan antara Raksasa Pemangsa Manusia den-
gan ayahnya. Meski jaraknya masih cukup jauh,
sepasang mata Lestari yang awas langsung bisa
mengenali kalau sosok yang terbaring itu tak lain
ayahnya.
Prapanca hanya bisa berdiri diam, terpaku di
dekat Lestari yang duduk bersimpuh sambil me-
nangisi kematian ayahnya. Pemuda berpakaian
coklat ini tidak berkata apa-apa. Dia tahu tidak
ada gunanya menghibur karena akan sia-sia. Hal
yang lebih penting sekarang adalah membiarkan
Lestari menumpahkan semua ganjalan perasaan-
nya agar dadanya menjadi lega.
Cukup lama juga Prapanca harus menunggu
Lestari menghentikan tangisnya. Pemuda itu baru
ikut campur tangan dan membantu ketika Lestari,
dengan bahu yang masih terguncang-guncang ka-
rena isak tangis, membopong tubuh ayahnya.
Tanpa diminta Prapanca membuat lubang kubu-
ran untuk ayahnya Lestari.
kkk
"Aku turut berdukacita atas kejadian ini,
Lestari," ucap Prapanca lirih setelah selesai men-
guburkan mayat Malaikat Petir. "Boleh ku tahu,
apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Terima kasih, Prapanca. Aku banyak berhu-
tang budi padamu. Kalau tidak ada kau, entah apa
yang akan terjadi dengan diriku," jawab Lestari
dengan suara serak. "Hhh...! Aku sendiri tidak ta-
hu apa yang harus kulakukan sekarang. Mungkin
aku akan memenuhi permintaan ayahku jauh-
jauh hari sebelum beliau tewas...."
"Apa aku boleh mengetahuinya, Lestari?!"
tanya Prapanca hati-hati karena khawatir mem-
buat Lestari tersinggung. Pemuda berpakaian cok-
lat ini tahu orang yang tengah dilanda kesedihan
besar bisa mengalami perubahan watak yang tidak
terduga.
"Yahhh...," jawab Lestari dengan suara men-
desah. "Dulu... beberapa tahun yang lalu, ayahku
sering kali menyinggung tentang hal ini. Seper-
tinya beliau telah mempunyai firasat akan adanya
maut yang mengancam. Itulah sebabnya beliau
sering memberi nasihat padaku apabila terjadi
hal-hal tidak diinginkan atas dirinya, aku diperin-
tahkan untuk menemui kawan-kawan akrabnya.
Beliau mempunyai dua orang kawan karib, tapi
aku lebih dipesankan untuk menemui kawannya
yang satu lagi yang berjuluk Malaikat Salju."
"Malaikat Salju?!" Sepasang alis Prapanca
berkerut seakan merasa terkejut mendengar uca-
pan gadis itu.
"Ya! Mengapa?!" Lestari balas mengajukan
pertanyaan seraya menatap wajah Prapanca pe-
nuh selidik. "Apakah kau mengenalnya? Atau...."
"Aku tidak mengenalnya, Lestari," selak Pra-
panca untuk mencegah gadis berpakaian merah
itu melanjutkan ucapannya. "Tapi terus terang,
kuakui kalau aku mengenalnya... maksudku men-
dengar julukannya. Bukankah Malaikat Salju me-
rupakan salah seorang dari Tiga Malaikat Bayan-
gan yang belasan tahun lalu menggemparkan du-
nia persilatan?! Kalau ayahmu merupakan saha-
bat karib Malaikat Salju berarti beliau salah seo-
rang dari Tiga Malaikat Bayangan. Maaf, aku...
mungkin terlalu lancang, Lestari!"
"Dugaanmu tidak salah, Prapanca. Ayahku
memang salah satu dari tiga tokoh besar itu. Ju-
lukan beliau Malaikat Petir," ujar Lestari menje-
laskan masih dengan suara serak karena isak tan-
gis yang tadi melanda.
Prapanca mengangguk-anggukkan kepala.
Karuan saja melihat sikap ini, Lestari merasa he-
ran. "Ada apa, Prapanca?!"
"Tidak apa-apa," sahut pemuda berpakaian
coklat itu. "Hanya saja sekarang aku tahu menga-
pa ayahmu dibunuh oleh Raksasa Pemangsa Ma-
nusia. Pasti ini ada hubungannya dengan kejadian
bertahun-tahun yang silam. Maksudku, ada hu-
bungannya dengan kematian murid Raksasa Pe-
mangsa Manusia oleh Malaikat Petir, ayahmu."
"Kau... kau..., dari mana kau mengeta-
huinya?!" tanya Lestari terbata-bata karena kaget
mendengar dugaan Prapanca yang demikian tepat.
Dari mana pemuda berpakaian coklat itu tahu,
padahal dia sendiri, yang ayahnya terlibat lang-
sung karena yang menjadi korban adalah ayah-
nya, baru mengetahuinya dari ucapan Raksasa
Pemangsa Manusia sendiri.
Prapanca tidak langsung menjawab perta-
nyaan itu. Dia malah menghela napas berat sambil
menundukkan kepala. Sejenak sepasang matanya
menekuri tanah, seakan-akan ada yang menarik
perhatiannya di sana.
"Bukannya aku tidak mau memberitahu-
kannya, Lestari. Tapi, guruku berpesan demikian.
Dia tidak ingin ada seorang pun yang mengeta-
huinya. Aku hanya dapat memberikan gambaran
bahwa guruku mempunyai hubungan dengan sa-
habat-sahabat ayahmu, dan bahkan terhadap
ayahmu juga. Oleh karena itu, aku tahu penyebab
permusuhan ayahmu dengan Raksasa Pemangsa
Manusia. Cukup jelas?!"
"Hik hik hik...!"
Suara tawa berkikikan telah lebih dulu me-
nyambuti ucapan Prapanca, sebelum Lestari
memberikan tanggapan. Suara tawa yang jelas be-
rasal dari mulut seorang wanita. Hanya saja na-
danya begitu menyeramkan, di samping getaran
kuat yang menggetarkan dada.
Prapanca dan Lestari hampir bersamaan
menolehkan kepala ke arah asal suara. Sepasang
muda-mudi ini langsung bersikap waspada karena
bisa mengetahui kalau pemilik tawa itu merupa-
kan orang sakti. Tawa yang mampu menggetarkan
dada mereka, penyebab Prapanca dan Lestari da-
pat memperkirakan demikian.
"Dewi Cabul...!" desis Prapanca terkejut keti-
ka melihat pemilik tawa.
"Hi hi hi...! Rupanya kau telah mengenaliku,
Bocah Bagus...?! Luar biasa! Ini menjadi pertanda
kalau kau bukan orang sembarangan. Bagus...!
Bagus...!"
Sosok yang disapa Prapanca dengan julukan
Dewi Cabul, tidak pantas menyandang julukan
demikian, karena paras dan keadaannya tidak mi-
rip dengan dewi! Dia adalah seorang nenek, be-
rambut panjang berwarna dua. Tubuhnya tinggi,
tapi agak membungkuk, bongkok udang. Hidung-
nya melengkung seperti paruh burung kakaktua.
Sepasang matanya yang mirip mata kucing itu
semakin menambah seram penampilannya. Selain
itu, rambutnya yang kusut masai dibiarkan ter-
gerai dan dipermainkan angin.
"Seharusnya nenek bongkok ini tidak me-
nyandang gelar dewi melainkan iblis atau nenek
sihir!" protes Lestari dalam hati.
"Hi hi hi...! Tidak salahkah kau, Prapanca?!"
selak Lestari setelah terlebih dulu mengumbar ta-
wa. "Orang seperti ini kau sebut dewi? Lalu, ba-
gaimana pula jelek atau buruknya kuntilanak dan
iblis?! Seharusnya dia berjuluk Nenek Burung
Bermata Anjing!"
Prapanca terkejut mendengar ucapan Lestari
yang bernada menghina itu. Dia memang tahu ka-
lau Lestari memiliki watak luar biasa, tidak men-
genai takut, dan angin-anginan. Saat ini sedih, ta-
pi lain saat lupa akan kesedihannya dan dapat
memperolok orang lain. Namun, tindakan Lestari
kali ini keterlaluan! Bukan hanya karena semba-
rangan mengeluarkan makian terhadap seseorang,
tapi juga karena Prapanca tahu siapa sebenarnya
orang yang dihina Lestari!
Prapanca sama sekali tidak tahu kalau ke-
matian Malaikat Petir yang sangat mengenaskan,
telah mengguncangkan hati Lestari. Memang, ga-
dis berpakaian merah ini memiliki sifat angin-
anginan, tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam
alun kesedihan karena wataknya yang lincah dan
gembira. Namun, Malaikat Petir merupakan satu
satunya keluarga yang ada, dan Lestari sendiri
amat menyayangi ayahnya. Maka, Lestari amat
dendam tatkala mengetahui ayahnya mati secara
demikian mengenaskan di tangan Raksasa Pe-
mangsa Manusia. Kalau saja mampu dan memiliki
kepandaian, Lestari tentu akan menuntut balas.
Tapi, karena tahu kalau terhadap Raksasa Pe-
mangsa Manusia, tidak dapat bertindak apa-apa.
Dendamnya itu kini ditujukan pada tokoh-tokoh
persilatan sealiran dengan Raksasa Pemangsa
Manusia. Karena Raksasa Pemangsa Manusia me-
rupakan tokoh sesat, Lestari jadi memendam ke-
bencian besar terhadap tokoh-tokoh aliran hitam.
Itulah sebabnya, Lestari langsung mengelua-
rkan hinaan kasar terhadap nenek bongkok. Kare-
na melihat ciri-ciri, julukan, dan sikapnya, Lestari
dapat memperkirakan kalau Dewi Cabul adalah
tokoh golongan hitam.
"Lestari, kau terlalu sembrono," bisik Pra-
panca pelan tapi bernada teguran. "Tahukah kau
siapa nenek itu?!"
"Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu! Yang
jelas, dia tokoh golongan hitam, dan aku akan me-
lenyapkannya!" tandas Lestari, mantap.
"Hikh... hik... hik...! Gagahnya...! Gagah dan
cantik jelita! Ingin kulihat apakah kau masih be-
rani menghinaku apabila wajahmu kujadikan lebih
buruk dari wajahku...!"
Setelah berkata demikian, nenek berhidung
melengkung itu menjulurkan tangan kanannya se-
cara sembarangan. Lestari tentu saja melihat an-
caman dari tangan keriput yang memiliki kuku-
kuku panjang, runcing, dan berwarna hitam itu.
Namun gadis berpakaian merah ini tidak menam-
pakkan perasaan gentar atau takut. Dia tahu, se-
rangan tangan itu tidak akan mengenai sasaran
yang dituju karena jarak antara mereka berdua ti-
dak kurang dari satu setengah kali juluran tan-
gan. Cengkeraman tangan ke arah wajahnya itu
tidak akan membuahkan hasil sama sekali.
Namun keyakinan Lestari jadi membuyar ke-
tika melihat jari-jari tangan nenek itu terus saja
meluncur ke arah wajahnya. Padahal, Lestari tahu
pasti kalau nenek bongkok itu tidak melangkah
maju. Tapi, mengapa jari tangan itu terus melun-
cur ke arahnya?
Karena tak mempunyai kesempatan untuk
mengelak, Lestari terpaksa memapaknya sambil
mengerahkan seluruh tenaga. Sikap tanggapnya
yang membuat gadis itu langsung mengambil tin-
dakan meskipun benaknya masih dipenuhi rasa
bingung melihat tangan lawan terus meluncur ke
arah sasaran.
Lestari memekik tertahan karena perasaan
kaget dan kesakitan. Tubuh gadis berpakaian me-
rah ini terjengkang ke belakang seperti diseruduk
kerbau liar. Sementara nenek Dewi Cabul hanya
tergetar saja tangannya.
"Uh...!" Nenek bongkok itu mengeluarkan se-
ruan kaget ketika merasakan ada hawa panas
menjalar dari tangannya yang berbenturan dengan
tangan Lestari.
"Bukankah itu jurus 'Petir Menyambar
Awan'? Apa hubunganmu dengan Malaikat Petir,
Wanita Binal?!"
"Kau tidak perlu tahu, Kuntilanak Jelek!" ja-
wab Lestari, kasar.
"Keparat! Rupanya kau sudah kepingin
mampus?!"
Dewi Cabul kembali melancarkan serangan
terhadap Lestari. Dia menubruk maju, memburu
Lestari yang telah berhasil memperbaiki kedudu-
kan tubuhnya. Seperti juga sebelumnya, kedua
tangan nenek bongkok itu tertuju ke arah wajah
Lestari. Rupanya dia ingin benar merusak wajah
gadis berpakaian merah yang cantik itu.
"Tahan...!"
Seiring terdengarnya bentakan itu, sesosok
bayangan coklat melesat memapaki serangan Dewi
Cabul sehingga terjadi benturan antara mereka.
Dan seperti juga yang terjadi pada Lestari, sosok
bayangan coklat itu terhuyung-huyung ke bela-
kang ketika berhasil menangkis serangan. Meski-
pun demikian, dia berhasil mematahkan serangan
terhadap Lestari.
Dewi Cabul mengeluarkan pekik melengking
nyaring melihat kegagalan serangannya untuk
yang kedua kali. Kali ini yang membuyarkannya
tak lain Prapanca. Kemudian dengan sikap gagah,
pemuda berpakaian coklat itu berdiri di hadapan
Dewi Cabul, membelakangi Lestari.
"Kau akan berhadapan denganku apabila
meneruskan maksudmu itu, Dewi Cabul!" tandas
Prapanca dengan sikap gagah.
"Terkutuk! Rupanya kau sudah tidak sabar
untuk bersenang-senang denganku, Bocah Bagus!
Baik, kau dulu yang akan kubereskan, baru wani-
ta liar itu!"
Diawali teriakan nyaring laksana pekik see-
kor burung garuda, Dewi Cabul meluruk mener-
jang Prapanca. Namun, pemuda berpakaian coklat
itu memang telah siap semenjak tadi, maka ter-
jangan lawan pun disambutnya dengan hangat.
Pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi.
Lestari tidak langsung ikut campur dalam
pertarungan itu. Dia berdiri, memperhatikan ja-
lannya pertarungan, sambil merasakan sakit yang
mendera tangannya akibat berbenturan dengan
tangan Dewi Cabul. Tangan itu terasa sakit dan
ngilu bukan kepalang seperti berbenturan dengan
sebatang baja yang amat keras. Bahkan sekujur
tangan kanannya bagaikan lumpuh. Lestari tidak
yakin kalau Dewi Cabul memiliki tingkatan di ba-
wah Raksasa Pemangsa Manusia. Setidak-
tidaknya nenek bongkok ini mempunyai kepan-
daian setingkat dengan tokoh sesat yang bertaring
itu. Dan dugaan ini membuat Lestari bergidik da-
lam hati. Sama sekali tidak disangkanya kalau da-
lam waktu sebentar saja bisa bertemu dengan to-
koh-tokoh yang memiliki kepandaian demikian
dahsyat!
Namun, Lestari tidak bisa terlalu lama teng-
gelam dalam alun pikirannya itu. Sesaat kemu-
dian, dia telah sibuk memperhatikan jalannya per-
tarungan antara Prapanca dengan Dewi Cabul
dengan penuh minat! Lestari diam-diam terkejut
ketika menyadari kalau Prapanca pun bukan
orang sembarangan. Meskipun sebelumnya telah
menduga kalau pemuda berpakaian coklat itu
memiliki kepandaian, tapi Lestari tidak menyang-
ka ternyata setinggi itu. Pemuda itu mampu
menghadapi amukan Dewi Cabul.
Namun, kemampuan Prapanca memperta-
hankan serangan Dewi Cabul hanya untuk bebe-
rapa gebrakan saja. Kemudian pemuda berpakaian
coklat itu terdesak hebat Dewi Cabul, meskipun
telah berusia tua, dan bertubuh bongkok, tidak bi-
sa dipandang remeh. Dewi Cabul memiliki gerakan
cepat, dan tenaga dalam kuat. Beberapa kali keti-
ka berbenturan, baik tangan atau kaki, Prapanca
selalu menyeringai kesakitan dengan tubuh ter-
huyung-huyung.
Prapanca menggertakkan gigi dalam usa-
hanya menambah semangat menghadapi setiap
serangan Dewi Cabul. Kendati demikian, usahanya
hampir tidak membuahkan hasil, Dewi Cabul ter-
lalu tangguh untuk dapat dilawannya. Dia terus
didesak dan dipaksa untuk pontang-panting ke
sana kemari.
"Tidak usah melawan lagi, Anak Bagus! Per-
cuma... Lebih baik kau menyerah dan ikut aku.
Aku berjanji akan menurunkan ilmu-ilmu tinggi
padamu kalau kau bersedia ikut denganku," bujuk
Dewi Cabul di sela-sela desakannya.
"Nenek-nenek tidak tahu malu...!" maki Pra-
panca sambil melompat ke belakang untuk meng-
hindarkan sapuan kaki lawannya. "Jangan harap
aku akan menuruti ajakan mu yang tidak bermor-
al!"
"Rupanya kau ingin dipaksa, Bocah Ba-
gus...?!" ujar Dewi Cabul, tanpa mengundang ke-
marahan.
Nenek bongkok ini ternyata tidak main-main
dengan ucapannya. Belum juga ucapannya lenyap,
Prapanca merasakan terjangan-terjangan lawan
semakin menghebat. Pemuda berpakaian coklat ini
semakin terdesak hebat dan tampak kewalahan.
Lestari yang sejak tadi memperhatikan ja-
lannya pertarungan, mengetahui kalau Prapanca
berada dalam keadaan gawat. Maka, tanpa banyak
cakap lagi, dicabut kipas bajanya yang terselip di
pinggang, dan langsung terjun ke kancah perta-
rungan.
kkk
3
Ikut campurnya Lestari ke dalam kancah
pertarungan benar-benar merubah keadaan. Pra-
panca tampak mulai terbebas dari desakan hebat.
Tenaga gadis berpakaian merah itu memang dapat
diandalkan. Sekarang, Dewi Cabul tidak bisa
mendesak lawannya secara mudah. Apalagi ketika,
Prapanca pun mengeluarkan senjatanya. Sepasang
sumpit berujung runcing terbuat dari gading ga-
jah, Dewi Cabul terpaksa mengeluarkan senjata
andalannya, sehelai sapu tangan.
Lestari dan Prapanca semula merasa heran
melihat Dewi Cabul menggunakan selembar sapu
tangan lebar berwarna merah muda sebagai senja-
ta. Namun ketika merasakan kehebatan benda itu
di tangan nenek bongkok, pandangan mereka
langsung berubah. Sapu tangan itu ternyata tidak
kalah ampuh dengan senjata-senjata lainnya. Se-
lembar kain saja mungkin dapat digunakan untuk
menghancurkan batu karang yang paling keras
hanya dengan dikebutkan oleh Dewi Cabul. Sapu
tangan itu bisa pula berubah menegang kaku se-
perti batang tongkat baja, bahkan mungkin pe-
dang yang tajam.
Untungnya, Lestari dan Prapanca mampu
bekerja-sama dengan baik. Sepasang muda-mudi
ini dengan cepat dapat saling menyesuaikan diri
menghadapi lawan mereka. Mereka mampu saling
memperkuat serangan dan pertahanan. Kerjasama
mereka mampu menambah daya tahan serangan
dan pertahanan. Keduanya mampu saling isi dan
melindungi.
"Keparat!"
Dewi Cabul memaki-maki penuh kegeraman
karena sampai lima puluh jurus bertarung, belum
juga mampu mendesak pasangan muda-mudi itu.
Kegeramannya semakin menjadi-jadi karena rasa
penasaran yang memuncak. Dia telah mengguna-
kan senjata andalan, tapi belum juga mampu me-
robohkan dua orang lawan yang masih sangat
muda. Kalau sampai terdengar tokoh-tokoh persi-
latan, mau ditaruh di mana mukanya?
Sejauh itu, Dewi Cabul yang telah mengelua-
rkan seluruh kemampuannya tetap tidak bisa ber-
buat banyak. Namun hal yang sama pun dialami
oleh pasangan muda-mudi yang menjadi lawan-
nya. Sebagai tokoh yang telah kenyang pengala-
man Dewi Cabul cepat tanggap dan tahu kalau
menghadapi keadaan seperti ini pertarungan akan
berlangsung cukup alot. Masih panjang waktu ba-
ginya untuk dapat mengalahkan Lestari dan Pra-
panca. Tampaknya nenek bongkok ini tidak mem-
punyai kesabaran yang cukup untuk menunggu
lebih lama.
"Hih...!"
Dewi Cabul meraup segenggam debu dan
melemparkannya ketika Lestari dan Prapanca
memburunya. Nenek bongkok yang licik itu me-
mang pura-pura terdesak dan menjatuhkan diri di
tanah. Mendapat serangan curang dan tidak ter-
sangka-sangka, pasangan muda-mudi itu kelaba-
kan. Namun mereka langsung menahan serangan
seraya memejamkan mata agar serangan abu itu
tidak mengenai mata.
Kesempatan seperti ini yang ditunggu-
tunggu Dewi Cabul. Laksana seekor ikan, tubuh-
nya melenting ke arah lawan-lawannya yang ten-
gah berada dalam keadaan kurang menguntung-
kan itu. Nenek bongkok ini mengirimkan serangan
dengan sebuah totokan sapu tangan yang telah
dibuatnya menegang, ke arah ulu hati Lestari.
Meski dengan sepasang mata terpejam, baik
Lestari maupun Prapanca, bisa mengetahui
adanya serangan maut itu. Pendengaran mereka
yang terlatih menangkap bunyi mencicit nyaring.
Maka keduanya bergegas menghindar.
Tukkk!
Blukkk!
Lestari dan Prapanca sama-sama menjerit
kesakitan ketika serangan licik Dewi Cabul men-
genai sasaran, meskipun tidak terlalu cepat. Ujung
sapu tangan tidak mengenai ulu hati Lestari, me-
lainkan paha kanannya. Sedangkan Prapanca ter-
kena tendangan pada bahu kirinya. Tubuh sepa-
sang muda-mudi itu terjengkang dan terguling-
guling.
Dewi Cabul yang membenci Lestari karena
telah campur tangan dan merepotkannya, segera,
menubruk untuk mengirimkan serangan maut.
Tentu Lestari yang tidak mau merelakan nya-
wanya begitu saja berusaha keras untuk menye-
lamatkan diri. Namun, tetap saja ujung kebutan
sapu tangan itu menyerempet pinggangnya hingga
dia terguling. Dewi Cabul segera menyusuknya
dengan serangan maut
"Lestari...!"
Prapanca yang kalah cepat oleh Dewi Cabul
hanya dapat menjerit ngeri melihat hal ini. Dengan
seluruh kemampuan yang ada, pemuda berpa-
kaian coklat ini melesat untuk menyelamatkan
Lestari.
Trakkk!
Dewi Cabul mengeluh tertahan ketika ujung
sapu tangannya tidak menghantam leher Lestari,
melainkan berbenturan dengan sebatang pedang
yang dibabatkan oleh sesosok bayangan putih. La-
gi-lagi serangan nenek bongkok itu gagal total.
Dan kesempatan itu segera dipergunakan oleh
Lestari untuk beringsut menjauh.
"Jahanam! Siapa kau, Monyet Betina Bu-
duk?! Sebutkan namamu sebelum mati di tangan-
ku!" maki Dewi Cabul geram sambil menatap so-
sok bayangan putih yang telah menggagalkan se-
rangannya. Sosok berpakaian putih itu berdiri te-
gak di depan dengan pedang melintang di depan
dada.
"Kaulah yang akan mati di tanganku, Monyet
Betina Tua! Hhh... perempuan tua bau tanah! Ke-
nalkan, aku Melati!" tandas sosok bayangan putih
yang ternyata seorang gadis cantik dan berambut
panjang tergerai. Kecantikannya bercampur den-
gan keanggunan ketika dagunya agak mendongak
seiring dengan ditutup ucapannya yang lantang.
Melati, kekasih Dewa Arak ini, langsung me-
nyambung ucapannya dengan tusukan pedang ke
leher Dewi Cabul. Bunyi mengaung keras langsung
terdengar ketika senjata tajam itu meluncur. Ter-
nyata Melati langsung menggunakan ilmu pe-
dangnya yang ganas, Ilmu 'Pedang Seribu Naga'.
Wajah Dewi Cabul berubah karena kaget me-
lihat serangan Melati yang ganas itu. Walaupun
demikian, tidak berarti dia menjadi gugup atau
bingung. Tangan kanannya bergerak dengan ce-
pat.
Rrrttt!
Dengan gerakan cepat, Dewi Cabul berhasil
melibat batang pedang Melati dengan sapu tan-
gannya. Melati kaget. Namun, sebelum gadis ber-
pakaian putih ini bertindak, Dewi Cabul telah le-
bih dulu menggoyangkan kepala.
Wrrr!
Tiba-tiba rambut Dewi Cabul kusut masai
terayun deras ke arah kepala Melati. Dengan keli-
haiannya, nenek bongkok ini telah membuat ram-
butnya menjadi kaku laksana segumpal balok.
Namun dengan menundukkan tubuh, Melati
berhasil mengelakkan serangan itu. Bahkan sam-
bil melakukan tindakan demikian, dikerahkan te-
naga dalam untuk menarik pedangnya dari lilitan
satu tangan lawan. Hasilnya, sia-sia! Batang pe-
dang itu seperti telah berakar dan menyatu den-
gan sapu tangan Dewi Cabul. Tidak mampu terle-
pas. Dan celakanya lagi, tenaga dalam Melati tak
mampu menandingi sehingga ketika nenek bong-
kok itu balas menarik tubuh Melati tertarik ke de-
pan.
Dan terseretnya tubuh Melati itu langsung
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Dewi Cabul.
Nenek bongkok ini menyambuti datangnya tubuh
Melati dengan sebuah pukulan telapak tangan ter-
buka ke arah dada.
Melati yang tidak mempunyai pilihan lain,
langsung memapaknya dengan sikap tangan seru-
pa.
Plakkk!
Dua buah tangan yang sama-sama mengan-
dung tenaga dalam tinggi berbenturan. Melati
langsung terpekik kaget ketika mengetahui tan-
gannya tidak mampu ditarik pulang kembali. Tan-
gan itu seperti telah melekat dengan tangan la-
wannya. Jantungnya dirasakan berdetak cepat se-
cara mendadak ketika mengetahui tenaga dalam-
nya mengalir deras ke arah Dewi Cabul melalui
tangan yang saling melekat. Betapa pun Melati be-
rusaha keras untuk mencegah, tetap sia-sia! Te-
naga dalamnya terus menjalar ke tubuh Dewi Ca-
bul tanpa dapat dicegah lagi.
Melati benar-benar kehabisan daya. Wanita
perkasa yang berjuluk Dewi Penyebar Maut akibat
keganasan tindakannya terhadap orang-orang
yang berada di pihak berlawanan dengannya. (Un-
tuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam
episode: "Dewi Penyebar Maut'"). Menyadari kalau
nyawanya berada di ambang kematian.
Sing, sing!
Di saat kritis bagi keselamatan Melati, dua
buah batu kecil sebesar ibu jari kaki meluncur ke
arah dahi dan leher Dewi Cabul. Si Nenek Bong-
kok tidak berani menganggap remeh serangan ini,
karena di samping mengancam jalan darah kema-
tian, juga dilepas dengan pengerahan tenaga da-
lam tinggi. Ternyata Prapanca orang yang mengi-
rimkan serangan itu.
Harapan Prapanca untuk menyelamatkan
nyawa Melati dari ancaman maut, tidak percuma.
Dewi Cabul yang melihat adanya bahaya besar itu,
buru-buru melepaskan kemampuannya menyedot
tenaga Melati, dan langsung melompat ke bela-
kang. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Prapanca untuk melancarkan seran-
gan susulan dengan mempergunakan sepasang
sumpitnya.
"Larilah, Nisanak! Tinggalkan tempat ini, bi-
ar aku yang menahannya dulu...!" teriak Prapanca
pada Melati di sela-sela sambaran sumpitnya yang
menusuk ke arah jalan-jalan darah kematian di
tubuh lawannya.
Melati tentu saja mendengar seruan itu. Dan
kalau saja dia mau menuruti, meski masih agak
lemas karena sebagian tenaganya terkuras, mudah
saja baginya untuk melarikan diri dari tempat itu.
Namun Melati bukan wanita yang gampang me-
nyerah, dan Prapanca keliru kalau mengira gadis
itu akan cepat melarikan diri. Gadis berpakaian
putih ini malah berdiam diri di tempatnya, beru-
saha untuk memulihkan tenaga dalamnya yang
tersedot
Tindakan Melati membuat Prapanca menjadi
cemas, karena merasa dirinya bukan tandingan
Dewi Cabul. Dan Prapanca memang tidak bermak-
sud untuk terus bertarung dengan nenek bongkok
itu. Penyerangannya atas Dewi Cabul semata-mata
untuk menyelamatkan Melati yang telah menyela-
matkan Lestari. Paling tidak dapat memberi ke-
sempatan pada gadis berpakaian putih agar mela-
rikan diri, baru kemudian dia ikut kabur apabila
mendapat kesempatan. Sedangkan Lestari sudah
lebih dulu meninggalkan mereka. Dan itu pun atas
anjuran Prapanca.
Sebenarnya, kalau saja tidak ada perkem-
bangan lain, Prapanca lebih suka untuk mene-
ruskan pertarungan. Dengan adanya tenaga ban-
tuan dari Melati, mereka bertiga akan mampu
mengalahkan Dewi Cabul. Namun di saat Melati
tengah bersitegang melawan pengaruh ilmu aneh
Dewi Cabul, mendadak terdengar getaran-getaran
di bumi. Prapanca tahu apa artinya ini. Apalagi
ketika menyadari kalau getaran itu semakin men-
geras. Raksasa Pemangsa Manusia tengah berlari
mendekati tempat pertarungan mereka. Dan hal
itu berarti bahaya besar. Dewi Cabul saja sudah
merupakan lawan yang amat tangguh, apalagi di-
tambah dengan Raksasa Pemangsa Manusia yang
memiliki kemampuan mengiriskan, di samping
bentuk tubuhnya yang besar. Kedua tokoh itu
mungkin memiliki kemampuan dan kedigdayaan
yang setingkat karena merupakan tokoh-tokoh
nomor satu dunia persilatan untuk golongan hi-
tam. Raksasa Pemangsa Manusia dan Dewi Cabul
merupakan dua di antara datuk-datuk kaum sesat
yang terkenal dengan julukan Biang-Biang Iblis!
kkk
Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa
gelisahnya hati Prapanca ketika melihat Melati ti-
dak mempedulikan seruannya. Gadis berpakaian
putih itu malah berdiam diri di tempatnya. Betapa
pun, Prapanca di tengah-tengah kesibukannya
menghadapi amukan Dewi Cabul, menyempatkan
diri memerintahkan Melati melarikan diri. Gadis
berpakaian putih itu sama sekali tidak memper-
gunakan kesempatan itu untuk kabur.
Tidak sampai sepuluh jurus Prapanca me-
nahan Dewi Cabul, sudah beberapa kali nyawanya
hampir melayang. Pemuda berpakaian coklat ini
berhasil selamat hanya di saat-saat terakhir. Itu
pun dengan terpontang-panting. Prapanca tidak
yakin kalau dirinya mampu bertahan sepuluh ju-
rus lagi menghadapi nenek bongkok ini.
Hal ini membuat Prapanca semakin gelisah.
Kalau saja Melati sudah menuruti anjurannya un-
tuk kabur, dengan keadaan seperti ini dia dapat
memutar otak untuk menyelamatkan diri. Apalagi
ketika dipikir Lestari pasti akan gelisah menunggu
kedatangannya karena sewaktu disuruh melarikan
diri, gadis berpakaian merah ini mau setelah tahu
kalau Prapanca akan melarikan diri pula. Sama
sekali Prapanca tak menyangka akan terjadi hal
seperti itu.
Akhirnya, setelah tiga jurus berlalu dan Me-
lati tidak menampakkan tanda-tanda akan melari-
kan diri, Prapanca jadi kehilangan kesabaran ka-
rena rasa cemasnya yang hebat. Bunyi getaran
pada tanah telah semakin keras, pertanda kalau
Raksasa Pemangsa Manusia sudah tidak jauh lagi
dari tempat mereka. Itulah sebabnya, Prapanca
mengambil keputusan singkat. Prapanca yakin
bahwa Melati akan mengikutinya jika dia kabur
dari tempat itu. Sebab untuk melakukan perlawa-
nan seorang diri tidak ada gunanya, hanya menca-
ri mati.
Namun, sebelum Prapanca melaksanakan
niatnya, gadis berpakaian putih itu melesat masuk
ke dalam kancah pertarungan.
"Tidak ada gunanya, Kisanak! Lebih baik kita
tinggalkan tempat ini!" seru Prapanca, keras.
"Aku akan pergi setelah mengirim Nenek Bau
ini ke akherat!" sahut Melati sambil mengirimkan
serangkaian serangan dengan pedangnya.
Prapanca menggertakkan gigi. Dia tahu tidak
ada gunanya berdebat dengan Melati yang diang-
gapnya berwatak keras. Hanya dua pilihan ba-
ginya, mengikuti tekad Melati, membinasakan De-
wi Cabul atau meninggalkan Melati sendirian. Su-
atu pilihan yang membingungkan, karena mem-
bayangkan betapa gelisahnya Lestari kalau dia ti-
dak kunjung datang
Akhirnya, Prapanca memilih yang pertama.
Dengan keputusan itu, Prapanca mengerahkan se-
luruh kemampuannya untuk dapat segera mero-
bohkan Dewi Cabul sebelum Raksasa Pemangsa
Manusia tiba di sini.
Namun, niat itu hanya mudah dalam bayan-
gan, sulit dilaksanakannya. Betapa pun Prapanca
yang dibantu oleh Melati, berusaha sekuat tenaga
untuk merobohkan Dewi Cabul, tetap saja nenek
bongkok itu sukar dirobohkan. Kerjasama antara
Melati dan Prapanca tidak lebih baik daripada
dengan Lestari, karena dengan tenaga dalam yang
sebagian telah terkuras, kemampuan Melati telah
merosot jauh. Kenyataan ini membuat Prapanca
semakin gelisah. Namun sebaliknya Melati justru
terlihat tenang-tenang saja. Rupanya keinginan
untuk melenyapkan Dewi Cabul membuat Melati
tidak memikirkan hal-hal lain. Getaran-getaran
bumi yang semakin mengeras, dan diketahui tidak
sewajarnya, tidak menarik perhatiannya sama se-
kali. Dia hanya tertarik sebentar kemudian melu-
pakannya ketika teringat kembali akan Dewi Ca-
bul.
"Ha ha ha...! Rupanya kau telah berada di
sini, Dewi Cabul?!" Terdengar sebuah suara serak
dan parau disusul dengan munculnya Raksasa
Pemangsa Manusia. "Dan kau telah berpesta ru-
panya. Jangan serakah, Dewi Cabul! Aku tahu kau
tidak doyan makanan yang satu, biar aku yang
menyantapnya."
Tanpa menunggu tanggapan Dewi Cabul,
Raksasa Pemangsa Manusia telah melangkah le-
bar memasuki kancah pertarungan. Tangannya
yang besar dan penuh bulu meluncur ke arah ke-
dua pinggang Melati seperti hendak memeluk.
Melati menjerit kaget dan langsung melom-
pat mundur, sehingga terhindar dari renggutan
tangan Raksasa Pemangsa Manusia. Dan pada
saat yang bersamaan dengan tangan kirinya, gadis
berpakaian putih ini mengirimkan serangan jarak
jauhnya, lewat jurus 'Naga Merah Membuang Mus-
tika'.
Bresss!
Serangan tidak terduga-duga yang datang-
nya demikian cepat itu, tidak dapat dielakkan oleh
Raksasa Pemangsa Manusia. Seketika tubuh tinggi
besar ini tergetar dan terhuyung selangkah ke be-
lakang.
Mendapatkan serangan balasan yang tak
terduga-duga itu membuat Raksasa Pemangsa
Manusia murka. Memang pukulan jarak jauh Me-
lati tidak mampu melukai tubuhnya yang terlin-
dung kulit kuat laksana kulit badak. Namun tu-
buhnya yang terhuyung-huyung dan sedikit rasa
panas pada dadanya yang terhantam serangan ja-
rak jauh itu, menyulut amarahnya. Kemarahan
itulah yang membuatnya menerjang Melati dengan
pukulan kedua tangan dikepalkan keras.
Melati yang dibuat terpukau ketika melihat
Raksasa Pemangsa Manusia tidak terluka sama
sekali akibat serangan jarak jauhnya, sempat sa-
dar melihat serangan bertubi-tubi ke arahnya. Ga-
dis cantik ini langsung mengelak dan balas me-
nyerang dengan mempergunakan pedangnya. Ilmu
'Pedang Seribu Naga' yang menjadi andalannya,
langsung dikeluarkan.
Untuk yang kedua kalinya, Melati harus me-
nelan kenyataan pahit. Lawan yang dihadapinya
ini memiliki kemampuan jauh di atasnya. Itu pun
masih ditambah dengan kekebalannya yang luar
biasa. Beberapa kali, berkat kecepatan gerakan
serta kedahsyatan ilmu pedangnya, dan terutama
karena lawan tidak mempedulikan serangan, Me-
lati berhasil menyarangkan serangan baik berupa
tusukan, bacokan, maupun tendangan. Namun
semuanya tidak berarti sama sekali. Kulit tubuh
Raksasa Pemangsa Manusia tidak terluka sama
sekali. Bahkan sebaliknya tangan Melati yang ter-
getar dan sakit-sakit setiap kali pedangnya berha-
sil mendarat pada sasaran.
Kekuatan tubuh lawannya ini mengingatkan
Melati akan lawan dahsyat yang dulu pernah di-
hadapinya. Dulu pun dia pernah bertarung den-
gan lawan yang memiliki kulit tubuh kuat. Tokoh
itu berjuluk Raksasa Kulit Baja. Hanya saja Rak-
sasa Kulit Baja tidak memiliki kepandaian seperti
Raksasa Pemangsa Manusia. Kepandaian Raksasa
Kulit Baja biasa-biasa saja. Kesulitan dalam mem-
bunuh tokoh itu hanya karena kulit tubuhnya
yang kebal. (Untuk jelasnya, silakan baca serial
Dewa Arak dalam episode: "Dewi Penyebar Maut").
Bukan hanya Melati yang terancam bahaya
maut, Prapanca pun tidak berbeda. Begitu Melati
tidak membantunya karena telah menghadapi
Raksasa Pemangsa Manusia, Prapanca langsung
terdesak kembali. Keadaannya tidak jauh berbeda
dengan kekasih Dewa Arak itu.
Prapanca tahu, melawan terus berarti rela
mati konyol. Maka, walau hati berat, diputuskan
untuk kabur saja meninggalkan lawannya. Tidak
ada gunanya lagi tetap berada di sini karena dia
tidak akan dapat menolong Melati. Yang lebih
penting sekarang berusaha menyelamatkan nya-
wanya sendiri. "Lagi pula, siapa tahu Melati bisa
menyelamatkan diri pula," hibur Prapanca dalam
hati.
"Dewi Cabul! Lihat, 'Naga Siluman' milikku
akan mencaplok kepalamu!" seru Prapanca den-
gan suara bergetar sambil melemparkan salah sa-
tu sumpit gadingnya.
Dewi Cabul tersentak kaget. Tanpa sadar dia
melangkah mundur ketika melihat seekor naga
muncul dan dari udara hendak mencaplok kepa-
lanya. Naga itu membuka mulutnya lebar-lebar,
memperlihatkan gigi-gigi taringnya yang runcing.
Wuttt!
Pyarrr!
Naga itu kontan lenyap ketika Dewi Cabul
menghentakkan tangan kiri mengirimkan pukulan
dengan telapak tangan terbuka ke arah kepala bi-
natang mengiriskan itu. Dan di tanah tempat naga
tadi berada, tampak sebatang sumpit gading yang
telah hancur berantakan!
"Keparat!"
Dewi Cabul menggertakkan gigi penuh pera-
saan geram karena tahu kalau untuk sejenak tadi,
lawan telah berhasil menipunya dengan ilmu sihir.
Naga itu tercipta karena ilmu sihir Prapanca. Dan
pemuda berpakaian coklat itu sendiri, tidak bera-
da lagi di situ.
Meskipun tidak mengetahui arah yang di-
tempuh Prapanca, Dewi Cabul tetap memaksakan
diri melakukan pengejaran. Rupanya dia tidak in-
gin menyia-nyiakan seorang pemuda sakti seperti
Prapanca. Dengan kepergian Dewi Cabul, tinggal
Melati dan Raksasa Pemangsa Manusia yang ma-
sih tinggal di tempat itu. Kedua tokoh ini masih
sibuk bertarung, dan Melati tetap terdesak dan
kewalahan.
Bukkk!
Melati mengeluh tertahan ketika sisi tangan
Raksasa Pemangsa Manusia menghantam pangkal
bahu kanannya. Cukup telak, dan sudah pasti ke-
ras karena tokoh yang memiliki taring itu memiliki
tenaga besar. Seketika itu pula tubuh Melati am-
bruk terkulai di tanah. Pingsan! Sambil tertawa
tergelak Raksasa Pemangsa Manusia mengangkat
tubuh Melati dan membawanya pergi dari tempat
itu.
4
"Manusia Jelek! Apa yang hendak kau laku-
kan?! Mari kita bertarung sampai salah seorang di
antara kita ada yang mampus!" seru Melati ketika
Raksasa Pemangsa Manusia membawanya lari
meninggalkan tempat itu. Hanya hal ini yang da-
pat dilakukan oleh gadis berpakaian putih itu, ka-
rena sekujur tubuhnya dirasakan lemas. Raksasa
Pemangsa Manusia yang tidak bodoh, telah lebih
dulu menotoknya hingga lumpuh sebelum Melati
sadar dari pingsannya.
"Manusia Jelek! Ternyata hanya tubuhmu
saja yang besar tapi nyalimu kecil. Kalau kau bu-
kan seorang pengecut, bebaskan totokanku mari
kita bertarung!" teriak Melati lagi dengan nada
mulai cemas ketika mengetahui tantangan perta-
manya tidak memberikan hasil seperti yang diha-
rapkan.
"Ha ha ha...!" Kali ini Raksasa Pemangsa
Manusia tertawa bergelak penuh nada gembira.
"Kau kira aku bodoh, Wanita Liar? Aku tidak bisa
dipancing dan ditipu. Apa pun yang kau katakan,
aku tak akan membebaskan mu. Bukankah telah
terbukti kalau kau bukan tandinganku?! Kau telah
kukalahkan! Dan ketahuilah, setiap orang yang
kalah dengan Raksasa Pemangsa Manusia mem-
punyai dua pilihan. Kalau dia lelaki atau wanita
yang telah tua, kematianlah yang akan di dapat.
Sedangkan wanita yang masih muda, terutama
sekali yang berilmu tinggi, akan menjadi santapan
ku. Aku yakin daging dan tulang-tulang mudamu
pasti nikmat! Ha ha ha...!"
"Apa kau orang yang berjuluk Raksasa Pe-
mangsa Manusia?!" tanya Melati, tanpa menyem-
bunyikan rasa kagetnya.
Ucapan lelaki tinggi dan bertaring itu yang
membuatnya mempunyai dugaan demikian. Melati
telah lama mendengar raja kaum sesat yang berju-
luk Raksasa Pemangsa Manusia. Namun karena
tokoh itu telah lama tidak ketahuan rimbanya lagi,
dia sama sekali tidak menyangka kalau kini ber-
hadapan dengan tokoh yang mengiriskan itu. Se-
karang, Melati baru sempat menyadari kalau ciri-
ciri yang dimiliki tokoh sakti yang mengalahkan-
nya sesuai dengan berita yang didapatkannya. Se-
ketika bulu kuduk Melati meremang membayang-
kan dirinya akan dijadikan santapan tokoh sesat
yang doyan makan daging manusia ini! Melati
hanya bisa berharap kalau dugaannya ini salah.
Melati merasa putus asa ketika melihat lela-
ki tinggi besar itu mengangguk membenarkan du-
gaannya. Sementara, Raksasa Pemangsa Manusia
bersikap tidak peduli dan terus berlari dengan
langkah kakinya yang menimbulkan bunyi berde-
bum-debum menggetarkan tanah.
Tokoh yang mengiriskan ini memperlambat
larinya ketika tiba di sebuah lembah yang diapit
dua bukit kecil. Sebuah lembah yang luas, terdiri
dari tanah kering dan gersang. Raksasa Pemangsa
Manusia menghentikan langkahnya di depan se-
buah goa besar yang terlihat hitam kelam.
Matanya yang besar dan beralis tebal me-
mandangi ke sekeliling tempat itu dengan kening
berkernyit, seperti tengah memperhatikan sesua-
tu. Sesaat kemudian, dengan sembarangan saja,
tubuh Melati dilemparkan ke dekat dinding goa
sedangkan dia sendiri langsung melangkah cepat
masuk ke goa itu.
Jantung Melati berdetak kencang ketika me-
lihat Raksasa Pemangsa Manusia berlari memasu-
ki goa. Gadis berpakaian putih ini menyadari
adanya sebuah kesempatan untuk melarikan diri.
Maka, tanpa membuang-buang waktu dikerahkan
tenaga dalamnya yang berada di bawah pusar, di-
pusatkan untuk membebaskan jalan darahnya
yang tertotok. Namun ternyata totokan Raksasa
Pemangsa Manusia kuat bukan kepalang, sia-sia!
Meski begitu, gadis berpakaian putih ini tidak pu-
tus asa dan terus berusaha keras untuk membe-
baskan diri.
Melati menghela napas kesal. Seketika pera-
saan kecewa muncul di dalam hatinya karena ti-
ba-tiba terdengar bunyi langkah berdebum keras.
Sesaat kemudian Raksasa Pemangsa Manusia te-
lah berada kembali di dekatnya.
Setelah melempar pandangan ke arah Melati
untuk meyakinkan kalau tawanannya masih ada,
dengan raut wajah gembira, Raksasa Pemangsa
Manusia meletakkan alat-alat yang diambilnya da-
ri ruang dalam tak jauh dari mulut goa.
Melati semakin merasakan jantungnya ber-
detak lebih cepat lagi. Dengan sorot mata meman-
carkan kengerian, diperhatikannya alat-alat yang
telah tertata rapi di tanah itu. Kayu-kayu bakar,
sebuah bejana besar mirip penggorengan dan guci
besar berisi air! Ini berarti penjagalan atas dirinya
tak lama lagi akan segera dimulai.
"Ha ha ha...!" Raksasa Pemangsa Manusia
tertawa tergelak ketika bejana besar berisi air itu
telah diletakkan di atas kayu bakar yang menyala
nyala. "Begitu air itu mendidih, kau akan melihat
hal-hal yang menarik, Wanita Liar! Kau mungkin
tahu apa yang akan terjadi. Kau akan ku rebus!?"
Melati hampir tidak kuasa menahan kenge-
riannya melihat semua itu. Apalagi ketika terlihat
olehnya gigi-gigi taring lelaki tinggi besar itu. Na-
mun dengan menenangkan perasaan gadis itu te-
tap memandangi penggorengan besar yang penuh
air di atas kobaran api. Melati yang telah kenyang
pengalaman tahu, tokoh-tokoh sesat semakin se-
nang apabila calon korban mereka semakin keta-
kutan. Mereka mendapat kepuasan tersendiri dari
rasa takut yang melanda hati mangsa mereka.
Terlihat oleh Melati sinar kekecewaan di ma-
ta Raksasa Pemangsa Manusia melihat korbannya
menampakkan sikap yang berbeda dengan hara-
pan.
"Air itu bukan air sembarangan, Wanita Liar!
Tapi, air yang telah ku campur dengan bahan-
bahan milikku. Apabila telah mendidih, panasnya
puluhan bahkan mungkin ratusan kali lipat dari
air biasa. Hhh... menyakitkan sekali! Seluruh tu-
buhmu akan terasa seperti ditusuki pisau-pisau
berkarat yang beracun. Juga, bahan-bahan yang
ku campurkan membuat tubuhmu akan matang
jauh lebih lama! Dengan demikian kau akan ter-
siksa sekali. Ha ha ha...!" lanjut Raksasa Pe-
mangsa Manusia dengan nada dibuat menyeram-
kan untuk menimbulkan ketakutan hati Melati,
agar dia tidak merasa kecewa lagi untuk kedua ka-
linya. Dia ingin melihat korbannya ini merengek-
rengek memohon ampun.
Melati memang merasa ngeri bukan kepa-
lang mendengarnya. Dia tahu, Raksasa Pemangsa
Manusia tidak berdusta. Meski demikian, gadis
berpakaian putih itu pandai menyembunyikan pe-
rasaan takut sehingga tidak terlihat di wajahnya.
Raksasa Pemangsa Manusia merasa kecewa
melihat kegagalan dari usahanya. Sekarang dia
sadar kalau Melati tidak bisa ditakut-takutinya.
Namun rasa gembira yang melanda hati jauh lebih
besar dari perasaan kecewa, sehingga meski kein-
ginannya untuk menakut-nakutkan Melati tidak
berhasil, mulut manusia raksasa itu tetap tertawa.
"Sekarang tinggal menunggu air itu mendi-
dih, Wanita Liar! Dan apabila itu terjadi, nyawamu
telah berada di ambang pintu akherat. Nikmatilah
saat-saat terakhirmu, Wanita Liar!"
kkk
"Lepaskan dia, Manusia Pemakan Bangkai!"
Raksasa Pemangsa Manusia terperanjat, be-
gitu pula Melati. Seruan yang terdengar itu meski-
pun tidak keras tapi mengandung getaran sampai
ke dalam dada. Yang lebih mengejutkan hati lagi,
seruan itu muncul tanpa ketahuan pemiliknya.
Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi baik Me-
lati maupun Raksasa Pemangsa Manusia tahu ka-
lau pemilik suara itu berkepandaian tinggi. Geta-
ran suara yang mampu merasuk ke dalam dada
telah menjadi bukti nyata ketinggian tenaga dalam
pemilik suara itu. Namun yang lebih mengejutkan,
dari mana datangnya tidak dapat diketahui, pa-
dahal baik Melati maupun Raksasa Pemangsa Ma-
nusia telah mengerahkan kemampuan untuk
mencari asal suara itu. Seolah-olah suara itu be-
rasal seperti dari delapan penjuru angin.
"Kau mencari siapa, Manusia Pemakan
Bangkai?!" Suara menggetarkan itu kembali ter-
dengar. Nadanya mengejek. "Aku di sini!"
Angin berdesir pelan. Dan tahu-tahu di anta-
ra Raksasa Pemangsa Manusia dan Melati, berdiri
sesosok tubuh kecil kurus. Kumis dan jenggot le-
bat menghias wajahnya yang memiliki sinar mata
mencorong kehijauan. Sebuah topi berbentuk se-
tengah tempurung kelapa berwarna hitam, menu-
tup kepalanya. Pakaiannya pun berwarna hitam
pekat. Wajahnya yang dingin tampak angker, me-
natap Raksasa Pemangsa Manusia.
Raksasa Pemangsa Manusia merupakan seo-
rang datuk kaum sesat yang memiliki wibawa
mengiriskan hati. Namun tak urung, melihat sosok
yang berdiri di hadapannya, dia mundur selang-
kah. Kehadiran sosok kecil kurus yang lebih dulu
menimbulkan ketegangan, telah membuat keang-
kerannya semakin terlihat jelas.
"Siapa kau? Dan apa maksud ucapanmu
itu?! Menyingkirlah kalau tidak ingin nyawamu
kukirim ke neraka!" gertak Raksasa Pemangsa
Manusia yang telah mendapatkan kembali kete-
nangannya.
Raksasa Pemangsa Manusia meski tampak
bodoh, ternyata tidak memiliki pikiran sempit. Da-
ri cara kedatangan lelaki kecil kurus ini saja, di-
rinya tahu kalau sosok yang berada di hadapan-
nya memiliki kepandaian tinggi. Dan dalam kea-
daan seperti ini, Raksasa Pemangsa Manusia tidak
ingin terlibat pertarungan. Bukan karena gentar,
melainkan karena khawatir Melati akan lolos dari
tangannya. Dia tahu totokannya tidak dapat ber-
tahan lama bagi seorang gadis seperti Melati.
"Aku hanya mau menyingkir apabila gadis
itu kau serahkan padaku!" tegas sosok kecil ku-
rus, seraya menuding tubuh Melati yang tergolek.
"Itu artinya kau mengajakku bertarung!"
sentak Raksasa Pemangsa Manusia mantap.
Wutt, wutt, wuttt!
Raksasa Pemangsa Manusia yang tahu kalau
sosok kecil kurus di depannya memiliki kepan-
daian tinggi, tanpa ragu-ragu lagi dalam sekali
menyerang langsung mengirimkan pukulan bertu-
bi-tubi dengan kedua tangan dikepal keras. Deru
angin keras mengiringi tibanya setiap serangan.
Sosok kecil kurus menyunggingkan senyum
sinis di bibirnya seakan-akan meremehkan seran-
gan Raksasa Pemangsa Manusia. Kemudian den-
gan berani dipapaknya serangan itu dengan cara
yang sama. Bunyi nyaring seperti ada dua benda
logam berbenturan pun terjadi ketika dua pasang
tangan yang memiliki ukuran berbeda jauh itu
bertemu di tengah jalan.
Melati menatap dengan sorot mata kaget, ta-
pi hatinya segera melihat sosok kecil kurus itu
ternyata memang benar-benar dapat diandalkan.
Setiap kali terjadi benturan tangan, tubuh Raksa-
sa Pemangsa Manusia tergetar hebat dan hampir
terhuyung. Hal seperti itu tidak dialami oleh lelaki
kecil kurus. Bahkan pada benturan yang terakhir,
tubuh Raksasa Pemangsa Manusia sampai ter-
huyung-huyung ke belakang.
"Grrrhhh...!"
Raksasa Pemangsa Manusia menggeram ke-
ras. Benturan keras itu membuktikan kalau tena-
ga dalam lelaki kecil kurus berada di atasnya. Dan
dugaannya ternyata tidak keliru, lelaki kecil kurus
memiliki keunggulan tenaga dalam. Namun dalam
hal kekuatan anggota-anggota tubuh, lelaki kecil
kurus ini bukan tandingan lawannya yang memili-
ki tubuh laksana besi baja. Benturan-benturan
yang terjadi menyebabkan rasa sakit di tangan le-
laki kecil kurus!
Namun masing-masing pihak, tidak mempe-
dulikan hal itu. Hampir pada saat yang bersamaan
keduanya saling terjang. Bertempur untuk mem-
perebutkan Melati.
Lelaki kecil kurus yang menjadi lawan Rak-
sasa Pemangsa Manusia ternyata memiliki kepan-
daian amat tinggi. Tokoh sesat bertaring itu sama
sekali bukan tandingannya. Baik dalam hal tenaga
maupun mutu ilmu silat, lelaki kecil kurus ini be-
rada di atas lawannya. Apalagi dalam hal kecepa-
tan. Hanya berkat kekuatan tubuhnya yang me-
nakjubkan, Raksasa Pemangsa Manusia masih
bertahan dengan tegar. Padahal sudah beberapa
kali-kali baik pukulan maupun tendangan lelaki
kecil kurus mendarat di berbagai bagian tubuh
lawannya. Namun sama sekali tidak mampu me-
lukai manusia bertubuh besar dan tinggi itu. Aki-
bat yang ditimbulkan hanya terlemparnya tubuh
Raksasa Pemangsa Manusia. Bahkan tak jarang
hanya terhuyung-huyung atau tergetar. Setelah
itu, lelaki tinggi besar ini kembali melancarkan se-
rangan dengan kekuatan penuh.
Sepuluh jurus dengan cepat berlalu. Selama
itu telah belasan kali Raksasa Pemangsa Manusia
menerima serangan lawan. Namun hal itu sama
sekali tidak mempengaruhinya. Dia masih tetap
tangguh dan kokoh seperti sebelumnya.
Melati yang menyaksikan jalannya pertarun-
gan diam-diam merasa gembira. Dia tahu perta-
rungan akan berlangsung alot dan lama. Hatinya
semakin berharap semoga saja keadaan seperti ini
akan berlangsung lebih lama. Melati yakin, dia
akan berhasil terbebas dari totokan yang membe-
lenggu sebelum pertarungan usai. Maka dengan
penuh semangat dipusatkan perhatian pada tena-
ga dalamnya untuk membebaskan pengaruh toto-
kan yang membelenggu. Dan dengan hati girang
Melati merasakan kalau perlahan-lahan tenaga da-
lamnya mampu menembus pengaruh totokan
Raksasa Pemangsa Manusia. Dia yakin tak lama
lagi pengaruh totokan itu akan punah semuanya.
Kembali Melati melihat tubuh Raksasa Pe-
mangsa Manusia terpental ke belakang dan tergul-
ing-guling akibat gedoran dua telapak tangan ter-
buka lelaki kecil kurus yang menghantam dadanya
secara telak. Namun, sebelum tokoh sesat yang
memiliki taring itu bangkit, si Lelaki Kecil Kurus
dengan cepat melempar tubuh ke belakang dan...
menyambar tubuh Melati!
Sambil memondong tubuh Melati, lelaki kecil
kurus itu melesat pergi. Melati meronta-ronta be-
rusaha melepaskan diri. Tanpa disadari dirinya te-
lah melakukan kesalahan besar. Tenaganya yang
belum pulih benar dari pengaruh totokan mem-
buat rontaan yang dilakukan tak ubahnya geliatan
seekor cacing. Lemah. Namun hal itu menyebab-
kan lelaki kecil kurus mengetahui kalau Melati
hampir bebas dari pengaruh totokan, Dan sekali
jari-jari tangannya bergerak, Melati kembali lum-
puh!
"Keparat Jahanam! Jangan lari kau, Penge-
cut!" seru Raksasa Pemangsa Manusia, kalap keti-
ka melihat lawannya melesat kabur dengan mem-
bawa tubuh Melati. Dia pun melesat mengejar.
kkk
"Maaf, saudara-saudara yang gagah. Boleh
saya bertemu dengan Malaikat Salju?!" tanya seo-
rang gadis berpakaian merah pada dua orang pe-
muda bertubuh kekar yang berdiri di depan se-
buah pintu gerbang. Di atas pintu gerbang itu ber-
tengger sepotong papan lebar dan tebal bertu-
liskan huruf-huruf indah yang berbunyi "Perkum-
pulan Pengemis Baju Putih".
"Maaf, Nisanak. Mungkin kau salah alamat.
Di sini tidak ada orang yang berjulukan seperti
itu," jawab pemuda yang bertubuh pendek, dengan
suara halus.
"Bukankah ini Perkumpulan Pengemis Baju
Putih?!" Kembali gadis berpakaian merah itu men-
gajukan pertanyaan, meminta penegasan. Sambil
mengajukan pertanyaan itu, sepasang mata indah
gadis itu melirik ke atas tempat tergantungnya pa-
pan tanda nama perguruan.
"Tidak salah!" sahut pemuda satunya lagi
yang bertubuh tinggi. "Tapi orang yang kau tanya-
kan tidak berada di sini."
"Mungkinkah ayahku salah memberikan pe-
tunjuk padaku?!" gumam gadis berpakaian merah
seperti berkata pada dirinya sendiri. Wajahnya
tampak bingung, setelah tercenung beberapa saat.
"Ayahku mengatakan kalau aku dapat menemu-
kan Malaikat Salju, kawannya, di Perkumpulan
Pengemis Baju Putih. Bahkan kata ayahku, Malai-
kat Salju menjadi pemimpinnya."
"Mungkin ayahmu keliru, Nisanak. Kami
berkata sebenarnya, pemimpin perkumpulan ini
bukan orang yang mempunyai julukan seperti kau
katakan. Beliau berjuluk Raja Pengemis Tongkat
Sakti," jelas pemuda pendek.
Kali ini gadis berpakaian merah tidak mem-
berikan sambutan. Dia termenung dengan tarikan
wajah bingung. Rupanya kenyataan yang dihada-
pi, tidak sesuai dengan yang diperkirakannya.
"Ayahku tidak mungkin keliru!" tandas gadis
berpakaian merah, mantap. "Aku yakin Malaikat
Salju berada di sini! Haaii...! Malaikat Salju, keluar
kau! Aku, Lestari ingin menghadapmu...! Aku
mempunyai sebuah pesan penting dari ayahku,
Malaikat Petir!"
Seruan gadis berpakaian merah yang ternya-
ta Lestari, putri Malaikat Petir, keras sekali karena
dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam se-
penuhnya.
Tindakan Lestari membuat dua pemuda ke-
kar yang mengenakan pakaian penuh tambalan
sebagai mana layaknya seorang pengemis, menjadi
tidak senang. Sudah baik-baik mereka jawab, ga-
dis itu malah melakukan perbuatan yang mereka
anggap tak sopan. Hal itu menandakan kalau ta-
mu itu menganggap bahwa mereka berdua tidak
bisa dipercaya. Padahal, pantang bagi murid-
murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih melaku-
kan dusta. Karena berbohong merupakan tinda-
kan seorang yang pengecut. Dan mereka bukan
pengecut! Perkumpulan Pengemis Baju Putih me-
rupakan perkumpulan para orang gagah!
"Kuharap dengan sangat agar kau bersedia
meninggalkan tempat ini, Nisanak! Jangan paksa
kami untuk melakukan tindakan kekerasan!" te-
gas pemuda pendek kekar yang mengenakan pa-
kaian dari tambal-tambalan kain warna putih se-
bagaimana yang umumnya dikenakan murid-
murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih.
"Ah...! Betapa gagahnya...! Ingin kubuktikan
sendiri apakah kepandaianmu sejajar dengan be-
sarnya sesumbar yang keluar dari mulutmu!"
sambut Lestari bernada tantangan.
Kedua murid Perkumpulan Pengemis Baju
Putih ini kecelik mendengar sambutan Lestari. Me-
reka tidak menyangka akan mendapat tanggapan
seperti itu. Tentu saja karena keduanya tak men-
genai siapa gadis yang mereka hadapi. Lestari ada-
lah seorang gadis yang berwatak berubah-ubah. Di
samping juga suka menurutkan kemauan sendiri.
Prinsipnya, sekali hitam akan tetap hitam! Dan
semula, melihat sikap baik dan sopan murid-
murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih, Lestari
ikut baik. Gadis berpakaian merah ini memang
memiliki tanggapan sesuai dengan yang diteri-
manya. Apabila orang bersikap baik dia akan
membalas lebih baik. Namun apabila orang tidak
baik, dia akan membalas dengan tindakan lebih
kejam! Itulah sebabnya ketika mendapat ancaman
murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih, sikap-
nya yang angin-anginan langsung meledak!
"Kau... kau..., Wanita Liar...!" seru pemuda
kekar yang akhirnya sanggup berkata lagi setelah
tertegun sebentar karena perasaan bingung.
"Pengemis-Pengemis Bermulut Ceriwis!
Orang seperti kalian harus diberi hajaran agar ti-
dak sembarangan memaki orang!"
Lestari yang sudah kumat watak ugal-
ugalannya, langsung mengirimkan tamparan ke
arah bahu pemuda pendek kekar yang telah me-
makinya. Namun, meskipun tengah terbangkit
emosinya, Lestari masih ingat kalau dua orang
yang berdiri di hadapannya bukan termasuk go-
longan hitam. Bahkan bukan tidak mungkin me-
reka murid Malaikat Salju, kawan akrab ayahnya!
Itulah sebabnya, gadis berpakaian merah ini me-
ngirimkan serangan yang tidak mematikan.
Meskipun kaget melihat cepatnya serangan
Lestari yang meluncur ke arah pelipisnya, pemuda
itu tidak menjadi kehilangan akal. Sekilas tadi di-
rinya memang tampak gugup, tapi tetap tidak ke-
hilangan sikap waspada dan hati-hati. Sungguh-
pun dengan agak menggeragap, pemuda pendek
kekar ini cepat melangkahkan kakinya ke bela-
kang sambil mendoyongkan tubuh mengelakkan
serangan Lestari. Hingga serangan putri Malaikat
Petir itu pun lepas dari sasaran.
Namun, hal seperti ini rupanya sudah diper-
hitungkan oleh Lestari. Pada saat yang bersamaan
dengan tangan kanannya yang menampar angin,
kaki kanannya bergerak ke arah paha lawan.
Dukkk!
Secara telak dan keras sekali kaki Lestari
mendarat pada sasaran. Seketika tubuh pemuda
pendek kekar itu terlempar ke samping. Kenyataan
ini membuat rekannya terkejut, dan langsung ber-
gerak menyerang karena khawatir kawannya men-
dapat serangan susulan dari gadis itu.
Namun seperti ketika menghadapi pemuda
pendek kekar, Lestari tidak mengalami kesukaran
untuk merobohkannya. Sekali mengulurkan tan-
gan, gadis berpakaian merah ini telah berhasil
menyarangkan pukulan tangannya yang terbuka
ke perut pemuda tinggi kekar. Murid Perkumpulan
Pengemis Baju Putih yang sial ini pun jatuh ter-
duduk di tanah.
Tanpa mempedulikan kedua lawannya yang
masih menyeringai menahan sakit, Lestari berja-
lan melenggang ke dalam melalui pintu gerbang.
Mulutnya terus berteriak-teriak memanggil Malai-
kat Salju.
Seketika itu pula suasana di dalam Perkum-
pulan Pengemis Baju Putin gempar. Kedatangan
Lestari dengan sikapnya yang ugal-ugalan, berte-
riak-teriak memanggil nama Malaikat Salju mem-
buat kaget orang-orang di dalam perguruan itu.
Semua penghuni di dalam markas Perkumpulan
Pengemis Baju Putin tampak berlarian keluar dari
pondok masing-masing.
Di dalam lingkungan benteng ternyata ter-
dapat halaman tanah luas. Dan di sekitar hampa-
ran tanah luas itu berdiri banyak pondok-pondok
sederhana jumlahnya cukup banyak dan bentuk-
nya seragam. Hanya ada satu pondok yang jauh
lebih besar dari yang lainnya. Inilah tempat tinggal
sang Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Putih
yang berjuluk Raja Pengemis Tongkat Sakti.
5
Lestari memandang berkeliling, tidak terlihat
gentar sama sekali. Tarikan wajah dan sorot ma-
tanya memancarkan ketenangan. Padahal, gadis
berpakaian merah ini telah terkurung oleh pulu-
han orang berpakaian pengemis. Dan mereka se-
muanya menggenggam sebatang tongkat runcing
dan panjang di tangan.
"Siapa kau, Nisanak? Bagaimana kau bisa
masuk kemari?! Dan, apa arti ucapanmu itu, Ni-
sanak?!" tegur seorang pengemis berwajah kuning
yang berdiri di hadapan Lestari. Lelaki berwajah
kuning ini melangkah tiga tindak agar lebih dekat
dengan gadis berpakaian merah yang berdiri di
tengah halaman.
"Aku sudah perkenalkan diri di luar, tapi
orang-orang yang menjemukan itu tetap tidak
mengizinkan aku masuk. Jadi, terpaksa aku ma-
suk. Sekarang, sebelum kesabaranku hilang, dan
terpaksa aku menyuruh kalian menuruti keingi-
nanku dengan kekerasan, cepat bawa aku mene-
mui Malaikat Salju!!" tandas Lestari.
Wajah lelaki yang menegur Lestari seperti
semakin bertambah kuning karena ucapan keras
dan tajam gadis itu.
"Rupanya kau salah alamat, Nisanak! Di sini
tidak ada orang yang kau cari! Di sini perkumpu-
lan pengemis, bukan tempat malaikat! Cepat ting-
galkan tempat ini!"
"Rupanya kau menginginkan aku bertindak
keras, Manusia Penyakitan!" sambut Lestari, ke-
ras. "Baik kalau itu yang kau inginkan!"
Begitu selesai mengucapkan perkataan itu,
Lestari menjejakkan kaki dan melompat ke atas
melewati kepala rombongan pengemis yang men-
gurungnya. Tindakan Lestari yang tidak terduga-
duga ini membuat rombongan pengemis itu, tak
terkecuali lelaki berwajah kuning tak sempat me-
lakukan tindakan untuk mencegah. Dengan gemi-
lang, Lestari berhasil melewati kepala para murid
Perkumpulan Pengemis Baju Putih, bahkan men-
darat di luar kepungan. Kemudian dia langsung
melesat ke arah bangunan paling besar. Dengan
kecerdikannya Lestari dapat menduga kalau pon-
dok terbesar itu pasti diperuntukkan bagi sang Ke-
tua. Dan kalau benar, pasti Malaikat Salju! Itulah
sebabnya, gadis berpakaian merah ini langsung
melesat ke sana.
Beberapa langkah lagi mencapai pintu pon-
dok, dari dalam melesat keluar sesosok bayangan
yang tidak jelas bentuknya karena sangat cepat
gerakannya. Kebetulan, pintu pondok itu terbuka
lebar, sehingga sosok yang melesat dari dalam sa-
na, tidak memerlukan gerakan tambahan untuk
membuka daun pintunya.
Lestari yang tidak menduga kalau dari dalam
akan melesat sesosok bayangan dengan kecepatan
mengagumkan, menjadi kaget bukan kepalang.
Apalagi ketika menyadari arah yang dituju sosok
bayangan itu berlawanan dengannya. Kedua sosok
yang tengah berlari ini berada persis dalam satu
jalur, dan kebetulan berlawanan arah. Kalau tidak
dapat dicegah, akan terjadi benturan antara mere-
ka.
Lestari langsung menjejakkan kaki untuk
melempar tubuhnya ke belakang. Dia sempat me-
lakukan salto beberapa kali, sebelum kedua ka-
kinya melayang turun dan hinggap di tanah den-
gan ringan.
Sosok yang melesat dari dalam pun melaku-
kan tindakan cepat untuk menghindarkan tabra-
kan dengan Lestari. Seperti juga Lestari, sosok itu
menyadari akan kemungkinan terjadinya tumbu-
kan ketika telah berada di luar pintu pondok. Ma-
ka, dengan kecepatan gerak luar biasa, tongkat
yang terpasang melintang di punggung dicabut
dan dipukulkan ke tanah.
Blarrr!
Gumpalan-gumpalan tanah langsung ber-
hamburan dan bahkan debu tebal pun mengepul
ke udara. Namun bukan hal itu yang diharapkan
oleh sosok yang melesat dari dalam. Dengan me-
minjam tenaga yang membalik dari pukulan tong-
kat, tubuhnya mencelat ke belakang dan mendarat
dengan mantap, tepat di ambang pintu.
Berbeda dengan sosok itu yang mampu
mendarat dengan aman, Lestari tidak demikian.
Setelah kedua kakinya menjejak tanah, rombon-
gan Perkumpulan Pengemis Baju Putih yang se-
mula mengejarnya, langsung merubung dan men-
girimkan serangan. Tiga di antara mereka yang
bersikap lebih tanggap, langsung menusukkan
tongkat masing-masing ke arah gadis itu.
Serangan-serangan yang datang secara
mendadak itu ternyata sangat dahsyat. Namun,
Lestari masih mampu membuktikan bahwa di-
rinya tak percuma menjadi putri tunggal tokoh ke-
sohor berjuluk Malaikat Petir. Dengan mudah dia
berhasil mengelakkan satu serangan. Sedangkan
yang dua lagi dipapaknya dengan tangan dan ten-
dangan. Akibatnya, tubuh dua anggota Perkumpu-
lan Pengemis Baju Putih yang sial itu pun terjeng-
kang ke belakang saking kerasnya tenaga tangki-
san Lestari.
Melihat keberhasilan Lestari menghadapi se-
rangan mendadak ini, belasan murid Perkumpulan
Pengemis Baju Putih ini pun menjadi penasaran.
Serentak mereka bergerak untuk menyerbu.
"Tahan...!"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras. Be-
lasan murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih
yang tengah merangsek maju langsung berhenti.
Mereka semua tahu betul siapa pemilik suara itu.
Tanpa banyak membantah, mereka menghentikan
gerakan dan melangkah mundur.
"Kalian jangan membuat malu perkumpulan
kita...!" sambung pemilik seruan mencegah itu,
yang ternyata si Lelaki Berwajah Kuning. "Tinda-
kan kalian, apabila sampai terdengar oleh dunia
persilatan akan menjadikan perkumpulan kita se-
bagai buah ejekan orang lain. Perlu kalian ingat,
Perkumpulan Pengemis Baju Putih, bukan serom-
bongan orang berjiwa pengecut yang hanya berani
melakukan pengeroyokan!"
"Gagah nian ucapanmu itu, Muka Penyakit!"
sergah Lestari, lantang dan tidak mempedulikan
lelaki berwajah kuning yang menyibak kerumunan
murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih
untuk mendekatinya. "Apakah kau bermaksud
melawanku sendiri?! Lebih baik urungkan saja
niatmu yang sok-sokan itu. Dan biarkan saja re-
kan-rekanmu membantu untuk melakukan penge-
royokan terhadap diriku!"
"Sombong!" bentak lelaki berwajah kuning
yang semakin bertambah kuning warnanya karena
marah melihat sikap sombong Lestari yang diang-
gapnya keterlaluan "Kau akan melihat buktinya
sendiri, Wanita Liar!"
Lelaki berwajah kuning itu menutup uca-
pannya dengan sebuah pukulan tangan kanan ke
arah dada. Pukulan keras itu diketahui oleh Lesta-
ri didorong tenaga dalam cukup kuat Sebab ti-
banya serangan itu diiringi bunyi berkesiutan dari
udara yang terobek.
Lestari yang memiliki watak sukar ditebak,
kali ini tidak menangkis serangan itu. Padahal, dia
yakin kalau tenaga dalamnya tidak kalah kuat
dengan yang dimiliki lawan. Gadis berpakaian me-
rah ini malah mengelak. Tindakan itu tetap dila-
kukannya kendati lelaki berwajah kuning itu terus
melancarkan serangan susulan. Ternyata tidak
mengecewakan, Lestari berhasil membuat semua
serangan lawannya hanya mengenai angin.
"Mana bukti ucapanmu, Manusia Penyaki-
tan?! Ternyata ucapanmu tak lebih dan kentut!
Bau busuk, dan tidak bisa menyebabkan apa pun
selain orang menutup hidung!" ejek Lestari di sela-
sela gerakan tubuhnya yang berlompatan ke sana
kemari.
"Kaulah yang pengecut, Wanita Liar! Kalau
kau memang bermaksud menyaksikan kelihaian
ku, jangan cuma berlompatan seperti kera betina
mencari pejantan untuk dikawini, tapi balaslah
menyerang!" sahut lelaki berwajah kuning, tak ta-
han untuk tidak berkata keras karena marah dan
jengkel.
Lestari mengeluarkan lengkingan nyaring
karena kaget dan marahnya mendengar ucapan
yang terdengar tak senonoh untuk diperdengarkan
pada seorang gadis sepertinya. Selebar wajahnya
merah padam karena perasaan malu bercampur
marah. Mendadak gerakannya berubah, tidak
hanya bergerak mengelak melainkan juga melaku-
kan tangkisan.
Plakkk!
Tubuh pengemis berwajah kuning langsung
terjengkang ke belakang dan terguling-guling di
tanah ketika tendangan lurusnya dipapak oleh ka-
ki Lestari. Mulutnya menyeringai menahan sakit
yang melanda. Sementara tubuh gadis itu hanya
tergetar dan agak goyah kedudukannya.
Melihat keadaan lelaki berwajah kuning itu,
tanpa diberi perintah murid-murid Perkumpulan
Pengemis Baju Putin meluruk menerjang.
"Tahan...!"
Lagi-lagi terdengar seman mencegah. Dan
seperti juga sebelumnya, kali ini pun belasan mu-
rid Perkumpulan Pengemis Baju Putih mematu-
hinya. Mereka semua menghentikan gerakan, pa-
dahal serangan-serangan sudah siap dilancarkan.
Lestari langsung mengarahkan pandangan
ke arah asal bentakan. Pemilik suara itu ternyata
menghampirinya, dan berjalan menyibak kerumu-
nan pengemis-pengemis berbaju putih. Mereka
semua menyingkir untuk memberi jalan.
"Siapa kau, Nisanak?!" tanya pemilik benta-
kan ketika telah berjarak dua tombak di depan
Lestari. Dia ternyata seorang pemuda berpakaian
biru. Tubuhnya gagah berotot Wajahnya yang ber-
bentuk persegi seperti wajah singa memperli-
hatkan kejantanan. "Mengapa kau mengacau di
tempat ini?!"
Lestari tidak langsung menjawab pertanyaan
itu. Matanya menatap tajam pemuda berpakaian
biru dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Se-
saat kemudian, sambil tersenyum sinis dia men-
gangguk-anggukkan kepala.
"Kelihatannya kau berbeda dengan mereka,"
ucap Lestari seenaknya. "Tapi, ternyata kau sama
menjemukannya dengan mereka. Selalu mau tahu
urusan orang! Tidak cukupkah aku mengatakan
kepentinganku kemari?! Haruskah aku melapor
pada semua orang yang ada di sini satu persatu
untuk kepentingan yang kubawa ini? Aku sudah
bosan mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti ini
terus! Menyingkirlah, biar aku sendiri yang men-
cari di mana adanya Malaikat Salju!"
Dengan sikap tidak peduli, Lestari men-
gayunkan kaki ke depan. Padahal, di depannya
berdiri pemuda berpakaian biru. Andaikata, Lesta-
ri terus melanjutkan tindakannya, dan pemuda itu
tidak menyingkir, antara mereka akan terjadi tu-
brukan.
"Tunggu sebentar, Nisanak!" cegah pemuda
berpakaian biru sambil menjulurkan kedua tan-
gan ketika Lestari bam saja melangkah dua tin-
dak. "Percayalah, setelah ini kau tidak akan men-
dapat pertanyaan itu lagi. Katakan, apa maksud-
mu mencari Malaikat Salju! Dan siapa dirimu se-
benarnya? Dan dari mana kau bisa menduga ka-
lau Malaikat Salju berada di sini?!"
"Baiklah!" ujar Lestari sambil membanting
kaki seperti melampiaskan kejengkelannya. "Aku
tahu Malaikat Salju berada di sini dari ayahku.
Dan beliau adalah salah seorang sahabat baik Ma-
laikat Salju. Beliau berjuluk Malaikat Petir!"
"Ah...!" seru pemuda berpakaian biru, kaget.
Wajah tampannya yang jantan berubah cerah. "Ki-
ranya kau...! Kau putri Malaikat Petir?! Jadi...
kau... kau... Lestari Mala...!"
Sekarang ganti Lestari yang merasa terkejut.
Baru sekarang ada orang yang menyebut namanya
dengan lengkap. Memang, demikian namanya.
Namun dia sendiri hampir melupakan karena le-
bih sering mempergunakan nama depannya saja.
"Dari mana kau tahu namaku...?!" tanya ga-
dis yang bernama lengkap Lestari Mala ini dengan
suara bergetar karena menahan gejolak perasaan.
"Tentu saja dari guruku. Beliaulah yang
menceritakan tentang diri Malaikat Petir dan pu-
trinya yang katanya bernama Lestari Mala. Dan
guruku ini adalah... Malaikat Salju, orang yang
kau cari...!"
"Pantas kau lihai," puji Lestari sehingga
membuat selebar wajah pemuda berpakaian biru
memerah karena malu. "O ya, mana gurumu? Aku
ingin bertemu dengannya untuk menyampaikan
sebuah kabar penting."
"Sayang sekali, Lestari," jawab pemuda ber-
pakaian biru dengan penuh penyesalan. Dia tidak
bertanya lebih jauh mengenai kabar penting yang
dimaksud. "Baru kemarin beliau pergi karena sela-
lu mendapat firasat buruk mengenai gurunya, Ka-
kek Sobrang. Beliau pergi untuk memastikan ke-
benaran firasatnya."
Raut wajah Lestari berubah. Tampak di wa-
jahnya perasaan kecewa, meski hanya sebentar.
"Bagaimana kau dan gurumu bisa menjadi
ketua perkumpulan orang-orang kurang makan
ini?"
Pemuda berpakaian biru tersenyum men-
dengar pertanyaan Lestari yang ceplas-ceplos itu.
Diam-diam dia merasa aneh sendiri. Sebab, bi-
asanya tidak pernah dia tersenyum seperti itu.
Namun, di depan Lestari tiba-tiba dia tersenyum.
Ada saja ucapan atau tingkah gadis itu yang
membuatnya tidak bisa menahan geli.
"Kami tidak menjadi ketua pengemis, Lestari.
Bahkan keberadaan kami di sini, meskipun me-
mang diketahui oleh semua murid perkumpulan
tapi tidak ada seorang pun yang mengenalku dan
guruku. Kecuali, pengemis yang berwajah kuning.
Ada pun penyebabnya adalah karena guruku telah
menyelamatkan nyawa ketua perkumpulan pen-
gemis ini dari pengeroyokan bajak-bajak sungai
yang ingin membunuhnya. Karena guruku hendak
menjauhkan diri dari dunia persilatan, ketua pen-
gemis itu menawarkan tempat tinggal dan guruku
menerimanya. Ketua pengemis itu sendiri kini ten-
gah bersemadi dan tidak bisa diganggu. Jelas, Les-
tari?"
"Ah..., begitukah...! Betapa untungnya aku?
Sama sekali tidak kusangka akan dapat menemu-
kan tempat persembunyian Malaikat-Malaikat
Pengecut itu! Hoi...! Malaikat Salju yang penge-
cut..! Keluar kau...!"
Tiba-tiba terdengar suara seruan keras dan
berkumandang. Pemuda berpakaian biru, Lestari,
dan seluruh murid Perkumpulan Pengemis Baju
Putih terkejut bukan kepalang mendengar suara
yang langsung berkumandang di sekitar tempat
itu. Mereka semua menengok ke angkasa karena
memang berasal dari sana. Dan seketika itu pula
mereka semua membelalakkan sepasang mata
seakan tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Tepat di atas mereka, berjarak sekitar dela-
pan tombak tampak sesosok tubuh kurus seorang
kakek berambut awut-awutan tengah duduk di
atas sebatang kayu bulat sebesar ibu jari kaki.
Panjang kayu itu tak lebih dari satu tombak. Pada
bagian belakangnya terikat ijuk. Jadi kakek itu
duduk pada sebatang sapu ijuk, seperti layaknya
menunggang kuda. Kedua tangannya memegang
batang kayu.
"Dewa Langit Tak Punya Malu...!" ucap pe-
muda berpakaian biru, tanpa mampu menyembu-
nyikan keterkejutan dan kekhawatiran pada wa-
jahnya.
"Kau mengenalnya?!" tanya Lestari dengan
suara berbisik karena masih belum dapat menghi-
langkan perasaan kaget yang melanda hati melihat
pemandangan seperti itu.
"Guruku banyak bercerita tentang tokoh-
tokoh dunia persilatan. Dan menurutnya, ada
gembong-gembong datuk sesat yang sekitar dua
puluh tahun lalu mengasingkan diri, lenyap dari
rimba persilatan. Gembong-gembong itu berjuluk
Biang-Biang Iblis, karena memiliki kepandaian
dan kekejaman luar biasa. Dan Dewa Langit Tak
Punya Malu ini merupakan salah satu di antara
mereka."
"Ah...!" Lestari tampak kaget mendengar ke-
terangan dari pemuda berpakaian biru itu. Sebab
sebelumnya dia tak pernah mendengar nama to-
koh ini, meskipun Malaikat Petir, ayahnya telah
banyak bercerita tentang tokoh kesohor di dunia
persilatan. Seketika dia teringat akan tokoh-tokoh
dahsyat dan mengerikan yang ditemuinya sebelum
ini. "Jadi selain dia masih ada lagi. Apakah Dewi
Cabul juga termasuk di antara mereka?!"
"Benar," pemuda berpakaian biru mengang-
guk-kan kepala. "Mereka semua, menurut guruku,
memiliki kepandaian tinggi dan aneh-aneh serta
memiliki bentuk kejahatan keji yang berbeda-
beda...."
kkk
"Rupanya kau benar-benar telah menjadi
seorang pengecut, Malaikat Salju?!" seru kakek be-
rambut awut-awutan yang berjuluk Dewa Langit
Tak Punya Malu, setelah menunggu sejenak tak
juga terdengar adanya sambutan. "Baik, kalau be-
gitu biar aku yang turun dan mencarimu...!"
Seruan Dewa Langit Tak Punya Malu itu
membuat Lestari dan pemuda berpakaian biru
menghentikan percakapan. Bagai telah disepakati
Lestari dan pemuda berpakaian biru mengelua-
rkan senjata andalan masing-masing.
"Aku tak yakin kalau kita akan mampu ber-
buat banyak terhadapnya, Lestari. Menurut guru-
ku, kepandaian Dewa Langit Tak Punya Malu su-
kar dicari tandingannya. Bahkan mungkin beliau
pun tak mampu menghadapi tokoh-tokoh dari ke-
lompok Biang-Biang Iblis ini."
Pemuda berpakaian biru mengeluarkan per-
kataannya tanpa melepaskan pandangan dari De-
wa Langit Tak Punya Malu. Lestari dan juga bela-
san pasang mata lainnya pun melakukan hal yang
sama. Mereka semua ingin tahu, bagaimanakah
kakek berambut awut-awutan turun dari tempat
yang cukup tinggi itu. Apakah dengan mempergu-
nakan kendaraannya yang bernama 'Sapu Angin'
itu, atau langsung melompat.
Lestari memalingkan wajahnya yang lang-
sung berubah merah ketika melihat mendadak
Dewa Langit Tak Punya Malu memerosotkan cela-
nanya. Bahkan pemuda berpakaian biru dan bela-
san orang murid Perkumpulan Pengemis Baju Pu-
tih pun merasa heran melihat kelakuan kakek be-
rambut awut-awutan itu. Apakah yang hendak di-
lakukannya? Pertanyaan itu bergayut di benak
mereka.
Mereka semua berhamburan menjauhkan
diri dari tempat itu ketika dari atas turun perci-
kan-percikan air. Rupanya gembong datuk sesat
itu memang memiliki watak tidak tahu malu. Dari
atas dia mengencingi orang-orang yang berada di
bawahnya.
"Ha ha ha...!"
Di saat belasan orang, tak terkecuali Lestari
dan pemuda berpakaian biru berlompatan dengan
penuh perasaan jijik, takut terkena percikan air
kotor itu, Dewa Langit Tak Punya Malu malah ter-
tawa bergelak penuh kegembiraan.
"Bagaimana?! Enak bukan?!" ujar Dewa Lan-
git Tak Punya Malu, begitu belasan orang-orang
yang berdiri di bawahnya telah berdiri tegak lagi di
tanah.
Pertanyaan itu membuat belasan murid Per-
kumpulan Pengemis Baju Putih semakin meluap
amarahnya. Sebagian besar di antara mereka ter-
kena percikan air yang menjijikkan itu, meskipun
telah berusaha untuk mengelak. Yang lebih parah
lagi, air kencing Dewa Langit Tak Punya Malu itu
amat pesing dan bercampur bau busuk. Hampir
saja mereka muntah-muntah. Tak urung, bebera-
pa di antara mereka meludah-ludah penuh rasa ji-
jik. Lucunya, bagian yang terkena percikan air
kencing itu justru mereka cium-cium!
"Keparat..! Jahanam...!"
"Mampus kau, Tua Bangka Gendeng...!"
Dorongan amarah yang menggelora mem-
buat belasan murid Perkumpulan Pengemis Baju
Putih itu melemparkan pisau-pisau ke arah Dewa
Langit Tak Punya Malu! Sinar-sinar berkilat berba-
rengan dengan bunyi-bunyi berdesing nyaring
yang mengiringi meluncurnya belasan bahkan
mungkin puluhan pisau itu ke arah sasaran.
Dewa Langit Tak Punya Malu malah tertawa
terbahak-bahak sambil memutar-mutarkan kedua
tangannya. Dia tidak kelihatan gugup atau khawa-
tir mendapat serangan seperti itu di saat tubuhnya
tengah berada di udara. Bahkan lelaki tua itu ber-
sikap seolah-olah tidak ada bahaya yang mengan-
camnya. Baru ketika pisau-pisau itu hampir men-
genai sasaran, kedua tangannya bergerak mengi-
bas secara cepat sekali.
Menyaksikan tindakan kakek berambut
gembel itu belasan orang yang menyerangnya ter-
kejut. Tangkisan tangan telanjang Dewa Langit
Tak Punya Malu, membuat sebagian pisau melesat
kembali ke arah pemiliknya. Bahkan kecepatannya
bertambah berlipat ganda. Kepanikan pun timbul
di dalam rombongan Perkumpulan Pengemis Baju
Putih itu. Mereka semua berlompatan dan berlari
untuk menyelamatkan diri. Namun, sebagian di
antara mereka kurang cepat, sehingga pisau-pisau
itu telah lebih dulu memangsa majikannya. Jeri-
tan-jeritan menyayat hati mengiringi robohnya tu-
buh murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Pu-
tih itu. Mereka tewas oleh senjata mereka sendiri.
Lestari, pemuda berpakaian biru, dan pen-
gemis berwajah kuning menggertakkan gigi penuh
geram ketika melihat banyaknya korban yang ber-
jatuhan tertancap pisau mereka sendiri. Namun
apa yang dapat dilakukan, lawan berada di atas,
jauh dari jangkauan serangan kecuali lemparan
senjata rahasia!
"Sayang sekali..., permainan ini kurang me-
narik! Aku akan mempertunjukkan pada kalian
permainan yang lebih menarik...!"
Pemuda berpakaian biru dan yang lainnya
tahu kalau Dewa Langit Tak Punya Malu akan me-
lakukan serangan. Maka mereka segera bersiap
siaga. Senjata-senjata yang tergenggam di tangan
mereka telah terhunus siap untuk dipergunakan.
Sementara Dewa Langit Tak Punya Malu ter-
lihat tidak tergesa-gesa dengan permainan yang
akan dipertunjukkannya. Dengan gerakan lambat
diambilnya buntalan yang tersangkut di bahu ka-
nan. Tangan kanannya merogoh buntalan berwar-
na hitam itu.
"Silakan berpesta, Anak-Anakku...!" ujar
Dewa Langit Tak Punya Malu seraya melemparkan
benda-benda berwarna hitam mengkilat yang ter-
genggam di tangan.
Para murid Perkumpulan Pengemis Baju Pu-
tih yang sejak tadi telah bersiap siaga, segera ber-
tindak ketika melihat sinar-sinar hitam meluncur
dari atas. Mata mereka yang rata-rata terlatih
langsung bisa mengetahui kalau benda-benda hi-
tam yang tengah meluncur turun itu ternyata
ular-ular berbisa. Sambil melangkah mundur me-
reka memutar-mutarkan senjata di atas kepala
untuk membabati binatang-binatang melata yang
mencoba memangsa mereka.
Namun, lagi-lagi pemuda berpakaian biru
dan kelompoknya harus menelan kenyataan pahit.
Ular-ular hitam itu ternyata tidak mudah dibu-
nuh. Meskipun sebagian dari binatang-binatang
melata itu terkena hantaman senjata para murid
Perkumpulan Pengemis Baju Putih tak nampak
terluka atau putus. Ular-ular itu terus meluncur
menuju sasaran sambil mengeluarkan desisan
menyeramkan.
Jerit kesakitan terdengar susul-menyusul
ketika ular-ular hitam itu amblas ke dalam dada
murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih
yang sial. Mereka berkelojotan sebentar sebelum
akhirnya diam tidak bergerak untuk selamanya.
Lestari dan pemuda berpakaian biru serta
pengemis berwajah kuning tampak berhasil me-
nyelamatkan diri dari sergapan maut ular-ular hi-
tam yang ternyata memiliki racun amat memati-
kan itu.
Kesempatan di saat pemuda berpakaian biru
dan yang lain-lainnya disibukkan dengan usaha
menyelamatkan diri, Dewa Langit Tak Punya Malu
meluncur ke bawah. Kakek berambut awut-
awutan itu melompat begitu saja dari kendaraan
'Sapu Angin'-nya. Kedua tangannya yang meng-
genggam batang kayu, diletakkan di atas kepala
seperti sebuah payung. Tokoh sesat berwatak
aneh itu memutar-mutarkannya. Dan berkat tin-
dakan ini, laju tubuhnya yang meluncur turun ti-
dak terlalu pesat. Hanya dalam waktu sebentar,
Dewa Langit Tak Punya Malu telah berhasil menje-
jak tanah dengan ringan.
***
6
Pemuda berpakaian biru bertindak lebih ce-
pat daripada Lestari ataupun pengemis berwajah
kuning. Pemuda berwajah persegi ini mengayun-
kan tongkatnya ke arah kepala Dewa Langit Tak
Punya Malu.
"Hebat...!" seru Dewa Langit Tak Punya Malu
sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Sayang, kurang
cepat! Tidak kena...!"
Tongkat pemuda berpakaian biru melayang
di atas kepala lawan karena kakek berwatak aneh
itu ternyata telah lebih dulu merendahkan tubuh.
"Eit..! Ini pun melesat...!" sesumbar Dewa
Langit Tak Punya Malu lagi sambil melompat ke
belakang ketika kipas baja di tangan Lestari melu-
ruk cepat mengarah kepalanya.
Pengemis berwajah kuning, mendapat giliran
penyerangan terakhir karena memang dia paling
rendah kepandaiannya. Namun seperti juga Lesta-
ri dan murid Malaikat Salju, serangan lelaki ber-
wajah kuning itu pun tak berhasil. Dewa Langit
Tak Punya Malu mengelak sambil melontarkan se-
ruan-seruan yang sepertinya menyayangkan tapi
jelas penuh ejekan.
Tiada henti-hentinya kakek berambut awut-
awutan itu mengeluarkan ejekan-ejekan setiap
berhasil mengelakkan serangan. Dia terus-
menerus mengelak tanpa melancarkan serangan.
Baru ketika menginjak jurus ketiga belas, Dewa
Langit Tak Punya Malu melakukan serangan bala-
san.
"Ah...! Maaf, aku tidak bermaksud memu-
kulmu keras-keras!" ucap kakek berambut awut-
awutan itu ketika berhasil menghantam pengemis
berwajah kuning sehingga nyawanya melayang ke
akherat dengan pelipis pecah. "Pasti sakit, ya?!
Maafkan aku...!"
Lestari dan pemuda berpakaian biru sema-
kin geram melihat sikap Dewa Langit Tak Punya
Malu yang demikian. Mereka pun menguras selu-
ruh kemampuan agar dapat mengalahkan lawan-
nya. Namun, kakek berambut awut-awutan itu
benar-benar bukan lawan yang gampang dikalah-
kan. Dapat mengimbanginya saja sudah merupa-
kan hal yang membanggakan.
Sampai dua puluh lima jurus kedua belah
pihak masih belum terlihat ada yang terdesak.
Pertarungan masih berlangsung seru. Namun hal
itu tidak berlangsung lama. Dan pada jurus kedua
puluh tujuh, pihak Lestari dan pemuda berpa-
kaian biru nampak mulai terdesak. Sesaat kemu-
dian keduanya telah berada dalam keadaan gawat.
Hal itu terjadi karena Dewa Langit Tak Punya Ma-
lu benar-benar melakukan perbuatan yang tidak
punya malu. Serangan-serangan yang dilakukan-
nya tidak hanya menggunakan tangan dan kaki,
serta sapunya. Melainkan juga ludah, ingus, dan
angin yang keluar dari lubang duburnya. Tinda-
kan aneh kakek berambut awut-awutan itu me-
nyebabkan gerak penyerangan Lestari maupun
pemuda berpakaian biru tidak leluasa, karena me-
rasa jijik.
Pemuda berpakaian biru tahu, lama-
kelamaan mereka berdua akan tewas di tangan
Dewa Langit Tak Punya Malu. Dan hal itu tidak di-
inginkannya. Dia sendiri tidak takut mati, dan
bahkan kematian baginya bukan apa-apa. Namun
hatinya, tidak ingin Lestari Mala ikut mati! Pemu-
da berpakaian biru tidak ingin Lestari tewas per-
cuma. Dia ingin Lestari selamat. Sebuah perasaan
aneh bersemi di hatinya ketika bertemu dengan
putri tunggal Malaikat Petir itu. Dunia seperti be-
rubah. Awan, pohon, dan tanah yang terlihat jadi
lebih indah. Pemuda berpakaian biru merasa me-
naruh hati pada gadis cantik itu. Barangkali pera-
saan inilah yang menyebabkannya tidak rela Les-
tari mati.
"Lestari...! Larilah kau, biar aku coba mena-
hannya...!" seru pemuda berpakaian biru sambil
menyerang Dewa Langit Tak Punya Malu secara
membabi buta, untuk memberikan kesempatan
pada Lestari agar melarikan diri.
"Kau kira aku takut mati?! Aku bukan pen-
gecut! Lebih baik kita mati bersama!" sambut Les-
tari keras sambil ikut menyerang.
"Jangan bertindak nekat, Lestari! Kita tak
akan menang melawannya. Cepat pergi, biar aku
yang menghadapinya!" bujuk pemuda berpakaian
biru sambil memutar tongkatnya laksana baling-
baling untuk membuat pertahanan yang kokoh
kuat. Namun dia langsung terjengkang ketika
tongkatnya berbenturan dengan Sapu Angin Dewa
Langit Tak Punya Malu.
Pemuda berpakaian biru tidak mempeduli-
kannya sama sekali. Tanpa menghiraukan sakit
yang melanda sekujur tubuh akibat benturan itu,
dia memotong serangan Dewa Langit Tak Punya
Malu yang ditujukan pada Lestari.
Trakkk!
Tangkisan tangkai sapu Dewa Langit Tak
Punya Malu yang terpaksa membatalkan seran-
gannya terhadap Lestari Mala, membuat tubuh
pemuda berpakaian biru terjengkang ke belakang.
"Cepat lari, Lestari! Jangan sia-siakan pe-
ngorbanan ku! Apakah kau ingin aku mati pena-
saran!" seru pemuda berpakaian biru, sementara
tubuhnya terguling-guling karena kerasnya tang-
kisan Dewa Langit Tak Punya Malu.
Lestari menggigit bibir untuk menguatkan
perasaan hatinya yang terharu melihat tindakan
pemuda berpakaian biru. Apalagi ketika dilihatnya
pemuda itu bergulingan di tanah untuk menyela-
matkan selembar nyawanya dari kejaran Dewa
Langit Tak Punya Malu. Gadis itu sadar kalau se-
mua ucapan pemuda berpakaian biru benar, maka
dengan berat hati dia berlari meninggalkannya.
"Selamat tinggal, Lestari...!"
Sempat didengar oleh Lestari, seruan pemu-
da berpakaian biru. Namun, Lestari tidak berani
menoleh kepala. Dia tidak ingin, pemuda berpa-
kaian biru melihat sepasang matanya yang berka-
ca-kaca. Malah, Lestari semakin mempercepat la-
rinya.
kkk
Lestari berlari terus tanpa memperhatikan
arah. Dia hanya menuruti saja ke mana kakinya
berlari. Kalau tidak mengingat ucapan pemuda
berpakaian biru, dan juga tugas yang diembankan
kepadanya, Lestari lebih suka mati bersama murid
Malaikat Salju itu.
Karena berlari dengan pikiran melayang ke
sana kemari, Lestari kurang waspada. Dia lupa
memperhatikan sekelilingnya. Gadis berpakaian
merah ini baru terperanjat ketika merasakan
bunyi riuh-rendah di depannya. Dan ketika Lestari
mengawasi secara lebih teliti, dia terkejut
Sekitar dua puluh tombak di depan Lestari
yang tengah berlari, tampak sesuatu bergerak-
gerak menuju arahnya. Sesuatu yang ditakuti oleh
sebagian besar kaum perempuan. Tikus! Dan yang
lebih membuat bergidik hati Lestari adalah jum-
lahnya. Seekor tikus saja sudah cukup untuk
membuat bulu tengkuknya meremang. Kini di ha-
dapannya ada ratusan bahkan mungkin ribuan
ekor tikus berwarna hitam mengkilat dan besar.
Tikus-tikus itu hampir sebesar kucing.
Lestari langsung menghentikan langkahnya,
dan memandang dengan sorot mata tidak percaya.
Dari mana datangnya tikus-tikus besar begini ba-
nyaknya? Meskipun tadi tidak melalui jalan ini,
Lestari dapat menduga kalau keberadaan kawa-
nan tikus hitam itu di tempat ini merupakan sua-
tu yang aneh. Tidak wajar!
Lestari semakin yakin akan dugaannya keti-
ka melihat sesosok manusia bertubuh tinggi sekali
berada di belakang kawanan tikus itu. Sosok ber-
telanjang dada dan hanya mengenakan sepotong
celana panjang merah. Jarak yang masih jauh
menyulitkan Lestari untuk bisa melihat lebih jelas.
Namun dia yakin kalau sosok tinggi laksana galah
itu seorang lelaki! Di mulut lelaki tinggi itu me-
nempel sebatang suling bambu yang dipegang
dengan kedua tangan.
Suara melengking tinggi dan bernada aneh
terdengar dari suling itu. Sesaat kemudian tiba-
tiba Lestari merasakan kedua lututnya lemas! Ti-
kus-tikus besar itu mendadak berlarian menyer-
bunya sambil memperdengarkan suara mencicit
yang ramai memecah bergemuruhnya langkah me-
reka yang seperti saling berlomba. Seakan bina-
tang-binatang menjijikkan itu mengancam penuh
kemarahan.
Lestari sama sekali tidak menyangka kalau
tikus-tikus itu akan melakukan penyerangan den-
gan demikian ganasnya. Namun, otaknya yang
cerdas langsung dapat menduga bahwa perilaku
binatang-binatang yang terkenal dengan ketaja-
man giginya itu, berhubungan dengan bunyi sul-
ing yang ditiup oleh sosok tinggi kurus di belakang
mereka.
Lestari tak sempat banyak memikirkan ten-
tang hal itu, karena tikus-tikus berbulu hitam itu
telah semakin dekat. Keadaan itu membuat ha-
tinya kian dicekam kengerian. Perasaan takut dan
ngeri yang hebat, karena Lestari amat takut terha-
dap tikus, membuat kedua kakinya kian lemas.
Untung saja ilmu silat yang dimilikinya, sudah
mendarah daging, sehingga dia dapat juga memu-
lihkan keadaan yang tidak menguntungkan itu.
Lestari langsung membalikkan tubuh, dan berlari
cepat meninggalkan tempat itu.
Namun, baru beberapa kali lesatan, Lestari
langsung terhenti dengan mata membelalak kaget.
Sekitar empat tombak di depannya, berdiri sosok
yang baru saja dilihatnya. Sosok tinggi kurus lak-
sana galah yang tadi berdiri di belakang kawanan
tikus hitam mengkilat. Dalam hati gadis itu mera-
sa heran. Tidak salahkah penglihatannya?
Rasa penasaran membuat Lestari mengalih-
kan pandangan ke belakang, dan hatinya langsung
tercekat. Di belakang rombongan tikus yang ten-
gah berlarian memburunya ternyata sudah tak
tampak lelaki tadi. Berarti jelas, sosok bertelan-
jang dada di depannya adalah sosok tinggi kurus
yang tadi berdiri di belakang kawanan tikus. Tan-
pa sadar, bulu kuduk Lestari berdiri karena pera-
saan ngerinya, Bagaimana sosok tinggi kurus itu
bisa berada di depannya tanpa diketahui. Apakah
lelaki peniup suling itu bisa menghilang dan pin-
dah ke lain tempat?!
Perbuatan sosok tinggi kurus itu membuat
Lestari gentar, tapi masih tidak mampu menga-
lahkan rasa takut dan ngeri yang bersemayam
akibat tikus-tikus pengejarnya. Jangankan hanya
sosok tinggi kurus yang belum diketahui tingkat
kepandaiannya, biar ada raja iblis di depannya,
Lestari tidak akan mundur setapak pun! Dia lebih
suka berhadapan dengan raja iblis dari pada den-
gan gerombolan tikus yang mengiriskan itu.
Maka, Lestari segera meneruskan tindakan-
nya yang semula terhenti karena perasaan kaget
yang mencuat.
"Menyingkir kau...!" seru Lestari sambil me-
nusukkan kipasnya yang berujung baja-baja runc-
ing ke dada sosok tinggi kurus yang berdiri meng-
hadang jalan dengan kepala tertunduk dan suling
menempel di bibir.
Trakkk!
Lestari terpekik kaget ketika kipasnya lang-
sung berbenturan dengan suling di tangan sosok
tinggi kurus. Kemudian, sosok itu memutar -
mutarkan tangannya, sehingga membuat kipas ba-
ja Lestari ikut terbawa berputar bersama dengan
tangannya. Lestari berusaha keras untuk mena-
hannya, tapi sia-sia!
Kreppp!
Sebelum Lestari sempat melakukan tindakan
penyelamatan, tangan kanan sosok tinggi kurus
telah berhasil mencekal leher bajunya dan men-
gangkatnya ke atas. Karena tinggi tubuh Lestari
berada jauh di bawah sosok tinggi kurus, tubuh
putri Malaikat Petir itu tergantung di atas tanah.
Lestari tidak tinggal diam. Gadis yang memi-
liki watak keras ini menggerakkan kedua kaki un-
tuk menendang bagian-bagian tubuh lawan yang
berbahaya agar dapat membebaskan diri. Namun
usahanya kandas karena tubuh lawan berada le-
bih jauh dari jangkauan kakinya. Tendangan-
tendangan Lestari hanya mengenai angin.
Di saat Lestari masih memikirkan cara lain
untuk menyelamatkan diri, sosok tinggi kurus itu
mengibaskan tangannya. Seketika tubuh Lestari
terlontar ke belakang.
Hampir pingsan Lestari ketika mengetahui
kalau tubuhnya melayang menuju kerumunan ti-
kus-tikus besar yang tengah beringas. Namun, te-
kad untuk menyelamatkan nyawa, membuatnya
mampu untuk tetap sadar. Malah, dia masih
mampu mengatur kedudukan hingga ketika men-
darat di tanah dengan keadaan menguntungkan.
Tikus-tikus yang tengah sibuk, ramai, dan
riuh rendah menunggu jatuhnya tubuh mangsa,
langsung mencicit-cicit keras ketika tubuh mereka
terlempar karena kebutan kipas Lestari. Gadis
berpakaian merah itu mampu mengebutkan kipas
yang disertai pengerahan tenaga dalam kuat, sebe-
lum kakinya menjejak tanah. Sehingga ketika ber-
hasil mendarat, tanah sudah bersih dari kawanan
tikus yang ganas dan mengerikan itu.
Binatang-binatang bergigi runcing yang tam-
pak sangat buas itu, tidak tinggal diam. Sambil
mengeluarkan bunyi mencicit yang ramai sekali
mereka menyerbu Lestari. Pertarungan aneh anta-
ra manusia dengan binatang-binatang haus darah
pun terjadi. Lestari benar-benar menguras seluruh
kemampuan karena perasaan ngeri yang menyer-
gap hatinya. Kipas di tangan dan pukulan-
pukulan jarak jauh yang dilakukan dengan tangan
kirinya terus-menerus dilakukan untuk membuat
binatang-binatang menjijikkan itu tidak bisa men-
dekatinya.
Akibat amukan Lestari memang mengiriskan
hati. Kebutan kipasnya selain mampu melempar-
kan tubuh tikus-tikus besar itu, juga menewaskan
sebagian di antara mereka. Namun tidak sedah-
syat pukulan-pukulan jarak jauh tangan kirinya.
Setiap kali tangan kirinya dihentakkan, beberapa
ekor tikus terlempar tewas dengan tubuh remuk
dan terbakar! Hentakan tangan gadis berpakaian
merah itu selalu disertai dengan bunyi meledak-
ledak seperti kilat atau petir menyambar. Inilah
ilmu 'Tapak Petir' andalan ayahnya, Malaikat Petir.
Hembusan angin panas melingkupi tempat itu
akibat ilmu 'Tapak Petir'!
Sudah tak terhitung tikus-tikus yang tewas
dan bergeletakan tanpa nyawa. Namun jumlah
yang masih terus melakukan penyerangan, bagai-
kan tidak pernah berkurang. Seakan-akan mati
satu, muncul seratus. Dan hal ini membuat Lesta-
ri kewalahan! Pukulan-pukulan jarak jauh yang
dilancarkan, dan senantiasa membutuhkan tenaga
penuh itu, membuatnya cepat lelah. Apalagi gadis
ini memang baru saja menguras kemampuan da-
lam menghadapi Dewa Langit Tak Punya Malu.
Dan yang lebih berbahaya lagi, tikus-tikus itu ter-
nyata bukan binatang sembarangan karena men-
gandung racun ganas. Dengus napas dan gemu-
ruh suara dari ribuan binatang itu membuat Les-
tari pusing. Beberapa kali tubuh gadis ini agak
terhuyung.
Kenyataan ini membuat Lestari sadar kalau
serbuan tikus-tikus itu tidak mungkin bisa diben-
dungnya. Dia tahu, tak lama lagi tenaganya akan
habis, padahal jumlah tikus-tikus itu sepertinya
tidak berkurang. Lestari yang biasanya tidak per-
nah putus asa, kini mulai patah semangat. Apalagi
ketika dirasakan pusing yang melandanya sema-
kin menjadi-jadi dan sepasang matanya sudah
mulai samar-samar untuk melihat
kkk
"Biadab...!"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras
menggelegar dari kejauhan. Dalam cekaman rasa
pusing yang semakin parah, Lestari masih dapat
menangkap bentakan penuh kegeraman itu. Se-
saat kemudian, tikus-tikus yang tengah merang-
sek kian mendekat mendadak berpentalan ke be-
lakang seperti dilanda angin topan. Hembusan an-
gin kencang berasal dari belakang Lestari yang
membuat binatang-binatang itu berpentalan.
"Tidak ada gunanya melawan binatang-
binatang tidak bersalah itu, Nisanak," ujar sebuah
suara yang berasal dari sebelah kanan Lestari, se-
raya menghentakkan tangan mengirimkan serang-
kaian pukulan jarak jauh pada tikus-tikus itu.
"Lebih baik kita tinggalkan mereka!"
Sebelum Lestari memberikan persetujuan,
pemilik suara itu telah menggamit lengan kirinya.
Gadis berpakaian merah itu terkejut ketika tahu-
tahu dirinya sudah dibawa melesat kabur. Dia tak
mampu membantah atau menolaknya. Sekilas ma-
tanya sempat memperhatikan sosok yang telah
menyelamatkannya. Namun pandangannya yang
sudah tidak awas lagi hanya menangkap sosok
berpakaian ungu dan berambut putih panjang ter-
gerai dipermainkan angin.
Namun, seperti juga yang dihadapi Lestari,
sosok ungu itu mendapat hadangan dari sosok
tinggi kurus. Tadi, sosok tinggi kurus ini terlalu
sibuk meniup suling untuk memaksa tikus-tikus
besarnya menyerang Lestari tanpa mengenal ta-
kut, maka tidak sempat mencegah masuknya so-
sok ungu ke dalam kancah pertarungan. Baru ke-
tika sosok ungu itu akan melesat kabur, sosok
tinggi kurus turun tangan menghadang. Sosok
ungu menghentikan langkah, dan menatap sosok
tinggi kurus yang berdiri menghadang jalan. De-
ngan penuh kewibawaan sosok ungu yang ternya-
ta seorang pemuda tampan itu berdiri dengan te-
nang sambil memegangi lengan Lestari.
"Manusia Biadab! Orang sepertimu tak layak
untuk tinggal di dalam dunia. Sampai hati kau
bermaksud menjadikan gadis tak berdosa ini se-
bagai santapan tikus-tikus kelaparan!" ujar sosok
ungu itu dengan suara bergetar karena dikuasai
amarah.
Sosok tinggi kurus yang sejak tadi tertun-
duk, hingga raut mukanya tidak kelihatan, men-
gangkat wajah. Dia ternyata seorang lelaki berusia
sekitar lima puluh tahun, berwajah tirus dengan
kumis dan jenggot jarang-jarang menghias wajah-
nya yang selalu cemberut
"Sungguh berani kau mengeluarkan perka-
taan seperti ini padaku, Kadal Buntung! Apa diri-
mu tidak mengenal siapa yang kau hadapi?! Aku,
Raja Tikus Dasar Bumi! Hhh... apa yang kau an-
dalkan hingga berani menantangku...?!" geram le-
laki tinggi bertelanjang dada itu dengan suara pa-
rau sambil menatap tajam sosok ungu yang berdiri
di depannya.
Sementara pemuda tampan berambut kepe-
rakan dan berpakaian ungu itu hanya tersenyum
sinis, membalas tatapan lelaki tinggi kurus yang
mengaku berjuluk Raja Tikus Dasar Bumi.
"Aku Arya, tapi orang-orang persilatan men-
genalku sebagai Dewa Arak," jawab pemuda ber-
pakaian putih keperakan yang bukan lain adalah
Arya Buana alias Dewa Arak, tak mau kalah ger-
tak.
"Hmh...! Jadi rupanya kau tokoh sombong
yang menganggap diri sendiri tokoh nomor satu
dunia persilatan.... Aku telah mendengar kabar
tentang kesulitanmu, Dewa Arak. Dan sudah lama
aku berkeinginan untuk menemuimu dan mele-
nyapkan kau dari muka bumi atas kesombongan-
mu! Sama sekali tidak pernah mimpi aku bisa
jumpa denganmu di sini!" tandas lelaki tinggi yang
berjuluk Raja Tikus Dasar Bumi.
"Kau terlalu berlebihan, Raja Tikus Dasar
Bumi. Mana bisa aku dibandingkan dengan diri-
mu. Telah lama kudengar nama besarmu. Bukan-
kah kau salah seorang di antara Biang-Biang Iblis,
datuk kaum sesat yang telah menjauhkan diri dari
dunia ramai sejak hampir dua puluh tahun lalu?
Tapi, meskipun demikian aku tidak gentar, Raja
Tikus! Mari kita buktikan siapa di antara kita yang
lebih patut untuk menghirup udara di dunia ini
lebih lama!"
Baru saja Dewa Arak menyelesaikan kata-
katanya, Raja Tikus Dasar Bumi telah melancar-
kan serangan dengan sebuah sabetan suling ke
arah pelipis Dewa Arak. Ada suara seperti tiupan
suling ketika senjata yang merupakan teman
penghibur hati manusia, melayang ke arah sasa-
ran
Wuing...!
Serangan dahsyat itu mengenai angin ketika
Dewa Arak mendoyongkan tubuh ke belakang. Be-
gitu serangan lewat, pemuda berambut putih ke-
perakan ini mengirimkan tendangan ke arah dada
lawannya.
Tappp!
Dewa Arak mengeluh tertahan ketika perge-
langan kakinya berhasil ditangkap oleh tangan
kanan Raja Tikus Dasar Bumi. Dewa Arak sampai
terkejut melihat kenyataan ini. Namun dia segera
dapat menyadari keadaannya yang kurang men-
guntungkan, maka bertindak cepat. Dengan kaki
yang satunya lagi Dewa Arak mengirimkan seran-
gan ke arah leher dengan bertumpu pada kaki
yang tercekal lawan.
"Hebat juga kau...!" puji Raja Tikus Dasar
Bumi sambil melompat ke belakang. Cekalan tan-
gannya terhadap kaki lawan dilepaskan, karena
tidak ingin nyawanya melayang akibat tendangan
Dewa Arak yang mampu menghancurkan batu ka-
rang yang paling keras sekalipun itu
Pertarungan antara dua tokoh berbeda usia
itu berkobar. Masing-masing pihak mengerahkan
seluruh kemampuan karena telah dapat memper-
kirakan ketangguhan lawan dari gebrakan-
gebrakan yang terjadi. Gerakan-gerakan cepat ke-
duanya membuat tubuh mereka lenyap, hingga
yang tampak hanya bayangan coklat dan bayan-
gan ungu saling berkelebat
Dewa Arak mengeluh dalam hati. Baru ber-
tarung dalam lima jurus saja pemuda berambut
putih keperakan yang telah kenyang pengalaman
ini tahu kalau Raja Tikus Dasar Bumi merupakan
tokoh tangguh, bahkan belum tentu kalah den-
gannya. Hal itu membuat hatinya gelisah. Kalau
saja tidak teringat akan nasib Lestari, pemuda be-
rambut putih keperakan ini tidak akan demikian
pusing. Dia tahu, Lestari telah keracunan, dan
apabila bertindak lambat nyawa gadis berpakaian
merah itu mungkin akan lebih dulu melayang.
Dewa Arak pun mengambil keputusan cepat.
Dengan perhitungan matang, dilancarkan seran-
gan bertubi-tubi. Dan seperti yang telah didu-
ganya, Raja Tikus Dasar Bumi mengelak dengan
cara melempar tubuh ke tanah. Ini merupakan sa-
tu-satunya cara terbaik. Diam-diam dia harus
memuji kejelian mata lawannya. Memang, seran-
gan-serangan Arya lebih baik apabila dihadapi
dengan elakan, karena apabila menangkis banyak
kemungkinan yang tidak terduga. Tindakan ini te-
lah diperhitungkannya baik-baik. Maka begitu Ra-
ja Tikus Dasar Bumi membanting tubuh ke tanah,
dia pun segera menyambar tubuh Lestari yang
semakin terhuyung karena pusingnya. Setelah itu
melesat cepat meninggalkan lawannya.
Raja Tikus Dasar Bumi hanya dapat mema-
ki-maki penuh perasaan geram melihat tubuh la-
wannya yang semakin mengecil di kejauhan. Dia
tahu tidak ada gunanya lagi melakukan pengeja-
ran. Masih ada urusan yang lebih penting dan ha-
rus diselesaikan. Maka setelah melempar pandang
sekali lagi ke arah tempat lenyapnya Dewa Arak,
Raja Tikus Dasar Bumi meniup sulingnya, meme-
rintahkan tikus-tikus peliharaannya untuk me-
ninggalkan tempat itu. Tadi ketika tokoh sesat ini
terlibat pertarungan, tikus-tikus itu tidak melan-
carkan serangan lagi, karena sibuk memakan dag-
ing-daging kawannya yang tewas. Semangat bina-
tang-binatang itu untuk menyerang langsung pu-
pus ketika majikan mereka tidak meniup suling-
nya lagi.
***
7
"Sekarang kau sudah selamat dari bahaya
maut, Nisanak," ujar Dewa Arak pada Lestari yang
duduk bersila di depannya. Keduanya duduk ber-
sila dan berhadap-hadapan. Lestari sudah tampak
segar kembali seperti sedia kala karena Arya telah
mengobatinya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa
Arak. Kau Dewa Arak bukan? Kudengar kau tadi
memperkenalkan diri dengan julukan itu. Sayang,
aku telah lama tinggal di tempat terpencil hingga
tidak sempat mendengar kebesaran namamu. Aku
yakin kau tokoh yang menggemparkan, Dewa
Arak. Terbukti, Raja Tikus Dasar Bumi mengagu-
mimu."
Dewa Arak tersenyum sambil mengangguk-
kan kepala.
"O ya, mengapa kau bisa bentrok dengan to-
koh seperti itu, Nisanak? Kau tahu siapa dia?!"
tanya Arya mencoba untuk mengalihkan pembica-
raan.
"Tentu saja!" Lestari mengangguk. "Ng.. aku
usul kau memanggil namaku saja, Dewa Arak.
Namaku Lestari Mala, biasa disebut Lestari."
"Aku Arya," timpal Arya masih dengan terse-
nyum.
"Aku tahu siapa orang yang menjadi lawan-
ku, Arya. Dia berjuluk Raja Tikus Dasar Bumi, sa-
lah seorang datuk sesat dari Biang-Biang Iblis. Ta-
pi aku tidak tahu mengapa tokoh-tokoh itu seperti
memusuhi ku. Padahal, yang menjalin permusu-
han adalah ayahku. Malaikat Petir. Bahkan tokoh-
tokoh Biang Iblis lainnya seperti Raksasa Pemang-
sa Manusia memusuhi anggota Tiga Malaikat
Bayangan!" Kemudian secara singkat tapi jelas,
Lestari menceritakan semua kejadian yang diala-
minya sampai bertemu Dewa Arak.
"Kau bilang seorang gadis muda berpakaian
putih berambut panjang, Lestari?!" tanya Arya
dengan suara bergetar ketika gadis berpakaian
merah itu menyelesaikan cerita. "Apakah dia ber-
senjata pedang? Dan, apakah setiap pergerakan
pedangnya menimbulkan bunyi mengaung seperti
ada sekumpulan lebah tengah mengamuk?!"
"Benar! Kau mengenalnya, Arya?!" tanya Les-
tari, kaget dan dengan hati terasa tidak nyaman.
Gadis berpakaian merah itu sendiri tidak tahu
mengapa. Yang dirasakan hanya perasaan tidak
enak melanda hati ketika mengetahui Arya seper-
tinya mengenal gadis berpakaian putih.
"Benar, Lestari," jawab Arya. Karena pera-
saan gembiranya dia tidak melihat tarikan wajah
Lestari yang kurang enak ketika Arya menanyakan
tentang gadis berpakaian putih. "Dia adalah... eh
kawan baikku. Karena suatu sebab kami harus
terpisah. Eh... di mana kau bertemu dengannya,
Lestari?"
"Kurasa lebih baik kalau kita mencarinya
bersama-sama, Arya. Siapa tahu aku dapat mem-
bantu melakukan pencarian...," Lestari mengaju-
kan usul.
"Kurasa tidak perlu, Lestari," tolak Arya, ha-
lus. "Aku yakin dapat mencari jejaknya apabila
kau memberitahukan tempatnya dengan jelas. La-
gi pula, bukankah kau hendak mencari Malaikat
Salju dan Malaikat Aneh?! Aku tidak ingin tugas-
mu terganggu karenanya."
Lestari menelan kekecewaan yang melanda
hatinya. Kemudian dengan suara berat diberita-
hukan tempat Melati dan Prapanca ditinggalkan-
nya pergi.
"Terima kasih, Lestari. O ya, jaga dirimu
baik-baik dan selamat tinggal!"
Belum lenyap gema ucapan Dewa Arak, tu-
buhnya telah tidak berada di situ. Lestari hanya
sempat melihat sekelebatan bayangan ungu yang
melesat cepat ke depan, dan tahu-tahu tubuh pe-
muda berambut putih keperakan itu telah berada
di kejauhan
Lestari menghela napas berat. Ada perasaan
sakit bersemayam di hatinya melihat tingkah Arya
yang demikian bersemangat untuk bertemu den-
gan Melati. Lestari yakin akan adanya sesuatu di
antara mereka. Dan keyakinan ini membuat sakit
di hatinya semakin bertambah. Lestari menjadi
heran karenanya. Apa yang telah terjadi dengan
dirinya? Mengapa dapat timbul perasaan ini? Dan
mengapa ada rasa hilang mendera hatinya seiring
dengan perginya Dewa Arak? Lestari merasakan
ada sesuatu dalam dadanya yang lenyap ketika
Dewa Arak telah tidak nampak lagi bayangannya.
Ada sesuatu yang tidak diketahui, bergejolak da-
lam hati Lestari, tapi begitu saja lenyap seperti
terbawa oleh kepergian Dewa Arak.
Arya menyusuri sekitar tempat yang dikata-
kan oleh Lestari. Sepasang matanya yang tajam
mencorong laksana mata seekor harimau dalam
gelap itu merayapi setiap jengkal tanah di sekitar
tempatnya berada. Meskipun sepi, Arya tahu bebe-
rapa waktu sebelumnya tempat ini menjadi ajang
pertarungan tokoh-tokoh berilmu tinggi. Keadaan
di sekitar tempat itu masih porak-poranda. Bah-
kan beberapa bagian tanah terbongkar. Semua pe-
tunjuk ini membuktikan kalau cerita Lestari tidak
dusta.
Pemuda berambut putih keperakan itu terus
memperhatikan sekeliling untuk melihat-lihat ba-
rangkali ada petunjuk yang ditemukannya. Dia
merasa khawatir sekali akan nasib gadis berpa-
kaian putih penolong Lestari yang diyakini Arya
sebagai Melati, kekasihnya. Karena menurut cerita
Lestari, lawan yang dihadapi amat tangguh, Dewi
Cabul. Malah, sebelum Lestari pergi, Raksasa Pe-
mangsa Manusia telah hampir tiba di tempat itu.
Berarti lawan kuat telah bertambah lagi.
"Apa yang tengah kau cari, Anak Muda?!
Dewa Arak?! Aiya Buana?! Murid Manusia Sakti Ki
Gering Langit?!"
Aiya hampir terjingkat kaget mendengar sa-
paan itu. Bukan hanya karena pemilik suara itu
mengetahui semua hal tentang dirinya terutama
sekali karena keberadaan kakek sosok pemilik su-
ara itu. Aiya yakin betul kalau tadi di tempat ini
tidak ada seorang pun. Jadi, kalau sekarang ada
suara menyapa, berarti pemilik suara itu baru saja
tiba. Yang lebih mengherankannya suara itu da-
tang dari tempat yang dekat sekali. Dari sini saja
Dewa Arak tahu kalau pemilik suara itu memiliki
kepandaian terutama sekali ilmu meringankan tu-
buh yang amat tinggi.
"Ah...! Kiranya kau, Ki Jaran Sangkar...!" se-
ru Arya merasa lega ketika melihat pemilik suara
itu. Seorang kakek berpakaian abu-abu yang telah
berusia amat tua, sehingga semua bulu yang ada
di kepala dan wajahnya memutih semua.
"He he he...!" Kakek berpakaian abu-abu
yang dikenal dengan nama Jaran Sangkar itu ter-
tawa terkekeh. "Rupanya aku membuatmu kaget,
Dewa Arak?! Syukurlah kalau demikian!"
Arya hanya tersenyum lebar mendengar
sambutan Jaran Sangkar. Dia tahu betul siapa
kakek ini karena telah beberapa kali bertemu. Se-
tiap dalam pertemuan, kakek berpakaian abu-abu
ini menimbulkan keterkejutan di dalam hatinya.
Arya tahu, Jaran Sangkar merupakan seorang to-
koh sakti tingkat tinggi. Meskipun di antara mere-
ka berdua belum pernah terjadi pertarungan, Arya
berani bertaruh kalau tingkat kepandaian Jaran
Sangkar berada cukup jauh di atasnya. Apalagi ji-
ka yang diperbandingkan ilmu gaib yang mereka
miliki. Arya tahu, Jaran Sangkar memiliki banyak
ilmu gaib yang luar biasa dan aneh-aneh. Namun
kakek itu selalu merendahkan diri dengan menga-
takan kalau ilmu-ilmu gaibnya tidak bisa disama-
kan dengan yang dimiliki Ki Gering Langit, guru
Arya. (Untuk jelasnya mengenai tokoh yang ber-
nama Jaran Sangkar ini, silakan baca serial Dewa
Arak dalam episode: "Kembalinya Raja Tengkorak."
Dan "Petaka Anak Naga").
"Apakah ada sesuatu yang hendak kau sam-
paikan padaku, Ki? Sehingga kau sampai bersu-
sah payah menemuiku?!" tanya Arya, langsung
menerka karena biasanya memang demikian.
"Kau memang cerdik, Dewa Arak," puji Jaran
Sangkar sambil melemparkan senyum lebar. "Aku
datang kemari karena keadaan yang mendesak.
Kalau tidak demikian, orang setua dan tidak ber-
guna seperti aku, tak akan mungkin keluar ke du-
nia yang keras. Ini berhubungan dengan keluar-
nya tokoh-tokoh hitam yang pernah menjadi datuk
puluhan tahun lalu. Tokoh-tokoh hitam itu berju-
luk Biang-Biang Iblis. Kau telah bentrok dengan
salah seorang di antara mereka?"
"Maksudmu..., Raja Tikus Dasar Bumi, Ki?!"
terka Arya setelah tercenung sebentar.
Jaran Sangkar menganggukkan kepala "Se-
dangkan tokoh-tokoh lainnya adalah Raksasa Pe-
mangsa Manusia, Dewi Cabul, dan Dewa Langit
Tak Punya Malu. Kau telah mendengar tentang
mereka kan, Dewa Arak?!"
Dewa Arak mengangguk. "Sebagian kuden-
gar dari berita di dunia persilatan. Tapi, lebih je-
lasnya lagi dari mulut seorang gadis. Dia telah
mengalami kejadian hebat, bertemu dengan empat
datuk Biang-Biang Iblis. Karena gadis itulah aku
bisa berada di sini."
"Bukan gadis yang kau maksudkan adalah
Lestari Mala putri Malaikat Petir?!" terka Jaran
Sangkar. Arya tidak merasa kaget sedikit pun
mendengar ketepatan terkaan itu. Dia telah men-
getahui kalau Jaran Sangkar banyak memiliki il-
mu gaib.
"Kita kembali pada permasalahan, Dewa
Arak," lanjut Jaran Sangkar setelah membiarkan
suasana hening sebentar. "Puluhan tahun lalu...
dunia persilatan kacau-balau karena adanya to-
koh-tokoh sesat yang amat sakti dan memiliki ke-
kejaman sukar digambarkan, sehingga mendapat
julukan Biang-Biang Iblis. Tak terhitung sudah
korban jatuh, baik yang tewas karena keganasan
sepak terjang mereka maupun karena sengaja
mempertaruhkan diri untuk membasmi kejahatan
mereka. Golongan terakhir ini adalah para pende-
kar yang ingin melenyapkan Biang-Biang Iblis itu."
Jaran Sangkar menghentikan ceritanya seje-
nak. Dia menatap wajah Arya, untuk melihat
tanggapannya, sambil menelan air liur membasahi
tenggorokannya.
"Masing-masing pentolan sesat ini mengua-
sai wilayah berbeda. Tiap seorang dari mereka
menguasai satu mata angin. Namun, itu tidak
membuat mereka puas. Masing-masing datuk se-
sat itu ingin menjadi tokoh nomor satu di delapan
penjuru mata angin. Maka melalui satu kesepaka-
tan, mereka mengadakan pertemuan di suatu
tempat yang ditentukan. Mereka pun bertarung,
saling berganti lawan agar lebih akurat dalam
mengambil kesimpulan untuk menentukan tokoh
terpandai. Tapi, ternyata kepandaian mereka se-
mua berimbang. Masing-masing tokoh mempunyai
kekurangan dan kelebihan sendiri-sendiri. Akhir-
nya, mereka pun mengambil keputusan untuk
bertemu kembali tiga tahun kemudian. Untuk se-
mentara gelar jago nomor satu mereka kesam-
pingkan. Namun, di saat keempat Biang Iblis itu
hendak meninggalkan tempat pertemuan, mereka
mendengar bunyi orang bersyair. Maksud untuk
meninggalkan tempat itu pun berubah. Mereka
memutuskan untuk mencari asal syair yang ter-
dengar dekat itu."
Jaran Sangkar menghentikan cerita. Pan-
dangannya diedarkan ke angkasa seperti tengah
memikirkan lanjutan ceritanya. Arya diam saja
menunggu kelanjutannya.
"Tak jauh dari tempat mereka mengadakan
pertemuan, tampak seorang kakek bersama seo-
rang pemuda tengah asyik memancing di tepi kali.
Keberadaan keduanya membuat keempat datuk
sesat menjadi jengkel. Saat itu mereka memang
tengah kesal karena tidak berhasil mempere-
butkan gelar jago terkuat dalam pertemuan itu.
Maka keberadaan kakek dan pemuda di situ
membuat mereka memutuskan untuk menjadikan
dua orang sial itu sebagai pelampiasan kekesalan.
Dan niat itu semakin kuat ketika mereka melihat
kakek dan pemuda itu ternyata bukan pemancing
sembarangan. Keduanya memancing hanya den-
gan mempergunakan sepotong bambu, tanpa tali,
pelampung, bahkan mata kail pun tidak! Anehnya,
berkali-kali keduanya berhasil menarik ikan-ikan
dari sungai itu. Tapi, tetap saja hal itu tidak di-
pandang sebelah mata pun oleh datuk-datuk sesat
yang tengah kalap itu. Bagi mereka, permainan
yang ditunjukkan oleh kakek dan pemuda itu
hanya permainan kanak-kanak."
"Hm...," tanpa sadar Arya bergumam sehing-
ga membuat Jaran Sangkar menghentikan cerita.
Gumaman itu keluar karena mengetahui kesom-
bongan Biang-Biang Iblis yang menganggap kedua
pemancing itu seperti anak-anak. Aiya tahu tin-
dakan yang dilakukan kakek dan pemuda itu ti-
dak dapat dilakukan oleh sembarangan orang ke-
cuali yang memiliki tenaga dalam kuat
"Empat datuk kaum sesat itu memang tidak
percuma berjuluk Biang-Biang Iblis. Meski saat itu
tengah berada dalam puncak kekesalan, sifat ke-
jam mereka membuat putusan mati tidak lang-
sung dijatuhkan. Seperti biasa mereka akan mem-
permainkan calon korban sedemikian rupa sebe-
lum dibunuh. Tapi kali ini mereka kecelik. Kakek
itu bukan orang sembarangan. Demikian juga si
Pemuda. Empat datuk golongan hitam yang ten-
gah panas hati itu terpancing untuk mengucapkan
sumpah, akan mengundurkan diri dari dunia per-
silatan selama-lamanya, apabila kakek itu mampu
mengalahkan mereka satu persatu, Dan celakanya
lagi, empat datuk kaum sesat itu berhasil dikalah-
kan. Mereka pun memenuhi janji. Itulah sebabnya
julukan mereka kemudian lenyap."
"Lalu, mengapa sekarang mereka muncul
kembali ke dunia persilatan, Ki?! Apakah perjan-
jian itu telah usai? Apakah masa berlakunya per-
janjian itu hanya dua puluh tahun?!" tanya Dewa
Arak tanpa menyembunyikan keheranannya keti-
ka melihat Jaran Sangkar tidak melanjutkan ceri-
tanya lagi. Mungkin sudah selesai.
"Tidak demikian, Dewa Arak," jawab Jaran
Sangkar. "Perjanjian itu tidak punya batas waktu.
Namun, datuk-datuk kaum sesat yang teguh jan-
jinya itu akhirnya termakan pendapat orang ketiga
yang bermaksud mendapat keuntungan. Orang
ketiga ini mengirimkan surat pada empat datuk
yang masih mengasingkan diri. Isi surat itu men-
cela keempat datuk sesat yang dikatakan bodoh
karena termakan sumpah yang sudah tidak men-
gikat lagi. Bukankah kakek yang menyebabkan
mereka bersumpah telah tewas, untuk apa dipa-
tuhi lagi? Bahkan agar empat datuk itu tidak di-
anggap melanggar sumpah, pemilik surat itu telah
membunuh pemuda yang bersama kakek yang
pernah mengalahkan keempat datuk itu. Pemuda
itu ternyata, keturunan si Kakek Sakti yang selalu
menyertainya. Dengan matinya pemuda itu, ketu-
runan kakek sakti putus. Kalau kakek itu dan ke-
turunannya sudah tidak ada lagi, bukankah sum-
pah mereka berarti telah selesai? Pendapat ini
memang tidak dapat dibantah kebenarannya, ma-
ka empat datuk sesat pun turun gunung dan mu-
lai menyebar maut! Sebelum semuanya semakin
berlarut-larut segera kutemui kau, Dewa Arak.
Bukan karena aku tidak yakin kalau kau mampu
bertindak cepat. Aku hanya merasa cemas korban
yang jatuh akan semakin bertambah apabila ma-
salah ini dibiarkan berlama-lama. Padahal, semua
ini terjadi akibat salah paham saja. Pihak ketiga-
lah penyebab semua ini!" papar Jaran Sangkar.
"Jadi... sebenarnya kakek sakti dan keturu-
nannya masih hidup, Ki?!" tanya Arya ingin tahu.
"Kakek sakti sudah mati karena usia tua.
Sedangkan pemuda yang ternyata anaknya tewas
dibunuh oleh tokoh yang mengirimkan surat.
Meskipun demikian, kakek sakti itu masih mem-
punyai keturunan karena pemuda putra si Kakek
telah menikah dengan seorang gadis. Tapi itu dila-
kukan secara diam-diam karena orangtua si Gadis
tidak setuju. Sayang, di waktu melahirkan
bayinya, gadis itu meninggal. Kenyataan ini mem-
buat hati putra kakek sakti terguncang. Dia kabur
meninggalkan mayat istri dan bayinya. Tangisan
bayi itu didengar oleh Malaikat Petir yang kebetu-
lan lewat. Malaikat Petir mengambil bayi itu dan
mengasuhnya. Bayi perempuan itu tumbuh men-
jadi seorang gadis yang cantik sampai sekarang.
Dan gadis itu adalah... yang kau tolong dari an-
caman Raja Tikus Dasar Bumi."
"Ah...!" desah Aiya, kaget. Dia sama sekali
tidak menyangka kalau Lestari merupakan ketu-
runan terakhir kakek sakti penakluk Biang-Biang
Iblis.
"Dan tugasmu, Dewa Arak, memberitahukan
pada empat datuk sesat itu kalau kakek sakti yang
mengalahkan mereka masih mempunyai keturu-
nan. Dengan demikian, sumpah atas diri mereka
masih berlaku. Sebab atas sumpah keempat datuk
sesat, dua puluh tahun lalu, kakek sakti itu per-
nah menyambutinya dengan mengatakan kalau
keturunannya akan menjadi pengawas untuk me-
lihat sendiri kebenaran janji Biang-Biang Iblis. Je-
las, Dewa Arak?!"
"Jelas, Ki," jawab Arya cepat "Tapi... masa-
lahnya bagaimana kalau keempat Biang Ibis tidak
percaya bahwa Lestari merupakan keturunan ka-
kek sakti itu? Bukankah, tidak diketahui kalau
putra kakek sakti itu berkeluarga? Bisa saja mere-
ka mengatakan kalau Lestari adalah keturunan
palsu."
"Kekhawatiranmu masuk akal, Dewa Arak.
Tapi, kau tidak perlu cemas. Karena setiap ketu-
runan kakek sakti itu mempunyai tanda khas
yang tidak akan pernah ditemukan pada orang
lain. Sayangnya, Lestari tidak tahu kalau Malaikat
Petir hanya ayah angkatnya. Jadi, kewajibanmu,
harus dapat menjelaskan hal ini sebelum memba-
wanya menghadap empat datuk kaum sesat itu.
Kau tidak usah khawatir, Dewa Arak! Tidak akan
sukar untuk meyakinkannya karena putra kakek
sakti telah meninggalkan warisan untuk putrinya.
Kau laksanakan saja tugas ini. Sesegera mungkin,
Dewa Arak, agar korban yang jatuh tidak semakin
banyak!" ujar Jaran Sangkar, mengingatkan.
"Akan kuingat pesanmu itu, Ki," Dewa Arak
mengangguk. "Tapi..., ada satu hal yang perlu ku-
sampaikan padamu. Saat ini aku tengah terlibat
persoalan tidak ringan. Dan karena masalah itulah
aku berada di sini. Dan...."
"Aku tahu, Dewa Arak," potong Jaran Sang-
kar bernada tidak sabar tapi dengan mulut me-
nyunggingkan senyum. "Kau urus saja Lestari, bi-
ar Melati aku yang urus! Percayalah, tidak akan
terjadi apa-apa terhadapnya! Aku jamin itu, Dewa
Arak. Dan sebagai tambahan agar kau tidak ber-
tanya-tanya dalam hati, kakek sakti itu bernama
Rawung. Dia tidak terkenal di dunia persilatan
meskipun berilmu tinggi. Karena tidak pernah
muncul di dunia ramai. Ilmu-ilmu itu dimilikinya
dari hasil berguru dari para pertapa yang dite-
muinya di gunung-gunung ditambah hasil cip-
taannya sendiri. Asal kau tahu saja, Dewa Arak,
tidak ada orang yang tahu nama kakek itu."
"Terima kasih, Ki," Arya merasa hatinya lega
sekarang. Dia percaya penuh akan jaminan seo-
rang tokoh seperti Jaran Sangkar, maka tidak di-
ucapkan bantahan sedikit pun. Tidak juga ber-
tanya mengapa kakek berpakaian abu-abu itu bisa
mengetahui mengenai Melati. Arya tahu, Jaran
Sangkar dengan kemampuannya dalam menge-
rahkan ilmu gaib dapat mengetahui banyak per-
soalan yang tidak diketahui orang lain.
Setelah menganggukkan kepala pada Jaran
Sangkar, Arya segera melesat meninggalkan tem-
pat itu untuk mencari Lestari.
kkk
"Apa...?! Kau... kau bohong...! Penipu...! Ka-
takan kalau ucapanmu itu tidak benar, Arya?!"
ucap Lestari terbata-bata dengan wajah menyi-
ratkan campuran bermacam-macam perasaan.
Kecewa, gembira, sedih, bingung, dan cemas, serta
ketidak percayaan.
"Aku tidak bohong, Lestari. Aku mengatakan
hal yang sebenarnya. Kau bukan putri Malaikat
Petir, bahkan aku dapat memberikan mu bukti
lainnya," lanjut Arya, masih tetap lembut tapi te-
gar.
"Tidak...! Tidak...! Kau bohong! Penipu...!
Aku benci kau...!" maki Lestari sambil menuding-
kan jari telunjuk kanannya pada wajah Arya. Tari-
kan wajah gadis berpakaian merah itu sukar un-
tuk ditebak karena di sana bercampur macam-
macam perasaan yang bergolak di hatinya. Dan
sambil mengeluarkan perkataan-perkataan seperti
itu, Lestari melangkah mundur terus tanpa mem-
balikkan tubuh. Seakan-akan Arya merupakan se-
suatu yang menjijikkan.
Di lain pihak, Arya tidak melakukan tinda-
kan apa pun. Dia hanya berdiri diam di tempat-
nya. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu,
hanya hal inilah yang dapat dilakukannya. Berita
yang disampaikannya memang terlalu menge-
jutkan bagi gadis itu. Jadi, bisa dimaklumi tinda-
kan Lestari sekarang. Namun hal itu sudah diduga
sebelumnya oleh Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan itu tetap
berdiri diam, meski akhirnya Lestari membalikkan
tubuh dan berlari meninggalkannya sambil terus
meneriakkan kata-kata yang menyatakan ketidak-
percayaan. Tak lama kemudian gadis itu telah le-
nyap dari pandangannya.
"Hhh...!"
Dewa Arak hanya menghela napas berat.
Sengaja dibiarkannya Lestari pergi. Dia tahu Les-
tari menderita guncangan batin yang cukup berat
akibat penjelasannya. Biarlah, nanti apabila gun-
cangan hatinya sudah mereda, akan dikemukakan
siapa sebenarnya Lestari!
Dengan pikiran melayang-layang, Dewa Arak
mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Piki-
ran dan hatinya masih diliputi oleh permasalahan
Lestari. Bagaimana nanti mengutarakan persoalan
itu kepadanya, masih membingungkan, mengingat
sikap Lestari yang berubah-ubah dan sulit diterka.
Sementara itu Lestari ternyata tidak pergi
jauh dari tempat pertemuannya dengan Arya. Ga-
dis itu tengah termenung seperti memikirkan se-
suatu ketika Arya melihatnya. Dan ketika men-
dengar suara panggilan wajahnya berseri-seri.
Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Begitu
pemuda berpakaian ungu itu mengutarakan sebab
kedatangannya, Lestari menunjukkan tanggapan
yang sudah diperkirakan oleh Arya. Bagaimana-
pun pengalamannya yang luas telah membuat
pendekar muda mampu membaca sikap dan prila-
ku seseorang....
***
8
"Lestari...!"
Sebuah seruan keras yang telah pernah di-
kenal telinga, membuat gadis berpakaian merah
itu menghentikan lari, dan membalikkan tubuh.
Saat itu, Lestari telah berlari jauh meninggalkan
Dewa Arak.
"Prapanca...!" balas Lestari, tak kalah keras
ketika melihat sesosok tubuh kekar seorang pe-
muda berpakaian coklat melesat cepat menuju ke
arahnya. Hanya sekejap saja, sosok coklat yang
memang Prapanca itu, telah berjarak beberapa
tombak dari Lestari.
"Apa yang terjadi denganmu, Lestari?! Kata-
kan padaku, apakah ada orang yang menyakiti-
mu?!" tanya Prapanca, kaget ketika melihat men-
dung di wajah Lestari. Sepasang matanya yang ta-
jam segera melihat pipi Lestari yang masih basah.
Apalagi kalau bukan air mata?!
"Aku... aku tidak apa-apa, Prapanca.
Hanya... ada berita yang telah menyakitkan hati-
ku." Secara singkat tapi jelas, Lestari mencerita-
kan semua kejadian yang dialaminya bersama
Dewa Arak.
"Ah...! Jadi... kau bukan putri Malaikat Pe-
tir?! Kau berarti cucu kakek sakti penakluk empat
datuk kaum sesat itu?! Ah, luar biasa! Kalau begi-
tu keadaanmu berbahaya, Lestari. Kau tahu, ba-
nyak tokoh yang hendak melenyapkan keturunan
kakek sakti itu. Waspadalah kau! Sekarang, lebih
baik kau ikut pergi bersamaku."
"Tapi, Prapanca...," Lestari mencoba untuk
menolak.
"Tidak ada tapi-tapian lagi, Lestari! Aku ha-
rus memaksamu, ini semata-mata demi keselama-
tanmu!" tandas Prapanca, mantap.
Lestari menjadi bingung. Dan kesempatan
itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Prapanca
untuk menggamit lengan kiri Lestari dan memba-
wanya lari. Mau tidak mau, Lestari mengerahkan
ilmu lari cepatnya kalau tidak ingin mengalami ke-
jadian yang kurang menyenangkan, seperti seo-
rang tawanan dibawa kabur.
Namun belum berapa lama berlari, Prapanca
menggumam tak senang karena beberapa tombak
di depannya berdiri sesosok tubuh kekar berpa-
kaian biru, menghadang jalan. Prapanca mencium
adanya gelagat tidak baik. Dia menyadari untuk
kembali sudah tidak memungkinkan lagi karena
sosok berpakaian biru di depan pasti sudah meli-
hatnya. Karena Prapanca yakin akan kemampuan
dirinya, dia tetap berlari dan baru dihentikan keti-
ka berada sekitar lima tombak di depan sosok ber-
pakaian biru.
"Kau...!" seru Lestari tertahan, memanggil
sosok berpakaian biru, yang dikenalnya, tapi tidak
diketahui namanya.
"Lestari...!" sapa pemuda berpakaian biru,
yang tak lain penolong Lestari ketika di Perkumpu-
lan Pengemis Baju Putih.
"Jadi... kau selamat...?!" tanya Lestari lagi,
masih terharu ketika teringat akan pembelaan
pemuda berpakaian biru. Tanpa sadar dia me-
langkah ke depan. "Bagaimana caranya kau bisa
lolos dari tangan Dewa Langit Tak Punya Malu?"
"Aku ditolong oleh guruku. Beliau datang di
saat yang gawat sekali." Pemuda berpakaian biru
juga melangkah menghampiri.
Namun maksud Lestari untuk menghampiri
pemuda berbaju biru itu tidak tercapai. Sebab ba-
ru dua langkah Lestari maju, Prapanca telah me-
nyerobot maju ke depan sambil merentangkan
tangan kiri ke samping untuk mencegah gadis itu.
"Kau jangan sembarangan bertindak, Lestari!
Kau harus hati-hati. Bukan tidak mungkin dia
merupakan salah seorang yang akan mencabut
nyawamu!" tuding Prapanca ke wajah pemuda
berpakaian biru.
"Fitnah!" tangkis pemuda berpakaian biru.
Matanya menatap tajam dengan wajah merah pa-
dam. "Kau jangan percaya mulut kotor itu, Lestari!
Lebih baik kau menyingkir darinya! Aku malah
yakin kalau dia yang akan mencelakaimu!"
Suara pemuda berpakaian biru terdengar
bergetar karena perasaan marahnya. Memang, su-
dah sejak tadi, ketika melihat Lestari bersama seo-
rang pemuda, hati pemuda berpakaian biru sudah
panas. Perasaannya yang membuat hati murid
Malaikat Salju ini merasa heran. "Apa yang terjadi
dengan dirinya?" tanyanya dalam hati.
"Menyingkirlah dari sini, Kutu Busuk!"
Prapanca yang menjadi kalap mendengar
makian pemuda berpakaian biru langsung menu-
bruk maju, mengirimkan serangan dengan gedo-
ran kedua tangannya yang terbuka ke arah dada.
Karena kemarahannya, Prapanca ingin mene-
waskan murid Malaikat Salju itu dalam segebra-
kan. Seperti juga lawannya, Prapanca merasakan
hatinya tidak nyaman melihat Lestari bermanis-
manis sikap dengan pemuda berpakaian biru itu.
"Kaulah yang akan menggeletak mampus di
sini, Anjing Kudisan!" bentak pemuda berpakaian
biru seraya menyambut serangan Prapanca den-
gan pengerahan seluruh tenaga dalamnya.
Glarrr!
Bunyi keras yang terdengar mengiringi ter-
pentalnya tubuh dua tokoh muda itu ke belakang.
Namun, pemuda berpakaian biru terlempar se-
langkah lebih jauh daripada Prapanca yang hanya
terhuyung-huyung tiga langkah.
Benturan ini membuat pemuda berpakaian
biru penasaran. Sebaliknya Prapanca semakin
bersemangat untuk segera mengalahkan lawan-
nya. Pertarungan pun kembali berlanjut.
"Hei...! Kalian berdua gila! Hentikan perta-
rungan ini...! Kalau tidak aku akan pergi dari si-
ni...!" Karena merasa serba salah lalu Lestari ber-
teriak-teriak untuk menghentikan pertarungan
yang tidak diinginkannya itu.
Maksud baik Lestari tidak membuahkan ha-
sil sama sekali. Dua pemuda yang tengah kalap itu
tidak mempedulikan seruannya sama sekali. Ke-
duanya terus melanjutkan kesibukan mereka, sal-
ing serang dengan hebatnya untuk dapat segera
mengalahkan satu sama lain.
Kenyataan ini membuat Lestari yang memili-
ki watak keras kian kehilangan kesabaran. Dia
merasa di tantang untuk membuktikan kebenaran
ucapannya. Maka tanpa membuang-buang waktu
lagi, gadis itu melesat cepat meninggalkan mereka.
Prapanca dan lawannya yang tengah sibuk, tidak
mengetahuinya sama sekali.
kkk
"Ha ha ha...! Jadi... inikah orang yang berju-
luk Dewa Arak itu, Raja Tikus?! Masih muda seka-
li! Benar-benar mengagumkan! Semuda ini sudah
menjagoi dunia persilatan?! Hebat...! Hebat...!"
Aiya menghentikan ayunan kakinya men-
dengar seman yang datang dari arah samping ka-
nan itu. Seketika dia menoleh sambil menghenti-
kan langkahnya. Berjarak sekitar empat tombak
tampak dua sosok berdiri menatapnya. Salah satu
dari mereka dikenal sebagai Raja Tikus Dasar
Bumi. Sedangkan sosok yang satunya lagi, belum
pernah dilihatnya. Namun melihat ciri-cirinya bisa
diterka kalau dia pasti Raksasa Pemangsa Manu-
sia.
Dugaan pemuda berambut putih keperakan
itu tidak salah. Sosok yang bersama Raja Tikus
Dasar Bumi tak lain Raksasa Pemangsa Manusia.
Tokoh sesat yang memiliki bala pasukan be-
rupa kawanan tikus itu sehabis bertarung dengan
Dewa Arak, dalam perjalanannya bertemu dengan
Raksasa Pemangsa Manusia yang tengah mencari-
cari penculik Melati. Dalam pertemuan itu, Raja
Tikus Dasar Bumi menceritakan tentang Dewa
Arak yang mengakibatkan Raksasa Pemangsa Ma-
nusia penasaran. Akhirnya kedua tokoh sesat itu
bersama-sama mencari Dewa Arak, hingga berte-
mu di situ
"Benar, Raksasa Jelek...!" jawab Raja Tikus
Dasar Bumi ketika bersama rekannya telah berada
di dekat Arya.
Pemuda berambut putih keperakan itu ber-
diri di tempatnya, tidak melakukan tindakan apa
pun kecuali bersikap waspada.
"Ha ha ha...! Kalau cuma seperti ini orang-
nya jangan-jangan berita yang tersebar hanya ka-
bar burung belaka...," timpal Raksasa Pemangsa
Manusia lagi, sambil tersenyum mengejek. "Hei...!
Dewa Arak...! Aku ingin merasakan sendiri keli-
haian mu yang selama ini digembar-gemborkan
orang! Bersiaplah...!"
Wuttt!
Raksasa Pemangsa Manusia mengawali se-
rangannya dengan sebuah tamparan tangan ka-
nan keras ke arah pelipis pemuda itu. Dewa Arak
yang merasa tersinggung mendengar tantangan
Raksasa Pemangsa Manusia, tanpa merasa gentar
sedikit pun, memapaknya dengan tamparan pula.
Plakkk!
Tubuh Raksasa Pemangsa Manusia terputar
dan terhuyung, jauh lebih parah dibanding Dewa
Arak yang hanya terputar tubuhnya. Kenyataan
ini membuat datuk sesat pemakan manusia itu
menjadi murka, lalu menerjang lebih ganas. Dewa
Arak pun menyambuti sehingga pertarungan sen-
git pun terjadi di antara mereka.
Baru beberapa gebrakan saja mereka berta-
rung, Raksasa Pemangsa Manusia telah merasa-
kan sendiri kehebatan pemuda berambut putih
keperakan. Hal itu karena Dewa Arak yang sudah
tak sabar karena teringat akan Lestari, langsung
mengerahkan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Tekanan-tekanan serangannya atas Raksasa Pe-
mangsa Manusia semakin menjadi-jadi. Sebalik-
nya setiap serangan lawan, tanpa kesulitan lang-
sung dipapakinya dengan pengerahan tenaga da-
lam penuh.
"Jangan khawatir, Raksasa! Aku datang
membantu...!"
Wuing...! Wuing!
Belum lenyap gema ucapannya, Raja Tikus
Dasar Bumi telah terjun ke dalam kancah perta-
rungan. Dengan senjatanya yang berupa suling
kakek bertelanjang dada itu mencecar berbagai
bagian yang berbahaya di tubuh Dewa Arak. Bunyi
melengking indah mengiringi setiap gerakan suling
datuk sesat pemimpin pasukan tikus ini
Masuknya kakek berwajah tirus yang hanya
mengenakan celana panjang merah itu langsung
mempengaruhi keadaan. Raksasa Pemangsa Ma-
nusia mendapat kesempatan bergerak lebih lelua-
sa. Sekarang ganti Dewa Arak yang kelabakan. Te-
rasa oleh pemuda berambut putih keperakan be-
tapa beratnya menghadapi dua orang lawan tokoh
Biang-Biang Iblis ini. Untung saja dia memiliki il-
mu 'Belalang Sakti' yang aneh itu. Dengan ilmu itu
dia mampu menghadapi setiap gempuran dahsyat
kedua lawannya.
Perhatian yang dipusatkan penuh terhadap
lawan tarung, membuat Dewa Arak dan dua la-
wannya sama sekali tidak mengetahui adanya be-
berapa sosok yang tengah melesat ke arah mereka.
Sosok yang melesat paling depan adalah seorang
gadis berpakaian merah.
"Mampus kau, Wanita Liar...!"
Sosok kurus memakai topi berbentuk seten-
gah tempurung kepala memaki sambil menghen-
takkan tangan kanan ke depan. Segundukan an-
gin keras menyambar diiringi bunyi mengaung,
memburu punggung gadis berpakaian merah yang
tak lain Lestari.
"Guru...! Jangan bunuh dia...!"
Teriakan itu terdengar dari mulut sosok yang
berlari ke belakang kakek bertopi hitam itu. Sosok
berpakaian coklat itu ternyata Prapanca. Namun
permintaannya terlambat, pukulan jarak jauh ka-
kek berpakaian hitam telah lebih dulu melesat dan
tidak mungkin ditahan lagi. Untung saja, sebelum
menghantam sasaran, Lestari yang menyadari
akan adanya ancaman maut itu membanting tu-
buh ke tanah, kemudian bergulingan untuk men-
jauhkan diri.
"Keparat...!"
Tanpa mengenal kasihan sama sekali, kakek
berpakaian hitam itu meluruk ke arah Lestari
yang tengah bergulingan. Sikapnya mengisya-
ratkan maut bagi putri Malaikat Petir itu. Kakek
bertopi aneh ini tidak mempedulikan teriakan-
teriakan permohonan Prapanca.
"Hentikan, Brangsang...! Tanganmu telah ba-
nyak berlumuran darah orang-orang tidak berdo-
sa...!"
Kakek berpakaian hitam yang ternyata ber-
nama Brangsang, menghentikan gerakannya. Dan
sebelum dia sempat menoleh, ke samping kanan-
nya telah berdiri seorang kakek berkulit putih dan
pucat. Jenggot kumis, cambang, dan bahkan alis-
nya pun putih semua! Kakek berkulit putih ini
berdiri dengan sikap angker.
"Kiranya kau, Sobrang!" seru Brangsang
agak kaget "Sama sekali tidak kusangka kalau kau
akan keluar dari tempat pertapaanmu. Apa yang
hendak kau lakukan, heh...?! Ingat kau telah ber-
sumpah untuk tidak mempergunakan kepan-
daianmu lagi! Apalagi untuk menentang ku...!"
"Aku memang tidak ingin menjatuhkan tan-
gan keras padamu, Brangsang! Tapi, sebagai ka-
kak seperguruanmu aku mempunyai hak untuk
mengingatkan mu akan kesalahan tindakan yang
kau lakukan ini. Bertobatlah, Brangsang!"
"Kalau aku tidak mau, kau mau apa, So-
brang?!" tantang Brangsang yang ternyata adik se-
perguruan Sobrang, dengan berani. "Ataukah ingin
menjilat ludahmu sendiri?!"
Sobrang tersenyum getir.
"Aku bukan orang yang suka menjilat ludah
yang sudah ku keluarkan sendiri, Brangsang! Tapi
aku tahu kaulah yang telah membunuh Malaikat
Aneh. Kau pula yang menyebabkan Malaikat Petir
dan Perkumpulan Pengemis Baju Putih hancur be-
rantakan akibat fitnah dan pembunuhan yang kau
lakukan terhadap keturunan kakek sakti. Kaulah
yang mengeluarkan Biang-Biang Iblis dengan ga-
gasan-gagasan licikmu! Aku tahu, sebabnya, ka-
rena kau ingin mengambil harta karun milik bajak
laut ratusan tahun lalu yang konon tersimpan di
sana. Bukankah kau telah menemukan petanya?!"
'Tutup mulutmu, Tua Bangka...!"
Brangsang langsung murka karena semua
rahasianya dibeberkan oleh Sobrang. Tanpa peduli
siapa yang dihadapi dia langsung menerjang den-
gan tepakan-tepakan maut Sobrang hanya terse-
nyum getir melihatnya. Tak tampak kalau kakek
berjenggot putih itu akan melakukan tangkisan
atau mengelak. Mungkinkah, kakek ini bermaksud
mendiamkan saja serangan itu karena takut di-
anggap melanggar sumpah?
"Pengecut Licik!"
Bersamaan terdengarnya teriakan itu, seso-
sok bayangan putih melesat cepat memapaki se-
rangan Brangsang. Benturan pun tidak dapat di-
cegah. Akibatnya tubuh kedua belah pihak sama-
sama terjengkang ke belakang. Namun, tubuh so-
sok bayangan putih terlontar lebih jauh. Dan keti-
ka akhirnya berhasil bangkit wajahnya tampak
pucat. Sosok bayangan putih ini memiliki kulit tu-
buh putih seperti Sobrang hanya saja jauh lebih
muda.
"Malaikat Salju...!" seru Sobrang dan Brang-
sang hampir berbarengan.
"Guru...!" Malaikat Salju, sosok yang baru
saja tiba, langsung saja memberi hormat pada So-
brang. Terlihat agak menggelikan, seorang guru
memanggil muridnya dengan julukan. Maklumlah,
Sobrang tidak ingat lagi nama muridnya.
Namun Malaikat Salju tidak bisa berlama-
lama bertegur sapa dengan Sobrang karena
Brangsang dengan penuh nafsu membunuh, lang-
sung mengirimkan serangan-serangan berbahaya.
Malaikat Salju menyambutinya hingga perang
tanding pun terjadi.
Di tempat yang semula hening itu tercipta
dua kancah pertarungan hebat. Sementara tiga
pasang mata, Lestari, Prapanca, dan Sobrang
hanya menyaksikan. Di antara ketiga orang itu,
tampak Prapanca yang paling kebingungan. Ru-
panya dia tak habis pikir melihat perkembangan
yang terjadi. Dia suka pada Lestari, tapi hatinya
pun tidak ingin bertentangan dengan Brangsang,
gurunya. Memang diakui oleh Prapanca kalau
sang Guru bukan orang baik-baik, tapi biar ba-
gaimanapun dia menghormatinya. Kenyataan
membuatnya harus berada di tempat yang tidak
menyenangkan. Dengan wajah bingung dipandan-
ginya Lestari, tapi gadis berpakaian merah itu ma-
lah melengos, tidak mau melihatnya lagi. Hal ini
membuat Prapanca semakin kebingungan.
Lestari memang merasakan hatinya terbakar
oleh kemarahan ketika mengetahui Prapanca
mempunyai guru yang demikian jahat. Bahkan
guru Prapanca yang telah menyebabkan ayah
angkatnya, Malaikat Petir, tewas. Demikian pula
dengan ayah kandungnya. Melihat Prapanca de-
mikian membela gurunya, Lestari menjadi benci
pada pemuda berpakaian coklat itu. Dalam pera-
saan seperti itu Lestari pun teringat akan pemuda
berpakaian biru. Apa yang terjadi dengan murid
Malaikat Salju itu? Apakah dia tewas di tangan
Prapanca?
Pemuda berpakaian biru itu sebenarnya ti-
dak tewas! Dia hanya pingsan akibat terkena ten-
dangan Prapanca. Prapanca tidak sempat mengi-
rimkan serangan terakhir karena telah keburu
cemas ketika melihat Lestari tidak di situ. Prapan-
ca mengejar Lestari.
Namun, di tengah jalan pemuda berpakaian
coklat ini bertemu dengan gurunya. Kakek berpa-
kaian hitam itu tengah dilanda kecewa dan marah
karena tawanannya, Melati, telah dirampas oleh
Jaran Sangkar, tanpa dia mampu berbuat sesuatu
untuk mencegahnya. Melihat, muridnya tengah
mengejar seorang gadis, Brangsang menanyakan-
nya, dan Prapanca tidak berdaya untuk berbo-
hong. Dikatakan hal yang sebenarnya. Dan, hal
yang ditakutkannya pun terjadi, Brangsang ber-
maksud membunuh Lestari!
Lestari merasa cemas ketika melihat Malai-
kat Salju tidak mampu menandingi Brangsang
yang lihai. Sahabat Malaikat Petir ini terus-
menerus terdesak. Bahkan beberapa kali hampir
saja serangan Brangsang bersarang di tubuhnya.
Hanya di saat-saat terakhir, Malaikat Salju berha-
sil mengelak.
"Mengapa kau diam saja, Kakek Sobrang?!"
tanya Lestari penuh perasaan gemas pada Sobrang
yang dilihatnya berdiri diam, dan tidak berusaha
untuk bertindak. Padahal, Lestari yakin Sobrang
memiliki kepandaian tinggi. Bukankah Sobrang
kakak seperguruan Brangsang? "Apakah kau ingin
muridmu mampus?! Cepatlah bertindak...!"
Sobrang hanya tersenyum getir. Dia tidak
melakukan tindakan apa pun selain hanya mem-
perhatikan jalannya pertarungan itu. Meski Lestari
yang semakin cemas akan keselamatan Malaikat
Salju telah mengguncang-guncang tubuhnya, dia
tetap tidak bergerak.
"Baik! Karena kau seorang kakek pengecut
yang takut mati, aku yang akan turun tangan...!"
seru Lestari, habis daya untuk membujuk So-
brang.
Akibat ucapan Lestari yang tajam itu, wajah
Sobrang yang sejak tadi tenang, langsung berubah
pucat. Makian Lestari memang terlalu menusuk
perasaan. Namun, Lestari tidak mempedulikan-
nya. Karena kekalapan dan ketidaksabarannya
Lestari mencabut kipas yang terselip di pinggang
dan siap untuk menerjang maju dalam kancah
pertarungan.
"He he he...! Ternyata sudah ramai...! Aku
ketinggalan...! Ah, dengan siapa aku harus ber-
tempur...!"
"Hik hik hik...! Aku pun terlalu lambat da-
tang...!" Belum lenyap gema ucapan yang saling
susul ini, dari kejauhan melesat dua sosok bayan-
gan yang ternyata Dewa Langit Tak Punya Malu
dan Dewi Cabul! Hanya dalam sekejapan dua da-
tuk sesat ini telah berada di dekat pertarungan.
Namun, sebelum dua datuk sesat yang ber-
watak aneh ini berbuat sesuatu, Arya yang men-
dengar seruan mereka, dan menyadari adanya ke-
gawatan segera melesat meninggalkan kancah per-
tarungan. Dengan ilmu meringankan tubuhnya
yang tinggi, memang tidak sulit untuk melakukan
tindakan demikian. "Hentikan...?!"
Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga da-
lam untuk berteriak sekeras-kerasnya. Bagai ker-
bau dicocok hidungnya, semua orang yang berada
di situ, menghentikan gerakan. Tak terkecuali to-
koh-tokoh yang tengah terlibat pertarungan. Ada
kekuatan luar biasa dalam seruan Arya yang
membuat mereka semua terpaksa patuh.
"Wahai datuk-datuk sesat yang terkenal
dengan julukan Biang-Biang Iblis, aku ingin men-
gajukan pertanyaan! Apakah kalian semua ini
pengecut-pengecut hina yang mudah mengingkari
janji kalian sendiri?! Begitu rendah harga diri ka-
lian, menjilat ludah yang tertumpah keluar...!" se-
ru Dewa Arak lantang.
"Apa maksudmu, Dewa Arak?! Jelaskan ce-
pat, atau kuhancurkan mulutmu!" sahut Raksasa
Pemangsa Manusia sambil mengepalkan tinjunya
yang besar.
"Jangan dengarkan dia...!" sela Brangsang
yang khawatir Dewa Arak akan membuka raha-
sianya. Bergegas dia mengayunkan kaki mendeka-
ti Dewa Arak dan menyerangnya. Namun langsung
diurungkan ketika melihat empat datuk kaum se-
sat menatap ke arahnya dengan sorot mengancam.
Aiya yang melihat hal ini merasa lega.
"Bukankah kalian telah terlibat perjanjian
dengan kakek sakti yang telah mengalahkan ka-
lian puluhan tahun lalu?! Mengapa sekarang ka-
lian melanggarnya?!"
"Kakek itu telah mati. Demikian pula ketu-
runannya! Jadi, janji kami sudah tidak berlaku la-
gi!" bantah Raja Tikus Dasar Bumi, lantang. Ketiga
rekannya menganggukkan kepala, mendukung
bantahannya.
"Siapa bilang keturunan kakek sakti itu su-
dah tidak ada lagi. Di hadapan kalian berdiri ketu-
runan terakhir kakek sakti itu!" tandas Dewa Arak
sambil menuding Lestari!
Seruan-seruan kaget langsung keluar dari
mulut Biang-Biang Iblis mendengar ucapan Dewa
Arak.
"Kau dusta, Dewa Arak!" Kali ini Dewi Cabul
yang berbicara. "Kau hanya mengada-ada! Gadis
itu anak Malaikat Petir, dan kami tahu itu! Lagi
pula kalau dia keturunan kakek sakti, mengapa
tidak memiliki ilmu-ilmu leluhurnya?!"
Lagi-lagi tiga datuk sesat lainnya mengang-
gukkan kepala menyetujui ucapan Dewi Cabul.
"Dengarkan baik-baik," ujar Arya masih te-
tap tenang. "Malaikat Petir hanya ayah angkat Les-
tari. Kemudian, mengapa Lestari tidak bisa memi-
liki ilmu leluhurnya, karena sejak bayi telah di-
asuh oleh Malaikat Petir. Jelas?! Ataukah, perlu
kuberikan bukti yang lebih kuat?! Asal kalian tahu
saja, aku menjamin ucapanku ini dengan kehor-
matanku sebagai seorang pendekar!"
"Dia berkata benar," Sobrang berkata pelan,
"Muridku tidak pernah menikah, bagaimana
mungkin dia bisa punya anak?!"
Empat datuk kaum sesat itu saling pandang
sebentar. Mereka tahu tokoh-tokoh seperti Dewa
Arak dan Sobrang, tak akan berkata bohong.
"Kalau begitu, kami akan kembali ke penga-
singan," ujar Raja Tikus Dasar Bumi mewakili ka-
wan-kawannya. "Tapi, pertarungan antara kami
denganmu belum selesai, Dewa Arak. Aku ingin
merasakan kelihaian mu sendiri!"
"Jangan khawatir," ucap Arya sambil terse-
nyum. "Aku akan mengunjungi tempat pengasin-
gan kalian!"
Empat datuk kaum sesat itu tidak memberi-
kan jawaban sama sekali. Mereka melesat cepat
meninggalkan tempat itu untuk menuju tempat
pengasingan yang belum lama mereka tinggalkan.
"Lain waktu aku akan membuat perhitungan
denganmu, Dewa Arak!" ancam Brangsang, sebe-
lum membalikkan tubuh dan melesat meninggal-
kan tempat itu.
"Biarkan dia pergi, Dewa Arak!" pinta So-
brang cepat sebelum Dewa Arak melesat mengejar.
"Apabila aku tidak berada di sini, dan jika kau
menemukannya lagi setelah ini, hukumlah dia!
Aku rela."
Dewa Arak tidak tega untuk mengabaikan
permohonan itu. Dia menganggukkan kepala, se-
belum melangkah meninggalkan tempat itu. Dia
tahu, Melati pasti sudah dibebaskan oleh Jaran
Sangkar. Maka, dia berangkat ke tempat perte-
muannya dengan kakek itu.
Lestari memandangi kepergian Dewa Arak
dengan perasaan sedih. Tidak disangka kalau pe-
muda berambut putih keperakan itu sama sekali
tidak menaruh perhatian padanya. Rasa sukanya
bertepuk sebelah tangan. Dengan pandangan se-
dih, diperhatikannya Arya, yang terus menjauh.
"Lestari...!"
Lestari mengalihkan pandangan ke arah
panggilan. Dilihatnya murid Malaikat Salju tengah
berlari cepat ke arahnya. Lestari tersenyum. Dia
tahu pemuda berpakaian biru ini menyukainya.
Namun hatinya telah ikut pergi bersama dengan
kepergian Arya. Maka setengah melempar senyum
sekali lagi, dia berbalik. Dan....
"Selamat tinggal...!"
Pemuda berpakaian biru hanya bisa melongo
melihat kenyataan yang tidak pernah disangka-
sangka ini. Di sebelah sana, Prapanca pun me-
nundukkan kepala dengan hati kecewa karena ta-
hu kalau Lestari tidak mencintainya dan hanya
mencintai Dewa Arak. Dengan kepala tertunduk,
Prapanca meninggalkan tempat itu.
Sementara, pemuda berpakaian biru masih
menatap punggung Lestari dengan berbagai perta-
nyaan bergayut di benak. Mengapa Lestari bersi-
kap seperti itu? Namun, pemuda berpakaian biru
tidak berani mengejar, apalagi menanyakannya.
Dia hanya bisa memandanginya dari kejauhan. Di-
rasakan ada sesuatu yang hilang dari dalam da-
danya seiring kepergian Lestari.
Mendadak sesosok bayangan putih berkele-
bat dan berhenti di tempat itu. Ternyata seorang
gadis cantik berpakaian putih yang tak lain Melati.
"Di mana adanya Dewa Arak?! 1 ' tanya Melati
tanpa basa-basi. Entahlah kepada siapa perta-
nyaan itu diajukan.
"Dia sudah pergi," Sobrang yang memberikan
jawaban dengan suara lesu. Karena seperti juga
Malaikat Salju, dia tengah merasa kasihan pada
pemuda berpakaian biru yang tengah patah hati
karena cintanya tak ditanggapi oleh Lestari.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati
segera melesat meninggalkan tempat itu untuk
menyusul Dewa Arak.
TAMAT
Ikuti episode selanjutnya
Peti Bertuah
Emoticon