1
"Ha ha ha...!"
Tawa keras menggelegar menguak kesunyian pagi. Panjang dan
Suara itu berasal dari salah satu di antara sekian banyak goa yang
terdapat di Bukit Kematian. Sebuah bukit yang jarang didatangi orang.
Setiap orang yang datang ke sana tidak akan pernah kembali lagi. Mungkin
itulah sebabnya bukit itu dinamakan Bukit Kematian.
Menurut cerita yang tersebar di dunia persilatan, di sekitar Bukit
Kematian banyak terdapat tempat-tempat yang berbahaya. Lumpur hidup
serta jalan-jalan setapak yang terdapat di antara hamparan padang rumput
setinggi satu setengah tombak, menyembunyikan bahaya berupa ular-ular
beracun dan serangga-serangga berbisa. Semua itu hanya sebagian kecil dari
bahaya-bahaya yang menghadang perjalanan menuju Bukit Kematian. Tak
aneh jika tempat itu ditakuti tokoh-tokoh persilatan.
Sedangkan bagi penduduk sekitar tempat itu. Bukit Kematian
merupakan tempat keramat. Mereka percaya bukit itu dihuni berbagai
macam makhluk halus. Dan tidak seorang pun berani menginjakkan kaki di
sana.
Tapi kenyataannya pagi itu terdengar suara tawa dari salah satu
goa di Bukit Kematian! Apakah tawa itu keluar dari mulut siluman atau
makhluk halus lainnya seperti yang dipercayai penduduk sekitar tempat itu?
Mendadak dari dalam goa melesat sesosok bayangan. Gerakannya
cepat bukan main. Sehingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan putih
yang tidak jelas. Tahu-tahu di depan goa itu telah berdiri sesosok tubuh
kurus kering berpakaian putih.
Silumankah sosok berpakaian putih itu? Rasanya tidak!
Mungkinkah siluman keluar di pagi hari? Sosok berpakaian putih itu pasti
seorang manusia! Kedua kakinya menginjak tanah!
Namun bukti yang lebih meyakinkan kalau sosok berpakaian putih
itu seorang manusia adalah pernyataannya. Ucapan yang dikeluarkan
setelah sosok itu membiarkan tubuhnya bermandikan cahaya lembut
matahari pagi.
"Sekarang tibalah waktunya bagiku untuk mencoba kedahsyatan
ilmu yang kudapat!"
Usai berkata demikian, sosok berpakaian putih mengembangkan
kedua tangannya ke samping. Gerakannya mengingatkan orang pada unggas
yang sedang membuka sayapnya. Hanya sosok itu menggerakkannya
perlahan-lahan, tapi penuh tenaga. Bunyi menderu seperti angin ribut
terdengar mengiringi.
Ini menjadi pertanda kalau sosok berpakaian putih memiliki tenaga
dalam tinggi! Hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam tinggilah
yang mampu menimbulkan bunyi deru angin setiap kali menggerakkan
tangannya.
Ternyata tidak hanya deru angin saja yang timbul. Sepasang
matanya pun berubah. Kelihatan seperti memanjang dan memipih, tajam
berkilat mengeluarkan sinar kehijauan. Mirip mata seekor kucing!
Hanya sesaat sosok berpakaian putih bersikap demikian. Kemudian
diawali bunyi mencicit nyaring seperti suara tikus, sosok itu melompat ke
atas. Ringan bukan main gerakan sosok berpakaian putih. Bagai sehelai
daun kering, tubuhnya melayang ke atas. Dan setibanya di sana tangan
kanannya dikibaskan.
Wuttt! Blarrr!
Bunyi hiruk-pikuk langsung terdengar ketika angin kibasan sosok
berpakaian putih menghantam batu sebesar kerbau. Padahal batu itu berada
dalam jarak tak kurang dari lima tombak! Tapi, kenyataannya hancur! Satu
bukti lagi betapa kuat tenaga dalam sosok berpakaian putih itu.
Jliggg!
"Ha ha ha...!"
Begitu kedua kakinya mendarat ringan di ranah, sosok berpakaian
putih mengumbar tawanya yang terdengar lepas penuh dengan
kegembiraan.
"Sekarang aku telah menjadi orang sakti! Ha ha ha...! Tidak sia-sia
pengorbananku selama ini! Tunggulah cecunguk-cecunguk tak tahu diri!
Aku, Sangkala, akan membuat perhitungan dengan kalian. Ha ha ha...!"
Masih dengan tawa yang tidak putus sosok berpakaian putih yang
ternyata bernama Sangkala melesat pergi meninggalkan tempat itu. Luar
biasa! Hanya dengan sekali lesatan tubuhnya telah berada belasan tombak di
depan. Tanpa memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi jarak
sejauh itu tidak akan bisa dicapai!
Baru beberapa kali lesatan Sangkala menghentikan larinya.
Pandangannya diarahkan ke depan ke tempat terhamparnya padang rumput
setinggi satu setengah tombak.
"Orang lain mungkin sulit melewati tempat ini.... Tapi untukku....
Ha ha ha...! Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi langkahku!
Sangkala akan menjadi jago nomor satu di dunia persilatan. Ha ha ha...!"
Untuk kesekian kalinya Sangkala tertawa tergelak-gelak. Cukup
lama sebelum akhirnya berhenti. Lebih tepatnya dihentikan secara
mendadak. Sekarang tarikan wajahnya menampakkan kesungguhan. Tidak
terlihat lagi raut kegembiraan di wajahnya.
Sangkala berdiam diri sebentar seperti tengah berpikir keras.
Mendadak ia memutar tubuhnya ke kiri dengan dibarengi gerakan
tangannya. Hingga....
Bluppp!
Tubuh Sangkala lenyap! Di tempatnya semula berdiri tampak
kepulan asap dan seekor kelelawar!
Cit, cit, cit!
Diiringi bunyi mencicit yang keluar dari mulutnya, kelelawar itu
terbang di atas hamparan rumput!
Kalau kebetulan ada yang melihat kejadian ini tentu akan heran
bukan main. Bagaimana mungkin kelelawar melakukan kegiatannya di
siang hari? Padahal binatang itu biasanya tidur di siang hari. Dan baru
keluar pada malam hari.
***
Matahari telah bergeser jauh dari tempat terbitnya. Meskipun
demikian belum mencapai titik tengah ketika sebuah iring-iringan kereta
kuda memasuki mulut Hutan Sawang.
Iring-iringan itu terdiri dari sebuah kereta dan delapan ekor kuda.
Kedudukan binatang yang rata-rata berpenunggang sosok-sosok berwajah
gagah itu melindungi kereta. Tiga di bagian belakang dan depan serta satu
pada masing-masing sisi kereta.
Seperti juga binatang tunggangannya yang semua berwarna hitam,
sosok-sosok gagah di atas punggung kuda itu pun mengenakan pakaian
yang sama. Kuning kentang. Pada bagian dada kiri tersulam gambar kepala
seekor harimau. Pedang bergagang kepala harimau tampak di balik
punggung mereka. Senjata-senjata itu membuktikan rombongan ini bukan
terdiri dari orang-orang lemah.
Menilik sikap sosok-sosok di atas punggung kuda hitam yang
terlihat begitu melindungi kereta, bisa diperkirakan orang yang berada di
dalamnya adalah orang penting.
"Hooop...!"
Tiba-tiba salah satu dari tiga penunggang kuda terdepan
mengangkat tangan kanannya ke atas seraya menarik tali kekang binatang
tunggangannya.
Seketika itu pula, rombongan yang berada di belakang tiga sosok
itu menghentikan langkah kuda mereka. Dan seiring dengan itu, masing-
masing sosok berpakaian kuning bersikap waspada. Mereka melihat sesosok
tubuh berpakaian putih berdiri menghadang jalan.
Salah seorang dari tiga penunggang kuda terdepan, seorang lelaki
tegap berkumis tebal, melompat turun. Indah dan manis gerakannya..
Bahkan ketika kedua kakinya didaratkan di tanah, tidak terdengar bunyi
yang berarti. Itu pertanda ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi.
Lalu dengan langkah dan sikap tenang, lelaki berkumis tebal itu
menghampiri sosok berpakaian putih yang terdiri dalam jarak sepuluh
tombak di depannya. Tindakan lelaki berkumis tebal yang menjadi
pimpinan iring-iringan itu tidak luput dari perhatian rekan-rekannya dan
sosok berpakaian putih.
Sosok berpakaian putih itu ternyata seorang pemuda yang berusia
sekitar dua puluh lima tahun. Kulit wajahnya pucat seperti lama tidak
terkena sinar matahari. Seperti juga lelaki berkumis tebal, pemuda itu pun
bersikap tenang. Kedua tangannya tetap dilipat di depan dada.
"Maaf, Kisanak. Bisakah kau menyingkir sebentar? Kami hendak
lewat, dan sedang memburu waktu, atas kesediaanmu kami mengucapkan
terima kasih," ujar lelaki berkumis tebal pelan dan sopan.
"Bagaimana kalau aku tidak mau?!" sahut pemuda berpakaian
putih dingin.
Seketika itu pula wajah lelaki berkumis tebal berubah. Sepasang
matanya berkilat marah. Tapi hanya sebentar, sesaat kemudian raut
wajahnya kembali seperti biasa. Rupanya lelaki berkumis tebal itu mampu
menguasai perasaannya.
"Maaf, Kisanak. Mungkin perlu kau ketahui kami adalah orang-
orang Perguruan Harimau Terbang. Kebetulan aku pemimpin rombongan
ini. Namaku Kulana! Saat ini kami sedang mendapat tugas yang harus cepat
kami laksanakan. Kami tidak mempunyai banyak waktu. Sekali lagi
kuminta kau menyingkir dari tempatmu, Kisanak. Berilah kami kesempatan
untuk lewat."
"Cuhhh!"
Tanggapan dari pemuda berpakaian putih adalah semburan ludah
ke tanah. Kasar dan menjijikkan sekali caranya.
"Siapa pun kalian aku tidak peduli! Dari Perguruan Harimau
Terbang atau Perguruan Macan Ompong bukan urusan ku! Yang jelas kalau
ingin lewat jalan ini kalian harus menyingkirkan aku!"
"Keparat!"
Terdengar makian keras penuh kemarahan. Disusul kemudian
dengan melompatnya seorang penunggang kuda yang tadi berada di sebelah
Kulana. Dia seorang lelaki bertubuh pendek kekar.
"Biar aku yang melemparkan pemuda sombong itu, Kakang!" pinta
lelaki pendek kekar ketika telah berada di dekat Kulana.
Kulana tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah lelaki pendek
kekar itu sejenak.
"Baik! Tapi hati-hati. Cakra! Jangan bertindak sembrono. Aku
yakin dia bukan orang sembarangan," beri tahu lelaki berkumis tebal seraya
melangkah mundur memberi kesempatan pada rekannya.
"Mengapa harus membuang-buang waktu?! Lebih baik kalian
semua maju bersama!" tantang pemuda berpakaian putih tanpa
menyembunyikan rasa sombong. Hingga semua orang yang berada di dalam
rombongan Perguruan Harimau Terbang gusar.
Hal yang sama pun dialami Cakra! Kemarahannya semakin
berkobar mendengar sesumbar lawan. Maka diputuskan segera
melaksanakan maksudnya.
"Manusia sombong! Awas seranganku ! Hih!"
Cakra membuka serangan dengan sebuah tendangan lurus ke arah
dada. Deru angin cukup keras mengiringi tibanya serangan itu, pertanda
tenaga dalamnya cukup tinggi.
Tapi pemuda berpakaian putih tetap bersikap tenang. Tidak terlihat
tanda-tanda dia akan melakukan tindakan. Baik tangkisan maupun elakan.
Malah begitu serangan Cakra menyambar semakin dekat, pemuda
berpakaian putih menurunkan kedua tangannya. Sebuah tindakan yang
membuat ancaman bahaya semakin besar. Karena bagian dadanya terbuka
lebar.
Karuan saja semua orang yang berada di situ terkejut. Tidak
terkecuali Cakra! Sudah gilakah pemuda berpakaian putih itu! Kalau tidak,
mana mungkin membiarkan serangan lawan menghantamnya? Ataukah dia
memiliki kepandaian yang demikian tinggi sehingga berani menerima
serangan lawan?
Pertanyaan-pertanyaan itu menggayuti semua kepala anggota
rombongan Perguruan Harimau Terbang. Sekarang mereka menunggu
kenyataan yang akan terjadi dengan perasaan tegang. Dan mereka tidak
perlu menunggu terlalu lama untuk membuktikan kenyataan itu. Sesaat
kemudian....
Bukkk!
Telak dan keras sekali kaki Cakra mendarat di dada pemuda
berpakaian putih.
Akibatnya benar-benar mengejutkan! Seharusnya pemuda
berpakaian putih itu kesakitan. Tapi yang terjadi sebaliknya. Cakralah yang
menjerit-jerit kesakitan sambil memegangi kakinya.
Pemuda bertubuh pendek kekar itu merasakan kakinya bukan
menghantam tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang. Tapi,
mengenai bongkahan baja keras! Rasa sakit yang sangat langsung
menderanya.
Tentu saja rekan-rekan Cakra terkejut bukan main melihat
kenyataan itu. Sekarang mereka sadar kalau pemuda berpakaian putih
memiliki kepandaian tinggi. Seketika itu pula, bagai diberi perintah, mereka
melompat dari punggung kuda masing-masing. Sudah dapat diduga
maksudnya! Apalagi kalau bukan ingin membantu Cakra? Tapi....
"Hentikan! Jangan ada seorang pun yang berpindah dari
kedudukan masing-masing!"
Seruan Kulana membuat anggota rombongan Perguruan Harimau
Terbang yang berada di samping dan belakang kereta menghentikan
tindakan. Mereka menyadari adanya kebenaran dalam ucapan itu.
"Ha ha ha...! Mengapa berhenti? Tidak usah malu-malu! Teruskan
saja maksud kalian untuk mengeroyokku agar pertarungan jadi lebih
menarik! Ha ha ha...!" pemuda berpakaian putih mengeluarkan
perkataannya dengan penuh ejekan. Sikapnya terlihat sangat
memandangang rendah.
"Siapa kau, Kisanak?! Mengapa tanpa alasan kau mengganggu
kami?! Setahuku Perguruan Harimau Terbang tidak mempunyai urusan
denganmu!" ujar Kulana sambil melangkah maju. Sedikit pun tidak
dipedulikannya sikap sombong pemuda berpakaian putih.
"Ha ha ha...!" lagi-lagi pemuda berpakaian putih tertawa sebelum
menjawab pertanyaan Kulana. "Terima kasih atas pertanyaanmu. Monyet
Jelek! Memang aku lupa memperkenalkan diri! Nah! Dengarkan baik-baik!
Namaku Sangkala! Kau dengar?!"
"Sangkala?!" gumam Kulana dengan dahi berkerut.
Lelaki berkumis tebal ini mencoba mengingat-ingat barangkali
pernah didengarnya tokoh persilatan yang mempunyai nama demikian. Tapi
sampai lelah dia menguras benaknya tidak didapatkannya tokoh persilatan
yang mempunyai nama seperti itu.
"Kau belum mengemukakan alasanmu menghadang perjalanan
kami, Sangkala?!" ujar Kulana mengingatkan.
"Sederhana saja, Kulana," timpal Sangkala tenang.
"Apa?!"
"Membunuh kalian!"
"Keparat!" maki Kulana geram merasa dipermainkan Sangkala.
Dan....
Srattt!
Sinar terang menyilaukan mata berpendar ketika pimpinan
rombongan Perguruan Harimau Terbang mencabut pedangnya. Kejadian
yang menimpa Cakra menyebabkan Kulana tanpa ragu-ragu menghunus
senjata. Apalagi menyadari Sangkala seorang lawan yang tangguh.
"I Im!"
Sebuah dengusan pendek Sangkala menyambuti tindakan Kulana.
Seperti juga sebelumnya, pemuda berpakaian putih itu tetap bersikap tenang
seolah tidak ada bahaya maut mengancamnya.
"Cabut senjatamu, Sangkala!" seru Kulana melihat pemuda
berpakaian putih itu masih berdiam diri.
"Tidak usah berlagak gagah, Kulana!" ejek Sangkala, "Seranglah
aku! Jangan ragu-ragu untuk mengeluarkan seluruh kemampuanmu."
"Sombong! Ingat, Sangkala! Bukan aku yang bertindak curang
menyerang lawan yang tidak bersenjata. Tapi kau sendiri yang mengabaikan
kesempatan yang kuberikan!"
"Tidak usah banyak bicara! Kalau kau memang bukan pengecut,
serang aku!" tandas Sangkala tidak peduli.
Wajah Kulana langsung merah padam. Sepasang matanya berkilat-
kilat memancarkan amarah. Geram melihat sikap Sangkala yang terlalu
sombong. Maka....
"HaaatJ"
Diawali teriakan nyaring yang membuat suasana di sekitar tempat
itu bergetar hebat Kulana melancarkan serangan perdananya. Pedangnya
ditusukkan ke arah leher Sangkala!
Cittt!
Bunyi mencicit dari udara yang robek terdengar ketika pedang
Kulana meluncur menuju sasaran.
Cepat bukan main luncuran serangan itu. Tapi masih lebih cepat
gerakan Sangkala. Hanya dengan memiringkan kepalanya ke kanan, tanpa
bergeser dari tempatnya semula, Sangkala membuat serangan itu kandas.
Ujung pedang Kulana lewat beberapa jari di sebelah kiri leher Sangkala.
Melihat serangan perdananya berhasil dielakkan lawan dengan
mudah, Kulana jadi penasaran. Segera dikirimkan serangan susulannya.
Pedangnya diayunkan mendatar ke arah leher!
Wuttt!
Untuk yang kedua kalinya babatan pedang Kulana hanya mengenai
angin. Sangkala telah menarik kepalanya ke belakang. Dan hebatnya
gerakan itu dilakukan tanpa menggeser kaki!
Tapi Kulana tidak putus asa. Bahkan sebaliknya! Serangan-
serangan yang dikirimkannya semakin dahsyat. Pedangnya berkelebatan
cepat mengancam berbagai bagian berbahaya di tubuh Sangkala. Disertai
bunyi mencicit yang menyakitkan telinga.
Berturut-turut Kulana melancarkan serangan dahsyat. Tapi semua
berhasil dipunahkan Sangkala dengan mengelak tanpa menggeser kaki!
Laksana bayangan, tubuhnya digerakan ke sana kemari mengelakkan
serangan Kulana.
"Hih!"
Kulana menggertakkan gigi. Rasa marah dan sakit hati berkecamuk
di hatinya melihat serangan demi serangan yang dikirimkan dipatahkan
lawan dengan demikian mudah.
"Sekarang giliranku!"
Di antara bunyi riuh rendah berkelebatannya pedang Kulana
terdengar seruan Sangkala. Tapi Kulana yang tengah dilanda amarah tidak
mempedulikannya. Lelaki berkumis tebal itu terus melancarkan serangan.
Pedang di tangannya dikelebatkan ke berbagai bagian berbahaya di tubuh
Sangkala. Namun....
Tappp!
"Akh!"
2
Jeritan pendek bernada kaget keluar dari mulut Kulana ketika
batang pedangnya berhasil dicengkeram Sangkala. Kejadiannya
berlangsung sangat cepat dan tidak terduga-duga.
Meskipun demikian Kulana tidak kehilangan akal. Secepat batang
pedangnya tercengkeram secepat itu pula ditariknya seraya mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya. Tergambar di benaknya jari-jari Sangkala putus
tersayat mata pedangnya. Paling tidak tangan itu terluka! Dan bila hal itu
terjadi Sangkala pasti akan melepaskan cengkeramannya.
Tapi harapan Kulana pupus. Pedang itu sekali pun tidak bergeming
dari cengkeramana Sangkala, Seolah bukan dicengkeram tangan manusia
tapi jepitan baja! Betapa pun dikerahkan seluruh tenaganya, tetap saja tidak
bergeming!
Meskipun demikian Kulana tidak putus asa. Maksudnya tetap
diteruskan sampai wajahnya merah padam dan napasnya terengah-engah.
Berbeda dengan Kulana, keadaan Sangkala biasa saja. Tidak terlihat tanda-
tanda pemuda itu mengerahkan tenaganya. Raut wajahnya tetap seperti
semula. Tenang dan dingin.
Semua kejadian itu disaksikan dengan jelas oleh semua anggota
Perguruan Harimau Terbang. Terutama Cakra dan rekannya yang berada di
bagian depan. Tanpa diberitahu mereka mengerti pimpinannya berada
dalam kedudukan yang tidak menguntungkan!
Sadar jika keadaan itu dibiarkan akan membahayakan keselamatan
Kulana, Cakra dan rekannya segera bertindak! Bagai telah disepakati
sebelumnya, keduanya menghunus senjata dan melompat ke dalam kancah
pertarungan.
Sing sing sing...!
Bunyi mendesing terdengar ketika dua batang pedang itu meluncur
ke arah leher Sangkala. Cakra mengirimkan serangan dari sebelah kanan,
sedangkan rekannya dari kiri. Kedua serangan itu dilakukan dari atas.
Tindakan itu seperti gerakan seekor burung garuda hendak menerkam
mangsa.
Hebat dan cepat serangan gabungan ini. Namun tanggapan yang
diberikan Sangkala jauh lebih cepat. Sekali jari-jari tangannya yang
mencengkeram, bergerak terdengar bunyi 'tak', disusul patahnya pedang
Kulana! Padahal saat itu Kulana tengah bersitegang menarik senjatanya!
Kelanjutan kejadian itu sudah dapat diduga! Kulana terdorong
deras ke belakang terbawa tenaga tarikannya. Potongan pedangnya
tergenggam di tangan!
Di saat itulah Sangkala bertindak! Tangan kanannya dikibaskan!
Singngng!
Seketika itu pula potongan pedang Kulana meluncur dalam
kecepatan tinggi ke arah pemiliknya! Sementara Kulana masih terbawa
tenaga tarikannya. Keadaan pimpinan rombongan Perguruan Harimau
Terbang sangat berbahaya!
Tindakan Sangkala tidak berhenti sampai di situ. Kedua tangannya
disampokkan ke atas.
Trakkk, trakkk, cappp!
"Akh...!"
Luar biasa! Dalam waktu sekejap rentetan peristiwa itu terjadi!
Kegagalan Cakra dan rekannya karena serangan mereka berhasil
dipunahkan Sangkala dengan sampokan tangannya yang membuat pedang
mereka patah hampir bersamaan dengan amblasnya potongan pedang
Kulana di perut majikannya sendiri. Kulana memekik kesakitan!
"Kakang...!"
Cakra dan rekannya menjerit kaget melihat kejadian yang
menimpa Kulana. Jeritan itu langsung keluar begitu keduanya berhasil
mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka melayang akibat
sampokan Sangkala.
Seiring keluarnya jeritan itu Cakra dan rekannya meluruk ke arah
Kulana yang berdiri limbung sambil memegangi perutnya. Sungguh
tangguh daya tahan Kulana. Dia mampu berdiri di tanah dengan kedua kaki.
Padahal potongan pedang amblas di dalam perutnya.
Bukan hanya Cakra dan rekannya yang meluruk ke arah lelaki
berkumis tebal itu. Anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang yang
lainnya pun melakukan hal yang sama. Sedangkan Sangkala hanya tertawa-
tawa. Tawa gembira penuh dengan nada ejekan.
Masih dengan tawa yang tidak putus, Sangkala memperhatikan
semua kesibukan rombongan Perguruan Harimau Terbang. Tampak
olehnya. Cakra dan kawan-kawannya mengerumuni Kulana. Tubuh
pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang itu setengah terbaring di
tanah. Kalau tidak ada tangan Cakra yang menegakkan punggungnya, pasti
tubuh Kulana terbaring.
"Kakang...! Kuatkan hatimu...! Kau akan sembuh. Kang," ucap
Cakra terbata-bata dengan suara bergetar.
Terlihat jelas kesedihan Cakra, baik dalam nada suara maupun
tarikan wajahnya. Gambaran perasaan yang sama membias di wajah semua
anggota Perguruan Harimau Terbang.
"Tidak, Cakra, Hhh... hhh.... Aku ti... tidak kuat lagi. Hhh... hhh....
Lak., laksanakan tugas kalian se... sebaik-baiknya. Dan... akh...!"
Seiring dengan terkulainya kepala Kulana nyawanya pun melayang
ke alam baka.
"Kang...! Kakang Kulana...!"
Dengan kalap Cakra mengguncang-guncangkan tubuh Kulana.
Sikap lelaki pendek kekar itu menunjukkan ketidakrelaannya akan kematian
Kulana. Sebab Kulana adalah kakak kandung Cakra!
Tawa gembira penuh ejekan membuat Cakra dan rekan-rekannya
teringat kembali akan keberadaan Sangkala. Seiring dengan itu, perasaan
geram dan keinginan untuk membalas dendam pun timbul.
"Tenangkanlah hatimu. Kang. Akan kubalaskan semua sakit
hatimu!" sambil berkata demikian, dengan hati-hati Cakra membaringkan
tubuh Kulana di tanah. Kemudian dirinya kembali berdiri dan menatap
Sangkala. Terlihat jelas sinar kemarahan dan kebencian di sana!
"Kubunuh kau. Iblis Keji!" desis Cakra dengan suara bergetar.
Lalu....
Srattt!
Sinar terang berpendar ketika lelaki pendek kekar yang tengah
dilanda amarah itu mencabut pedangnya.
Bukan hanya Cakra yang menghunus senjata. Enam rekannya pun
melakukan tindakan yang sama. Dalam cekaman perasaan marah,
rombongan Perguruan Harimau Terbang seperti tidak mempedulikan sikap
gagah lagi.
Walaupun lawan yang akan dihadapi hanya seorang dan bertangan
kosong. Sementara, mereka berjumlah tujuh orang! Dan masih ditambah
lagi dengan senjata di genggaman! Kelihatan sangat tidak adil!
Tapi Sangkala tidak mempedulikan hal itu. Sikap yang
ditunjukkannya malah menyiratkan dia memandang remeh lawan-lawannya.
Pemuda itu tetap tenang, meskipun rombongan Perguruan Harimau Terbang
telah melakukan penyerangan.
"Haaat.J"
Diawali teriakan keras. Cakra yang sudah tidak kuat menahan
amarahnya mulai bergerak. Rekan-rekannya mengikuti. Mereka tahu Cakra
bukan tandingan Sangkala yang hebat. Kalau tidak dibantu, lelaki pendek
kekar itu akan tewas di tangan lawan.
Pertarungan pun tidak bisa dihindarkan lagi. Tujuh orang gagah
dari Perguruan Harimau Terbang menyerang laksana macan luka. Pedang-
pedang di tangan mereka berkelebat cepat mengancam berbagai bagian
tubuh Sangkala.
Tapi Sangkala tetap tenang. Ditunggunya hingga serangan-
serangan itu menyambar dekat. Baru setelah hampir menyentuh tubuhnya,
pemuda berpakaian putih itu memberikan tanggapan.
Menggiriskan sekali tindakan Sangkala! Babatan, tetakan, dan
tusukan senjata lawan dipapakinya dengan tangan kosong. Bunyi berdetak
keras seperti logam-logam keras beradu terdengar ketika sepasang tangan
Sangkala berbenturan dengan senjata-senjata lawan.
Kedua tangan Sangkala sedikit pun tidak terluka! Malah
sebaliknya, setiap kali terjadi benturan, tubuh anggota Perguruan Harimau
Terbang terhuyung-huyung ke belakang.
Meskipun demikian, mereka tidak gentar. Tanpa mempedulikan
rasa sakit, rombongan Perguruan Harimau Terbang kembali melancarkan
serangan. Pertarungan sengit kembali berlanjut.
***
Tapi setelah pertarungan berlangsung hampir sepuluh jurus,
rombongan Perguruan Harimau Terbang harus mengakui kehebatan
Sangkala. Sebenarnya sejak semula pun sudah dapat diketahui kalau
Sangkala terlalu tangguh untuk dihadapi mereka. Cakra dan kawan-
kawannya tak ubahnya semut-semut yang menerjang api, roboh sebelum
berhasil mendekati sasaran.
"Ha ha ha...! Hanya sampai di sinikah kemampuan kalian? Benar-
benar mengecewakan!" ujar Sangkala keras mengatasi bisingnya suasana
pertarungan. Jelas pemuda itu mengerahkan tenaga dalamnya.
Tidak ada tanggapan dari anggota rombongan Perguruan Harimau
Terbang. Walaupun sebenarnya hati mereka terbakar karena perasaan geram
yang melanda, yang dilakukan mereka hanya semakin memperhebat
serangan. Tapi rupanya Sangkala tidak mempedulikan ada tanggapan atau
tidak. Ini terbukti beberapa saat kemudian!
"Bersiaplah kalian! Sekarang aku akan membalas...!" usai berkata,
Sangkala menjejakkan kaki. Seketika itu pula tubuhnya mencelat tinggi ke
atas melewati kepala para pengeroyoknya. Lalu....
Jliggg!
Ringan laksana daun kering, Sangkala mendaratkan kedua kakinya
di tanah di luar kepungan. Kemudian tanpa menunggu lebih lama lagi kedua
tangannya dikembangkan seperti unggas membuka sayap.
Sangkala menyusun jari-jarinya membentuk cakar aneh. Kaki
kanannya berada di depan agak dijinjitkan. Sedangkan kaki kirinya di
belakang sedikit menekuk. Inilah jurus 'Kelelawar' andalannya. Cukup aneh
pembukaan jurus 'Kelelawar' Sangkala. Tak heran jika rombongan
Perguruan Harimau Terbang terkejut bercampur heran.
Tapi hanya sesaat Cakra dan kawan-kawannya dikungkung
perasaan heran. Kemudian dengan diawali teriakan-teriakan keras
memekakkan telinga, mereka meluruk ke arah Sangkala. Pedang di tangan
mereka siap dikelebatkan.
"Cit, cit, cit!"
Bunyi mendecit terdengar dari mulut Sangkala. Nyaring dan
menyakitkan telinga. Belum lagi gema suara itu lenyap, Sangkala
melakukan tindakan yang sama dengan lawan-lawannya. Pemuda itu
memapaki serbuan rombongan Perguruan Harimau Terbang.
Melihat kenyataan itu. Cakra tidak tinggal diam. Tanpa
membuang-buang waktu mereka segera menyambut papakan Sangkala
dengan ayunan pedang.
Sing sing sing...!
Crat, erat, erat!
"Akh, akh, akh...!"
Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat sehingga sulit
untuk dirinci. Yang jelas, jeritan menyayat itu keluar susul-menyusul dari
mulut rombongan Perguruan Harimau Terbang.
Tubuh mereka berpentalan ke belakang. Jatuh berdebuk di tanah.
Berkelojotan sejenak sebelum akhirnya diam untuk selamanya. Cakra dan
rekan-rekannya tewas dengan mengenaskan. Cakar-cakar Sangkala telah
meminta korban.
"Ha ha ha...!"
Sangkala tertawa tergelak keras dan penuh kegembiraan.
Dipandanginya mayat ketujuh lawannya sejenak. Mereka korban
kedahsyatan jurus 'Kelelawar'nya.
Jurus 'Kelelawar' memang sangat dahsyat! Dalam penggunaan
ilmu itu tubuh Sangkala jadi demikian ringan. Kecepatan geraknya
menakjubkan. Dengan mengandalkan kecepatan gerak itulah Sangkala
berhasil membinasakan lawan-lawannya. Ketujuh anggota Perguruan
Harimau Terbang tewas terkena sambaran cakar pemuda berpakaian putih
itu.
Masih dengan tawa yang belum putus Sangkala mengalihkan
perhatian ke arah kereta. Pertama kali yang dilihatnya adalah kusir kereta.
Lelaki anggota Perguruan Harimau Terbang itu meremang bulu kuduknya.
Nyalinya langsung menciut. Disadarinya dia bukan tandingan Sangkala
yang sangat menggiriskan!
Keyakinan akan ketidakmampuan dirinya membuat kusir itu
mengambil tindakan pengamanan. Inilah tindakan yang diambil.
Ctar, ctar, ctar!
"Hiya! Hiyaaa...!"
Dengan perasaan kalap yang tergambar jelas di wajahnya, lelaki itu
menggebah kuda. Binatang tunggangan itu pun berlari.
"Hmh!"
Sangkala mendengus melihat tindakan sang Kusir! Dengan sorot
mata bengis tangannya ditudingkan ke arah binatang penghela kereta.
"Cit, cit, cit!"
Terdengar bunyi mendecit yang menyakitkan telinga. Sesaat
kemudian, akibat yang mengagumkan segera terjadi. Lari kuda penarik
kereta langsung berhenti.
Kusir kereta tampak sangat kebingungan. Perasaan takut yang
mendera membuatnya tidak dapat berpikir panjang. Cambuk di tangannya
dilecutkan ke bagian belakang tubuh kuda!
Ctar, ctar, ctar!
Keras bukan main bunyi yang terdengar. Sang Kusir telah
mengerahkan segenap tenaganya.
Tapi sampai lelah dia melecutkan cambuknya kuda itu tetap diam!
Hingga lelaki itu sadar tindakannya sia-sia. Meskipun tidak mengetahui
bagaimana hal itu terjadi, tapi dia yakin Sangkala telah menotok kudanya
dari jauh!
Kusir kereta itu pun menjadi nekat. Pedang yang tergantung di
punggungnya segera dicabut lalu melompat turun.
Jliggg!
Begitu kedua kakinya menginjak tanah, secepat itu pula ia
melancarkan serangan ke arah Sangkala. Pedangnya diputar seperti kitiran,
kemudian ditusukkan ke dada lawan. Sangkala tersenyum mengejek melihat
serangan itu. Ditunggunya hingga dekat, baru kemudian tangannya bergerak
cepat.
Tappp!
Mata pedang anggota Perguruan Harimau Terbang itu berhasil
ditangkap Sangkala. Dan sebelum lawannya sempat berbuat sesuatu,
Sangkala telah bertindak lebih dulu. Sebagian tenaga dalamnya dikerahkan
untuk mendorong pedang yang dicengkeramnya. Akibatnya....
Cappp!
"Akh.J"
Kusir kereta yang malang itu mengeluarkan jeritan menyayat
ketika pedangnya menancap di perut hingga tembus ke punggung. Tentu
saja dengan gagang lebih dulu.
Wajah sisa anggota Perguruan Harimau Terbang menegang
menahan rasa sakit yang sangat. Sepasang matanya membelalak lebar.
Namun itu hanya berlangsung sekejap. Begitu Sangkala melepaskan
cekatannya, tubuh kusir itu pun ambruk Dan seiring dengan robohnya tubuh
itu nyawanya melayang ke alam baka!
"Ha ha ha...!"
Entah untuk yang keberapa kali Sangkala mengumbar tawa
kegembiraan. Hanya kali ini lebih singkat dari sebelumnya.
Setelah menghentikan tawa, Sangkala mengayunkan langkah
menghampiri kereta kuda. Kelihatannya sembarangan saja kakinya
dilangkahkan, tapi hasil yang dicapai benar-benar menakjubkan! Sekali
mengayun kaki pemuda itu telah berada di dekat kereta.
"Hih!"
Brakkk!
Daun pintu kereta lepas dengan menimbulkan bunyi keras ketika
tangan Sangkala yang berisi tenaga dalam menariknya.
"Auwww...!"
Teriakan melengking nyaring terdengar seiring jebolnya pintu
kereta. Jeritan itu menunjukkan pemiliknya seorang wanita!
Dugaan itu memang tidak salah! Di dalam kereta duduk dengan
tubuh menggigil seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Meskipun
sebagian wajahnya tertutup oleh kedua tangan, tampak wajahnya yang
cantik. Kulitnya putih, halus, dan mulus. Pakaian indah berwarna hijau
pupus membungkus tubuh montoknya. Agaknya gadis itu berasal dari
keluarga berada.
"Hmh!"
Sorot kekejaman segera membayang di wajah dan sepasang mata
Sangkala ketika melihat isi kereta.
Sementara gadis berpakaian hijau semakin ketakutan. Disadarinya
ada bahaya mengancam. Maka tanpa pikir panjang, masih dengan jeritan-
jeritan minta tolong, dibukanya pintu kereta yang lain.
Kriiit.J
Seiring dengan terbukanya pintu kereta, gadis berpakaian hijau
melompat keluar. Sudah bisa diduga maksudnya. Apalagi kalau bukan
hendak Melarikan diri?
"Akan lari ke mana kau. Makhluk Jahanam?!" desis Sangkala
penuh ancaman.
Tidak hanya itu saja! Tanpa merasa kasihan sedikit pun,
diambilnya sebutir kerikil dan dilemparkan ke arah gadis berpakaian hijau.
Wuttt! Tukkk!
"Akh!"
Tubuh gadis berpakaian hijau tersungkur ke tanah diiringi jeritan
kesakitan. Batu yang dilemparkan Sangkala mengenai belakang lututnya.
Gadis berpakaian hijau itu belum sempat berbuat sesuatu ketika Sangkala
melesat menyambar tubuhnya dan membawanya kabm.
"Tolooong...! Lepaskan aku. Iblis Keji...!" teriak gadis berpakaian
hijau, kalap.
Tapi Sangkala tidak peduli. Pemuda itu terus berlari. Hanya
beberapa kali lesatan, tubuhnya telah lenyap dari tempat itu.
3
"Apa kau mendengarnya. Melati?" tanya seorang pemuda
berpakaian ungu sambil menghentikan ayunan langkahnya. Saat itu pemuda
berpakaian ungu tengah berjalan bersisian dengan seorang gadis berpakaian
putih di dalam sebuah hutan.
"Mendengar apa. Kang?" gadis berpakaian putih yang dipanggil
Melati balas bertanya. Sepasang matanya yang bening dan indah menatap
wajah pemuda berpakaian ungu penuh selidik.
Pemuda berpakaian ungu yang berambut panjang, berwarna putih
keperakan tidak segera menjawab. Dia tercenung sejenak seperti tengah
memikirkan sesuatu.
"Teriakan minta tolong. Apa kau mendengarnya?" tanya pemuda
berambut putih keperakan lebih jelas.
"Tidak, Kang Arya," jawab Melati setelah menelengkan kepala
sebentar untuk mendengar jeritan yang dimaksud.
"Sekarang memang sudah tidak terdengar lagi, Melati," jawab
pemuda berpakaian ungu yang tidak lain Arya Buana yang berjuluk Dewa
Arak.
"Sejak tadi pun aku tidak mendengar apa-apa. Sebenarnya...,
apakah kau mendengarnya, Kang?" Melati jadi penasaran.
"Benar, Melati," Arya menganggukkan kepala, "Memang samar
dan tidak begitu jelas. Tapi, aku tahu orang yang meminta tolong itu
seorang wanita. Nadanya melengking tinggi. Sepertinya dia sangat
ketakutan!"
"Apakah tidak mungkin kau salah dengar saja. Kang?" Melati
meragukan pendengaran kekasihnya.
"Aku yakin tidak salah dengar. Melati," mantap dan tegas kata-kata
Arya.
"Kalau begitu, apa lagi yang harus ditunggu? Ayo kita selidiki.
Kang!" ajak Melati penuh semangat.
Sambil berkata demikian, gadis berpakaian putih itu bersiap-siap
melesat meninggalkan tempat itu. Tapi, sekujur urat-urat saraf dan otot-otot
tubuhnya yang telah menegang langsung mengendur kembali. Arya tidak
menunjukkan tanda-tanda akan meninggalkan tempat itu.
"Suara yang tertangkap telingaku terlalu lemah. Melati. Jadi tidak
bisa kupastikan dari mana datangnya. Kalau saja terdengar lagi, meskipun
hanya sekali, mungkin bisa kuketahui arahnya," Arya menerangkan
keengganannya melakukan pengejaran.
"Bagaimana kalau kita mencarinya. Kang? Aku yakin asalnya dari
hutan ini!" usul Melati bersemangat.
Pemuda berambut putih keperakan menatap wajah kekasihnya
sebentar sebelum menganggukkan kepala menyetujui.
"Asal kau tahu saja. Melati. Hutan ini cukup luas. Mencari asal
suara tadi tanpa mengetahui arahnya seperti mencari jarum dalam tumpukan
jerami! Sulit!"
"Tapi... biar bagaimanapun itu lebih baik daripada kita berdiam diri
di sini. Kang!" bantah Melati tak mau kalah, "Aku yakin... kita akan
berhasil menemukan sumber suara itu. Mudah-mudahan kita dapat
menolongnya?"
"Yang kau katakan tidak salah. Melati," sahut Arya membenarkan.
"Mari kita cari sumber jeritan itu."
Melati menyunggingkan senyum manis. Sesaat kemudian,
sepasang muda-mudi itu mulai melakukan pencarian. Mereka mencari
dengan lambat karena mereka tidak tahu arah yang harus ditempuh. Sambil
menindakkan kaki, pendengarannya dipasang tajam-tajam. Itu dilakukan
karena sepercik harapan yang bergayut di hati. Barangkali saja jeritan itu
kembali terdengar.
Cukup lama juga pasangan pendekar muda itu mencari. Tak jarang
mereka harus memapas semak-semak yang menghalangi jalan mereka.
Sampai akhirnya....
"Melati...," sapaan Arya membuat gadis berpakaian putih itu
menoleh.
"Ada apa. Kang?" tanya Melati ingin tahu. Gadis itu tahu Arya
tidak akan memanggilnya bila tidak ada sesuatu yang ingin diberitahu.
"Lihat itu. Melati," jawab Arya menudingkan telunjuknya ke tanah.
Melati mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk kekasihnya.
Gadis itu melihatnya. Ada lekukan selebar dua jari di tanah tidak tertutup
rumput. Lekukan itu memanjang. Jumlahnya tidak satu, tapi dua. Jarak
antara keduanya terpisah sekitar setengah tombak.
"Bukankah ini bekas gilasan roda kereta. Kang?" duga Melati
meminta pendapat kekasihnya.
"Benar, Melati," jawab Arya menganggukkan kepala.
"Berarti mulai ada titik terang yang dapat membantu kita menuju
sasaran. Kang."
"Kira-kira begitu. Melati," Arya memberikan persetujuan. "Aku
yakin bekas roda kereta ini mempunyai hubungan dengan asal jeritan yang
sedang kita selidiki."
"Benar, Kang," dukung Melati atas dugaan Arya, "Bahkan aku
mempunyai dugaan."
"Dugaan? Apa, Melati? Katakanlah, jangan ragu-ragu," timpal
Arya memberi dorongan.
"Jeritan yang kau dengar berasal dari orang yang menaiki kereta
ini. Dia menjerit karena dicegat perampok-perampok?!" urai Melati.
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya pemuda itu
menyetujui dugaan yang diajukan Melati.
"Sekarang titik terang telah berhasil kita dapatkan. Melati. Hanya
saja yang menjadi tanda tanya, arah mana yang harus kita tempuh? Ingat,
kita tidak lahu arah yang ditempuh kereta kuda ini. Yang jelas salah satunya
adalah tempat asal kepergiannya. Jadi, jangan sampai kita salah
memilihnya. Kupercayakan padamu arah yang harus kita tempuh. Ba¬
gaimana, Melati. Mana arah yang harus dipilih ?"
Mendapat kepercayaan itu. Melati tidak berani bertindak
sembarangan. Disadarinya kalau arah yang diambil benar, mereka akan
menemukan pemilik suara itu. Bahkan bukan tidak mungkin dapat
menyelamatkannya.
Itu sebabnya Melati tidak segera menjawab. Diperhatikannya
guratan roda kereta itu beberapa saat. Melati berjongkok untuk melihat
lebih jelas tanda-tanda yang ada. Beberapa saat kemudian. Melati berhasil
menetapkan pilihan.
"Kupilih yang ini. Kang!" tunjuk Melati.
"Kalau begitu, mari kita bergegas!" sambut Arya cepat.
Pemuda berambut putih keperakan itu tidak perlu menunggu lama
untuk mendapatkan tanggapan atas ajakannya. Melati langsung melangkah
lebar mengikuti jejak-jejak yang terlihat.
Arya dan Melati harus berhati-hati sekali. Bebarapa kali jejak roda
kereta itu tidak tampak. Bahkan tidak berbekas sama sekali ketika melewati
tanah berumput tebal. Tapi syukurlah berkat keuletan mereka pencaharian
itu sampai pada tempat Sangkala melakukan penghadangan.
"Kakang! Lihat...!" seru Melati sambil menudingkan jari telunjuk
kanannya ke depan.
Sebenarnya tanpa diberitahu, Arya melihat semua itu.
Pemandangan itu demikian mencolok! Sehingga meskipun jarak mereka
masih sepuluh tombak, telah terlihat cukup jelas.
Cukup menggiriskan hati, pemandangan yang terpampang di
hadapan sepasang pendekar muda berwajah elok itu. Mayat-mayat anggota
Perguruan Harimau Terbang berserakan di sana-sini dalam keadaan
mengenaskan. Sementara tak jauh dari situ tampak sebuah kereta dengan
binatang penghelanya yang masih berdiri kaku seperti patung.
Melati yang mempunyai watak tidak sabarar, segera mengayunkan
kaki mendekati tempat bergeletakannya mayat-mayat itu. Tapi...
"Tunggu, Melati!" teriakan itu membuat Melati menghentikan
maksudnya. Ditolehnya Arya dengan sorot mata penuh pertanyaan.
"Jangan bertindak gegabah. Siapa tahu pelaku semua kekejian ini
belum pergi!" Arya menjelaskan maksud cegahannya.
Melati terdiam. Ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam
ucapan kekasihnya. Maka meskipun kakinya tetap diayunkan mendekati
tempat mayat-mayat itu tergolek, tindakannya lebih berhati-hati.
Bukan hanya gadis berpakaian putih itu saja yang bersikap
waspada. Dewa Arak pun demikian. Sekujur otot dan urat saraf mereka
menegang. Pendengaran dan penglihatan mereka dipasang setajam
mungkin, siap menghadapi segala kemungkinan.
Tapi tindakan hati-hati yang dilakukan sepasang pendekar muda
itu sia-sia. Sampai mereka berada dekat dengan mayat Kulana serta rekan-
rekannya, kejadian yang tidak diharapkan tidak terjadi. Keadaan tetap aman.
"Bagaimana, Kang? Apa yang dapat kau simpulkan dari mayat-
mayat ini?" tanya Melati tetap dengan sikap waspada.
Dewa Arak tidak segera memberikan tanggapan. Pemuda itu
tercenung beberapa saat mencari jawaban.
"Tidak banyak. Melati. Tapi yang jelas dugaanmu harus diperbaiki.
Tidak benar orang-orang ini terbunuh karena dicegat perampok."
"Yaaah...!" desah Melati pelan. "Rasanya kau benar. Kang. Mayat-
mayat itu sepertinya berasal dari satu kelompok. Kurasa kepandaian mereka
cukup tinggi. Jadi andaikata yang melakukan penghadangan perampok-
perampok hutan ini, sudah pasti bila terjadi perkelahian di antara mereka
ada yang tewas! Padahal kenyataannya tidak. Berarti bukan perampok yang
telah mencegat perjalanan kelompok ini"
"Aku pun menduga demikian. Melati," dukung Arya, "Kalau tidak
satu tentu ada beberapa tokoh rimba persilatan yang mencegat perjalanan
mereka. Karena lawan terlalu kuat, mereka dapat dibinasakan."
"Aku setuju dengan dugaanmu. Kang. Kukira pun demikian!" seru
Melati keras.
Dewa Arak hanya mengangkat bahu, "Sekarang tinggal satu lagi
yang belum kita periksa yaitu kereta! Aku yakin orang yang berada di
dalam kereta merupakan tokoh penting. Buktinya dia dikawal!"
"Apakah dia pun mengalami nasib serupa. Kang?!"
"Jawaban itu hanya bisa diperoleh kalau kita menyelidiki kereta
itu. Melati," ucap Arya.
Melati sekilas mengalihkan pandangan ke arah kereta kuda,
"Sepertinya tidak ada kehidupan di sana. Jangan-jangan orang yang berada
di dalam kereta telah tewas. Lihat saja keadaan pintunya?!"
Arya diam saja. Apa yang dikatakan Melati benar. Tidak ada tanda
kehidupan dari kereta kuda itu. Meskipun demikian. Dewa Arak dan Melati
tetap mendekati kereta. Masih dengan sikap hati-hati. Maka....
"Kosong...?!" desis Arya dan Melati hampir bersamaan ketika telah
berada tepat di samping kereta
"Hm.J"
Dewa Arak bergumam sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Diperhatikannya pintu kereta yang sudah tidak berdaun lagi. Tanpa ada
yang menceritakan pun sudah bisa ditebak peristiwa yang telah terjadi.
"Isi kereta ini seorang wanita. Kang," ujar Melati. Melihat
kekasihnya tercenung dengan pandangan tertuju pada bagian dalam kereta.
"Yah...," sahut Arya mendesah seraya mengangkat wajahnya.
"Dialah yang berteriak-teriak minta tolong. Karena jaraknya terlampau jauh,
tidak terdengar jelas."
Kali ini Melati tidak memberikan tanggapan. Gadis itu berdiam
diri.
"Kita semakin mendekati sasaran. Melati. Mari teruskan pencarian
kita...," sambung Arya seraya mengayunkan langkah meninggalkan tempat
itu. Tanpa membantah Melati segera mengayunkan langkah, mengikuti
Arya yang telah melangkah lebih dulu.
***
Untuk kedua kalinya Arya dan Melati harus berusaha keras. Masih
sama dengan tujuan semula, mencari pemilik jeritan minta tolong.
Sepasang pendekar itu melakukan pencarian dengan penuh
seksama. Tak jarang semak-semak yang lebat dikuak. Mata mereka
diedarkan ke sana kemari. Pendengarannya pun dipasang setajam mungkin
agar dapat mendengar bunyi sepelan apa pun. Kesabaran serta kerja keras
Dewa Arak dan Melati ternyata tidak sia-sia.
"Ah...!"
Arya mengeluarkan seruan. Tapi lebih tepat keluhan. Suara yang
dikeluarkan demikian pelan dan dibarengi dengan menundukkan wajah.
Tentu saja tindakan Arya membuat Melati merasa heran.
Pandangannya diarahkan ke tempat pemuda berambut putih keperakan tadi
memandang. Dan....
"Ikh.J"
Jeritan kaget langsung keluar dari mulut Melati. Tanpa sadar
tangan kanannya ditutupkan ke mulut.
Memang tidak aneh kalau Melati sampai demikian terkejut dan
Arya menundukkan kepala! Tidak jauh dari mereka, dalam jarak sekitar tiga
tombak, terpampang tubuh seorang gadis berpakaian hijau dalam keadaan
mengerikan.
Betapa tidak? Tubuhnya menempel di sebatang pohon besar dengan
kedudukan tangan dan kaki merentang. Keadaannya amat menggiriskan
hati! Hampir sekujur tubuhnya dipenuhi darah oleh luka-luka sayatan.
Bahkan warna pakaiannya sebagian besar telah berganti merah karena noda
darah. Itu pun kalau masih bisa disebut pakaian. Karena sudah robek di
sana-sani. Keadaan gadis berpakaian hijau itu lebih mendekati orang yang
tidak berpakaian.
"Biadab!"
Setelah terdiam beberapa saat karena perasaan hatinya yang
terguncang, keluar juga sebuah makian Melati. Tarikan wajah dan sorot
matanya memancarkan kemarahan yang sangat.
"Keji!" sambung Arya geram, "Siapa pun pelakunya, dia tidak
pantas dibiarkan hidup lebih lama!"
Dengan perasaan marah berkobar di dada, Arya dan Melati
menghampiri. Jarak yang cukup jauh membuat mereka tidak dapat melihat
mengapa tubuh gadis berpakaian hijau itu dapat menempel di batang pohon.
Hanya dalam beberapa langkah pasangan pendekar muda itu dapat
mengetahui kenyataan itu membuat kemarahan mereka semakin bergejolak.
"Iblis!"
Hampir bersamaan makian itu keluar dari mulut Arya dan Melati.
Itu terjadi ketika keduanya telah melihat mengapa tubuh gadis malang itu
dapat menempel pada batang pohon! Pada kedua telapak tangan dan
kakinya ditancapkan ranting sebesar ibu jari yang tembus hingga ke batang
pohon! Keji!
"Kalau aku tidak dapat menemukan dan membasmi iblis keji ini,
biar aku mati saja!" janji Arya sungguh-sungguh. Untuk pertama kalinya
Dewa Arak mengambil keputusan akan membunuh calon lawannya.
Padahal tokoh itu belum dilihatnya.
"Kau benar. Kang. Tanganku pun sudah gatal ingin segera
mencekik hancur batang leher iblis keji itu!" sambung Melati tidak kalah
geramnya.
"Nanti itu akan kita lakukan. Melati. Sekarang yang paling penting
menguburkan mayat gadis itu! Lakukanlah, Melati," perintah Arya.
"Ah...!" Dewa Arak berseru tertahan.
Melihat perubahan wajah kekasihnya, Melati mengarahkan
pandangan ke tempat pemuda berambut putih keperakan tadi memandang.
Dan....
"Ikh...!" Jerit Melati terkejut saat melihat mayat seorang gadis
yang sekujur tubuhnya dipenuhi darah bekas luka-luka sayatan!
Gadis berpakaian putih segera melaksanakan perintah kekasihnya.
Hanya dengan sekali hentakan tubuhnya melayang ke atas! Entah
bagaimana caranya gadis itu melakukan, tapi begitu tubuhnya melayang
turun, di tangannya terpondong tubuh gadis berpakaian hijau.
Jliggg!
Ringan laksana sehelai daun kering Melati menjejakkan kedua
kakinya di tanah. Kemudian bersama-sama Arya dicarinya tempat yang
cocok untuk menguburkan gadis berpakaian hijau yang malang itu.
Baik Arya maupun Melati tidak tahu kalau gerak-gerik mereka
diperhatikan seekor kelelawar! Kalau diperhatikan memang aneh!
Mungkinkah ada kelelawar berkeliaran di siang hari? Jawabannya adalah
mustahil! Tapi karena kelelawar itu penjelmaan Sangkala,
ketidakmungkinan itu bisa saja terjadi.
Kelelawar hitam itu terus mengawasi perbuatan pasangan pendekar
muda itu. Bahkan sampai Melati menguburkan mayat gadis berpakaian
hijau. Sepasang matanya berpijar ketika mendengar ucapan Melati seusai
menguburkan mayat gadis itu.
"Siapa pun dirimu, aku berjanji akan membalas sakit hatimu. Akan
kucari pelaku tindak kekejian ini!" ucap Melati sambil mendongakkan
wajah.
"Hhh.J"
Arya menghela napas berat mendengar ucapan kekasihnya. Tidak
dicegahnya Melati mengucapkan janjinya. Pemuda itu tahu Melati merasa
geram pada pelaku kekejian itu. Dia pun dilanda perasaa yang sama.
Perlahan-lahan ditepuk-tepuknya pundak Melati untuk memberi ketabahan
hati.
Gadis berpakaian putih itu menoleh menatap wajah Arya sejenak.
Kemudian wajahnya dijatuhkan di pelukan kekasihnya. Pemuda berambut
putih keperakan itu mengusap-usap kepala Melati penuh kasih.
"Mari kita cari pelaku kekejian ini. Melati. Aku yakin dia belum
pergi jauh. Darah gadis yang malang itu masih hangat," ajak Arya pelan.
Melati hanya bisa menganggukkan kepala. Sesaat kemudian
pasangan pendekar muda itu melangkah meninggalkan tempat itu!
4
"Cit, cit, cit!"
Diiringi suara mendecit nyaring, kelelawar berbulu hitam meluncur
turun dari pohon tempatnya bertengger. Binatang malam itu turun ketika
Arya dan Melati telah jauh meninggalkan tempat itu.
Bluppp!
Bunyi letupan pelan terdengar. Disusul dengan munculnya asap
putih yang cukup tebal. Sebelum asap itu sirna dari pandangan, berdiri
tegak seorang pemuda berpakaian putih yang tidak lain Sangkala! Pemuda
itu menatap kuburan gadis berpakaian hijau dengan sinar mata yang sulit
diartikan.
"Kau korban pertamaku. Wanita Sundal! Masih banyak lagi wanita
lain yang akan bernasib sama sepertimu," desis Sangkala dengan nada
kejam sehingga terdengar menyeramkan.
Yang lebih menyeramkan lagi suara itu dikeluarkan tanpa
menggerakkan bibir sedikit pun! Dari sini bisa diduga ketinggian ilmu
pemuda berpakaian putih itu. Hanya orang-orang yang berkepandaian
tinggilah yang mampu melakukan hal itu.
"Trijati..., sebenarnya kaulah yang harus jadi korban pertamaku,"
desis Sangkala masih tanpa menggerakkan bibir. Tapi biarlah kau menjadi
korban berikutnya.
Mengucapkan nama Trijati membuat Sangkala teringat akan
kejadian beberapa bulan lalu. Kejadian yang membuatnya tersesat ke Bukit
Kematian.
***
Matahari belum menampakkan diri. Hari masih terlalu pagi. Tapi,
dalam suasana seperti itu Sangkala sudah keluar meninggalkan bangunan
Perguruan Banteng Putih, perguruannya. Entah mengapa pemuda itu sendiri
tidak tahu. Yang jelas dia ingin pergi ke sungai dan mandi!
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang cukup tinggi, tanpa
membutuhkan waktu terlalu lama, Sangkala telah berada di dekat tempat
yang ditujunya. Semula Sangkala ingin segera terjun ke sungai, tapi suara-
suara yang tertangkap telinga membuat pemuda itu membatalkan
maksudnya. Suara orang bercakap-cakap diselingai percikan air. Suara wa¬
nita.
Seketika itu pula muncul dorongan kuat di hati Sangkala untuk
melakukan hal yang tidak pantas. Dia tahu di sungai itu ada wanita-wanita
sedang mandi. Dengan detak jantung yang lebih cepat Sangkala
menghampiri asal suara itu. Pemuda berpakaian putih itu tampak hati-hati
sekali. Dia tidak ingin tindakannya diketahui.
Usaha Sangkala tidak sia-sia. Pemuda itu berhasil mencapai tempat
yang diinginkan untuk melakukan tindakan tidak pantasnya. Sangkala
bersembunyi di balik sebuah batu besar dan mengintai ke sungai. Deggg!
Dada Sangkala bagai diseruduk kerbau liar ketika melihat
pemandangan yang terpampang di hadapannya. Dua orang gadis tengah
mandi di sungai dalam keadaan bugil!
Dalam keremangan suasana dini hari tampak cukup jelas lekuk-
lekuk tubuh dua gadis itu. Dengan susah payah Sangkala menelan ludah
membasahi tenggorokannya yang mendadak terasa kering. Dua gadis itu
dikenalnya betul. Mereka adalah kembang-kembang desanya Desa Kawung.
Wulan dan Widuri nama gadis itu.
Sangkala merayapi tubuh Wulan dan Widuri dengan lahap.
Memang diam-diam Sangkala menaruh hati pada kembang-kembang Desa
Kawung itu. Sayangnya Sangkala bukan termasuk lelaki yang berani
mendekati wanita. Tambahan lagi wajahnya tidak bisa diandalkan. Sangkala
berwajah buruk. Kulitnya hitam dan wajahnya dipenuhi bopeng. Tak aneh
jika gadis-gadis, apalagi Wulan dan Widuri, tidak pernah menghiraukannya.
Itu sebabnya kesempatan bagus itu tidak disia-siakan Sangkala.
Akibat selanjutnya pun harus ditanggung. Sangkala merasa napasnya mulai
memburu. Pikiran-pikiran jelek bermunculan di benaknya.
Meskipun demikian maksud jelek itu hanya sampai di pikiran,
tidak sampai pada pelaksanaan. Sangkala adalah murid Perguruan Banteng
Putih, sebuah perguruan silat aliran putih. Pemuda itu telah mendapat
didikan menjadi seorang pendekar.
Karena itu, betapa pun keinginan melaksanakan pikiran-pikiran
yang ada di benaknya demikian besar, Sangkala tidak mau melakukannya.
Apalagi terhadap kedua orang gadis yang dikenalnya.
Rasanya keadaan akan berlangsung seperti itu jika saja tidak terjadi
sebuah peristiwa yang mengejutkan hati. Tanpa sengaja kaki Sangkala
menyentuh sebuah batu. Sialnya batu itu bulat dan terletak di tempat yang
tidak memungkinkannya diam bila tersenggol!
Dengan diiringi bunyi riuh rendah, batu itu menggelinding ke arah
sungai. Tempat Sangkala bersembunyi letaknya memang lebih tinggi dari
sungai. Tak heran bila batu itu menuju ke sana.
Bunyi yang cukup berisik itu menarik perhatian Wulan dan
Widuri. Keduanya segera menghentikan kesibukan dan memandang
berkeliling. Tubuh mereka direndam ke dalam sungai. Sekarang yang me¬
nyembul dari permukaan air mulai dari bagian dada atas. Dugaan jelek
muncul di benak dua kembang Desa Kawung itu.
"Siapa di situ? Cepat tunjukkan diri!" seru gadis yang bertahi lalat
di pipi. Itulah Widuri.
"Benar! Kalau tidak, kami akan berteriak! Biar orang-orang desa
datang dan menangkapmu!" timpal Wulan mengancam.
Ucapan itu terpaksa dikeluarkan Wulan ketika telah menunggu
beberapa saat tidak ada tanda-tanda munculnya sosok tubuh yang
mengintai. Sementara itu Sangkala mulai bingung. Diam-diam disesalinya
keberadaan batu itu. Kalau tidak, Wulan dan Widuri tidak akan curiga.
"Kuhitung sampai tiga!" sambung Wulan "Bila tidak mau
menunjukkan diri, kami akan berteriak agar orang-orang desa kemari."
Karuan saja ucapan Wulan membuat Sangkaia semakin kelabakan.
Perasaan gelisah melanda hatinya. Dia khawatir Wulan dan Widuri
melaksanakan ancamannya. Dapat dibayangkan betapa malu dirinya nanti.
Sementara itu Wulan mulai menghitung.
"Satu..., dua..., ti...!"
"Tunggu!"
Sangkala menunjukkan diri. Pemuda berwajah bopeng itu akhirnya
mengambil keputusan seperti itu. Di benaknya telah dirancang alasan-alasan
yang akan dikemukakan karena keberadaannya di tempat itu. Tentu saja dia
mengharapkan kedua gadis manis itu mau mengerti. Tapi harapan Sangkala
tampaknya tidak terwujud.
"Kau...?! Jadi kau yang telah mengintip kami mandi?!" tanya
Wulan tanpa menyembunyikan rasa jijiknya.
"Cihhh! Manusia tak tahu diri! Apa kau tidak bercermin?! Dasar
Kadal Buduk!" timpal Widuri tak kalah kasar.
"Cepat pergi dari sini. Binatang!" usir Wulan tanpa kenal rasa
kasihan.
"Benar! Cepat pergi! Atau... kau ingin kami panggil orang-orang
desa kemari?" ancam Widuri.
Sangkala hanya berdiri terpaku. Untung saja suasana masih
remang-remang. Kalau tidak, akan terlihat jelas betapa wajahnya berubah-
ubah. Sebentar merah sebentar putih.
Sangkala sungguh tidak menyangka akan seperti ini sambutan
yang diterimanya. Pemuda itu menyadari kesalahannya dan keburukan
rupanya. Tapi tidak berarti seenaknya saja orang mempermalukan dirinya.
Sangkala mempunyai perasaan yang peka. Tak heran jika dia tersinggung
bukan main mendapat perlakuan seperti itu.
Rasa sakit hati membuat otaknya tidak dapat berpikir jernih. Yang
ada di benaknya hanya satu, membalas sakit hati ini! Itu sebabnya pemuda
itu bukannya menyingkir malah menghampiri Wulan dan Widuri. Tentu
saja tindakan Sangkala membuat kedua gadis manis itu kaget. Mereka
saling pandang dengan perasaan gugup.
"Pergi kau. Kadal Buduk!" maki Widuri. "Benar! Pergi, manusia
tak tahu diri!"
Tapi Sangkala tidak mempedulikan ucapan kedua kembang desa
itu. Kakinya tetap diayunkan menghampiri kedua gadis itu. Mulutnya
mendesiskan ancaman,
"Orang-orang seperti kalian memang harus diberi pelajaran biar
tidak seenaknya menghina orang...."
Melihat Sangkala terus saja menghampiri, Widuri dan Wulan jadi
ketakutan. Mereka merasa ada bahaya mengancam. Tanpa mempedulikan
keadaan tubuh yang polos, keduanya saling mendahului berlari ke darat
sambil berteriak-teriak minta tolong.
"Tolooong...! Tolooong...!"
Suasana dini hari yang hening pun pecah oleh suara teriakan
Wulan dan Widuri. Hingga Sangkala merasa khawatir. Pemuda itu takut
sebelum maksudnya terlaksana, para penduduk Desa Kawung telah datang
lebih dulu. Maka diputuskannya untuk bertindak cepat.
Dengan beberapa kali lesatan, Sangkala telah menghadang jalan
Wulan dan Widuri. Itu tidak aneh. Kedua kembang Desa Kawung itu tidak
mempunyai kemampuan bela diri seperti halnya Sangkala. Dan sebelum
Widuri dan Wulan menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, tangan Sangkala
telah bergerak menotok.
Tuk, tukkk!
"Akh!"
Disertai keluhan lirih, tubuh mereka terkulai lemas. Sudah dapat
dipastikan tubuh keduanya akan jatuh kalau Sangkala tidak segera
menangkapnya.
"Sebentar lagi kalian akan menerima akibat kesombongan sikap
kalian," desis Sangkala tajam penuh ancaman.
Kemudian Sangkala melesat pergi dengar membawa tubuh kedua
gadis manis itu di bahunya. Dengan beberapa kali lesatan tubuh Sangkala
lenyap ditelan keremangan pagi.
Brukkk! Brukkk!
Tanpa merasa kasihan sedikit pun Sangkala melemparkan kedua
tubuh molek itu di tanah. Untunglah ada lapisan jerami yang cukup tebal
sehingga Wulan dan Widuri tidak terlalu merasa sakit.
"Hhh.J"
Sangkala menyandarkan punggungnya ke dinding. Saat ini dia
bersama dua kembang Desa Kawung berada di tempat persembunyian yang
ditemukan Sangkala secara tidak sengaja. Sebuah goa batu yang cukup
besar dan terletak di dalam Hutan Randu. Letaknya cukup tersembunyi
karena tertutup kerimbunan semak-semak dan ilalang yang lebat.
Sangkala yakin tidak ada orang yang mengetahui tempat
persembunyiannya. Dengan demikian, dia aman tinggal di sini. Disadarinya
kalau mulai saat ini dirinya menjadi buron. Penduduk Desa Kawung tentu
mencarinya. Gurunya pun tidak akan tinggal diam. Ketua Perguruan
Banteng Putih itu pasti marah besar! Sudah pasti Ki Ageng Sora, gurunya,
akan mengutus anggota Perguruan Banteng Putih untuk mencarinya.
Keyakinan bahwa tempatnya tidak akan bisa ditemukan membuat
Sangkala mengalihkan perhatian pada tubuh Widuri dan Wulan yang
tergolek dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Seketika itu nafsu bifahi
Sangkala kembali bangkit. Dengan napas agak memburu dan langkah lebar
didekatinya Wulan dan Widuri.
Sementara kedua kembang Desa Kawung dilanda rasa takut yang
sangat. Mereka menyadari bahaya mengerikan yang tengah mengancam.
Sayang tidak ada yang dapat mereka lakukan kecuali menatap Sangkala
dengan ngeri.
"Hehehe.J"
Sangkala terkekeh. Terlihat jelas pemuda berwajah bopeng itu
gembira. Itu memang tidak salah! Sangkala gembira melihat sorot kengerian
dalam wajah maupun sinar mata Wulan dan Widuri. Padahal biasanya
wajah dan sinar mata kedua gadis itu selalu penuh hinaan dan cemoohan
bila menatap ke arahnya.
"Sekarang akan kalian rasakan pembalasanku. Wanita-wanita
Sombong!" ujar Sangkala bergetar penuh dendam, "Mau atau tidak kalian
harus menuruti keinginanku!"
Usai berkata, dengan penuh nafsu Sangkala menindih tubuh
Wulan. Dengan kasar diciuminya sekujur tubuh gadis itu. Tidak hanya itu.
Kedua tangannya bergerak liar ke sana kemari! Meremas apa yang dapat
diremas dengan kasar!
Tidak ada yang dapat dilakukan Wulan untuk mencegah tindakan
Sangkala. Tubuhnya terasa lemas. Bahkan gadis itu tidak mampu
mengeluarkan suara karena Sangkala telah menotok urat bicaranya. Yang
dapat dilakukan Wulan hanya menangis tanpa suara. Menangis karena takut
bahaya yang tengah mengancamnya dan tindakan Sangkala yang kasar.
Semua kejadian itu disaksikan Widuri dengan perasaan ngeri.
Disadarinya nasib yang dialami Wulan akan menimpanya pula. Ingin
rasanya dia menjerit sekeras-kerasnya. Tapi, sayang itu tidak dapat
dilakukan. Karena tidak tahan melihat pemandangan yang terpampang di
hadapannya, Widuri memejamkan mata.
Memang Widuri tidak mengalami kesulitan untuk memejamkan
mata. Tapi, tidak demikian dengan telinga. Gadis itu tidak mampu menutup
pendengarannya. Hingga Widuri mendengar kegaduhan yang berada di
dekatnya. Kegaduhan yang tercipta di saat Sangkala menggumuli Wulan.
Sebenarnya suara gaduh itu tidak dapat terjadi. Urat bicara Wulan
telah ditotok sehingga tidak dapat mengeluarkan suara. Jangankan rintihan
atau makian, bisikan pun gadis itu tidak mampu. Tapi karena Sangkala tidak
dapat menahan diri, suara itu terjadi. Dalam menikmati tubuh Wulan, dari
mulut Sangkala keluar bunyi riuh rendah seperti kucing kelaparan diberi
ikan!
Kegaduhan yang berasal dari mulut Sangkala yang tidak dapat
dicegah Widuri masuk ke telinga. Sehingga meskipun tidak melihat
kejadiannya, Widuri tetap merasa tersiksa.
Apalagi kegaduhan itu berlangsung lama. Sepertinya Sangkala
tidak berniat segera mengakhiri permainannya. Dan ketika Widuri sudah
hampir tidak kuat terus-menerus memejamkan mata, kegaduhan itu baru
berakhir. Ini membuat Widuri merasa ngeri!
Terhentinya kegaduhan itu pertanda Sangkala telah menyelesaikan
kebiadabannya. Berarti kegadisan Wulan telah dilahapnya. Kini gilirannya
hanya tinggal menunggu waktu! Kalau saja dapat, ingin rasanya Widuri
membunuh diri! Tapi apa daya? Gadis itu tidak mampu menggerakkan
anggota tubuhnya.
Dugaan W i d li r i ternyata tidak meleset. Dirinya pun tidak luput dari
kebiadaban Sangkala. Sama seperti Wulan, Widuri tidak mampu berbuat
apa-apa. Yang dapat dilakukannya hanya mengucurkan air mata tanpa
suara, diiringi jeritan pilu di hati!
Berbeda dengan Widuri dan Wulan, Sangkala yang telah gila oleh
amukan nafsu birahi dan rasa sakit hati malah bergembira! Tanpa rasa
kasihan sedikit pun dijarahnya sekujur tubuh kedua gadis kembang Desa
Kawung dengan tidak pernah merasa puas.
Kesenangan membuat Sangkala lupa diri. Yang ada di benaknya
hanya memuaskan nafsu birahi! Tidak dipikirkannya kemungkinan
penduduk Desa Kawung menemukan tempat persembunyiannya. Telah dua
hari berlalu tidak ada tanda-tanda orang mendekati tempat
persembunyiannya, membuat pemuda itu merasa tenang.
Bagaimana mungkin orang dapat menemukan tempat
persembunyianku? Pikir Sangkala meremehkan. Dia tidak pernah keluar
dari tempatnya! Makanan dan minuman tersedia di situ. Meskipun hanya
buah-buahan dan air gunung! Di goa itu memang banyak terdapat pohon
buah.
Sebenarnya tempat persembunyian Sangkala tidak pantas disebut
goa. Jalan masuknya memang berbentuk goa dengan garis tengah satu
tombak. Tapi panjangnya hanya sekitar sepuluh tombak. Setelah itu lorong
berakhir, berganti dengan ruangan persegi panjang berukuran cukup luas.
Masing-masing sisi dibatasi tebing tinggi dengan atap langit.
Di ruangan luas itulah tumbuh berbagai jenis pohon dan terdapat
sebuah danau kecil. Tempat yang dipilih Sangkala adalah dinding tebing
tempat lorong goa. Di situ terdapat celah yang cukup luas. Jadi tempat yang
dipilihnya beratapkan dinding tebing.
Karena berada di lekukan tebing, tempat Sangkala cukup
terlindung. Baik dari sinar matahari maupun hujan. Hanya saja tidak
terlindung dari hembusan angin. Perasaan yakin yang sangat akan
keamanan tempatnya menyebabkan Sangkala dapat bersenang-senang
dengan tenang.
Demikian pula siang itu. Setelah puas menikmati tubuh Widuri,
entah untuk yang ke berapa, dan beristirahat sejenak, Sangkala segera
beranjak mendekati pohon jambu untuk menikmati makan siang. Dalam
beberapa langkah, pemuda itu telah berada di dekat pohon jambu air yang
berwarna putih. Lincah laksana kera dia memanjat kemudian memetiki
buahnya dan ditaruh dalam kantung yang telah disiapkan.
Sehabis memetik jambu, seperti biasa, Sangkala akan memandikan
Wulan dan Widuri, lalu memberinya makan. Tentu saja Sangkala membe¬
baskan totokannya agar kedua kembang Desa Kawung itu dapat makan.
Tapi siang ini, di saat Sangkala tengah sibuk memetik jambu,
penduduk Desa Kawung yang dipimpin Ketua Perguruan Banteng Putih dan
Kepala Desa Kawung telah berhasil menemukan goa yang terlindung
semak-semak itu. Setelah dua hari mereka menjelajahi seluruh penjuru
hutan.
"Aku yakin dia berada di sini, Ki Rawung," ucap Ki Ageng Sora,
Ketua Perguruan Banteng Putih, sambil menudingkan jari telunjuknya ke
arah goa yang berada tak jauh di depan mereka.
Ki Rawung, Kepala Desa Kawung, bertubuh kecil kurus itu tidak
segera menanggapi ucapan Ki Ageng Sora. Ditatapnya wajah Ketua
Perguruan Banteng Putih itu sejenak.
"Bagaimana kalau Sangkala tidak berada di sini, Ki Ageng?!"
tanya Ki Rawung merasa tidak yakin.
"Kalau demikian, aku tidak tahu lagi harus mencari ke mana, Ki.
Hampir seluruh isi hutan ini telah kita jelajahi!" Ki Ageng Sora
menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Benaknya
diputar mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan uraiannya.
"Sementara murid-muridku yang kusebar untuk menanyakan
kepada penduduk sekitar, barangkali melihat ke mana murid murtadku itu
kabur, mendapat jawaban yang tidak memuaskan! Tidak ada seorang pun
yang melihat Sangkala! Jadi kesimpulanku, Sangkala ada di hutan ini. Aku
yakin di goa inilah Sangkala bersembunyi!" tandas Ki Ageng Sora sangat
yakin.
Raut keyakinan tampak jelas pada wajah dan sepasang mata lelaki
yang memiliki potongan kurang cocok untuk menjadi seorang ketua
perguruan silat itu. Betapa tidak? Tubuh kakek itu tinggi kurus. Bahkan
terlalu kurus hingga mirip batang bambu. Kulitnya yang hitam berkilat
tampak semakin hitam karena terbungkus pakaian serba putih. Sepasang
matanya menjorok jauh di dalam rongganya, mirip mata orang yang
penyakitan.
Tapi justru sepasang mata itulah yang menjadi bukti bahwa Ki
Ageng Sora bukan orang sembarangan. Matanya tajam berkilat. Sikapnya
pun terlihat berwibawa. Tarikan wajah maupun nada bicaranya membuat
orang yang mendengarnya merasa segan.
Hal demikian pula yang dialami Ki Rawung. Mendengar uraian Ki
Ageng Sora, Kepala Desa Kawung itu tidak membantah lagi. Dia hanya
mengangkat bahu dan menyerahkan keputusan itu pada Ki Ageng Sora. Dan
lelaki tinggi kurus itu tidak membuang-buang waktu dengan berdiam diri di
situ.
"Mari kita masuk. Tapi ingat, hati-hati. Barangkali saja ada
jebakan di dalamnya," beritahu Ki Ageng Sora.
Maka dengan dipimpin Ketua Perguruan Banteng Putih,
rombongan penduduk Desa Kawung dan murid-murid Perguruan Banteng
Putih berbondong-bondong masuk ke dalam goa.
Ki Ageng Sora yang berada paling depan bertindak sangat hati-
hati. Sementara di belakangnya berbaris satu-satu Ki Rawung, murid-murid
Perguruan Banteng Putih, serta para penduduk Desa Kawung.
Tidak berapa lama kemudian Ki Ageng Sora melihat sinar terang.
Sebagai seorang yang kenyang pengalaman dia segera tahu, di sana terdapat
dunia luar. Dengan kata lain, goa tersebut berakhir di sana.
Setelah melangkah beberapa tindak lagi. Ketua Perguruan Banteng
Putih telah berada di bagian akhir lorong goa. Sesampainya di sana, wajah
Ki Ageng Sora berubah hebat. Wajahnya menampakkan rasa kagetnya yang
sangat. Tapi meskipun begitu kakinya tetap dilangkahkan.
5
Widuri, Wulan....
Panggilan itu hanya dikeluarkan Ki Ageng Sora dalam hati. Dia
khawatir ucapan itu akan didengar Sangkala yang diyakininya berada di
dekat situ.
Di samping itu. Ketua Perguruan Banteng Putih tidak ingin
menimbulkan kegemparan pada rombongannya. Dikhawatirkan bila hal itu
terjadi Sangkala akan menyadari adanya bahaya dan mempergunakan kedua
kembang desa itu sebagai sandera.
Karena itu, begitu kakinya hampir meninggalkan lorong goa dan
memasuki ruangan luas, tubuhnya dibalikkan. Dengan isyarat lelaki itu
memberi tahu rombongan agar tidak menimbulkan suara. Ki Ageng Sora
juga memerintahkan agar isyarat yang diberikannya diteruskan kepada yang
lain. Hasilnya, isyarat itu disampaikan secara berantai.
Usaha Ki Ageng Sora tidak sia-sia. Ketika semua anggota
rombongan melihat keadaan Wulan dan Widuri, sama sekali tidak terdengar
seruan kekagetan. Padahal raut wajah dan sorot mata mereka memancarkan
keterkejutan yang sangat.
Lagi-lagi dengan gerak isyarat, Ki Ageng Sora memerintahkan
salah seorang muridnya untuk memberi penutup tubuh pada Wulan dan Wid
Kemudian membebaskan totokan yang membelenggu mereka. Tanpa
menunggu lebih lama, orang murid Ketua Perguruan Banteng Putih segera
melaksanakan perintah itu.
Sementara itu, Ki Ageng Sora mengedarkan pandang ke sekeliling
tempat itu. Hanya dengan sekali lihat dia dapat mengetahui tempat itu tidak
mempunyai jalan keluar. Berarti Sangkala masih berada di tempat ini!
"Itu dia...!"
Seorang pemuda berwajah tampan serta gagah karena bentuk
rahangnya yang kokoh menunjuk ke satu arah. Seketika itu juga, semua
pasang mata terarah ke sana. Dan mereka melihatnya! Sangkala tengah
sibuk memetik jambu!
Ternyata bukan hanya rombongan Ki Ageng Sora yang mendengar
seruan pemuda berahang kokoh itu, Sangkala pun mendengarnya. Pemuda
berwajah bopeng itu segera menoleh ke arah asal suara! Saat itu Sangkala
memunggungi tempat Ki Ageng Sora dan rombongannya berada.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya Sangkala melihat rombongan
itu. Disadarinya bahaya besar tengah mengancam. Tanpa menunggu,
pemuda itu segera melompat dari pohon. Tak dipedulikannya buah-buah
yang telah dipetiknya berhamburan ke tanah.
Jliggg!
Karena tergesa-gesa, Sangkala hampir jatuh tersungkur ketika
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tapi itu tidak dipedulikannya.
Langsung saja dia berlari! Yang ada di benaknya hanya satu, menjauhi
rombongan orang-orang itu!
Sangkala tidak sempat berpikir kalau jalan untuk lolos sudah tidak
ada lagi. Jalan masuk yang sekaligus jalan keluar dari tempat itu telah
dihadang rombongan pengejarnya!
Melihat Sangkala melarikan diri, rombongan Ki Ageng Sora yang
terdiri dari murid-murid Perguruan Banteng Putih dan penduduk Desa Ka¬
wung segera bergerak mengejar. Meskipun mereka tahu jalan untuk lolos
sudah tidak ada lagi, tapi kemarahan yang hebat membuat mereka tidak ta¬
han menunggu lebih lama untuk menghukum Sangkala.
Kesudahannya sudah dapat diduga. Kejar-mengejar antara
Sangkala dan rombongan Ki Ageng Sora pun terjadi. Dari sekian banyak
anggota rombongan, hanya dua orang yang tidak ikut melakukan
pengejaran. Mereka adalah Ki Ageng Sora dan Ki Rawung. Kedua sesepuh
Desa Kawung itu hanya memperhatikan kejar-mengejar yang terjadi di de¬
pan mata mereka. Tidak terlihat tanda-tanda mereka akan melakukan
tindakan pencegahan.
Sementara itu, jarak antara Sangkala dengan pengejarnya semakin
dekat. Lari pemuda berwajah bopeng itu agak terpincang-pincang. Rupanya
lompatan yang dilakukan terburu-buru dari atas pohon dan tidak mendarat
dengan benar membuat kakinya terkilir!
"Mau lari ke mana, Manusia Bejat...!" seru seorang penduduk
sambil mengamang-amangkan goloknya.
"Jangan harap lolos dari tangan kami...!" sambung penduduk
lainnya.
"Kau akan menerima balasan atas perbuatan kejimu, Sangkala!"
teriak seorang murid Perguruan Banteng Putih.
"Kau akan kami bakar hidup-hidup...!" timpa yang lain.
"Siksa dia dulu sampai setengah mati...!"
"Ganyang...!"
"Cincang tubuhnya sampai hancur...!"
Riuh rendah teriak para pengejar Sangkala. Hingga Sangkala
semakin ketakutan. Apalagi ketika disadari jaraknya dengan mereka
semakin bertambah dekat. Perasaan takut dan cemas yang melanda pun
semakin besar.
"Hih...!"
Salah seorang murid Perguruan Banteng Putih yang sudah tidak
sabar lagi menunggu saat melakukan hukuman melemparkan golok yang se¬
jak tadi digenggamnya.
Singngng...! Cappp!
"Akh...!"
Sangkala menjerit keras ketika golok yang dilemparkan murid
Perguruan Banteng Putih yang bertubuh pendek gemuk itu menancap di
bagian belakang paha kanannya. Tubuh Sangkala langsung tersungkur.
Dan sebelum Sangkala bangkit, para pengejarnya telah menyusul
dan mengurungnya. Tapi anehnya mereka tidak segera menyerangnya.
Rupanya sengaja memberi kesempatan padanya untuk melakukan
perlawanan.
"Bangun, Manusia Berhati Binatang!" seru pemuda berahang
kokoh sangat geram.
Sangkala menggertakkan gigi. Kemudian dengan sekali sentak,
dicabutnya golok yang menancap di paha kanannya. Darah membanjir
keluar. Tapi sesaat kemudian terhenti ketika Sangkala menotok jalan darah
di sekitar luka.
Seusai mengurus lukanya, Sangkala mengalihkan perhatian kepada
orang-orang yang mengurungnya. Pemuda itu tahu dirinya tidak mungkin
akan mendapat pengampunan. Maka diputuskannya untuk mengadakan
perlawanan mati-matian. Setidak-tidaknya sebelum mati dia berhasil
membawa beberapa orang di antara mereka untuk menemaninya ke akherat.
Orang pertama yang menerima tatapan Sangkala adalah pemuda
berahang kokoh. Dia tahu siapa pemuda itu. Ranjita, putra Ki Rawung.
Setelah itu pandangannya diarahkan kepada murid Perguruan Banteng Putih
yang bertubuh pendek gemuk. Bongara namanya, tatapan Sangkala penuh
dendam!
"Biar aku yang melenyapkan manusia binatang ini!" ujar Ranjita
gagah.
"Tidak, Ranjita!" bantah Bongara. "Biar aku yang
membereskannya. Ingat! Dia adalah murid Perguruan Banteng Putih, jadi
merupakan kewajiban bagiku selaku saudara seperguruan untuk memberi
hukuman!"
"Tidak adil!" selak seorang laki-laki setengah baya bertubuh tinggi
kurus. "Meskipun dia anggota Perguruan Banteng Putih, tapi yang
menderita kerugian aku! Widuri adalah putriku! Jadi akulah yang berhak
menghukumnya!"
"Aku juga! Wulan, yang menjadi korban kebiadabannya adalah
anakku!" sambung penduduk Desa Kawung lainnya.
Kemudian tanpa memberi kesempatan kepada Bongara dan Ranjita
untuk menanggapi, orangtua Wulan dan Widuri segera meluruk ke arah
Sangkala. Senjata berupa kapak dan golok yang tergenggam di tangan
mereka diayunkan ke tubuh pemuda itu.
Wuttt!
Melihat ancaman bahaya maut meluruk ke arahnya, Sangkala tidak
tinggal diam. Meskipun sebelah kakinya terluka, yang sedikit banyak me¬
ngurangi kelincahannya, tetapi pemuda itu tidak mengalami kesulitan
mengelakkan serangan mereka. Kedua orang itu adalah penduduk desa yang
hampir tidak menguasai ilmu bela diri. Andaikata memiliki pun hanya
sekadarnya.
Tak aneh bila hanya dengan sebuah elakan sederhana, Sangkala
berhasil mengelakkan serangan-serangan itu. Tidak hanya itu saja. Begitu
berhasil mengelak, kaki kirinya bergerak berturut-turut melancarkan
serangan balasan!
Bukkk, hnkkk!
"Akh!"
Kedua orangtua kembang Desa Kawung itu memekik kesakitan
ketika tendangan Sangkala mendarat di paha mereka. Keras bukan main.
Tubuh mereka terjengkang ke belakang dan jatuh terguling-guling di tanah.
Karuan saja amarah penduduk semakin berkobar. Bagai diberi
perintah, mereka menyerbu Sangkala dengan senjata di tangan.
***
Tak pelak lagi, belasan senjata yang terdiri dari beraneka ragam
bentuk itu meluruk ke segala bagian tubuh Sangkala!
Malihat hal ini, Ranjita, Bongara, dan murid-murid Perguruan
Banteng Putih membiarkan saja. Mereka tahu tidak ada gunanya mencegah.
Penduduk yang telah kalap itu tidak akan mau mendengarkan. Karena tidak
ingin ikut mengeroyok mereka terpaksa berdiri menonton.
Sementara, Sangkala yang melihat ancaman bahaya maut itu
berusaha melawan. Dengan golok di tangan, pemuda itu bertarung mati-
matian. Hebat bukan main tindakan Sangkala. Amukannya bagai macan
luka. Meskipun dia telah terluka, tapi tetap mampu melakukan perlawanan
sengit. Pada hal jumlah lawan tak kurang dari tiga belas orang. Pemuda itu
dapat mengimbangi. Sangkala mampu mengelakkan setiap serangan lawan.
Bahkan melancarkan serangan yang jauh lebih dahsyat!
Tidak sampai lima jurus dua lawannya terkapar dan terlempar dari
kancah pertarungan terkena babatan goloknya. Kenyataan itu membuat
teman-teman mereka menjadi geram bukan main. Orang-orang yang
menonton pun dilanda perasaan sama.
"Keparat"' geram Ranjita penuh kemarahan. "Kalau dibiarkan
terus, manusia biadab itu bisa membunuh mereka semua!"
"Lalu..., apa yang akan kau lakukan? Ikut terjun dalam kancah
pertarungan? Mengeroyok lawan yang terluka?!" tanya Bongara mengejek.
Wajah Ranjita langsung merah padam.
"Aku bukan orang seperti itu, Bongara! Kalau orang-orang dungu
itu tidak mendahuluiku, tubuh manusia berhati binatang itu telah kujadikan
daging cincang!"
"Ingin kulihat bukti ucapanmu, Ranjita," sambut Bongara
meremehkan.
Bongara sedikit pun tidak bermaksud membela Sangkala.
Ucapannya itu dikeluarkan karena tidak senangnya akan kesombongan
Ranjita. Ucapan Ranjita yang mengatakan mampu mengalahkan Sangkala
membuat Bongara tidak senang. Sebab kepandaian Bongara boleh dibilang
setingkat dengan Sangkala.
Kalau Ranjita sesumbar mampu mengalahkan Sangkala, bukankah
itu sama saja Ranjita meremehkannya? Padahal hanya sampai di mana ke¬
pandaian putra kepala desa itu? Ranjita hanya belajar ilmu silat dari Ki
Rawung!
Mendengar tantangan Bongara, Ranjita yang memang sudah
dibakar amarah jadi semakin kalap.
"Orang-orang dungu! Menyingkirlah kalian! Biarkan aku yang
menghabisi nyawa manusia binatang itu!" teriak Ranjita keras.
Tapi sampai lelah berteriak-teriak, tidak ada tanggapan sama
sekali. Penduduk tetap melancarkan serangan terhadap Sangkala.
"Manusia-manusia dungu!" maki Ranjita geram menyadari
seruannya tidak dipedulikan. "Biar kalian semua tewas di tangannya!"
Harapan Ranjita langsung terkabul. Belum juga gema ucapannya
lenyap, terdengar jeritan menyayat hati. Disusul robohnya dua orang lawan
Sangkala. Kepala mereka terpisah dari tubuh ketika golok Sangkala
menabas batang leher mereka.
"Keparat!" geram Ki Ageng Sora dan Ki Rawung hamir
bersamaan. Mereka saling bertukar pandang.
"Tidak akan kubiarkan murid murtad itu semakin mencoreng nama
Perguruan Banteng Putih dengan darah penduduk Desa Kawung!" desis Ki
Ageng Sora geram. Usai berkata lelaki tinggi kurus itu memasukkan
tangannya ke balik baju. Ketika dikeluarkan kembali tampak empat batang
pisau di tangannya.
Tentu saja kelakuan Ketua Perguruan Banteng Putih tidak luput
dari perhatian Ki Rawung. Namun Kepala Desa Kawung itu tidak
mengatakan apa-apa. Dia yakin Ki Ageng Sora telah memikirkan masak-
masak tindakannya. Maka lelaki kecil kurus itu diam saja.
Sementara itu, setelah memperhatikan kancah pertarungan sesaat,
Ki Ageng Sora mengibaskan tangannya. Seketika itu pula...,
Sing, sing, sing...!
Bunyi desing nyaring yang menyakitkan telinga terdengar ketika
pisau-pisau itu meluncur ke arah Sangkala.
Bukan hanya Sangkala yang terkejut Bongara dan semua murid
Perguruan Banteng Putih pun demikian. Mereka tidak menyangka gurunya
akan turun tangan.
Tapi keterkejutan yang melanda Bongara dan rekan-rekannya tidak
sebesar Sangkala. Saat itu dia baru saja mengelakkan serangan lawan-
lawannya.
Keduduannya sangat tidak menguntungkan. Baik untuk menangkis
maupun mengelak. Tapi meskipun demikian, Sangkala tidak mau menyerah
begitu saja. Sedapat mungkin diusahakannya mengelak. Tapi...,
Cap, cap, cap!
"Akh!"
Sangkala memekik kesakitan. Pisau-pisau itu mendarat di sasaran
yang dituju Ki Ageng Sora. Dua menancap di punggung atas. Kanan dan ki¬
ri. Sedangkan sisanya menancap di paha atas bagian belakang. Juga di
kanan dan kiri. Tubuh Sangkala langsung ambruk di tanah. Tidak seperti
sebelumnya. Kali ini pemuda berwajah bopeng itu tidak bisa bangkit lagi!
Kesempatan itu tidak disia-siakan para pengeroyoknya. Dengan
sorot mata menyiratkan dendam, mereka mengayunkan senjata masing-
masing. Nyawa Sangkala sudah dapat dipastikan akan melayang saat itu
juga. Tapi sebelum hal itu terjadi...,
"Tahan...!"
Suara bentakan keras yang mengandung pengaruh kuat membuat
penduduk Desa Kawung menghentikan gerakan mereka. Senjata-senjata
yang beraneka ragam jenis itu tertahan di udara.
Dengan penuh tanda tanya mereka mengalihkan pandangan ke arah
Ki Ageng Sora. Lelaki tinggi kurus itulah yang mengeluarkan cegahan tadi.
Ternyata bukan hanya penduduk Desa Kawung itu yang tercekam rasa
heran. Ranjita dan seluruh murid Perguruan Banteng Putih pun menatap
wajah Ki Ageng Sora penuh rasa heran.
"Kalian jangan salah paham," ujar Ki Ageng Sora tenang. "Kalian
tidak perlu khawatir. Aku tidak akan membela Sangkala. Dia tidak
kuanggap sebagai murid lagi! Aku mencegah semata-mata untuk
kepentingan kalian juga!"
Ki Ageng Sora menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil
napas. Sementara penduduk Desa Kawung, Ranjita, dan semua murid
Perguruan Banteng Putih menunggu kelanjutan ucapan itu dengan tidak
sabar.
"Perlu kalian ketahui, orang yang mempunyai kesalahan seperti
Sangkala terlalu enak untuk mati dengan demikian mudah! Dia telah
merusak masa depan dua orang gadis, membuat kotor Desa Kawung, dan
mencemarkan nama Perguruan Banteng Putih! Hukuman langsung mati
terlalu enak baginya!" urai Ki Ageng Sora.
"Lalu.., apa yang harus kita lakukan, Ki?" tanya Ranjita ingin tahu.
Putra Kepala Desa Kawung itu sangat dendam kepada Sangkala.
Ini tentu saja ada alasanya. Ranjita iri karena Sangkala yang berwajah buruk
berhasil menikmati kegadisan Wulan dan Widuri. Padahal dia sudah lama
menginginkan mereka!
"Dia harus disiksa sebelum dibakar hidup-hidup!" tegas Ki Ageng
Sora.
"Akurrr.J"
Serentak semua orang yang ada di situ menganggukkan tanda
setuju. Ki Ageng Sora tersenyum pahit melihat sambutan yang demikian
penuh semangat. Di hati kecilnya sebenarnya dia tidak setuju. Tapi
kejahatan yang dilakukan Sangkala sangat dibencinya. Maka hatinya
dikuatkan untuk memutuskan hal itu.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?!" tanya Ki Ageng Sora setengah
memerintah. "Siksa dia! Lalu kita seret ke desa, dan bakar di hadapan
seluruh penduduk. Hukuman ini akan membuat orang lain yang melakukan
tindakan seperti ini berpikir seribu kali!"
Saat itu juga para penduduk menghampiri Sangkala yang tergolek
di tanah. Mereka saling mendahului untuk melihat pemuda berwajah bo¬
peng itu. Sesaat kemudian penyiksaan terhadap Sangkala pun dilaksanakan.
Dalam gelora amarah dan kebencian yang meluap-luap, para penduduk
Desa Kawung jadi manusia-manusia yang tidak punya rasa belas kasihan.
Mereka menghajar sekujur tubuh Sangkala. Tidak hanya dengan
tendangan atau pukulan tangan kosong. Tapi juga dengan senjata tumpul.
Sedikit pun tidak mereka pedulikan rintih kesakitan yang keluar dari mulut
Sangkala!
Bukkk, bukkk, desss!
"Akh!"
Jeritan kesakitan tak henti-hentinya keluar dari mulut Sangkala,
seiring dengan mendaratnya siksaan-siksaan penduduk Desa Kawung.
Hanya dalam sekejap sekujur tubuhnya telah penuh luka! Darah mengalir di
sana-sini. Pakaiannya compang-camping tak karuan. Wajahnya pun hampir
tidak bisa dikenali lagi. Karena telah bengkak-bengkak. Tapi penduduk
Desa Kawung tetap meneruskan siksaannya.
Bukkk, bukkk, bukkk!
6
"Cukup!"
Untuk kedua kali Ki Ageng Sora mengeluarkan cegahan. Seperti
juga sebelumnya, penduduk Desa Kawung menuruti perintahnya. Tapi
bukan karena patuh. Ada pengaruh aneh yang membuat mereka terpaksa
menghentikan gerakannya.
Sebenarnya Ki Ageng Sora tidak menggunakan ilmu gaib atau
sihir. Lelaki tinggi kurus itu mengerahkan tenaga dalamnya. Getaran tenaga
dalam itu menyebabkan orang yang kurang kuat tenaga dalamnya langsung
terpengaruh. Mereka terkesima. Hingga tindakan mereka terhenti.
"Dia sudah tidak berdaya. Bila kalian teruskan, mungkin dia akan
mati! Dan jika hal itu terjadi, rencana yang telah kita susun akan
berantakan! Kalian paham?!" lanjut Ki Ageng Sora menjelaskan.
Bagai diberi perintah, serempak penduduk Desa Kawung
mengalihkan perhatian ke arah Sangkala. Mereka membenarkan pendapat
Ki Ageng Sora. Sangkala memang sudah tidak berdaya. Keadaannya sangat
mengenaskan! Bahkan beberapa saat sebelum Ki Ageng Sora mengeluarkan
cegahan, dia sudah tidak mampu menjerit lagi. Tubuhnya telah demikian
lemah.
Keadaan Sangkala pun dilihat Ranjita dan murid-murid Perguruan
Banteng Putih yang sejak tadi berdiri menyaksikan. Senyum gembira dan
puas tersungging di bibir putra Kepala Desa Kawung. Tapi Ranjita tidak
bisa terlalu lama tenggelam dalam alun kegembiraannya. Karena....
"Mengapa kalian hanya bengong saja?! Seret manusia biadab itu!"
perintah Ki Ageng Sora lagi. Seruan yang diucapkan keras itu membuat
para penduduk kelabakan. Mereka bingung memikirkan alat yang dapat
digunakan untuk menarik Sangkala. Namun Ranjita yang cerdik
menemukan pemecahannya. Sabuk yang melilit pinggangnya di lepas.
Lalu....
Ctarrr!
Setelah lebih dulu melecutkan sabuknya hingga mengeluarkan
bunyi keras, Ranjita meluncurkan ujung sabuknya pada tangan Sangkala.
Rrrttt!
Dengan gerakan yang indah dipandang, sabuk itu membelit tangan
Sangkala. Sungguh sebuah pertunjukan yang cukup hebat. Dari sini bisa di¬
ketahui Ranjita memiliki tenaga dalam cukup kuat. Karena hanya orang-
orang yang mempunyai tenaga dalam cukup kuatlah yang mampu
memainkan sabuk! Apalagi memainkannya sebagus Ranjita!
Seperti yang sudah diduga Ranjita, penduduk Desa Kawung
terpaku melihat pertunjukannya. Tatapan mata mereka menyiratkan
kekaguman. Bahkan sorot seperti itu terlihat pula pada sepasang mata Ki
Ageng Sora! Walaupun sebenarnya lelaki tinggi kurus itu mampu
memainkan berlipat kali lebih baik dari Ranjita. Tapi tetap saja dia merasa
kagum. Sebab tidak semua murid Perguruan Banteng Putih mampu
melakukan.
Kalau mau jujur dan tidak menuruti hati yang panas, Bongara
harus mengakui Ranjita memang lawan yang tangguh. Tapi karena sejak
pertama sudah muncul rasa tidak suka pada sikap Ranjita yang terlalu
memandang remeh orang, yang ditunjukkan Bongara hanya senyum sinis.
Sikapnya menunjukkan tindakan Ranjita tidak berarti apa-apa baginya.
Ranjita tentu saja diam-diam tahu, pemuda itu jengkel bukan main.
Tapi Ranjita pura-pura tidak tahu. Diberikannya ujung sabuk yang
dipegangnya pada salah seorang penduduk Desa Kawung
"Nih, seret..!" Hanya itu yang diucapkan Ranjita pada penduduk
Desa Kawung yang menerimanya dengan wajah berseri-seri.
Ki Ageng Sora dan Ki Rawung membalikkan tubuh dan berjalan
meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka jelas. Mulut goa yang menembus
Hutan Randu. Di belakang kedua orang itu berjalan Ranjita dan murid-
murid Perguruan Banteng Putih. Sedangkan rombongan penduduk Desa
Kawung berada paling belakang, dengan salah seorang di antara mereka
menyeret tubuh Sangkala.
Dapat dibayangkan penderitaan yang dialami Sangkala. Dalam
keadaan lebih mendekati mati, mana sekujur tubuhnya tidak ada yang luput
dari luka, pemuda itu diseret-seret. Padahal tanah di sini tidak rata! Banyak
bagian-bagian yang menonjol dan runcing! Dengan sendirinya luka yang
diderita Sangkala semakin parah.
Memang pantas dipuji kekuatan Sangkala. Dalam keadaan seperti
itu dia masih sanggup memutar otaknya. Disadarinya perjalanan menuju
Desa Kawung masih jauh. Bahkan melalui medan yang tidak rata. Dengan
demikian dia akan tersiksa lama sebelum akhirnya dibakar hidup-hidup
dengan disaksikan orang sedesa!
Sangkala tidak menginginkan hal itu terjadi! Dia tidak ingin mati
seperti binatang! Kalau memang harus mati, dia ingin secara terhormat.
Lebih baik mati di sini daripada di Desa Kawung!
Luar biasa! Keinginan yang demikian kuat itu membuat keadaan
Sangkala membaik. Bahkan seperti tidak terluka sama sekali. Ini
sebenarnya tidak aneh! Ada saat-saat tertentu di mana tenaga tersembunyi
dapat keluar dengan kemampuan lebih hebat dari biasanya. Tapi tentu saja
ada hal-hal yang menyebabkan tenaga tersembunyi itu keluar.
Demikian pula dengan Sangkala! Keinginan yang amat kuat untuk
tidak tewas secara mengenaskan di Desa Kawung menyebabkan
kemampuan tersembunyinya keluar. Kesempatan itu segera dipergunakan
Sangkala sebaik-baiknya.
"Hih!"
Dengan sekali sentakan Sangkala membuat penduduk yang
menyeret tubuhnya terjengkang ke belakang. Akibatnya, pegangan pada
ujung sabuknya terlepas. Kesempatan itu dipergunakan Sangkala untuk
bangkit berdiri. Kemudian berlari!
Tentu saja tindakan Sangkala tidak dibiarkan. Saat itu juga semua
anggota rombongan, kecuali Ki Ageng Sora dan Ki Rawung, bergegas
mengejarnya. Begitu juga orang yang bertugas menyeret Sangkala. Meski
agak tertinggal di belakang teman-temannya.
***
Kembali kejar-mengejar antara Sangkala dan rombongan Ki Ageng
Sora terjadi. Tapi dalam pengaruh kekuatan tersembunyi yang mendadak
keluar, Sangkala mampu meninggalkan lawan-lawannya. Semakin lama
jarak antara mereka terpaut semakin jauh!
Semua itu tidak lepas dari perhatian Ki Ageng Sora dan Ki
Rawung. Namun Ketua Perguruan Banteng Putih tetap berdiam diri. Lelaki
tinggi kurus itu tidak terkejut melihat Sangkala mampu melarikan diri.
Bahkan dengan kecepatan yang cukup menakjubkan.
Ki Ageng Sora tidak khawatir Sangkala dapat lolos dari tempat itu.
Jika pemuda berwajah bopeng itu ingin keluar dari tempat itu, arah yang
dituju adalah arah yang ditempuh rombongannya! Sedangkan Sangkala
menuju arah lain!
Itu sebabnya Ki Ageng Sora tidak mengambil tindakan apa pun.
Yang dilakukannya hanya memperhatikan kejar-mengejar yang tengah
terjadi. Sepasang alis Ki Ageng Sora baru berkerut ketika melihat arah yang
dituju Sangkala. Bekas muridnya itu menuju danau.
Berbagai pertanyaan muncul di benak Ki Ageng Sora. Mengapa
Sangkala menuju ke sana? Apakah dia berlari tanpa memikirkan arah yang
dituju? Atau Sangkala mempunyai pemikiran lain? Barangkali saja pemuda
berwajah bopeng itu hendak menceburkan diri ke danau!
Dan Sangkala memang bermaksud demikian! Pemuda itu tidak
ingin ditangkap dan dihukum secara menyedihkan di desa tempat
tinggalnya! Maka dia melarikan diri ke danau. Sangkala ingin menceburkan
diri ke sana. Itu telah dipikirkannya sebelum memutuskan untuk melarikan
diri.
Rasanya kali ini keinginan Sangkala akan terlaksana. Jarak antara
dia dan para pengejarnya semakin jauh. Meskipun itu berlangsung sedikit
demi sedikit. Perlahan tapi pasti Sangkala mendekati danau. Rasanya bekas
murid Perguruan Banteng Putih itu tidak bisa terjangkau lagi oleh lawan.
Kenyataan itu segera terbukti.
"Hiyaaa...!"
Diawali dengan teriakan melengking nyaring yang membuat gema
ke seluruh penjuru tempat itu, Sangkala melompat ke danau. Sesaat
tubuhnya melayang di udara sebelum akhirnya....
Byurrr!
Air muncrat tinggi ke udara ketika tubuh Sangkala membentur
permukaan danau. Tubuh Sangkala langsung tenggelam!
Kejadian itu disaksikan Ranjita, Bongara, dan yang lainnya. Tapi
apa yang dapat mereka lakukan? Saat tubuh Sangkala menimpa permukaan
danau, jarak antara mereka masih terpaut beberapa tombak! Baru setelah
beberapa saat tubuh Sangkala tenggelam, rombongan pengejar itu tiba di
pinggir danau.
"Pasang mata kalian baik-baik!" perintah Ranjita, "Aku yakin dia
akan muncul ke permukaan!"
"Benar!" sambung Bongara mendukung ucapan Ranjita. "Apa yang
dikatakan Ranjita benar. Lebih baik kita berpencar! Dia pasti akan muncul
ke permukaan!"
Tanpa menunggu lagi, rombongan itu menyebar ke sekitar danau.
Seperti juga Ranjita dan Bongara, mereka yakin Sangkala akan muncul ke
permukaan. Itu sudah pasti! Manusia mana yang sanggup bertahan lama di
dalam air?
Hanya dalam sekejap rombongan pengejar dari Desa Kawung itu
telah berada di kedudukan masing-masing. Pandangan mereka ditujukan ke
permukaan danau. Hampir tidak pernah mereka mengedipkan mata,
khawatir di saat sepasang mata mereka berkedip Sangkala muncul ke
permukaan.
Dengan tidak sabar Ranjita dan yang lain menunggu kemunculan
Sangkala. Tapi sampai cukup lama menunggu, Sangkala tidak
memunculkan diri. Padahal mata mereka telah lelah dipaksa terbelalak
terus.
"Gila!"
Sebuah makian geram keluar dari mulut Ranjita. Terlihat putra Ki
Rawung itu sudah tidak kuat lagi menahan sabar. Bongara yang berada
tidak jauh dari Ranjita menoleh. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Ranjita.
"Rasanya tidak mungkin kita terus-menerus menunggu seperti ini,
Bongara," ujar Ranjita pelan.
"Aku pun berpendapat demikian, Ranjita," sahut Bongara dengan
nada sama. Telah lenyap perselisihan antara mereka melihat buruan yang
sama-sama dikejar berhasil lolos. "Tapi..., apa yang dapat kita lakukan?!"
"Bagaimana kalau kita terjun juga, Bongara?" usul Ranjita, "Siapa
tahu manusia keji itu telah menjadi setan air?!"
"Dugaanmu tidak berbeda denganku," timpal Bongara. "Aku pun
tidak percaya Sangkala mampu bertahan begitu lama di dalam air!"
"Barangkali dia berada di permukaan air dan menggunakan batang
alang-alang untuk bernapas?!" duga Ranjita tiba-tiba.
"Kurasa dugaanmu keliru, Ranjita," bantah Bongara. "Aku tidak
melihat benda yang kau maksudkan di permukaan air. Aku tahu, semula aku
pun berpendapat demikian. Tapi setelah kuedarkan pandangan, dan tidak
kutemukan benda itu, aku yakin Sangkala tidak menggunakan cara itu."
"Jadi...," Ranjita menggantung ucapannya.
"Aku lebih condong dia telah menjadi setan air sekarang!" tegas
Bongara. "Kurasa dugaan ini tidak berlebihan. Kau tahu sendiri kan
keadaannya?"
Ranjita tampak ragu. Dia tidak memberikan tanggapan yang
bersifat menyetujui pendapat Bongara.
"Memang kuakui Sangkala terluka parah. Tapi..., apakah kau tidak
melihat kejadian aneh tadi? Dia mampu berlari dengan kecepatan lebih dari
sewaktu sehatnya!"
"Itu terjadi karena keinginannya yang besar untuk meloloskan diri,
Ranjita. Aku tahu pasti kemampuan seperti itu tidak akan bertahan lama.
Lagi pula kemampuan demikian tidak berlaku di dalam air!" bantah
Bongara menguatkan alasannya. "Kalau menambah kemampuan mungkin
benar. Tapi jika kemampuan tak wajar itu menyebabkannya mampu
menahan napas demikian lama di dalam air, kurasa tidak mungkin. Dan lagi
seperti yang tadi kukatakan, kemampuan seperti itu tidak akan bertahan
lama."
Ranjita langsung terdiam. Disadari ada kebenaran yang tidak bisa
dibantah dalam ucapan Bongara.
"Jadi..., kesimpulan yang paling mungkin Sangkala telah menjadi
setan air!" tandas Ranjita.
"Itulah yang harus kita buktikan!" sambut Bongara, "Karena itu
aku menyetujui usulmu, Ranjita. Aku khawatir ada hal-hal tidak terduga
yang akan merugikan kita."
"Maksudmu..., Sangkala berhasil meloloskan diri. Begitu?!" tanya
Ranjita meminta kepastian.
"Mudah-mudahan saja tidak," jawab Bongara berkilah.
"Kalau begitu kita harus bergegas, Bongara! Lebih cepat kita terjun
ke dalam danau lebih baik!" tegas Ranjita cepat.
"Benar, Ranjita!" Baru saja Bongara menyelesaikan ucapannya,
Ranjita melompat ke danau! Itu dilakukan tanpa membuka pakaiannya.
Bongara tidak mau kalah. Dia ikut melompat menyusul tubuh putra
Kepala Desa Kawung yang masih berada di udara. Dalam kedudukan mela¬
yang di udara, Bongara memberi perintah.
"Kalian semua tetap di darat! Awasi terus permukaan air!"
Byurrr! Byurrr...!
Air danau muncrat tinggi-tinggi dua kali berturut-turut. Itu terjadi
ketika tubuh Ranjita dan Bongara membentur permukaan danau kecil itu.
Tubuh kedua pemuda-perkasa itu tenggelam ke dalam danau.
Mereka menyelam semakin dalam. Berbeda dengan yang terlihat dari
daratan, dalam danau itu ternyata cukup jernih. Hingga Ranjita dan Bongara
dapat melihat pemandangan di dalamnya.
Untuk beberapa saat kedua pemuda itu tidak melakukan pencarian.
Mereka hanya mengedarkan pandangan ke sana kemari. Barangkali saja
dapat menemukan Sangkala. Setelah merasa yakin usahanya tidak
membuahkan hasil, dengan isyarat Bongara mengajak berpencar. Usul itu
langsung disetujui Ranjita. Sesaat kemudian, Bongara dan Ranjita berenang
menempuh arah pilihan masing-masing.
Ternyata meskipun kelihatannya kecil danau itu luas juga.
Beberapa kali Ranjita dan Bongara harus muncul ke permukaan untuk
mengambil napas sebelum meneruskan pencarian.
Usaha kedua pemuda perkasa itu tidak sia-sia. Setelah bersusah-
payah berenang ke sana kemari, akhirnya Ranjita menemukan sebab
mengapa Sangkala tidak muncul-muncul ke permukaan. Pada salah satu
dinding di dalam danau, ada lubang bergaris tengah sekitar setengah
tombak!
Sekali lihat Ranjita tahu lubang itu berhubungan dengan bagian
luar tempat terpencil itu. Kesimpulan ini membuat Ranjita lemas. Sangkala
telah berhasil meloloskan diri.
Meskipun demikian, karena rasa ingin tahu, didekatinya lubang itu.
Hasilnya benar-benar membuat Ranjita kaget! Ada daya tarik yang amat
kuat dari lubang itu. Padahal jarak antara dia dengan lubang itu masih tiga
tombak. Menyadari kenyataan ini, Ranjita bergegas berenang ke
permukaan. Sesampainya di sana di tunggunya Bongara muncul.
"Hentikan usahamu, Bongara!" seru Ranjita ketika Bongara
muncul ke permukaan untuk mengambil napas. Rupanya murid Perguruan
Banteng Putih itu masih bermaksud melanjutkan pencarian.
"Mengapa, Ranjita?!" tanya Bongara ingin tahu, "Apa kau telah
menemukan Sangkala?"
Ranjita menggeleng dengan lesu. "Dia berhasil kabur dari danau,
Bongara. Aku melihat ada lubang yang berhubungan dengan tempat di luar
danau ini!"
"Keparat!"
Bongara memaki geram mendengar pemberitahuan Ranjita.
Kemudian dengan lesu diikutinya tindakan putra Ki Rawung, berenang
menuju tepi danau.
"Cepat tinggalkan tempat ini! Sangkala telah lolos! Kita harus
segera mengejarnya!" seru Bongara ketika telah berada di pinggir danau.
Rombongan dari Desa Kawung segera beranjak meninggalkan
tempat itu. Tujuan mereka adalah lorong goa tempat mereka masuk.
Bongara dan Ranjita berjalan di belakang mereka.
Ki Ageng Sora dan Ki Rawung mendapat laporan dari Bongara.
Maka tanpa membuang-buang waktu, Ki Ageng Sora memimpin
rombongan melakukan pengejaran. Tak lupa Wulan dan Widuri yang masih
tergolek pingsan mereka bawa.
Begitu berada di luar, Ki Ageng Sora membagi rombongannya.
Ketua Perguruan Banteng Putih itu tahu dengan berpencar-pencar seperti itu
kemungkinan menemukan Sangkala semakin besar. Tak lupa
diberitahukannya agar kelompok yang menemukan Sangkala memberi
tanda.
Rupanya Ki Ageng Sora telah bertekad menangkap murid yang
sudah tidak diakuinya itu. Semua tenaga yang ada dikerahkan. Semua dapat
dijelajahi. Tapi Sangkala tetap tidak diketemukan. Pemuda berwajah
bopeng itu seperti lenyap ditelan bumi.
Yang lebih menyulitkan ternyata tembusan danau kecil di tempat
persembunyian Sangkala tidak ada! Ki Ageng Sora pun sadar tembusan
danau itu ada di dalam tanah!
7
"Ranjita..., Bongara..., Ki AgengSora.... Tunggulah pembalasanku!
Kalian orang-orang yang telah membuatku sengsara," desis Sangkala penuh
dendam. Rupanya ingatan akan perlakuan yang diterimanya dari ketiga
orang itu membuat Sangkala sadar dari alam pikirannya yang melayang ke
masa beberapa bulan lalu.
Bunyi berkerotokan keras seperti tulang patah terdengar seusai
desisan penuh dendamnya. Kejadian yang menggiriskan hati. Sebab pemuda
berwajah bopeng itu tidak melakukan tindakan apa pun. Agaknya
kemarahan membuat tenaga dalamnya berkeliaran sendiri, hingga
menimbulkan bunyi berkerotokan seperti itu.
"Tapi bukan hanya kalian yang akan menerima pembalasanku,"
sambung Sangkala masih dengan berdesis. "Semua penduduk Desa Kawung
akan mendapat balasannya. Ha ha ha...!"
Usai berkata, Sangkala melesat meninggalkan tempat itu.
Tujuannya Desa Kawung. Pemuda itu hendak membalas sakit hatinya
beberapa bulan lalu.
***
Sang Surya sudah sejak tadi tenggelam di barat. Sekarang dewi
malam yang menggantikan tugasnya menerangi persada. Meskipun saat itu
tidak muncul dalam bentuk yang utuh, namun cukup mampu mangusir
kegelapan. Apalagi saat itu langit tampak cerah. Bintang-bintang bertaburan
di angkasa. Berkelap-kelip ceria karena tidak ada segumpal awan pun
menggantung di sana. Hingga suasana persada semakin cerah.
Ternyata tidak hanya suasana di langit saja yang cerah ceria. Hal
yang sama pun terjadi di Desa Kawung. Obor terpancang di setiap rumah
penduduk dalam jumlah yang lebih banyak dari biasa, sehingga keadaan
desa terang benderang. Jelas ada sesuatu yang lain di Desa Kawung.
Dan memang dugaan itu tidak salah. Di mulut desa terpasang
umbul-umbul indah dalam bentuk beraneka ragam. Hiasan yang sama
dipasang di depan rumah Ki Ageng Sora.
Di tempat tinggal Ki Ageng Sora, di Perguruan Banteng Putih,
rampak meriah. Umbul-umbul terpajang berderet rapi dan teratur mulai dari
pintu gerbang sampai ke bagian dalam. Obor-obor pun terpancang di sana-
sani, membuat tempat itu terang-benderang seperti siang hari.
Rupanya di sana tengah dilangsungkan pesta pernikahan. Sang
Mempelai adalah Trijati, putri Ki Ageng Sora, dengan Ranjita, putra Kepala
Desa Kawung.
Kesibukan pun melanda Perguruan Banteng Putih. Murid-murid
perguruan itu, yang tidak berapa banyak, tampak kerepotan melayani tamu
yang datang untuk mengucapkan selamat. Tamu-tamu yang hadir memang
tidak sedikit. Karena kedua mempelai sama-sama berasal dari keluarga
terpandang. Para tamu tidak hanya dari Desa Kawung. Tapi juga dari desa-
desa sekitar.
Sementara itu di pelaminan Trijati dan Ranjita tak henti-hentinya
mengembangkan senyum pada tamu-tamu yang datang. Keduanya tampak
sangat gembira. Tak aneh, pernikahan itu berlangsung atas dasar cinta kasih
mereka berdua.
Tidak jauh dari sepasang mempelai, di tempat duduk kehormatan,
duduk keluarga Ki Ageng Sora, keluarga Kepala Desa Kawung, dan tamu-
tamu kehormatan, yang terdiri dari kepala-kepala desa dan ketua-ketua
perguruan silat di sekitar Desa Kawung. Mereka terlihat tidak kalah
gembiranya dengan kedua mempelai. Sesekali terdengar gelak tawa di
antara pembicaraan mereka.
"Pernikahan putrimu membuatku merasa tua sekali, Sora," ucapan
itu keluar dari mulut seorang lelaki berpakaian coklat. Raut wajahnya gagah
dengan kumis tebal melintang menghias bawah hidungnya.
"Mengapa kau berkata demikian. Loka?!" tanya kakek berpakaian
kuning tersenyum geli. Meskipun senyum menghias bibirnya, tapi tetap saja
tidak mampu mengusir keangkeran kakek itu. Bentuk wajahnya yang
persegi mirip harimau penuh ditumbuhi bulu. Tidak hanya kumis dan
jenggot, tapi juga cambang! Sepasang alisnya tebal dan hitam. Tubuhnya
tinggi besar. Pada bagian dada kiri pakaiannya tersulam gambar kepala
seekor harimau! Lengkaplah sudah semua yang membuat kakek itu terlihat
angker.
"Betapa tidak, Jayeng?!" sahut lelaki berkumis melintang yang
dipanggil Loka meminta dukungan. "Kau kan tahu usiaku hanya selisih satu
tahun dengan Ki Ageng Sora. Kalau anaknya sudah berkeluarga, bukankah
sebentar lagi dia akan menjadi kakek?! Ku berarti aku tidak muda lagi?!"
"Ha ha ha..!"
Serempak Ki Ageng Sora dan kakek berpakaian kuning yang
dipanggil Jayeng, sebenarnya mempunyai nama lengkap Jayeng Praja,
tertawa bergerak. Geli mendengar pertanyaan Loka yang bernama lengkap
Loka Arya.
"Mengapa kalian tertawa?!" tanya Loka Arya setengah memprotes.
"Kami merasa geli. Loka," Ki Ageng Sora menjawab setengah
tertawa. Rupanya perasaan geli masih melanda hatinya.
"Benar, Loka," sambut Jayeng Praja, "Sepertinya kau khawatir
menjadi tua?! Percayalah, sekalipun tua kau masih disegani kawan dan
ditakuti lawan! Meskipun bertambah tua kau tetap berjuluk Pendekar Tinju
Maut!"
"Tepat!" timpal Ki Ageng Sora cepat, "Bahkan aku berani bertaruh
keampuhan tinjumu semakin meningkat dengan semakin bertambahnya
usiamu!"
"Ha ha ha...!" sekarang ganti Loka Arya berjuluk Pendekar Tinju
Maut tertawa terkekeh.
"Luar bisa! Ternyata waktu yang sekian lama tidak mengubah
sikap kalian! Kurasa sudah saatnya kalian berdua membuang semua pujian
kosong itu! Apa hebatnya ilmu 'Tinju Maut'ku dibanding jurus 'Harimau
Terbang' milikmu, Jayeng?! Atau permainan kepalamu yang mampu
menghancurkan apa saja yang terbentur, Sora?!" ujar Loka Arya merendah.
"Ha ha ha...!"
Ki Ageng Sora dan Jayeng Praja tertawa bergelak.
"Aku telah mendengar kabar perguruanmu menyediakan jasa
pengawalan. Untuk orang-orang yang hendak bepergian jauh maupun
pengiriman barang berharga. Bukankah demikian, Jayeng?!" sambung Loka
Arya.
"Hhh.J"
Jayeng Praja menghela napas berat dengan wajah mendadak
berubah muram.
Tentu saja perubahan sikap kakek berwajah mirip harimau itu
membuat Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut heran. Senyum yang
tersungging di bibir mereka langsung lenyap. Dan dengan tatapan penuh
selidik serta rasa ingin tahu dipandanginya wajah Jayeng Praja.
"Mengapa, Jayeng?! Adakah ucapanku yang salah dan tidak
berkenan di hatimu?!" tanya Pendekar Tinju Maut sungguh-sungguh. Tidak
ada lagi nada main-main dalam suara Loka Arya. Seperti juga Ki Ageng
Sora, dia tahu Jayeng Praja tidak akan bersikap seperti itu bila tidak ada
masalah.
"Tidak, Loka. Tidak ada yang salah dengan ucapanmu," Jayeng
Praja menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Tapi, Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut bukan orang bodoh.
Mereka tahu senyum Jayeng Praja hanya pulasan dan tidak keluar dari
lubuk hatinya. Hingga kedua tokoh itu penasaran, terutama Pendekar Tinju
Maut yang memang memiliki watak agak berangasan.
"Kalau orang lain mungkin dapat kau bohongi, Jayeng. Tapi, pada
kami kau tidak mungkin dapat. Mulutmu dapat membohongi kami, tapi
matamu mengatakan yang sebaliknya. Apakah kau tidak percaya lagi pada
kami, Jayeng?! Sehingga kau tidak mau mengemukakan persoalan yang kau
hadapi?!" terdengar jelas nada penasaran dalam ucapan Pendekar Tinju
Maut.
Tapi, Jayeng Praja tetap diam. Melihat kenyataan itu, Ki Ageng
Sora khawatir Pendekar Tinju Maut akan mengeluarkan ucapan bernada
lebih keras. Maka diputuskannya untuk mendahului bicara.
"Apa yang dikatakan Loka benar, Jayeng. Kami adalah sahabat-
sahabatmu. Rasanya tidak pada tempatnya jika kau menyembunyikan
masalah yang kau hadapi. Percayalah, masalahmu adalah masalah kami
juga. Katakanlah, Jayeng. Jangan buat kami penasaran. Kau ingat ikrar kita
setelah menghancurkan Gerombolan Kuda Iblis?!"
Rupanya ucapan Ki Ageng Sora mengenai sasaran. Ada riak di
wajah Jayeng Praja, meskipun dia masih tetap diam. Melihat itu. Pendekar
Tinju Maut bermaksud menyambung ucapannya yang tadi tertunda karena
didahului Ki Ageng Sora. Tapi sebelum maksudnya dilaksanakan, Ki
Ageng Sora memberi isyarat agar membiarkan Jayeng Praja.
***
Meskipun rasa tidak puas melanda hati. Loka Arya bersedia
menuruti isyarat rekannya. Dia tahu Ketua Perguruan Banteng Putih itu
mempunyai alasan melarangnya berbicara.
Dugaan Pendekar Tinju Maut tidak salah. Ki Ageng Sora memang
mempunyai alasan kuat. Ketua Perguruan Banteng Putih itu yakin Jayeng
Praja terpengaruh ucapannya. Keluarnya penjelasan kakek tinggi besar itu
hanya tinggal menunggu waktu. Memang sebenarnya demikian. Ucapan Ki
Ageng Sora berpengaruh kuat. Ucapan itu mengingatkan Jayeng Praja pada
masa mudanya. Dulu, lebih dua puluh tahun lalu, dia seperti juga Ki Ageng
Sora dan Loka Arya adalah pendekar-pendekar pembela kebenaran. Setiap
ada tindak ketidakadilan mereka pasti turun tangan. Dan mereka selalu
berhasil menumpasnya. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh golongan hitam
yang tewas. Sehingga nama mereka bertiga menjulang di dunia persilatan.
Semula ketiga tokoh pembela kebenaran itu tidak saling mengenal.
Mereka baru berkenalan dan saling bahu-membahu ketika menghadapi
kelompok perampok yang berjuluk Gerombolan Kuda Iblis. Karena setiap
kali melakukan keonaran selalu berkuda, dan kuda yang mereka gunakan
berwarna putih. Kalau saja tidak bekerja sama, mungkin mereka telah
tewas! Gerombolan Kuda Iblis sangat tangguh dan licik. Melalui kerja sama
yang rapi, ketiganya berhasil menumpas Gerombolan Kuda Iblis.
Itulah perkenalan mereka yang pertama dan yang terakhir. Sejak
saat itu mereka berpisah dan menempuh jalan semula. Berjuang sendiri-
sendiri. Namun sebelum berpisah mereka sempat berikrar untuk saling
membantu bila ada di antara mereka bertiga yang mendapat kesulitan.
"Hhh...!"
Jayeng Praja menghela napas berat teringat akan kejadian itu.
Kemudian pandangannya dialihkan pada Ki Ageng Sora dan Loka Arya
yang masih menunggunya mengutarakan masalahnya.
"Kalian memang kawan-kawan yang baik, ujar Jayeng Praja
mengawali pembicaraan "Semula aku tidak ingin memberitahu siapa pun
karena ini tanggung jawabku."
"Lupakanlah pendirianmu yang keliru itu, Jayeng. Ketahuilah,
masalahmu adalah masalah kami juga! Bukankah demikian, Sora?!"
Pendekar Tinju Maut segera memotong.
Ki Ageng Sora menganggukkan kepala, "Benar, Jayeng, Loka
Arya tidak salah. Masalahmu adalah masalah kami. Tentu saja sepanjang
masalah itu tidak menyangkut urusan dalam perguruan! Namun, meskipun
demikian ada baiknya kau menceritakan pada kami. Jika menurut kami
urusan itu terlampau pribadi, dengan senang hati kami akan membiarkanmu
menyelesaikan sendiri."
Pendekar Tinju Maut mengangguk-angguk. Ucapan Ki Ageng Sora
benar. Pandangan Ketua Perguruan Banteng Putih itu demikian bijaksana.
Dalam hati Loka Arya kagum atas sikap Ki Ageng Sora.
Bukan hanya Pendekar Tinju Maut yang mengakui kebenaran
pendapat Ki Ageng Sora. Jayeng Praja pun demikian. Untuk itu, tidak ada
alasan lagi baginya menyembunyikan masalah yang merisaukan hatinya.
"Kalau benar demikian, kalian dengarlah baik-baik," ujar Jayeng
Praja. "Seperti yang dikatakan Loka Arya tadi, aku memang mempunyai
sebuah perguruan yang kuberi nama Perguruan Harimau Terbang. Cukup
banyak murid yang kumiliki. Hingga akhirnya aku mempunyai pemikiran
menggunakan kepandaian mereka untuk mencari uang. "
Jayeng Praja menghentikan ucapannya untuk mengambil napas.
"Sejak saat itu. Perguruan Harimau Terbang menyediakan jasa pengawalan.
Baik untuk pengiriman barang-barang berharga maupun orang yang
melakukan perjalanan."
Lagi-lagi Jayeng Praja menghentikan ceritanya. Kali ini digunakan
untuk melihat tanggapan kedua rekannya. Tapi Ki Ageng Sora maupun
Pendekar Tinju Maut tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dengan sabar
mereka menunggu Ketua Perguruan Harimau Terbang itu melanjutkan
ceritanya.
Sebenarnya baik Ki Ageng Sora maupun Loka Arya sudah dapat
menerka kelanjutan cerita Jayeng Praja. Tapi, mereka tidak mau memotong.
Seperti telah sepakat sebelumnya, keduanya memutuskan untuk
mendengarkan hingga Jayeng Praja menyelesaikan kisahnya. Dan Jayeng
Praja memang melanjutkan ceritanya ketika melihat tidak ada tanggapan
dari kedua rekannya.
"Beberapa hari yang lalu, seorang saudagar kaya datang dan
meminta putrinya diantarkan ke Kadipaten Kulon. Putri saudagar itu ingin
menjenguk kakek dan neneknya. Karena khawatir akan keselamatan
putrinya, mengingat perjalanan yang sangat jauh, dia tidak mempercayakan
pengawalan itu pada tukang-tukang pukulnya."
Kembali Jayeng Praja menghentikan cerita. Kini lebih lama dari
sebelumnya. Tarikan wajah dan sinar matanya menyiratkan perasaan
terpukul yang sangat.
Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut tidak mau mengusiknya.
Mereka membiarkan. Keduanya tahu tidak ada gunanya menghibur Jayeng
Praja. Kakek tinggi besar itu tidak membutuhkan hiburan.
"Semula saudagar itu meminta aku sendiri yan mengawal putrinya.
Tapi, kuyakinkan bahwa murid-muridku dapat diandalkan," lanjut Jayeng
Praja dengan lirih. "Hhh...! Sedikit pun tidak kusangka kekhawatiran
saudagar itu tenyata beralasan. Dua hari yang lalu burung merpati putih
dengan kain merah di kaki kanannya tiba di perguruanku! Padahal burung
merpati dengan kain kuning baru saja tiba. Itu berarti bahaya besar tengah
menimpa rombongan yang mengawal putri saudagar itu!"
"Tunggu dulu, Jayeng," potong Pendekar Tinju Maut cepat.
"Burung merpati dengan kain merah di kaki kanannya?! Aku tak mengerti
maksudmu?!"
Jayeng Praja menatap wajah Loka Arya sejenak. Kemudian beralih
pada Ki Ageng Sora. Ketua Perguruan Banteng Putih itu menganggukkan
kepala. Ki Ageng Sora juga tidak mengerti maksud Jayeng Praja.
"Begini Sora, Loka. Aku mempunyai cara untuk mengetahui
keadaan murid-muridku yang sedang mengadakan pengawalan. Caranya
dengan menggunakan burung merpati yang telah kami latih untuk kembali
ke perguruan meski dilepas dari tempat mana pun."
Jayeng Praja menjelaskan. Sementara Ki Ageng Sora dan Pendekar
Tinju Maut mendengarkan dengan penuh perhatian.
Rombongan Perguruan Harimau Terbang yang sedang bertugas
kuberi tiga buah pita. Masing-masing berwarna hijau, kuning, dan merah.
Pita itu untuk diikatkan pada kaki burung merpati. Pita hijau berarti mereka
telah sampai di tujuan dengan selamat. Pita kuning berarti rombongan
tengah dihadang bahaya. Sedangkan pita merah menunjukkan rombongan
mengalami kesulitan menghadapi bahaya yang mengancam. Dengan kata
lain, lawan yang dihadapi jauh lebih kuat. Dan di antara mereka ada yang
gugur!"
Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut tampak mengangguk-
angguk. Rupanya mereka telah memahami maksud ucapan Jayeng Praja.
"Padahal sesaat setelah kedatangan burung dengan pita kuning,
serombongan anggota Perguruan Harimau Terbang yang memang telah
disiapkan untuk berjaga-jaga sudah akan berangkat. Saat itulah burung
berpita merah datang," lanjut Jayeng Praja.
"Jadi..., rombongan cadangan itu tidak jadi diberangkatkan,
Jayeng?!" potong Pendekar Tinju Maut.
"Tentu saja jadi. Loka!" jawab Jayeng Praja cepat. "Dengan kuda-
kuda pilihan yang tangguh memiliki kecepatan lari mengangumkan
rombongan itu berangkat."
"Dan hasilnya... bagaimana, Jayeng?!" tan Loka Arya tak sabar.
"Menyedihkan," jawab Jayeng Praja dengan suara tersekat di
tenggorokan. Agaknya kakek berwajah mirip harimau itu masih terpengaruh
dengan kejadian itu. "Mereka semua binasa dalam keadaan menyedihkan.
Sedangkan putri saudagar itu lenyap! Entah bagaimana aku harus
mempertanggungjawabkan semua ini..!"
"Berdoalah semoga putri saudagar itu tidak mengalami kejadian
apa pun," ucap Ki Ageng Sora ketika Jayeng Praja telah menyelesaikan
ceritanya.
"Yahhh.... Hanya itu yang dapat kulakukan," sahut Ketua
Perguruan Harimau Terbang itu dengan mendesah. "Telah kuperintahkan
sebagian besar murid-murid perguruanku untuk mencari putri saudagar itu.
Tapi hasilnya nol besar! Kami tidak mendapatkan jejaknya sama sekali!"
"Apakah saudagar itu sudah tahu kejadian yang menimpa
putrinya?" tanya Ki Ageng Sora ingin tahu.
8
Jayeng Praja menggelengkan kepala.
"Belum. Kami belum memberitahukannya. Sulit kubayangkan
bagaimana tanggapannya. Hhh...! Entah apa yang harus kulakukan. Kalau
harta, mungkin dapat kami usahakan penggantiannya. Tapi ini nyawa
manusia. Bagaimana pertanggungjawabannya?"
Terdengar jelas kegetiran dalam suara Ketua Perguruan Harimau
Terbang itu. Tarikan wajah dan sorot matanya memancarkan keputusasaan
yang dalam. Sementara Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut saling
berpandangan. Mereka sadar tidak ada yang dapat dilakukan untuk
menolong Jayeng Praja.
"Apa kau tahu pelakunya, Jayeng?!" tanya Pendekar Tinju Maut
tidak berusaha menyembunyikan perasaan geramnya.
Jayeng Praja menggeleng.
"Atau... barangkali kau punya dugaan siapa pelakunya?" kejar
Pendekar Tinju Maut.
Lagi-lagi Jayeng Praja menggeleng tidak tahu, "Siapa adanya
pelaku pembunuhan itu masih gelap bagiku. Loka," jelas Jayeng Praja.
"Orang itu tidak meninggalkan jejak sama sekali."
"Ilm...!"
Pendekar Tinju Maut menggumam. Tangan kanannya mengelus-
elus dagu. Sepasang alisnya berkerut. Tampaknya dia sedang berpikir keras.
"Mungkinkah itu perbuatan orang-orang yang sakit hati dengan
tindakan kita dulu?!" duga Ki Ageng Sora tiba-tiba. "Ingat, Jayeng. Kita
telah banyak menanam permusuhan di waktu lalu!"
"Itu bisa saja terjadi," sambut Pendekar Tinju Maut mendukung.
"Hhh...!"
Jayeng Praja menghela napas berat. Mungkin saja dugaan rekan-
rekannya itu benar. Tapi, dia tidak memberikan tanggapan. Sedangkan Ki
Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut tidak berbicara lagi. Suasana hening
pun melingkupi mereka.
Lain halnya yang terjadi pada kelompok Ki Rawung dengan
kepala-kepala desa lain yang menjadi rekannya. Antara Ki Ageng Sora dan
Ki Rawung memang telah sepakat untuk duduk di tempat yang agak
terpisah. Masing-masing ingin berkumpul dengan kawan lama.
Di kelompok Ki Rawung sesekali terdengar tawa yang cukup
memekakkan telinga. Rupanya mereka terlibat percakapan yang
menggembirakan. Demikian pula di tempat para tamu lainnya. Suara tawa
sesekali meningkahi percakapan mereka. Mendadak....
"Ha ha ha...!"
Terdengar rawa keras menggelegar mengalahkan semua tawa yang
ada. Suara tawa itu mampu membuat isi dada orang yang mendengarnya
tergetar hebat.
Seketika itu pula, semua pasang mata tertuju ke arah asal tawa.
Tidak terkecuali Ki Ageng Sora, Pendekar Tinju Maut, dan Jayeng Praja.
Sorot mata ketiga tokoh tua itu memancarkan rasa terkejut.
Tentu saja semua itu ada alasannya. Mereka merasakan dadanya
agak terguncang oleh tawa itu. Ketiga lelaki itu pun sadar pemilik tawa itu
memiliki tenaga dalam sangat kuat. Itu berarti seorang yang berkepandaian
tinggi. Kalau tidak bermaksud baik tentu merupakan lawan yang sangat
tangguh.
Pemilik tawa itu ternyata berada di depan perguruan. Entah
bagaimana caranya dia masuk. Tahu-tahu sudah berada di dalam tanpa
sepengetahuan murid-murid Ki Ageng Sora yang bertugas menjaga pintu
gerbang. Padahal, saat itu suasana sudah sepi. Tidak ada tamu yang datang
lagi. Tapi mengapa pemilik tawa itu bisa berada di dalam? Kenyataan itu
mengejutkan penjaga-penjaga pintu gerbang. Dengan agak tergesa dua di
antara mereka bergerak menghampiri pemilik tawa.
"Hey! Berhenti! Mengapa menimbulkan keributan di sini?! Cepat
keluar sebelum kupatahkan kakimu!" ancam seorang murid Perguruan
Banteng Putih yang bermulut lebar.
Pemilik tawa itu, yang mengenakan pakaian putih, menghentikan
tawanya. Wajahnya tetap di tundukkan seperti tadi. Dengan wajah menundu
dia berbalik menghadapi dua orang murid Perguruan Banteng Putih yang
menghampirinya.
"Benarkah kalian mampu melakukannya? Kalau begitu,
lakukanlah," sahut sosok berpakaian putih tenang.
***
Sementara itu Ki Ageng Sora mengernyitkan dahi. Lelaki tinggi
kurus itu sedang berpikir. Sepasang matanya menatap penuh selidik ke arah
sosok berpakaian putih. Kelakuan Ketua Perguruan Banteng Putih rupanya
diperhatikan rekan-rekannya Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut
menjadi heran.
"Mengapa, Sora?! Apa kau mengenalnya?" tanya Jayeng Praja
ingin tahu.
"Entahlah, Jayeng," jawab Ki Ageng Sora tidak yakin. "Rasanya
aku pernah mendengar suaranya. Bukan hanya mendengar, tapi kenal betul.
Tapi aku lupa, kapan dan di mana"
Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut bertukar pandang
mendengar jawaban lelaki tinggi kurus itu.
"Ingat-ingatlah, Sora. Coba perhatikan baik-baik," beritahu
Pendekar Tinju Maut, "Aku yakin kau benar. Kau dan dia saling mengenal.
Kau lihat sendiri kan. Orang itu seperti menyembunyikan wajahnya agar
tidak terlihat."
"Yang dikatakan Loka Arya memang tidak salah, Sora," dukung
Jayeng Praja, "Aku juga yakin kau dan dia saling kenal"
Ucapan rekan-rekannya memaksa Ki Ageng Sora untuk terus
memperhatikan sosok berpakaian putih. Ingin diketahuinya bagaimana
tindakan sosok itu dengan ancaman dua orang muridnya. Syukur jika di
antara mereka terjadi pertarungan. Barangkali dari gerakannya bisa
diketahui siapa sebenarnya sosok berpakaian putih itu.
Sementara murid Perguruan Banteng Putih yang berbibir tebal
sudah tidak kuat lagi menahan sabar. Tanpa menunggu lebih lama
serangannya yang berupa pukulan bertubi-tubi dilancarkan ke arah dada
sosok berpakaian putih!
"Hmh!"
Sosok berpakaian putih mendengus melihat serangan itu. Sikapnya
jelas memandang rendah serangan lawan. Sosok itu tidak melakukan
tindakan apa pun. Tidak mengelak maupun menangkis! Kesudahannya
sudah dapat diduga.
Bukkk, bukkk, hnkkk!
Berturut-turut pukulan lelaki berbibir tebal mendarat di sasaran
yang dituju. Namun hasilnya membuat semua mata yang menyaksikan
terbelalak. Bukan sosok berpakaian putih yang berteriak-teriak kesakitan,
tapi lelaki berbibir tebal.
Murid Perguruan Banteng Putih itu merasakan betapa kedua
tangannya bukan memukul tubuh manusia. Tapi gumpalan baja keras yang
membuat kedua tangannya sakit.
Dan sebelum lelaki berbibir tebal itu sempat berbuat sesuatu,
tangan kanan sosok berpakaian putih berkelebat. Cepat bukan main.
Sehingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan putih. Bahkan arah
yang dituju sukar diketahui. Dan....
Prokkk!
"Akh...!"
Lelaki berbibir tebal hanya sempat mengeluarkan jeritan singkat
ketika tangan sosok berpakaian putih menghantam pelipisnya hingga
hancur. Saat itu juga nyawanya melayang meninggalkan raga.
Tentu saja kejadian yang sangat mengejutkan itu membuat semua
orang yang berada di situ terperanjat. Tak terkecuali Ki Ageng Sora,
Pendekar Tinju Maut, dan Jayeng Praja.
Hanya sosok berpakaian putih yang bersikap tidak peduli. Tanpa
memperhatikan teman murid Perguruan Banteng Putih yang
dibinasakannya, tubuhnya dibalikkan. Dan kakinya melangkah menuju
tempat sepasang mempelai berada.
Saat sosok berpakaian putih berbalik itulah Ki Ageng Sora melihat
wajahnya. Memang hanya sekilas. Tapi itu sudah cukup baginya. Wajah
sosok berpakaian putih itu sangat dikenalnya. Orang itu adalah...
"Sangkala...!" desis Ki Ageng Sora kaget.
Tak disangka secepat itu murid murtadnya kembali, dengan
membawa kepandaian menakjubkan!
"Jadi..., dia muridmu yang murtad itu, Sora.?!" Hampir bersamaan
pertanyaan diajukan Pendekar Tinju Maut dan Jayeng Praja. Ki Ageng Sora
memang telah menceritakan perihal Sangkala.
Begitu mengetahui sosok berpakaian putih itu Sangkala, Ki Ageng
Sora segera mengetahui maksud kedatangannya. Apalagi kalau bukan untuk
membalas dendam? Dan dari tindakannya tadi, Ki Ageng Sora tahu tingkat
kepandaian Sangkala telah meningkat berlipat kali hanya dalam waktu
singkat. Entah bagaimana cara Sangkala mempelajarinya. Ki Ageng Sora
tidak mampu menduga.
Melihat Sangkala menghampiri Ranjita dan Trijati, Ki Ageng Sora
khawatir bukan main. Ada bahaya besar tengah mengancam keselamatan
anak dan menantunya. Maka tanpa pikir panjang lagi, ia itu melompat dari
tempat duduknya. Lelaki tinggi kurus itu bersalto beberapa kali sebelum
meluruk turun sambil melancarkan serangan berupa cengkeraman ke kepala
Sangkala. Gerakannya seperti burung garuda menyambar mangsa.
Melihat serangan itu, Sangkala terpaksa mengurungkan
maksudnya mendekati Trijati dan Ranjita. Jika dia bersikeras meneruskan
maksudnya, sebelum tercapai, cengkeraman Ki Ageng Sora akan lebih dulu
tiba. Sangkala tidak menginginkan hal itu terjadi. Pemuda itu tahu betapa
dahsyatnya serangan itu. Cengkeraman Ki Ageng Sora mampu meng¬
hancurkan batu karang yang paling keras. Bisa dibayangkan bila mengenai
kepala manusia!
Tapi meskipun demikian, Sangkala tidak gentar. Tanpa ragu-ragu
dipapakinya serangan itu dengan sampokan kedua tangannya.
Prattt, prattt!
"Aikh...!"
Jeritan kaget bercampur kesakitan keluar dari mulut Ki Ageng
Sora, ketika tangannya berbenturan dengan tangan Sangkala. Jari-jari
tangannya terasa sakit. Bahkan untuk beberapa saat seperti lumpuh. Yang
lebih gila tubuh Ki Ageng Sora terpental jauh ke belakang! Padahal
Sangkala sedikit pun tidak bergeming. Itu menunjukkan tenaga dalam murid
murtad Perguruan Banteng Putih itu berada jauh di atas gurunya.
Tentu saja kejadian itu tidak hanya mengejutkan Ki Ageng Sora.
Tapi juga semua yang hadir dan mengenal Sangkala. Tidak salahkah
penglihatan mereka? Benarkah Ki Ageng Sora terjengkang karena
berbenturan dengan Sangkala, bekas muridnya? Benarkah hanya dalam
beberapa bulan pemuda berwajah bopeng itu telah menjadi orang yang
demikian hebat? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan itu membebani benak mereka. Tidak
terkecuali Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut. Justru mereka berdua
yang mengalami keterkejutan paling besar. Mereka adalah ahli-ahli silat
yang berpengalaman luas. Karenanya mereka tahu tidak mungkin Sangkala
dapat melampaui Ki Ageng Sora, meskipun mendapat guru yang sangat
pandai.
Lagi pula, mana mungkin dalam waktu yang sangat singkat
mampu memiliki tenaga dalam melebihi Ketua Perguruan Banteng Putih. Ki
Ageng Sora bukan tokoh sembarangan. Dia merupakan tokoh tingkat tinggi
golongan putih! Walaupun tidak termasuk datuk, tapi tidak mudah
menemukan tokoh yang berkepandaian setingkat dengannya. Namun
kenyataannya dalam benturan tenaga Sangkala lebih unggul! Adakah yang
salah? Atau... jangan-jangan Ki Ageng Sora tidak mengerahkan seluruh
tenaganya!
Mereka tidak tahu Ki Ageng Sora sudah mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Kini Ketua Perguruan Banteng Putih itu tidak gegabah
lagi melancarkan serangan. Dia sadar Sangkala telah memiliki kepandaian
tinggi. Entah dengan cara bagaimana!
Sementara itu, begitu melihat tubuh Ki Ageng Sora terlempar,
murid-murid Perguruan Banteng Putih yang berdatangan karena mendengar
bunyi ribut-ribut langsung bergerak melancarkan serangan. Tapi...
"Tahan...! Kalian jangan turun tangan! Biar aku yang
mengurusnya. Dia bukan Sangkala yang kalian kenal! Dengan mudah akan
dibantainya kalian semua!" cegah Ki Ageng Sora buru-buru.
Murid-murid Perguruan Banteng Putih pun mengurungkan
maksudnya. Bukan takut pada Sangkala karena belum merasakan
kelihaiannya. Tapi karena patuh pada guru mereka.
"Ha ha ha...!"
Sangkala tergelak. Pemuda itu tidak gentar meskipun tahu tidak
ada jalan keluar meninggalkan tempat itu. Bahkan pemuda berwajah bopeng
itu memandang rendah lawan-lawannya.
Melihat hal itu, Ki Ageng Sora tidak sanggup lagi menahan sabar.
"Murid laknat! Bila tidak dapat membunuhmu, lebih baik aku mati
bunuh diri! Hih!"
Baru saja ucapannya lenyap, Ki Ageng Sora segera melancarkan
serangan. Ketua Perguruan Banteng Putih itu membuka serangan dengan
tendangan kaki kanan lurus ke arah pusar.
Wuttt!
Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke kiri dan tanpa
memindahkan kaki, Sangkala berhasil menggagalkan serangan gurunya.
Kaki Ki Ageng Sora meluncur beberapa jari di sebelah kanan Sangkala.
Tapi, serangan Ki Ageng Sora tidak berhenti sampai di situ.
Kegagalan serangan pertamanya sudah diperhitungkan. Maka begitu
Sangkala berhasil mengelak, segera disusuli dengan serangan berikutnya.
Sadar akan kelihaian bekas muridnya, Ki Ageng Sora tidak ragu-ragu lagi
mengerahkan seluruh kemampuannya. Hebat bukan main serangan-
serangan lelaki tinggi kurus itu. Bunyi menderu, dan mendecit mengiringi
bergeraknya tangan serta kakinya. Susul-menyusul hampir tiada henti
seperti gelombang laut.
Meskipun demikian Sangkala mampu meredam semua serangan
lawan. Lincah bagai kera dan gesit laksana bayangan, Sangkala
mengelakkan semua serangan. Itu dilakukannya seperti tanpa mengalami
kesulitan sedikit pun.
"Mengingat kau pernah menjadi guruku, kuberi kesempatan
padamu untuk menyerangku sebanyak sepuluh jurus. Pergunakanlah sebaik-
baiknya, Ki Ageng Sora," ujar Sangkala di sela-sela kesibukannya
mengelakkan serangan.
"Tutup mulutmu. Manusia Jahanam!" maki Ki Ageng Sora sangat
geram.
Akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkannya semakin
dahsyat. Itu terjadi karena kemarahannya. Ucapan Sangkala menunjukkan
pemuda itu memandang rendah dirinya. Ki Ageng Sora tersinggung dan
marah besar!
Namun meskipun Ki Ageng Sora menguras seluruh
kemampuannya, tetap saja semua serangannya berhasil dielakkan Sangkala.
Sikap sombong pemuda berwajah bopeng itu memang beralasan. Pemuda
itu sempat berbicara di saat serangan Ki Ageng Sora datang bertubi-tubi,
membuktikan serangan-serangan itu tidak merepotkannya.
Jurus demi jurus berlalu. Tak terasa sudah sepuluh jurus Ki Ageng
Sora melancarkan serangan. Dan selama itu tak satu pun yang mengenai sa¬
saran.
"Sekarang giliranku...!" ujar Sangkala memperingatkan. "Bersiap-
siaplah, Ki Ageng Sora! Ketahuilah, aku tidak ragu untuk membunuhmu!"
"Tutup mulutmu. Jahanam!"
Makian penuh kegeraman menyambut ucapan Sangkala. Ditambah
dengan sebuah tendangan kaki kanan ke arah leher!
"Hmh!"
Sangkala mendengus melihat serangan itu. Tidak terlihat tanda-
tanda dia akan mengelak. Sangkala telah siap melaksanakan maksudnya. Itu
terjadi kemudian. Begitu kaki Ki Ageng Sora menyambar dekat, dengan
kecepatan yang sukar diikuti mata Sangkala menggerakkan tangan
kanannya. Dan...
Tappp!
"Hehhh?!"
Ki Ageng Sora memekik kaget melihat pergelangan kakinya
dicekal lawan. Tahu ada bahaya besar mengancam kakinya buru-buru
ditarik agar lepas dari cekalan.
Kembali Ki Ageng Sora dilanda kaget. Jangankan menarik,
membuat bergeming pun tidak mampu. Kakinya seperti terjepit catut baja!
"Ha ha ha...!"
Sangkala tertawa bergelak melihat wajah Ki Ageng Sora yang
merah padam karena mengerahkan seluruh tenaganya. Masih dengan tawa
yang belum putus, Sangkala menggerakkan jari-jari tangannya meremas.
Krrrkkk!
"Aaakh.J"
Ki Ageng Sora tidak mampu menahan jerit kesakitan ketika tulang
kakinya hancur di remas Sangkala.
Tindakan Sangkala tidak berhenti sampai di situ. Tangannya
disentakkan. Tak pelak lagi tubuh Ki Ageng Sora terhuyung ke arahnya.
Padahal, Ki Ageng Sora telah berusaha menahan. Tapi lelaki tinggi kurus
itu tidak mampu. Di saat tubuh Ki Ageng Sora melayang, tangan kanan
Sangkala bergerak menghentak ke depan!
Wuttt! Prakkk!
"Akh...!"
Hanya jeritan pendek yang dapat dikeluarkan Ki Ageng Sora.
Tubuhnya ambruk ke tanah dengan tulang pelipis hancur! Tragis sekali
kematian Ketua Perguruan Banteng Putih itu!
Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tidak seorang
pun sempat berbuat sesuatu. Mereka baru sadar ketika tubuh Ki Ageng Sora
telah ambruk ke tanah.
"Biadab!"
Hampir bersamaan bentakan keras itu dikeluarkan Jayeng Praja
dan Pendekar Tinju Maut. Seiring dengan teriakan itu keduanya melesat
dari tempat duduk.
Cepat gerakan kedua kawan Ki Ageng Sora itu, tapi masih lebih
cepat tindakan murid-murid Perguruan Banteng Putih! Diawali teriakan-
teriakan kemarahan mereka menyerang Sangkala. Tempat yang lebih dekat
dengan Sangkala memungkinkan serangan mereka tiba lebih dulu dari
Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut.
Karena murid-murid Perguruan Banteng Putih menggunakan
senjata dan menyerang serempak, tak pelak lagi hujan senjata meluruk ke
berbagai bagian tubuh Sangkala. Tapi dengan kecepatan gerak luar biasa,
Sangkala menyelinap di antara sambaran senjata lawan Serangan murid-
murid Perguruan Banteng Putih mengenai tempat kosong! Dan dengan lihai
Sangkala melesat keluar dari kepungan.
Pemuda yang diamuk dendam itu melangkah tenang menghampiri
Ranjifa dan Trijati. Karuan saja Ranjita kelabakan bukan main. Bahaya
maut sedang mengancamnya. Sementara Trijati sudah tak sadarkan diri di
bangku pengantinnya. Rupanya guncangan batin melihat kematian ayahnya
di depan mata terlalu berat untuknya
Tapi sebelum Sangkala berhasil melaksanakan maksudnya pada
Ranjita yang telah bersiap-siap mengadakan perlawanan mendadak....
Jliggg!
Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut telah berada di depannya.
"Manusia Iblis! Orang seperti kau tidak pantas dibiarkan hidup!"
geram Jayeng Praja.
Sangkala tersenyum mengejek. Diperhatikannya Jayeng Praja dan
Pendekar Tinju Maut sesaat.
"Pakaian dan gambar macanmu mengingatkan aku pada orang-
orang yang menjadi korban pertamaku. Apa kau mempunyai hubungan
dengan mereka?!"
"Ahhh...!" Jayeng Praja berseru kaget. Sungguh tidak disangka
akan bertemu penjagal murid-muridnya.
"Jadi..., kau yang telah melakukan tindakan keji itu?! Kau telah
membunuh murid-muridku. Manusia Biadab! Sekarang katakan di mana ga¬
dis yang mereka kawal?!"
"Ooo.... Jadi mereka murid-muridmu? Lalu siapa gadis yang ada di
dalam kereta? Anakmukah?!" ejek Sangkala tenang. "Sayang dia tidak
cukup kuat melayaniku sampai puas. Maka...."
"Jahanam! Mampus kau!"
Krrrkkk!
"Aaakh...!" Jerit Ki Ageng Sora tidak mampu menahan sakit ketika
tulang kakinya hancur diremas Sangkala. Lalu, Sangkala masih
menyentakkan tangannya ke depan...
Wuttt! Prakkk!
"Akh!" tubuh Ki Ageng Sora ambruk ke tanah!
Tanpa menunggu Sangkala menyelesaikan ucapannya, Jayeng
Praja melancarkan serangan dengan geram. Tidak mendengar secara
lengkap pun sudah dapat diduga nasib putri saudagar itu.
Mati!
Melihat Jayeng Praja telah menyerang, Pendekar Tinju Maut tidak
tinggal diam. Dia pun melakukan hal yang sama. Sebab Jayeng Praja tidak
akan mampu menghadapi Sangkala sendiri. Tingkat kepandaian Ketua
Perguruan Harimau Terbang itu setingkat dengan Ki Ageng Sora.
Tapi rupanya Sangkala tidak berminat untuk bertarung. Pemuda itu
tidak menyambut serangan lawan-lawannya. Kakinya digenjot sehingga
tubuhnya melayang ke atas melewati kepala kedua penyerangnya. Begitu
kakinya mendarat di tanah, Sangkala melesat ke arah Trijati. Jelas, pemuda
itu mengincar putri Ki Ageng Sora.
Ranjita pun tidak bisa tinggal diam. Pemuda itu tidak ingin istrinya
mengalami nasib serupa dengan Wulan dan Widuri. Maka dengan berani
dihadangnya Sangkala. Disambutnya kedatangan pemuda berwatak bejat itu
dengan tusukan goloknya.
Namun hadangan itu tidak membuat Sangkala mengurungkan
maksudnya. Ditangkapnya golok Ranjita. Hanya dengan sekali sentak tubuh
Ranjita dilemparkan. Lalu dengan secepat kilat meluncur ke arah Trijati.
Dan....
Tappp!
Begitu tubuh putri Ki Ageng Sora berhasil ditangkap, Sangkala
melesat meninggalkan tempat itu. Tentu saja Jayeng Praja, Pendekar Tinju
Maut, murid-murid Perguruan Banteng Putih, dan yang lainnya tidak
membiarkan hal itu terjadi. Mereka segera menghadang.
Tapi kejadian sebelumnya terulang kembali. Dengan mudah
Sangkala berhasil meloloskan diri. Lalu, dengan beberapa kali lesatan,
pemuda berwatak bejat itu telah berada di luar bangunan Perguruan Banteng
Putih.
Meskipun demikian, Sangkala tidak mengendurkan larinya.
Pemuda itu terus melesat dengan kecepatan tinggi. Sehingga dalam waktu
singkat bangunan Perguruan Banteng Putih telah jauh ditinggalkan. Baru
setelah itu Sangkala mengendurkan larinya. Mendadak....
"Berhenti...!"
Terdengar bentakan keras. Menggelegar laksana sambaran
halilintar. Bentakan itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tapi bukan Sangkala kalau menjadi gentar. Dengan berani pemuda
itu menghentikan langkah. Lalu berbalik untuk melihat orang yang telah
mengeluarkan bentakan itu.
Empat tombak di depan Sangkala berdiri dua orang muda-mudi.
Yang gadis mengenakan pakaian putih dan berambut panjang. Sedangkan
orang yang berdiri di sebelahnya seorang pemuda berambut putih
keperakan. Pakaian ungu membungkus tubuhnya yang kekar. Siapa lagi
kalau bukan Dewa Arak dan Melati.
"Cepat serahkan wanita itu. Manusia Biadab!" tegas Dewa Arak
lantang.
"Lagi-lagi kalian," sahut Sangkala tersenyum mengejek, "Kuberi
kesempatan pada kalian pergi dari sini sebelum aku merubah keputusan!
Cepat! Atau kalian ingin mengalami nasib yang sama dengan rombongan
yang kalian temukan di hutan beberapa hari lalu?!"
Dewa Arak dan Melati langsung bertukar pandang mendengar
ucapan itu. Mereka sungguh tidak menyangka orang yang menculik
mempelai perempuan ternyata orang yang melakukan tindak kekejian
terhadap gadis yang telah mereka kuburkan!
Dewa Arak dan Melati telah mengetahui Sangkala menculik
mempelai wanita. Di perjalanan mereka bertemu dengan rombongan Jayeng
Praja yang melakukan pengejaran.
"Jadi..., kau penjahat terkutuk itu?!" desis Melati geram. "Kalau
begitu, mampuslah!"
Wuttt!
Bunyi deru angin keras terdengar ketika Melati melancarkan
serangan. Tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar
diluncurkan ke arah ulu hati Sangkala. Dalam cekaman kemarahan yang
menggelegak. Melati mengeluarkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya.
"Ah!"
Sangkala berseru kaget melihat tangan Melati, sebatas
pergelangan, merah seperti darah. Sekali lihat saja dia tahu kepandaian
gadis berpakaian putih itu lebih tinggi dari Ki Ageng Sora. Maka Sangkala
tidak berani bertindak main-main.
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, dipapakinya serangan Melati dengan
pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Dan...
Prattt!
Terdengar bunyi keras ketika dua tangan yang mengandung tenaga
dalam tinggi berbenturan. Tubuh Melati terjengkang ke belakang.
Sedangkan Sangkala terhuyung mundur selangkah. Ini menunjukkan tenaga
dalam bekas murid Ki Ageng Sora itu lebih tinggi dari lawan.
Jliggg!
Begitu berhasil mendaratkan kaki di tanah. Melati segera bersiap
melancarkan serangan berikutnya. Tapi, maksudnya terpaksa diurungkan
ketika Dewa Arak menyentuh lengannya.
"Biar aku yang menghadapinya. Melati. Dia terlalu kuat untukmu,"
ujar Dewa Arak lembut. Lalu tanpa menunggu tanggapan Melati, Dewa
Arak melangkah maju. Guci araknya yang tergantung di punggung segera
diambil dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk.... Gluk... Gluk...!
Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melewati tenggorokan
Dewa Arak. Sesaat kemudian kedudukan kaki pemuda berambut putih
keperakan itu tidak jejak lagi. Oleng ke kanan dan kiri. Ilmu 'Belalang
Sakti'nya telah siap dipergunakan!
Sementara itu Sangkala sadar lawannya kali ini jauh lebih pandai
dari gadis berpakaian putih. Disadari pula Dewa Arak telah menggunakan
ilmu andalan. Maka, tubuh Trijati dilemparkan ke tanah. Lalu pemuda
berwajah berbopeng itu mempersiapkan jurus 'Kelelawar'!
Diam-diam Sangkala menyesal telah memberitahukan dirinya
pelaku tindak kekejian terhadap gadis berpakaian hijau. Itu membuatnya
terlibat dalam keributan dengan tokoh-tokoh tingkat tinggi di saat dirinya
tidak ingin bertarung. Tapi, nasi telah jadi bubur. Tidak ada jalan lain
kecuali bertarung. Dan itulah yang dilakukan Sangkala sekarang.
"Cit, cit, cit!"
Diiringi bunyi berdecit nyaring dan gerakan tangannya, Sangkala
melompat menerjang Dewa Arak. Ketika berada di udara, tangan kanannya
disampokkan ke pelipis lawan.
Wuttt!
Hanya dengan merendahkan tubuh ke kanan. Dewa Arak berhasil
membuat serangan itu mengenai tempat kosong. Sampokan Sangkala lewat
beberapa jengkal di atas kepala. Dan karena kuatnya tenaga yang
terkandung dalam serangan itu, rambut dan pakaian Arya berkibaran keras.
Kegagalan serangan pertamanya membuat Sangkala penasaran.
Maka serangan-serangan susulannya pun semakin dahsyat. Tapi, Dewa
Arak sanggup memunahkan. Bahkan serangan balasan yang dikirimkan
pemuda berambut putih keperakan itu tidak kalah dahsyat. Pertarungan
sengit dan menarik antara dua tokoh muda yang berkepandaian tinggi itu
pun tidak bisa dielakkan lagi.
Hebat bukan main pertarungan yang terjadi. Bunyi mendecit,
menderu, dan mengaung menyemaraki jalannya pertarungan. Ditambah
dengan bunyi tegukan ketika Dewa Arak menenggak araknya di sela-sela
berlangsungnya pertempuran.
Jurus demi jurus berlangsung cepat Kedua belah pihak memiliki
kecepatan gerak yang mengagumkan Dewa Arak dan Sangkala memang
menitikberatkan pada ilmu meringankan tubuh. Tak terasa pertarungan telah
berlangsung lebih dari seratus jurus. Dan selama itu belum tampak tanda-
tanda pihak yang akan menang. Pertarungan masih berlangsung seimbang.
Kenyataan itu membuat Sangkala gelisah. Dewa Arak terlalu
tangguh untuk dapat dirobohkan. Lagi pula, andaikan dapat pun
membutuhkan waktu yang lama. Padahal, dia tidak ingin berlama-lama di
tempat itu. Sebab keadaannya tidak menguntungkan. Bila Melati turun
tangan, atau rombongan pengejar Perguruan Banteng Putih tiba dan menge¬
royoknya, dia bisa celaka. Pemikiran ini menyebabkan Sangkala
memutuskan untuk melarikan diri. Dan kesempatan untuk itu tiba. Itu
terjadi pada jurus keseratus dua puluh tiga.
"Hih!"
Sangkala melemparkan tubuhnya ke belakang dengan bersalto
beberapa kali. Lalu berbalik dan melesat kabur. Dewa Arak yang sudah
bertekad melenyapkan Sangkala tidak membiarkan hal itu. Arya melesat
mengejar. Pada malam yang mulai beranjak dini hari itu pun terjadi kejar-
mengejar.
Melihat hal itu. Melati tidak tinggal diam. Gadis itu ikut mengejar
setelah menyambar tubuh Trijati dan meletakkannya di bahu kanan.
Sementara itu Dewa Arak berusaha keras menyusul Sangkala. Tapi jarak
antara mereka tidak berubah. Agaknya ilmu lari cepat mereka berimbang.
Hingga....
Srakkk!
Sangkala menyelinap ke balik rimbunan semak-semak dan
pepohonan. Tapi tanpa ragu sedikit pun Dewa Arak turut menerobos.
Namun kenyataan yang dilihatnya membuat Dewa Arak
tercengang. Sangkala tidak dijumpai ada di situ. Padahal di balik jajaran
semak dan pepohonan terdapat tanah lapang yang membentang luas.
Mengapa Sangkala tidak terlihat lagi? Apakah pemuda berwajah
bopeng itu menghilang? Kalau dia terus berlari, tentu akan terlihat oleh
Arya. Karena jarak mereka sejak tadi tetap lima tombak.
Rasa penasaran membuat Dewa Arak mengedarkan pandangan ke
sekitar tempat itu. Bahkan Arya memeriksa semak-semak dan pepohonan
yang hanya sedikit. Tapi tetap saja tidak dijumpai sosok Sangkala. Yang
dijumpai pemuda berambut putih keperakan itu hanya beberapa ekor
kelelawar yang hinggap di salah satu cabang pohon. Tidak ada lagi yang
lain. Saat itulah Dewa Arak melihat Melati di kejauhan tengah berlari ke
arahnya.
"Bagaimana, Kakang?!" tanya gadis berpakaian putih itu ketika
telah berada di dekat Arya.
"Dia menghilang begitu menyelinap ke balik semak-semak ini.
Melati," jawab Arya lesu.
"Ah...! Begitukah?!" Melati tampak agak terkejut. "Lalu, apa yang
kita lakukan sekarang?"
Dewa Arak tercenung sebentar seperti sedang berpikir. "Kurasa
lebih baik kita kembalikan dulu gadis itu kepada keluarganya. Bagaimana,
setuju?!"
Melati mengangguk diikutinya langkah kekasihnya yang telah
lebih dulu meninggalkan tempat itu. Dewa Arak dan Melati sungguh tidak
tahu seekor kelelawar memperhatikan kepergian mereka. Kelelawar itu
adalah penjelmaan Sangkala!
Apakah tindakan Sangkala selanjutnya? Bagaimana dengan
pembalasan dendamnya? Dan bagaimana Sangkala dapat memiliki ilmu-
ilmu mukjizat hanya dalam beberapa bulan? Siapa tokoh yang menjadi guru
Sangkala? Semua pertanyaan itu akan terjawab dalam episode 'Penjarah
Perawan' yang merupakan lanjutan episode ini.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Penjarah Perawan
Emoticon